respon fisiologis dan performa produksi kerbau lumpur betina pada

advertisement
RESPON FISIOLOGIS DAN PERFORMA PRODUKSI
KERBAU LUMPUR BETINA PADA KETINGGIAN
DAN UMUR YANG BERBEDA
RIFQI ABDURRAHMAN
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respon Fisiologis dan
Performa Produksi Kerbau Lumpur Betina pada Ketinggian dan Umur yang
Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2017
Rifqi Abdurrahman
NIM D14120096
ABSTRAK
RIFQI ABDURRAHMAN. Respon Fisiologis dan Performa Produksi Kerbau
Lumpur Betina pada Ketinggian dan Umur yang Berbeda. Dibimbing oleh
KOMARIAH dan KOEKOEH SANTOSO.
Perkembangan peternakan kerbau di Indonesia masih tergolong rendah
dibandingkan hewan ternak lain. Populasi kerbau rendah karena performa
produksi menurun, keterbatasan bibit unggul, mutu pakan yang rendah, tingkat
pertumbuhan lambat, dan inbreeding tinggi. Faktor lingkungan khususnya suhu
dan kelembaban juga dapat mempengaruhi produktivitas dan kondisi fisiologis
kerbau. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh perbedaan kondisi
lingkungan dan umur terhadap respon fisiologis serta performa produksi kerbau
betina. Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Pacet, Kecamatan Sukaresmi,
dan Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Variabel yang
diamati adalah performa produksi kerbau yaitu nilai morfologis, dan respon
fisiologis yang dinilai berdasarkan suhu rektal dan frekuensi pernafasan. Data
yang diperoleh dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial
(2x2). Hasil penelitian menunjukkan frekuensi pernafasan dan suhu rektal kerbau
betina pada siang hari nyata lebih tinggi dibandingkan pada pagi dan sore hari
(P<0.05). Morfometrik lebar dada dan BCS pada kerbau betina dipengaruhi
(P<0.05) oleh ketinggian tempat yang berbeda. Respon fisiologis dan performa
kerbau betina di dataran tinggi lebih baik dibandingkan di dataran rendah.
Kata kunci: kerbau, lingkungan, performa, respon fisiologis
ABSTRACT
RIFQI ABDURRAHMAN. Physiological Responseand Production Performance
of Females Swamp Buffalo in Different Altitudes and Age. Supervised by
KOMARIAH and KOEKOEH SANTOSO.
The progress of buffalo husbandry in Indonesia is still relatively low
compared with the development of other farm animals. Buffalo’s population
decrease due to declining production performance, influenced by the constraints
of quality seeds, poor feed quality, slow growth rate, and high inbreeding.
Environmental factors include temperature and humidity can also affect the
productivity and buffaloes physiological conditions. The aimed of this study to
analyze the effect of different environmental conditions and the age of
physiological response and production performance of female buffaloes. The
research located in Pacet, Sukaresmi, and Sindangbarang Subdistrict, Cianjur
District, West Java. The variables were measured buffalo production performance
based on the value of morphological and physiological responses assessed by the
rectal temperature and respiratory frequency. Data obtained would be process with
Completely Randomized Factorial Design (2x2). The result showed that
respiratory rate and rectal temperature female buffalo during the daylight were
significantly higher than in the morning and afternoon (P<0.05). Morphometric
wide chest and body condition score on female buffalo were influenced (P<0.05)
by different altitude. Physiological response and performance of female buffalo on
the highland were better than in the lowlands.
Key words: buffalo, environment, performance, physiological responses.
RESPON FISIOLOGIS DAN PERFORMA PRODUKSI
KERBAU LUMPUR BETINA PADA KETINGGIAN
DAN UMUR YANG BERBEDA
RIFQI ABDURRAHMAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan
pada
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Judul Skripsi : Respon Fisiologis dan Performa Produksi Kerbau Lumpur Betina
pada Ketinggian dan Umur yang Berbeda
Nama
: Rifqi Abdurrahman
NIM
: D14120096
Disetujui oleh
Dr Ir Komariah, MSi
Pembimbing I
Dr Drh Koekoeh Santoso
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Irma Isnafia Arief, SPt MSi
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Salawat dan salam
semoga senantiasa terlimpah dan tercurah kepada Rasulullah SAW, serta para
sahabat, keluarga, dan pengikutnya. Skripsi yang berjudul Respon Fisiologis dan
Performa Produksi Kerbau Lumpur Betina pada Ketinggian dan Umur yang
Berbeda merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan
di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Komariah, MSi dan Dr Drh
Koekoeh Santoso selaku pembimbing skripsi, atas waktu, saran, serta bimbingan
yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan tugas
akhir. Terima kasih kepada Sigid Prabowo, SPt MSc selaku dosen pembahas
seminar, atas waktu dan sarannya. Terima kasih kepada Ir Rini Herlina Mulyono,
MSi dan Dr Ir Afton Atabany, MSi selaku dosen penguji sidang, atas waktu dan
sarannya. Terima kasih kepada Bramada Winiar Putra, SPt MSi selaku dosen
pembimbing akademik atas bimbingan selama penulis menjalankan studi. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Staff Dinas Peternakan, Perikanan, dan
Kelautan Kabupaten Cianjur dan petugas Pusat Kesehatan Hewan Sarongge atas
bantuannya selama penelitian.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Ibu,
Ayah, Yasmin, dan seluruh keluarga besar atas doa, serta dukungan yang
diberikan. Ucapan terima kasih kepada Rehino, Yudi, Satria, Qoim, Teguh, Ady,
Muthmainnah, Syifa, Dadang, dan teman seangkatan IPTP 49, yang selalu
memberi motivasi, bantuan, dan dukungan selama berjuang menempuh
pendidikan di Fakultas Peternakan IPB.
Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini terdapat kekurangan, untuk itu
penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga
karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Mei 2017
Rifqi Abdurrahman
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur
Identifikasi Kondisi Lingkungan
Respons Fisiologis Kerbau
Analisis Performa Kerbau
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Respons Fisiologis Frekuensi Pernafasan dan Suhu Rektal
Morfometrik Kerbau
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
vi
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
3
3
4
5
5
6
9
14
14
17
20
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Deskripsi penilaian Body Condition Score (BCS)
Data rataan unsur cuaca lingkungan penelitian
Tingkat pendidikan peternak dan skala kepemilikan ternak kerbau
Respon fisiologis frekuensi pernafasan (kali menit-1) kerbau betina pada
umur dan waktu yang berbeda
Respons fisiologis suhu rektal (oC) kerbau betina pada umur dan waktu
yang berbeda
Panjang badan kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian
Tinggi badan kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian
Lingkar dada kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian
Lebar dada kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian
Lebar pinggul kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian
Body Condition Score kerbau betina pada perbedaan umur dan
ketinggian
3
5
5
7
8
9
10
10
11
11
12
DAFTAR GAMBAR
1 Model pengukuran morfometrik pada kerbau
4
DAFTAR LAMPIRAN
1 Analysis of variance respon fisiologis
2 Analysis of variance morfometri
17
18
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peternakan kerbau di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan
dengan hewan ternak lain. Kerbau berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia
karena kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah
Indonesia memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan ternak kerbau.
Populasi kerbau di Indonesia pada tahun 2015 sekitar 1 346 917 ekor menurun
dari 1 999 604 ekor pada tahun 2010 dengan produksi daging pada tahun 2015
yaitu 35 410 kg pada tahun 2010 sebesar 35 914 kg (BPS 2015), sedangkan
populasi kerbau di Kabupaten Cianjur berjumlah 9 875 ekor pada tahun 2013 dan
menurun menjadi 8 997 ekor di tahun 2014 (BPS Kabupaten Cianjur 2015).
Penurunan populasi kerbau disebabkan keterbatasan bibit unggul, mutu pakan
rendah, tingkat pertumbuhan lambat, inbreeding tinggi, persepsi negatif
masyarakat terhadap daging kerbau alot dan lebih kasar, lemak berwarna kuning
serta faktor lingkungan ternak yang tidak nyaman sehingga produktivitas dan
fisiologis dari ternak terganggu.
Menurut Purwanto et al. (1991) faktor lingkungan yang mempengaruhi
produktivitas ternak ialah iklim. Perubahan iklim seperti suhu dan kelembaban
udara akan nyata mempengaruhi respon fisiologi ternak, seperti suhu rektal,
frekuensi pernapasan, dan denyut jantung. Lingkungan dapat berpengaruh secara
langsung dan tidak langsung terhadap ternak. Pengaruh lingkungan secara
langsung yaitu terhadap tingkat produksi melalui metabolisme basal, konsumsi
makanan, gerak laju makanan, kebutuhan pemeliharaan, reproduksi pertumbuhan
dan produksi susu, sedangkan pengaruh tidak langsung berhubungan dengan
kualitas dan ketersediaan makanan (Anderson et al. 1985).
Perbedaan kondisi lingkungan dan ketinggian yang berbeda dapat
mempengaruhi kondisi fisiologis ternak kerbau seperti di beberapa Kecamatan
Kabupaten Cianjur. Suhu rata-rata di Kabupaten Cianjur antara 17-32 oC dengan
kelembaban antara 60%-80% (BPS Kabupaten Cianjur 2015). Pengaruh
perbedaan lingkungan terhadap respon fisiologis kerbau perlu diketahui lebih
lanjut untuk mengetahui produktivitas kerbau.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh perbedaan kondisi
lingkungan dan umur terhadap respon fisiologis dan performa produksi kerbau
betina. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
wilayah yang cocok untuk pengembangan ternak kerbau.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini menggunakan sampel kerbau lumpur betina
dewasa dan kerbau lumpur betina anakan dengan sampel sebanyak 24 ekor.
2
Pengamatan kondisi lingkungan dilakukan dengan mengukur suhu lingkungan dan
kelembaban udara. Pengamatan respon fisiologis dengan mengukur suhu rektal
dan frekuensi pernafasan kerbau betina. Analisis performa kerbau dengan
mengukur nilai Body Condition Score (BCS) dan karakteristik morfometrik
kerbau betina. Analisis data menggunakan Rancangan Acal Lengkap (RAL) Pola
Faktorial.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-April 2016. Lokasi penelitian
dilakukan di Desa Ciputri, Kecamatan Pacet dan Desa Ciwalen, Kecamatan
Sukaresmi sebagai kategori dataran tinggi, serta Desa Muaracikadu, Kecamatan
Sindangbarang sebagai kategori dataran rendah, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerbau lumpur (B.
bubalis carabanensis) betina yang dipilih secara sengaja menggunakan metode
purposive sampling. Ternak terdiri atas 12 ekor kerbau indukan produktif pada
umur ≥2.5-5 tahun dengan rataan 3.5 tahun dan 12 ekor anak kerbau betina pada
umur <2.5 tahun dengan rataan 1.5 tahun.
Jumlah peternak yang diwawancara sebanyak 10 orang di dataran tinggi dan
18 orang di dataran rendah. Jumlah ternak yang diamati di dataran tinggi
sebanyak 39 ekor dan di dataran rendah 91 ekor.
Alat
Penelitian ini menggunakan peralatan termometer digital, borang isian,
tongkat ukur, pita ukur, dan alat tulis. Pengukuran suhu lingkungan dan
kelembaban udara diukur menggunakan thermohigrometer digital.
Prosedur
Identifikasi Kondisi Lingkungan
Pengamatan kondisi lingkungan meliputi ketinggian tempat, dan kondisi
lingkungan mikro yang terdiri atas suhu udara dan kelembaban. Data lingkungan
mikro didapat dengan mengukur dan menghitung unsur cuaca sebanyak 3 kali per
hari yaitu pada 08.00-09.00, 13.00-14.00 dan 16.00-17.00 WIB. Suhu dan
kelembaban udara diukur dengan alat termohigrometer digital.
3
Respons Fisiologis Kerbau
Parameter respon fisiologis tubuh yang diamati meliputi suhu rektal dan
frekuensi respirasi. Frekuensi respirasi diukur dengan cara mendekatkan telapak
tangan ke area hidung kerbau dan menghitung frekuensi respirasi yang terukur
selama 1 menit.
Suhu rektal diukur menggunakan termometer digital dengan cara
memasukkan termometer ke dalam rektum sedalam 5-7 cm dan selama sampai
terdengar suara bunyi dari termometer.
Analisis Performa Kerbau
Performa kerbau dianalisis berdasarkan nilai BCS (Body Condition Score)
dan karakteristik morfometrik. Pengamatan berdasarkan BCS menurut Rutter et
al. (2000) dengan skala 1-5 sebagai berikut: 1 (sangat kurus), 2 (kurus), 3
(sedang), 4 (gemuk), dan 5 (sangat gemuk) yang disajikan pada Tabel 1.
Skor
1
Tabel 1 Deskripsi penilaian Body Condition Score (BCS)a
Kategori
Deskripsi
 Lemak tidak ada di sekitar pangkal ekor.
Sangat
 Tulang pinggul, pangkal ekor, dan tulang rusuk
Kurus
secara visual terlihat jelas

2
Kurus


3
Sedang


4
Gemuk


5
Sangat
Gemuk


a
Tulang rusuk dapat di identifikasi bila disentuh
mulai sedikit tidak jelas
Pangkal ekor, tulang pinggul, dan panggul mulai
tertutupi lemak
Tulang rusuk dapat dirasakan dengan tekanan
tangan
Pangkal ekor mulai tertutupi lemak dan dapat
dengan mudah dirasakan
Lemak penutup di sekitar pangkal ekor jelas,
sedikit membulat, lembek bila disentuh.
Lipatan lemak mulai berkembang di atas tulang
rusuk dan paha ternak
Struktur tulang tidak lagi nyata dan ternak
menunjukkan penampilan yang sintal dan
membulat
Tulang pinggul, pangkal ekor, tulang rusuk, dan
paha dipenuhi dengan lipatan lemak
Mobilitas ternak lemah yang diakibatkan oleh
lemak yang dibawanya.
Sumber: Rutter et al. (2000)
Pengukuran morfometrik menurut Erdiansyah (2008) meliputi panjang
badan, lingkar dada, lebar dada, tinggi badan, dan lebar pinggul kerbau betina.
Metode pengukuran morfometrik pada kerbau dapat dilihat pada Gambar 1.
Bagian-bagian tubuh kerbau yang diukur (dinyatakan dalam satuan cm) dan
definisinya diuraikan seperti berikut :
4
1. Panjang badan adalah garis lurus dari tepi tulang processus spinocus sampai
dengan benjolan tulang lapis (os ischium), diukur menggunakan tongkat ukur;
2. Lingkar dada diukur melingkar tepat di belakang scapula menggunakan pita
ukur;
3. Lebar dada adalah jarak antara benjolan sendi bahu (os scapula) kiri dan kanan
menggunakan tongkat ukur;
4. Tinggi badan adalah jarak tertinggi pundak melalui belakang scapula tegak
lurus ke tanah, diukur menggunakan tongkat ukur; dan
5. Lebar pinggul adalah jarak antar sendi pinggul, diukur dengan tongkat ukur.
Gambar 1 Metode pengukuran morfometrik kerbau yang diamati. Keterangan: 1)
Lebar dada, 2) Lebar pinggul, 3) Tinggi badan, 4) Lingkar dada, 5)
Panjang badan.
Analisis Data
Data cuaca meliputi suhu dan kelembaban dihitung rataannya. Data respon
fisiologis dan morfometrik kerbau lumpur betina pada ketinggian dan umur yang
berbeda dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola Faktorial
(2x2) untuk setiap variabel. Jika hasil analisis ragam menunjukkan perbedaan
nyata (P<0.05) maka dilakukan uji banding Tukey. Menurut Gazpersz (1999),
model matematika Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola Faktorial yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
5
Yijk = µ +αi + βj + (αβ)ij+εijk
Keterangan :
Yijk
µ
αi
βj
(αβ)ij
εijk
: Nilai pengamatan respon fisiologis atau morfometrik kerbau dengan perlakuan
umur ke-i (dewasa dan anakan), ketinggian ke-j (rendah dan tinggi) atau (pagi,
siang, dan sore) serta interaksinya;
: Rataan umum percobaan;
: Pengaruh faktor perlakuan ke-i (umur);
: Pengaruh faktor perlakuan ke-j (ketinggian atau waktu);
: Pengaruh interaksi antara faktor umur dan faktor ketinggian; dan
: Pengaruh galat percobaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pada 3 kecamatan
yang dibagi berdasarkan ketinggian yaitu dataran rendah dan dataran tinggi.
Dataran rendah diwakili Kecamatan Sindangbarang dengan ketinggian 7-500 m
dpl, sedangkan dataran tinggi diwakili Kecamatan Pacet 800-1 080 m dpl dan
Kecamatan Sukaresmi 1 080-1 450 m dpl. Hasil rataan unsur cuaca lingkungan
penelitian serta tingkat pendidikan peternak dan skala kepemilikan ternak kerbau
dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2 Data rataan unsur cuaca lingkungan penelitian
Unsur
cuaca
lingkungan
Pagi
Siang
Sore
Pagi
Siang
Sore
T(oC)a
30.33±0.34
32.10±0.42
28.85±0.52
27.60±1.05
29.08±0.67
27.35±0.43
74.67±1.83
67.00±2.86
78.00±2.13
77.50±2.75
75.50±1.45
83.50±2.02
RH(%)
b
Dataran Rendahc
Dataran Tinggid
a = suhu lingkungan dalam derajat; b = kelembaban relatif dalam persentase; c = Kecamatan
Sindangbarang; d = Kecamatan Pacet dan Kecamatan Sukaresmi.
Tabel 3 Tingkat pendidikan peternak dan skala kepemilikan ternak kerbau
Dataran Rendah
Dataran Tinggi
Pendidikan
(%)
0
10
- Tidak Sekolah
89
90
- SD
5.5
0
- SMP
0
0
- SMA
5.5
0
- Sarjana
Skala Pemilikan (ekor)
33
40
- 1-2
28
20
- 3-4
39
40
- >4
6
Lingkungan yang diamati merupakan lingkungan mikro atau lingkungan
sekitar kandang yang terdiri dari suhu lingkungan dan kelembaban udara.
Pengambilan data dalam penelitian dilakukan 3 kali mulai pukul 08.00 WIB
(pagi), 13.00 WIB (siang) dan 16.00 WIB (sore) yang disajikan pada Tabel 2.
Hasil pengukuran suhu udara menunjukkan bahwa rata-rata suhu di dataran tinggi
lebih rendah dibandingkan di dataran rendah. Menurut Handoko (1995), laju
penurunan suhu akibat ketinggian memiliki variasi yang berbeda-beda untuk
setiap tempat, rata-rata sekitar 0.5-0.6 oC setiap kenaikan 100 m. Ketinggian
tempat berhubungan dengan suhu, semakin tinggi suatu tempat, maka suhu akan
semakin rendah serta di dataran rendah suhu lingkungan, tekanan udara dan
oksigen sangat tinggi sedangkan dataran tinggi tekanan udara dan suhu udara
rendah (Sangadji 2001).
Hasil pengukuran kelembaban menunjukkan bahwa rata-rata kelembaban di
dataran rendah lebih rendah dibandingkan dengan dataran tinggi. Hal ini diperkuat
oleh penelitian Sangadji (2001) yaitu, ketinggian tempat berhubungan dengan
kelembaban, semakin tinggi suatu tempat maka kelembaban semakin tinggi.
Perubahan unsur cuaca dan iklim disebabkan oleh faktor topografi, ketinggian,
dan vegetasi.
Wilayah Kabupaten Cianjur secara topografis terbagi ke dalam 3 bagian,
yaitu Cianjur bagian utara, tengah, dan selatan. Cianjur bagian utara merupakan
dataran tinggi terletak di kaki Gunung Gede dengan ketinggian sekitar 2 962 m
dpl. Kecamatan Sukaresmi dan Kecamatan Pacet temasuk dalam wilayah Cianjur
bagian utara. Sebagian wilayah ini merupakan dataran tinggi pegunungan yang
terdapat perkebunan dan persawahan. Di bagian Barat dekat zona Bogor terdapat
Gunung Salak dengan ketinggian 2 210 m dpl yang merupakan Gunung Api
termuda dan sebagian besar permukaannya tertutup bahan vulkanik. Cianjur
bagian tengah merupakan daerah perbukitan, terdapat persawahan, perkebunan
yang dikelilingi oleh bukit-bukit kecil dengan struktur tanahnya yang labil.
Cianjur bagian selatan merupakan daerah dataran rendah yang terdiri dari bukitbukit kecil dan diselingi oleh pegunungan-pegunungan yang melebar ke Samudra
Indonesia, diantara bukit dan pegunungan terdapat pesawahan dan ladang huma.
Wilayah Cianjur Selatan termasuk Kecamatan Cidaun, Sindangbarang, dan
sekitarnya. Dataran terendah Cianjur Selatan mempunyai ketinggian sekitar 7 m
dpl (BPS Kabupaten Cianjur 2015).
Respons Fisiologis Frekuensi Pernafasan dan Suhu Rektal
Respon fisiologis merupakan indikator untuk menilai tingkat stres ternak
yang dipelihara. Respirasi adalah proses pertukaran gas sebagai bentuk kegiatan
fisik dan kimia dalam tubuh untuk mempertahankan suhu tubuh ternak akibat
pengaruh dari perubahan lingkungan sekitarnya. Oksigen diambil dari udara
sebagai bahan yang dibutuhkan jaringan tubuh dalam proses metabolisme.
Frekuensi respirasi bervariasi tergantung antara lain dari besar badan, umur,
aktivitas tubuh, kelelahan dan penuh tidaknya rumen. Kecepatan respirasi
meningkat sebanding dengan meningkatnya suhu lingkungan. Meningkatnya
frekuensi respirasi menunjukkan meningkatnya mekanisme tubuh untuk
mempertahankan keseimbangan fisiologis dalam tubuh hewan. Pada penelitian ini
menunjukkan bahwa frekuensi pernafasan dan suhu rektal pada kerbau betina
7
tidak dipengaruhi oleh umur tetapi dipengaruhi oleh perbedaan waktu. Frekuensi
pernafasan kerbau betina pada siang hari nyata lebih tinggi dibandingkan pada
pagi dan sore hari (P<0.05). Hasil pengamatan respon fisiologis frekuensi
pernafasan kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Respon fisiologis frekuensi pernafasan (kali menit-1) kerbau betina pada
umur dan waktu yang berbeda
Frekuensi Pernafasan (kali menit-1)
Umur
Rataan
(tahun)
Pagi
Siang
Sore
1.5-2.0
22.67±0.99
24.67±0.69
23.34±0.90
23.56±1.19
2.5-5.0
22.33±0.83
25.67±0.83
23.67±0.83
23.89±1.61
Rataan
22.50±0.91a
25.17±0.91b
23.50±0.86a
Angka yang disertai huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukan berbeda
nyata (P<0.05)
Suhu lingkungan pada waktu siang lebih tinggi dibandingkan pagi dan sore
yang menyebabkan meningkatnya frekuensi pernafasan dengan tujuan
mengoptimalkan suhu tubuh melalui respirasi. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Dwatmadji (2007) yaitu respirasi kerbau dalam keadaan normal sebesar
23.7 kali menit-1 pagi hari dan 22.9 kali menit-1 pada sore hari serta peningkatan
terjadi saat kerja sebesar 77.8 kali menit-1 pada pagi hari dan 83.4 kali menit-1 pada
sore hari. Pada penelitian Mauliaksa (2013), kerbau betina memiliki frekuensi
pernafasan 20.67 kali menit-1 pada siang hari dengan suhu lingkungan 25 °C dan
memiliki frekuensi pernafasan 17.83 kali menit-1 pada pagi hari dengan suhu
lingkungan 24 °C. Menurut Esmay (1978) peningkatan frekuensi pernafasan
merupakan salah satu cara hewan termasuk kerbau, untuk melakukan pembuangan
panas tubuh agar menjadi stabil. Kecepatan respirasi meningkat sebanding dengan
meningkatnya suhu lingkungan. Frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh ukuran
tubuh, umur, aktifitas fisik, suhu lingkungan, kondisi kesehatan hewan, dan posisi
hewan (Kelly 1984).
Kelembaban udara tinggi disertai suhu udara yang tinggi menyebabkan
meningkatnya frekuensi respirasi karena faktor lingkungan juga berpengaruh
terhadap tingkah laku ternak. Bila suhu lingkungan berada di atas atau di bawah
comfort zone, kerbau akan mempertahankan suhu tubuhnya dengan mengurangi
atau meningkatkan laju metabolisme. Peningkatan frekuensi pernafasan
menunjukan meningkatnya mekanisme tubuh untuk mempertahankan
keseimbangan fisiologis dalam tubuh hewan. Kelembaban yang tinggi akan
memperlambat proses pengeluaran panas secara evaporasi melalui respirasi
(Mader et al. 2006) yang dapat mengakibatkan kerbau meningkatkan respirasinya.
Peningkatan kelembaban pada sore hari menyebabkan terhambatnya pengeluaran
panas dalam tubuh akibat aktivitas di siang hari, sehingga frekuensi pernafasan
masih agak tinggi yang menunjukan kerbau betina masih dalam proses
menyeimbangkan kondisi tubuhnya dari perubahan kondisi lingkungan.
Suhu tubuh merupakan hasil dari 2 proses yaitu panas yang diterima dan
panas yang dilepaskan. Panas terutama dihasilkan oleh tubuh sebagai hasil
aktivitas metabolisme dan dilepaskan dari tubuh secara konduksi, konveksi,
radiasi dan evaporasi melalui kulit serta saluran pernafasan (Ewing 1999). Kerbau
termasuk dalam golongan hewan berdarah panas (homeotherm) yang berusaha
8
melepas panas berlebih sebagai usaha mempertahankan panas tubuh yang normal
dengan mekanisme pengeluaran keringat dan mempertinggi frekuensi pernafasan
(Bamualim dan Zulbardi 2008).
Setiap ternak mempunyai kisaran suhu lingkungan yang sesuai dalam
kelangsungan tumbuh kembangbiaknya yang disebut comfort zone. Kerbau dapat
hidup nyaman dengan temperatur lingkungan berkisar 16-24 °C, dengan batas
toleransi hingga 27.6 °C (Markvichitr 2006). Suhu tubuh normal kerbau berkisar
antara 38.2-38.4 °C dan berada dalam keseimbangan dengan suhu lingkungan
yang terdapat antara 22-33 °C (Payne 1991). Hasil pengamatan respons fisiologis
suhu rektal kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Respons fisiologis suhu
yang berbeda
Umur
(tahun)
Pagi
1.5-2.0
37.93±0.26
2.5-5.0
37.75±0.29
Rataan
37.84±0.29a
rektal (oC) kerbau betina pada umur dan waktu
Suhu Rektal (oC)
Siang
Sore
38.34±0.16
38.23±0.16
38.33±0.22
38.16±0.18
38.33±0.19b
38.20±0.17c
Rataan
38.17±0.26
38.08±0.33
Angka yang disertai huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukan berbeda
nyata (P<0.05)
Tabel 5 menunjukkan suhu rektal kerbau betina dipengaruhi oleh perbedaan
waktu (P<0.05), tetapi tidak ada interaksi. Suhu rektal kerbau betina pada siang
hari nyata lebih tinggi dibandingkan pada pagi dan sore hari. Pada hasil penelitian
Dwamadji (2007) menunjukan suhu rektal kerbau pada keadaan normal sebesar
36.7 °C pada pagi hari dan 38.1 °C pada sore hari. Pada penelitian Mauliaksa
(2013), kerbau betina memiliki suhu rektal yang sama sebesar 38.3 °C dalam
keadaan normal pada siang hari dengan suhu lingkungan sebesar 25 °C.
Meningkatnya suhu rektal kerbau betina disebabkan adanya peningkatan suhu
lingkungan pada siang hari dan terkena paparan sinar matahari langsung yang
mengakibatkan kerbau betina mengalami kenaikan temperatur suhu tubuh.
Termoregulasi adalah suatu mekanisme makhluk hidup untuk
mempertahankan suhu internal agar berada di dalam kisaran yang dapat ditolelir
(Campbell 2004). Kerbau mempertahankan suhu tubuhnya terhadap suhu
lingkungan yang fluktuatif selain itu kerbau harus mempertahankan keseimbangan
suhu tubuh antara panas yang diproduksi oleh tubuh dan panas yang didapat dari
lingkungannya. Penambahan panas tubuh kerbau dapat terjadi secara sensible
melalui mekanisme radiasi, konduksi, dan konveksi. Jalur utama pelepasan panas
melalui mekanisme evaporatif (heat loss) dengan cara pertukaran panas melalui
permukaan kulit (sweating) atau melalui pertukaran panas melalui saluran
pernapasan (panting) (Purwanto 1993) dan sebagian melalui feses dan urin
(McDowell 1972). Unsur iklim mikro yang dapat mempengaruhi produksi panas
dan pelepasan panas pada ternak adalah suhu dan kelembaban udara.
Kerbau memiliki kulit epidermis yang tebal tetapi memiliki pori-pori
kelenjar keringat hanya sedikit, sehingga pembuangan panas dengan cara
berkeringat tidak banyak. Selain itu, kerbau mempunyai bulu yang sangat sedikit,
sehingga mengurangi perlindungannya terhadap sinar matahari langsung. Hal
inilah yang menyebabkan kerbau kurang tahan terhadap sengatan sinar matahari
9
atau udara yang dingin (Hardjosubroto 1994). Kerbau yang terpapar langsung
sinar matahari selama 2 jam menyebabkan temperatur tubuh kerbau dapat
meningkat 1.3 °C (Smith dan Mangkoewidjojo 1987).
Pada sore hari terjadi penurunan suhu rektal kerbau betina yang cukup
lambat. Hal ini terjadi karena pada sore hari terjadi peningkatan kelembaban udara
sehingga pengeluaran panas secara evaporasi terjadi secara lambat, pembuangan
panas dalam tubuh terbatas dan dengan demikian keseimbangan termal ternak
terganggu (Chantalakhana dan Skunmun 2002). Kelembaban yang optimal untuk
ternak kerbau berkisar antara 60%-70% (Yurleni 2000). Tingkah laku kerbau pada
siang hari adalah mencari tempat berkubang dan bernaung untuk
menyeimbangkan panas dalam tubuh. Kerbau memiliki ciri-ciri perilaku adaptif
ketika suhu tubuhnya meningkat seperti mencari perlindungan, berkubang dan
atau menenggelamkan diri dalam air (Brijesh 2016).
Morfometrik Kerbau
Morfometrik merupakan pengukuran bagian tubuh pada hewan untuk
mengetahui ukuran pada setiap fase pertumbuhannya dan menaksir bobot badan.
Pertumbuhan adalah salah satu faktor dalam menentukan produktivitas ternak.
Pertumbuhan ternak diukur dengan bertambahnya berat badan. Bobot badan dapat
diketahui melalui pengukuran tinggi pundak, panjang badan, dan lingkar dada
(Haryadi dan Anggraeni 2010). Pengukuran morfometrik kerbau telah dibedakan
dalam 2 kelompok umur dan ketinggian. Hasil pengukuran panjang badan kerbau
betina dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Panjang badan kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian
Panjang Badan
Umur
Rataan
(tahun)
Dataran Rendah
Dataran Tinggi
(cm)
1.5-2.0
96.50±8.04
106.33±11.57
101.42±10.73b
2.5-5.0
118.67±5.47
122.33±8.98
120.50±7.22a
Rataan
107.58±13.26
114.33±12.85
Angka yang disertai huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukan berbeda
nyata (P<0.05)
Perbedaan umur kerbau lumpur betina berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap
panjang badan kerbau, tetapi interaksi keduanya tidak nyata. Panjang badan
kerbau betina dewasa nyata lebih tinggi daripada kerbau betina anakan. Panjang
badan kerbau betina tidak dipengaruhi oleh ketinggian yang berbeda. Menurut
hasil penelitian kerbau lumpur betina di Kabupaten Tapanuli Utara oleh Gerli et
al. (2013), panjang badan umur 2-3.5 tahun sebesar 118.25±1.5 cm dan umur 3.57 tahun sebesar 127.98±2.41 cm, sedangkan hasil penelitian kerbau betina di
Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak oleh Saroji et al. (2010), panjang badan
umur ≤2 tahun sebesar 82.40±20.71 cm dan umur 2-4 tahun sebesar 108.40±16.46
cm. Hasil pengukuran tinggi badan kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 7.
10
Tabel 7 Tinggi badan kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian
Umur
(tahun)
1.5-2.0
2.5-5.0
Rataan
Tinggi Badan
Dataran Rendah
Dataran Tinggi
(cm)
105.75±9.49
110.17±4.78
121.67±3.50
123.17±4.76
113.71±10.78
116.67±8.14
Rataan
107.96±7.59b
122.42±3.96a
Angka yang disertai huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukan berbeda
nyata (P<0.05)
Perbedaan umur kerbau lumpur betina berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap
tinggi badan kerbau, tetapi interaksi keduanya tidak nyata. Tinggi badan kerbau
betina dewasa nyata lebih tinggi daripada kerbau betina anakan. Tinggi badan
kerbau betina tidak dipengaruhi oleh ketinggian yang berbeda. Menurut hasil
penelitian kerbau lumpur betina di Kabupaten Tapanuli Utara oleh Gerli et al.
(2013), tinggi badan umur 2-3.5 tahun sebesar 112.75±0.5 cm dan umur 3.5-7
tahun sebesar 125.14±2.44 cm, sedangkan hasil penelitian kerbau betina di
Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak oleh Saroji et al. (2010), tinggi badan
umur ≤2 tahun sebesar 86.30±14.91 cm dan umur 2-4 tahun sebesar 106.40±12.36
cm. Hasil pengukuran lingkar dada kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Lingkar dada kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian
Lingkar Dada
Umur
Rataan
(tahun)
Dataran Rendah
Dataran Tinggi
(cm)
1.5-2.0
2.5-5.0
Rataan
146.58±14.95
176.33±7.20
161.46±19.14
150.17±8.01
179.50±15.98
164.83±19.47
148.38±11.56b
177.92±11.91a
Angka yang disertai huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukan berbeda
nyata (P<0.05)
Perbedaan umur kerbau lumpur betina berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap
lingkar dada kerbau, tetapi interaksi keduanya tidak nyata. Lingkar dada kerbau
betina dewasa nyata lebih tinggi daripada kerbau betina anakan. Lingkar dada
kerbau betina tidak dipengaruhi oleh ketinggian yang berbeda. Menurut hasil
penelitian kerbau lumpur betina di Kabupaten Tapanuli Utara oleh Gerli et al.
(2013), lingkar dada umur 2-3.5 tahun sebesar 152.00±4.69 cm dan umur 3.5-7
tahun sebesar 188.74±7.76 cm, sedangkan hasil penelitian kerbau betina di
Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak oleh Saroji et al. (2010), lingkar dada
umur ≤2 tahun sebesar 116.10±21.96 cm dan umur 2-4 tahun sebesar
152.00±23.88 cm. Hasil pengukuran lebar dada kerbau betina dapat dilihat pada
Tabel 9.
11
Tabel 9 Lebar dada kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian
Lebar Dada
Umur
Rataan
(tahun)
Dataran Rendah
Dataran Tinggi
(cm)
1.5-2.0
33.67±3.74c
37.33±2.18bc
35.50±3.44
2.5-5.0
40.75±2.19b
49.58±5.72a
45.17±6.13
Rataan
37.21±4.60
43.46±7.62
Angka yang disertai huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukan berbeda
nyata (P<0.05)
Perbedaan umur, ketinggian, dan interaksi antara keduanya berpengaruh
nyata (P<0.05) terhadap lebar dada kerbau lumpur betina. Lebar dada kerbau
betina dewasa nyata lebih tinggi daripada kerbau betina anakan. Lebar dada
kerbau betina di dataran tinggi nyata lebih tinggi daripada di dataran rendah.
Lebar dada kerbau betina dewasa nyata lebih tinggi (P<0.05) daripada kerbau
betina anakan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Menurut hasil
penelitian kerbau lumpur betina di Kabupaten Tapanuli Utara oleh Gerli et al.
(2013), lebar dada umur 2-3.5 tahun sebesar 36.75±0.96 cm dan umur 3.5-7 tahun
sebesar 39.98±3.00 cm. Menurut hasil penelitian kerbau lumpur betina di
Kabupaten Cianjur oleh Komariah et al. (2015), lebar dada di dataran rendah
sebesar 38.32±4.59 cm, sedangkan di dataran tinggi sebesar 65.60±11.04 cm.
Hasil pengukuran lebar pinggul kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Lebar pinggul kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian
Lebar Pinggul
Umur
Rataan
(tahun)
Dataran Rendah
Dataran Tinggi
(cm)
1.5-2.0
39.42±3.12
41.25±1.94
40.33±2.65b
2.5-5.0
48.67±3.83
49.33±7.26
49.00±5.54a
Rataan
44.04±5.76
45.29±6.68
Angka yang disertai huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukan berbeda
nyata (P<0.05)
Perbedaan umur kerbau lumpur betina berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap
lebar pinggul kerbau, tetapi interaksi keduanya tidak nyata. Lebar pinggul kerbau
betina dewasa nyata lebih tinggi daripada kerbau betina anakan. Lebar pinggul
kerbau betina tidak dipengaruhi oleh ketinggian yang berbeda. Menurut hasil
penelitian kerbau lumpur betina di Kabupaten Tapanuli Utara oleh Gerli et al.
(2013), lebar pinggul umur 2-3.5 tahun sebesar 41.75±1.26 cm dan umur 3.5-7
tahun sebesar 47.35±3.23 cm. Hasil pengamatan body condition score kerbau
betina dapat dilihat pada Tabel 11.
12
Tabel 11 Body Condition Score kerbau betina pada perbedaan umur dan
ketinggian
Body Condition Score (BCS)
Umur
Rataan
(tahun)
Dataran Rendah
Dataran Tinggi
(cm)
1.5-2.0
2.17±0.41
2.83±0.41
2.50±0.52
2.5-5.0
2.33±0.52
3.00±0.00
2.67±0.49
Rataan
2.25±0.45b
2.92±0.29a
Angka yang disertai huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukan berbeda
nyata (P<0.05)
Perbedaan ketinggian berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap Body Condition
Score (BCS) kerbau betina, tetapi interaksi keduanya tidak nyata. BCS kerbau
betina di dataran tinggi nyata lebih tinggi daripada kerbau betina di dataran
rendah. Perbedaan umur kerbau betina tidak berpengaruh terhadap BCS kerbau
betina. Menurut hasil penelitian kerbau lumpur betina di Kabupaten Cianjur oleh
Komariah et al. (2015), BCS di dataran rendah sebesar 1-4, sedangkan di dataran
tinggi sebesar 3-4.
Kerbau betina di dataran tinggi memiliki ukuran tubuh lebih besar
dibandingkan dengan kerbau betina di dataran rendah. Kondisi suhu yang rendah
pada daerah dataran tinggi memberikan situasi lingkungan yang lebih kondusif
bagi pertumbuhan ternak kerbau (Prawiradiputra et al. 2006), sehingga kerbau
memiliki nafsu makan lebih banyak yang mempengaruhi bentuk ukuran tubuh
lebih besar dibandingkan di dataran rendah.
Temperatur lingkungan mempengaruhi penggunaan energi yang diperoleh
ternak dari makanan, produksi panas, dan disipasi panas hewan ternak ke
lingkungannya. Produktivitas ternak dicerminkan oleh performanya, sedangkan
performa ternak merupakan manifestasi pengaruh genetik dan lingkungan ternak
secara bersama. Faktor utama yang mempengaruhi tingkat produktivitas ternak
adalah lingkungan dan genetik. Penambahan panas dari radiasi matahari di daerah
tropis dapat mencapai 4 kali lebih besar dari produksi panas hasil metabolisme
(Thwaites 1985). Besarnya penambahan panas ini tergantung pada ukuran tubuh
ternak. Makin kecil ukuran tubuh seekor ternak, akan mendapatkan penambahan
panas yang lebih tinggi dari ternak yang lebih besar ukuran tubuhnya. Perolehan
panas dari luar tubuh (heat gain) akan menambah beban panas bagi ternak, bila
suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman.
Kerbau dapat mengalami heat stress apabila perubahan suhu lingkungan
meningkat sehingga mempengaruhi efisiensi pakan kerbau dengan tidak banyak
melakukan pergerakan untuk menjaga suhu tubuhnya agar tetap stabil. Hilangnya
zat makanan terjadi akibat kerbau sering berkeringat dan mengeluarkan air ludah
sehingga semakin banyak zat makanan yang hilang. Pada ternak ruminansia
apabila berkeringat, maka akan kehilangan air dan mineral dari dalam tubuhnya.
Menurunnya nafsu makan pada kerbau disebabkan terjadi peningkatan suhu
lingkungan yang sangat tinggi sehingga feed intake pada kerbau akan menurun
dan juga mempengaruhinya lamanya merumput dan akhirnya juga mempengaruhi
produktifitas dari kerbau. Kerbau meningkatkan aktivitas termoregulasi guna
mengatasi beban panas yang dideritanya.
13
Mekanisme fisiologis mengharuskan alokasi energi untuk kinerja produksi
maupun reproduksi yang dipakai untuk mempertahankan keseimbangan panas
tubuh sehingga berdampak buruk dengan penurunan produktivitas kerbau.
Penempatan kerbau dalam mempertahankan zona nyamannya terhadap perubahan
kondisi lingkungan sekitar dengan adanya peningkatan fisiologis pada kerbau
yang guna meningkatkan laju metabolisme untuk mengeluarkan dan
menyeimbangkan panas tubuh kerbau yang diterima dari lingkungan dan
dihasilkan di dalam tubuh, sehingga energi yang tersimpan untuk pertumbuhan
kerbau hanya sedikit yang mengakibatkan performa kerbau menurun. Kerbau
memiliki perilaku adaptif untuk mengendalikan panas yang diterima dengan
berkubang sehingga energi yang terbuang dapat diminimalkan.
Performa kerbau yang berbeda antara ketinggian bisa disebabkan perbedaan
sistem manajemen pemeliharaan. Faktor pemberian pakan berpengaruh cukup
besar terhadap ukuran tubuh kerbau. Agrosistem pada dataran tinggi lebih baik
sehingga pakan dengan kualitas tinggi tersedia banyak pada dataran tinggi
dibandingkan dataran rendah. Berdasarkan hasil tingkat pendidikan peternak dan
skala kepemilikan ternak kerbau (Tabel 3), tingkat pendidikan peternak di
ketinggian yang berbeda tergolong rendah yaitu Sekolah Dasar dan hanya ada
lulusan sarjana di dataran rendah, serta skala kepemilikan ternak kerbau di dataran
rendah tertinggi dan mencapai lebih dari 4 ekor, sedangkan di dataran tinggi
paling banyak hanya 3-4 ekor. Menurut Komariah (2015), skala kepemilikan
ternak kerbau pada dataran tinggi 1-2 ekor, sementara di dataran rendah tertinggi
adalah 3-4 ekor, serta tingkat pendidikan pada dataran tinggi dan dataran rendah
mayoritas Sekolah Dasar.
Tingkat pendidikan mempengaruhi cara berfikir seseorang dalam
mengambil keputusan dan logika berfikir yang berpendidikan selama menempuh
studi serta memiliki kemampuan dalam mengunakan teknologi sehingga mampu
meningkatkan efisiensi dan memudahkan kinerja peternak dalam memelihara
kerbau. Skala kepemilikan ternak kerbau di dataran rendah lebih banyak
dibandingkan dataran tinggi sehingga akan membutuhkan pakan yang lebih
banyak dan tingkat perhatian peternak ke ternak kerbau betina tidak maksimal
sementara kemampuan peternak dalam menyediakan pakan sangat terbatas karena
pakan yang tersedia di lahan sekitar hanya sedikit yang menyebabkan ternak
kerbau diberi pakan seadanya dan jika pakan sulit dicari oleh peternak kerbau
dibiarkan lepas untuk mencari pakan sendiri. Jarak antar desa peternak kerbau di
dataran rendah sangat jauh menyebabkan tingkat informasi yang didapatkan
hanya sedikit. Pengetahuan peternak dalam memelihara kerbau betina sangatlah
penting sehingga tingkat inbreeding pada kerbau dapat dicegah agar tidak
mengakibatkan penurunan performa kerbau betina.
14
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perubahan suhu dan kelembaban pada siang hari mempengaruhi
peningkatan respon fisiologis pada kerbau betina. Kerbau betina di dataran tinggi
memiliki potensi performa lebih baik dibandingkan di dataran rendah. Performa
kerbau lumpur betina di Kabupaten Cianjur wilayah dataran tinggi lebih baik
dibandingkan di dataran rendah.
Saran
Penetapan sentra kerbau lumpur di Kabupaten Cianjur sebaiknya di dataran
tinggi karena mampu menunjang ketersediaan pakan hijauan dan memiliki suhu
lingkungan yang nyaman untuk pertumbuhan kerbau betina. Penelitian
selanjutnya perlu adanya perlakuan pemberian pakan hijauan dan pengamatan
pengaruh mikroklimat terhadap pertumbuhan perkembangan kerbau betina.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur. 2015. Kabupaten Cianjur Dalam
Angka 2015. Cianjur (ID): BPS Kabupaten Cianjur.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Populasi dan Produksi Daging Kerbau
Menurut Provinsi. [Internet] [diunduh 2016 Oktober 25]. Tersedia
pada:http://bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1020
Anderson RR, Collier RJ, Guidry AJ, Heald CW, Jenness R, Larson BL, Tucker
HA. 1985. Lactation. Iowa (US): The IOWA University Pr.
Bamualim AM, Zulbardi M. 2008. Situasi dan keberadaan ternak kerbau di
Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha ternak
kerbau. Jambi (ID): Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Batanghari.
Brijesh Y, Vijay P, Sarvajeet Y, Yajuvendra S, Vinod K, Rajneesh S. 2016. Effect
of misting and wallowing cooling systems on milk yield, blood and
physiological variables during heat stress in lactating Murrah buffalo. J
Anim Sci Technol. 58:2.
Chantalakhana, Skunmun P. 2002. Sustainable Smallholder Animal Systems in the
Tropics. Bangkok (TH): Kasetsart University Pr.
Dwatmadji, Ipantri. 2007. Pengaruh kerja “Melunyah” terhadap kondisi fisiologis
pada kerbau rawa di Kabupaten Bengkulu Selatan. J Sain Petern Indonesia.
2:1.
15
Erdiansyah E, Anggraeni A. 2008. Keagaman fenotipe dan pendugaan jarak
genetic antara subpopulasi kerbau rawa lokal di Kabupaten Dompu, Nusa
Tenggara Barat. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak
Kebau Tanah Toraja. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. P. 55-67.
Esmay ML. 1978. Principle of Animal Environmental. Connecticut (US): AVI
Publishing Company, Inc.
Ewing SA, Lay DCJR, Borell EV. 1999. Farm Animal Well Being. Stress
Physiology, Animal Behavior, and Environmental Design. New Jersey (US):
Prentice-Hall Inc.
Gazpersz V. 1999. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Bandung (ID):
Tarsito.
Gerli, Hamdan, Daulay AH. 2013. Karakteristik morfologi ukuran tubuh kerbau
murah dan kerbau rawa di BPTU Siborongborong. J Petern Integ. 1:3.
Handoko. 1995. Klimatologi Dasar, Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan
Unsur-Unsur Iklim. Jakarta (ID): PT. Dunia Pustaka Jaya.
Hardjosubroto W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta
(ID): Gramedia Widiasarana Indonesia.
Haryadi A, Anggraeni A. 2010. Sistem budidaya dan performans tubuh kerbau
rawa di Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat. Prosiding Seminar
dan Lokakarya Nasional Kerbau. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. London (UK): Bailliere Tindall.
Komariah, Sumantri C, Nuraini H, Nurdiati S, Mulatsih S. 2015. Performans
kerbau lumpur dan strategi pengembangannya pada daerah dengan
ketinggian berbeda di Kabupaten Cianjur. J Vet. 16:4
Komariah, Sumantri C, Nuraini H, Nurdiati S, Mulatsih S. 2015. Potency and
development strategies of swamp buffaloes at different topography in
Cianjur District West Java Indonesia. International Journal of Sciences:
Basic and Applied Research (IJSBAR). 23(2): 260-270.
Mader TL, Davis MS, Brown-Brandl T. 2006. Enviromental factors influencing
heat stress in feedlot cattle. J Anim Sci. 84: 712-719.
Markvichitr K. 2006. Role of reactive oxygen species in the buffalo sperm fertility
assessment. Prosiding International Seminar The Artificial Reproductive
Bioterchnologies for Buffaloes. Bogor (ID): ICARD and FFTC-ASPA. P.
68-78.
Mauliaksa. 2013. Adaptasi dan daya tahan panas pada kerbau lumpur di
Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang [skripsi]. Makassar (ID): Universitas
Hasanuddin.
McDowell RE. 1974. The Environment Versus Man and His Animals. San
Fransisco (US): WH Freeman and Co
Payne RC, Sukanto IP, Diauham D, Partoutomo S, Wuson AJ, Jones TW, Bold R,
Luckins AG. 1991. Trypanosoma evansi infection in cattle, buffaloes and
horses in Indonesia. J Vet Parasitol. 38: 109-119.
Prawiradiputra BR, Purwantari ND, Herdiawan I. 2006. Hijauan Pakan Ternak di
Indonesia. Bogor (ID): Badan Litbang Pertanian
Purwanto BP. 1993. Heat and energy balance in dairy cattle under high
environmental temperatute [tesis]. Hiroshima (JP): Hiroshima University
16
Purwanto, Hardjosubroto W, Kustono, Ngadiyono. 1991. Performan produksi dan
reproduksi kambing peranakan etawah dan bligon. Prosiding Seminar
Nasional Peternakan Yogyakarta. P. 104-108.
Rutter SM, Champion RA, Penning PD. 2000. An automatic system to record
foraging behaviour in free-ranging ruminants. Appl Anim Behav Sci. 54:185.
Saroji, Sitompul RE, Jakaria, Sumantri C. 2010. Karakteristik ukuran tubuh
kerbau rawa di Kabupaten Lebak dan Pandeglang Provinsi Banten.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor. P. 36-42
Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1987. The Care, Breeding and Management of
Experimental Animals for Research in the Tropics. Canberra (AU):
International Development Program of Australian Universities and Colleges
Limited (IDP).
Thwaites CJ. 1985. Physiological Responses and Productivity in Sheep. Florida
(US): CRC Press, Inc.
Yurleni. 2000. Produktivitas dan peluang pengembangan ternak kerbau di
Propinsi Jambi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
17
LAMPIRAN
Lampiran 1 Analysis of variance respon fisiologis 6 parameter
Tabel ANOVA frekuensi pernafasan kerbau betina antara pagi dan sore
SKa
dbb
JKc
KTd
Fhite
Ftabf
Umur
1
2.87E-30
2.87E-30
0.00
1.00
Waktu
1
12.00
12.00
2.71
0.11
Umur*Waktu 1
1.33
1.33
0.30
0.59
Error
44
194.67
4.42
Total
47
208.00
a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f =
Ftabel.
Tabel ANOVA frekuensi pernafasan kerbau betina antara pagi dan siang
SKa
dbb
JKc
KTd
Fhite
Ftabf
Umur
1
1.33
1.33
0.26
0.61
Waktu
1
85.33
85.33
16.56
0.00
Umur*Waktu 1
5.33
5.33
1.04
0.32
Error
44
226.67
5.15
Total
47
318.67
a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f =
Ftabel.
Tabel ANOVA frekuensi pernafasan kerbau betina antara siang dan sore
SKa
dbb
JKc
KTd
Fhite
Ftabf
Umur
1
5.33
5.33
0.97
0.33
Waktu
1
33.33
33.33
6.04
0.02
Umur*Waktu 1
1.33
1.33
0.24
0.63
Error
44
242.67
5.52
Total
47
282.67
a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f =
Ftabel.
Tabel ANOVA suhu rektal kerbau betina antara pagi dan siang
SKa
dbb
JKc
KTd
Fhite
Umur
1
0.12
0.12
2.10
Waktu
1
2.90
2.90
50.89
Umur*Waktu 1
0.08
0.08
1.46
Error
44
2.51
0.06
Total
47
5.61
Ftabf
0.15
0.00
0.23
a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f =
Ftabel.
18
Tabel ANOVA suhu rektal kerbau betina antara siang dan sore
SKa
dbb
JKc
KTd
Fhite
Umur
1
0.03
0.03
0.76
Waktu
1
0.23
0.23
6.80
Umur*Waktu 1
0.01
0.01
0.31
Error
44
1.47
0.03
Total
47
1.73
Ftabf
0.39
0.01
0.58
a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f =
Ftabel.
Tabel ANOVA suhu rektal kerbau betina antara pagi dan sore
SKa
dbb
JKc
KTd
Fhite
Umur
1
0.20
0.20
3.81
Waktu
1
1.51
1.51
28.64
Umur*Waktu 1
0.04
0.04
0.67
Error
44
2.31
0.05
Total
47
4.05
Ftabf
0.06
0.00
0.42
a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f =
Ftabel.
Lampiran 2 Analysis of variance morfometri kerbau 6 parameter
Tabel ANOVA panjang badan
SKa
dbb
JKc
Dataran
1
273.37
Umur
1
2 185.04
Dataran*Umur 1
57.04
Error
20
1 545.00
Total
23
4 060.46
KTd
273.37
2 185.04
57.04
77.25
Fhite
3.54
28.29
0.74
Ftabf
0.08
0.00
0.40
a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f =
Ftabel.
Tabel ANOVA lingkar dada
SKa
dbb
JKc
Dataran
1
68.34
Umur
1
5 236.26
Dataran*Umur 1
0.26
Error
20
2 974.87
Total
23
8 279.74
KTd
68.34
5 236.26
0.26
148.74
Fhite
0.46
35.20
0.00
Ftabf
0.51
0.00
0.97
a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f =
Ftabel.
19
Tabel ANOVA lebar dada
SKa
dbb
JKc
Dataran
1
234.38
Umur
1
560.67
Dataran*Umur 1
40.04
Error
20
281.25
Total
23
1 116.33
KTd
234.38
560.67
40.04
14.06
Fhite
16.67
39.87
2.85
Ftabf
0.00
0.00
0.11
a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f =
Ftabel.
Tabel ANOVA Body Condition Scoring
SKa
dbb
JKc
Dataran
1
2.67
Umur
1
0.17
Dataran*Umur 1
1.40E-32
Error
20
3.00
Total
23
5.83
KTd
2.67
0.17
1.40E-32
0.15
Fhite
17.78
1.11
0.00
Ftabf
0.00
0.30
1.00
a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f =
Ftabel.
Tabel ANOVA lebar pinggul
SKa
dbb
Dataran
1
Umur
1
Dataran*Umur 1
Error
20
Total
23
JKc
9.38
450.67
2.04
404.25
866.33
KTd
9.38
450.67
2.04
20.2
Fhite
0.46
22.30
0.10
Ftabf
0.50
0.00
0.75
a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f =
Ftabel.
Tabel ANOVA tinggi badan
SKa
dbb
Dataran
1
Umur
1
Dataran*Umur 1
Error
20
Total
23
JKc
52.51
1 254.26
12.76
738.87
2 058.41
KTd
52.51
1 254.26
12.76
36.94
Fhite
1.42
33.95
0.35
Ftabf
0.25
0.00
0.56
a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f =
Ftabel.
20
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Desember 1994. Penulis
merupakan anak pertama dari 2 bersaudara pasangan Bapak Maymuchar dan Ibu
Selena Madini. Penulis mengawali pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) pada
tahun 1999 di TK Ceria Kembar. Penulis melanjutkan pendidikan sekolah dasar di
SD Yayasan Pendidikan Islam “45” Bekasi pada tahun 2000 dan lulus pada tahun
2006. Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di SMP-IT Thariq Bin
Ziyad Bekasi dan lulus pada tahun 2009. Penulis melanjutkan pendidikan Sekolah
Menengah Atas di SMA-IT Thariq Bin Ziyad Bekasi dan lulus pada tahun 2012.
Penulis melanjutkan pendidikan S1 di Institut Pertanian Bogor pada tahun
2012 melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM) dan diterima di Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Selama menjadi
mahasiswa penulis aktif sebagai pengurus organisasi mahasiswa BEM-D (Badan
Eksekutif Mahasiswa Peternakan) sebagai anggota Divisi Fundrising pada periode
2013-2014 dan sebagai bendahara Divisi Kemitraan dan Bisnis pada periode
2014-2015 serta pengurus organisasi mahasiswa FAMM Al-Amm (Forum
Anggota Mahasiswa Muslim Fakultas Peternakan) sebagai anggota Divisi
Fundrising Fakultas Peternakan periode 2013-2014. Selain itu penulis aktif di
beberapa kegiatan kepanitiaan, seperti Ketua Koordinator Tenis Lapang Fakultas
Peternakan 2014, Bendahara Makrab Angkatan-50 2014 dan, Anggota Divisi
Fundrising Livestockphoria 2013 dan 2014.
Pada tahun 2015 penulis mengikuti program Kuliah Kerja Profesi di Kec.
Sukatani Kabupaten Purwakarta. Sebagai syarat memperoleh gelar sarjana pada
Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, penulis
menyusun skripsi dengan judul Respon Fisiologis dan Performa Produksi Kerbau
Lumpur Betina pada Ketinggian dan Umur yang Berbeda.
Download