BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Epidemiologi Kasus HIV di Dunia dan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi Kasus HIV di Dunia dan Indonesia
Infeksi HIV/AIDS merupakan masalah di seluruh dunia termasuk Indonesia. Menurut
laporan UNAIDS (2010) walaupun terdapat penurunan angka insiden, prevalensi
penderita yang hidup dengan HIV/AIDS tetap meningkat. Hal ini berhubungan
dengan menurunnya jumlah kematian akibat AIDS sebagai dampak pengobatan
antiretroviral (ARV) pada beberapa tahun terakhir.
Menurut UNAIDS, pada tahun 2009, diperkirakan 2,6 juta orang
mendapatkan infeksi baru (newly infected) oleh HIV. Angka ini 19% lebih kecil
dibandingkan tahun 1999 (3,1 juta orang) dan 21% lebih kecil dibandingkan tahun
1997 (3,2 juta orang) tahun dimana infeksi baru HIV mencapai puncaknya. UNAIDS
juga memperkirakan terdapat 33,3 juta orang hidup dengan HIV/AIDS pada akhir
tahun 2009, meningkat 27% dibandingkan tahun 1999 (26,2 juta orang).
Berdasarkan laporan Kemenkes RI (2011) terdapat total 26483 kasus AIDS di
seluruh Indonesia secara kumulatif. Prevalensi kasus AIDS di Indonesia secara
nasional adalah 11,09 per 100.000 penduduk. Sedangkan jumlah kasus baru
HIV/AIDS secara nasional pada tahun 2010 adalah 4.158 kasus, lebih tinggi daripada
tahun sebelumnya (3.863 kasus). Angka ini didominansi golongan usia produktif (2040 tahun), serta heteroseksual sebagai faktor risiko.
2.2 Anemia Pada Penderita Terinfeksi HIV
2.2.1 Epidemiologi
Anemia adalah komplikasi yang sering ditemukan pada penderita terinfeksi HIV dan
disebabkan oleh penyebab yang multifaktorial. Pada studi retrospektif terhadap
32.867 rekam medis penderita terinfeksi HIV di 9 kota di Amerika didapatkan
distribusi dari kadar hemoglobin sangat bervariasi tergantung stadium dari penyakit.
Pada penderita terinfeksi HIV tanpa gejala klinis AIDS, 72% pada pria dan 69% pada
wanita memiliki kadar hemoglobin dalam batas normal (masing-masing lebih dari 14
atau 12 g/dL). Akan tetapi pada penderita dengan gejala klinis AIDS hanya 13% pada
pria dan 23% pada wanita yang memiliki kadar hemoglobin dalam batas normal.
Insiden anemia berhubungan dengan stadium penyakit dimana insiden dalam satu
tahun adalah 3,2 % penderita terinfeksi HIV tanpa gejala klinis AIDS dan 36,9% pada
penderita dengan gejala klinis AIDS. Kejadian anemia pada infeksi HIV lebih banyak
terjadi pada ras kulit hitam serta jenis kelamin perempuan (Sullivan, 2008).
Penelitian Levine, dkk (2001) pada 2056 perempuan dengan HIV positif dan
569 perempuan dengan HIV negatif menunjukkan bahwa 37% dari perempuan
dengan HIV positif menderita anemia sedangkan hanya 17% prevalensi anemia pada
HIV negatif. Perempuan dengan HIV positif juga lebih cenderung mengalami anemia
berat dibandingkan dengan HIV negatif. Anemia lebih sering terjadi pada ras kulit
hitam daripada ras lainnya, pada perempuan terinfeksi HIV, 44,9% terjadi pada ras
kulit hitam, sedangkan 25,7% pada ras kulit putih dan 24,8% pada ras latina.
Penelitian di Ghana pada 442 penderita dengan HIV/AIDS mendapatkan
insiden anemia sebesar 63% pada penderita pra ARV, lebih besar secara signifikan
dibandingkan penderita dengan terapi ARV yaitu 46% (Owiredu, 2011).
2.2.2
Etiologi
Penyebab anemia pada penderita HIV adalah multifaktorial, namun penurunan
produksi eritrosit akibat eritropoesis yang inefektif merupakan faktor utama
dibandingkan penyebab lain. HIV secara langsung mempengaruhi sel progenitor
hematopoetik sumsum tulang atau secara tidak langsung melalui melalui efek sitokin
yang menyebabkan penurunan produksi eritrosit. Interferon-γ (IFN-γ), tumour
necrosis factor-α (TNF-α) dan beberapa sitokin lain dapat menghambat
hematopoesis. Level sitokin tersebut ditemukan meningkat pada penderita terinfeksi
HIV. Pengobatan terhadap infeksi HIV dan penurunan viral load menggunakan ARV
dapat memperbaiki hematopoesis (Claster S, 2002).
Infeksi opportunistik juga dapat menyebabkan anemia pada penderita HIV.
Infeksi tuberkulosis merupakan infeksi opportunistik tersering pada infeksi HIV dan
diketahui menyebabkan anemia on chronic disease (ACD). Infeksi parvovirus B19
yang menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap jumlah eritrosit. Penelitian
Naides, dkk (1993) menunjukkan empat dari sembilan pasien dengan viremia B19
yang persisten setelah diperiksa secara serial menderita anemia berat (hemoglobin <
8,5 g/dL) bahkan setelah zidovudin dihentikan. Sedangkan 5 penderita dengan
anemia berat yang
mengalami perbaikan setelah zidovudin dihentikan tidak
menunjukkan viremia B19. Penelitian pada tujuh penderita HIV dengan pure red cell
aplasia menunjukkan terdapat giant pronormoblast pada sumsum tulang akibat
infeksi akut dari parvovirus B19 (Frichofen, 1990). Micobacterium avium complex
dapat mengenai beberapa organ. Organ yang paling sering terkena adalah darah,
sumsum tulang, hati, limpa, dan limfonodi. Anemia berat adalah salah satu tanda
infeksi mikroorganisme ini (Desforges, 1991).
Anemia juga dapat disebabkan oleh efek samping dari pengobatan, walaupun
banyak obat yang digunakan untuk terapi HIV/AIDS adalah bersifat myelosupresif,
anemia berat lebih sering terjadi akibat penggunaan zidovudin. Cotrimoxazole
menghambat metabolisme asam folat dan beberapa penelitian telah melaporkan
adanya kelainan akibat penggunaannya. Kelainan ini potensial diperburuk jika
penggunaannya dikombinasi dengan myelosupresif dan obat anti asam folat seperti
zidovudin. Penelitian pada 982 penderita HIV dengan pemberian cotrimoxazole
profilaksis menunjukkan peningkatan persentase penderita dengan kelainan
hematologi antara lain: leukopenia (2,1%), neutropenia (2,0%),
trombositopenia
(2,3%), dan anemia (2,3%). Data ini telah distratifikasi dengan mean jumlah CD4+
(Watera, 2007). Penelitian oleh Keizu tahun 1990, dalam periode 10 tahun (19761985) terdapat total 154 kasus dengan diskrasia darah dilaporkan di Swedia dimana
setelah dievaluasi berhubungan penggunaan cotrimoxazole. Kelainan tersebut berupa
61 kasus leukopenia, 28 kasus trombositopenia, dan 2 kasus anemia non hemolitik.
Ganciclovir adalah analog nukleosid dengan dengan aktivitas antivirus secara invitro
terhadap grup herpes virus dan beberapa virus DNA yang lain. Efek terhadap sistem
hematologi sering terjadi pada pemberiannya,
tetapi efek ini bersifat reversibel
(Faulds dan Heel, 1990)
Perubahan pada hormon eritropoesis seperti penurunan hematopoetic growth
factor dan eritropoetin dapat menyebabkan anemia. Produksi eritropoetin oleh ginjal
dibutuhkan untuk menstimulasi prekursor eritroid sumsum tulang
untuk
berproliferasi dan meningkatkan produksi eritrosit, jadi insufisiensi renal yang berat
memberikan kontribusi terhadap terjadinya anemia pada penderita terinfeksi HIV.
Produksi eritrosit normal juga membutuhkan fungsi sumsum tulang yang normal, jadi
harus bebas dari infeksi dan tumor.
Walaupun relatif jarang, defesiensi vitamin B 12 merupakan penyebab anemia
pada penderita HIV. Studi prospektif terhadap 60 penderita terinfeksi HIV yang
dirawat di rumah sakit. Kadar serum vitamin B12 yang rendah didapatkan pada 10
penderita (16,7%). Pemberian terapi parenteral memberikan respon yang berbeda
walaupun serum vitamin B12 telah terkoreksi (Remacha, 1991).
Walaupun penyebab utama terjadinya anemia pada penderita terinfeksi HIV
disebabkan
oleh
penurunan
produksi
eritrosit,
adalah
penting
untuk
mempertimbangkan penyebab lain seperti hemolisis serta perdarahan gastrointestinal
yang dapat terjadi pada penderita ini. Hasil yang positif pada direct Coombs tes
dilaporkan terdapat pada 20% sampai 40% penderita HIV. Walaupun demikian
autoimmune hemolytic anemia (AIHA) jarang terjadi pada penderita ini. Walaupun
belum jelas, mekanisme patofisiologi penyakit ini berhubungan dengan produksi
antibodi antieritrosit, hipergammaglobulinemia, atau terbentuknya kompleks imun.
Hal ini mungkin disebabkan oleh defek secara umum pada regulasi produksi antibodi
akibat infeksi HIV (Saif, 2001).
Anemia pada penderita terinfeksi HIV sering dihubungkan dengan apa yang
dinamakan “anemia on chronic disease” karena sering penurunan produksi eritrosit
terjadi sekunder akibat Infeksi HIV yang kronik. Hal ini disertai dengan menurunnya
respon terhadap eritropoetin.
2.3 Dampak Anemia Pada Penderita Terinfeksi HIV
2.3.1
Dampak anemia terhadap kualitas hidup
Fatigue adalah adalah gejala utama
tersering pada penderita HIV, hal ini
menyebabkan gangguan fungsi fisik dan penurunan kualitas hidup. Perkiraan
prevalensi fatigue pada penderita HIV yang asimtomatik berkisar antara 10% sampai
30%, sedangkan pada penderita dengan stadium lanjut mencapai 50% (Breibhart,
dkk., 1998; Darko, dkk., 1992).
Saat anemia yang berhubungan dengan infeksi HIV dapat diatasi, secara
umum terdapat peningkatan kualitas hidup penderita. Bukti ini ditunjukkan oleh
penelitian Revicki, dkk (1994) pada studi multisenter untuk mengevaluasi efek
terhadap pemberian recombinant human erythropoietin (epoetin alfa) pada kualitas
hidup penderita HIV dengan anemia. Penderita dengan anemia yang terkoreksi
dengan epoetin alfa menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam energi/fatigue,
home management, kesehatan yang memuaskan (health satisfaction), kesehatan
global dibandingkan dengan penderita dengan anemia yang tidak terkoreksi.
Studi selanjutnya meneliti hubungan pemberian epoetin alfa terhadap kualitas
hidup penderita HIV. Pada penderita ini tetap diberikan zidovudin dengan kombinasi
dengan antiviral yang lain termasuk protease inhibitor. Analisis kualitas hidup pasien
distratifikasi berdasarkan jumlah limfosit CD4+. Hasilnya, terapi epoetin alfa secara
signifikan memperbaiki anemia dan menurunkan kebutuhan transfusi, independent
terhadap jumlah CD4+. Lebih lanjut, peningkatan kadar hemoglobin secara signifikan
memperbaiki kualitas hidup penderita terutama kesehatan fisik (Abrams, 2000).
2.3.2 Anemia dan survival
Beberapa penelitian menunjukkan bukti yang konsisten mengenai hubungan antara
anemia dengan mortalitas pada penderita terinfeksi HIV. Hasil penelitian multisenter
menunjukkan bahwa penderita terinfeksi HIV dengan anemia memiliki resiko yang
lebih tinggi untuk mortalitas dibandingkan dengan penderita tanpa anemia, walaupun
setelah dikontrol dengan beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi survival
seperti viral load atau jumlah limfosit T CD4+. The Center for Disease Control and
Prevention (CDC) melakukan penelitian pada kohort retrospektif yang besar (large
retrospective observational cohort study) dimana informasi dikumpulkan dari rekam
medis dari 32.867 penderita HIV positif yang diobati di rumah sakit, klinik dan
praktek swasta di seluruh Eropa. Hasilnya menunjukkan bahwa pada penderita
anemia memiliki median survival yang lebih pendek secara signifikan dibandingkan
dengan penderita tanpa anemia (Sullivan, 1998).
The EuroSIDA study group melakukan dan menganalisis data kohort
retrospektif yang dikumpulkan di Eropa pada 6725 penderita dengan kadar
hemoglobin normal, anemia ringan, dan berat. Kurva Kaplan Meier menunjukkan
proporsi penderita yang meninggal dalam beberapa bulan sejak observasi (gambar
2.1). Pada penderita, 3,1% tanpa anemia, 15,9% dengan anemia ringan dan 40,8%
dengan anemia berat, meninggal setelah 12 bulan. Perbedaan antara 3 kelompok
berbeda secara signifikan (p<0,001) (Mockrof dkk., 1999).
Gambar 2.1 Kurva Kaplan-Meier waktu kematian pada penderita terinfeksi
HIV dengan hemoglobin normal (Hb), anemia ringan, atau anemia berat dalam
penelitian EuroSIDA
Sumber: Mockroft A, Kirk O, Barton SE, Dietrich M, Proenca R, Colebunders R,
Pradier C, Monforte A, Ledergerber B, Lundgren JD, 1999. Anemia is an
independent predictive marker for clinical prognosis in HIV-infected patients from
across Europe. J Acquir Immune Defic Sindr 13: 943-50.
Penelitian yang lain menanalisis hubungan antara kadar hemoglobin dan
survival pada pada 2343 penderita terinfeksi HIV. Anemia didefinisikan sebagai
kadar hemoglobin <9,5 g/dL. Hasilnya menunjukkan penderita dengan
anemia
memiliki risiko kematian yang lebih besar secara signifikan dibandingkan dengan
penderita tanpa anemia. Hubungan ini independen terhadap jumlah limfosit CD4+,
adanya infeksi oportunistik, umur, serta penggunaan antiretroviral maupun terapi
infeksi opportunistik (Moore, dkk., 1998).
Perbaikan anemia juga menunjukkan hubungan terhadap survival pada
penderita HIV. Pada studi kohort yang dilakukan CDC terhadap 3203 penderita HIV
dengan anemia menunjukkan perbaikan terhadap anemia secara signifikan
menurunkan risiko terhadap kematian walaupun telah dikontrol dengan jumlah
limfosit T CD4+. (Sulivan, dkk., 1998). Penelitian Moore dkk. (1998) juga
menunjukkan koreksi anemia dengan
pemberian epoetin alfa menyebabkan
penurunan yang signifikan terhadap risiko kematian. Hubungan ini tetap setelah
dikontrol dengan faktor yang diketahui mempengaruhi prognosis.
2.4 Eritropoesis dan Hemoglobin
Sistem eritroid terdiri dari sel darah merah (red cell) atau eritrosit dan prekursor
eritroid. Unit fungsional dari sistem eritroid ini dikenal sebagai eritron (erythron)
yang mempunyai fungsi penting sebagai pembawa oksigen (oxygen carrier).
Prekursor eritroid dalam sumsum tulang berasal dari sel induk hematopoetik,
melalui jalur sel induk myeloid, kemudian menjadi sel induk eritroid, yaitu BFU-E
dan selanjutnya CFU-E. Prekursor eritroid yang dapat dikenal secara morfologik
konvensional dalam sumsum tulang dikenal dengan pronormoblast, kemudian
berkembang menjadi basophilic (early normoblast), selanjutnya polychromatophilic
normoblast, dan acidophilic (late) normoblast. Sel ini kehilangan intinya, masih
tertinggal sisa-sisa RNA, yang jika di cat dengan pengecatan khusus akan tampak
seperti jala sehingga disebut retikulosit. Retikulosit akan dilepas ke darah tepi,
kehilangan sisa RNA sehingga menjadi eritrosit dewasa. Proses ini dikenal sebagai
eritropoesis. Proses pembentukan eritrosit memerlukan: sel induk (BFU-E, CFU-E,
normoblast); bahan pembentuk eritrosit (besi, vitamin B12, asam folat, protein);
mekanisme regulasi (faktor pertumbuhan hematopoetik dan hormon eritropoetin)
(Greer, dkk., 2004).
Prekursor eritroid pada beberapa stadium perkembangan berinteraksi dengan
makrofag sumsum tulang. Lingkungan mikro ini sering disebut dengan erythroid
island (gambar 2.2). Proses perkembangan eritrosit tergantung dari adanya
eritropoetin (Epo-dependent) dimana secara langsung akan mempengaruhi proliferasi
dan survival dari progenitor eritroid. Prekursor eritroid yang masih memiliki nukleus
disebut eritroblas mengekspresikan transferin reseptor (TfR) dalam kadar yang tinggi,
reseptor ini diperlukan untuk uptake besi dari transferin serum. Jika produksi
hemoglobin telah mencukupi, TfR disimpan dan membentuk soluble-transferin
reseptor (sTfr) (Roy, 2010).
Gambar 2.2. Gambaran proses eritropoesis normal
A. Prekursor eritroid matur dalam sumsum tulang dalam kontak dengan sentral
makrofag; B. Setelah proses hemoglobinisasi lengkap, prekursur eritroid
mengeluarkan nukleusnya dan masuk ke dalam sirkulasi; C. Senescent erythrocytes
difagosit oleh makrofag jaringan, dimana besi mengalami recycled; D. Besi
dikembalikan ke eritron via transferin.
Sumber: Roy CN, 2010. Anemia of inflammation. Blood 83: 276-80.
Eritrosit hidup dan beredar dalam darah tepi (life span) rata-rata selama 120
hari. Setelah 120 hari eritrosit mengalami penuaan (senescence) kemudian
dikeluarkan dari sirkulasi oleh sistem RES.
Eritrosit matang merupakan suatu cakram bikonkaf dengan diameter sekitar
tujuh mikron. Eritrosit merupakan sel dengan struktur yang tidak lengkap. Sel ini
hanya terdiri atas membran dan sitoplasma tanpa inti sel. Komponen eritrosit terdiri
dari: membran eritrosit, sistem enzim, dan hemoglobin. Hemoglobin berfungsi
sebagai alat angkut oksigen. Komponennya terdiri atas: heme, yang merupakan
gabungan protoforfirin dengan besi; dan globin, bagian protein yang terdiri dari dua
rantai alfa dan dua rantai beta (gambar 2.3).
Gambar 2.3 Struktur Hemoglobin.
Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai baik di
klinik maupun di lapangan. Untuk mendapatkan pengertian anemia maka kita perlu
menetapkan definisi anemia. Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau
massa hemoglobin yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan
oksigen bagi jaringan tubuh. Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di
bawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit (Beutler, dkk.,
2001).
Untuk menjabarkan definisi anemia di atas maka perlu ditetapkan batas
hemoglobin yang bisa kita anggap sudah tejadi anemia. Cutoff point yang umum
dipakai adalah kriteria WHO (1989). Dinyatakan anemia bila: laki-laki dewasa
hemoglobin < 13 gr/dl; perempuan dewasa tidak hamil emoglobin < 12 gr/dl.
2.5 Aktivasi Imun Pada Infeksi HIV
Untuk mengetahui patogenesis anemia pada penderita terinfeksi HIV, terlebih dahulu
harus dipahami pengaruh infeksi HIV terhadap aktivasi sel limfosit dan monosit
yang akan menyebabkan adanya disregulasi sitokin, kemudian bagaimana sitokin pro
inflamasi mempengaruhi eritropoesis normal.
Penelitian menunjukkan bahwa limfosit T, monosit, dan makrofag pada
infeksi HIV berada dalam keadaan teraktivasi yang ditandai peningkatan marker
akivasi pada permukaan selnya serta peningkatan jumlah memory/primed/activated T
cell dan penurunan naïve/resting T cell. Aktivasi sel limfosit T terjadi karena
presentasi antigen pada T cell receptor (TCR) oleh antigen precenting cells (APC)
serta protein HIV seperti gp120 pada reseptor CD4 sel T. Parameter dari aktivasi
imun ini dapat memberikan nilai prognostik yang kuat dalam memprediksi
progresifitas penyakit.
Hazenberg, dkk (2003) melakukan penelitian pada 149 pria
homosexual
penderita terinfeksi HIV yang dilakukan pada peripheral blood mononuclear cells
(PBMC). Sampel diambil sebelum terjadinya serokonversi dan 1 serta 5 tahun setelah
serokonversi. Level dari marker aktivasi sel dari sel limfosit T CD4+ dan CD8+
seperti CD38, HLA-DR, CD70, dan Ki67 diukur menggunakan flow cytomery
activated cell shorter scan (FACS scan). CD38 dan HLA-DR (MHC class II antigen)
adalah dua antigen yang diketahui meningkat ekspresinya pada sel T yang telah
teraktivasi. CD70 merupakan famili dari reseptor tumor necrosis factor (TNF)
diekspresikan pada sel T yang teraktivasi dan mengontrol besar dan durasi dari
respon sel T. Penderita terinfeksi HIV menunjukkan peningkatan ekspresi CD70
dimana mencerminkan menetapnya peningkatan level dari aktivasi imun. Ki67 adalah
antigen inti sel dimana diekspresikan secara khusus oleh sel yang dalam keadaan
membelah, karena itu sering digunakan sebagai marker untuk proliferasi sel T. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa setelah serokonversi terjadi peningkatan secara
signifikan ekspresi Ki67, HLA-DR, CD38 dan CD70 pada sel T CD4+ dan CD8+
dibandingkan nilai pada preserokonversi. Pada penderita yang progresifitas
penyakitnya lambat (slow progresor) ekspresi Ki67 stabil stiap waktu, akan tetapi
pada yang progresifitas penyakitnya cepat (fast progresor) terdapat peningkatan
secara signifikan ekspresi antigen ini pada sel T CD4+ dan CD8+. Korelasi negatif
kuat didapatkan pada jumlah total sel CD4+ dengan dengan level ekspresi dari Ki67,
HLA-DR, CD 38 (r: -0,506 - 0,599; p<0,005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat peningkatan level aktivasi sistem imun yang persisten setelah fase akut dari
infeksi HIV.
Seperti pada infeksi HIV-1, jumlah sel T CD4+ mengalami penurunan secara
progresif pada infeksi HIV-2, akan tetapi penurunannya lebih lambat dan level
viremia lebih rendah pada setiap stadium penyakit. Sousa, dkk (2002) melakukan
penelitian potong lintang pada 27 penderita terinfeksi HIV-2, dan 26 penderita
terinfeksi HIV-1, serta 25 individu sehat sebagai kontrol. Hasilnya menunjukkaan
bahwa untuk jumlah sel T CD4+ yang sama, penderita terinfeksi HIV-1 maupun
HIV-2 menunjukkan
level yang sama pada marker aktivasi dan proliferasi sel
meskipun terdapat perbedaan yang besar pada plasma viral load. Hal ini ditandai
dengan: 1. Imbalans rasio populasi sel T naïve : memory; 2. Peningkatan ekspresi
marker aktivasi sel T CD4+ dan CD8+ (HLA-DR, CD38, CD69, Fas/CD95). Hasil
penelitian ini menunjukkan hubungan yang kuat antara aktivasi imun dan penurunan
jumlah sel T CD4+ pada infeksi HIV dan hubungan yang tidak langsung dengan viral
load.
Penelitian lain bertujuan mengetahui hubungan antara penurunan jumlah sel T
CD4+ dan aktivasi imun pada anak yang terinfeksi HIV-1 dengan terapi ARV.
Penelitian potong lintang dilakukan pada 143 anak dengan terapi ARV lebih dari 24
minggu, sebagai kontrol juga diperiksa 23 anak sehat. Hasilnya, anak yang terinfeksi
HIV dengan persentase CD4+ yang rendah memiliki sel T CD4+ memori (CD45RO+)
yang tinggi dan sel CD4 naïve+ (CD45RA+) yang rendah. Lebih lanjut, anak dengan
CD4 > 25% memiliki jumlah sel T CD4+ memori dan naive yang sama dengan grup
kontrol. Pada anak dengan persentase CD4+ rendah menunjukkan peningkatan yang
signifikan ekspresi HLA-DR, dan CD38 pada sel T CD4+ dan CD8+ independen
terhadap level viral load. Penelitian ini mencerminkan bahwa pada penderita
terinfeksi HIV dengan terapi ARV memiliki ekspresi marker aktivasi sel T yang
tinggi pada jumlah sel T CD4+ yang rendah. Anak dengan infeksi HIV dengan
persentase CD4+ yang terendah memiliki jumlah sel T CD4+ memori dan teraktivasi
tertinggi dan juga jumlah naive sel T CD4+ dan CD8+ yang terendah. Jadi, penurunan
jumlah sel T
CD4+ pada penderita berhubungan dengan level yang tinggi dari
aktivasi sel T yang diinduksi oleh replikasi HIV yang kontiniu (Resino, 2006).
2.6 Aktivasi Imun dan Disregulasi Sitokin
Inflamasi telah diketahui sebagai penyebab disfungsi imun pada penderita terinfeksi
HIV, mengindikasikan bahwa aktivasi imun adalah faktor penyebab lemahnya
imunitas dan progresifitas penyakit pada penderita terinfeksi HIV. Penelitian
menunjukkan replikasi virus sendiri merupakan penyebab utama keadaan chronic
inflamatory state pada penderita HIV, dimana pada penderita menunjukkan
peningkatan marker dari inflamasi dan aktivasi imun. Aktivasi imun dapat
mempengaruhi proses eritropoesis melalui peningkatan produksi sitokin pro inflamasi
seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan interferon-γ (IFN-γ), serta interleukin-10
(IL-10) oleh sel T yang telah teraktivasi.
Infeksi HIV berhubungan dengan perubahan pada imunitas seluler (cell
mediated immunity) yang dapat diidentifikasi melalui kultur sel dari penderita
terinfeksi secara invitro. Peripheral blood mononuclear cells (PBMC) yang diisolasi
dari penderita terinfeksi HIV menunjukkan ketidakseimbangan produksi sitokin yang
berhubungan dengan disfungsi imunitas seluler.
Penelitian Graziosi, dkk (1996) mempelajari kinetik ekspresi dari beberapa
sitokin seperti IL-2, IL-4, IL-6, IL-10, IFN-γ, dan TNF-α pada PBMC sembilan
penderita terinfeksi HIV menggunakan teknik semiquantitative reverse transcriptasepolymerise chain reaction( RT-PCR). Hasilnya menunjukkan ekspresi dari IL-2 dan
IL-4 tidak atau minimal sekali terdeteksi pada PBMC. Akan tetapi kadar IL-2 yang
cukup tinggi ditemukan pada sel mononuklear yang diisolasi dari limfonodi (lymph
node mononuclear cell). Ekspresi dari IL-6 terdeteksi hanya pada tiga dari sembilan
pasien, dan ditemukan pada saat transisi dari fase akut ke fase kronik. Eksprei dari
IL-10 dan TNF-α konsisten terdeteksi pada semua pasien, dan kadar semua sitokin ini
bersifat stabil dan meningkat menurut waktu. Sama dengan IL-10 dan TNF-α,
peningkatan ekspresi dari IFN-γ terdeteksi pada semua penderita. Lima dari sembilan
penderita menunjukkan puncak level ekspresi IFN-γ yang sangat awal dari infeksi
HIV. Ekspresi puncak dari IFN-γ bersamaan dengan ekspansi oligoklonal dari sel T
CD8+ dan sel T CD8+ paling banyak mengekspresikan sitokin ini. Sebagai tambahan,
ekspresi dari IL-6, IL-10, IFN-γ, dan TNF-α oleh sel mononuklear pada limfonodi
dibandingkan dengan darah perifer lebih tinggi secara signifikan (tiga kali lipat untuk
tiap sitokin). Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa sitokin tertentu seperti IL-2 dan
IL-4 pada darah perifer mungkin tidak akurat merefleksikan situasi pada organ yang
lain seperti limfonodi dan sumsum tulang. Hal ini mengindikasikan bahwa beberapa
sitokin mungkin diproduksi dan bekerja lokal pada jaringan tanpa masuk kedalam
sirkulasi. Level dari sitokin dalam serum adalah relatif rendah dan lebih mudah
dipengaruhi pleh fluktuasi diurnal dari aktivitas imun. Lebih jauh lagi, sitokin
berbeda dengan hormon, dimana sitokin merupakan soluble factor yang menunjukkan
efek lokal pada lingkungan seluler tertentu. Jadi, secara in vitro stimulasi terhadap sel
T memberikan gambaran yang lebih baik bagaimana sel T memberikan reaksi dalam
bentuk produksi sitokin. T-cell mediated response sangat berhubungan dengan
adanya puncak yang awal dari ekspresi IFN-γ, dan penelitian menunjukkan bahwa
respon sitokin pada saat awal memainkan peranan utama dalam menekan replikasi
virus. Akhirnya, respon yang bifasik dari ekspresi sitokin (puncak yang awal dari
IFN-γ dan puncak yang lambat dari IL-6, IL-10, dan TNF-α) secara jelas
menggambarkan peranan sel T dalam antiviral immune respon.
Hasil penelitian yang sama juga ditunjukkan oleh Caruso, dkk (1995). Dengan
teknik immunoflorescence dan flow cytometry didapatkan bahwa pada penderita HIV
mulai dari stadium awal infeksi terdapat peningkatan persentase limfosit yang
memproduksi IFN-γ dibandingkan dengan kontrol sehat. Peningkatan ekspresi IFN-γ
oleh limfosit meningkat dengan meningkatnya stadium penyakit. Peningkatan
ekspresi sitokin ini terjadi pada sel T CD4+ maupun CD8+.
Westby, dkk. (1998) menggunakan three colour- flowcytometry activated cell
shorter (FACS) menganalisis produksi sitokin intraselular pada 20 penderita
terinfeksi HIV dan 20 orang sehat sebagai kontrol. Hasilnya, sel limfosit T pada
penderita HIV baik yang simtomatik maupun asimtomatik menunjukkan penurunan
kapasitas untuk memproduksi IL-2 khususnya pada sel T CD4+ dan peningkatan
produksi IFN-γ khususnya pada sel T CD8+ dibandingkan dengan kontrol. Produksi
IL-2 oleh sel T CD4+ juga juga lebih rendah secara signifikan pada penderita HIV
yang simtomatik dibandingkan dengan asimtomatik. Produksi IL-2 oleh sel T CD8+
juga lebih rendah pada penderita HIV simtomatik dibandingkan dengan asimtomatik
walaupun secara statistik tidak signifikan. Di sisi lain tidak terdapat perbedaan
produksi IFN-γ antara penderita HIV simtomatik dan asimtomatik. Jadi, aktivasi sel
T yang ditandai dengan tingginya produksi IFN-γ tampak pada awal terjadinya
infeksi HIV dan menetap seiring perjalanan penyakit. Sedangkan penurunan produksi
IL-2 oleh sel T bersifat progresif . Perbedaan produksi IL-2 dan IFN-γ antara
kelompok sampel dan kontrol tidak secara sederhana dijelaskan oleh terbaliknya rasio
jumlah limfosit CD4:CD8, karena telah distratifikasi dengan jumlah sel T CD4+
maupun CD8+ pada masing-masing kelompok. Akan tetapi hasil ini disebabkan oleh
penurunan kemampuan sel T CD4+ untuk memproduksi IL-2 dan peningkatan
kemampuan sel T CD8+ untuk memproduksi IFN-γ akibat aktivasi sel. Terdapat
korelasi negatif antara produksi IL-2 oleh sel T dengan viral load (r = -0,832),
korelasi ini terdapat pada sel T CD4+ dan CD8+ (masing r = -0,435 dan -0,622).
Penurunan ekspresi IL-2 dan peningkatan ekspresi IFN-γ oleh sel T juga
didapatkan Fan, dkk (1993). Dengan teknik quantitative polymerise chain reaction,
didapatkan ekspresi mRNA untuk IL-2 yang lebih rendah dan ekspresi mRNA IFN-γ
yang lebih tinggi pada PBMC penderita HIV dibandingkan kontrol sehat. Penelitian
dengan teknik immunofluorescence dan flow cytometric analysis juga menunjukkan
peningkatan produksi IFN-γ pada penderita HIV asimtomatik dibandingkan kontrol
sehat. (Caruso, dkk., 1996).
Penelitian Haissman, dkk. (2009) pada 229 penderita HIV, dan 54 kontrol
bertujuan mengevaluasi peranan aktivasi imun dalam peningkatan produksi sitokin
dalam patogenesis infeksi HIV serta efek pemberian ARV pada parameter ini.
Konsentrasi IL-6, IL-8, IL-10, TNF-α, Interleukin-1 reseptor antagonis (IL-1ra), dan
monosite chemotactic protein-1 (MCP-1) dari plasma penderita terinfeksi HIV dan
kontrol distratifikasi berdasarkan jumlah sel T CD4+ dan diikuti selama 2 dan 4 bulan
setelah pemberian ARV. Hasilnya, pada penderita terinfeksi HIV menunjukkan
peningkatan kadar sitokin TNF-α, IL-6, IL-8, IL-1ra, dan MCP-1 dibandingkan
kontrol. Progresifitas HIV juga memiliki efek terhadap peningkatan sitokin, dimana
terdapat kadar yang lebih tinggi secara signifikan dari TNF-α, IL-6, IL-8, IL-1ra, dan
MCP-1 pada kelompok penderita dengan jumlah sel T CD4+
kurang dari 200
sel/mm3. Kadar semua sitokin menurun setelah 2 bulan pemberian ARV dan berlanjut
setelah 4 bulan pengobatan. Pada analisis univariat, semua sitokin memiliki korelasi
positif dengan viral load dan berkorelasi negatif dengan jumlah sel T CD4+.
Inflamasi merupakan penyebab utama dari HIV-related immunodeficiency dimana
replikasi virus sendiri merupakan faktor utama yang menyebabkan aktivasi imun dan
peningkatan kadar sitokin walaupun terdapat bermacam koinfeksi. Penelitian ini juga
menggambarkan bahwa ARV sangat efisien untuk menurunkan aktivasi imun dan
kadar sitokin.
Tuberkulosis (TB) adalah infeksi opportunistik tersering pada penderita
AIDS. Manifestasi klinis dari tuberkulosis pada penderita HIV biasanya lebih berat
dengan kerusakan paru yang difus dan sering dengan manifestasi ekstrapulmoner
yang berat. Oleh karena itu parameter imunologik mungkin berbeda pada penderita
AIDS dengan TB dibandingkan dengan penyakit itu secara sendiri-sendiri. Dengan
stimulasi mitogen pada PBMC, produksi IFN-γ dan TNF-α oleh sel T dianalisis
dengan metode enzim-linked immunoabsorbent assay (ELISA). Sampel didapat
melalui 33 penderita dan dibagi menjadi empat kelompok: sebelas penderita AIDS
dengan tuberkulosis, enam penderita HIV asimtomatik, delapan pasien dengan
tuberkulosis, dan delapan kontrol sehat. Hasilnya menunjukkan proporsi sel T CD4+
yang mengekspresikan TNF-α lebih tinggi pada grup penderita TB dibandingkan
dengan penderita HIV asimtomatik, sedangkan kelompok HIV-TB menunjukkan nilai
intermediet yaitu diantara kelompok penderita HIV asimtomatik dan kelompok TB.
Pada sel T CD8+ ekspresi IFN-γ dan TNF-α berbeda pada keempat kelompok.
Persentase sel T CD8+ yang mengekspresikan IFN-γ lebih tinggi pada kelompok
penderita TB dibandingkan dengan kelompok penderita HIV asimtomatik, sedangkan
kelompok HIV-TB menunjukkan nilai intermediet namun lebih mendekati nilai
kelompok HIV asimtomatik. Yang menarik, ekspresi TNF-α oleh sel T CD8+ pada
kelompok HIV-TB menunjukkan nilai yang sama dengan kelompok HIV
asimtomatik dan lebih rendah dengan kelompok TB.
Respon sel T terhadap
Micobacterium tuberculosis membutuhkan produksi IFN-γ. Mekanisme proteksi ini
berhubungan dengan terbentuknya granuloma untuk melokalisir infeksi
yang
tergantung oleh terdapatnya IFN-γ. Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang
signifikan ekspresi sitokin ini oleh sel T CD4+ pada keempat kelompok penderita
sedangkan pada sel T CD8+ ekspresi IFN-γ lebih tinggi pada kelompok TB daripada
kelompok TB-HIV. Hal ini menunjukkan bahwa pada penderita HIV terdapat
hiporesponsif
sel T dalam mengenali antigen Mycobacterium tuberculosis yang
mengakibatkan gangguan produksi
IFN-γ pada kelompok TB-HIV. Hiporesponsif
sel T ini terjadi akibat aktivasi imun secara umum (Cunha, dkk., 2005).
2.7 Abnormalitas Eritropoesis Pada Infeksi HIV
Beberapa penelitian menunjukkan terdapat hambatan pertumbuhan dan diferensiasi
sel progenitor hematopoetik secara in vitro. Infeksi langsung HIV pada sel progenitor
CD34+ pernah dilaporkan (Steinberg, dkk., 1991; Stanly, dkk., 1992), akan tetapi
Thomas, dkk menemukan hanya 2 dari 10 sel CD34+ penderita yang positif, dan
jumlah kopi dari proviral DNA pada sampel ini adalah 2 sampai 5 per 250.000 sel.
Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa sel progenitor hematopoetik CD34+ tidak
rentan terhadap infeksi HIV dan bukan merupakan reservoir virus pada sebagian
besar penderita HIV asimtomatik (Thomas, dkk., 1995). Hal ini mengindikasikan
bahwa HIV mempengaruhi mekanisme hematopoesis secara indirek.
HIV menghambat beberapa jalur hematopoesis tanpa infeksi langsung pada sel
progenitor
eritroid
CD34+
tetapi
dengan
merubah
lingkungan
mikro
(microenvironment) yang mendukung hematopoesis. Hematopoesis abnormal terjadi
pada infeksi HIV sebagai akibat dari disregulasi sitokin yang akan mempengaruhi
ekspresi beberapa gen yang berhubungan dengan hematopoesis (Koka dan Reddy,
2004).
2.7.1 Pengaruh inflamasi/aktivasi imun terhadap eritropoesis
Beberapa penelitian menyatakan bahwa eritropoesis (dan myelopoesis) menurun pada
penderita HIV naïve dibandingkan dengan kontrol akibat disregulasi produksi sitokin
dan growth factor dan peningkatan apoptosis sel progenitor sumsum tulang. Isgro,
dkk (2005) meneliti efek terapi ARV terhadap produksi sitokin oleh sel limfosit dan
sel stromal sumsum tulang pada penderita terinfeksi HIV sebelum dan sesudah terapi
ARV. Dibandingkan dengan penderita sehat, terdapat penurunan produksi IL-2 dan
peningkatan TNF-α oleh sel sumsum tulang, bersamaan dengan terdapatnya
penurunan aktivitas clonogenic. Terapi ARV menunjukkan perbaikan aktivitas stem
cell, perbaikan gambaran fungsi sel stromal, peningkatan produksi IL-2 pada sumsum
tulang, penurunan ekspresi Fas antigen bersamaan dengan penurunan produksi TNF-
α. Fas antigen bertanggung jawab terhadap terjadinya apoptosis pada sel eritroid
progenitor maupun sel CD4+ yang secara detail akan dijelaskan kemudian.
Penelitian Isgro, dkk (2000) menunjukkan bahwa perubahan morfologi dan
tidak efektifnya fungsi sumsum tulang bertanggung jawab terhadap terjadinya
sitopenia pada infeksi HIV. Penelitian mengenai efek terapi ARV pada jumlah colony
forming units erythroid (CFU-E) menggunakan bone marrow cell cultures bertujuan
untuk mengevaluasi mekanisme pengaruh imun rekonstitusi terhadap sumsum tulang.
Pada semua penderita setelah terapi ARV, peningkatan pertumbuhan koloni adalah
homogen pada semua tipe sel progenitor hematopoetik. Hasil ini berhubungan dengan
data in vivo yang menunjukkan peningkatan jumlah bone marrow mononuclear cells
(BMMCs) disertai dengan
peningkatan jumlah sel T CD4+ darah perifer serta
penurunan plasma HIV-RNA. Hasil ini mengindikasikan bahwa penurunan jumlah
sel progenitor hematopoetik dan atau tidak efektifnya rangsangan terhadap
pertumbuhan sel progenitor merupakan penyebab abnormalitas hematologi pada
penderita HIV. Pengendalian replikasi virus oleh ARV menyebabkan perbaikan
aktivitas sel progenitor yang disebabkan supresi terhadap beberapa sitokin yang
menginhibisi hematopoesis normal.
Constantini dkk. (2009) meneliti kapasitas eritropoetik dari sel progenitor
CD34+ yang telah dimurnikan (purified CD34 progenitors) melalui analisis
longitudinal terhadap pertumbuhan burst forming unit erythroid (BFU-E) sebelum
dan sesudah terapi ARV pada 12 penderita terinfeksi HIV dan 31 kontrol sehat.
Hasilnya menunjukkan bahwa secara in vitro terdapat akumulasi dari jumlah BFU-E
pada penderita HIV naïve dibandingkan dengan kontrol dan supresi terhadap replikasi
virus oleh ARV diikuti dengan penurunan akumulasi BFU-E. Peningkatan jumlah
BFU-E pada penderita HIV dengan replikasi virus aktif disebabkan oleh: (1)
peningkatan produksi pro-erythropoietic factor yang bekerja pada sumsum tulang
untuk mempertahankan eritrosit normal, (2) peningkatan eritropoesis yang tidak
efektif dengan akumulasi prekursor eritroid, dan (3) penyakit inflamasi kronik. Hasil
tersebut di atas mengindikasikan bahwa pada penderita HIV naïve, imflamasi kronik
atau aktivasi imun berhubungan dengan tidak efektifnya eritropoesis dan akumulasi
dari pekursor eritroid BFU-E. Interferon-γ dan TNF-α menghambat pembentukan
perkembangan sel eritroid khususnya pada pertumbuhan diferensiasi BFU-E menjadi
CFU-E sehingga terjadi akumulasi dari BFU-E. ARV menyebabkan supresi terhadap
replikasi HIV, menurunkan aktivasi imun dan menormalkan jumlah BFU-E.
Penelitian Constantini mendapatkan bahwa baseline soluble transferin
receptor (sTfR) pada infeksi HIV lebih rendah dibandingkan dengan kontrol dan
meningkat dengan pemberian ARV. Sitokin pro inflamasi khususnya IFN-γ
menurunkan kadar serum sTfR
melalui mekanisme transkripsional dan
postranskripsional (Weiss, dkk., 2002). sTfR diproduksi ketika prekursor eritroid
telah cukup memproduksi hemoglobin dan kemudian menyimpan reseptornya. Saat
persediaan besi untuk eritron menurun, atau kapasitas eritroid meningkat, sTfR dalam
plasma meningkat. Walaupun terjadi restriksi besi pada anemia akibat inflamasi,
sTfR tidak meningkat tetapi tetap dalam rentang normal akibat down regulation oleh
sitokin pro inflamasi (Roy, 2010). Hal ini memperkuat indikasi bahwa inflamasi
kronik atau aktivasi imun memang berperan terhadap penurunan eritropoesis.
Eritropoetin secara langsung akan mempengaruhi proliferasi dan survival dari
eritroid progenitor. Penelitian Constantini juga mendapatkan bahwa kadar
eritropoetin serum lebih mendekati kadar normal rendah dan meningkat setelah
pemberian ARV. Hal ini menunjukkan gangguan terhadap produksi eritropoetin pada
penderita HIV naïve walaupun tidak terdapat bukti adanya gagal ginjal berdasarkan
kadar serum kreatinin. Hasil ini sesuai dengan penelitian sesuai dengan penelitian
Wang, dkk (1993) dimana HIV dapat menginduksi penurunan produksi eritropoetin
secara in vitro. Kadar eritropoetin serum relatif lebih rendah pada penderita HIV dan
ini mungkin memberikan kontribusi terhadap terjadinya diseritropoesis dimana kadar
eritropoetin yang normal atau normal rendah tidak cukup untuk melawan efek inhibisi
dari sitokin inflamasi sehingga diperlukan kadar eritropoetin yang tinggi untuk
mempertahankan eritropoesis normal (Levine, 2003).
Hasil yang berbeda didapatkan Salome dkk (2002) mengenai kadar serum
eritropoetin pada 111 penderita HIV dimana didapatkan pada kebanyakan penderita
menunjukkan kadar eritropoetin serum yang normal atau sedikit mengalami
peningkatan serta korelasi terbalik yang signifikan antara kadar eritropoetin dan
hemoglobin (r = - 0,6353). Penelitian Rarick dkk (1991) pada 110 penderita HIV
simtomatik juga menunjukkan hubungan terbalik yang signifikan antara kadar
eritropoetin serum dan kadar hemoglobin (r = - 0,42). Data ini menunjukkan bahwa
terdapat penurunan kemampuan eritroid progenitor untuk berespon terhadap
eritropoetin sehingga kompensasi sumsum tulang terhadap terjadinya anemia menjadi
tidak adekuat. Menurunnya respon eritroid progenitor terhadap eritropoetin terjadi
pada keadaan chronic inflammatory states dimana terjadi efek inhibisi oleh sitokin
pro inflamasi terhadap proses eritropoesis, kadar eritropoetin yang lebih tinggi
diperlukan untuk melawan efek tersebut.
Adanya inflamasi kronik pada infeksi HIV juga menyebabkan gangguan
hemoostasis besi. Di Indonesia, Wisaksana, dkk (2011) melakukan penelitian potong
lintang terhadap beberapa parameter metebolisme besi pada penderita HIV di RS
Hasan Sadikin Bandung, Jawa Barat dari bulan September 2007 sampai agustus
2009. Hasilnya menunjukkan bahwa anemia pada penderita HIV naïve sebagian
normokromik-normositik dengan retikulosit indek yang normal atau rendah, kadar
sTfR yang rendah, serta peningkatan kadar high sensitive C-reactive protein (hsCRP).
Mengindikasikan bahwa anemia on chronic disease (ACD) merupakan penyebab
utama mekanisme anemia pada infeksi HIV. Kadar ferritin yang lebih tinggi secara
signifikan ditemukan khususnya pada penderita dengan jumlah limfosit CD4+ < 200
sel/mm3. Kadar feritin serum juga lebih tinggi juga ditemukan pada penderita dengan
anemia sedang-berat dibandingkan dengan penderita dengan anemia ringan (p = 0,01)
atau tanpa anemia (p = 0,07). Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara kadar
feritin dengan jumlah limfosit CD4+ (r = -0,48). Kadar ferritin yang tinggi dan sTfR
yang rendah mengindikasikan bahwa redistribusi besi (iron redistribution) dan
aktifitas eritropoetik yang rendah lebih berkontribusi dalam menimbulkan anemia
dibandingkan defesiensi besi pada penderita terinfeksi HIV.
Akibat
dari
inflamasi,
besi
dialihkan
dari
sirkulasi
ke
system
retikuloendotelial atau tempat penyimpanan lain dalam bentuk feritin. Hepcidin
(HepC) memainkan peranan dalam proses ini (Nemeth, 2009). HepC adalah hormon
peptida yang diproduksi oleh hepatosit. Ferroportin (Fpn) adalah suatu transporter
untuk memfasilitasi transport besi dari makrofag (gambar 2.2). Fpn berada pada
enterosit duodenal dan makrofag jaringan. HepC adalah regulator yang poten dengan
menginduksi internalisasi dan degradasi dari Fpn. Jadi, HepC berikatan dengan Fpn
pada permukaan sel dan mengakibatkan restriksi absopsi besi melalui enterosit serta
restriksi pelepasan besi oleh makrofag (Roy, 2010; Weiss, dkk., 2005). IFN-γ juga
berperan dalam menyebabkan retensi besi oleh makrofag dengan menurunkan
ekspresi Fpn yang akhirnya menghambat pelepasan besi oleh makrofag (Ludwiczek,
dkk., 2003).
2.7.2
Apoptosis sel progenitor eritroid, peranan Interferon-γ
Beberapa penelitian seperti yang dijelaskan sebelumnya menunjukkan peningkatan
IFN-γ pada infeksi HIV. Interferon-γ adalah sitokin multifungsional yang disekresi
oleh sel limfosit T yang teraktivasi dan natural killer cell. Sitokin ini sangat poten
dalam menginduksi aktivasi dan diferensiasi sel fagosit dan limfosit, juga sebagai
antiviral, antiproliferatif, dan imunomodulator pada beberapa jenis sel. IFN-γ juga
menunjukkan efek inhibisi terhadap perkembangan ganulocyte-macrophage colony
forming unit (CFU-GM), burst forming units-erythroid (BFU-E) dan colony forming
units-erythroid (CFU-E) secara in vitro. IFN-γ menghambat pembentukan koloni sel
eritroid progenitor, hal ini menunjukkan bahwa IFN-γ memainkan peranan penting
dalam menimbulkan anemia pada penyakit kronik.
Interferon-γ merupakan inhibitor eritropoesis yang paling poten, peningkatan
konsentrasi IFN-γ mengindikasikan aktivasi dari cell-mediated immunity yang
persisten. Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara penurunan kadar
hemoglobin dengan peningkatan ekspresi IFN-γ sebagai marker aktivasi imun seluler.
Hal ini menunjukkan bahwa inhibisi eritropoesis oleh IFN-γ memiliki peran penting
sebagai penyebab anemia pada penderita terinfeksi HIV (Fuchs, dkk., 1993; Denz,
dkk., 1990).
Interferon-γ diketahui menghambat proliferasi dan diferensiasi sel eritroid
progenitor dan menyebabkan apoptosis sel eritroid, sebaliknya eritropoetin berperan
meningkatkan produksi sel eritroid dan dan mencegah apoptosis. Efek yang
berlawanan dari eritropoetin dan IFN-γ pada keadaan inflamasi kronis dibuktikan
oleh beberapa penelitian. Means dan Krantz (1991) meneliti pengaruh recombinant
human Interferon-γ (rhγIFN) terhadap pembentukan koloni secara invitro pada higly
purified erythroid colony forming units (CFU-E) yang didapat melalui sumsum
tulang. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan koloni CFU-E secara signifikan
dihambat oleh rhγIFN pada semua konsentrasi yang di tes. Inhibisi oleh rhγIFN dapat
diatasi oleh peningkatan konsentrasi recombinant human erythropoietin (rhEpo).
Penelitian ini menunjukkan bahwa inhibisi pertumbuhan CFU-E oleh rhγIFN dan
beberapa sitokin lain dapat dikoreksi dengan paparan (exposure) rhEpo dosis tinggi.
Peningkatan dosis rhEpo bukan bukan secara langsung menstimulasi pertumbuhan
koloni akan tetapi rhEpo mengatasi efek inhibisi yang diinduksi oleh rhγIFN. Sebab
pemberian rhEpo pada dosis yang lebih tinggi lagi tidak secara signifikan
menyebabkan peningkatan pertumbuhan koloni. Hal tersebut dapat disebabkan karena
rhγIFN menurunkan ekspresi reseptor Epo pada CFU-E dan membutuhkan
konsentrasi reEpo yang tinggi untuk pertumbuhan koloni yang optimal.
Gambar 2.4
Peningkatan aktivitas imun pada kondisi inflamasi
mengakibatkan apoptosis sel eritroid progenitor
Keterangan: IFN, interferon; TNF, tumor necrosis factor; IL, interleukin; Th, sel Thelper
Sumber: Macdougall IC, Cooper AC, 2002. Erythropoietin resistance: the role of
inflammation and pro-inflammatory cytokines. Nephrol Dial Transplant 17: 39-43
Interferon-γ adalah mediator utama supresi terhadap sel progenitor eritroid
karena sitokin ini merupakan antagonis efek anti-apoptotik eritropoetin pada CFU-E.
Karena IFN-γ hanya diproduksi oleh sel T yang teraktivasi, maka aktivasi sel T
adalah sangat penting dalam memediasi supresi terhadap proses eritropoesis.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa suatu keadaan chronic inflammatory state
menunjukkan resistensi terhadap pemberian rhEpo yang anti-apoptotik oleh karena
pengaruh sitokin pro inflamasi yang pro-apoptotik. Macdougall, dkk (2002) serta
Cooper, dkk (2002) meneliti peningkatin level aktivasi imun melalui studi terhadap
sel T pada penderita yang menjalani hemodialisis yang dibagi menjadi kelompok
berespon baik (good responders) dan berespon buruk (poor responders) terhadap
eritropoetin. Hasilnya menunjukkan bahwa secara signifikan ekspresi TNF-α, IFN-γ,
dan IL-10 pada sel T CD4+ dan CD8+ lebih besar secara signifikan pada penderita
yang berespon buruk dibandingkan yang berespon baik terhadap rhEpo. Hasil ini
mendukung konsep bahwa penderita yang berespon buruk terhadap terapi rhEpo
disebabkan oleh peningkatan kapasitas sel T CD4+ dan CD8+ untuk memproduksi
sitokin pro inflamasi terutama IFN-γ (gambar 2.4).
Penderita dengan kondisi inflamasi kronik seperti infeksi HIV dapat
meningkatkan aktivasi imun yang melibatkan sel T dan monosit (gambar 2.3). Sel T
dan monosit mensekresikan beberapa sitokin pro-inflamasi dimana salah satunya
dapat meningkatkan produksi IFN-γ. Monosit saat teraktivasi memproduksi IL-12
dalam jumlah yang tinggi, dimana diketahui dapat menstimulasi sel T-helper untuk
memproduksi IFN-γ (Gately, dkk., 1998) . Terdapat juga peningkatan produksi TNFα oleh monosit dimana dapat memacu aksi dari IFN-γ sebagai agen pro-apoptotik
baik melalui mekanisme addiktif maupun sinergistik (Sitter dan Bergner, 2000). IFNγ memicu kematian sel eritroid progenitor pada sumsum tulang dengan cara
mengantagonis aksi anti-apoptotik dari eritropoetin.
2.7.3
Mekanisme IFN-γ menyebabkan apoptosis sel progenitor eritroid
Beberapa penelitian telah menunjukkan efek inhibis IFN-γ terhadap sel progenitor
eritroid. IFN-γ menghambat pertumbuhan dan diferensiasi CFU-E pada sumsum
tulang dan menginduksi apoptosis. Proses apoptosis melibatkan banyak perubahan
metabolik yang akan menimbulkan degradasi genomik DNA menjadi fragmen
nukleosomal. Mekanisme bagaimana IFN-γ menimbulkan efek inhibisi terhadap
pertumbuhan sel progenitor eritroid dan menginduksi apoptosis adalah multifaktorial.
Beberapa mekanisme yang diketahui antara lain:
1. Interferon-γ menginduksi ekspresi Fas reseptor pada sel progenitor eritroid
sumsum tulang
Fas antigen adalah suatu molekul reseptor permukaan sel, dimana aktivasi
oleh ligand-nya dapat menimbulkan tranduksi sinyal apoptosis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sistem Fas/Fas ligand (FasL) memainkan peranan penting dalam
menimbulkan apoptosis pada beberapa sel yang berbeda akibat interaksi antara fas
dengan FasL. Fas (APO-1/CD95) adalah membran glikoprotein berukuran 45 kD dan
merupakan famili tumour necrosis factor-receptor. Fas mengandung 70 asam amino
yang dibutuhkan untuk menimbulkan sinyal transduksi
apoptosis. Fas mRNA
diekspresikan oleh sel limfosit, monosit, dan juga sel leukemia. Sedangkan FasL
adalah suatu protein famili dari TNF berukuran 40 kD. FasL diproduksi oleh sel T
yang teraktivasi terutama sel T sitotoksik (Takahashi, dkk., 1994). Antigen presenting
cells adalah sumber dari FasL, dan infeksi HIV menyebabkan peningkatan ekspresi
FasL oleh makrofag. Hal ini mengindikasikan bahwa makrofag juga berperan dalam
apoptosis sel limfosit dan eritroid progenitor pada infeksi HIV (Baddley, dkk., 1996).
Dai, dkk (1998) meneliti ekspresi Fas pada CFU-E sumsum tulang manusia
setelah diinkubasi dengan IFN-γ dan interaksi Fas dan FasL dalam menimbulkan
kematian sel akibat apoptosis yang diinduksi oleh IFN-γ (IFN-γ induced apoptotic
cell death). Untuk menentukan bahwa ekspresi Fas/FasL berhubungan dengan IFN-γ
dalam menginduksi apoptosis, ditentukan ada atau tidaknya molekul ini pada
permukaan CFU-E dalam keadaan terdapat atau tidaknya IFN-γ. Analisis
menggunakan northern and flow cytometric menunjukkan persentase yang kecil dari
CFU-E manusia normal yang mengekspresikan Fas pada permukaannya dan juga
levelnya sangat rendah. Ekspresi Fas pada permukaan mengalami peningkatan setelah
enam jam inkubasi CFU-E dengan IFN-γ pada konsentrasi kurang dari 50 U/mL dan
meningkat secara gradual dan mencapai puncak dalam 72 jam setelah inkubasi
dengan IFN-γ dimana efek inhibisi IFN-γ terhadap pertumbuhan CFU-E jelas terlihat.
Jadi, efek inhibisi IFN-γ terhadap CFU-E bersifat dose and time dependent.
Eksperimen selanjutnya menunjukkan aktivasi Fas oleh anti-Fas monoclonal
antibody (anti Fas MoAb) yang secara fungsional mirip dengan FasL menyebabkan
penurunan viabilitas CFU-E. Apoptosis yang diinduksi IFN-γ sangat menurun setelah
pemberian antihuman FasL antibody yang menghambat interaksi Fas dengan FasL.
Penelitian ini menunjukkan bahwa IFN-γ meningkatkan ekspresi Fas pada permukaan
sel progenitor eritroid serta menginisiasi interaksi antara Fas dengan FasL yang akan
menimbulkan efek inhibisi dan apoptosis sehingga memberikan kontribusi yang besar
dalam menghambat eritropoesis normal.
Penelitian lain juga membuktikan efek inhibisi dari TNF-α dan IFN-γ pada
hematopoesis yang dimediasi atau dipotensiasi oleh sistem Fas/FasL. Terdapat
peningkatan ekspresi Fas pada permukaan sel CD34+ setelah diinkubasi dengan TNFα atau IFN-γ atau keduanya secara bersama-sama. Ekspresi Fas paling kuat diinduksi
oleh adanya IFN-γ dan TNF-α secara bersamaan. Pemberian anti-Fas MoAb sangat
memperkuat efek inhibisi dari TNF-α dan IFN-γ pada pertumbuhan koloni sel CD34+
bahkan pada konsentrasi TNF-α dan IFN-γ yang sangat rendah. Untuk menentukan
apakah anti-Fas Mo-Ab memediasi terjadinya apoptosis dilakukan pemeriksaan
terhadap DNA, dimana terdapat gambaran degradasi nukleosom yang merupakan
tipikal terjadinya apoptosis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efek dari FasL
adalah sinergistik dengan TNF-γ dan TNF-α dalam mempengaruhi proliferasi dan
viabilitas sel. Jadi ekspresi Fas reseptor yang diinduksi oleh TNF-α dan IFN-γ akan
menyebkan sel rentan terhadap FasL dimana interaksi Fas-FasL akan mentransduksi
sinyal apoptosis (Maciejewski, dkk., 1995).
Kerjasama antara beberapa sitokin inhibisi seperti TNF-α, IFN-γ, dan FasL
akan menimbulkan efek inhibisi yang poten pada sel sumsum tulang pada setting
yang dikenal dengan immune-system attack. Ekspresi Fas juga terdapat pada sel
limfosit penderita terinfeksi HIV yang akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya.
2. IFN-γ menurunkan reseptor eritropoetin dan stem cell factor pada sel eritroid
progenitor
Eritropoetin dan stem cell factor (SCF) menunjukkan kerja yang bersifat
sinergis untuk merangsang proliferasi dan/atau diferensiasi sel eritroid progenitor dan
mencegah apoptosis in vitro (Muta dan Krantz, 1993; Muta, dkk., 1994). SCF dan
eritropoetin juga dapat mengatasi efek inhibisi dari IFN-γ pada sel eritroid progenitor
in vitro (Dai, dkk., 1995; Means, dkk., 1991) . Jadi, IFN-γ dan growth factor ini
memiliki efek yang berlawanan terhadap sel progenitor eritroid.
Penelitian Taniguchi, dkk. (1997) menunjukkan bahwa IFN-γ menurunkan
ekspresi reseptor eritropoetin dan SCF pada permukaan sel CFU-E dengan
menurunkan ekspresi mRNA untuk kedua reseptor ini. IFN-γ menekan ekspresi
mRNA pada tingkat transkripsi. Hasil ini mengindikasikan bahwa IFN-γ menghambat
proliferasi dan diferensiasi sel progenitor eritroid dan menurunkan survival dengan
menurunkan jumlah target reseptor untuk eritropoetin dan SCF. Hasil penelitian ini
dapat menjelaskan bagaimana dosis yang tinggi dari eritropoetin ini dapat mengatasi
efek inhibisi dari IFN-γ,
karena dengan sedikit reseptor yang terdapat pada
permukaan sel, membutuhkan konsentrasi yang tinggi dari eritropoetin untuk
mengembalikan probabilitas interaksi antara reseptor dengan ligand-nya.
3. IFN-γ menginduksi peningkatan ekspresi dan aktivasi caspase 1, 3 dan 8
Terdapat 10 enzym caspase yang telah teridentifikasi. Caspase merupakan
protease yang memainkan peranan penting dalam perubahan biokimia yang
menyebabkan kematian sel. Konversi caspase dari bentuk proenzym yang bersifat
dorman ke bentuk enzym aktif adalah langkah penting dalam menimbulkan kaskade
apoptosis yaitu penyusutan sel (cell shrinkage), kondensasi kromatin, pecahnya
DNA, pembengkakan membran dan pembentukan apoptotic bodies (Cohen, 1997).
Dai dan Krantz (1999) meneliti efek IFN-γ terhadap ekspresi dan aktivasi
beberapa caspase pada sel progenitor eritroid (CFU-E) menggunakan RNase
protection assay dan western blot analysis. Hasilnya menunjukkan terdapat
peningkatan ekspresi caspase 1,3 dan 8. Caspase ini tidak hanya meningkat
ekspresinya, tetapi juga teraktivasi ketika sel mengalami apoptosis. Caspase inhibitor
sangat efisien memblokade aktivasi kaspase dan mengurangi inhibisi pertumbuhan
sel oleh IFN-γ.
Penelitian Cohen, dkk. (1997)
menunjukkan bahwa Fas menginduksi
apoptosis dengan mengaktivasi caspase 8 yang mengandung Fas-associating protein
with death domain (FAAD) yang berfungsi sebagai death effector. Jadi terdapat
hubungan langsung antara reseptor untuk kematian sel (cell death teceptors) dan
caspase.
2.8 Mekanisme Patogenesis Penurunan Jumlah Sel Limfosit T CD4+
Keadaan imunodefisiensi pada penderita HIV ditandai oleh penurunan baik jumlah
maupun fungsi dari sel limfosit T CD4+. Penyebab penurunan jumlah sel T CD4+
pada infeksi HIV antara lain adalah mekanisme direk dan indirek. Efek langsung HIV
terhadap penurunan jumlah sel T CD4+ (direct HIV-mediated cytophatic effects)
pernah dilaporkan pada studi in vitro namun tidak secara in vivo (Pantaleo, dkk.,
1993). Namun penelitian menunjukkan bahwa derajat penurunan sel limfosit CD4+
tidak berkorelasi dengan derajat sitopatisitas HIV secara in vitro. Infeksi oleh strain
HIV yang noncytophatic menyebabkan deplesi sel limfosit CD4+ yang ekstensif,
sedangkan strain virus yang highly cythopatic menyebabkan deplesi sel limfosit CD4+
yang minimal walaupun dengan beban virus (viral burden) yang sama (Mosier,
1993). Penelitian dengan “melabel” sel limfosit pada limfonodi menunjukkan bahwa
sel limfosit CD4+ yang mati akibat apoptosis bukanlah sel yang terinfeksi HIV
melainkan bystander cells atau sel disekitarnya yang tidak terinfeksi (Finkel, dkk.,
1995). Fakta lain menyebutkan bahwa sangat sedikit PBMC yang aktif terinfeksi
HIV sedangkan terjadi penurunan yang cepat dan agresif dari sel limfosit CD4+ di
sirkulasi (Wood, dkk., 1993). Jumlah sel yang terinfeksi HIV secara aktif adalah
sangat rendah, dengan rasio sel terinfeksi dengan tidak terinfeksi adalah
1:105
dengan kata lain sekitar 107 sel yang terinfeksi dari 1012 sel limfosit yang terdapat
dalam tubuh (Chun, dkk., 1997). Bukti tersebut di atas secara jelas mengindikasikan
bahwa mekanisme indirek dari infeksi HIV lebih berperan dalam penurunan jumlah
sel limfosit CD4+ daripada efek langsung HIV terhadap sel.
Beberapa penelitian in vitro telah dapat mengidentifikasi mekanisme indirek
dari infeksi HIV, dan HIV-induced apoptosis adalah mekanisme yang paling bisa
menjelaskan penurunan jumlah sel limfosit CD4+. HIV-induced apoptosis telah
dipublikasikan oleh beberapa penelitian. PBMC dari penderita HIV mengalami
apoptosis secara in vitro (Meyaard, dkk., 1992; Oyaizu, dkk., 1993) dan kematian sel
akibat apoptosis juga terjadi pada limfonodi. Derajat apoptosis sel pada limfonodi
pada penderita terinfeksi HIV 3-4 kali lebih besar daripada yang diamati pada
individu sehat. Apoptosis ini terjadi secara ekstensif pada semua kompartemen
fungsional dari limfonodi seperti kortex, parakortex, dan sinus, berbeda pada individu
dengan HIV negatif yang hanya terjadi pada germinal centers (Muro-Cacho, dkk.,
1995).
2.8.1 Aktivasi imun dan apoptosis sel limfosit T CD4+ (activation-induced cell
death/apoptosis)
Beberapa penelitian seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya menunjukkan
bahwa pada infeksi HIV, adanya replikasi virus menyebabkan aktivasi imun yang
ditandai dengan peningkatan marker aktivasi seperti HLA-DR, CD38, CD69, CD70,
dan juga Fas/CD95 pada permukaan sel T CD4+. Peningkatan marker aktivasi ini
berhubungan dengan penurunan jumlah limfosit T CD4+ independent terhadap viral
load. Penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa hubungan langsung (direct
causal relationship) antara aktivasi imun dan penurunan jumlah limfosit T CD4+ dan
hubungan yang tidak langsung antara penurunan jumlah sel limfosit T CD4+ dengan
virus replication rate karena status imunologik berhubungan langsung dengan
aktivasi imun dan bukan viral load (Resino, dkk., 2006; Hazenberg, dkk., 2003;
Sousa, dkk., 2002). Aktivasi imun juga terjadi pada awal infeksi, sebelum terjadi
penurunan yang signifikan dari jumlah sel T CD4+ (Sousa, dkk., 2002).
Penelitian Muro-Cacho, dkk. (1995) pada limfonodi penderita terinfeksi HIV
juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara intensitas
terjadinya apoptosis dengan derajat aktivasi imun, sedangkan tidak terdapat korelasi
antara intensitas apoptosis dengan viral burden pada limfonodi. Hasil ini
mengindikasikan bahwa peningkatan intensitas apoptosis pada infeksi HIV
disebabkan oleh akivasi imun secara umum (general state of immune activation), dan
independent terhadap viral load.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa aktivasi limfosit T CD4+ oleh
antigen tertentu dapat menimbulkan apoptosis. Banda, dkk (1992) membuktikan
bahwa ikatan silang (cross linked) envelove glycoprotein dari HIV, gp120 dengan
anti-gp120 pada pada reseptor CD4 limfosit diikuti oleh ikatan antigen yang terikat
MHC class II (MHC class II restricted antigen) pada T Cell Receptor (TCR)
menyebabkan aktivasi sel T CD4+ yang menyebabkan terjadinya apoptosis atau
programmed cell death. Data ini menunjukkan bahwa hanya dengan konsentrasi
pikomolar dari gp120 menyebabkan activation-induced cell death. Kematian sel ini
memberikan gambaran yang karakteristik untuk apoptosis, seperti perubahan
histologik dari inti sel dan kondensasi sitoplasma serta fragmentasi DNA. Fakta ini
didukung oleh penelitian Groux, dkk (1992) yang menunjukkan bahwa rangsangan
pada TCR oleh MHC class II dependent antigen menyebabkan kematian sel T CD4+
yang aktif dengan gambaran biokimia dan ultrastruktural dari apoptosis. Activationinduced cell death terjadi terutama pada sel limfosit T CD4+ dan kematian sel ini
tidak tampak pada kontrol yang seronegatif HIV walaupun dengan infeksi akut
maupun kronis. Terjadinya Activation induced cell death dapat dicegah dengan
pemberian cyclosporin A.
Organ limfoid adalah reservoir utama HIV, dan monosit serta makrofag
adalah target utama infeksi HIV. Sel limfosit T CD4+ baik yang terinfeksi maupun
tidak terinfeksi HIV akan bermigrasi menuju limfonodi saat timbulnya respon imun.
Pada keadaan ini sel limfosit CD4+ yang tidak terinfeksi akan kontak dengan APC
yang terinfeksi HIV menyebabkan aktivasi dari sel T CD4+. Setelah teraktivasi, sel T
CD4+ mengalami resirkulasi ke perifer dan mengalami apoptosis. Jadi APC seperti
monosit dan makrofag memainkan peranan penting dalam imunosupresi akibat
infeksi HIV (Cotrez, dkk., 1997).
Peranan aktivasi monosit akibat infeksi HIV dalam menyebabkan apoptosis
limfosit CD4+ dibuktikan oleh penelitian Gascon, dkk (2002). Pada penderita dengan
peningkatan ekspresi HLA-DR pada monosit memiliki jumlah limfosit T CD4+ yang
lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan penderita tanpa marker aktivasi
ini. Pada penderita yang memiliki marker aktivasi HLA-DR pada monosit yang
persisten setelah 24 minggu pemberian ARV menunjukkan jumlah limfosit T CD4+
yang tetap rendah sampai 2 tahun pengamatan dibandingkan dengan penderita tanpa
marker aktivasi yang persisten. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
aktivasi monosit yang didefinisikan dengan peningkatan ekspresi HLA-DR
berhubungan dengan penurunan jumlah limfosit T CD4+ pada infeksi HIV dan
menyebabkan respon yang buruk setelah pemberian ARV.
Gambar 2.5 Apoptosis (programmed cell death) pada infeksi HIV
Sinyal pertama oleh cross-linking molekul CD4 oleh gp120 dan anti-gp120 serta
aktivasi T cell receptor (TCR) oleh antigen maupun superantigen sebagai sinyal
kedua menyebabkan apoptosis limfosit T CD4+.
Sumber: Pantaleo G, Graziosi C, Fauci AS, 1993. The immunopathogenesis of
Human Immunodeficiency Virus infection. N Engl J Med 328: 327-35.
Peranan monosit dalam menimbulkan apoptosis diperkuat oleh penelitian
Cotrez,
dkk
(1997) yang menunjukkan bahwa apoptosis limfosit T CD4+
membutuhkan 2 sinyal dari APC, pertama stimulasi antigen pada T cell receptor
(TCR) oleh APC melalui MHC clas II dan kedua adalah protein HIV gp 120. Kedua
sinyal ini akan membuat limfosit T CD4+ yang tidak terinfeksi virus menjadi
teraktivasi dan kemudian mengalami apoptosis (gambar 2.5). Apoptosis terjadi tanpa
adanya replikasi virus dalam sel.
Lebih lanjut pada limfosit T CD4+ yang teraktivasi terjadi peningkatan
ekspresi L-selectin (CD62L) sebuah homing receptor atau reseptor pada limfosit yang
menyebabkan limfosit mengalami migrasi ke limfonodi dari sirkulasi perifer
(homing). Gambaran lalulintas sel (cell trafficking) pada infeksi HIV mengalami
perubahan). Pada lalu lintas sel yang normal sel limfosit T CD4+ naïve bermigrasi ke
dalam limfonodi dan jaringan limfoid lainnya. Jika tidak terdapat antigen akan
kembali ke dalam sirkulasi dalam 1-2 hari. Akan tetapi pada infeksi HIV sel limfosit
T CD4+ akan kontak dengan APC menyebabkan peningkatan ekspresi homing
receptor CD62L. Rangsangan reseptor ini oleh ligannya akan menyebabkan
peningkatan jumlah sel yang bermigrasi ke limfonodi, di dalam limfonodi sinyal
lainnya dari APC akan menyebabkan apoptosis sel T CD4+. Hal ini mungkin dapat
menjelaskan mengapa limfadenopati sering terjadi pada waktu yang bersamaan
dengan terjadinya penurunan jumlah limfosit T CD4+ dalam darah (Wang, dkk.,
1999; Kirschner, dkk., 2000).
2.8.2 Apoptosis sel limfosit T CD4+, peranan Fas/APO-1/CD95
Penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme biologis apoptosis menunjukkan suatu
reseptor memediasi apoptosis pada limfosit T CD4+. Data terbaru menunjukkan,
interaksi antara Fas dan FasL, bersamaan dengan aktivasi dari TCR oleh antigen
menyebabkan apoptosis pada limfosit T CD4+. Jadi, aktivasi dari limfosit oleh
antigen dibutuhkan untuk terjadinya apoptosis pada infeksi HIV yang dimediasi oleh
interaksi Fas-FasL (Wang, dkk., 1994).
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada infeksi HIV limfosit T dalam
sirkulasi memiliki derajat aktivasi yang tinggi dibandingkan dengan kontrol yang
ditunjukkan oleh peningkatan marker aktivasi. Sel T yang teraktivasi menyebabkan
peningkatan ekspresi Fas reseptor pada permukaannya. Penelitian Debatin, dkk
(1994) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan ekspresi Fas pada
sel T CD4+ dan CD8+ dibandingkan dengan kontrol. Mekanisme peningkatan ini
dapat disebabkan langsung oleh infeksi HIV atau stimulasi oleh produk HIV atau
aktivasi secara umum pada sel T.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa ekspresi Fas pada sel T CD4+ naïve
mengalami peningkatan sesuai dengan progresifitas penyakit dan mengalami
penurunan sebagai akibat terapi ARV. Bohler, dkk (2000) meneliti 37 penderita HIV
dan 12 kontrol sehat. Ekspresi Fas pada resting/naïve dan primed/memory sel T CD4+
serta CD8+ diperiksa secara kuantitatif menggunakan four-colour dan three-colour
flow cytometry. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan sel yang
mengekspresikan Fas secara kuantitatif pada resting/naïve T cells dan peningkatan
persentase CD95high primed/memory T cells sesuai dengan progresifitas penyakit.
Ekspresi Fas pada resting/naïve CD4+ cells mengalami penurunan sampai mendekati
nilai normal pada penderita dengan jumlah total limfosit T CD4+ darah perifer yang
stabil setelah 6 bulan pemberian ARV, sedangkan ekspresi Fas pada sel limfosit T
CD8+ tetap tinggi dibandingkan kontrol.
Makrofag yang terinfeksi HIV merupakan sumber dari FasL. Penelitian
menunjukkan bahwa infeksi HIV pada sel monositik tidak hanya menyebabkan
peningkatan ekspresi Fas pada permukaannya tetapi juga peningkatan produksi FasL.
Makofag dari penderita sehat juga menunjukkan peningkatan produksi FasL setelah
diinfeksi dengan HIV monositotropic strain. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa
sel makrofag yang terinfeksi HIV dan APC yang lain seperti sel dendritik tidak hanya
sebagai reservoir virus tetapi juga sumber dari FasL (Badley, dkk., 1996).
Penelitian Debatin, dkk (1994) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
ekspresi Fas secara signifikan pada sel limfosit T CD4+ dan CD8+ anak penderita
HIV dibandingkan kontrol. Yang menarik, sensitasisi terhadap Fas terutama
mempengaruhi limfosit T CD4+. Hal ini mengindikasikan bahwa kostimulasi reseptor
CD4 pada sel T oleh ikatan silang gp120-anti gp120 membuat sel T CD4+ menjadi
lebih sensitif terhadap apoptosis yang diinduksi oleh Fas dibandingkan dengan sel
limfosit T CD8+. Produk lain dari HIV, Trans-Activator Transcription (Tat), yang
diproduksi oleh sel yang terinfeksi HIV dapat melakukan penetrasi ke dalam sel yang
tidak terinfeksi dan dan bekerja seperti “toxin” menyebabkan sel menjadi
hipersensitif terhadap apoptosis yang dimediasi oleh Fas (Accornero, dkk., 1997)
(gambar2.6).
Gambar 2.6 Apoptosis limfosit CD4+ yang dimediasi oleh Fas/APO-1.
Model bagaimana produk gen HIV seperti HIV Tat dan gp120 yang diproduksi oleh
sel T CD4+ dan makrofag yang terinfeksi HIV dapat mengaktivasi sel T CD4+ yang
tidak terinfeksi menjadi sensitif terhadap apoptosis yang dimediasi oleh Fas/APO-1.
Sumber: Krammer PH, Dhein J, Walczak H, Behrmann I, Mariani S, Matiba B, Fath
M, Daniel PT, Knipping E, dkk., 1994. The role of APO-1-mediated apoptosis in the
immune system. Immunological Reviews 142: 175-91
Bagaimana mekanisme kerja sistem Fas-FasL dalam menimbulkan apoptosis
sel limfosit T? interaksi antara Fas dengan FasL adalah spesifik dalam menimbulkan
apoptosis sel. Sel T yang teraktivasi akan menghasilkan FasL/APO-1L yang akan
berinteraksi dengan Fas reseptor sel yang berada disekitarnya (bystander/neighboring
T-cell), akibat interaksi ini sel disekitarnya akan mengalami apoptosis, mekanisme ini
dikenal dengan fratricide atau bystander effect. FasL yang diproduksi sel limfosit T
yang teraktivasi dapat berinteraksi dengan Fas reseptor dan menyebabkan apoptosis
pada dirinya sendiri yang dikenal dengan autocrine suicide dan juga sel yang jauh
yang dikenal dengan paracrine death (gambar 2.7). Mekanisme paracrine death ini
dapat menjelaskan mekanisme sel limfosit T yang teraktivasi dalam menyebakan
apoptosis sel lain yang mengekspresikan Fas reseptor seperti sel eritroid progenitor
yang terpapar dengan IFN-γ (Krammer, dkk., 1994).
Gambar 2.7 Model bagaimana mekanisme kerja sistem Fas/APO-1 - FasL/
APO-1L dalam menimbulkan apoptosis
Mekanisme fratricide, paracrine death, serta autocrine suicide.
Sumber: Krammer PH, Dhein J, Walczak H, Behrmann I, Mariani S, Matiba B, Fath
M, Daniel PT, Knipping E, dkk., 1994. The role of APO-1-mediated apoptosis in the
immune system. Immunological Reviews 142: 175-91
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara peningkatan ekspresi
Fas/FasL dengan penurunan jumlah sel limfosit T CD4+ pada penderita terinfeksi
HIV. Penelitian Katsikis dkk menunjukkan bahwa terjadi peningkatan apoptosis pada
sel limfosit T CD4+ dan CD8+ penderita terinfeksi HIV dibandingkan kontrol sehat
setelah distimulasi dengan anti-Fas antibody yang kerjanya mirip FasL. Apoptosis
yang diinduksi oleh anti-Fas antibody lebih tinggi pada penderita HIV simtomatik
daripada penderita asimtomatik. Yang menarik, besarnya kejadian apoptosis pada sel
T CD4+ in vitro berkorelasi terbalik dengan jumlah total sel T CD4+ pada darah
perifer yang menunjukkan mekanisme apoptosis ini memegang peranan penting
terhadap penurunan jumlah total sel limfosit T CD4+. Sel T CD4+ memori yang
mengekspresikan L selectin (CD62L) subpopulasi yang poten dalam mengenal
antigen lebih banyak mengalami apoptosis setelah distimulasi dengan anti-Fas
antibody (Katsikis, dkk., 1995).
2.9 Status Imun Penderita Terinfeksi HIV
Patogenesis infeksi HIV ditandai dengan penurunan jumlah limfosit T CD4+. Status
imun pada penderita HIV dewasa dapat dinilai dengan mengukur jumlah absolut sel
CD4+ dan ini merupakan standar untuk menilai dan mendefinisikan beratnya
imunodefisiensi yang disebabkan infeksi HIV. Penurunan yang progresif limfosit T
CD4+ berhubungan dengan progresifitas penyakit dan peningkatan kemungkinan
infeksi opportunistik, wasting, dan kematian.
Jumlah limfosit CD4 absolut pada remaja dan dewasa berkisar antara 500
sampai 1500 sel/mm3 darah. Secara umum jumlah limfosit T CD4+ mengalami
penurunan secara progresif seiring progresifitas penyakit. Klasifikasi berdasarkan
imunologis dibagi menjadi empat antara lain: imunodefisiensi yang tidak signifikan
(no significant immunodeficiency), ringan (mild immunodeficiency), lanjut (advance
immunodeficiency), dan berat (severe immunodeficiency) (tabel 1). Dalam membuat
klasifikasi ini, remaja dan dewasa didefinisikan sebagai individu dengan umur diatas
15 tahun (WHO, 2007a). Sedangkan CDC (2008) mengklasifikasikan derajat
imunodefisiensi menjadi tiga stadium: stadium 1 (CD4+ > 500 sel/mm3), stadium 2
(CD4+ 200-499 sel/mm3), dan stadium 3/AIDS (CD4+ < 200 sel/mm3).
Tabel 3.1 Klasifikasi imunologis infeksi HIV menurut WHO (2007a)
Kemungkinan progresifitas penyakit menjadi stadium AIDS tanpa terapi ARV
mengalami peningkatan seiring peningkatan derajat imunodefisiensi (penurunan
jumlah CD4+). Infeksi opportunistik dan kondisi terkait HIV lainnya mengalami
peningkatan secara signifikan dengan jumlah limfosit CD4+ < 200 sel/mm3. Respon
terhadap ARV dipengaruhi oleh stadium imunologis saat dimulainya terapi, penderita
Derajat Immunodefisiensi
Jumlah absolut Limfosit T CD4
(sel/mm3)
> 500
Tidak ada atau tidak signifikan (none or
not significant)
Ringan (mild)
350 – 499
Lanjut (advanced)
200 – 349
Berat (severe)
< 200
yang memulai terapi ARV dengan imunodefisiensi lanjut (CD4+ > 200-350 sel/mm3)
menunjukkan outcome yang lebih baik dibandingkan dengan penderita dengan
imunodefisiensi yang lebih berat. Penderita yang memulai terapi ARV dengan CD4+
< 50 sel/mm3 memiliki risiko kematian yang lebih tinggi. Penderita yang memulai
terapi ARV dengan hanya imunodefisiensi ringan tidak memberikan keuntungan
tambahan (Bonnet, dkk., 2005).
2.10 Total Lymphocyte Count (TLC) Sebagai Marker Pengganti (Surrogate
Marker) Jumlah Limfosit T CD4+ Dalam Memulai Terapi ARV Pada
Daerah Dengan Sumber Daya Terbatas (resource-limited settings)
WHO (2006) dan Kemenkes RI (2007) telah mengeluarkan pedoman untuk memulai
terapi ARV khususnya pada daerah dengan sumber daya terbatas. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan akses terhadap terapi ARV pada penderita HIV/AIDS.
Berdasarkan pedoman ini, pada seting dimana pemeriksaan jumlah total limfosit T
CD4+ tidak tersedia atau tidak terjangkau, TLC dapat digunakan sebagai marker
pengganti untuk jumlah limfosit CD4+.
WHO dan Kemenkes RI merekomendasikan terapi ARV dapat dimulai pada
penderita HIV stadium IV menurut WHO tanpa memandang jumlah total limfosit
CD4+, stadium III WHO dengan jumlah limfosit CD4 < 350 sel/mm3, serta stadium I
atau II WHO dengan jumlah CD4 < 200 sel/mm3 pada daerah dimana pemeriksaan
jumlah limfosit CD4+ dapat dilakukan. Jika pemeriksaan jumlah limfosit CD4+ tidak
tersedia, terapi ARV direkomendasikan pada stadium III dan IV tanpa memandang
jumlah limfosit total, stadium II WHO dengan TLC < 1200 sel/mm3, sedangkan
penderita asimtomatik (stadium I WHO) tidak boleh diterapi karena pada saat ini
belum ada penanda yang lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.
Beberapa penelitian menunjukkan korelasi yang baik antara TLC dan jumlah
limfosi T CD4+ pada penderita terinfeksi HIV (Fornier dan Sosenko, 1992; Blatt,
dkk., 1993; Beck, dkk., 1996). Penelitian longitudinal juga menunjukkan TLC dan
jumlah limfosit T CD4+ merupakan marker yang sama dalam memprediksi
progresifitas penyakit (Post, dkk., 1996).
Download