Ira Irmadani 406147033 BAB I PENDAHULUAN 1.Latar Belakang Penyebab utama morbiditas dan mortalitas di antara pasien dengan stadium lanjut infeksi HIV adalah infeksi oportunistik, yaitu infeksi berat yang diinduksi oleh agen yang jarang menyebabkan penyakit serius pada individu yang imunokompeten. Infeksi oportunistik biasanya tidak terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV hingga jumlah sel T CD4 turun dari kadar normal sekitar 1.000 sel/μl menjadi kurang dari 200 sel/ μl. Ketika pengobatan terhadap beberapa patogen oportunistik umum terbentuk dan penatalaksanaan pasien AIDS memungkinkan ketahanan yang lebih lama, spektrum infeksi oportunistik mengalami perubahan (Brooks, 2004). Pada umumnya kematian pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga pentingnya untuk penanganan sedini mungkin. Maka dari itu pengobatan ARV sangat diperlukan untuk membantu meningkatkan kekebalan tubuh sehingga resiko IO dapat dikurangi. Terapi ARV telah memungkinkan penurunan angka kematian, kejadian masuk rumah sakit serta peningkatan kualitas hidup ODHA. Namun keberhasilan tersebut perlu didukung oleh penatalaksanaan infeksi oportunistik yang baik. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 1 Ira Irmadani 406147033 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.Definisi Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba ( bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. Daftar penyakit yang digolongkan dalam infeksi oportunistik ditetapkan oleh Center of Disease Control (CDC). Infeksi oportunistik dapat terjadi pada CD4 <200 sel/mikroliter maupun CD4 >200 sel/mikroliter. Pada umumnya kematian pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) disebabkan oleh infeksi oportunistik. Sebagian besar IO dapat diobati, namun jika kekebalan tubuh tetap menurun maka IO mudah kambuh kembali atau bahkan tumbuh IO yang lain. Maka dari itu pengobatan ARV sangat diperlukan untuk membantu meningkatkan kekebalan tubuh sehingga resiko IO dapat dikurangi. 2.Epidemiologi Tabel 1. Pola Infeksi Oportunistik di Indonesia. Infeksi Oportunistik Kandidiasis mulut- esofagus Tuberkulosis CMV Ensefalitis toksoplasma Pneumonia Pneumocystis carinii ( PCP) Herpes simplex Mycobacterium avium complex Kriptosporodiosis Histoplasmosis paru Frekuensi % 80,8 40,1 28,8 17,3 13,4 9,6 4,0 2,0 2,0 Figure 1. Yearly opportunistic infection rates per 1,000 person-years, CDC Adult and Adolescent Spectrum of Disease Project, 1994–2001 CMV, cytomegalovirus; HAART, highly active antiretroviral Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 2 Ira Irmadani 406147033 therapy; KS, Kaposi sarcoma; MAC, Mycobacterium avium complex; PCP, Pneumocystis pneumonia. Data are standardized to the population of AIDS cases reported nationally in the same year by age, sex, race, HIV exposure mode, country of origin, and CD4+ lymphocyte count. 3.Etiologi Pada infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV), tubuh secara gradual akan mengalami penurunan imunitas akibat penurunan jumlah dan fungsi limfosit CD4. Perjalanan menuju infeksi oportunistik pada pengidap HIV sangat ditentukan oleh mekanisme regulasi imun pada tubuh pengidap HIV tersebut. Regulasi imun ternyata dikendalikan oleh faktor genetik, imunogenetika, salah satunya adalah sistem HLA yang pada setiap individu akan menunjukkan ekspresi yang karakteristik. Pada awal masuknya HIV ke dalam tubuh manusia, mekanisme respon imun yang terjadi adalah up regulation, tetapi lambat laun akan terjadi down regulation karena kegagalan dalam mekanisme adaptasi dan terjadi exhausted dari sistem imun. Keadaan ini menyebabkan tubuh pengidap HIV menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik (Nasronudin, 2007). Organisme penyebab IO adalah organisme yang merupakan flora normal, maupun organisme patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian mengalami reaktivasi. Spektrum IO pada defisiensi imun akibat HIV secara umum mempunyai pola tertentu dibandingkan IO pada defisiensi imun lainnya. Namun ada gambaran IO yang spesifik untuk beberapa daerah tertentu. Semakin menurun jumlah limfosit CD4 semakin berat manifestasi IO dan semakin sulit mengobati, bahkan sering mengakibatkan kematian. Pegobatan dengan antiretroviral (ARV) dapat menekan replikasi HIV, sehingga jumlah limfosit CD4 relatif stabil dalam jangka waktu panjang, dan keadaan ini mencegah timbulnya infeksi oportunistik. Organisme yang sering menyebabkan IO terdapat di lingkungan hidup kita yang terdekat, seperti air, tanah, atau organisme tersebut memang berada dalam tubuh kita pada keadaan normal, atau tinggal secara laten lalu mengalami reaktivasi (Merati, 2007). Tabel 2. Organisme Penyebab Infeksi Oportunistik pada AIDS, Sumber dan Transmisinya. Organisme Sumber Cara transmisi Penularan orang ke orang BAKTERI 1.Mycobacterium Reaktivasi tuberculosis orang sakit 2. Mycobacterium avium complex 3. Salmonella VIRUS endogen, Inhalasi Ya Air, tanah Inhalasi, ingestion tidak Air, tanah ingestion Tidak Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 3 Ira Irmadani 406147033 1. Herpes simplex Reaktivasi endogen, seksual Ya 2. Herpes zoozter orang sakit Reaktivasi endogen, Tidak tentu Tidak tentu 3. CMV orang sakit Reaktivasi endogen, Seksual, darah ya 4. EBV orang sakit Reaktivasi endogen, Inhalasi, ingestion ya Air, tanah Tanah, burung/ binatang Tidak tentu inhalasi Tidak Tidak Tanah Air, tanah Air, tanah Inhalasi Inhalasi/ ingestion Inhalasi/ ingestion Tidak Tidak Tidak orang sakit JAMUR 1. Candida 2. Cryptococcus neoforman 3. Aspergillus 4. Histoplasma capsulatum 5. Coccidioido immitis 4. Diagnosis Infeksi Oportunistik Penegakan diagnosis infeksi oportunistik dapat dilakukan secara diagnosis presumptif dan diagnosis definitif. Pada diagnosis definitif penyebab infeksi oportunistik dapat ditemukan, sedangkan pada diagnosis presumptif penyebab infeksi tak ditemukan akan tetapi kriteria klinis dan penunjang menjurus ke suatu diagnosis. Tabel 3. Infeksi Oportunistik menurut CDC Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru Kandidiasis esophagus Koksidioidomikosis, diseminata atau ekstraparu Kriptokokosis, ekstraparu Kriptokokosis, intestinal kronis (>1 bulan) Penyakit CMV (selain hati, limpa, atau kelenjar) Penyakit CMV (dengan gangguan penglihatan) Herpes simplex: ulkus kronik (>1 bulan); atau bronchitis, pneumonitis, atau esofagitis Histoplasmosis Isosporiasis intestinal kronis (>1 bulan) Mycobacterium avium complex atau M. kansaii, diseminata atau ekstraparu Mycobacteriumtuberculosis, di paru atau ekstraparu Mycobacteriumspesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu Pneumonia pneucystis carinii Pneumonia rekurens Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 4 Ira Irmadani 406147033 Septicemia salmonella rekuren Ensefalitis toksoplasma Skema 2. Infeksi oportunistik pada ODHA dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuhnya ( kadar CD4). A. TUBERCULOSIS Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu infeksi oportunistik tersering pada ODHA di Indonesia. Infeksi HIV akan memudahkan terjadinya infeksi Mycobacterium tuberculosis. ODHA mempunyai risiko lebih besar menderita TB dibandingkan non-HIV. Risiko ODHA untuk menderita TB adalah 10% per tahun, sedangkan pada non-ODHA risiko menderita TB hanya 10% seumur hidup. Sementara laporan Raviglione, dkk menyebutkan bahwa TB merupakan penyebab kematian tersering pada ODHA. TB paru merupakan jenis TB yang paling sering dijumpai pada ODHA dan TB dapat muncul pada infeksi HIV awal dengan CD4 median >300 sel/uL. Sedangkan TB ekstraparu atau diseminata lebih sering dijumpai pada ODHA dengan CD4 lebih rendah. Infeksi TB diketahui akan mempercepat progresivitas infeksi HIV karena akan meningkatkan replikasi HIV. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 5 Ira Irmadani 406147033 Kesulitan bagi para klinisi adalah gambaran klinis TB pada ODHA seringkali tidak khas dan sangat bervariasi, sehingga diagnosis menjadi jauh lebih sulit. Gejala klinis Gejala TB baru adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu, demam, penurunan berat badan, nafsu makan menurun, rasa letih, berkeringat pada waktu malam, nyeri dada dan batuk darah. Namun, seperti sudah disebutkan di atas seringkali ODHA tidak menunjukan gejala yang khas kearah TB paru. Sedangkan manifestasi klinis TB ekstraparu yang tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi pleura, dan osteomielitis atau TB kulit. Gejala-gejalanya sesuai dengan letak keterlibatan organ tersebut. Diagnosis Diagnosis TB paru ditunjang oleh pemeriksaan langsung SPUTUM 3 hari berturut-turut, rontgen dada dan biakan kuman. Sensitivitas pemeriksaan SPUTUM BTA pada ODHA sekitar 50% seperti pada non-HIV. Untuk meningkatkan sensitivitas dapat dilakukan pemeriksaan nucleic acid amplification (NAT)/PCR-TB, terutama jika kecurigaan sangat tinggi. Sedangkan tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% ODHA dengan TB. Gambaran TB paru pada ODHA dengan CD4 >200 sel/uL tidak berbeda dengan non-HIV berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas atau efusi pleura. Pada ODHA dengan CD4 < 200 sel/uL, gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum dan infiltrat di lobus bawah. Gambaran kelenjar getah bening hipodens dengan penyengatan perifer pada CT-scan paru dengan kontras mendukung kemungkinan TB pada ODHA. Namun, 7-14% kasus TB paru pada ODHA tidak menunjukan kelainan radiologi. Lawn, dkk menambahkan bahwa penyebaran bronkopulmoner dan penebalan pleura lebih jarang ditemukan pada ODHA dibanding non-HIV, namun efusi pleura dan limfadenopati lebih sering dijumpai. Diagnosis definitif TB pada ODHA adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada kultur jaringan atau spesimen. Sedangkan diagnosis presumtif ditegakkan berdasarkan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada spesimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi OAT. Penatalaksanaan Efek samping antituberkulosis (OAT) lebih sering terjadi pada ODHA dengan TB dibandingkan kelompok non-HIV. Karena itu, OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama dengan ARV untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, ketidakpatuhan minum obat, dan reaksi paradoks. Namun, jika ODHA sudah dalam terapi ARV, ARV tetap diteruskan. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 6 Ira Irmadani 406147033 Tabel 4. Rekomendasi WHO untuk memulai terapi ARV. Kadar CD4 Rekomendasi (sel/uL) < 200 Mulai ARV segera setelah obat TB ditoleransi (2 minggu-2 bulan). 200-350 Rekomendasi regimen:AZT+3TC+EFV Mulai ARV setelah 2 bulan fase intensif terapi TB. >350 Rekomendasi regimen:AZT+3TC+EFV Obati TB sampai selesai. Monitor CD4. Tunda pemberian ARV Keterangan: AZT = zidovudin; 3TC = lamivudin; EFV = efavirenz Regimen pengobatan TB sendiri tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti pada table 4. Kecuali pada artritis TB dan osteomielitis TB yang pengobatannya mencapai 6-9 bulan dan meningitis TB yang mencapai 9-12 bulan. Hingga kini, belum diketahui berapa lama sebenarnya terapi yang optimal pada ODHA dengan TB. Kortikosteroid tetap direkomendasikan pada meningitis TB dengan deksametason 12mg/hari selama 3 minggu pertama, kemudian tapering off selama 3 minggu kemudian. Regimen ARV yang dianjurkan pada rekomendasi untuk TB pada HIV adalah kombinasi efavirenz. Rifampisin dan nevirapin sama-sama menginduksi enzim sitokrom P450, sehingga menurunkan konsentrasi nevirapin dalam darah. Namun masih tetap dapat digunakan kombinasi rifampisin dengan nevirapin dosis 200mg atau dinaikkan menjadi 300 mg. Profilaksis Profilaksis primer diindikasikan pada ODHA dengan mantoux test >5mm yang tidak pernah mendapat terapi OAT dan terdapat kontak dengan penderita TB. Namun sebelum memberikan terapi profilaksis, perlu disingkirkan kemungkinan TB aktif pada ODHA untuk menghindari resistensi obat. Tabel 5. Regimen pengobatan profilaksis primer TB. Sumber penularan Pilihan pertama INH 1x300mg + Piridoksin 50 mg/hari Alternative Rifampisin 1x450-600mg + sensitive INH selama 9 bulan ; Pirazinamid INH 900mg + Piridoksin 100mg, 15-20mg/hari selama 2 bulan Sumber penularan 2xseminggu selama 9 bulan Rifampisin 1x450-600mg + Pirazinamid 15- Rifampisin resistensi INH 20mg/hari selama 2 bulan selama 4-6 bulan ( tidak ada Sumber penularan Gunakan 2 obat yg diharapkan masih 1x450-600mg pengalaman pada ODHA) resisten banyak sensitive ( etambutol/pirazinamid Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 7 atau Ira Irmadani 406147033 obat (INH dan levofloksasin. Pirazinamid) Rifampisin) Sedangkan pada ODHA yang sudah mendapatkan terapi lengkap OAT, profilaksis sekunder tidak dibutuhkan. B. MYCOBACTERIUM AVIUM COMPLEX (MAC) M. avium merupakan yang tersering pada HIV, terutama serotype 1,4,dan 8. Bakteri ini didapat dari lingkungan seperti air, tanah, maknan, dan binatang. Namun tidak diketahui mana yang merupakan sumber penularan utama pada manusia. Risiko utama MAC adalah imunokompromis terutama pada ODHA dengan CD4 <50 sel/uL, selain kadar HIV yang tinggi. Gejala klinis Setelah bakteri masuk melalui inhalasi atau tertelan, infeksi ini kemudian menyebar melalui saluran limfe dan selanjutnya secara hematogen. Kemudian bakteri ini dimakan oleh sel fagosit mononuclear di seluruh tubuh dan retikuloendotelial system terutama hati, limpa, dan sumsum tulang. Gejala klinis MAC diseminata adalah demam, penurunan berat badan, keringat malam, fatig. Gejala lainnya adalah diare, limfadenopati, hepatosplenomegali, anemia, dan gangguan fungsi liver. Gambaran khas yang dapat dibedakan dengan tuberculosis adalah hepatosplenomegali, peningkatan kadar alkalifosfatase >2x serum normal, dan leukopeni. Pada sindrom imunorekonstitusi, gejala utama infeksi MAC berupa limfadenopati dan demam. Pernah pula dilaporkan berupa osteomilelitis, bursitis, dan nodul di kulit. Diagnosis Diagnosis definitive ditegakkan jika ditemukan kuman Mycobacterium avium atau mycobacterium intracellulare pada kultur darah atau cairan tubuh lain yang umumnya steril. Jika tidak ditemukan pada kultur darah sementara kecurigaan cukup besar, dapat dipertimbangkan biopsi sumsum tulang atau hati. Diagnosis presumptive infeksi MAC diseminata jika ditemukan basil tahan asam di feses atau jaringan, namun tidak dibuktikan dengan kultur. BTA di feses mempunyai nilai prediktif 60% terjadinya infeksi diseminata. Penatalaksanaan Tabel 6. Penatalaksanaan MAC Terapi pilihan Klaritromisin 2x500mg + etambutol 15 mg/kgBB atau Azitromisin Alternative Moksifloksasin 1x400mg atau levofloksasin 1x500-750 mg + etambutol 15 mg/kgBB + 1x600mg + etambutol 15 rifabutin 1x300 mg +/- amikasin IV 10-15 Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 8 Ira Irmadani 406147033 mg/kgBB mg/kgBB Keterangan : rifabutin belum tersedia di Indonesia C. KANDIDIASIS Pada ODHA, kandidiasis mukokutan dapat muncul dalam 3 bentuk, yaitu kandidiasis orofaring, esophagus, vulvovagina. Kandidiasis mukokutan seringkali muncul berbulan-bulan sebelum munculnya infeksi oportunistik yang lebih berat dan merupakan salah satu indicator progresifitas HIV. Strain kandida yang menginfeksi ODHA tidak berbeda dengan pasien imunokompromise lainnya, yang tersering adalah Candida albicans. Strain lain yang pernah dilaporkan adalah C glabrata, C parapsilosis, C tropicalis, C kruseii, dan C dubliniesis. Kandidiasis rekurens dapat disebabkan oleh strain yang sama atau strain yang berbeda. Gejala klinis Kandidiasis orofaring terdiri dari 3 bentuk yaitu pseudomembran, eritematosa, dan cheilitis angularis. Gejalanya berupa rasa terbakar, gangguan mengecap, dan sulit menelan makanan cair atau padat. Pada beberapa kasus dapat juga asimtomatik. Kandidiasis pseudomembran membentuk plak putih 1-2cm atau lebih luas di mukosa mulut. Jika dilepaskan, akan meninggalkan bercak kemerahan atau perdarahan. Kandidiasiseritematosa berupa plak kemerahan halus di palatum, mukosa buccal, atau permukaan dorsal lidah. Cheilits angularis tampak berupa kemerahan, fisura, atau keretakkan di sudut bibir. Kandidiasis esophagus biasanya muncul disertai kandidiasi orofaring (80%) dengan gejala klinis berupa disfagia, odinofagia, atau nyeri retrosternum. Untuk membedakan dengan esofagitis CMV atau HSV, pasien kandidiasis esophagus biasanya mengeluhkan nyeri seperti ada makanan terhambat di kerongkongan, sedangkan esofagitis CMV atau HSV lebih sering mengeluhkan nyeri yang hebat ketika menelan. Kandidiasis vulvovagina biasanya menyebabkan keluhan gatal, keputihan, kemerahan di vagina, disparenia, disuria, dan pembengkakan vulva dan labia dengan lesi pustulapapuler diskrit. Gejala biasanya memburuk seminggu sebelum menstruasi. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 9 Ira Irmadani 406147033 Diagnosis Diagnosis definitif ditemukannya kandida dengan pemeriksaan langsung spesimen jaringan ( kerokan) dengan larutan KOH, bukan dengan kultur. Diagnosis kandidiasis orofaring biasanya berdasarkan gambaran klinis. Sedangkan diagnosis presumptif kandidiasis esophagus adalah didapatkannya keluhan nyeri retrostrenum dan ditemukannya kandidiasis oral berdasarkan gambaran membrane atau plak putih dengan dasar eritem pada mulut atau ditemukannya filament jamur pada kerokan jaringan. Pemeriksaan endoskopi hanya diindikasikan jika tidak terdapat perbaikan dengan pemberian flukonazol oral. Diagnosis kandidiasis vulvovagina berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan secret vagina dengan larutan KOH. Penatalaksanaan Tabel 8. Terapi kandidiasis mukokutan pada ODHA Manifestasi klinis Kandidiasis Terapi pilihan Terapi alternative Orofaring - Nistatin drop 4-5x kumur 500.000 U - sampai lesi hilang ( 10-14 hari) mg/hari saat perut kosong - Flukonazol oral 1x100mg selama 10-14 - Amfoterisin B iv 0,3 mg/kgBB Itrakonazol suspense 200 hari Kandidiasis Esophagus Amfoterisin B iv 0,3 mg/kgBB - Flukonazol oral 200-800 mg/ hari selama 14-21 hari - Itrakonazol suspense 200 mg/hari selama 14-21 hari Kandidiasis Intravagina : Sistemik : Vulvovagina - Klotrimoksazol krim 1% 5 mg/hari selama - 3 hari, atau tablet vagina 1x100 mg selama tunggal Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 10 Flukonazol oral 1x150mg Ira Irmadani 406147033 7-14 hari atau 2 x100 mg selama 3 hari - Itrakonazol oral 1-2 x200 mg - Mikonazol krim 2 % 5mg/hari selama 7 selama 3 hari hari - Ketokonazol oral 1x200 mg - Tiokonazol krim 0,8% 5mg/hari selama 3 selama 5-7 hari atau 2x200 mg hari selama 3 hari Efektivitas preparat topical nistatin untuk kandidiasis orofaring tergantung pada lamanya kontak antara suspense dan mukosa yang terkena. Karena itu setelah pemberian obat dianjurkan untuk tidak makan atau minum selama 20 menit. Respon terapi terlihat dalam 5 hari pertama. Jika gagal dengan preparat topical, gunakan flukonazol oral. Jika tetap tidak berespons dengan flukonazol, gunakan flukonazol dosis lebih tinggi (400- 800 mg/ hari) atau terapi alternative, dan lakukan tes sensitivitas terhadap anti jamur. Profilaksis Tidak ada terapi profilaksis untuk kandidiasis yang dianjurkan pada ODHA. Namun pada kasus yang berat atau rekurens dipertimbangkan pemberian flukonazol oral 1x100-200 mg atauitrakonazol oral 1x200 mg. Terapi yang terbaik adalah dengan meningkatkan kekebalan tubuh dengan ARV. D. ASPERGILOSIS Aspergilosis disebabkan oleh Aspergillus fumigatus, A. niger, A. flavus, A. clavafus, dan A. nodulans. Aspergillus.sp hidup di dalam tanah dan sporanya yang berukuran kecil mudah berhamburan di udara, sehingga mudah terhirup. Aspergillus.sp dapat berkoloni di bronkus, kista, dan kavitas pasca tuberkulosis." Kejadian aspergilosis pada ODHA tidak sebanyak infeksi jamur lain, namun dengan angka kematian yang tinggi (median survival 3 bulan). Aspergilosis invasif biasanya terjadi pada ODHA dengan CD4 < 50 sel/μL. Pada ODHA, Aspergillus.sp umumnya menginfeksi paru dengan berbagai manifestasi, juga dapat menjadi diseminata. Kadangkala juga menginfeksi darah, sinus, kulit, telinga, tulang, otak, den jantung. . Gejala Infeksi aspergilosis yang umumnya terjadi pada DOHA adalah aspergilosis invasif dengan gejala infeksi paru akut dengan gejala demam tinggi, dispnea, batuk, nyeri dada, dan hemoptisis. Sedangkan allergic bronchopulmonary aspergillosis dan aspergiloma hampir tidak pernah ditemukan pada ODHA. Aspergillus.sp yang meng-invasi mukosa dan tulang rawan bronkus dapat membentuk Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 11 Ira Irmadani 406147033 pseudo-membran dan mengakibatkan sindrom obstruksi trakeobronkiolitis pseudomembranosa. Bentuk aspergitosis invasif yang lebih banyak tertihat pada ODHA ini dapat menyebabkan perdarahan bronkus masif karena menginvasi pembuluh darah dan dinding bronkus. Diagnosis Gambaran radiologis aspergilosis paru invasif 30% berupa kavitas berdinding tebal, terutama di lobus bawah, 20% berupa infiltrat difus atau nodular di salah satu atau kedua sisi paru. Sedangkan pada sindrom obstruksi trakeobronkiolitis pseudomembranosa gambaran radiologis berupa infiltrat yang samar- samar segmental atau atelektasis lobaris. Diagnosis definitif infeksi aspergilosis adalah dengan ditemukannya Aspergillus.sp pada jaringan dan kultur. Tumbuhnya Aspergillus.sp pada kultur saja belum dapat menegakkan diagnosis, walaupun hanya 10.300 pasien dengan aspergilosis paru invasif yang kulturnya positif. Namun, aspergilosis invasif harus dicurigai jika terdapat gejala respiratorik pada ODHA stadium lanjut dan turnbuh Aspergillus.sp pada kultur, sputum, terutama Aspergillus fumigatus. Aspergilosis invasif pertu dipikirkan pada ODHA dengan garnbaran klinik pneumonia, namun tidak berespons dengan terapi antibiotika. Aspergilosis juga dapat menginfeksi otak, sinus, telinga, mata, endokarditis, esofagitis, limfadenitis, menyebabkan abses kulit, abses ginjal dan pankreas. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi tidak banyak membantu diagnosis karena sebagian besar pasien pernah mengalami paparan asimptomatik dengan Aspergillus.sp. Penatalaksanaan terapi yang dianjurkan untuk aspergilosis invasif adalah vorikonazol intravena dengan dosis 6 mg/kg 130 tiap 12 jam sebanyak 2 kali, kemudian dilanjutkan 4 mg/kg BB tiap 12 jam selama > 1 minggu, selanjutnya 2 x 200rng. Namun obat ini belum tersedia di Indonesia. Terapi alternatif yang dapat digunakan adalah amfoterisin B IV 1,0 mg/kgBB/hari hingga terjadi perbaikan alternatif lain adalah itrakonazol 600 mg/hari selama 4 hari, diteruskan 400 rng/hari. Profilaksis Tidak ada profilaksis primer maupunpun sekunder yang terbukti bermanfaat untuk aspergilosis pada ODHA. E. HISTOPLASMOSIS Histoplasma capsulatum tersebar hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia. Jamur ini hidup dalam tanah yang tercemar kotoran burung, ayam, dan kelelawar. Jamur ini bersifat dimorfik, di tanah tumbuh sebagai konidia, sedangkan jika sporanya terhisap masuk ke paru berubah bentuk menjadi ragi. Ragi tersebut kemudian masuk be dalam makrofag alveolar, bermultiplikasi, kemudian menyebar ke kelenjar getah bening hilus dan mediastinum, lalu masuk sirkulasi. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 12 Ira Irmadani 406147033 lmunitas seluler berperan penting pada perjalanan infeksi selanjut-nya selain ukuran inokulum. Pada pasien imunokompeten, jamur ini dapat hidup intraseluter seumur hidup. Pada pasien imunokompromais seperti ODHA, kemungkinan reaktivasi menjadi lebih besar, demikian juga dengan kemungkinan menjadi diserninata. Selain itu, ternyata diternukan defek makrofag alveolar pada ODHA sehingga mengurangi kemampuannya mengikat H.capsulatum dan mempermudah multiplikasinya. Gejala Histoplasmosis dapat memberikan 4 gambaran klinis, yaitu histoplasmosis asirnptornatik, histoplasmosis akut, histoplasmosis kronik, dan histoplasmosis diserninata. Namun, pada ODHA gambaran yang sering terjadi adalah histoplasmosis akut dan histoplasmosis diseminata. Histoplasmosis akut Pada orang normal, histoplasmosis akut biasanya tidak bergejala. Tidak dernikian dengan histoplasmosis akut pada ODHA. Gambaran klinis histoplasmosis akut sangat bervariasi, mulai dari malaise ringan hingga gejala yang lebih berat. Gejala yang tersering adalah demam, Sakit kepala, batuk nonproduktif, menggigil, nyeri dada pleuritik, penurunan berat badan, malaise, dan mialgia. Nyeri retrosternal merupakan gambaran predominan dan mungkin berhubungan dengan limfadenopati mediastinum. Pada paparan ragi histoplasmosis dalam jumlah yang sangat banyak dapat terjadi manifestasi yang berat berupa sesak napas hebat. Granuloma mediastinurn, perikarditis, dan artritis merupakan sekuele yang dapat terjadi pasca histoplasrnosis. Pada perneriksaan radiologis paru biasanya diternukan inflltrat difus yang tersebar, adenopati hilus dan mediastinum, dan pada kasus yang berat ditemukan nodul-nodul paru kecil yang difus. Histoplasmosis diseminata ODHA dengan histoplasmosis diseminata progresif biasanya bergejala demam, malaise, penyusutan berat badan dalam jangka waktu cepat, dan sakit kepala. Kurang dari separuh kasus disertai dengan batuk kering. Pada perneriksaan fisik dapat ditemui hepato- splenomegali, limfadenopati, atau lesi mukokutan seperti ulserasi orofaring, dan pemeriksaan laboratorium menunjukkan pansitopenia. Sekitar 10% ODHA dengan histoplasmosis diseminata juga disertai manifestasi kulit non-spesifik berupa lesi pustuler, folikuler, makulopapuler, dan eritematosa dengan paputonekrosis di bagian tengah. Histoplasmosis diseminata dianggap berat jika mernenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: temperature >39°C, tekanan sistolik <90mrnHg, pO2 < 70 , kehilangan berat badan >5% skor karnofsky, hemoglobin <10 g/dL, neutrofil <1000/mL, peningkatan kreatinin >2 kali normal, peningkatan SGOT >2,5 kali normal, albumin 43,5 g/ML, atau disfungsi organ lain. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 13 Ira Irmadani 406147033 Gambaran radiologis paru bisa normal (50%) atau tampak infiltrat nodular difus. Jarang sekali disertai efusi pleura atau adenopati. Gambaran klinis lain yang mungkin terjadi pada histoplasmosis adalah fibrosis mediastinum, mediastinitis granulomatosa, histoplasmosis susunan saraf pusat, perikarditis, dan bronkolitiasis. Dilaporkan pula beberapa kasus sindrom hemofagositik reaktif dan korioretinitis pada ODHA dengan histoplasmosis diseminata. Diagnosis Kultur merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis definitif histoplasmosis. Namun karena jarnur ini tumbuh lambat, dibutuhkan waktu dua sampai empat minggu untuk mendapatkan hasil kultur, kultur dapat diambil dari biopsi surnsum tulang, darah perifer, biopsi kelenjar getah bening, lavase bronkoalveolar, ataupun biopsi kulit. Tes kulit dengan histoplasrnin dan perneriksaan histopatologi jaringan kurang sensitif dan spesifik untuk menegakkan diagnosis histoplasmosis, kecuali pada perneriksaan sumsum tulang. Ditemukannya antigen H.capsulatumdi urin dan serum dapat rnembantu diagnosis histoplasmosis. Antigen dapat dideteksi di urin pada 905 kasus histoplasmosis diseminata dan 50% kasus. Sedangkan pada histoplasmosis paru akut kemungkinan ditemukan di urin 75%. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi juga dapat rnembantu diagnosis. Peningkatan titer lebih dari 4 kali atau ≥1:32 mengindikasikan histoplasmosis akut. Namun, hasil negatif palsu dapat terjadi pada pasien imunokompromais dan selama 6 minggu pertarna sebelum antibodi terbentuk. Perkecualian pada meningitis histoplasmosis, ditemukannya antibodi pada cairan serebrospinal yang didukung gejala klinis cukup untuk menunjang diagnosis. Tidak ada diagnosis presumtif histoplasmosis akut atau diserninata pada ODHA. Penatalaksanaan Tabel 9. Rekomendasi terapi histoplasmosis pada ODHA Gambaran Manifestasi berat Manifestasi ringan- sedang Klinis Histoplasmosis amfoterisin B iv 0,7 mg/kgBB/hari (dengan Gejala kurang dari 4minggu: tidak Paru Akut prednisone 60 mg/hari selama 2 minggu), diterapi dilanjutkan itrakonazol oral 2x 200mg hingga Gejala 12 minggu itrakonazol 1-2 x 200 mg selama 6- Histoplasmosis Induksi: 12 minggu Induksi: Diseminata Amfoterisin B iv 0,7-1 mg/kgBB/hari, Itrakonazol 3x 200mg selama 3hari, dilanjutkan itrakonazol oral 2x 200mg hingga dilanjutkan 2x 200mg hingga 12 12 minggu minggu Rumatan: Rumatan: Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 14 lebih dari 4 minggu: Ira Irmadani 406147033 Mediastinitis Itrakonazol seumur hidup Amfoterisin B iv 0,7-1 mg/kgBB/hari, Itrakonazol seumur hidup itrakonazol 2x 200mg selama 6- 12 Granulomatosa dilanjutkan itrakonazol oral 2x 200mg hingga minggu 12 minggu. Juga pertimbangkan Perikarditis kortikosteroid dan/atau reseksi bedah Kortikosteroid pada obstruksi sal. Napas dan Meningitis atau drainase perikard Amfoterisin B dosis di atas selama 12- Arthritis/ 16minggu, dilanjutkan itrakonazol 1x 200mg OAINS selama 2- 12 minggu OAINS selama 2- 12 minggu OAINS selama 2- 12 minggu Manifestasi Reumatologis Efektifitas kortikosteroid masih kontroversial Dosis total amfoterisin B tidak boleh melebihi 35 mg/kg BB selama 3-4 bulan F. KRIPTOKOKOSIS Kriptokokosis adalah infeksi jamur sistemik yang disebabkan oleh Cryptococcus neoformans. Spora jamur ini dapat bertahan hidup dalam waktu lama di lingkungan yang sesuai, ditemukkan di tanah dan di laporkan banyak terdapat pada tinja burung merpati. Infeksi terjadi dengan cara inhalasi spora ke dalam saluran pernafasan. Selanjutnya terjadi fungemia dan diseminasi ke berbagai organ tubuh. Pada ODHA 80-90% kriptokokosis bermanifestasi sebagai meningitis kriptokokosis (MK). Gejala klinis Pada AIDS gejala klinis MK sering kali tidak jelas atau samar-samar. Biasanya dijumpai gejala prodormal selama 2-4 minggu. Gejala awal berupa demam, sekit kepala, dan malaise terjadi pada 65-80% kasus. Mual dan muntah terjadi pada 50% kasus. Tanda klasik meningitis berupa kaku kuduk hanya dijumpai 30%. Sekitar 10-30% pasien datang dengan keluhan gangguan kesadaran dan perilaku. Gejala neurologis fokal hanya dilaporkan 10%. Peningkatan tekanan intrakranial didapatkan pada 75% kasus MK pada ODHA, walaupun demikian edema papil hanya didapatkan pada 26% kasus. Pada kriptokokosis paru dapat dijumpai demam dan batuk dengan sputum yang tidak terlalu produktif. Mengingat kriptokokosis merupakan penyakit yang berbahaya, dianjurkan untuk memikirkan kemungkinan ini pada setiap ODHA dengan klinis pneumonia. Manifestasi kriptokokosis Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 15 Ira Irmadani 406147033 paru dapat mendahului terjadinya MK. Karena itu bila terdapat bukti infeksi C. neoformans di paru harus dilakukan punksi lumbal. Manifestasi kelainan primer pada mata berupa konjungtivitis, korioretinitis, endoftalmitis, dan kebutaan juga tidak jarang terjadi. Identifikasi jamur dilakukan melalui aspirasi cairan vitreus. Kelainan kulit pada kriptokokosis bisa terjadi dalam bentuk seperti acne, papul, vesikel, nodul, tumor, abses, ulkus dan granuloma, dan kadang lesi ini sulit dibedakan dangan moluskum kontangiosum. Diagnosis Diagnosis definitive kriptokokosis adalah dengan isolasi jamur, pemeriksaan histopatologi, dan serologi antigen C. neoformans. Spesimen untuk pemeriksaan dapat diambil dari darah, cairan serebrospinal, urin, cairan pleura, sputum, bilasan bronkus, lesi kulit dan biopsy jaringan. Diagnosis MK melalui pemeriksaan cairan serebrospinal, ditegakkan melalui identifikasi jamur dengan pewarnaan tinta india, kultur, dan deteksi antigen C. neoformans dengan reaksi aglutinasi. Penatalaksanaan Tabel 10. Penatalaksanaan Meningitis Kriptokokus Terapi meningitis kriptokokus Induksi : amfoterisin B iv 0,7-1 mg/kgBB/hari dan 5 Pilihan pertama fluorositosin oral 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu Konsolidasi : flukonazol oral 400 mg/hari selama 8 minggu atau hingga cairan serebrospinal steril Induksi : amfoterisin B iv 0,7-1 mg/kgBB/hari selama 2 minggu Pilihan kedua Konsolidasi : flukonazol oral 400 mg/hari selama 10 minggu atau hingga cairan serebrospinal steril flukonazol oral 400-800 mg/hari dan fluorositosin oral 100 Pilihan ketiga Kriptokokosis paru (ringan- sedang,kriptokokosis diseminata mg/kgBB/ hari selama 6-10 minggu Flukonazol 200-400 mg/hari secara oral diberikan seterusnya hingga nilai CD4 > 200 sel/L dan antigenemia Profilaksis Tidak ada terapi profilaksis primer yang dianjurkan untuk mencegah MK. 6 Profilaksis sekunder (rumatan) dengan salah satu regimen dibawah diberikan seterusnya hingga nilai CD4>200 sel/uL : Flukonazol 200 mg/hari secara oral (pilihan pertama) ; Amfoterisin B 1 mg/kg/ hari 1 atau 2 kali seminggu secara intravena ; Itrakonazol 200 mg 2x hari secara oral. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 16 Ira Irmadani 406147033 G. TOKSOPLASMOSIS Toxoplasma gondii merupakan parasit intraseluler yang menyebabkan infeksi asimtomatik pada 80% manusia sehat, tapi berbahaya pada ODHA. Toxoplasmasis pada ODHA terbanyak disebabkan oleh reaktivasi infeksi Laten. Siklus hidup T.gondii sangat kompleks. Inang definitifnya adalah kucing. Sedangkan inang perantaranya sangat bervariasi seperti tikus, kambing, sapi, babi, unggas dan hewan ternak lainnya. Pada manusia infeksi T.gondii melalui makanan dapat terjadi dua mekanisme, yaitu makanan tercemar ookista yang berasal dari tinja kucing dan melalui daging yang mengandung kista jaringan akibat kurang matang dimasak. Serangga seperti kecoa dan lalat juga dapat mencemari makanan dengan ookista. Ensefalitis toksoplasma (ET) merupakan manifestasi utama toksoplasmosis pada ODHA. Manisfestasi ocular (retinitis), paru (pneumonitis) dan infeksi sistemik lebih jarang dijumpai. Infeksi juga dapat terjadi pada kelenjar limfe, hati, sumsum tulang dan jantung. Sebelum ARV digunakan secara luas, 70% kasus lesi massa intrakranial pada ODHA disebabkan oleh ET. Penyakit ini paling sering timbul pada ODHA dengan CD4 < 100 sel/uL. Gejala klinis Perjalanan penyakit ET biasanya berlangsung subakut. Keluhan dan gejala klinis berkembang progresif dalam kurun waktu 1-4 minggu. Pada sepertiga kasus ditemukan awitan akut. Seringkali, secara klinis dapat diduga diagnosis ET pada ODHA, walaupun tidak ada tanda patognomonik. Demam, sakit kepala, deficit neurologic fokal dan penurunan kesadaran merupakan manifestasi klinis utama dari ET. Sakit kepala, penurunan kesadaran dan gangguan perilaku dijumpai pada 50-70% kasus. Demam dijumpai pada 40-50% kasus. Defisit neurologik fokal ditemukan sebanyak 80%. Hemiparesis merupakan defisit fokal yang paling sering dijumpai, ditemukan sebanyak 40-50%. Kejang sebagai gejala utama dijumpai pada 15-30% kasus. Gejala lain adalah ataksia, paresis saraf karnial, afasia, parkinsonism, korea-atetosis dan gangguan lapangan pandang. Diagnosis Diagnosis presumtif berdasarkan gejala klinis neurologi yang progresif pada ODHA dengan nilai CD4 <200 sel/uL dan disertai gambaran neuroimajing (CT/MRI) yang sesuai. Diagnosis definitive ET hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi jaringan otak. Pemeriksaan MRI lebih sensitif daripada CT scan dalam menemukan lesi ET. Sembilan puluh persen memperlihatkan lesi tunggal atau multiple yang hipodens pada CT atau hipointens pada MRI. Walaupun demikian, lesi yang tidak disertai penyangatan kontras juga dilaporkan pada 6-20% kasus ET. Lokasi lesi sering kali didapatkan pada ganglia basal, thalamus, atau cortio-medullary junction. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 17 Ira Irmadani 406147033 Bedasarkan diagnosis presumtif, terapi empiris toksoplasma dapat dimulai. Jika diagnosis tersebut benar, lesi akan mengecil pada CT-scan atau MRI ulangan setelah 2 minggu. Pada ET biasanya dijumpai lgG yang positif, sedangkan lgM negative. Hal ini tidak mengherankan karena ET pada ODHA biasanya merupakan reaktivasi infeksi laten. Walaupun demikian, pemeriksaan serologi yang negative dijumpai pada 3-17% kasus ET yang didiagnosis melalui biopsy maupun presumtif. European Federation of Neurological Societies (EFNS) mengeluarkan panduan tatalaksana, yaitu secara praktis semua ODHA dengan lesi massa intrakranial dapat diberikan terapi empiris antitoksoplasma selama 2 minggu, walaupun serologinya negative atau lesinya tunggal. Bila tidak terdapat perbaikan klinis ataupun radiologis, barulah dianjurkan biopsi. Penatalaksanaan Tabel 11. Rekomendasi terapi ET pada ODHA. Pilihan pertama Pilihan kedua Pilihan ketiga Fase akut (3-6 minggu) Primetamin oral 200mg hari pertama, Rumatan (profilaksis sekunder) Pirimetamin oral 20-50 mg/hari + selanjutnya 50-75 mg/hari + leukovorin leukovorin oral 10-20 mg/hari + oral 10-20 mg/hari + sulfadiazine oral sulfadiazine oral 500-1000 mg/hari 1000-1500 mg/hari Pirimetamin + leukovorin (dosis di atas) + Pirimetamin + leukovorin (dosis di klindamisin oral atau iv 4 x 600 mg atas) + klindamisin oral 4 x 300-450 Pirimetamin + leukovorin (dosis di atas) + mg Pirimetamin + leukovorin (dosis di salah satu: atas) + salah satu antibiotic tersebut atovaquone oral 2 x 1500 mg dosis sama azitromisin oral 1 x 900-1200 mg klaritromisin oral 2 x 500 mg dapson oral 1 x 100 mg minoksiklin oral 2 x 150 – 200 mg Di Indonesia tidak tersedia sulfadiazin dan juga tidak terdapat preparat pirimetamin dalam bentuk tunggal. Karena itu dapat digunakan fansidar (pirimetamin 25 mg dan sulfadoksin 500 mg) dengan dosis pirimetamin seperti di atas, dan klindamisin 4 kali 600 mg per hari secara oral atau intravena. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 18 Ira Irmadani 406147033 Terdapat satu penelitian yang melaporkan kombinasi trimetoprim 10 mg/kgBB/hari dan sulfametoksazol 50 mg/kgBB/hari secara oral atau intravena cukup efektif sebagai regimen fase akut. Kotrimoksasol dengan dosis seperti di atas mungkin dapat digunakan untuk terapi ET fase akut pada sarana kesehatan dengan persediaan obat yang terbatas. Profilaksis Profilaksis primer TMP-SMZ DS (960 mg) 1x1 tab diberikan pada ODHA dengan CD4 < 100 sel/uL dengan alternatif: - Dapson oral 1 x 50 mg + pirimetamin 75 mg/minggu + leukovorin 25 mg/minggu - Dapson oral 200 mg/minggu + pirimetamin 75 mg/minggu + leukovorin 25 mg/minggu - Atovaquone oral 1 x 1500 mg + pirimimetamin 25 mg/hari + leukovorin 10 mg/hari. Profilaksis primer dihentikan bila CD4 > 200 sel/uL stabil selama > 3 bulan. Terapi profilaksis primer dimulai kembali bila CD4 < 100 sel/uL. Terapi rumatan (profilaksis sekunder) seperti dalam table 14 dapat dihentikan bila telah terjadi perbaikan sistim imun, yaitu bila nilai CD4 > 200 sel/uL selama lebih dari 6 bulan. Terapi profilaksis diberikan kembali jika CD4 turun < 200 sel/uL sesuai dengan profilaksis PCP. H. PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA (PCP) Pneumocystis carinii pneumonia sejak lama dinyatakan sebagai salah satu infeksi oportunistik utama pada ODHA, terutama pada ODHA dengan CD4<200 sel/uL. Infeksi ini merupakan salah satu penyebab kematian pada ODHA. Tidak diketahui pasti bagaimana jamur ini ditransmisikan pada manusia, namun tampaknya melalui udara karena DNA jamur ini diidentifikasi pada spora udara di lingkungan. Gejala klinis Gejala PCP adalah demam tinggi, batuk kering, nyeri dada dan sesak napas yang terjadi secara subakut (dua minggu atau lebih). Jika terjadi sesak napas akut disertai nyeri dada pleuritik harus dicurigai kemungkinan pneumothorax sebagai komplikasi. Komplikais lain yang sering terjadi adalah pneumotokel (kavitas, kista, bula, bleb). Sedangkan efusi pleura sangat jarang ditemukan pada infeksi PCP. Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya menampakkan takipnea, takikardi, namun tidak didapatkan ronkhi pada auskultasi paru. Sianosis akral, sentral dan membrane mukosa juga dapat ditemukan. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 19 Ira Irmadani 406147033 Pada ODHA infeksi jamur ini dapat terjadi di luar paru atau menjadi diseminata. Infeksi ekstraparu yang pernah dilaporkan antara lain di mata, telinga, kulit, tiroid dan paratiroid, esophagus, jantung, hepar, limpa, usus halus, ginjal, sumsum tulang, dan kelenjar getah bening. Diagnosis Gambaran khas PCP pada pemeriksaan radiologis paru adalah infiltrate interstitial bilateral didaerah perihiler yang kemudian menjadi lebih homogen dan difus sesuai dengan perjalanan penyakit. Kadang ditemui gambaran nodul soliter atau multiple, infiltrate di lobus bawah, abses, pneumotokel atau pneumothorax. CT scan dapat menunjukkan gambaran ‘ground glass’ atau lesi kistik. Pada pemeriksaan laboratorium darah tidak didapatkan hasil yang khas, kecuali peningkatan laktat dehidrogenase (LDH) dan gradient oksigen alveolar arterial (AaDO2). Peningkatan kedua pemeriksaan ini dianggap berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk. Infiltrate perihiler atau difus, terdapatnya kandida atau hairy leukoplakia, kadar LDH lebih dari 220 IU, dan peningkatan LED lebih dari 50 mm per jam dapat digunakan untuk memprediksi PCP pada ODHA. Yang paling bermakna adalah infiltrate perihiler atau difus karena ODHA dengan gambaran tersebut kemungkinan 85% mengalami PCP. Diagnosis definitive PCP dapat ditegakkan jika pada pemeriksaan mikroskopik detemukan kista Pneumocystis jirovecii. Sedangkan diagnosis presumptive PCP menurut CDC jika ditemukkan sebagai berikut : 1. Sesak napas saat aktivitas atau batuk nonproduktif dalam 3 bulan terakhir 2. Gambaran radiologis thorax berupa infiltrate interstitial difus bilateral atau gambaran 3. penyakit paru difus bilateral pada gallium scan pO2 <70mmHg pada pemeriksaan analisis gas darah atau kapaistas pertukaran gas yang 4. rendah (<80% nilai prediksi) atau peningkatan AaO2 tidak ada bukti pneumonia bakterialis Penatalaksanaan Tabel 12. Terapi PCP berdasarkan derajat penyakit Derajat Ringan Sedang Berat Kriteria Sesak napas pada latihan sedang, PaO2 Terapi TMP-SMZ 480 mg 2 tablet 3 kali sehari >70mmHg dalam udara kamar saat selama 21 hari atau cukup 14 hari jika respons istirahat Sesak napas pada latihan ringan, PaO2 baik TMP-SMZ 480 mg 2 tablet 3 kali sehari 50-70mmHg dalam udara kamar saat selama 21 hari istirahat, AaO2 >30mmHg, atau saturasi Perlu dipertimbangkan untuk rawat inap O2 <94% Sesak napas pada waktu istirahat, atau Rawat inap, berikan suplemen oksigen, kalau Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 20 Ira Irmadani 406147033 PaO2 <50 mmHg dalam udara kamar diperlukan ventilator Kotrimoksazol iv atau oral 15 mg trimetropim. kgBB, hari dan 75 mg/kgBB/hari sulfametoksazol dibagi 3 dosis selama 21 hari I. VIRUS HERPES SIMPLEX Virus Herpes Simplex (HSV) tipe 1 dan 2 dapat menyebabkan penyakit pada orang yang kekebalannya normal maupun menurun. Pada AIDS, infeksi HSV sering dijumpai. Pemeriksaan serologi sekitar 70% positif untuk HSV-1 dan 22% untuk HSV-2. Karena itu, sebagian besar infeksi Herpes simplex yang terjadi merupakan infeksi rekurens. Infeksi HSV sendiri diketahui memudahkan terjadinya infeksi HIV dan reaktivasi HSV akan meningkatkan replikasi HIV. Gejala Manifestasi klinis infeksi HSV pada ODHA bervariasi dan dapat berbeda dibandingkan manifestasi pada pasien imunokompeten. Masa inkubasi umumnya berkisar 3-7 hari atau lebih lama, gejala yang timbul dapat menjadi berat, narnun sebagian asimptomatik. Beberapa jam sebelum timbul lesi biasanya didahului rasa terbakar dan gatal di daerah tersebut. Timbulnya lesi seringkali disertai dengan gejala konstitusi seperti demam, malaise, dan nyeri otot. Sebagian besar lesi berupa erupsi vesikuler berkelompok dengan dasar kriteria yang khas di bibir, lidah, faring, atau genitalia. Infeksi di daerah orofaring biasanya sangat parah dengan ulserasi hebat diseluruh mukosa mulut, orofaring, dan esofagus. Sering juga dijumpai demam, faringitis serta pembengkakan kelenjar limfe leher. Gejala klinis HSV biasanya akan hilang setelah 7-10 hari. Namun pada AIDS, gejala klinis dapat menjadi lebih lama serta penyembuhan luka juga lebih lambat. Sebagian lain gejalanya tidak khas atau mengenai organ lain seperti esofagus, rektum, paru, hepar, mata, pankreas, ginjal, hepar, adrenal dan otak. Setelah infeksi primer, ODHA tetap mempunyai kemungkinan terjadinya infeksi rekurens yang dapat terjadi secara spontan atau dicetuskan keadaan lain seperti demam, stres, dan paparan ultraviolet di tempat lesi. HSV-1 lebih sering rnenginfeksi daerah orolabial, sedangkan HSV- 2 lebih sering menginfeksi daerah anogenital. Ensefalitis HSV pada ODHA menunjukkan gejala yang tidak dapat timbul tiba- tiba atau perlahan, dengan keluhan mulai dari sakit kepala. meningismus, perubahan kepribadian, kejang, sampai penurunan kesadaran. Diagnosis Diagnosis klinis ditegakkan dengan adanya gejala yang khas berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekurens. Diagnosis definitif infeksi HSV berdasarkan histologi Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 21 Ira Irmadani 406147033 atau sitologi di jaringan, kultur, atau deteksi antigen di jaringan. Deteksi antigen secara langsung dari spesimen merupakan deteksi awal yang dapat dikerjakan secara cepat dengan sensitivitas 95% dan sangat spesifik. Sedangkan pemeriksaan yang paling dianjurkan pada kasus imunokomprornais adalah dengan kultur rnengingat sebagian besar kasus menunjukkan gejala yang tidak khas. Diagnosis ensefalitis HSV berdasarkan gambaran klinis, CT-scan/MRI, dan PCR HSV cairan cerebrospinal. Tidak ada diagnosis presumtif infeksi HSV pada ODHA. Tabel 13. Terapi antivirus untuk infeksi HSV pada ODHA. Manifestasi klinis Infeksi mukokutan, ringan Terapi antivirus asiklovir 3 x 400 mg oral selama 7- 10 hari, atau valasiklovir 2 x 1000 mg oral selama 7- 10 hari, atau Infeksi mukokutan, berat valasiklovir 2 x 2000 mg oral sehari asiklovir iv 5-10 mg/kgBB tiap 8 jam sampai lesi membaik, dilanjutkan asiklovir oral 4-5 x 400mg atau Infeksi-visceral (esofagitis, proktitis) valasiklovir oral 2 x 1000 mg sarnpai lesi menghilang asiklovir iv 5-10 mg/kgBB tiap 8 jam selama 2-7 hari, atau perbaikan, dilanjutkan asiklovir oral 4-5 x 400, atau Infeksi-mukokutan rekurens valasiklovir oral 2 x 1000 hingga penyembuhan asiklovir oral 3 x 400 mg atau valasiklovir oral 2 x 1000 mg Ensefalitis HSV selama 5- 10 hari asiklovir iv 10 mg/kgBB tiap 8 jam selama 14-21 hari Untuk HSV yang resisten terhadap asiklovir, dianjurkan pemberian foscarnet iv 100- 200 rng/ hari dibagi dosis sampai perbaikan, namun saat ini belum tersedia di Indonesia. Cara lain yang dianjurkan adalah memulai terapi dengan asiklovir 5 x 200- 400 mg, atau valasiklovir 2 x 500 mg, kemudian dievaluasi selarna 3-5 hari. Jika respons kurang baik, dosis dapat dinaikkan asiklovir 5 x 8OO mg/hari atau asiklovir iv 1-2 mg/kgBB/jarn, atau valasiklovir 3 x 500 mg/hari. Jika respons membaik, terapi diteruskansampai gejala menghilang. Sedangkan jika dalam 5- 7 hari respons masih tidak baik, disarankan penggunaan foscarnet iv. Profilaksis Tidak ada terapi rumatan ataupun profilaksis primer pada infeksi HSV pada ODHA. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 22 Ira Irmadani 406147033 J. VIRUS VARICELLA- ZOSTER (VVZ) Infeksi primer virus ini biasanya terjadi pada masa kanak- kanak. ODHA mengalami infeksi rekurens virus ini (herpes zoster) lebih sering dibandingkan pasien imunokompeten. Kejadian herpes zoster seringkali merupakan salah satu indikator adanya infeksi HIV pada orang yang berisiko terinfeksi HIV. Gejala Pada infeksi primer (varisela), lesi rata-rata muncul setelah 14 hari didahului gejala prodromal seperti malaise, mialgia, dan demam 1-2 hari sebelumnya. Pada pasien imunokompromais gejala biasa-nya lebih berat, bahkan dapat menyebabkan sesak napas serta sianosis. Lesi awal bermula sebagai makula eritema kecil dan berkembang dalam 12-36 jam menjadi papul dan vesikel, mulamula di daerah badan leher dan muka. ODHA yang mengalami varisela mempunyai resiko lesi menjadi lebih luas, bahkan dapat mengenai telapak tangan dan kaki. Jumlah lesi kulit menjadi lebih banyak, lebih monomorf, berukuran lebih besar dan lebih dalam, dan berlangsung lebih lama (lebih dari 2 rninggu). Infeksi sekunder juga lebih sering muncul. (20-30%), demikian juga dengan penyebaran ke organ viseral. Setelah infeksi primer, virus ini menetap pada akar ganglia dorsalis yang dapat bereaktivasi rnenjadi herpes zoster. Gejalanya biasanya dimulai dengan nyeri radikuler yang dilanjutkan dengan munculnya lesi makulopapuler hingga menjadi vesikel. Vesikel seringkali menyatu dan membentuk bula. Pada ODHA, lesi yang biasanya hanya mengenai satu dermatom dapat mengenai lebih dari satu dermatom, lebih banyak bula, nekrosis, lebih nyeri, dan meninggalkan jaringan parut yang lebih luas. Infeksi VVZ dapat menyebabkan komplikasi pneumonia, ensefalitis, hepatitis, nekrosis retinal akut, dan neuralgia pasca herpetiko. Pneumonia varisela dapat terjadi bersamaan dengan infeksi primer atau herpes zooster, dengan gambaran bervariasi mulai dari yang ringan sampai menyebabkan gagal napas. Ensefalitis Varicella zooster jarang terjadi. Gejala yang khas berupa sakit kepala, muntah, letargi. dan gejala keterlibaran serebelum (ataksia, tremor, dan pusing berputar muncul 3-9 hari setelah onset infeksi primer atau 1- 2 minggu setelah onset herpeszooster. Nekrosis retinal akut dapat terjadi dalam beberapa minggu atau bahkan setelah kejadian herpes zooster, dan dapat menyebabkan kebutaan. Neuralgia pasca herpetika didefinisikan sebagai nyeri yang menetap lebih dari 30 hari setelah kejadian herpes zoster. Komplikasi ini meningkat pada usia yang lebih tua, sedangkan infeksi HIV bukan dianggap sebagai faktor yang meningkatkan resiko komplikasi ini. Diagnosis Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 23 Ira Irmadani 406147033 Diagnosis umumnya berdasarkan gejala klinis. Diagnosis definitif berdasarkan kultur atau deteksi antigen di jaringan dengan imunoflouresensi direk atau PCR. Penatalaksanaan Pada ODHA, terapi hendaknya diberikan sedini mungkin dengan dosis yang lebih tinggi dm diteruskan sampai lesi mongering (sekitar 7-10 hari). Penggunaan antihistamin sistemik dan antipruritus dapat ditambahkan untuk mengatasi pruritus. Antibiotik dorsal diberikan bila terjadi infeksi sekunder. Tabel 14. Terapi antivirus untuk infeksi varisela zoster pada ODHA Manifestasi Minis Infeksi primer (varisela) Terapi antivirus asiklovir oral 5 x 800 mg atau valasiklovir oral 3 Herpes zoster dermatomal x 1000 mg selama 7-10 hari asiklovir oral 5 x 800 mg atau valasiklovir oral 3 Herpes zosler diseminata x 1000 mg selama 7-10 hari asiklovir iv 10 mg/kgBB tiap 8 jam sampai lesi atau melibatkan organ viseral Nekrosis retina akut menghilang asiklovir iv 10 mg/kgBB tiap 8 jam + foscarnet iv 60 mg/kgBB tiap 8 jam Profilaksis Imunoglobulin varicella zoster dianjurkan diberikan pada ODHA dalam 48 jam setelah paparan dengan dosis 6,25 mL. Sedangkan vaksin varisela dikontraindikasikan pada ODHA karena mengandung virus hidup. Namun, sampai saat ini imunoglobulin tersebut belum tersedia di Indonesia. K. CYTOMEGALO VIRUS (CMV) Cytomegalo virus (CMV) merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan pada ODHA. Infeksi ini biasanya muncul pada ODHA dengan CD4 <50-100 sel/uL. Sebenarnya virus ini dapat menginfeksi hampir semua organ tubuh. Namun, yang sering terkena pada ODHA adalah mata (korioretinitis), saluran cerna (esofagitis, enteritis, colitis), paru (pneumonitis), serta system saraf (ventrikuloensefalitis, poliradikulopati). Penularan CMV terjadi lewat kontak dengan cairan tubuh pasien seperti air liur, urin, cairan serviks, semen, air susu ibu, dan darah. Infeksi primer biasanya asimptomatik, kemudian CMV akan bersifat laten seumur hidup, dan bereaktivasi kembali ketika kekebalan tubuh turun. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 24 Ira Irmadani 406147033 Gejala klinis Gambaran yang tipikal pada korioretinitis CMV adalah keluhan gangguan penglihatan unilateral, berupa penurunan visus, penglihatan floater, fotopsia, skotoma, atau gangguan lapang pandang unilateral. Pada pemeriksaan funduskopi terlihat perdarahan retina brush-fire, catchup sauce appearance, pigmentasi granuler atau eksudat kekuningan yang memberikan gambaran khas pizza pie appearance. Lesi ini dapat terlihat di perifer atupun fundus, jika tidak diobati lesi menjadi progresif dalam 2-3 minggu dan akan mengakibatkan kebutaan karena dapat menyebar ke makula dan diskus optikus atau secara hematogen ke mata lain. CMV dapat menyebabkan gangguan saluran cerna dan system bilier. Infeksi pada saluran cerna bagian atas paling sering menyebabkan ulkus di sfingter esophagus selain menyebabkan esofagitis difus, gastritis, ulkus gaster/duodenum, dan enteritis. Sedangkan pada saluran cerna bagian bawah lebih sering mengenai kolon, atau dapat menyebabkan perforasi ileum dan ulkus di rectum. Pneumonitis CMV tidak memiliki gejala spesifik, hanya gejala sesak napas yang memburuk perlahan, sesak pada saat aktivitas, dan batuk non produktif. Pemeriksaan auskultasi seringkali tidak menemukan kelainan atau ronki yang minimal. Sedangkan pada pemeriksaan radiologis toraks tampak infiltrate difus interstitials yang menyerupai PCP. Ventrikuloensefalitis CMV biasanya muncul bersamaan manifestasi CMV di tempat lain. Gejalanya berupa letargi, gangguan mental, delirium dan demam. Pasien seringkali mengeluhkan kesulitan berkonsentrasi, sakit kepala, dan somnolen. Dapat juga disertai dengan gangguan saraf cranial. Diagnosis Diagnosis definitive infeksi CMV adalah dengan pemeriksaan mikroskopis (histology atau serologi), kultur, atau deteksi antigen pada spesimen langsung dari jaringan tersebut. Diagnosis retinitis CMV biasanya ditegakkna berdasarkan gambaran klinis dan funduskopi. Diagnosis presumptive yang dapat digunakan adalah gambaran khas pada pemeriksaan oftalmologis serial (bercak diskrit pada retina dengan batas yang tegas, menyebar secara centrifugal sepanjang pembuluh darah, memburuk selama beberapa bulan, dan disertai vaskulitis dan nekrosis retina). Resolusi dari penyakit aktif menyebabkan parut di retina dan atrofi dengan retinal pigment epithelial mottling. Untuk mendiagnosa CMV pada saluran cerna, diperlukan biopsy mukosa yang menunjukkan tanda inflamasi dan CMV inclusion body. Sedangkan untuk infeksi CMV pada system saraf pusat diperlukan cairan serebrospinal untuk menemukan antigen atau DNA CMV dan kultur. Penatalaksanaan Tabel 15. Rekomendasi antivirus untuk infeksi CMV pada ODHA Manifestasi Mata Regimen pilihan Gansiklofir iv 2x5 mg/kgBB/hari diberikan dalam infus 1 jam selama 2-3 minggu. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 25 Ira Irmadani 406147033 Dilanjutkan dengan dosis rumatan gansiklovir iv 5 mg/kgBB/hari sekali sehari Valgansiklofir oral 2x900 mg selama 21 hari, dilanjutkan dosis rumatan 1x900 mg Foscarnet iv 3x60 mg/kg atau 2x90 mg/kg selama 2-3 minggu, dilanjutkan dengan Saluran Cerna Paru Sistem Saraf dosis rumatan foscarnet iv 2x90-120 mg/kg Gansiklofir iv 2x5 mg/kgBB selama 2-3 minggu Valgansiklofir oral 2x900 mg selama 2-3 minggu Foscarnet iv 3x60 mg/kg atau 2x90 mg/kg selama 2-3 minggu Gansiklofir iv 2x5 mg/kgBB selama > 21 hari Valgansiklofir oral 2x900 mg selama 21 hari Foscarnet iv 3x60 mg/kg atau 2x90 mg/kg selama >21 hari Gansiklofir iv 2x5 mg/kgBB selama 3-6 minggu dikombinasi dengan Gansiklofir iv 2x5 mg/kgBB selama > 21 hari selama 3-6 minggu, dilanjutkan dengan terapi rumatan dengan gansiklofir/valgansiklovir dan foscarnet dengan dosis seperti retinitis CMV Gansiklofir iv 2x5 mg/kgBB selama 3-6 minggu dilanjutkan terapi rumatan dengan gansiklofir/valgansiklovir dengan dosis seperti retinitis CMV L. HIV WASTING SYNDROME Penurunan berat badan pada ODHA terutama pada stadium AIDS. Tiga puluh tujuh persen sampai lebih dari 50% ODHA pada stadium AIDS mengalami penurunan berat badan, bahkan setelah era ARV. Penurunan berat badan ini erat hubungannya dengan progresivitas penyakit dan kematian. Kadar CD4 <100 sel/uL, terdapatnya demam dan kandidiasis oral merupakan prediktor utama penuruna berat badan. Tidak semua penurunan berat badan dikategorikan sebagai HIV wasting syndrome. Sindrom ini didefinisikan sebagai penurunan berat badan minimal 10% disertai dengan diare atau kelemahan kronis dan demam selama 30 hari yang tidak diakibatkan penyebab lain selain infeksi HIV itu sendiri. Karakteristik penurunan berat badan pada ODHA adalah pengurangan jaringan lemak dan massa tubuh bebas lemak (lean body mass) dan cenderung terjadi secara episodik. Penurunan berat badan yang cepat (lebih dari 4 kg dalam waktu kurang dari 4 bulan) biasanya merupakan akibat dari infeksi oportunistik akut. Setelah infeksi menghilang akan terjadi peningkatan berat badan dan pada beberapa ODHA berat badan tersebut menetap dalam jangka waktu lama. Sedangkan penurunan berat badan secara gradual (kurang dari 4 kg dalam waktu lebih dari 4 bulan) lebih berhubungan dengan penyakit gastrointestinal dan malabsorbsi. Ada banyak faktor yang dianggap berperan pada HIV wasting syndrome. Pertama, ODHA diduga mengalami hipermetabolisme yang dibuktikan dengan peningkatan REE ( RestingEnergy Expenditure) terutama jika disertai infeksi sekunder. Metabolisme pada ODHA dianggap mengalami perubahan. Pada insufisensi karbohidrat, jika pada orang normal yang terjadi adalah oksidasi asam lemak dan sedikit oksidasi nitrogen, pada ODHA yang terjadi adalah oksidasi nitrogen dan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 26 Ira Irmadani 406147033 karbohidrat hingga mengakibatkan berkurangnya protein otot. Penurunan asupan makanan tentu juga merupakan salah satu faktor penting pada sindrom ini, seperti kesulitan menelan akibat infeksi jamur di esophagus dan anoreksia. Anoreksia dapat diakibatkan efek samping pengobatan, gangguan neurologis, atau akibat depresi dan ansietas yang sering terjadi pada ODHA. Faktor berikut yang dianggap berperan pada HIV wasting syndrome adalah malabsorbsi, abnormalitas humoral seperti insufisiensi adrenal, hormon pertumbuhan dan hipogonadisme. Penatalaksanaan Penatalaksanaan HIV wasting syndrome yang utama tentu mengatasi infeksi primer, yaitu HIV itu sendiri dengan ARV, dan infeksi oportunistik yang terjadi, selain itu stomatitis aftosa, diare,malabsorbsi, depresi, atau penyebab anoreksia lain perlu diatasi segera. Terapi nutrisi dapat diberikan dengan berbagai cara yaitu oral, enteral, atau parenteral. Dibutuhkan konsultasi gizi untuk menentukan jenis diet yang sesuai bagi ODHA. Nutrisi yang diberikan sebaiknya tidak hanya untuk mengembalikan berat badan , tetapi juga untuk mengembalikan massa tubuh bebas lemak Terapi farmakologis Perangsang nafsu makan seperti megestrol asetat dan dronabinol dapat digunakan untuk membantu meningkatkan asupan makanan dna berat badan pada ODHA. Steroid sebaiknya dihindari karena efek sampingnya. Testosterone IM dapat digunakan jika memang kada testosterone darah renda untuk meningkatkan massa bebas lemak an meningkatkan berat badan. Tabel 16. Terapi Farmakologis pada HIV Wasting Syndrome Obat Megestrol asetat Rute Oral Dosis 1x800 mg Efek samping yang sering dilaporkan Inpoten, gangguan siklus mens, akne, Dronabinol Oral 2x2,5-10 mg kehilangan rambut Iritabilitas, insomnia, gangguan mood, halusinasi, ansietas, gangguan penglihatan , Testosterone IM 200 mg tiap 2 minggu hipotensi Iritabilitas kandung kemih, ereksi berulang, atau 300 mg tiap 3 gangguan mood, edema, nyeri pada tempat minggu suntikkan Selain obat tersebut, terapi farmakologis lain yang sudah dicoba untuk HIV wasting syndrome adalah talidomid, pentoksifilin, hormon pertumbuhan sintetik, nandrolon, oksandrolon, dan ketotifen. Pemberian obat-obat ini sebaiknya juga disertai olahraga yang bersifat meningkatkan kekuatan seperti bersepeda. Jenis olahraga seperti ini akan dapat meningkatkan kekuatan otot dan memperbaiki nafsu makan. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 27 Ira Irmadani 406147033 5. Pencegahan Infeksi Oportunistik Penelitian yang sahih telah membuktikan efektifitas profilaksis kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan dari berbagai tingkat latar belakang resisten terhadap kotrimoksasol dan prevalensi malaria. Oleh karena itu dianjurkan bagi semua ODHA dewasa dan remaja yang memenuhi kriteria klinik dan imunitas untuk terapi ARV harus pula diberi profilaksis kotrimoksasol untuk mencegah serangan PCP dan toksoplasmosis (Depertemen Kesehatan, 2007). Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan ODHA menjadi jauh lebih baik. Infeksi kriptoporidiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi lebih mudah ditangani. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat, seperti infeksi virus sitomegalo dan infeksi mikobakterium atipikal, dapat disembuhkan (Djoerban, 2007). Pemberian obat antiretroviral akan menekan jumlah HIV dalam darah sehingga penghancuran CD4 dapat dikurangi. Namun demikian kekebalan tubuh juga dapat menimbulkan sindrom imun rekonstitusi yaitu sindrom yang timbul akibat terjadinya proses radang setelah kekebalan tubuh pulih kembali. Sindrom ini dapat berupa demam, pembengkakan kelenjar limfe, batuk serta perburukan foto toraks. Sindrom ini sering terjadi pada pasien yang mengalami infeksi oportunistik TB namun juga dapat timbul pada infeksi oportunistik lain. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 28 Ira Irmadani 406147033 DAFTAR PUSTAKA 1. Y Evy, D Samsuridjal, D Zubairi. Infeksi oportunistik pada AIDS. Balai penerbit FKUI; 2005.p.178. 2. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral 2004, Jakarta. 3. Mansjoer, Arif, dkk, Acquired immunodeficiency syndrome dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, jilid I Media Aesulapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 2001, hal : 573 – 579. 4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta 29