SOCIAL INVESTMENT INDONESIA Jl. Bendul Merisi Selatan Airdas No. 18A Surabaya 60239 Menimbang Kemitraan Tiga Sektor di Indonesia Jalal dan Fajar Kurniawan Social Investment Indonesia Acara Social Investment Roundtable Discussion (SIRD) dengan tema The Art of Tri-Sector Partnership Development, yang dilaksanakan oleh Social Investment Indonesia (SII) pada tanggal 12 Juni 2014 adalah yang pertama. Namun jelas tidak akan menjadi yang terakhir. Dengan antusiasme peserta yang tinggi hingga melebihi kapasitas yang semula direncanakan, serta gairah diskusi yang sangat tinggi pada waktu pelaksanaannya jelas menunjukkan potensi forum ini. Penyaji pada diskusi ini, Jalal dan Sonny Sukada— Jalal adalah Chairperson dari Advisory Board SII; Sonny Sukada adalah Direktur Pembangunan Berkelanjutan Danone Aqua—membawakan materi yang berbeda namun berkaitan. Jalal memberikan gambaran apa dan mengapa kemitraan untuk pembangunan berkelanjutan dengan menunjukkan ide awal hingga perkembangan terakhir dalam wacana dan praktiknya di level global. Sementara, Sonny Sukada memaparkan pengalaman Danone Aqua dalam bermitra dengan berbagai pihak, termasuk namun tidak ternatas pada kemitraan tiga sektor. Fajar Kurniawan, Managing Partner SII, adalah moderator diskusi ini. Setelah paparan masing-masing 20 menit, diskusi menjadi menarik. Lantaran banyak di antara peserta adalah para kampiun CSR, khususnya dalam pengelolaan sosial, maka bukan saja pertanyaan yang diajukan, melainkan lontaran komentar yang didasarkan pada pengalaman yang solid. Kalau dikelompokkan, maka terdapat lima besar tema tanya-jawab yang berkembang dalam acara sepanjang 3 jam tersebut, yaitu soal sumberdaya yang dipergunakan dalam kemitraan, tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan sosial perusahaan, hubungan antara perusahaan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM), kesetaraan (equity) di antara pihak yang bermitra, serta kepemimpinan dari para pihak yang bermitra. Sumberdaya untuk Kemitraan Soal sumberdaya untuk kemitraan dalam pembangunan ini sangat menarik. Dalam presentasi pembuka jelas dinyatakan bahwa sumberdaya yang dibutuhkan untuk suksesnya kemitraan bukan saja uang, melainkan banyak bentuk lainnya. Informasi, jejaring, akomodasi, produk, personel, keahlian tertentu, dan sebagainya mutlak diperlukan. Kalau kemudian sumberdaya itu dipetakan dengan detail, maka akan tampak bahwa jumlah uang yang diperlukan ternyata tak sebanyak—atau seseram—yang dibayangkan. Perusahaan, yang biasanya diposisikan sebagai donor dalam kemitraan haruslah menegaskan tentang perlunya berbagi sumberdaya, dan untuk itu pemetaan jenis dan pemilik sumberdaya harus dilakukan di Social Investment Indonesia Email : [email protected] | Web : http://socialinvesment.id depan. Para peserta dengan antusias mendukung pernyataan ini, dan sampai pada kesimpulan bahwa uang bukanlah segalanya. Ada berbagai contoh yang dilontarkan di antara penyaji dan peserta yang membuktikan bahwa berbagai inisiatif kemitraan tidaklah dibangun di atas fondasi keuangan yang berlimpah, bahkan ada yang dilaksanakan tanpa uang tunai sama sekali. Memang, berbagai kasus mengajarkan kepada kita bahwa yang terpenting adalah tujuan yang jelas, kemudian diturunkan menjadi program, baru kemudian seluruh sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakannya dihitung dengan cermat, dan disumbangkan oleh anggota kemitraan yang memilikinya. Ini menegaskan dua hal: pertama, tak ada kemitraan yang berhasil jika dimulai dengan pengumpulan uang, seperti yang banyak ditemui di Indonesia. Kedua, tak boleh ada penunggang bebas (free rider) dalam kemitraan, seluruh anggota perlu menyumbangkan sumberdaya yang dimilikinya. Seluruh bentuk sumberdaya untuk kemitraan yang berkelanjutan secara umum telah ditunjukkan oleh The Partnerning Initiative (2011, lihat gambar), dan di situ bahkan tak ditulis perlunya uang. Mengapa? Karena uang sebetulnya adalah alat transaksi untuk mendapatkan bentuk sumberdaya hakiki yang dibutuhkan. Bila bisa disediakan dalam bentuk barang atau jasa, maka uang memang tak perlu disebutkan. Contoh bentuk kemitraan yang kini semakin menguat adalah Public-Private Partnership (PPP) atau kemitraan antara pemerintah dan swasta. Pada kenyataannya, kemitraan ini juga mencakup sektor lainnya, terutama masyarakat sipil, serta pelaku bisnis sosial. Kesadaran berbagi sumberdaya memang telah menguat, sehingga di antara pemerintah dan swasta semakin banyak ditemukan bentuk-bentuk kemitraan dengan tujuan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan pembangunan. Namun demikian, ada banyak pula laporan di Indonesia bahwa PPP dipraktikkan dengan njomplang, yaitu pemerintah hanya menyediakan perijinan, insentif fiskal, dan hak pengelolaan, sementara seluruh modal yang dibutuhkan harus disediakan oleh swasta. Terlepas dari berbagai masalah yang timbul, ide PPP adalah baik, dan semakin digemari oleh berbagai aktor pembangunan, termasuk donor-donor asing yang beroperasi di Indonesia. Donor-donor dari Belanda, diinformasikan oleh salah satu peserta, sangat mendukung skema ini. Dan bahkan mereka mempersyaratkan untuk setiap inisiatif program, maka harus ada peran pemerintah dan sektor swasta. Masih terkait dengan sumberdaya, penting untuk diingat bahwa kemitraan tiga sektor bukan berarti hanya terdiri dari tiga pihak. Artinya, anggota kemitraan dari satu sektor tidaklah mesti hanya satu pihak. Salah satu peserta menyatakan bahwa perwakilan sektor swasta dalam sebuah kemitraan bisa terdiri dari lebih dari satu perusahaan. Hal seperti ini bahkan dianjurkan di dalam pengalaman industri migas global, seperti yang dinyatakan dalam dokumen IPIECA. Hal ini tentu saja akan memungkinkan terkumpulnya sumberdaya dalam jumlah yang jauh lebih besar. Dengan sifat yang demikian, saling pengertian di antara organisasi dalam satu sektor juga bisa ditingkatkan. Selain itu ada juga kemitraan yang dibentuk oleh perusahaan-perusahaan yang mempunyai kepentingan yang sama untuk menyelesaikan permasalahan terkait sektor industrinya. Sebagai contoh adalah Sustainable Packaging Initiative, Cocoa Sustainable Partnership serta Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PIS Agro). Kemitraan dalam Sustainable Packaging Initiative jelas mempunyai tujuan untuk menghasilkan inovasi-inovasi terkait kemasan berbagai produk pangan, khususnya yang lebih hemat pemakaian material dan ramah lingkungan. Beberapa perusahaan besar seperti Danone Aqua dan Coca-Cola merupakan anggota dari kemitraan ini. Sementara itu, Cocoa Sustainable Partnership merupakan kemitraan lintas perusahaan yang menggunakan kakao sebagai bahan baku produknya untuk meningkatkan penanganan budidaya dan pascapanen kakao, sehingga diperoleh kualitas kakao yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Bahkan kemitraan ini juga melibatkan berbagai instansi pemerintah, perguruan tinggi, lembaga donor internasional, asosiasi dan lembaga swadaya masyarakat. Cargill, MARS, Armajaro dan beberapa perusahaan berbahan baku kakao lainnya menjadi penggerak dalam kemitraan ini. Social Investment Indonesia Email : [email protected] | Web : http://socialinvesment.id Lain halnya dengan PIS Agro sebagai forum kemitraan dari 13 perusahaan swasta untuk memajukan produktivitas sektor pertanian, menurunkan emisi dari sektor pertanian dan pengurangan angka kemiskinan petani. Di antara anggota kemitraan PIS Agro adalah Nestle, Unilever, Indofood, BTCocoa, dan Cargill. Ada 10 komoditas yang menjadi sasaran untuk peningkatan produktivitasnya, yaitu: kakao, kopi, kentang, susu, kelapa sawit, jagung, beras, karet, kedelai dan buah-buahan tropis. Berbagai contoh kemitraan tersebut menegaskan bahwa kemitraan tiga sektor (tri-sector partnership) merupakan keniscayaan dalam era kolaboratif seperti sekarang ini. Tidak ada satu pihak pun yang dapat menyelesaikan permasalahan secara mandiri. Semua pihak harus membiasakan diri untuk bermitra atau menyusun strategi agar dapat bermitra dengan pihak lainnya. Perusahaan yang selama ini cenderung memiliki pandangan negatif terhadap LSM hendaknya mulai menghapus stigma tersebut. Demikian halnya LSM yang selama ini selalu berada pada sisi yang berseberangan dengan perusahaan, seharusnya mulai mengubah strateginya dengan mendorong dan mendukung perusahaan-perusahaan yang mempunyai komitmen progresif terhadap keberlanjutan. Termasuk meningkatkan kapasitas internal agar mampu bermitra dengan pihak lain, khususnya dengan perusahaan dalam menjalankan program pengembangan masyarakat dengan pendekatan investasi sosial. Dengan sifat hubungan yang konstruktif sumberdaya untuk mencapai pembangunan berkelanjutan bisa dilipatgandakan jumlahnya dibandingkan kalau upaya pencapaiannya terus dilakukan secara sendiri-sendiri. Tantangan dalam Pengelolaan Aspek Sosial Perusahaan Walaupun tiga level yang dibahas dalam SIRD—yaitu keberlanjutan, CSR, dan pengembangan masyarakat dalam perspektif investasi sosial—bukanlah hal yang baru di level global, banyak pihak di Indonesia sebetulnya masih mengaji alifbata-nya. Banyak memang perusahaan yang kerap mengklaim bahwa “CSR kami sudah dilaksanakan sejak dulu, bahkan sebelum istilahnya terdengar.” Memang benar, bahwa beberapa perusahaan di Indonesia mendahului zamannya, dengan melakukan pengelolaan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan yang progresif apabila dibandingkan dengan kebanyakan perusahaan di Indonesia. Namun, pada kenyataannya sering sekali perusahaan yang mengklaim demikian sesungguhnya hanya melaksanakan sebagian sangat kecil dari CSR, dan masih jauh dari pencapaian tujuan keberlanjutan. Kebanyakan perusahaan yang menyatakan demikian biasanya merujuk pada pengelolaan aspek sosial saja. Ada memang perusahaan-perusahaan yang sudah melakukannya dengan pihak lain dalam skema kemitraan, namun kebanyakan masih melaksanakannya sendirian. Bahwa sesungguhnya kebanyakan perusahaan belum cukup lihai dalam pengelolaan sosial sesungguhnya mudah dinalar. Hingga sekarang tantangan terbesar bagi banyak perusahaan, hampir di seluruh sektor industri, adalah pengelolaan sosial, yang mencakup pengelolaan isu sosial strategis, pembinaan hubungan dengan pemangku kepentingan, dan internalisasi dari eksternalitas yang muncul sebagai dampak kehadiran perusahaan. Jujur saja, kalau dibandingkan dengan kompleksitas isu sosial serta norma pembinaan hubungan dengan pemangku kepentingan—seperti yang bisa kita lihat di berbagai standar internasional—sesungguhnya sebagian besar perusahaan di Indonesia seperti masih belajar berjalan. Ketika masalah sosial timbul, baik dalam tahap perencanaan projek, sepanjang proses konstruksi maupun ketika sudah beroperasi, tanggapan yang diberikan perusahaan seringkali masih serampangan. Akibatnya, tidak jarang timbul konflik antara perusahaan dan masyarakat, kejadian yang seharusnya bisa dihindari jika sejak awal perusahaan memberikan perhatian yang serius dalam aspek pengelolaan sosial. Pengalaman yang dibagi oleh peserta diskusi dari sektor pertambangan memberikan penekanan bahwa studi sosial yang komprehensif—terdiri dari pemetaan pemangku kepentingan, penilaian kebutuhan masyarakat dan studi data dasar sosial—akan sangat membantu perusahaan untuk mempersiapkan diri serta melaksanakan berbagai tindakan yang dibutuhkan untuk mengelola berbagai isu sosial yang bakal muncul. Sayangnya, ada banyak perusahaan di Indonesia yang masih berpikir bahwa upaya untuk mengenal pemangku kepentingannya hingga proses menyusun program pengelolaan sosial yang tepat adalah pemborosan dan hanya “buang-buang uang” saja. Kebanyakan perusahaan berpikir bahwa melakukan studi kelayakan teknis ekonomi merupakan keharusan, namun kelayakan sosial seakan tidak penting untuk diketahui atau bahkan tak terlintas sama sekali dalam benak manajemen perusahaan. Padahal, dimensi kelayakan sosial sangatlah kompleks dan bisa jadi lebih rumit dibandingkan dengan Social Investment Indonesia Email : [email protected] | Web : http://socialinvesment.id kelayakan teknis ekonomi. Perubahan-perubahannya kerap terjadi secara cepat dan besar. Tidak berinvestasi dalam pengetahuan soal kondisi masyarakat yang menjadi ‘tetangga’ operasi perusahaan sesungguhnya adalah resep menuju kegagalan. Oleh karena itu, jika perusahaan tidak ingin gagal melakukan investasi di sebuah wilayah, maka sejak awal seharusnya perusahaan melakukan sejumlah studi mengenai kondisi sosial kemasyarakatan. Termasuk, bersikap transparen atas berbagai dampak—baik positif maupun negatif—atas kehadiran perusahaan kepada para pemangku kepentingan kunci. Salah satu isu yang diangkat oleh para peserta adalah tentang masuknya masyarakat dari berbagai daerah lain ke daerah beroperasinya perusahaan, karena kehadiran perusahaan di suatu daerah dipersepsi memberikan keuntungan ekonomi dan mejadi pemicu pertumbuhan daerah. “Ada gula, ada semut” begitu kata pepatah, sehingga masyarakat di manapun cenderung untuk mendekati pusat pertumbuhan. Hasilnya, perusahaan tidak semata-mata berhadapan dengan masyarakat asli yang tinggal di lokasi operasi perusahaan—yang dalam kasus-kasus industri ekstrakstif biasanya sangat sedikit jumlahnya—namun juga harus mengantisipasi kedatangan ‘tamu’ dalam jumlah yang sangat besar, yang pada akhirnya menambah kompleksitas pengelolaan sosial. Walaupun kondisi ini sebetulnya adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, perusahaan, dan kelompok masyarakat lokal, tapi lantaran perusahaan yang terutama harus menanggung akibatnya, maka perusahaan memang harus memiliki strategi untuk mengelolanya. Biasanya, masuknya masyarakat dalam jumlah yang besar—atau biasa disebut influx—masuk ke dalam ‘radar’ perusahaan dalam AMDAL. Baik itu secara sementara (mis. karena fase/projek konstruksi) maupun permanen (biasanya lebih permanen, bergantung pada ‘kadar gula’ suatu lokasi, apakah terus meningkat atau tidak), dokumen AMDAL yang baik akan bisa mengenali potensi dampak ini. Masalahnya, tak semua, kalau bukan malah hanya sebagian kecil, dokumen AMDAL yang bermutu baik. Karenanya, sensitivitas atas masalah ini tidaklah cukup tinggi. Dalam berbagai standar yang dikembangkan di level global, pengelolaan masuknya masyarakat dalam jumlah besar ini atau influx management, seharusnya ditempatkan sebagai salah satu isu sosial strategis bagi perusahaan. Misalnya dokumen IPIECA yang menyatakan bahwa influx management merupakan salah satu isu strategis bagi industri migas. Dengan demikian, perusahaan migas yang mengacu pada dokumen tersebut akan mengelolanya dengan baik. Salah satu contoh terbaik yang pernah ada di Indonesia adalah projek BP Tangguh, yang membuat salah satu pilar pengelolaan sosial bertajuk distributed growth strategy atau DGS. Dengan strategi ini, ‘gula’ pertumbuhan ekonomi tidak ditempatkan di satu lokasi saja, sehingga tekanan masuknya penduduk menjadi lebih tersebar. Dengan begitu pengelolaannya juga menjadi lebih mudah. Penting juga diingat bahwa setiap dampak keputusan dan tindakan perusahaan di bidang sosial—juga ekonomi dan lingkungan—membutuhkan strategi pengelolaan yang berbeda. Jadi, bukan hanya influx management yang harus dipikirkan secara spesifik, melainkan juga setiap isu sosial yang lain. Memang ada strategi besar yang bisa menaungi, namun tetap perlu diuraikan menjadi strategi yang lebih detail. Dan sekali lagi, tak mungkin strategi pengelolaan sosial tersebut dibangun tanpa pengetahuan yang memadai soal kondisi sosial budaya masyarakat. Hubungan Perusahaan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kalau dalam pengelolaan masalah sosial perusahaan telah dinyatakan pentingnya pemetaan seluruh pemangku kepentingan, maka dalam pengelolaan kemitraan, yang banyak muncul dalam diskusi adalah soal hubungan perusahaan dengan kelompok masyarakat sipil, khususnya LSM. Secara umum, para peserta sepakat tentang perlunya pemetaan kompetensi masing-masing anggota kemitraan, bukan saja LSM, akan tetapi sangat jelas bahwa LSM menempati posisi yang sangat spesial dalam kemitraan tiga sektor untuk pembangunan berkelanjutan. Tak bisa disangkal bahwa berbagai inisiatif dalam kemitraan tiga sektor untuk pembangunan berkelanjutan telah menarik minat banyak pihak yang selama ini bekerja secara sendiri-sendiri. Mereka yang memiliki niat, pengetahuan dan keterampilan yang baik memang tertarik dengan cepat untuk masuk ke dalam kemitraan, tapi kenyataannya bahwa para penunggang bebas—atau free rider—juga banyak bergentayangan. Oleh karena itu, seperti yang banyak disarankan oleh pakar kemitraan, sangatlah penting untuk menyeleksi calon mitra berdasarkan rekam jejaknya dalam isu-isu keberlanjutan. Sebagai contoh, Social Investment Indonesia Email : [email protected] | Web : http://socialinvesment.id untuk membuat kemitraan dalam pengelolaan hutan lestari, maka tidak disarankan untuk mengambil calon mitra yang di masa lalu terlibat dalam berbagai kasus perusakan hutan. Demikian juga, bagi para pihak yang terlibat dalam kemitraan, disarankan untuk mengajak mereka yang memiliki kapabilitas kerja yang telah terbukti. Pada butir terakhir itulah masalah hubungan dengan LSM banyak muncul. Tentu, banyak LSM yang tidak terlibat dalam perusakan sumberdaya alam. Namun, ternyata menemukan LSM yang memiliki kapasitas kerja dan integritas yang baik juga bukan perkara mudah. Wakil-wakil perusahaan yang hadir dalam SIRD sepakat bahwa secara umum perusahaan memang sulit mendapatkan LSM yang kapabel. Padahal, ketika LSM yang kapabel telah ditemukan, banyak sekali manfaat yang dirasakan oleh perusahaan. Salah satu perusahaan yang hadir menyatakan bahwa peringkat PROPER mereka yang emas dan hijau sangat jelas merupakan hasil kerjasama kemitraan dengan LSM. Jadi, ketika LSM itu memiliki kapasitas yang hebat, hasil kerjasama dengan perusahaan juga bisa memukau. Oleh karena itu, berbagai LSM yang baik itu kemudian menjadi langganan para perusahaan. Masalahnya, lantaran jumlahnya yang sangat sedikit dibandingkan keseluruhan LSM, maka terjadilah fenomena yang disebut engagement fatigue. LSM-LSM berkapasitas baik ‘diserbu’ permintaan dari perusahaan-perusahaan, sementara kapasitas mereka juga terbatas karena jumlahnya tak banyak, dan ukuran organisasinya juga tak sebesar yang diharapkan. Ada beberapa saran yang didapatkan dari diskusi yang berkembang. Pertama, perlu dilaksanakan pertemuan-pertemuan secara regular dengan LSM yang berpotensi menjadi mitra. Dengan pertemuan-pertemuan tersebut bisa diharapkan pemetaan kapasitas bisa berjalan dengan wajar. Penguasaan wacana dan praktik juga akan tampak dari berbagai pertemuan itu. Kedua, penilaian kapasitas secara formal, apabila memang kemitraan hendak dibentuk. Tentu saja, sebaiknya bukan seperti hendak menilai vendor yang hubungannya kontraktual, melainkan lebih seperti penjajakan yang lebih dalam untuk saling mengenal di antara calon mitra sejajar. Ketiga, perusahaan memang harus berinvestasi dalam peningkatan kapasitas LSM. Sonny Sukada menyarankan agar investasi ini dilakukan ketika perusahaan telah membuat kemitraan dengan LSM yang kapabel (yang biasanya ada di pusat atau ibukota provinsi), yaitu dengan cara memasukkan komponen peningkatan kapasitas LSM lokal, agar nanti bisa menggantikan mereka pada fase selanjutnya. Keempat, peningkatan kapasitas ini juga tidak seharusnya diserahkan menjadi tanggung jawab perusahaan semata. Sintasan (survival) dari gerakan sosial di Indonesia memang terancam sejak jumlah uang dari donor menyusut drastis. LSM sendiri memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kapasitas dirinya, terutama untuk membuktikan bahwa intervensi yang dilakukannya memang mendatangkan dampak positif. LSM, selain melakukan hubungan dengan perusahaan dalam konteks CSR, juga perlu mengembangkan dirinya menjadi bisnis sosial, agar kemandirian keuangan bisa diperoleh sejalan dengan besarnya manfaat untuk masyarakat. Para ‘alumnus’ gerakan sosial—yang telah berada di sektor lainnya, termasuk yang kemudian beralih ke sektor swasta—juga dihimbau untuk memerhatikan generasi aktivis yang baru, serta mengupayakan transfer berbagai sumberdaya ke LSM. Khususnya LSM yang memiliki komitmen kuat untuk berkontribusi dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, baik yang dilaksanakan secara mandiri maupun yang dilaksanakan dengan bermitra bersama pihak lain. Social Investment Indonesia Email : [email protected] | Web : http://socialinvesment.id Keseteraan (Equity) di antara Para Pihak yang Bermitra Seperti yang telah diduga, banyak di antara peserta yang menyatakan bahwa masalah kesetaraan dalam kemitraan tiga sektor memang kerap datang dari pemerintah. Ini juga konsisten dengan hasil penelitian di level global. Pemaksaan kehendak, penyesuaian jadual, dan keyakinan soal prioritasnya yang paling benar, kerapkali disampaikan ketika kelembagaan pemerintah menjadi salah satu anggota kemitraan. Oleh karenanya, ada peserta yang menyatakan bahwa biasanya partisipasi pemerintah kerap ‘di-nanti-kan’. Bukan berarti ditunggu-tunggu, melainkan dipikirkan belakangan, ketika kemitraan telah lebih kuat. Walaupun demikian bukan berarti melakukan kemitraan dengan pemerintah bukanlah sesuatu yang mustahil. Dalam beberapa kasus, keikutsertaan pemerintah daerah yang progresif dalam kemitraan tiga sektor ternyata memiliki peran yang penting untuk mendorong keberhasil kemitraan tersebut. Contoh yang disampaikan oleh salah seorang peserta dari perusahaan mengenai keberhasilannya dalam membina kemitraan dengan pemerintah daerah dan LSM internasional dalam program peningkatan produktivitas dan penanganan pascapanen kakao, menjadi salah satu buktinya. Tentu diperlukan ‘kebesaran hati’ dari lembaga-lembaga pemerintah untuk bisa menerima atau mencari titik temu antara kepentingannya dengan kepentingan para pemangku kepentingan lainnya, sehingga kemitraan tersebut menjadi kemitraan yang produktif dan berorientasi pada tujuan. Namun demikian, seorang peserta dari LSM juga menggingatkan bahwa masalah kesetaraan juga kerap datang dari perusahaan. Perusahaan, yang biasanya menjadi pemilik sumberdaya finansial, kerap memperlakukan mitranya layaknya seperti kontraktor yang harus ‘siap’ melakukan apapun yang dikehendaki pihak perusahaan. Hal itu kerap terjadi lantaran perusahaan berpikiran bahwa uang merupakan sumberdaya yang utama, sehingga wajar jika perusahaan mengambil posisi ‘lebih tinggi’ dibandingkan pihak lainnya. Padahal, seperti yang bisa dipelajari dari penelitian Ulrich Steger, dkk (2009), bahwa uang bukanlah sumberdaya yang utama dalam kemitraan untuk pembangunan berkelanjutan. Di sisi lain, perusahaan juga kerap melihat segala sesuatu secara transaksional, padahal kemitraan seharusnya tidak demikian. Dalam hal ini, budaya perusahaan akan sangat menentukan keberhasilan kemitraan. Perusahaan yang telah memiliki budaya yang mempromosikan kesetaraan akan dengan mudah memahami logika kemitraan. Nestle misalnya, strategi creating shared value (CSV)-nya berasal dari budaya perusahaan yang selalu mencari manfaat bersama dengan pemangku kepentingan. Selain itu, para manajer dan manajemen senior perusahaan yang memiliki pengetahuan tentang atau pengalaman bekerja di organisasi masyarakat sipil, bagaimanapun, akan jauh lebih mudah memahami prinsip kesetaraan dalam kemitraan. Kepemimpinan dalam Kemitraan Kemitraan, walau memiliki struktur paling egaliter dibandingkan dengan berbagai organisasi lain, jelas membutuhkan kepemimpinan. Pada periode awal, kemitraan membutuhkan para champion yang bisa mewujudkan dukungan dari berbagai organisasi pendukungnya, terutama dengan meningkatkan otoritas dan profil kemitraan. Kemitraan juga membutuhkan broker yang bekerja menghubungkan para calon anggota kemitraan, serta organisasi di luar kemitraan (bukan anggota namun simpatisan). Kemungkinan kemitraan juga membutuhkan donor yang secara nyata memang mendukung kemitraan dengan memberikan sumberdaya finansial. Di luar itu, ada juga peran seperti manajer, fasilitator, serta promotor yang mungkin tak setinggi ketiga hal yang disebutkan terdahulu dalam kepemimpinan, tapi tak kurang pentingnya. Berbagai fungsi tersebut bisa dilihat pada gambar di bawah (The Partnering Initiative, 2011). Salah seorang peserta menekankan bahwa faktor kepemimpinan-lah yang akan membuat anggota kemitraan tidak sekadar berfokus pada manfaat yang akan diperoleh masing-masing pihak, namun berfokus pada tujuan bersama yang hendak dicapai dari kemitraan. Kepemimpinan juga dapat menyelesaikan berbagai masalah relasi kuasa yang timpang, sehingga menjadi lebih setara di antara para anggota. Kepemimpinan juga yang akan bisa membuat para anggotanya percaya pada tujuan bersama dan bersedia untuk mengorbankan kepentingan jangka pendeknya. Visi dan misi dari kemitraan yang dirumuskan oleh para pemimpinnya memang harus sangat meyakinkan, sehingga para anggota mau bekerja keras mewujudkannya walau manfaat jangka pendek belum bisa dirasakan. Social Investment Indonesia Email : [email protected] | Web : http://socialinvesment.id Oleh karena itu, tidak semua bentuk kepemimpinan menjadi relevan dalam kemitraan. “Hanya servant leadership dan transformational leadership yang kompatibel dengan kemitraan untuk pembangunan berkelanjutan” menurut Jalal, mengutip pendirian para pakar yang meneliti topik ini. Kepemimpinan yang melayani diperlukan untuk membangun kepercayaan di antara para anggota kemitraan; sementara kepemimpinan yang transformasional diperlukan untuk memberikan keyakinan bahwa di luar hubungan yang transaksional satu-satu, sesungguhnya masih ada bentuk hubungan yang produktif, yaitu pencapaian tujuan bersama. Ketika bentuk hubungan sangat didominasi oleh kepentingan ekonomi, dan cara untuk memperjuangkannya adalah dengan kompetisi, banyak pihak yang memang harus belajar lagi (unlearn dan relearn) untuk memperjuangkan kepentingan keberlanjutan yang lebih luas, dengan cara yang berbeda dengan apa yang selama ini diketahui. Fungsi kepemimpinan yang melayani dan mentransformasi menjadi sangat penting untuk membuat seluruh pihak belajar ulang tentang bagaimana tujuan bersama itu eksis dan bisa dicapai. Kesimpulan: Kepercayaan, Kesetaraan, dan Manfaat Bersama Membangun kemitraan tiga sektor dalam pembangunan berkelanjutan yang berdimensi jangka panjang tidaklah mudah. Setidaknya ada tiga syarat untuk membangun kemitraan yang langgeng, yaitu adanya kepercayaan, kesetaraan dan manfaat bagi semua pihak yang terlibat dalam kemitraan. Tanpa adanya tiga hal tersebut, maka hampir tidak mungkin kemitraan akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Untuk itu menciptakan dan memastikan adanya kepercayaan, kesetaraan dan manfaat dalam kemitraan hendaknya menjadi prioritas pertama dalam membangun kemitraan tiga sektor. Pertama, kepercayaan antarpihak yang bermitra dapat diperoleh apabila masing-masing pihak mau mengusung prinsip transparensi dan akuntabilitas dalam menjalankan kemitraan. Prinsip transparensi akan memastikan bahwa semua pihak yang bermitra mempunyai peran dan tanggung jawab yang jelas. Hal itu dapat diwujudkan apabila dibangun juga sistem tata kelola kemitraan Sementara akuntabilitas akan memastikan bahwa semua pihak telah menjalankan peran dan tanggung jawabnya dengan benar. Kedua, kesetaraan di antara pihak yang bermitra, yang dapat diraih apabila masing-masing pihak merasa membutuhkan satu sama lainnya, mempunyai common ownership yang disepakati sejak awal dan kemauan untuk menegosiasikan kepentingan serta menurunkan ekspektasi dari masing-masing pihak. Kesetaraan dapat meningkatkan moral dari para pihak yang bermitra, di samping juga dapat meningkatkan daya inovasi dan kemauan untuk bertindak lebih dari kewajiban (beyond obligation). Hal ini akan memastikan bahwa kemitraan yang dibangun menjadi lebih produktif. Ketiga, manfaat yang diperoleh oleh para pihak yang bermitra. Manfaat bersama (shared benefit) hanya dapat dicapai apabila kemitraan dibangun berdasarkan common ground, yaitu memecahkan berbagai permasalahan yang eksis di tengah masyarakat. Mengembangkan program kemitraan dalam pembangunan berkelanjutan hendaknya selalu mempertimbangkan kebutuhan masyarakat yang menjadi sasaran program. Penilaian kebutuhan hendaknya juga dilakukan secara partisipatif (bottom up approach). Hanya dengan pendekatan itu, maka kemitraan dapat memberikan kemanfaatan kepada semua pihak, termasuk dan terutama masyarakat. Pada akhirnya kemitraan tiga sektor memang membutuhkan ‘seni’ tersendiri untuk membangun dan mengembangkannya, sebagaimana yang menjadi tema SIRD perdana ini. Kemitraan tidak cukup dibangun hanya bersandarkan pada patokan-patokan baku. Terlalu banyak faktor eksternal yang bersifat dinamis, yang mengharuskan masing-masing pihak berupaya keras menemukan bentuk ideal dari kemitraan yang hendak dibangun dan dikembangkan dalam konteksnya masing-masing. Bagaimanapun, kepercayaan, kesetaraan dan manfaat bersama adalah kuncinya. Social Investment Indonesia Email : [email protected] | Web : http://socialinvesment.id