BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Tegakan Sonneratia alba Ekosistem mangrove di daerah Kwandang pada umumnya di dominasi oleh Avicennia alba dan Sonneratia alba, yang tumbuh di areal yang selalu tergenangi walaupun pada pasang dan surut rendah. Sonneratia alba terdapat pada vegetasi mangrove terbuka yang berada pada bagian yang berhadapan langsung dengan laut. Komposisi floristic dari komunitas di zona terbuka sangat bergantung pada substratnya. Sonneratia alba cenderung mendominasi di daerah berpasir, meskipun demikian Sonneratia alba juga akan berasosiasi dengan Avicennia jika tanah lumpurnya kaya akan bahan organik (Sahoo, 2008). Sonneratia alba merupakan salah satu jenis tanaman mangrove yang berada di desa Bulalo. Sonneratia alba tumbuh pada lapisan kedua setelah Rhizophora, Sonneratia ini tumbuh pada substrat dari kombinasi antara batu, lumpur dan pasir dengan kedalaman berkisar antara 18-22 cm (Katili, 2009). Suhu tempat hidup Sonneratia alba berkisar 24,4 – 27,9oC dan kelembaban udara sekitar 80 – 95 % (Onrizal, 2009). pH tanah pada tegakan Sonneratia alba berkisar antara 6-7 (English, 1997). Faktor lingkungan yang mempengaruhi Sonneratia alba dalam jangka panjang adalah fluktuasi pasang surut dan ketinggian rata-rata permukaan laut. Beberapa faktor yang mempengaruhi ekosistem Sonneratia alba mencakup: topografi dan fisiografi pantai, tanah, oksigen, nutrien, iklim, cahaya, suhu, curah hujan, angin dan gelombang laut, pasang-surut laut, serta salinitas. Gambar 1. Tegakan Sonneratia alba Kedudukan dalam taksonomi tumbuhan Sonneratia alba adalah sebagai berikut: Kingdom: Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Famili : Sonneratiaceae Genus : Sonneratia Spesies : Sonneratia alba Smith. (Kitamura,1997) Menurut Tjitrosoepomo (2009), Sonneratia alba (Gambar 1) memiliki kulit kayu berwarna putih tua hingga coklat, dengan celah longitudinal yang halus. Akar berbentuk kabel di bawah tanah dan muncul kepermukaan sebagai akar nafas yang berbentuk kerucut tumpul dan tingginya mencapai 25 cm. Daun Sonneratia alba memiliki susunan tunggal, bersilangan, bentuk oblong sampai bulat ukuran panjang 5–10 cm. Bunga Biseksual; gagang bunga tumpul panjangnya 1 cm. Letak: di ujung atau pada cabang kecil. Buah Sonneratia alba seperti bola, ujungnya bertangkai dan bagian dasarnya terbungkus kelopak bunga. Buah mengandung banyak biji (150-200 biji) dan tidak akan membuka pada saat telah matang. Sonneratia alba dapat mencapai ketinggian mencapai 20 meter dengan diameter 40 cm, memiliki system perakaran akar napas, seperti biji, kokoh, lancip, diameter pangkal akar mencapai 5 cm. Sonneratia alba umunnya tumbuh didaerah pertemuan sungai yang landai atau teluk berlumpur dalam. 2.2 Tinjauan Tentang Actinomycetes Actinomycetes merupakan bakteri gram positif, filamentus, membentuk spora dan mempunyai kandungan Guanin dan Citosin tinggi (57-75%), prokariotik, hidup bebas, saprofit, tersebar luas di tanah, air, dan mempunyai kemampuan memproduksi senyawa antibiotik yang bermanfaat (Zotchev, 2004). Jumlah Actinomycetes meningkat dengan adanya bahan organik yang mengalami dekomposisi (Nonomura dan Ohara, 1971a). Actinomycetes hidup sebagai safrofit dan aktif mendekomposisi bahan organik, sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah (Nonomura dan Ohara, 1969a,b). Rentang pH yang paling cocok untuk perkembangbiakan Actinomycetes adalah antara 6,5-8,0, namun masih dapat ditemukan pada pH dibawah 5. Actinomycetes dapat tumbuh optimal pada salinitas 0-70 ppt, tetapi beberapa Actinomycetes masih dapat tumbuh pada tingkat salinitas 150 ppt (Cai, 2009). Temperatur yang cocok untuk pertumbuhan Actinomycetes adalah 20-45oC, tetapi pada suhu 55-65oC Actinomycetes masih dapat tumbuh dalam jumlah cukup besar, khususnya genus Thermoactinomyces dan Streptomyces (Rao, 1994). Keberadaan isolat Actinomisetes pada tanaman mangrove dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan di sekitar tempat tumbuh tanaman tersebut, antara lain pH, suhu, dan salinitas. Actinomycetes berbentuk miselium uniseluler, memiliki susunan hifa yang bercabang. Hifanya agak panjang dan umumnya dengan diameter 0,5-0,8 µ. Miselium berkembang dalam lapisan bawah atau pada permukaan lapisan bawah, tumbuh menjulang ke udara bagaikan antena. Miselium tersebut memisah dalam fragmen-fragmen yang pendek sehingga akan tampak bagaikan cabang atau batang-batang pada bakteri (Sutedjo dkk., 1991). Actinomycetes memiliki sifat-sifat yang umum dimiliki oleh bakteri dan jamur tetapi juga memiliki ciri khas yang cukup berbeda yang membatasinya menjadi satu kelompok yang jelas berbeda (Rao, 1994). Kebanyakan anggota dalam kelompok ini tumbuh seperti filamen-filamen yang tipis seperti kapang daripada sel-sel tunggal.Untuk alasan ini, sejak lama Actinomycetes diduga sebagai fungi atau cendawan. Meskipun ada persamaan dalam hal pola pertumbuhannya,Actinomycetes bukanlah fungi. Fungi adalah eukariota sedangkan Actinomycetes adalah prokariota (Fitter dan Hay, 1998). Pada lempeng agar Actinomycetes dapat dibedakan dengan mudah dari bakteri yang sebenarnya tidak seperti koloni bakteri sebenarnya yang jelas berlendir dan tumbuh dengan cepat, koloni Actinomycetes muncul perlahan, menunjukkan konsistensi berbubuk dan melekat erat pada permukaan agar (Rao, 1994). Berdasarkan klasifikasinya, Actinomycetes termasuk kelas Schizomycetes, ordo Actinomycetales yang dikelompokkan menjadi empat familia, yaitu: Mycobacteriaceae, Actinomycetaeceae, Streptomyceae, dan Actinoplanaceae. Genus yang paling banyak dijumpai adalah Streptomyces (hampir 70%), Nocardia, dan Micronospora. Actinomycetes memegang peran yang penting dalam ekosistem alami dan mampu memproduksi berbagai senyawa metabolit sekunder sebagai penghasil antibiotik. Senyawa ini tidak digunakan untuk proses pertumbuhan (Schlegel, 1993), tetapi untuk pertahanan diri dan kompetisi dengan mikroba lain dalam mendapatkan nutrisi, habitat, oksigen, cahaya dan lain-lain (Baker dan Cook, 1974). Salah satu genus penghasil antibiotik terbesar adalah Streptomyces. Menurut Mutschler (1991), antibiotik yang dihasilkan oleh anggota genus Streptomyces dapat dikelompokkan dalam lima kelompok, yaitu : a) Tetrasiklin Tetrasiklin dan derifatnya meliputi antibiotik tetrasiklin, klortetrasiklin, dan dimetiltetrasiklin yang dihasilkan oleh Steptomyces aureofaciens, serta oksitetrasiklin (S. rimosus). Antibiotik ini bekerja pada semua mikroorganisme yang peka terhadap penisilin, berbagai bakteri gram positif dan negatif, mikoplasma spirokhaeta, leptospira, rickettsia, dan khlamidia (Perlman, 1970; Mutschler, 1991) b) Kloramfenikol Kloramfenikol adalah antibiotik kloramfenikol yang dihasilkan oleh Steptomyces venezuelae. Antibiotik ini mempunyai spektrum kerja seperti tetrasiklin namun sekarang sudah jarang dipakai. Indikasi kloramfenikol untuk mengobati tifus, paratifus dan menginitis. Kloram fenikol aktif terhadap bakteri gram positif, gram negatif dan rickettsia (Mutschler, 1991). c) Makrolida (kelompok eritromisin) Makrolida meliputi eritromisin yang dihasilkan oleh S. Erythreus, oleandomisin (S. antibioticus ) dan spiramisin (S. ambofaciens) Spektrum kerjanya meliputi bakteri gram positif (Perlman, 1970; Mutschler, 1991). d) Linkomisin Linkomisin dan derifatnya meliputi linkomisin yang dihasilkan oleh S. lincolnensis dan klindamisin (turunan linkomisisn). Spektrum kerja linkomisin aktif pada bakteri gram positif terutama infeksi yang disebabkan anggota genus Staphylococcus. Intensitas kerja klindamisin 2-10 kali lebih besar dari padalinkomisin (Mutschler, 1991). e) Antibiotika aminoglikosida Aminoglikosida meliputi streptomisin yang dihasilkan oleh S. griceus, dihidrostreptomisin (turunan streptomisin), kanamisin (S. Kanamyceticus), dan neomisin (S. fradiae), tobramisin (S. tenebrarius), spektinomisin (S.Spectabilis) Streptomisin, dihidrostreptomisin, kanamisin danneomisin aktif terhadap bakteri gram positif, gram negatif dan bakteri penyebab tuberkulosis (Perlman, 1970), tobramisin terutama aktif pada Pseudomonas aeruginosa, spektinomisin aktif pada bakteri gram negatif dan untuk pengobatan (Mutschler, 1991). Neisseria gonorrhoeae 2.3 Kajian Tentang Antibiotik Antibiotik adalah agen antimikroba, oleh karena itu istilah antimikroba disebut juga sebagai antibiotik. Antibiotik bersifat sidal (mematikan) maupun statik (menghambat) dengan cara merusak sel, dan menggangu proses metabolisme seluler. Mekanisme kerja antibiotik dengan cara menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, misalnya terikat pada protein atau organel sel dan merusak fungsi penting yang berhubungan dengan pertumbuhan ataupun bentuk adaptasi mikroorganisme (Nanjwade, 2010). Senyawa antibiotik dapat bersifat bakteriostatik atau bakterisida dalam penghambatan pertumbuhan mikroba. Hambatan ini terjadi sebagai akibat gangguan reaksi yang penting untuk pertumbuhan. Reaksi penting ini mungkin merupakan satu-satunya jalan untuk mensintesis makromolekul seperti protein atau asam nukleat, sintesis struktur sel seperti dinding sel atau membran sel dan sebagainya. Kebanyakan senyawa antibiotik digunakan untuk perlakukan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang dikategorikan berdasarkan prinsip kerjanya. Terdapat 4 kategori aksi kerja senyawa antibiotik : (1) gangguan pada sintesis dinding sel, (2) menghambat sintesis protein, (3) mengganggu sintesis asam nukleat, (4) menghambat jalur metabolisme (Tenover, 2006). Dengan adanya aktivitas di atas, maka sel bakteri tidak akan mampu melanjutkan pertumbuhan karena komponen-komponen yang dibutuhkan tidak dapat dibentuk lagi. Menurut Pelczar (1988), mekanisme kerja antibiotik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut : a) Jenis antibiotik Antibiotik yang dihasilkan oleh suatu organisme sangat beragam, sehingga mekanisme kerja antibiotik tergantung pada jenis antibiotik tersebut. Berikut beberapa mekanisme kerja antibiotik: 1) Antibiotik yang bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri, misalnya penisilin, sefalosporin, carbapenem, basitrasin, vankomisin, sikloserin. 2) Antibiotika yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba, yang termasuk kelompok ini adalah polimiksin, golongan polien serta berbagai antibakteri kemoterapetik. 3) Antibiotika yang bekerja dengan menghambat sintesa protein, yang termasuk golongan ini adalah kloramfenikol, eritromisin, linkomisin, tetrasiklin dan antibiotika golongan aminoglikosida. 4) Antibiotika yang bekerja melalui penghambatan sintesis asam nukleat bakteri, yang termasuk golongan ini adalah asam nalidiksat, rifampisin, sulfonamid, trimetoprim. 5) Antibiotika yang menghambat metabolisme sel mikroba, yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Berdasarkan penjelasan diatas, mikroorganisme memiliki kerentanan yang berbeda. Oleh sebab itu, perlu penyesuaian jenis antibiotik yang akan digunakan dalam penghambatan organisme. b) Jenis mikroorganisme Mekanisme penghambatan pada bakteri terhadap antibiotik tergantung pada jenis bakteri. Bakteri terbagi kedalam dua golongan yakni, gram negatif dan bakteri gram positif. Pada bakteri gram positif, hampir 90% komponen dinding selnya tersusun atas peptidoglikan, sedangkan pada bakteri gram negatif berkisar antara 5 – 20%. Perbedaan struktur dinding sel ini, dapat berpengaruh pada kemampuan suatu antibiotik dalam menembusnya. Gambar 2. Mekanisme Kemampuan Penghambatan Bakteri Gram Negatif Terhadap Antibiotik. (Sumber: Fauziyah, 2010) Gambar 3.Mekanisme Kemampuan Penghambatan Bakteri Gram Positif Terhadap Antibiotik. (Sumber: Singleton dan Sainsbury 2006) Gambar 2 merupakan beberapa mekanisme kemampuan penghambatan bakteri gram negatif terhadap antibiotik (Fauziyah .2010) diantaranya, penutupan celah atau pori (loss of porins) pada dinding sel bakteri, sehingga menurunkan jumlah antibiotik yang melintasi membran sel; peningkatan produksi betalaktamase dalam periplasmik, sehingga merusak struktur betalaktam; peningkatan aktivitas pompa keluaran (efflux pump) pada transmembran, sehingga bakteri akan membawa antibiotik keluar sebelum memberikan efek; modifikasi enzim-enzim, sehingga antibiotik tidak dapat berinteraksi dengan tempat target; mutasi tempat target, sehingga mengahambat bergabungnya antibiotik dengan tempat aksi; modifikasi atau mutasi ribosomal, sehingga mencegah bergabungnya antibiotik yang menghambat sistesis protein bakteri; mekanisme langsung terhadap metabolik (metabolic bypass mechanism), yang merupakan enzim alternatif untuk melintasi efek penghambatan antibiotik; dan mutasi dalam lipopolisakarida, yang biasanya terjadi pada antibiotik polimiksin, sehingga tidak dapat berikatan dengan targetnya. Singleton dan Sainsbury (2006), menggambarkan mekanisme kemampuan penghambatan bakteri gram positif terhadap antibiotik dapat ditempuh melalui 4 jalur (Gambar 3), yaitu: peningkatkan produksi enzim betalaktamase (penisilinase), sehingga menurunkan afinitas penicillin-binding protein (PBP) terhadap antibiotik betalaktam; resistensi tingkat tinggi pada glikopeptida yang menyebabkan pemindahan atau mutasi asam amino terakhir dari prekursor peptidoglikan (D-alanine [D-Ala] ke D-lactate [D-Lac]); resistensi tingkat rendah pada glikopeptida yang berhubungan dengan peningkatan sintesis peptidoglikan, yaitu penambahan lapisan dinding bakteri yang menyebabkan terjadinya pengentalan dinding sel, sehingga menghambat antibiotik melintasi membran sel dan tidak dapat berinteraksi dengan prekursor yang ada dalam sitoplasma; dan modifikasi atau mutasi dari DNA atau ribosomal RNA (rRNA). c) Konsentrasi dan intensitas zat antibiotik Semakin tinggi konsentrasi zat antibiotik yang digunakan, maka semakin tinggi pula daya kemampuannya dalam mengendalikan mikroorganisme. d) Jumlah organisme Semakin banyak mikroorganisme yang dihambat atau dibunuh, maka semakin lama waktu yang diperlukan untuk mengendalikannya. e) Bahan organik Bahan organik asing dapat menurunkan efektivitas zat antibiotik dengan cara menginaktifkan bahan tersebut atau melindungi mikroorganisme. Hal tersebut karena penggabungan zat dan bahan organik asing membentuk zat antibiotik yang berupa endapan sehingga zat antibiotik tidak lagi mengikat mikroorganisme. Akumulasi bahan organik terjadi pada permukaan sel mikroorganisme sehingga menjadi pelindung yang mengganggu kontak antara zat antibiotik dengan mikroorganisme. 1.4 Bakteri Uji Bakteri digunakan sebagai uji biasanya dilihat dari struktur penyusun selnya atau berdasarkan interaksi metabolit yang dihasilkan dengan reagen-reagen kimia (Waluyo, 2004). B. Subtilis, S. Aureus, dan E. Coli digunakan sebagai bakteri uji berdasarkan struktur penyusun dinding selnya dalam bereaksi dengan antibiotik. S. aureus dan B. subtilis adalah bakteri gram positif, sedangkan E. coli adalah bakteri gram negatif. (a) (b) Gambar 4. Struktur Dinding Sel (a) Bakteri Gram Positif, (b) Bakteri Gram Negatif (Sumber: Madigan et al., 2000) a) Bacillus subtilis Bacillus subtilis merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang yang memiliki kemampuan membentuk endospora pada kondisi yang kurang menguntungkan. Kemampuanya membentuk endospora menyebabkan bakteri ini lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan dan kritis misalnya radiasi, panas, asam desinfektan, kekeringan, nutrisi yang terbatas (Madigan, et al. 2000). b) Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif dan salah satu bakteri yang dapat menyebabkan abses, infeksi luka, dan infeksi invasif ke mukosa. Selain itu, Staphylococcus aureus merupakan bakteri fakultatif anaerob yang menjadi penyebab paling utama infeksi pada manusia. c) Escherichia coli Escherichia coli adalah gram negatif yang berbentuk batang tidak berkapsul. Bakteri ini umumnya terdapat pada alat pencernaan manusia dan hewan. Sel E. Coli memiliki ukuran panjang 2-6 µm, dan lebar 1,1-1,5 µm, tersusun tunggal, berpasangan dan berflagel. E. Coli dapat menyebabkan diare pada manusia disebut Entro Patogenik Escherichia coli (EEG).