BAB n KAJIAN TEORETIS TENTANG PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BERBASIS NILAI DI SMP A. Landasan Filosofi Pendidikan Kewargancgaraan Deskripsi kajian teoretis menjadi kerangka acuan dalam berpikir secara konseptual 'Conceptual Framework', mengkaji konsep pendidikan yang berisi fungsi dan tujuan pendidikan, isi pendidikan serta proses pendidikan yang dilaksanakan, senantiasa membutuhkan kajian pembahasan yang mendasar dan esensial secara filosofis. Pemahaman terhadap kebijakan pendidikan, diperlukannya suatu model pembelajaran alternatif yang berbasis nilai dalam mata pelajaran PKn yang termuat dalam materi pendidikan sebagai implementasi kurikulum 2004 (yang diuji-cobakan) pada SMP membutuhkan dasar pengetahuan yang menyeluruh dan mendalam melalui proses berfikir secara sistematis dan logis. Pemikiran secara menyeluruh dan mendalam dalam konteks demikian sering disebut dengan berfilsafat. Filsafat suatu metode berpikir reflektif, dan penelitian penalaran, perangkat masalah-masalah, seperangkat teori dan sistem berpikir. Sementara Kattsoff (1963) dalam bukunya "The Elements of Philosophy melengkapi pemahaman tentang filsafat adalah berpikir secara kritis, dalam bentuk sistematis, menghasilkan sesuatu yang runtut, berpikir secara rasional dan bersifat komprehensif. Filsafat merupakan pengetahuan untuk melihat sesuatu dalam perspektif bagaimana yang seharusnya (das sollen) yang berbeda dengan ilmu yang melihat 40 41 segala sesuatu secara objektif dalam perspektif sebagaimana adanya (das sein). Pembahasan dalam filsafat mencakup segala permasalahan yang dihadapi manusia dalam kehidupan, termasuk dalam masalah pendidikan yang disebut dengan filsafat pendidikan. Dalam konteks filsafat pendidikan, kedudukan filsafat berfungsi memberikan arah dan metodologi terhadap praktek pendidikan, sebaliknya praktek pendidikan berfungsi memberikan bahan bagi pertimbangan secara filosofis. Hubungan antara filsafat dengan filsafat pendidikan menurut pendapat Brubacker (1950:19) ada empat hal yakni : (a) Philosophy is primary and basic to an educational philosophy, (b) Philosophy is the flower not root of education, (c) Educational philosophy is an independent discipline which might benefit from contact with general philosophy, but this contact is not essential, (d) Philosophy and the theory of education is one. Keterkaitan antara filsafat dengan filsafat pendidikan diiihat dari pendekatan yang dilakukan menurut KneJler (1971:1), yaitu pendekatan spekulatif, presknptif dan analitik. Pendekatan spekulatif merupakan pemikiran secara sistematis tentang segala sesuatu yang ada berdasarkan dorongan daya manusia untuk melihat segala sesuatu secara keseluruhan. Pendekatan preskriptif merupakan pendekatan dalam rangka upaya menyusun standar ukuran tingkah laku, nilai dan lainnya termasuk dalam ukuran baik, burak, benar, salah. Sedangkan pendekatan analitik merupakan pendekatan yang berusaha mengenali makna dari sesuatu dengan mengadakan analisis bahasanya. (Bamadib, 1988:8-9). Selain pendapat tersebut Kneller (1971:1) menyebutkan tentang filsafat pendidikan dalam kaitannya dengan tujuan pendidikan dalam ungkapan "educational philosophy seeks to comprehend education in its entirety, 42 interpreting it by means of general concepts that will guide our choice of educational ends and policies". Ketiga pendekatan filsafat yang dikemukakan diatas, apabila ditinjau dalam konteks filsafat pendidikan, maka pendidikan dipandang sebagai upaya untuk mengembangkan kepribadian manusia, yang didalamnya dibahas tentang nilai, etika manusia serta sikap manusia terhadap suatu kebenaran. Pendidikan dipandang sebagai suatu hak dalam upaya pengembangan pengetahuan bagi manusia Manfaat filsafat pendidikan sebagaimana yang dikatakan Nasution (19S2) bahwa, a) filsafat pendidikan dapat menentukan arah kemana anak-anak harus dibawa Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan masyarakat untuk mendidik anak-anak ke arah yang dicita-citakan masyarakat itu; b) dengan adanya tujuan pendidikan (yang diwarnai oleh filsafat yang dianut), kita mendapat gambaran yang jelas tentang hasil yang harus dicapai, individu yang bagaimanakah yang harus kita hasilkan dengan usaha pendidikan lata; c) filsafat dan tujuan pendidikan menentukan cara dan proses untuk mencapai tujuan itu; d) filsafat dan tujuan pendidikan memberi kesatuan yang bulat kepada segala usaha pendidikan; e) tujuan pendidikan memungkinkan si pendidik menilai usahanya, hingga manakah tujuan itu tercapai; f) tujuan pendidikan memberikan motivasi atau dorongan bagi kegiatan-kegiatan pendidikan. Kita lebih giat mengajar dan mendidik anak kalau kita jelas melihat tujuannya Dalam perspektif filsafat pendidikan, pandangan tersebut selanjutnya dikembangkan menjadi teori pendidikan. Omstein dan Levine (1985:188-189) 43 melihat kaitan antara filsafat pendidikan, teori pendidikan dan kurikulum dalam bentuk matrik. No. 1. 2. 3. Philosophies and Goal Curriculum Theories of Education matter that is Realism: Perenialism To educate the Subject rational person hierarchically arranged to cultivate the intellect (Great book, etc) Idealism and Realism: To educate the Basic education: reading, Essentialism useful and writing, arithmetic, history, competent english, science, foreign person languages. Pragmatism: Progressivism To educate the Activities and projects individual according to his or her interests and needs 4. Pragmatism: To reconstruct Social sciences used as recontructive tools. Reconstructionism society Tabel 2.1. : Kaitan Filsafat Pendidikan, Teori Pendidikan dan Kurikulum. (Diadaptasi dari Ornstein dan Levine (1985)). Orientasi pendidikan yang dikemukakan tersebut setidaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok teori, yakni (1) menekankan pada sumber daya manusia, (2) menekankan pada revitalisasi budaya dan (3) teori yang menekankan pada rekonstruksionisme. (Bamadib, 1988). Progressivisme termasuk pada kelompok teori sumber daya manusia, essensialisme dan perennialisme termasuk pada teori revitalisasi budaya, sedangkan yang termasuk dalam rekonstruksionisme adalah teori yang menekankan pada sekolah sebagai bagian dari masyarakat. Arah pendidikan dalam perspektif lain, dilihat dari filsafat pendidikan dapat dikelompokkan menjadi empat aliran atau teori yang dikenal, yakni (a) 44 pendidikan klasik, (b) pendidikan pribadi, (c) pendidikan teknologis, dan (d) pendidikan interaksionis. (Sukmadinata, 1988:8-14). Teori pendidikan klasik menurut Ornstein dan Levine (1985:193-198) memandang bahwa seluruh pengetahuan, ide atau nilai-nilai telah ada dan ditemukan sebelumnya, sehingga pendidikan berfungsi memelihara, melestarikan dan meneruskan semua warisan budaya kepada generasi selanjutnya Isi dari pendidikan merupakan aspek yang menjadi perhatian utama dibandingkan dengan proses bagaimana mengajarkan isi pendidikan tersebut. Isi pendidikan bersumber dari ilmu pengetahuan yang telah ada sebelumnya sebagai suatu disiplin sehingga telah tersusun secara logis dan sistematis. Dengan demikian pada teori pendidikan klasik, pendidikan lebih menekankan pada perkembangan segi intelektual daripada segi emosional dan psikomotor. Terdapat setidaknya dua model teori dari aliran ini, antara lain: perrenialisme dan essensialisme.. Perrenialisme dan essensialisme mendasarkan pada pandangan bahwa masyarakat bersifat statis, sehingga penetapan bidang studi dan mata pelajaran ditentukan bukan oleh kebutuhan masyarakat melainkan oleh kelompok ahli dan diarahkan pada perkembangan kemampuan berfikir. Perrenialisme mulai berkembang di Eropa dalam masyarakat aristokrasi agraris yang berorientasi ke masa lampau dan kurang mementingkan tuntutan masyarakat yang berkembang dinamis. Perrenialisme lebih menekankan pada aspek kemanusiaan, pembentukan pribadi dan sifat-sifat mental, sehingga berimplikasi pada penekanan isi pengajaran yang bersifat pendidikan umum (PU) General Education atau liberal art. Akibatnya model pengajaran eksp simulasi menjadi lebih dominan. Aliran perrenialisme merupakan paham filsafat pendidikan yarig" menempatkan nilai pada supremasi kebenaran tertinggi yang bersumber dari Tuhan. Karakteristik atau cara berpikirnya berakar dari filsafat realisme kaum Gereja Aliran filsafat pendidikan ini mencoba membangun kembali cara berpikir Abad Pertengahan yang meletakan keseimbangan antara moral dan intelektual dalam konteks kesadaran spiritual. Dengan menempatkan kebenaran supranatural sebagai sumber tertingi, maka nilai dalam pandangan aliran perrenialisme selalu bersifat theosentris. Harga nilai telah ditetapkan oleh Tuhan dan upaya manusia harus selalu diarahkan pada tujuan pencapaian nilai yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Dalam mencapai kebaikan dan kebenaran, manusia perlu berikhtiar. Ikhtiar manusia dipandang sebagai usaha praktis yang berada dalam suasana hidup yang rasional namun tetap terikat oleh kekuasaan pertama, yaitu Tuhan. Untuk itu suatu kemestian yang perlu dialami manusia adalah mencoba memilih dan menentukan nilai secara seimbang antara kebutuhan dirinya dengan apa yang diperintahkan Tuhan. Ketika manusia mampu mencapai nilai-nilai teologis yang dirujukkan pada kekuasaan Tuhan, maka ia akan sampai pada nilai universal. Nilai universal bersifat tetap dan kebenarannya diakui oleh semua manusia, di manapun dan kapanpun. Karena itu menurut aliran perrenialisme, penyadaran nilai dalam pendidikan harus didasarkan pada nilai kebaikan dan nilai kebenaran yang 46 S bersumber dan wahyu dan hal itu dilakukan melalui proses penanaman nilai pada , peserta didik. Pendidikan menurut aliran perrenialisme bahwa kebenaran sebagai hal yang konstan, abadi atau perennial, tujuan pendidikan memastikan bahwa para peserta didik memperoleh pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau gagasangagasan besar yang tidak berubah, prinsip pendidikan perrenialisme secara umum yakni, tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup, yakni untuk mencapai kebijakan dan kebajikan. Pendidikan juga harus sama bagi semua orang, dimanapun dan kapanpun ia berada, begitu pula tujuan pendidikan harus sama, yaitu memperbaiki manusia sebagai manusia, Hut chin; Kneller (1971) "Afan may very from society to society, ...but thefuction of man, is the same in every age and every society, since it results from his nature as a man. The aims of educational system can exist: it is to improve man as man " Rasio merupakan atribut manusia yang paling tinggi. Manusia harus menggunakannya untuk mengarahkan sifat bawaannya, sesuai dengan tujuan yang ditentukan. Manusia adalah bebas, namun mereka harus belajar, untuk memperhalus pikiran dan mengontrol seleranya Bila anak gagal dalam belajar, guru tidak boleh dengan cepat meletakkan kesalahan pada lingkungan yang tidak menyenangkan, atau pada rangkaian peristiwa psikologis yang tidak menguntungkan. Guru harus mampu mengatasi semua gagasan tersebut, dengan melakukan pendekatan secara intelektual yang sama bagi semua siswa. Tidak ada anak yang diizinkan untuk menentukan pengalaman pendidikannya yang ia inginkan. 47 Robert M Hutchin (1971) merangkum tugas pendidikan adalah bahwa dalam pendidikan mengandung mengajar, dalam mengajar mengandung pengetahuan, dalam pengetahuan mengandung kebenaran, dalam kebenaran di manapun tetap sama, maka pendidikan di manapun seharusnya sama. Tugas pendidikan menurut filasafat perennialisme adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang pasti, dan abadi. Kurikulum diorganisasi dan ditentukan terlebih dahulu oleh orang dewasa, dan ditujukan untuk melatih aktivitas akal, untuk mengembangkan akal. Anak harus diberi pelajaran yang pasti, yang akan memperkenalkannya dengan keabadian dunia. Peserta didik tidak boleh dipaksa untuk mempelajari pelajaran yang tampaknya penting suatu saat saja Begitu pula kepada anak jangan memberikan pelajaran yang hanya menarik pada saat-saat tertentu yang khusus. Yang dipentingkan dalam kurikulum adalah mata pelajaran "general éducationyang meliputi bahasa, sejarah, matematika, •PA, filsafat dan seni, dan 3 R's (membaca, menulis, berhitung). Mata-mata pelajaran tersebut merupakan esensi dari genaral éducation. Seperti halnya Phénix (1956) mengungkapkan enam makna esensial dalam general éducation, yakni 1) Empirik (ilmu pengetahuan tentang dunia fisik, benda hidup) 2) Estetik ( seni musik, visual, gerak dan sastra); 3) Etik (moral-etika); 4) Sinoptik (sgama, filfafat, sejarah); 5) Sinoetik (pengetahuan pribadi, kepribadian, hubungan Aku-Tuhan); 6) Simbolik (Bahasa asli,matematika, bahasa simbol). Pendidikan perrenialisme bukan merupakan peniruan dari hidup, melainkan merupakan suatu persiapan untuk hidup. Sekolah tidak pernah menjadi situasi kehidupan nyata Sekolah bagi peserta didik merupakan peraturan- 48 peraturan yang artifisial, dimana ia berkenalan dengan hasil yang terbaik dari warisan sosial budaya. Peserta didik diajak mempelajari karya-karya besar dalam literatur, yang menyangkut sejarah, filsafat dan seni, begitu pula dalam literatur yang berhubungan dengan kehidupan sosial, terutama politik dan ekonomi. Ide pokok pemikiran perrenialisme adalah dalam menghadapi krisis kebudayaan modem, seperti diuangkapkan Brameld (1955:34): The one central belief upon which agreement among perrenialists is universal is that, if our sick culture and our still sicker education are to be restored to health, we shall need first to restore to their positions of prestige and guidance the greatenst "doctors" of all time. With their help, far more than with that of any others, we can hope to diagnose accurately our deep troubles and to construct a curative program that will prevent the chaos and death now threatening to devastate the earth. Satu asas pusat kepercayaan yang disepakati penganut perennialisme secara universal ialah, jika kebudayaan dan pendidikan kita sekarang diumpamakan orang sakit, dan kita ingin mengembalikannya kepada bimbingan "dokter" yang terbesar sepanjang sejarah. Dengan pertolongannya, kita akan dapat berharap adanya diagnose yang tepat daripada gangguan-gangguan yang telah sedemikian mendalam (parah) dan dapat membina rencana penyembuhan yang mampu mencegah kematian yang sekarang mengancam untuk membinasakan bumi (kebudayaan yang ada). Penganut perennialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan berpikir mental discipline adalah salah satu kewajiban tertinggi dari belajar, atau keutamaan dalam proses belajar (yang tertinggi). Karena belajar ini tidak saja secara psikologis berpangkal pada kepercayaan tentang daya jiwa, potensi-potensi 49 jiwa faculty-psychology, tetapi juga secara filosofis bersumber pada asas hylomorphisme (potensialitas menuju aktualitas). Essensialisme berkembangan di Amerika Serikat dalam masyarakat industri. Pendidikan dalam pandangan essensialisme lebih menekankan pada pengembangan ilmu (science), sehingga bersifat lebih pragmatis. Gerakan pendidikan essensialisme yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme dari gerakan progressivisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya/sosial. Menurut essensialisme nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk secara berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah payah selama beratus tahun, dan didalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita yang telah teruji dalam perjalanan waktu. Dalam perspektif di atas, pendidikan diarahkan untuk mempersiapkan generasi muda terjun ke dunia kerja dalam kehidupan sosial dengan orientasi masa kini dan masa depan. Tujuan pendidikan menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, yang tertahan sepanjang waktu dan berharga untuk diketahui semua orang. Pengetahuan diikuti oleh keterampilan, sikap dan nilai yang tepat, membentuk unsur inti (esensi) dari sebuah pendidikan, dan pendidikan bertujuan untuk mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelek atau kecerdasan. Dengan demikian akan berimplikasi pada bentuk pengajaran yang lebih diarahkan pada pembentukan keterampilan. Maka tujuan utama pendidikan yang baik dalam pandangan essensialisme adalah untuk (a) memperoleh pekerjaan yang lebih baik, (b) dapat bekerja sama dengan orang lain dengan baik, dan (c) memperoleh penghasilan 50 yang memadai. Pendidikan dipandang sebagai langkah meraih kesuksesan secara ekonomis. Pada awalnya model pendidikan progressivisme dibawa oleh Francis Parker dari Eropa ke Amerika Serikat dan berkembang pesat melalui usaha John Dewey yang menerapkan prinsip belajar learning by doing. Dalam pendidikan progresivisme, peserta didik ditempatkan sebagai suatu kesatuan yang utuh, yang memandang sama pentingnya antara perkembangan emosi dan sosial dengan perkembangan intelektual, sehingga bentuk pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang disesuaikan dengan minat dan kebutuhannya. Progressivisme suatu gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang berpusat pada anak "child centere(f\ sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang masih berpusat pada guru "teacher centered" atau bahan pelajaran "subject centered\ Tujuan pendidikan secara keseluruhan adalah untuk melatih anak agar kelak dapat bekerja, bekerja secara sistematis, mencintai pekeijaan, dan bekerja dengan otak dan hati. Pendidikan berpusat pada anak, maka anak adalah unik karena memiliki harkat dan martabat dalam pendidikan. Dewey (1915) berpendapat bahwa 'perubahan' dan 'ketidaktepatan' merupakan esensi dari realitas, dalam arti pendidikan selalu dalam proses pengembangan, penekanannya adalah perkembangan individu, masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan harus siap memperbaharui metode, kebijaksanaannya, berhubungan dengan perkembangan sains dan teknologi, serta perubahan lingkungan. Kemudian kaum progresif sepakat dengan pandangan Dewey bahwa 51 untuk menekankan pengalaman indera, belajar sambil bekeija, dan mengembangkan intelegensi, sehingga anak dapat menemukan dan memecahkan masalah yang dihadapi. Esensi yang terkandung dalam filsafat progressisme menurut Brubacher (1962:312) "Progress is naturalistic; it implies change. Change implies novelty. And novelty lay's claim to being genuine rather than the révolution of an anlecedently complété reality". Progesif (berkembang maju) adalah sifat alamiah, kodrati dan itu berarti perubahan. Dan perubahan berarti suatu yang baru. Sesuatu yang baru sungguh-sungguh merupakan keadaan yang nyata dan bukan sekedar pengertian atas realita yang sebelumnya memang sudah demikian. Model pendidikan romantik berasal dari pemikiran Jean Jacques Rousseau, yang memandang bahwa pendidikan sebagai suatu proses alamiah dan individual berupa usaha pengembangan kemampuan peserta didik melalui intensitas interaksi dengan lingkungan. Dalam pandangan model pendidikan ini, pengalaman peserta didik dianggap sebagai guru terbaik, sehingga menempatkan peserta didik untuk giat belajar mandiri dan bebas mengembangkan keingintahuannya. Teori teknologi pendidikan dalam perspektif pendidikan dipandang berperan bagi proses transmisi informasi dalam bentuk informasi teknologi dan pengetahuan. Arah pendidikan lebih menekankan pada masa kini dan masa depan, sehingga implikasinya menempatkan pengalaman sebagai hal yang selalu berubah selaras dengan perkembangan dan waktu. Dengan demikian, teori ini lebih mengutamakan proses empiris yang senantiasa mendasarkan pada kepastian dan 52 efisiensi. Akibatnya, yang dikembangkan dalam proses pendidikan adalah keterampilan yang mengarah kepada kompetensi vokasional peserta didik. Dalam perspektif teori pendidikan interaksional, pendidikan dipandang sebagai suatu interaksi dua pihak antara peserta didik dengan pendidik secara timbal balik, interaksi dengan bahan ajar, lingkungan dan dengan lainnya secara dialogis. Rekonstruksionisme berupaya membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia harus menyesuaikan diri terhadap masyarakat teknologi, apa yang diperlukan masyarakat yang memiliki perkembangan teknologi yang cepat adalah rekonstruksi masyarakat dan pembentukan serta perubahan tata dunia baru (Brameld, 1965:28). Demikian pula kedudukan filsafat, pendidikan dan kurikulum diarahkan pada sekolah sebagai agen perubahan sosial (Counts: 1956), sekolah akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara keseluruhan, membasmi kemelaratan, peperangan dan kesukuan (rasialisme). Pendidikan dapat menjalankan perannya sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi sosial. Dalam pandangan rekonstruksionisme tentang pendidikan dan kurikulum terdapat upaya untuk 'shaping the future' dan bukan hanya 'adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community\ seperti dikemukakan oleh McNeil (1977:19): Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum shoul help students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and 53 for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and affecting social change. Manusia, pendidikan dan pengetahuan menurut pandangan ahli pendidikan bahwa rekonstruksionisme adalah: Knowledge is constructed by humans. Knowledge is not a set of facts, concepts, or laws waiting to be discovered. It is not something that exists independent of knower. Humans create or construct knowledge as they attempt to bring meaning to their experience. Everything that we know, we have made. (Zahorik, 1995; Nurhadi, 2004: 45). Ilmu/Pengetahuan dibangun oleh manusia, Ilmu/pengetahuan bukan serangkaian fakta, konsep, atau hukum yang menunggu untuk ditemukan. Bukan sesuatu yang langsung ada oleh si penemu. Manusialah yang menciptakan dan membangun ilmu/pengetahuan sebagaimana mereka ujicobakan menjadi bermakna melalui pengalaman meraka. Sesuatu yang mereka ketahui, dibuat oleh mereka. Ilmu/pengetahuan dibangun, dimaknai dan digunakan dari manusia, oleh manusia, untuk manusia, manusia yang memegang peranan utama dalam ilmu/pengatahuan itu sendiri. Pendapat di atas berkaitan dengan teori pendidikan pribadi (personalized education) memandang bahwa yang menjadi perhatian utama dalam pendidikan adalah peserta didik. Proses pendidikan dalam pandangan ini mendasarkan pada asumsi bahwa setiap anak telah memiliki potensi untuk belajar berbuat dan memecahkan suatu masalah serta berkembang secara alamiah sejak dilahirkan. Dengan demikian, fungsi pendidikan yang utama adalah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kebutuhan belajar peserta didik menuju ke arah yang lebih baik. Aliran pendidikan ini adalah progressivisme dan romantik. 54 Pandangan Dewey berkaitan dengan model teori pendidikan yang dibangun memerlukan land asan filosofi pendidikan untuk memperkuat proses pendidikan, yakni (1) untuk membangun 'intellegent reflective thinking' yaitu progressivisme (dan romantik), (2) untuk mempribadikan pengalaman kebudayaan yaitu essensialisme, (3) untuk menentukan tujuan pendidikan berdasarkan tatanan nilai yaitu perrensialisme dan (4) untuk membangun ketiga landasan filsafat tersebut diperlukan rekonstruksionisme dalam membangun kebermaknaan pendidikan pada peserta didik dan proses pendidikan. Pendapat yang sama dikatakan Brameld (1965:25) The terms that are frequently applied to these major views are (I) essensialism, which is the educational philosophy concerned chiefly with the consevation of culture; (2) perrenialism, which centers its attention in the kind of educational guidence provided by the classical thought of ancient Greece and medieval Europe; (3) progressivism, which is the philosophy of liberal, experimental education; and (4) recontructionism, which believes that the contemporary crisis can be effectively attacked only by a radical educational policy and program ofaction. Dasar filosofis rekonstruksionisme bersumber dari pragmatisme dan dasar pemikiran kaum Neo-positivisme. Senada pendapat Dewey (1958:267-269) bahwa Pragmatisme yang menganggap kenyataan sebagai dunia pengalaman, yang diperoleh melalui pendnaan, yang kebenarannya terkandung pada kegunaannya dalam masyarakat; Neo-positivisme adalah humanisme ilmiah, yang menghargai harkat dan martabat manusia, dan mempunyai keyakinan teguh bahwa ilmu dapat dipergunakan untuk membangun masyarakat masa depan. Sintesa filsafat pendidikan progressivisme, essensialisme, perennialisme menghasilkan filsafat rekonstruksionisme atau "A Restructured Philosophy of Education" landasan filosofi pendidikan yang diperlukan dalam membangun 55 paradigma pendidikan pada umumnya, dan khususnya paradigma model PKn berbasis nilai ini. Hal ini memiliki beberapa alasan, yakni 1) mengambil kebaikan dari berbagai filsafat pendidikan dari manapun asalnya; 2) menempatkan kebudayaan nasional yang dilandasi keimanan (sesuai dengan Tujuan Pendidikan Nasional UU no 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3); 3) menjadi ide sentral pembangunan pendidikan; 4) menjadi suatu nilai filsafat "A Philosophy ofValue"; 5) dapat menjadi CiA Philosophy of emis". Brameld (1965:28) mengungkapkan pendapatnya tentang keunggulan kedudukan filosofi rekonstruksionisme berkaitan dengan "A Philosophy ofValue" atau suatu nilai dalam filsafat dan "A Philosophy of Crisis" atau suatu kiris dalam filsafat melalui rangkaian kesatuan budaya dalam gambar sebagai berikut: —Reconstruc——Progress— ->~ —Essential—-^—<r—Perrenial Gambar 2.1 : Continuum of Culture (Diadop dari Brameld, 1965:28) Gambar ini menjelaskan bahwa filosofi essensialisme dan perrenialisme merupakan perpindahan yang utama dalam kontinum budaya menuju filosofi progressivisme dan rekonstruksionisme merupakan inovator, rekonstruksionisme merupakan filosofi yang membangun masa depan pendidikan melalui keunggulan filosofi perrenialisme, essensialisme dan progressivisme. Power (1982:171) mengemukakan aliran filsafat rekonstruksionisme implikasi pendidikannya sebagai berikut: 1) Tema: pendidikan merupakan usaha sosial, misi sekolah adalah untuk meningkatkan rekonstruksi sosial; 2) Tujuan pendidikan: bertanggungjawab dalam menciptakan aturan sosial yang ideal. Transmisi budaya adalah esensial dalam masyarakat yang majemuk; 3) 56 kurikulum: tidak boleh didominasi oleh budaya mayoritas maupun oleh budaya yang ditentukan atau disukai. Semua budaya dan nilai-nilai yang berhubungan berhak untuk mendapatkan tempat dalam kurikulum; 4) kedudukan siswa: nilainilai budaya siswa yang dibawa ke sekolah merupakan hal yang berharga. Keluhuran dan tanggung jawab sosial ditingkatkan, manakala rasa hormat diterima semua latar belakang budaya; 5) Metode: sebagai kelanjutan dari pendidikan progresif, metode aktivitas dibenarkan (learning by doing), 6) Peranan guru: harus menunjukkan rasa hormat yang sejati (ikhlas) terhadap semua budaya, baik dalam memberi pelajaran maupun dalam hal lainnya Pelajaran sekolah harus mewakili budaya masyarakat. Paradigma rekonstruksionisme yang dipelopori oleh John Dewey, memandang pendidikan sebagai rekonstruksi pengalaman-pengalaman yang berlangsung terus dalam hidup. Sekolah yang menjadi tempat utama berlangsungnya pendidikan haruslah merupakan gambaran kecil dari kehidupan sosial di masyarakat. Perkembangan lebih lanjut dari 'rekonstruksionalisme radikal', yang memandang pendidikan sebagai alat untuk membangun masyarakat masa depan, melalui pembelajaran PKn hal ini sesuai dengan kepentingan pembangunan bangsa dan negara serta sesuai dengan kehendak dan cita-cita bangsa. Berkaitan dengan pendidikan sebagai alat untuk membangun masyarakat masa depan serta kepentingan pembangunan bangsa dan negara, bagi bangsa Indonesia telah memiliki pandangan hidup yang dianut sebagai filosofi bangsa dan dinamika sistem nilai atau budaya 'Pancasila', yang menjadi falsafah 57 kenegaraan, yaitu bagian dari falsafah politik, lebih luas lagi mengenai sifat hakiki, asal mula dan nilai dari negara Negara dan manusia di dalamnya dianggap sebagai bagian dari alam semesta Filosofi Pancasila sebagai soko guru kegiatan dasar manusia, merupakan dasar negara dalam sistem kenegaraan Indonesia Dasar falsafah negara yang paling sesuai dengan kondisi dan berakar pada kehidupan bangsa Indonesia yang pada hakikatnya mengandung pandangan yang mengutamakan harmoni dalam kehidupan masyarakat. Pancasila memiliki fungsi filsafat, ideologi, hukum dan politik. Kandungan filsafat dalam Pancasila bisa dilihat dengan pemikiran-pemikiran yang ada dalam sila Pancasila Bahkan kandungan pemikiran dalam sila-sila itu memiliki substansi yang sangat luas, mencakup berbagai cara dan etika kehidupan masyarakat, serta selalu memperhatikan nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia Filosofi Pancasila dalam pendidikan merupakan sualu hasil kecerdasan pemikiran bangsa Indonesia, seperti yang dikatakan Mahbubani (2005 :xvi) bahwa "mampukan bangsa Indonesia berpikir?, dengan tegas dapat dijawab "Bisa" namun dengan syarat asal bangsa Indonesia bersatu dan bergotong royong. Dengan alat pemersatunya yaitu filsafat dan ideologi Pancasila". Pancasila mencerminkan nalar bangsa Indonesia yang digali dari bumi Indonesia atau dari kebudayaan bangsa atau nilai-nilai budaya Indonesia yang berintikan harmoni dan keseimbangan. Filosofi Pancasila dalam pendidikan merupakan nilai dan keyakinankeyakinan filosofis yang menjiwai, mendasari dan memberikan identitas 58 (karakteristik) suatu sistem pendidikan. Sistem pendidikan nasional Indenesia dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas Pancasila Visi dan misi tujuan pendidikan nasional sebagai sistem, bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan, pandangan hidup atau filosofi Pancasila yang dilaksanakan dalam berbagai subsistem kehidupan nasional bangsa secara keseluruhan. Memperhatikan fungsi pendidikan dalam membangun potensi bangsa, khususnya dalam melestarikan kebudayaan dan kepribadian bangsa yang pada akhirnya menentukan eksistensi dan martabat bangsa, maka sistem pendidikan nasional dan falsafah Pancasila seiring sejalan bagi tegaknya martabat dan kepribadian bangsa, sekaligus pelestarian sistem kenegaraan Pancasila, falsafah Pancasila dalam pendidikan merupakan aspek rokhaniah atau spiritual sistem pendidikan nasional. Falsafah Pancasila menjadi asas dan wawasan yang mendasar serta mengembangkan cita dan karsa nasional dalam membina watak dan kepribadian bangsa, yakni melestarikan kepribadian dan martabat Pancasila dalam subyek pribadi manusia Indonesia Subyek kepribadian manusia sebagai perwujudan manusia Indonesia seutuhnya. Filosofi Pancasila terkandung nilai-nilai yang mendasari pendidikan bahkan semua kegiatan kehidupan masyarakat Indonesia dimana dinamika sistem nilai terkandung di dalamnya sebagai landasan dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yakni nilai-nilai 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia 59 Melalui kajian pemahaman falsafah Pancasila yang mendasari sistem pendidikan nasional, dalam implementasi praksis pembelajaran di sekolah yang tepat adalah pembelajaran berbasis nilai dalam PKn, dimana kajian materi PKn merupakan petunjuk, pemahaman intemalisasi-personalisasi nilai serta bagaimana praksis kehidupan menjadi 'manusia Indonesia seutuhnya' yang sehat baik melalui proses kematangan mental spiritual yang utuh, mantap, matang yang akan berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmoni. B. Kedudukan Mata Pelajaran PKn dalam Perspektif Pendidikan Umum Pendidikan umum atau pendidikan nilai adalah suatu proses dalam upaya membantu siswa mengekspresikan nilai-nilai yang ada, melalui pengujian kritis, sehingga peserta didik dimungkinkan untuk meningkatkan atau memperbaiki kualitas berpikir serta perasaannya, proses tersebut adalah 1) identifikasi (akulturasi) nilai-nilai personal dan nilai sosial; 2) Inquiiy rasional dan filosofis terhadap inti nilai tersebut; 3) Respon afektif dan respon emotif terhadap inti nilai tersebut, 4) pengambilan keputusan yang dihubungkan dengan inti nilai berdasarkan respon-respon tersebut Pendidikan umum mengupayakan seseorang memiliki bentuk kepribadian yang utuh-mantap-matang-produktif atau lAll around people' dalam pengertian seseorang yang paripurna-harmony atau 'Manusia Indonesia Seutuhnya'. Kepribadian utuh-matang-mantap dan produktif dalam konteks kepribadian yang terorganisir, terintegrasi, matang dan normal; aspek afektif, perkembangan intelektual dan sosial volitional dalam pemahaman kajian nilai (agama, budaya, 60 yang memayungi nilai kemanusiaan, nilai IPTEK, nilai politik, nilai seni, nilai kesehatan dan nilai ekonomi) sebagai inti hidup dan filsafat. Pendidikan berbasis nilai yang mencakup keseluruhan aspek sebagai alternatif pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten PKn melalui materi atau bahan ajar yang diberikan pada peserta didik, membawakan visi dan misi pendidikan umum/pendidikan nilai pada peserta didik jenjang SMP di persekolahan, sesuai dengan situasi dan kondisi pertimbangan pedagogik - psikologis - keilmuan, sebagai implementasi kurikulum 2004. Materi PKn dengan model pendidikan berbasis nilai ini melalui cara yang sistematis dan sistemik merupakan upaya alternatif yang diperlukan peserta didik dalam rangka siap menghadapi tantangan globalisasi, dinamika kehidupan kini dan pada masa yang akan datang. Dalam era globalisasi yang dipenuhi dengan persaingan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan nilai melalui materi PKn diperlukan guna menangkal kesemrawutan CChaos' - menurut John Briggs & David Peal), krisis multi dimensi. Manusia memerlukan kematangan moral dan intelektual, kecerdasan intelektual dalam mengkritisi berbagai wacana pemikiran yang muncul kepermukaan, kematangan emosional untuk dapat hidup kooperatif sekaligus kompetitif yang didasarkan atas jalinan sosial yang harmonis, kematangan spiritual sebagai perwujudan ikatan transendental antara dirinya dengan sang pencipta. Kematangan tersebut dilatih, diajar dan dididik me dengan model pendidikan berbasis nilai. Harapan melalui Pendidikan Umum-Pendidikan Nilai melal pelajaran PKn kelak mampu melahirkan Warga Negara Indonesia yang 'Seutuhnya', sebagaimana diungkapkan Cogan (1998) dalam Djahiri (2002:92), sebagai warga negara yang memiliki sejumlah ciri utama, yakni (l)Rasa kepribadian/jati diri mandiri (a sense of identity) baik sebagai insan ilahiah, sosial maupun kebangsaan; ciri mandiri ini bisa dilihat dari berbagai dimensi (geografi, etnis, agama), serta mampu menuju kehidupan yang globalistik; (2) rasa nikmat akan sejumlah haknya baik legal, polilical, socio-economical rights dan mampu menjalankan secara baik dan benar; (3) rasa tanggungjawab akan kewajiban-kewajiban {obligation) yang menjadi keharusannya, sehingga selalu menjaga keseimbangan antara kepentingan publik dengan privat serta menjelmakan tangung jawab (,responsibility) menjadi kewajiban (obligation) dan tugas keharusan (,duties); (4) minat dan keterlibatan akan public affairs (kepentingan umum) sehingga siap, mau, dan mampu berpartisipasi secara aktif, kreatif, positif/konstruktif, dan demokratis; (5) kemampuan untuk menyerap/menerima nilai-nilai dasar kemasyarakatan (basic societal values); sehingga mampu menjalin dan membina keijasama, kejujuran, kedamaian, serta rasa cinta dan kebersamaan dalam mempersiapkan hari esok (Juturistic orientation). Memaknai konsep pembelajaran PKn (pada SMP) di atas, yaitu seyogyanya melakukan kegiatan dasar manusia 'Basic human activities\ dikaitkan dengan substansi-esensi kajian batang tubuh Pendidikan Umum (Pendidikan Nilai) dalam disertasi ini diharapkan dapat memenuhi keseimbangan antara konsep keimanan dan ketaqwaan dengan posisi ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi dan dapat memenuhi tuntutan masyarakat, dengan indikator (1) Landasan filosofi Pancasila dan filosofi pendidikan 'Rekonstruksionisme' yang berperan dalam memaknai pembangunan pro masa depan dalam menjalani kehidupan melalui proses pendidikan; (2) Karakter 62 pendidikan dalam PKn berbasis nilai yang inter-cross-trans disipliner; (3) bersifat holistik/menyeluruh dipayungi nilai agama, (4) Pendidikan nilai berbudaya Pancasila yang terintegrasi melalui PKN; (5) bertujuan agar peserta didik dapat melakukan proses membuat keputusan dan memecahkan masalah 'Decision making process & problem sotong'; (6) Kesatuan antara pengembangan kognitifafektif-psikomotor; (7) merupakan pengetahuan fungsional dalam memaknai kehidupan; (8) dapat memenuhi 'tuntutan manusia abad 21* yang direkomendasikan oleh UNESCO & Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional sebagai kerangka kerja'Frame ofWork' dalam proses pendidikan. C. Pendidikan Kewarganegaran dalam Kurikulum 2004 (yang diuji-cobakan) 1. Pendidikan Kewarganegaraan Pada SMP Konsep 'Pendidikan' dalam arti luas berarti suatu proses untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup pengetahuannya, nilai dan sikapnya, serta keterampilannya Pendidikan pada hakikatnya akan mencakup kegiatan 'mendidik'; 'mengajar'; dan 'melatih'. Sikun Pribadi (1981) berpendapat bahwa: Mendidik, menunjukkan usaha yang lebih ditujukan pada pengembangan budi pekerti, hati nurani, semangat, kecintaan, rasa kesusilaan, ketakwaan, dan lain-lain. Mengajar berarti memberi pelajaran tentang berbagai ilmu yang bermanfaat bagi perkembangan kemampuan intelektual manusia Melatih merupakan suatu usaha untuk memberi sejumlah keterampilan tertentu, yang dilaksanakan secara berulang-ulang, sehingga akan teijadi suatu pembiasaan dalam bertindak. Pendidikan menyangkut hati nurani, nilai-nilai, perasaan, pengetahuan dan keterampilan. Dengan pendidikan manusia ingin berusaha untuk meningkatkan 63 dan mengembangkan serta memperbaiki nilai-nilai, hati nuraninya, perasaannya, pengetahuannya, dan keterampilannya Konsep 'Kewarganegaraan' (Citizenship) berdasarkan Depdiknas (2002:7) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Chamim (2003 :ix) berpendapat Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), bagi bangsa Indonesia adalah menyangkut pengetahuan, sikap mental, nilai-nilai, dan perilaku yang menjunjung tinggi demokrasi, sehingga akan terwujud warga masyarakat yang demokratis dan mampu menjaga persatuan dan integritas bangsa guna mewujudkan Indonesia yang kuat dan sejahtera serta demokratis. Best (1960) dalam Winataputra (2001:128) menjelaskan di USA sebagai negara perintis pengembangan konsep dan paradigma Pendidikan Kewarganegaraan "civic education" atau "citizenship educationmemaknai misi dan isi materi tentang pemerintahan, yang berawal dari tahun 1880-an mulai diperkenalkan Civtcs sebagai mata pelajaran di sekolah, kemudian pada tahun 1900-an civics dijadikan pengembangan keterampilan sosial dan kompetisi warganegara Pada tahun yang sama 1900 mata pelajaran memuat tentang ide-ide tentang karakter Kewarganegaraan atau watak menjadi yang Pendidikan baik, kemudian Kewarganegaraan, mata dalam pelajaran rangka membentuk pendidikan watak atau karakter dan pendidikan etika dan kebajikan. 64 Namun Chresore (1886) dalam Winataputra (2001:130) seorang ahli pendidikan berpendapat bahwa untuk menggantikan mata pelajaran Kewarganegaraan sebagai "ilmu kewarganegaraan" isinya mempelajari hubungan antar individu dan antara individu dengan Negara. Kemudian pada tahun 1900-an mata pelajaran Kewarganegaraan diisi dengan materi mengenai struktur pemerintahan Negara bagian dan federal, sementara pada tahun 1920 mata pelajaran Kewarganegaraan dijadikan bidang pengajaran yang lebih khusus yaitu kewarganegaraan yang berkenaan dengan mata pencaharian, kemasyarakatan dan perekonomian. Pendapat lain seperti Dunn (1915) dalam Winataputra (2001:131) mengembangkan gagasan mata pelajaran 'Kewarganegaraan Baru' menitikberatkan pada kehidupan masyarakat. Sementara Dimond (1953) mengemukakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai dua makna (pengertian luas), yaitu: 1) Ide berkenaan dengan peran dan fungsi warga Negara dalam kegiatan politik; 2) "Desirable personal quaiitiesn atau kualitas pribadi yang didambakan dari negara dalam kegiatan sehari-hari. Pemahaman istilah Kewarganegaraan dan Pendidikan Kewarganegaraan atau "Cwcs", "c/wc eduoation", "citizenship education" dapat kita telaah dalam bagan berikut ini berdasarkan Kewarganegaraan, yakni: beberapa pendapat ahli pendidikan 65 CIVIC EDUCATION CITIZENSHIP EDUCATION Cogan (1999:4): "...the foundation course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adults lives". Cogan (1999:4): "...both these in-school experience as well as out-of school or non formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media, etc. which help to shape the totality of the citizen ". Suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga Negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya Sebagai pengalaman belajar di sekolah dan di luar sekolah seperti di rumah, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, melalui media massa, dll yang berperan membantu proses pembentukan totalitas atau keutuhan warga Negara Gross & Zeleny (1958:247): Gross & Zeleny (1958:247): Berkenaan dengan keterlibatan dan Berkenaan dengan pembahasan mengenai pemerintahan demokrasi partisipasi warga Negara dalam masyarakat. dalam teori dan praktek Mahoney (Somantri, 1972:8): Proses pendidikan yang mencakup proses pembelajaran semua mp, kegiatan siswa, proses administrasi dan pembinaan dalam upaya mengembangkan perilaku warga negara yang baik. NCSS (Somantri, 1972:9). Menekankan bahwa "citizenship Education" sesungguhnya mencakup "all positive influence coming from formal and informal educationsegala macam dampak yang datang baik dari pendidikan formal maupun informal. Allen (1960:11): Allen (1960:11) Mp "civics" merupakan unsur yang Lebih luas lagi, sebagai produk dari paling utama dalam upaya keseluruhan program pendidikan mengembangkan wn yang baik. persekolahan. Civics <£ Ch'ic Education: Tujuan utama mengembangkan siswa sebagai warganegara yang cerdas dan baik. (Chreshore;l886, Allen;1960, Somantri;1972, Winataputra;2001). Citizenship Education: Visi yang lebih luas untuk menunjukkan k 'instruction effects" dan "nurturant effects" dari keseluruhan proses pendidikan terhadap pembentukan carakter individu sebagai warganegara yang cerdas dan baik. (Dimond; 1953, Gross n Zeleny; 1958, Allen; 1960, NCSS; 1972, Somantri; 66 Winataputra (1978; 2001: 131): Civics: "w the study of government taught in the school. It is an area of learning dealing with how democratic government has been and should be carried out, and how purposefully with full responsibility(Kewarganegaraan sebagai suatu studi tentang pemerintahan yang dilaksanakan di sekolah yang merupakan mata pelajaran tentang bagaimana pemerintahan demokrasi dilaksanakan dan dikembangkan, serta bagaimana warganegara seyogyanya melaksanakan hak dan kewajibannya secara sadar dan penuh rasa tanggung jawab). Civic/Citizenship Education "can be defined in two ways: 1) in the first sense, CE is an area of learning, primarily intended to develop knowledge attitudes, and skills so the students become "good" citizens, with learning experiences carejully selected and organized around the basic concepts of political science; 2) in another sense, CE as a by-product of variety of areas of learning undertaken in and out-of formal school setting as well as a by-product of a complex network of human interactions in daily activities concerned with the development of civic responsibility". ( 1). Merupakan program pembelajaran yang memiliki tujuan uatama mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan sehingga siswa menjadi wn yang baik, melalui pengalaman belajar yang dipilih dan diorganisasikan atas dasar konsepkonsep ilmu politik; 2). CE juga dinilai sebagai "nurturant effects" atau dampak pengiring dari berbagai mata pelajaran di dalam maupun di luar sekolah dan sebagai dampak pengiring dari interaksi antar manusia dalam 1972, Cogan & Winataputra;2001). Derricott; 1998, Cogan (1998:13): » Konsep "a citizen" sebagai " a constituent member of society" : anggota resmi suatu masyarakat. ' "A set of characteristics of being a citizenseperangkat karakter menjadi warga Negara • Konsep yang menjadi inti dari studi ini: "The contribution of education to the development of those characteristics of being a citizen": Kontribusi atau dampak pendidikan terhadap pengembangan karakteristik yang menandai seorang warga Negara • Pendidikan dalam pengertian luas: "...formal, meaning primary schooling; non-formal, meaning educational programmes which are outside the context of formal schooling, e.g, adult and contuining education programmes, special education for children and youth, etc, and informal, which consist of those learning acquired almost unconsciously in a variety of settings both in school and in school and the wider community" 67 kehidupan sehari-hari, yang berkenaan dengan pengembangan tanggung jawab wn). Civics: bersifat impersonal Civic Education: bersifat personalpedagogis. Dalam praktek Civics merupakan konten utama dari civic education. Secara metaporis civics dapat dianggap sebagai muatannya, sedangkan civic education sebagai wahana atau kendaraannya Tabel 2.2. : Istilah "Civics", "cmc éducation"citizenship éducation" (Diadop dari Winata putra, 2001:125-135) Disimpulkan bahwa mata pelajaran PKn dapat diperoleh melalui proses kegiatan belajar mengajar di sekolah, sedangkan Ilmu Kewarganegaraan dapat diperoleh baik dari bangku sekolah maupun diluar lingkungan sekolah. Pendidikan Kewarganegaraan memiliki keterkaitan erat dengan Pendidikan Nilai, dalam Pendidikan Nilai menyatukan perbagai permasalahan yang menyangkut preferensi personal ke dalam satu kategori yang disebut nilainilai yang dibatasi sebagai petunjuk umum untuk perilaku yang memberi batasan langsung pada kehidupan atau "general guides to behavior which tend to give direction to life" (Raths, 1966:26). Sementara PKn membawa misi dan berbicara tentang nilai moral dan norma (aturan). Sebagaimana pendapat Djahiri (2004: 3) mengatakan bahwa: "Orang yang tidak mengenal perangkat tatanan nilai moral norma dan tidak/jarang dibelajarkan potensi afektualnya, sulit untuk diminta menjadi manusia bermoral. Visi Pendidikan nilai-Moral disamping membina, menegakkan dan mengembangkan perangkat tatanan NMNr luhur adalah juga pencerahan diri dan kehidupan manusia secara kaffah dan berakhlak mulia serta kehidupan masyarakat Madaniah (Civil Society)". 68 PKn sebagai pusat Pendidikan Nilai, bukanlah sekedar mentransmisikan isi nilai tertentu kepada peserta didik, akan tetapi dimaknai sebagai upaya mengembangkan proses penilaian dalam diri seseorang, semacam suatu keyakinan untuk memperkaya peserta didik dengan sesuatu yang lebih 'krusial' dan 'fungsional', yaitu dengan proses meningkatkan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah, memecahkan dilema nilainilainya secara mandiri, dengan dibekali pemahaman nilai-nilai yang menyangkut "basic human activities'. Seperti pendapat Djahiri (2004: 4) bahwa sebagaimana kualifikasi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, ditegaskan bahwa: "Pendidikan Nilai-Moral-Norma (NMNr) membawakan misi: a) memelihara/melestarikan dan membina NMNr menjadi 5 sistem kehidupan (sistem nilai, sistem budaya, sistem sosial, sistem personal dan sistem organik) yang kait mengkait; b) mengklarifikasi dan merevitalisasi sub a. Sebagai "moral conduct" diri dan kehidupan manusia/masyarakat/ bangsa/ dunia dimana yang bersangkuta berada; c) memanusiakan (humanizing), membudayakan {civilizing) dan memberdayakan (iempowering) manusia dan kehidupannya secara utuh (kajfah) dan beradab (norm/value based) menuju insan/manusia bermoral (morally mature/healthy person) dan masyarakat bangsa berkepribadian; d) membina dan menegakkan "law and order" serta tatanan kehidupan yang manusiawi-demokratis-taat azas; e) khusus di negara Indonesia, disamping hal-hal di atas juga membawakan misi pembinaan dan pengembangan manusia/masyarakat/bangsa yang modern namun tetap berkepribadian Indonesia Pendidikan nilai dalam PKn, berupaya menempatkan peserta didik bagaimana berpikir secara ilmu kewarganegaraan, dimana pengajaran merupakan prosesnya yang dilakukan secara langsung melalui suatu informasi, dan peserta didik memiliki suatu kepercayaan diri ''self-evident /rai/Tdalam menentukan dan membuat suatu keputusan secara bernilai. Pembelajaran PKn yang merupakan inti dari pendidikan m konsep awal 'social studies' pada tataran konseptual dan praksis, oleft Barfiflcl^ ^ (1977;1978) dikelompokkan dalam tiga tradisi pedagogis, yakniTTTffra Pengetahuan Sosial diajarkan sebagai 1) proses transmisi atau memindahkan Pendidikan Kewarganegaraan "Citizenship transmission2) pengembangan ilmu-ilmu sosial atau "Social Science, 3) dan sebagai cara berfikir kritis melalui penemuan atau "Reflective inquiry. Tradisi u Citizenship Transmission" merupakan tradisi tertua dari Pendidikan IPS, yang isinya menekankan pada esensi mendapatkan pengetahuan sebagai u self-evident truth" atau kebenaran yang diyakini sendiri. Karena itu tugas guru menurut tradisi ini, adalah menyampaikan pengetahuan yang telah diyakini kebenarannya itu. Dengan cara kelangsungan hidup masyarakat diyakini dapat dipertahankan. Tradisi "iSocial Science" merupakan tradisi yang dimotori oleh para sejarahwan dan ahli-ahli ilmu sosial dengan tujuan utama mengembangkan para siswa agar dapat menguasai pengetahuan, keterampilan, dan metode dari disiplin ilmu-ilmu social sebagai sarana untuk menjadi warganegara yang efektif. Pendukung tradisi ini percaya bahwa setiap disiplin ilmu social memiliki pendekatan khusus yang dapat melatih siswa untuk berpikir dan melihat dunia sebagaimana adanya Tradisi ini tidak menekankan pada penguasaan fakta, tetapi pada metode keija ahli ilmu social sebagai upaya memperkuat peranannya sebagai warganegara. """ 70 Tradisi "Reflective Inquiry, pada dasarnya menekankan pada upaya melatih siswa agar dapat mengambil keputusan dalam konteks sosial politik, azas demokrasi selalu menuntut warganegara untuk turut serta secara aktif dalam proses pengambilan keputusan. Sementara dalam memasuki abad ke 21 NCSS:1989 (NCSS,1989; Winataputra (2001:138) menggariskan adanya lima tujuan utama Pendidikan IPS yang erat kaitannya dengan Pendidikan Kewarganegaraan dalam pembinaan nilai yaitu mengembangkan tanggung jawab warga negara dan partisipasi warganegara dalam rangka hidup bersama di tengah masyarakat, bangsa dan negara, yakni: "1) Civic responsibility and civic participation; 2) Perspective on their own life experiences so they see themselves as part of larger human adventure in time and palce; 3) A critical understanding of the history, geography, economic, political, and social institutions, traditions, and values of the United States as expressed in both unity and diversity; 4) An understanding of other peoples and the unity and diversity of world history, geography, institutions, traditions, and values; 5) Critical attitudes and analytical perspective appropriate to analysis of human condition ". Pengembangan sebuah Model Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Berbasis Nilai yang dikenal lebih jauh sebagai Pendidikan Kewarganegaraan multidimensional, secara konseptual memiliki lima atribut pokok, seiring pendapat Cogan (1998:2-3) bahwa "secara konseptual seorang warganegara seyogyanya memiliki lima ciri utama yaitu: (1) jati diri; (2) kebebasan untuk menikmati hak tertentu; (3) pemenuhan kewajiban-kewajiban terkait; (4) tingkat minat dan keterlibatan dalam urusan publik; dan (5) pemilikan nilai-nilai dasar kemasyarakatan". 71 Berbeda dengan konsep NCSS tentang "Social Studies" versi tahun 1983, dimana 'Civics' merupakan bagian di dalamnya, bahwa "Social studies" bertujuan utama mata pelajaran yang mengembangkan siswa untuk menjadi warga negara yang memiliki pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan yang memadai untuk berperan serta dalam kehidupan demokrasi; Pembelajarannya menggunakan caracara yang membengkitkan kesadaran pribadi kemasyarakatan, pengalaman budaya, dan pengalaman pribadi siswa Melalui Pendidikan Nilai dalam PKn menekankan pemaknaan dan pemahaman hubungan antara manusia dengan masyarakat, hubungan manusia dengan lingkungan pisiknya, kajian mengenai manusia dengan segala aspeknya dalam sistem hidup bermasyarakat. Kajian ini dilakukan dalam bentuk pengajaran di sekolah untuk menyiapkan anak didik menjadi warganegara yang baik, berdasarkan nilai dan kaidah masyarakat yang berlaku. Dalam hal ini Fenton (1967: 89) mengemukakan tiga tujuan utama PKn, yaitu (1) menyiapkan para siswa untuk menjadi warga negara yang baik,- (2) membimbing peserta didik untuk belajar bagaimana cara berpikir; (3) mempelajari kembali warisan budaya bangsa Sementara Clark (1973: 39) berpendapat bahwa titik berat PKn adalah perkembangan individu yang dapat memahami lingkungan sosialnya, serta manusia dengan kegiatan dan interaksi antara mereka Anak didik diharapkan agar dapat menjadi anggota masyarakat yang produktif dan dapat memberikan andil dalam masyarakat, mempunyai tanggung jawab, tolong menolong dengan sesama dan dapat mengembangkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakatnya Pendapat 72 senada Nursid (1984:20) bahwa terbinanya warga negara yang akan datang yang peka terhadap masalah-masalah sosial yang yang teijadi di masyarakat, memiliki sikap mental yang positif terhadap segala ketimpangan yang teijadi, dan terampil mengatasi masalah yang teijadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri terutama yang menimpa kehidupan masyarakat. Untuk mencapai tujuan di atas maka difokuskan kepada penyediaan pengalaman belajar yang akan membantu setiap siswa, seiring pendapat Alma (2003:149-150) yakni: (1) memahami bahwa lingkungan pisik menentukan bila dan bagaimana manusia hidup; (2) memahami bagaimana manusia berusaha menyesuaikan, mempergunakan, mengontrol, tenaga dan sumber daya lingkungan; (3) memahami bahwa perubahan adalah merupakan kondisi masyarakat yang selalu ada dan berkembang setiap waktu, mereka harus terlibat di dalamnya; (4) mengenal dan mengerti implikasi dari perkembangan saling ketergantungan manusia satu sama lain dan dengan bangsa lain di dunia; (5) menghargai dan mengerti persamaan semua ras-etnik, agama dan kebudayaan. Bias menempatkan diri dalam masyarakat yang pluralistic; (6) menghargai hak-hak individu orang lain; (7) mengerti dan menghargai warisan leluhur sebagai asset bangsa Dengan demikian disimpulkan bahwa Pendidikan Nilai melalui PKn diyakini perlu mengusung tujuan utama, yakni mengembangkan kompetensi kewarganegaraan dan kualitas pribadi yang bernilai sebagai warganegara dan budaya kewarganegaraan yang baik menuju terbentuknya kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan, dan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. (Pasal 37 Ayat (1) UU No. 20/2003). Konsep Depdiknas (2002:7) tentang mata pelajaran PKn dalam kurikulum uji coba 2004 diarahkan dan berfungsi sebagai wahana untuk membentuk warga