RESPON FISIOLOGIS DAN PERFORMA PRODUKSI KERBAU LUMPUR BETINA PADA KETINGGIAN DAN UMUR YANG BERBEDA RIFQI ABDURRAHMAN DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respon Fisiologis dan Performa Produksi Kerbau Lumpur Betina pada Ketinggian dan Umur yang Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2017 Rifqi Abdurrahman NIM D14120096 ABSTRAK RIFQI ABDURRAHMAN. Respon Fisiologis dan Performa Produksi Kerbau Lumpur Betina pada Ketinggian dan Umur yang Berbeda. Dibimbing oleh KOMARIAH dan KOEKOEH SANTOSO. Perkembangan peternakan kerbau di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan hewan ternak lain. Populasi kerbau rendah karena performa produksi menurun, keterbatasan bibit unggul, mutu pakan yang rendah, tingkat pertumbuhan lambat, dan inbreeding tinggi. Faktor lingkungan khususnya suhu dan kelembaban juga dapat mempengaruhi produktivitas dan kondisi fisiologis kerbau. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh perbedaan kondisi lingkungan dan umur terhadap respon fisiologis serta performa produksi kerbau betina. Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Pacet, Kecamatan Sukaresmi, dan Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Variabel yang diamati adalah performa produksi kerbau yaitu nilai morfologis, dan respon fisiologis yang dinilai berdasarkan suhu rektal dan frekuensi pernafasan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial (2x2). Hasil penelitian menunjukkan frekuensi pernafasan dan suhu rektal kerbau betina pada siang hari nyata lebih tinggi dibandingkan pada pagi dan sore hari (P<0.05). Morfometrik lebar dada dan BCS pada kerbau betina dipengaruhi (P<0.05) oleh ketinggian tempat yang berbeda. Respon fisiologis dan performa kerbau betina di dataran tinggi lebih baik dibandingkan di dataran rendah. Kata kunci: kerbau, lingkungan, performa, respon fisiologis ABSTRACT RIFQI ABDURRAHMAN. Physiological Responseand Production Performance of Females Swamp Buffalo in Different Altitudes and Age. Supervised by KOMARIAH and KOEKOEH SANTOSO. The progress of buffalo husbandry in Indonesia is still relatively low compared with the development of other farm animals. Buffalo’s population decrease due to declining production performance, influenced by the constraints of quality seeds, poor feed quality, slow growth rate, and high inbreeding. Environmental factors include temperature and humidity can also affect the productivity and buffaloes physiological conditions. The aimed of this study to analyze the effect of different environmental conditions and the age of physiological response and production performance of female buffaloes. The research located in Pacet, Sukaresmi, and Sindangbarang Subdistrict, Cianjur District, West Java. The variables were measured buffalo production performance based on the value of morphological and physiological responses assessed by the rectal temperature and respiratory frequency. Data obtained would be process with Completely Randomized Factorial Design (2x2). The result showed that respiratory rate and rectal temperature female buffalo during the daylight were significantly higher than in the morning and afternoon (P<0.05). Morphometric wide chest and body condition score on female buffalo were influenced (P<0.05) by different altitude. Physiological response and performance of female buffalo on the highland were better than in the lowlands. Key words: buffalo, environment, performance, physiological responses. RESPON FISIOLOGIS DAN PERFORMA PRODUKSI KERBAU LUMPUR BETINA PADA KETINGGIAN DAN UMUR YANG BERBEDA RIFQI ABDURRAHMAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017 Judul Skripsi : Respon Fisiologis dan Performa Produksi Kerbau Lumpur Betina pada Ketinggian dan Umur yang Berbeda Nama : Rifqi Abdurrahman NIM : D14120096 Disetujui oleh Dr Ir Komariah, MSi Pembimbing I Dr Drh Koekoeh Santoso Pembimbing II Diketahui oleh Dr Irma Isnafia Arief, SPt MSi Ketua Departemen Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Salawat dan salam semoga senantiasa terlimpah dan tercurah kepada Rasulullah SAW, serta para sahabat, keluarga, dan pengikutnya. Skripsi yang berjudul Respon Fisiologis dan Performa Produksi Kerbau Lumpur Betina pada Ketinggian dan Umur yang Berbeda merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Komariah, MSi dan Dr Drh Koekoeh Santoso selaku pembimbing skripsi, atas waktu, saran, serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan tugas akhir. Terima kasih kepada Sigid Prabowo, SPt MSc selaku dosen pembahas seminar, atas waktu dan sarannya. Terima kasih kepada Ir Rini Herlina Mulyono, MSi dan Dr Ir Afton Atabany, MSi selaku dosen penguji sidang, atas waktu dan sarannya. Terima kasih kepada Bramada Winiar Putra, SPt MSi selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan selama penulis menjalankan studi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Staff Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Cianjur dan petugas Pusat Kesehatan Hewan Sarongge atas bantuannya selama penelitian. Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Ibu, Ayah, Yasmin, dan seluruh keluarga besar atas doa, serta dukungan yang diberikan. Ucapan terima kasih kepada Rehino, Yudi, Satria, Qoim, Teguh, Ady, Muthmainnah, Syifa, Dadang, dan teman seangkatan IPTP 49, yang selalu memberi motivasi, bantuan, dan dukungan selama berjuang menempuh pendidikan di Fakultas Peternakan IPB. Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini terdapat kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca. Bogor, Mei 2017 Rifqi Abdurrahman DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan Alat Prosedur Identifikasi Kondisi Lingkungan Respons Fisiologis Kerbau Analisis Performa Kerbau Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Respons Fisiologis Frekuensi Pernafasan dan Suhu Rektal Morfometrik Kerbau SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP vi vi vi 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 3 3 4 5 5 6 9 14 14 17 20 DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Deskripsi penilaian Body Condition Score (BCS) Data rataan unsur cuaca lingkungan penelitian Tingkat pendidikan peternak dan skala kepemilikan ternak kerbau Respon fisiologis frekuensi pernafasan (kali menit-1) kerbau betina pada umur dan waktu yang berbeda Respons fisiologis suhu rektal (oC) kerbau betina pada umur dan waktu yang berbeda Panjang badan kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian Tinggi badan kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian Lingkar dada kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian Lebar dada kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian Lebar pinggul kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian Body Condition Score kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian 3 5 5 7 8 9 10 10 11 11 12 DAFTAR GAMBAR 1 Model pengukuran morfometrik pada kerbau 4 DAFTAR LAMPIRAN 1 Analysis of variance respon fisiologis 2 Analysis of variance morfometri 17 18 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Peternakan kerbau di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan hewan ternak lain. Kerbau berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia karena kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan ternak kerbau. Populasi kerbau di Indonesia pada tahun 2015 sekitar 1 346 917 ekor menurun dari 1 999 604 ekor pada tahun 2010 dengan produksi daging pada tahun 2015 yaitu 35 410 kg pada tahun 2010 sebesar 35 914 kg (BPS 2015), sedangkan populasi kerbau di Kabupaten Cianjur berjumlah 9 875 ekor pada tahun 2013 dan menurun menjadi 8 997 ekor di tahun 2014 (BPS Kabupaten Cianjur 2015). Penurunan populasi kerbau disebabkan keterbatasan bibit unggul, mutu pakan rendah, tingkat pertumbuhan lambat, inbreeding tinggi, persepsi negatif masyarakat terhadap daging kerbau alot dan lebih kasar, lemak berwarna kuning serta faktor lingkungan ternak yang tidak nyaman sehingga produktivitas dan fisiologis dari ternak terganggu. Menurut Purwanto et al. (1991) faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas ternak ialah iklim. Perubahan iklim seperti suhu dan kelembaban udara akan nyata mempengaruhi respon fisiologi ternak, seperti suhu rektal, frekuensi pernapasan, dan denyut jantung. Lingkungan dapat berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap ternak. Pengaruh lingkungan secara langsung yaitu terhadap tingkat produksi melalui metabolisme basal, konsumsi makanan, gerak laju makanan, kebutuhan pemeliharaan, reproduksi pertumbuhan dan produksi susu, sedangkan pengaruh tidak langsung berhubungan dengan kualitas dan ketersediaan makanan (Anderson et al. 1985). Perbedaan kondisi lingkungan dan ketinggian yang berbeda dapat mempengaruhi kondisi fisiologis ternak kerbau seperti di beberapa Kecamatan Kabupaten Cianjur. Suhu rata-rata di Kabupaten Cianjur antara 17-32 oC dengan kelembaban antara 60%-80% (BPS Kabupaten Cianjur 2015). Pengaruh perbedaan lingkungan terhadap respon fisiologis kerbau perlu diketahui lebih lanjut untuk mengetahui produktivitas kerbau. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh perbedaan kondisi lingkungan dan umur terhadap respon fisiologis dan performa produksi kerbau betina. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai wilayah yang cocok untuk pengembangan ternak kerbau. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini menggunakan sampel kerbau lumpur betina dewasa dan kerbau lumpur betina anakan dengan sampel sebanyak 24 ekor. 2 Pengamatan kondisi lingkungan dilakukan dengan mengukur suhu lingkungan dan kelembaban udara. Pengamatan respon fisiologis dengan mengukur suhu rektal dan frekuensi pernafasan kerbau betina. Analisis performa kerbau dengan mengukur nilai Body Condition Score (BCS) dan karakteristik morfometrik kerbau betina. Analisis data menggunakan Rancangan Acal Lengkap (RAL) Pola Faktorial. METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-April 2016. Lokasi penelitian dilakukan di Desa Ciputri, Kecamatan Pacet dan Desa Ciwalen, Kecamatan Sukaresmi sebagai kategori dataran tinggi, serta Desa Muaracikadu, Kecamatan Sindangbarang sebagai kategori dataran rendah, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerbau lumpur (B. bubalis carabanensis) betina yang dipilih secara sengaja menggunakan metode purposive sampling. Ternak terdiri atas 12 ekor kerbau indukan produktif pada umur ≥2.5-5 tahun dengan rataan 3.5 tahun dan 12 ekor anak kerbau betina pada umur <2.5 tahun dengan rataan 1.5 tahun. Jumlah peternak yang diwawancara sebanyak 10 orang di dataran tinggi dan 18 orang di dataran rendah. Jumlah ternak yang diamati di dataran tinggi sebanyak 39 ekor dan di dataran rendah 91 ekor. Alat Penelitian ini menggunakan peralatan termometer digital, borang isian, tongkat ukur, pita ukur, dan alat tulis. Pengukuran suhu lingkungan dan kelembaban udara diukur menggunakan thermohigrometer digital. Prosedur Identifikasi Kondisi Lingkungan Pengamatan kondisi lingkungan meliputi ketinggian tempat, dan kondisi lingkungan mikro yang terdiri atas suhu udara dan kelembaban. Data lingkungan mikro didapat dengan mengukur dan menghitung unsur cuaca sebanyak 3 kali per hari yaitu pada 08.00-09.00, 13.00-14.00 dan 16.00-17.00 WIB. Suhu dan kelembaban udara diukur dengan alat termohigrometer digital. 3 Respons Fisiologis Kerbau Parameter respon fisiologis tubuh yang diamati meliputi suhu rektal dan frekuensi respirasi. Frekuensi respirasi diukur dengan cara mendekatkan telapak tangan ke area hidung kerbau dan menghitung frekuensi respirasi yang terukur selama 1 menit. Suhu rektal diukur menggunakan termometer digital dengan cara memasukkan termometer ke dalam rektum sedalam 5-7 cm dan selama sampai terdengar suara bunyi dari termometer. Analisis Performa Kerbau Performa kerbau dianalisis berdasarkan nilai BCS (Body Condition Score) dan karakteristik morfometrik. Pengamatan berdasarkan BCS menurut Rutter et al. (2000) dengan skala 1-5 sebagai berikut: 1 (sangat kurus), 2 (kurus), 3 (sedang), 4 (gemuk), dan 5 (sangat gemuk) yang disajikan pada Tabel 1. Skor 1 Tabel 1 Deskripsi penilaian Body Condition Score (BCS)a Kategori Deskripsi Lemak tidak ada di sekitar pangkal ekor. Sangat Tulang pinggul, pangkal ekor, dan tulang rusuk Kurus secara visual terlihat jelas 2 Kurus 3 Sedang 4 Gemuk 5 Sangat Gemuk a Tulang rusuk dapat di identifikasi bila disentuh mulai sedikit tidak jelas Pangkal ekor, tulang pinggul, dan panggul mulai tertutupi lemak Tulang rusuk dapat dirasakan dengan tekanan tangan Pangkal ekor mulai tertutupi lemak dan dapat dengan mudah dirasakan Lemak penutup di sekitar pangkal ekor jelas, sedikit membulat, lembek bila disentuh. Lipatan lemak mulai berkembang di atas tulang rusuk dan paha ternak Struktur tulang tidak lagi nyata dan ternak menunjukkan penampilan yang sintal dan membulat Tulang pinggul, pangkal ekor, tulang rusuk, dan paha dipenuhi dengan lipatan lemak Mobilitas ternak lemah yang diakibatkan oleh lemak yang dibawanya. Sumber: Rutter et al. (2000) Pengukuran morfometrik menurut Erdiansyah (2008) meliputi panjang badan, lingkar dada, lebar dada, tinggi badan, dan lebar pinggul kerbau betina. Metode pengukuran morfometrik pada kerbau dapat dilihat pada Gambar 1. Bagian-bagian tubuh kerbau yang diukur (dinyatakan dalam satuan cm) dan definisinya diuraikan seperti berikut : 4 1. Panjang badan adalah garis lurus dari tepi tulang processus spinocus sampai dengan benjolan tulang lapis (os ischium), diukur menggunakan tongkat ukur; 2. Lingkar dada diukur melingkar tepat di belakang scapula menggunakan pita ukur; 3. Lebar dada adalah jarak antara benjolan sendi bahu (os scapula) kiri dan kanan menggunakan tongkat ukur; 4. Tinggi badan adalah jarak tertinggi pundak melalui belakang scapula tegak lurus ke tanah, diukur menggunakan tongkat ukur; dan 5. Lebar pinggul adalah jarak antar sendi pinggul, diukur dengan tongkat ukur. Gambar 1 Metode pengukuran morfometrik kerbau yang diamati. Keterangan: 1) Lebar dada, 2) Lebar pinggul, 3) Tinggi badan, 4) Lingkar dada, 5) Panjang badan. Analisis Data Data cuaca meliputi suhu dan kelembaban dihitung rataannya. Data respon fisiologis dan morfometrik kerbau lumpur betina pada ketinggian dan umur yang berbeda dianalisis menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola Faktorial (2x2) untuk setiap variabel. Jika hasil analisis ragam menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) maka dilakukan uji banding Tukey. Menurut Gazpersz (1999), model matematika Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola Faktorial yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 5 Yijk = µ +αi + βj + (αβ)ij+εijk Keterangan : Yijk µ αi βj (αβ)ij εijk : Nilai pengamatan respon fisiologis atau morfometrik kerbau dengan perlakuan umur ke-i (dewasa dan anakan), ketinggian ke-j (rendah dan tinggi) atau (pagi, siang, dan sore) serta interaksinya; : Rataan umum percobaan; : Pengaruh faktor perlakuan ke-i (umur); : Pengaruh faktor perlakuan ke-j (ketinggian atau waktu); : Pengaruh interaksi antara faktor umur dan faktor ketinggian; dan : Pengaruh galat percobaan. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pada 3 kecamatan yang dibagi berdasarkan ketinggian yaitu dataran rendah dan dataran tinggi. Dataran rendah diwakili Kecamatan Sindangbarang dengan ketinggian 7-500 m dpl, sedangkan dataran tinggi diwakili Kecamatan Pacet 800-1 080 m dpl dan Kecamatan Sukaresmi 1 080-1 450 m dpl. Hasil rataan unsur cuaca lingkungan penelitian serta tingkat pendidikan peternak dan skala kepemilikan ternak kerbau dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2 Data rataan unsur cuaca lingkungan penelitian Unsur cuaca lingkungan Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore T(oC)a 30.33±0.34 32.10±0.42 28.85±0.52 27.60±1.05 29.08±0.67 27.35±0.43 74.67±1.83 67.00±2.86 78.00±2.13 77.50±2.75 75.50±1.45 83.50±2.02 RH(%) b Dataran Rendahc Dataran Tinggid a = suhu lingkungan dalam derajat; b = kelembaban relatif dalam persentase; c = Kecamatan Sindangbarang; d = Kecamatan Pacet dan Kecamatan Sukaresmi. Tabel 3 Tingkat pendidikan peternak dan skala kepemilikan ternak kerbau Dataran Rendah Dataran Tinggi Pendidikan (%) 0 10 - Tidak Sekolah 89 90 - SD 5.5 0 - SMP 0 0 - SMA 5.5 0 - Sarjana Skala Pemilikan (ekor) 33 40 - 1-2 28 20 - 3-4 39 40 - >4 6 Lingkungan yang diamati merupakan lingkungan mikro atau lingkungan sekitar kandang yang terdiri dari suhu lingkungan dan kelembaban udara. Pengambilan data dalam penelitian dilakukan 3 kali mulai pukul 08.00 WIB (pagi), 13.00 WIB (siang) dan 16.00 WIB (sore) yang disajikan pada Tabel 2. Hasil pengukuran suhu udara menunjukkan bahwa rata-rata suhu di dataran tinggi lebih rendah dibandingkan di dataran rendah. Menurut Handoko (1995), laju penurunan suhu akibat ketinggian memiliki variasi yang berbeda-beda untuk setiap tempat, rata-rata sekitar 0.5-0.6 oC setiap kenaikan 100 m. Ketinggian tempat berhubungan dengan suhu, semakin tinggi suatu tempat, maka suhu akan semakin rendah serta di dataran rendah suhu lingkungan, tekanan udara dan oksigen sangat tinggi sedangkan dataran tinggi tekanan udara dan suhu udara rendah (Sangadji 2001). Hasil pengukuran kelembaban menunjukkan bahwa rata-rata kelembaban di dataran rendah lebih rendah dibandingkan dengan dataran tinggi. Hal ini diperkuat oleh penelitian Sangadji (2001) yaitu, ketinggian tempat berhubungan dengan kelembaban, semakin tinggi suatu tempat maka kelembaban semakin tinggi. Perubahan unsur cuaca dan iklim disebabkan oleh faktor topografi, ketinggian, dan vegetasi. Wilayah Kabupaten Cianjur secara topografis terbagi ke dalam 3 bagian, yaitu Cianjur bagian utara, tengah, dan selatan. Cianjur bagian utara merupakan dataran tinggi terletak di kaki Gunung Gede dengan ketinggian sekitar 2 962 m dpl. Kecamatan Sukaresmi dan Kecamatan Pacet temasuk dalam wilayah Cianjur bagian utara. Sebagian wilayah ini merupakan dataran tinggi pegunungan yang terdapat perkebunan dan persawahan. Di bagian Barat dekat zona Bogor terdapat Gunung Salak dengan ketinggian 2 210 m dpl yang merupakan Gunung Api termuda dan sebagian besar permukaannya tertutup bahan vulkanik. Cianjur bagian tengah merupakan daerah perbukitan, terdapat persawahan, perkebunan yang dikelilingi oleh bukit-bukit kecil dengan struktur tanahnya yang labil. Cianjur bagian selatan merupakan daerah dataran rendah yang terdiri dari bukitbukit kecil dan diselingi oleh pegunungan-pegunungan yang melebar ke Samudra Indonesia, diantara bukit dan pegunungan terdapat pesawahan dan ladang huma. Wilayah Cianjur Selatan termasuk Kecamatan Cidaun, Sindangbarang, dan sekitarnya. Dataran terendah Cianjur Selatan mempunyai ketinggian sekitar 7 m dpl (BPS Kabupaten Cianjur 2015). Respons Fisiologis Frekuensi Pernafasan dan Suhu Rektal Respon fisiologis merupakan indikator untuk menilai tingkat stres ternak yang dipelihara. Respirasi adalah proses pertukaran gas sebagai bentuk kegiatan fisik dan kimia dalam tubuh untuk mempertahankan suhu tubuh ternak akibat pengaruh dari perubahan lingkungan sekitarnya. Oksigen diambil dari udara sebagai bahan yang dibutuhkan jaringan tubuh dalam proses metabolisme. Frekuensi respirasi bervariasi tergantung antara lain dari besar badan, umur, aktivitas tubuh, kelelahan dan penuh tidaknya rumen. Kecepatan respirasi meningkat sebanding dengan meningkatnya suhu lingkungan. Meningkatnya frekuensi respirasi menunjukkan meningkatnya mekanisme tubuh untuk mempertahankan keseimbangan fisiologis dalam tubuh hewan. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi pernafasan dan suhu rektal pada kerbau betina 7 tidak dipengaruhi oleh umur tetapi dipengaruhi oleh perbedaan waktu. Frekuensi pernafasan kerbau betina pada siang hari nyata lebih tinggi dibandingkan pada pagi dan sore hari (P<0.05). Hasil pengamatan respon fisiologis frekuensi pernafasan kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Respon fisiologis frekuensi pernafasan (kali menit-1) kerbau betina pada umur dan waktu yang berbeda Frekuensi Pernafasan (kali menit-1) Umur Rataan (tahun) Pagi Siang Sore 1.5-2.0 22.67±0.99 24.67±0.69 23.34±0.90 23.56±1.19 2.5-5.0 22.33±0.83 25.67±0.83 23.67±0.83 23.89±1.61 Rataan 22.50±0.91a 25.17±0.91b 23.50±0.86a Angka yang disertai huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05) Suhu lingkungan pada waktu siang lebih tinggi dibandingkan pagi dan sore yang menyebabkan meningkatnya frekuensi pernafasan dengan tujuan mengoptimalkan suhu tubuh melalui respirasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dwatmadji (2007) yaitu respirasi kerbau dalam keadaan normal sebesar 23.7 kali menit-1 pagi hari dan 22.9 kali menit-1 pada sore hari serta peningkatan terjadi saat kerja sebesar 77.8 kali menit-1 pada pagi hari dan 83.4 kali menit-1 pada sore hari. Pada penelitian Mauliaksa (2013), kerbau betina memiliki frekuensi pernafasan 20.67 kali menit-1 pada siang hari dengan suhu lingkungan 25 °C dan memiliki frekuensi pernafasan 17.83 kali menit-1 pada pagi hari dengan suhu lingkungan 24 °C. Menurut Esmay (1978) peningkatan frekuensi pernafasan merupakan salah satu cara hewan termasuk kerbau, untuk melakukan pembuangan panas tubuh agar menjadi stabil. Kecepatan respirasi meningkat sebanding dengan meningkatnya suhu lingkungan. Frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh ukuran tubuh, umur, aktifitas fisik, suhu lingkungan, kondisi kesehatan hewan, dan posisi hewan (Kelly 1984). Kelembaban udara tinggi disertai suhu udara yang tinggi menyebabkan meningkatnya frekuensi respirasi karena faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap tingkah laku ternak. Bila suhu lingkungan berada di atas atau di bawah comfort zone, kerbau akan mempertahankan suhu tubuhnya dengan mengurangi atau meningkatkan laju metabolisme. Peningkatan frekuensi pernafasan menunjukan meningkatnya mekanisme tubuh untuk mempertahankan keseimbangan fisiologis dalam tubuh hewan. Kelembaban yang tinggi akan memperlambat proses pengeluaran panas secara evaporasi melalui respirasi (Mader et al. 2006) yang dapat mengakibatkan kerbau meningkatkan respirasinya. Peningkatan kelembaban pada sore hari menyebabkan terhambatnya pengeluaran panas dalam tubuh akibat aktivitas di siang hari, sehingga frekuensi pernafasan masih agak tinggi yang menunjukan kerbau betina masih dalam proses menyeimbangkan kondisi tubuhnya dari perubahan kondisi lingkungan. Suhu tubuh merupakan hasil dari 2 proses yaitu panas yang diterima dan panas yang dilepaskan. Panas terutama dihasilkan oleh tubuh sebagai hasil aktivitas metabolisme dan dilepaskan dari tubuh secara konduksi, konveksi, radiasi dan evaporasi melalui kulit serta saluran pernafasan (Ewing 1999). Kerbau termasuk dalam golongan hewan berdarah panas (homeotherm) yang berusaha 8 melepas panas berlebih sebagai usaha mempertahankan panas tubuh yang normal dengan mekanisme pengeluaran keringat dan mempertinggi frekuensi pernafasan (Bamualim dan Zulbardi 2008). Setiap ternak mempunyai kisaran suhu lingkungan yang sesuai dalam kelangsungan tumbuh kembangbiaknya yang disebut comfort zone. Kerbau dapat hidup nyaman dengan temperatur lingkungan berkisar 16-24 °C, dengan batas toleransi hingga 27.6 °C (Markvichitr 2006). Suhu tubuh normal kerbau berkisar antara 38.2-38.4 °C dan berada dalam keseimbangan dengan suhu lingkungan yang terdapat antara 22-33 °C (Payne 1991). Hasil pengamatan respons fisiologis suhu rektal kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Respons fisiologis suhu yang berbeda Umur (tahun) Pagi 1.5-2.0 37.93±0.26 2.5-5.0 37.75±0.29 Rataan 37.84±0.29a rektal (oC) kerbau betina pada umur dan waktu Suhu Rektal (oC) Siang Sore 38.34±0.16 38.23±0.16 38.33±0.22 38.16±0.18 38.33±0.19b 38.20±0.17c Rataan 38.17±0.26 38.08±0.33 Angka yang disertai huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05) Tabel 5 menunjukkan suhu rektal kerbau betina dipengaruhi oleh perbedaan waktu (P<0.05), tetapi tidak ada interaksi. Suhu rektal kerbau betina pada siang hari nyata lebih tinggi dibandingkan pada pagi dan sore hari. Pada hasil penelitian Dwamadji (2007) menunjukan suhu rektal kerbau pada keadaan normal sebesar 36.7 °C pada pagi hari dan 38.1 °C pada sore hari. Pada penelitian Mauliaksa (2013), kerbau betina memiliki suhu rektal yang sama sebesar 38.3 °C dalam keadaan normal pada siang hari dengan suhu lingkungan sebesar 25 °C. Meningkatnya suhu rektal kerbau betina disebabkan adanya peningkatan suhu lingkungan pada siang hari dan terkena paparan sinar matahari langsung yang mengakibatkan kerbau betina mengalami kenaikan temperatur suhu tubuh. Termoregulasi adalah suatu mekanisme makhluk hidup untuk mempertahankan suhu internal agar berada di dalam kisaran yang dapat ditolelir (Campbell 2004). Kerbau mempertahankan suhu tubuhnya terhadap suhu lingkungan yang fluktuatif selain itu kerbau harus mempertahankan keseimbangan suhu tubuh antara panas yang diproduksi oleh tubuh dan panas yang didapat dari lingkungannya. Penambahan panas tubuh kerbau dapat terjadi secara sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi, dan konveksi. Jalur utama pelepasan panas melalui mekanisme evaporatif (heat loss) dengan cara pertukaran panas melalui permukaan kulit (sweating) atau melalui pertukaran panas melalui saluran pernapasan (panting) (Purwanto 1993) dan sebagian melalui feses dan urin (McDowell 1972). Unsur iklim mikro yang dapat mempengaruhi produksi panas dan pelepasan panas pada ternak adalah suhu dan kelembaban udara. Kerbau memiliki kulit epidermis yang tebal tetapi memiliki pori-pori kelenjar keringat hanya sedikit, sehingga pembuangan panas dengan cara berkeringat tidak banyak. Selain itu, kerbau mempunyai bulu yang sangat sedikit, sehingga mengurangi perlindungannya terhadap sinar matahari langsung. Hal inilah yang menyebabkan kerbau kurang tahan terhadap sengatan sinar matahari 9 atau udara yang dingin (Hardjosubroto 1994). Kerbau yang terpapar langsung sinar matahari selama 2 jam menyebabkan temperatur tubuh kerbau dapat meningkat 1.3 °C (Smith dan Mangkoewidjojo 1987). Pada sore hari terjadi penurunan suhu rektal kerbau betina yang cukup lambat. Hal ini terjadi karena pada sore hari terjadi peningkatan kelembaban udara sehingga pengeluaran panas secara evaporasi terjadi secara lambat, pembuangan panas dalam tubuh terbatas dan dengan demikian keseimbangan termal ternak terganggu (Chantalakhana dan Skunmun 2002). Kelembaban yang optimal untuk ternak kerbau berkisar antara 60%-70% (Yurleni 2000). Tingkah laku kerbau pada siang hari adalah mencari tempat berkubang dan bernaung untuk menyeimbangkan panas dalam tubuh. Kerbau memiliki ciri-ciri perilaku adaptif ketika suhu tubuhnya meningkat seperti mencari perlindungan, berkubang dan atau menenggelamkan diri dalam air (Brijesh 2016). Morfometrik Kerbau Morfometrik merupakan pengukuran bagian tubuh pada hewan untuk mengetahui ukuran pada setiap fase pertumbuhannya dan menaksir bobot badan. Pertumbuhan adalah salah satu faktor dalam menentukan produktivitas ternak. Pertumbuhan ternak diukur dengan bertambahnya berat badan. Bobot badan dapat diketahui melalui pengukuran tinggi pundak, panjang badan, dan lingkar dada (Haryadi dan Anggraeni 2010). Pengukuran morfometrik kerbau telah dibedakan dalam 2 kelompok umur dan ketinggian. Hasil pengukuran panjang badan kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Panjang badan kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian Panjang Badan Umur Rataan (tahun) Dataran Rendah Dataran Tinggi (cm) 1.5-2.0 96.50±8.04 106.33±11.57 101.42±10.73b 2.5-5.0 118.67±5.47 122.33±8.98 120.50±7.22a Rataan 107.58±13.26 114.33±12.85 Angka yang disertai huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05) Perbedaan umur kerbau lumpur betina berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap panjang badan kerbau, tetapi interaksi keduanya tidak nyata. Panjang badan kerbau betina dewasa nyata lebih tinggi daripada kerbau betina anakan. Panjang badan kerbau betina tidak dipengaruhi oleh ketinggian yang berbeda. Menurut hasil penelitian kerbau lumpur betina di Kabupaten Tapanuli Utara oleh Gerli et al. (2013), panjang badan umur 2-3.5 tahun sebesar 118.25±1.5 cm dan umur 3.57 tahun sebesar 127.98±2.41 cm, sedangkan hasil penelitian kerbau betina di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak oleh Saroji et al. (2010), panjang badan umur ≤2 tahun sebesar 82.40±20.71 cm dan umur 2-4 tahun sebesar 108.40±16.46 cm. Hasil pengukuran tinggi badan kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 7. 10 Tabel 7 Tinggi badan kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian Umur (tahun) 1.5-2.0 2.5-5.0 Rataan Tinggi Badan Dataran Rendah Dataran Tinggi (cm) 105.75±9.49 110.17±4.78 121.67±3.50 123.17±4.76 113.71±10.78 116.67±8.14 Rataan 107.96±7.59b 122.42±3.96a Angka yang disertai huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05) Perbedaan umur kerbau lumpur betina berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap tinggi badan kerbau, tetapi interaksi keduanya tidak nyata. Tinggi badan kerbau betina dewasa nyata lebih tinggi daripada kerbau betina anakan. Tinggi badan kerbau betina tidak dipengaruhi oleh ketinggian yang berbeda. Menurut hasil penelitian kerbau lumpur betina di Kabupaten Tapanuli Utara oleh Gerli et al. (2013), tinggi badan umur 2-3.5 tahun sebesar 112.75±0.5 cm dan umur 3.5-7 tahun sebesar 125.14±2.44 cm, sedangkan hasil penelitian kerbau betina di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak oleh Saroji et al. (2010), tinggi badan umur ≤2 tahun sebesar 86.30±14.91 cm dan umur 2-4 tahun sebesar 106.40±12.36 cm. Hasil pengukuran lingkar dada kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Lingkar dada kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian Lingkar Dada Umur Rataan (tahun) Dataran Rendah Dataran Tinggi (cm) 1.5-2.0 2.5-5.0 Rataan 146.58±14.95 176.33±7.20 161.46±19.14 150.17±8.01 179.50±15.98 164.83±19.47 148.38±11.56b 177.92±11.91a Angka yang disertai huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05) Perbedaan umur kerbau lumpur betina berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap lingkar dada kerbau, tetapi interaksi keduanya tidak nyata. Lingkar dada kerbau betina dewasa nyata lebih tinggi daripada kerbau betina anakan. Lingkar dada kerbau betina tidak dipengaruhi oleh ketinggian yang berbeda. Menurut hasil penelitian kerbau lumpur betina di Kabupaten Tapanuli Utara oleh Gerli et al. (2013), lingkar dada umur 2-3.5 tahun sebesar 152.00±4.69 cm dan umur 3.5-7 tahun sebesar 188.74±7.76 cm, sedangkan hasil penelitian kerbau betina di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak oleh Saroji et al. (2010), lingkar dada umur ≤2 tahun sebesar 116.10±21.96 cm dan umur 2-4 tahun sebesar 152.00±23.88 cm. Hasil pengukuran lebar dada kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 9. 11 Tabel 9 Lebar dada kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian Lebar Dada Umur Rataan (tahun) Dataran Rendah Dataran Tinggi (cm) 1.5-2.0 33.67±3.74c 37.33±2.18bc 35.50±3.44 2.5-5.0 40.75±2.19b 49.58±5.72a 45.17±6.13 Rataan 37.21±4.60 43.46±7.62 Angka yang disertai huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05) Perbedaan umur, ketinggian, dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap lebar dada kerbau lumpur betina. Lebar dada kerbau betina dewasa nyata lebih tinggi daripada kerbau betina anakan. Lebar dada kerbau betina di dataran tinggi nyata lebih tinggi daripada di dataran rendah. Lebar dada kerbau betina dewasa nyata lebih tinggi (P<0.05) daripada kerbau betina anakan baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Menurut hasil penelitian kerbau lumpur betina di Kabupaten Tapanuli Utara oleh Gerli et al. (2013), lebar dada umur 2-3.5 tahun sebesar 36.75±0.96 cm dan umur 3.5-7 tahun sebesar 39.98±3.00 cm. Menurut hasil penelitian kerbau lumpur betina di Kabupaten Cianjur oleh Komariah et al. (2015), lebar dada di dataran rendah sebesar 38.32±4.59 cm, sedangkan di dataran tinggi sebesar 65.60±11.04 cm. Hasil pengukuran lebar pinggul kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Lebar pinggul kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian Lebar Pinggul Umur Rataan (tahun) Dataran Rendah Dataran Tinggi (cm) 1.5-2.0 39.42±3.12 41.25±1.94 40.33±2.65b 2.5-5.0 48.67±3.83 49.33±7.26 49.00±5.54a Rataan 44.04±5.76 45.29±6.68 Angka yang disertai huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05) Perbedaan umur kerbau lumpur betina berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap lebar pinggul kerbau, tetapi interaksi keduanya tidak nyata. Lebar pinggul kerbau betina dewasa nyata lebih tinggi daripada kerbau betina anakan. Lebar pinggul kerbau betina tidak dipengaruhi oleh ketinggian yang berbeda. Menurut hasil penelitian kerbau lumpur betina di Kabupaten Tapanuli Utara oleh Gerli et al. (2013), lebar pinggul umur 2-3.5 tahun sebesar 41.75±1.26 cm dan umur 3.5-7 tahun sebesar 47.35±3.23 cm. Hasil pengamatan body condition score kerbau betina dapat dilihat pada Tabel 11. 12 Tabel 11 Body Condition Score kerbau betina pada perbedaan umur dan ketinggian Body Condition Score (BCS) Umur Rataan (tahun) Dataran Rendah Dataran Tinggi (cm) 1.5-2.0 2.17±0.41 2.83±0.41 2.50±0.52 2.5-5.0 2.33±0.52 3.00±0.00 2.67±0.49 Rataan 2.25±0.45b 2.92±0.29a Angka yang disertai huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0.05) Perbedaan ketinggian berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap Body Condition Score (BCS) kerbau betina, tetapi interaksi keduanya tidak nyata. BCS kerbau betina di dataran tinggi nyata lebih tinggi daripada kerbau betina di dataran rendah. Perbedaan umur kerbau betina tidak berpengaruh terhadap BCS kerbau betina. Menurut hasil penelitian kerbau lumpur betina di Kabupaten Cianjur oleh Komariah et al. (2015), BCS di dataran rendah sebesar 1-4, sedangkan di dataran tinggi sebesar 3-4. Kerbau betina di dataran tinggi memiliki ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan kerbau betina di dataran rendah. Kondisi suhu yang rendah pada daerah dataran tinggi memberikan situasi lingkungan yang lebih kondusif bagi pertumbuhan ternak kerbau (Prawiradiputra et al. 2006), sehingga kerbau memiliki nafsu makan lebih banyak yang mempengaruhi bentuk ukuran tubuh lebih besar dibandingkan di dataran rendah. Temperatur lingkungan mempengaruhi penggunaan energi yang diperoleh ternak dari makanan, produksi panas, dan disipasi panas hewan ternak ke lingkungannya. Produktivitas ternak dicerminkan oleh performanya, sedangkan performa ternak merupakan manifestasi pengaruh genetik dan lingkungan ternak secara bersama. Faktor utama yang mempengaruhi tingkat produktivitas ternak adalah lingkungan dan genetik. Penambahan panas dari radiasi matahari di daerah tropis dapat mencapai 4 kali lebih besar dari produksi panas hasil metabolisme (Thwaites 1985). Besarnya penambahan panas ini tergantung pada ukuran tubuh ternak. Makin kecil ukuran tubuh seekor ternak, akan mendapatkan penambahan panas yang lebih tinggi dari ternak yang lebih besar ukuran tubuhnya. Perolehan panas dari luar tubuh (heat gain) akan menambah beban panas bagi ternak, bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman. Kerbau dapat mengalami heat stress apabila perubahan suhu lingkungan meningkat sehingga mempengaruhi efisiensi pakan kerbau dengan tidak banyak melakukan pergerakan untuk menjaga suhu tubuhnya agar tetap stabil. Hilangnya zat makanan terjadi akibat kerbau sering berkeringat dan mengeluarkan air ludah sehingga semakin banyak zat makanan yang hilang. Pada ternak ruminansia apabila berkeringat, maka akan kehilangan air dan mineral dari dalam tubuhnya. Menurunnya nafsu makan pada kerbau disebabkan terjadi peningkatan suhu lingkungan yang sangat tinggi sehingga feed intake pada kerbau akan menurun dan juga mempengaruhinya lamanya merumput dan akhirnya juga mempengaruhi produktifitas dari kerbau. Kerbau meningkatkan aktivitas termoregulasi guna mengatasi beban panas yang dideritanya. 13 Mekanisme fisiologis mengharuskan alokasi energi untuk kinerja produksi maupun reproduksi yang dipakai untuk mempertahankan keseimbangan panas tubuh sehingga berdampak buruk dengan penurunan produktivitas kerbau. Penempatan kerbau dalam mempertahankan zona nyamannya terhadap perubahan kondisi lingkungan sekitar dengan adanya peningkatan fisiologis pada kerbau yang guna meningkatkan laju metabolisme untuk mengeluarkan dan menyeimbangkan panas tubuh kerbau yang diterima dari lingkungan dan dihasilkan di dalam tubuh, sehingga energi yang tersimpan untuk pertumbuhan kerbau hanya sedikit yang mengakibatkan performa kerbau menurun. Kerbau memiliki perilaku adaptif untuk mengendalikan panas yang diterima dengan berkubang sehingga energi yang terbuang dapat diminimalkan. Performa kerbau yang berbeda antara ketinggian bisa disebabkan perbedaan sistem manajemen pemeliharaan. Faktor pemberian pakan berpengaruh cukup besar terhadap ukuran tubuh kerbau. Agrosistem pada dataran tinggi lebih baik sehingga pakan dengan kualitas tinggi tersedia banyak pada dataran tinggi dibandingkan dataran rendah. Berdasarkan hasil tingkat pendidikan peternak dan skala kepemilikan ternak kerbau (Tabel 3), tingkat pendidikan peternak di ketinggian yang berbeda tergolong rendah yaitu Sekolah Dasar dan hanya ada lulusan sarjana di dataran rendah, serta skala kepemilikan ternak kerbau di dataran rendah tertinggi dan mencapai lebih dari 4 ekor, sedangkan di dataran tinggi paling banyak hanya 3-4 ekor. Menurut Komariah (2015), skala kepemilikan ternak kerbau pada dataran tinggi 1-2 ekor, sementara di dataran rendah tertinggi adalah 3-4 ekor, serta tingkat pendidikan pada dataran tinggi dan dataran rendah mayoritas Sekolah Dasar. Tingkat pendidikan mempengaruhi cara berfikir seseorang dalam mengambil keputusan dan logika berfikir yang berpendidikan selama menempuh studi serta memiliki kemampuan dalam mengunakan teknologi sehingga mampu meningkatkan efisiensi dan memudahkan kinerja peternak dalam memelihara kerbau. Skala kepemilikan ternak kerbau di dataran rendah lebih banyak dibandingkan dataran tinggi sehingga akan membutuhkan pakan yang lebih banyak dan tingkat perhatian peternak ke ternak kerbau betina tidak maksimal sementara kemampuan peternak dalam menyediakan pakan sangat terbatas karena pakan yang tersedia di lahan sekitar hanya sedikit yang menyebabkan ternak kerbau diberi pakan seadanya dan jika pakan sulit dicari oleh peternak kerbau dibiarkan lepas untuk mencari pakan sendiri. Jarak antar desa peternak kerbau di dataran rendah sangat jauh menyebabkan tingkat informasi yang didapatkan hanya sedikit. Pengetahuan peternak dalam memelihara kerbau betina sangatlah penting sehingga tingkat inbreeding pada kerbau dapat dicegah agar tidak mengakibatkan penurunan performa kerbau betina. 14 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perubahan suhu dan kelembaban pada siang hari mempengaruhi peningkatan respon fisiologis pada kerbau betina. Kerbau betina di dataran tinggi memiliki potensi performa lebih baik dibandingkan di dataran rendah. Performa kerbau lumpur betina di Kabupaten Cianjur wilayah dataran tinggi lebih baik dibandingkan di dataran rendah. Saran Penetapan sentra kerbau lumpur di Kabupaten Cianjur sebaiknya di dataran tinggi karena mampu menunjang ketersediaan pakan hijauan dan memiliki suhu lingkungan yang nyaman untuk pertumbuhan kerbau betina. Penelitian selanjutnya perlu adanya perlakuan pemberian pakan hijauan dan pengamatan pengaruh mikroklimat terhadap pertumbuhan perkembangan kerbau betina. DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur. 2015. Kabupaten Cianjur Dalam Angka 2015. Cianjur (ID): BPS Kabupaten Cianjur. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Populasi dan Produksi Daging Kerbau Menurut Provinsi. [Internet] [diunduh 2016 Oktober 25]. Tersedia pada:http://bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1020 Anderson RR, Collier RJ, Guidry AJ, Heald CW, Jenness R, Larson BL, Tucker HA. 1985. Lactation. Iowa (US): The IOWA University Pr. Bamualim AM, Zulbardi M. 2008. Situasi dan keberadaan ternak kerbau di Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha ternak kerbau. Jambi (ID): Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Batanghari. Brijesh Y, Vijay P, Sarvajeet Y, Yajuvendra S, Vinod K, Rajneesh S. 2016. Effect of misting and wallowing cooling systems on milk yield, blood and physiological variables during heat stress in lactating Murrah buffalo. J Anim Sci Technol. 58:2. Chantalakhana, Skunmun P. 2002. Sustainable Smallholder Animal Systems in the Tropics. Bangkok (TH): Kasetsart University Pr. Dwatmadji, Ipantri. 2007. Pengaruh kerja “Melunyah” terhadap kondisi fisiologis pada kerbau rawa di Kabupaten Bengkulu Selatan. J Sain Petern Indonesia. 2:1. 15 Erdiansyah E, Anggraeni A. 2008. Keagaman fenotipe dan pendugaan jarak genetic antara subpopulasi kerbau rawa lokal di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kebau Tanah Toraja. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. P. 55-67. Esmay ML. 1978. Principle of Animal Environmental. Connecticut (US): AVI Publishing Company, Inc. Ewing SA, Lay DCJR, Borell EV. 1999. Farm Animal Well Being. Stress Physiology, Animal Behavior, and Environmental Design. New Jersey (US): Prentice-Hall Inc. Gazpersz V. 1999. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Bandung (ID): Tarsito. Gerli, Hamdan, Daulay AH. 2013. Karakteristik morfologi ukuran tubuh kerbau murah dan kerbau rawa di BPTU Siborongborong. J Petern Integ. 1:3. Handoko. 1995. Klimatologi Dasar, Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-Unsur Iklim. Jakarta (ID): PT. Dunia Pustaka Jaya. Hardjosubroto W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta (ID): Gramedia Widiasarana Indonesia. Haryadi A, Anggraeni A. 2010. Sistem budidaya dan performans tubuh kerbau rawa di Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kelly WR. 1984. Veterinary Clinical Diagnosis. London (UK): Bailliere Tindall. Komariah, Sumantri C, Nuraini H, Nurdiati S, Mulatsih S. 2015. Performans kerbau lumpur dan strategi pengembangannya pada daerah dengan ketinggian berbeda di Kabupaten Cianjur. J Vet. 16:4 Komariah, Sumantri C, Nuraini H, Nurdiati S, Mulatsih S. 2015. Potency and development strategies of swamp buffaloes at different topography in Cianjur District West Java Indonesia. International Journal of Sciences: Basic and Applied Research (IJSBAR). 23(2): 260-270. Mader TL, Davis MS, Brown-Brandl T. 2006. Enviromental factors influencing heat stress in feedlot cattle. J Anim Sci. 84: 712-719. Markvichitr K. 2006. Role of reactive oxygen species in the buffalo sperm fertility assessment. Prosiding International Seminar The Artificial Reproductive Bioterchnologies for Buffaloes. Bogor (ID): ICARD and FFTC-ASPA. P. 68-78. Mauliaksa. 2013. Adaptasi dan daya tahan panas pada kerbau lumpur di Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang [skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. McDowell RE. 1974. The Environment Versus Man and His Animals. San Fransisco (US): WH Freeman and Co Payne RC, Sukanto IP, Diauham D, Partoutomo S, Wuson AJ, Jones TW, Bold R, Luckins AG. 1991. Trypanosoma evansi infection in cattle, buffaloes and horses in Indonesia. J Vet Parasitol. 38: 109-119. Prawiradiputra BR, Purwantari ND, Herdiawan I. 2006. Hijauan Pakan Ternak di Indonesia. Bogor (ID): Badan Litbang Pertanian Purwanto BP. 1993. Heat and energy balance in dairy cattle under high environmental temperatute [tesis]. Hiroshima (JP): Hiroshima University 16 Purwanto, Hardjosubroto W, Kustono, Ngadiyono. 1991. Performan produksi dan reproduksi kambing peranakan etawah dan bligon. Prosiding Seminar Nasional Peternakan Yogyakarta. P. 104-108. Rutter SM, Champion RA, Penning PD. 2000. An automatic system to record foraging behaviour in free-ranging ruminants. Appl Anim Behav Sci. 54:185. Saroji, Sitompul RE, Jakaria, Sumantri C. 2010. Karakteristik ukuran tubuh kerbau rawa di Kabupaten Lebak dan Pandeglang Provinsi Banten. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. P. 36-42 Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1987. The Care, Breeding and Management of Experimental Animals for Research in the Tropics. Canberra (AU): International Development Program of Australian Universities and Colleges Limited (IDP). Thwaites CJ. 1985. Physiological Responses and Productivity in Sheep. Florida (US): CRC Press, Inc. Yurleni. 2000. Produktivitas dan peluang pengembangan ternak kerbau di Propinsi Jambi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 17 LAMPIRAN Lampiran 1 Analysis of variance respon fisiologis 6 parameter Tabel ANOVA frekuensi pernafasan kerbau betina antara pagi dan sore SKa dbb JKc KTd Fhite Ftabf Umur 1 2.87E-30 2.87E-30 0.00 1.00 Waktu 1 12.00 12.00 2.71 0.11 Umur*Waktu 1 1.33 1.33 0.30 0.59 Error 44 194.67 4.42 Total 47 208.00 a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f = Ftabel. Tabel ANOVA frekuensi pernafasan kerbau betina antara pagi dan siang SKa dbb JKc KTd Fhite Ftabf Umur 1 1.33 1.33 0.26 0.61 Waktu 1 85.33 85.33 16.56 0.00 Umur*Waktu 1 5.33 5.33 1.04 0.32 Error 44 226.67 5.15 Total 47 318.67 a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f = Ftabel. Tabel ANOVA frekuensi pernafasan kerbau betina antara siang dan sore SKa dbb JKc KTd Fhite Ftabf Umur 1 5.33 5.33 0.97 0.33 Waktu 1 33.33 33.33 6.04 0.02 Umur*Waktu 1 1.33 1.33 0.24 0.63 Error 44 242.67 5.52 Total 47 282.67 a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f = Ftabel. Tabel ANOVA suhu rektal kerbau betina antara pagi dan siang SKa dbb JKc KTd Fhite Umur 1 0.12 0.12 2.10 Waktu 1 2.90 2.90 50.89 Umur*Waktu 1 0.08 0.08 1.46 Error 44 2.51 0.06 Total 47 5.61 Ftabf 0.15 0.00 0.23 a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f = Ftabel. 18 Tabel ANOVA suhu rektal kerbau betina antara siang dan sore SKa dbb JKc KTd Fhite Umur 1 0.03 0.03 0.76 Waktu 1 0.23 0.23 6.80 Umur*Waktu 1 0.01 0.01 0.31 Error 44 1.47 0.03 Total 47 1.73 Ftabf 0.39 0.01 0.58 a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f = Ftabel. Tabel ANOVA suhu rektal kerbau betina antara pagi dan sore SKa dbb JKc KTd Fhite Umur 1 0.20 0.20 3.81 Waktu 1 1.51 1.51 28.64 Umur*Waktu 1 0.04 0.04 0.67 Error 44 2.31 0.05 Total 47 4.05 Ftabf 0.06 0.00 0.42 a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f = Ftabel. Lampiran 2 Analysis of variance morfometri kerbau 6 parameter Tabel ANOVA panjang badan SKa dbb JKc Dataran 1 273.37 Umur 1 2 185.04 Dataran*Umur 1 57.04 Error 20 1 545.00 Total 23 4 060.46 KTd 273.37 2 185.04 57.04 77.25 Fhite 3.54 28.29 0.74 Ftabf 0.08 0.00 0.40 a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f = Ftabel. Tabel ANOVA lingkar dada SKa dbb JKc Dataran 1 68.34 Umur 1 5 236.26 Dataran*Umur 1 0.26 Error 20 2 974.87 Total 23 8 279.74 KTd 68.34 5 236.26 0.26 148.74 Fhite 0.46 35.20 0.00 Ftabf 0.51 0.00 0.97 a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f = Ftabel. 19 Tabel ANOVA lebar dada SKa dbb JKc Dataran 1 234.38 Umur 1 560.67 Dataran*Umur 1 40.04 Error 20 281.25 Total 23 1 116.33 KTd 234.38 560.67 40.04 14.06 Fhite 16.67 39.87 2.85 Ftabf 0.00 0.00 0.11 a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f = Ftabel. Tabel ANOVA Body Condition Scoring SKa dbb JKc Dataran 1 2.67 Umur 1 0.17 Dataran*Umur 1 1.40E-32 Error 20 3.00 Total 23 5.83 KTd 2.67 0.17 1.40E-32 0.15 Fhite 17.78 1.11 0.00 Ftabf 0.00 0.30 1.00 a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f = Ftabel. Tabel ANOVA lebar pinggul SKa dbb Dataran 1 Umur 1 Dataran*Umur 1 Error 20 Total 23 JKc 9.38 450.67 2.04 404.25 866.33 KTd 9.38 450.67 2.04 20.2 Fhite 0.46 22.30 0.10 Ftabf 0.50 0.00 0.75 a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f = Ftabel. Tabel ANOVA tinggi badan SKa dbb Dataran 1 Umur 1 Dataran*Umur 1 Error 20 Total 23 JKc 52.51 1 254.26 12.76 738.87 2 058.41 KTd 52.51 1 254.26 12.76 36.94 Fhite 1.42 33.95 0.35 Ftabf 0.25 0.00 0.56 a = sumber keragaman; b = derajat bebas; c = jumlah kuadrat; d = kuadrat tengah; e = Fhitung; f = Ftabel. 20 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Desember 1994. Penulis merupakan anak pertama dari 2 bersaudara pasangan Bapak Maymuchar dan Ibu Selena Madini. Penulis mengawali pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) pada tahun 1999 di TK Ceria Kembar. Penulis melanjutkan pendidikan sekolah dasar di SD Yayasan Pendidikan Islam “45” Bekasi pada tahun 2000 dan lulus pada tahun 2006. Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di SMP-IT Thariq Bin Ziyad Bekasi dan lulus pada tahun 2009. Penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA-IT Thariq Bin Ziyad Bekasi dan lulus pada tahun 2012. Penulis melanjutkan pendidikan S1 di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2012 melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif sebagai pengurus organisasi mahasiswa BEM-D (Badan Eksekutif Mahasiswa Peternakan) sebagai anggota Divisi Fundrising pada periode 2013-2014 dan sebagai bendahara Divisi Kemitraan dan Bisnis pada periode 2014-2015 serta pengurus organisasi mahasiswa FAMM Al-Amm (Forum Anggota Mahasiswa Muslim Fakultas Peternakan) sebagai anggota Divisi Fundrising Fakultas Peternakan periode 2013-2014. Selain itu penulis aktif di beberapa kegiatan kepanitiaan, seperti Ketua Koordinator Tenis Lapang Fakultas Peternakan 2014, Bendahara Makrab Angkatan-50 2014 dan, Anggota Divisi Fundrising Livestockphoria 2013 dan 2014. Pada tahun 2015 penulis mengikuti program Kuliah Kerja Profesi di Kec. Sukatani Kabupaten Purwakarta. Sebagai syarat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul Respon Fisiologis dan Performa Produksi Kerbau Lumpur Betina pada Ketinggian dan Umur yang Berbeda.