BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia pada umumnya berharap selalu ingin dapat memenuhi semuanya. Padahal kebutuhan ini beraneka ragam, ada yang perlu diutamakan, ada yang dinomorduakan, dan ada yang dapat dipenuhi kemudian hari. Untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut, yang banyak terjadi adalah baik orang maupun perusahaan rela meminjam uang di lembaga berbadan hukum seperti bank atau koperasi, dan tidak sedikit juga yang meminjam uang secara perseorangan yang banyak terjadi di masyarakat, karena meminjam uang secara perseorangan membutuhkan proses yang cepat walau dengan bunga yang sedikit lebih tinggi. Berbicara tentang utang piutang bukan hal yang asing di telinga semua orang, karena setiap hari selalu ada saja masalah yang satu ini. Utang piutang merupakan perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya dan objek yang diperjanjikan pada umumnya adalah uang.1 1 Gatot Supramono, 2013, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.9 1 2 Perjanjian utang piutang termasuk kedalam jenis perjanjian pinjammeminjam, hal ini sebagaimana diatur dalam Bab Ketiga Belas Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dalam Pasal 1754 KUH Perdata menyebutkan, pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Dalam hal untuk mendapatkan pinjaman uang, pihak peminjam terkadang memberikan jaminan kebendaan guna mendapat kepercayaan lebih kepada pemberi pinjaman bahwa di kemudian hari si peminjam akan melunasi utangnya beserta besarnya bunga yang diperjanjikan. Jaminan kebendaan adalah jaminan yang objeknya berupa barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak yang khusus diperuntukkan untuk menjamin utang peminjam kepada pemberi pinjaman apabila di kemudian hari utang tersebut tidak dapat di bayar oleh peminjam.2 Penggunaan surat berharga sebagai benda jaminan sudah tidak asing lagi dalam mendapatkan suatu pinjaman uang, adapun surat berharga yang digunakan dapat berupa cek atau bilyet giro, namun dalam penulisan ini dijelaskan penggunaan cek sebagai jaminan utang dalam perjanjian utang piutang. Surat berharga adalah surat yang diadakan oleh seseorang sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi, yang memerlukan pembayaran harga sejumlah uang. 3 2 Gatot Supramono, op.cit, h. 59 Farida Hasyim, 2011, Hukum Dagang, Sinar Grafika, Jakarta, h. 232 3 3 Surat cek adalah surat yang memuat kata cek, yang diterbitkan pada tanggal dan tempat tertentu, dimana penerbit memerintahkan tanpa syarat kepada bank untuk membayar sejumlah uang kepada pemegang atau pembawa cek.4 Belakangan ini surat cek sering digunakan dalam benda jaminan dalam perjanjian utang piutang yang karena sifatnya yang prakits. Kedudukan pemberi pinjaman sebagai pemegang hak kebendaan (zekelijk recht) atas barang yang dijaminkan untuk pelunasan utangnya. Jika peminjam yang memberikan jaminan surat berharga kepada pemberi pinjaman berupa cek, maka pada saat peminjam wanprestasi atau tidak bisa membayar hutang-hutangnya maka pemberi pinjaman dapat mencairkan cek tersebut untuk pelunasan hutang peminjam. Tapi bagaimana jika cek yang akan dicairkan ternyata cek kosong? Seperti yang penulis dapatkan dari hasil wawancara dengan Bapak Putra Jaya pada tanggal 15 Juli 2015 yang menjadi pemberi pinjaman kepada bapak hendra sebagai peminjam. Bapak Hendra yang menjadi pihak peminjam memberikan jaminan berupa sebuah cek yang nanti pada saat utang–utangnya jatuh tempo tetapi Bapak Hendra tidak dapat melunasi utang–utangnya beserta bunga utang yang diperjanjikan maka cek tersebut dapat dicairkan sebagai pembayaran utang. Tetapi pada saat utang tersebut jatuh tempo dan Bapak Hendra tidak dapat membayar utang dan bunga utang yang diperjanjikan, cek tersebut pun dicairkan oleh Bapak Putra Jaya sesuai yang diperjanjikan sebelumnya. Tetapi cek tersebut ternyata ditolak pembayarannya oleh bank karena alasan tidak adanya 4 James Julianto Irawan, 2014, Surat Berharga Tinjauan Yuridis Dan Praktis, Fajar Interpratama Mandiri, Jakarta, h.128 4 dana yang mencukupi pada rekening penerbit. Adapun pertanyaan yang diajukan berupa : 1. Apakah Bapak pernah menerima jaminan berupa cek? 2. Upaya apa yang Bapak lakukan pada saat cek yang dicairkan ternyata adalah cek kosong? Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk membahas masalah perlindungan hukum yang didapat pemberi pinjaman dan upaya-upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan pemberi pinjaman dalam memperoleh kerugian yang disebabkan peminjam yang menggadaikan cek kosong tersebut dalam bentuk karya tulis skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Cek Sebagai Jaminan Utang”. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, adapun rumusan masalah yang dapat diangkat yaitu sebagai berikut : 1.2.1 Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang cek yang ternyata setelah diajukan ceknya kosong? 1.2.2 Upaya hukum apa yang dapat dilakukan pemegang cek yang dijadikan jaminan dalam perjanjian utang piutang dalam hal ceknya kosong? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Dalam penulisan skripsi ini, perlu ditegaskan mengenai materi yang diatur di dalamnya. Hal ini sangat diperlukan untuk memudahkan dalam menelaah 5 permasalahan dan agar pembahasan tidak menyimpang serta tidak meluas dari pokok perumusan masalah yang telah disebutkan. Berdasarkan hal tersebut maka ruang lingkup permasalahan dibatasi menjadi : 1. Ruang lingkup permasalahan yang pertama yaitu meliputi lingkup perlindungan hukum terhadap pemegang yang ternyata setelah diajukan ceknya kosong . Upaya hukum yang dapat dilakukan pemegang cek yang dijadikan jaminan dalam perjanjian utang piutang dalam hal ceknya kosong. 1.4 Orisinalitas Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dibuat berdasarkan pada ide, gagasan, dan pemikiran sendiri, serta hasil membaca dari berbagai literatur. Berdasarkan informasi dan penelusuran pada kepustakaan, khususnya di lingkungan Perpustakaan Hukum Universitas Udayana, sepanjang yang diketahui dari hasil-hasil penelitian yang sudah ada maka ditemukan penelitian yang sejenis namun memiliki perbedaan substansi, yaitu sebagai berikut. 1. Penelitian yang dilakukan oleh Ade Hendra Jaya, dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Peminjam Dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Uang Dengan Rentenir. Permasalahan yang diangkat adalah bagaimanakah keabsahan dari perjanjian pinjam meminjam yang dilakukan peminjam dana dengan rentenir yang dilakukan secara lisan? Serta bagaimana perlindungan 6 hukum bagi pihak peminjam dalam perjanjian pinjam meminjam yang dilakukan oleh rentenir? 2. Penelitian yang dilakukan oleh Gede Geya Aditya Rachman, dengan judul Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Utang Piutang (Studi Kasus Pengadilan Negeri Denpasar). Permasalahan yang diangkat adalah bagaimanakah penetapan debitur dalam keadaan wanprestasi pada perjanjian utang piutang? Serta bagaimanakah pelaksanaan pembayaran ganti rugi pada perjanjian utang piutang? 3. Penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Agung Ngurah Thomas Wisnu, dengan judul Penyelesaian Wanprestasi Dalam Perjanjian Hutang Piutang Dengan Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan. Permasalahan yang diangkat adalah bagaimanakah akibat hukum terhadap perjanjian hutang piutang dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan? Serta bagaimana penyelesaian hukumnya dalam hal pihak debitur wanprestasi dan benda yang dibebani jaminan fidusia dialihkan kepada orang lain? Untuk jelasnya penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya dapat di lihat pada tabel berikut ini. No. Nama Judul Rumusan Masalah 1. Ade Perlindungan Hendra Terhadap Peminjam dari Jaya Dalam Perjanjian meminjam yang dilakukan Hukum 1. Bagaimanakah keabsahan perjanjian pinjam 7 Pinjam Meminjam Uang peminjam Dengan Rentenir rentenir dana yang dengan dilakukan secara lisan? 2. Bagaimana hukum perlindungan bagi pihak peminjam dalam perjanjian pinjam meminjam yang dilakukan oleh rentenir? 2. Gede Geya Akibat Hukum 1. Bagaimanakah penetapan Aditya Wanprestasi Dalam debitur Rachman Perjanjian Utang wanprestasi pada perjanjian Piutang (Studi Kasus utang piutang? Pengadilan Negeri Denpasar) dalam keadaan 2. Bagaimanakah pelaksanaan pembayaran pada ganti perjanjian rugi utang piutang? 3. I Gusti Penyelesaian Agung Wanprestasi Dalam hukum terhadap perjanjian Ngurah Perjanjian Hutang hutang Thomas Piutang Dengan jaminan fidusia yang tidak Wisnu Jaminan Fidusia Yang didaftarkan? Tidak Didaftarkan 1. Bagaimanakah akibat piutang 2. Bagaimana dengan penyelesaian hukumnya dalam hal pihak 8 debitur wanprestasi benda yang dan dibebani jaminan fidusia dialihkan kepada orang lain? Penelitian yang saya lakukan dalam skripsi ini yaitu dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Cek Sebagai Jaminan Utang”, permasalahan yang diangkat adalah bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang yang ternyata setelah diajukan ceknya kosong? Serta upaya hukum apa yang dapat dilakukan pemegang cek yang dijadikan jaminan dalam perjanjian utang piutang dalam hal ceknya kosong? 1.5 Tujuan Penelitian Dalam penulisan skripsi ini akan dikemukakan tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan tersebut dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut : 1.5.1 Tujuan Umum Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum dan upaya hukum yang dapat di tempuh bagi pemegang cek yang dirugikan karena perbuatan peminjam yang memberikan jaminan cek kosong dalam perjanjian utang piutang antara peminjam dengan pemberi pinjaman. 9 1.5.2 Tujuan Khusus 1) Untuk memahami perlindungan hukum terhadap pemegang cek yang ternyata setelah diajukan ceknya kosong. 2) Untuk memahami upaya hukum yang dapat dilakukan pemegang cek yang dijadikan jaminan dalam perjanjian utang piutang dalam hal ceknya kosong. 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dari skripsi ini dibedakan atas manfaat teoritis dan manfaat praktis yang akan diuraikan sebagai berikut : 1.6.1 Manfaat Teoritis Untuk melatih daya nalar dan intelektualitas, juga sebagai bukti dan implemetasi dari ilmu yang diterima dibangku kuliah sekaligus untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana strata satu (S1). Serta dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat manfaat positif bagi perkembangan ilmu hukum kontrak. 1.6.2 Manfaat Praktis Untuk memperluas pengetahuan dalam menyelesaikan permasalahan yang terdapat dalam bidang perjanjian utang piutang serta dapat mengetahui bagaimana bentuk perlindungan hukum pemberi pinjaman dan juga upaya-upaya yang dapat dilakukan pemberi pinjaman dalam perjanjian utang piutang. 10 1.7 Landasan Teoritis Dalam perjanjian utang piutang terdapat dua pihak yang melakukan perjanjian, yaitu pihak yang memberi pinjaman uang dan pihak yang menerima pihak menerima uang. Istilah yang sering digunakan dalam perjanjian tersebut, untuk pihak yang memberikan pinjaman disebut pihak yang berpiutang atau pemberi pinjaman, sedangkan pihak yang menerima pinjaman disebut pihak yang berutang atau peminjam.Perjanjian utang piutang ada dua macam, yaitu karena murni perjanjian utang piutang dan karena dilatarbelakangi perjanjian lain. 1) Karena murni perjanjian utang piutang Perjanjian utang piutang yang dimaksud disini, tidak ada latar belakang persoalan lain, dan perjanjian itu dibuat hanya semata-mata untuk melakukan utang piutang. Misalnya seorang pedagang kekurangan modal untuk meningkatkan usahanya, lalu pergi ke bank untuk meminjam kredit. Di sini dapat di lihat bahwa terjadinya perjanjian karena murni kepentingan utang piutang. 2) Karena dilatar belakangi perjanjian lain Lain halnya dengan perjanjian utang piutang yang satu ini, terjadinya perjanjian tersebut karena sebelumnya telah terjadi perjanjian lain. Perjanjian sebelumnya dengan perjanjian berikutnya yaitu perjanjian utang piutang kedudukannya berdiri sendiri-sendiri. Perjanjian sebelumnya telah selesai dilaksanakan. 11 Pemberi pinjaman dalam memberikan pinjaman uang kepada peminjam, tentu tidak begitu saja memenuhi permintaan peminjam, sebelum memberikan pemberi pinjaman pasti mempertimbangkan lebih dahulu tentang beberapa hal dapat tidaknya permintaan itu dikabulkan. Dari segi macam-macam pemberi pinjaman, yang dapat memberikan utang digolongkan menjadi dua macam, yaitu perorangan dan perusahaan/bank. Utang piutang antara perorangan sifatnya adalah urusan pribadi, karena siapa saja orangnya yang dapat memberikan utang kepada orang lain. Berbeda dengan bank, sebuah lembaga yang bentuknya sebagai perusahaan yang salah satu fungsinya memberikan kredit kepada nasabahnya, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 1) Pemberi pinjamannya perorangan Jika pemberi pinjaman yang memberikan utang adalah perorangan, maka setidaknya orang yang meminta uang dipertimbangkan mengenai hal-hal yang menyangkut empat persoalan, yaitu tentang siapa orangnya, nilai utangnya, kekayaannya, dan kepentingannya. Dengan mempertimbangkan dengan seksama, pemberi pinjaman mempunyai dasar yang kuat untuk dapat mengambil keputusan untuk memberikan uang atau tidak memberikan uang. 2) Siapa Orangnya Mengenai pertimbangan tentang siapa orangnya, seorang pemberi pinjaman akan mempertimbangkan minimal ada tiga hal, yaitu tentang 12 masalah kenal atau tidak orangnya, bagaimana hubungannya, dan apa pekerjaannya. Dalam suatu perjanjian hutang piutang, peminjam sebagai pihak yang berutang meminjam uang atau barang dari pemberi pinjaman sebagai pihak yang berpiutang. Agar pemberi pinjaman memperoleh rasa aman dan terjamin terhadap uang atau barang yang dipinjamkan, pemberi pinjaman mensyaratkan sebuah agunan atau jaminan atas uang atau barang yang dipinjamkan. Agunan ini diantaranya bisa berupa jaminan atas barang-barang bergerak yang dimiliki oleh peminjam ataupun milik pihak ketiga. Peminjam sebagai pemberi gadai menyerahkan barang-barang yang digadaikan tersebut kepada pemberi pinjaman atau penerima gadai. Perjanjian gadai dapat dibuat secara lisan, dan tidak ada peraturan di dalam KUH Perdata yang mengharuskan atau mewajibkan dibuat secara tertulis. Oleh karena itu, lahirnya gadai terjadi pada saat terjadinya perjanjian gadai dengan tercapainya kata sepakat. Sejak saat perjanjian gadai lahir, pemberi pinjaman selaku pemegang gadai sudah memiliki hak kebendaan, dan sejak saat itu pula kedudukannya sebagai pemberi pinjaman preferent. Hak yang timbul karena gadai tersebut tidak diperoleh melalui suatu pendaftaran. Dalam kenyataan yang ada di masyarakat memang tidak ada lembaga pendaftaran untuk jaminan gadai. Dilihat dari definisi gadai sendiri, yang menjadi objek dari hak gadai adalah benda bergerak. Benda bergerak yang dimaksudkan meliputi benda bergerak yang berwujud (lichamelijke zaken) dan benda bergerak yang tidak berwujud (onlichamelijke zaken) berupa hak untuk mendapatkan pembayaran 13 uang yang berwujud surat-surat berharga. Sebagai penerima benda jaminan, adapun beberapa hak yang dapat diberikan yaitu : 1) Hak untuk menahan benda yang digadaikan selama sebelum dilunasi hutang pokoknya, bunganya dan biaya-biaya lainnya oleh peminjam. 2) Hak untuk mendapatkan pembayaran piutangnya dari pendapatan penjualan benda yang digadaikan, apabila peminjam tidak menepati kewajibannya. Penjualan benda yang digadaikan dapat dilakukan sendiri oleh pemegang gadai dan dapat pula dengan perantaraan hakim. 3) Hak minta ganti biaya-biaya yang telah dikeluarkannya untuk memelihara benda yang digadaikan itu. 4) Pemegang gadai mempunyai hak untuk menggadaikan lagi benda yang dijadikan jaminan, bila mana hal itu sudah menjadi kebiasaan, seperti menggadaikan surat-surat sero atau obligasi. 5) Dalam melaksanakan hak gadai secara menjual benda yang dijaminkan, pemegang gadai berhak untuk didahulukan menerima pembayaran piutangnya sebelum piutang-piutang lainnya, kecuali biaya-biaya lelang, biaya-biaya pemeliharaan agar barang itu tidak rusak-musnah. Peminjam sebagai penerima kredit biasanya menggadaikan cek sebagai jaminan untuk mendapatkan sebuah kredit. Cek yang dijaminkan oleh peminjam ini bertujuan untuk jika dikemudian hari peminjam tidak sanggup untuk membayar hutang-hutangnya beserta bunga yang diperjanjikan, pemberi pinjaman 14 akan mencairkan cek yang dijaminkan sebelumnya oleh pemberi pinjaman. Tetapi banyak kasus yang terjadi di masyarakat pada saat pemberi pinjaman akan mencairkan cek yang dijaminkan, cek yang bersangkutan ternyata tidak memiliki saldo yang cukup atau rekening telah ditutup atau sering disebut dengan istilah cek kosong. Ada beberapa penyebab yang membuat penerbit menerbitkan cek kosong. Beberapa penyebab tersebut antara lain: 1. Peraturan tentang rahasia bank Menurut Pasal 1 ayat (16) Undang-Undang Perbankan, tentang rahasia bank, pihak lain tidak boleh mengetahui jumlah uang yang terdapat dalam rekening seseorang, sehingga seorang pemegang surat cek tidak akan dapat mengetahui keadaan keuangan dari penerbit surat cek. Sebab, bila pemegang cek dapat mengetahui keadaan keuangan penerbit maka tidak aka nada cek kosong, karena pemegang dapat mengetahui dana yang tersedia dalam rekening penerbit, jika ternyata dalam rekening penerbit tidak ada dananya tentu cek tersebut akan ditolak oleh pemegang. Namun, pihak pemegang tidak dapat mengetahui apakah penerbit mempunyai cukup dana untuk cek yang dipegangnya. Keadaan inilah yang sering sekali memberi peluang bagi penerbit untuk menerbitkan cek walaupun pada saat itu dana yang terdapat pada rekening tidak mencukupi. 15 2. Spekulasi dari penerbit Dalam pasal 190 KUHD ditentukan bahwa kewajiban penerbit menyediakan dana pada rekeningnya paling lambat pada hari bayar cek tersebut. Artinya, kewajiban penerbit untuk menyediakan dananya bukan pada saat cek tersebut diterbitkan, namun pada saat cek tersebut ditunjukan, menurut ketentuan pasal 206 KUHD, suatu surat cek yang diterbitkan di Indonesia harus diperlihatkan dalam tenggang waktu 70 hari. Tenggang waktu itu mulai berjalan sejak hari tanggal penerbitan cek tersebut. Sehingga penerbit masih dapat mempunyai waktu untuk menyediakan dananya sejak diterbitkan sampai ditunjukan. Apabila pada saat ditunjukkan surat cek tersebut ditolak pembayarannya karena dana yang tersedia tidak mencukupi, maka cek tersebut masih berlaku dan masih dapat ditunjukkan kembali pada bank sampai tenggang waktu dilampaui. Sehingga penerbit sering sekali berspekulasi untuk menunda menyediakan dananya karena masih bias ditunjukkan kembali kepada bank. Namun yang menjadi masalah adalah karena cek mempunyai sifat atas tunjuk sehingga kapan cek tersebut akan ditunjukkan. Bias saja begitu menerima cek seorang pemegang akan langsung menunjukkan kepada bank, tetapi juga bias menundanya sampai beberapa hari. Dan, apabila pada saat ditunjukkan kepada bank ternyata dana yang tersedia pada rekening penerbit tidak mencukupi atau tidak ada, maka penerbit akan dikenakan sanksi berupa surat 16 peringatan dan apabila hal ini terjadi sampai tiga kali dalam enam bulan maka rekening penerbit akan ditutup. 1.8 Metode Penelitian Untuk melengkapi penulisan skripsi ini ini dengan tujuan agar dapat lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang digunakan antara lain : 1.8.1 Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Dalam penelitian hukum normatif, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundangundangan. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan ini mencakup: 1. Penelitian terhadap asas-asas hukum. 2. Penelitian terhadap sistematika hukum. 3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal. 4. Perbandingan hukum. 5. Sejarah hukum.5 Penelitian hukum normatif dapat disebut juga sebagai penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.6 5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 14 6 Mukti Fajar Nur Dewata dan Uianto Achmad, 2010,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,h. 34 17 Penelitian normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan justifikasi preskriptif tentang suatu peristiwa hukum. Penelitian dilakukan dengan maksud memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah suatu peristiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut hukum.7 Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis normatif, yaitu yang dilakukan dengan meneliti peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan perlindungan hukum bagi pemegang cek. Penelitian secara yuridis maksudnya penelitian yang mengacu pada peraturan-peraturan yang berlaku yang yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pemegang cek kosong ini, sedangkan normatif maksudnya penelitian hukum yang mengacu pada norma-norma yang berlaku terhadap perlindungan hukum bagi pemegang cek kosong. Jadi disini terdapat kekosongan hukum yang mengatur perlindungan hukum bagi pemegang cek kosong. 1.8.2 Jenis Pendekatan Pendekatan penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah statute approach atau pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan mengkaji beberapa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan pemegang cek kosong, kemudian membandingkannya peraturan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya. 7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,op.cit, h. 36 18 Statute approach adalah pendekatan yang menggunakan peraturan perundang-undangan, karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus menjadi tema sentral penelitian. Penelitian normatif dapat dan harus memanfaatkan hasil penelitian empiris, namun ilmu empiris itu berstatus sebagai bahan bantu, sehingga tidak merubah hakikat ilmu hukum sebagai ilmu normatif.8 1.8.3 Sumber Bahan Hukum Sumber–sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber– sumber penelitian hukum yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahanbahan hukum sekunder.9 Bahan–bahan hukum dalam penulisan ini terdiri dari : a Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, Peraturan No.8/29/PBI/2006 Tentang Daftar Hitam Nasional Penerbit Cek/Giro Bilyet Kosong, Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/10/DASP tanggal 8 Juni 2000 tentang Tata Usaha Cek Atau Bilyet Giro Kosong Dan Surat Perjanjian Pembukaan Rekening Giro Yang Berasal Dari Bank. b Bahan hukum sekunder yakni berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan dokumen–dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku–buku teks, kamus–kamus hukum, jurnal– jurnal hukum, dan hasil penelitian yang berwujud laporan dan 8 Jonny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Normatif, Bayumedia, Malang, Juli 2007, h.302. 9 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian hukum, Kencana Media Group, Jakarta, h.93 19 sebagainya.10 Dalam penulisan ini bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku–buku atau literatur, hasil–hasil karya dari kalangan hukum serta artikel–artikel yang didapat melalui media cetak atau media elektronik yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini. 1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Menurut Soerjono Soekanto dalam penelitian hukum lazimnya dikenal tiga jenis pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, mengamati dan menganalisa, serta wawancara.11 Dalam hal memperoleh serta mengumpulkan serta mengolah data dalam rangka penyusunan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan yang diperoleh melalui studi dokumen atau telaah bahan pustaka serta melakukan wawancara kepada responden. 1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Seluruh bahan hukum yang telah terkumpul berupa buku-buku hukum, hasil wawancara dalam penulisan selanjutnya dipilih dan diklasifikasikan, dibandingkan dengan satu bahan hukum dengan bahan hukum lainnya, diinterpretasi lalu dianalisis secara deskriptif argumentatif yaitu dengan memberikan gambaran secara menyuluruh serta detail terhadap permasalahan tersebut untuk mendapatkan kebenaran. 10 Ibid, h.142 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar penelitian hukum, UI Press, Jakarta, h.52 11