AMBIGUITAS SAKSI PIDANA TERHADAP PELAKU POLIGAMI ILEGAL Oleh : Febrizal Lubis, S.Ag., SH1 A. Pendahuluan. Fenomena poligami selalu mewarnai berbagai media di tanah air setiap tahunnya. Prilaku poligami merupakan konsumsi publik yang empuk karena dilakoni oleh beberapa tokoh panutan di kalangan birokrasi, politisi, seniman, dan bahkan agamawan termasuk diantaranya adalah mantan Wakil Presiden Hamzah Haz dan dai kondang Abdullah Gymnastiar atau yang akrab disapa AA Gym dan sekarang dipertontonkan oleh Eyang Subur2 yang menurut sumber berita memiliki isteri 8 (delapan). Berbagai sikap pro kontra yang diberikan masyarakat terhadap pelaku poligami baik dari kalangan perempuan ataupun dari kalangan pria, dan tidak sedikit yang menentang perilaku poligami namun tidak sedikit pula yang mendukung peraktek poligami. Sebagian masyarakat yang menentang peraktek poligami memfokuskan pokok permasalahan kepada kemaslahatan wanita baik dari segi mental maupun keadilan. Aspek mental yang menjadi alasan kaum wanita menentang poligami dikarenakan peraktek poligami menimbulkan perasaan superior dan inperior antara suami dan isteri mudanya dengan isteri tuanya disamping tumbuhnya rasa ketergantungan ekonomi isteri tuanya kepada suaminya, yang timbul akibat kurangnya rasa keadilan dari segi perasaan yang abstrak ataupun memang dikarenakan suami tidak dapat mewujudkan keadilan dari segi ekonomi itu sendiri. Kalangan masyarakat yang mendukung poligami lebih memfokuskan diri kepada aspek hukum agama yang membolehkan peraktek poligami sampai dengan isteri keempat jika suami sanggup menafkahi dan mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Mereka berpahaman bahwa pernikahan poligami masih dalam wilayah ibadah, yang ketentuan rukun dan syarat pernikahannya diatur dalam hukum agama, dan para pendukung poligami merasa tidak wajar jika poligami dilarang oleh Negara apalagi mengancam pelaku poligami ilegal dengan sanksi pidana dalam kategori kejahatan ringan (rechtsdeliktern). Mayoritas masyarakat Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia mengidentikkan peraktek poligami dengan hukum Islam. Padahal menurut data-data historis bahwa ribuan tahun sebelum Islam turun di Jazirah Arab, masyarakat di berbagai belahan dunia telah mengenal dan telah memperaktekkan poligami termasuk oleh masyarakat Arab yang terkenal jahiliyah. Poligami yang berlangsung saat itu tidak ada aturan, baik dalam hal jumlah isteri maupun syarat moralitas keadilan. Kemudian Islam datang melakukan koreksi terhadap perilaku poligami yang menyangkut dua hal, yaitu; 1. Membatasi jumlah isteri hanya empat, dan2. Poligami hanya dibolehkan bagi suami yang menjamin keadilan para isteri. 1 Hakim pada Pengadilan Agama Muara Labuh. Ismail Fahmi, http://web.bisnis.com/mui-peringatkan-eyang-subur-untuk-hanyaberistri-empat, senin 22 April 2013 1 2 Perubahan drastis inilah yang diapresiasi oleh sosiolog terkenal asal Amerika yang bernama Robert Bellah, sehingga menyebut Islam sebagai agama yang sangat modern untuk ukuran masa itu, "it was too modern to succed"3. Jika kita melihat berbagai hukum positip di Indonesia yang mengatur tentang poligami liar, maka dapatlah kita ketahui bahwa perbuatan poligami liar dipandang sebagai perbuatan pidana, akan tetapi sanksi pidana yang mengancam perbuatan poligami liar dapat berbedabeda tergantung dari peraturan mana kita memandangnya. Jika kita memandang dari Pasal 45 kepada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 maka kita akan melihat bahwa perbuatan poligami liar hanyalah sebagai wetsdeliktern (pelanggaran4 administratip) semata yang ancaman sanksinya denda setinggi-tinggi Rp. 7.500.- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Sedangkan jika kita melihat dari sudut pandang Pasal 279 Kitab Undang-udang Hukum Pidana maka perbuatan poligami liar akan terpandang sebagai rechtsdeliktern (perbuatan pidana kejahatan kategori ringan) dengan ancaman penjara maksimal 5 (lima) tahun, namun jika perbuatan tersebut didasari atas kebohongan maka ancaman pidana maksimal 7 (tujuh) tahun. Apabila kita memandang dari sudut pandang Pasal 284 KUHPidana, maka poligami liar bisa dikategorikan kepada delik aduan atas perbuatan overspel (zina) yang ancaman penjara maksimal 9 (Sembilan) bulan. Begitu juga ketika kita melihat kepada Pasal 463 Draft RUU KUHP, maka sudut pandangnya sama dengan memandang Pasal 279 Kitab Undang-udang Hukum Pidana, yaitu sebagai rechtsdeliktern (perbuatan kejahatan kategori ringan) yang diancam hukuman penjara maksimal 5 tahun. Pada Pasal 485 ayat 1 hurup (a) Draft RUU KUHP juga tidak berbeda tujuannya dengan Pasal 284 KUHPidana yang dapat menjerat pelaku poligami liar atas pengaduan dari isteri sahnya (delik aduan), hanya saja dalam ketentuan Pasal 485 ayat 1 hurup (a) Draft RUU KUHP ancaman hukumannya lebih tinggi dari Pasal 284 KUHPidana yaitu hukuman penjara maksimal 5 (lima) tahun. Lebih menarik lagi jika kita melihat Pasal 145 Draft RUU Hukum Materil Peradilan Agama atau disingkat dengan RUU HMPA, perbuatan poligami liar dalam Drsft RUU HMPA ini dipandang sebagai perbuatan dengan ancaman pidana denda paling banyak Rp 6.000.000,(enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Pasal 145 Draft RUU HMPA merupakan ancaman pidana atau pelanggaran Pasal 52 ayat (1) RUU yang berbunyi “Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang wajib mengajukan permohonan izin kepada Pengadilan”. Ayat (2) “Pengajuan permohonan izin 3 Siti Musdah Mulia, “Islam Menggugat Poligami” Jakarta, 2005, Gramedia, hal 76. Secara umum peggolongan peristiwa pidana itu ada dua golongan yaitu, Kejahatan dan Pelanggaran. Dalam historis undang-undang pidana sendiri dikenal tiga golongan seperti yang disebut dalam code penal di negeri Belanda dan Hindia Belanda sebelum tahun 1886 dengan 1918 yaitu Crimes (Kejahatan), delict (kejahatan ringan) dan contraventions (pelanggaran), lihat, J.E. Jonkers, 1987, 2 4 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan”. Ayat (3) “Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan, tidak mempunyai kekuatan hukum”. Artinya adalah perbuatan poligami liar tidak lagi dipandang hanya sebagai perbuatan pelanggaran administratip semata (wetsdeliktern), tapi sudah ditingkatkan menjadi perbuatan pidana kejahatan ringan (rechtsdeliktern) dengan ditentukannya sanksi hukuman kurungan maksimal 6 (enam) bulan sebagai pilihan hukuman atas perbuatan poligami liar dimaksud. Dari permasalahan diatas, penulis menemukan sikap ambiguitas pemerintah dalam memandang perbuatan poligami liar. Keraguan dan ketidak tegasan Pemerintah dalam memandang perbuatan poligami liar berimplikasi terhadap sanksi pidana yang melekat terhadap perbuatan tersebut, anehnya sanksi pidana yang melekatpun berbeda-beda tergantung dari sudut peraturan mana kita memandangnya. Berdasarkan permasalahan diatas, sebenarnya sangat banyak pertanyaan-pertanyaan yang melintas dibenak penulis, akan tetapi dalam tulisan yang singkat ini penulis hanya akan mengangkat beberapa permasalahan saja yaitu: 1. Apakah unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 40 kepada PP No 9 Tahun 1975 sama dengan unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 52 RUU HMPA? 2. Apakah unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 279 KUHP sama dengan unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 463 Draft RUU KUHP? 3. Apakah perbuatan poligami liar dapat disebut sebagai perbuatan zina sebagaimana ancaman pidana yang disebut didalam Pasal 485 ayat 1 hurup (a) Draft RUU KUHPidana? B. Pengertian Poligami Poligami berasal dari bahasa latin, poligamia (poli dan gamia)5 atau gabungan kata dari bahasa poly dan gamy dari akar kata polus (banyak)6 dan gamos (kawin).7 Secara harfiah poligami adalah perkawinan banyak. Secara terminologi berarti suatu perkawinan lebih dari satu isteri, suami atau pasangan yang dilakukan pada satu waktu (bersamaan).8 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, poligami dinyatakan sebagai istilah bagi sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan.9 Jika menilik defenisi diatas, terlihat bahwa poligami mencakup pengertian perkawinan lebih dari satu, baik yang dilakukan pria dan wanita. Sedang khusus yang dilakukan pria lebih tepat diistilahkan dengan poligami,10 dan untuk wanita selalu diistilahkan dengan poliandri, 5 Morris, William, 1979, the Heritage Illustrased Dictionary of the english language, Boston, Hougthon Mifflin Company, hal 1016. 6 Ibid. 7 Ibid. 8 Ibid. 9 Poerwadarminta, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, hal 390. 10 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1986, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Jakarta, Balai Pustaka, hal. 885. 3 yaitu seorang wanita yang memiliki beberapa suami dalam waktu bersamaan. 11 Namun istilah poligami untuk menyatakan laki-laki yang memiliki beberapa banyak isteri sudah demikian populer. Sepertinya karena demikian populernya, maka kamus bahasa Indonesia yang disusun Poerwadarminta mengartikan poligami dengan laki-laki beristeri lebih dari seorang.12 C. Faktor Sosiologis Poligami. Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Sedangkan masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi merupakan ilmu untuk mempelajari perilaku masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Komunitas masyarakat saling berhubungan dan berinteraksi berdasarkan norma-norma yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Norma-norma yang merupakan hukum yang dipatuhi oleh masyarakat Indonesia, lebih dominan terbentuk berdasarkan norma-norma agama. Tradisi dan budaya bangsa Indonesia tidak pernah lepas dari ajaran agama yang telah mengkristal seiring dengan masuknya berbagai ajaran agama ke bumi nusantara yang selanjutnya terwujud dalam sila pertama Pancasila. Masuknya agama Islam ke bumi nusantara dengan berdirinya Kerajaan kerajaan Islam pada akhir abad ke 13 M, telah menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang dipatuhi oleh komunitas masyarakat muslim Indonesia sejak berabad-abad silam sampai saat ini, karena Islam sebagai tauhid dan Islam sebagai hukum ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Hukum Islam telah banyak memberikan kontribusi positip atas terbentuknya pranata sosial yang lebih baik termasuk mengatur tata cara berpoligami. Peraktek poligami sudah membudaya sebelum Islam datang. Beberapa peradaban besar seperti Yunani, Romawi, India dan Cina telah lama mentradisikan poligami. Bangsa Romawi telah terbiasa menikahi banyak perempuan dengan jumlah tidak terbatas. Bahkan di India, praktek poligami sangat disenangi terutama di kalangan kerajaan, pembesar dan orang-orang kaya. Di Cina, seorang laki-laki berhak mengawini beberapa wanita jika istri pertama mandul. Di kalangan Bangsa Mesir Kuno, poligami dianggap hal yang wajar asalkan calon suami berjanji akan membayar sejumlah uang yang cukup banyak kepada istri pertama. 13 Agama Islam dengan segala dimensinya bukan lahir di ruang hampa. Agama Islam diturunkan untuk dipeluk oleh manusia yang berbudaya. Islam juga berbicara soal poligami, 11 W.J.S. Poerwadarminta, Op-cit, hal. 763. Ibid. 13 M. Ahnan dan Ummu Khoiroh, M.A, Poligami di Mata Islam, Surabaya: Putra Pelajar, Cet.I, 2001, hlm.162-164. Praktek poligami telah dilakukan sejak dahulu oleh Bangsa Israel, terutama Suku Karait, tanpa memberikan batasan. Bangsa Israel memandang wanita tidak berharga, pembantu atau budak dan mereka tidak berhak atas pembagian tirkah. Hal ini dilakukan juga oleh bangsa Hindu, Israel, Persia, Arab Jahiliah, Romawi, Eropa dan Asia Barat. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jil.4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet.I, 1993, hlm.107 4 12 namun, Islam tidak secara tegas dan langsung menghapus praktek poligami, mengingat ia telah mengakar kuat di kalangan masyarakat saat itu. Dalam Islam kebolehan poligami dibatasi sampai empat. Ini berbeda dengan tradisi bangsa lain. Pembatasan ini adalah bentuk penghormatan terhadap perempuan. Jadi tidak benar bahwa Islam melegalkan poligami hanya untuk menindas dan mendiskriminasikan hak-hak perempuan. 14 Poligami dalam hukum Islam atau dikenal dengan ta`addud zawaj pada dasarnya mubah atau boleh. Bukan wajib juga bukan sunnah (anjuran). Karena melihat siyaqul-ayah memang mensyaratkan harus adil. Dan keadilan itu yang tidak dimiliki semua orang. Allah SAW berfirman surat an-Nisa” ayat 3 yang artinya: “Dan jika takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (surat an-Nisa” ayat 3)”.15 Syarat utama poligami dalam hukum Islam adalah mampu berlaku adil terhadap isteri, ketentuan persyaratan ini juga terdapat di dalam UU Perkawinan No. 1/1974 dan PP No. 9/1975, begitu juga beberapa ketentuan khusus yang termuat dalam PP No. 10/1983 tentang ijin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Oleh karenanya umat Islam di Indonesia dapat mempergunakan undang-undang tersebut sebagai ketentuan yang harus dipedomani. Meskipun berbagai hukum positip terutama UU Nomor 1 Tahun 1974 jo, PP Nomor 9 Tahun 1975 tidak melarang suami untuk berpoligami dengan syarat harus ada izin dari isteri terdahulu serta melengkapi persyaratan lainnya untuk menjamin sikap adil dalam berpoligami dan selanjutnya mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama, namun masih banyak masyarakat terutama tokoh masyarakat dan tokoh agama yang enggan untuk melewati prosedur tersebut dan lebih memilih untuk berpoligami tanpa tercatat atau lebih popular disebut dengan liar. Faktor-faktor sosiologis yang mempengaruhi sikap tokoh masyarakat atau tokoh agama dimaksud tidak terlepas dari faktor sosiologis masyarakatnya yang memandang bahwa tokoh masyarakat tersebut terutama tokoh agama adalah orang yang suci dan lebih mengetahui permasalahan agama. Bukan sedikit diantara masyarakat yang merasa bangga jika puterinya dipinang oleh seorang tokoh agama meskipun pernikahan puterinya dilaksanakan tanpa tercatat, yang penting ada kepuasan tersendiri bagi mereka jika puterinya mendapat tempat yang terhormat 14 Bangsa Yunani menyekap para wanita dan memperjualbelikannya. Dalam peradaban Romawi wanita sepenuhnya berada dalam kekuasaan ayah, setelah menikah dalam kekuasaan suami. Dalam peradaban Hindu dan Cina hak hidup wanita harus berakhir pada saat kematian suaminya. Dalam ajaran Yahudi martabat wanita sama dengan pembantu. Dan dalam pandangan pemuka nasrani wanita adalah senjata iblis untuk menyesatkan manusia. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet.XI, 2000, hlm.296-297 15 Departemen Agama RI, 1985, al-Qur’an dan Terjemahannya, hal. 115. 5 di tengah-tengah masyarakat dan tidak melarat. Kebanggaan orang tua jika puterinya dapat menjadi madu seorang tokoh agama meskipun tidak tercatat bukan tanpa alasan, sebagai orang yang awam tentu masyarakat berharap mendapatkan berkah dari pernikahan puterinya dengan tokoh agama tersebut, dan juga mengharapkan garis keturunan yang bersih setidak-tidaknya memiliki cucu yang kelak dapat mewarisi kealiman dan kewibawaan tokoh agama tersebut. Disamping faktor sosiologis diatas, masih banyak faktor-faktor lain yang menjadi alasan suami berpoligami secara ilegal, sehingga hukum yang diharapkan sebagai rekayasa social (social engineering) tidak dapat berjalan efektip karena masih ada disparitas antara hukum sebagai kaidah (law in books) dengan norma yang hidup ditengah masyarakat (law in action). D. Sekilas Pengertian Kejahatan dan Pelanggaran. Menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan untuk16: 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar laranganlarangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. Menentukan dengan cara bagaimana pemidanaan itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Secara teoritis memang sulit untuk membedakan antara kejahatan dengan pelanggaran, istilah kejahatan berasal dari kata “jahat” yang artinya sangat tidak baik, sangat buruk sangat jelek yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. Kehatan berarti mempunya sifat yang jahat atau perbuatan yang jahat. Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP di bagi atas kejahatan dan pelanggaran (overtredingen) dimana buku II KUHP (Pasal 1004 KUHP-Pasal 488 KUHP) mengatur mengenai kejahatan dan Buku III KUHP (Pasal 489 KUHP-569 KUHP) mengatur tentang pelanggaran. Kejahatan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum, sedangkan pelanggaran merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara17. Pelanggaran yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet (Perbuatan yang oleh umum baru disadari bahwa dapat dipidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena adanya undang-undang yang mengancam perbuatan tersebut dengan pidana) yang menentukan demikian. 18 Setiap perbuatan melanggar hukum oleh subyek hukum yang bersifat memaksa dapat dikenakan sanksi. Surojo Wignjodipuro menyebutkan, sanksi itu sebagai satu wujud akibat 16 17 Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Bandung, 2008, Hal. 1 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Ghalia Indonesia, 1982, hal. 96 18 Moeljatno Op. cit., hal 78. 6 hukum yang disebabkan tindakan melawan atau melanggar hukum. 19 Sementara E. Utrecht menyebutkan sebagai akibat sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas sesuatu perbuatan.20 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 1 ayat (1) menjelaskan tiada sesuatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas aturan pidana dalam Undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu. 21 Penjelasan antara delik dan pelanggaran overtredingen penggabungannya tidak semudah menggabungkan antara batasan delik dan pelanggaran. Karena yang demikian itu juga masih diperdebatkan oleh ahli hukum. Namun didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dijelaskan delik pelanggaran itu adalah satu bagian dari beberapa jenis perbuatan melawan hukum yang dapat dikenakan sanksi bagi pelaku perbuatan.22 Para ahli hukum sependapat bahwa delik pelanggaran dan delik kejahatan itu tidak bersifat kualitatif, akan tetapi perbedaannya hanya sekedar kuantitaif. Maksudnya, delik kejahatan pada umumnya mempunyai ancaman yang lebih berat dari pada pelanggaran. Ini berarti delik pelanggaran adalah perbuatan melawan hukum yang mempunyai hukuman pidana ringan. 23 Crentzberg menambahkan, pelanggaran ditujukan kepada larangan atau keharusan yang telah diadakan untuk kepentingan bersama. 24 E. Delik Pidana Poligami Ilegal dan Sanksi hukumnya Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya25 Sedangkan kata delik berasal dari bahasa Latin, yakni delictum, yang didalam Wetboek van Strafbaar feit Nederland dinamakan Strafbaar feit. Dalam bahasa Jerman disebut delict, dalam bahasa Perancis disebut delit, dan dalam bahasa Belanda disebut delict. Unsur-unsur delik yang dikemukakan oleh Satochid Kartanegara26 terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu berupa: 1. Suatu tindakan; 19 Surojo Wignjodipuro, 1982, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Gunung Agung, hal 69 E. Utrecht, 1982, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (sadaran) Moh. Saleh Djindang, Jakarta, Ichtiar Baru, hal. 8 21 R. Soesilo, 1980, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor , Politeia, hal 23 22 Roeslan Saleh, 1968, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana, Jakarta, Centra, hal 3, lihat juga Wirdjono Prodjodikoro, op. cit, hal 28. sifat melawan hukum dari suatu perbuatan dijadikan dasar seseorang dapat dihukum atau tidak. Pembentukan Undang-undang sendiri secara umum, lebih banyak rumusan deliknya mengacu pada sifat itu. Sifat melawan hukum itu menurut Undang-undang mempunyai 3 (tiga) unsur, yaitu 1).bertentangan dengan hukum (objectif), 2) bertentangan dengan hak (subjektif) orang lain dan, 3) tanpa hak. 23 Wirdjono Proidjodikoro, Op. cit, hal 30. 24 J. E. Jonkers, 1987, Handblock van Het Nederlandsche Straaftrecht, terjemahan Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta, Bina Aksara, hal 26-28. 25 Prof. DR. H. Muchsin, S.H, Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta, 2006 Hal. 84 20 26 Marpaung Laden, Asas Teori Praktek Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta 2005, hal 10 7 2. suatu akibat dan; 3. keadaan (omstandigheid) Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Unsur obyekti berasal dari luar diri manusia yaitu: 1. Memenuhi unsur-unsur dalam UU artinya bahwa perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh UU. Jika perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak memenuhi rumusan UU atau belum diatur dalam suatu UU maka perbuatan tersebut bukanlah perbuatan yang bisa dikenai ancaman pidana; 2. Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melawan hukum; 3. Tidak ada alasan pembenar, artinya bahwa meskipun suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku memenuhi unsur dalam UU dan perbuatan tersebut melawan hukum, namun jika terdapat “alasan pembenar”, maka perbuatan tersebut bukan merupakan “perbuatan pidana”. Sedangkan Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat berupa : 1. Kemampuan(toerekeningsvatbaarheid); 2. Kesalahan (schuld)”. Dalam unsur subyektif ini mengatakan bahwa dalam hukum pidana mesti ada si pelaku atau orang. Dalam unsur subyektif ini harus memenuhi syarat-syarat. Dimulai dari mampu bertanggung jawab dan orang tersebut merupakan orang yang waras, bukan orang gila, dan tidak dalam pengampuan atau dibawah umur. Perbuatan poligami diperbolehkan apabila telah memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan didalam Pasal 3 ayat (3), Pasal 4 dan Pasal 5 UUP. Apabila ketentuan tersebut dilanggar maka pelaku poligami ilegal diancam dikenakan sanksi pidana kategori pelanggaran sebagaimana diatur Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Ketentuan sanksi pidana yang diatur didalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 merupakan peristiwa pidana yang digolongkan kepada jenis pidana pelanggaran (contraventions) bukan peristiwa pidana yang digolongkan kepada kejahatan ringan (rechtsdeliktern). Ancaman Sanksi bagi Pelaku yang melanggar ketentuan Pasal 3, 10 ayat (3) dan Pasal 40 PP No 9 tahun 1975 inipun tergolong ringan yaitu hanya sanksi dengan ancaman denda setinggi-tinggi Rp. 7.500.- (tujuh ribu lima ratus rupiah). UUP juga mengatur mengenai hal-hal yang menjadi penghalang bagi seorang suami yang ingin berpoligami yang terdapat dalam Pasal 9, 15 dan, 24 yaitu sebagai berikut: 1. Pasal 9 UUP yang berbunyi “Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali hal yang tersebut pada Pasal 3 Ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang ini; 2. Pasal 15 UUP yang berbunyi “Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan yang dapat mencegah perkawinan yang baru”; 8 3. Pasal 24 UUP yang berbunyi “Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan”. Selanjutnya pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah). Ketentuan Pasal 40 yang dimaksud pada Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 adalah “Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan”. Ketentuan Pasal 45 atas pelanggaran terhadap Pasal 40 dimaksud berkaitan dengan ketiadaan izin poligami dari Pengadilan, sehingga perbuatan poligami yang dilakukan secara liar (tanpa izin pengadilan) dapat dikenakan sanksi pidana berupa membayar denda setinggitingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah). Dari unsur-unsur pasal dimaksud dapatlah diketahui bahwa larangan terhadap poligami bukan terletak kepada hukum pernikahannya, tapi terletak kepada syarat administrasi yang harus terpenuhi terlebih dahulu yang dibuktikan dengan adanya penetapan dari pengadilan. Unsur-unsur yang terdapat didalam Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 tidak jauh berbeda dengan rumusan pasal yang terdapat Draft RUU Hukum Materil Pengadilan Agama. Ketentuan Pasal 145 Draft RUU HMPA menyebutkan bahwa “Setiap orang yang melangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan”. Berdasarkan redaksi Pasal 145 Draft RUU HMPA dapatlah diketahui bahwa perbuatan poligami sama sekali tidak dilarang selama suami yang ingin berpoligami mendapatkan izin dari pengadilan. Perbuatan poligami yang dilakukan secara illegal (tanpa izin pengadilan) dapat dikenakan sanksi pidana berupa delik pidana pelanggaran dengan sanksi yang sedikit lebih tinggi dari ketentuan Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 yaitu membayar denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan. Berbeda halnya dengan ketentuan sanksi pidana atas perbuatan yang diatur di dalam Pasal 279 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan Pasal 279 Kitab Undangudang Hukum Pidana memandang perbuatan poligami ilegal yang telah ditetapkan oleh Undang-undang sebagai perbuatan pidana kategori kejahatan ringan (rechtsdeliktern) yang dapat diancam sanksi pidana. Pasal 279 ayat (1) KUHP menjelaskan sebagai berikut, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun: 1. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu; 9 2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu. Sebelum kita melihat unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 279 ayat (1) KUHP, alangkah baiknya kita mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan perstiwa pidana. Peristiwa pidana yaitu setiap perbuatan yang melanggar peraturan hukum pidana yang akan diancam dengan hukuman tertentu dengan Undang-undang dimana seseorang itu dapat dipersalahkan dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian unsur-unsur yang harus terpenuhi untuk menilai suatu tindak pidana yaitu: 1. Adanya perbuatan, termasuk tidak berbuat; 2. Perbuatan tersebut melanggar ketentuan pidana; 3. Perbuatan tersebut diancam hukuman pidana; 4. Dilakukan orang tertentu dengan bersalah; 5. Orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Unsur-unsur yang terdapat didalam pasal 279 ayat (1) KUHP yaitu: 1. Unsur Subyektif yaitu “barang siapa”. Barangsiapa ini menyebutkan orang sebagai subyek hukum yanng dapat dimintai pertanggungjawaban didepan hukum. Unsur “barangsiapa” harus memenuhi kecakapan hukum baik secara hukum pidana maupun secara perdata. 2. Unsur Obyektif yaitu; a. Mengadakan perkawinan.Unsur ini menyebutkan seorang suami yang menikah lagi dengan wanita lain yang perkawinannya dipandang sah menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu sebagaimana maksud Pasal 2 ayat (1) UUP); b. Mengetahui perkawinan-perkawinannya yang telah ada. Unsur ini menyebutkan seorang suami yang melakukan perbuatan sebagaimana disebutkan pada hurup (a), tapi ia secara sadar mengetahui bahwa ia sedang dalam ikatan perkawinan sebagaimana maksud Pasal 2 ayat (2) UUP; c. Mengetahui perkawinan-perkawinan pihak lain. Unsur ini menyebutkan calon mempelai pasangannya mengetahui bahwa calon pasangannya masih dalam ikatan perkawinan yang sah sesuai maksud Pasal 2 ayat (2) UUP; d. Adanya penghalang yang sah. Unsur ini menyebutkan bahwa kedua calon mempelai memang sudah mengetahui bahwa perkawinan yang akan mereka langsungkan memiliki halangan yang sah, karena calon suaminya masih dalam ikatan perkawinan yang sah. Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung didalam Pasal 279 KUHP maka dapatlah kita ketahui bahwa Pasal 279 KUHP bukan mengancam atau melarang seorang suami untuk berpoligami, Pasal tersebut hanya mengancam perbuatan poligami yang dilakukan secara liar. Apabila unsur adanya “halangan yang sah” tidak terbukti dengan adanya izin poligami dari pengadilan maka gugurlah ancaman pidana dimaksud. 10 Hanya saja memang pasal 279 KUHP memandang perbuatan poligami secara liar bukan sebagai perbuatan pidana kategori pelanggaran, akan tetapi memandang perbuatan tersebut sebagai perbuatan pidana kategori kejahatan. Perbedaan ancaman sanksi pidana dalam memandang perbuatan poligami liar sebagaimana yang diatur didalam Pasal 45 PP No 9 tahun 1975 dengan Pasal 279 KUHP dikarenakan perbedaan norma-norma dalam ikatan perkawinan yang diadopsi kedalam hukum positip dimaksud. Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 memandang perbuatan poligami liar hanyalah sebagai perbuatan pelanggaran administratip semata, hukum dasar perkawinan poligami itu sendiri adalah boleh dan sah jika rukun dan syarat nikah sudah terpenuhi. Undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 memandang perkawinan sebagai perbuatan untuk melaksanakan administratip. ibadah, Ketentuan sedangkan poligami pencatatan dipandang sah perkawinan selama hanyalah ketentuan bersifat agama dan kepercayaannya itu terpenuhi, dan apabila perbuatan poligami tersebut dilaksanakan tanpa adanya penetapan izin dari pengadilan, maka sanksi yang diberikan kepada pelaku poligami yang melanggar ketentuan tersebut dikenakan sanksi kategori pelanggaran. Sudut pandang hukum tersebut terbentuk didasari norma-norma hukum perkawinan Islam yang diadopsi kedalam UUP. Perkawinan dalam konsep UUP tidak hanya dilihat dari segi hubungan keperdataan saja, juga harus memperhatikan segi-segi agama adat istiadat dan motif-motif yang mendorong perkawinan tersebut. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak menganut asas Monogami mutak, artinya seorang suami diperbolehkan beristeri lebih dari satu dengan syarat harus mendapat izin dari pengadilan. Akan berbeda sudut pandang hukum jika melihat pelanggaran poligami dari sudut pandang Pasal 279 KUHP. Perbedaan sudut pandang hukum pada Pasal 279 KUHP disebabkan Pasal 279 KUHP memandang perkawinan bukan sebagai pelaksanaan ibadah, melainkan sebagai suatu hubungan perdata sebagaimana maksud pasal 26 BW yang menyebutkan bahwa “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubunganhubungan perdata” (suatu perkawinan adalah sah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam UU tanpa memperhatikan segi agama, biologis, dan motif-motif yang mendorong perkawinan itu). KUHPerdata menganut asas monogami mutlak yaitu seorang suami hanya boleh mempunyai seorang isteri dalam waktu sama dan sebaliknya. Perbedaan sudut pandang hukum atas perbuatan poligami liar yang terdapat didalam redaksi pasal 279 KUHP dengan redaksi Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 masih dapat dimaklumi, karena KUHP berusia lebih tua dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia merupakan terjemahan dari Het Wetboek van Strafrecht, atau lazim disingkat dengan nama WvS melalui Staatsblad Tahun 1915 Nomor 732, kemudian diberlakukan setelah zaman kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946. Namun penulis merasa aneh jika ternyata redaksi yang sama muncul kembali ke dalam Pasal 463 Draft RUU KUHP sebagai berikut; 11 1. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV, setiap orang yang : a. melangsungkan perkawinan, padahal diketahui bahwa perkawinan atau perkawinanperkawinannya yang ada menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan perkawinan tersebut; ataub. melangsungkan perkawinan, padahal diketahui bahwa perkawinan atau perkawinanperkawinan dari pihak lain menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan perkawinan tersebut. 2. Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menyembunyikan kepada pihak yang lain bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang ada menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan perkawinan tersebut, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Dengan munculnya rumusan yang sama dari Pasal 284 KUHP ke dalam Pasal 463 Draft RUU KUHP, maka ambiguitas sanksi pidana terhadap pelaku poligami liar belum dapat terselesaikan, dan akan terus menjadi perdebatan panjang selama sudut pandang yang dipergunakan dalam memandang hukum perkawinan masih berbeda. F. Penerapan Pasal 284 KUHP Akan lebih menarik jika kemudian terjadi suatu kasus dimana seseorang yang telah menikah secara resmi berdasarkan UUP, kemudian menikah lagi secara sirri dengan wanita lain tapi tidak tercatat, kemudian mengkaitkan perbuatan tersebut kedalam Pasal 284 KUHPidana sebagai perbuatan zina. Unsur-unsur yang terdapat didalam Pasal 284 KUHPidana yaitu 1. Seorang Pria/wanita, 2. Telah kawin, 3. Melakukan Mukah/overspel (hubungan kelamin diluar nikah, khusus bagi pihak yang terikat perkawinan dengan orang lain). Selain pelaku poligami ilegal diancam dengan ketentuan Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pidana pelanggaran (contraventions), ancaman pidana terhadap pelaku poligami juga terdapat didalam Pasal 279 KUHP sebagai perbuatan pidana kejahatan kategori ringan (rechtsdeliktern), bahkan perbuatan poligami liar dapat diancam dengan ketentuan Pasal 284 KUHP sebagai perbuatan overspel (mukah/zina). 27 Pasal 284 KUHPidana menyebutkan sebagai berikut; (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: l. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya; 27 Sebagai contoh : Putusan Pengadilan Negeri Luwuk No. 47/Pid. B/2006/PN. LWK. tanggal 13 Nopember 2006 12 2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga. Adapun ketentuan pasal 27 BW menyebutkan bahwa “pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja, dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja”, ketentuan ini menganut azas monogami tertutup. Penulis tidak sepakat terhadap pendapat yang memandang bahwa poligami liar sebagai perbuatan overspel (zina) dan menghubungkan perbuatan poligami liar dengan unsur-unsur yang terdapat didalam Pasal 284 KUHPidana, karena penulis berpendapat bahwa norma hukum perkawinan yang terkandung didalam Pasal 284 KUHP berasal dari norma hukum perkawinan yang terkandung didalam Pasal 27 BW. Pasal 27 BW menyebutkan “pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja, dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja”. Ketentuan Pasal 27 BW mengartikan bahwa perkawinan menganut azas monogami tertutup, sehingga tepatlah jika kemudian Pasal 284 KUHPidana memandang perbuatan poligami sebagai perbuatan overspel (zina), apalagi jika mengingat ketentuan norma yang terdapat didalam BW pada mulanya di terapkan untuk orang Eropa berdasarkan Stb. 1847 Nomor 23 bukan untuk golongan Bumi Putera yang tunduk kepada hukum Islam. Stb. 1847 Nomor 23 menyebutkan bahwa BW berlaku untuk: a. Orang-orang Eropa : Orang Belanda,Orang yang berasal dari Eropa, Orang Jepang, Orang Amerika Serikat, Kanada, afrika Selatan dan australia berikut anak-anak mereka; b. Orang-orang yang dipersamakana dengan Orang Eropa, yakni : mereka yg pada saat Bw berlaku memeluk agama Kristen; c. Orang-orang Bumiputera turunan Eropa. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang bersifat unifikasi (berlaku penerapannya untuk semua golongan), maka norma yang terdapat didalam Pasal 284 KUHPidana seharusnya sudah tidak sesuai, karena UUP tidak menganut azas monogami tertutup tetapi menganut azas monogami terbuka, dan norma-norma hukum perkawinan yang terdapat didalam UUP tidak lagi memandang perkawinan sebagai hubungan keperdataan saja, tetapi memandang perkawinan sebagai suatu perbuatan untuk melaksanakan ibadah. Ketentuan azas monogami terbuka diatur di dalam Pasal 3 UUP ayat (1) yaitu “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh 13 memiliki seorang suami” ayat (2 ) nya menyebutkan bahwa “Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”. Meskipun Pasal 27 BW dengan Pasal 3 ayat 1 UUP memiliki redaksi yang hampir sama tapi pada dasarnya memiliki norma hukum yang berbeda. Norma hukum yang terdapat didalam Pasal 27 BW menganut larangan seorang suami memiliki isteri 2 (dua) dalam waktu bersamaan, sehingga jika seorang suami menikah lagi dengan wanita lain, maka perkawinannya dipandang sebagai perbuatan overspel (zina). Sedangkan Pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 UUP tidak memandang demikian. Pasal 3 ayat 1 dan 2 UUP membuka kebolehan berpoligami dengan syarat harus memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 UUP yang kedua pasal dimaksud mengatur tentang persyaratan secara administrasi untuk berpoligami, sedangkan rukun dan syarat sah pernikahan poligami tetap mengacu kepada Pasal 2 ayat (1) UUP yaitu (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Oleh karena ketentuan tentang poligami didalam UUP hanya bersifat administratip, maka Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengancam perbuatan tersebut sebagai pidana kategori pidana pelanggaran saja. G. Keseimpulan Dari pembahasan diatas penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa ketentuan Pasal 40 kepada PP No 9 Tahun 1975 dengan ketentuan yang terkandung didalam Pasal 52 Draft RUU HMPA masih memiliki unsur-unsur yang sama, yaitu mengancam perbuatan poligami dengan ancaman pidana kategori pelanggaran (contraventions) apabila perbuatan tersebut dilakukan tanpa izin dari pengadilan. Meskipun demikian, Pasal yang terkandung didalam 52 Draft RUU HMPA sudah meningkatkan hukumannya dengan memberikan pilihan antara membayar denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan”; 2. Bahwa ketentuan Pasal 40 kepada PP No 9 Tahun 1975 dan Pasal 52 Draft RUU HMPA memandang perbuatan poligami ilegal bukanlah suatu perbuatan pidana kategori kejahatan ringan (rechtsdeliktern), karena UUP maupun RUU HMPA memandang ikatan perkawinan bukan sekedar hubungan keperdataan semata, tapi lebih jauh lagi, yaitu memandang ikatan perkawinan sebagai suatu perbuatan untuk melaksanakan ibadah; 3. Bahwa ketentuan Pasal 279 KUHP dan 463 Draft RUU KUHP masih memiliki unsur-unsur yang sama, yaitu mengancam perbuatan poligami dengan ancaman pidana kategori kejahatan ringan (rechtsdeliktern) dengan ancaman pidana hukuman penjara maksimal 5 (lima) tahun; 4. Bahwa penulis berpendapat seharusnya rumusan perkawinan yang terkandung didalam 463 Draft RUU KUHP tidak lagi merujuk kepada pasal 26 BW tapi merujuk kepada Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sehingga perbuatan poligami tanpa izin pengadilan tidak dipandang sebagai suatu kejahatan, cukup hanya sekedar pelanggaran. 14 5. Bahwa penulis tidak sependapat perbuatan poligami tanpa izin pengadilan dipandang sebagai perbuatan overspel yang dapat diancam dengan ketentuan pidana Pasal 284 KUHP, karena unsur mukah/overspel tidak sama dengan pengertian poligami, poligami tetap merupakan perkawinan yang sah sebagaimana norma-norma yang terkandung didalam UUP, meskipun demikian perkawinan poligami tetap harus memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana yang telah ditentukan oleh UUP. Saran: 1. Pihak legislator sebaiknya sudah memfokuskan untuk menyusun hukum positip yang mengatur tentang sanksi pidana atas perbuatan pemalsuan identitas atau status perkawinan bagi pelaku poligami, bukan sebaliknya memfokuskan dan menerapkan sanksi pidana atas perbuatan poligami, karena perbuatan poligami dalam hukum islam masih dipandang dalam wilayah hukum ibadah jika telah terpenuhi rukun dan syaratnya; 2. Sebaiknya Akta Nikah mencantumkan kolom status pernikahan yang keberapa baik bagi suami ataupun isteri, sekaligus mencantumkan nama isteri yang masih dalam pernikahannya, perbuatan pemalsuan status tersebut harus jelas dan tegas disebutkan sebagai perbuatan pidana; 3. Hukum harus bersifat jelas dan tegas, sehingga kedepan anak-anak yang lahir dari perbuatan poligami secara liar, dapat memperoleh haknya untuk mendapatkan pengakuan secara formil tentang status dan nasabnya demi kepentingan pendidikan anak kedepan, karena bagaimanapun, hukum harus melindungi hak-hak anak yang lahir dari suatu perkawinan, karena kesalahan atas suatu perbuatan pidana dalam perkawinan, tidak dapat dilimpahkan kepada anak yang kemudian dapat dijadikan peluang bagi orang tua untuk menghindar dari tanggungjawabnya; 15 DAFTAR PUSTAKA 1. Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta,1982. 2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Jakarta, Balai Pustaka, 1986. 3. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, 1985. 4. E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (sadaran) Moh. Saleh Djindang, Jakarta, Ichtiar Baru, 1982. 5. J. E. Jonkers, Handblock van Het Nederlandsche Straaftrecht, terjemahan Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta, Bina Aksara, 1987. 6. Marpaung Laden, Asas Teori Praktek Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta 2005. 7. M. Ahnan dan Ummu Khoiroh, M.A, Poligami di Mata Islam, Surabaya, Putra Pelajar, Cet.I, 2001. 8. Muchsin, Prof. DR. S.H, Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta, 2006 9. Morris, William, the Heritage Illustrased Dictionary of the english language, Boston, Hougthon Mifflin Company, 1979. 10. Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Bandung, 2008. 11. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung, Mizan, Cet.XI, 2000. 12. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1986. 13.R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor , Politeia, 1980. 14. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana, Jakarta, Centra, 1968. 15. Siti Musdah Mulia, “Islam Menggugat Poligami” Jakarta, Gramedia, 2005. 16. Surojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Gunung Agung, 1982. 17. Ismail Fahmi, http://web.bisnis.com/mui-peringatkan-eyang-subur-untuk-hanya-beristriempat, senin 22 April 2013 16