www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XV, Nomor 3 : 93 - 105 ISSN 0216-1877 TINJAUAN TENTANG KEBIASAAN MENGGUNAKAN ANTIBIOTIK DALAM DOSIS PENCEGAHAN PADA HATCHERY oleh Sri Juwana *) ABSTRACT A CRITICISM ON THE ROUTINE USE OF PROPHYLACTIC DOSES OF ANTIBIOTICS DSf THE HATCHERY OPERATIONS. Many large hatcheries are under such pressure to produce post-larvae that they have resorted to the routine use of prophylactic doses of antibiotics in their larval culture vessels. This development creates new problems such as there is the danger that resistence will develop in the pathogenic organisms; some of the antibiotics used either prophylactically or curatively are of importance in the treatment of human diseases. A literature survey on the disease characteristics of marine-crustacean, the possible cause of the diseases, treatments and feeding regimes used for rearing the crustacean larvae, suggests a new approach to the rearing of marine crustacean larvae without such a risk for human being. PENDAHULUAN Lebih lanjut pada kurun waktu yang lama kebiasaan ini akan menimbulkan bakteri resisten yang mungkin berbahaya apabila bakteri ini ternyata bakteri patogen. Juga apabila limbah hatchery yang mungkin mengandung antibiotik, bakteri resisten dan organisme virulen dibuang begitu saja ke perairan pantai maka akan menimbulkan dampak negatif ke lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Beberapa jenis antibiotik yang digunakan dalam hatchery juga penting untuk usaha-usaha penyembuhan penyakit pada manusia seperti misalnya - Naladizic acid, Nampaknya penggunaan antibiotik dalam dosis pencegahan secara rutin telah menjadi anutan untuk meningkatkan angka keIulus4iidupan benih udang (post4arva) di hatchery (BROWN dalam WICKINS 1986a). Penggunaan antibiotik secara rutin ini sangat menguatirkan apabila tidak didahului dengan penelitian untuk mengetahui penyebab penyakit pada burayak (larva). Jadi tidak selalu diketahui apakah organisme-oiganisme yang ada pada sistem budidaya tersebut terpengaruh oleh antibiotik yang digunakan. 93 Oseana, Volume XV No. 3, 1990 www.oseanografi.lipi.go.id Karena wabah penyakit tipes akan menimbulkan resiko besar maka penggunaan obat ini hams dibatasi terutama bagi negara beriklim tropis. Tulisan ini merupakan penelusuran pustaka mengenai masalah yang timbul akibat kebiasaan penggunaan antibiotik dalam dosis pencegahan pada hatchery udang. Laporan-laporan yang ditinjau disini merupakan laporan-laporan dari negara Eropa dan Amerika, tetapi tidak berarti masalah yang sama juga tidak terjadi di Indonesia. Lebih lanjut tulisan ini akan menelaah bagaimana gejala penyakit itu nampak dan membahas kemungkinan penyebabnya. Juga perlakuan-perlakuan yang pernah dicoba khususnya pada pemeliharaan burayak-burayak dari marin-krustase sehingga dapat diperoleh suatu pendekatan yang paHng sedikit menimbulkan resiko dalam usaha pembenihan di hatchery. Kanomycin, Oxytetracycline, Gentomycin, Chloramphenicol, Furazolidone . Sebagai contoh telah ada laporan dari satu hatchery di Eropa (WICKINS 1986b) yang biasa menggunakan Furazolidone (0,2 - 0,6 ppm). Penggunaan Furazolidone ini dimaksudkan untuk menanggulangi bakteri Vibrio, kemudian pada waktu resistensi timbul Furazolidone hams diganti Chloramphenicol (5 ppm). Lebih lanjut penggunaan Chloramphenicol secara rutin menimbulkan dampak negatif yang sangat menguatirkan : (1) Konsentrasi yang sangat rendah dari Chloramphenicol dapat menyebabkan "irreversible aplastic anaemia" pada manusia. Oleh karena itu sangat berbahaya bagi para pengelola hatchery jika bekerja pada atmosfer dimana Chloramphenicol digunakan, dimana karena sistem aerasi didalam bak budidaya lalu menguap ke udara. (2) Oleh karena bahaya yang dapat ditimbulkan pada penggunaan Chloram phenicol maka pemerintah Canada, U.S.A. dan E.E.C. membatasi peng gunaan obat ini untuk hewan-hewan yang diperuntukkan sebagai bahan makanan, dan pada umumnya ada tenggang waktu tertentu tanpa pemberian antibiotik ini sebelum hewan dipasarkan atau digunakan sebagai ba han makanan. Batasan yang dianjurkan oleh pemerintah UK tentang residu Chloramphenicol dalam bahan makanan adalah dibawah 10 ppb. (3) GEJALA DAN PENYEBAB PENYAKIT FISHER (1977) dengan penelitiannya dalam pemeliharaan burayak lobster (Homarus americanus) melaporkan bahwa timbulnya penyakit tak menentu, tipe dan kecepatan infestasi juga tak sama. Misalnya pada tahun 1974 terjadi infestasi oleh alga, kemudian tak ada masalah penyakit pada tahun 1975, dan pada tahun 1976 terjadi infestasi yang dahsyat oleh protozoa (vorticellid) pada burayak-burayak lobster yang dipelihara dengan tehnik yang sama di Bodega Marine Laboratory. Penulis di Newport (REED 1969) tidak memerlukan antibiotik untuk memelihara burayak Cancer magister. Sedangkan peneliti yang menggunakan tehnik yang sama di California Pusat (FISHER & NELSON 1977) memandang antibiotik perlu Chloramphenicol adalah salah satu obat yang masih efektif untuk pengobatan penyakit kolera dan tipes. Permasalahan yang dilaporkan disini diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan dalam pengelolaan hatchery di Indonesia. 94 Oseana, Volume XV No. 3, 1990 www.oseanografi.lipi.go.id untuk kelulus-hidupan burayak. Dalam hal ini populasi Cancer magister di alam, di daerah pusat mempunyai infestasi yang lebih kuat daripada di utara (FISHER & WICKHAM 1976, 1977). Hal ini diduga karena ada kadar tinggi dari zat hara yang mengalir dari mulut Teluk San Francisco. Perbedaan laporan mengenai keperluan penggunaan antibiotik untuk memelihara burayak Cancer magister mungkin berhubungan dengan keadaan geografts. JUWANA (1989) telah melakukan pengamatan dengan Skanning Elektron Mikroskop (SEM) pada permukaan telur kepiting, Carcinus maenas, yang diambil dari daerah yang sama (Teluk Cullercoats England). Ternyata spektrum (keaneka-ragaman jenis) mikroorganisme yang diamati pada Agustus 1987 dan April 1988 adalah berbeda. Tinjauan pustaka tersebut di atas menyatakan bahwa timbulnya gejala penyakit tidak menentu. Hal ini tentunya juga berkaitan dengan keaneka-ragaman jenis mikrobia di alam yang selalu berubah tergantung pada musim, zat-zat hara dan kondisi lingkungan di perairan tersebut. Penyebab langsung adalah mikrobia yang selalu ada dimanapun juga dilingkungan laut, dan mungkin memasuki sistem budidaya melalui air laut dan hewan yang dibudidayakan. Mikrobia ini menempel pada permukaan "host" atau disebut juga "microbial epibiont". Kualitas air nampaknya merupakan penyebab tak langsung. FISHER (1976) menunjukkan bahwa penambahan nitrat dan phosphat yang ditambahkan kedalam air budidaya secara significant meningkatkan jumlah "microbial epibiont" pada telurtelur Cancer magister dan meningkatkan mortalitas. Tetapi ada beberapa contoh yang menunjukkan bahwa masih ada beberapa faktor yang tak diketahui sehubungan dengan penyakit. Menurut pengamatan FISHER (1976) bahwa infestasi mikrobia dan mortalitas telur pada Cancer magister mulamula terjadi dibagian tepi massa telur dan berkembang kebagian dalam massa telur. Sedangkan FISHER dan WICHKHAM (1976) juga melaporkan bahwa tangkai telur ("stalk") dari Cancer magister mempunyai jumlah bakteri yang lebih padat daripada membran telurnya, hal ini bertolak belakang dengan logika bahwa zat-zat hara akan lebih tersedia dekat membran dimana perubahan-perubahan metabolisme terjadi. Pengamatan dengan Skanning Elektron Mikroskop terhadap mikrobia yang menempel pada telur Carcinus maenas telah dilakukan oleh JUWANA (1989). Foto la menunjukkan bahwa mikro-organisme menempel pada permukaan telur, tidak ada tanda-tanda kerusakan pada eksoskeleton ataupun membran telur. Akumulasi dari sejumlah besar mikro-organisme akan menghambat pertukaran gas melalui membran telur sehingga embryo tidak memperoleh cukup oksigen, sehingga embryo tidak dapat berkembang dan telur kemudian tidak menetas atau mati(Foto lb). Burayak yang sangat kecil mungkin terjebak oleh mikroorganisme yang berbentuk benang dan menghambat gerakan burayak tersebut yang juga akan menyebabkan kematian (Foto 2a). Foto 2b menunjukkan burayak Carcinus maenas yang telah berganti kulit ("moulting") dan bebas dari kolonisasi mikro-organisme. 95 Oseana, Volume XV No. 3, 1990 www.oseanografi.lipi.go.id Foto 1. Foto dengan Skanning Elektron Mikroskop pada permukaan telur-telur Carcinus maenas. 1 a. mikro-organisme menempel pada sebagian area permukaan telur. 1 b. mikro-organisme menempel dan menutupi seluruh permukaan telur. 96 Oseana, Volume XV No. 3, 1990 www.oseanografi.lipi.go.id wa bakteri berbentuk batang dan kokoid (non-filamentous bakteri) lebih bertanggungjawab terhadap kematian telur maupun burayaknya (lihat Gambar 1). Gambar 1 menunjukkan hubungan tingkatan kolonisasi mikro-organisme pada permukaan telur dan produksi megalopa yang diperoleh dari budidaya dengan perlakuan dan ransum makanan yang berbeda. Akumulasi pada bagian alat-alat mulut pada tingkat burayak dapat juga mengurangi efektifitas respirasi (Foto 3a) apabila infestasi mikrobia ini meningkat akan terjadi penyumbatan pada sistem pernafasan yang mengakibatkan kematian (Foto 3b). Hasil kuantifikasi terhadap kolonisasi mikro-organisme pada permukaan telur dan burayak Carcinus maenas menunjukkan bah- 97 Oseana, Volume XV No. 3, 1990 www.oseanografi.lipi.go.id Foto 3. Foto dengan Skanning Elektron Mikroskop pada bagian alat-alat mulut burayak Carcinus maenas. 3a. kolonisasi mikro-organisme pada carapace (1), dan bagian alat-aiat mulut (2): "gill" = calon insang (3) bersih dari kolonisasi mikro-organisme. 3b. kolonisasi mikro-organisme berkembang pada bagian tepi carapace (1) dekat alat-alat mulut: alat-alat mulut tertutup seluruhnya oleh kolonisasi mikro-organisme (2). 98 Oseana, Volume XV No. 3, 1990 www.oseanografi.lipi.go.id 99 Oseana, Volume XV No. 3, 1990 www.oseanografi.lipi.go.id PERLAKUAN DAN PENCEGAHAN Untuk suplai air laut yang memenuhi persyaratan budidaya memang dapat digunakan sistem penyaringan yang mendekati sempurna dengan tambahan penyinaran ultra-violet.Tetapi penyinaran dengan ultraviolet terhadap medium budidayanya tidak mempengaruhi mikrobia yang tumbuh dipermukaan inang (FISHER et al 1976b). Untuk alasan ini perlakuan dengan zat kimia lebih dianggap memadai. Karena penyakit mempunyai agen penyakit yang bervariasi, berbagai jenis zat kimia telah dicoba. SCHNICK et al (1979) telah mendaftar zat-zat kimia yang merupakan kandidat untuk digunakan dalam budidaya krustasea. Terramycin (Oxytetracycline) merupakan salah satu antibiotik dalam daftar yang dibuat SCHNICK et al (1979) dan pengaruhnya terhadap bakteri Vibrio telah dilaporkan oleh beberapa penulis. CHAN dan LAWRENCE (1974) melaporkan bahwa tingkat mysis dan pasca—burayak udang Penaeus aztecus mempunyai toleransi terhadap kombinasi antibiotik Oxytetracycline dan Oleandomycin pada konsentrasi 62,5 500 ug Oxytetracycline ditambah 25 200 ug Oleandomycin per ml air laut stiril. Hasil ini didapat berdasarkan pengukuran pernafasan pada masing-masing tingkat perkembangan burayak (nauplii, protozoea, mysis dan pasca-burayak dengan tehnik manometrik selama 24 jam. Kemudian CORLISS et al. (1977) melaporkan do sis yang diberikan dalam makanan udang Penaeus aztecus sebagai pengobatan terhadap infeksi oleh bakteri Vibrio alginofyticus. Hasil penelitian terhadap semua udang dengan berat tubuh sekitar143 mg dan 458 mg, yang diinokulasi dengan 1 : 100 larutan standar Vibrio alginolyticus (10 % tranmisi pada 520-540 nm), dapat hidup setelah 24 jam uji tes bila 100 Oseana, Volume XV No. 3, 1990 ditambahkan Oxytetracycline dalam makanannya dengan konsentrasi 5000 mg/kg makanan. Selanjutnya penelitian CORLISS (1979) menunjukkan bahwa untuk mencegah infeksi oleh strain Vibrio, Oxytetracyline dalam konsentrasi 5000 mg/kg dapat diberikan pada makanan bagi pemeliharaan udang Panaeus setiferus selama 14 hari. Sebab konsentrasi maksimum Oxytetracycline pada jaringan otot perut tercapai dalam waktu 14 hari. Setelah perlakuan tersebut udang harus dipelihara tanpa Oxytetracycline sekurang-kurangnya selama 10 hari sebelum dipasarkan, untuk menghilangkan kandungan antibiotik tersebut dari jaringan otot-otot tubuh. Penelitian dengan menggunakan udang penaeid sebagai biota uji terhadap Oxytetracycline seperti tersebut di atas memberikan kemungkinan untuk mengkontrol infeksi bakteri terutama dari strain Vibrio pada budidaya udang penaeid. Kemudian penghapusan kandungan Oxytetracycline pada jaringan otototot tubuh udang dapat dilakukan dalam waktu 10 hari sebelum pemasaran. Data hasil penelitian yang baru-baru ini didapatkan oleh JUWANA (1989), dari percobaan pemeliharaan burayak kepiting Carcinus maenas yang telah dilakukan dua kali berturut-turut pada tahun 1987 dan 1988, menunjukkan bahwa penggunaan Oxytetracycline sebagai usaha pencegahan terhadap perkembangan mikro-organisme telah menimbulkan strain-strain bakteri yang resisten dan bersifat merugikan. Pada penelitian tersebut, pengamatan terhadap spektrum mikro-organisme dan perhitungan tingkatan kolonisasi oleh setiap tipe bakteri yang ditemukan pada permukaan cephalothorax burayak Carcinus maenas dilakukan dengan tehnik Skanning Elektron Mikroskop(SEM). www.oseanografi.lipi.go.id Pada tahun 1987 telah dilakukan percobaan penetasan telur-telur kepiting, Carcinus maenas yang diambil dari satu induk dengan tiga macam perlakuan yang berbeda. Telur-telur tersebut dipisahkan dari pleopoda-pleopoda induknya dan diperlaku-kan dengan perlakuan sebagai berikut : (1) dicuci dengan air laut saring dan diinkubasikan dalam air laut saring (ukuran mata saring 1 mikron) ; (2) mendapat perlakuan pendahuluan dengan disinfektan, 50 ppm formalin, selama 35 menit kemudian dicuci bersih dan diinkubasikan dalam air laut saring; dan (3) mendapat perlakuan pendahuluan seperti pada butir (2) kemudian diinkubasikan dalam air laut saring yang ditambah Oxytetracycline (konsentrasi 50 mg/1). Sampel telur untuk pengamatan dengan SEM diambil dari telur-telur sebelum diperlakukan dan dari masing-masing perlakuan sebelum telur menetas (telah diinkubasikan tiga hari). Foto 4 secara keseluruhan menunjukkan perubahan spectrum mikro-organisme pada permukaan telur-telur Carcinus maenas setelah mengalami berbagai perlakuan dan diinkubasikan di Laboratorium. Pengamatan dengan SEM pada permukaan telur-telur tersebut menunjukkan bahwa telur yang tak mendapat perlakuan tetap mempunyai spektrum mikro-organisme yang luas, terdiri dari fleksibakteri, bakteri berbentuk batang, kokoid dan benang (Foto 4c, d). Bakteri berbentuk batang dan fleksibakteri lebih berkembang daripada bakteri berbentuk batang pada permukaan telur yang mendapat perlakuan pendahuluan dengan forma-lin (Foto 4e, f) Telur yang diinkubasikan dalam larutan Oxytetracycline didominasi oleh bakteri berbentuk batang dan kokoid (Foto 4g, h). Perhitungan dengan tehnik SEM terhadap tingkatan kolonisasi mikro-organisme pada permukaan burayak yang disampel dari budidaya dengan perlakuan Oxytetracycline menunjukkan munculnya campuran bakteri berbentuk batang dan kokoid; dan perkembangan bakteri berbentuk batang. Pengamatan ini menunjukkan bahwa Oxytetracycline menghambat pertumbuhan beberapa tipe bakteri, tetapi mengakibatkan bakteri yang resisten berkembang lebfli cepat tanpa persaingan. Hal ini menyebabkan persentase kelulus-hidupan burayak menurun dengan cepat. Sehingga pada Percobaan di tahun 1987 produksi megalopa tidak diperoleh dari budidaya yang diberi makanan pakan hidup saja. Produksi megalopa sebesar 17,9 % dapat dicapai dari budidaya yang diberi makanan tambahan berujud mikrokapsul produksi FRIPPAK. Dalam hal ini mikrokapsul ukuran 250 mikron telah diberikan sejak tanggal 2 1 - 3 1 Agustus 1987 (lihat Tabel 1 dan 2). Nampaknya makanan tambahan berbentuk mikrokapsul ini dapat memenuhi kebutuhan nutrisi burayak C. maenas sehingga burayak dapat berkembang dengan normal, melalui pergantian kulit beberapa kali dan berkembang menjadi megalopa. Pada Percobaan di tahun 1988, perlakuan dengan kombinasi formalin -Oxytetracycline dilakukan dengan metode yang sama seperti pada Percobaan I. Hanya perlakuan dengan Oxytetracycline tidak dilakukan pada pemeliharaan burayak. Perlakuan dengan Oxytetracycline selama inkubasi telur-telur C maenas (6 hari) nampak menghambat perkembangan bakteri berbentuk benang, Leucothrix mucor. 101 Oseana, Volume XV No. 3, 1990 www.oseanografi.lipi.go.id 102 Oseana, Volume XV No. 3, 1990 www.oseanografi.lipi.go.id Hasil persentase megalopa pada Percobaan II lebih tinggi daripada Percobaan I khususnya pada budidaya yang tidak mendapat perlakuan dengan Oxytetracycline. Hal ini disebabkan telah ada perbaikan terhadap susunan makanan yang diberikan pada pemeliharaan burayak, bandingkan Tabel 1 dan 2. Tingkat burayak yang lebih lanjut menerima jumlah makanan yang lebih banyak. Juga ada peningkatan ukuran makanan yang diberikan bagi tingkat burayak yang lebih lanjut. Pengaruh Oxytetracycline pada Percobaan II ini juga merugikan terhadap persentase kelulus-hidupan burayak seperti dapat dilihat pada Gambar 1. Khususnya pada budidaya yang mendapat perlakuan dengan Oxytetracycline, perbandingan tingkatan kolonisasi mikro-organisme pada burayak yang disampel dari Percobaan II menunjukkan tingkatan kolonisasi yang lebih rendah daripada burayak yang disampel dari Percobaan I. Yaitu 27 % pada Percobaan II dan 60 % pada Percobaan I. Meskipun demikian hasil produksi megalopa yang diperoleh dari Percobaan II sangat rendah (3,3 dan 4,5 %). Diduga Oxytetracycline pada dosis 50 ppm yang diberikan pada waktu telur-telur diinkubasikan bersifat toksin terhadap embryo sehingga perkembangan burayak pada tingkat-tingkat berikutnya tidak normal atau bakteri yang resisten terhadap Oxytetracycline yang bersifat toksin. 103 Oseana, Volume XV No. 3, 1990 www.oseanografi.lipi.go.id KESIMPULAN DAN SARAN Tinjauan pustaka tersebut di atas menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis mikro-organisme yang menempel pada permukaan inang adalah tidak sama meskipun pada species yang diambil dari lokasi yang sama. Keaneka-ragaman jenis mikro-organisme ini tergantung pada populasi mikroorganisme diperairan tersebut yang terpengaruh oleh keadaan musim/kondisi lingkungan dan zat-zat hara diperairan tersebut. Pada keadaan normal, artinya tak ada wabah penyakit di alam, perlakuan pada telur-telur krustase yang akan ditetaskan sebenarnya tak perlu. Produksi benih dapat tercapai bila (1) disediakan medium pemeliharaan yang memenuhi persyaratan budidaya; (2) disediakan makanan yang dapat diterima dan memenuhi kebutuhan nutrisi tiap tingkatan burayak dari species yang dipelihara; (3) burayak dipelihara dalam kondisi lingkungan yang mendekati kondisi optimum untuk perkembangan burayak. Sehingga kalaupun ada mikro-organisme yang bersama-sama berkembang dalam bak budidaya tersebut, burayak krustase akan berkembang lebih cepat dan bebas dari kolonisasi mikro-organisme sebelum sebagian dari permukaan tubuhnya tertutup oleh mikro-organisme tersebut. 104 Oseana, Volume XV No. 3, 1990 www.oseanografi.lipi.go.id FISHER, W.S. & WICKHAM, D.E. 1977. Egg mortalities in wild populations of the Dungeness crab in central and northern California. Fishery Bulletin (US) 75(1): 235-237. DAFTAR PUSTAKA CHAN, E.S. & LAWRENCE, AX. 1974. The effect of antibiotics on the respiration of brown shrimp larvae and postlarvae (Penaeus aztecus Ives) and the bacterial population associated with the shrimp. - Proceeding World Mariculture Society 5,99-124. CORLISS, J.; LIGHTNER, D. & ZEINELDIN, Z.P. 1977. Some effects of oral doses of oxytetracycline on growth, survival and disease in Penaeus aztecus. - Aquaculture 11,355 - 362. CORLISS, J. F. 1979. Accumulation and depletion of oxytetracycline in juvenile white shrimp (Penaeus setiferus). Aquaculture 16,1 — 6. FISHER, W.S. 1976. Relationships of epibiotic fouling and mortalities of the eggs ofthe Dungeness crab (Cancer magister). - Journal of the Fisheries Research Board of Canada. 33 (12) : 2849 2893. FISHER, W.S. & WICKHAM, D.E. 1976. Mortalities and epibiotic fouling of eggs from wild populations of the Dungeness crab, Cancer magister. Fishery Bulletin (US) 74 (1): 201 -207. FISHER, W.S.; NILSON, E.H.; FOLLET, L.F. & SHLESER, R.A. 1976. Hatching and rearing lobster larvae (Homarus americanus) in a disease situation. Aquaculture 7 : 7 5 - 80. FISHER, W.S. 1977. Epibiotic microbial infestations of cultured crustaceans. — Proceeding World Mariculture Society 8 : 673 - 684. FISHER, W.S. & NELSON, R.T. 1977. Therapeutic treatment for epibiotic fouling on Dungeness crab larvae (Cancer magister) reared in the laboratory. Journal Fisheries Research Board Canada. 34 (3) : 432 - 436. JUWANA, S. 1989. Aquaculture of Cardnus maenas L. (Decapoda : Portunidae) with Emphasis on Colonization of the Surface of the Larvae by Micro-organisms : A Scanning Electron Microscopy Study. - Thesis. University of Newcastle upon Tyne, England, Uk. REED, P.H. 1969. Culture methods and effects of temperature and salinity on survival and growth of Dungeness crab (Cancer magister) larvae in the laboratory. - Journal of the Fisheries Research Board of Canada 26 : 389 - 397. SCHNICK, R.A.; MEYER, F.A.; MARKING, L.L.; BILLS, F.D.; CHANDLER, J.H. 1979. Candidate chemicals for crustacean culture. - Proceeding 2nd Biennial Crustacean Health Workshop : 245 294. WICKINS, J.F. 1986a. Prawn farming today : opportunities, techniques, and developments. -Outlook on Agriculture 15 (2): 52-60. WICKINS. J.F. 1986b. Personal communication. 105 Oseana, Volume XV No. 3, 1990