BAB n KAJIAN TEORETIS TENTANG PEMBELAJARAN

advertisement
BAB n
KAJIAN TEORETIS TENTANG
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
BERBASIS NILAI DI SMP
A. Landasan Filosofi Pendidikan Kewargancgaraan
Deskripsi kajian teoretis menjadi kerangka acuan dalam berpikir secara
konseptual 'Conceptual Framework', mengkaji konsep pendidikan yang berisi
fungsi dan tujuan pendidikan, isi pendidikan serta proses pendidikan yang
dilaksanakan, senantiasa membutuhkan kajian pembahasan yang mendasar dan
esensial secara filosofis.
Pemahaman terhadap kebijakan pendidikan, diperlukannya suatu model
pembelajaran alternatif yang berbasis nilai dalam mata pelajaran PKn yang
termuat dalam materi pendidikan sebagai implementasi kurikulum 2004 (yang
diuji-cobakan) pada SMP membutuhkan dasar pengetahuan yang menyeluruh dan
mendalam melalui proses berfikir secara sistematis dan logis. Pemikiran secara
menyeluruh dan mendalam dalam konteks demikian sering disebut dengan
berfilsafat. Filsafat suatu metode berpikir reflektif, dan penelitian penalaran,
perangkat masalah-masalah, seperangkat teori dan sistem berpikir. Sementara
Kattsoff (1963) dalam bukunya "The Elements of Philosophy
melengkapi
pemahaman tentang filsafat adalah berpikir secara kritis, dalam bentuk sistematis,
menghasilkan sesuatu yang runtut, berpikir secara rasional dan bersifat
komprehensif.
Filsafat merupakan pengetahuan untuk melihat sesuatu dalam perspektif
bagaimana yang seharusnya (das sollen) yang berbeda dengan ilmu yang melihat
40
41
segala sesuatu secara objektif dalam perspektif sebagaimana adanya (das sein).
Pembahasan dalam filsafat mencakup segala permasalahan yang dihadapi manusia
dalam kehidupan, termasuk dalam masalah pendidikan yang disebut dengan
filsafat pendidikan. Dalam konteks filsafat pendidikan, kedudukan filsafat
berfungsi memberikan arah dan metodologi terhadap praktek pendidikan,
sebaliknya praktek pendidikan berfungsi memberikan bahan bagi pertimbangan
secara filosofis.
Hubungan antara filsafat dengan filsafat pendidikan menurut pendapat
Brubacker (1950:19) ada empat hal yakni :
(a) Philosophy is primary and basic to an educational philosophy,
(b) Philosophy is the flower not root of education,
(c) Educational philosophy is an independent discipline which might
benefit from contact with general philosophy, but this contact is not
essential,
(d) Philosophy and the theory of education is one.
Keterkaitan antara filsafat dengan filsafat pendidikan diiihat dari
pendekatan yang dilakukan menurut KneJler (1971:1), yaitu pendekatan
spekulatif, presknptif dan analitik.
Pendekatan spekulatif merupakan pemikiran secara sistematis tentang
segala sesuatu yang ada berdasarkan dorongan daya manusia untuk
melihat segala sesuatu secara keseluruhan. Pendekatan preskriptif
merupakan pendekatan dalam rangka upaya menyusun standar ukuran
tingkah laku, nilai dan lainnya termasuk dalam ukuran baik, burak, benar,
salah. Sedangkan pendekatan analitik merupakan pendekatan yang
berusaha mengenali makna dari sesuatu dengan mengadakan analisis
bahasanya. (Bamadib, 1988:8-9).
Selain pendapat tersebut Kneller (1971:1) menyebutkan tentang filsafat
pendidikan dalam kaitannya dengan tujuan pendidikan dalam ungkapan
"educational philosophy seeks to comprehend education in its entirety,
42
interpreting it by means of general concepts that will guide our choice of
educational ends and policies". Ketiga pendekatan filsafat yang dikemukakan
diatas, apabila ditinjau dalam konteks filsafat pendidikan, maka pendidikan
dipandang sebagai upaya untuk mengembangkan kepribadian manusia, yang
didalamnya dibahas tentang nilai, etika manusia serta sikap manusia terhadap
suatu kebenaran. Pendidikan dipandang sebagai suatu hak dalam upaya
pengembangan pengetahuan bagi manusia
Manfaat filsafat pendidikan sebagaimana yang dikatakan Nasution (19S2)
bahwa, a) filsafat pendidikan dapat menentukan arah kemana anak-anak harus
dibawa Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan masyarakat untuk mendidik
anak-anak ke arah yang dicita-citakan masyarakat itu; b) dengan adanya tujuan
pendidikan (yang diwarnai oleh filsafat yang dianut), kita mendapat gambaran
yang jelas tentang hasil yang harus dicapai, individu yang bagaimanakah yang
harus kita hasilkan dengan usaha pendidikan lata; c) filsafat dan tujuan pendidikan
menentukan cara dan proses untuk mencapai tujuan itu; d) filsafat dan tujuan
pendidikan memberi kesatuan yang bulat kepada segala usaha pendidikan; e)
tujuan pendidikan memungkinkan si pendidik menilai usahanya, hingga manakah
tujuan itu tercapai; f) tujuan pendidikan memberikan motivasi atau dorongan bagi
kegiatan-kegiatan pendidikan. Kita lebih giat mengajar dan mendidik anak kalau
kita jelas melihat tujuannya
Dalam perspektif filsafat pendidikan, pandangan tersebut selanjutnya
dikembangkan menjadi teori pendidikan. Omstein dan Levine (1985:188-189)
43
melihat kaitan antara filsafat pendidikan, teori pendidikan dan kurikulum dalam
bentuk matrik.
No.
1.
2.
3.
Philosophies
and
Goal
Curriculum
Theories of Education
matter
that
is
Realism: Perenialism
To educate the Subject
rational person hierarchically arranged to
cultivate the intellect (Great
book, etc)
Idealism and Realism: To educate the Basic education: reading,
Essentialism
useful
and writing, arithmetic, history,
competent
english,
science,
foreign
person
languages.
Pragmatism:
Progressivism
To educate the Activities and projects
individual
according to his
or her interests
and needs
4. Pragmatism:
To reconstruct Social sciences used as
recontructive tools.
Reconstructionism
society
Tabel 2.1. : Kaitan Filsafat Pendidikan, Teori Pendidikan dan Kurikulum.
(Diadaptasi dari Ornstein dan Levine (1985)).
Orientasi pendidikan yang dikemukakan tersebut setidaknya dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok teori, yakni (1) menekankan pada sumber
daya manusia, (2) menekankan pada revitalisasi budaya dan (3) teori yang
menekankan pada rekonstruksionisme.
(Bamadib,
1988).
Progressivisme
termasuk pada kelompok teori sumber daya manusia, essensialisme dan
perennialisme termasuk pada teori revitalisasi budaya, sedangkan yang termasuk
dalam rekonstruksionisme adalah teori yang menekankan pada sekolah sebagai
bagian dari masyarakat.
Arah pendidikan dalam perspektif lain, dilihat dari filsafat pendidikan
dapat dikelompokkan menjadi empat aliran atau teori yang dikenal, yakni (a)
44
pendidikan klasik, (b) pendidikan pribadi, (c) pendidikan teknologis, dan (d)
pendidikan interaksionis. (Sukmadinata, 1988:8-14).
Teori pendidikan klasik menurut Ornstein dan Levine (1985:193-198)
memandang bahwa seluruh pengetahuan, ide atau nilai-nilai telah ada dan
ditemukan sebelumnya, sehingga pendidikan berfungsi memelihara, melestarikan
dan meneruskan semua warisan budaya kepada generasi selanjutnya Isi dari
pendidikan merupakan aspek yang menjadi perhatian utama dibandingkan dengan
proses bagaimana mengajarkan isi pendidikan tersebut. Isi pendidikan bersumber
dari ilmu pengetahuan yang telah ada sebelumnya sebagai suatu disiplin sehingga
telah tersusun secara logis dan sistematis. Dengan demikian pada teori pendidikan
klasik, pendidikan lebih menekankan pada perkembangan segi intelektual
daripada segi emosional dan psikomotor. Terdapat setidaknya dua model teori dari
aliran ini, antara lain: perrenialisme dan essensialisme..
Perrenialisme dan essensialisme mendasarkan pada pandangan bahwa
masyarakat bersifat statis, sehingga penetapan bidang studi dan mata pelajaran
ditentukan bukan oleh kebutuhan masyarakat melainkan oleh kelompok ahli dan
diarahkan pada perkembangan kemampuan berfikir.
Perrenialisme mulai berkembang di Eropa dalam masyarakat aristokrasi
agraris yang berorientasi ke masa lampau dan kurang mementingkan tuntutan
masyarakat yang berkembang dinamis. Perrenialisme lebih menekankan pada
aspek kemanusiaan, pembentukan pribadi dan sifat-sifat mental, sehingga
berimplikasi pada penekanan isi pengajaran yang bersifat pendidikan umum (PU)
General Education atau liberal art. Akibatnya model pengajaran eksp
simulasi menjadi lebih dominan.
Aliran perrenialisme merupakan paham filsafat pendidikan yarig"
menempatkan nilai pada supremasi kebenaran tertinggi yang bersumber dari
Tuhan. Karakteristik atau cara berpikirnya berakar dari filsafat realisme kaum
Gereja Aliran filsafat pendidikan ini mencoba membangun kembali cara berpikir
Abad Pertengahan yang meletakan keseimbangan antara moral dan intelektual
dalam konteks kesadaran spiritual.
Dengan menempatkan kebenaran supranatural sebagai sumber tertingi,
maka nilai dalam pandangan aliran perrenialisme selalu bersifat theosentris.
Harga nilai telah ditetapkan oleh Tuhan dan upaya manusia harus selalu diarahkan
pada tujuan pencapaian nilai yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Dalam mencapai
kebaikan dan kebenaran, manusia perlu berikhtiar. Ikhtiar manusia dipandang
sebagai usaha praktis yang berada dalam suasana hidup yang rasional namun tetap
terikat oleh kekuasaan pertama, yaitu Tuhan. Untuk itu suatu kemestian yang
perlu dialami manusia adalah mencoba memilih dan menentukan nilai secara
seimbang antara kebutuhan dirinya dengan apa yang diperintahkan Tuhan.
Ketika manusia mampu mencapai nilai-nilai teologis yang dirujukkan pada
kekuasaan Tuhan, maka ia akan sampai pada nilai universal. Nilai universal
bersifat tetap dan kebenarannya diakui oleh semua manusia, di manapun dan
kapanpun. Karena itu menurut aliran perrenialisme, penyadaran nilai dalam
pendidikan harus didasarkan pada nilai kebaikan dan nilai kebenaran yang
46
S
bersumber dan wahyu dan hal itu dilakukan melalui proses penanaman nilai pada
, peserta didik.
Pendidikan menurut aliran perrenialisme bahwa kebenaran sebagai hal
yang konstan, abadi atau perennial, tujuan pendidikan memastikan bahwa para
peserta didik memperoleh pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau gagasangagasan besar yang tidak berubah, prinsip pendidikan perrenialisme secara umum
yakni, tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup, yakni untuk mencapai
kebijakan dan kebajikan. Pendidikan juga harus sama bagi semua orang,
dimanapun dan kapanpun ia berada, begitu pula tujuan pendidikan harus sama,
yaitu memperbaiki manusia sebagai manusia, Hut chin; Kneller (1971) "Afan may
very from society to society, ...but thefuction of man, is the same in every age and
every society, since it results from his nature as a man. The aims of educational
system can exist: it is to improve man as man "
Rasio merupakan atribut manusia yang paling tinggi. Manusia harus
menggunakannya untuk mengarahkan sifat bawaannya, sesuai dengan tujuan yang
ditentukan. Manusia adalah bebas, namun mereka harus belajar, untuk
memperhalus pikiran dan mengontrol seleranya Bila anak gagal dalam belajar,
guru tidak boleh dengan cepat meletakkan kesalahan pada lingkungan yang tidak
menyenangkan,
atau
pada
rangkaian
peristiwa
psikologis
yang
tidak
menguntungkan. Guru harus mampu mengatasi semua gagasan tersebut, dengan
melakukan pendekatan secara intelektual yang sama bagi semua siswa. Tidak ada
anak yang diizinkan untuk menentukan pengalaman pendidikannya yang ia
inginkan.
47
Robert M Hutchin (1971) merangkum tugas pendidikan adalah bahwa
dalam pendidikan mengandung mengajar,
dalam mengajar mengandung
pengetahuan, dalam pengetahuan mengandung kebenaran, dalam kebenaran di
manapun tetap sama, maka pendidikan di manapun seharusnya sama.
Tugas pendidikan menurut filasafat perennialisme adalah memberikan
pengetahuan tentang kebenaran yang pasti, dan abadi. Kurikulum diorganisasi dan
ditentukan terlebih dahulu oleh orang dewasa, dan ditujukan untuk melatih
aktivitas akal, untuk mengembangkan akal. Anak harus diberi pelajaran yang
pasti, yang akan memperkenalkannya dengan keabadian dunia. Peserta didik tidak
boleh dipaksa untuk mempelajari pelajaran yang tampaknya penting suatu saat
saja Begitu pula kepada anak jangan memberikan pelajaran yang hanya menarik
pada saat-saat tertentu yang khusus. Yang dipentingkan dalam kurikulum adalah
mata pelajaran "general éducationyang meliputi bahasa, sejarah, matematika,
•PA, filsafat dan seni, dan 3 R's (membaca, menulis, berhitung). Mata-mata
pelajaran tersebut merupakan esensi dari genaral éducation.
Seperti halnya Phénix (1956) mengungkapkan enam makna esensial dalam
general éducation, yakni 1) Empirik (ilmu pengetahuan tentang dunia fisik, benda
hidup) 2) Estetik ( seni musik, visual, gerak dan sastra); 3) Etik (moral-etika); 4)
Sinoptik (sgama, filfafat, sejarah); 5) Sinoetik (pengetahuan pribadi, kepribadian,
hubungan Aku-Tuhan); 6) Simbolik (Bahasa asli,matematika, bahasa simbol).
Pendidikan perrenialisme bukan merupakan peniruan dari hidup,
melainkan merupakan suatu persiapan untuk hidup. Sekolah tidak pernah menjadi
situasi kehidupan nyata Sekolah bagi peserta didik merupakan peraturan-
48
peraturan yang artifisial, dimana ia berkenalan dengan hasil yang terbaik dari
warisan sosial budaya. Peserta didik diajak mempelajari karya-karya besar dalam
literatur, yang menyangkut sejarah, filsafat dan seni, begitu pula dalam literatur
yang berhubungan dengan kehidupan sosial, terutama politik dan ekonomi.
Ide pokok pemikiran perrenialisme adalah dalam menghadapi krisis
kebudayaan modem, seperti diuangkapkan Brameld (1955:34):
The one central belief upon which agreement among perrenialists is
universal is that, if our sick culture and our still sicker education are to be
restored to health, we shall need first to restore to their positions of prestige
and guidance the greatenst "doctors" of all time. With their help, far more
than with that of any others, we can hope to diagnose accurately our deep
troubles and to construct a curative program that will prevent the chaos and
death now threatening to devastate the earth.
Satu asas pusat kepercayaan yang disepakati penganut perennialisme
secara universal
ialah, jika kebudayaan dan pendidikan kita sekarang
diumpamakan orang sakit, dan kita ingin mengembalikannya kepada bimbingan
"dokter" yang terbesar sepanjang sejarah. Dengan pertolongannya, kita akan dapat
berharap adanya diagnose yang tepat daripada gangguan-gangguan yang telah
sedemikian mendalam (parah) dan dapat membina rencana penyembuhan yang
mampu mencegah kematian yang sekarang mengancam untuk membinasakan
bumi (kebudayaan yang ada).
Penganut perennialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan berpikir
mental discipline adalah salah satu kewajiban tertinggi dari belajar, atau
keutamaan dalam proses belajar (yang tertinggi). Karena belajar ini tidak saja
secara psikologis berpangkal pada kepercayaan tentang daya jiwa, potensi-potensi
49
jiwa faculty-psychology, tetapi juga secara filosofis bersumber pada asas
hylomorphisme (potensialitas menuju aktualitas).
Essensialisme berkembangan di Amerika Serikat dalam masyarakat
industri. Pendidikan dalam pandangan essensialisme lebih menekankan pada
pengembangan ilmu (science), sehingga bersifat lebih pragmatis. Gerakan
pendidikan essensialisme yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme dari
gerakan progressivisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam warisan
budaya/sosial. Menurut essensialisme nilai-nilai kemanusiaan yang terbentuk
secara berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah payah selama
beratus tahun, dan didalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita yang telah
teruji dalam perjalanan waktu.
Dalam perspektif di atas, pendidikan diarahkan untuk mempersiapkan
generasi muda terjun ke dunia kerja dalam kehidupan sosial dengan orientasi masa
kini dan masa depan. Tujuan pendidikan menyampaikan warisan budaya dan
sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, yang tertahan
sepanjang waktu dan berharga untuk diketahui semua orang. Pengetahuan diikuti
oleh keterampilan, sikap dan nilai yang tepat, membentuk unsur inti (esensi) dari
sebuah pendidikan, dan pendidikan bertujuan untuk mencapai standar akademik
yang tinggi, pengembangan intelek atau kecerdasan. Dengan demikian akan
berimplikasi pada bentuk pengajaran yang lebih diarahkan pada pembentukan
keterampilan. Maka tujuan utama pendidikan yang baik dalam pandangan
essensialisme adalah untuk (a) memperoleh pekerjaan yang lebih baik, (b) dapat
bekerja sama dengan orang lain dengan baik, dan (c) memperoleh penghasilan
50
yang memadai. Pendidikan dipandang sebagai langkah meraih kesuksesan secara
ekonomis.
Pada awalnya model pendidikan progressivisme dibawa oleh Francis
Parker dari Eropa ke Amerika Serikat dan berkembang pesat melalui usaha John
Dewey yang menerapkan prinsip belajar learning by doing. Dalam pendidikan
progresivisme, peserta didik ditempatkan sebagai suatu kesatuan yang utuh, yang
memandang sama pentingnya antara perkembangan emosi dan sosial dengan
perkembangan intelektual, sehingga bentuk pengajaran berasal dari pengalaman
peserta didik sendiri yang disesuaikan dengan minat dan kebutuhannya.
Progressivisme
suatu
gerakan
pendidikan
yang
mengutamakan
penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang berpusat pada anak "child centere(f\
sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang masih berpusat pada guru
"teacher centered" atau bahan pelajaran "subject centered\ Tujuan pendidikan
secara keseluruhan adalah untuk melatih anak agar kelak dapat bekerja, bekerja
secara sistematis, mencintai pekeijaan, dan bekerja dengan otak dan hati.
Pendidikan berpusat pada anak, maka anak adalah unik karena memiliki harkat
dan martabat dalam pendidikan.
Dewey (1915) berpendapat bahwa 'perubahan' dan 'ketidaktepatan'
merupakan esensi dari realitas, dalam arti pendidikan selalu dalam proses
pengembangan, penekanannya adalah perkembangan individu, masyarakat dan
kebudayaan. Pendidikan harus siap memperbaharui metode, kebijaksanaannya,
berhubungan dengan perkembangan sains dan teknologi, serta perubahan
lingkungan. Kemudian kaum progresif sepakat dengan pandangan Dewey bahwa
51
untuk
menekankan
pengalaman
indera,
belajar
sambil
bekeija,
dan
mengembangkan intelegensi, sehingga anak dapat menemukan dan memecahkan
masalah yang dihadapi.
Esensi yang terkandung dalam filsafat progressisme menurut Brubacher
(1962:312) "Progress is naturalistic; it implies change. Change implies novelty.
And novelty lay's claim to being genuine rather than the révolution of an
anlecedently complété reality". Progesif (berkembang maju) adalah sifat alamiah,
kodrati dan itu berarti perubahan. Dan perubahan berarti suatu yang baru. Sesuatu
yang baru sungguh-sungguh merupakan keadaan yang nyata dan bukan sekedar
pengertian atas realita yang sebelumnya memang sudah demikian.
Model pendidikan romantik berasal dari pemikiran Jean Jacques Rousseau,
yang memandang bahwa pendidikan sebagai suatu proses alamiah dan individual
berupa usaha pengembangan kemampuan peserta didik melalui intensitas interaksi
dengan lingkungan. Dalam pandangan model pendidikan ini, pengalaman peserta
didik dianggap sebagai guru terbaik, sehingga menempatkan peserta didik untuk
giat belajar mandiri dan bebas mengembangkan keingintahuannya.
Teori teknologi pendidikan dalam perspektif pendidikan dipandang
berperan bagi proses transmisi informasi dalam bentuk informasi teknologi dan
pengetahuan. Arah pendidikan lebih menekankan pada masa kini dan masa depan,
sehingga implikasinya menempatkan pengalaman sebagai hal yang selalu berubah
selaras dengan perkembangan dan waktu. Dengan demikian, teori ini lebih
mengutamakan proses empiris yang senantiasa mendasarkan pada kepastian dan
52
efisiensi. Akibatnya, yang dikembangkan dalam proses pendidikan adalah
keterampilan yang mengarah kepada kompetensi vokasional peserta didik.
Dalam perspektif teori pendidikan interaksional, pendidikan dipandang
sebagai suatu interaksi dua pihak antara peserta didik dengan pendidik secara
timbal balik, interaksi dengan bahan ajar, lingkungan dan dengan lainnya secara
dialogis.
Rekonstruksionisme berupaya membina suatu konsensus yang paling luas
dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Dalam kehidupan manusia harus menyesuaikan diri terhadap masyarakat
teknologi, apa yang diperlukan masyarakat yang memiliki perkembangan
teknologi yang cepat adalah rekonstruksi masyarakat dan pembentukan serta
perubahan tata dunia baru (Brameld, 1965:28). Demikian pula kedudukan filsafat,
pendidikan dan kurikulum diarahkan pada sekolah sebagai agen perubahan sosial
(Counts: 1956), sekolah akan betul-betul berperan apabila sekolah menjadi pusat
bangunan masyarakat baru
secara keseluruhan,
membasmi
kemelaratan,
peperangan dan kesukuan (rasialisme). Pendidikan dapat menjalankan perannya
sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi sosial.
Dalam pandangan rekonstruksionisme tentang pendidikan dan kurikulum
terdapat upaya untuk 'shaping the future' dan bukan hanya 'adjusting, mending or
reconstructing the existing conditions of the life of community\ seperti
dikemukakan oleh McNeil (1977:19):
Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum
shoul help students adjusts or fit the existing society. Instead, they
conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and
53
for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and
affecting social change.
Manusia, pendidikan dan pengetahuan menurut pandangan ahli pendidikan
bahwa rekonstruksionisme adalah:
Knowledge is constructed by humans. Knowledge is not a set of facts,
concepts, or laws waiting to be discovered. It is not something that exists
independent of knower. Humans create or construct knowledge as they
attempt to bring meaning to their experience. Everything that we know, we
have made. (Zahorik, 1995; Nurhadi, 2004: 45).
Ilmu/Pengetahuan dibangun oleh manusia, Ilmu/pengetahuan bukan serangkaian
fakta, konsep, atau hukum yang menunggu untuk ditemukan. Bukan sesuatu yang
langsung ada oleh si penemu. Manusialah yang menciptakan dan membangun
ilmu/pengetahuan sebagaimana mereka ujicobakan menjadi bermakna melalui
pengalaman meraka. Sesuatu yang mereka ketahui, dibuat oleh mereka.
Ilmu/pengetahuan dibangun, dimaknai dan digunakan dari manusia, oleh manusia,
untuk manusia, manusia yang memegang peranan utama dalam ilmu/pengatahuan
itu sendiri.
Pendapat di atas berkaitan dengan teori pendidikan pribadi (personalized
education) memandang bahwa yang menjadi perhatian utama dalam pendidikan
adalah peserta didik. Proses pendidikan dalam pandangan ini mendasarkan pada
asumsi bahwa setiap anak telah memiliki potensi untuk belajar berbuat dan
memecahkan suatu masalah serta berkembang secara alamiah sejak dilahirkan.
Dengan demikian, fungsi pendidikan yang utama adalah menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi kebutuhan belajar peserta didik menuju ke arah yang lebih
baik. Aliran pendidikan ini adalah progressivisme dan romantik.
54
Pandangan Dewey berkaitan dengan model teori pendidikan yang
dibangun memerlukan land asan filosofi pendidikan untuk memperkuat proses
pendidikan, yakni (1) untuk membangun 'intellegent reflective thinking' yaitu
progressivisme
(dan
romantik),
(2)
untuk
mempribadikan
pengalaman
kebudayaan yaitu essensialisme, (3) untuk menentukan tujuan pendidikan
berdasarkan tatanan nilai yaitu perrensialisme dan (4) untuk membangun ketiga
landasan filsafat tersebut diperlukan rekonstruksionisme dalam membangun
kebermaknaan pendidikan pada peserta didik dan proses pendidikan. Pendapat
yang sama dikatakan Brameld (1965:25)
The terms that are frequently applied to these major views are (I)
essensialism, which is the educational philosophy concerned chiefly with
the consevation of culture; (2) perrenialism, which centers its attention in
the kind of educational guidence provided by the classical thought of
ancient Greece and medieval Europe; (3) progressivism, which is the
philosophy of liberal, experimental education; and (4) recontructionism,
which believes that the contemporary crisis can be effectively attacked
only by a radical educational policy and program ofaction.
Dasar filosofis rekonstruksionisme bersumber dari pragmatisme dan dasar
pemikiran kaum Neo-positivisme. Senada pendapat Dewey (1958:267-269) bahwa
Pragmatisme yang menganggap kenyataan sebagai dunia pengalaman, yang
diperoleh melalui pendnaan, yang kebenarannya terkandung pada kegunaannya
dalam masyarakat; Neo-positivisme adalah humanisme ilmiah, yang menghargai
harkat dan martabat manusia, dan mempunyai keyakinan teguh bahwa ilmu dapat
dipergunakan untuk membangun masyarakat masa depan.
Sintesa filsafat pendidikan progressivisme, essensialisme, perennialisme
menghasilkan filsafat rekonstruksionisme atau "A Restructured Philosophy of
Education" landasan filosofi pendidikan yang diperlukan dalam membangun
55
paradigma pendidikan pada umumnya, dan khususnya paradigma model PKn
berbasis nilai ini. Hal ini memiliki beberapa alasan, yakni 1) mengambil kebaikan
dari berbagai filsafat pendidikan dari manapun asalnya; 2) menempatkan
kebudayaan nasional yang dilandasi keimanan (sesuai dengan Tujuan Pendidikan
Nasional UU no 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3); 3) menjadi
ide sentral pembangunan pendidikan; 4) menjadi suatu nilai filsafat "A Philosophy
ofValue"; 5) dapat menjadi CiA Philosophy of emis".
Brameld (1965:28) mengungkapkan pendapatnya tentang keunggulan
kedudukan filosofi rekonstruksionisme berkaitan dengan "A Philosophy ofValue"
atau suatu nilai dalam filsafat dan "A Philosophy of Crisis" atau suatu kiris dalam
filsafat melalui rangkaian kesatuan budaya dalam gambar sebagai berikut:
—Reconstruc——Progress— ->~
—Essential—-^—<r—Perrenial
Gambar 2.1 : Continuum of Culture
(Diadop dari Brameld, 1965:28)
Gambar ini menjelaskan bahwa filosofi essensialisme dan perrenialisme
merupakan perpindahan yang utama dalam kontinum budaya menuju filosofi
progressivisme dan rekonstruksionisme merupakan inovator, rekonstruksionisme
merupakan filosofi yang membangun masa depan pendidikan melalui keunggulan
filosofi perrenialisme, essensialisme dan progressivisme.
Power (1982:171) mengemukakan aliran filsafat rekonstruksionisme
implikasi pendidikannya sebagai berikut: 1) Tema: pendidikan merupakan usaha
sosial, misi sekolah adalah untuk meningkatkan rekonstruksi sosial; 2) Tujuan
pendidikan: bertanggungjawab dalam menciptakan aturan sosial yang ideal.
Transmisi budaya adalah esensial dalam masyarakat yang majemuk; 3)
56
kurikulum: tidak boleh didominasi oleh budaya mayoritas maupun oleh budaya
yang ditentukan atau disukai. Semua budaya dan nilai-nilai yang berhubungan
berhak untuk mendapatkan tempat dalam kurikulum; 4) kedudukan siswa: nilainilai budaya siswa yang dibawa ke sekolah merupakan hal yang berharga.
Keluhuran dan tanggung jawab sosial ditingkatkan, manakala rasa hormat
diterima semua latar belakang budaya; 5) Metode: sebagai kelanjutan dari
pendidikan progresif, metode aktivitas dibenarkan (learning by doing), 6) Peranan
guru: harus menunjukkan rasa hormat yang sejati (ikhlas) terhadap semua budaya,
baik dalam memberi pelajaran maupun dalam hal lainnya Pelajaran sekolah harus
mewakili budaya masyarakat.
Paradigma rekonstruksionisme yang dipelopori oleh John Dewey,
memandang pendidikan sebagai rekonstruksi pengalaman-pengalaman yang
berlangsung terus dalam hidup.
Sekolah yang menjadi tempat utama
berlangsungnya pendidikan haruslah merupakan gambaran kecil dari kehidupan
sosial di masyarakat. Perkembangan lebih lanjut dari 'rekonstruksionalisme
radikal', yang memandang pendidikan sebagai alat untuk membangun
masyarakat masa depan, melalui pembelajaran PKn hal ini sesuai dengan
kepentingan pembangunan bangsa dan negara serta sesuai dengan kehendak
dan cita-cita bangsa.
Berkaitan dengan pendidikan sebagai alat untuk membangun masyarakat
masa depan serta kepentingan pembangunan bangsa dan negara, bagi bangsa
Indonesia telah memiliki pandangan hidup yang dianut sebagai filosofi bangsa
dan dinamika sistem nilai atau budaya 'Pancasila', yang menjadi falsafah
57
kenegaraan, yaitu bagian dari falsafah politik, lebih luas lagi mengenai sifat
hakiki, asal mula dan nilai dari negara Negara dan manusia di dalamnya dianggap
sebagai bagian dari alam semesta
Filosofi Pancasila sebagai soko guru kegiatan dasar manusia, merupakan
dasar negara dalam sistem kenegaraan Indonesia Dasar falsafah negara yang
paling sesuai dengan kondisi dan berakar pada kehidupan bangsa Indonesia yang
pada hakikatnya mengandung pandangan yang mengutamakan harmoni dalam
kehidupan masyarakat.
Pancasila memiliki fungsi filsafat, ideologi, hukum dan politik.
Kandungan filsafat dalam Pancasila bisa dilihat dengan pemikiran-pemikiran yang
ada dalam sila Pancasila Bahkan kandungan pemikiran dalam sila-sila itu
memiliki substansi yang sangat luas, mencakup berbagai cara dan etika kehidupan
masyarakat, serta selalu memperhatikan nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia
Filosofi Pancasila dalam pendidikan merupakan sualu hasil kecerdasan
pemikiran bangsa Indonesia, seperti yang dikatakan Mahbubani (2005 :xvi) bahwa
"mampukan bangsa Indonesia berpikir?, dengan tegas dapat dijawab "Bisa"
namun dengan syarat asal bangsa Indonesia bersatu dan bergotong royong.
Dengan alat pemersatunya yaitu filsafat dan ideologi Pancasila". Pancasila
mencerminkan nalar bangsa Indonesia yang digali dari bumi Indonesia atau dari
kebudayaan bangsa atau nilai-nilai budaya Indonesia yang berintikan harmoni dan
keseimbangan.
Filosofi Pancasila dalam pendidikan merupakan nilai dan keyakinankeyakinan filosofis yang menjiwai, mendasari dan memberikan identitas
58
(karakteristik) suatu sistem pendidikan. Sistem pendidikan nasional Indenesia
dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas Pancasila Visi dan misi tujuan
pendidikan nasional sebagai sistem, bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan,
pandangan hidup atau filosofi Pancasila yang dilaksanakan dalam berbagai subsistem kehidupan nasional bangsa secara keseluruhan.
Memperhatikan fungsi pendidikan dalam membangun potensi bangsa,
khususnya dalam melestarikan kebudayaan dan kepribadian bangsa yang pada
akhirnya menentukan eksistensi dan martabat bangsa, maka sistem pendidikan
nasional dan falsafah Pancasila seiring sejalan bagi tegaknya martabat dan
kepribadian bangsa, sekaligus pelestarian sistem kenegaraan Pancasila, falsafah
Pancasila dalam pendidikan merupakan aspek rokhaniah atau spiritual sistem
pendidikan nasional. Falsafah Pancasila menjadi asas dan wawasan yang
mendasar serta mengembangkan cita dan karsa nasional dalam membina watak
dan kepribadian bangsa, yakni melestarikan kepribadian dan martabat Pancasila
dalam subyek pribadi manusia Indonesia Subyek kepribadian manusia sebagai
perwujudan manusia Indonesia seutuhnya.
Filosofi Pancasila terkandung nilai-nilai yang mendasari pendidikan
bahkan semua kegiatan kehidupan masyarakat Indonesia dimana dinamika sistem
nilai terkandung di dalamnya sebagai landasan dan pandangan hidup bangsa
Indonesia, yakni nilai-nilai 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang
adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta; 5) Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
59
Melalui kajian pemahaman falsafah Pancasila yang mendasari sistem
pendidikan nasional, dalam implementasi praksis pembelajaran di sekolah yang
tepat adalah pembelajaran berbasis nilai dalam PKn, dimana kajian materi PKn
merupakan petunjuk, pemahaman intemalisasi-personalisasi nilai serta bagaimana
praksis kehidupan menjadi 'manusia Indonesia seutuhnya' yang sehat baik
melalui proses kematangan mental spiritual yang utuh, mantap, matang yang akan
berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, maupun kehidupan berbangsa
dan bernegara yang harmoni.
B. Kedudukan Mata Pelajaran PKn dalam Perspektif Pendidikan
Umum
Pendidikan umum atau pendidikan nilai adalah suatu proses dalam upaya
membantu siswa mengekspresikan nilai-nilai yang ada, melalui pengujian kritis,
sehingga peserta didik dimungkinkan untuk meningkatkan atau memperbaiki
kualitas berpikir serta perasaannya, proses tersebut adalah 1) identifikasi
(akulturasi) nilai-nilai personal dan nilai sosial; 2) Inquiiy rasional dan filosofis
terhadap inti nilai tersebut; 3) Respon afektif dan respon emotif terhadap inti nilai
tersebut, 4) pengambilan keputusan yang dihubungkan dengan inti nilai
berdasarkan respon-respon tersebut
Pendidikan umum mengupayakan seseorang memiliki bentuk kepribadian
yang utuh-mantap-matang-produktif atau lAll around people' dalam pengertian
seseorang yang paripurna-harmony atau 'Manusia Indonesia Seutuhnya'.
Kepribadian utuh-matang-mantap dan produktif dalam konteks kepribadian yang
terorganisir, terintegrasi, matang dan normal; aspek afektif, perkembangan
intelektual dan sosial volitional dalam pemahaman kajian nilai (agama, budaya,
60
yang memayungi nilai kemanusiaan, nilai IPTEK, nilai politik, nilai seni, nilai
kesehatan dan nilai ekonomi) sebagai inti hidup dan filsafat.
Pendidikan berbasis nilai yang mencakup keseluruhan aspek sebagai
alternatif pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai
kebenaran, kebaikan dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat
dan pembiasaan bertindak yang konsisten PKn melalui materi atau bahan ajar
yang diberikan pada peserta didik, membawakan visi dan misi pendidikan
umum/pendidikan nilai pada peserta didik jenjang SMP di persekolahan, sesuai
dengan situasi dan kondisi pertimbangan pedagogik - psikologis - keilmuan,
sebagai implementasi kurikulum 2004.
Materi PKn dengan model pendidikan berbasis nilai ini melalui cara yang
sistematis dan sistemik merupakan upaya alternatif yang diperlukan peserta didik
dalam rangka siap menghadapi tantangan globalisasi, dinamika kehidupan kini
dan pada masa yang akan datang.
Dalam era globalisasi yang dipenuhi dengan persaingan ilmu pengetahuan
dan teknologi, pendidikan nilai melalui materi PKn diperlukan guna menangkal
kesemrawutan CChaos' - menurut John Briggs & David Peal), krisis multi
dimensi. Manusia memerlukan kematangan moral dan intelektual, kecerdasan
intelektual dalam mengkritisi berbagai wacana pemikiran yang muncul
kepermukaan, kematangan emosional untuk dapat hidup kooperatif sekaligus
kompetitif yang didasarkan atas jalinan sosial yang harmonis, kematangan
spiritual sebagai perwujudan ikatan transendental antara dirinya dengan sang
pencipta. Kematangan tersebut dilatih, diajar dan dididik me
dengan model pendidikan berbasis nilai.
Harapan melalui Pendidikan Umum-Pendidikan Nilai melal
pelajaran PKn kelak mampu melahirkan Warga Negara Indonesia yang
'Seutuhnya', sebagaimana diungkapkan Cogan (1998) dalam Djahiri (2002:92),
sebagai warga negara yang memiliki sejumlah ciri utama, yakni
(l)Rasa kepribadian/jati diri mandiri (a sense of identity) baik sebagai
insan ilahiah, sosial maupun kebangsaan; ciri mandiri ini bisa dilihat dari
berbagai dimensi (geografi, etnis, agama), serta mampu menuju kehidupan
yang globalistik; (2) rasa nikmat akan sejumlah haknya baik legal,
polilical, socio-economical rights dan mampu menjalankan secara baik
dan benar; (3) rasa tanggungjawab akan kewajiban-kewajiban {obligation)
yang menjadi keharusannya, sehingga selalu menjaga keseimbangan
antara kepentingan publik dengan privat serta menjelmakan tangung jawab
(,responsibility) menjadi kewajiban (obligation) dan tugas keharusan
(,duties); (4) minat dan keterlibatan akan public affairs (kepentingan
umum) sehingga siap, mau, dan mampu berpartisipasi secara aktif, kreatif,
positif/konstruktif,
dan
demokratis;
(5)
kemampuan
untuk
menyerap/menerima nilai-nilai dasar kemasyarakatan (basic societal
values); sehingga mampu menjalin dan membina keijasama, kejujuran,
kedamaian, serta rasa cinta dan kebersamaan dalam mempersiapkan hari
esok (Juturistic orientation).
Memaknai konsep pembelajaran PKn (pada SMP) di atas, yaitu
seyogyanya melakukan kegiatan dasar manusia 'Basic human activities\
dikaitkan dengan substansi-esensi kajian batang tubuh Pendidikan Umum
(Pendidikan Nilai) dalam disertasi ini diharapkan dapat memenuhi keseimbangan
antara konsep keimanan dan ketaqwaan dengan posisi ilmu pengetahuan dan
teknologi di era globalisasi dan dapat memenuhi tuntutan masyarakat, dengan
indikator
(1)
Landasan
filosofi
Pancasila
dan
filosofi
pendidikan
'Rekonstruksionisme' yang berperan dalam memaknai pembangunan pro masa
depan dalam menjalani kehidupan melalui proses pendidikan; (2) Karakter
62
pendidikan dalam PKn berbasis nilai yang inter-cross-trans disipliner; (3) bersifat
holistik/menyeluruh dipayungi nilai agama, (4) Pendidikan nilai berbudaya
Pancasila yang terintegrasi melalui PKN; (5) bertujuan agar peserta didik dapat
melakukan proses membuat keputusan dan memecahkan masalah 'Decision
making process & problem sotong'; (6) Kesatuan antara pengembangan kognitifafektif-psikomotor; (7) merupakan pengetahuan fungsional dalam memaknai
kehidupan;
(8)
dapat
memenuhi
'tuntutan
manusia
abad
21*
yang
direkomendasikan oleh UNESCO & Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
sebagai kerangka kerja'Frame ofWork' dalam proses pendidikan.
C. Pendidikan Kewarganegaran dalam Kurikulum 2004 (yang
diuji-cobakan)
1. Pendidikan Kewarganegaraan Pada SMP
Konsep 'Pendidikan' dalam arti luas berarti suatu proses untuk
mengembangkan
semua
aspek
kepribadian
manusia,
yang
mencakup
pengetahuannya, nilai dan sikapnya, serta keterampilannya Pendidikan pada
hakikatnya akan mencakup kegiatan 'mendidik'; 'mengajar'; dan 'melatih'. Sikun
Pribadi (1981) berpendapat bahwa:
Mendidik, menunjukkan usaha yang lebih ditujukan pada pengembangan
budi pekerti, hati nurani, semangat, kecintaan, rasa kesusilaan, ketakwaan,
dan lain-lain. Mengajar berarti memberi pelajaran tentang berbagai ilmu
yang bermanfaat bagi perkembangan kemampuan intelektual manusia
Melatih merupakan suatu usaha untuk memberi sejumlah keterampilan
tertentu, yang dilaksanakan secara berulang-ulang, sehingga akan teijadi
suatu pembiasaan dalam bertindak.
Pendidikan menyangkut hati nurani, nilai-nilai, perasaan, pengetahuan dan
keterampilan. Dengan pendidikan manusia ingin berusaha untuk meningkatkan
63
dan mengembangkan serta memperbaiki nilai-nilai, hati nuraninya, perasaannya,
pengetahuannya, dan keterampilannya
Konsep 'Kewarganegaraan' (Citizenship) berdasarkan Depdiknas (2002:7)
merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang
beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk
menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang
diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Chamim (2003 :ix) berpendapat Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education), bagi bangsa Indonesia adalah menyangkut pengetahuan, sikap
mental, nilai-nilai, dan perilaku yang menjunjung tinggi demokrasi, sehingga
akan terwujud warga masyarakat yang demokratis dan mampu menjaga
persatuan dan integritas bangsa guna mewujudkan Indonesia yang kuat dan
sejahtera serta demokratis.
Best (1960) dalam Winataputra (2001:128) menjelaskan di USA sebagai
negara
perintis
pengembangan
konsep
dan
paradigma
Pendidikan
Kewarganegaraan "civic education" atau "citizenship educationmemaknai misi
dan isi materi tentang pemerintahan, yang berawal dari tahun 1880-an mulai
diperkenalkan Civtcs sebagai mata pelajaran di sekolah, kemudian pada tahun
1900-an civics dijadikan pengembangan keterampilan sosial dan kompetisi
warganegara Pada tahun yang sama 1900 mata pelajaran memuat tentang ide-ide
tentang
karakter
Kewarganegaraan
atau
watak
menjadi
yang
Pendidikan
baik,
kemudian
Kewarganegaraan,
mata
dalam
pelajaran
rangka
membentuk pendidikan watak atau karakter dan pendidikan etika dan kebajikan.
64
Namun Chresore (1886) dalam Winataputra (2001:130) seorang ahli
pendidikan
berpendapat
bahwa
untuk
menggantikan
mata
pelajaran
Kewarganegaraan sebagai "ilmu kewarganegaraan" isinya mempelajari hubungan
antar individu dan antara individu dengan Negara. Kemudian pada tahun 1900-an
mata pelajaran Kewarganegaraan diisi dengan materi mengenai struktur
pemerintahan Negara bagian dan federal, sementara pada tahun 1920 mata
pelajaran Kewarganegaraan dijadikan bidang pengajaran yang lebih khusus yaitu
kewarganegaraan yang berkenaan dengan mata pencaharian, kemasyarakatan dan
perekonomian.
Pendapat lain seperti Dunn (1915) dalam Winataputra (2001:131)
mengembangkan
gagasan
mata
pelajaran
'Kewarganegaraan
Baru'
menitikberatkan pada kehidupan masyarakat.
Sementara Dimond
(1953)
mengemukakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai dua makna
(pengertian luas), yaitu: 1) Ide berkenaan dengan peran dan fungsi warga Negara
dalam kegiatan politik; 2) "Desirable personal quaiitiesn atau kualitas pribadi
yang didambakan dari negara dalam kegiatan sehari-hari.
Pemahaman istilah Kewarganegaraan dan Pendidikan Kewarganegaraan
atau "Cwcs", "c/wc eduoation", "citizenship education" dapat kita telaah dalam
bagan
berikut
ini
berdasarkan
Kewarganegaraan, yakni:
beberapa
pendapat
ahli
pendidikan
65
CIVIC EDUCATION
CITIZENSHIP EDUCATION
Cogan (1999:4):
"...the foundation course work in
school designed to prepare young
citizens for an active role in their
communities in their adults lives".
Cogan (1999:4):
"...both these in-school experience as
well as out-of school or non
formal/informal learning which takes
place in the family, the religious
organization, community organizations,
the media, etc. which help to shape the
totality of the citizen ".
Suatu mata pelajaran dasar di sekolah
yang dirancang untuk mempersiapkan
warga Negara muda, agar kelak setelah
dewasa dapat berperan aktif dalam
masyarakatnya
Sebagai pengalaman belajar di sekolah
dan di luar sekolah seperti di rumah,
dalam organisasi keagamaan, dalam
organisasi kemasyarakatan, melalui
media massa, dll yang berperan
membantu proses pembentukan totalitas
atau keutuhan warga Negara
Gross & Zeleny (1958:247):
Gross & Zeleny (1958:247):
Berkenaan dengan keterlibatan dan
Berkenaan
dengan
pembahasan
mengenai pemerintahan demokrasi partisipasi warga Negara dalam
masyarakat.
dalam teori dan praktek
Mahoney (Somantri, 1972:8):
Proses pendidikan yang mencakup
proses pembelajaran semua mp,
kegiatan siswa, proses administrasi dan
pembinaan
dalam
upaya
mengembangkan perilaku warga negara
yang baik.
NCSS (Somantri, 1972:9).
Menekankan
bahwa
"citizenship
Education" sesungguhnya mencakup
"all positive influence coming from
formal and informal educationsegala
macam dampak yang datang baik dari
pendidikan formal maupun informal.
Allen (1960:11):
Allen (1960:11)
Mp "civics" merupakan unsur yang Lebih luas lagi, sebagai produk dari
paling
utama
dalam
upaya keseluruhan
program
pendidikan
mengembangkan wn yang baik.
persekolahan.
Civics <£ Ch'ic Education:
Tujuan utama mengembangkan siswa
sebagai warganegara yang cerdas dan
baik.
(Chreshore;l886,
Allen;1960,
Somantri;1972, Winataputra;2001).
Citizenship Education:
Visi yang lebih luas untuk menunjukkan
k
'instruction effects" dan "nurturant
effects"
dari
keseluruhan
proses
pendidikan
terhadap
pembentukan
carakter individu sebagai warganegara
yang cerdas dan baik.
(Dimond; 1953, Gross n Zeleny; 1958,
Allen; 1960, NCSS; 1972, Somantri;
66
Winataputra (1978; 2001: 131):
Civics: "w the study of government
taught in the school. It is an area of
learning dealing with how democratic
government has been and should be
carried out, and how purposefully with
full
responsibility(Kewarganegaraan
sebagai
suatu
studi
tentang
pemerintahan yang dilaksanakan di
sekolah yang merupakan mata pelajaran
tentang
bagaimana
pemerintahan
demokrasi
dilaksanakan
dan
dikembangkan,
serta
bagaimana
warganegara seyogyanya melaksanakan
hak dan kewajibannya secara sadar dan
penuh rasa tanggung jawab).
Civic/Citizenship Education "can be
defined in two ways: 1) in the first
sense, CE is an area of learning,
primarily
intended
to
develop
knowledge attitudes, and skills so the
students become "good" citizens, with
learning experiences carejully selected
and organized around the basic
concepts of political science; 2) in
another sense, CE as a by-product of
variety of areas of learning undertaken
in and out-of formal school setting as
well as a by-product of a complex
network of human interactions in daily
activities
concerned
with
the
development of civic responsibility".
( 1). Merupakan program pembelajaran
yang
memiliki
tujuan
uatama
mengembangkan pengetahuan, sikap
dan keterampilan sehingga siswa
menjadi wn yang baik, melalui
pengalaman belajar yang dipilih dan
diorganisasikan atas dasar konsepkonsep ilmu politik; 2). CE juga dinilai
sebagai "nurturant effects" atau
dampak pengiring dari berbagai mata
pelajaran di dalam maupun di luar
sekolah dan sebagai dampak pengiring
dari interaksi antar manusia dalam
1972, Cogan &
Winataputra;2001).
Derricott;
1998,
Cogan (1998:13):
» Konsep "a citizen" sebagai " a
constituent member of society" :
anggota resmi suatu masyarakat.
' "A set of characteristics of being a
citizenseperangkat
karakter
menjadi warga Negara
• Konsep yang menjadi inti dari studi
ini: "The contribution of education to
the
development
of
those
characteristics of being a citizen":
Kontribusi atau dampak pendidikan
terhadap pengembangan karakteristik
yang menandai seorang warga
Negara
• Pendidikan dalam pengertian luas:
"...formal,
meaning
primary
schooling; non-formal, meaning
educational programmes which are
outside the context of formal
schooling, e.g, adult and contuining
education programmes, special
education for children and youth, etc,
and informal, which consist of those
learning
acquired
almost
unconsciously in a variety of settings
both in school and in school and the
wider community"
67
kehidupan sehari-hari, yang berkenaan
dengan pengembangan tanggung jawab
wn).
Civics: bersifat impersonal
Civic Education: bersifat personalpedagogis.
Dalam praktek Civics merupakan
konten utama dari civic education.
Secara metaporis civics dapat dianggap
sebagai muatannya, sedangkan civic
education
sebagai
wahana atau
kendaraannya
Tabel 2.2. : Istilah "Civics", "cmc éducation"citizenship éducation"
(Diadop dari Winata putra, 2001:125-135)
Disimpulkan bahwa mata pelajaran PKn dapat diperoleh melalui proses
kegiatan belajar mengajar di sekolah, sedangkan Ilmu Kewarganegaraan dapat
diperoleh baik dari bangku sekolah maupun diluar lingkungan sekolah.
Pendidikan
Kewarganegaraan
memiliki
keterkaitan
erat
dengan
Pendidikan Nilai, dalam Pendidikan Nilai menyatukan perbagai permasalahan
yang menyangkut preferensi personal ke dalam satu kategori yang disebut nilainilai yang dibatasi sebagai petunjuk umum untuk perilaku yang memberi batasan
langsung pada kehidupan atau "general guides to behavior which tend to give
direction to life" (Raths, 1966:26). Sementara PKn membawa misi dan berbicara
tentang nilai moral dan norma (aturan). Sebagaimana pendapat Djahiri (2004: 3)
mengatakan bahwa:
"Orang yang tidak mengenal perangkat tatanan nilai moral norma dan
tidak/jarang dibelajarkan potensi afektualnya, sulit untuk diminta menjadi
manusia bermoral. Visi Pendidikan nilai-Moral disamping membina,
menegakkan dan mengembangkan perangkat tatanan NMNr luhur adalah
juga pencerahan diri dan kehidupan manusia secara kaffah dan berakhlak
mulia serta kehidupan masyarakat Madaniah (Civil Society)".
68
PKn
sebagai
pusat
Pendidikan
Nilai,
bukanlah
sekedar
mentransmisikan isi nilai tertentu kepada peserta didik, akan tetapi dimaknai
sebagai upaya mengembangkan proses penilaian dalam diri seseorang,
semacam suatu keyakinan untuk memperkaya peserta didik dengan sesuatu
yang lebih 'krusial' dan 'fungsional', yaitu dengan proses meningkatkan
kemampuan mereka dalam memecahkan masalah, memecahkan dilema nilainilainya secara mandiri, dengan dibekali pemahaman nilai-nilai yang menyangkut
"basic human activities'. Seperti pendapat Djahiri (2004: 4) bahwa sebagaimana
kualifikasi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003,
ditegaskan bahwa:
"Pendidikan Nilai-Moral-Norma (NMNr) membawakan misi: a)
memelihara/melestarikan dan membina
NMNr menjadi 5 sistem
kehidupan (sistem nilai, sistem budaya, sistem sosial, sistem personal dan
sistem organik) yang kait mengkait; b) mengklarifikasi dan merevitalisasi
sub a. Sebagai "moral conduct" diri dan kehidupan manusia/masyarakat/
bangsa/ dunia dimana yang bersangkuta berada; c) memanusiakan
(humanizing), membudayakan {civilizing) dan memberdayakan
(iempowering) manusia dan kehidupannya secara utuh (kajfah) dan beradab
(norm/value based) menuju insan/manusia bermoral (morally
mature/healthy person) dan masyarakat bangsa berkepribadian; d)
membina dan menegakkan "law and order" serta tatanan kehidupan yang
manusiawi-demokratis-taat azas; e) khusus di negara Indonesia, disamping
hal-hal di atas juga membawakan misi pembinaan dan pengembangan
manusia/masyarakat/bangsa yang modern namun tetap berkepribadian
Indonesia
Pendidikan nilai dalam PKn, berupaya menempatkan peserta didik
bagaimana berpikir secara ilmu kewarganegaraan, dimana pengajaran merupakan
prosesnya yang dilakukan secara langsung melalui suatu informasi, dan peserta
didik memiliki suatu kepercayaan diri ''self-evident /rai/Tdalam menentukan
dan membuat suatu keputusan secara bernilai.
Pembelajaran PKn yang merupakan inti dari pendidikan
m
konsep awal 'social studies' pada tataran konseptual dan praksis, oleft Barfiflcl^ ^
(1977;1978) dikelompokkan dalam tiga tradisi pedagogis, yakniTTTffra
Pengetahuan Sosial diajarkan sebagai 1) proses transmisi atau memindahkan
Pendidikan
Kewarganegaraan "Citizenship transmission2)
pengembangan
ilmu-ilmu sosial atau "Social Science, 3) dan sebagai cara berfikir kritis melalui
penemuan atau "Reflective inquiry.
Tradisi
u
Citizenship Transmission" merupakan tradisi tertua dari
Pendidikan IPS, yang isinya menekankan pada esensi mendapatkan pengetahuan
sebagai u self-evident truth" atau kebenaran yang diyakini sendiri. Karena itu tugas
guru menurut tradisi ini, adalah menyampaikan pengetahuan yang telah diyakini
kebenarannya itu. Dengan cara kelangsungan hidup masyarakat diyakini dapat
dipertahankan.
Tradisi "iSocial Science" merupakan tradisi yang dimotori oleh para
sejarahwan dan ahli-ahli ilmu sosial dengan tujuan utama mengembangkan para
siswa agar dapat menguasai pengetahuan, keterampilan, dan metode dari disiplin
ilmu-ilmu social sebagai sarana untuk menjadi warganegara yang efektif.
Pendukung tradisi ini percaya bahwa setiap disiplin ilmu social memiliki
pendekatan khusus yang dapat melatih siswa untuk berpikir dan melihat dunia
sebagaimana adanya Tradisi ini tidak menekankan pada penguasaan fakta, tetapi
pada metode keija ahli ilmu social sebagai upaya memperkuat peranannya sebagai
warganegara.
"""
70
Tradisi "Reflective Inquiry, pada dasarnya menekankan pada upaya
melatih siswa agar dapat mengambil keputusan dalam konteks sosial politik, azas
demokrasi selalu menuntut warganegara untuk turut serta secara aktif dalam
proses pengambilan keputusan.
Sementara dalam memasuki abad ke 21 NCSS:1989 (NCSS,1989;
Winataputra (2001:138) menggariskan adanya lima tujuan utama Pendidikan IPS
yang erat kaitannya dengan Pendidikan Kewarganegaraan dalam pembinaan nilai
yaitu mengembangkan tanggung jawab warga negara dan partisipasi warganegara
dalam rangka hidup bersama di tengah masyarakat, bangsa dan negara, yakni:
"1) Civic responsibility and civic participation; 2) Perspective on their
own life experiences so they see themselves as part of larger human
adventure in time and palce; 3) A critical understanding of the history,
geography, economic, political, and social institutions, traditions, and
values of the United States as expressed in both unity and diversity; 4) An
understanding of other peoples and the unity and diversity of world
history, geography, institutions, traditions, and values; 5) Critical
attitudes and analytical perspective appropriate to analysis of human
condition ".
Pengembangan sebuah Model Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Berbasis Nilai yang dikenal lebih jauh sebagai Pendidikan Kewarganegaraan
multidimensional, secara konseptual memiliki lima atribut pokok, seiring
pendapat Cogan (1998:2-3) bahwa "secara konseptual seorang warganegara
seyogyanya memiliki lima ciri utama yaitu: (1) jati diri; (2) kebebasan untuk
menikmati hak tertentu; (3) pemenuhan kewajiban-kewajiban terkait; (4) tingkat
minat dan keterlibatan dalam urusan publik; dan (5) pemilikan nilai-nilai dasar
kemasyarakatan".
71
Berbeda dengan konsep NCSS tentang "Social Studies" versi tahun 1983,
dimana 'Civics' merupakan bagian di dalamnya, bahwa "Social studies" bertujuan
utama mata pelajaran yang mengembangkan siswa untuk menjadi warga negara
yang memiliki pengetahuan, nilai, sikap dan keterampilan yang memadai untuk
berperan serta dalam kehidupan demokrasi; Pembelajarannya menggunakan caracara yang membengkitkan kesadaran pribadi kemasyarakatan, pengalaman
budaya, dan pengalaman pribadi siswa
Melalui Pendidikan Nilai dalam PKn menekankan pemaknaan dan
pemahaman hubungan antara manusia dengan masyarakat, hubungan manusia
dengan lingkungan pisiknya, kajian mengenai manusia dengan segala aspeknya
dalam sistem hidup bermasyarakat. Kajian ini dilakukan dalam bentuk pengajaran
di sekolah untuk menyiapkan anak didik menjadi warganegara yang baik,
berdasarkan nilai dan kaidah masyarakat yang berlaku. Dalam hal ini Fenton
(1967: 89) mengemukakan tiga tujuan utama PKn, yaitu (1) menyiapkan para
siswa untuk menjadi warga negara yang baik,- (2) membimbing peserta didik
untuk belajar bagaimana cara berpikir; (3) mempelajari kembali warisan budaya
bangsa
Sementara Clark (1973: 39) berpendapat bahwa titik berat PKn adalah
perkembangan individu yang dapat memahami lingkungan sosialnya, serta
manusia dengan kegiatan dan interaksi antara mereka Anak didik diharapkan agar
dapat menjadi anggota masyarakat yang produktif dan dapat memberikan andil
dalam masyarakat, mempunyai tanggung jawab, tolong menolong dengan sesama
dan dapat mengembangkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakatnya Pendapat
72
senada Nursid (1984:20) bahwa terbinanya warga negara yang akan datang yang
peka terhadap masalah-masalah sosial yang yang teijadi di masyarakat, memiliki
sikap mental yang positif terhadap segala ketimpangan yang teijadi, dan terampil
mengatasi masalah yang teijadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri
terutama yang menimpa kehidupan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan di atas maka difokuskan kepada penyediaan
pengalaman belajar yang akan membantu setiap siswa, seiring pendapat Alma
(2003:149-150) yakni:
(1) memahami bahwa lingkungan pisik menentukan bila dan bagaimana
manusia hidup; (2) memahami bagaimana manusia berusaha menyesuaikan,
mempergunakan, mengontrol, tenaga dan sumber daya lingkungan; (3)
memahami bahwa perubahan adalah merupakan kondisi masyarakat yang
selalu ada dan berkembang setiap waktu, mereka harus terlibat di dalamnya;
(4) mengenal dan mengerti implikasi dari perkembangan saling
ketergantungan manusia satu sama lain dan dengan bangsa lain di dunia; (5)
menghargai dan mengerti persamaan semua ras-etnik, agama dan
kebudayaan. Bias menempatkan diri dalam masyarakat yang pluralistic; (6)
menghargai hak-hak individu orang lain; (7) mengerti dan menghargai
warisan leluhur sebagai asset bangsa
Dengan demikian disimpulkan bahwa Pendidikan Nilai melalui PKn
diyakini perlu mengusung tujuan utama, yakni mengembangkan kompetensi
kewarganegaraan dan kualitas pribadi yang bernilai sebagai warganegara dan
budaya kewarganegaraan yang baik menuju terbentuknya kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan,
dan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa
kebangsaan dan cinta tanah air. (Pasal 37 Ayat (1) UU No. 20/2003).
Konsep Depdiknas (2002:7) tentang mata pelajaran PKn dalam kurikulum
uji coba 2004 diarahkan dan berfungsi sebagai wahana untuk membentuk warga
Download