Ira Irmadani 406147033

advertisement
Ira Irmadani 406147033
BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Penyebab utama morbiditas dan mortalitas di antara pasien dengan stadium lanjut infeksi HIV
adalah infeksi oportunistik, yaitu infeksi berat yang diinduksi oleh agen yang jarang menyebabkan
penyakit serius pada individu yang imunokompeten. Infeksi oportunistik biasanya tidak terjadi pada
pasien yang terinfeksi HIV hingga jumlah sel T CD4 turun dari kadar normal sekitar 1.000 sel/μl
menjadi kurang dari 200 sel/ μl. Ketika pengobatan terhadap beberapa patogen oportunistik umum
terbentuk dan penatalaksanaan pasien AIDS memungkinkan ketahanan yang lebih lama, spektrum
infeksi oportunistik mengalami perubahan (Brooks, 2004).
Pada umumnya kematian pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) disebabkan oleh infeksi
oportunistik sehingga pentingnya untuk penanganan sedini mungkin. Maka dari itu pengobatan ARV
sangat diperlukan untuk membantu meningkatkan kekebalan tubuh sehingga resiko IO dapat
dikurangi. Terapi ARV telah memungkinkan penurunan angka kematian, kejadian masuk rumah sakit
serta peningkatan kualitas hidup ODHA. Namun keberhasilan tersebut perlu didukung oleh
penatalaksanaan infeksi oportunistik yang baik.
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
1
Ira Irmadani 406147033
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.Definisi
Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh.
Infeksi ini dapat timbul karena mikroba ( bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh, maupun
yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh.
Daftar penyakit yang digolongkan dalam infeksi oportunistik ditetapkan oleh Center of Disease
Control (CDC). Infeksi oportunistik dapat terjadi pada CD4 <200 sel/mikroliter maupun CD4 >200
sel/mikroliter. Pada umumnya kematian pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) disebabkan oleh
infeksi oportunistik. Sebagian besar IO dapat diobati, namun jika kekebalan tubuh tetap menurun
maka IO mudah kambuh kembali atau bahkan tumbuh IO yang lain. Maka dari itu pengobatan ARV
sangat diperlukan untuk membantu meningkatkan kekebalan tubuh sehingga resiko IO dapat
dikurangi.
2.Epidemiologi
Tabel 1. Pola Infeksi Oportunistik di Indonesia.
Infeksi Oportunistik
Kandidiasis mulut- esofagus
Tuberkulosis
CMV
Ensefalitis toksoplasma
Pneumonia Pneumocystis carinii ( PCP)
Herpes simplex
Mycobacterium avium complex
Kriptosporodiosis
Histoplasmosis paru
Frekuensi %
80,8
40,1
28,8
17,3
13,4
9,6
4,0
2,0
2,0
Figure 1. Yearly opportunistic infection rates per 1,000 person-years, CDC Adult and Adolescent
Spectrum of Disease Project, 1994–2001 CMV, cytomegalovirus; HAART, highly active antiretroviral
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
2
Ira Irmadani 406147033
therapy; KS, Kaposi sarcoma; MAC, Mycobacterium avium complex; PCP, Pneumocystis pneumonia.
Data are standardized to the population of AIDS cases reported nationally in the same year by age,
sex, race, HIV exposure mode, country of origin, and CD4+ lymphocyte count.
3.Etiologi
Pada infeksi oleh human immunodeficiency virus (HIV), tubuh secara gradual akan
mengalami penurunan imunitas akibat penurunan jumlah dan fungsi limfosit CD4. Perjalanan menuju
infeksi oportunistik pada pengidap HIV sangat ditentukan oleh mekanisme regulasi imun pada tubuh
pengidap HIV tersebut. Regulasi imun ternyata dikendalikan oleh faktor genetik, imunogenetika,
salah satunya adalah sistem HLA yang pada setiap individu akan menunjukkan ekspresi yang
karakteristik. Pada awal masuknya HIV ke dalam tubuh manusia, mekanisme respon imun yang
terjadi adalah up regulation, tetapi lambat laun akan terjadi down regulation karena kegagalan dalam
mekanisme adaptasi dan terjadi exhausted dari sistem imun. Keadaan ini menyebabkan tubuh
pengidap HIV menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik (Nasronudin, 2007).
Organisme penyebab IO adalah organisme yang merupakan flora normal, maupun organisme
patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian mengalami reaktivasi. Spektrum IO
pada defisiensi imun akibat HIV secara umum mempunyai pola tertentu dibandingkan IO pada
defisiensi imun lainnya. Namun ada gambaran IO yang spesifik untuk beberapa daerah tertentu.
Semakin menurun jumlah limfosit CD4 semakin berat manifestasi IO dan semakin sulit mengobati,
bahkan sering mengakibatkan kematian. Pegobatan dengan antiretroviral (ARV) dapat menekan
replikasi HIV, sehingga jumlah limfosit CD4 relatif stabil dalam jangka waktu panjang, dan keadaan
ini mencegah timbulnya infeksi oportunistik. Organisme yang sering menyebabkan IO terdapat di
lingkungan hidup kita yang terdekat, seperti air, tanah, atau organisme tersebut memang berada dalam
tubuh kita pada keadaan normal, atau tinggal secara laten lalu mengalami reaktivasi (Merati, 2007).
Tabel 2. Organisme Penyebab Infeksi Oportunistik pada AIDS, Sumber dan Transmisinya.
Organisme
Sumber
Cara transmisi
Penularan orang ke
orang
BAKTERI
1.Mycobacterium
Reaktivasi
tuberculosis
orang sakit
2. Mycobacterium avium
complex
3. Salmonella
VIRUS
endogen,
Inhalasi
Ya
Air, tanah
Inhalasi, ingestion
tidak
Air, tanah
ingestion
Tidak
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
3
Ira Irmadani 406147033
1. Herpes simplex
Reaktivasi
endogen,
seksual
Ya
2. Herpes zoozter
orang sakit
Reaktivasi
endogen,
Tidak tentu
Tidak tentu
3. CMV
orang sakit
Reaktivasi
endogen,
Seksual, darah
ya
4. EBV
orang sakit
Reaktivasi
endogen,
Inhalasi, ingestion
ya
Air, tanah
Tanah, burung/ binatang
Tidak tentu
inhalasi
Tidak
Tidak
Tanah
Air, tanah
Air, tanah
Inhalasi
Inhalasi/ ingestion
Inhalasi/ ingestion
Tidak
Tidak
Tidak
orang sakit
JAMUR
1. Candida
2.
Cryptococcus
neoforman
3. Aspergillus
4. Histoplasma capsulatum
5. Coccidioido immitis
4. Diagnosis Infeksi Oportunistik
Penegakan diagnosis infeksi oportunistik dapat dilakukan secara diagnosis presumptif dan
diagnosis definitif. Pada diagnosis definitif penyebab infeksi oportunistik dapat ditemukan, sedangkan
pada diagnosis presumptif penyebab infeksi tak ditemukan akan tetapi kriteria klinis dan penunjang
menjurus ke suatu diagnosis.
Tabel 3. Infeksi Oportunistik menurut CDC
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Koksidioidomikosis, diseminata atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokokosis, intestinal kronis (>1 bulan)
Penyakit CMV (selain hati, limpa, atau kelenjar)
Penyakit CMV (dengan gangguan penglihatan)
Herpes simplex: ulkus kronik (>1 bulan); atau bronchitis, pneumonitis, atau
esofagitis
Histoplasmosis
Isosporiasis intestinal kronis (>1 bulan)
Mycobacterium avium complex atau M. kansaii, diseminata atau ekstraparu
Mycobacteriumtuberculosis, di paru atau ekstraparu
Mycobacteriumspesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu
Pneumonia pneucystis carinii
Pneumonia rekurens
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
4
Ira Irmadani 406147033
Septicemia salmonella rekuren
Ensefalitis toksoplasma
Skema 2. Infeksi oportunistik pada ODHA dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuhnya ( kadar
CD4).
A. TUBERCULOSIS
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu infeksi oportunistik tersering pada ODHA di Indonesia.
Infeksi HIV akan memudahkan terjadinya infeksi Mycobacterium tuberculosis. ODHA mempunyai
risiko lebih besar menderita TB dibandingkan non-HIV. Risiko ODHA untuk menderita TB adalah
10% per tahun, sedangkan pada non-ODHA risiko menderita TB hanya 10% seumur hidup.
Sementara laporan Raviglione, dkk menyebutkan bahwa TB merupakan penyebab kematian tersering
pada ODHA.
TB paru merupakan jenis TB yang paling sering dijumpai pada ODHA dan TB dapat muncul
pada infeksi HIV awal dengan CD4 median >300 sel/uL. Sedangkan TB ekstraparu atau diseminata
lebih sering dijumpai pada ODHA dengan CD4 lebih rendah. Infeksi TB diketahui akan mempercepat
progresivitas infeksi HIV karena akan meningkatkan replikasi HIV.
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
5
Ira Irmadani 406147033
Kesulitan bagi para klinisi adalah gambaran klinis TB pada ODHA seringkali tidak khas dan
sangat bervariasi, sehingga diagnosis menjadi jauh lebih sulit.
Gejala klinis
Gejala TB baru adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu, demam, penurunan berat badan,
nafsu makan menurun, rasa letih, berkeringat pada waktu malam, nyeri dada dan batuk darah. Namun,
seperti sudah disebutkan di atas seringkali ODHA tidak menunjukan gejala yang khas kearah TB paru.
Sedangkan manifestasi klinis TB ekstraparu yang tersering adalah limfadenopati asimetris,
perikarditis, efusi pleura, dan osteomielitis atau TB kulit. Gejala-gejalanya sesuai dengan letak
keterlibatan organ tersebut.
Diagnosis
Diagnosis TB paru ditunjang oleh pemeriksaan langsung SPUTUM 3 hari berturut-turut,
rontgen dada dan biakan kuman. Sensitivitas pemeriksaan SPUTUM BTA pada ODHA sekitar 50%
seperti pada non-HIV. Untuk meningkatkan sensitivitas dapat dilakukan pemeriksaan nucleic acid
amplification (NAT)/PCR-TB, terutama jika kecurigaan sangat tinggi. Sedangkan tes tuberkulin hanya
positif pada 30-50% ODHA dengan TB.
Gambaran TB paru pada ODHA dengan CD4 >200 sel/uL tidak berbeda dengan non-HIV
berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas atau efusi pleura. Pada ODHA dengan CD4 < 200 sel/uL,
gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum dan infiltrat di lobus bawah.
Gambaran kelenjar getah bening hipodens dengan penyengatan perifer pada CT-scan paru dengan
kontras mendukung kemungkinan TB pada ODHA. Namun, 7-14% kasus TB paru pada ODHA tidak
menunjukan kelainan radiologi. Lawn, dkk menambahkan bahwa penyebaran bronkopulmoner dan
penebalan pleura lebih jarang ditemukan pada ODHA dibanding non-HIV, namun efusi pleura dan
limfadenopati lebih sering dijumpai.
Diagnosis definitif TB pada ODHA adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada kultur
jaringan atau spesimen. Sedangkan diagnosis presumtif ditegakkan berdasarkan ditemukannya basil
tahan asam (BTA) pada spesimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi
kombinasi OAT.
Penatalaksanaan
Efek samping antituberkulosis (OAT) lebih sering terjadi pada ODHA dengan TB
dibandingkan kelompok non-HIV. Karena itu, OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama dengan
ARV untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, ketidakpatuhan minum obat, dan reaksi
paradoks. Namun, jika ODHA sudah dalam terapi ARV, ARV tetap diteruskan.
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
6
Ira Irmadani 406147033
Tabel 4. Rekomendasi WHO untuk memulai terapi ARV.
Kadar CD4
Rekomendasi
(sel/uL)
< 200
Mulai ARV segera setelah obat TB ditoleransi (2 minggu-2 bulan).
200-350
Rekomendasi regimen:AZT+3TC+EFV
Mulai ARV setelah 2 bulan fase intensif terapi TB.
>350
Rekomendasi regimen:AZT+3TC+EFV
Obati TB sampai selesai. Monitor CD4. Tunda pemberian ARV
Keterangan: AZT = zidovudin; 3TC = lamivudin; EFV = efavirenz
Regimen pengobatan TB sendiri tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB pada kasus
non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti pada table 4. Kecuali pada artritis TB dan
osteomielitis TB yang pengobatannya mencapai 6-9 bulan dan meningitis TB yang mencapai 9-12
bulan. Hingga kini, belum diketahui berapa lama sebenarnya terapi yang optimal pada ODHA dengan
TB. Kortikosteroid tetap direkomendasikan pada meningitis TB dengan deksametason 12mg/hari
selama 3 minggu pertama, kemudian tapering off selama 3 minggu kemudian.
Regimen ARV yang dianjurkan pada rekomendasi untuk TB pada HIV adalah kombinasi
efavirenz. Rifampisin dan nevirapin sama-sama menginduksi enzim sitokrom P450, sehingga
menurunkan konsentrasi nevirapin dalam darah. Namun masih tetap dapat digunakan kombinasi
rifampisin dengan nevirapin dosis 200mg atau dinaikkan menjadi 300 mg.
Profilaksis
Profilaksis primer diindikasikan pada ODHA dengan mantoux test >5mm yang tidak pernah
mendapat terapi OAT dan terdapat kontak dengan penderita TB. Namun sebelum memberikan terapi
profilaksis, perlu disingkirkan kemungkinan TB aktif pada ODHA untuk menghindari resistensi obat.
Tabel 5. Regimen pengobatan profilaksis primer TB.
Sumber penularan
Pilihan pertama
INH 1x300mg + Piridoksin 50 mg/hari
Alternative
Rifampisin 1x450-600mg +
sensitive INH
selama 9 bulan ;
Pirazinamid
INH
900mg
+
Piridoksin
100mg,
15-20mg/hari
selama 2 bulan
Sumber penularan
2xseminggu selama 9 bulan
Rifampisin 1x450-600mg + Pirazinamid 15-
Rifampisin
resistensi INH
20mg/hari selama 2 bulan
selama 4-6 bulan ( tidak ada
Sumber penularan
Gunakan 2 obat yg diharapkan masih
1x450-600mg
pengalaman pada ODHA)
resisten
banyak sensitive
(
etambutol/pirazinamid
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
7
atau
Ira Irmadani 406147033
obat
(INH
dan
levofloksasin. Pirazinamid)
Rifampisin)
Sedangkan pada ODHA yang sudah mendapatkan terapi lengkap OAT, profilaksis sekunder tidak
dibutuhkan.
B. MYCOBACTERIUM AVIUM COMPLEX (MAC)
M. avium merupakan yang tersering pada HIV, terutama serotype 1,4,dan 8. Bakteri ini didapat
dari lingkungan seperti air, tanah, maknan, dan binatang. Namun tidak diketahui mana yang
merupakan sumber penularan utama pada manusia. Risiko utama MAC adalah imunokompromis
terutama pada ODHA dengan CD4 <50 sel/uL, selain kadar HIV yang tinggi.
Gejala klinis
Setelah bakteri masuk melalui inhalasi atau tertelan, infeksi ini kemudian menyebar melalui
saluran limfe dan selanjutnya secara hematogen. Kemudian bakteri ini dimakan oleh sel fagosit
mononuclear di seluruh tubuh dan retikuloendotelial system terutama hati, limpa, dan sumsum tulang.
Gejala klinis MAC diseminata adalah demam, penurunan berat badan, keringat malam, fatig. Gejala
lainnya adalah diare, limfadenopati, hepatosplenomegali, anemia, dan gangguan fungsi liver.
Gambaran khas yang dapat dibedakan dengan tuberculosis adalah hepatosplenomegali, peningkatan
kadar alkalifosfatase >2x serum normal, dan leukopeni. Pada sindrom imunorekonstitusi, gejala utama
infeksi MAC berupa limfadenopati dan demam. Pernah pula dilaporkan berupa osteomilelitis, bursitis,
dan nodul di kulit.
Diagnosis
Diagnosis definitive ditegakkan jika ditemukan kuman Mycobacterium avium atau
mycobacterium intracellulare pada kultur darah atau cairan tubuh lain yang umumnya steril. Jika
tidak ditemukan pada kultur darah sementara kecurigaan cukup besar, dapat dipertimbangkan biopsi
sumsum tulang atau hati. Diagnosis presumptive infeksi MAC diseminata jika ditemukan basil tahan
asam di feses atau jaringan, namun tidak dibuktikan dengan kultur. BTA di feses mempunyai nilai
prediktif 60% terjadinya infeksi diseminata.
Penatalaksanaan
Tabel 6. Penatalaksanaan MAC
Terapi pilihan
Klaritromisin 2x500mg
+
etambutol
15
mg/kgBB atau
Azitromisin
Alternative
Moksifloksasin
1x400mg
atau
levofloksasin
1x500-750 mg + etambutol 15 mg/kgBB +
1x600mg
+
etambutol
15
rifabutin 1x300 mg +/- amikasin IV 10-15
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
8
Ira Irmadani 406147033
mg/kgBB
mg/kgBB
Keterangan : rifabutin belum tersedia di Indonesia
C. KANDIDIASIS
Pada ODHA, kandidiasis mukokutan dapat muncul dalam 3 bentuk, yaitu kandidiasis orofaring,
esophagus, vulvovagina. Kandidiasis mukokutan seringkali muncul berbulan-bulan sebelum
munculnya infeksi oportunistik yang lebih berat dan merupakan salah satu indicator progresifitas HIV.
Strain kandida yang menginfeksi ODHA tidak berbeda dengan pasien imunokompromise lainnya,
yang tersering adalah Candida albicans. Strain lain yang pernah dilaporkan adalah C glabrata, C
parapsilosis, C tropicalis, C kruseii, dan C dubliniesis. Kandidiasis rekurens dapat disebabkan oleh
strain yang sama atau strain yang berbeda.
Gejala klinis
Kandidiasis orofaring terdiri dari 3 bentuk yaitu pseudomembran, eritematosa, dan cheilitis
angularis. Gejalanya berupa rasa terbakar, gangguan mengecap, dan sulit menelan makanan cair atau
padat. Pada beberapa kasus dapat juga asimtomatik.
Kandidiasis pseudomembran membentuk plak putih 1-2cm atau lebih luas di mukosa mulut.
Jika dilepaskan, akan meninggalkan bercak kemerahan atau perdarahan. Kandidiasiseritematosa
berupa plak kemerahan halus di palatum, mukosa buccal, atau permukaan dorsal lidah. Cheilits
angularis tampak berupa kemerahan, fisura, atau keretakkan di sudut bibir.
Kandidiasis esophagus biasanya muncul disertai kandidiasi orofaring (80%) dengan gejala klinis
berupa disfagia, odinofagia, atau nyeri retrosternum. Untuk membedakan dengan esofagitis CMV atau
HSV, pasien kandidiasis esophagus biasanya mengeluhkan nyeri seperti ada makanan terhambat di
kerongkongan, sedangkan esofagitis CMV atau HSV lebih sering mengeluhkan nyeri yang hebat
ketika menelan.
Kandidiasis vulvovagina biasanya menyebabkan keluhan gatal, keputihan, kemerahan di
vagina, disparenia, disuria, dan pembengkakan vulva dan labia dengan lesi pustulapapuler diskrit.
Gejala biasanya memburuk seminggu sebelum menstruasi.
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
9
Ira Irmadani 406147033
Diagnosis
Diagnosis definitif ditemukannya kandida dengan pemeriksaan langsung spesimen jaringan
( kerokan) dengan larutan KOH, bukan dengan kultur. Diagnosis kandidiasis orofaring biasanya
berdasarkan gambaran klinis. Sedangkan diagnosis presumptif kandidiasis esophagus adalah
didapatkannya keluhan nyeri retrostrenum dan ditemukannya kandidiasis oral berdasarkan gambaran
membrane atau plak putih dengan dasar eritem pada mulut atau ditemukannya filament jamur pada
kerokan jaringan. Pemeriksaan endoskopi hanya diindikasikan jika tidak terdapat perbaikan dengan
pemberian flukonazol oral. Diagnosis kandidiasis vulvovagina berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan secret vagina dengan larutan KOH.
Penatalaksanaan
Tabel 8. Terapi kandidiasis mukokutan pada ODHA
Manifestasi klinis
Kandidiasis
Terapi pilihan
Terapi alternative
Orofaring
- Nistatin drop 4-5x kumur 500.000 U
-
sampai lesi hilang ( 10-14 hari)
mg/hari saat perut kosong
- Flukonazol oral 1x100mg selama 10-14
- Amfoterisin B iv 0,3 mg/kgBB
Itrakonazol
suspense
200
hari
Kandidiasis
Esophagus
Amfoterisin B iv 0,3 mg/kgBB
- Flukonazol oral 200-800 mg/ hari selama
14-21 hari
- Itrakonazol suspense 200 mg/hari selama
14-21 hari
Kandidiasis
Intravagina :
Sistemik :
Vulvovagina
- Klotrimoksazol krim 1% 5 mg/hari selama
-
3 hari, atau tablet vagina 1x100 mg selama
tunggal
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
10
Flukonazol
oral
1x150mg
Ira Irmadani 406147033
7-14 hari atau 2 x100 mg selama 3 hari
- Itrakonazol oral 1-2 x200 mg
- Mikonazol krim 2 % 5mg/hari selama 7
selama 3 hari
hari
- Ketokonazol oral 1x200 mg
- Tiokonazol krim 0,8% 5mg/hari selama 3
selama 5-7 hari atau 2x200 mg
hari
selama 3 hari
Efektivitas preparat topical nistatin untuk kandidiasis orofaring tergantung pada lamanya
kontak antara suspense dan mukosa yang terkena. Karena itu setelah pemberian obat dianjurkan untuk
tidak makan atau minum selama 20 menit. Respon terapi terlihat dalam 5 hari pertama. Jika gagal
dengan preparat topical, gunakan flukonazol oral. Jika tetap tidak berespons dengan flukonazol,
gunakan flukonazol dosis lebih tinggi (400- 800 mg/ hari) atau terapi alternative, dan lakukan tes
sensitivitas terhadap anti jamur.
Profilaksis
Tidak ada terapi profilaksis untuk kandidiasis yang dianjurkan pada ODHA. Namun pada
kasus yang berat atau rekurens dipertimbangkan pemberian flukonazol oral 1x100-200 mg
atauitrakonazol oral 1x200 mg. Terapi yang terbaik adalah dengan meningkatkan kekebalan tubuh
dengan ARV.
D. ASPERGILOSIS
Aspergilosis disebabkan oleh Aspergillus fumigatus, A. niger, A. flavus, A. clavafus, dan A.
nodulans. Aspergillus.sp hidup di dalam tanah dan sporanya yang berukuran kecil mudah
berhamburan di udara, sehingga mudah terhirup. Aspergillus.sp dapat berkoloni di bronkus, kista, dan
kavitas pasca tuberkulosis." Kejadian aspergilosis pada ODHA tidak sebanyak infeksi jamur lain,
namun dengan angka kematian yang tinggi (median survival 3 bulan). Aspergilosis invasif biasanya
terjadi pada ODHA dengan CD4 < 50 sel/μL. Pada ODHA, Aspergillus.sp umumnya menginfeksi
paru dengan berbagai manifestasi, juga dapat menjadi diseminata. Kadangkala juga menginfeksi
darah, sinus, kulit, telinga, tulang, otak, den jantung.
.
Gejala
Infeksi aspergilosis yang umumnya terjadi pada DOHA adalah aspergilosis invasif dengan
gejala infeksi paru akut dengan gejala demam tinggi, dispnea, batuk, nyeri dada, dan hemoptisis.
Sedangkan allergic bronchopulmonary aspergillosis dan aspergiloma hampir tidak pernah ditemukan
pada ODHA. Aspergillus.sp yang meng-invasi mukosa dan tulang rawan bronkus dapat membentuk
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
11
Ira Irmadani 406147033
pseudo-membran dan mengakibatkan sindrom obstruksi trakeobronkiolitis pseudomembranosa.
Bentuk aspergitosis invasif yang lebih banyak tertihat pada ODHA ini dapat menyebabkan perdarahan
bronkus masif karena menginvasi pembuluh darah dan dinding bronkus.
Diagnosis
Gambaran radiologis aspergilosis paru invasif 30% berupa kavitas berdinding tebal, terutama
di lobus bawah, 20% berupa infiltrat difus atau nodular di salah satu atau kedua sisi paru. Sedangkan
pada sindrom obstruksi trakeobronkiolitis pseudomembranosa gambaran radiologis berupa infiltrat
yang samar- samar segmental atau atelektasis lobaris.
Diagnosis definitif infeksi aspergilosis adalah dengan ditemukannya Aspergillus.sp pada
jaringan dan kultur. Tumbuhnya Aspergillus.sp pada kultur saja belum dapat menegakkan diagnosis,
walaupun hanya 10.300 pasien dengan aspergilosis paru invasif yang kulturnya positif. Namun,
aspergilosis invasif harus dicurigai jika terdapat gejala respiratorik pada ODHA stadium lanjut dan
turnbuh Aspergillus.sp pada kultur, sputum, terutama Aspergillus fumigatus. Aspergilosis invasif pertu
dipikirkan pada ODHA dengan garnbaran klinik pneumonia, namun tidak berespons dengan terapi
antibiotika. Aspergilosis juga dapat menginfeksi otak, sinus, telinga, mata, endokarditis, esofagitis,
limfadenitis, menyebabkan abses kulit, abses ginjal dan pankreas. Pemeriksaan serologi untuk
mendeteksi antibodi tidak banyak membantu diagnosis karena sebagian besar pasien pernah
mengalami paparan asimptomatik dengan Aspergillus.sp.
Penatalaksanaan terapi yang dianjurkan untuk aspergilosis invasif adalah vorikonazol
intravena dengan dosis 6 mg/kg 130 tiap 12 jam sebanyak 2 kali, kemudian dilanjutkan 4 mg/kg BB
tiap 12 jam selama > 1 minggu, selanjutnya 2 x 200rng. Namun obat ini belum tersedia di Indonesia.
Terapi alternatif yang dapat digunakan adalah amfoterisin B IV 1,0 mg/kgBB/hari hingga terjadi
perbaikan alternatif lain adalah itrakonazol 600 mg/hari selama 4 hari, diteruskan 400 rng/hari.
Profilaksis
Tidak ada profilaksis primer maupunpun sekunder yang terbukti bermanfaat untuk
aspergilosis pada ODHA.
E. HISTOPLASMOSIS
Histoplasma capsulatum tersebar hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia. Jamur ini hidup
dalam tanah yang tercemar kotoran burung, ayam, dan kelelawar. Jamur ini bersifat dimorfik, di tanah
tumbuh sebagai konidia, sedangkan jika sporanya terhisap masuk ke paru berubah bentuk menjadi
ragi. Ragi tersebut kemudian masuk be dalam makrofag alveolar, bermultiplikasi, kemudian menyebar
ke kelenjar getah bening hilus dan mediastinum, lalu masuk sirkulasi.
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
12
Ira Irmadani 406147033
lmunitas seluler berperan penting pada perjalanan infeksi selanjut-nya selain ukuran inokulum.
Pada pasien imunokompeten, jamur ini dapat hidup intraseluter seumur hidup. Pada pasien
imunokompromais seperti ODHA, kemungkinan reaktivasi menjadi lebih besar, demikian juga
dengan kemungkinan menjadi diserninata. Selain itu, ternyata diternukan defek makrofag alveolar
pada ODHA sehingga mengurangi kemampuannya mengikat H.capsulatum dan mempermudah
multiplikasinya.
Gejala
Histoplasmosis dapat memberikan 4 gambaran klinis, yaitu histoplasmosis asirnptornatik,
histoplasmosis akut, histoplasmosis kronik, dan histoplasmosis diserninata. Namun, pada ODHA
gambaran yang sering terjadi adalah histoplasmosis akut dan histoplasmosis diseminata.
Histoplasmosis akut
Pada orang normal, histoplasmosis akut biasanya tidak bergejala. Tidak dernikian dengan
histoplasmosis akut pada ODHA. Gambaran klinis histoplasmosis akut sangat bervariasi, mulai dari
malaise ringan hingga gejala yang lebih berat. Gejala yang tersering adalah demam, Sakit kepala,
batuk nonproduktif, menggigil, nyeri dada pleuritik, penurunan berat badan, malaise, dan mialgia.
Nyeri retrosternal merupakan gambaran predominan dan mungkin berhubungan dengan limfadenopati
mediastinum. Pada paparan ragi histoplasmosis dalam jumlah yang sangat banyak dapat terjadi
manifestasi yang berat berupa sesak napas hebat. Granuloma mediastinurn, perikarditis, dan artritis
merupakan sekuele yang dapat terjadi pasca histoplasrnosis.
Pada perneriksaan radiologis paru biasanya diternukan inflltrat difus yang tersebar, adenopati hilus
dan mediastinum, dan pada kasus yang berat ditemukan nodul-nodul paru kecil yang difus.
Histoplasmosis diseminata
ODHA dengan histoplasmosis diseminata progresif biasanya bergejala demam, malaise,
penyusutan berat badan dalam jangka waktu cepat, dan sakit kepala. Kurang dari separuh kasus
disertai dengan batuk kering. Pada perneriksaan fisik dapat ditemui hepato- splenomegali,
limfadenopati, atau lesi mukokutan seperti ulserasi orofaring, dan pemeriksaan laboratorium
menunjukkan pansitopenia. Sekitar 10% ODHA dengan histoplasmosis diseminata juga disertai
manifestasi kulit non-spesifik berupa lesi pustuler, folikuler, makulopapuler, dan eritematosa dengan
paputonekrosis di bagian tengah. Histoplasmosis diseminata dianggap berat jika mernenuhi satu atau
lebih kriteria sebagai berikut: temperature >39°C, tekanan sistolik <90mrnHg, pO2 < 70 , kehilangan
berat badan >5% skor karnofsky, hemoglobin <10 g/dL, neutrofil <1000/mL, peningkatan kreatinin
>2 kali normal, peningkatan SGOT >2,5 kali normal, albumin 43,5 g/ML, atau disfungsi organ lain.
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
13
Ira Irmadani 406147033
Gambaran radiologis paru bisa normal (50%) atau tampak infiltrat nodular difus. Jarang sekali
disertai efusi pleura atau adenopati. Gambaran klinis lain yang mungkin terjadi pada histoplasmosis
adalah fibrosis mediastinum, mediastinitis granulomatosa, histoplasmosis susunan saraf pusat,
perikarditis, dan bronkolitiasis. Dilaporkan pula beberapa kasus sindrom hemofagositik reaktif dan
korioretinitis pada ODHA dengan histoplasmosis diseminata.
Diagnosis
Kultur merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis definitif histoplasmosis. Namun
karena jarnur ini tumbuh lambat, dibutuhkan waktu dua sampai empat minggu untuk mendapatkan
hasil kultur, kultur dapat diambil dari biopsi surnsum tulang, darah perifer, biopsi kelenjar getah
bening, lavase bronkoalveolar, ataupun biopsi kulit. Tes kulit dengan histoplasrnin dan perneriksaan
histopatologi jaringan kurang sensitif dan spesifik untuk menegakkan diagnosis histoplasmosis,
kecuali pada perneriksaan sumsum tulang. Ditemukannya antigen H.capsulatumdi urin dan serum
dapat rnembantu diagnosis histoplasmosis. Antigen dapat dideteksi di urin pada 905 kasus
histoplasmosis diseminata dan 50% kasus. Sedangkan pada histoplasmosis paru akut kemungkinan
ditemukan di urin 75%. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi juga dapat rnembantu
diagnosis. Peningkatan titer lebih dari 4 kali atau ≥1:32 mengindikasikan histoplasmosis akut. Namun,
hasil negatif palsu dapat terjadi pada pasien imunokompromais dan selama 6 minggu pertarna
sebelum antibodi terbentuk. Perkecualian pada meningitis histoplasmosis, ditemukannya antibodi
pada cairan serebrospinal yang didukung gejala klinis cukup untuk menunjang diagnosis. Tidak ada
diagnosis presumtif histoplasmosis akut atau diserninata pada ODHA.
Penatalaksanaan
Tabel 9. Rekomendasi terapi histoplasmosis pada ODHA
Gambaran
Manifestasi berat
Manifestasi ringan- sedang
Klinis
Histoplasmosis
amfoterisin B iv 0,7 mg/kgBB/hari (dengan
Gejala kurang dari 4minggu: tidak
Paru Akut
prednisone 60 mg/hari selama 2 minggu),
diterapi
dilanjutkan itrakonazol oral 2x 200mg hingga
Gejala
12 minggu
itrakonazol 1-2 x 200 mg selama 6-
Histoplasmosis
Induksi:
12 minggu
Induksi:
Diseminata
Amfoterisin B iv 0,7-1 mg/kgBB/hari,
Itrakonazol 3x 200mg selama 3hari,
dilanjutkan itrakonazol oral 2x 200mg hingga
dilanjutkan 2x 200mg hingga 12
12 minggu
minggu
Rumatan:
Rumatan:
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
14
lebih
dari
4
minggu:
Ira Irmadani 406147033
Mediastinitis
Itrakonazol seumur hidup
Amfoterisin B iv 0,7-1 mg/kgBB/hari,
Itrakonazol seumur hidup
itrakonazol 2x 200mg selama 6- 12
Granulomatosa
dilanjutkan itrakonazol oral 2x 200mg hingga
minggu
12
minggu.
Juga
pertimbangkan
Perikarditis
kortikosteroid dan/atau reseksi bedah
Kortikosteroid pada obstruksi sal. Napas dan
Meningitis
atau drainase perikard
Amfoterisin B dosis di atas selama 12-
Arthritis/
16minggu, dilanjutkan itrakonazol 1x 200mg
OAINS selama 2- 12 minggu
OAINS selama 2- 12 minggu
OAINS selama 2- 12 minggu
Manifestasi
Reumatologis
Efektifitas kortikosteroid masih kontroversial
Dosis total amfoterisin B tidak boleh melebihi 35 mg/kg BB selama 3-4 bulan
F. KRIPTOKOKOSIS
Kriptokokosis adalah infeksi jamur sistemik yang disebabkan oleh Cryptococcus neoformans.
Spora jamur ini dapat bertahan hidup dalam waktu lama di lingkungan yang sesuai, ditemukkan di
tanah dan di laporkan banyak terdapat pada tinja burung merpati.
Infeksi terjadi dengan cara inhalasi spora ke dalam saluran pernafasan. Selanjutnya terjadi fungemia
dan diseminasi ke berbagai organ tubuh. Pada ODHA 80-90% kriptokokosis bermanifestasi sebagai
meningitis kriptokokosis (MK).
Gejala klinis
Pada AIDS gejala klinis MK sering kali tidak jelas atau samar-samar. Biasanya dijumpai
gejala prodormal selama 2-4 minggu. Gejala awal berupa demam, sekit kepala, dan malaise terjadi
pada 65-80% kasus. Mual dan muntah terjadi pada 50% kasus. Tanda klasik meningitis berupa kaku
kuduk hanya dijumpai 30%. Sekitar 10-30% pasien datang dengan keluhan gangguan kesadaran dan
perilaku. Gejala neurologis fokal hanya dilaporkan 10%. Peningkatan tekanan intrakranial didapatkan
pada 75% kasus MK pada ODHA, walaupun demikian edema papil hanya didapatkan pada 26%
kasus.
Pada kriptokokosis paru dapat dijumpai demam dan batuk dengan sputum yang tidak terlalu
produktif. Mengingat kriptokokosis merupakan penyakit yang berbahaya, dianjurkan untuk
memikirkan kemungkinan ini pada setiap ODHA dengan klinis pneumonia. Manifestasi kriptokokosis
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
15
Ira Irmadani 406147033
paru dapat mendahului terjadinya MK. Karena itu bila terdapat bukti infeksi C. neoformans di paru
harus dilakukan punksi lumbal.
Manifestasi kelainan primer pada mata berupa konjungtivitis, korioretinitis, endoftalmitis, dan
kebutaan juga tidak jarang terjadi. Identifikasi jamur dilakukan melalui aspirasi cairan vitreus.
Kelainan kulit pada kriptokokosis bisa terjadi dalam bentuk seperti acne, papul, vesikel, nodul, tumor,
abses, ulkus dan granuloma, dan kadang lesi ini sulit dibedakan dangan moluskum kontangiosum.
Diagnosis
Diagnosis definitive kriptokokosis adalah dengan isolasi jamur, pemeriksaan histopatologi,
dan serologi antigen C. neoformans. Spesimen untuk pemeriksaan dapat diambil dari darah, cairan
serebrospinal, urin, cairan pleura, sputum, bilasan bronkus, lesi kulit dan biopsy jaringan.
Diagnosis MK melalui pemeriksaan cairan serebrospinal, ditegakkan melalui identifikasi jamur
dengan pewarnaan tinta india, kultur, dan deteksi antigen C. neoformans dengan reaksi aglutinasi.
Penatalaksanaan
Tabel 10. Penatalaksanaan Meningitis Kriptokokus
Terapi meningitis kriptokokus
Induksi : amfoterisin B iv 0,7-1 mg/kgBB/hari dan 5
Pilihan pertama
fluorositosin oral 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu
Konsolidasi : flukonazol oral 400 mg/hari selama 8 minggu
atau hingga cairan serebrospinal steril
Induksi : amfoterisin B iv 0,7-1 mg/kgBB/hari selama 2 minggu
Pilihan kedua
Konsolidasi : flukonazol oral 400 mg/hari selama 10 minggu
atau hingga cairan serebrospinal steril
flukonazol oral 400-800 mg/hari dan fluorositosin oral 100
Pilihan ketiga
Kriptokokosis
paru
(ringan-
sedang,kriptokokosis diseminata
mg/kgBB/ hari selama 6-10 minggu
Flukonazol 200-400 mg/hari secara oral diberikan seterusnya
hingga nilai CD4 > 200 sel/L
dan antigenemia
Profilaksis
Tidak ada terapi profilaksis primer yang dianjurkan untuk mencegah MK. 6 Profilaksis
sekunder (rumatan) dengan salah satu regimen dibawah diberikan seterusnya hingga nilai CD4>200
sel/uL : Flukonazol 200 mg/hari secara oral (pilihan pertama) ; Amfoterisin B 1 mg/kg/ hari 1 atau 2
kali seminggu secara intravena ; Itrakonazol 200 mg 2x hari secara oral.
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
16
Ira Irmadani 406147033
G. TOKSOPLASMOSIS
Toxoplasma gondii merupakan parasit intraseluler yang menyebabkan infeksi asimtomatik pada
80% manusia sehat, tapi berbahaya pada ODHA. Toxoplasmasis pada ODHA terbanyak disebabkan
oleh reaktivasi infeksi Laten. Siklus hidup T.gondii sangat kompleks. Inang definitifnya adalah
kucing. Sedangkan inang perantaranya sangat bervariasi seperti tikus, kambing, sapi, babi, unggas dan
hewan ternak lainnya. Pada manusia infeksi T.gondii melalui makanan dapat terjadi dua mekanisme,
yaitu makanan tercemar ookista yang berasal dari tinja kucing dan melalui daging yang mengandung
kista jaringan akibat kurang matang dimasak. Serangga seperti kecoa dan lalat juga dapat mencemari
makanan dengan ookista.
Ensefalitis toksoplasma (ET) merupakan manifestasi utama toksoplasmosis pada ODHA.
Manisfestasi ocular (retinitis), paru (pneumonitis) dan infeksi sistemik lebih jarang dijumpai. Infeksi
juga dapat terjadi pada kelenjar limfe, hati, sumsum tulang dan jantung. Sebelum ARV digunakan
secara luas, 70% kasus lesi massa intrakranial pada ODHA disebabkan oleh ET. Penyakit ini paling
sering timbul pada ODHA dengan CD4 < 100 sel/uL.
Gejala klinis
Perjalanan penyakit ET biasanya berlangsung subakut. Keluhan dan gejala klinis berkembang
progresif dalam kurun waktu 1-4 minggu. Pada sepertiga kasus ditemukan awitan akut. Seringkali,
secara klinis dapat diduga diagnosis ET pada ODHA, walaupun tidak ada tanda patognomonik.
Demam, sakit kepala, deficit neurologic fokal dan penurunan kesadaran merupakan manifestasi klinis
utama dari ET. Sakit kepala, penurunan kesadaran dan gangguan perilaku dijumpai pada 50-70%
kasus. Demam dijumpai pada 40-50% kasus. Defisit neurologik fokal ditemukan sebanyak 80%.
Hemiparesis merupakan defisit fokal yang paling sering dijumpai, ditemukan sebanyak 40-50%.
Kejang sebagai gejala utama dijumpai pada 15-30% kasus. Gejala lain adalah ataksia, paresis saraf
karnial, afasia, parkinsonism, korea-atetosis dan gangguan lapangan pandang.
Diagnosis
Diagnosis presumtif berdasarkan gejala klinis neurologi yang progresif pada ODHA dengan
nilai CD4 <200 sel/uL dan disertai gambaran neuroimajing (CT/MRI) yang sesuai. Diagnosis
definitive ET hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi jaringan otak. Pemeriksaan
MRI lebih sensitif daripada CT scan dalam menemukan lesi ET. Sembilan puluh persen
memperlihatkan lesi tunggal atau multiple yang hipodens pada CT atau hipointens pada MRI.
Walaupun demikian, lesi yang tidak disertai penyangatan kontras juga dilaporkan pada 6-20% kasus
ET. Lokasi lesi sering kali didapatkan pada ganglia basal, thalamus, atau cortio-medullary junction.
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
17
Ira Irmadani 406147033
Bedasarkan diagnosis presumtif, terapi empiris toksoplasma dapat dimulai. Jika diagnosis tersebut
benar, lesi akan mengecil pada CT-scan atau MRI ulangan setelah 2 minggu. Pada ET biasanya
dijumpai lgG yang positif, sedangkan lgM negative. Hal ini tidak mengherankan karena ET pada
ODHA biasanya merupakan reaktivasi infeksi laten. Walaupun demikian, pemeriksaan serologi yang
negative dijumpai pada 3-17% kasus ET yang didiagnosis melalui biopsy maupun presumtif.
European Federation of Neurological Societies (EFNS) mengeluarkan panduan tatalaksana,
yaitu secara praktis semua ODHA dengan lesi massa intrakranial dapat diberikan terapi empiris antitoksoplasma selama 2 minggu, walaupun serologinya negative atau lesinya tunggal. Bila tidak
terdapat perbaikan klinis ataupun radiologis, barulah dianjurkan biopsi.
Penatalaksanaan
Tabel 11. Rekomendasi terapi ET pada ODHA.
Pilihan pertama
Pilihan kedua
Pilihan ketiga
Fase akut (3-6 minggu)
Primetamin oral 200mg hari pertama,
Rumatan (profilaksis sekunder)
Pirimetamin oral 20-50 mg/hari +
selanjutnya 50-75 mg/hari + leukovorin
leukovorin oral 10-20 mg/hari +
oral 10-20 mg/hari + sulfadiazine oral
sulfadiazine oral 500-1000 mg/hari
1000-1500 mg/hari
Pirimetamin + leukovorin (dosis di atas) +
Pirimetamin + leukovorin (dosis di
klindamisin oral atau iv 4 x 600 mg
atas) + klindamisin oral 4 x 300-450
Pirimetamin + leukovorin (dosis di atas) +
mg
Pirimetamin + leukovorin (dosis di
salah satu:
atas) + salah satu antibiotic tersebut
atovaquone oral 2 x 1500 mg
dosis sama
azitromisin oral 1 x 900-1200 mg
klaritromisin oral 2 x 500 mg
dapson oral 1 x 100 mg minoksiklin oral 2
x 150 – 200 mg
Di Indonesia tidak tersedia sulfadiazin dan juga tidak terdapat preparat pirimetamin dalam
bentuk tunggal. Karena itu dapat digunakan fansidar (pirimetamin 25 mg dan sulfadoksin 500 mg)
dengan dosis pirimetamin seperti di atas, dan klindamisin 4 kali 600 mg per hari secara oral atau
intravena.
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
18
Ira Irmadani 406147033
Terdapat satu penelitian yang melaporkan kombinasi trimetoprim 10 mg/kgBB/hari dan
sulfametoksazol 50 mg/kgBB/hari secara oral atau intravena cukup efektif sebagai regimen fase akut.
Kotrimoksasol dengan dosis seperti di atas mungkin dapat digunakan untuk terapi ET fase akut pada
sarana kesehatan dengan persediaan obat yang terbatas.
Profilaksis
Profilaksis primer TMP-SMZ DS (960 mg) 1x1 tab diberikan pada ODHA dengan CD4 < 100
sel/uL dengan alternatif:
- Dapson oral 1 x 50 mg + pirimetamin 75 mg/minggu + leukovorin 25 mg/minggu
- Dapson oral 200 mg/minggu + pirimetamin 75 mg/minggu + leukovorin 25 mg/minggu
- Atovaquone oral 1 x 1500 mg + pirimimetamin 25 mg/hari + leukovorin 10 mg/hari.
Profilaksis primer dihentikan bila CD4 > 200 sel/uL stabil selama > 3 bulan. Terapi
profilaksis primer dimulai kembali bila CD4 < 100 sel/uL.
Terapi rumatan (profilaksis sekunder) seperti dalam table 14 dapat dihentikan bila telah terjadi
perbaikan sistim imun, yaitu bila nilai CD4 > 200 sel/uL selama lebih dari 6 bulan. Terapi profilaksis
diberikan kembali jika CD4 turun < 200 sel/uL sesuai dengan profilaksis PCP.
H. PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA (PCP)
Pneumocystis carinii pneumonia sejak lama dinyatakan sebagai salah satu infeksi oportunistik
utama pada ODHA, terutama pada ODHA dengan CD4<200 sel/uL. Infeksi ini merupakan salah satu
penyebab kematian pada ODHA.
Tidak diketahui pasti bagaimana jamur ini ditransmisikan pada manusia, namun tampaknya melalui
udara karena DNA jamur ini diidentifikasi pada spora udara di lingkungan.
Gejala klinis
Gejala PCP adalah demam tinggi, batuk kering, nyeri dada dan sesak napas yang terjadi
secara subakut (dua minggu atau lebih). Jika terjadi sesak napas akut disertai nyeri dada pleuritik
harus dicurigai kemungkinan pneumothorax sebagai komplikasi. Komplikais lain yang sering terjadi
adalah pneumotokel (kavitas, kista, bula, bleb). Sedangkan efusi pleura sangat jarang ditemukan pada
infeksi PCP.
Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya menampakkan takipnea, takikardi, namun tidak
didapatkan ronkhi pada auskultasi paru. Sianosis akral, sentral dan membrane mukosa juga dapat
ditemukan.
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
19
Ira Irmadani 406147033
Pada ODHA infeksi jamur ini dapat terjadi di luar paru atau menjadi diseminata. Infeksi
ekstraparu yang pernah dilaporkan antara lain di mata, telinga, kulit, tiroid dan paratiroid, esophagus,
jantung, hepar, limpa, usus halus, ginjal, sumsum tulang, dan kelenjar getah bening.
Diagnosis
Gambaran khas PCP pada pemeriksaan radiologis paru adalah infiltrate interstitial bilateral
didaerah perihiler yang kemudian menjadi lebih homogen dan difus sesuai dengan perjalanan
penyakit. Kadang ditemui gambaran nodul soliter atau multiple, infiltrate di lobus bawah, abses,
pneumotokel atau pneumothorax. CT scan dapat menunjukkan gambaran ‘ground glass’ atau lesi
kistik.
Pada pemeriksaan laboratorium darah tidak didapatkan hasil yang khas, kecuali peningkatan
laktat dehidrogenase (LDH) dan gradient oksigen alveolar arterial (AaDO2). Peningkatan kedua
pemeriksaan ini dianggap berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk.
Infiltrate perihiler atau difus, terdapatnya kandida atau hairy leukoplakia, kadar LDH lebih dari 220
IU, dan peningkatan LED lebih dari 50 mm per jam dapat digunakan untuk memprediksi PCP pada
ODHA. Yang paling bermakna adalah infiltrate perihiler atau difus karena ODHA dengan gambaran
tersebut kemungkinan 85% mengalami PCP.
Diagnosis definitive PCP dapat ditegakkan jika pada pemeriksaan mikroskopik detemukan
kista Pneumocystis jirovecii. Sedangkan diagnosis presumptive PCP menurut CDC jika ditemukkan
sebagai berikut :
1. Sesak napas saat aktivitas atau batuk nonproduktif dalam 3 bulan terakhir
2. Gambaran radiologis thorax berupa infiltrate interstitial difus bilateral atau gambaran
3.
penyakit paru difus bilateral pada gallium scan
pO2 <70mmHg pada pemeriksaan analisis gas darah atau kapaistas pertukaran gas yang
4.
rendah (<80% nilai prediksi) atau peningkatan AaO2
tidak ada bukti pneumonia bakterialis
Penatalaksanaan
Tabel 12. Terapi PCP berdasarkan derajat penyakit
Derajat
Ringan
Sedang
Berat
Kriteria
Sesak napas pada latihan sedang, PaO2
Terapi
TMP-SMZ 480 mg 2 tablet 3 kali sehari
>70mmHg dalam udara kamar
saat
selama 21 hari atau cukup 14 hari jika respons
istirahat
Sesak napas pada latihan ringan, PaO2
baik
TMP-SMZ 480 mg 2 tablet 3 kali sehari
50-70mmHg dalam udara kamar saat
selama 21 hari
istirahat, AaO2 >30mmHg, atau saturasi
Perlu dipertimbangkan untuk rawat inap
O2 <94%
Sesak napas pada waktu istirahat, atau
Rawat inap, berikan suplemen oksigen, kalau
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
20
Ira Irmadani 406147033
PaO2 <50 mmHg dalam udara kamar
diperlukan ventilator
Kotrimoksazol
iv
atau
oral
15
mg
trimetropim. kgBB, hari dan 75 mg/kgBB/hari
sulfametoksazol dibagi 3 dosis selama 21 hari
I. VIRUS HERPES SIMPLEX
Virus Herpes Simplex (HSV) tipe 1 dan 2 dapat menyebabkan penyakit pada orang yang
kekebalannya normal maupun menurun. Pada AIDS, infeksi HSV sering dijumpai. Pemeriksaan
serologi sekitar 70% positif untuk HSV-1 dan 22% untuk HSV-2. Karena itu, sebagian besar infeksi
Herpes simplex yang terjadi merupakan infeksi rekurens. Infeksi HSV sendiri diketahui memudahkan
terjadinya infeksi HIV dan reaktivasi HSV akan meningkatkan replikasi HIV.
Gejala
Manifestasi klinis infeksi HSV pada ODHA bervariasi dan dapat berbeda dibandingkan
manifestasi pada pasien imunokompeten. Masa inkubasi umumnya berkisar 3-7 hari atau lebih lama,
gejala yang timbul dapat menjadi berat, narnun sebagian asimptomatik. Beberapa jam sebelum timbul
lesi biasanya didahului rasa terbakar dan gatal di daerah tersebut. Timbulnya lesi seringkali disertai
dengan gejala konstitusi seperti demam, malaise, dan nyeri otot. Sebagian besar lesi berupa erupsi
vesikuler berkelompok dengan dasar kriteria yang khas di bibir, lidah, faring, atau genitalia. Infeksi di
daerah orofaring biasanya sangat parah dengan ulserasi hebat diseluruh mukosa mulut, orofaring, dan
esofagus. Sering juga dijumpai demam, faringitis serta pembengkakan kelenjar limfe leher. Gejala
klinis HSV biasanya akan hilang setelah 7-10 hari. Namun pada AIDS, gejala klinis dapat menjadi
lebih lama serta penyembuhan luka juga lebih lambat. Sebagian lain gejalanya tidak khas atau
mengenai organ lain seperti esofagus, rektum, paru, hepar, mata, pankreas, ginjal, hepar, adrenal dan
otak. Setelah infeksi primer, ODHA tetap mempunyai kemungkinan terjadinya infeksi rekurens yang
dapat terjadi secara spontan atau dicetuskan keadaan lain seperti demam, stres, dan paparan ultraviolet
di tempat lesi. HSV-1 lebih sering rnenginfeksi daerah orolabial, sedangkan HSV- 2 lebih sering
menginfeksi daerah anogenital.
Ensefalitis HSV pada ODHA menunjukkan gejala yang tidak dapat timbul tiba- tiba atau
perlahan, dengan keluhan mulai dari sakit kepala. meningismus, perubahan kepribadian, kejang,
sampai penurunan kesadaran.
Diagnosis
Diagnosis klinis ditegakkan dengan adanya gejala yang khas berupa vesikel berkelompok
dengan dasar eritema dan bersifat rekurens. Diagnosis definitif infeksi HSV berdasarkan histologi
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
21
Ira Irmadani 406147033
atau sitologi di jaringan, kultur, atau deteksi antigen di jaringan. Deteksi antigen secara langsung dari
spesimen merupakan deteksi awal yang dapat dikerjakan secara cepat dengan sensitivitas 95% dan
sangat spesifik. Sedangkan pemeriksaan yang paling dianjurkan pada kasus imunokomprornais adalah
dengan kultur rnengingat sebagian besar kasus menunjukkan gejala yang tidak khas.
Diagnosis ensefalitis HSV berdasarkan gambaran klinis, CT-scan/MRI, dan PCR HSV cairan
cerebrospinal. Tidak ada diagnosis presumtif infeksi HSV pada ODHA.
Tabel 13. Terapi antivirus untuk infeksi HSV pada ODHA.
Manifestasi klinis
Infeksi mukokutan, ringan
Terapi antivirus
asiklovir 3 x 400 mg oral selama 7- 10 hari, atau
valasiklovir 2 x 1000 mg oral selama 7- 10 hari, atau
Infeksi mukokutan, berat
valasiklovir 2 x 2000 mg oral sehari
asiklovir iv 5-10 mg/kgBB tiap 8 jam sampai lesi membaik,
dilanjutkan asiklovir oral 4-5 x 400mg atau
Infeksi-visceral (esofagitis, proktitis)
valasiklovir oral 2 x 1000 mg sarnpai lesi menghilang
asiklovir iv 5-10 mg/kgBB tiap 8 jam selama 2-7 hari, atau
perbaikan, dilanjutkan asiklovir oral 4-5 x 400, atau
Infeksi-mukokutan rekurens
valasiklovir oral 2 x 1000 hingga penyembuhan
asiklovir oral 3 x 400 mg atau valasiklovir oral 2 x 1000 mg
Ensefalitis HSV
selama 5- 10 hari
asiklovir iv 10 mg/kgBB tiap 8 jam selama 14-21 hari
Untuk HSV yang resisten terhadap asiklovir, dianjurkan pemberian foscarnet iv 100- 200 rng/
hari dibagi dosis sampai perbaikan, namun saat ini belum tersedia di Indonesia. Cara lain yang
dianjurkan adalah memulai terapi dengan asiklovir 5 x 200- 400 mg, atau valasiklovir 2 x 500 mg,
kemudian dievaluasi selarna 3-5 hari. Jika respons kurang baik, dosis dapat dinaikkan asiklovir 5 x
8OO mg/hari atau asiklovir iv 1-2 mg/kgBB/jarn, atau valasiklovir 3 x 500 mg/hari. Jika respons
membaik, terapi diteruskansampai gejala menghilang. Sedangkan jika dalam 5- 7 hari respons masih
tidak baik, disarankan penggunaan foscarnet iv.
Profilaksis
Tidak ada terapi rumatan ataupun profilaksis primer pada infeksi HSV pada ODHA.
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
22
Ira Irmadani 406147033
J. VIRUS VARICELLA- ZOSTER (VVZ)
Infeksi primer virus ini biasanya terjadi pada masa kanak- kanak. ODHA mengalami infeksi
rekurens virus ini (herpes zoster) lebih sering dibandingkan pasien imunokompeten. Kejadian herpes
zoster seringkali merupakan salah satu indikator adanya infeksi HIV pada orang yang berisiko
terinfeksi HIV.
Gejala
Pada infeksi primer (varisela), lesi rata-rata muncul setelah 14 hari didahului gejala prodromal
seperti malaise, mialgia, dan demam 1-2 hari sebelumnya. Pada pasien imunokompromais gejala
biasa-nya lebih berat, bahkan dapat menyebabkan sesak napas serta sianosis. Lesi awal bermula
sebagai makula eritema kecil dan berkembang dalam 12-36 jam menjadi papul dan vesikel, mulamula di daerah badan leher dan muka. ODHA yang mengalami varisela mempunyai resiko lesi
menjadi lebih luas, bahkan dapat mengenai telapak tangan dan kaki. Jumlah lesi kulit menjadi lebih
banyak, lebih monomorf, berukuran lebih besar dan lebih dalam, dan berlangsung lebih lama (lebih
dari 2 rninggu). Infeksi sekunder juga lebih sering muncul. (20-30%), demikian juga dengan
penyebaran ke organ viseral. Setelah infeksi primer, virus ini menetap pada akar ganglia dorsalis yang
dapat bereaktivasi rnenjadi herpes zoster. Gejalanya biasanya dimulai dengan nyeri radikuler yang
dilanjutkan dengan munculnya lesi makulopapuler hingga menjadi vesikel. Vesikel seringkali
menyatu dan membentuk bula. Pada ODHA, lesi yang biasanya hanya mengenai satu dermatom dapat
mengenai lebih dari satu dermatom, lebih banyak bula, nekrosis, lebih nyeri, dan meninggalkan
jaringan parut yang lebih luas.
Infeksi VVZ dapat menyebabkan komplikasi pneumonia, ensefalitis, hepatitis, nekrosis
retinal akut, dan neuralgia pasca herpetiko. Pneumonia varisela dapat terjadi bersamaan dengan
infeksi primer atau herpes zooster, dengan gambaran bervariasi mulai dari yang ringan sampai
menyebabkan gagal napas. Ensefalitis Varicella zooster jarang terjadi. Gejala yang khas berupa sakit
kepala, muntah, letargi. dan gejala keterlibaran serebelum (ataksia, tremor, dan pusing berputar
muncul 3-9 hari setelah onset infeksi primer atau 1- 2 minggu setelah onset herpeszooster. Nekrosis
retinal akut dapat terjadi dalam beberapa minggu atau bahkan setelah kejadian herpes zooster, dan
dapat menyebabkan kebutaan. Neuralgia pasca herpetika didefinisikan sebagai nyeri yang menetap
lebih dari 30 hari setelah kejadian herpes zoster. Komplikasi ini meningkat pada usia yang lebih tua,
sedangkan infeksi HIV bukan dianggap sebagai faktor yang meningkatkan resiko komplikasi ini.
Diagnosis
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
23
Ira Irmadani 406147033
Diagnosis umumnya berdasarkan gejala klinis. Diagnosis definitif berdasarkan kultur atau
deteksi antigen di jaringan dengan imunoflouresensi direk atau PCR.
Penatalaksanaan
Pada ODHA, terapi hendaknya diberikan sedini mungkin dengan dosis yang lebih tinggi dm
diteruskan sampai lesi mongering (sekitar 7-10 hari). Penggunaan antihistamin sistemik dan
antipruritus dapat ditambahkan untuk mengatasi pruritus. Antibiotik dorsal diberikan bila terjadi
infeksi sekunder.
Tabel 14. Terapi antivirus untuk infeksi varisela zoster pada ODHA
Manifestasi Minis
Infeksi primer (varisela)
Terapi antivirus
asiklovir oral 5 x 800 mg atau valasiklovir oral 3
Herpes zoster dermatomal
x 1000 mg selama 7-10 hari
asiklovir oral 5 x 800 mg atau valasiklovir oral 3
Herpes zosler diseminata
x 1000 mg selama 7-10 hari
asiklovir iv 10 mg/kgBB tiap 8 jam sampai lesi
atau melibatkan organ viseral
Nekrosis retina akut
menghilang
asiklovir iv 10 mg/kgBB tiap 8 jam + foscarnet iv
60 mg/kgBB tiap 8 jam
Profilaksis
Imunoglobulin varicella zoster dianjurkan diberikan pada ODHA dalam 48 jam setelah
paparan dengan dosis 6,25 mL. Sedangkan vaksin varisela dikontraindikasikan pada ODHA karena
mengandung virus hidup. Namun, sampai saat ini imunoglobulin tersebut belum tersedia di Indonesia.
K. CYTOMEGALO VIRUS (CMV)
Cytomegalo virus (CMV) merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan pada ODHA.
Infeksi ini biasanya muncul pada ODHA dengan CD4 <50-100 sel/uL. Sebenarnya virus ini dapat
menginfeksi hampir semua organ tubuh. Namun, yang sering terkena pada ODHA adalah mata
(korioretinitis), saluran cerna (esofagitis, enteritis, colitis), paru (pneumonitis), serta system saraf
(ventrikuloensefalitis, poliradikulopati).
Penularan CMV terjadi lewat kontak dengan cairan tubuh pasien seperti air liur, urin, cairan
serviks, semen, air susu ibu, dan darah. Infeksi primer biasanya asimptomatik, kemudian CMV akan
bersifat laten seumur hidup, dan bereaktivasi kembali ketika kekebalan tubuh turun.
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
24
Ira Irmadani 406147033
Gejala klinis
Gambaran yang tipikal pada korioretinitis CMV adalah keluhan gangguan penglihatan
unilateral, berupa penurunan visus, penglihatan floater, fotopsia, skotoma, atau gangguan lapang
pandang unilateral. Pada pemeriksaan funduskopi terlihat perdarahan retina brush-fire, catchup sauce
appearance, pigmentasi granuler atau eksudat kekuningan yang memberikan gambaran khas pizza pie
appearance. Lesi ini dapat terlihat di perifer atupun fundus, jika tidak diobati lesi menjadi progresif
dalam 2-3 minggu dan akan mengakibatkan kebutaan karena dapat menyebar ke makula dan diskus
optikus atau secara hematogen ke mata lain.
CMV dapat menyebabkan gangguan saluran cerna dan system bilier. Infeksi pada saluran
cerna bagian atas paling sering menyebabkan ulkus di sfingter esophagus selain menyebabkan
esofagitis difus, gastritis, ulkus gaster/duodenum, dan enteritis. Sedangkan pada saluran cerna bagian
bawah lebih sering mengenai kolon, atau dapat menyebabkan perforasi ileum dan ulkus di rectum.
Pneumonitis CMV tidak memiliki gejala spesifik, hanya gejala sesak napas yang memburuk
perlahan, sesak pada saat aktivitas, dan batuk non produktif. Pemeriksaan auskultasi seringkali tidak
menemukan kelainan atau ronki yang minimal. Sedangkan pada pemeriksaan radiologis toraks
tampak infiltrate difus interstitials yang menyerupai PCP.
Ventrikuloensefalitis CMV biasanya muncul bersamaan manifestasi CMV di tempat lain.
Gejalanya berupa letargi, gangguan mental, delirium dan demam. Pasien seringkali mengeluhkan
kesulitan berkonsentrasi, sakit kepala, dan somnolen. Dapat juga disertai dengan gangguan saraf
cranial.
Diagnosis
Diagnosis definitive infeksi CMV adalah dengan pemeriksaan mikroskopis (histology atau
serologi), kultur, atau deteksi antigen pada spesimen langsung dari jaringan tersebut. Diagnosis
retinitis CMV biasanya ditegakkna berdasarkan gambaran klinis dan funduskopi. Diagnosis
presumptive yang dapat digunakan adalah gambaran khas pada pemeriksaan oftalmologis serial
(bercak diskrit pada retina dengan batas yang tegas, menyebar secara centrifugal sepanjang pembuluh
darah, memburuk selama beberapa bulan, dan disertai vaskulitis dan nekrosis retina). Resolusi dari
penyakit aktif menyebabkan parut di retina dan atrofi dengan retinal pigment epithelial mottling.
Untuk mendiagnosa CMV pada saluran cerna, diperlukan biopsy mukosa yang menunjukkan
tanda inflamasi dan CMV inclusion body. Sedangkan untuk infeksi CMV pada system saraf pusat
diperlukan cairan serebrospinal untuk menemukan antigen atau DNA CMV dan kultur.
Penatalaksanaan
Tabel 15. Rekomendasi antivirus untuk infeksi CMV pada ODHA
Manifestasi
Mata
Regimen pilihan
Gansiklofir iv 2x5 mg/kgBB/hari diberikan dalam infus 1 jam selama 2-3 minggu.
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
25
Ira Irmadani 406147033
Dilanjutkan dengan dosis rumatan gansiklovir iv 5 mg/kgBB/hari sekali sehari
Valgansiklofir oral 2x900 mg selama 21 hari, dilanjutkan dosis rumatan 1x900 mg
Foscarnet iv 3x60 mg/kg atau 2x90 mg/kg selama 2-3 minggu, dilanjutkan dengan
Saluran Cerna
Paru
Sistem Saraf
dosis rumatan foscarnet iv 2x90-120 mg/kg
Gansiklofir iv 2x5 mg/kgBB selama 2-3 minggu
Valgansiklofir oral 2x900 mg selama 2-3 minggu
Foscarnet iv 3x60 mg/kg atau 2x90 mg/kg selama 2-3 minggu
Gansiklofir iv 2x5 mg/kgBB selama > 21 hari
Valgansiklofir oral 2x900 mg selama 21 hari
Foscarnet iv 3x60 mg/kg atau 2x90 mg/kg selama >21 hari
Gansiklofir iv 2x5 mg/kgBB selama 3-6 minggu dikombinasi dengan Gansiklofir iv
2x5 mg/kgBB selama > 21 hari selama 3-6 minggu, dilanjutkan dengan terapi
rumatan dengan gansiklofir/valgansiklovir dan foscarnet dengan dosis seperti
retinitis CMV
Gansiklofir iv 2x5 mg/kgBB selama 3-6 minggu dilanjutkan terapi rumatan dengan
gansiklofir/valgansiklovir dengan dosis seperti retinitis CMV
L. HIV WASTING SYNDROME
Penurunan berat badan pada ODHA terutama pada stadium AIDS. Tiga puluh tujuh persen sampai
lebih dari 50% ODHA pada stadium AIDS mengalami penurunan berat badan, bahkan setelah era
ARV. Penurunan berat badan ini erat hubungannya dengan progresivitas penyakit dan kematian.
Kadar CD4 <100 sel/uL, terdapatnya demam dan kandidiasis oral merupakan prediktor utama
penuruna berat badan.
Tidak semua penurunan berat badan dikategorikan sebagai HIV wasting syndrome. Sindrom ini
didefinisikan sebagai penurunan berat badan minimal 10% disertai dengan diare atau kelemahan
kronis dan demam selama 30 hari yang tidak diakibatkan penyebab lain selain infeksi HIV itu sendiri.
Karakteristik penurunan berat badan pada ODHA adalah pengurangan jaringan lemak dan massa
tubuh bebas lemak (lean body mass) dan cenderung terjadi secara episodik. Penurunan berat badan
yang cepat (lebih dari 4 kg dalam waktu kurang dari 4 bulan) biasanya merupakan akibat dari infeksi
oportunistik akut. Setelah infeksi menghilang akan terjadi peningkatan berat badan dan pada beberapa
ODHA berat badan tersebut menetap dalam jangka waktu lama. Sedangkan penurunan berat badan
secara gradual (kurang dari 4 kg dalam waktu lebih dari 4 bulan) lebih berhubungan dengan penyakit
gastrointestinal dan malabsorbsi.
Ada banyak faktor yang dianggap berperan pada HIV wasting syndrome. Pertama, ODHA diduga
mengalami hipermetabolisme yang dibuktikan dengan peningkatan REE ( RestingEnergy
Expenditure) terutama jika disertai infeksi sekunder. Metabolisme pada ODHA dianggap mengalami
perubahan. Pada insufisensi karbohidrat, jika pada orang normal yang terjadi adalah oksidasi asam
lemak dan sedikit oksidasi nitrogen, pada ODHA yang terjadi adalah oksidasi nitrogen dan
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
26
Ira Irmadani 406147033
karbohidrat hingga mengakibatkan berkurangnya protein otot. Penurunan asupan makanan tentu juga
merupakan salah satu faktor penting pada sindrom ini, seperti kesulitan menelan akibat infeksi jamur
di esophagus dan anoreksia. Anoreksia dapat diakibatkan efek samping pengobatan, gangguan
neurologis, atau akibat depresi dan ansietas yang sering terjadi pada ODHA. Faktor berikut yang
dianggap berperan pada HIV wasting syndrome adalah malabsorbsi, abnormalitas humoral seperti
insufisiensi adrenal, hormon pertumbuhan dan hipogonadisme.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan HIV wasting syndrome yang utama tentu mengatasi infeksi primer, yaitu
HIV itu sendiri dengan ARV, dan infeksi oportunistik yang terjadi, selain itu stomatitis aftosa,
diare,malabsorbsi, depresi, atau penyebab anoreksia lain perlu diatasi segera.
Terapi nutrisi dapat diberikan dengan berbagai cara yaitu oral, enteral, atau parenteral. Dibutuhkan
konsultasi gizi untuk menentukan jenis diet yang sesuai bagi ODHA. Nutrisi yang diberikan
sebaiknya tidak hanya untuk mengembalikan berat badan , tetapi juga untuk mengembalikan massa
tubuh bebas lemak
Terapi farmakologis
Perangsang nafsu makan seperti megestrol asetat dan dronabinol dapat digunakan untuk
membantu meningkatkan asupan makanan dna berat badan pada ODHA. Steroid sebaiknya dihindari
karena efek sampingnya. Testosterone IM dapat digunakan jika memang kada testosterone darah
renda untuk meningkatkan massa bebas lemak an meningkatkan berat badan.
Tabel 16. Terapi Farmakologis pada HIV Wasting Syndrome
Obat
Megestrol asetat
Rute
Oral
Dosis
1x800 mg
Efek samping yang sering dilaporkan
Inpoten, gangguan siklus mens, akne,
Dronabinol
Oral
2x2,5-10 mg
kehilangan rambut
Iritabilitas, insomnia,
gangguan
mood,
halusinasi, ansietas, gangguan penglihatan ,
Testosterone
IM
200 mg tiap 2 minggu
hipotensi
Iritabilitas kandung kemih, ereksi berulang,
atau 300 mg tiap 3
gangguan mood, edema, nyeri pada tempat
minggu
suntikkan
Selain obat tersebut, terapi farmakologis lain yang sudah dicoba untuk HIV wasting syndrome
adalah talidomid, pentoksifilin, hormon pertumbuhan sintetik, nandrolon, oksandrolon, dan ketotifen.
Pemberian obat-obat ini sebaiknya juga disertai olahraga yang bersifat meningkatkan kekuatan seperti
bersepeda. Jenis olahraga seperti ini akan dapat meningkatkan kekuatan otot dan memperbaiki nafsu
makan.
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
27
Ira Irmadani 406147033
5. Pencegahan Infeksi Oportunistik
Penelitian yang sahih telah membuktikan efektifitas profilaksis kotrimoksasol dalam menurunkan
angka kematian dan kesakitan dari berbagai tingkat latar belakang resisten terhadap kotrimoksasol
dan prevalensi malaria. Oleh karena itu dianjurkan bagi semua ODHA dewasa dan remaja yang
memenuhi kriteria klinik dan imunitas untuk terapi ARV harus pula diberi profilaksis kotrimoksasol
untuk mencegah serangan PCP dan toksoplasmosis (Depertemen Kesehatan, 2007).
Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan ODHA menjadi jauh lebih baik. Infeksi
kriptoporidiasis yang sebelumnya sukar diobati, menjadi lebih mudah ditangani. Infeksi penyakit
oportunistik lain yang berat, seperti infeksi virus sitomegalo dan infeksi mikobakterium atipikal, dapat
disembuhkan (Djoerban, 2007). Pemberian obat antiretroviral akan menekan jumlah HIV dalam darah
sehingga penghancuran CD4 dapat dikurangi. Namun demikian kekebalan tubuh juga dapat
menimbulkan sindrom imun rekonstitusi yaitu sindrom yang timbul akibat terjadinya proses radang
setelah kekebalan tubuh pulih kembali. Sindrom ini dapat berupa demam, pembengkakan kelenjar
limfe, batuk serta perburukan foto toraks. Sindrom ini sering terjadi pada pasien yang mengalami
infeksi oportunistik TB namun juga dapat timbul pada infeksi oportunistik lain.
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
28
Ira Irmadani 406147033
DAFTAR PUSTAKA
1. Y Evy, D Samsuridjal, D Zubairi. Infeksi oportunistik pada AIDS. Balai penerbit FKUI; 2005.p.178.
2. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral 2004, Jakarta.
3. Mansjoer, Arif, dkk, Acquired immunodeficiency syndrome dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi
ketiga, jilid I Media Aesulapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 2001, hal : 573 –
579.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteraan Universitas Tarumanagar
RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso Jakarta
29
Download