1 AMBIGUITAS SAKSI PIDANA TERHADAP PELAKU - PTA

advertisement
AMBIGUITAS SAKSI PIDANA TERHADAP PELAKU POLIGAMI ILEGAL
Oleh : Febrizal Lubis, S.Ag., SH1
A. Pendahuluan.
Fenomena poligami selalu mewarnai berbagai media di tanah air setiap tahunnya.
Prilaku poligami merupakan konsumsi publik yang empuk karena dilakoni oleh beberapa
tokoh panutan di kalangan birokrasi, politisi, seniman, dan bahkan agamawan termasuk
diantaranya adalah mantan Wakil Presiden Hamzah Haz dan dai kondang Abdullah
Gymnastiar atau yang akrab disapa AA Gym dan sekarang dipertontonkan oleh Eyang Subur2
yang menurut sumber berita memiliki isteri 8 (delapan).
Berbagai sikap pro kontra yang diberikan masyarakat terhadap pelaku poligami baik
dari kalangan perempuan ataupun dari kalangan pria, dan tidak sedikit yang menentang
perilaku poligami namun tidak sedikit pula yang mendukung peraktek poligami.
Sebagian masyarakat yang menentang peraktek poligami memfokuskan pokok
permasalahan kepada kemaslahatan wanita baik dari segi mental maupun keadilan. Aspek
mental yang menjadi alasan kaum wanita menentang poligami dikarenakan peraktek poligami
menimbulkan perasaan superior dan inperior antara suami dan isteri mudanya dengan isteri
tuanya disamping tumbuhnya rasa ketergantungan ekonomi isteri tuanya kepada suaminya,
yang timbul akibat kurangnya rasa keadilan dari segi perasaan yang abstrak ataupun memang
dikarenakan suami tidak dapat mewujudkan keadilan dari segi ekonomi itu sendiri.
Kalangan masyarakat yang mendukung poligami lebih memfokuskan diri kepada
aspek hukum agama yang membolehkan peraktek poligami sampai dengan isteri keempat jika
suami sanggup menafkahi dan mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Mereka
berpahaman bahwa pernikahan poligami masih dalam wilayah ibadah, yang ketentuan rukun
dan syarat pernikahannya diatur dalam hukum agama, dan para pendukung poligami merasa
tidak wajar jika poligami dilarang oleh Negara apalagi mengancam pelaku poligami ilegal
dengan sanksi pidana dalam kategori kejahatan ringan (rechtsdeliktern).
Mayoritas masyarakat Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia mengidentikkan peraktek
poligami dengan hukum Islam. Padahal menurut data-data historis bahwa ribuan tahun
sebelum Islam turun di Jazirah Arab, masyarakat di berbagai belahan dunia telah mengenal
dan telah memperaktekkan poligami termasuk oleh masyarakat Arab yang terkenal jahiliyah.
Poligami yang berlangsung saat itu tidak ada aturan, baik dalam hal jumlah isteri maupun
syarat moralitas keadilan.
Kemudian Islam datang melakukan koreksi terhadap perilaku poligami yang
menyangkut dua hal, yaitu;
1. Membatasi jumlah isteri hanya empat, dan2. Poligami hanya dibolehkan bagi suami yang menjamin keadilan para isteri.
1
Hakim pada Pengadilan Agama Muara Labuh.
Ismail Fahmi, http://web.bisnis.com/mui-peringatkan-eyang-subur-untuk-hanyaberistri-empat, senin 22 April 2013
1
2
Perubahan drastis inilah yang diapresiasi oleh sosiolog terkenal asal Amerika yang
bernama Robert Bellah, sehingga menyebut Islam sebagai agama yang sangat modern untuk
ukuran masa itu, "it was too modern to succed"3.
Jika kita melihat berbagai hukum positip di Indonesia yang mengatur tentang poligami
liar, maka dapatlah kita ketahui bahwa perbuatan poligami liar dipandang sebagai perbuatan
pidana, akan tetapi sanksi pidana yang mengancam perbuatan poligami liar dapat berbedabeda tergantung dari peraturan mana kita memandangnya.
Jika kita memandang dari Pasal 45 kepada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 maka kita akan melihat bahwa perbuatan poligami liar hanyalah sebagai wetsdeliktern
(pelanggaran4 administratip) semata yang ancaman sanksinya denda setinggi-tinggi
Rp. 7.500.- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
Sedangkan jika kita melihat dari sudut pandang Pasal 279 Kitab Undang-udang
Hukum Pidana maka perbuatan poligami liar akan terpandang sebagai rechtsdeliktern
(perbuatan pidana kejahatan kategori ringan) dengan ancaman penjara maksimal 5 (lima)
tahun, namun jika perbuatan tersebut didasari atas kebohongan maka ancaman pidana
maksimal 7 (tujuh) tahun.
Apabila kita memandang dari sudut pandang Pasal 284 KUHPidana, maka poligami
liar bisa dikategorikan kepada delik aduan atas perbuatan overspel (zina) yang ancaman
penjara maksimal 9 (Sembilan) bulan.
Begitu juga ketika kita melihat kepada Pasal 463 Draft RUU KUHP, maka sudut
pandangnya sama dengan memandang Pasal 279 Kitab Undang-udang Hukum Pidana, yaitu
sebagai rechtsdeliktern (perbuatan kejahatan kategori ringan) yang diancam hukuman penjara
maksimal 5 tahun.
Pada Pasal 485 ayat 1 hurup (a) Draft RUU KUHP juga tidak berbeda tujuannya
dengan Pasal 284 KUHPidana yang dapat menjerat pelaku poligami liar atas pengaduan dari
isteri sahnya (delik aduan), hanya saja dalam ketentuan Pasal 485 ayat 1 hurup (a) Draft RUU
KUHP ancaman hukumannya lebih tinggi dari Pasal 284 KUHPidana yaitu hukuman penjara
maksimal 5 (lima) tahun.
Lebih menarik lagi jika kita melihat Pasal 145 Draft RUU Hukum Materil Peradilan
Agama atau disingkat dengan RUU HMPA, perbuatan poligami liar dalam Drsft RUU HMPA
ini dipandang sebagai perbuatan dengan ancaman pidana denda paling banyak Rp 6.000.000,(enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 145 Draft RUU HMPA merupakan ancaman pidana atau pelanggaran Pasal 52
ayat (1) RUU yang berbunyi “Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang wajib
mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan”. Ayat (2) “Pengajuan permohonan izin
3
Siti Musdah Mulia, “Islam Menggugat Poligami” Jakarta, 2005, Gramedia, hal 76.
Secara umum peggolongan peristiwa pidana itu ada dua golongan yaitu, Kejahatan dan
Pelanggaran. Dalam historis undang-undang pidana sendiri dikenal tiga golongan seperti yang
disebut dalam code penal di negeri Belanda dan Hindia Belanda sebelum tahun 1886 dengan
1918 yaitu Crimes (Kejahatan), delict (kejahatan ringan) dan contraventions (pelanggaran),
lihat, J.E. Jonkers, 1987,
2
4
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan”. Ayat (3) “Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat
tanpa izin dari Pengadilan, tidak mempunyai kekuatan hukum”. Artinya adalah perbuatan
poligami liar tidak lagi dipandang hanya sebagai perbuatan pelanggaran administratip semata
(wetsdeliktern), tapi sudah ditingkatkan menjadi perbuatan pidana kejahatan ringan
(rechtsdeliktern) dengan ditentukannya sanksi hukuman kurungan maksimal 6 (enam) bulan
sebagai pilihan hukuman atas perbuatan poligami liar dimaksud.
Dari permasalahan diatas, penulis menemukan sikap ambiguitas pemerintah dalam
memandang perbuatan poligami liar. Keraguan dan ketidak tegasan Pemerintah dalam
memandang perbuatan poligami liar berimplikasi terhadap sanksi pidana yang melekat
terhadap perbuatan tersebut, anehnya sanksi pidana yang melekatpun berbeda-beda tergantung
dari sudut peraturan mana kita memandangnya.
Berdasarkan permasalahan diatas, sebenarnya sangat banyak pertanyaan-pertanyaan
yang melintas dibenak penulis, akan tetapi dalam tulisan yang singkat ini penulis hanya akan
mengangkat beberapa permasalahan saja yaitu:
1. Apakah unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 40 kepada PP No 9 Tahun 1975 sama
dengan unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 52 RUU HMPA?
2. Apakah unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 279 KUHP sama dengan unsur-unsur
yang terkandung di dalam Pasal 463 Draft RUU KUHP?
3. Apakah perbuatan poligami liar dapat disebut sebagai perbuatan zina sebagaimana
ancaman pidana yang disebut didalam Pasal 485 ayat 1 hurup (a) Draft RUU KUHPidana?
B. Pengertian Poligami
Poligami berasal dari bahasa latin, poligamia (poli dan gamia)5 atau gabungan kata dari
bahasa poly dan gamy dari akar kata polus (banyak)6 dan gamos (kawin).7 Secara harfiah
poligami adalah perkawinan banyak. Secara terminologi berarti suatu perkawinan lebih dari
satu isteri, suami atau pasangan yang dilakukan pada satu waktu (bersamaan).8
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, poligami dinyatakan sebagai istilah bagi sistem
perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam
waktu bersamaan.9
Jika menilik defenisi diatas, terlihat bahwa poligami mencakup pengertian perkawinan
lebih dari satu, baik yang dilakukan pria dan wanita. Sedang khusus yang dilakukan pria lebih
tepat diistilahkan dengan poligami,10 dan untuk wanita selalu diistilahkan dengan poliandri,
5
Morris, William, 1979, the Heritage Illustrased Dictionary of the english language,
Boston, Hougthon Mifflin Company, hal 1016.
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Poerwadarminta, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, hal
390.
10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1986, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
edisi ketiga, Jakarta, Balai Pustaka, hal. 885.
3
yaitu seorang wanita yang memiliki beberapa suami dalam waktu bersamaan. 11 Namun istilah
poligami untuk menyatakan laki-laki yang memiliki beberapa banyak isteri sudah demikian
populer. Sepertinya karena demikian populernya, maka kamus bahasa Indonesia yang disusun
Poerwadarminta mengartikan poligami dengan laki-laki beristeri lebih dari seorang.12
C. Faktor Sosiologis Poligami.
Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan
Logos berarti ilmu pengetahuan. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan tentang masyarakat.
Sedangkan masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki
kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi merupakan ilmu untuk mempelajari
perilaku masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang
dibangunnya.
Komunitas masyarakat saling berhubungan dan berinteraksi berdasarkan norma-norma
yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Norma-norma yang merupakan hukum yang dipatuhi
oleh masyarakat Indonesia, lebih dominan terbentuk berdasarkan norma-norma agama. Tradisi
dan budaya bangsa Indonesia tidak pernah lepas dari ajaran agama yang telah mengkristal
seiring dengan masuknya berbagai ajaran agama ke bumi nusantara yang selanjutnya terwujud
dalam sila pertama Pancasila.
Masuknya agama Islam ke bumi nusantara dengan berdirinya Kerajaan kerajaan Islam
pada akhir abad ke 13 M, telah menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang dipatuhi oleh
komunitas masyarakat muslim Indonesia sejak berabad-abad silam sampai saat ini, karena
Islam sebagai tauhid dan Islam sebagai hukum ibarat dua sisi mata uang yang tidak
terpisahkan. Hukum Islam telah banyak memberikan kontribusi positip atas terbentuknya
pranata sosial yang lebih baik termasuk mengatur tata cara berpoligami.
Peraktek poligami sudah membudaya sebelum Islam datang. Beberapa peradaban besar
seperti Yunani, Romawi, India dan Cina telah lama mentradisikan poligami. Bangsa Romawi
telah terbiasa menikahi banyak perempuan dengan jumlah tidak terbatas. Bahkan di India,
praktek poligami sangat disenangi terutama di kalangan kerajaan, pembesar dan orang-orang
kaya. Di Cina, seorang laki-laki berhak mengawini beberapa wanita jika istri pertama mandul.
Di kalangan Bangsa Mesir Kuno, poligami dianggap hal yang wajar asalkan calon suami
berjanji akan membayar sejumlah uang yang cukup banyak kepada istri pertama. 13
Agama Islam dengan segala dimensinya bukan lahir di ruang hampa. Agama Islam
diturunkan untuk dipeluk oleh manusia yang berbudaya. Islam juga berbicara soal poligami,
11
W.J.S. Poerwadarminta, Op-cit, hal. 763.
Ibid.
13
M. Ahnan dan Ummu Khoiroh, M.A, Poligami di Mata Islam, Surabaya: Putra
Pelajar, Cet.I, 2001, hlm.162-164. Praktek poligami telah dilakukan sejak dahulu oleh Bangsa
Israel, terutama Suku Karait, tanpa memberikan batasan. Bangsa Israel memandang wanita
tidak berharga, pembantu atau budak dan mereka tidak berhak atas pembagian tirkah. Hal ini
dilakukan juga oleh bangsa Hindu, Israel, Persia, Arab Jahiliah, Romawi, Eropa dan Asia
Barat. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jil.4, Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, Cet.I, 1993, hlm.107
4
12
namun, Islam tidak secara tegas dan langsung menghapus praktek poligami, mengingat ia
telah mengakar kuat di kalangan masyarakat saat itu. Dalam Islam kebolehan poligami
dibatasi sampai empat. Ini berbeda dengan tradisi bangsa lain. Pembatasan ini adalah bentuk
penghormatan terhadap perempuan. Jadi tidak benar bahwa Islam melegalkan poligami hanya
untuk menindas dan mendiskriminasikan hak-hak perempuan. 14
Poligami dalam hukum Islam atau dikenal dengan ta`addud zawaj pada dasarnya
mubah atau boleh. Bukan wajib juga bukan sunnah (anjuran). Karena melihat siyaqul-ayah
memang mensyaratkan harus adil. Dan keadilan itu yang tidak dimiliki semua orang. Allah
SAW berfirman surat an-Nisa” ayat 3 yang artinya:
“Dan jika takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi, dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (surat an-Nisa” ayat 3)”.15
Syarat utama poligami dalam hukum Islam adalah mampu berlaku adil terhadap isteri,
ketentuan persyaratan ini juga terdapat di dalam UU Perkawinan No. 1/1974 dan PP No.
9/1975, begitu juga beberapa ketentuan khusus yang termuat dalam PP No. 10/1983 tentang
ijin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Oleh karenanya umat Islam di
Indonesia dapat mempergunakan undang-undang tersebut sebagai ketentuan yang harus
dipedomani.
Meskipun berbagai hukum positip terutama UU Nomor 1 Tahun 1974 jo, PP Nomor 9
Tahun 1975 tidak melarang suami untuk berpoligami dengan syarat harus ada izin dari isteri
terdahulu serta melengkapi persyaratan lainnya untuk menjamin sikap adil dalam berpoligami
dan selanjutnya mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama, namun masih banyak
masyarakat terutama tokoh masyarakat dan tokoh agama yang enggan untuk melewati
prosedur tersebut dan lebih memilih untuk berpoligami tanpa tercatat atau lebih popular
disebut dengan liar.
Faktor-faktor sosiologis yang mempengaruhi sikap tokoh masyarakat atau tokoh
agama dimaksud tidak terlepas dari faktor sosiologis masyarakatnya yang memandang bahwa
tokoh masyarakat tersebut terutama tokoh agama adalah orang yang suci dan lebih
mengetahui permasalahan agama.
Bukan sedikit diantara masyarakat yang merasa bangga jika puterinya dipinang oleh
seorang tokoh agama meskipun pernikahan puterinya dilaksanakan tanpa tercatat, yang
penting ada kepuasan tersendiri bagi mereka jika puterinya mendapat tempat yang terhormat
14
Bangsa Yunani menyekap para wanita dan memperjualbelikannya. Dalam peradaban
Romawi wanita sepenuhnya berada dalam kekuasaan ayah, setelah menikah dalam kekuasaan
suami. Dalam peradaban Hindu dan Cina hak hidup wanita harus berakhir pada saat kematian
suaminya. Dalam ajaran Yahudi martabat wanita sama dengan pembantu. Dan dalam
pandangan pemuka nasrani wanita adalah senjata iblis untuk menyesatkan manusia. M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet.XI, 2000, hlm.296-297
15
Departemen Agama RI, 1985, al-Qur’an dan Terjemahannya, hal. 115.
5
di tengah-tengah masyarakat dan tidak melarat. Kebanggaan orang tua jika puterinya dapat
menjadi madu seorang tokoh agama meskipun tidak tercatat bukan tanpa alasan, sebagai orang
yang awam tentu masyarakat berharap mendapatkan berkah dari pernikahan puterinya dengan
tokoh agama tersebut, dan juga mengharapkan garis keturunan yang bersih setidak-tidaknya
memiliki cucu yang kelak dapat mewarisi kealiman dan kewibawaan tokoh agama tersebut.
Disamping faktor sosiologis diatas, masih banyak faktor-faktor lain yang menjadi alasan
suami berpoligami secara ilegal, sehingga hukum yang diharapkan sebagai rekayasa social
(social engineering) tidak dapat berjalan efektip karena masih ada disparitas antara hukum
sebagai kaidah (law in books) dengan norma yang hidup ditengah masyarakat (law in action).
D. Sekilas Pengertian Kejahatan dan Pelanggaran.
Menurut
Prof.
Moeljatno,
S.H
Hukum
Pidana
merupakan
bagian
dari
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan untuk16:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar laranganlarangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pemidanaan itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Secara teoritis memang sulit untuk membedakan antara kejahatan dengan pelanggaran,
istilah kejahatan berasal dari kata “jahat” yang artinya sangat tidak baik, sangat buruk sangat
jelek yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. Kehatan berarti mempunya sifat
yang jahat atau perbuatan yang jahat. Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP di
bagi atas kejahatan dan pelanggaran (overtredingen) dimana buku II KUHP (Pasal 1004
KUHP-Pasal 488 KUHP) mengatur mengenai kejahatan dan Buku III KUHP (Pasal 489
KUHP-569 KUHP) mengatur tentang pelanggaran.
Kejahatan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum,
sedangkan pelanggaran merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan
yang ditentukan oleh penguasa Negara17.
Pelanggaran yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat
diketahui setelah ada wet (Perbuatan yang oleh umum baru disadari bahwa dapat dipidana
karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena adanya undang-undang yang
mengancam perbuatan tersebut dengan pidana) yang menentukan demikian. 18
Setiap perbuatan melanggar hukum oleh subyek hukum yang bersifat memaksa dapat
dikenakan sanksi. Surojo Wignjodipuro menyebutkan, sanksi itu sebagai satu wujud akibat
16
17
Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Bandung, 2008, Hal. 1
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Ghalia Indonesia, 1982,
hal. 96
18
Moeljatno Op. cit., hal 78.
6
hukum yang disebabkan tindakan melawan atau melanggar hukum. 19 Sementara E. Utrecht
menyebutkan sebagai akibat sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau
organisasi sosial) atas sesuatu perbuatan.20
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 1 ayat (1) menjelaskan tiada
sesuatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas aturan pidana dalam Undang-undang
yang terdahulu dari perbuatan itu. 21 Penjelasan antara delik dan pelanggaran overtredingen
penggabungannya tidak semudah menggabungkan antara batasan delik dan pelanggaran.
Karena yang demikian itu juga masih diperdebatkan oleh ahli hukum. Namun didalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dijelaskan delik pelanggaran itu adalah satu bagian dari
beberapa jenis perbuatan melawan hukum yang dapat dikenakan sanksi bagi pelaku
perbuatan.22
Para ahli hukum sependapat bahwa delik pelanggaran dan delik kejahatan itu tidak
bersifat kualitatif, akan tetapi perbedaannya hanya sekedar kuantitaif. Maksudnya, delik
kejahatan pada umumnya mempunyai ancaman yang lebih berat dari pada pelanggaran. Ini
berarti delik pelanggaran adalah perbuatan melawan hukum yang mempunyai hukuman
pidana ringan. 23 Crentzberg menambahkan, pelanggaran ditujukan kepada larangan atau
keharusan yang telah diadakan untuk kepentingan bersama. 24
E. Delik Pidana Poligami Ilegal dan Sanksi hukumnya
Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan
apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang
dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya25
Sedangkan kata delik berasal dari bahasa Latin, yakni delictum, yang didalam Wetboek
van Strafbaar feit Nederland dinamakan Strafbaar feit. Dalam bahasa Jerman disebut delict,
dalam bahasa Perancis disebut delit, dan dalam bahasa Belanda disebut delict.
Unsur-unsur delik yang dikemukakan oleh Satochid Kartanegara26 terdiri dari unsur
objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia,
yaitu berupa:
1. Suatu tindakan;
19
Surojo Wignjodipuro, 1982, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Gunung Agung, hal 69
E. Utrecht, 1982, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (sadaran) Moh. Saleh Djindang,
Jakarta, Ichtiar Baru, hal. 8
21
R. Soesilo, 1980, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor , Politeia, hal 23
22
Roeslan Saleh, 1968, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana, Jakarta, Centra,
hal 3, lihat juga Wirdjono Prodjodikoro, op. cit, hal 28. sifat melawan hukum dari suatu perbuatan
dijadikan dasar seseorang dapat dihukum atau tidak. Pembentukan Undang-undang sendiri secara
umum, lebih banyak rumusan deliknya mengacu pada sifat itu. Sifat melawan hukum itu menurut
Undang-undang mempunyai 3 (tiga) unsur, yaitu 1).bertentangan dengan hukum (objectif), 2)
bertentangan dengan hak (subjektif) orang lain dan, 3) tanpa hak.
23
Wirdjono Proidjodikoro, Op. cit, hal 30.
24
J. E. Jonkers, 1987, Handblock van Het Nederlandsche Straaftrecht, terjemahan Buku
Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta, Bina Aksara, hal 26-28.
25
Prof. DR. H. Muchsin, S.H, Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta, 2006
Hal. 84
20
26
Marpaung Laden, Asas Teori Praktek Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta 2005,
hal 10
7
2. suatu akibat dan;
3. keadaan (omstandigheid)
Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Unsur obyekti berasal dari luar diri manusia yaitu:
1. Memenuhi unsur-unsur dalam UU artinya bahwa perbuatan tersebut merupakan suatu
perbuatan yang dilarang oleh UU. Jika perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak
memenuhi rumusan UU atau belum diatur dalam suatu UU maka perbuatan tersebut
bukanlah perbuatan yang bisa dikenai ancaman pidana;
2. Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melawan hukum;
3. Tidak ada alasan pembenar, artinya bahwa meskipun suatu perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku memenuhi unsur dalam UU dan perbuatan tersebut melawan hukum, namun jika
terdapat “alasan pembenar”, maka perbuatan tersebut bukan merupakan “perbuatan
pidana”.
Sedangkan Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa :
1. Kemampuan(toerekeningsvatbaarheid);
2. Kesalahan (schuld)”.
Dalam unsur subyektif ini mengatakan bahwa dalam hukum pidana mesti ada si pelaku
atau orang. Dalam unsur subyektif ini harus memenuhi syarat-syarat. Dimulai dari mampu
bertanggung jawab dan orang tersebut merupakan orang yang waras, bukan orang gila, dan
tidak dalam pengampuan atau dibawah umur.
Perbuatan poligami diperbolehkan apabila telah memenuhi persyaratan sebagaimana
disebutkan didalam Pasal 3 ayat (3), Pasal 4 dan Pasal 5 UUP. Apabila ketentuan tersebut
dilanggar maka pelaku poligami ilegal diancam dikenakan sanksi pidana kategori pelanggaran
sebagaimana diatur Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Ketentuan sanksi pidana yang diatur didalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 merupakan peristiwa pidana yang digolongkan kepada jenis pidana pelanggaran
(contraventions) bukan peristiwa pidana yang digolongkan kepada kejahatan ringan
(rechtsdeliktern). Ancaman Sanksi bagi Pelaku yang melanggar ketentuan Pasal 3, 10 ayat (3)
dan Pasal 40 PP No 9 tahun 1975 inipun tergolong ringan yaitu hanya sanksi dengan ancaman
denda setinggi-tinggi Rp. 7.500.- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
UUP juga mengatur mengenai hal-hal yang menjadi penghalang bagi seorang suami
yang ingin berpoligami yang terdapat dalam Pasal 9, 15 dan, 24 yaitu sebagai berikut:
1. Pasal 9 UUP yang berbunyi “Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang
lain tidak dapat kawin lagi kecuali hal yang tersebut pada Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4
undang-undang ini;
2. Pasal 15 UUP yang berbunyi “Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat
dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan yang
dapat mencegah perkawinan yang baru”;
8
3. Pasal 24 UUP yang berbunyi “Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya
dengan salah satu pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan
pembatalan perkawinan”.
Selanjutnya pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa
Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan
Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima
ratus rupiah). Ketentuan Pasal 40 yang dimaksud pada Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975
adalah “Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan”.
Ketentuan Pasal 45 atas pelanggaran terhadap Pasal 40 dimaksud berkaitan dengan
ketiadaan izin poligami dari Pengadilan, sehingga perbuatan poligami yang dilakukan secara
liar (tanpa izin pengadilan) dapat dikenakan sanksi pidana berupa membayar denda setinggitingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).
Dari unsur-unsur pasal dimaksud dapatlah diketahui bahwa larangan terhadap poligami
bukan terletak kepada hukum pernikahannya, tapi terletak kepada syarat administrasi yang
harus terpenuhi terlebih dahulu yang dibuktikan dengan adanya penetapan dari pengadilan.
Unsur-unsur yang terdapat didalam Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 tidak jauh berbeda
dengan rumusan pasal yang terdapat Draft RUU Hukum Materil Pengadilan Agama.
Ketentuan Pasal 145 Draft RUU HMPA menyebutkan bahwa “Setiap orang yang
melangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa mendapat izin
terlebih dahulu dari Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman
kurungan paling lama 6 (enam) bulan”.
Berdasarkan redaksi Pasal 145 Draft RUU HMPA dapatlah diketahui bahwa perbuatan
poligami sama sekali tidak dilarang selama suami yang ingin berpoligami mendapatkan izin
dari pengadilan. Perbuatan poligami yang dilakukan secara illegal (tanpa izin pengadilan)
dapat dikenakan sanksi pidana berupa delik pidana pelanggaran dengan sanksi yang sedikit
lebih tinggi dari ketentuan Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 yaitu membayar denda paling
banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam)
bulan.
Berbeda halnya dengan ketentuan sanksi pidana atas perbuatan yang diatur di dalam
Pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan Pasal 279 Kitab Undangudang Hukum Pidana memandang perbuatan poligami ilegal yang telah ditetapkan oleh
Undang-undang sebagai perbuatan pidana kategori kejahatan ringan (rechtsdeliktern) yang
dapat diancam sanksi pidana.
Pasal 279 ayat (1) KUHP menjelaskan sebagai berikut, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun:
1. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
9
2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.
Sebelum kita melihat unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 279 ayat (1) KUHP,
alangkah baiknya kita mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan perstiwa pidana. Peristiwa
pidana yaitu setiap perbuatan yang melanggar peraturan hukum pidana yang akan diancam
dengan hukuman tertentu dengan Undang-undang dimana seseorang itu dapat dipersalahkan
dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian unsur-unsur yang harus terpenuhi untuk menilai suatu tindak pidana
yaitu:
1. Adanya perbuatan, termasuk tidak berbuat;
2. Perbuatan tersebut melanggar ketentuan pidana;
3. Perbuatan tersebut diancam hukuman pidana;
4. Dilakukan orang tertentu dengan bersalah;
5. Orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Unsur-unsur yang terdapat didalam pasal 279 ayat (1) KUHP yaitu:
1.
Unsur Subyektif yaitu “barang siapa”. Barangsiapa ini menyebutkan orang sebagai
subyek hukum yanng dapat dimintai pertanggungjawaban didepan hukum. Unsur
“barangsiapa” harus memenuhi kecakapan hukum baik secara hukum pidana maupun
secara perdata.
2.
Unsur Obyektif yaitu;
a. Mengadakan perkawinan.Unsur ini menyebutkan seorang suami yang menikah lagi
dengan wanita lain yang perkawinannya dipandang sah menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu sebagaimana maksud Pasal 2 ayat (1) UUP);
b. Mengetahui perkawinan-perkawinannya yang telah ada. Unsur ini menyebutkan
seorang suami yang melakukan perbuatan sebagaimana disebutkan pada hurup (a), tapi
ia secara sadar mengetahui bahwa ia sedang dalam ikatan perkawinan sebagaimana
maksud Pasal 2 ayat (2) UUP;
c. Mengetahui perkawinan-perkawinan pihak lain. Unsur ini menyebutkan calon
mempelai pasangannya mengetahui bahwa calon pasangannya masih dalam ikatan
perkawinan yang sah sesuai maksud Pasal 2 ayat (2) UUP;
d. Adanya penghalang yang sah. Unsur ini menyebutkan bahwa kedua calon mempelai
memang sudah mengetahui bahwa perkawinan yang akan mereka langsungkan
memiliki halangan yang sah, karena calon suaminya masih dalam ikatan perkawinan
yang sah.
Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung didalam Pasal 279 KUHP maka dapatlah
kita ketahui bahwa Pasal 279 KUHP bukan mengancam atau melarang seorang suami untuk
berpoligami, Pasal tersebut hanya mengancam perbuatan poligami yang dilakukan secara liar.
Apabila unsur adanya “halangan yang sah” tidak terbukti dengan adanya izin poligami dari
pengadilan maka gugurlah ancaman pidana dimaksud.
10
Hanya saja memang pasal 279 KUHP memandang perbuatan poligami secara liar
bukan sebagai perbuatan pidana kategori pelanggaran, akan tetapi memandang perbuatan
tersebut sebagai perbuatan pidana kategori kejahatan.
Perbedaan ancaman sanksi pidana dalam memandang perbuatan poligami liar
sebagaimana yang diatur didalam Pasal 45 PP No 9 tahun 1975 dengan Pasal 279 KUHP
dikarenakan perbedaan norma-norma dalam ikatan perkawinan yang diadopsi kedalam hukum
positip dimaksud. Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 memandang perbuatan poligami liar
hanyalah sebagai perbuatan pelanggaran administratip semata, hukum dasar perkawinan
poligami itu sendiri adalah boleh dan sah jika rukun dan syarat nikah sudah terpenuhi.
Undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 memandang perkawinan sebagai perbuatan
untuk
melaksanakan
administratip.
ibadah,
Ketentuan
sedangkan
poligami
pencatatan
dipandang
sah
perkawinan
selama
hanyalah
ketentuan
bersifat
agama
dan
kepercayaannya itu terpenuhi, dan apabila perbuatan poligami tersebut dilaksanakan tanpa
adanya penetapan izin dari pengadilan, maka sanksi yang diberikan kepada pelaku poligami
yang melanggar ketentuan tersebut dikenakan sanksi kategori pelanggaran.
Sudut pandang hukum tersebut terbentuk didasari norma-norma hukum perkawinan
Islam yang diadopsi kedalam UUP. Perkawinan dalam konsep UUP tidak hanya dilihat dari
segi hubungan keperdataan saja, juga harus memperhatikan segi-segi agama adat istiadat dan
motif-motif yang mendorong perkawinan tersebut. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 tidak menganut asas Monogami mutak, artinya seorang suami diperbolehkan beristeri
lebih dari satu dengan syarat harus mendapat izin dari pengadilan.
Akan berbeda sudut pandang hukum jika melihat pelanggaran poligami dari sudut
pandang Pasal 279 KUHP. Perbedaan sudut pandang hukum pada Pasal 279 KUHP
disebabkan Pasal 279 KUHP memandang perkawinan bukan sebagai pelaksanaan ibadah,
melainkan sebagai suatu hubungan perdata sebagaimana maksud pasal 26 BW yang
menyebutkan bahwa “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubunganhubungan perdata” (suatu perkawinan adalah sah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang
telah ditetapkan dalam UU tanpa memperhatikan segi agama, biologis, dan motif-motif yang
mendorong perkawinan itu). KUHPerdata menganut asas monogami mutlak yaitu seorang
suami hanya boleh mempunyai seorang isteri dalam waktu sama dan sebaliknya.
Perbedaan sudut pandang hukum atas perbuatan poligami liar yang terdapat didalam
redaksi pasal 279 KUHP dengan redaksi Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 masih dapat
dimaklumi, karena KUHP berusia lebih tua dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia
merupakan terjemahan dari Het Wetboek van Strafrecht, atau lazim disingkat dengan nama
WvS melalui Staatsblad Tahun 1915 Nomor 732, kemudian diberlakukan setelah zaman
kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946.
Namun penulis merasa aneh jika ternyata redaksi yang sama muncul kembali ke dalam
Pasal 463 Draft RUU KUHP sebagai berikut;
11
1. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling
banyak Kategori IV, setiap orang yang :
a. melangsungkan perkawinan, padahal diketahui bahwa perkawinan atau perkawinanperkawinannya yang ada menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan
perkawinan tersebut; ataub. melangsungkan perkawinan, padahal diketahui bahwa perkawinan atau perkawinanperkawinan dari pihak lain menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan
perkawinan tersebut.
2. Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menyembunyikan
kepada pihak yang lain bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang ada
menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan perkawinan tersebut, maka dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori IV.
Dengan munculnya rumusan yang sama dari Pasal 284 KUHP ke dalam Pasal 463
Draft RUU KUHP, maka ambiguitas sanksi pidana terhadap pelaku poligami liar belum dapat
terselesaikan, dan akan terus menjadi perdebatan panjang selama sudut pandang yang
dipergunakan dalam memandang hukum perkawinan masih berbeda.
F. Penerapan Pasal 284 KUHP
Akan lebih menarik jika kemudian terjadi suatu kasus dimana seseorang yang telah
menikah secara resmi berdasarkan UUP, kemudian menikah lagi secara sirri dengan wanita
lain tapi tidak tercatat, kemudian mengkaitkan perbuatan tersebut kedalam Pasal 284
KUHPidana sebagai perbuatan zina. Unsur-unsur yang terdapat didalam Pasal 284
KUHPidana yaitu 1. Seorang Pria/wanita, 2. Telah kawin, 3. Melakukan Mukah/overspel
(hubungan kelamin diluar nikah, khusus bagi pihak yang terikat perkawinan dengan orang
lain).
Selain pelaku poligami ilegal diancam dengan ketentuan Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun
1975 sebagai pidana pelanggaran (contraventions), ancaman pidana terhadap pelaku poligami
juga terdapat didalam Pasal 279 KUHP sebagai perbuatan pidana kejahatan kategori ringan
(rechtsdeliktern), bahkan perbuatan poligami liar dapat diancam dengan ketentuan Pasal 284
KUHP sebagai perbuatan overspel (mukah/zina). 27
Pasal 284 KUHPidana menyebutkan sebagai berikut;
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
l. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),padahal diketahui
bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa
Pasal 27 BW berlaku baginya;
27
Sebagai contoh : Putusan Pengadilan Negeri Luwuk No. 47/Pid. B/2006/PN. LWK.
tanggal 13 Nopember 2006
12
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa
yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku
baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan
bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti
dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
Adapun ketentuan pasal 27 BW menyebutkan bahwa “pada waktu yang sama, seorang
lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja, dan seorang
perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja”, ketentuan ini menganut azas monogami
tertutup.
Penulis tidak sepakat terhadap pendapat yang memandang bahwa poligami liar sebagai
perbuatan overspel (zina) dan menghubungkan perbuatan poligami liar dengan unsur-unsur
yang terdapat didalam Pasal 284 KUHPidana, karena penulis berpendapat bahwa norma
hukum perkawinan yang terkandung didalam Pasal 284 KUHP berasal dari norma hukum
perkawinan yang terkandung didalam Pasal 27 BW.
Pasal 27 BW menyebutkan “pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat
perkawinan dengan satu orang perempuan saja, dan seorang perempuan hanya dengan satu
orang lelaki saja”. Ketentuan Pasal 27 BW mengartikan bahwa perkawinan menganut azas
monogami tertutup, sehingga tepatlah jika kemudian Pasal 284 KUHPidana memandang
perbuatan poligami sebagai perbuatan overspel (zina), apalagi jika mengingat ketentuan
norma yang terdapat didalam BW pada mulanya di terapkan untuk orang Eropa berdasarkan
Stb. 1847 Nomor 23 bukan untuk golongan Bumi Putera yang tunduk kepada hukum Islam.
Stb. 1847 Nomor 23 menyebutkan bahwa BW berlaku untuk:
a. Orang-orang Eropa : Orang Belanda,Orang yang berasal dari Eropa, Orang Jepang, Orang
Amerika Serikat, Kanada, afrika Selatan dan australia berikut anak-anak mereka;
b. Orang-orang yang dipersamakana dengan Orang Eropa, yakni : mereka yg pada saat Bw
berlaku memeluk agama Kristen;
c. Orang-orang Bumiputera turunan Eropa.
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang
bersifat unifikasi (berlaku penerapannya untuk semua golongan), maka norma yang terdapat
didalam Pasal 284 KUHPidana seharusnya sudah tidak sesuai, karena UUP tidak menganut
azas monogami tertutup tetapi menganut azas monogami terbuka, dan norma-norma hukum
perkawinan yang terdapat didalam UUP tidak lagi memandang perkawinan sebagai hubungan
keperdataan saja, tetapi memandang perkawinan sebagai suatu perbuatan untuk melaksanakan
ibadah.
Ketentuan azas monogami terbuka diatur di dalam Pasal 3 UUP ayat (1) yaitu “Pada
asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh
13
memiliki seorang suami” ayat (2 ) nya menyebutkan bahwa “Pengadilan, dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan.”.
Meskipun Pasal 27 BW dengan Pasal 3 ayat 1 UUP memiliki redaksi yang hampir sama
tapi pada dasarnya memiliki norma hukum yang berbeda. Norma hukum yang terdapat
didalam Pasal 27 BW menganut larangan seorang suami memiliki isteri 2 (dua) dalam waktu
bersamaan, sehingga jika seorang suami menikah lagi dengan wanita lain, maka
perkawinannya dipandang sebagai perbuatan overspel (zina).
Sedangkan Pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 UUP tidak memandang demikian. Pasal 3 ayat 1
dan 2 UUP membuka kebolehan berpoligami dengan syarat harus memenuhi ketentuan Pasal
4 dan Pasal 5 UUP yang kedua pasal dimaksud mengatur tentang persyaratan secara
administrasi untuk berpoligami, sedangkan rukun dan syarat sah pernikahan poligami tetap
mengacu kepada Pasal 2 ayat (1) UUP yaitu (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Oleh karena ketentuan
tentang poligami didalam UUP hanya bersifat administratip, maka Pasal 45 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengancam perbuatan tersebut sebagai pidana kategori
pidana pelanggaran saja.
G. Keseimpulan
Dari pembahasan diatas penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa ketentuan Pasal 40 kepada PP No 9 Tahun 1975 dengan ketentuan yang terkandung
didalam Pasal 52 Draft RUU HMPA masih memiliki unsur-unsur yang sama, yaitu
mengancam
perbuatan
poligami
dengan
ancaman
pidana
kategori pelanggaran
(contraventions) apabila perbuatan tersebut dilakukan tanpa izin dari pengadilan. Meskipun
demikian, Pasal yang terkandung didalam 52 Draft RUU HMPA sudah meningkatkan
hukumannya dengan memberikan pilihan antara membayar denda paling banyak
Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan”;
2. Bahwa ketentuan Pasal 40 kepada PP No 9 Tahun 1975 dan Pasal 52 Draft RUU HMPA
memandang perbuatan poligami ilegal bukanlah suatu perbuatan pidana kategori kejahatan
ringan (rechtsdeliktern), karena UUP maupun RUU HMPA memandang ikatan perkawinan
bukan sekedar hubungan keperdataan semata, tapi lebih jauh lagi, yaitu memandang ikatan
perkawinan sebagai suatu perbuatan untuk melaksanakan ibadah;
3. Bahwa ketentuan Pasal 279 KUHP dan 463 Draft RUU KUHP masih memiliki unsur-unsur
yang sama, yaitu mengancam perbuatan poligami dengan ancaman pidana kategori
kejahatan ringan (rechtsdeliktern) dengan ancaman pidana hukuman penjara maksimal 5
(lima) tahun;
4. Bahwa penulis berpendapat seharusnya rumusan perkawinan yang terkandung didalam 463
Draft RUU KUHP tidak lagi merujuk kepada pasal 26 BW tapi merujuk kepada Pasal 2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sehingga perbuatan poligami tanpa izin pengadilan
tidak dipandang sebagai suatu kejahatan, cukup hanya sekedar pelanggaran.
14
5. Bahwa penulis tidak sependapat perbuatan poligami tanpa izin pengadilan dipandang
sebagai perbuatan overspel yang dapat diancam dengan ketentuan pidana Pasal 284 KUHP,
karena unsur mukah/overspel tidak sama dengan pengertian poligami, poligami tetap
merupakan perkawinan yang sah sebagaimana norma-norma yang terkandung didalam
UUP, meskipun demikian perkawinan poligami tetap harus memenuhi ketentuan dan
persyaratan sebagaimana yang telah ditentukan oleh UUP.
Saran:
1. Pihak legislator sebaiknya sudah memfokuskan untuk menyusun hukum positip yang
mengatur tentang sanksi pidana atas perbuatan pemalsuan identitas atau status perkawinan
bagi pelaku poligami, bukan sebaliknya memfokuskan dan menerapkan sanksi pidana atas
perbuatan poligami, karena perbuatan poligami dalam hukum islam masih dipandang dalam
wilayah hukum ibadah jika telah terpenuhi rukun dan syaratnya;
2. Sebaiknya Akta Nikah mencantumkan kolom status pernikahan yang keberapa baik bagi
suami ataupun isteri, sekaligus mencantumkan nama isteri yang masih dalam pernikahannya,
perbuatan pemalsuan status tersebut harus jelas dan tegas disebutkan sebagai perbuatan
pidana;
3. Hukum harus bersifat jelas dan tegas, sehingga kedepan anak-anak yang lahir dari perbuatan
poligami secara liar, dapat memperoleh haknya untuk mendapatkan pengakuan secara formil
tentang status dan nasabnya demi kepentingan pendidikan anak kedepan, karena
bagaimanapun, hukum harus melindungi hak-hak anak yang lahir dari suatu perkawinan,
karena kesalahan atas suatu perbuatan pidana dalam perkawinan, tidak dapat dilimpahkan
kepada anak yang kemudian dapat dijadikan peluang bagi orang tua untuk menghindar dari
tanggungjawabnya;
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta,1982.
2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga,
Jakarta, Balai Pustaka, 1986.
3. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, 1985.
4. E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (sadaran) Moh. Saleh Djindang, Jakarta,
Ichtiar Baru, 1982.
5. J. E. Jonkers, Handblock van Het Nederlandsche Straaftrecht, terjemahan Buku Pedoman
Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta, Bina Aksara, 1987.
6. Marpaung Laden, Asas Teori Praktek Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta 2005.
7. M. Ahnan dan Ummu Khoiroh, M.A, Poligami di Mata Islam, Surabaya, Putra Pelajar,
Cet.I, 2001.
8. Muchsin, Prof. DR. S.H, Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta, 2006
9. Morris, William, the Heritage Illustrased Dictionary of the english language, Boston,
Hougthon Mifflin Company, 1979.
10. Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Bandung, 2008.
11. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, Cet.XI, 2000.
12. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1986.
13.R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor , Politeia, 1980.
14. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana, Jakarta, Centra,
1968.
15. Siti Musdah Mulia, “Islam Menggugat Poligami” Jakarta, Gramedia, 2005.
16. Surojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Gunung Agung, 1982.
17. Ismail Fahmi, http://web.bisnis.com/mui-peringatkan-eyang-subur-untuk-hanya-beristriempat, senin 22 April 2013
16
Download