Kutipan di atas juga menceritakan bahwa masyarakat

advertisement
telah ada kesepakatan pada waktu itu antara Pak Beny selaku sesepuh Papua dengan
calon Walikota terutama masalah KTP tapi ketika pasangan yang kami arak-arak dengan
tarian Papua menang, sampai hari ini belum ada realisasi janji politik kepada kami orang
Papua di Jogja.”148
Kutipan di atas juga menceritakan bahwa masyarakat Papua telah mendukung
salah satu kandidat melalui kampanye dengan tari-tarian khas papua. Meskipun
masyarakat Papua tidak memiliki hal pilih, namun mereka berkampanye untuk
memperlihatkan kepada masyarakat Yogyakarta bahwa mereka mendukung salah
satu pasangan calon walikota. Namun demikian, hal ini pada akhirnya kembali
menjadi keluhan masyarakat Papua di Yogyakarta.
Setelah pasangan tersebut memenangkan pemilihan, janji politik yang diberikan
tidak kunjung terwujud. Masyarakat Papua masih tetap tidak memperoleh KTP dan
mendapatkan diskriminasi dalam pelayanan publik. Berdasarkan kondisi tersebut
dapat dipahami bahwa dukungan masyarakat Papua dalam pemilihan kepala daerah
di Yogyakarta tidak berhasil membuat mereka memperoleh kewarganegaraan
sebagaimana yang dijanjikan kepada mereka. Ekspresi identitas ke-Papua-an juga
memberikan wujud politik lain di Yogyakarta. Ekspresi tersebut berupa keinginan
masyarakat Papua untuk mendapatkan kesempatan menjadi anggota DPRD di
Yogyakarta. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut:
“Perjuangan kami pada 2009 yang lalu itu sangat menarik karena pada waktu itu anakanak saya mendorong saya untuk menjadi anggota DPRD kota Yogya…..Dahulu saya
mencalonkan diri dari partai PDP, sekarang di 2014 saya maju kembali melalui partai
Gerindra dan strategi saya saat ini tidak lagi mengunakan orang Papua saya mau lihat
kalau kita memang anak bangsa mari berbicara dari hati-ke hati dan semua teman-teman
saya sekarang ini sudah mulai berkerja.”149
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa seluruh komunitas Papua di
Yogyakarta sangat mendukung Bapak Benny Dimara untuk menjadi anggota
DPRD Yogyakarta. Pada tahun 2009, bapak Benny Dimara telah mencalonkan diri
sebagai wakil dari parta PDP (Partai Demokrasi Pembaruan), akan tetapi gagal
terpilih menjadi anggota DPRD. Untuk masa yang akan datang, Bapak Benny
Dimara tidak akan berhenti berjuang. Semoga saja……….
148
149
Data Hasil Wawancara Dengan Pace Opniel, Selasa, 28 Mei 2013, Pukul, 5:35:10 PM.
Data Hasil Wawancara Dengan Bapak Benny Dimara, Rabu, 24 April 2013, Pukul , 8:13:18 PM.
116
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melalui pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dapat
diambil beberapa kesimpulan sebagai hasil penelitian ini. Adapun kesimpulan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pertama, Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa komunitas
Papua di Yogyakarta mengkonstruksikan identitas Ke-Papua-annya melalui agama
dan kehidupan dalam bernegara. Komunitas Papua di Yogyakarta sangat sering
melakukan kegiatan keagamaan. Bagi komunitas Papua, kegiatan keagamaan
merupakan wujud dari budaya amasyarakatnya. Begitu pula dengan posisi
masyarakat Papua terhadap negara. Masyarakat Papua merasa bahwa posisinya
terhadap NKRI berbeda dengan daerah-daerah yang lain. Konstruksi indetitas KePapua-an pada awalnya dibentuk oleh agama yang juga dijadikan sebagai wujud
dari budaya Papua.
Mayoritas masyarakat Papua memeluk agama Kristen yang kemudian dijadikan
sebagai bentuk upaya untuk menunjukkan dan mewakili komunitas Papua.
Meskipun demikian, tidak seluruh masyarakat Papua juga merasa terwakili oleh
agama dan keyakinan yang dianutnya. Hal ini disebabkan toleransi keagamaan
masyarakat Papua yang sangat tinggi, terutama kepada sesama komunitas Papua.
Faktor lainnya adalah negara yang banyak mengkonstruksikan identitas Ke-Papuaan menjadi kelompok masyarakat yang merasa dibedakan sehingga memunculkan
isu dan tuntutan akan kemerdekaan.
Banyaknya diskriminasi yang diterima oleh masyarakat Papua seperti halnya
dalam kebebasan beragama, kehidupan bermasyarakat, pelayanan publik, maupun
pendidikan mengakibatkan komunitas Papua semakin merasa dibedakan. Hasil
analisis dalam pembahasan penelitian ini menunjukkan bahwa konstruksi identitas
Ke-Papua-an komunitas Papua di Yogyakarta cukup kompleks karena banyak
melibatkan faktor-faktor eksternal, namun juga dipengaruhi oleh faktor internal.
Kedua, Dinamika pembentukan identitas Ke-Papua-an di Yogyakarta dimulai
dari peran aktif para sesepuh Papua sebagai aktor pembentuk identitas, hal tersebut
117
dapat dilihat hampir seluruh kegiatan yang dilakukan oleh komunitas mahasiswa
Papua selalu melibatkan para sesepuh baik keterlibatan secara langsung maupun
hanya berupa permintaan masukan pemikiran. Sebagaimana yang telah
diungkapkan pada bab sebelumnya bahwa komunitas mahasiswa Papua di
Yogyakarta sangat menghormati sesepuhnya.
Dalam struktur masyarakat Papua secara keseluruhan sesepuh memiliki peran
yang ukup besar. Sesepuh komunitas Papua di Yogyakarta terdiri dari 3 orang, yaitu
Bapak Lenis Kogoya sebagai hamba tuhan (Pembina rohani) dalam komunitas
mahasiswa Papua di Yogyakarta khususnya yang berasal dari gunung, serta Bapak
Benny Dimara dan Bapak Hansen J. Manimburi kedua tokoh ini lebih
memfokuskan untuk membina kegiatan keagamaan teman-teman mahasiswa Papua
dari pantai. Ketiga tokoh tersebut memiliki peran yang sangat besar bagi komunitas
Papua di Yogyakarta.
Ketiga, Pada dasarnya, kebersamaan sebagai simbol identitas Ke-Papua-an
komunitas mahasiswa Papua tertampung dalam wadah kegiatan-kegiatan, baik
yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat non-keagamaan. Sebagaimana telah
diungkapkan sebelumnya bahwa kegiatan ibadah agama selalu dilakukan secara
bersama-sama dengan rutin oleh paguyuban-paguyuban komunitas mahasiswa
Papua. Selain kegiatan keagamaan, komunitas mahasiswa Papua juga melakukan
berbagai kegiatan lain sebagai wadah untuk menjalin kebersanaan.
Kagiatan lainnya yang menyangkut kebersamaan komunitas mahasiswa Papua
antara lain melalui kegiatan olah raga dan kesenian. Komunitas Papua memiliki
kelompok olahraga masing-masing, yaitu kelompok voli, kelompok sepak bola,
kelompok futsal, dan lain sebagainya. Dengan adanya kelompok tersebut, terlihat
bahwa komunitas mahasiswa Papua sering melakukan kegiatan olah raga guna
menjalin kebersamaan. Begitu pula dengan kegiatan kesenian. pada saat sekarang
ini, komunitas mahasiswa Papua yang ada di Yogyakarta secara rutin menampilkan
kesenian Papua berupa tarian-tarian dan nyanyian di Malioboro, yaitu di depan
Benteng Vrederburg sebanyak satu kali dalam seminggu. Selain itu, masih ada
kegiatan diskusi yang dilaksanakan di asrama Kamasan.
118
Salah satu karakter yang muncul bagi komunitas Papua ketika berada di
Yogyakarta adalah rasa persatuan yang kuat, apabila ada mahasiswa Papua yang
disakiti pasti seluruh anak-anak Papua dari setiap paguyuban turut membelanya.
Hal tersebut dapat terlihat di beberapa kasus kekerasan yang terjadi di Yogyakarta
pasti melibatkan banyak orang Papua seperti contoh kasus Babar Sari. Selain itu,
yang menjadi ciri karakter Ke-Papuan yang tergambar di Yogyakarta adalah tidak
pernah kita melihat komunitas Papua membentuk kelompok-kelompok preman
yang meneror dan meresakan masyarakat.
Keempat, Pembentukan identitas Ke-Papua-an di Yogyakarta tentunya juga
memiliki implikasi politik. Implikasi politik tersebut dapat dilihat dari dikotomi
gunung dan pantai dalam pembentukan identitas, serta efek dari pemekaran. Daerah
Papua terdiri atas daerah gunung dan daerah pantai. Begitu pula dengan komunitas
mahasiswa Papua yang ada di Yogyakarta yang masih menganggap bahwa ketika
di Yogyakarta masih ada perbedaan, yang berasal dari gunung dan ada yang berasal
dari pantai. Tentunya ada perbedaan dalam tata cara maupun adat istiadat antara
Papua gunung dan Papua pantai. Akan tetapi secara keseluruhan komunitas tersebut
bersatu dalam suatu wadah komunitas mahasiswa Papua. Pada saat sekarang,
Gubernur Papua yang baru terpilih berasal dari daerah gunung. Hal ini tentu saja
memberikan kebanggaan tersendiri bagi komunitas mahasiswa Papua yang berasal
dari gunung. Namun hal ini tidak dinilai sebagai suatu hal yang dapat memecah
persatuan komunitas mahasiswa Papua di Yogyakarta.
Bagi sebagian komunitas mahasiswa Papua yang berada di Yogyakarta, dengan
maraknya pemekaran daerah di Papua justru dapat memecah belah persatuan
komunitas mahasiswa Papua. Oleh karena itu, sebagian mahasiswa Papua hal
tersebut dipandang sebagai suatu yang sangat syarat dengan kepentingan politik
atau strategi pemerintah Republik Indonesia untuk memecah rasa Ke-Papua-an bagi
komunitas Papua di Yogyakarta. Namun kesadaran mahasiswa Papua di
Yogyakarta untuk tidak ingin berlarut-larut dan terlena dengan kondisi yang terjadi
di daerahnya dan merasa terpecah belah oleh adanya pemekaran daerah. Maka
seluruh Anggota komunitas Papua yang berada di masing-masing asrama tetap
119
bersatu sebagai wujud kekeluargaan dan berusaha tetap membentuk identitas KePapua-annya di Yogyakarta.
Kelima, Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dipahami bahwa identitas KePapua-an komunitas Papua di Yogyakarta dibangun atas dasar kehidupan beragama
dan bernegara. Dalam hal ini, bangunan identitas Papua berasal dari pengaruh
agama dan negara. Kedua faktor tersebut telah menjadi dasar bagi pembentukan
identitas Ke-Papua-an di Yogyakarta. Selain itu, komunitas Papua di Yogyakarta
sangat menyadari perbedaan yang mencolok secara fisik. Komunitas Papua di
Yogyakarta berpendapat bahwa orang Papua yang memiliki ciri fisik yang unik
telah menjadi pemersatu dan menjadi indikator dari munculnya identitas Ke-Papuaan komunitas mahasiswa Papua di Yogyakarta.
Keenam, Ekspresi identitas Ke-Papua-an cukup banyak dimunculkan oleh
komunitas Papua di ruang publik. Komunitas mahasiswa Papua mengekspresikan
identitas Ke-Papua-annya melalui keikutsertaan dalam berbagai acara, terutama
yang berhubungan dengan pentas kebudayaan, pertandingan-pertandingan olah
raga, dan acara lainnya yang mengusung tema kebudayaan khas Papua. Masyarakat
Papua pada dasarnya adalah masyarakat yang terdiri dari banyak suku. Berbagai
suku yang terdapat dalam masyarakat Papua tersebut memiliki kebudayaankebudayaan tersendiri. Kekayaan budaya yang dimiliki masyarakat Papua inilah
yang banyak diekspresikan di ruang publik sebagai suatu bentuk identitas KePapua-an. Pada dasarnya, keberadaan komunitas Papua Yogyakarta adalah sebagai
representasi dari perjuangan tanah Papua. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan
daerah yang dipilih sebagai lokasi untuk mengikatkan Papua kepada NKRI. Daerah
Istimewa Yogyakarta pulalah yang dipilih oleh komunitas Papua untuk
mengekspresikan identitas Ke-Papua-annya serta memperjuangkan hak-haknya
sebagai warga negara yang sudah sepantasnya diperlakukan adil sebagaimana
warga-negara yang berasal dari daerah lain di Indonesia.
Dalam mengekspresikan identitasnya, komunitas Papua masih mendapatkan
diskriminasi. Diskriminasi tersebut antara lain terjadi dalam segi keagamaan,
pergaulan dalam masyarakat, pelayanan publik, dan pendidikan. Dari segi
keagamaan, sebagaimana diketahui bahwa pernah terjadi penutupan gereja yang
120
manjadi tempat ibadah bagi sebagian komunitas Papua. Penutupan ini terjadi karena
keinginan dari masyarakat. Dalam hal ini terlihat bahwa masyarakat Papua tidak
memiliki kebebasan untuk membangun tempat ibadahnya sendiri. Dalam pergaulan
dalam masyarakat, komunitas Papua juga mengalami diskriminasi. Hal inilah yang
menjadi salah satu sebab komunitas Papua tinggal di asrama. Di Yogyakarta,
banyak rumah-rumah kos yang tidak menerima mahasiswa Papua.
Dalam hal pelayanan publik, komunitas Papua juga banyak memperoleh
diskriminasi, diantaranya dalam hal kepengurusan KTP dan SIM. Sampai dengan
saat ini, komunitas Papua yang berada di Yogyakarta tidak dapat megurus KTP
ataupun SIM. Hal ini terjadi tanpa alasan dan solusi yang jelas dari Pemerintah
Daerah. Oleh karena itu, sampai dengan saat ini sesepuh Papua masih berjuang agar
komunitas Papua yang berada di Yogyakarta dapat memperoleh kemudahan dalam
mengurus KTP dan SIM. Di bidang pendidikan, ada beberapa sekolah di DIY yang
membedakan jumlah uang sekolah bagi anak-anak yang berasal dari Papua. Isu
kemerdekaan yang dibawa oleh komunitas Papua pada dasarnya hanyalah simbol
perlawanan atas ketidak-adilan yang diterimanya.
Penelitian yang dilakukan ini bagi penulis adalah merupakan langkah awal
upaya memberikan perhatian terhadap kajian-kajian tentang kumunitas Papua,
sebagai sebuah komunitas yang memiliki kompleksitas permasalahan dan sangat
ideologis dalam memperjuangkan hak-hak yang selama ini terlupakan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Penjelasan tentang komunitas mahasiswa
Papua dalam karya ini tidaklah hanya memetakan bagaimana komunitas mahasiswa
Papua di Yogyakarta mampu membangun identitas Ke-Papua-annya melalui
berbagai instrumen dan material pembentuk identitasnya, tetapi penulis berusaha
keluar dari kealpaan peneliti-peneliti sebelumnya yang menulis topik-topik
pembentukan suatu komunitas etnis tertentu khususnya tentang komunitas Papua
yang kesemuanya hanya memaparkan dari sudut padang aspek kebudayaan berbasis
culture studies dan sangat etno-sentris dan berhenti pada level proses pembentukan
identitasnya saja.
Lewat tulisan ini penulis ingin menyampaikan berbagai bentuk ekspresi
identitas Ke-Papua-an sebagai kelanjutan menjawab persoalan bagaimana ketika
121
identitas Ke-Papua-an itu berhasil terbentuk. Selanjutnya dalam penelitian ini
mencoba menguraikan sejumlah bentuk ekspresi identitas yang di munculkan
sebagai upaya penyampaian berbagai perasaan diskriminasi yang masih terjadi di
Yogyakarta. Ekspresi identitas yang coba dimunculkan di ruang publik adalah
sebagai isarat bahwa identitas Ke-Papua-an di Yogyakarta adalah representasi
perjuangan tanah Papua yang masih terus di reproduksi. Dan bagi penulis ekspresi
identitas tersebut adalah bukti nyata adanya perjuangan politik komunitas Papua di
Yogyakarta, sebagai penanda eksistensi mereka yang sampai saat ini masih merasa
di diskriminasi. Mengenai ekspresi diskriminasi penulis berusaha tetap obyektif,
dan salah satu modal yang dimiliki penulis adalah bukan orang Papua asli. Sehingga
dalam penyajian data hasil temuan di lapangan di harapkan tidak berpihak dan
merugikan pihak-pihak tertentu, apalagi menjadi juru bicara orang Papua di
Yogyakarta.
B. Kebaruan Penelitian
Hasil penelitian ini mencoba menyajikan suatu kajian yang berupaya
menerobos tentang apa yang selama ini sudah banyak dikaji oleh banyak peneliti
terutama, studi-studi tentang kelompok etnis dan identitasnya. Tanpa disadari
mungkin dari kita masih banyak yang mengira bahwa komunitas Papua merupakan
etnis yang memiliki identitas tunggal, yang didasari pada karakteristik fisik yang
cenderung sama yakni berkulit hitam dan berambut keriting. Tetapi dalam
realitasnya, komunitas Papua di Yogyakarta masih mengalami polarisasi yang
didasarkan pada fragmentasi kesukuan di daerah asal. Hal inilah yang menyebabkan
pola fragmentasi kesukuan Papua Gunung-Pantai baik di level sesama komunitas
ataupun diantara sesama aktor-aktor pembentuk identitas Ke-Papua-an mengalami
dinamika pasang surut. Secara sederhana polemik dikotomi Papua Gunung dan
Pantai secara eksplisit melanda para sesepuh Papua di Yogyakarta.
Melalui hasil penelitian ini pula, ditemukan adanya masalah serius, yaitu terkait
masih adanya sejumlah masalah. Diskriminatif yang dialami komunitas Papua
Yogyakarta, yang paling rawan terjadinya gesekan kebudayaan adalah pergaulan
dengan etnis lain. Dimana kondisi tersebut menunjukan masih banyak perlakuan
dari etnis-etnis lain yang selalu memandang orang Papua dengan konotasi negatif
122
dan cenderung kearah belum sudinya mereka menerima kehadiran orang Papua
sepenuhnya di Yogyakarta. Di sisi lain kepemilikan KTP bagi komunitas Papua
adalah barang mewah. Sampai saat ini Pemerintah Daerah, belum bisa menemukan
jalan keluar terkait tuntutan komunitas Papua terhadap KTP walaupun hanya
berupa KTP sementara (kartu berdomisili) yang bisa di gunakan dalam
kepengurusan administrasi di Yogyakarta.
Lewat penelitian ini, penulis menemukan sesuatu hal yang menarik yang
terlupakan oleh penelitian terdahulu, terutama penelitian yang konsen dalam kajian
perjuangan hak-hak minoritas sebuah kelompok etnis tertentu. Temuan tersebut
memperlihatkan bahwasanya perjuangan yang dilakukan oleh komunitas Papua
Yogyakarta dalam rangka mendapatkan hak KTP, bukanlah semata-mata berhenti
pada tataran perjuangan melawan diskriminasi kelompok minoritas ataupun akibat
proses marginalisasi sosial. Akan tetapi, membuktikan adanya resistensi yang di
tunjukan oleh komunitas Papua dalam hal perjuangan mendapat KTP akan terus
direproduksi hingga pada tataran perebutan sumber daya politik di tingkat lokal.
Singkatnya, bahwa sesungguhnya komunitas Papua di Yogyakarta ingin hadir
dalam pentas perpolitikan di Yogyakarta. Yaitu dalam hal pemilihan anggota
Legislatif DPRD kota Yogyakarta 2014 mendatang.
Dengan demikian dapat disimpulkan, pada kasus komunitas Papua di
Yogyakarta, dengan jargon “Perjuangan tulus hak-hak minoritas yang di
diskriminasi” ternyata di manfaatkan oleh sebagian oknum yang mengatas namakan
tokoh-tokoh Papua di Yogyakarta untuk kepentingan pencalonan sebagai Caleg
DPRD kota Yogyakarta sejak tahun 2009-2014. Pada tahapan ini, sangat jelas
bahwa segelintir elit Papua Yogyakarta, berupaya memainkan isu-isu enisitas di
ranah politik lokal yang dibungkus dengan dalih “upaya perjuangan bagi komunitas
Papua bisa terwujud kalau ada perwakilan orang Papua asli di DPRD Yogyakarta.”
Pada tataran teoritik fenomena ini sangat jelas menggunakan pendekatan
instrumentalisme. Dan secara keseluruhan penelitian ini menggunakan dua
pendekatan yang mampu menjelaskan tentang pembentukan identitas. Yaitu
pendekatan primordialisme yang menitik beratkan anggapan bahwa identitas
merupakan sesuatu yang “given” dan identitas kolektif terbentuk melalui sosialisasi
123
turun temurun. Sedangkan pendekatan instrumentalisme menjelaskan bahwa
indentitas hanyalah merupakan sesuatu yang dikonstruksikan untuk kepentingan
elit semata.
Pada tahapan penggunaan pendekatan teoritik untuk meneropong fenomena
etnis di tingkat lokal biasanya penelitian terdahulu hanya menggunakan satu
pendekatan teoritik saja, akan tetapi pada kasus konstruksi identitas Ke-Papua-an
Yogyakarta sangat bisa menggunakan kedua-duanya pendekatan tersebut. Dalam
kasus pembentukan identitas Ke-Papua-an Yogyakarta terlepas dari semua upaya
pemaparan tentang kebaruan penelitian yang coba disampaikan penulis. Dari hasil
penelitian ini diharapkan mampu menerobos kekosongan penelitian-penelitian
terdahulu,
dan
mampu
memberikan
kontribusi
terhadap
studi-studi
multikulturalisme di tingkat lokal. Semoga.
C. Implikasi Teori
Teori yang ditawarkan Manuel Castell dalam penelitian ini telah membuka cara
pandang kita untuk melihat dengan jelas bangunan konstruksi identitas Ke-Papuaan di Yogyakarta. Argumen ini sangat penting untuk mengkaji lebih mendalam
pemikiran Castell tentang pembentukan identitas yang terbentuk dari nilai dan
pengalaman. Castell memandang bahwa identitas berada di level komunitas, hal ini
berarti identitas adalah seseatu yang kolektif dan bukan idividu. Dalam membangun
identitas kolektif sangat di tentukan oleh symbol identitas dan nilai.
Kasus pembentukan identitas Ke-Papua-an di Yogyakarta oleh komunitas
mahasiswa Papua semata-mata tidak hanya didasarkan pada pengalaman masa lalu
yang sama, tapi juga adanya keinginan untuk hidup bersama ketika berada di
perantauan. Pengalaman dan nilai yang dimaksud oleh Castell sebagai salah satu
material pembentuk identitas kolektif merupakan modal dasar untuk membangun
kebersamamaan suatu suatu komunitas dimanapun berada. Pengalaman masa lalu
yang di alami orang Papua dari periode ke periode memperlihatkan bahwa mereka
mempunyai rasa solidaritas yang sama.
Secara etnis, bahasa dan agama, tidak bisa dipungkiri masyarakat Papua tidaklah
sama secara menyeluruh. Walaupun secara fisik pada umumnya mereka terlihat
124
memiliki kesamaan yang menonjol, yang terasa tidak adanya batas-batas antara satu
wilayah kebudayaan dengan yang lain tapi sesungguhnya mereka itu berbeda.
Misalnya saja, orang Sorong dan orang Merauke tetap saja menjadi orang daerah
masing-masing. Walaupun secara kasat mata mereka adalah sama-sama orang
Papua yang memiliki persamaan fisik “kriting rambut hitam kulitnya”sebuah slogan
yang selalu di identikan kepada mereka dimanapun berada sehingga terdapat ciri
umum yang sama.
Dari perspektif sosiologis mengatakan konstruksi identitas merupakan bangunan
dari sejarah, letak geografis, agama, dan aspek hubungan biologis suatu kelompok
atau masyarakat mengelolah semua itu dan mengatur ulang nilainya dalam ruang
dan waktu. Bila merujuk pandangan Castell di atas, dalam kasus komunitas
mahasiswa Papua di Yogyakarta membuktikan bahwa konstruksi identitas KePapua-an yang coba dibangun sangat dipengaruhi oleh aspek adanya kesamaan
bahasa, agama, ras dan etnis, dan pengalaman dimasa lalu. Terkait masalah ini
rasanya pemikiran Smith bisa pula memperkuat konsep Castell, yaitu ia
menjelaskan suatu komunitas secara historis memiliki ikatan kewilayahan yang
sama, budaya dan latar belakang sejarah yang sama, yang akan selalu berada dalam
satu kesatuan dengan perjuangan penentuan terhadap hak-hak yang sama pula.
Dengan demikian teori konstruksi identitas yang ditawarkan Castell mampu
menjawab bagaimana proses pembentukan identitas Ke-Papua-an oleh komunitas
Papua di Yogyakarta.
Penjelasan tentang pertanyaan bagaimana ekspresi identitas Ke-Papua-an yang
di munculkan di Yogyakarta, dalam tulisan ini penulis mencoba menjelaskannya
lewat kerangka teori Habermas tentang konsep ruang publik sebagai wadah
mengekspresikan identitas Ke-Papua-an nya dan Yogyakarta hanyalah seting lokasi
penelitian. Tidak bisa dipungkiri banyak cara suatu komunitas mengekspresikan
identitas mereka di ruang publik begitupun dengan komunitas Papua di Yogyakarta,
mulai dari cara berpenampilan, berbicara, dan berprilaku sehari-hari. Kesemuanya
itu bagi penulis adalah strategi perjuangan untuk mendapatkan pengakuan
dikalangan kelompok-kelompok tertentu. Modal simbol identitas yang dimiliki
oleh komunitas Papua untuk mewujudkan sasaran perjuangan untuk mendapatkan
125
pengakuan identitas Ke-Papua-annya di Yogyakarta melalui KTP mmbutuhkan
waktu yang cukup lama. Apalagi mengenai perjuangan mengenai hak kemerdekaan
untuk mendapatkan pengakuan identitas di tingkat nasional. Ekspresi identitas KePapua-an yang coba di munculkan di Yogyakarta, adalah sebuah kondisi dimana
komunitas Papua dapat menyesuaikan dan melestarikan keunikan dan karakterkarakter spesifiknya dengan dukungan oleh komunitas lain.
Konsep ruang publik Habermas tidaklah selamanya merupakan suatu ruang
fisik, tetapi merupakan ruang sosial yang di produksi oleh tindakan komunikatif.
Yaitu ruang tempat komunitas terlibat dalam deleberasi dialogal mengenai isu-isu
publik yang hendak di perjuangkan. Hal ini senada dengan temuan lapangan yang
menunjukan bahwa ekspresi identitas Ke-Papua-an di Yogyakarta adalah wujud
ekspresi perjuangan isu-isu yang ada di tanah Papua yang di suarakan. Ekspresi
identitas lainnya adalah perjuangan berbagai perlakuan diskriminasi yang masih di
rasakan mulai dari pergaulan, pendidikan, agama, sampai kepada pelayanan untuk
mendapatkan KTP sebagai simbol pengakuan eksistensi mereka di Yogyakarta.
Dan perjuangan yang dilakukan oleh komunitas Papua di Yogyakarta untuk
mendapat KTP masih terus di perjuangkan hingga saat ini, dan tidak tanggungtanggung merekapun ingin meramaikan bursa Pileg 2014 mendatang lewat salah
satu tokoh Papua yang mencalonkan diri sebagai Caleg DPRD Kota Yogyakarta
Dapil Godean dan sekitarnya untuk bisa memperjuangkan hak-hak komunitas
Papua di Yogyakarta.
Berdasarkan pemaparan singkat data tersebut, konsep ruang publik ala
Habermas sangat bisa membantu menjelaskan bagaimana ekspresi identitas KePapua-an yang ada di Yogyakarta. Habermas sangat jelas menyatakan bahwa ruang
publik memberikan peran penting dalam proses demokrasi, sehingga ruang publik
pun dapat diartikan sebagai ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat
dimana setiap warga Negara dapat mengatakan opini-opini kepentingankepentingan diskursif. Ekspresi identitas Ke-Papua-an di Yogyakarta merupakan
berbagai bentuk perjuangan komunitas mahasiswa Papua tentang hak-hak sebagai
warga Negara yang belum mendapatkan jaminan untuk keluar menuju jalan
penyelesaian ketika mereka masih berada di Yogyakarta. Dan tidak sedikit dari kita
126
memberi label bahwa ini adalah merupakan bentuk simbol perlawanan. Terkait
dengan masalah tersebut teori Castell mampu mendukung konsep ruang publik
habermas untuk melacak wujud identitas Ke-Papua-an di Yogyakarta. Menurut
Castell salah satu bentuk identitas dari proses konstruksi identitas adalah
“Resistance Identity” yaitu bangunan identitas yang di hasilkan dalam kondisi
terstigmatisasi sehingga membangun semangat perlawanan dan perjuangan.
Dengan demikian kolaberasi penggunaan teori Castell dan Habermas untuk
menjelaskan konstruksi pembentukan dan ekspresi identitas Ke-Papua-an di
Yogyakarta masih bisa di pertahankan dalam tulisan ini.
D. Limitasi Penelitian
Alasan Pertama, adalah penjabaran hasil temuan penelitian tentang konstruksi
dan ekspresi identitas Ke-Papua-an oleh komunitas mahasiswa Papua di
Yogyakarta, tentunya penulis menyadari bukan tanpa keterbatasan. Pengalaman
dalam hal pencarian data adalah awal keterbatasan tulisan ini. Kebaradaan
komunitas mahasiswa Papua di Yogyakarta tersebar di beberapa daerah dan
mendiami sejumlah asrama berdasarkan Kabupaten/Kota masing-masing.
Namun ketiadaan data yang akurat yang dimiliki oleh organisasi (IPMAPA/
ikatan pelajar dan mahasiswa Papua), sebagai organisasi yang merangkul seluruh
kepentingan berbagai komunitas Papua di Yogyakarta tentang berapa jumlah
asrama dan berapa jumlah komunitas Papua tentunya sangat menyulitkan dalam hal
pencarian data. Ketiadaan data tersebut yang dimiliki dikarenakan beberapa alasan,
pertama, organisasi induk komunitas Papua ini ternyata telah vakum sejak 5 tahun
yang lalu sehingga seluruh arsip dan data tentang komunitas mahasiswa Papua di
Yogyakarta sudah tidak ada di tambah lagi buruknya kepengurusan dari para
pengurus organisasi sebelumnya sehingga data tentang keberadaan mereka entah
dimana.
Alasan Kedua, dengan banyaknya daerah pemekaran yang terjadi di Papua,
sangat berdampak dengan maraknya pendirian sejumlah asrama mahasiswa di
Yogyakarta. Dari penulusuran di lapangan menunjukan sejumlah asrama
mahasiswa Papua yang di klaim mereka ternyata masih banyak yang berupa rumah
kontrakan. Hal tersebut tentu saja penyampaian data yang diperoleh belum bisa
127
mewakili pertanyaan berapakah jumlah asrama Papua di Yogyakarta?. Selain itu,
banyaknya jumlah mahasiswa Papua di Yogyakarta yang hanya tinggal sementara
saat menempuh studi yang disertai dengan tingkat mobilitas kedatangan dan
kepulangan mereka ke daerah asalnya, ternyata luput dari pendataan pihak internal
organisasi mereka di Yogyakarta sehingga sekali lagi data tentang mereka sulit
mendapat rujukan informasi yang jelas.
Alasan Ketiga, setelah penulis mendatangi kantor pemerintah Kesbangpol
Yogyakarta ternyata merekapun tidak memiliki data akurat tentang komunitas
Papua di Yogyakarta. Berbagai alasan pun terlontar dari pihak instansi pemerintah
ini, mulai dari kurangnya sikap pro-aktif dari pihak asrama mahasiswa Papua ketika
di undang dalam berbagai kegiatan yang di adakan Kesbangpol sampai kepada
argumen bahwah masalah komunitas Papua di Yogyakarta menyangkut pula ke
ranah intelejen. Selama ini pihak asrama mahasiswa Papua tidak pernah
melaporkan berbagai aktivitas perkembangan dan perbaruan data tentang
keberadaan mereka, hal ini sangat penting dilakukan pelaporkan data sebagai upaya
meminimalisir kegiatan-kegiatan yang mampu menganggu ketertiban di
masyarakat. Pihak kesbangpol sendiri baru akan melakukan pendataan ulang
seluruh asrama-asrama mahasiswa luar Jawa setelah 2014-2015 mendatang.
Mengingat keterbatasan waktu yang dimiliki penulis dengan berbagai hambatan
yang dialami di atas, tentunya penelitian ini tidaklah mampu mencakup seluruh
persoalan di semua asrama mahasiswa Papua yang banyak tersebar di sejumlah titik
tempat tinggal. Adapun pemilihan lokasi penelitian hanya di beberapa asrama
mahasiswa saja, yaitu, asrama Kamasan (sebagai asrama induk mahasiswa Papua
di Yogyakarta), asrama Serui, asrama Merauke, dan asrama Biak. Pemilihan
beberapa asrama ini dilandasi dengan berbagai pertimbangan, yaitu bahwa asramaasrama mahasiswa tersebut memiliki intensitas dalam melakukan kegiatan di
Yogyakarta yang paling aktif berpartisipasi di setiap acara-acara yang
mengharuskan menampilkan kekayaan kebudayaan orang Papua yang sudah lama
terkenal.
Namun demikian, penulis menyadari bahwa penelitian yang tidak mencakup
seluruh daerah tempat asrama mahasiswa Papua memungkinkan sekali penelitian
128
ini tidak bisa mewakili secara keseluruhan komunitas mahasiswa Papua di
Yogyakarta. Dengan upaya yang dilakukan oleh penulis lewat pemilihan lokasi
asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta yang paling aktif melakukan berbagai
kegiatan diharapkan mampu meminimalisir persoalan keterwakilan tersebut.
Keterbatasan Keempat, dalam karya ini adalah pemilihan metode penelitian
kualitatif berbasis studi lapangan tentunya bukan tanpa keterbatasan. Adapun
keterbatasan dalam penelitian ini pertama, mengenai pemilihan informan sesepuh
Papua yang menjadi informan pertama akan menunjuk sesepuh lain yang memiliki
pemahaman ataupun pemikiran yang sejalan dengan dirinya. Hal inilah yang
dirasakan oleh penulis saat mengumpulkan informasi dari ketiga informan kunci
sesepuh Papua di Yogyakarta, yang keseluruhan informasi yang di dapatkan
terdapat banyak kesamaan.
Batasan penyebutan sesepuh yang di sandang oleh mereka masih menimbulkan
perdebatan tersendiri diantara mereka, karena hampir di setiap asrama mahasiswa
per Kabupaten ataupun paguyuban komunitas Papua Yogyakarta mengklaim
memiliki sesepuh. Akan tetapi dari semua sesepuh yang ada di Yogyakarta, yang
paling banyak turun tangan untuk megatasi berbagai permasalahan anak-anak
mahasiswa Papua mengerucut ketiga nama tersebut yaitu, Bapak Lenis Kogoya,
Bapak Benny Dimara, dan Bapak Hansen Manimburi. Data ini diperoleh saat
penulis menanyakan kepada beberapa mahasiswa Papua siapa sesepuh Papua di
Yogyakarta, dan mayoritas jawaban yang di dapat hanya merujuk ketiga nama
tersebut.
Walaupun penentuan informan penelitian dalam tulisan ini telah berupaya
menetapkan informan secara tegas seperti penjelasan di atas, sebagai upaya
meminimalisir terjadi pembiasan dalam pembahasan penelitian tetapi tidak
menutup kemungkinan penelitian ini mampu menjamin mengatasi keterwakilan
dan reliability. Pejelasan singkat tersebut mengisaratkan keterbatasan selanjutnya
adalah terkait dengan penggeneralisasian. Penelitian ini tidak mampu pula
memberikan jaminan dapat berlaku secara umum.
129
Download