Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 4 No. 1 April 2013: 71 - 87 Prediksi luas genangan pasang surut (rob) berdasarkan analisis data spasial di Kota Semarang, Indonesia The prediction of tidal inundation arrea (rob) based on spatial data analysis in Semarang, Indonesia Septriono Hari Nugroho UPT Balai Konservasi Biota Laut Ambon, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI Jln. Y. Syaranamual, Guru-guru, Poka, Ambon 97233 ABSTRAK Fokus dalam penelitian ini adalah memprediksikan luas genangan pasang surut (rob) yang terjadi di Kota Semarang. Simulasi model digunakan untuk mengetahui kondisi genangan rob di tahun 2015 dan 2030. Analisis spasial merupakan metode yang digunakan untuk membuat model tersebut dengan menggunakan data model elevasi digital (DEM) yang diformulasikan menggunakan skenario peramalan. Skenario yang dijalankan adalah (1) skenario genangan akibat penurunan muka tanah dan perubahan rata-rata muka laut (MSL) serta (2) skenario genangan akibat perubahan MSL saja. Pemodelan dilakukan dengan asumsi bahwa tidak ada perubahan penggunaan lahan dan tidak ada konservasi kawasan pesisir selama periode 5 sampai 20 tahun ke depan. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa luas genangan dengan skenario 1 lebih besar dari skenario 2, yaitu 8.527,78 ha > 6.662,63 ha (2015) dan 17.692,45 ha > 13.029,58 ha (2030). Upaya penanggulangan banjir rob adalah menutup pintu masuk air laut pada saat air pasang, dan mengoptimalkan bangunan pelabuhan dan tanggul di sepanjang pantai Semarang sebagai penahan banjir yang cukup efektif. Kata kunci: analisis spasial, genangan rob, model elevasi digital (DEM), perubahan rata-rata muka laut (MSL), penurunan muka tanah ABSTRACT The focus of this study is prediction of tidal inundation (rob) in Semarang city, Indonesia. The simulation model of tidal inundation used to understand the condition of tidal inundation in 2015 and 2030. Spatial Analysis is a method to build the model using digital elevation model (DEM) which formulated by forecast scenarios. Scenario run: (1) Scenario of inundation due to land subsidence and changes in mean sea level (MSL), (2) Scenario of inundation because of mean sea level changes only. The modelling was done by assuming that there is no land use changes and conservation of coastal area over a periode of 5 to 20 years. The model results showed that the area of inundation with scenario 1 is larger than scenario 2 about 8,527.78 ha > 6,662.63 ha (2015) and 17,692.45 ha > 13,029.58 ha (2030) respectively. The effort to control tidal flood is to close the entrance of sea water during high tide, and to optimize building and dykes along the coast of Semarang as an effective flood barrier. Keywords: spatial analysis, tidal inundation, digital elevation model (DEM), changes in mean sea level (MSL), land subsidence Naskah diterima 1 Februari 2013 selesai direvisi 2 April 2013 Korespondensi, email: [email protected] 71 72 Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 4 No. 1 April 2013: 71 - 87 PENDAHULUAN Semarang terletak di bagian utara Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis terletak pada koordinat 6o58’ LS dan 110o25’BT (Gambar 1) dan lokasinya sangat dekat dengan pantai utara Jawa (Lubis et al., 2011). Kota ini memiliki iklim tropis dengan dua musim, yaitu hujan dan kemarau. Marfai dan King (2008a) mengungkapkan curah hujan tahunan sekitar 2065-2460 mm dengan curah hujan maksimum pada bulan Desember dan Januari, temperatur umum 24 – 30o C dengan rata-rata 28,4o C per tahun. Saat ini, Kota Semarang yang memiliki luas total 373,67 km2 (Anonim, 2013) dengan jumlah penduduk sekitar 1,5 juta, sehingga Semarang merupakan kota terbesar kelima di Indonesia (Lubis et al., 2011). Sejak tahun 1990-an, Kota Semarang, khususnya di pesisir bagian utara dan beberapa daerah dataran rendah mengalami peningkatan populasi dan urbanisasi dengan cepat (Marfai dan King, 2008b). Daerah pesisir merupakan zona besar untuk pemukiman dan memiliki peran pen­ting dalam kekayaan banyak negara (Zanuttigh, 2011). Meningkatnya jumlah bangunan (konstruksi) akibat pertumbuhan penduduk akan menyebabkan beban bangunan meningkat sehingga terjadi amblesan. Menurut Fried- Gambar 1. Peta Lokasi penelitian. Prediksi luas genangan pasang surut (rob) berdasarkan analisis data spasial di Kota Semarang, Indonesia - Septriono Hari Nugroho rich et al. (2010) banyak bangunan di Kota Semarang terpengaruh oleh penurunan tanah karena ekstraksi air tanah yang berlebihan dan beban tanah untuk permukiman yang tinggi. Banjir rob di Semarang selain menyebabkan kerusakan infrastruktur dan kawasan pemukiman, juga berdampak pada kehidupan masyarakat, rumah tangga, dan individual secara simultan (Marfai dan King, 2007). Permasalah­ an ini juga terjadi di La Briere, Nantes, Prancis dan Rotterdam, Belanda (Wahyudi, 2010). Dampak lanjutan yang akan ditimbulkan dari genangan rob adalah meningkatnya laju erosi, perubahan kondisi ekosistem pantai, mundurnya garis pantai, meningkatnya kerusakan bangunan di dekat pantai dan terganggunya aktivitas penduduk di daerah pemukiman, pertambakan dan perindustrian. Dengan alasan tersebut di atas maka sangatlah penting dilakukan penelitian ini, untuk dapat diketahui seberapa luas daerah yang akan tergenang rob pada tahun 2015 hingga tahun 2030, baik yang disebabkan oleh kenaikan muka laut maupun penurunan muka tanah, sehingga dapat disusun suatu rencana untuk menanggulangi atau mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh rob tersebut. FENOMENA BANJIR PASANG SURUT (ROB) Banjir rob yang menggenangi beberapa tempat di pesisir Kota Semarang terjadi saat air laut pasang. Pada bulan Mei 2005 tercatat bahwa sedikitnya ada 14 kelurahan yang tergenang rob dengan luas daerah genangan mencapai 2.418 ha (Ismanto drr, 2009). Ada dua penyebab terjadinya banjir rob, yaitu naiknya muka air laut (sea level rise) dan penurunan permukaan tanah 73 (land subsidence). Menurut Marfai dan King (2007) kedua faktor pemicu banjir rob tersebut adalah ancaman utama di Kota Semarang. Pemanasan global diindikasikan menjadi penyebab kenaikan muka air laut. Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut (Molenaar, 2008). Secara umum, empat dampak utama yang diakibatkan oleh kenaikan permukaan laut adalah genangan dan perge­ rakan (amblesan) pada lahan basah dan dataran rendah, erosi pantai, meningkatnya kerusakan akibat badai dan banjir, serta berpotensi terjadinya peningkatan salinitas di daerah muara dan akuifer air tawar (Nicholls, 2002; Nicholls et al., 2007). Dampak langsung lainnya adalah meningkatnya muka air pesisir dan drainase terhambat (Martinelli et al., 2010). Potensi dampak tidak langsung meliputi modifikasi dalam distribusi sedimen dasar, perubahan fungsi ekosistem pesisir dan berbagai dampak sosial ekonomi pada kegiatan manusia (Pruszak dan Zawadzka, 2008). Perubahan muka air laut bersifat lokal terjadi sebagai akibat dari pe­ ngaruh pengangkatan atau penurunan daratan yang hanya meliputi daerah sempit, sedangkan perubahan muka air laut secara global disebabkan oleh pencairan es dan daya tampung laut yang berubah (Nugroho, 2012). Jika melihat sifatnya, perubahan muka air laut yang terjadi di Semarang bersifat global dan lokal (Wibowo, 2007), karena adanya pengaruh dari pemanasan global dan akibat penurunan muka tanah yang terjadi di daerah Semarang Utara. Beberapa penelitian mengatakan bahwa faktor utama pemicu banjir air rob adalah penurunan muka tanah (land subsidence). Wirasatriya (2006) 74 Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 4 No. 1 April 2013: 71 - 87 mengemukakan bahwa penurunan tanah merupakan faktor yang paling dominan penyebab kenaikan relatif muka laut di Semarang, selain adanya faktor pemanasan global, perubahan tata guna lahan dan buruknya sistem drai­nase. Sutanta (2002) telah melakukan pemantauan dan pemodelan terhadap laju amblesan yang terjadi. Ber­bagai pemodelan dan metode pun telah dilakukan; Abidin (2005) menggunakan metode Global Positioning System (GPS) untuk memonitor penurunan yang terjadi; Marfai dan King (2007) telah mencoba mengestimasi laju penurunan tanah masa sekarang dan masa datang menggunakan interpolasi Digital Elevation Model (DEM) dan titik ikat (Benchmark points). Berbagai sumber me­ngungkapkan nilai laju penurunan tanah yang terjadi di Semarang besarnya bervariasi antara satu tempat dengan lainnya. Pengukuran dari tahun 1996 diperoleh hasil penurunan tanah sekitar 5 sampai 20 cm/ tahun (Anonim, 2004). Secara umum semakin mendekati pantai laju penurunan tanah akan semakin besar dengan laju penurunan terbesar terjadi di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, yaitu bisa mencapai 14,2 cm/tahun (Ismanto et al., 2009). Sutanta (2002) berpendapat bahwa sangat sulit untuk menentukan laju penurunan tanah di Semarang mengingat beda tempat dan beda tahun, maka beda pula laju penurunannya. Kondisi penurunan permukaan tanah di Semarang tidak lepas dari sejarah Kota Semarang yang merupakan kota pantai yang terus berkembang (bertambah luas) dari tahun ke tahun akibat adanya sedimentasi atau endapan aluvial. Endapan tersebut terbawa oleh sungaisungai yang bermuara di Laut Jawa. Endapan ini umumnya berupa lempung atau clay yang terus menumpuk sampai beratus-ratus tahun hingga menambah daratan kota Semarang. PENDEKATAN MODEL ELEVASI DIGITAL (DEM) Kondisi Semarang saat ini digambarkan melalui pendekatan DEM. DEM adalah model ketinggian yang ditampilkan dalam bentuk digital berupa data raster yang disusun oleh ribuan atau lebih pixel (picture element), dengan tiap pixelnya mempunyai nilai ketinggian (Wibowo, 2007). DEM mempunyai format raster sehingga memudahkan dalam analisis secara matematis, yaitu untuk memprediksikan kenaik­an muka laut dan kondisi penurunan muka tanah yang dibuat dalam formula matematis. DEM yang akan digunakan dalam peramalan ini adalah DEM tahun 2000. Pada DEM tersebut nantinya akan diterapkan formula untuk skenario daerah rawan genangan rob yang dipengaruhi oleh kenaikan muka laut saja dan DEM yang dipengaruhi kenaikan muka laut ditambah penurunan permukaan tanah. Data DEM dibuat dari titik tinggi yang diinterpolasi­ kan. Pemilihan pembuatan model disini untuk menggambarkan kondisi topografi Semarang secara spasial dan temporal karena model merupakan prototipe atau tiruan keadaan alam yang sebenarnya. Untuk mempermudah analisis DEM, maka proses tersebut dilakukan dengan bantuan ekstensi analisis spasial pada perangkat lunak ArcGIS 9.2. Elevasi suatu titik pada peta topografi didefinisikan sebagai ketinggian di atas muka laut rata-rata (Bakti, 2010). Selain membutuhkan data ketinggian pada peta topografi, pembuatan prediksi genangan rob juga membutuhkan data ketinggian air laut saat pasang. Dari data HHWL dan MSL dapat dibuat model genangan untuk wilayah Semarang. Sebagai contoh, bila simpangan HHWL terhadap MSL Prediksi luas genangan pasang surut (rob) berdasarkan analisis data spasial di Kota Semarang, Indonesia - Septriono Hari Nugroho adalah 1,25 m, maka untuk lokasi dengan ke­ tinggian 1,0 m dpl (di atas permukaan laut) akan terendam setinggi 0,25 m. Pada penelitian ini dibuat simulasi model atau prediksi genangan rob sampai 10 tahun ke depan yang diakibatkan oleh kenaikan muka laut dan penurunan muka tanah. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metode studi kasus, yaitu penelitian terhadap suatu kasus secara mendalam yang berlaku pada waktu, tempat dan populasi yang terbatas, sehingga memberikan gambaran tentang situasi dan kondisi secara lokal dan hasilnya tidak dapat digeneralisasikan untuk tempat yang berbeda (Hadi, 1993). Secara umum tahap-tahap dari penelitian ini meliputi klasifikasi citra landsat 7 ETM+, analisis data land subsdidence, analisis kecenderungan kenaikan muka air laut, dan pengolahan data DEM tahun 2000. Proses awal pekerjaan berupa automatisasi basis data dalam rangka pengadaan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, seperti data pasang surut dan penurunan permukaan tanah. Data yang nantinya digunakan untuk analisis spasial (DEM) yang diperlukan, diubah dalam bentuk format digital melalui digitasi dengan bantuan software ArcGIS 9.2 dan ER Mapper 6.4. Analisis Kecenderungan Kenaikan Muka Air Laut Kedudukan permukaan air laut atau Mean Sea Level (MSL) dapat dihitung dari data pasang surut (pasut) dengan interval pengamatan antara lain bulanan, tahunan, dan multi tahun. Analisis ini menggunakan interval MSL tahunan untuk memprediksikan nilai rerata muka 75 laut (MSL) yang hasilnya dijadikan parameter untuk prediksi nilai pasang tertinggi. Pengolahan data pasut menggunakan analisis admiralty untuk mengetahui komponen harmonik dan peramalan pasut, yang selanjutnya dipakai untuk mengetahui tinggi MSL. Peramalan kenaikan MSL dihitung menggunakan persamaan regresi linier. Data pasut diperoleh dari PT. PELINDO III Semarang dan data penelitian Wirasatriya (2006) dalam kurun waktu 10 tahun. Data pasut tersebut dianalisis dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Pariwono, 1993): ......................................(1) dengan: Xi = nilai rerata ketinggian muka laut bulan ke i N = Jumlah jam pengamatan dalam 1 bulan Xj = Tinggi muka laut pada jam ke j Hasil prediksi kenaikan MSL yang telah diko­ reksi terhadap penurunan tanah yang terjadi pada BM (benchmark) pasut kemudian digunakan untuk menghitung prediksi nilai pasang tertinggi (HHWL/Highest High Water level). Pasang tertinggi (HHWL) dapat diprediksikan dari perhitungan admiralty dengan penambahan nilai rata-rata muka laut hasil prediksi de­ ngan nilai konstanta kelambatan fase, sehingga: HHWL Perkiraan : MSL Perkiraan + A(M2 + S2 + K1 + P1 + K2)..........(2) dengan: A = M2 = S2 = K1 = Amplitudo Konstanta harmonik oleh bulan Konstanta harmonik oleh matahari Konstanta harmonik bersifat harian ganda, disebabkan oleh deklinasi bulan dan matahari P1 = Konstanta harmonik bersifat harian ganda, disebabkan oleh deklinasi matahari K2 = Konstanta harmonik bersifat harian ganda, disebabkan oleh deklinasi bulan dan matahari 76 Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 4 No. 1 April 2013: 71 - 87 Analisis Data Penurunan Permukaan Tanah di Semarang Data penurunan permukaan tanah di Semarang dianalisis secara deskriptif dari semua data ele­ vasi untuk mencari penurunan tiap titik pertahun. Dari rata-rata tiap titik kemudian diratarata tingkat penurunan secara keseluruhan yang nantinya diplotkan dalam formula pembuatan DEM. Skenario ini mengguna­kan nilai ratarata penurunan tertinggi untuk memodelkan kondisi terparah yang akan terjadi. Analisis Spasial Genangan Rob di Semarang Analisis spasial genangan rob menggunakan formula yang merefleksikan perubahan MSL dan penurunan muka tanah (land subsidence). Model DEM yang telah di-griding kemudian dilakukan formulasi ketinggian yang berbeda untuk tahun 2015 dan 2030. Penelitian ini menggunakan dua skenario peramalan, yaitu DEM yang dipengaruhi perubahan MSL dan Land Subsidence (1) dan formulasi DEM yang dipe­ngaruhi perubahan MSL saja (2). Proses formulasi dilakukan dengan menggunakan software E.R. Mapper 6.4: Ri = DEM 2000 – (SLR (t1 – t0))...................................(3) Ri = DEM 2000 – (SLR (t1 – t0) + (LS (t1 – t0)) .........(4) dengan: Ri = Daerah terkena rob pada tahun i DEM 2000= DEM yang dibuat dari peta topografi eksisting tahun 2000 SLR =Koefisien rata-rata laju kenaikan muka laut (cm/th) LS = Koefisien rata-rata laju penurunan permukaan tanah (cm/th) t1 = Tahun akhir yang akan diamati t0 = Tahun awal yang diamati HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kecenderungan Kenaikan Muka Air Laut Trend kenaikan muka air laut diukur dengan menggunakan data pasut, selain digunakan untuk perhitungan admiralty yang berguna untuk mengetahui nilai amplitudo (A) dan kelambatan fase (gº) (Tabel 1) serta tipe pasut di Semarang adalah campuran condong ke hari­an tunggal, dengan nilai F sebesar 1,729 yang maksudnya adalah campuran condong ke ha­rian tunggal. Data pada tabel 2 menunjukkan trend kenaikan MSL tahunan di Semarang, akan tetapi trend di tahun 1998–2004 mengalami perbedaan dengan trend 1983–1997. Kondisi tersebut dikarenakan adanya penurunan tanah di BM pasut, sehingga dilakukan koreksi terhadap nilai penurunan tanah tersebut. Penurunan tanah yang terjadi di BM pasut adalah sebesar 0,0514 meter per tahun (Wirasatriya, 2006; Arief drr, 2012). Prediksi kenaikan muka laut rata-rata tahunan dihitung berdasarkan data MSL tahunan (Tabel 2) yang telah dikoreksi dengan penurunan BM pasut dan menggunakan pendekatan pola linier pada persamaan berikut (Arief drr, 2012): Y = 0,1168x – 233,9151........................................(5) dengan x menyatakan tahun yang pasutnya akan diprediksi, sedangkan y sebagai ketinggian MSL pada tahun yang bersangkutan. Maka diramalkan MSL untuk tahun 2015 adalah 1,4369 m atau 143,69 m dan tahun 2030 sebesar 3,1889 m atau 318,89 cm. Setelah nilai perkiraan MSL diketahui, maka nilai HHWL dapat ditentukan menggunakan persamaan (2), sehingga diperoleh: HHWL Agustus 2015 = 143, 69 + (11 + 8 + 23 + 8 + 2) = 195,69 cm Prediksi luas genangan pasang surut (rob) berdasarkan analisis data spasial di Kota Semarang, Indonesia - Septriono Hari Nugroho 77 (Molenaar, 2008). Dalam penelitian Wirasatriya (2006) dikemukakan bahwa kenaikan muka air laut akibat pengaruh global warming di Semarang sebesar 2,65 mm/tahun. Sedangkan faktor lokal terjadi karena pengaruh penurunan permukaan tanah pada stasiun pe­ngamatan pasang surut. Wahyudi (1999) meneliti bahwa penurunan tanah di daerah sekitar Pelabuhan Tanjung Emas adalah sekitar 6,5 cm per tahun, sedangkan Ismanto (2009) menyampaikan bahwa penurunan tanah di Semarang mencapai ± 15 cm/tahun. HHWL Agustus 2030 = 318,89 + (11 + 8 + 23 + 8 + 2) = 370,89 cm Jika dibandingkan dengan beberapa daerah terdekat dengan Semarang, seperti Kota Jepara dan Surabaya misalnya, maka kenaikan muka laut di Semarang paling tinggi. Kenaikan muka laut yang terjadi di Semarang disebabkan oleh faktor global dan faktor lokal. Faktor global yang berpengaruh adalah adanya penambahan masa air akibat mencairnya es di kutub utara dan selatan yang diakibatkan oleh kenaikan suhu atmosfer secara global atau global warming Tabel 1. Nilai Amplitudo (A) dan Kelambatan Fase (gº) So A (cm) gº M2 S2 N2 K1 O1 M4 MS4 K2 P1 114 11 8 9 23 10 1 0 2 8 - 267 154 22 336 136 108 212 154 336 Tabel 2. MSL Tahunan di Semarang Tahun MSL (cm) Tahun MSL (cm) 1983* 58,9 1994 113,0 1984* 72,7 1995 124,0 1985* 81,2 1996 135,5 1986* 81,7 1997 134,9 1987* 80,6 1998 110,3 1988* 88,6 1999 77,4 1989* 95,4 2000 79,8 1990 97,5 2001 79,7 1991 98,3 2002 154,7 1992 106,0 2003 88,3 1993 109,0 2004 78,4 78 Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 4 No. 1 April 2013: 71 - 87 Analisis Penurunan Permukaan Tanah Pengukuran kecepatan penurunan muka tanah di Semarang telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan berbagai metode, hasil, dan kesimpulan yang berbeda-beda pula. Metode pengukuran laju penurunan muka tanah yang umumnya dilakukan adalah metode sipat datar atau waterpass, seperti yang dilakukan oleh Wirasatriya (2006) (Gambar 2). Dalam penelitian ini penurunan tanah di Semarang dikelompokkan menjadi lima kelas (Tabel 3). Zona yang pertama merupakan daerah yang stabil, ketinggiannya 3 m di atas permukaan laut. Zona kedua umumnya berada pada ketinggian dibawah 3 m dari permukaan laut, sedangkan zona ketiga, zona keempat dan kelima memiliki ketinggian yang sama de­ngan permukaan laut (0-1 m). Hasil zonasi spasial penurunan tanah (Gambar 3) menunjukkan bahwa semakin mendekati pantai, laju penurunan tanah di Kota Semarang semakin besar karena lapisan tanah di daerah pantai Kota Semarang merupakan lapisan tanah lunak, sehingga terus mengalami konsolidasi/pemampatan. Pemadatan atau kompaksi lapisan tanah terjadi karena penambahan beban oleh lapisan di atasnya termasuk juga oleh penambahan bangunan gedung. Jenis soil di pesisir Semarang sebagian besar berupa lempung pasiran (sandy clay) dan lempung lanauan (silty clay) serta memiliki sifat mudah padat jika terkena beban. Pemadatan ini dipercepat juga dengan pengambilan air bawah tanah secara berlebihan. Pe­ ngambilan air ini akan mengurangi kemampuan rongga dalam menahan beban di atasnya. Dari hasil perhitungan juga diketahui bahwa persen- Gambar 2. Laju penurunan muka tanah Kota Semarang dengan metode sipat datar (Wirasatriya, 2006). Prediksi luas genangan pasang surut (rob) berdasarkan analisis data spasial di Kota Semarang, Indonesia - Septriono Hari Nugroho 79 Tabel 3. Zonasi Daerah Penurunan Tanah di Kota Semarang Zona Laju Penurunan Tanah (cm/tahun) Daerah cakupan I 0–3 Ngaliyan, Mijen, Perbukitan Semarang Bagian Selatan II 3–6 Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara, Gayamsari, Genuk III 6–9 Semarang Barat, Genuk, Semarang Utara, Pedurungan IV 9 – 12 Semarang barat, Tanah Mas, Bandarharjo, Trimulyo, Genuk V 12 – 15 Tanjung Mas,Terboyo Kulon, Purwodinatan, Semarang Tengah Gambar 3. Zona penurunan permukaan tanah di semarang (Wibowo, 2007 dengan modifikasi). tase laju penurunan tanah tertinggi adalah pada kelas penggunaan lahan untuk pemukiman dengan persentase 50,53% (Ismanto drr, 2009). nah dan kenaikan muka laut serta akibat kenaikan muka laut itu sendiri. Prediksi Genangan Rob di Semarang Prediksi genangan akibat penurunan permukaan tanah dan kenaikan muka laut Simulasi model genangan rob dibuat menggunakan dua skenario, yaitu genangan rob yang disebabkan karena penurunan permukaan ta- Input yang digunakan dalam prediksi ini adalah dengan asumsi bahwa terjadi penurunan permukaan tanah, kenaikan MSL, dan faktor 80 Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 4 No. 1 April 2013: 71 - 87 HHWL. Nilai rata-rata penurunan permukaan tanah di Semarang sebesar 14,7 cm/th. Nilai tersebut diambil di Pos IV Pelabuhan Tanjung Emas. Perkiraan kenaikan MSL sebesar 143,69 cm (2015) dan 318,89 cm (2030), sehingga menghasilkan prediksi luas total genangan rob di daerah tahun 2015 mencapai 8.527,78 ha dan tahun 2030 mencapai 17.692,45 ha. Hampir secara keseluruhan wilayah pesisir kota Semarang akan tergenang jika menggunakan skenario tersebut (Gambar 4 dan 5). Tampak pada Tabel 4 bahwa daerah yang banyak terkena dampak genangan air rob adalah Kecamatan Genuk dengan luas sebesar 3.008,97 ha (2015) dan 6.242,66 di tahun 2030 atau memiliki persentase 7,75% dari luas total genangan rob (Gambar 6), sedangkan persentase terendah untuk luas genangan air rob terjadi pada Kecamatan Semarang Tengah, yaitu 0,20% atau de­ ngan luas 76,89 ha (2015) dan 159,52 (2030). Gambar 4. Prediksi genangan rob akibat penurunan muka tanah dan kenaikan muka laut pada tahun 2015 (Wibowo, 2007 dengan modifikasi). Prediksi luas genangan pasang surut (rob) berdasarkan analisis data spasial di Kota Semarang, Indonesia - Septriono Hari Nugroho Gambar 5. Prediksi genangan rob akibat penurunan muka tanah dan kenaikan muka laut pada tahun 2030 (Bakti, 2010 dengan modifikasi). Tabel 4. Prediksi Luas Genangan Rob Tahun 2015 dan 2030 Menggunakan Skenario 1 No Kecamatan Luas 2015 (ha) Luas 2030 (ha) 1 Tugu 2.498,79 5.184,20 2 Semarang barat 1.013,45 2.102,59 3 Semarang utara 1.095,95 2.273,75 4 Semarang timur 296,88 615,94 5 Semarang tengah 76,89 159,52 6 Gayamsari 338,59 702,47 7 Genuk 3.008,97 6.242,66 8 Pedurungan 198,26 411,32 8.527,78 17.692,45 Total 81 82 Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 4 No. 1 April 2013: 71 - 87 Gambar 6. Persentase luas genangan rob menggunakan skenario 1. Prediksi genangan akibat kenaikan muka laut Prediksi daerah rawan genangan rob akibat kenaikan muka laut ini menggunakan data HHWL yang dikoreksi menggunakan datum yang digunakan peta topografi tahun 2000 yaitu MSL = 70,80 cm. Prediksi luas genangan diperkirakan mencapai 6.662,63 ha pada tahun 2015 dan 13.029,58 ha di tahun 2030. Daerah seluas ini dengan mengasumsikan bahwa tinggi pasang tertinggi (HHWL) mencapai tinggi 195,69 cm di tahun 2015 dan 370,89 cm pada tahun 2030. Hampir semua kecamatan kecuali Kecamatan Semarang Tengah tergenang oleh air rob jika menggunakan skenario tersebut (Gambar 7 dan 8). Persentase luas genangan rob (Gambar 9) akibat kenaikan MSL diperkirakan mencapai 17,83% dari luas seluruh Semarang. Sementara luas seluruh wilayah Semarang adalah 37.367 ha. Tampak pada Tabel 5 daerah yang terkena genangan paling parah adalah Kecamatan Tugu dengan luas genangan sampai 2.272,13 ha mencapai 34,10% dari luas seluruh genangan. Daerah terparah kedua adalah Kecamatan Genuk mencapai 2.076,59 ha atau 31,17%, Kecamatan Semarang Utara 975,92 ha atau 14,65%, sedangkan daerah yang sedikit terkena gena­ngan rob adalah Pedurungan sekitar 72,37 ha atau 1,09 %. Dari hasil simulasi pemodelan menggunakan kedua skenario tersebut, terlihat bahwa yang dipengaruhi kenaikan penurunan muka tanah dan kenaikan muka laut (skenario 1) nilai genangannya lebih luas dibandingkan yang dipengaruhi kenaikan MSL saja (skenario 2). Hal ini disebabkan ketika air pasang dan masuk ke Prediksi luas genangan pasang surut (rob) berdasarkan analisis data spasial di Kota Semarang, Indonesia - Septriono Hari Nugroho daerah yang mengalami penurunan muka tanah, sehingga volume air yang masuk semakin besar dan akibatnya genangan air rob semakin meluas. Kondisi genangan rob di Semarang akan semakin meluas tiap tahunnya. Hal ini disebabkan karena kondisi geografis daerah Semarang bagian utara yang cenderung landai, ketinggiannya hanya berkisar antara 0–2,5 m di atas permukaan laut. Terlepas dari asumsi yang dibuat dalam pemodelan tersebut, faktanya, faktor lain penyebab meluasnya genangan rob adalah perubahan tata guna lahan. Kota Semarang sebagai ibu kota provinsi yang dinamis, dalam beberapa tahun terakhir telah banyak terjadi perubahan fungsi lahan dari tambak, rawa, 83 hutan mangrove yang dulunya berfungsi sebagai penampung air menjadi pemukiman, sarana perdagangan, industri, dll. Menurut Widiasmadi (1999 dalam Wirasatriya, 2006) dalam kurun waktu 20 tahun terakhir daerah retensi pantai Semarang seperti tambak, rawa bakau dan lain-lain berkurang seluas 1.200 ha. Padahal kondisi rawa dan tambak sangat berperan dalam pengendalian rob secara alamiah sebagai daerah tampungan air laut. Akibatnya dengan laju kenaikan air laut yang cepat namun tanpa diimbangi dengan luas tampungan air yang cukup, sehingga tidak mampu menampung seluruh debit air laut yang masuk sehingga meluap sampai ke pemukiman, daerah pusat aktivitas dan lain-lain. Gambar 7. Prediksi genangan rob akibat kenaikan muka laut pada tahun 2015 (Wibowo, 2007 dengan modifikasi). 84 Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 4 No. 1 April 2013: 71 - 87 Gambar 8. Prediksi Genangan Rob Akibat Kenaikan Muka Laut Pada Tahun 2030 (Bakti, 2010 dengan modifikasi). Gambar 9. Persentase Luas Genangan Rob menggunakan skenario II. Prediksi luas genangan pasang surut (rob) berdasarkan analisis data spasial di Kota Semarang, Indonesia - Septriono Hari Nugroho 85 Tabel 5. Prediksi Luas Genangan Rob Tahun 2015 dan 2030 Menggunakan Skenario 2 No Kecamatan 1 Tugu 2 Luas 2015 (ha) Luas 2030 (ha) 2.272,13 4.443,42 Semarang barat 834,43 1.631,83 3 Semarang utara 975,92 1.908,53 4 Semarang timur 200,33 391,77 5 Gayamsari 230,86 451,47 6 Genuk 2.076,59 4.061,03 7 Pedurungan 72,37 141,53 6.662,63 13.029,58 Total UPAYA PENANGGULANGAN BANJIR ROB DI SEMARANG Banjir rob di Semarang sudah tidak dapat dipungkiri, dari hasil pemodelan juga menunjukkan adanya genangan air rob yang akan semakin meluas. Berdasarkan hasil analisis prediksi yang telah dibuat diperoleh informasi bahwa genang­ an banjir pasang surut yang terbesar terjadi di pusat kota yang diapit oleh Kanal Barat dan Kanal Timur. Daerah tersebut didominasi oleh permukiman, kawasan perdagangan, perindustrian, dan obyek-obyek strategis bagi pemerintahan dan perekonomian Semarang. Solusi terbaik untuk mengatasi masalah banjir rob adalah membuat pintu keluar masuk air laut, serta menutup pintu masuk air laut pada saat air pasang. Selain itu, bangunan pelabuhan dan tanggul di sepanjang pantai Semarang merupakan penahan banjir yang cukup efektif. Perlu dipastikan bahwa tinggi tanggul harus melebihi HHWL atau di atas MSL setempat. Jika mengacu pada peta topografi dan patok TTG Bakosurtanal, maka tinggi tanggul harus lebih dari +0,25 m. Selain itu juga perlu memperhatikan faktor laju penurunan tanah sehingga tinggi tanggul harus direncanakan untuk beberapa puluh tahun ke depan. Penentuan elevasi dan jenis konstruksi tanggul yang paling efektif dan efisien tentu memerlukan penelitian lanjutan yang lebih detail. KESIMPULAN DAN SARAN Luas genangan rob di Kota Semarang semakin tahun semakin besar. Dalam rangka mengurangi kerugian yang ditimbulkan, maka dibuat dua skenario untuk meramalkan luas genangan rob. Luas genangan rob yang terjadi pada tahun 2015 akibat skenario I adalah 8.527,78 ha (2015) dan 17.692,45 ha (2030), sedangkan luas genangan rob yang diprediksikan de­ ngan skenario 2 mencapai 6.662.634 ha (2015) dan 13.029,58 ha (2030). Solusi terbaik untuk mengatasi masalah banjir rob adalah membuat pintu keluar masuk air laut, membuat bangu- 86 Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 4 No. 1 April 2013: 71 - 87 nan pelabuhan dan tanggul di sepanjang pantai. Akan tetapi masih diperlukan penelitian lanjut­ an yang lebih detail untuk menentukan jenis konstruksi yang efektif dan efisien. ACUAN Abidin, H.Z., 2005, Suitability of levelling, GPS and INSAR for monitoring land subsi­dence in urban areas of Indonesia: GIM International, v. 19 (7), h 12–15. Anonim, 2004, Semarang di Bawah Ancaman Rob (2) Akibat Pengambilan Air Bawah Tanah Tak Terkendali (Indonesian), Harian Suara merdeka, Kamis, 17 Juni 2004. Anonim, 2013, Kota Semarang, http://id.wikipedia. org/wiki/Kota_Semarang#cite_note-2 [14 Januari 2013] Arief, L.N., Purnama, B.S., dan Trias, A., 2012, Pemeteaan Risiko Bencana Banjir Rob Kota Semarang: Proceeding of The 1st Conference on Geospatial Information Science and Engineering. Bakti, L.M., 2010, Kajian Sebaran Potensi Rob Kota Semarang Dan Usulan Penanganannya, TESIS (tidak dipublikasikan), Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang. Friedrich, K., David, A., Geraint, C., Javier, D., Johanna, G., Susanne, H., Arne, H.R., dan Dodid, M., 2010, Detection of land subsidence in Semarang, Indonesia, using stable points network (SPN) technique: Environmental Earth Sciences, v. 60 (5), p 909–921. doi:10.1007/s12665-009-0227-x. Ismanto, A., A. Wirasatriya, M. Helmi, A. Hartoko, Prayogi, 2009, Model Sebaran Penurunan Tanah di Wilayah Pesisir Semarang: Ilmu Kelautan, v.14 (4): h 21-28. Lubis, A.M., T. Sato, N. Tomiyama, dan N. Isezaki, T. Yamanokuchi, 2011, Ground subsidence in Semarang-Indonesia investigated by ALOS–PALSAR satellite SAR interferometry: Journal of Asian Earth Sciences, v. 40, p 1079–1088. Marfai, M.A., dan King, L., 2007, Monitoring land subsidence in Semarang, Indonesia: Environmental Geology, v. 53 (3), p 651–659. doi:10.1007/ s00254-007-0680-3. Marfai, M.A., dan King, L., 2008a, Tidal inundation mapping under enhanced land subsidence in Semarang, Central Java Indonesia: Natural Hazards 44 (1), p 93–109. doi:10.1007/s11069-007-9144-z. Marfai, M.A., dan King, L., 2008b, Potential vulnerability implications of coastal inundation due to sea level rise for the coastal zone of Semarang city, Indonesia: Environmental Geology, v. 54 (6), p 1235–1245. doi:10.1007/s00254-007-0906-4. Martinelli, L., B. Zanuttigh, dan Corbau,C., 2010, Assessment of coastal flooding hazard along the Emilia Romagna littoral, IT: Coastal Engineering, v. 57, p 1042–1058. Molenaar, A., 2008, Rotterdam Waterplan Transition in Urban Water Management. Rotterdam: Public Works, Water Management Dept., Dutch. Nicholls, R.J., 2002, Analysis of global impacts of sea-level rise: A case study of flooding: Physics and Chemistry of the Earth, v. 27, p 1455–1466. Nicholls, R.J., Tol, R.S.J., dan Hall, J.W., 2007, Assessing impacts and responses to global-mean sea-level rise. In: Schlesinger, M.E., Kheshgi, H.S., Smith, J., de la Chesnaye, F.C., Reilly, J.M., Wilson, T., Kolstad, C. (Eds.), Human-induced climate change. Cambridge University Press, p 119–134. Nugroho, S.H, 2012, Mitigasi dampak kenaikan muka laut di Pantai Alam Indah Kota Tegal Jawa Tengah melalui pendekatan geomorfologi: Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, V. 3 (1), p 3140. Pariwono, J.I. 1993. Keragaman Muka Laut Sepanjang Tepi-Luar Pantai Kepulauan Sunda Besar. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pruszak, Z., dan Zawadzka, E., 2008, Potential implications of sea-level rise for Poland: Journal of Coastal Research, v. 24 (2), p 410–422. Prediksi luas genangan pasang surut (rob) berdasarkan analisis data spasial di Kota Semarang, Indonesia - Septriono Hari Nugroho Sutanta, H., 2002, Spatial Modeling of the Impact of Land Subsidence and Sea Level Rise in A Coastal Urban Setting, case study: Semarang, Central Java, Indonesia. M.Sc. thesis (unpublished) at the International Institute for Geo-information Science and Earth Observation (ITC), Netherlands. 87 Wibowo, D.A. 2007, Analisis Spasial Daerah Rawan Genangan Akibat Kenaikan Pasang Surut (Rob) di Kota Semarang. Skripsi (tidak dipublikasikan), Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang. Wahyudi, S.I., 1999, Evaluasi Penurunan Tanah di Areal Pelabuhan Tanjung Emas Semarang: Jurnal Pondasi, Vol.5, No. 2, h 67 -74. Wirasatriya A. 2006. Kajian Kenaikan Muka Laut Sebagai Landasan Penanggulangan Rob di Pesisir Kota Semarang: Jurnal Pasir Laut, Vol.1, No. 2, h 31 – 42. Wahyudi, S.I., 2010, Perbandingan Penanganan Banjir Rob di La Briere (Prancis), Rotterdam (Belanda) dan Perspektif di Semarang (Indonesia): Riptek, Vol.4, No.I1, h 29 – 35. Zanuttigh, B., 2011, Coastal flood protection: What perspective in a changing Climate? The THESEUS Approach: Environmental Science & Policy, v. 1 4, p 845 – 863.