tinjauan tentang kebiasaan menggunakan

advertisement
www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XV, Nomor 3 : 93 - 105
ISSN 0216-1877
TINJAUAN TENTANG KEBIASAAN MENGGUNAKAN
ANTIBIOTIK DALAM DOSIS PENCEGAHAN
PADA HATCHERY
oleh
Sri Juwana *)
ABSTRACT
A CRITICISM ON THE ROUTINE USE OF PROPHYLACTIC DOSES OF
ANTIBIOTICS DSf THE HATCHERY OPERATIONS. Many large hatcheries are
under such pressure to produce post-larvae that they have resorted to the routine
use of prophylactic doses of antibiotics in their larval culture vessels. This development creates new problems such as there is the danger that resistence will develop in
the pathogenic organisms; some of the antibiotics used either prophylactically or
curatively are of importance in the treatment of human diseases. A literature survey on
the disease characteristics of marine-crustacean, the possible cause of the diseases,
treatments and feeding regimes used for rearing the crustacean larvae, suggests a
new approach to the rearing of marine crustacean larvae without such a risk for
human being.
PENDAHULUAN
Lebih lanjut pada kurun waktu yang
lama kebiasaan ini akan menimbulkan bakteri resisten yang mungkin berbahaya apabila
bakteri ini ternyata bakteri patogen. Juga
apabila limbah hatchery yang mungkin
mengandung antibiotik, bakteri resisten dan
organisme virulen dibuang begitu saja ke
perairan pantai maka akan menimbulkan
dampak negatif ke lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
Beberapa jenis antibiotik yang digunakan dalam hatchery juga penting untuk
usaha-usaha penyembuhan penyakit pada
manusia seperti misalnya - Naladizic acid,
Nampaknya penggunaan antibiotik dalam dosis pencegahan secara rutin telah menjadi anutan untuk meningkatkan angka keIulus4iidupan benih udang (post4arva) di
hatchery (BROWN dalam WICKINS 1986a).
Penggunaan antibiotik secara rutin ini sangat
menguatirkan apabila tidak didahului dengan
penelitian untuk mengetahui penyebab penyakit pada burayak (larva). Jadi tidak selalu
diketahui apakah organisme-oiganisme yang
ada pada sistem budidaya tersebut terpengaruh oleh antibiotik yang digunakan.
93
Oseana, Volume XV No. 3, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
Karena wabah penyakit tipes akan menimbulkan resiko besar maka penggunaan obat
ini hams dibatasi terutama bagi negara
beriklim tropis.
Tulisan ini merupakan penelusuran
pustaka mengenai masalah yang timbul
akibat kebiasaan penggunaan antibiotik
dalam dosis pencegahan pada hatchery
udang. Laporan-laporan yang ditinjau disini
merupakan laporan-laporan dari negara
Eropa dan Amerika, tetapi tidak berarti
masalah yang sama juga tidak terjadi di
Indonesia.
Lebih lanjut tulisan ini akan menelaah
bagaimana gejala penyakit itu nampak dan
membahas kemungkinan penyebabnya. Juga
perlakuan-perlakuan yang pernah dicoba
khususnya pada pemeliharaan burayak-burayak dari marin-krustase sehingga dapat diperoleh suatu pendekatan yang paHng sedikit menimbulkan resiko dalam usaha
pembenihan di hatchery.
Kanomycin, Oxytetracycline, Gentomycin,
Chloramphenicol, Furazolidone . Sebagai
contoh telah ada laporan dari satu hatchery
di Eropa (WICKINS 1986b) yang biasa
menggunakan Furazolidone (0,2 - 0,6
ppm). Penggunaan Furazolidone ini dimaksudkan untuk menanggulangi bakteri Vibrio,
kemudian pada waktu resistensi timbul
Furazolidone hams diganti Chloramphenicol
(5 ppm). Lebih lanjut penggunaan Chloramphenicol secara rutin menimbulkan dampak
negatif yang sangat menguatirkan :
(1)
Konsentrasi yang sangat rendah dari
Chloramphenicol dapat menyebabkan
"irreversible aplastic anaemia" pada
manusia. Oleh karena itu sangat berbahaya bagi para pengelola hatchery
jika bekerja pada atmosfer dimana
Chloramphenicol digunakan, dimana
karena sistem aerasi didalam bak
budidaya lalu menguap ke udara.
(2)
Oleh karena bahaya yang dapat ditimbulkan pada penggunaan Chloram
phenicol maka pemerintah Canada,
U.S.A. dan E.E.C. membatasi peng
gunaan obat ini untuk hewan-hewan
yang diperuntukkan sebagai bahan
makanan, dan pada umumnya ada
tenggang waktu tertentu tanpa pemberian antibiotik ini sebelum hewan
dipasarkan atau digunakan sebagai ba
han makanan. Batasan yang dianjurkan oleh pemerintah UK tentang
residu Chloramphenicol dalam bahan
makanan adalah dibawah 10 ppb.
(3)
GEJALA DAN PENYEBAB PENYAKIT
FISHER (1977) dengan penelitiannya
dalam pemeliharaan burayak lobster (Homarus americanus) melaporkan bahwa timbulnya penyakit tak menentu, tipe dan kecepatan infestasi juga tak sama. Misalnya pada
tahun 1974 terjadi infestasi oleh alga, kemudian tak ada masalah penyakit pada tahun
1975, dan pada tahun 1976 terjadi infestasi
yang dahsyat oleh protozoa (vorticellid)
pada burayak-burayak lobster yang dipelihara dengan tehnik yang sama di Bodega
Marine Laboratory.
Penulis di Newport (REED 1969)
tidak memerlukan antibiotik untuk memelihara burayak Cancer magister. Sedangkan
peneliti yang menggunakan tehnik yang
sama di California Pusat (FISHER & NELSON 1977) memandang antibiotik perlu
Chloramphenicol adalah salah satu
obat yang masih efektif untuk pengobatan penyakit kolera dan tipes.
Permasalahan yang dilaporkan disini
diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan dalam pengelolaan hatchery di Indonesia.
94
Oseana, Volume XV No. 3, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
untuk kelulus-hidupan burayak. Dalam hal
ini populasi Cancer magister di alam, di
daerah pusat mempunyai infestasi yang lebih
kuat daripada di utara (FISHER & WICKHAM 1976, 1977). Hal ini diduga karena
ada kadar tinggi dari zat hara yang mengalir
dari mulut Teluk San Francisco. Perbedaan
laporan mengenai keperluan penggunaan
antibiotik untuk memelihara burayak Cancer
magister mungkin berhubungan dengan keadaan geografts.
JUWANA (1989) telah melakukan
pengamatan dengan Skanning Elektron Mikroskop (SEM) pada permukaan telur kepiting, Carcinus maenas, yang diambil dari
daerah yang sama (Teluk Cullercoats England). Ternyata spektrum (keaneka-ragaman
jenis) mikroorganisme yang diamati pada
Agustus 1987 dan April 1988 adalah berbeda.
Tinjauan pustaka tersebut di atas
menyatakan bahwa timbulnya gejala penyakit tidak menentu. Hal ini tentunya juga berkaitan dengan keaneka-ragaman jenis mikrobia di alam yang selalu berubah tergantung
pada musim, zat-zat hara dan kondisi lingkungan di perairan tersebut.
Penyebab langsung adalah mikrobia
yang selalu ada dimanapun juga dilingkungan
laut, dan mungkin memasuki sistem budidaya melalui air laut dan hewan yang dibudidayakan. Mikrobia ini menempel pada permukaan "host" atau disebut juga "microbial epibiont".
Kualitas air nampaknya merupakan
penyebab tak langsung. FISHER (1976)
menunjukkan bahwa penambahan nitrat dan
phosphat yang ditambahkan kedalam air
budidaya secara significant meningkatkan
jumlah "microbial epibiont" pada telurtelur Cancer magister dan meningkatkan
mortalitas.
Tetapi ada beberapa contoh yang menunjukkan bahwa masih ada beberapa faktor
yang tak diketahui sehubungan dengan
penyakit. Menurut pengamatan FISHER
(1976) bahwa infestasi mikrobia dan mortalitas telur pada Cancer magister mulamula terjadi dibagian tepi massa telur dan
berkembang kebagian dalam massa telur.
Sedangkan FISHER dan WICHKHAM
(1976) juga melaporkan bahwa tangkai
telur ("stalk") dari Cancer magister mempunyai jumlah bakteri yang lebih padat
daripada membran telurnya, hal ini bertolak
belakang dengan logika bahwa zat-zat
hara akan lebih tersedia dekat membran
dimana perubahan-perubahan metabolisme
terjadi.
Pengamatan dengan Skanning Elektron
Mikroskop terhadap mikrobia yang menempel pada telur Carcinus maenas telah dilakukan oleh JUWANA (1989). Foto la menunjukkan bahwa mikro-organisme menempel
pada permukaan telur, tidak ada tanda-tanda
kerusakan pada eksoskeleton ataupun membran telur. Akumulasi dari sejumlah besar
mikro-organisme akan menghambat pertukaran gas melalui membran telur sehingga
embryo tidak memperoleh cukup oksigen,
sehingga embryo tidak dapat berkembang
dan telur kemudian tidak menetas atau
mati(Foto lb).
Burayak yang sangat kecil mungkin
terjebak oleh mikroorganisme yang berbentuk benang dan menghambat gerakan burayak tersebut yang juga akan menyebabkan
kematian (Foto 2a). Foto 2b menunjukkan
burayak Carcinus maenas yang telah berganti kulit ("moulting") dan bebas dari
kolonisasi mikro-organisme.
95
Oseana, Volume XV No. 3, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
Foto 1. Foto dengan Skanning Elektron Mikroskop pada permukaan telur-telur
Carcinus maenas.
1 a. mikro-organisme menempel pada sebagian area permukaan telur.
1 b. mikro-organisme menempel dan menutupi seluruh permukaan telur.
96
Oseana, Volume XV No. 3, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
wa bakteri berbentuk batang dan kokoid
(non-filamentous bakteri) lebih bertanggungjawab terhadap kematian telur maupun
burayaknya (lihat Gambar 1). Gambar 1
menunjukkan hubungan tingkatan kolonisasi
mikro-organisme pada permukaan telur dan
produksi megalopa yang diperoleh dari
budidaya dengan perlakuan dan ransum
makanan yang berbeda.
Akumulasi pada bagian alat-alat mulut
pada tingkat burayak dapat juga mengurangi
efektifitas respirasi (Foto 3a) apabila infestasi mikrobia ini meningkat akan terjadi
penyumbatan pada sistem pernafasan yang
mengakibatkan kematian (Foto 3b).
Hasil kuantifikasi terhadap kolonisasi
mikro-organisme pada permukaan telur dan
burayak Carcinus maenas menunjukkan bah-
97
Oseana, Volume XV No. 3, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
Foto 3. Foto dengan Skanning Elektron Mikroskop pada bagian alat-alat mulut burayak
Carcinus maenas.
3a. kolonisasi mikro-organisme pada carapace (1), dan bagian alat-aiat mulut
(2): "gill" = calon insang (3) bersih dari kolonisasi mikro-organisme.
3b. kolonisasi mikro-organisme berkembang pada bagian tepi carapace (1)
dekat alat-alat mulut: alat-alat mulut tertutup seluruhnya oleh kolonisasi
mikro-organisme (2).
98
Oseana, Volume XV No. 3, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
99
Oseana, Volume XV No. 3, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
PERLAKUAN DAN PENCEGAHAN
Untuk suplai air laut yang memenuhi
persyaratan budidaya memang dapat digunakan sistem penyaringan yang mendekati
sempurna dengan tambahan penyinaran
ultra-violet.Tetapi penyinaran dengan ultraviolet terhadap medium budidayanya tidak
mempengaruhi mikrobia yang tumbuh dipermukaan inang (FISHER et al 1976b).
Untuk alasan ini perlakuan dengan zat kimia
lebih dianggap memadai. Karena penyakit
mempunyai agen penyakit yang bervariasi,
berbagai jenis zat kimia telah dicoba.
SCHNICK et al (1979) telah mendaftar
zat-zat kimia yang merupakan kandidat
untuk digunakan dalam budidaya krustasea.
Terramycin (Oxytetracycline) merupakan salah satu antibiotik dalam daftar yang
dibuat SCHNICK et al (1979) dan pengaruhnya terhadap bakteri Vibrio telah dilaporkan oleh beberapa penulis. CHAN dan
LAWRENCE (1974) melaporkan bahwa
tingkat mysis dan pasca—burayak udang
Penaeus aztecus mempunyai toleransi terhadap kombinasi antibiotik Oxytetracycline
dan Oleandomycin pada konsentrasi 62,5 500 ug Oxytetracycline ditambah 25 200 ug Oleandomycin per ml air laut stiril.
Hasil ini didapat berdasarkan pengukuran
pernafasan pada masing-masing tingkat perkembangan burayak (nauplii, protozoea,
mysis dan pasca-burayak dengan tehnik
manometrik selama 24 jam.
Kemudian CORLISS et al. (1977)
melaporkan do sis yang diberikan dalam
makanan udang Penaeus aztecus sebagai
pengobatan terhadap infeksi oleh bakteri
Vibrio alginofyticus. Hasil penelitian terhadap semua udang dengan berat tubuh
sekitar143 mg dan 458 mg, yang diinokulasi
dengan 1 : 100 larutan standar Vibrio alginolyticus (10 % tranmisi pada 520-540
nm), dapat hidup setelah 24 jam uji tes bila
100
Oseana, Volume XV No. 3, 1990
ditambahkan Oxytetracycline dalam makanannya dengan konsentrasi 5000 mg/kg
makanan.
Selanjutnya penelitian CORLISS
(1979) menunjukkan bahwa untuk mencegah infeksi oleh strain Vibrio, Oxytetracyline
dalam konsentrasi 5000 mg/kg dapat diberikan pada makanan bagi pemeliharaan udang
Panaeus setiferus selama 14 hari. Sebab
konsentrasi maksimum Oxytetracycline pada
jaringan otot perut tercapai dalam waktu
14 hari. Setelah perlakuan tersebut udang
harus dipelihara tanpa Oxytetracycline sekurang-kurangnya selama 10 hari sebelum dipasarkan, untuk menghilangkan kandungan
antibiotik tersebut dari jaringan otot-otot
tubuh.
Penelitian dengan menggunakan udang
penaeid sebagai biota uji terhadap Oxytetracycline seperti tersebut di atas memberikan kemungkinan untuk mengkontrol infeksi bakteri terutama dari strain Vibrio
pada budidaya udang penaeid. Kemudian
penghapusan kandungan Oxytetracycline
pada jaringan otototot tubuh udang dapat
dilakukan dalam waktu 10 hari sebelum
pemasaran.
Data hasil penelitian yang baru-baru
ini didapatkan oleh JUWANA (1989), dari
percobaan pemeliharaan burayak kepiting
Carcinus maenas yang telah dilakukan dua
kali berturut-turut pada tahun 1987 dan
1988, menunjukkan bahwa penggunaan
Oxytetracycline sebagai usaha pencegahan
terhadap perkembangan mikro-organisme
telah menimbulkan strain-strain bakteri yang
resisten dan bersifat merugikan. Pada penelitian tersebut, pengamatan terhadap spektrum mikro-organisme dan perhitungan tingkatan kolonisasi oleh setiap tipe bakteri
yang ditemukan pada permukaan cephalothorax burayak Carcinus maenas dilakukan
dengan tehnik Skanning Elektron Mikroskop(SEM).
www.oseanografi.lipi.go.id
Pada tahun 1987 telah dilakukan
percobaan penetasan telur-telur kepiting,
Carcinus maenas yang diambil dari satu
induk dengan tiga macam perlakuan yang
berbeda. Telur-telur tersebut dipisahkan dari
pleopoda-pleopoda induknya dan diperlaku-kan
dengan perlakuan sebagai berikut : (1)
dicuci dengan air laut saring dan diinkubasikan dalam air laut saring (ukuran
mata saring 1 mikron) ; (2) mendapat perlakuan pendahuluan dengan disinfektan, 50
ppm formalin, selama 35 menit kemudian
dicuci bersih dan diinkubasikan dalam air laut
saring; dan (3) mendapat perlakuan
pendahuluan seperti pada butir (2) kemudian diinkubasikan dalam air laut saring
yang ditambah Oxytetracycline (konsentrasi
50 mg/1). Sampel telur untuk pengamatan
dengan SEM diambil dari telur-telur sebelum
diperlakukan dan dari masing-masing perlakuan sebelum telur menetas (telah diinkubasikan tiga hari).
Foto 4 secara keseluruhan menunjukkan perubahan spectrum mikro-organisme
pada permukaan telur-telur Carcinus maenas
setelah mengalami berbagai perlakuan dan
diinkubasikan di Laboratorium. Pengamatan
dengan SEM
pada permukaan telur-telur
tersebut menunjukkan bahwa telur yang tak
mendapat perlakuan tetap mempunyai spektrum mikro-organisme yang luas, terdiri dari
fleksibakteri, bakteri
berbentuk batang,
kokoid dan benang (Foto 4c, d). Bakteri
berbentuk batang dan fleksibakteri lebih
berkembang
daripada bakteri berbentuk
batang pada permukaan telur yang mendapat perlakuan pendahuluan dengan forma-lin (Foto 4e, f) Telur yang diinkubasikan
dalam larutan Oxytetracycline didominasi
oleh bakteri berbentuk batang dan kokoid
(Foto 4g, h).
Perhitungan dengan tehnik SEM terhadap tingkatan kolonisasi mikro-organisme
pada permukaan burayak yang disampel dari
budidaya dengan perlakuan Oxytetracycline
menunjukkan munculnya campuran bakteri
berbentuk batang dan kokoid; dan perkembangan bakteri berbentuk batang. Pengamatan
ini menunjukkan bahwa Oxytetracycline
menghambat pertumbuhan beberapa tipe
bakteri, tetapi mengakibatkan bakteri yang
resisten berkembang lebfli cepat tanpa persaingan. Hal ini menyebabkan persentase
kelulus-hidupan burayak menurun dengan
cepat. Sehingga pada Percobaan di tahun
1987 produksi megalopa tidak diperoleh
dari budidaya yang diberi makanan pakan
hidup saja. Produksi megalopa sebesar 17,9
% dapat dicapai dari budidaya yang diberi
makanan tambahan berujud mikrokapsul
produksi FRIPPAK. Dalam hal ini mikrokapsul ukuran 250 mikron telah diberikan
sejak tanggal 2 1 - 3 1 Agustus 1987 (lihat
Tabel 1 dan 2). Nampaknya makanan tambahan berbentuk mikrokapsul ini dapat
memenuhi kebutuhan nutrisi burayak C.
maenas sehingga burayak dapat berkembang
dengan normal, melalui pergantian kulit
beberapa kali dan berkembang menjadi
megalopa.
Pada Percobaan di tahun 1988, perlakuan dengan kombinasi formalin -Oxytetracycline dilakukan dengan metode yang
sama seperti pada Percobaan I. Hanya
perlakuan dengan Oxytetracycline tidak
dilakukan pada pemeliharaan burayak. Perlakuan dengan Oxytetracycline selama inkubasi telur-telur C maenas (6 hari) nampak
menghambat perkembangan bakteri berbentuk benang, Leucothrix mucor.
101
Oseana, Volume XV No. 3, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
102
Oseana, Volume XV No. 3, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
Hasil persentase megalopa pada Percobaan II lebih tinggi daripada Percobaan I
khususnya pada budidaya yang tidak mendapat perlakuan dengan Oxytetracycline.
Hal ini disebabkan telah ada perbaikan terhadap susunan makanan yang diberikan pada
pemeliharaan burayak, bandingkan Tabel 1
dan 2. Tingkat burayak yang lebih lanjut
menerima jumlah makanan yang lebih banyak. Juga ada peningkatan ukuran makanan yang diberikan bagi tingkat burayak yang
lebih lanjut.
Pengaruh Oxytetracycline pada Percobaan II ini juga merugikan terhadap persentase kelulus-hidupan burayak seperti
dapat dilihat pada Gambar 1. Khususnya
pada budidaya yang mendapat perlakuan
dengan Oxytetracycline, perbandingan tingkatan kolonisasi mikro-organisme pada burayak yang disampel dari Percobaan II
menunjukkan tingkatan kolonisasi yang lebih rendah daripada burayak yang disampel
dari Percobaan I. Yaitu 27 % pada Percobaan
II dan 60 % pada Percobaan I. Meskipun
demikian hasil produksi megalopa yang diperoleh dari Percobaan II sangat rendah
(3,3 dan 4,5 %). Diduga Oxytetracycline
pada dosis 50 ppm yang diberikan pada
waktu telur-telur diinkubasikan bersifat
toksin terhadap embryo sehingga perkembangan burayak pada tingkat-tingkat berikutnya tidak normal atau bakteri yang resisten terhadap Oxytetracycline yang bersifat
toksin.
103
Oseana, Volume XV No. 3, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
KESIMPULAN DAN SARAN
Tinjauan pustaka tersebut di atas
menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis
mikro-organisme yang menempel pada permukaan inang adalah tidak sama meskipun
pada species yang diambil dari lokasi yang
sama. Keaneka-ragaman jenis mikro-organisme ini tergantung pada populasi mikroorganisme diperairan tersebut yang terpengaruh oleh keadaan musim/kondisi lingkungan dan zat-zat hara diperairan tersebut.
Pada keadaan normal, artinya tak ada
wabah penyakit di alam, perlakuan pada
telur-telur krustase yang akan ditetaskan
sebenarnya tak perlu. Produksi benih dapat
tercapai bila (1) disediakan medium pemeliharaan yang memenuhi persyaratan budidaya; (2) disediakan makanan yang dapat
diterima dan memenuhi kebutuhan nutrisi
tiap tingkatan burayak dari species yang
dipelihara; (3) burayak dipelihara dalam
kondisi lingkungan yang mendekati kondisi
optimum untuk perkembangan burayak.
Sehingga kalaupun ada mikro-organisme
yang bersama-sama berkembang dalam bak
budidaya tersebut, burayak krustase akan
berkembang lebih cepat dan bebas dari
kolonisasi mikro-organisme sebelum sebagian
dari permukaan tubuhnya tertutup oleh
mikro-organisme tersebut.
104
Oseana, Volume XV No. 3, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
FISHER, W.S. & WICKHAM, D.E. 1977.
Egg mortalities in wild populations of
the Dungeness crab in central and northern California. Fishery Bulletin (US)
75(1): 235-237.
DAFTAR PUSTAKA
CHAN, E.S. & LAWRENCE, AX. 1974.
The effect of antibiotics on the respiration of brown shrimp larvae and postlarvae (Penaeus aztecus Ives) and the
bacterial population associated with the
shrimp. - Proceeding World Mariculture
Society 5,99-124.
CORLISS, J.; LIGHTNER, D. & ZEINELDIN, Z.P. 1977. Some effects of oral
doses of oxytetracycline on growth,
survival and disease in Penaeus aztecus.
- Aquaculture 11,355 - 362.
CORLISS, J. F. 1979. Accumulation and
depletion of oxytetracycline in juvenile
white shrimp (Penaeus setiferus). Aquaculture 16,1 — 6.
FISHER, W.S. 1976. Relationships of epibiotic fouling and mortalities of the eggs
ofthe Dungeness crab (Cancer magister).
- Journal of the Fisheries Research
Board of Canada. 33 (12) : 2849 2893.
FISHER, W.S. & WICKHAM, D.E. 1976.
Mortalities and epibiotic fouling of eggs
from wild populations of the Dungeness
crab, Cancer magister. Fishery Bulletin
(US) 74 (1): 201 -207.
FISHER, W.S.; NILSON, E.H.; FOLLET,
L.F. & SHLESER, R.A. 1976. Hatching
and rearing lobster larvae (Homarus
americanus) in a disease situation. Aquaculture 7 : 7 5 - 80.
FISHER, W.S. 1977. Epibiotic microbial
infestations of cultured crustaceans. —
Proceeding World Mariculture Society
8 : 673 - 684.
FISHER, W.S. & NELSON, R.T. 1977.
Therapeutic treatment for epibiotic fouling on Dungeness crab larvae (Cancer
magister) reared in the laboratory. Journal Fisheries Research Board Canada.
34 (3) : 432 - 436.
JUWANA, S. 1989. Aquaculture of Cardnus maenas L. (Decapoda : Portunidae)
with Emphasis on Colonization of the
Surface of the Larvae by Micro-organisms : A Scanning Electron Microscopy
Study. - Thesis. University of Newcastle
upon Tyne, England, Uk.
REED, P.H. 1969. Culture methods and
effects of temperature and salinity on
survival and growth of Dungeness crab
(Cancer magister) larvae in the laboratory. - Journal of the Fisheries Research
Board of Canada 26 : 389 - 397.
SCHNICK, R.A.; MEYER, F.A.; MARKING,
L.L.; BILLS, F.D.; CHANDLER, J.H.
1979. Candidate chemicals for crustacean
culture. - Proceeding 2nd Biennial
Crustacean Health Workshop : 245 294.
WICKINS, J.F. 1986a. Prawn farming
today : opportunities, techniques, and
developments. -Outlook on Agriculture 15
(2): 52-60.
WICKINS. J.F. 1986b. Personal communication.
105
Oseana, Volume XV No. 3, 1990
Download