GAMBARAN MANAJEMEN TERAPEUTIK TENTANG KONTROL GULA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN CIAMIS SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan Pada Program S1 Keperawatan Oleh : RINI SRI WAHYUNI NIM : 12SP277037 PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS 2016 GAMBARAN MANAJEMEN TERAPEUTIK TENTANG KONTROL GULA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN CIAMIS 20161 Rini Sri Wahyuni 2, Jajuk Kusumawaty 3, Irfan Ali Rahman 4 ABSTRAK Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang di tandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah. Diabetes dapat didiagnosis bedasarkan kriteria glukosa plasma, baik dengan glukosa sewaktu atau gula darah 2 jam post prandial (PP). DM tidak dapat disembuhkan tetapi kadar gula darah dapat dikendalikan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui Gambaran Manajemen Terapeutik Tentang Kontrol Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan retrospektif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien diabetes mellitus di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis Tahun 2015. Sampel dalam penelitian ini sebayak 61 orang yang sesuai dengan kreteria inklusi dan eksklusi. Hasil penelitian diketahui bahwa manajemen terapeutik tentang Kontrol gula darah pada pasien diabetes mellitus di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis frekuensi tertinggi adalah sebanyak 41 orang (67,2%) berkategori abnormal dengan rincian kontrol gula darah dengan glukosa sewaktu frekuensi tertinggi yaitu sebanyak 33 orang (54,1%) berkategori normal dan kontrol gula darah dengan gula darah 2 jam post prandial (PP) frekuensi tertinggi yaitu sebanyak 31 orang (50,8%) berkategori normal. Saran diharapkan agar instansi Rumah Sakit hendaknya meningkatkan masukan dalam menyusun program pengontrolan DM dengan berfokus pada kontrol gula darah yang sangat bermanfaat bagi pasien untuk mempertahankan kondisi dan beradaptasi dengan penyakit DM yang bersifat kronis. Kata kunci Kepustakaan Keterangan : Manajemen Terapeutik, Kontrol Gula Darah, Diabetes Mellitus : 45 Referensi (2006-2015) :1.Judul, 2. Nama Mahasiswa, 3. Nama Pembimbing I , 4. Nama Pembimbing II v DESCRIPTION OF THERAPEUTIC MANAGEMENT OF BLOOD SUGAR CONTROL DIABETES MELLITUS PATIENTS IN GENERAL HOSPITAL DISTRICT CIAMIS 20161 Rini Sri Wahyuni 2, Jajuk Kusumawaty 3, Irfan Ali Rahman 4 ABSTRACT Diabetes Mellitus (DM) is a heterogeneous group of disorders are marked by an increase in blood glucose levels. Diabetes can be diagnosed bedasarkan plasma glucose criteria, either with glucose or blood sugar during the 2-hour postprandial (PP). DM can not be cured but can be controlled blood sugar levels The purpose of this study was to determine the Therapeutic Management Overview About Blood Sugar Control in Patients with Diabetes Mellitus in the General Hospital of Ciamis Regency, 2016. This research uses descriptive study with retrospective approach. The population in this study were all patients with diabetes mellitus in the General Hospital of Ciamis Regency Year 2015. The sample in this study sebayak 61 people who match the criteria of inclusion and exclusion. The survey results revealed that the therapeutic management of blood sugar control in patients with diabetes mellitus in the General Hospital of Ciamis Regency highest frequency are as many as 41 people (67.2%), abnormal category with details of blood sugar control with glucose as the highest frequency as many as 33 people ( 54.1%) categorized as normal and blood sugar control blood sugar 2 hour post prandial (PP) the highest frequency as many as 31 people (50.8%) normal category. Saran Hospital is expected that agencies should increase input in preparing the DM control program by focusing on blood sugar control is very beneficial for patients to maintain and adapt to the conditions of DM chronic disease. Key words Library Information : Therapeutic Management, Control Blood Sugar, Diabetes Mellitus : 45 Reference (2006-2015) : 1 Title, 2 Student name, 3 Name of Supervisor I, 4 Name of Supervisor II vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang di tandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smeltzer & Bare, 2012). DM merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. DM ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuropati. Pasien dengan kelainan intoleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan intoleransi glukosa) dapat tetap beresiko mengalami komplikasi metabolik diabetes. Sebanyak 75% penderita DM akhirnya meninggal karena penyakit vaskuler, serangan jantung, gagal ginjal, stroke, dan ganggren adalah komplikasi utama. Selain itu, dampak ekonomi pada DM jelas terlihat berakibat pada biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan, selain konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskuler (Price & Wilson, 2012). Diabetes dapat didiagnosis bedasarkan kriteria glukosa plasma, baik dengan glukosa sewaktu atau gula darah 2 jam post prandial (PP). International Expert Committee menyebutkan yang terbaru dapat ditambahkan pemeriksaan A1C sebagai pilihan ketiga untuk mendiagnosis diabetes (ADA, 2014). Selama fase pengobatan diabetes melitus, pasien perlu menerapkan manajemen terapeutik diabetes melitus dalam kehidupan sehari-hari sehingga pasien dapat sembuh dari diabetes melitus dan mencegah terjadinya kekambuhan. Manajemen terapeutik adalah pola dalam mengatur 1 2 dan mengintegrasikan progam terapi ke dalam kehidupan yang memuaskan dan mencukupi sesuai dengan tujuan pemulihan kesehatan yang ingin dicapai (NANDA, 2010). Manajemen terapeutik pengelolaan pada diabetes melitus terdiri atas lima pilar utama mencakup: edukasi, terapi gizi, aktivitas fisik, kontrol gula darah dan intervensi farmakologis (PERKENI, 2011). Pemantauan kendali glikemik DM merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan DM. Kendali glikemik yang baik ini telah terbukti menurunkan resiko komplikasi mikrovaskuler jangka panjang. Pemantauan kadar gula darah sangat bermanfaat bagi pasien DM dengan pengobatan insulin (Soewondo, 2009). DM tidak dapat disembuhkan tetapi kadar gula darah dapat dikendalikan. Dalam penatalaksanaan dan kontrol diabetes, tidak hanya gula darah saja yang perlu untuk diperiksa. Kadar hemoglobin terglikasi penting pula untuk diperiksa karena dapat memberikan gambaran pengendalian diabetes yang lebih baik dibandingkan gula darah. hemoglobin terglikasi dapat mengidentifikasi rata-rata konsentrasi glukosa plasma dalam periode 3 bulan. Pada seseorang yang memiliki pengendalian diabetes yang buruk maka terjadi peningkatan kadar hemoglobin terglikasi (Chako, Phillipo,Mafuratidze & Zhou, 2014). Penderita diabetes mellitus seharusnya menerapkan pola makan seimbang untuk menyesuaikan kebutuhan glukosa sesuai dengan kebutuhan tubuh melalui pola makan sehat dalam hal tersebut Allah SWT telah memberikan pelajaran kepada kita yang terkandung didalam Al-Qur’an surat Al-Araf (7) ayat 31 yang berbunyi : 3 “Artinya : Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan., (Al Araf surat ke 7 ayat 31)”. Dari ayat di atas tergambar bahwa Islam sudah menganjurkan menerapkan pola makan seimbang sesuai dengan kebutuhan tubuh melalui pola makan sehat dan jangan sekali-sekali mereka menyalah gunakannya, seperti menafkahkannya dengan boros atau berlebihan untuk mengontrol gula darah. Hasil penelitian yang dilakukan Qurratuaeni (2009) menunjukkan bahwa proporsi pasien yang kadar gula darahnya terkontrol lebih banyak dari pada pasien yang kadar gula daranya tidak terkontrol. Selain itu, berdasarkan analisis data tidak terdapat hubungan antara pengetahuan, pendidikan, kedekatan dan keterpaparan terhadap sumber informasi, asupan makan, aktivitas fisik pasien, asupan obat pasien, serta komplikasi penyakit lain dengan pangendalian kadar gula darah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sugandha (2014) ditemukan sebagian besar sampel laki-laki maupun perempuan memiliki status pengendalian gula darah dan hemoglobin terglikasi yang buruk. Dalam hal ini pengendalian DM tipe 2 cenderung buruk pada pasien yang dirawat inap di RSUP Sanglah periode Januari–Mei 2014 . Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronis, diperlukan pengendalian DM yang baik. Sasaran pengendalian DM dengan kriteria baik, diantaranya gula darah puasa 80-100 mg/dL, 2 jam post prandial 80-144 mg/dL, hemoglobin terglikasi <6,5%, kolesterol total <200 mg/dL, trigliserida <150 mg/dL, IMT 18,5-22,9 kg/m2 dan tekanan darah <130/80 mmHg (Mihardja, 2009). 4 Global status report on non communicable diseases tahun 2014 yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa prevalensi DM di seluruh dunia diperkirakan sebesar 9%. Proporsi kematian akibat penyakit DM dari seluruh kematian akibat penyakit tidak menular adalah sebesar 4%. Kematian akibat DM terjadi pada negara dengan pendapatan rendah dan menengah dengan proporsi sebesar 80%. Pada Tahun 2030 diperkirakan DM menempati urutan ke-7 penyebab kematian di dunia (WHO, 2014). WHO, (2014). Prevalensi DM tertinggi terdapat di wilayah Mediterania Timur (14%) dan terendah di Eropa dan wilayah Pasifik Barat (8% - 9%). Secara umum negara dengan penghasilan rendah menunjukkan angka prevalensi DM terendah dan negara dengan penghasilan menengah atas menunjukkan prevalensi DM tertinggi di dunia. Prevalensi DM di Negara dengan pendapat menengah atas terbanyak di Negara Cooks Island (29,1%), disusul Negara Niue (27,6%). Prevalensi DM pada negara penghasilan menengah bawah terbanyak pada Negara Samoa (25,2%), disusul Negara Micronesia (22,5%). Prevalensi DM pada negara dengan pendapatan tinggi/atas terbanyak pada Negara Qatar (23%), disusul Negara Kuwait (20,1%) dan prevalensi DM pada negara dengan pendapatan rendah terbanyak pada Negara Taj Ikistan (12,1%) disusul Negara Gambia dan Chad yaitu masing-masing 9,9%. Prevalensi DM di Asia Tenggara pada tahun 2014 adalah sebesar 8,3%, dengan kasus tidak terdiagnosa sebesar 52,8%. Kematian akibat DM pada penderita yang berusia dibawah 60 tahun adalah 53,8%. Diprediksikan pada tahun 2035 prevalensi DM di Asia Tenggara meningkat menjadi 10,1% (IDF, 2014). 5 Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005 menunjukkan peningkatan prevalensi DM dari tahun 2001 sebesar 7,5% menjadi 10,4% pada tahun 2004. Sementara itu hasil survei Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2003 menyatakan prevalensi DM di perkotaan mencapai 14,7% dan di pedesaan mencapai 7,2% (Hotma, 2014). Menurut IDF (2014), jumlah penduduk dewasa di Indonesia (umur 20-79 tahun) adalah sebanyak 1 56,7 juta jiwa. Prevalensi penderita DM di Indonesia pada usia 20-79 tahun adalah sebesar 5,8% dengan jumlah kematian sebanyak 176 ribu orang. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013), proporsi penduduk ≥ 15 tahun dengan DM adalah 6,9%. Prevalensi penderita DM berdasarkan wawancara (pernah didiagnosa dan ada gejala) mengalami peningkatan dari 1,1% (tahun 2007) menjadi 2,1% (tahun 2013). Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter dan atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), dan Sulawesi Selatan (3,4%). Proporsi penduduk umur ≥ 15 tahun dengan toleransi glukosa terganggu (TGT) mencapai 29,9%. Hal ini berarti akan semakin banyak penduduk yang berisiko tinggi untuk menderita DM (Balitbangkes, 2013). Propinsi yang juga mengalami peningkatan kasus diabetes mellitus adalah propinsi Jawa Barat. Propinsi Jawa Barat menduduki peringkat 11 untuk kasus DM dengan prevalansi yang terdiagnosis dokter 1,3% dan prevalensi DM yang terdiagnosis dokter atau gejala 2,0% (Kemenkes, 2013). Berdasarkan profil kesehatan propinsi Jawa Barat tahun 2013, proporsi penderita DM menurut umur 15 - 44 tahun terdapat 3,6% dan > 45 tahun terdapat 96,4% kondisi tersebut terjadi merata di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat (Dinkes Jabar, 2013). 6 Hasil survey pendahuluan dengan melihat data rekam medik di Rumah Sakit Umum Daerah Ciamis pada tanggal 15 Maret 2016 diketahui bahwa penderita diabetes melitus pada tahun 2013 adalah sebanyak 294 kasus pada tahun 2014 sebanyak 357 kasus pada tahun 2015 sebanyak 314 kasus sedangkan pada periode bulan januari 2016 sebayak 41 orang (Rekam Medis RSUD Ciamis, 2016). Berdasarkan data tersebut Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis mengalami peningkatan kasus diabetes melitus setiap tahunnya. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 15 Maret 2016 Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis kepada 8 orang pasien Diabetes Melitus menunjukan bahwa 3 orang gula darahnya terkontrol karena dalam proses pengobatannya pasien melakukan anjuran pengobatan dengan baik seperti melakukan aktifitas fisik/olahraga teratur, minum obat teratur, namun tidak melakukan anjuran diet DM dengan baik. Sementara pada 5 orang pasien, kadar gula darahnya tidak terkontrol karena pasien tidak melakukan anjuran pengobatan dengan baik seperti tidak melakukan olahraga secara teratur, tidak minum obat sesuai jadwal atau instruksi dari dokter, serta tidak melakukan diet sesuai dengan anjuran diet untuk pasien DM. Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Gambaran Manajemen Terapeutik Tentang Kontrol Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016”. 7 B. Rumusan Masalah Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang di tandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Sebanyak 75% penderita DM akhirnya meninggal karena penyakit vaskuler, serangan jantung, gagal ginjal, stroke, dan ganggren adalah komplikasi utama. Walaupun DM merupakan penyakit kronik yang tidak dapat menyebabkan kematian secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila pengelolaannya tidak tepat. Diabetes dapat didiagnosis bedasarkan kriteria glukosa plasma, baik dengan glukosa sewaktu atau gula darah 2 jam post prandial (PP). DM tidak dapat disembuhkan tetapi kadar gula darah dapat dikendalikan. Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian ini “Bagaimanakah Gambaran Manajemen Terapeutik Tentang Kontrol Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016?”. C. Tujuan 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui Gambaran Manajemen Terapeutik Tentang Kontrol Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016. 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya kontrol gula darah dengan glukosa sewaktu pada pasien diabetes mellitus Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016. 8 b. Diketahuinya kontrol gula darah dengan gula darah 2 jam post prandial (PP) pada pasien diabetes mellitus Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yang diharapkan di dalam penatalaksanaan penelitian ini yaitu bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Rumah Sakit Hasil penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan masukan dalam menyusun program pengontrolan DM dengan berfokus pada kontrol gula darah yang sangat bermanfaat bagi pasien untuk mempertahankan kondisi dan beradaptasi dengan penyakit DM yang bersifat kronis dan mempengaruhi kualitas hidup. b. Bagi Institusi Pendidikan Dapat digunakan sebagai tambahan referensi untuk meningkatkan mutu pendidikan terutama masalah keperawatan pasien DM. c. Bagi Perawat Dapat berguna sebagai bahan informasi untuk meningkatkan pelayanan keperawatan pada pasien DM. d. Bagi Peneliti Lain Diharapkan penelitian ini bisa dijadikan sumber informasi atau sebagai data awal bagi penelitian selanjutnya. 9 E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai Diabetes Mellitus pernah diteliti oleh Putri (2013) dengan judul Hubungan Empat Pilar Pengendalian DM Tipe 2 Dengan Rerata Kadar Gula Darah. Peneliti menggunakan penelitian observasional, dengan studi cross sectional. Sampel yang digunakan pada penderita diabetes lama yang melakukan pemeriksaan gula darah 3 kali secara berturut-turut. Di mana didapatkan 53 responden, peneliti melakukan wawancara dengan bantuan kuesioner untuk mengumpulkan data, serta dilakukan analisis menggunakan Chi Square untuk mengetahui hubungan pada masing-masing variabel yang diteliti. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah rerata kadar gula darah, sedangkan variabel bebasnya adalah penyerapan edukasi, pengaturan makan, olahraga, kepatuhan pengobatan. Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan penyerapan edukasi, pengaturan makan, olahraga dan kepatuhan pengobatan dengan rerata kadar gula darah. Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang diabetes mellitus. Pada penelitian yang akan di lakukan oleh peneliti saat ini mempunyai perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu judul, lokasi, waktu dan jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif yaitu suatu metode penelitian dengan tujuan utama membuat gambaran atau deskripsi suatu objek yaitu manajemen regimen terapeutik pasien Diabetes Mellitus berdasarkan kontrol gula darah. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar 1. Diabetes Melitus a. Pengertian Diabetes melitus adalah penyakit kronis di mana pankreas tidak dapat memproduksi insulin secara cukup, atau di mana tubuh tidak efektif menggunakan insulin yang diproduksi, atau pun keduanya. Hal ini menjurus kepada peningkatan konsentrasi dari kadar gula dalam darah atau hyperglycaemia (WHO, 2013). Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2012, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (ADA, 2012). Berdasarkan kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) tahun 2011, seseorang dikatakan menderita diabetes jika ada gejala diabetes melitus dengan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL atau adanya gejala klasik diabetes mellitus dengan kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL atau kadar gula plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥200 mg/dL (PERKENI, 2011). b. Klasifikasi dan Etiologi 1) Diabetes tipe 1 (insulin-dependent diabetes) terjadi karena adanya gangguan pada pankreas, menyebabkan pankreas tidak mampu 10 11 memproduksi insulin dengan optimal. Pankreas memproduksi insulin dengan kadar yang sedikit dan dapat berkembang menjadi tidak mampu lagi memproduksi insulin.Akibatnya, penderita diabetes tipe 1 harus mendapat injeksi insulin dari luar (Sutanto, 2013). Penyebab diabetes tipe 1 tidak diketahui dan kejadian ini masih belum dapat dicegah dengan ilmu yang ada pada saat ini. Gejala-gejalanya meliputi frekuensi ekskresi urin yang berlebihan (polyuria), kehausan (polydipsia), lapar yang terus menerus, berat badan berkurang, gangguan penglihatan, dan kelelahan. Gejalagejala ini dapat muncul secara tiba-tiba (WHO, 2013). 2) Diabetes tipe 2 merupakan penyakit diabetes yang disebabkan karena sel-sel tubuh tidak merespon insulin yang dilepaskan oleh pankreas (Sutanto, 2013). Diabetes tipe 2 dialami hampir 90% manusia di dunia, dan secara umum penyakit ini adalah hasil dari berat badan berlebih dan kurangnya aktifitas fisik. Gejala-gejala mirip dengan diabetes tipe 1, tetapi biasanya tidak terasa. Hasilnya, penyakit ini terdiagnosa bertahun tahun setelah awal mula terjadinya penyakit, ketika sudah timbul komplikasi (WHO, 2013). 3) Diabetes gestational adalah diabetes yang disebabkan karena kondisi kehamilan (Sutanto, 2013). Gejala diabetes gestational mirip dengan gejala diabetes tipe 2. Diabetes gestational lebih sering terdiagnosa melalui prenatal screening dari pada gejala yang dilaporkan (WHO, 2013). Klasifikasi etiologi diabetes melitus berdasarkan American Diabetes Association (ADA, 2013) adalah sebagai berikut: 12 1) Diabetes Melitus Tipe 1 IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)) DM tipe 1 adalah diabetes melitus yang tergantung pada insulin untuk mengatur metabolisme glukosa dalam darah. Pada DM tipe 1 terjadi kerusakan pada sel beta dalam menghasilkan insulin karena proses autoimun. Sebagai akibatnya pasien kekurangan insulin bahkan tidak ada insulin, sehingga memerlukan terapi insulin agar gula darah dalam batas terkontrol. Tipe ini terjadi sekitar 5 – 10% dari keseluruhan penderita diabetes (Smeltzer & Bare, 2012 ). 2) Diabetes Melitus Tipe 2 (NIDDM (Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus)) DM tipe 2 merupakan jenis penyakit diabetes melitus dimana individu mengalami penurunan sensitivitas terhadap insulin atau yang lebih dikenal dengan resistensi insulin dan kegagalan fungsi sel beta yang mengakibatkan penurunan produksi insulin. DM tipe 2 ini mengenai 90 -95 % pasien dengan DM. Insiden ini terjadi lebih umum pada usia > 30 tahun, dan obesitas (Smeltzer & Bare, 2012 ) DM tipe 2 bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin. 3) Diabetes Melitus Tipe Lain a) Defek genetik fungsi sel beta akibat mutasi pada : (1) Kromosom 20, Hepatocyte Nuclear Transcription Factor (HNF) 4α (dahulu MODY 1) (2) Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3) 13 (3) Kromosom 7, Glukokinase (dahulu MODY 2) (4) Kromosom 13, Insulin Promoter Factor (IPF) 1 (dahulu MODY4) (5) Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5) (6) Kromosom 2, Neuro DI (dahulu MODY 6) (7) DNA mitokondria (8) lainnya b) Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya. c) Penyakit Eksokrin trauma/pankreatektomi, Pankreas: neoplasma, pankreatitis, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya. d) Endokrinopati: akromegali, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya. e) Karena obat/zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, agonis β adrenergic, tiazid, fenitoin, interferon alfa, protease inhibitor, clozapine, beta bloker, lainnya. f) Infeksi: rubella kongenital, CMV, lainnya. g) Imunologi (jarang): sindrom Stiff-man, antibodi anti reseptor insulin, lainnya. h) Sindrom genetik lain: sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram’s, ataksia Friedreich’s, Chorea Huntington, sindrom Laurence-Moon-Biedl, distrofi miotonik, porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya 14 4) Diabetes Gestasional Diabetes Gestasional dimana terjadinya intoleransi tingkat glukosa pada`masa kehamilan. Hiperglikemi terjadi selama masa kehamilan karena sekresi dari hormon plasenta sehingga menyebabkan resistensi insulin. Diabetes gestasional terjadi pada 14 % dari semua wanita hamil dan meningkat resikonya pada mereka yang memiliki masalah hipertensi dalam kehamilan (Smeltzer & Bare, 2012). c. Faktor risiko diabetes mellitus Faktor risiko diabetes mellitus antara lain adalah (Powers, 2010): 1) Riwayat keluarga menderita diabetes (contoh: orang tua atau saudara kandung dengan diabetes mellitus ) 2) Obesitas (Indeks Massa Tubuh ≥ 25 kg/m2) 3) Aktivitas fisik 4) Ras/etnis 5) Gangguan Toleransi Glukosa 6) Riwayat Diabetes Gestational atau melahirkan bayi dengan berat lahir > 4 kg 7) Hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg) 8) Kadar kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL (0,90 mmol/L) dan/atau kadar trigliserida ≥ 250 mg/dL (2,82 mmol/L) 9) Polycystic Ovary Syndrome atau Acantosis Nigricans 10) Riwayat kelainan darah 15 d. Gejala klinis Manifestasi utama penyakit diabetes mellitus adalah hiperglikemia, yang terjadi akibat berkurangnya jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel, berkurangnya penggunaan glukosa oleh berbagai jaringan dan peningkatan produksi glukosa (glukoneogenesis) oleh hati (PERKENI, 2011). Gejala diabetes dapat dikelompokkan menjadi dua,yaitu (PERKENI, 2011) : 1) Gejala Akut Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi tiga serba banyak yaitu: a) Banyak makan (polifagia) b) Banyak minum (polidipsi) c) Banyak kencing (poliuria) Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus bertambah, karena pada saat itu jumlah insulin masih mencukupi. Apabila keadaan ini tidak segera diobati maka akan timbul keluhan lain yang disebabkan oleh kurangnya insulin. Keluhan tersebut diantaranya: a) Nafsu makan berkurang b) Banyak minum c) Banyak kencing d) Berat badan turun dengan cepat e) Mudah lelah f) Bila tidak segera diobati,penderita akan merasa mual bahkan penderita akan jatuh koma (koma diabetik). 16 2) Gejala Kronik Gejala kronik akan timbul setelah beberapa bulan atau beberapa tahun setelah penderita menderita diabetes. Gejala kronik yang sering dikeluhkan oleh penderita, yaitu: a) Kesemutan b) Kulit terasa panas c) Terasa tebal dikulit d) Kram e) Lelah f) Mudah mengantuk g) Mata kabur h) Gatal disekitar kemaluan i) Gigi mudah goyah dan mudah lepas j) Kemampuan seksual menurun k) bagi penderita yang sedang hamil akan mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau berat bayi lahir lebih dari 4 kg e. Diagnosis diabetes mellitus Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara (PERKENI, 2011) , yaitu : 1) Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. 2) Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhanklasik. 17 3) Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan dini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus. Kriteria Diagnostik Diabetes Melitus 1) Gejala klasik diabetes melitus + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L) (Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir). 2) Gejala klasik diabetes melitus + kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0 mmol/L) (Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam). 3) Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L) (TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air). Pemeriksaan HbA1c (≥6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis diabetes melitus , jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandarisasi dengan baik (PERKENI, 2011). f. Komplikasi Komplikasi diabetes terbagi 2 yaitu komplikasi akut dan kronik. 1) Komplikasi Akut Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS) adalah komplikasi akut diabetes (Powers, 2010). Pada Ketoasidosis Diabetik (KAD), kombinasi 18 defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi badan keton dan asam lemak secara berlebihan. Akumulasi produksi badan keton oleh sel hati dapat menyebabkan asidosis metabolik. Badan keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3-beta-hidroksibutirat (3HB). Pada Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS), hilangnya air lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar (Soewondo, 2009). 2) Komplikasi Kronik Jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik, diabetes melitus akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati (Waspadji, 2009). Komplikasi kronik diabetes melitus bisa berefek pada banyak sistem organ. Komplikasi kronik bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu komplikasi vaskular dan non-vaskular. Komplikasi vaskular terbagi lagi menjadi mikrovaskular (retinopati, neuropati, dan nefropati) dan makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, penyakit serebrovaskular). Sedangkan komplikasi nonvaskular dari diabetes melitus yaitu gastroparesis, infeksi, dan perubahan kulit (Powers, 2010). g. Pencegahan Usaha pencegahan pada penyakit diabetes mellitus terdiri dari: pencegahan primordial yaitu pencegahan kepada orang-orang yang masih sehat agar tidak memilki faktor resiko untuk terjadinya 19 diabetes mellitus, pencegahan primer yaitu pencegahan kepada mereka yang belum terkena diabetes mellitus namun memiliki faktor resiko yang tinggi dan berpotensi untuk terjadinya diabetes mellitus agar tidak timbul penyakit diabetes mellitus, pencegahan sekunder yaitu mencegah agar tidak terjadi komplikasi walaupun sudah terjadi penyakit, dan pencegahan tersier yaitu usaha mencegah agar tidak terjadi kecacatan lebih lanjut walaupun sudah terjadi komplikasi (Soegondo, 2012). 1) Pencegahan Primordial Pencegahan primordial ditujukan kepada masyarakat yang sehat untuk berperilaku positif mendukung kesehatan umum dan upaya menghindarkan diri dari risiko diabetes melitus. Misalnya, berperilaku hidup sehat, tidak merokok, memakan makanan yang bergizi dan seimbang, diet, membatasi diri dengan makanan tertentu ataupun kegiatan jasmani yang memadai (PERKENI, 2011). 2) Pencegahan Primer Sasaran dari pencegahan primer adalah orang-orang yang termasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka yang belum terkena diabetes mellitus, tetapi berpotensi untuk mendapatkan penyakit diabetes mellitus. Pada pencegahan primer ini harus mengenal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya diabetes mellitus dan upaya untuk mengeliminasi faktor-faktor tersebut (PERKENI, 2011). Usaha pencegahan primer ini dilakukan secara menyeluruh pada masyarakat tetapi diutamakan dan ditekankan untuk dilaksanakan dengan baik pada mereka yang berisiko tinggi 20 yang berpotensi menderita diabetes melitus . Tindakan yang perlu dilakukan untuk usaha pencegahan primer ini meliputi penyuluhan mengenai perlunya pengaturan gaya hidup sehat sedini mungkin dengan memberikan pedoman, yaitu mempertahankan pola makan sehari-hari yang sehat dan seimbang seperti meningkatkan konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan tinggi lemak dan karbohidrat atau sering disebut diet dan mempertahankan berat badan normal sesuai dengan umur dan tinggi badan. Selain itu yang dapat dilakukan adalah melakukan kegiatan jasmani yang cukup dan sesuai dengan umur dan kemampuan (Soegondo, 2012). 3) Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan dan menghambat timbulnya penyakit dengan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal. Pengobatan sejak awal harus segera dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi menahun. Edukasi mengenai diabetes mellitus dan pengelolaannya akan meningkatkan kepatuhan pasien untuk berobat (Shadine, 2010). a) Penyuluhan Edukasi diabetes melitus adalah pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan mengenai diabetes melitus. Penyuluhan diperlukan karena penyakit diabetes adalah penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup. Disamping kepada pasien diabetes melitus , edukasi juga diberikan kepada anggota keluarganya, tim kesehatan/ perawatan, dan 21 orang-orang yang beraktivitas bersama-sama dengan penderita diabetes melitus setiap hari (Soegondo, 2012). Penyuluhan untuk pencegahan sekunder ini ditujukan kepada mereka yang baru terdiagnosis diabetes. Kelompok penderita diabetes ini masih sangat perlu diberi pengertian mengenai penyakit diabetes supaya mereka dapat mengendalikan penyakitnya dalam mengontrol gula darah, mengatur makanan, dan melakukan aktifitas olah raga sesuai dengan keadaan dirinya sehingga pada akhirnya penderita akan merasa nyaman karena bisa mengendalikan gula darahnya. penyuluhan Materi adalah yang dapat definisi diberikan diabetes dalam mellitus, penatalaksanaan diabetes secara umum, obat-obat untuk mengontrol glukosa darah (tablet dan insulin), perencanaan makan dengan menggunakan bahan makanan penukar, manfaat kegiatan jasmani (olah raga).Selanjutnya dapat diberikan materi penyuluhan lanjutan, yaitu mengenal dan mencegah komplikasi akut diabetes, pengetahuan mengenai komplikasi kronik diabetes, penatalaksanaan diabetes selama menderita penyakit lain, dan pemeliharaan kaki diabetes (PERKENI, 2011). b) Pengobatan Jika pasien telah melaksanakan program makan dan latihan jasmani secara teratur, namun pengendalian kadarglukosa darah belum tercapai, perlu ditambahkan obat hipoglikemik baik oral maupun insulin. 22 (1) Obat Hipoglikemik Oral (OHO) Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes melitus tipe2.Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Berdasarkan cara kerjanya, Obat Hipoglikemik Oral dapat dibagi menjadi 5 golongan, yaitu golongan pemicu sekresi insulin (sulfonilurea dan glinid), golongan peningkat sensitivitas terhadap insulin (tiazolidindion), golongan penghambat glukoneogenesis (metformin), golongan penghambat absorpsi glukosa (glukosidase alfa), dan golongan DPP-IV inhibitor (PERKENI, 2011). Golongan sulfonilurea diberikan pada pasien yang tidak gemuk karena meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, misalnya Glibenklamid dengan nama obat paten Daonil atau Euglucon. Golongan glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea dengan penekanan pada sekresi insulin fase pertama, misalnya Repaglinid dengan nama obat paten Novonorm. Golongan tiazolidindion mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, misalnya Pioglitazon dengan nama obat paten Actos. Golongan metformin berfungsi mengurangi produksi glukosa hati, misalnya Glucophage. Golongan 23 glukosidase alfa berfungsi mengurangi absorpsi glukosa di usus halus sehingga menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan, misalnya Akarbose dengan nama obat paten Glucobay (PERKENI, 2011). (2) Insulin Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita diabetes melitus tipe 1.Pada diabetes melitus tipe 1, sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin.Sebagai penggantinya, maka penderita diabetes melitus tipe 1 harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik (PERKENI, 2011). 4) Pencegahan Tersier Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap. Pada upaya pencegahan primer tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal (PERKENI, 2011). Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama disiplin ilmu seperti konsultan penyakit jantung dan ginjal, maupun para ahli disiplin lain seperti dari bagian mata, 24 bedah ortopedi, bedah vaskuler, radiologi, rehabilitasi, medis, gizi, pediatri dan sebagainya sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier (PERKENI, 2011). 2. Manajemen Terapeutik a. Definisi Manajemen Terapeutik Manajemen terapeutik adalah pola dalam mengatur dan mengintegrasikan progam terapi ke dalam kehidupan yang memuaskan dan mencukupi sesuai dengan tujuan pemulihan kesehatan yang ingin dicapai (NANDA, 2010). Kepatuhan pasien dalam mengintegrasikan manajemen terapeutik dalam kehidupan sehari dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi adalah perawat. Pasien yang mengikuti petunjuk perawat dalam mengintegrasikan manajemen regimen terapeutik dalam maka akan menghasilkan manajemen regimen terapeutik yang efektif. Kepatuhan pasien dipengaruhi oleh 2 golongan yaitu golongan internal dimana perilaku kesehatan bersifat self directed dan eksternal yaitu orang lain yang dianggap mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi hasil kesehatan. Salah satu faktor eksternal tersebut adalah perawat. Salah satu tugas perawat adalah membantu pasien secara personal menyelesaikan masalah dan mengidentifikasi kebutuhannya. Apabila pasien sudah menyadari kebutuhannya dan yakin kebutuhan tersebut akan mempengaruhi kesehatannya maka pasien akan mencari tahu apa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan perawat dapat membantu pasien untuk mengidentifikasi kebutuhannya (Blais, et al., 2007). 25 b. Indikator Yang Mempengaruhi Keefektifan Managemen Terapeutik Menurut NANDA (2010), indikator yang berpengaruh antara lain ; pemilihan aktivitas yang sesuai dan tidak sesuai dengan tujuan terapi, pengungkapan gejala sakit, mengungkapkan keinginan untuk mengatur terapi dan progam pencegahan, mengungkapkan perhatian untuk menurunkan faktor risiko bagi kesembuhan dan gejala sisa, mengungkapkan kesulitan untuk mengatur progam terapi. c. Faktor Yang Mempengaruhi Keefektifan Managemen Terapeutik Menurut NANDA (2010), faktor-faktor yang berpengaruh antara lain; kelemahan/tak hambatan berdaya, yang dirasakan, penerimaan yang dukungan dirasakan, sosial, perilaku personel kesehatan, pola perawatan keluarga, konflik keluarga, ekonomi, kompleksitas managemen terapeutik, kompleksitas sistem pelayanan, ketegangan yang dirasakan, pemberian info yang tidak adekuat. Pendidikan pasien akan mempengaruhi persepsi dan perilaku pasien dalam menjalankan progam terapi pengobatan yang telah diberikan (Blais, et al., 2007). d. Komponen Manajemen Terapeutik Diabetes Mellitus Menurut Smeltzer dan Bare (2012), tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien. 26 Manajemen terapeutik pengelolaan pada diabetes melitus terdiri atas lima pilar utama mencakup: edukasi, terapi gizi, aktivitas fisik, kontrol gula darah dan intervensi farmakologis (PERKENI, 2011). Sedangkan menurut Soegondo (2012) pada dasarnya manajemen ini dilakukan dengan dua pendekatan yaitu terapi non farmakologis dan terapi farmakologis serta pengelolaan diabetes melitus terdiri atas 5 pilar utama yaitu : 1) Terapi non farmakologis Terapi non farmakologis meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal dengan terapi gizi, meningkatkan aktivitas fisik dan olahraga/jasmani dan program edukasi yang diberikan secara terus menerus. a) Terapi gizi Keberhasilan dari pengendalian pengobatan DM tergantung pada tingkat kepatuhan dari penderita terhadap regimen terapi yang telah ditentukan. Tujuan dari terapi gizi adalah untuk memperbaiki kebiasaan makan dan mendapatkan kontrol metabolik yang diinginkan. Selain untuk mempertahankan berat badan normal selama menjalani terapi diabetes, pengaturan diet juga bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal, mencapai kadar serum lipid yang optimal dan menangani komplikasi akut serta meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal (Sukardji, 2009). Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan keadaan gizi seimbang yang mengandung karbohidrat (45-60%), protein (10-20%) dan lemak (20-25%). Jumlah kalori 27 disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi dan umur, stress akut dan kegiatan jasmani untuk mempertahankan berat badan idaman (Waspadji, 2006). Untuk menentukan kebutuhan kalori pada pasien beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama: penentuan status gizi berdasarkan rumus Broca (Berat badan idaman/BBI) dimana : BBI dalam kg = (TB cm – 100) – 10% (kecuali untuk laki-laki< 160 cm dan perempuan < 150 cm, tidak dikurangi 10%.Kedua: penentuan status gizi ditentukan dengan BB aktual dibanding BBI dikali 100 %. Diklasifikasikan menjadi berat badan kurang jika BB aktual < 90 % BBI, berat badan normal jika BB aktual antara 90–110% BBI, berat badan lebih jika BB aktual 110–120% BBI dan obesitas jika BB aktual > 120% BBI.Ketiga: penentuan kebutuhan kalori perhari, kebutuhan basal adalah BB (kg) dikalikan dengan 30 kalori untuk laki-laki dan 20 kalori untuk wanita, penambahan kalori 10-30% aktifitas, bila gemuk dikurangi 20-30%, bila kurus ditambah 20-30%, untuk umur dikurangi 5-20% (Yunir & Soebardi, 2006). Keempat: makanan tersebut kemudian dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara makan besar. Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal, kecuali dalam pengaturan jadwal makanan dan jumlah kalori. Pada pasien diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis 28 dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. b) Aktivitas fisik dan latihan jasmani Aktivitas fisik melibatkan kelompok besar otot-otot utamanya yang mempengaruhi peningkatan pengambilan oksigen sehingga terjadi peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif. Proses metabolisme yang berlangsung dapat menimbulkan panas dan sebagian besar akan terbuang melalui keringat. Individu yang melakukan kegiatan fisik, dapat dihasilkan keringat sebanyak 2 liter/jam (Yunir & Soebardi, 2006). Latihan fisik yang teratur dapat mengendalikan berat badan, kadar gula darah, tekanan darah dan yang paling penting memicu pengaktifan produksi insulin dan membuat kerjanya menjadi lebih efisien. Namun pada pasien diabetes melitus yang tidak terkontrol, latihan jasmani justru dapat meningkatkan kadar gula darah dan badan keton yang dapat berakibat fatal (Yunir & Soebardi, 2006). Prinsip latihan jasmani pada pasien diabetes hampir sama dengan latihan jasmani secara umum yaitu memenuhi beberapa hal seperti: frekuensi, intensitas, durasi dan jenis. Frekuensi latihan jasmani yang dianjurkan pada pasien diabetes melitus adalah dilakukan secara teratur 3-5 kali dalam 1 minggu, dengan intensitas ringan dan sedang (6070% maximum heart rate), dan lama latihan fisik yang baik adalah 30-60 menit. Adapun jenis latihan fisik yang 29 bermanfaat seperti latihan jasmani endurans (aerobic) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging dan bersepeda. Latihan jasmani yang dipilih adalah latihan yang disenangi oleh pasien (Yunir & Soebardi, 2006). Latihan fisik dan jasmani merupakan hal yang esensial dalam pengelolaan diabetes. Kegiatan fisik pada pasien DM akan mengurangi resiko terjadinya gangguan pada kardiovaskuler dan meningkatkan harapan hidup (kualitas hidup pasien). Kegiatan fisik juga akan meningkatkan rasa nyaman, baik secara fisik, psikis maupun sosial dan pasien tanpak sehat (Yunir & Soebardi, 2006). Kebiasaan aktivitas fisik yang kurang baik secara signifikan berhubungan dengan kualitas hidup (Gautam Y et al, 2009). c) Program edukasi DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan baik. Pemberdayaan penyandang DM memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi (PERKENI, 2011). Edukasi DM adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan bagi pasien DM guna menunjang perubahan perilaku, meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakitnya, sehingga tercapai kesehatan yang optimal, penyesuaian keadaan psikologis peningkatan kualitas hidup (Soegondo, 2012). dan 30 d) Kontrol gula darah Pemeriksaan kadar gula darah yang dilakukan di laboratorium dengan metode oksidasi glukosa memberikan hasil yang lebih akurat. Oleh karena itu untuk menentukan diagnosis DM disarankan pemeriksaan kadar glukosa di laboratorium. Seringkali pemeriksaan darah dilakukan dengan uji strip pada saat konsultasi, dengan metode enzimatik. Strip yang digunakan mengandung membran yang dapat memisahkan eritrosit dengan plasma, sehingga hasil pengukuran adalah glukosa plasma meskipun sampelnya berasal dari darah biasa. Pemeriksaan dengan metode enzimatik ini dapat dilakukan dengan lebih cepat, mudah dan cukup akurat walaupun relatif lebih mahal. Bila cara tersebut dilakukan dengan secara benar melalui prosedur yang baku maka hasilnya cukup baik untuk evaluasi pengobatan. Pemantauan kendali glikemik DM merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan DM. Kendali glikemik yang baik ini telah terbukti menurunkan resiko komplikasi mikrovaskuler jangka panjang. Pemantauan kadar gula darah sangat bermanfaat bagi pasien DM tipe 2 dengan pengobatan insulin (Soewondo, 2009). Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri (SMBG : self-monitoring of blood glucose), penderita diabetes kini dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia, dan berperan dalam menentukan kadar glukosa darah normal 31 yang kemungkinan akan mengurangi komplikasi diabetes jangka panjang. Berbagai metode melakukan pemantauan mandiri kini tersedia untuk kadar glukosa darah. Kebanyakan metode tersebut mencakup pengambilan setetes darah dari ujung jari tangan, aplikasi darah tersebut pada strip pereaksi khusus, dan kemudian darah tersebut (biasanya antara 45 dan 60 detik sesuai ketentuan pabrik). Untuk beberapa produk, darah dihapus dari strip (dengan menggunakan kapas atau kertas tisue sesuai ketentuan pabrik). Bantalan pereaksi pada strip akan berubah warnanya dan kemudian dapat dicocokkan dengan peta warna pada kemasan produk. Bagi penderita yang tidak menggunakan insulin, pemantauan mandiri glukosa darah sangat membantu dalam melakukan pemantauan terhadap efektivitas latihan, diet dan obat hipoglikemia oral. Metode ini juga dapat membantu memotivasi pasien untuk melanjutkan terapinya. Bagi penderita diabetes tipe II, pemantauan mandiri glukosa darah harus dianjurkan dalam kondisi yang diduga dapat menyebabkan hiperglikemia atau hipoglikemia (Soegondo, 2012). 2) Terapi farmakologis a) Obat hipoglikemik oral Ada 2 jenis obat hipoglikemik oral diantaranya adalah pemicu sekresi insulin (seperti sulfonylurea dan glinid) dan obat penambah sensitivitas terhadap insulin (biguanid, tiazolidindion, penghambat glukosidase alfa dan inkretin mimetik). 32 (1) Sulfonyluera Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pangkeras untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Sulfonylurea pada umumnya diberikan dengan dosis rendah untuk mencegah hipoglikemi. Jenis obat sulfonylurea adalah klorpropamid, glibenklamid, glipizid, glikuidon, glimepirid. (2) Glinid Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 jenis obat seperti repaglinid, dan nateglinid. (3) Biguanid Jenis obat ini seperti: metformin dan metformin XR. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular. Metformin tidak dapat menyebabkan penurunan glukosa darah sampai normal sehingga obat ini dikenal juga dengan obat anti hiperglikemik. Kombinasi supfoniluera dengan metformin tampak memberikan kombinasi yang rasional karena cara kerja yang berbeda dan saling adiktif. (4) Tiazolidindion Golongan obat yang mempunyai efek farmakologis meningkatkan sensitivitas insulin/ dapat diberikan secara oral. 33 (5) Penghambat glukosidase alfa Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. (6) Golongan inkretin mimetik Efektif menurunkan glukosa darah dengan cara merangsang sekresi insulin dan menghambat sekresi glukagon. b) Terapi insulin Pada kasus-kasus yang lebih umum, seringkali pasien DM membutuhkan suntikan insulin untuk membantu kekurangan pasokan dari tubuh. Berdasarkanlama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis (PERKENI, 2011), yakni: 1) insulin kerja cepat (rapid acting insulin) 2) insulin kerja pendek (short acting insulin) 3) insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) 4) insulin kerja panjang (long acting insulin) Pada diabetes tipe I, tubuh kehilangan kemampuan untuk memprodusi insulin. Dengan demikian, insulin eksogenus harus diberikan dalam jumlah tak terbatas. Pada diabetes tipe II, insulin mungkin diperlukan sebagai jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya. Di samping itu, sebagian pasien diabetes tipe II yang biasanya mengendalikan kadar glukosa darah dengan diet dan obat 34 oral kadang membutuhkan insulin secara temporer selama mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan atau beberapa kejadian stress lainnya. Penyuntikan insulin sering dilakukan dua kali per hari (atau bahkan lebih sering lagi) untuk mengendalikan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan dann pada malam hari. Karena dosis insulin yang diperlukan masing-masing pasien ditentukan oleh kadar glukosa dalam darah, maka pemantauan kadar glukosa yang akurat sangat penting. Pemantauan mandiri kadar glukosa darah telah menjadi dasar dalam memberikan terapi insulin (Soegondo, 2012). 3. Kontrol Gula Darah Gula Darah dalam tubuh berfungsi sebagai sumber energi atau kalori. Gula dalam darah berasal dari penyerapan usus dari makanan yang mengandung zat tepung/ karbohidrat dari nasi, ubi, jagung, kentang dan lain-lain. Dan sebagian dari pemecahan simpanan energi dalam jaringan (glikogen). Menurut kriteria International Diabetes Federation (IDF), American Diabetes Association (ADA), dan Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), apabila gula darah pada saat puasa di atas 126 mg/dl atau dua jam sesudah makan di atas 200 mg/dl, berarti orang tersebut menderita DM. Komplikasi DM bisa timbul pada semua organ dan semua sistem tubuh, dari kepala sampai kaki. Ini tergantung cara menjaga gula darah agar selalu normal. Semakin buruk kontrol gula darah, semakin mudah terkena komplikasi. Sebaliknya, kontrol gula yang baik dapat mencegah/menghambat terjadinya komplikasi (Tandra, 2014). 35 Pemeriksaan kadar glukosa darah yang dilakukan di laboratorium dengan metode oksidasi glukosa atau o-toluidin memberikan hasil yang lebih akurat. Oleh karena itu untuk menentukan diagnosa DM. Namun dengan adanya uji strip glukosa darah baik yang menggunakan glucometer maupun secara kasat mata, memungkinkan penderita melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah sendiri di rumah (Soegondo, 2011). Gula darah tinggi menyebabkan kerusakan bermacam-macam sistem dan organ tubuh. Bisa merusak mata, otak, rongga mulut, paruparu, jantung, lambung, usus, hati, empedu, ginjal, kandung kemih, sistem saraf, serta anggota gerak. Termasuk menimbulkan impotensi dan luka yang tidak kunjung sembuh. Bagaimana terjadinya komplikasi seperti ini, semua berawal dari kerusakan pembuluh darah. Gula darah tinggi merusak dinding pembuluh darah, baik pembuluh darah berukuran besar (arteri) maupun paling kecil (kapiler) (Tandra, 2011). Statistik menunjukkan, ketika berobat ke dokter, dua sampai tiga dari lima pasien menderita satu atau beberapa komplikasi lantaran penyakit DM. Namun, dengan kontrol gula darah yang baik, komplikasikomplikasi tersebut bisa dikalahkan, atau setidaknya dikurangi. Bahkan bila disiplin dan bersungguh-sungguh, komplikasi lain yang belum tibul bisa dicegah (Tandra, 2011). Menurut Nabil (2009), pemantauan status metabolik penyandang DM merupakan hal yang sangat penting. Hasil pemantauan tersebut digunakan untuk menilai manfaat pengobatan dan sebagai pedoman penyesuaian diet, latihan jasmani, dan obat-obatan untuk mencapai kadar 36 gula (glukosa) darah senormal mungkin, serta terhindar dari berbagai komplikasi. Status metabolik dapat dinilai dari beberapa parameter, seperti : a. Perasaan sehat secara subjektif b. Perubahan berat badan c. Kadar glukosa darah dan hemoglobin terglikasi d. Kadar glukosa urine dan keton urine e. Kadar lemak (lipid) darah Pemeriksaan glukosa darah secara berkala memang penting untuk dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan sasaran terapi diabetes dan melakukan penyesuaian dosis obat, bila sasaran belum tercapai. Namun pemeriksaan glukosa urine hanya dapat mendeteksi kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia), tetapi tidak dapat membedakan glukosa darah normal dan rendah (hipoglikemia). Hasil pemeriksaan sangat tergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat digunakan untuk menilai keberhasilan terapi (Nabil, 2009). Jumlah glukosa dalam darah tergantung kepada keseimbangan antara jumlah yang masuk dan yang keluar. Glukosa masuk ke dalam darah dari tiga macam sumber yaitu makanan yang mengandung hidratarang, glikogen dan sebagian asam amino dipecah oleh hepar untuk menghasilkan glukosa Kadar glukosa darah puasa (BCG) nuchter yang normal berkisar 3-5 mmol/l atau 80-120 mg/100 ml. Kadara ini akan meningkat mencapai nilai maksimal 8 mmol/l atau 200 mg/100 ml pada jam pertama setelah mengkonsumsi glukosa. Kenaikan kadar glukosa darah ini diubah oleh kerja insulin yang dihasilkan sebagai reaksi terhadap peningkatan kadar glukosa darah (Beck, 2011). 37 Pengukuran kadar gula darah terdapat beberapa pemeriksaan, menurut Arisman (2010), jenis pemeriksaan kadar gula darah ada beberapa jenis yaitu : a. Glukosa darah sewaktu Pemeriksaan gula darah yang dilakukan tanpa memperhatikan waktu terakhir pasien makan dan kondisi tubuh orang tersebut. b. Glukosa darah 2 jam post prandial Pemeriksaan gula darah yang tidak dapat distandarkan, karena makanan yang dimakan baik jenis maupun jumlahnya sulit diawasi dalam jangka waktu 2 jam. Menurut Arisman (2010), pemeriksaan kadar gula darah diperlukan untuk menentukan jenis pengobatan serta modifikasi diet. Ada dua macam pemeriksaan untuk menilai ada/ tidaknya masalah pada glukosa darah seseorang : a. Pemeriksaan gula darah secara langsung setelah berpuasa sepanjang malam. Uji kadar gula darah puasa (Fasting blood glucose tes) merupakan pemeriksaan baku emas (gold standard) untuk diagnosis DM. Seseorang didiagnosis DM manakala kadar gula darah puasanya, setelah dua kali pemeriksaan, tidak beranjak dari nilai di atas 140 mg/dl. b. Penilaian kemampuan tubuh dalam menangani kelebihan gula seusai minum cairan berkadar glukosa tinggi yang diperiksa dengan test toleransi glukosa oral (Oral glucose tolerance test). Caranya, darah pasien yang telah berpuasa selama 10 jam (jangan lebih dari 16 jam) 38 diambil untuk diperiksa. Tabel berikut memperlihatkan patokan kadar glukosa darah sewaktu puasa. Tabel 2.1. Patokan Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa untuk Menyaring dan Mendiagnosis DM Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dL) Kadar glukosa darah puasa (mg/dL) Plasma vena Darah kapiler Plasma vena Darah kapiler Bukan < 100 < 90 < 100 < 90 Belum Pasti 100-199 90-199 100-125 90-99 Pasti ≥200 ≥200 ≥126 ≥100 Segera setelah darah diperoleh, pasien diberi minuman yang mengandung 75 gram glukosa (1,75 g/kgBB) untuk anak-anak dan 100 g untuk wanita hamil). Darah pasien kemudian diambil lagi setelah ½, 1 . 2, 3 jam untuk diperiksa. Kadar gula darah ≤ 110 mg/dl dianggap sebagai respon gula darah normal. Gula darah puasa disimpulkan terganggu (impaired fasting glucose) jika hasil pemeriksaan menunjukkan pada kisaran angka ≥110 hingga ≤126 mg/dl. Jika hasil gula darah mencapai angka ≥140 sampai <200 mg/dl pada 2 jam posrprandial, dilakukan sebagai toleransi glukosa terganggu (inipaired glucose poslpranadia). Pasien dipastikan mengidap DM seandainya kadar gula darah 2 jam post pranadial bernilai 200 mg/dl. B. Landasan Teori Diabetes melitus adalah penyakit kronis di mana pankreas tidak dapat memproduksi insulin secara cukup, atau di mana tubuh tidak efektif menggunakan insulin yang diproduksi, atau pun keduanya. Hal ini menjurus kepada peningkatan konsentrasi dari kadar gula dalam darah atau hyperglycaemia (WHO, 2013). 39 Manajemen terapeutik adalah pola dalam mengatur dan mengintegrasikan progam terapi ke dalam kehidupan yang memuaskan dan mencukupi sesuai dengan tujuan pemulihan kesehatan yang ingin dicapai (NANDA, 2010). Manajemen terapeutik pengelolaan pada diabetes melitus terdiri atas lima pilar utama mencakup: edukasi, terapi gizi, aktivitas fisik, kontrol gula darah dan intervensi farmakologis (PERKENI, 2011). Pemeriksaan glukosa darah secara berkala memang penting untuk dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan sasaran terapi diabetes dan melakukan penyesuaian dosis obat, bila sasaran belum tercapai. Namun pemeriksaan glukosa urine hanya dapat mendeteksi kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia), tetapi tidak dapat membedakan glukosa darah normal dan rendah (hipoglikemia) (Nabil, 2009). C. Kerangka Konsep Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah (Notoatmodjo, 2010). Adapun kerangka konsep dari penelitian yang berjudul ” Gambaran Manajemen Terapeutik Tentang Kontrol Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Ciamis 2016” dapat di gambarkan sebagai berikut ini : 40 Manajemen teraputik pasien diabetes mellitus : - Edukasi Penderita diabetes mellitus Normal - Terapi gizi - Aktivitas fisik - Kontrol gula darah Abnormal - Intervensi farmakologis Gambar 2.1 Kerangka Konsep Sumber : (PERKENI, 2011) Keterangan : : Diteliti : Tidak diteliti Kerangka konsep diatas menunjukan Manajemen terapeutik pengelolaan pada diabetes melitus terdiri atas lima pilar utama mencakup: edukasi, terapi gizi, aktivitas fisik, kontrol gula darah dan intervensi farmakologis. Manajemen terapeutik pengelolaan pada diabetes mellitus yang akan diteliti adalah kontrol gula darah dimana pemeriksaan glukosa darah secara berkala memang penting untuk dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan sasaran terapi diabetes dan melakukan penyesuaian dosis obat, bila sasaran belum tercapai. DAFTAR PUSTAKA Al-Quran Surat Al Araf ke 7 ayat 31 ADA (American Diabetes Association), (2012). Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care volume 35 Supplement 1 : 64-71. ________________________________, (2013). Standards of Medical Care in Diabetes 2013. Diabetes Care Volume 36 Supplement 1 : 11-66. ________________________________, (2014). Diabetes Statistic. Tersedia dalam http://www.diabetes.org. [Diakses Tanggal 10 Maret 2016]. Arikunto, S, (2010). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi VI, Cetakan 13. Rineka Cipta. Jakarta. Arisman. 2010. Buku Ajar Ilmu Gizi Obesitas, Diabetes Melitus, dan Dislipidemia Konsep, Teori dan Penanganan Aplikatif. Jakarta : EGC. Balitbangkes. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Tersedia http://www.depkes.go.id. [Diakses Tanggal 10 Maret 2016]. dalam Beck, M.E. 2011. Ilmu Gizi dan Diet, Hubungannya dengan Penyakit-Penyakit untuk Perawat & Dokter. Yogyakarta : Andi. Blais, Kathleen; Hayes, Janice S; Kozier, Barbara; Erb, Glenora. (2007). Praktik Keperawatan Professional Konsep & Perspektif. Jakarta: EGC Chako KZ, Phillipo H, Mafuratidze E, Zhou DT (2014). Significant Differences in the Prevalence of Elevated HbA1C Levels for type I and Type II Diabetics Attending the Parirenyatwa Diabetic Clinic in Harare, Zimbabwe. Chin J Biology. Dinkes Jabar, (2013). Profil Kesehatan Propinsi Jawa Barat 2012, Tersedia dalam www.dinkesjabar.go.id, [diakses pada tanggal 10 Maret 2016] Ekawati, (2012). Hubungan kadar glukosa darah terhadap hypertriglyceridemia pada penderita diabetes mellitus. Seminar Nasional Kimia Unesea Gautam, Y., Sharma, A.K., Agarwal, A.K., Bhatnagar, M.K., & Trehan, R.R. (2009). A cross sectional study of QOL of diabetic patient at tertiary care hospital in Delhi. Indian Journal of Community Medicine, 34 (4), 346– 350 IDF. (2014). IDF Diabetes Atlas Sixth Edition. Tersedia dalam http://www.idf.org. [Diakses Tanggal 10 Maret 2016]. Immanuel S (2009). Hipoglikemia postprandial. Kedokteran Indonesia. Jakarta Lafata, (2013) Patient-reported use of collaborative goal setting and glycemic control among patients with diabetes. Patient Educ Couns [Internet]. Elsevier Ireland Ltd; 2013 Jul [cited 2016 Juni 15];92(1):94–9. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23433777 Mihardja L (2009). Faktor yang Berhubungan dengan Pengendalian Gula Darah pada Penderita Diabetes Mellitus di Perkotaan Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. Nabil. (2009). Mengenal Diabetes. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. NANDA. (2010). Panduan Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta : Prima Medika Notoatmodjo,S, (2010). Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi, Rineka Cipta Jakarta. Nursalam. (2013). Konsep Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan . Jakarta: Salemba Medika PERKENI, (2011). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta. Powers, (2010). Diabetes Mellitus. In: Jameson J.L. Harrison Endocrinology Ed 2. USA: McGraw-Hill Companies, Inc. 267-313. Price SA, Wilson LM (2011). Patofisiologi. Konsep K linis Proses-Proses Penyakit. 8th ed. Jakarta: EGC. Qurratuaeni (2009). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Terkendalinya Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati Jakarta Tahun 2009 Skripsi. Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Uin Syarif Hidayatullah Jakarta. Rachmawati (2014) Gambaran Kontrol dan Kadar Gula Darah pada Pasien Diabetes Melitus di Poliklinik Penyakit Dalam RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang. Jurnal. Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro Rekam Medis RSUD Ciamis (2016) Riduwan dan Akdon, (2007). Rumus dan Data dalam Analisis dan Statistik. Bandung : Alfabeta Shadine, M., (2010). Mengenal Penyakit Hipertensi, Diabetes, Stroke, dan Serangan Jantung. Jakarta: Penerbit Keenbooks. Smeltzer & Bare, (2012). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi ke delapan, Vol 8, Jakarta: EGC Soegondo, (2012). Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Soewondo, Pradana. (2009). Ketoasidosis Diabetik. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed 5. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sugandha (2014) Gambaran Pengendalian Kadar Gula Darah Dan HbA1C Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Yang Dirawat Di RSUP Sanglah Periode Januari-Mei 2014 Soegiarto, (2013) Kepatuhan Kontrol Dengan Tingkat Kadar Gula Darah Pasien Diabetes Mellitus Di Rumah Sakit Baptis Kediri. Jurnal STIKES Volume 5, No. 2, STIKES RS Baptis Kediri Sugiyono, (2013), Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung : Alfabeta Sukardji, K. 2009. Penatalaksanaan Gizi pada Diabetes Melitus, dalam Buku Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu (Panduan Penatalaksanaan Diabetes Melitus bagi Dokter dan Edukator). Edisi ke-2, Cetakan ke-7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Sutanto, Teguh. 2013. Diabetes Deteksi, Pencegahan dan Pengobatan. Yogyakarta : Buku Pintar Suyono, (2011) Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Balai penerbit FKUI. Jakarta. Tandra, (2014). Segala sesuatu yang harus anda ketahui tentang Diabetes : Panduang Lengkap Mengenal dan Mengatai Diabetes dengan Cepat dan Mudah. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. _____, 2011. Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui tentang Diabetes. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Wardani (2012) Hubungan Dukungan Keluarga Dan Pengendalian Kadar Gula Darah Dengan Gejala Komplikasi Mikrovaskuler. Jurnal. Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur, Indonesia Waspadji, Sarwono. (2009). Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan Strategi Pengelolaan. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed 5. Jakarta: Interna Publishing. 1922-1929. WHO, (2013) Country and Regional Data On Diabetes. Available from : http://www.who.int/diabetes/facts/world_figures/en/ [diakses 8 Maret 2016]. _____, (2014). Global Status Report On Non Communicable Diseases. Geneva. Yunnir, E & Soebadri, S. (2006), Terapi Non Farmakologi pada Diabetes,dalam Sudoyo et al, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, Edisi 4. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.