Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang dilakukan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Upaya Kesejahteraan Sosial 2.1.1 Pengertian Upaya Kesejahteraan Sosial Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, upaya merupakan ikhtiar (untuk mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar, dsb). Sedangkan berupaya merupakan mencari upaya (akal); berusaha; berikhtiar. Pengertian upaya hampir bisa disamakan dengan pengertian usaha itu sendiri. Usaha adalah kegiatan dengan mengarahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai suatu maksud; pekerjaan (perbuatan, prakarsa, ikhtiar, daya upaya) untuk mencapai sesuatu. Kesejahteraan sosial dapat didefinisikan sebagai keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalam tercakup pula unsur kebijakan dan pelayanan dalam arti luas yang terkait dengan berbagai kehidupan dalam masyarakat, seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi budaya, dan lain sebagainya (Sulistiati, dalam Huda, 2009: 73). Upaya kesejahteraan sosial adalah kegiatan yang terorganisir yang terdiri dari berbagai program, pelayanan maupun kegiatan-kegiatan untuk membantu individu ataupun kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya. Universitas Sumatera Utara Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 43 tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan dan fungsi sosial penyandang cacat dilaksanakan melalui: a. Kesamaan kesempatan Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat diarahkan untuk mewujudkan kesamaan kedudukan, hak, kewajiban, dan peran penyandang cacat, agar dapat berperan dan berintegrasi secara total sesuai dengan kemampuannya dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesbilitas, kesamaan kesempatan dalam pendidikan, dan kesamaan kesempatan dalam ketenagakerjaan. b. Rehabilitasi Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan, dan pengalaman. Rehabilitasi bagi penyandang cacat meliputi rehabilitasi medik, pendidikan, pelatihan dan sosial. c. Bantuan sosial Bantuan sosial diarahkan untuk membantu penyandang cacat agar dapat berusaha meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. Bantuan sosial diberikan dalam bentuk : materiil, finansial, fasilitas pelayanan, informasi. Universitas Sumatera Utara d. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial diarahkan pada pemberian perlindungan dan pelayanan agar penyandang cacat dapat memperoleh taraf hidup yang wajar. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial diberikan kepada penyandang cacat yang derajat kecacatannya tidak dapat direhabilitasi dan kehidupannya secara mutlak tergantung pada bantuan orang lain. Pemeliharaan tarah kesejahteraan sosial diberikan dalam bentuk materiil, finansial, dan pelayanan. (Peraturan Pemerintah R.I 1998, 1999) 2.1.2 Ruang Lingkup Upaya Kesejahteraan Sosial Upaya pelaksanaan kesejahteraan sosial sudah dimulai dari periode masa penjajahan hingga masa sekarang ini. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang ruang lingkup upaya kesejahteraan sosial hanya berbatas kepada kesetiakawanan sosial yang berwujud kepada tanggung jawab sosial di dalam alam penderitaan yang nampak pada usaha-usaha untuk menolong sesama anggota masyarakat yang menderita akibat penjajahan. Upaya-upaya tersebut berwujud dalam upaya perorangan ataupun organisasi yang bergerak dibidang perawatan atau pelayanan kepada para fakir miskin, yatim piatu, lanjut usia maupun penyandang cacat. Upayaupaya kesejahteraan sosial masih bersifat kemanusian, keagamaan dan belum berdasar atas profesi pekerja sosial.(http://www.bulletinbiru.blogdrive.com/ archive/ 46.html yang diunduh pada hari rabu, tanggal 3 Oktober 2012, pukul 18.30 WIB). Pada periode awal kemerdekaan sampai pada tahun 1950, dimulailah babak baru dalam upaya kesejahteraan sosial atas dasar pekerjaan yang berdasarkan keilmuan (profesi). Permasalahan sosial yang telah timbul sesudah dan sebelum kemerdekaan menimbulkan banyak Universitas Sumatera Utara permasalahan sosial yang lebih kompleks. Korban akibat peperangan, pengungsian, bekas romusha harus dapat ditanggulangi dengan segera dengan keterbatasan kemampuan dan daya yang ada. Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dan kondisi yang ada, maka titik berat usaha kesejahteraan sosial masih tetap berdasar atas sifat-sifat pelayanan sosial, perawatan dan bantuan sosial. Pada periode tahun 1950 sampai dengan tahun 1959, upaya kesejahteraan sosial mulai melirik peran serta masyarakat itu sendiri. Dengan pendekatan kursus-kursus bimbingan sosial serta penyuluhan sosial dapat menumbuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dari masyarakat yang akhirnya meningkat untuk mau berperan serta secara terorganisir dan terencana untuk turut mengatasi permasalahan-permasalahan sosial yang ada di lingkungannya. Upaya kesejahteraan sosial yang awalnya lebih banyak bersifat represif dan rehabilitatif. Maka pada periode ini, upaya kesejahteraan sosial lebih bersifat preventif serta promotif. Upaya-upaya kesejahteraan sosial tidak lagi disentralisasikan kepada Kementerian Sosial tetapi sudah dibebankan kepada daerah-daerah tingkat I di Indonesia. Desentralisasi upaya kesejahteraan sosial menuntut pekerja-pekerja sosial profesional yang lebih banyak lagi.(http://www.bulletinbiru.blogdrive.com/ archive/ 46.html yang diunduh pada hari rabu, tanggal 3 Oktober 2012, pukul 18.30 WIB). Pada periode tahun 1959 sampai dengan 1965, profesi pekerjaan sosial sebagai dasar pelaksanaan upaya kesejahteraan sosial yang berpandangan prinsip penghargaan akan martabat manusia sebagai individu dan makhluk sosial tanpa memandang ras, agama, kebangsaan, afiliasi politik, status ekonomi, pendidikan ataupun status sosial benar-benar mendapat ujian berat. Pada periode tahun 1966 sampai dengan 1969, orientasi pembangunan orde baru yang lebih Universitas Sumatera Utara menyeluruh dan proporsional, termasuk pembangunan bidang kesejahteraan sosial di masa orde baru memiliki sifat-sifat ilmiah, kordinatif dan pembangunan. Dan arah yang ditentukan di dalam pelaksanaan pekerjaan sosial serta usaha kesejahteraan Indonesia ditetapkan yaitu: 1. Menghilangkan faktor-faktor yang menghambat kemampuan. 2. Menyediakan sumber fasilitas dan kesempatan 3. Pencegahan dan pengendalian 4. Keterlibatan dalam penelitian ilmiah 5. Keterlibatan dalam interpretasi masalah-masalah ekonomi dan politik yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial Untuk menuangkan arah pembangunan pelaksanaan pekerjaan sosial di Indonesia tersebut pada awal orde baru prioritas programnya adalah: 1. Pembinaan lembaga sosial desa 2. Pendidikan tenaga/pekerja sosial agar memiliki profesionalisme yang mantap 3. Penelitian sosial Pada periode sekarang ini, upaya kesejahteraan sosial yang bernilai kualitatif dan berjangka panjang dilengkapi dengan pola penanganan masalah kesejahteraan sosial serta pola pembinaan perangkat penunjang. Semenjak awal orde baru hingga dewasa ini pelaksanaan pembangunan bidang kesejahteraan sosial terutama yang menjadi tugas dan tanggung jawab kementerian sosial semakin berkembang dan meningkat.(www.rc-solo.depsos.go.id, yang diakses pada hari Kamis, tanggal 3 Oktober 2012, pukul 20.15). Prinsip-prinsip dasar, strategi pendekatan, metode operasional secara jelas mulai meninggalkan sifat-sifat charity, philanthropis dan residual ke arah sifat-sifat pelayanan dan rehabilitatif, pembinaan dan pengembangan kesejahteraan sosial serta peningkatan peran serta Universitas Sumatera Utara masyarakat secara profesional dengan pendekatan yang mengefektifkan koordinasi dan keterpaduan intra sektor (lintas program) dan inter program (lintas sektoral) dengan pelaksanaan kegiatan secara komprehensif dan interdisipliner. Sasaran garapan usaha kesejahteraan sosial tidak lagi terbatas dan mengutamakan para penyandang masalah kesejahteraan sosial, melainkan menjangkau pula kesatuan masyarakat desa/kelurahan dan kesatuan masyarakat di daerah terpencil termasuk masyarakat terasing. Posisi sasaran populasi tidak lagi dipandang dan diperlukan sebagai obyek pelayanan, melainkan lebih ditempatkan sebagai subyek yang berperan serta dalam mengatasi masalah-masalahnya sendiri dengan bantuan usaha kesejahteraan sosial untuk mengefektifkan sumber-sumber kesejahteraan sosial di lingkungannya.(www.rc-solo.depsos.go.id, yang diakses pada hari Kamis, tanggal 3 Oktober 2012, pukul 20.15). Sehubungan dengan hal tersebut, maka pendekatan dasar usaha kesejahteraan sosial menjadi pendekatan kemanusiaan, pendekatan kekeluargaan dan gotong royong serta pendekatan keadilan sosial dilengkapi dengan orientasi ke arah perubahan, pengembangan dan ketuntasan dengan metode persuatif motivatif, konsultatif dan partisipasi. Pengembangan upaya-upaya kesejahteraan sosial yang mencakup bidang pelayanan dan rehabilitasi sosial, peningkatan dan pengembangan kesejahteraan sosial, perlindungan sosial dan jaminan kesejahteraan sosial, peningkatan dan pengembangan peran serta masyarakat. Upaya pengembangan tersebut secara operasional terwujud melalui kegiatan-kegiatan: 1. Sistem pelayanan dan rehabilitasi sosial di dalam panti (intitusional care services). 2. Sistem pelayanan dan rehabilitasi sosial di luar panti atau di masyarakat (community based). 3. Sistem lingkungan pondik sosial (liposisi) sistem penanganan masalah kesejahteraan sosial yang integrasi komprehensif. Universitas Sumatera Utara 4. Sistem peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat (mendekati model community development dan community organizaziton) dengan masukan input intervensi melalui pola konsentrasi. 5. Sistem perlindungan dan jaminan kesejahteraan sosial berdasarkan kekeluargaan, kegotongroyongan dan kesetiakawanan dalam hidup bermasyarakat. 6. Sistem peningkatan peran serta masyarakat (http://www.bulletinbiru.blogdrive.com/archive/46.html yang diunduh pada hari rabu, tanggal 3 Oktober 2012, pukul 18.30 WIB). 2.1.3 Upaya Kesejahteraan Sosial Untuk ODK 2.1.3.1. Perlindungan Hukum Terhadap ODK Pada bagian ini akan diuraikan dan dianalisis dua hal, yaitu menyangkut peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kepentingan kaum ODK, khususnya menyangkut aksesibilitas bagi mereka. Selanjutnya, akan dianalisis mengenai konsepsi hukum yang dibangun dalam peraturan perundang-undangan yang ada tersebut.Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyandang cacat khususnyayang memberikan jaminan aksesbilitas bagi mereka ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain yaitu: A.Hukum Internasional Dalam Deklarasi mengenai Hak-hak bagi Penyandang Cacat (The Declaration on The Rights of The Disabled Persons), yang diadopsi melalui Resolusi Majelis Umum 3447 pada tanggal 9 Desember 1975, dinyatakan bahwa deklarasi ini merupakan tindak lanjut dari niat komunitas untuk menciptakan standar kehidupan yang tinggi, pemenuhan hak-hak tenaga kerja dan kemajuan dan pengembangan kondisi sosial ekonomi, serta memperkuat kepercayaannya Universitas Sumatera Utara dalam Hak Asasi Manusia, kebebasan mendasar dalam prinsip-prinsip perdamaian, martabat dan nilai dari kemanusiaan individu dan keadilan sosial. Deklarasi ini membedakan antara penyandang cacat dan penderita keterbelakangan mental. Pembahasan di sini hanya sebatas pada penyandang cacat yang oleh Deklarasi diartikan sebagai berikut: “any person unable to ensure by himself or herself, wholly or partly, the necessities of a normal individual and/or social life, as a result of deficiency, either congenital or not, in his or her physical or mental capabilities.” Dalam kaitannya dengan hak-hak sipil dan politik yang dimiliki oleh para penyandang cacat dinyatakan oleh pasal 4 yang berbunyi: “disabled persons have the same civil and political rights as other human beings; paragraph 7 of the Declaration on the Rights of Mentally Retarded Persons applies to any possible limitation or suppression of those rights for mentally disabled persons.” Dengan adanya pembedaan antara penyandang cacat dan penderita keterbelakangan mental maka dimungkinkan pembedaan dalam hal keluasan hak-hak yang disandang oleh kedua kelompok. Hal ini dengan jelas dinyatakan oleh pasal 4 di atas. Atau dengan kata lain, penyandang cacat memiliki hak-hak sipil dan politik penuh sebagaimana layaknya orang-orang ‘normal’. Mengenai hukum HAM para penyandang cacat di tingkat internasional tidak bisa dilepaskan dari pertemuan para ahli mengenai hak-hak para penyandang cacat yang diadakan oleh PBB yang bekerjasama dengan Boalt Hall School of Law, University of California di Berkeley dan The World Institute on Disability (Oakland, California USA) di Boalt Hall School of Law, University of California di Berkeley pada tanggal 8-12 Desember 1998. Dalam pertemuan tersebut dipilih Professor Andrew Byrness dari University of Hong Kong sebagai Universitas Sumatera Utara ketua dan Dr. Marcia Rioux dari the Roeher Institute, Canada, sebagai Rapporteur; Professor Alison Dundes Renteln of University of Southern California dan Dr. Ana Maria de Frappola dari the Inter-American Uniton Child-hood, Families and Disabilities of the Organisation of American States, sebagai Sekretaris Pertemuan. Pertemuan tersebut ditujukan bagi pengkajian dan peninjauan ulang terhadap persoalanpersoalan dan kecenderungan yang terkait dengan aplikasi praktis dari norma-norma internasional yang tertuju pada promosi HAM para penyandang cacat. Secara garis besar pertemuan menghendaki akan terciptanya sebuah upaya yang lebih serius dalam kaitannya dengan sosialisasi pemahaman dan upaya-upaya yang berupa legislasi di tingkat domestik. Kehendak ini tidak terlepas dari keinginan untuk menjadikan norma-norma yang berada di tingkat internasional dapat lebih membumi. (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, 2010) Pendekatan yang digunakan oleh rezim HAM internasional terhadap hak-hak para penyandang cacat adalah sebagai berikut. Pendekatan pertama, memandang bahwa para penyandang cacat bukan sebagai bagian dari isu kesehatan dan kesejahteraan. Sehingga, harus dipahami dalam kaitannya dengan persoalan kemurahan hati dari seseorang atau hanya mendasarkan pada dorongan-dorongan moral belaka. Menurut kelompok para ahli konvensional para penyandang cacat telah dipandang sebagai ‘abnormal’, yang patut dikasihani dan dipedulikan. Bukan juga sebagai individu yang berhak penuh sebagaimana halnya individu ‘normal’ lainnya yang dapat menjalani kehidupan normal sebagai bagian dari anggota masyarakat lainnya. Sebagai konsekuensinya, para penyandang cacat sering termarjinalisir dan dikeluarkan dari masyarakat dan seringkali hak-hak dan kebebasan fundamentalnya sebagai manusia ditolak. Universitas Sumatera Utara Evolusi pemikiran ini kemudian tercermin dari sikap komunitas internasional yang mulai berkonsentrasi pada pembentukan norma-norma yang diharapkan dapat menjamin penikmatan hak-hak dasar oleh para penyandang cacat. Pendekatan yang disebut oleh para kelompok ahli disebut sebagai: “the move from the partonising and paternalistic approach to persons with disabilities represented by the medical model to viewing them as members of the community with equal right.” Pendekatan inilah yang kemudian diadopsi oleh instrumen-instrumen internasional HAM. Pada era 1970-an, kepedulian masyarakat internasional terhadap HAM para penyandang cacat dimanifestasikan oleh makin banyaknya inisiatif PBB dalam kaitannya dengan konsepsi HAM para penyandang cacat yang berhubungan dengan persamaan kesempatan. Untuk merealisasikan penikmatan HAM secara penuh oleh para penyandang cacat terdapat sebuah kerangka yang disebut sebagai The United Nations Decade of Disabled Persons(1982-1993). Satu tahun sebelumnya, 1982, telah dinobatkan sebagai tahun para penyandang cacat. Sebagai pencapaian utamanya adalah dihasilkannya The World Programme of Action concerning Disabled Persons (1982), yang merupakan rencana global bersifat komprehensif yang menjadikan persamaan hak sebagai prinsip dasar bagi pencapaian para penyandang cacat dalam kaitannya dengan kehidupannya pada aspek sosial dan ekonomi. Aturan standar tentang persamaan kesempatan bagi para penyandang cacat (1993) merupakan hasil utama dari the Decade of Disabled Persons, yaitu merupakan sebuah instrument bagi pembentukan kebijakan dan sebagai basis bagi kerjasama teknis dan ekonomi. Disamping itu, masih terdapat sejumlah konvensi-konvensi umum dan rekomendasi-rekomendasi yang dapat Universitas Sumatera Utara dikenakan pada para penyandang cacat yang telah diadopsi oleh berbagai badan-badan intergovernment dan kelembagaan-kelembagaan internasional seperti ILO, UNESCO dan ECOSOC. Pengakuan dan dimasukkannya HAM para penyandang cacat dalam dokumen-dokumen seperti theVienna Declaration and Programme of Action (1993), the Copenhagen Declaration and Programme of Action (1995), dan the Beijing Declaration and Platform for Action (1995) menunjukkan bahwa para penyandang cacat mempunyai HAM sebagaimana layaknya manusia ‘normal’. (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, 2010) B. Hukum Nasional yang meliputi: 1. Amandemen II UUD 45 Dalam Pasal 28 H ayat (2), disebutkan: Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 2. UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPD. Dalam Pasal 60 disebutkan, bahwa calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi syarat: a. warga negara Republik Indonesia yang berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; e. berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajat; f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; Universitas Sumatera Utara g. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya; h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; i. tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; j. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari dokter yang berkompeten; dan k. terdaftar sebagai pemilih. (UU Pemilihan Umum, 2003) Persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 huruf d tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga negara penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 88 menyebutkan: (1)Jumlah pemilih di setiap TPS sebanyak-banyaknya 300 orang. (2) TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap pemilih dapatmemberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia. 3. UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Undang-undang Ketenagakerjaan memberikan jaminan bagi setiap tenaga kerja untuk memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan Universitas Sumatera Utara penghidupan yang layak. Kesempatan yang sama diberikan kepada penyandang cacat (Pasal 5). Selanjutnya dalam Pasal 67 Ayat (1), sebagai berikut: Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. 4. UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Dalamketentuan Pasal 5 disebutkan: Dalam ketentuan ayat 2 disebutkan, bahwa “Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang cacat selanjutnya setelah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.” 5. UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Dalam Pasal 51 Ayat (2) disebutkan: TPS sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia.Akomodasi hak-hak politik para penyandang cacat dalam kedua paket Undang-undang tersebut, secara normatif sudah cukup memadai, hanya saja dalam konteks praktis implementasinya masih jauh dari realita yang diharapkan, sebab masih terjadi pengabaian hak politikpenyandang cacat dalam Pemilu, antara lain: a) Hak untuk didaftar guna memberikan suara; b) Hak atas akses ke TPS; c) Hak atas pemberian suara yang rahasia; d) Hak untuk dipilih menjadi anggota legislatif; e) Hak atas informasi termasuk informasi tentang Pemilu; Universitas Sumatera Utara f) Hak untuk ikut menjadi pelaksana dalam Pemilu, dan lain-lain. 6. UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dalam ketentuan Pasal 21 disebutkan, bahwa: Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. 7. UU Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung Dalam ketentuan Pasal 27 disebutkan, bahwa: a) Persyaratan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi kemudahan hubungan ke, dari , dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung. b) Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tersedianya fasilitas dan aksesbilitas yang mudah, aman, dan nyaman termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia. Dalam ketentuan Pasal 31 disebutkan: a) Penyediaan fasilitas dan aksesbilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali rumah tinggal. b) Fasilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), termasuk penyediaan fasilitas aksesbilitas dan fasilitas lainnya dalam bangunan gedung dan lingkungannya. Universitas Sumatera Utara c) Ketentuan mengenai penyediaan aksesbilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 8. UU Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan Dalam Pasal 25 ayat (1) huruf h, disebutkan bahwa: Pembebasan Bea Masuk diberikan atas impor barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat lainnya. 9. UU Nomor 13 Tahun 1992 Tentang Perkeretaapian Dalam Pasal 35 ayat 1 disebutkan, bahwa “penderita cacat dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang angkutan keretaapi.” 10. UU Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Dalam ketentuan Pasal 49 ayat 1 disebutkan, bahwa “Penderita cacat berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang lalu lintas dan angkutan jalan.” 11. UU Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan Dalam ketentuan Pasal 42 ayat 1 disebutkan “Penyandang cacat dan orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam angkutan udara niaga.” 12. UU Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran Dalam Pasal 83 ayat (1) disebutkan “Penyandang cacat dan orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam angkutan di perairan.” 13. UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Universitas Sumatera Utara Sebagaimana UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, undang-undang kesehatan tidak secara eksplisit memberikan jaminan kepada penyandang cacat. Namun demikian, dalam Pasal 4 disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal. 14. UU Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial Undang-undang tersebut, tidak secara eksplisit memuat tentang penyandang cacat. Namun demikian, dalam Pasal 1 sudah disebutkan, bahwa setiap warganegara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial. Yang dimaksud dengan Kesejahteraan Sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila. 15. PP Nomor 27 Tahun 1994 Tentang Pengelolaan Perkembangan Kependudukan Pasal 12 berbunyi: a) Pembinaan dan pelayanan penduduk dalam rangka pengembangan kualitas penduduk dilakukan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi, termasuk penyediaan sarana, prasarana dan jasa. b) Khusus bagi masyarakat rentan, selain cara dan bentuk pembinaan dan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), juga dapat diberikan kemudahan-kemudahan sesuai dengan jenis hambatan yang perlu diatasinya. Universitas Sumatera Utara Penjelasan Pasal 12 disebutkan: Masyarakat rentan di sini termasuk kelompok yang tidak atau kurang mendapatkan kesempatan untuk berkembang sebagai akibat dari keadaan fisik dan non fisiknya, misalnya kelompok miskin, masyarakat daerah terpencil, daerah dengan lingkungan hidup kritis, anak terlantar, penyandang cacat, lanjut usia, dan lain-lain. Adapun bentuk penyediaan pelayanan/kemudahan dapat berupa penyediaan di tempat, seperti kursi roda, alat angkut, kamar kecil, jembatan, clan sebagainya yang sesuai dengan kebutuhan dalam mengatasi hambatan masyarakat rentan. Untuk pelayanan masyarakat rentan, setiap orang yang melakukan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum perlu menyediakan alat/pelayanan bagi masyarakat rentan tersebut. Dari deskripsi peraturan perundang-undangan di atas, secara formulatif dan normatif tampak komprehensif mencakup berbagai sektor publik dan privat dari kepentingan para penyandang cacat khususnya, dan kelompok rentan pada umumnya. Namun demikian, pemberian aksesbilitas terhadap penyandang cacat di Indonesia belum sepenuhnya dapat terwujud. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun1997 tentang Penyandang Cacat, bahwa upaya perlindungan belum memadai, apalagi ada prediksi terjadinya peningkatan jumlah penyandang cacat di masa mendatang. Temuan penelitian yang dilakukan oleh PusHAM UII pada tahun 2003 yang menemukan fakta, bahwa penyediaan aksesibilitas fisik/fasilitas umum bagi penyandang cacat di DIY masih sangat minim, sehingga membatasi ruang gerak penyandang cacat. Meskipun hak-hak penyandang cacat tersebut sudah dijamin oleh Resolusi PBB No. 48/96 tahun 1993 mengenai Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat, UUD 1945, UU Universitas Sumatera Utara HAM, dan UU Penyandang Cacat, namun realisasi pemenuhan hak-hak itu masih terlupakan dan terabaikan. Kondisi tersebut menunjukkan, bahwa kultur dan struktur pemegang kebijakan yang masih mengandung implikasi bahwa orang yang ”tidak normal” tidak memenuhi syarat untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan mereka yang normal. Menurut Dr.Uning PratimaratiS.H., M.H. bahwa setiap perundang-undangan tertulis di dalamnya terkandung suatu misi atau tujuan tertentu yang hendak dicapai. Lahirnya suatu perundang-undangan tertulis baru merupakan suatu titik awal untuk mencapai tujuan yangdinginkan.Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang cacat. Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memajukan hak asasi manusia, dalam hal ini adalah hak-hak para penyandang cacat. Kewajiban pemerintah tidak hanya berhenti pada kebijakan formulatif (pembuatan peraturan perundang-undangan) saja, namun juga pada kebijakan aplikatif serta kebijakan eksekutif. Aspek substansi hukum yangmenjamin aksesibilitas bagi penyandang cacat dari segi jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah cukup memadai. Namun perumusannya lebih banyak yang bersifat negatif, yaitu memberikan hak bagi para penyandang cacat. Perumusan negatif ini antara lain mencakup jaminan hak penyandang cacat di bidang kesejahteraan sosial, perkeretaapian, lalu lintas jalan, penerbangan, pelayaran, kesehatan, dan pendidikan. Perumusan positif, yaitu kewajiban untuk memberikan aksesibilitas bagi penyandang cacat antara lain ada pada ketentuan tentang perlindungan anak, bangunan gedung, dan ketenagakerjaan.(www.rcsolo.depsos.go.id, yang diakses pada hari Kamis, tanggal 3 Oktober 2012, pukul 20.15). Universitas Sumatera Utara Pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi, baik sanksi pidanamaupun sanksi administrasi.Namun dilihat dari aspek struktur dan budaya hukum, belum sepenuhnya menunjang bagi perwujudan kemandirian dan kesejahteraan para penyandang cacat, sehingga banyak ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan belum dapat dilaksanakan, untuk itu perlu dilakukan suatu tindakan yang menyetujui gunamewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan bagi penyandang cacat. Aksi ini mengarah pada penyadaran publik akan hak-hak penyandang cacat dan kewajiban mereka untuk berperan aktif dalam berinteraksi sosial yang sehat dan wajar. Aksi tersebut membutuhkan strategi sosialisasi yang efektif, menyangkut: 1. Pola penyadaran integral antar pemerintah, penyandang cacat dan masyarakat pada umumnya sehingga memunculkan suatu sinergi. Pola tersebut meliputi: a) Peningkatan pengetahuan penyandang cacat akan hak-haknya, misalnya melalui seminar, penyebaran lembar informasi (info sheet), dialog publik, media center, memasukan materi perundang-undangan penyandang cacat ke dalam kurikulum pendidikan dan sebagainya. b) Implementasi perundang-undangan dari tingkat pusat hingga daerah. c) Melakukan advokasi hukum penyandang cacat dalam memperjuangkan hak-haknya. 2. Pola pembudayaan dari sosialisasi sinergis di atas. Pola pembudayaan ini sepertinya yang tersulit. Karena, bercermin dari kasus-kasus yang terjadi di negeri ini, memerlukan waktu yang lama dan dengan strategi pembudayaan yang kontinyu serta simultan dengan melibatkan masyarakat yang sudah ”tersadarkan”. Universitas Sumatera Utara 2.1.4 Upaya Panti Asuhan Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara Dalam Peningkatan Fungsi Sosial ODK Upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat dilaksanakan melalui: a. Kesamaan kesempatan b. Bantuan Sosial c. Rehabilitasi d. Pemeliharaan taraf kesejahteraan. Keempat poin di atas dijadikan sebagai acuan dari Panti Asuhan Bina Daksa Bahagia dalam pembentukan program-programnya, dengan harapan agar program-programnya bisa tepat sasaran dan tujuan dari upaya kesejahteraan sosial bisa tercapai. Adapun tujuan dari upaya kesejahteraan sosial adalah mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat. Program-program yang dilakukan di Panti Sosial Bina Daksa Bahagia Medan adalah : 1. Pendekatan Awal Kegiatan yang mengawali proses rehabilitasi yang dilaksanakan di masyarakat untuk mendapatkan kemudahan dan kerjasama dengan mengadakan kontak langsung dengan pemerintah daerah dan keluarga. Pendekatan awal dilakukan untuk mendapatkan gambaran dan informasi yang jelas guna penetapan calon klien, serta menumbuhkan minat klien untuk direhabilitasi dan termotivasinya orang tua klien untuk menyerahkan anaknya mengikuti program rehabilitasi di PSBD Bahagia Sumatera Utara. 2. Penerimaan Tahapan dimana calon klien melakukan registrasi ulang yaitu mengenai pencatatan identitas calon klien dalam buku induk, penandatanganan kontrak pelayanan antara klien dan PSBD Bahagia Sumut, pengisian dan pemeriksaan berkas-berkas yang diperlukan. Universitas Sumatera Utara 3. Assesment Untuk mendapatkan data dan informasi mengenai latar belakang permasalahan klien meliputi kemampuan melakukan aktivitas hidup sehari-hari, bakat, minat, potensi-potensi yang dimiliki, kemampuan, harapan dan rencananya untuk masa depan yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah serta upaya lain untuk pengembangan potensi klien dan penempatan klien dalam jurusan keterampilan. 4. Bimbingan Sosial, Mental, Fisik dan Keterampilan Meliputi pembinaan fisik, mental psikologis dan mental keagamaan. Di samping itu, klien juga mendapatkan bimbingan keterampilan. 5. Resosialisasi Dalam tahapan ini klien dipersiapkan untuk terjun ke masyarakat, keluarga maupun disalurkan ke lapangan kerja yang tersedia atau instansi pengirim. 6. Bimbingan Lanjut Tahap bimbingan lanjutan dilakukan setelah diadakan evaluasi sejak tahap input proses, output dan outcome maka telah mencapai titik akhir dalam proses pelayanan sosial dalam UPT, pada gilirannya harus mengakhiri kegiatan pelayanan sosial, dengan pertimbangan tindak lanjut purna pelayanan sosial. 7. Terminasi Merupakan bagian integral dari keseluruhan proses pelayanan sosial klien dalam UPT, yang terakhir dan telah disampaikan serta direncanakan oleh pihak panti untuk mengakhiri dan melepaskan dari proses pertolongan secara profesional antara panti sebagai lembaga pelayanan rehabilitasi sosial dengan sistem klien, sistem kegiatan dan sistem sasaran. Landasan bagi suatu tahapan terminasi ketika eks klien tersebut telah mandiri dan tugas-tugas Universitas Sumatera Utara yang dilakukan telah menunjukkan adanya kemajuan yang dapat dicapai, sehingga mereka benar-benar dapat melaksanakan keberfungsian sosial secara wajar dalam arti yang sesungguhnya. (Profil PSBD Bahagia Sumatera Utara, 2012: 15). 2.2 Upaya Peningkatan Fungsi Sosial Orang Dengan Kecacatan (ODK) Melalui Program Rehabilitasi Sosial 2.2.1 Fungsi Sosial Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fungsi sosial adalah kegunaan suatu hal bagi hidup suatu masyarakat.Fungsi sosial mengacu pada cara yang dilakukan individu individu atau kelompok dalam melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhannya. Konsep ini pada intinya menunjuk pada kapabilitas (capabilities) individu, keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Baker, Dubois dan Miley (1992) menyatakan bahwa fungsi sosial berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya, serta dalam memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Konsepsi ini mengedepankan nilai bahwa manusia adalah subyek dari segenap proses dan aktifitas kehidupannya. Bahwa manusia memiliki kemampuan dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan. Bahwa manusia memiliki dan atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi asset dan sumber-sumberyang ada di sekitar dirinya (http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_24.htm yang diunduh pada hari rabu, tanggal 10 Oktober 2012, pukul 18.40 WIB). Fungsi sosial merupakan ekspresi interaksi antara orang dengan lingkungan sosialnya. Fungsi sosial merupakan hasil atau produk dari aktivitas orang dalam berelasi dengan sekelilingnya. Jadi Fungsi sosial berkaitan dengan hasil interaksi orang dengan lingkungan sosial (De Gusman, 1982). Dijelaskan oleh Zastrow (1982) bahwa manusia senantiasa hidup dalam Universitas Sumatera Utara berbagai sistem, seperti sistem keluarga, pelayanan sosial, politik, pekerjaan, keagamaan, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Interaksi orang dengan sistem-sistem tersebut mempengaruhi tingkat fungsi sosial mereka. Dalam hal ini interaksi yang kondusif akan menyebabkan orang mampu memenuhi kebutuhan, melaksanakan tugas, dan mencapai tujuan hidup. Namun sebaliknya, jika interaksinya kurang baik akan menyebabkan orang tersebut mengalami masalah. Sedangkan Siporin (1975) menyatakan bahwa fungsi sosial merupakan suatu cara yang menggambarkan perilaku orang. Cara atau perilaku tersebut dilakukan oleh individu, keluarga, organisasi maupun masyarakat (http://www.bambang- rustanto.blogspot.com/2011/08/keberfungsian-sosial-perempuan.html yang diunduh pada hari rabu, tanggal 10 Oktober, pukul 18.55 WIB). 2.2.2Orang Dengan Kecacatan (ODK) Orang dengan kecacatan atau disebut juga penyandang cacat (difabel) adalah seseorang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan bagi seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari (Pedoman Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan Dalam Panti, 2010: 5).Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, menjelaskan bahwa Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : 1. Penyandang cacat fisik 2. Penyandang cacat mental 3. Penyandang cacat fisik dan mental Secara etimologis, gambaran seseorang yang diidentifikasikan mengalami ketunadaksaan (orang dengan kecacatan tubuh), yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan Universitas Sumatera Utara fungsi anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan. Secara definitif pengertian kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa/cacat tubuh) adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal, akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan tidak sempurna. Faktor- faktor penghambat perkembangan ODK tubuh seperti: 1. ODK tubuh kurang optimal dalam mengaktualisasikan diri. 2. Masyarakat pada tahap empati masih sangat rendah (cenderung belas kasihan). 3. Lingkungan kurang mendukung; masih meragukan kemampuannya; dan perhatian dari pemerintah daerah kurang. 4. ODK tubuh yang stagnan yaitu kondisi yang tidak menunjukan peningkatan di bidang relasi sosial, bidang usaha, dan kemandirian. 5. Kondisi ekonomi keluarga dan pendidikan rendah menjadi salah satu sebab ODK tubuh pasrah dengan ketidakberdayaan. 6. Tidak adanya motivasi dan dukungan dari keluarga. 7. Sifat-sifat dari penyandang cacat itu sendiri, antara lain: a) Menyendiri b) Kurang percaya diri dan kurang motivasi hidup c) Rendah diri dan ada perasaan tidak aman d) Emosional dan labil e) Cepat menyerah, apatis f) Mudah tersinggung dan kekanak-kanakan Universitas Sumatera Utara g) Kecendrungan hidup senasib/mengelompok, agresif, dan dorongan biologis yang cenderung menguat (Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, 2010: 398). 2.2.3 Faktor-Faktor Penyebab Kecacatan Tubuh (Tuna Daksa) Menurut Herman Sukarman, (dalam Sudjadi dan Wardoyo, 2005: 72-74) ODK tubuh atau tuna daksa disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : 1. Penyakit Misalnya polio, rematik, catitis, dan lepra. Sebab dengan kemajuan ilmu kedokteran orang yang menderita penyakit tertentu dapat diselamatkan jiwanya, tetapi meninggalkan bekas dalam bentuk kecacatan, misalnya polio, TBC tulang, TBC sendi. 2. Kecelakaan dalam pekerjaan atau perusahaan Apabila bekerja di suatu pabrik atau perusahaan baik milik pemerintah maupun swasta tentu berhadapan dengan mesin-mesin, dalam menjalankan mesin-mesin ada hal pekerja mengalami suatu kelengahan yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja. Kecelakaan kerja akibat dari mesin-mesin tersebut dapat seperti anggota tubuhnya tergilas oleh mesin yang menyebabkan anggota tubuhnya putus dan harus diamputasi. 3. Peperangan Ini juga merupakan bencana yang tidak menimbulkan keuntungan bagi semua pihak, bagi mereka yang menang juga mengalami pengorbanan yang besar dan yang kalah pun mengalami pengorbanan yang lebih banyak. Pengorbanan itu meliputi, harta benda, nyawa dan ada pula pejuang yang masih hidup namun mengalami kecacatan akibat dari peperangan, banyak para pejuang bahkan rakyat kecil pun yang mengalami kecacatan. Cacat karena Universitas Sumatera Utara perang ini seperti kaki dan lengannya dipotong (amputasi), lumpuh, dan ketidakberfungsian sebagian tubuh. 4. Cacat sejak lahir Majunya ilmu pengetahuan dan majunya teknologi modern atau kebudayaan yang menganut faham kebebasan yang sedikit banyak akan mempengaruhi bahkan mengubah kebudayaan dan tingkahlaku pergaulan masyarakat kita. Akses dari masuknya pengetahuan dan teknologi modern tersebut secara tidak langsung dapat menimbulkan kecacatan tubuh, misalnya mengkonsumsi obat-obatan yang mengakibatkan anak keturunannya lahir cacat. Cacat sejak lahir dapat dibedakan menjadi dua : a. Cacat bawaan lahir, artinya begitu lahir cacat (anggota badannya tidak lengkap) b. Anak lahir dalam keadaan normal/sempurna tetapi pertumbuhannya mengalami kelainan (cacat). Selain itu terdapat juga penggolongan ODK berdasarkan tujuan untuk pemberian pertolongan rehabilitasi, terutama dalam penempatan tenaga ODK tubuh dalam menunjang kehidupannya: 1. ODK tubuh yang hanya memerlukan pertolongan dalam penempatan kerja pada pekerjaan yang sesuai 2. ODK tubuh yang karena kecacatannya memerlukan latihan kerja (vocational training) untuk ditempatkan dijabatan yang bisa dilakukan 3. ODK tubuh yang setelah diberikan pertolongan rehabilitasi dan latihan-latihan dapat dipekerjakan dengan perlindungan (Sudjadi dan Wardoyo, 2005 : 72-74). 2.2.4. Hak dan Kewajiban Orang Dengan Kecacatan (ODK) Universitas Sumatera Utara Setiap ODK tubuh mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, menyebutkan bahwa setiap penyandang cacat berhak memperoleh: 1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan 2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya 3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya 4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya 5. Rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial 6. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosial, terutama bagi ODK tubuh anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. 2.2.5. Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan (ODK) Merujuk pada Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (pasal 1), rehabilitasi sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Sebagai refrensi pembanding, Dr. Henry Kesser, mengemukakan pendapatnya bahwa rehabilitasi sosial adalah suatu upaya pemulihan bagi para penyandang cacat, sehingga dapat menggunakan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki secara optimal, yang meliputi kemampuan-kemampuan fisik, mental, sosial maupun ekonominya. Sedangkan Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro, berpendapat bahwa rehabilitasi sosial adalah serangkaian upaya yang Universitas Sumatera Utara terkoordinir, yang terdiri dari upaya medis, sosial, edukasional dan vokasional, untuk melatih atau melatih kembali seseorang yang mengalami handicapped, agar dapat mencapai kemampuan fungsionalnya pada taraf setinggi mungkin (Panduan Umum Pelaksanaan Bimbingan Sosial Penyandang Cacat Dalam Panti, 2007: 9). Bentuk-bentuk rehabilitasi sosial Orang Dengan Kecacatan (ODK) : 1. Rehabilitasi Medis Adalah bagian dari proses rehabilitasi dengan upaya operasi dan atau pembuatan alat prothese orthose, semaksimal mungkin untuk mengembangkan fungsi anggota badan/gerak ODK tubuh sehingga mobilitasnya tidak mengalami hambatan. Pelaksanaan rehabilitasi medis ini dimaksudkan agar para ODK tubuh dapat melaksanakan fungsi organ tubuhnya dalam rangka melaksanakan kegiatan dengan selayaknya sesuai kecacatan yang disandang. Di dalam Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 tentang rehabilitasi medik, dikatakan bahwa rehabilitasi medis dilakukan dengan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui tindakan medis yang berupa pelayanan dokter, psikologi, fisioterapi, okupasi terapi, terapi wicara, pemberian alat bantu atau alat pengganti, sosial medik, dan pelayanan medik lainnya. Rehabilitasi medik merupakan suatu proses total dan kelanjutan dari semua usaha yang bertujuan untuk: 1) Mencegah kehilangan fungsi selama sakit, yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah. 2) Memberikan bantuan jika diperlukan kepada pasien-pasien convalescent (sudah sembuh tetapi belum kuat kembali) untuk mendapatkan kembali fungsi yang penuh untuk secepat mungkin kembali ke kehidupan mereka secara normal. Universitas Sumatera Utara 3) Memberikan bantuan kepada mereka yang terpaksa menjadi cacat permanen untuk mendapatkan kembali semaksimal mungkin fungsi fisik maupun mentalnya untuk mengatasi atau mengurangi cacatnya dan memungkinkan untuk hidup dan bekerja, dengan pertolongan-pertolongan sosial dan latihan yang diperlukan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa rehabilitasi medis berfungsi untuk: a) Mencegah timbulnya cacat permanen b) Berusaha untuk mengembalikan fungsi bagian tubuh yang mengalami kecacatan c) Memberikan alat pertolongan dan latihan-latihan kepada ODK tubuh sehingga mereka dapat mengatasi cacatnya dan memulai kembali kehidupan dan pekerjaannya. 2. Rehabilitasi Sosial Psikologis Bagian dari proses rehabilitasi yang berusaha semaksimal mungkin mengembalikan kondisi mental psikologis dan sosial ODK tubuh sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya di dalam tatanan kehidupan dalam bermasyarakat. Dampak kecacatan pada aspek sosial psikologis, umumnya disebabkan oleh reaksi lingkungan sosial yang kurang kondusif bagi kehidupan ODK tubuh. Misalnya penyandang cacat disingkirkan dari pergaulan sosial, tidak dibiasakan terlibat dalam aktivitas sosial, dianggap selalu tidak mampu berbuat apa-apa, dan sebagainya. Kegiatan rehabilitasi sosial psikologis yang dilaksanakan diantaranya adalah (Panti Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera Utara): a) Bimbingan mental keagamaan. Bimbingan mental keagamaan, terutama melalui program bina rasa ketuhanan dan budi pekerti. Membina rasa ketuhanan hakekatnya diawali dari masalah kualitas keimanan seseorang, dan kualitas keimanan seseorang dapat dilihat dari perilaku setiap hari. Cara Universitas Sumatera Utara membina rasa ketuhanan pada penyandang cacat antara lain dimulai dari menanamkan nilai dan norma iman, karena keimanan mengandung nilai dan norma ketuhanan. b) Membina kemampuan daya fantasi dan kreasi. Bahwa setiap orang baik normal maupun cacat memiliki daya fantasi dan kreasi. Hanya saja kualitas dan derajat fantasi dan kreasinya yang berbeda satu dengan yang lain. Pada umumnya penyandang cacat memiliki daya fantasi dan kreasi yang tinggi. Oleh karena itu kita tinggal membina dan mengarahkannya melalui kegiatan seperti lomba musik, kesenian tradisional, tari-tarian tradisional, kegiatan olahraga. c) Menghapus rasa rendah diri dan memupuk harga diri. Salah satu dampak sekunder dari kecacatan seseorang adalah adanya perasaan rendah diri. Ini akibat dari reaksi lingkungan sosial yang tidak positif. Untuk itu mereka perlu dibantu untuk menghapus rasa rendah diri tersebut dan menggantinya dengan menanamkan rasa harga diri yang tinggi. Beberapa cara untuk menghapus rasa rendah diri dan memupuk harga diri adalah: 1) Memberikan pujian dan penghargaan atas kemauan mereka untuk merubah hidupnya. 2) Menanamkan gagasan-gagasan baru 3) Memberikan motivasi dan semangat untuk menjalani hidup layaknya orang normal. 4) Memberikan ketelatenan dan contoh orang-orang yang memiliki kondisi yang sama dengannya tetapi sukes dalam kehidupannya. d) Membina perasaan dan sikap sosial. Dampak dari kehidupan bersama akan memunculkan perasaan sosial bagi setiap anggota masyarakat dan perasaan sosial akan mempengaruhi sikap sosial seseorang. Adanya sikap Universitas Sumatera Utara sosial yang apatis dan antipati juga tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadian seseorang. Kepada ODK tubuh perlu dibina perasaan sosial dan sikap sosial yang positif. Adapun yang dicapai atau indikator dari kegiatan rehabilitasi sosial psikologis ini adalah: 1) kemampuan bergaul 2) kemampuan bekerjasama dengan orang lain 3) dimilikinya peran sosial yang sesuai dan jelas 4) kemampuan untuk beradaptasi (http://www.rc – solo.depsos.go.id/berita-163-upayapemberdayaan-odkt-melalui-kegiatan-rehabilitasi-di-bbrsbd – prof – drsoeharsosurakarta.html yang diakses pada tanggal 25 Mei 2012 pukul 20.42 WIB) 3. Rehabilitasi Vokasional Bagian dari proses rehabilitasi yang berusaha semaksimal mungkin untuk mengupayakan agar ODK tubuh dapat menjadi manusia yang produktif, dapat menolong dirinya sendiri dan mampu berpartisipasi dalam pembangunan. Kegiatan bimbingan ketrampilan yang diberikan ini mempunyai tujuan agar penyandang ODK tubuh memiliki ketrampilan praktis yang bisa digunakan untuk bekerja, baik untuk bekerja secara pribadi maupun untuk bekerja di perusahaan-perusahaan agar kebutuhan hidupnya bisa tercukupi. Secara umum kita mengenal tiga tahap rehabilitasi vokasional yaitu tahap dasar, tahap terampil dan tahap mahir. Tahap dasar dimana para penyandang ODK tubuh dalam mengikuti pendidikan dan latihan yang diikutinya diarahkan kepada kemampuan penguasaan dasar dalam melakukan pekerjaan. Tahap terampil, dalam tahap ini proses pendidikan dan latihan lebih diarahkan kepada pengusaan untuk memperdalam kemampuannya dalam melakukan Universitas Sumatera Utara pekerjaan. Kemudian pada tahap mahir para penyandang ODK tubuh telah dilatih secara khusus untuk mendapatkan pendidikan dan latihan di bidang tertentu secara intensif. Sebenarnya untuk menilai apakah bimbingan ketrampilan yang diberikan oleh lembaga rehabilitasi itu masuk pada tahap yang mana, lebih tergantung kepada kemampuan penyandang ODK tubuh. Jadi untuk menuju kepada tingkat mahir ada beberapa syarat yang harus dipenuhi: 1) Kemampuan penyandang ODK tubuh 2) Sarana dan prasarana termasuk meningkatkan kualitas instruktur 3) Anggaran yang disediakan. 4. Rehabilitasi Pendidikan Bagian dari proses rehabilitasi yang berusaha semaksimal mungkin untuk mengupayakan penambahan pengetahuan umum melalui sekolah formal atau paket wajib belajar. Tujuan rehabilitasi pendidikan ini adalah untuk membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental dan/atau kelainan perilaku agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan. Kegiatan yang dilaksanakan berupa refreshing, upgrading, pengetahuan umum. Berdasarkan uraian di atas, saya merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan penanganan Orang Dengan Kecacatan tubuh tersebut. Karena Sumatera Utara sendiri memiliki Panti Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera Utara yang menangani ODK tubuh tersebut. Saya ingin melihat upaya yang dilakukan oleh panti sosial bersangkutan dalam menangani para penyandang ODK tubuh untuk meningkatkan fungsi sosialnya. Universitas Sumatera Utara 2.3. Peranan Pekerja Sosial Dalam Penanganan Orang Dengan Kecacatan (ODK) 2.3.1 Pengertian Pekerja Sosial Pekerja sosial adalah sebuah profesi yang mendorong perubahan sosial, memecahkan masalah dalam kaitannya dengan relasi kemanusiaan, memberdayakan dan membebaskan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya (DuBois & Miley dalam Huda, 2009 : 3). Sama halnya dengan pengertian pekerja sosial menurut Charles Zastrow, Pekerja sosial adalah individu atau lembaga yang bergerak dalam aktivitas profesional untuk membantu individu, kelompok atau komunitas guna meningkatkan atau memperbaiki kapasitasnya untuk berfungsi sosial dan menciptakan kondisimasyarakat guna mencapai tujuan-tujuannya (Charles Zastrow dalam http://blogs.unpad.ac.id/teguhaditya/script.php/read/definisi–pekerjaan-sosial/ yang diakses pada hari Jumat,Tanggal 30 September 2011, pukul 23.00 WIB). 2.3.2 Peranan Pekerja Sosial Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan rehabilitasi, maka pekerja sosial sebagai tenaga pelaksana di pusat-pusat rehabilitasi dan atau di panti-panti sosial menempati posisi yang sangat strategis. Sebab merekalah yang secara operasional melaksanakan program-program rehabiltasi secara langsung.Mulai dari pendekatan awal sampai dengan akhir rehabilitasi, para pekerja sosial sendirilah yang secara intensif lebih banyak berkomunikasi atau melakukan intervensi kepada para penerima pelayanan atau klien. Para pekerja sosial disini, dituntut peranannya secara aktif guna membantu klien keluar dari masalah yang dihadapi. Masa depan klien ODK tubuh tergantung pada bagaimana kualitas pelayanan yang diberikan para pekerja sosial. Kualitas pelayanan itu sendiri, antara lain dapat kita cermati dari aktivitas para pekerja sosial dalam menjalankan tugas, fungsi dan peranannya yang telah Universitas Sumatera Utara diterapkan oleh pemerintah seperti yang tertuang di dalam buku panduan. Dari sini kita dapat melakukan evaluasi terhadap segala aktivitas yang dilakukan oleh pekerja sosial dalam rangka pelaksanaan peranan tersebut, seperti dalam proses rehabilitasi sosial ODK tubuh yang sedang kita bahas sekarang. Dalam hal ini, kita dapat mengidentifikasi peranan-peranan apa saja yang telah dan belum dilaksanakan para pekerja sosial, sehingga kita dapat mengetahui sampai sejauh mana peran tersebut dapat dipraktekan atau direalisasikan di dalam kehidupan panti atau pusat rehabilitasi(www.rc-solo.depsos.go.id yang diakses pada hari jumat, tanggal 30 September 2011, pukul 22.00 WIB). 2.4 Kerangka Pemikiran Masalah ODK tubuh merupakan salah satu masalah sosial yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus baik dari pemerintah, maupun masyarakat. Setiap manusia memiliki keinginan dan hak yang sama yaitu untuk dapat hidup sejahtera dan dapat menjalankan fungsi sosialnya dengan baik, demikian halnya dengan ODK tubuh sebagaimana yang telah diatur dalam UndangUndang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Namun di dalam kehidupan nyata seringkali kita melihat para penyandang cacat mengalami perlakuan yang kurang baik di masyarakat, seperti perlakuan diskriminasi, merendahkan dan menghina para penyandang cacat dengan berbagai alasan, serta masih adanya keengganan masyarakat untuk dapat mengakui keberadaan penyandang tuna daksa. Hingga saat ini sarana dan upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran para penyandang cacat telah dilakukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu yang mengatur masalah ketenagakerjaan, pendidikan nasional, Universitas Sumatera Utara kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, dan penerbangan. Akan tetapi, upaya perlindungan saja belumlah cukup ataupun memadai, dengan pertimbangan bahwa jumlah penyandang cacat akan meningkat pada masa yang akan datang, sehingga diperlukan lagi sarana dan upaya lain agar penyandang cacat dapat memperoleh kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Khususnya dalam memperoleh pendidikan dan pekerjaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosialnya yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir dan batin. Panti Sosial diharapkan menjadi sarana dalam melakukan penanganan terhadap ODK melalui programprogram rehabilitasi sosial. Salah satu panti yang ikut terjun langsung dalam penanganan terhadap orang dengan kecacatan (tuna daksa) ini adalah Panti Sosial Bina Daksa Bahagia yang berlokasi di Medan,Sumatera Utara. Dimana panti sosial ini telah memberikan penanganan terhadap ODK melalui berbagai program pelayanan rehabilitasi mulai dari medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi vokasional dan rehabilitasipendidikan. Adapun upaya peningkatan fungsi sosial yang dilakukan Panti Sosial Bina Daksa Bahagia terhadap ODK adalah: 1. Program advokasi sosial 2. Rehabilitasi sosial 3. Penyaluran dan bimbingan lanjut Universitas Sumatera Utara Keberhasilan dari upaya peningkatan fungsi sosial ODK adalah kembalinya fungsi sosial ODK dan berdayanya ODK di masyarakat dengan indikasi sebagai berikut: 1. Memiliki kemampuan/keterampilan 2. Kemampuan bersosialiasi dan percaya diri 3. Memiliki pengalaman magang 4. Memiliki pekerjaan 5. Kemandirian klien (Panduan Umum Pelaksanaan Bimbingan Sosial Penyandang Cacat Dalam Panti, 2007: 23). Universitas Sumatera Utara Bagan Alir Pikir Orang Dengan Kecacatan (ODK) Panti Sosial Bina Daksa Bahagia Program Penanganan ODK : Upaya Peningkatan Fungsi Sosial ODK 1. Pendekatan awal 2. Penerimaan 3. Assesment 4. Bimbingan Sosial, Mental, Fisik, dan Keterampilan 5. Resosialisasi 6. Bimbingan Lanjut 7. Terminasi OUTPUT 1. Memiliki keterampilan 2. Kemampuan bersosialisasi dan percaya diri 3. Memiliki pengalaman magang Universitas Sumatera Utara Bagan 1 2.5 Defenisi Konsep Dan Defenisi Operasional 2.5.1 Defenisi Konsep Konsep adalah istilah atau defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian (Sugiyono, 2006 : 33). Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian. Untuk lebih mengetahui pengertian yang jelas mengenai konsep-konsep yang akan diteliti, maka peneliti memberikan batasan konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Upaya kesejahteraan sosial adalahkegiatan yang terorganisir yang terdiri dari berbagai program, pelayanan maupun kegiatan-kegiatan untuk membantu individu ataupun kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya. Universitas Sumatera Utara 2. Orang dengan kecacatan (ODK) adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. 3. Fungsi sosial mengacu pada cara yang dilakukan individu individu atau kelompok dalam melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhannya. 2.5.2 Defenisi Operasional Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel (Sugiyono, 2006 : 63). Selain itu defenisi operasional bisa juga disebut sebagai langkah lanjutan dari perumusan defenisi konsep. Jika perumusan konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman tentang konsep-konsep, baik berupa obyek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti, maka perumusan operasional ditujukan dalam upaya transformasi konsep ke dunia nyata sehingga konsep-konsep penelitian dapat diobservasi (Siagian, 2011 : 141). Defenisi operasional dari penelitian ini adalah upaya Panti Sosial Bina Daksa Bahagia dalam peningkatan fungsi sosial orang dengan kecacatan yaitu: 1. Pendekatan Awal Kegiatan yang mengawali proses rehabilitasi yang dilaksanakan di masyarakat untuk mendapatkan kemudahan dan kerjasama dengan mengadakan kontak langsung dengan Universitas Sumatera Utara pemerintah daerah dan keluarga. Pendekatan awal dilakukan untuk mendapatkan gambaran dan informasi yang jelas guna penetapan calon klien, serta menumbuhkan minat klien untuk direhabilitasi dan termotivasinya orang tua klien untuk menyerahkan anaknya mengikuti program rehabilitasi di PSBD Bahagia Sumatera Utara. 2. Penerimaan Tahapan dimana calon klien melakukan registrasi ulang yaitu mengenai pencatatan identitas calon klien dalam buku induk, penandatanganan kontrak pelayanan antara klien dan PSBD Bahagia Sumut, pengisian dan pemeriksaan berkas-berkas yang diperlukan. 3. Assesment Untuk mendapatkan data dan informasi mengenai latar belakang permasalahan klien meliputi kemampuan melakukan aktivitas hidup sehari-hari, bakat, minat, potensi-potensi yang dimiliki, kemampuan, harapan dan rencananya untuk masa depan yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah serta upaya lain untuk pengembangan potensi klien dan penempatan klien dalam jurusan keterampilan. 4. Bimbingan Sosial, Mental, Fisik dan Keterampilan Meliputi pembinaan fisik, mental psikologis dan mental keagamaan. Di samping itu, klien juga mendapatkan bimbingan keterampilan. 5. Resosialisasi Dalam tahapan ini klien dipersiapkan untuk terjun ke masyarakat, keluarga maupun disalurkan ke lapangan kerja yang tersedia atau instansi pengirim. 6. Bimbingan Lanjut Tahap bimbingan lanjutan dilakukan setelah diadakan evaluasi sejak tahap input proses, output dan outcome maka telah mencapai titik akhir dalam proses pelayanan sosial dalam Universitas Sumatera Utara UPT, pada gilirannya harus mengakhiri kegiatan pelayanan sosial, dengan pertimbangan tindak lanjut purna pelayanan sosial. 7. Terminasi Merupakan bagian integral dari keseluruhan proses pelayanan sosial klien dalam UPT, yang terakhir dan telah disampaikan serta direncanakan oleh pihak panti untuk mengakhiri dan melepaskan dari proses pertolongan secara profesional antara panti sebagai lembaga pelayanan rehabilitasi sosial dengan sistem klien, sistem kegiatan dan sistem sasaran. Landasan bagi suatu tahapan terminasi ketika eks klien tersebut telah mandiri dan tugas-tugas yang dilakukan telah menunjukkan adanya kemajuan yang dapat dicapai, sehingga mereka benar-benar dapat melaksanakan keberfungsian sosial secara wajar dalam arti yang sesungguhnya. (Profil PSBD Bahagia Sumatera Utara, 2012: 15). Universitas Sumatera Utara