BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR 4.1

advertisement
BAB IV
SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR
4.1 Pendahuluan
Kajian terhadap siklus sedimentasi pada Satuan Batupasir dilakukan
dengan analisis urutan secara vertikal terhadap singkapan yang mewakili Satuan
Batupasir tersebut. Analisis terhadap urutan secara vertikal tersebut dilakukan
dengan beberapa pendekatan, yaitu Prinsip Hyulstrom, Hukum Walther, dan
dilakukan analogi dengan Model Fasies yang sudah ada.
Prinsip
Hyulstrom
membahas
hubungan
erosi,
transportasi,
dan
sedimentasi batuan sedimen klastik melalui mekanisme arus traksi. Prinsip
Hyulstrom tidak dapat digunakan pada keadaan arus gravitasi, akan tetapi kedua
mekanisme tersebut sulit untuk dibedakan.
Hukum Walther membahas mengenai urutan-urutan vertikal dalam
sedimentasi mencerminkan urutan lateralnya. Paradigma yang mendasarkan
hukum ini ialah lingkungan pengendapan yang pada suatu waktu berdampingan,
diwaktu berikutnya dapat berada di atasnya sebagai dinamika sedimentasi.
Interpretasi terhadap sistem lingkungan pengendapan dilakukan dengan
cara mengindentifikasi fasies pembentukannya berdasarkan pemodelan Walker
dan James (1992). Konsep identifikasi fasies didasarkan pada karakteristik primer
dari batuan sedimen yang menunjukkan proses pengendapan di suatu sistem
lingkungan pengendapan tertentu.
Analisis siklus sedimentasi pada bab ini dibatasi pada Satuan Batupasir
yang sebanding dengan Formasi Walat (Effendi dkk., 1998) yang berumur Eosen
Akhir-Oligosen Awal, dengan lingkungan pengendapan fluvial.
49
4.2 Pembuatan dan Analisis Kolom Stratigrafi
4.2.1 Pembuatan Kolom Stratigrafi
Pembuatan kolom stratigrafi didasarkan atas pengukuran penampang
stratigrafi. Pengukuran penampang stratigrafi dibagi menjadi dua, lintasan A
berada daerah Batununggal dan lintasan B berada di daerah Hegarmanah.
Pengukuran dilakukan pada daerah bekas penambangan dan sungai, berdasarkan
pengukuran penampang stratigrafi didapatkan jurus yang berarah barat-timur dan
menghasilkan kolom stratigrafi setebal 76,5 meter dan 50,3 meter.
4.2.2 Siklus Sedimentasi Berdasarkan Analisis Kolom Stratigrafi
Siklus sedimen dipengaruhi oleh kuat lemah arus yang terjadi pada waktu
pengendapan batuan. Arus kuat ditandai dengan diendapkannya batuan sedimen
yang berbutir kasar, sedangkan arus lemah ditandai oleh batuan sedimen yang
berbutir halus. Selain dari karakteristik ukuran butir, kuat lemah arus dapat dilihat
juga berdasarkan struktur sedimen.
Pada bab III telah dibahas Satuan Batupasir pada daerah penelitian
diendapkan pada lingkungan fluvial. Siklus sedimentasi yang berkembang pada
daerah fluvial umumnya adalah menghalus ke atas.
Berdasarkan pengukuran penampang stratigrafi dapat secara umum dibagi
menjadi beberapa siklus besar yang memiliki karakteristik menghalus ke atas.
Siklus besar tersebut dapat lagi dibagi menjadi beberapa siklus kecil (LampiranG).
4.2.2.1 Lintasan A
Lintasan A merupakan lintasan paling barat, pengukuran penampang
stratigrafi dilakukan di daerah penambangan di Batununggal. Pada lintasan A
dapat dibagi menjadi 2 siklus sedimentasi besar, yaitu siklus 1 dan 2.
50
Siklus 1
Siklus 1 (Gambar 4.1) memiliki tebal 18,5 meter, dengan suksesi vertikal
dari menghalus ke atas.
Pada bagian bawah dari siklus ini diendapkan batupasir dengan lapisan
yang tebal, kemudian diatasnya diendapkan batulempung dengan ketebalan 0,6
meter, di atas batulempung tersebut diendapkan batupasir dengan struktur
sedimen berupa perlapisan silang siur dan bioturbasi, pada bagian atas siklus ini
diendapkan batulempung yang memiliki lapisan yang tebal. Siklus pertama ini
dapat dibagi lagi menjadi dua siklus kecil.
Pada bagian bawah dari siklus pertama diendapkan oleh arus kuat, hal ini
diperkuat dengan terdapatnya besar butir pasir kasar. Selanjutnya arus berubah
menjadi tenang dengan diendapkannya batulempung.
Arus tenang menghasilkan endapan yang tidak terlalu tebal, ditandai
dengan tebal lapisan dari batulempung, lalu terendapkan batupasir yang
diendapkan oleh arus kuat. Pada bagian ini dapat diinterpretasikan lingkungan
pengendapannya berupa channel.
Pada bagian akhir dari siklus ini diendapkan batulempung tebal dengan
sisipan batubara, dapat diinterpretasikan memiliki arus yang lemah. Sehingga
lingkungan pengendapan pada bagian ini ialah flood plain.
UKURAN BUTIR
51
Gambar 4.1 Siklus 1 (tanpa skala)
Siklus 1.1
Pada siklus 1.1 (Gambar 4.2) memiliki tebal l7,5 meter, diendapkan
batupasir, dan batulempung. Batupasir pada bagian bawah siklus ini terendapkan
oleh sistem arus yang relatif kuat, hal ini dibuktikan dengan ukuran butir berupa
pasir kasar.
Selanjutnya arus semakin melemah, ditandai dengan berubahnya ukuran
butir dari pasir kasar menjadi pasir sedang. Pada bagian atas siklus ini arus
semakin melemah dan relatif menjadi tenang, ditandai dengan terendapkannya
batulempung. Pada siklus 1.1 ini diinterpretasikan sebagai endapan channel.
UKURAN BUTIR
Gambar 4.2 Siklus 1.1 (tanpa skala)
Siklus 1.2
Siklus 1.2 (Gambar 4.3) memiliki tebal 11 meter, dengan singkapan
berupa batupasir dan batulempung dengan sisipan batubara. Pada siklus ini
terdapat suksesi vertikal yang menghalus ke atas.
Batupasir pada siklus 1.2 yang diendapkan oleh arus yang kuat, ditandai
dengan terdapatnya struktur sedimen perlapisan silang siur dan ukuran butir pasir
52
kasar. Suplai sedimen yang pada lapisan ini besar, dikarenakan memiliki lapisan
yang tebal. Pada bagian atas singkapan ini juga terdapat bioturbasi, yang dapat
diinterpretasikan arus mulai melemah. Pada bagian siklus 1.2 ini diinterpretasikan
sebagai channel.
Setelah itu terendapkan arus tenang ditandai dengan diendapkannya
batulempung, batulempung karbonan, dengan sisipan batubara (Foto 4.1). Pada
bagian ini diinterpretasikan sebagai endapan flood plain.
UKURAN BUTIR
Gambar 4.3 Siklus 1.2 (tanpa skala)
53
Foto 4.1 Singkapan batubara pada siklus 1.2
Siklus 2
Siklus 2 (Gambar 4.4) memiliki tebal 38,5 meter, berdasarkan ukuran butir
dari lapisan paling bawah sampai paling atas, secara umum terdapat suksesi yang
menghalus ke atas.
Pada bagian bawah sampai tengah siklus 2 diendapkan konglomerat dan
batupasir, dengan struktur sedimen yang terdapat pada lapisan ini berupa
perlapisan silang siur, kuat arus yang terjadi pada lapisan ini memiliki arus yang
kuat. Suplai sedimen yang cukup besar, ditandai dengan tebalnya lapisan
batupasir.
Perlapisan
batupasir
dan
konglomerat
membentuk
tumpukan
(amalgamasi). Pada bagian ini diinterpretasikan lingkungan pengendapannya
berupa channel.
Pada bagian atas dari siklus ini terjadi perubahan energi arus yang
berulang-ulang ditandai dengan diendapkannya perselingan batulanau-batupasir.
Pada daerah ini lingkungan pengendapan berupa flood plain. Pada siklus 2 ini
dapat dibagi lagi menjadi tiga siklus kecil.
54
UKURAN BUTIR
Gambar 4.4 Siklus 2 (tanpa skala)
Siklus 2.1
Siklus 2.1 (Gambar 4.5) memiliki tebal 10,6 meter, dengan suksesi vertikal
menghalus ke atas. Pada bagian bawah terendapkan konglomerat, lalu batupasir
dengan ukuran butir pasir sedang.
Pada siklus ini diendapkan konglomerat yang diendapkan oleh arus yang
sangat kuat. Lalu arus mulai mengalami penurunan kuat arus ditandai dengan
diendapkannya batupasir dengan ukuran butir pasir sedang. Pada siklus ini
lingkungan pengendapan berupa channel.
55
UKURAN BUTIR
Gambar 4.5 Siklus 2.1 (tanpa skala)
Siklus 2.2
Siklus 2.2 (Gambar 4.6) memiliki tebal lapisan 9,9 meter dan suksesi
vertikal menghalus ke atas. Pada bagian bawah diendapkan konglomerat, coklat,
kemas terbuka, pemilahan buruk, fragmen kuarsa dan litik, terdapat struktur
sedimen silang siur (Foto 4.2), lalu terendapkan batupasir putih kecoklatan, pasir
sedang, kemas tertutup, pemilahan baik, non-karbonatan
Setelah siklus 2.1 kuat arus kembali meningkat, ditandai dengan
diendapkannya konglomerat dengan struktur sedimen silang siur. Pada bagian atas
konglomerat kuat arus kembali turun, dikarenakan diendapkannya batupasir
dengan ukuran butir pasir sedang. Lingkungan pengendapan pada siklus ini
berupa channel.
UKURAN BUTIR
Gambar 4.6 Siklus 2.2 (tanpa skala)
56
Foto 4.2 Silang siur pada konglomerat
Siklus 2.3
Siklus 2.3 (Gambar 4.7) memiliki tebal 18 meter, dengan suksesi vertikal
menghalus ke atas. Pada bagian bawah dari siklus ini diendapkan batupasir, putih
kecoklatan, pasir sedang, kemas tertutup, pemilahan baik, non-karbonatan,
terdapat silang siur (Foto 4.3) dan bioturbasi (Foto 4.4). Selanjutnya diendapkan
Peselingan batupasir-batulanau. Batupasir, putih kemerahan, pasir halus, nonkarbonatan, pemilahan baik, kemas tertutup. Batulanau, abu-abu, terdapat pararel
laminasi, sisipan batulempung, tebal 5cm-10cm, putih, non-karbonatan
Pada siklus ini terdapat batupasir, pasir kasar, dengan struktur sedimen
berupa perlapisan silang siur, yang menandakan arus kuat, namun pada bagian
atas singkapan terdapat bioturbasi, yang diinterpretasikan arus mulai melemah.
Pada bagian ini diinterpretasikan sebagai endapan channel.
Selanjutnya diendapkan perselingan batulanau dan batupasir, yang
menandakan kekuatan arus yang naik-turun. Arus kuat ditandai dengan batupasir
yang memiliki ukuran butir pasir halus, sedangkan arus lemah ditandai oleh batu
lanau dengan struktur sedimen laminasi sejajar.
57
Arus melemah setelah siklus 2.2 dengan diendapkannya batulanau dengan
struktur sedimen laminasi sejajar, lalu arus menguat dengan diendapkan batupasir,
dan terus berulang sampai akhir dari siklus ini. Pada bagian siklus ini dapat
diinterpretasikan sebagai endapan flood plain.
UKURAN BUTIR
Gambar 4.7 Siklus 2.3 (tanpa skala)
Foto 4.3 Silang siur pada batupasir
Foto 4.4 Bioturbasi pada siklus 2.2
58
4.2.2.2 Lintasan B
Lintasan B merupakan lintasan yang berada pada sungai di daerah
Hegarmanah.
Siklus 3
Siklus 3 (Gambar 4.8) memiliki tebal lapisan 50,3 meter dengan suksesi
vertikal menghalus ke atas. Pada bagian bawah siklus ini diendapkan batupasir,
selanjutnya diendapkan batulempung memiliki ketebalan lapisan yang relatif tipis.
Diatas batulempung diendapkan batupasir dengan struktur sedimen perlapisan
silang siur. Pada bagian atas siklus ini diendapkan batulempung yang tebal. Siklus
ini dapat dibagi menjadi 2 siklus kecil.
Pada bagian bawah siklus 3 ini dibentuk oleh mekanisme arus yang relatif
kuat, lalu diendapkan batulempung diatasnya, pada bagian ini terjadi penurunan
kekuatan arus.
Arus lemah tidak menghasilkan endapan yang terlalu tebal. Kemudian
diendapkan batupasir dengan struktur perlapisan silang siur, arus kembali menjadi
kuat. Pada bagian ini dapat diinterprtasikan lingkungan pengendapan berupa
channel.
Pada bagian atas siklus 3 diendapkan batulempung yang tebal, arus pada
bagian ini merupakan arus yang tenang. Pada lapisan ini diinterpretasikan
lingkungan pengendapan berupa flood plain.
59
UKURAN BUTIR
Gambar 4.8 Siklus 3 (tanpa skala)
Siklus 3.1
Siklus 3.1 (Gambar 4.9) berada pada bagian bawah, dengan tebal 9,8
meter. Pada siklus ini terendapkan batupasir, coklat, lapuk, pasir kasar, kemas
terbuka, pemilahan buruk, non-karbonatan, fragmen kuarsa dan litik. Pada bagian
atasnya terendapkan batulempung, abu-abu, non-karbonatan
Pada siklus 3.1 terdapat arus kuat dengan suplai sedimen yang sangat
besar, ditandai dengan diendapkannya batupasir, dengan ukuran butir pasir kasar
dan memiliki lapisan yang tebal.
60
Selanjutnya kekuatan arus semakin melemah, dikarenakan diendapkannya
batulempung. Pada siklus 3.1 diinterpreatsikan sebagai endapan channel.
UKURAN BUTIR
Gambar 4.9 Siklus 3.1
(tanpa skala)
Siklus 3.2
Siklus kedua memiliki tebal 40,5 meter (Gambar 4.10), dengan singkapan
berupa batupasir dan batulempung. Pada siklus ini terdapat suksesi vertikal yang
menghalus ke atas.
Pada bagian bawah dari siklus 3.2 diendapkan batupasir, yang diendapkan
oleh sistem arus kuat dan terdapatnya struktur sedimen berupa perlapisan silang
siur, sebagai penanda arus kuat. Pada bagian ini ditafsirkan sebagai endapan
channel.
Setelah itu kekuatan arus menjadi tenang dengan diendapkannya
batulempung (Foto 4.5), pada bagian ini ditafsirkan sebagai endapan flood plain.
61
UKURAN BUTIR
Foto 4.5 Singkapan batulempung
Gambar 4.10Siklus 3.2 (tanpa skala)
4.3 Pembahasan
Berdasarkan konsep analisis fasies, hasil pengukuran penampang
stratigrafi dapat dipisahkan menjadi unit-unit fasies yang berbeda. Unit-unit fasies
tersebut dibedakan berdasarkan tebal dan karakteristik deskriptif yang meliputi
jenis litologi, struktur sedimen, dan aspek biologi (Walker dan James 1992).
Lingkungan pengendapan dapat ditentukan dari kombinasi fasies yang saling
memiliki hubungan, yang kemudian menjadi asosiasi fasies.
62
Berdasarkan pengamatan di lapangan berupa ciri-ciri litologi, struktur
sedimen, terdapatnya kuarsa, batuan tidak karbonatan, dan terdapatnya sisipan
karbon, serta didukung pula oleh analisis penampang stratigrafi, analisis
petrografi, dan juga tidak ditemukannya foraminifera berdasarkan analisis fosil.
Berdasarkan analisis-analisis tersebut, maka Satuan Batupasir pada lokasi
penelitian diendapkan pada lingkungan pengendapan fluvial.
Berdasar hasil analisis dari kolom stratigrafi, dapat diperoleh dua fasies
yaitu fasies flood plain dan fasies channel. Fasies flood plain dicirikan dengan
terdapatnya litologi berupa batulanau laminasi, batulempung, batulempung
karbonan dan batubara. Fasies channel dicirikan oleh litologi konglomerat masif,
konglomerat perlapisan silang siur, batupasir masif, batupasir perlapisan silang
siur.
Berdasarkan analisis stratigrafi arus paling kuat terjadi pada siklus 2,
khususnya pada siklus 2.1 dan 2.2. Ditandai dengan diendapkannya konglomerat
dan batupasir, dengan ukuran butir pasir kasar dan pada siklus tersebut juga
memiliki suplai sedimen yang sangat besar, berdasarkan tebalnya batupasir. Arus
sangat lemah terjadi pada siklus 1.2 dan 3.2, ditandai dengan tebalnya
batulempung dan terdapatnya sisipan batubara pada siklus 1.2. Kuat arus yang
terjadi secara naik turun terdapat pada akhir siklus 2, khususnya pada siklus 2.3.
Hal tersebut ditandai dengan terdapatnya peselingan batulanau dan batupasir.
Suksesi vertikal pada daerah pengukuran penampang stratigrafi menghalus
ke atas, dengan lapisan batupasir yang tebal dibagian bawah siklus, lalu menipis
ke atas dan batulempung pada bagian siklus yang semakin menebal, serta
terdapatnya lapisan yang beramalgamasi pada siklus 2.1 dan 2.2, hal tersebut
sesuai dengan suksesi vertikal menghalus ke atas pemodelan Miall (Gambar 4.11).
Berdasarkan analisis-analisis di atas, maka dapat diiinterpretasikan lingkungan
pengendapan pada satuan ini berupa sungai teranyam.
63
2m
Gambar 4.11 Suksesi vertikal menghalus dan menipis ke atas dalam sistem sungai
(Miall, 1980 op.cit. Walker dan James, 1992)
64
Download