studi analisis keadilan dalam berpoligami menurut hukum islam

advertisement
STUDI ANALISIS KEADILAN DALAM BERPOLIGAMI
MENURUT HUKUM ISLAM
SKRIPSI
Dibuat guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Strata I (SI)
dalam Ilmu Syariah
Oleh :
AHMAD DHAKIRIN
NIM : 1210007
PRODI AL-AHWAL AS-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’(UNISNU) JEPARA 2015
i
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, saya Ahmad Dhakirin
NIM.1210007 menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini :
1 Seluruhnya merupakan karya saya sendiri dan belum pernah diterbitkan dalam
bentuk dan keperluan apapun.
2 Tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain kecuali informasi yang
yang terdapat dalam refrensi yang dijadikan rujukan dalam penulisan skripsi
ini.
Saya bersedia menerima sanksi dari fakultas apabila dikemudian hari ditemukan
ketidaksamaan dari pernyataan ini.
Jepara, 20 September 2015
Penulis,
AHMAD DHAKIRIN
NIM. 1210007
iv
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “STUDI ANALISIS KEADILAN BERPOLIGAMI
HUKUM ISLAM” Poligami merupakan salah satu persoalan
kontroversial yang perdebatannya melahirkan berbagai pendapat, terutama pada
konsep keadilan sebagai syarat utama dalam poligami. Sebagian ulama
memaknai keadilan poligami hanya dalam aspek materi saja, namun ada juga
yang memaknai keadilan poligami mencakup keadilan materi dan immateri
(cinta dan kasih sayang). dalam karya tulis ini peneliti menyuguhkan
bagaimanakah sebenarnya adil yang disyaratkan dalam melaksanakan poligami
dalam masyarakat, apakah mereka sudah melaksanakan syarat adil ini dalam
menjalankan poligami atau hanya melaksanakan poligami dengan dasar telah
diperbolehkan oleh agama Islam tanpa memikirkan bagaimana pelaksanaan adil
dalam syarat utama bila melakukan poligami. Namun pada kenyataan banyak
masyarakat yang melakukan poligami tanpa mendasari syarat keadilan di
dalamnya. Sedangkan menurut Ulama hal semacam itu tidak diperbolehkan
karena adil disini merupakan syarat utama dalam melaksanakan poligami.
MENURUT
Berkaitan dengan hal di atas, penelitian ini bertujuan mengungkap
pendapat serta dalil-dalil yang dipakai para ulama, inilah yang menjadi salah
satu hal yang menarik dalam pembahasan karya tulis ini.
Penulisan karya tulis ini penulis menggunakan metode kepustakaan,
disini penulis menggali informasi dari kitab, buku, dan manuskrip yang ada, agar
dapat dibandingkan dan diambil kesimpulan yang pantas dengan kondisi
masyarakat saat ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keadilan dalam syarat poligami
adalah kesamaan dalam nafakah, tempat tinggal, waktu menginap, pergaulan.
Sedangkan perkara yang tidak dapat di kuasai oleh manusia seperti rasa cinta
dan kasih sayang tidak disyaratkan karena keduanya merupakan anugrah dari
Allah bukan kehendak dari manusianya sendiri. Akan tetapi tetap berusaha
dalam mengusahakan keadilannya.
v
MOTTO
            
           
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q. S An-Nisa’: 129).
vi
KATA PENGANTAR
‫الرحيْم‬
ْ ‫ب‬
َّ ِ‫الرحْ من‬
َّ ‫سم للا‬
Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
berkat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul
“STUDI ANALISIS KEADILAN BERPOLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM ” dapat
diselesaikan dengan baik.
Sholawat serta salam semoga tetap selalu tercurahkan kepada Beliau,
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman
kegelapan menuju zaman yang terang benderang beserta menjadi suri tauladan
bagi kita dan semoga terlimpah pula pada keluarga, sahabat, dan tabi’in
Rasa syukur disertai dengan mengucapkan Alhamdulillah, dengan
usaha maksimal dan tekad yang bulat serta dorongan yang kuat dari saudrasaudaraku tercinta dan do’a dari kedua orang tuaku, akhirnya skripsi ini dapat
penulis selesaikan, walaupun tentunya masih dapat hambatan dan rintangan silih
berganti atas izin Allah SWT semua kesulitan dan hambatan dapat di atasi,
sehingga hasil usaha dan jerih payah ini dapat disajikan sebagaimana yang ada
dihadapan pembaca. Penulis merasa bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan
baik dari segi penulisan maupun dari tata bahasanya. Oleh karena itu dari segala
kritik dan saran senantiasa penulis harapkan.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak
mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, dukungan dan saransaran dari berbagai pihak dan berkah dari Allah SWT sehingga kendala-kendala
yang dihadapi tersebut dapat diatasi. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan
terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya kepada Ibu Mayadina
Rahman M,. MA selaku menjadi pembimbing yang telah dengan sabar, tekun,
tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran memberikan bimbingan,
vii
motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat berharga kepada penulis selama
menyusun skripsi.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada:
1. Bapak Prof. Dr. KH. Muhtarom , HM selaku Rektor UNISNU Jepara.
2. Bapak Drs. H. Ahmad Bahrowi, TM, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah.
3. Ibu Mayadina Rahman M,. MA selaku wakil Dekan Fakultas syari’ah.
4. Bapak Hudi, SHI, MSI selaku kaprodi Fakultas Syari’ah.
5. Segenap bapak dan ibu dosen Fakultas Syari’ah.
6. Segenap karyawan dan karyawati dilingkungan Fakultas Syari’ah UNISNU
Jepara.
7. Bapak dan Ibu tercinta yang telah mencurahkan kasih sayangnya yang tulus
dan ikhlas beserta banyak memberikan bantuan moril, material, arahan, dan
selalu mendoakan keberhasilan dan keselamatan selama menempuh
pendidikan.
8. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi
yang telah banyak memberikan
masukan kepada penulis baik selama dalam mengikuti perkuliahan maupun
dalam penulisan skripsi ini.
Kepada mereka semua penulis tidak dapat memberikan apa-apa, hanya
untaian terima kasih dengan tulus dan iringan do’a semoga Allah membalas
semua amal kebaikan mereka. Jazakumullah khairan.
Pada akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih
banyak terdapat kekurangan-kekurangan, sehingga penulis mengharapkan
adanya saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi
ini.
Jepara, 18 september 2015
AHMAD DHAKIRIN
viii
NIM: 1210007
PERSEMBAHAN
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun penelitian ini tidak akan
berarti tanpa adanya dukungan, bantuan, dan kerja sama antara pihak-pihak yang
berperan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh kareana itu pada kesempatan
dengan penuh perasaan tulus penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada :
 Bapak dan ibunda tercinta yang selalu memberikan dukungan dari awal
sampai akhir
 Ke tiga kakakku yang selalu mensuport diriku dalam studiku
 Adik dan saudara-saudaraku yang selalu memberikan semangat
 Teman-teman sepondok Fadlhu Robbirrokhim yang senantiasa menemani
 Teman-teman fakulitas syari’ah yang sudah menemani sampai akhir
perjuangan
 Pembaca yang budiman
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………. ............................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………….ii
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………...iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI…………………………………iv
ABSTRAK ...................................................................................... v
MOTTO……………………………………………………………………vi
KATA PENGANTAR…………………………………………………….vii
HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………ix
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………1
B. PenegasanJudul………………………………………………………….8
C. Pembatasan Masalah…………………………………………………….9
D. Rumusan Masalah……………………………………………………….9
E. Tujuan Penelitian………………………………………………………..9
F. Manfaat Penelitian……………………………………………………...10
G. Tela’ah Pustaka………………………………………………………....10
H. Metode Penelitian………………………………………………………12
x
I.
Sistematika Penulisan Skripsi…………………………………………..14
BAB II KONSEP KEADILAN DALAM ISLAM
A. Pengertian Keadilan…………………………………………………….18
B. Konsep Keadilan Dalam Islam…………………………………………20
1. Pengertian keadilan dalam islam…………………………………….20
2. Dasar penegakan keadilan dalam islam……………………………...24
C. Poligami………………………………………………………………...28
1. Pengertian poligami…………………………………………………28
2. Poligami sebelum islam……………………………………………..30
3. Poligami dalam islam………………………………………………..31
4. Sejarah poligami……………………………………………………..33
BAB III ADIL POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM
A. Penafsiran Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 3…………………………35
B. Hukum-hukum Dalam Poligami ………………………………………39
C. Alasan Berpoligami…………………………………………………….41
D. Poligami Rasulullah SAW……………………………………………..45
E. Pandangan Ulama Terhadap Adil Dalam Poligami……………………47
BAB IV ANALISIS KEADILAN YANG DIMAKSUD DALAM SYARAT
POLIGAMI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
A. Keadilan Dalam Pligami………………………………………………..52
B. Adil Yang Tidak Dalam Kekuasaan Manusia………………………….59
xi
C. Keadilan Menurut Madzhab Empat……………………………………62
D. Kiat-kiat Dalam Menjaga Keadilan……………………………………63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………….69
B. Saran-saran…………………………………………………………….70
C. Penutup………………………………………………………………...71
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xii
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Poligami adalah masalah-masalah kemanusiaan yang tua sekali.
Hampir seluruh bangsa di dunia, sejak zaman dahulu kala tidak asing dengan
poligami. Misalnya sejak dulu kala poligami sudah dikenal orang-orang Hindu,
bangsa Israel, Persia, Arab, Romawi, Babilonia, Tunisia dan lain-lain1
Allah berfirman,
            
             
   
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S
An-Nisa’: 3)2
1
Zakiah Darajat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1985), hlm. 17.
2
Al-Qur’an dan terjemahannya, Depag RI, Jakarta, 1989, hlm. 78.
1
2
Penafsiran terhadap ayat ini berbeda-beda. Berbagai alasan
dan
persepektif diungkapkan untuk memperkuat pendapat yang berbeda tersebut,
yaitu3 :
Pertama poligami adalah sunah muakkadah. Dengan mengampanyekan
poligami hingga seolah poligami adalah wajib. Dengan menafsirkan ayat
poligami yang memang bunyinya seolah seperti mendahulukan poligami dan
bila tidak mampu, barulah beristri satu saja.
Kedua
mencegah
poligami
dengan
berpendapat
bahwa
islam
mengutamakan keadilan. Oleh karenanya poligami dan termasuk hukum waris
hendaknya mengikuti asas keadilan. Mereka juga berpendapat bahwa
Rasulullah tidak pernah melakukan poligami kecuali hanya pada janda saja.
Tidak pernah kepada wanita yang gadis. Memang ketika menikahi Aisyah,
status Rasulullah adalah seorang duda yang ditinggal istrinya.
Ketiga poligami dasarnya mubah atau boleh, bukan wajib atau sunah.
Karena melihat ayatnya menegaskan harus adil. Hal mana yang tidak dimiliki
oleh semua orang, jadi syarat utama adalah adil terhadap istri dalam nafkah
lahir dan batin. Jangan sampai salah satunya tidak diberi cukup nafkah. Hal itu
adalah kezaliman. Sebagaiman hukum menikah yang bisa memiliki banyak
bentuk hukum, begitu juga dengan poligami, hukumnya sangat ditentukan
kondisi seseorang, bahkan hanya bukan kondisi dirinya tetapi juga menyangkut
3
Lukman A.Iirfan, Nikah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2007), hlm. 91-92.
3
kondisi dan perasaan orang lain, hal ini bisa saja istrinya atau keluarga
istrinya.4
Keempat poligami adalah makruh bagi orang yang mempunyai satu istri
yang mampu memelihara dan mencukupi kebutuhannya.
Kelima Adapun orang yang lemah ( tidak mampu ) untuk mencari
nafkah kepada istrinya yang kedua atau khawatir dirinya tidak bisa berlaku adil
diantara kedua istrinya, maka haram baginya untuk menikah lagi.5
Allah SWT membolehkan berpoligami sampai 4 orang istri dengan
syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil dalam melayani istri, seperti
urusan nafkah, tempat tinggal, giliran dan segala hal yang bersifat lahiriah.
Jika tidak bisa berlaku adil maka cukup satu istri saja (monogami).6
Kata-kata “poligami” terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara
etimologi, poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”. Jadi poligami itu beristri
banyak. Secara terminology, poligami yaitu, “seorang laki-laki mempunyai
lebih dari satu istri”.7 Dan atau, “seorang laki-laki beristri lebih dari seorang,
tetapi dibatasi paling banyak empat orang”.8
Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan poligami sebagai
alternative ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks
laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya agar
4
Ibid., hlm. 92.
Ibid., hlm. 92-93.
6
Abdul Rohman Ghozali, Fikih Munakahat, (jakart: PT Kencana Prenada Media Group,
2010), cet. Ke-4, hlm. 130.
7
Zakiah Darajat (et al), Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), jilid 2, hlm.
37.
8
Slamet Abidin dan H. Aminudin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV. Pustaka
Setia,1999), cet ke-1, hlm. 131.
5
4
tidak sampai jatuh kelembah perzinaan maupun perbuatan yang jelas-jelas
diharamkan agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari agar
suami tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang islam dengan mencari
jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi (poligami) dengan syarat bisa berlaku
adil.9
Berkaitan dengan masalah ini, Rasyid Ridha mengatakan, sebagaimana
yang dikutip oleh Masyfuk Zuhdi10 sebagai berikut :
Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko / madharat
dari pada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya ( human nature )
mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut
akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam keluarga poligamis.
Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan
berkeluarga, baik konflik antara istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya,
maupun konflik antara istri beserta anaknya masing-masing. Karena itu hukum
asal dalam perkawinan menurut islam adalah monogami, sebab dengan
monogami akan mudah menetralisasi sifat / watak cemburu, iri hati, dan suka
mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis.
Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah
terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam
kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula
9
H.M.A. Tihami dkk, Fikih Munakahat, Kajian Fiqih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010), cet ke-2, hlm. 358.
10
Musyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: PT. Gita
Karya, 1988), cet. Ke-1, hlm. 12.
5
membahayakan keutuhan keluarga. Karena itu poligami hanya diperbolehkan,
bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut
Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment. Maka dalam
keadaan demikian suami boleh diizinkan berpoligami dengan syarat ia benarbenar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil
dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.11
Suami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam urusan: pangan,
pakaian, tempat tinggal, giliran berada pada masing-masing istri, dan lainnya
yang bersifat kebendaan, tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan
yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang bersal dari
golongan bawah. Jika masing-masing istri mempunyai anak yang jumlahnya
berbeda, atau jumlahnya sama tetapi biaya pendidikannya berbeda, tentu saja
dalam hal ini harus menjadi pertimbangan dalam memberikan keadilan.12
Beberapa pendapat menyatakan asas keadilan bukan sekadar keadilan
kuantitatif semacam pemberian materi atau waktu gilir antar-istri, tapi
mencakup keadilan kualitatif (kasih sayang yang merupakan fondasi dan
filosofi utama kehidupan rumah tangga)13 Pendapat senada juga dilontarkan
Sayyid Qutub. Menurutnya poligami merupakan suatu perbuatan rukshah.
Karena merupakan rukshah, maka bisa dilakukan hanya dalam keadaan
darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini disyaratkan bisa berbuat
adil terhadap istri-istri. Keadilan yang dituntut di sini termasuk dalam bidang
11
Ibid., hlm. 131.
Abdul Rahman Ghozali, op.cit., hlm. 132.
13
Ishraqi, Vol. IV Nomor 2, Juli-Desember 2008, hlm. 143.
12
6
nafkah, mu’amalat, pergaulan serta pembagian malam. Sedang bagi calon
suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu saja.
Sementara bagi yang bisa berbuat adil terhadap istrinya, boleh poligami dengan
maksimal hanya empat istri.14
Pendapat senada juga dilontarkan oleh Mahmud Muhammad Thaha
dalam bukunya yang berjudul Ar-Risalah ats-Tsaniyah min al-Islam. Ia
berpendapat bahwa keadilan dalam poligami adalah sesuatu yang sangat sulit
diwujudkan karena tidak hanya mencakup kebutuhan materi, namun juga
keadilan dalam mendapat kecenderungan hati.15 Pendapat ini didukung oleh alDhahhak serta golongan ulama lainnya yang menyatakan bahwa maksud adil
dalam poligami adalah adil dalam segala hal, baik dalam hal materi (kebutuhan
yang terkait dengan jaminan atau fisik) maupun dalam hal imateri (perasaan).
Seorang suami dituntut adil dalam hal kecintaan, kasih sayang, nafkah, rumah,
giliran menginap dan semacamnya.16
Berbeda dengan pendapat yang diatas, terdapat pula pendapat yang
menyatakan bahwa keadilan dalam poligami hanya dalam kebutuhan materi.
mengenai adil terhadap istri-istri dalam masalah cinta dan kasih sayang, Abu
Bakar bin Araby mengatakan bahwa hal ini berada di luar kesanggupan
manusia, sebab cinta itu adanya dalam genggaman Allah SWT yang mampu
membolak-balikannya menurut kehendak-Nya. Begitu pula dengan hubungan
seksual, terkadang suami bergairah dengan istri yang satu, tetapi tidak
14
Ishraqi, op.cit, hlm. 133.
Mahmud Muhammad Thoha, (Terj. Khairon Nahdiyyin), Arus Balik Syari’ah (Terj. ArRisalah ats-Tsaniyah min al-Islam), (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 169.
16
Syihab al-Din Abi al-Abbas Ahmad bin Muhammad al-Syafi’I al-Qasthalani, Irsyad alSyari Syarah Shohih al-Bukhari, Juz XI, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), 1996, hlm. 502.
15
7
bergairah dengan istri yang lainnya. Dalam hal ini, apabila tidak disengaja, ia
tidak
terkena hukum berdosa karena berada diluar kemampuannya. Oleh
karena itu dia tidak dipaksa untuk berlaku adil.17
Pendapat diatas berdasarkan pada hadist Nabi SAW yakni ketika beliau
merasa berdosa tidak mampu berbuat adil kepada para istri beliau. Ya Allah,
inilah kemampuanku, dan janganlah engkau bebankan aku kepada sesuatu
yang tidak aku mampui.18 Hal ini sependapat dengan Saiful Islam Mubarok
yaitu Kecintaan adalah karunia Allah yang telah ditanamkan kedalam hati siapa
yang ia kehendaki dan untuk siapa yang ia kehendaki. Rasulullah saw sangat
mencintai Aisyah melebihi cintanya kepada yang lain. Itulah karunia yang
Allah berikan kepada Aisyah melalui Rasul-Nya.
‫عن عائشة قالت كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقسم فيعدل ويقول اللهم‬
‫هذا قسمي فيما املك فال تلمين فيما متلك وال املك‬
Dari Aisyah berkata,”adalah Rasulullah saw. Membagikan dengan
adil dan beliau bersabda,’inilah langkah dalam membagi apa yang aku
miliki, maka janganlah Engkau cela pada apa yang engkau miliki dan
tidak aku miliki.”(H. R Ibnu Khubban)19
Perbedaan pendapat tentang konsep adil dalam poligami ini menarik
untuk dikaji, Hal tersebut dikarenakan semua pendapat yang telah
17
Selamet Abidin dan H. Aminudin, op.cit., hlm. 136-137.
Dr. Abu Yasid, Fiqh Realitas: Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam
Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 353.
19
Ibnu Khuban, Al-Ihsan fi Taqribi Shohihi ibnu Khuban, (Bairut: Muasasatu Risalah,
1408 H), juz. 10, hlm. 6.
18
8
dikemukakan dan akhirnya menjadi hukum diantaranya berasal dari dalil-dalil
al-Qur’an yang diterjemahkan dengan metodenya masing-masing.
Lalu bagaimanakah konsep adil dalam pernikahan dalam hukum islam?
Apakah adil dalam hukum Islam hanya cukup materi saja atau juga immateri?
Lalu bagaimanakah sikap-sikap adil dalam menjaganya terhadap hak-hak istri
atas suami?
Penulis merasa tertarik untuk menggali secara lebih mendalam tentang
konsep adil dalam berpoligami Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu
adanya melakukan penelitian dan mencoba memahami lebih lanjut, sehingga
penulis mengangkat sebuah judul skripsi : “STUDI ANALISIS KEADILAN
DALAM BERPOLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM”
B. Penegasan Istilah Judul
1. Analisis
Baca atau membaca dan melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis,
baik dengan melafadzkan dengan lisan ataupun hanya dengan hati.20
2. Keadilan
Adil di dalam al-Quran adalah al adl, al qisth, dan al mizan dan dengan
menafikkan kezaliman.21
3. Poligami
Kata-kata “poligami” terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimologi,
poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”. Jadi poligami itu beristri banyak.
Secara terminology, poligami yaitu, “seorang laki-laki mempunyai lebih
20
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jogjakarta, 1996), hlm. 51.
M. Quraish Shihab, Wawasan Al Quran : Tafsir Maudhu’I atau Berbagai Persoalan
Umat, Bandung, Mizan cet, XII, 2010, hlm. 111.
21
9
dari satu istri”.22 Dan atau, “seorang laki-laki beristri lebih dari seorang,
tetapi dibatasi paling banyak empat orang”.23
4. Hukum Islam
Hukum Islam adalah representasi pemikiran Islam, manifestasi yang paling
khas dari pandangan hidup Islam intisari dari Islam itu sendiri24
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan yang penulis lakukan adalah mengfokuskan pada kajiankajian yang akan diteliti sesuai dengan metode kepustakaan dengan teori-teori
yang telah tersedia. Yaitu ingin mengetahui maksud dari makna keadilan yang
diterapkan oleh hukum agama Islam dalam lingkup keluarga berpoligami.
D. Perumusan Masalah
Untuk mempermudah dalam penyusunan skripsi, penulis merumuskan
beberapa masalah saja, adapun rumusan masalah yang penulis paparkan dalam
penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah konsep keadilan berpoligami dalam agama Islam
2. Bagaimanakah ketentuan dalam menjaga keadilan dalam keluarga poligami.
E. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian akan menjadi bernilai apabila memberikan hasil tujuan
yang ditelitinya, tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang konsep keadilan berpoligami
menurut hukum Islam.
22
Zakiah Darajat (et al), op.cit., hlm. 37.
Slamet Abidin dan H. Aminudin, op.cit., cet ke-1, hlm. 131.
24
Joseph Schacht, pengantar hukum islam, (Yogyakarta: penerbit islamika,2003),cet, ke1. Hlm. 1.
23
10
2. Untuk mengetahui dan memahami upaya-upaya dalam menjaga pelaksanaan
berlaku adil terhadap istri dan anak dalam keluarga poligami.
F. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat antara
lain sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan dalam khasanah
pemikiran hukum agama islam, seiring berkembangnya permasalahanpermasalahan terhadap hukum islam, agar secara terus-menerus dikaji untuk
membedakan antara yang benar dan yang salahdan menegakkan keadilan
berdasarkan alquran dan as- sunnah.
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan dalam pemikiran
bagi umat islam. Khususnya pada masyarakat dan keluarga yang menjalin
rumah tangga dengan berpoligami itu sendiri.
3. Akademik
Diharapkan dapat sebagai referensi dalam pengembangan ilmu syariah dan
menambah koleksi kepustakaan, disamping itu sebagai sumbangan karya
ilmiah kepada para pembaca umumnya dan mahasiswa akademika UNISNU
Jepara pada khususnya.
G. Telaah Pustaka
Beberapa penelitian yang bersangkutan dengan masalah poligami
memang sudah banyak dibicarakan sebelumnya, maka untuk mengetahui lebih
11
jelas penelitian ini, terlebih dahulu mengetahui penelitian-penelitian dan hasil
pemikiran sebelumnya.
Diantaranya adalah hasil pemikiran DR. Musfir Husain Al-Jahrani
dalam bukunya yang berjudul poligami dari berbagai persepsi. Didalamnya
penulis menjelaskan pendapat-pendapat dari berbagai golongan ulma.
Selain itu terdapat pula buku karangan Abdul Halim Abu Asyukoh,
yang berjudul kebebasan wanita jilid ke-5, buku tersebut mengulas kedudukan
wanita dalam keluarga dan hak-hak yang seimbang antara suami dan istri.
Dalam skripsi sebelumnya mengenai poligami juga telah dibahas
diantaranya skripsi oleh Niswatul Khasanah “Akibat Hukum Bagi Wanita
yang Dipoligami Tanpa Persetujuan Istri” Fakultas Syariah UNISNU Jepara
(2011). Dan skripsi oleh Herry Prasetyo “Study Analisis Terhadap Pendapat
Madzhab Syafi’i Tentang Asas Poligami Dalam Perkawinan Islam” Fakultas
Syariah UNISNU Jepara (2012).
Dalam jurnal oleh H.R.A.G. Hanafi Martadikusumah “Stigma Poligami
dan Kesetaraan Jender”. Di dalamnya membahas Stigma poligami dalam
kehidupan masyarakat, terjadi akibat pengaruh sejarah perkawinan masyarakat
Arab pra-Islam, pola budaya kehidupan patriarkhi dalam masyarakat berbagai
lingkungan etnis, dan pemahaman yang keliru terhadap sumber ajaran agama
(Islam), karena imbas pengaruh pola budaya tersebut. Terdapat pula jurnal oleh
Mutimmatul Faidah “Potret Kehidupan Rumah Tangga Pelaku Poligami”. Di
dalamnya dibahas terdapat tiga pola dalam pemberian nafkah lahir, yaitu :
12
pemberian nafkah berbasis kebutuhan; pemberian nafkah berbasis tuntutan; dan
pemberian nafkah berbasis kerelaan.
Beberapa karya ilmiah diatas merupakan karya ilmiah yang membahas
tema poligami dari berbagai perspektif. Penulis merasa belum ada karya ilmiah
yang membahas tentang keadilan dalam poligami menurut agama Islam dan
menganalisisnya secara mendalam. Diantaranya dibahas apakah adil secara
materi saja atau juga immateri, dan apakah adil yang harus sama persis atau
dengan melihat sesuai dengan kebutuhan saja. Penelitian ini diharapkan
mampu melengkapi (mungkin lebih tepatnya memberikan kontribusi kecil)
terhadap pembahasan tema poligami yang telah ada.
H. Metode Penelitian
1. Jenis
Jenis penelitian ini adalah studi library research, yaitu penelitian yang
membatasi kegiatannya pada bahan-bahan koleksi perpustakaan saja tanpa
memerlukan riset lapangan.25 Dengan metode penelitian deskriptif atau
penelitian yang bermaksud membuat penyandraan secara sistematis, faktual,
dan akurat mengenahi fakta-fakta dan sifat-sifat populasi tertentu.26
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian yang lebih menekankan
analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif, penulis
menggunakan penyimpulan deduktif ketika penulis menggunakan buku-
25
Hadari Nawawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajahmada
University Press, 1996), hlm. 60.
26
Masyhuri, MP, dan M. Zainuddin, Metodologi Penelitian, (Bandung : PT Refika
Aditama, 2008), Cet. 1, hlm. 34.
13
buku yang berkaitan dengan judul skripsi penulis, yaitu dari teori-teori yang
berhubungan dengan penelitian penulis, kemudian penulis mengambil
sebuah kesimpulan.
2. Sumber Data
Dalam hal ini, penulis berusaha mengumpulkan data-data yang berhubungan
dengan penelitian penulis, dimana ada korelasinya dengan masalah yang
ingin dipecahkan. Kegiatan mencari data memang merupakan hal yang
tidak dapat dihindarkan oleh seorang penulis.
a. Sumber Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber
aslinya. Data primer dapat berbentuk opini subyek secara individual atau
kelompok, dan hasil observasi terhadap karakteristik benda (fisik),
kejadian, kegiatan dari hasil suatu pengujian tertentu. Penulis mengambil
dari data primer berupa
a. Kitab. “Tahriirul Mar’ah Fi’asrir-risaalah” karya Abdul Halim
Abu Asyuqqah, “Irsyad al Syari Syarh Shahih al-Bukhari” karya
Syihab al-Din Abi al-Abbas Ahmad bin Muhammad al-Syafi’i alQasthalani.
b. Buku. “Poligami Dari Berbagai Persepsi” karya DR. Musfir
Husain Al-Jahrani, “Poligami Antara Pro Dan Kontra” karya
Saiful Mubarok, “Nikah” karya Ahmad Irfan
b. Sumber Data Sekunder
14
Data skunder yaitu data yang diperoleh dari mempelajari buku-buku
lliteratur dan tulisan para ahli yang berhubungan dengan materi
pembahasan dari studi-studi yang telah dilakukan.27
c. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dengan menggunakan study dokumen yaitu
mencari data mengenai hal-hal yang berkaitan dengan menyelidiki
benda-benda tertulis, seperti catatan harian, dokumen, peraturanperaturan dan lain sebagainya.28 Istilah dokumentasi berasal dari kata
document yang artinya barang-barang tertulis di dalam melaksanakan
sebuah penelitian.29 Dengan mencari data mengenai hal-hal yang berupa
catatan , transkip, buku, surat kabar, majalah, dan lain-lain yang terkait
dengan penelitian.
d. Metode Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang
diperoleh
dari
buku
dan
dokumentasi,
dengan
cara
mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unitunit melakukan sintesia, menyusun kedalam pola, memilih mana yang
penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga
mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.30
I. Sistematika Penulisan Skripsi
27
Masri Singarimbun dan Sofiyan Effendi, Metode Penelitian Survei, (Yogyakarta:
Lembaga Penelitian Dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES), 1981), hlm. 11.
28
Koentjaraningrat, Metode-metode penelitian Masyarakat, (Jakarta : Gramedia, 1991),
hlm. 46.
29
Ridwan, Pelajaran Mudah Penelitian: untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Muda,
(Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 77.
30
Ibid., hlm. 89.
15
Untuk mengetahui isi skripsi ini secara menyeluruh, sebagai jalan untuk
memahami secara sistematis, maka penulis menyusun sistematis sebagai
berikut:
1. Bagian Muka
terdiri atas:
a. Halaman judul
b. Halaman nota persetujuan pembimbing
c. Halaman pengesahan
d. Pernyataan
e. Motto
f. Persembahan
g. Kata pengantar
i. Abstraksi
j. Daftar isi dan daftar tabel
2. Bagian Isi
Bagian ini merupakan inti dari skripsi yang terdiri atas:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini memuat antara lain :
a. Latar belakang masalah
b. Penegasan istilah judul
c. Pembatasan masalah
d. Rumusan masalah
e. Tujuan penelitian
16
f. Manfaat penelitian
g. Telaah pustaka
h. Metodologi penelitian
i. Sistematika penulisan skripsi
Bab II : Kajian Pustaka
Bab ini berisi tentang landasan teori mengenai adil dan
poligami dalam hukum Islam yang berisikan:
a. Pengertian keadilan
b. Konsep keadilan dalam Islam
c. Poligami
Bab III : Obyek Kajian
Bab ini berisi tentang pengertian adil berpoligami dalam
hukum Islam:
a. Penafsiran alquran surat An-Nisa’ ayat 3
b. Hukum-hukum dalam poligami
c. Alasan berpoligami
d. Poligami Rasulullah
e. Pandangan ulama terhadap adil dalam poligami
Bab IV : Hasil Penelitian Dan Pembahasan
Bab ini berisi tentang analisis dan pembahasan tentang
keadilan yang di maksud dalam syarat poligami dalam pandangan
hukum Islam. Dan kiat-kiat dalam menjaga sikap adil
Bab V : Penutup
17
Bab ini berisikan :
a. Kesimpulan
b. saran-saran
c. penutup
3. Bagian Akhir
Pada bagian ini dapat dicantumkan pula daftar pustaka, lampiranlampiran dan daftar riwayat pendidikan penulis.
BAB III
ADIL POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM
A. Penafsiran Al-Quran Surat An-Nisa’ Ayat 3
            
              
  
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak
perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, Maka kawinilah
wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(Q. S
An-Nisa’: 3).1
1. Kosakata
Dalam tafsir Al-Mawardi, pengertian dari potongan ayat di bawah ini
di ta’wilan.
ِ
ِ
ِ ِ
‫اب لَ ُك ْم ِّم َن الْنِّ َسآء‬
َ َ‫َوإ ْن خ ْفتُ ْم أَالَّ تُ ْقسطُواْ ِِف الْيَتَ َامى فَانك ُحواْ َما ط‬
Pertama, jika takut tidak bisa berbuat adil dengan menikahi
perempuan yatim, maka nikahilah perempuan khalal yang selain yatim.
1
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 78.
35
36
Kedua, khawatir tidak adil terhadap hartanya perempuan yatim, tetapi tidak
khawatir terhadap adil kepada perempuan.2
‫خفتم‬
: Jika kamu yakin atau tahu. Diungkapkan dengan kata-kata “Alkhauf”, yaitu sebagai pemberitahuan bahwa sesuatu yang
diketahui itu harus ditakuti (Ali al-Sais: 2: 22).3
‫تكسطوا‬
: Adil dan lurus seperti dikatakan
‫اقسط الرجل ادا عدل‬
‫اليتامى‬
: Seseorang yang ditinggalkan mati oleh ayahnya. Sedang yang
ditinggal mati oleh ibunya disebut “‫”العجي‬, adapun yang
ditinggal mati oleh ayah dan ibu disebut “‫”اللطيم‬. Seseorang
disebut dengan yatim apabila dalam kondisi belum baligh,
tetapi bila telah balihg maka hilanglah predikat yatim ( Ali alShabuni: 1981: 2: 147)
‫ماطاب‬
: Sesuatu yang menjadikan jiwa seseorang cenderung kapadanya.
)‫(ما مال اليو نفوسكم‬
‫ تَ ْع ِدلُوا‬: Adil diantara istri-istrinya mengenai nafakah
‫تعولوا‬
2
dan pembagian.4
: Cenderung dan berlaku curang, sebagaimana dikatakan
Muhamad bin Muhammad bin Mahmud, Tafsir Maturidi, (Bairut, Libanon: Darul Kutub
Al-Alamiah, 2005), hlm. 47.
3
Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Akhkam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008),
hlm.168.
4
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Makhali, Tafsir Jalalain, (Semarang: Toha Putra),
hlm. 70.
37
‫علت علي اي جرت علي‬
(wanita itu membebaniku, yakni ia
berbuat curang kepadaku) yaitu bila berlaku curang padaku,
Imam Syafi’I menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan,
‫اال تكثرو عيالكم‬, yaitu agar tidak memperbanyak keturunana.5
2. Sebab Turunnya Ayat
Sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim,
Nasa’I, dan baihaki bahwa Zubair bertanya kepada bibinya, Aisyah r.a.
tentang ayat ini, Aisyah berkata: “Ada seorang pria yang sedang mengurus
dan memelihara anak yatim perempuan, dan dia berkeinginan untuk
mengawininya karena kecantikan dan hartanya, tetapi dia tidak mampu
untuk memberikan maskawin yang layak bagi sianak yatim tersebut. lalu dia
dilarang untuk menikahi anak yatim itu dan dipersilahkan untuk mengawini
wanita lain dua, tiga, atau empat (Wahbah Al-Zuhaeli: 3: 233)6
3. Munasabah
Pada ayat yang lain Allah SWT menerangkan tentang kewajiban
memelihara anak
yatim bersama hartanya
dan diharuskan untuk
menyerahkan harta tersebut kepadanya apabila ia telah balaigh dan dewasa,
serta dilarang pula untuk memakan dan mencampur adukkan antara harta
anak yatim dengan hartanya, kemudian pada ayat ini, Allah melarang untuk
5
6
Ibid., hlm. 168.
Ibid., hlm. 169.
38
menikahi anak yatim bila tidak mampu berlaku adil, atau hanya sekedar
tertarik kepada hartanya saja. Oleh karena itu jika ia mampu berlaku adil,
lebih baik ia menikahi wanita lain yang ia suka dua, tiga, atau empat.7
Syarat bila menikahi perempuan lebih dari satu di sini adalah harus
bisa adil yang berkaitan dengan nafakah dan pembagian.8
4. Pengertian
Firman Allah SWT….‫وربع‬
‫…مثىن وثلث‬.(dua, tiga, empat). Para ahli
bahasa sependapat termasuk kalimat bilangan dan pengulangan yang
masing-masing menunjukkan kelipatan dan pengulangan. Oleh karena itu
pengertiannya adalah dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat, jadi seolah-olah
ayat ini menyatakan “kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai
dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat.9
Disyariatkannya meringkas menikahi satu istri, di sini mengandung
isyarat bahwa disyariatkannya adil bila menikahi beberapa istri, yang
dimaksud adil terhadap istri, yaitu adil di dalam menginap, adil dalam
persamaan nafakah sehari-hari dari makan, minum, pakaian dan tempat
tinggal. Adapun adil dalam segi masalah hati seperti rasa cinta dan kasih
sayang adalah tidak disyariatkan untuk adil karena bukan kekuasaan
7
Ibid.
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Makhali, Tafsir Jalalain, op.cit., hlm. 70.
9
Ibid., hlm. 173.
8
39
manusia.10 Kalimat
‫مثىن وثالث ورباع‬
dibaca nasab Karen sebagai badal.
Bahwasanya kalimat tersebut adalah kalimat pengulangan, menunjukkan arti
dua-dua, tiga-tiga, empat-empat.11
Jumhur Ulama telah sepakat bahwa poligami tidak dibenarkan lebih
dari empat orang istri, berdasar ungkapan ayat tersebut dia atas.
B. Hukum-hukum dalam Poligami
1. Hukum Poligami
Jumhur Ulama berpendapat bahwa amr/perintah dalam ayat surat
An-Nisa’ ayat 3 menunjukkan kebolehan (ibahah). Sebagaimana firman
Allah.
‫كلوا واشربوا‬
(makan dan minumlah). Menurut pendapat lain,
amr/perintah tersebut menunjukkan kepada wajib. Tetapi bukan wajib nikah
melainkan wajib membatasi jumlah maksimal poligami yakni hanya empat
orang istri. Sedangkan Al-Zahiriah berpendapat bahwa amr/perintah disini
menunjukkan kepada wajibnya kawin mereka berpegang teguh dengan zahir
ayat. Sedangkan perintah pada dasarnya menunjukkan kepada wajib.
Namun, pendapat ini dibantah oleh jumhur ulama dengan mengemukakan
firman Allah:
10
Wahiatun bin Musthofa al-Zuhaili,At-Tafsir Al-Munir dalam Aqidah dan Syariat,
(Mesir: Darul Fikri, 1418 H), juz. 4, hlm. 235.
11
Ibid., juz. 4, hlm. 231.
40
          
           
        
          
          
           
“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia
boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu
miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari
sebahagian yang lain, Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan
mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang
merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan
bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya; dan apabila mereka Telah menjaga diri dengan kawin,
Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas
mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang
yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di
antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q. S An-Nisa’: 25).12
2. Jumlah Istri
Tidak halal bagi seseorang untuk melakukan poligami lebih dari
empat orang pada saat yang sama. Tinjauan historis empat orang istri bagi
seorang suami bukanlah penambahan tetapi pembatasan, karena pada waktu
turun ayat tersebut, ditemukan banyak orang yang memiliki istri lebih dari
12
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 83.
41
empat, maka Rasulullah menegaskan kepada mereka agar dipilih dari
jumlah tersebut empat orang dan yang lainnya dicerai dengan cara baik.13
3. Tidak dalam Satu Keluarga
Poligami tidak dibenarkan dengan dua wanita yang bersaudara.
Demikian pula dengan seorang wanita bersama bibinya, baik bibi dari pihak
ayah ataupun dari pihak ibu. Larangan tersebut tercantum dalam Al-Quran.
Firman Allah Swt:
      
       
        
          
        
           
“Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu
yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu
isterimu anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau;
13
Saiful Islam Mubarok, Poligami Pro dan Kontra, (Bandung: Syaamil, 2007), hlm. 31.
42
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q. S
An-Nisa’: 23).14
C. Alasan Berpoligami
Sebenarnya yang harus diketahui semua orang adalah bahwa topik
poligami merupakan salah satu kebanggaan Islam karena dapat mengatasi
problem sosial paling rumit yang dihadapi berbagai bangsa dan masyarakat.
Tidak ada solusi yang tidak dapat dilakukan kecuali dengan kembali ajaran
Islam dan menggunakan sistem hukum Islam.15
Alasan pertama dan yang sangat mendasar dari banyaknya praktek
poligami dimasyarakat adalah bahwa poligami merupakan sunnah Nabi dan
memiliki landasan teologis yang jelas yakni surat An-Nisa’ ayat 3. Karena itu
melarang poligami berarti melarang hal yang mubah atau dibolehkan Allah.
Menentang ketetapan Allah berarti berdosa besar.16
Perlu diluruskan pengertian masyarakat yang keliru mengenai sunnah.
Sunnah ialah keseluruhan perilaku Nabi, dalam bentuk ketetapan, ucapan,
tindakan yang mencakup seluruh aspek kehidupan beliau sebagai Nabi dan
Rasul. Akan tetapi di masyarakat pengertian sunnah Nabi selalu dikaitkan
dengan poligami. Ini sungguh mereduksi makna sunnah itu sendiri. Sunnah
Nabi yang paling mengemuka adalah komitmennya yang begitu kuat untuk
menegakkan keadilan dan kedamaian di masyarakat. Jika umat Islam sungguh-
14
Op.cit., hlm. 83.
Muhammad Ash-Shabuni, Nikah Kenapa Mesti Harus Ditunda, ( Jakarta: PT Mizan
Publika, 2004), hlm. 162.
16
Siti Musdah,Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004),
hlm. 49.
15
43
sungguh ingin mengikuti sunnah Nabi, maka seharusnya umat Islam lebih
serius memperjuangkan tegaknya keadilan dan kedamaian. Namun dalam
realitasnya umat Islam mempraktekkan poligami, tetapi melupakan pesan
moral Islam untuk menegakkan keadilan. Itu jauh dari sunnah Nabi, malah
sebaliknya melanggar sunnah.17
Tidak diragukan bahwa Islam menetapkan syariat poligami dengan
adanya alasan-alasan yang sangat tinggi serta membawa maslahat bagi semua
lapisan masyarakat. Alsan-alsan tersebut yaitu:
Pertama mengatasi problem sosial. Problem yang tidak dapat
dipungkiri keberadaannya sehingga menuntut agar berpoligami diterapkan
dalam kehidupan masyarakat yaitu, bertambahnya jumlah wanita melebihi
jumlah pria. Ini adalah realita sosial yang disaksikan disemua Negara meskipun
sedang tidak dilanda perang. Dan berkurangya kaum pria akibat perang.18
Apabila dalam suatu masa jumlah perempuan yang patut nikah lebih
besar dari pada laki-laki, dan bahwa monogami adalah satu-satunya bentuk
suatu perkawinan yang sah, maka sekelompok perempuan akan terlantar tanpa
bersuami dan akan terus kehilangan hak untuk hidup berkeluarga. Dalam
kondisi demikian poligami dipandang sebagai hak bagi kaum perempuan yang
belum menikah, sekaligus sebagai tanggung jawab kaum laki-laki dan kaum
perempuan yang telah menikah.19
17
Ibid., hlm. 50.
Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 18
19
Siti Musdah, op.cit., hlm. 54.
18
44
Kedua mengatasi problem pribadi, poligami sangat berperan dalam
mengatasi problem pribadi yang muncul dengan beberapa sebab separti, istri
mandul, sementara suami sangat berharap untuk memiliki keturunan. Kondisi
ini tidak mendapat jalan keluar kecuali dengan menambah istri (poligami).
Demikian juga ketika keadaan istri tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan
biologis suami, baik karena penyakit atau lainnya.20
Padahal memiliki anak adalah merupakan tuntutan dan sesuatu yang
sangat didambakan, bahkan dianjurkan oleh syara’. Diriwayatkan dari Ma’qil
bin Yasar dari Rasulullah saw, beliau bersabda:
ِ ‫ود‬
)‫فان ُمكاثِر بِ ُك ْم (رواه النسائ‬
َ ُ‫الول‬
ُ ‫تَ َز‬
َ ‫الوُد َوَد‬
َ ‫وجو‬
“kawinilah wanita yang penyayang dan peranak (banyak anak), karena
aku membanggakan banyaknya jumlah kamu.”(HR, Nasai)21
Ketiga
menghindari selingkuh dan zina, argumen yang sering
dilontarkan oleh kelompok yang menolak poligami adalah bahwa dengan
poligami para suami terhindar dari perbuatan mengumbar nafsu seksual mereka
secara semena-mena. Salah satu ajaran agama adalah mendidik manusia agar
mampu menjaga organ-organ reproduksinya dan tidak mengumbar nafsu
seksualnya. Sedemikian itulah akhlak Islam yang telah dicontohkan dengan
sempurna pada diri Nabi. Salah satu cara untuk menjaga kesucian organ-organ
reproduksi itu adalah dengan melalui perkawinan, oleh karena itu, perzinaan,
20
21
Saiful Islam Mubarok, Poligami Pro dan Kontra, op.cit., hlm. 20.
Shahih Sunan Nasai: Kitab An-Nikah, Hadis no. 3026.
45
selingkuh, dan segala bentuk hubungan seksual yang tidak sah diharamkan
dalam Islam.22
D. Poligami Rasulullah SAW
Musuh Islam menjadikan poligami Rasulullah sebagai pintu penghinaan
kepada Islam. Mereka menuduh Islam sebagai agama yang mengikuti tuntutan
syahwat, mereka apriori terhadap kondisi dimana Rasulullah berada dan sebabsebab beliau berpoligami. Tidak diragukan bahwa beliau setelah ditinggal
Khadijah, beliau tidak menikah selain dengan Saudah binti Zam’ah dan tidak
menambah istri kecuali setelah berdiri daulah Islamiah di Madinah.23 Tiadalah
Rasulullah memperistri beberapa orang istri kecuali setelah menginjak usia tua,
yaitu usia 50 tahun.24 Hal itu membuktukan bahwa poligami Rasulullah tidak
berlangsung kecuali karena tuntutan syariat dan kepentingan dakwah.25
Umat Islam hendaknya menyadari bahwa perkawinan Nabi yang
monogamy dan penuh kebahagiaan itu berlangsung selama 28 tahun. Dua
tahun setelah Khatijah wafat baru Nabi menikah lagi, yaitu dengan Saudah bint
Zam’ah dan ketika itu usia Saudah sudah agak lanjut, tidak berapa lama setelah
menikahi Saudah. Nabi menikah lagi dengan Aisyah bint Abu Bakar. Setelah
Aisyah Nabi berturut-turut menikahi Hafsah bint Umar ibn Al-Khattab, Zainab
bint Jahsy, Zainab bint Khuzaimah, Ummu Salamah, Ummu Habibah,
Maimunah bint Haris Juwayriyah bint Haris, Shafiyah bint Huyay. Perkawinan
22
Siti Musdah, op.cit., hlm. 61.
Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 35.
24
Muhammad Ali Ash Shabuni, Keagungan Poligami Rasulullah, Bantahan Terhadap
Syubhat dan Kebatilan Seputar Poligami Rasulullah, ( Solo: Pustaka Arafah, 2002), hlm. 14.
25
Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 35.
23
46
Nabi dari tiga sampai terakhir semuanya berlangsung di Madinah dan terjadi
dalam waktu rentang relatif pendek.26
Maka pernikahan Rasulullah bukanlah atas dasar nafsu dan syahwat,
namun untuk sebuah hukum yang agung, tujuan yang mulia, cita-cita yang
tinggi, supaya musuh-musuh Islam mau mengakui kemulian dan keagungan
Rasulullah saw. Meninggalkan sifat sentiment (ta’asub) buta dan untuk
menundukkan akal dan perasaan. Pada pernikahan ini akan ditemui teladan
yang tinggi pada pribadi yang utama lagi mulia. Maka hikmah dari menikahnya
Rasulullah dengan beberapa istri sangat banyak, di antaranya:
1. Hikmah Pengajaran
Tujuan dasar dari pernikahan Rasul dengan beberapa istri adalah
melahirkan sejumlah pengajar untuk kaum wanita yang mengajari mereka
tentang hukum-hukum syariat. Karena wanita adalah bagian dari
masyarakat, sedang telah diwajibkan atas mereka tugas-tugas yang tidak
dibebankan pada kaum lelaki.27
Banyak sekali dari kaum perempuan yang malu untuk bertanya
kepada Rasulullah tentang masalah-masalah syariat terkhusus yang
berkaitan dengan mereka sendiri seperti hukum-hukum haidh, nifas, janabat,
perkara-perkara suami istri dan hukum-hukum yang lain, dan kadang wanita
26
Siti Musdah, op.cit., hlm. 76.
Muhammad Ali Ash Shabuni, Keagungan Poligami Rasulullah, Bantahan Terhadap
Syubhat dan Kebatilan Seputar Poligami Rasulullah, op.cit., hlm. 17.
27
47
telah dikalahkan oleh rasa malunya ketika hendak menanyakan pada Rasul
tentang sebagaian masalah-masalah ini.28
2. Hikmah Sosial
Rasulullah telah menikahi sebagaian wanita untuk menjinakkan dan
memepersatuakan kabilah-kabilah di sekitar beliau. Adalah sebuah
kewajaran jika seseorang menikahi sorang wanita dari sebuah kabilah atau
sebuah keluarga sehingga terciptalah diantara kedua belah pihak hubungan
kekerabatan, dan itulah suatu kewajaran yang menimbulkan pertolongan dan
penjagaan (demi kelangsungan da’wah).29
E. Pandangan Ulama Terhadap Adil dalam Poligami
Adil itu mudah diucapkan, namun sangat berat diaplikasikan. Adil
terhadap diri sendiri saja sulit apalagi adil kepada lebih dari satu istri. Ada
sebagaian orang yang mampu berlaku adil, namun adapula yang tidak mampu.
Bagi yang mampu menegakkan bersikap adil terhadap seluruh anggota
keluarganya, berarti telah memenuhi salah satu syarat melakukan poligami.30
Abu Syuqqoh menambahkan dengan syarat mampu memberi nafkah pada istriistrinya dan anak-anaknya serta orang yang menjadi tanggungannya.31
Adil disini berhubungan dengan kewajiban suami terhadap istri
terutama dalam hal materi, seperti menyediakan rumah, pakaian, makanan,
28
Ibid., hlm. 17.
Ibid., hlm. 29.
30
Cahyadi Takariawan, Bahagiakan Diri dengan Satu Istri,( Solo: Era Intermedia, 2007),
hlm. 119.
31
Abu Syuqqah, kebebasan wanita, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 389.
29
48
minuman, bermalam, serta hal-hal yang berhubungan dengan pergaulan lainnya
yang masih mungkin diusahakan. Agar tidak keluar dari kemampuan
manusia.32 Surat An-Nisa’ ayat 3. Merupakan dasar keadilan yang harus
ditegakkan. Keadilan yang dimaksut adalah keadilan yang mampu diwujudkan
manusia dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu persamaan istri-istri dalam
urusan sandang pangan, rumah tempat tinggal, dan perlakuan yang layak
terhadap mereka masing-masing.33
Persyaratan adil dalam poligami adalah karena pada umumnya laki-laki
yang telah mendapat istri muda, maka istri tuanya ditinggal begitu saja atau
ditelantarkan. Hal ini adalah untuk mengingatkan setiap waktu kepada laki-laki
yang melaksanakan poligami.
Para ulama fiqih ataupun ulama tafsir berpendapat bahwa adil terhadap
para istri itu dibuktikan dengan sikap adil dalam hal memberikan nafkah
mereka, baik berupa makan, minum, selanjutnya mereka berpendapat bahwa
adil yang menjadi syarat mutlak dalam berpoligami slain hal-hal mengenai di
atas, juga meliputi adil dalam pembagian waktu dan menggilir istri-istri.34
Adapun keadilan dalam urusan yang tidak mampu diwujudkan dan
disamakan seperti cinta atau kecenderungan hati, maka suami tidak dituntut
mewujudkanya. Allah berfirman dalam suarat Al-Baqarah: 286
32
33
hlm. 58.
34
Saiful Islam Mubarok, op.cit, hlm. 81.
Musfir Husain, Poligami Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),
Supardi Mursalin, Menolak Poligami, Study Tentang Undang-undang Perkawinan dan
Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 25.
49
               
             
                
        
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak
sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami
terhadap kaum yang kafir." (Q.S Al-Baqarah: 286)35
Adapun keadilan rasa cinta dalam hati, bukan wewenang manusia dan
tidak dapat diupayakan manusia. Hal itu merupakan aturan Allah yang tidak
dapat berubah dengan usaha manusia. Maka kewajiban manusia adalah
menjaga diri dari tunduk kepada kecintaan, dan menjaga perasaan istri jangan
sampai tersinggung dengan perilaku berlebihan akibat kecintaan tersebut.36 Hal
ini diungkapkan dalam surat An-Nisa’ ayat 129:
            
           
35
36
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 50.
Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 81.
50
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q. S An-Nisa’:
129).37
Rasulullah saw orang yang paling mengetahui tentang agama dan yang
paling berhasrat melaksanakan keadilan diantara istri-istrinya, akan tetapi Nabi
lebih mencintai Aisyah dari pada istri-istri yang lain. Maka Nabi pernah
berdoa:
‫عن عائشة قالت كان رسول هللا صلى هللا عليو وسلم يقسم فيعدل ويقول اللهم‬
‫ىذا قسمي فيما املك فال تلمين فيما متلك وال املك‬
Dari Aisyah berkata,”adalah Rasulullah saw. Membagikan dengan
adil dan beliau bersabda,’inilah langkah dalam membagi apa yang aku
miliki, maka janganlah Engkau cela pada apa yang engkau miliki dan
tidak aku miliki.”(H.R. Addarimi)38
Allah SWT mengingatkan kepada kita agar hati dan kecintaan kita tidak
terlalu cenderung kepada salah seorang istri sementara yang lain dilupakan dan
ditelantarkan. Apabila seorang muslim ingin berpoligami sedangkan dia yakin
bahwa dirinya tidak mampu menerapkan keadilan diantara istri-istrinya dalam
masalah kebutuhan materi, maka itu adalah dosa disisi Allah, dan wajib
baginya untuk tidak kawin lebih dari seorang istri. Rasulullah bersabda:
37
38
Depertemen Agama RI, op.cit., hlm. 100.
Ad-Daromi, Assunnah, Juz 2, hal. 193.
51
ِ
ِ ‫القيامة‬
ِ
ِ ِ
‫وش ُقوُ ساقِط‬
‫يوم‬
َ َ‫َم ْن َكانَت لو امراتان ومل يَعد ْل بينهما جاء‬
“Barang siapa yang mempunyai dua istri, lalu ia cenderung kepada
salah seorang diantaranya dan tidak berlaku adil antara mereka
berdua, maka kelak dihari kiamat ia akan datang dengan keadaan
pinggangnya miring hamper jatuh sebelah” (H.R. Ahmad bin
Hanbal).39
Ahmad Syalabi mengatakan bahwa keadilan yang merupakan syarat
dalam poligami tidak saja terhadap istri-istri, tetapi juga keadilan terhadap
dirinya (diri suami itu sendiri) dan terhadap anak-anak. Sebab, perintah berlaku
adil bersifat umum dan mutlak, tidak hanya terbatas pada istri-istri saja.40
39
40
Ibnu Atsir, Jami’ul Ushul, juz 11, hlm. 515.
Supardi Mursalin, op.cit., hlm. 25.
BAB III
ADIL POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM
A. Penafsiran Al-Quran Surat An-Nisa’ Ayat 3
            
              
  
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak
perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, Maka kawinilah
wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(Q. S
An-Nisa’: 3).1
1. Kosakata
Dalam tafsir Al-Mawardi, pengertian dari potongan ayat di bawah ini
di ta’wilan.
ِ
ِ
ِ ِ
‫اب لَ ُك ْم ِّم َن الْنِّ َسآء‬
َ َ‫َوإ ْن خ ْفتُ ْم أَالَّ تُ ْقسطُواْ ِِف الْيَتَ َامى فَانك ُحواْ َما ط‬
Pertama, jika takut tidak bisa berbuat adil dengan menikahi
perempuan yatim, maka nikahilah perempuan khalal yang selain yatim.
1
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 78.
35
36
Kedua, khawatir tidak adil terhadap hartanya perempuan yatim, tetapi tidak
khawatir terhadap adil kepada perempuan.2
‫خفتم‬
: Jika kamu yakin atau tahu. Diungkapkan dengan kata-kata “Alkhauf”, yaitu sebagai pemberitahuan bahwa sesuatu yang
diketahui itu harus ditakuti (Ali al-Sais: 2: 22).3
‫تكسطوا‬
: Adil dan lurus seperti dikatakan
‫اقسط الرجل ادا عدل‬
‫اليتامى‬
: Seseorang yang ditinggalkan mati oleh ayahnya. Sedang yang
ditinggal mati oleh ibunya disebut “‫”العجي‬, adapun yang
ditinggal mati oleh ayah dan ibu disebut “‫”اللطيم‬. Seseorang
disebut dengan yatim apabila dalam kondisi belum baligh,
tetapi bila telah balihg maka hilanglah predikat yatim ( Ali alShabuni: 1981: 2: 147)
‫ماطاب‬
: Sesuatu yang menjadikan jiwa seseorang cenderung kapadanya.
)‫(ما مال اليو نفوسكم‬
‫ تَ ْع ِدلُوا‬: Adil diantara istri-istrinya mengenai nafakah
‫تعولوا‬
2
dan pembagian.4
: Cenderung dan berlaku curang, sebagaimana dikatakan
Muhamad bin Muhammad bin Mahmud, Tafsir Maturidi, (Bairut, Libanon: Darul Kutub
Al-Alamiah, 2005), hlm. 47.
3
Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-ayat Akhkam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008),
hlm.168.
4
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Makhali, Tafsir Jalalain, (Semarang: Toha Putra),
hlm. 70.
37
‫علت علي اي جرت علي‬
(wanita itu membebaniku, yakni ia
berbuat curang kepadaku) yaitu bila berlaku curang padaku,
Imam Syafi’I menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan,
‫اال تكثرو عيالكم‬, yaitu agar tidak memperbanyak keturunana.5
2. Sebab Turunnya Ayat
Sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim,
Nasa’I, dan baihaki bahwa Zubair bertanya kepada bibinya, Aisyah r.a.
tentang ayat ini, Aisyah berkata: “Ada seorang pria yang sedang mengurus
dan memelihara anak yatim perempuan, dan dia berkeinginan untuk
mengawininya karena kecantikan dan hartanya, tetapi dia tidak mampu
untuk memberikan maskawin yang layak bagi sianak yatim tersebut. lalu dia
dilarang untuk menikahi anak yatim itu dan dipersilahkan untuk mengawini
wanita lain dua, tiga, atau empat (Wahbah Al-Zuhaeli: 3: 233)6
3. Munasabah
Pada ayat yang lain Allah SWT menerangkan tentang kewajiban
memelihara anak
yatim bersama hartanya
dan diharuskan untuk
menyerahkan harta tersebut kepadanya apabila ia telah balaigh dan dewasa,
serta dilarang pula untuk memakan dan mencampur adukkan antara harta
anak yatim dengan hartanya, kemudian pada ayat ini, Allah melarang untuk
5
6
Ibid., hlm. 168.
Ibid., hlm. 169.
38
menikahi anak yatim bila tidak mampu berlaku adil, atau hanya sekedar
tertarik kepada hartanya saja. Oleh karena itu jika ia mampu berlaku adil,
lebih baik ia menikahi wanita lain yang ia suka dua, tiga, atau empat.7
Syarat bila menikahi perempuan lebih dari satu di sini adalah harus
bisa adil yang berkaitan dengan nafakah dan pembagian.8
4. Pengertian
Firman Allah SWT….‫وربع‬
‫…مثىن وثلث‬.(dua, tiga, empat). Para ahli
bahasa sependapat termasuk kalimat bilangan dan pengulangan yang
masing-masing menunjukkan kelipatan dan pengulangan. Oleh karena itu
pengertiannya adalah dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat, jadi seolah-olah
ayat ini menyatakan “kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai
dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat.9
Disyariatkannya meringkas menikahi satu istri, di sini mengandung
isyarat bahwa disyariatkannya adil bila menikahi beberapa istri, yang
dimaksud adil terhadap istri, yaitu adil di dalam menginap, adil dalam
persamaan nafakah sehari-hari dari makan, minum, pakaian dan tempat
tinggal. Adapun adil dalam segi masalah hati seperti rasa cinta dan kasih
sayang adalah tidak disyariatkan untuk adil karena bukan kekuasaan
7
Ibid.
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Makhali, Tafsir Jalalain, op.cit., hlm. 70.
9
Ibid., hlm. 173.
8
39
manusia.10 Kalimat
‫مثىن وثالث ورباع‬
dibaca nasab Karen sebagai badal.
Bahwasanya kalimat tersebut adalah kalimat pengulangan, menunjukkan arti
dua-dua, tiga-tiga, empat-empat.11
Jumhur Ulama telah sepakat bahwa poligami tidak dibenarkan lebih
dari empat orang istri, berdasar ungkapan ayat tersebut dia atas.
B. Hukum-hukum dalam Poligami
1. Hukum Poligami
Jumhur Ulama berpendapat bahwa amr/perintah dalam ayat surat
An-Nisa’ ayat 3 menunjukkan kebolehan (ibahah). Sebagaimana firman
Allah.
‫كلوا واشربوا‬
(makan dan minumlah). Menurut pendapat lain,
amr/perintah tersebut menunjukkan kepada wajib. Tetapi bukan wajib nikah
melainkan wajib membatasi jumlah maksimal poligami yakni hanya empat
orang istri. Sedangkan Al-Zahiriah berpendapat bahwa amr/perintah disini
menunjukkan kepada wajibnya kawin mereka berpegang teguh dengan zahir
ayat. Sedangkan perintah pada dasarnya menunjukkan kepada wajib.
Namun, pendapat ini dibantah oleh jumhur ulama dengan mengemukakan
firman Allah:
10
Wahiatun bin Musthofa al-Zuhaili,At-Tafsir Al-Munir dalam Aqidah dan Syariat,
(Mesir: Darul Fikri, 1418 H), juz. 4, hlm. 235.
11
Ibid., juz. 4, hlm. 231.
40
          
           
        
          
          
           
“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia
boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu
miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari
sebahagian yang lain, Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan
mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang
merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan
bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya; dan apabila mereka Telah menjaga diri dengan kawin,
Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas
mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang
yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di
antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q. S An-Nisa’: 25).12
2. Jumlah Istri
Tidak halal bagi seseorang untuk melakukan poligami lebih dari
empat orang pada saat yang sama. Tinjauan historis empat orang istri bagi
seorang suami bukanlah penambahan tetapi pembatasan, karena pada waktu
turun ayat tersebut, ditemukan banyak orang yang memiliki istri lebih dari
12
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 83.
41
empat, maka Rasulullah menegaskan kepada mereka agar dipilih dari
jumlah tersebut empat orang dan yang lainnya dicerai dengan cara baik.13
3. Tidak dalam Satu Keluarga
Poligami tidak dibenarkan dengan dua wanita yang bersaudara.
Demikian pula dengan seorang wanita bersama bibinya, baik bibi dari pihak
ayah ataupun dari pihak ibu. Larangan tersebut tercantum dalam Al-Quran.
Firman Allah Swt:
      
       
        
          
        
           
“Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu
yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu
isterimu anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau;
13
Saiful Islam Mubarok, Poligami Pro dan Kontra, (Bandung: Syaamil, 2007), hlm. 31.
42
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q. S
An-Nisa’: 23).14
C. Alasan Berpoligami
Sebenarnya yang harus diketahui semua orang adalah bahwa topik
poligami merupakan salah satu kebanggaan Islam karena dapat mengatasi
problem sosial paling rumit yang dihadapi berbagai bangsa dan masyarakat.
Tidak ada solusi yang tidak dapat dilakukan kecuali dengan kembali ajaran
Islam dan menggunakan sistem hukum Islam.15
Alasan pertama dan yang sangat mendasar dari banyaknya praktek
poligami dimasyarakat adalah bahwa poligami merupakan sunnah Nabi dan
memiliki landasan teologis yang jelas yakni surat An-Nisa’ ayat 3. Karena itu
melarang poligami berarti melarang hal yang mubah atau dibolehkan Allah.
Menentang ketetapan Allah berarti berdosa besar.16
Perlu diluruskan pengertian masyarakat yang keliru mengenai sunnah.
Sunnah ialah keseluruhan perilaku Nabi, dalam bentuk ketetapan, ucapan,
tindakan yang mencakup seluruh aspek kehidupan beliau sebagai Nabi dan
Rasul. Akan tetapi di masyarakat pengertian sunnah Nabi selalu dikaitkan
dengan poligami. Ini sungguh mereduksi makna sunnah itu sendiri. Sunnah
Nabi yang paling mengemuka adalah komitmennya yang begitu kuat untuk
menegakkan keadilan dan kedamaian di masyarakat. Jika umat Islam sungguh-
14
Op.cit., hlm. 83.
Muhammad Ash-Shabuni, Nikah Kenapa Mesti Harus Ditunda, ( Jakarta: PT Mizan
Publika, 2004), hlm. 162.
16
Siti Musdah,Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004),
hlm. 49.
15
43
sungguh ingin mengikuti sunnah Nabi, maka seharusnya umat Islam lebih
serius memperjuangkan tegaknya keadilan dan kedamaian. Namun dalam
realitasnya umat Islam mempraktekkan poligami, tetapi melupakan pesan
moral Islam untuk menegakkan keadilan. Itu jauh dari sunnah Nabi, malah
sebaliknya melanggar sunnah.17
Tidak diragukan bahwa Islam menetapkan syariat poligami dengan
adanya alasan-alasan yang sangat tinggi serta membawa maslahat bagi semua
lapisan masyarakat. Alsan-alsan tersebut yaitu:
Pertama mengatasi problem sosial. Problem yang tidak dapat
dipungkiri keberadaannya sehingga menuntut agar berpoligami diterapkan
dalam kehidupan masyarakat yaitu, bertambahnya jumlah wanita melebihi
jumlah pria. Ini adalah realita sosial yang disaksikan disemua Negara meskipun
sedang tidak dilanda perang. Dan berkurangya kaum pria akibat perang.18
Apabila dalam suatu masa jumlah perempuan yang patut nikah lebih
besar dari pada laki-laki, dan bahwa monogami adalah satu-satunya bentuk
suatu perkawinan yang sah, maka sekelompok perempuan akan terlantar tanpa
bersuami dan akan terus kehilangan hak untuk hidup berkeluarga. Dalam
kondisi demikian poligami dipandang sebagai hak bagi kaum perempuan yang
belum menikah, sekaligus sebagai tanggung jawab kaum laki-laki dan kaum
perempuan yang telah menikah.19
17
Ibid., hlm. 50.
Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 18
19
Siti Musdah, op.cit., hlm. 54.
18
44
Kedua mengatasi problem pribadi, poligami sangat berperan dalam
mengatasi problem pribadi yang muncul dengan beberapa sebab separti, istri
mandul, sementara suami sangat berharap untuk memiliki keturunan. Kondisi
ini tidak mendapat jalan keluar kecuali dengan menambah istri (poligami).
Demikian juga ketika keadaan istri tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan
biologis suami, baik karena penyakit atau lainnya.20
Padahal memiliki anak adalah merupakan tuntutan dan sesuatu yang
sangat didambakan, bahkan dianjurkan oleh syara’. Diriwayatkan dari Ma’qil
bin Yasar dari Rasulullah saw, beliau bersabda:
ِ ‫ود‬
)‫فان ُمكاثِر بِ ُك ْم (رواه النسائ‬
َ ُ‫الول‬
ُ ‫تَ َز‬
َ ‫الوُد َوَد‬
َ ‫وجو‬
“kawinilah wanita yang penyayang dan peranak (banyak anak), karena
aku membanggakan banyaknya jumlah kamu.”(HR, Nasai)21
Ketiga
menghindari selingkuh dan zina, argumen yang sering
dilontarkan oleh kelompok yang menolak poligami adalah bahwa dengan
poligami para suami terhindar dari perbuatan mengumbar nafsu seksual mereka
secara semena-mena. Salah satu ajaran agama adalah mendidik manusia agar
mampu menjaga organ-organ reproduksinya dan tidak mengumbar nafsu
seksualnya. Sedemikian itulah akhlak Islam yang telah dicontohkan dengan
sempurna pada diri Nabi. Salah satu cara untuk menjaga kesucian organ-organ
reproduksi itu adalah dengan melalui perkawinan, oleh karena itu, perzinaan,
20
21
Saiful Islam Mubarok, Poligami Pro dan Kontra, op.cit., hlm. 20.
Shahih Sunan Nasai: Kitab An-Nikah, Hadis no. 3026.
45
selingkuh, dan segala bentuk hubungan seksual yang tidak sah diharamkan
dalam Islam.22
D. Poligami Rasulullah SAW
Musuh Islam menjadikan poligami Rasulullah sebagai pintu penghinaan
kepada Islam. Mereka menuduh Islam sebagai agama yang mengikuti tuntutan
syahwat, mereka apriori terhadap kondisi dimana Rasulullah berada dan sebabsebab beliau berpoligami. Tidak diragukan bahwa beliau setelah ditinggal
Khadijah, beliau tidak menikah selain dengan Saudah binti Zam’ah dan tidak
menambah istri kecuali setelah berdiri daulah Islamiah di Madinah.23 Tiadalah
Rasulullah memperistri beberapa orang istri kecuali setelah menginjak usia tua,
yaitu usia 50 tahun.24 Hal itu membuktukan bahwa poligami Rasulullah tidak
berlangsung kecuali karena tuntutan syariat dan kepentingan dakwah.25
Umat Islam hendaknya menyadari bahwa perkawinan Nabi yang
monogamy dan penuh kebahagiaan itu berlangsung selama 28 tahun. Dua
tahun setelah Khatijah wafat baru Nabi menikah lagi, yaitu dengan Saudah bint
Zam’ah dan ketika itu usia Saudah sudah agak lanjut, tidak berapa lama setelah
menikahi Saudah. Nabi menikah lagi dengan Aisyah bint Abu Bakar. Setelah
Aisyah Nabi berturut-turut menikahi Hafsah bint Umar ibn Al-Khattab, Zainab
bint Jahsy, Zainab bint Khuzaimah, Ummu Salamah, Ummu Habibah,
Maimunah bint Haris Juwayriyah bint Haris, Shafiyah bint Huyay. Perkawinan
22
Siti Musdah, op.cit., hlm. 61.
Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 35.
24
Muhammad Ali Ash Shabuni, Keagungan Poligami Rasulullah, Bantahan Terhadap
Syubhat dan Kebatilan Seputar Poligami Rasulullah, ( Solo: Pustaka Arafah, 2002), hlm. 14.
25
Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 35.
23
46
Nabi dari tiga sampai terakhir semuanya berlangsung di Madinah dan terjadi
dalam waktu rentang relatif pendek.26
Maka pernikahan Rasulullah bukanlah atas dasar nafsu dan syahwat,
namun untuk sebuah hukum yang agung, tujuan yang mulia, cita-cita yang
tinggi, supaya musuh-musuh Islam mau mengakui kemulian dan keagungan
Rasulullah saw. Meninggalkan sifat sentiment (ta’asub) buta dan untuk
menundukkan akal dan perasaan. Pada pernikahan ini akan ditemui teladan
yang tinggi pada pribadi yang utama lagi mulia. Maka hikmah dari menikahnya
Rasulullah dengan beberapa istri sangat banyak, di antaranya:
1. Hikmah Pengajaran
Tujuan dasar dari pernikahan Rasul dengan beberapa istri adalah
melahirkan sejumlah pengajar untuk kaum wanita yang mengajari mereka
tentang hukum-hukum syariat. Karena wanita adalah bagian dari
masyarakat, sedang telah diwajibkan atas mereka tugas-tugas yang tidak
dibebankan pada kaum lelaki.27
Banyak sekali dari kaum perempuan yang malu untuk bertanya
kepada Rasulullah tentang masalah-masalah syariat terkhusus yang
berkaitan dengan mereka sendiri seperti hukum-hukum haidh, nifas, janabat,
perkara-perkara suami istri dan hukum-hukum yang lain, dan kadang wanita
26
Siti Musdah, op.cit., hlm. 76.
Muhammad Ali Ash Shabuni, Keagungan Poligami Rasulullah, Bantahan Terhadap
Syubhat dan Kebatilan Seputar Poligami Rasulullah, op.cit., hlm. 17.
27
47
telah dikalahkan oleh rasa malunya ketika hendak menanyakan pada Rasul
tentang sebagaian masalah-masalah ini.28
2. Hikmah Sosial
Rasulullah telah menikahi sebagaian wanita untuk menjinakkan dan
memepersatuakan kabilah-kabilah di sekitar beliau. Adalah sebuah
kewajaran jika seseorang menikahi sorang wanita dari sebuah kabilah atau
sebuah keluarga sehingga terciptalah diantara kedua belah pihak hubungan
kekerabatan, dan itulah suatu kewajaran yang menimbulkan pertolongan dan
penjagaan (demi kelangsungan da’wah).29
E. Pandangan Ulama Terhadap Adil dalam Poligami
Adil itu mudah diucapkan, namun sangat berat diaplikasikan. Adil
terhadap diri sendiri saja sulit apalagi adil kepada lebih dari satu istri. Ada
sebagaian orang yang mampu berlaku adil, namun adapula yang tidak mampu.
Bagi yang mampu menegakkan bersikap adil terhadap seluruh anggota
keluarganya, berarti telah memenuhi salah satu syarat melakukan poligami.30
Abu Syuqqoh menambahkan dengan syarat mampu memberi nafkah pada istriistrinya dan anak-anaknya serta orang yang menjadi tanggungannya.31
Adil disini berhubungan dengan kewajiban suami terhadap istri
terutama dalam hal materi, seperti menyediakan rumah, pakaian, makanan,
28
Ibid., hlm. 17.
Ibid., hlm. 29.
30
Cahyadi Takariawan, Bahagiakan Diri dengan Satu Istri,( Solo: Era Intermedia, 2007),
hlm. 119.
31
Abu Syuqqah, kebebasan wanita, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 389.
29
48
minuman, bermalam, serta hal-hal yang berhubungan dengan pergaulan lainnya
yang masih mungkin diusahakan. Agar tidak keluar dari kemampuan
manusia.32 Surat An-Nisa’ ayat 3. Merupakan dasar keadilan yang harus
ditegakkan. Keadilan yang dimaksut adalah keadilan yang mampu diwujudkan
manusia dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu persamaan istri-istri dalam
urusan sandang pangan, rumah tempat tinggal, dan perlakuan yang layak
terhadap mereka masing-masing.33
Persyaratan adil dalam poligami adalah karena pada umumnya laki-laki
yang telah mendapat istri muda, maka istri tuanya ditinggal begitu saja atau
ditelantarkan. Hal ini adalah untuk mengingatkan setiap waktu kepada laki-laki
yang melaksanakan poligami.
Para ulama fiqih ataupun ulama tafsir berpendapat bahwa adil terhadap
para istri itu dibuktikan dengan sikap adil dalam hal memberikan nafkah
mereka, baik berupa makan, minum, selanjutnya mereka berpendapat bahwa
adil yang menjadi syarat mutlak dalam berpoligami slain hal-hal mengenai di
atas, juga meliputi adil dalam pembagian waktu dan menggilir istri-istri.34
Adapun keadilan dalam urusan yang tidak mampu diwujudkan dan
disamakan seperti cinta atau kecenderungan hati, maka suami tidak dituntut
mewujudkanya. Allah berfirman dalam suarat Al-Baqarah: 286
32
33
hlm. 58.
34
Saiful Islam Mubarok, op.cit, hlm. 81.
Musfir Husain, Poligami Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),
Supardi Mursalin, Menolak Poligami, Study Tentang Undang-undang Perkawinan dan
Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 25.
49
               
             
                
        
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak
sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami
terhadap kaum yang kafir." (Q.S Al-Baqarah: 286)35
Adapun keadilan rasa cinta dalam hati, bukan wewenang manusia dan
tidak dapat diupayakan manusia. Hal itu merupakan aturan Allah yang tidak
dapat berubah dengan usaha manusia. Maka kewajiban manusia adalah
menjaga diri dari tunduk kepada kecintaan, dan menjaga perasaan istri jangan
sampai tersinggung dengan perilaku berlebihan akibat kecintaan tersebut.36 Hal
ini diungkapkan dalam surat An-Nisa’ ayat 129:
            
           
35
36
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 50.
Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 81.
50
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q. S An-Nisa’:
129).37
Rasulullah saw orang yang paling mengetahui tentang agama dan yang
paling berhasrat melaksanakan keadilan diantara istri-istrinya, akan tetapi Nabi
lebih mencintai Aisyah dari pada istri-istri yang lain. Maka Nabi pernah
berdoa:
‫عن عائشة قالت كان رسول هللا صلى هللا عليو وسلم يقسم فيعدل ويقول اللهم‬
‫ىذا قسمي فيما املك فال تلمين فيما متلك وال املك‬
Dari Aisyah berkata,”adalah Rasulullah saw. Membagikan dengan
adil dan beliau bersabda,’inilah langkah dalam membagi apa yang aku
miliki, maka janganlah Engkau cela pada apa yang engkau miliki dan
tidak aku miliki.”(H.R. Addarimi)38
Allah SWT mengingatkan kepada kita agar hati dan kecintaan kita tidak
terlalu cenderung kepada salah seorang istri sementara yang lain dilupakan dan
ditelantarkan. Apabila seorang muslim ingin berpoligami sedangkan dia yakin
bahwa dirinya tidak mampu menerapkan keadilan diantara istri-istrinya dalam
masalah kebutuhan materi, maka itu adalah dosa disisi Allah, dan wajib
baginya untuk tidak kawin lebih dari seorang istri. Rasulullah bersabda:
37
38
Depertemen Agama RI, op.cit., hlm. 100.
Ad-Daromi, Assunnah, Juz 2, hal. 193.
51
ِ ‫اتان ومل ي‬
ِ ‫مة‬
ِ ‫عد ْل بينهما جاء يوم القيا‬
ِ ‫من َكانَت لو اِمر‬
‫وش ُقوُ ساقِط‬
َ َ
َ
َْ
“Barang siapa yang mempunyai dua istri, lalu ia cenderung kepada
salah seorang diantaranya dan tidak berlaku adil antara mereka
berdua, maka kelak dihari kiamat ia akan datang dengan keadaan
pinggangnya miring hamper jatuh sebelah” (H.R. Ahmad bin
Hanbal).39
Ahmad Syalabi mengatakan bahwa keadilan yang merupakan syarat
dalam poligami tidak saja terhadap istri-istri, tetapi juga keadilan terhadap
dirinya (diri suami itu sendiri) dan terhadap anak-anak. Sebab, perintah berlaku
adil bersifat umum dan mutlak, tidak hanya terbatas pada istri-istri saja.40
39
40
Ibnu Atsir, Jami’ul Ushul, juz 11, hlm. 515.
Supardi Mursalin, op.cit., hlm. 25.
BAB IV
ANALISIS KEADIALN YANG DIMAKSUD DALAM SYARAT
POLIGAMI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
A. Keadilan dalam Poligami
Para ulama fiqih ataupun ulam tafsir berpendapat bahwa adil terhadap
para istri itu dibuktikan dengan sikap adil dalam hal memberikan nafkah
mereka, baik berupa makan, minum, selanjutnya mereka berpendapat bahwa
adil yang menjadi syarat mutlak dalam berpoligami selain hal-hal mengenai di
atas, juga meliputi adil dalam pembagian waktu dan menggilir istri-istri.
Sedangkan keadilan dalam urusan yang tidak mampu diwujudkan dan
disamakan seperti cinta atau kecenderungan hati, maka suami tidak dituntut
mewujudkannya.
Adapun keadilan yang disyaratkan dalam poligami adalah mencangkup
sebagai berikut:
1. Adil dalam Menafkahi
Para suami adalah penanggung jawab nafkah dalam keluarga.
Seluruh beban ekonomi yang muncul akibat pernikahan menjadi tanggung
jawab suami untuk memenuhinya. Allah telah berfirman:
          
           
51
52
      
            
 
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah
Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah
Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”(Q. S An-Nisa’: 43).1
Ayat di atas telah memberikan sebuah peran dan tanggung jawab
kepada kaum lelaki, salah satunya adalah kewajiban menafkahi keluarga.
Keseluruhan jerih payah lelaki untuk mencari nafkah dan memberikannya
untuk mencukupi kebutuhan keluarga, termasuk amal sholih di sisi Allah.2
Memberi nafkah kepada istri adalah wajib berupa makanan, tempat
tinggal dan pakaian, bahwasanya seorang suami tidak harus sama persis
membagi nafaqah kepada istri-istrinya akan tetapi wajib melaksanakan dan
memenuhi kebutuhan wajib pada setiap istri-istrinya dengan presentase
yang semisalnya. Imam3 Syafi’i berkata tidak diwajibkan bagi seorang
1
2
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 86.
Cahyadi Takariawan, Bahagiakan Diri dengan Satu Istri, (Solo: Era Intermedia, 2007),
hlm. 123.
3
Al-Muntaqi Syarakh Al-Muattha, juz 3, hlm. 353.
53
suami untuk menyamakan nafakah terhadap istri-istrinya akan tetapi
memberi nafakah kepada istri-istrinya yang wajib dan persesuaian.4
2. Adil dalam Tempat Tinggal
Seorang suami diwajibkan memberi tempat tinggal kepada istriistrinya, bahwasanya tempat tinggal adalah sebagaian dari nafakah yang
Allah telah mewajibkan kepada seorang suami untuk memberi nafakah istri.
Akan tetapi tempat tinggal yang dimaksud harus sesuai dengan kemampuan
suami, maka seorang suami tidak boleh menuntut kepada suami untuk
memberi tempat tinggal diluar kemampuan suami. Allah berfirman:
               
            
               
          
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak
sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami
terhadap kaum yang kafir." (Q. S Al-Baqarah: 286).5
4
5
Al-Fiqh ala madzhabi Al-Arba’ah, juz 4, hlm. 241.
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 50.
54
Ulama sepakat bahwa suami ditugaskan untuk menyediakan tempat
tinggal yang tersendiri, lengkap dengan perabotnya untuk tiap-tiap istri dan
anak-anaknya, karena dalam islam ditetapkan bahwa setiap wanita yang
sudah menikah berhak untuk memeperoleh tempat tinggal yang tersendiri,
baik itu istri satu atau lebih, dan sudah jelas bahwa ketenangan dari tiap-tiap
istri dari seorang suami yang berpoligami, di dalam rumah yang tersendiri
dan lengkap dengan perabotnya, itu cukup untuk menghindari banyak
kesulitan yang mungkin kalau istri-istrinya itu ditempatkan dalam satu
rumah, karena pertengkaran mudah terjadi karena soal anak-anak, perlakuan
suami yang tidak sama pada tiap istri-istrinya.6
3. Adil dalam Masalah Waktu Menginap
Setiap istri berhak mendapat giliran, bahwa suaminya menginap di
rumahnya, sama lamanya dengan waktu menginapnya di rumah istri-istri
yang lain, dan inilah yang disebut dengan pembagian waktu. Masalah yang
berkaitan dengan bermalamnya seorang suami dengan istri-istrinya harus
jelas, sehingga akan teratur kapan suami harus di rumah istri-istrinya.
Pembagian jadual seperti itu harus sama bagi istri yang sehat, sakit, haid
atau nifas karena yang dimaksut dengan bermalam bersamanya (suami istri)
itu adalah hiburan dan kesenangan bagi istri, seorang suami terhibur oleh
istrinya meskipun tanpa bersetubuh, tetapi juga dengan saling memandang,
6
Abdul Nasir Taufiq, Poligami di Tinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundangundangan, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 211.
55
berbincang-bincang, pegang –memegang, berciuman, dan lain sebagainya.7
Tidaklah wajib atas suami yang dengan istri untuk menyamaratakan
hubungan jimak antara istri yang satu dengan istri yang lain. Penyamarataan
dalam hal jimak di berlakukan sebagai sunah.8 Dengan rincian bahwa waktu
yang disunahkan dalam bersamanya suami istri (mabit) adalah satu hari satu
malam untuk setiap istri.9 Boleh juga dilakukan pembagian dengan dua
malam atau tiga malam. Dalam hal ini, menginapnya seorang suami di
tempat seorang istri tidak boleh lebih dari tiga malam kecuali atas
kesepakatan istri-istri lainnya10
Setiap istri mempunyai hak yang sama pada waktu suaminya
menginap di rumahnya. Suaminya wajib tinggal di rumahnya, dengan
mengesampingkan masalah apakah suaminya ingin mengadakan hubungan
atau tidak, dan apakah istri dalam keadaan jasmaniyah yang dapat
mengadakan hubungan dengan suaminya atau tidak. Jadi suami bertugas
supaya menginap di rumah istrinya yang sedang mendapat giliran, walaupun
misalnya suami tidak mungkin mengadakan hubungan dengan istrinya itu
pada malam gilirannya. Ketidak mungkinan itu, baik menurut agama
misalnya istri sedang ihram untuk melakukan ibadah haji, atau menurut
tradisi kesopanan, misalnya kalau istrinya dalam keadaan mens, sedang
hamil. Dan juga tidak mungkin menurut keadaan jasmaniyah itu. Misalnya
istrinya mempunyai cacat pada anggota vitalnya, jadi tidak boleh
7
Sunan Abu Daud, juz 1, hlm. 334.
Shahih Muslim, juz 10, hlm. 44 - 45.
9
Fathul Bari, juz 9, hlm. 313.
10
Sunan Ibnu Majah, juz 1, hlm. 627.
8
56
dihubungkan masalah halangan istri untuk mengadakan hubungan dengan
suaminya, dengan haknya untuk mendapat giliran. Karena yang dimaksut
mendapat giliran ialah untuk menyempurnakan kemesraan, kasih saying dan
kerukunan antara suami istri. Maka walaupun tujuan perkawinan itu ialah
mengadakan hubungan dan mendapat keturunan, namun memelihara
suasana kejiwaan dan sosial juga adalah penting. Allah SWT berfirman :
          
          
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” . (Q.S.
Ar Rum : 21)11
4. Adil dalam Pergaulan
Salah satu hak istri ialah harus diperlakukan sama dengan yang
lainnya dalam pergaulan dengan suaminya. Dan agama mewajibkan kepada
suaminya supaya memberi nafkah kepada tiap-tiap istri, dan memberi
pakaian yang sama dengan istri-istri yang lain. Bahwasanya Allah SWT
memberi hak yang sama kepada tiap-tiap istri dalam harta warisan, dan
demikian jugalah keadilan itu wajib diterapkan disini dalam pergaulan yang
lahiriyah, sekuat tenaga suami. Dan sedapat mungkin setiap istri mendapat
nafkah
yang
tersendiri
untuk
makanan
dan
pakaiannya.
Tanpa
memperhatikan kedudukan tiap-tiap istri di kalangan masyarakat sebelum
11
Depertemen Agama RI, op.cit., hlm. 407.
57
menikah dengan suaminya itu. Karena itu semua sudah menjadi istri dari
seorang suami, jadi persamaan diantara mereka adalah lanjutan dari
hubungan suami istri saja.
Dan suami hendaklah berniat baik dan adil, dalam pergaulannya
dengan istri-istrinya. Kalau dilihatnya salah seorang dari istri-istrinya itu
tidak pandai berbelanja, maka hendaklah dia sendiri turun tangan mengatur
rumahtangga serta anak-anak dari istri yang bersangkutan, dengan
memperlakukan secara adil, dan sama dengan istri-istri dan anak-anaknya
yang lain.
Jika seorang suami mengurangi hak-hak seorang istri. Dari istri-istri
yang lain, pihak istri yang merasa dizalimi berhak mengadukannya kepada
pengadilan. Hakim akan menuntut dari suami dua alternatif, yaitu menahan
istrinya dengan baik atau melepaskannya dengan baik pula (menalaknya),
sebagaimana firman Allah SWT, dalam surat al-Baqarah ayat 231 :
        
             
            
            
 
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati
akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf,
atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah
58
kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka. barangsiapa berbuat demikian,
Maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan
ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang Telah diturunkan Allah
kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah memberi
pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan
bertakwalah kepada Allah serta Ketahuilah bahwasanya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.”(Q. S Al-Baqarah: 231).12
5. Adil dalam Keluarga dan Keturunan
Allah berfirman dalam surat At-Tahrim ayat 6:
          
           
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(Q. S At-Tahrim: 6)13
Dalam kitab tafsir Showi syarah dari kitab Jalalain, menafsirkan ayat
tersebut, “jagalah diri kamu dari melaksanakan ketaatan dan menjahui
maksiat, begitu juga jagalah keluargamu dengan memerintahnya kepada
kebaikan dan mencegah berbuat keburukan, ajarilah ilmu dan adab sopan
santun. Dan maksud ahli disini adalah istri-istri dan anak-anaknya. Jagalah
dari api neraka yang apinya dinyalakan dari manusia dan bebatuan.14
12
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 38.
Ibid., hlm. 561.
14
Ahmad bin Muhammad As-Showi, Khasyiah As-Showi, (Libanon: Darul Fikri), juz 4,
hlm. 290.
13
59
B. Adil yang Tidak dalam Kekuasaan Manusia
Mayoritas ulama fiqh (ahli hukum Islam) menyadari bahwa keadilan
kualitatif adalah sesuatu yang sangat mustahil bisa diwujudkan. Abdurrahman
al-Jaziri menuliskan bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan
kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang
yang berpoligami karena sebagai manusia, orang tidak akan mampu berbuat
adil dalam membagi kasih sayang dan kasih sayang itu sebenarnya sangat
naluriah. Sesuatu yang wajar jika seorang suami hanya tertarik pada salah
seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan
sesuatu yang di luar batas kontrol manusia.15 Cinta tidak pernah meminta, ia
senangtiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tapi tidak pernah
mendendam dan tak pernah membalas dendam. Seorang filusuf mengatakan,
“dimana ada cinta di situ ada kehidupan manakala kebencian membawa kepada
kemusnahan.”
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa cinta adalah kecondongan naluri
kepada sesuatu yang nikmat, apabila kecondongan itu kuat maka dinamakan
„isyq (rindu). Benci adalah menghindarnya naluri dari sesuatu yang
menyakitkan dan melelahkan, apabila menghindarnya itu sangat kuat maka ia
dinamakan maqt ( benci sekali).16
15
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al Fiqh „ala al-Madzahib al-‟Arba‟ah, (Mesir; alMaktabah al-Tijariyyah, 1969), hlm. 239.
16
Nur Faizin Muhith, Menguak Rahasia Cinta Dalam Al-Quran, (Surakarta: Indiva
Publishing, 2008), Hlm. 19.
60
Al- Fairuzabadi dalam ensiklopedia Al-Qur’an yang ditulisnya
“Bashair Dzawit Tamyiz”, menjelaskan bahwa kata cinta tidak dapat
diterangkan dengan kata yang lebih jelas dari pada kata cinta itu tersendiri.
Sekian banyak pendefinisian cinta tidak dapat memperjelas kata itu, bahkan
sebaliknya malah mengkaburkan.17
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyebutkan beberapa definisi cinta yang
mana kebanyakan diambil dari para tokoh-tokoh sufi Islam sekaligus berusaha
membuktikan bahwa sekian banyak definisi itu tidak mampu menjelaskan kata
cinta dengan baik melainkan hanya menjelaskan seputar fenomena cinta.
Pertama, kecondongan hati yang langgeng pada diri seseorang yang
hatinya tidak menentu.
Kedua, mendahuluka orang yang dicintai dan meninggalkan semua
yang ditemani.
Ketiga, memberikan seluruh jiwa ragamu sehingga tidak sedikitpun
yang tersisa dari dirimu.18
Cinta merupakan aturan Allah yang tidak dapat berubah dengan usaha
manusia, karena cinta datangnya dari Allah. Kecintaan adalah karunia Allah
yang telah ditanamkan kedalam hati siapa yang ia kehendaki dan untuk siapa
yang ia kehendaki. Rasulullah saw sangat mencintai Aisyah melebihi
cintanya kepada yang lain. Itulah karunia yang Allah berikan kepada Aisyah
melalui Rasul-Nya.
17
18
Ibid.
Ibnu Qayyim al-Jauziah , Madarijus Shalikhin, Darul Hadist, hlm. 13. Juz 3.
61
‫عن عائشة قالت كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يقسم فيعدل ويقول اللهم‬
‫هذا قسمي فيما املك فال تلمين فيما متلك وال املك‬
“Dari Aisyah berkata,”adalah Rasulullah saw. Membagikan dengan
adil dan beliau bersabda,‟inilah langkah dalam membagi apa yang aku
miliki, maka janganlah Engkau cela pada apa yang engkau miliki dan
tidak aku miliki.”(H.R. Addarimi)19
Maka kewajiban manusia adalah menjaga diri dari tunduk kepada
kecintaan, dan menjaga perasaan istri jangan sampai tersinggung dengan
perilaku berlebihan akibat kecintaan tersebut.20 Hal ini diungkapkan dalam
surat An-Nisa’ ayat 129:
            
           
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q. S An-Nisa’:
129).21
C. Keadilan Menurut Madzhab Empat.
Syarat keadilan dalam poligami juga diungkapkan para imam madzhab
yaitu Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali. Menurut mereka seorang
suami boleh memiliki istri lebih dari satu tetapi dibatasi hanya sampai empat
19
Ad-Daromi, Assunnah, Juz 2, hal. 193.
Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 81.
21
Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 100.
20
62
orang istri. Akan tetapi kebolehannya tersebut memiliki syarat yaitu berlaku
adil antara perempuan-perempuan itu, baik dari nafkah atau gilirannya. Dalam
hal ini Imam Syafi’i menambahkan, syarat lain yang harus ditekankan adalah
suami harus dapat menjamin hak anak dan istri. Ayat dzaalika „adnaa anlaa
ta„uuluu dipahami oleh Imam Syafi’i dalam arti tidak banyak tanggungan
kamu. Ia terambil dari kata „alaa ya„uluu yang berarti menanggung dan
membelanjai. “Kalau satu istri sudah berat tanggungannya bagi suami,
apalagi lebih dari satu istri,”
Para imam juga memberikan saran, apabila tidak bisa berlaku adil,
hendaknya beristri satu saja itu jauh lebih baik. Para ulama ahli Sunnah juga
telah sepakat, bahwa apabila seorang suami mempunyai istri lebih dari empat
maka hukumnya haram. Perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap
batal dan tidak sah, kecuali suami telah menceraikan salah seorang istri yang
empat itu dan telah habis pula masa iddahnya. Dalam masalah membatasi istri
empat orang saja, Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut telah
ditunjukkan oleh Sunnah Rasulullah saw sebagai penjelasan dari firman Allah,
bahwa selain Rasulullah tidak ada seorangpun yang dibenarkan nikah lebih dari
empat perempuan.
C. Kiat-kiat dalam Menjaga Keadilan
Adil merupakan dambaan setiap orang di seluruh dunia, termasuk
dambaan orang yang suka berbuat zhalim. Sebab meski ia sering berbuat
zhalim kepada yang lain namun ia berharap agar diperlakukan orang lain
dengan adil. Perjuangan untuk mencapai keadilan sering kita dengar dan kita
63
saksikan. Sayangnya cara menegakkan keadilan ini justru sering menggunakan
cara-cara merugikan orang lain. Memang keadilan tidak akan terwujud hanya
dengan menggunakan akal dan pikiran, karena itu perjuangan menegakkan
keadilan baik untuk keluarga ataupun untuk masyarakat luas sangat ditentukan
oleh kedekatan seseorang kepada Allah. Contohnya adalah Nabi Ibrahim beliau
membangun Negara dan membina keluarga yang merupakan titik tolak
tegaknya Negara yang adil dan makmur, Allah berfirman:
            

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri Ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah Aku beserta
anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.”(Q. S Ibrahim:
35)22
1. Pembinaan Akidah Dalam Diri dan Keluarga
    
"Ya Tuhanku, jadikanlah negeri Ini (Mekah), negeri yang aman,”
Kewajiban seorang suami terhadap istri dan keluarga tidak terbatas
kepada sandang dan pangan, tetapi juga membina istri dan anak agar mereka
mempunyai akidah yang benar dan keimanan yang stabil.
2. Merendahkan Diri di Hadapan Allah
22
Ibid., hlm. 264.
64

“dan jauhkanlah Aku beserta anak cucuku daripada menyembah
berhala-berhala.”
Permohonan Nabi Ibrahim untuk dirinya menunjukkan betapa
merasa khawatir akan dirinya sendiri. Hal ini menggambarkan bahwa dia
selalu memandang dirinya tidak mampu menjaga diri. Tanpa petunjuk ilahi.
3. Merendahkan Hati di Hadapan Keluarga

“Dan jauhkanlah Aku beserta anak cucuku daripada menyembah
berhala-berhala.”
Permohonan ini diungkapkan di tengah keluarganya. Karena ia ingin
mendidik keluarga agar mereka sama merendahkan diri di hadapan Allah
dan pada saat yang sama ia juga menyatakan bahwa dirinya bukan orang
yang sempurna melainkan manusia biasa yang banyak kekurangan.
4. Mengingat Bahaya Zhalim di Dunia
  
“ jauhkanlah Aku beserta anak cucuku daripada menyembah
berhala-berhala.”
Kezhaliman yang paling berbahaya bukan yang muncul dari luar
atau dari tingkah laku orang lain akan tetapi yang muncul justru dari hati
masing-masing. Berupa menyimpangnya akidah setelah mendapat petunjuk.
65
Menyembah berhala di sini tidak hanya berhadapan dengan patung dari
kayu atau batu, sebab patung sangatlah jauh dari Ibrohim dan keluarganya.
Namun demikian tidak berarti jauh dari patung jenis lain. Ketika seorang
suami merasa dirinya sebagai penguasanyang mesti dihormati dalam
keluarganya, dia telah mempertuhankan dirinya dan tidak lagi menempatkan
dirinya sebagai hamba.
Allah juga berfirman:
              
  
“Ya Tuhanku, Sesungguhnya berhala-berhala itu Telah menyesatkan
kebanyakan daripada manusia, Maka barangsiapa yang mengikutiku,
Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa
yang mendurhakai aku, Maka Sesungguhnya Engkau, Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Q. S Ibrahim: 36).23
5. Mengingat Bahaya Berhala
     
“Ya Tuhanku, Sesungguhnya berhala-berhala itu Telah menyesatkan
kebanyakan daripada manusia,”
Berhala yang menyesatkan manusia secara langsung bukan hanya
patung yang dibuat dari batu atau kayu, akan tetapi berhala yang berjalan
23
Op.cit., hlm. 261.
66
berupa manusia atau yang melekat pada manusia seperti jabatan,
keangkuhan, akal pikiran yang dianggap sebagai penentu segala hukum.
6. Berserah Diri
          
"Maka barangsiapa yang mengikutiku, Maka Sesungguhnya orang
itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku,
Maka Sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”
Pernyataan ini dapat diterapkan ketika seorang suami mendidik
istrinya namun belum berhasil merubahnya menjadi lebih baik, maka dia
tidak menyalahkan istri, melainkan introspeksi sehingga lebih meningkatkan
amal yang bermanfaat bagi kedua belah pihak.
            
         
   
“Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan
sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanamtanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya
Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan
mereka bersyukur.”
7. Membina Keluarga Untuk Tawakal dan Mendidik Hidup Mandiri
67
           
“Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan
sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanamtanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati.”
Pernyataan ini mengandung arahan bagi keluarga agar senantiasa
mengisi kehidupan untuk beribadah.
8. Menjadikan Ibadah Sebagai Langkah Utama Mewujudkan Keluarga Sakinah
  
“Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan
shalat.”
9. Membina Keluarga Agar Berinteraksi Dengan Masyarakat Luas
     
“Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan beri rezkilah mereka.”
Umat Islam menjadikan keluarga sebagai titik tolak dalam
membangun masyarakat yang Islami. Semakin banyak keluarga yang Islami
maka semakin kuat pondasi tempat dimana bertolak.
10. Meningkatkan Ekonomi
    
68
“dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan
mereka bersyukur.”24
Yakin kepada Allah tidak akan menyiksa hamba-Nya dengan
kelaparan selama mau bekerja, karena itu memohon kepada Allah agar
keluarga mendapat buah-buahan dengan cara yang ia kehendaki.
24
Saiful Islam Mubarok, op.cit., hlm. 91-102.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai analisis syarat adil dalam poligami dari segi
hukum Islam dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Konsep Adil disini dalam agama Islam berhubungan dengan kewajiban
suami terhadap istri terutama dalam hal materi, seperti menyediakan rumah,
pakaian, makanan, minuman, bermalam, serta hal-hal yang berhubungan
dengan pergaulan lainnya yang masih mungkin diusahakan. Agar tidak
keluar dari kemampuan manusia. Adapun keadilan dalam urusan yang tidak
mampu diwujudkan dan disamakan seperti cinta atau kecenderungan hati,
maka agama Islam tidak dituntut untuk mewujudkanya, tetapi berusaha
dengan semaksimal mungkin untuk berusaha mewujudkannya. Karena pada
dasarnya rasa cinta dan kasih sayang adalah anugrah dari Allah. Manusia
tidak dapat membuatnya dengan sendirinya.
2. Kiat-kiat dalam menjaga keadilan pokok utamanya adalah keadilan tidak
akan terwujud hanya dengan menggunakan akal dan pikiran, karena itu
perjuangan menegakkan keadilan baik untuk keluarga ataupun untuk
masyarakat luas sangat ditentukan oleh kedekatan seseorang kepada Allah.
Sebagai mana yang terkandung dalam surat Ibrahim: ayat 35.
           
 
68
69
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri Ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah Aku beserta
anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala”(Q. S Al-Ibrahim:
35).
Diantara kandungan dari ayat ini adalah pembinaan akidah dalam diri
dan keluarga, merendahkan diri dihadapan Allah, merendahkan hati di
hadapan keluarga, mengingat bahaya zhalim di dunia, Allah juga berfirman
              
  
Ya Tuhanku, Sesungguhnya berhala-berhala itu Telah menyesatkan
kebanyakan daripada manusia, Maka barangsiapa yang mengikutiku,
Maka Sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa
yang mendurhakai aku, Maka Sesungguhnya Engkau, Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Bahwasanya harus mengingat bahaya berhala, dan selalu berserah diri
kepada Allah.
B. Saran-saran
1. Bagi para suami yang ingin melakukan poligami hendaknya memahami
apakah dirinya sudah yakin mampu berbuat adil karena adil merupakan
syarat utama bagi poligami sebagaimana tercantum dalam surat An-Nisa’
ayat 3. Ketika terjadi ketidkadilan sedikit saja, maka hal tersebut menyalahi
prinsip-prinsip Islam.
2. Bagi para suami yang ingin melakukan poligami hendaknya meluruskan niat
terlebih dahulu. Poligami yang terjadi di zama rasul dilakukan atas dasar
memelihara anak yatim dan menyelematkan janda-janda yang ditinggal mati
70
suaminya karena perang. Apakah motivasi sosial dan kemanusiaan semacam
ini sudah tertanam di hati menjadi pertanyaan mendasar yang harus dijawab
bagi yang ingin melakukan poligami.
C. Penutup
Alhamdulillah wa syukru lillah berkat rahmat, taufiq, serta hidayah dari
Allah Subhanahu Wata‟ala, maka penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi
ini. Bagaimana pun juga tak ada gading yang tak retak, demikian juga dengan
uraian pada skripsi ini. Meskipun penulis sudah berusaha semaksimal
mungkin. Namun karena keterbatasan penulis baik dari ilmu pengetahuan dan
kemampuan, mungkin masih ada banyak kekurangan-kekurangan yang ada.
Untuk itu, saran dan kritik yang kontrukstif sangat penulis harapkan.
Selain itu, penulis juga berharap semoga dibalik kesederahanaan dalam
penulisan skripsi ini, tersimpan suatu manfaat yang besar terhadap pribadi
individu penulis khususnya, serta para pembaca dan pihak-pihak yang
berkepentingan pada riset ini pada umumnya.
Apabila terdapat banyak kelemahan-kelemahan yang ada, penulis
mohon maaf sebesar-besarnya dari semua pihak yang terkait dan tidak lupa
penulis ucapkan terima kasih pula kepada semua pihak yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Halim, Abdul Abu Syuqqah, Tahriirul- Mar’ah Fi’Asrir-risaalah: Kebebasan
Wanita, terj. As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Husain, Musfir Aj Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi, terj. Muh. Sutan
Ritonga, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Nasir, Abdul Taufiq Al Atthar, Poligami : di Tinjau dari Segi Agama, Sosial dan
Perundang-undangan, terj. Chadidjah Nasution, Jakarta: Bulan Bintang,
1976
Rohman, Abdul Ghozali, Fikih Munakahat, jakart: PT Kencana Prenada Media
Group, 2010.
Islam, saiful mubarok, poligami antara pro dan kontra, bandung: pt syaamil cipta
media, 2007.
A.Iirfan, Lukman, Nikah, Yohyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2007.
Mulia, Siti Musdah, Islam Menggugat Poligami, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Umum, 2004.
Mursadi, Mursalin, Menolak Poligami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
M. Syamsudin, Ilmu hukum Profetik, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum, 2013.
H. Mashudi, Ahmad Nadhori, Potret Hukum dan Keadilan, Telaah Sosio-Historis
Kepemimpinan Umar r, a. dan Implementasinya dalam Konteks Sekarang,
Semarang: Universitas Diponegoro, 2008.
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008.
Bakir, Herman, Filsafat Hukum, Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Bandung:
PT Refika Aditama, 2007.
Siregar, Bismar, Hukum Hakim dan Keadialan Tuhan, Kumpulan Catatan Hukum
dan Peradilan di Indonesia. Jakarta: Gema Insani, 1995.
Saiful hadi, Adil dan Bijaksana Itu Bikin Tentram, Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama, 2008.
Syarjaya, Sibli, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Takariawan, Cahyadi, Bahagiakan Diri Dengan Satu Istri, Surakarta: Era
Intermedia, 2007.
Ash-Shabuni, Muhammad, Al-Zawaj Al-Islam Al-Mubakkir,Nikah Kenapa Mesti
Ditunda, Jakarta: Hikmah (PT Mizan Publika), 2004.
Ash-Shabuni, Muhammad, Keagungan Poligami Rasulullah SAW, Bantahan
Terhadap Syubhat dan Kebatilan Seputar Poligami Rasulullah SAW, Solo:
Pustaka Arafah, 2002.
Muhith, Nur Faizin, Menguak Rahasia Cinta dalam Al-Qur’an, Solo: Indiva
Media Kreasi, 2008.
Adhim, Mohammad Fauzil, Disebabkan Oleh Cinta Kupercayakan Rumahku
Padamu, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998.
Asy-Syarif, Isham Muhammad, Beginilah Nabi Mencintai Istri, Jakarta: Gema
Insani Pers, 2005.
Download