TINJAUAN PUSTAKA Kuda (Equus Caballus) Kuda telah didomestikasi sekitar 6.000 tahun yang lalu di area padang rumput luas yang kini dikenal sebagai Rusia Selatan dan Ukraina. Sejak saat itu, kuda memiliki peranan penting dalam perkembangan peradaban. Tidak ada hewan lain yang dapat berperan dalam pertumbuhan proses sosial dan pengembangan politik seperti kuda (Bowling dan Ruvinsky, 2000). Kuda pertama kali digunakan sebagai sumber pangan, untuk perang dan olahraga, serta alat pengangkutan. Kuda tersebut digunakan sebagai alat transportasi cepat untuk mengangkut orang dan memindahkan muatan yang berat. Saat itu, kuda berperan penting dalam perang, pengiriman surat, pengendali ternak lain, pertanian, pemungutan hasil panen hutan dan pertambangan (Bogart dan Taylor, 1983). Menurut Ensiklopedia Indonesia (1992), penjinakan kuda di Asia sudah dimulai kira-kira 2.500 tahun sebelum masehi. Sekitar 2.000 tahun sebelum masehi bangsa Yunani, Babilonia dan China telah membuat catatan mengenai kuda. Seribu tahun kemudian kuda peliharaan sudah digunakan di hampir seluruh Eropa, Asia dan Afrika Utara sampai pada zaman modern. Pada saat itu, kuda dipakai untuk menarik kereta perang kemudian sebagai hewan tunggangan. Kerajaan Arab dan Mongolia didirikan berkat adanya barisan kuda dan kuda mempunyai arti penting dalam peperangan pada abad pertengahan. Kemudian kuda terutama digunakan untuk pengangkutan dan pekerjaan di usaha peternakan dan pertanian serta ranch. Penyebaran Kuda Penyebaran kuda dimulai dari Amerika Utara kearah Amerika Selatan, Asia, Eropa dan Afrika yang terjadi sekitar satu juta tahun yang lalu pada akhir zaman es (9.000 SM). Sekitar abad ke-16 penjelajah Spanyol mendarat di Mexico dengan membawa 16 ekor kuda kemudian kuda ini berkembang dan menyebar di wilayah Amerika (Edward, 1994). Tiga subspesies kuda liar hidup saat itu, yaitu Tarpan Stepa (Equus przewalskii gmelini), Tarpan Hutan (E. p. silvaticus), dan kuda liar atau Kuda Przewalskii (E. p. przewalskii). Kuda jinak diturunkan dari ketiga kuda liar ini dan diberi nama ilmiah Equus przewalskii caballus atau yang biasa digunakan hanyalah nama Equus caballus (Ensiklopedia Indonesia, 1992). Menurut Bowling 3 dan Ruvinsky (2000), kariotipe kuda yang sudah didomestikasi terdiri atas 64 kromosom (13 autosom metasentris, 18 pasang autosom akrosentris dan sepasang kromosom seks). Populasi kuda di seluruh dunia pada tahun 1998 mencapai sekitar 62 juta ekor, tidak termasuk 14,6 juta bagal dan 43 juta keledai (Bowling dan Ruvinsky, 2000). Di Indonesia, berdasarkan basis data Direktorat Jenderal Peternakan (2010), jumlah populasi kuda dari tahun 2004-2008 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Populasi Kuda Tahun 2004 s/d 2008 di Indonesia (dalam ekor) No. Pulau Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 1. Sumatera 17.619 13.871 13.404 13.469 11.348 2. Jawa 56.058 46.161 49.603 50.083 39.510 3. Bali 692 582 468 453 321 4. Nusa Tenggara 172.422 174.351 177.228 176.762 182.016 5. Kalimantan 893 801 837 806 732 6. Sulawesi 139.205 140.009 144.884 147.762 146.058 7. Maluku 8.592 8.854 8.956 9.590 10.663 8. Papua 1.818 2.079 2.262 2.156 2.216 397.299 386.708 397.642 401.081 392.864 Total Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2010) Bangsa kuda dianggap sebagai hewan yang berkaitan dengan lokasi geografis tempatnya dikembangbiakkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara khusus (Bowling dan Ruvinsky, 2000). Kuda Arab dapat dianggap sebagai cikal bakal berbagai kuda di dunia. Keturunan kuda Arab antara lain terdapat di India, Iran, Irak, Amerika, Spanyol, Meksiko, Inggris dan berbagai negara lain. Biasanya kuda Arab disilangkan dengan kuda domestik yang ada sehingga menghasilkan bangsa baru. Kehadiran kuda Arab di Inggris semenjak abad XVII, menurunkan kuda pacu unggul yang kemudian dinamakan The English Thoroughbred tersebar di seluruh dunia dan digunakan sebagai kuda pacu (Soehardjono, 1990). 4 Klasifikasi Keluarga kuda (Equidae), famili mamalia berkuku ganjil mencakup: kuda (Equus przewalskii), keledai (E. asinus), keledai liar Asia atau setengah keledai (E. hemionus), zebra stepa (E. quagga), zebra gunung (E. zebra) dan zebra grevy (E. grevyi). Hewan-hewan ini, kecuali pola bergaris zebra, semuanya mirip baik secara fenotipe maupun anatomi (Ensiklopedia Indonesia, 1992). Menurut Mills dan Nankervis (1999), ternak kuda diklasifikasikan secara ilmiah sebagai berikut: Kerajaan : Animalia (hewan) Filum : Chordata (bertulang belakang) Kelas : Mammalia (menyusui) Ordo : Perissodactyla (berteracak tidak memamah biak) Famili : Equidae Genus : Equus Spesies : Equus caballus Pengelompokan kuda kemudian berkembang pesat berdasarkan berbagai hal seperti kemampuan dalam beraktivitas (temperamen) yaitu cold blood, hot blood dan warm blood, berdasarkan ukuran fisik dan proporsi tubuh seperti light horses, draught horse dan ponies, dan berdasarkan jenis aktivitas seperti work horses dan sport horses (Bowling dan Ruvinsky, 2000; Edward, 1994). Selain itu, Ensminger (1991) menjelaskan bahwa kuda dapat diklasifikasikan menjadi tipe ringan, berat dan poni berdasarkan ukuran, bentuk tubuh dan kegunaannya. Kuda tipe ringan mempunyai tinggi 1,45-1,7 m saat berdiri, bobot badan 450-700 kg dan sering digunakan sebagai kuda tunggang, kuda tarik ataupun kuda pacu. Kuda tipe ringan secara umum lebih aktif dan lebih cepat dibanding kuda tipe berat. Kuda tipe berat mempunyai tinggi 1,45-1,75 m saat berdiri dengan bobot badan lebih dari 700 kg dan biasa digunakan untuk pekerja. Kuda poni memiliki tinggi kurang dari 1,45 m saat berdiri dan bobot badan 250-450 kg. Menurut Blakely dan Bade (1991), beberapa istilah digunakan untuk menyatakan jenis kelamin, umur atau keadaan seekor kuda yaitu: Stallion : kuda jantan yang belum kawin berumur lebih dari tiga tahun Stud : kuda jantan yang digunakan untuk perkawinan Mare : kuda betina dewasa 5 Filly : kuda betina muda sampai umur tiga tahun yang untuk perkawinan Gelding : kuda jantan yang dikastrasi Colt : kuda jantan sampai umur tiga tahun Foal : kuda jantan atau betina yang umurnya dibawah satu tahun Weanling : kuda muda jantan atau betina yang baru saja disapih Kuda Lokal Indonesia Penduduk asli Indonesia telah beternak kuda sebelum kedatangan bangsa Eropa. Peternakan kuda pada saat itu belum memenuhi persyaratan teknis beternak, karena kuda hidup di alam bebas dan sangat tergantung pada alam. Akibatnya peternakan kuda rakyat menghasilkan kuda dengan kualitas yang rendah (Soehardjono, 1990). Menurut Jacoeb (1994), pada abad ke-7, muncul beberapa kerajaan maritim di Indonesia yang memiliki armada niaga dan perang yang kuat. Perkembangan kekuatan maritim tersebut mempercepat usaha pengembangbiakan dan penyebaran kuda hampir ke seluruh kepulauan Indonesia antara lain ke Jawa, Sulawesi bahkan sampai ke pulau-pulau kecil lain. Perkembangan agama Islam di Indonesia juga ikut mempengaruhi perkembangan kuda. Sambil menyebarkan agama Islam, mereka memperkenalkan jenis kuda yang mereka bawa dari negeri asalnya sehingga para penduduk menyilangkan dengan kuda asli Indonesia untuk mendapatkan jenis kuda yang memiliki kualitas lebih baik. Tinggi badan kuda yang terdapat di Indonesisa berkisar antara 1,15-1,35 m, sehingga tergolong dalam jenis poni. Bentuk kepala umumnya besar dengan wajah rata, tegak, sinar mata hidup serta daun telinga kecil. Ciri-ciri lain, bentuk leher tegak dan lebar. Tengkuk kuat, punggung lurus dan pinggul kuat. Letak ekor tinggi dan berbentuk lonjong, dada lebar, sedang tulang rusuk berbentuk lengkung serasi. Kaki berotot kuat, kening dan persendiannya baik, sedangkan bentuk kuku kecil dan berada diatas telapak yang kuat. Jika kuda ini berdiri, akan tampak sikap yang kurang serasi (kurang baik), karena kedua kaki bagian muka lebih berkembang bila dibandingkan dengan kaki belakang (Jacoeb, 1994). Indonesia terkenal memiliki cukup banyak jenis kuda lokal yang selalu dikembangkan oleh sebagian rakyat sebagai hewan kesayangan atau hewan pembantu mencari nafkah keluarga. Jenis kuda yang terdapat di Indonesia dinamai berdasarkan daerah asal kuda tersebut, seperti Kuda Makassar, Sumba, Flores, 6 Timor, Jawa (Priangan), Kuningan, Gorontalo (Minahasa), Bima, Sumatera, Lombok dan Roti (Tim Karya Tani Mandiri, 2010). Kuda Jawa Menurut Jacoeb (1994), kuda Jawa ditemukan di Pulau Jawa sekitar abad tujuh belas, dibentuk melalui persilangan antara kuda lokal dengan kuda Arab dan Barbarian. Kavaleri Belanda menggunakan kuda ini untuk melancarkan operasi militer antara lain untuk menumpas perlawanan Diponegoro (1825-1830). Saat ini kuda Jawa tidak memiliki konformasi yang sama dengan kuda Arab, akan tetapi memiliki ketahanan terhadap cuaca panas yang tinggi seperti kuda Arab. Daya tahan serta stamina untuk berlari dalam jarak jauh juga diturunkan oleh Kuda Arab, meskipun ukuran tubuhnya lebih kecil (Kingdom, 2006). Tinggi kuda Jawa sekitar 1,15 m dan bertemperamen labil. Kuda ini dikenal jinak dan berkuku lembek (Jacoeb, 1994). Kuda Jawa cukup tangguh dan kuat meskipun memiliki ukuran tubuh kecil, mempunyai kepala yang khas dengan telinga panjang dan mata yang cerdas, leher pendek dan berotot serta dada lebar dan dalam. Pertulangan dapat dinyatakan baik tetapi kurang begitu berkembang dengan tulang cannon yang panjang (Kingdom, 2006). Kuda Sumatera Kuda Sumatera terdiri atas lima jenis yaitu Kuda Padang, Mangatas, Batak, Agam dan Gayo. Jenis kuda yang terbaik adalah kuda Batak yang diternakkan di daerah Toba dan Karo. Tubuhnya serasi, dengan sifat tidak terlalu binal dan memiliki daya tahan yang kuat serta mampu mengangkut dua penumpang. Tinggi kuda jantan rata-rata 1,25-1,50 m dan yang betina 1,25 m. Bentuk kepala agak besar dengan leher lebar dan pendek. Rambut kepala kasar dan berdiri. Kakinya langsing dan berbulu di bagian persendian. Ciri-ciri lain, berahang besar, leher bagian bawah sempit, tulang bahu berbentuk lurus dan bentuk tulang punggung melengkung. Kuda ini banyak digemari dan berfungsi sebagai kuda tarik (Jacoeb, 1994). Jenis kuda Sumatera lain hampir mirip dengan kuda Batak, berbentuk agak besar. Kuda Agam dan Gayo bertubuh kecil dan bersifat jinak. Jenis kuda ini menyebar ke daerah Aceh, sedangkan kuda Batak ke Deli (Sumatera di bagian 7 Timur), Singapura dan Malaysia. Di tempat-tempat itu dikenal dengan nama kuda Deli (Jacoeb, 1994). Kuda Sumba Kuda Sumba berpinggang agak tinggi dan merupakan keturunan kuda Australia yang pernah dimasukkan ke kota Rendeh, pulau Sumba. Kuda Sumba dianggap sebagai jenis kuda yang baik untuk kuda pacu, maka pada tahun 1984 pejantan-pejantan kuda unggul diekspor ke pulau Jawa, Singapura dan Malaysia (Straits Settlements), Manila dan Mauritius (Afrika Timur). Akibatnya hanya disisakan pejantan yang berkualitas rendah, sehingga mutu peternakan kuda merosot. Kuda Sumba terdiri dari dua jenis bentuk, yaitu kuda yang memiliki tubuh kecil di daerah selatan dan timur serta kuda yang berbentuk agak besar di daerah utara dan barat (Soehardjono, 1990). Kuda Sumba atau sering disebut kuda Sandel memiliki penampilan yang primitif, tinggi sekitar 1,27 m, perbandingan kepala lebih besar daripada badan dan bagian kepala lebih mengarah tipe Mongolian dengan leher yang pendek. Konformasi kuda Sumba tidak sempurna tetapi bagian punggung sangat kuat (Edwards, 1994). Kuda ini merupakan kuda terbaik di Indonesia dan termasuk kuda ringan (Tim Karya Tani Mandiri, 2010). Karakteristik Kuda Kuda adalah hewan yang bersifat sosial dan bersemangat tinggi. Kuda lebih banyak digunakan untuk kepentingan olahraga, bekerja atau dimanfaatkan tenaganya dan rekreasi, bukan sebagai bahan pangan. Pengangkutan dengan kuda masih ditemukan di banyak daerah yang belum dapat dilalui oleh kendaraan bermotor karena belum mempunyai jalan raya untuk kendaraan bermotor (Parakkasi, 1986). Dalam menarik beban, kuda kecil mampu menarik beban 77% berat tubuhnya, sedangkan kuda besar 68% (Tim Karya Tani Mandiri, 2010). Kuda memiliki kemampuan belajar yang baik dalam mengenal suatu obyek (Kilgour dan Dalton, 1984). Kuda makan jerami dan rumput meskipun kuda bukanlah ruminansia. Kuda termasuk hewan monogastrik yang memiliki caecum yang besar dan mengandung mikroorganisme yang mampu mencerna pakan berserat 8 sehingga dapat memanfaatkan hijauan dan diubah menjadi zat-zat gizi yang dapat diserap (Blakely dan Bade, 1991). Dalam suatu kelompok kuda betina yang permanen (sekelompok kuda terdiri atas kuda betina dewasa dan anak-anak kuda yang dipimpin oleh seekor kuda jantan) terbentuk suatu hubungan sosial yaitu yang dipimpin seekor kuda jantan dan terbentuk suatu hubungan sosial kuda betina yang berhubungan tetap hanya dengan seekor pejantan yang memimpin kelompok tersebut (Mills dan Nankervis, 1999). Kuda jantan yang memimpin dan menguasai sekelompok kuda betina, akan melindungi kuda betina dewasa yang merupakan bagian kelompoknya dari gangguan kuda jantan lain khususnya selama masa estrus (Kilgour dan Dalton, 1984). Sifat Kualitatif Sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh sepasang gen dan bersifat tidak aditif. Sifat kualitatif meliputi warna, pola warna, sifat bertanduk atau tidak bertanduk sangat mudah dibedakan tanpa harus diukur (Noor, 2008). Sifat kualitatif lebih banyak diatur atau ditentukan oleh genotipe individu sehingga peranan faktor lingkungan sangat kecil (Martojo, 1992). Sifat kualitatif pada kuda diantaranya warna kulit, tanda di kepala dan tanda di kaki. Warna kuda dinilai berdasarkan pertimbangan warna kulit dan warna di beberapa point, seperti di bagian moncong, ujung telinga, surai, ekor dan kaki bagian lutut ke bawah (The Pony Club, 1993). Menurut The Pony Club (1993), warna dasar pada kulit kuda diantaranya hitam (seluruh badan berwarna hitam), cokelat (kulit berwarna cokelat gelap atau hampir hitam dengan warna cokelat di bagian point), bay (kulit berwarna cokelat dan point warna hitam. Light, bright dan dark merupakan variasi warnanya), chesnut (Kuning jingga atau cokelat kemerahan, termasuk surai dan ekor. Light, dark dan liver chesnut merupakan variasinya), grey (warna antara putih dan hitam. Iron grey untuk kuda yang cenderung hitam, dappled grey untuk kuda yang memiliki corak melingkar berwarna cerah diantara kulit yang gelap, flea-bitten grey untuk yang memiliki rambut berwarna gelap menumpuk sehingga nampak berbintik, light grey untuk dominan warna putih), dun (biasanya memiliki point berwarna hitam dan beberapa nampak seperti zebra di bagian tungkai), roan (terdapat warna bulu merah diantara bulu-bulu putih. Variasi warna diantaranya strawberry roan, red roan, blue roan). Piebald (bercak putih tidak beraturan pada warna dasar yang lebih gelap), 9 skewbald (corak putih dan beberapa warna selain hitam yang tidak teratur), totoltotol (tipe warna yang dikenal diantaranya leopard, blanket dan snowflake), palomino (badan berwarna merah tembaga, pirang atau kekuningan namun warna surai dan ekornya lebih muda) dan warna ganjil yang tidak sesuai dengan warna standar. Istilah yang sering muncul untuk tanda putih di kepala yaitu star, stripe, blaze, white face, snip, wall eye, star & stripe, star, stripe & snip, dan bald. Istilah untuk tanda di kaki yaitu white pastern, while to fetlock, while to half-cannon, stocking, sock, ermine, coronet, ankle, dan white outside heels (The Pony Club, 1993; Ensminger, 1991). Sifat Kuantitatif Sifat kuantitatif dikontrol oleh banyak gen yang aksinya bersifat aditif, dominan dan epistatik serta bersama-sama dengan pengaruh lingkungan (nongenetik), menghasilkan ekspresi fenotipik sebagai sifat kuantitatif tersebut (Noor, 2008; Martojo, 1992). Keragaman sifat kuantitatif bersifat kontinyu berkisar diantara nilai minimum dan maksimum serta menggambarkan suatu distribusi normal (Martojo, 1992). Sifat kuantitatif pada kuda diantaranya ukuran tinggi dan bobot badan, laju pertumbuhan, kecepatan lari dan banyak sifat lain. Pada Tabel 2 disajikan ukuran tinggi pundak dan bobot badan anak kuda berdasarkan perbedaan umur dan bangsa. Tabel 2. Tinggi Pundak dan Bobot Anak Kuda Berdasarkan Umur dan Bangsa yang Berbeda Umur 6 Bulan Umur 12 Bulan Umur 18 Bulan Bangsa Berat (kg) Tinggi (cm) Berat (kg) Tinggi (cm) Berat (kg) Tinggi (cm) Shetland pony 52 86 73 94 83 97 Quarter horse 44 84 66 91 80 95 Anglo-Arab 45 83 67 92 81 95 Arabian 46 84 66 91 80 95 Thoroughbred 46 84 66 90 80 95 Percheron 40 79 59 89 74 92 Sumber: Morel (2008) 10 Pengukuran tinggi dilakukan dari permukaan tanah hingga titik tertinggi pundak. Manfaat dari tinggi badan diantaranya sebagai salah satu informasi deskripsi kuda, membantu pembagian kelas kuda berdasarkan tujuan penampilan, indikator ukuran yang ditawarkan dalam katalog penjualan, dan indikator pendugaan ukuran baju, sadel atau kebutuhan aksesoris kuda (The Pony Club, 1993). Pengukuran beberapa bagian tubuh pada kuda dewasa juga diperlukan untuk mengetahui konformasi tubuh. Pengukuran tubuh kuda di Denkavkud telah dilakukan oleh Prajoga dan Tunisa (2007) yang diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3. Ukuran Bagian Tubuh Kuda Dewasa Berdasarkan Total Populasi Deskripsi Statistik Throatlatch – pundak Pundak – pinggul Pinggul – pangkal ekor Pundak – perut Permukaan tanah - perut Jarak (cm) Rataan 64,87 71,10 37,27 66,87 77,92 Ragam Standar deviasi Maksimum 38,94 41,70 58,00 8,58 13,97 6,24 6,46 7,62 2,93 3,74 78,00 88,50 51,00 79,00 85,00 Minimum Koef. Keragaman 50,00 54,00 21,00 61,00 68,00 9,62 9,08 20,08 4,38 4,80 Keterangan: Jumlah sampel = 57 ekor Sumber : Prajoga dan Tunisa (2007) Seekor kuda betina mencapai dewasa kelamin pada umur sekitar 12-15 bulan, sedangkan untuk kuda jantan dewasa kelamin dicapai pada umur sekitar 24 bulan. Kuda yang dipelihara secara intensif, perkawinan pertama biasa dilakukan pada saat kuda betina berumur 2-3 tahun dan jantan 3-4 tahun (Blakely dan Bade, 1991). Kuda betina akan berahi setiap 21 hari sekali jika tidak dalam keadaan bunting. Kebanyakan kuda betina hanya memproduksi satu anak per kelahiran (Bogart dan Taylor, 1983). Lama kebuntingan berkisar antara 315-350 hari dengan rata-rata 335 hari (Kilgour dan Dalton, 1984). Kuda Kavaleri Menurut Parakkasi (1986), sejak zaman dahulu kala, Raja Fir’aun telah mengenal pasukan kavaleri. Sampai sekarang, angkatan bersenjata Indonesia memiliki pasukan kavaleri yang sebelumnya dikenal dengan Pasukan Kuda Beban 11 (PKB) yang digunakan untuk mengangkut peluru, mortir dan alat-alat peperangan lain di daerah operasi. Kavaleri berasal dari bahasa Latin, caballus dan bahasa Perancis chevalier yang berarti kuda. Istilah kavaleri mengacu kepada pasukan berkuda, namun dalam perkembangan zaman, kavaleri bertempur dengan menggunakan lapis baja (Pussenkav TNI-Angkatan Darat, 2010). Di Indonesia, pada abad VII Masehi, dengan berdiri kerajaan-kerajaan yang beragama Hindu dan Budha, peranan kuda telah ikut menentukan kehidupan kerajaan itu, antara lain, sebagai sarana angkutan dari ibukota kerajaan ke daerah pedalaman. Selain itu juga dipakai sebagai kendaraan perang dan kendaraan raja untuk berburu maupun tampil dalam parade. Kuda dipakai sebagai sarana dalam perang, diantaranya untuk tunggangan para prajurit dan untuk mengangkut peralatan perang, seperti pelanting batu atau sekelompok pasukan pemanah (Soehardjono, 1990). Syarat kuda kavaleri TNI-AD diantaranya memiliki warna bulu yang gelap dan polos, dapat membawa beban minimal 100 kg, kuat, tidak cacat fisik, ketahanan tubuh baik, dan telah lulus pelatihan kuda militer (Prajoga dan Tunisa, 2007). Sistem Perkawinan Perkawinan hewan dapat terjadi secara acak (random mating) atau terarah (assortative mating) (Allendorf dan Luikart, 2008). Perkawinan secara acak terjadi apabila setiap individu mempunyai kesempatan yang sama untuk kawin dengan lawan jenis (jenis kelamin yang berbeda). Artinya, setiap individu mempunyai kebebasan untuk memilih pasangan. Hal ini akan terjadi jika ternak masih sering dilepas dalam padang penggembalaan (Minkema, 1993). Pada kebanyakan ternak, perkawinannya diatur oleh manusia agar mendapatkan keturunan yang lebih baik daripada tetua. Maka sebagai akibat dari adanya perkawinan yang terprogram dan terarah ini, komposisi genetik dalam populasi dapat diperkirakan akan berubah (Hardjosubroto, 2001). Pada sebagian besar populasi ternak, mobilitas dari individu adalah terbatas. Ternak mempunyai tendensi kawin (dikawinkan) dengan individu disekitarnya, sehingga perkawinan tidak dapat berlangsung acak. Struktur dari suatu populasi tidak hanya ditentukan oleh besaran dari frekuensi gen penyususn beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya, tetapi dapat ditentukan oleh sistem perkawinan dari tetua (Minkema, 1993). 12 Sistem pembiakan dibagi kedalam tiga kelompok utama, yaitu: biak setara (assortative mating), biak dalam (inbreeding), dan biak luar (outbreeding). Biak setara adalah ketika hewan yang dikawinkan dipilih atas dasar kemiripan tampak luarnya atau kemiripan fenotipik (Martojo, 1992). Perkawinan antara dua individu yang masih mempunyai hubungan keluarga disebut sebagai perkawinan biak dalam atau inbreeding. Persilangan antara dua individu ternak yang tidak memiliki hubungan keluarga disebut persilangan luar atau outbreeding (Hardjosubroto, 2001). Menurut Yatim (1991), inbreeding menghasilkan keturunan dari perkawinan sekerabat. Outbreeding menghasilkan keturunan dari perkawinan tidak sekerabat. Inbreeding menghasilkan individu homozigot tinggi, sedangkan outbreeding menimbulkan individu heterozigot tinggi. Biak Setara (Assortative mating) Biak setara adalah ketika hewan yang dikawinkan dipilih atas dasar kemiripan fenotipik. Kebalikannya yang dikenal dengan “disassortative mating” diterjemahkan dengan istilah biak tidak setara. Biak setara akan mempengaruhi frekuensi genotipe karena dikawinkan berdasarkan fenotipe yang merupakan ekspresi dari genotipe. Dalam hal ini, generasi turunan akan mengalami peningkatan homozigositas walaupun efeknya tidak sekuat efek yang ditimbulkan inbreeding. Hal ini terjadi karena perkawinannya sama sekali tidak didasarkan pada genotipe hewan dan hanya berdasarkan fenotipe. Manfaat lain dari biak setara adalah memberi kesempatan kawin kepada fenotipe yang ekstrim atau yang menyimpang daripada rata-rata (Martojo, 1992). Cara pembiakan setara merupakan cara yang paling sederhana, bahkan merupakan cara primitif yang telah diterapkan oleh nenek moyang kita sejak mereka mulai menjinakkan hewan. Dalam hal ini terdapat empat kemungkinan utama dalam pelaksanaan perkawinan, misal pada biak setara ternak besar kawin dengan ternak besar menghasilkan anak yang bertubuh besar, ternak kecil kawin dengan ternak kecil menghasilkan anak yang bertubuh kecil, dan ternak sedang kawin dengan ternak sedang menghasilkan anak yang memiliki ukuran tubuh sedang, sedangkan pada biak tidak setara, ternak besar kawin dengan ternak kecil akan menghasilkan anak yang memiliki ukuran tubuh sedang. Keempat cara perkawinan ini merupakan 13 cara sederhana bagi peternak untuk menghasilkan perubahan pada fenotipik ternak, terutama untuk sifat kuantitatif (Martojo, 1992). Biak Luar (Outbreeding) Outbreeding adalah persilangan antarternak yang memiliki hubungan kekerabatan lebih jauh daripada rataan hubungan kekerabatan kelompok asal ternak (Noor, 2008). Outbreeding umumnya sengaja dilakukan untuk menggabungkan sifatsifat baik dan mengurangi akibat inbreeding dengan jalan memasukkan darah baru yang merupakan sekelompok ternak (umumnya pejantan) yang didatangkan dari luar kelompok sehingga mempunyai hubungan keluarga yang jauh. Sistem seleksi dan outbreeding dapat dianjurkan untuk kebanyakan ternak bibit terutama untuk sifatsifat yang sebagian besar dipengaruhi oleh gen-gen dengan efek aditif dan heritabilitas tinggi (Martojo, 1992). Persilangan merupakan bagian dari sistem perkawinan outbreeding yang dilakukan antara dua bangsa yang berbeda. Persilangan secara genetik bertujuan untuk menaikkan persentase heterozigositas, sehingga dapat meningkatkan variasi genetik (Allendorf dan Luikart, 2008). Menurut Noor (2008), persilangan yang tergolong outbreeding ada tiga macam, yaitu persilangan antargalur (Linecrossing), persilangan antarbangsa (Crossbreeding) dan persilangan antarspesies. Beberapa manfaat dari outbreeding yaitu penggabungan dua sifat bangsa yang berbeda ke dalam satu bangsa silangan, pembentukan bangsa baru, grading up dan pemanfaatan heterosis (Hardjosubroto, 2001). Outbreeding semakin banyak menimbulkan variasi genetik (Yatim, 1991). Outbreeding dengan seleksi yang sering disebut seleksi massa paling efektif untuk mengubah frekuensi gen-gen dengan pengaruh aditif. Outbreeding dengan seleksi dapat dianggap sebagai suatu sistem yang diharapkan untuk menghasilkan kemajuan terus-menerus (walaupun sering lambat) dengan resiko minimum mendapat hasil yang tidak diinginkan (Warwick et al., 1990). Jika ternak yang tidak memiliki hubungan keluarga disilangkan maka keturunannya cenderung menampilkan performa yang lebih baik daripada rataan performa tetua untuk sifat-sifat tertentu. Hal ini disebut hybrid vigour yang nilainya dapat diukur dan pengukuran ini disebut sebagai heterosis. Heterosis dinyatakan ada jika rataan performa ternak hasil persilangan melebihi rataan tetua yang purebred 14 (Noor, 2008). Menurut Martojo (1992), pengaruh heterosis sering bersifat aditif dan multiplikatif, oleh karena itu, untuk sifat-sifat yang sebagian besar dipengaruhi oleh gen-gen dengan efek aditif dengan heritabilitas tinggi, suatu sistem seleksi dan outbreeding dapat dianjurkan untuk kebanyakan kelompok ternak bibit. Biak Dalam (Inbreeding) Biak dalam (inbreeding) adalah persilangan antarternak yang memiliki hubungan keluarga yang lebih dekat jika dibanding dengan rataan hubungan kekerabatan kelompok tempat ternak tersebut (Noor, 2008). Perkawinan inbreeding akan menyebabkan kehilangan variasi genetik (Allendorf dan Luikart, 2008). Kedua individu yang dikawinkan secara inbreeding tersebut akan mempunyai moyang bersama beberapa generasi ke atas. Dengan demikian, keturunan dari hasil perkawinan inbreeding ini akan mempunyai dua gen pada lokus yang identik dengan gen moyang bersama (Hardjosubroto, 2001). Menurut Warwick et al. (1990), ternak dianggap berkerabat bila mempunyai nenek-moyang yang sama pada 4-6 generasi pertama. Ternak yang tidak mempunyai moyang bersama pada empat sampai enam generasi pertama dari silsilahnya dianggap mempunyai kekerabatan yang sama seperti kekerabatan antara ternakternak acak dalam populasi. Inbreeding merupakan proses yang seimbang dan menyebabkan fiksasi gen-gen yang tidak disukai sama cepatnya dengan gen-gen yang disukai. Inbreeding mengakibatkan peningkatan derajat homozigositas dan pada saat yang bersamaan menurunkan derajat heterozigositas. Sebagai contoh, jika terdapat 1.000 lokus heterozigot dalam populasi, maka akan berubah menjadi 750 gen yang tetap heterozigot setelah satu generasi kawin dengan saudara dekatnya (Rahmanovic et al., 2008). Peningkatan frekuensi homozigot resesif dapat menyebabkan peluang gen lethal muncul lebih besar, juga akan mengakibatkan penurunan performans atau produksi ternak. Peristiwa penurunan produksi ternak sebagai akibat perkawinan silang dalam disebut sebagai tekanan inbreeding (Hardjosubroto, 2001). Tekanan inbreeding terjadi karena peningkatan homozigositas atau pengurangan heterozigositas (Allendorf dan Luikart, 2008). Dampak dari tekanan inbreeding pada ternak sudah banyak dilaporkan, salah satunya menurut Sudono (1999) bahwa dampak inbreeding yang buruk pada sapi 15 perah seperti penurunan laju pertumbuhan (rata-rata sekitar 1,25-5% untuk setiap 10% kenaikan inbreeding), penurunan efisiensi produksi (misal: sapi sulit menjadi bunting, jarak antara beranak panjang dan kematian embrio), penurunan vitalitas sehingga banyak kematian pada anak-anak sapi mencapai 4,20% untuk setiap 10% kenaikan inbreeding, produksi susu menurun karena inbreeding sebanyak 95 kg untuk setiap satu persen kenaikan inbreeding, dan timbul berbagai faktor lethal, yang pada sistem perkawinan lain tidak timbul, misalnya hydrocephalus, hernia umbicalis, dan bull dog calf. Menurut Sudono (1999), bentuk lain dari inbreeding terdapat dua macam, yaitu: Clossed breeding (perkawinan antarkeluarga yang dekat sekali hubungannya, misal antara saudara sekandung atau antara tetua (bapak atau induk) dan anaknya). Linebreeding (perkawinan antarkeluarga yang dipusatkan pada individu tertentu yang disenangi). Tujuan penggunaan sistem linebreeding adalah untuk menghasilkan keturunan yang memiliki kesamaan gen dengan salah satu tetua yang unggul (Noor, 2008). Inbreeding tidak selalu menuju pada pemunculan karakter buruk. Karakter buruk hanya akan muncul jika memang ada alel buruk pada suatu keturunan. Jika alel buruk tersebut tidak ditemukan, inbreeding tidak menimbulkan efek negatif. Perkawinan sedarah ini baik untuk individu yang bergalur murni yang tidak memiliki gen resesif (Yatim, 1991). Menurut Noor dan Seminar (2009), dalam bidang pemuliaan teknik inbreeding ini biasanya dipakai untuk membentuk galur murni. Dalam bidang pertanian dan peternakan banyak galur murni yang berguna dan berproduksi tinggi telah dihasilkan melalui penggunaan teknik ini. Koefisien Inbreeding. Tingkat inbreeding dapat diukur dengan menghitung nilai koefisien inbreeding pada suatu individu dengan menggunakan silsilah keluarga (Noor dan Seminar, 2009). Akibat genetik dan fenotipik dari perkawinan individu yang berkerabat dapat diketahui dengan mengukur derajat kekerabatan antara ternakternak dan harapan genetik dari perkawinan ternak dengan macam-macam derajat kekerabatan. Ukuran-ukuran ini paling tepat dinyatakan dengan koefisien hubungan kekerabatan dan silang dalam dari Allendorf dan Luikart (2008). Koefisien ini adalah ukuran persentase peningkatan homozigositas dari ternak-ternak inbred dibandingkan dengan rataan populasi (Warwick et al., 1990). Koefisien inbreeding 16 dapat digunakan untuk mengukur peningkatan homozigositas suatu individu akibat inbreeding tersebut. Koefisien ini dapat pula digunakan untuk mengukur penurunan derajat heterosigositas suatu individu relatif terhadap tetuanya pada populasi yang sama (Noor, 2008). Koefisien inbreeding (F) adalah kemungkinan suatu individu mengalami autozygous (menerima dua alel yang sama pada lokus identik yang diturunkan tetuanya). Nilai F berkisar antara 0 (tidak kawin sedarah sama sekali) hingga 1 (kawin sedarah total) (Allendorf dan Luikart, 2008). Umumnya koefisien inbreeding suatu individu adalah setengah dari koefisien kekerabatan individu tersebut dengan tetuanya. Jadi, perhitungan koefisien inbreeding pada dasarnya adalah mengalikan koefisien kekerabatan dengan setengah. Ternak-ternak bersaudara kandung memiliki koefisien inbreeding 25%. Ternak-ternak yang bersaudara tiri memiliki koefisien inbreeding 12,5% (Noor, 2008). Salah satu cara penghitungan koefisien inbreeding menurut Rahmanovic et al. (2008) adalah dengan membuat silsilah klasik individu, lalu dibuat diagram anak panah. Nilai koefisien inbreeding dihitung dengan rumus berdasarkan moyang bersama. Menurut Noor dan Seminar (2009), dalam bidang peternakan, apabila koefisien inbreeding telah mencapai angka tertentu (biasanya sekitar 30%), maka perkawinan sekerabat berikutnya akan meningkatkan fenomena tekanan inbreeding. Setiap peningkatan koefisien inbreeding sebesar 5%, maka akan berakibat terhadap penurunan produksi yang sangat signifikan, peningkatan kematian dan peningkatan frekuensi munculnya cacat. Penurunan performa ini diduga berhubungan dengan perubahan metabolisme akibat gen-gen resesif terkumpul. Laju Inbreeding. Dalam populasi ternak yang berjumlah besar dan pada peternakan rakyat tidak dapat diharapkan ketersediaan silsilah mengenai individu-individu, oleh karena itu ada cara lain yang tidak mempersoalkan F pada individu tetapi rataan peningkatan F untuk seluruh populasi (Martojo, 1992). Dalam keadaan ini, laju inbreeding yang meningkat dalam populasi dapat diduga secara kasar dari jumlah jantan yang digunakan sebagai pejantan dan jumlah betina yang telah dikawinkan serta jumlah ternak muda atau yang akan masuk kedalam populasi sebagai ternak dewasa pada tahun berikutnya, baik jantan maupun betina (Wiener, 1994; Martojo, 1992). 17