BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep guided imagery 2.1.1

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep guided imagery
2.1.1 Definisi guided imagery
Imagery merupakan pembentukan representasi mental dari suatu objek,
tempat, peristiwa, atau situasi yang dirasakan melalui indra. Saat berimajinasi
individu dapat membayangkan melihat sesuatu, mendengar, merasakan, mencium,
dan atau menyentuh sesuatu (Snyder, 2006).
Istilah guide imagery merujuk pada berbagai teknik termasuk visualisasi
sederhana, saran yang menggunakan imaginasi langsung, metafora dan bercerita,
eksplorasi fantasi dan bermain “game”, penafsiran mimpi, gambar, dan imajinasi
yang aktif dimana unsur-unsur ketidaksadaran dihadirkan untuk ditampilkan
sebagai gambaran yang dapat berkomunikasi dengan pikiran sadar (Academic for
Guide Imagery, 2010).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa guided imagery
merupakan teknik untuk menuntun individu dalam membayangkan sensasi apa
yang dilihat, dirasakan, didengar, dicium, dan disentuh tentang kondisi yang
santai atau pengalaman yang menyenangkan untuk membawa respon fisik yang
diinginkan (sebagai pengurang stres, kecemasan, dan nyeri).
2.1.2 Manfaat guided imagery
Guided imagery merupakan salah satu jenis teknik relaksasi sehingga
manfaat dari teknik ini pada umumnya sama dengan manfaat dari teknik relaksasi
8
Universitas Sumatera Utara
9
yang lain. Para ahli dalam bidang teknik guided imagery berpendapat bahwa
imajinasi merupakan penyembuh yang efektif yang dapat mengurangi nyeri,
kecemasan, mempercepat penyembuhan dan membantu tubuh mengurangi
berbagai macam penyakit. Guided imagery telah menjadi terapi standar untuk
mengurangi kecemasan dan memberikan relaksasi pada orang dewasa atau anakanak, dapat juga untuk mengurangi nyeri kronis, tindakan prosedural yang
menimbulkan nyeri, susah tidur, mencegah reaksi alergi, dan menurunkan tekanan
darah (Snyder, 2006).
2.1.3 Pelaksanaan guided imagery pada pemasangan infus
Pemasangan infus pada anak merupakan tantangan yang unik bagi perawat
yang bertanggung jawab memberikan asuhan keperawatan di ruang anak.
Tindakan yang diberikan yaitu dengan memperhatikan aspek lain yang mungkin
berdampak adanya trauma (Frey, 2001). Terapi intravena merupakan terapi medis
yang dilakukan secara invasif dengan menggunakan metode yang efektif untuk
mensuplai cairan, elektrolit, nutrisi dan obat melalui pembuluh darah
(intravascular) (Perry & potter, 2005). Setiawati dan Dermawan (2009)
mengatakan bahwa alasan umum pasien mendapatkan terapi infus adalah untuk
menstabilkan aliran vena dan mencegah terjadinya injuri.
Prinsip utama pemasangan infus pada anak yaitu efektif, efisien, aman,
dengan mempertimbangkan emosi anak sesuai tahap perkembangannya. Tindakan
pemasangan infus dilakukan pada anak merupakan prosedur emergensi, karena
dapat menimbulkan kecemasan dan ketakukan pada anak (Whaley & Wong’s,
1999).
Universitas Sumatera Utara
10
Guided imagery adalah metode relaksasi untuk mengkhayal tempat dan
kejadian berhubungan dengan rasa relaksasi yang menyenangkan. Khayalan
tersebut memungkinkan klien memasuki keadaan atau pengalaman relaksasi
(Kaplan & Sadock, 2010 dalam Novarenta, 2013). Guided imagery mempunyai
elemen yang secara umum sama dengan relaksasi, yaitu sama-sama membawa
klien ke arah relaksasi namun guided imagery menekankan bahwa klien
membayangkan hal-hal nyaman dan menenangkan dan tidak dapat memusatkan
perhatian pada banyak hal dalam satu waktu oleh karena itu klien harus
membayangkan satu imajinasi yang sangat kuat dan menyenangkan (Brannon &
Feist, 2000 dalam Novarenta 2013).
Menurut Snyder (2006) teknik guided imagery secara umum antara lain:
1.
Membuat individu dalam keadaan santai yaitu dengan cara:
1) Mengatur posisi yang nyaman (duduk atau berbaring)
2) Silangkan kaki, tutup mata atau fokus pada suatu titik atau suatu benda di
dalam ruangan
3) Fokus pada pernapasan otot perut, menarik napas dalam dan pelan, napas
berikutnya biarkan sedikit lebih dalam dan lama dan tetap fokus pada
pernapasan dan tetapkan pikiran bahwa tubuh semakin santai dan lebih
santai
4) Rasakan tubuh menjadi lebih berat dan hangat dari ujung kepala sampai
ujung kaki.
5) Jika pikiran tidak fokus, ulangi kembali pernapasan dalam dan pelan
2.
Sugesti khusus untuk imajinasi yaitu:
Universitas Sumatera Utara
11
1) Pikirkan bahwa seolah-olah pergi ke suatu tempat yang menyenangkan
dan merasa senang ditempat tersebut
2) Sebutkan apa yang bisa dilihat, dengar, cium, dan apa yang dirasakan
3) Ambil napas panjang beberapa kali dan nikmati berada ditempat tersebut
4) Sekarang, bayangkan diri anda seperti yang anda inginkan (uraikan sesuai
tujuan yang akan dicapai/ diinginkan
3
Beri kesimpulan dan perkuat hasil praktek yaitu:
1) Mengingat bahwa anda dapat kembali ke tempat ini, perasaan ini, cara ini
kapan saja anda menginginkan
2) Anda bisa seperti ini lagi dengan berfokus pada pernapasan anda, santai,
dan membayangkan diri anda berada pada tempat yang anda senangi
4
Kembali ke keadaan semula yaitu:
1) Ketika anda telah siap kembali ke ruang dimana anda berada
2) Anda merasa segar dan siap untuk melanjutkan kegiatan anda
3) Sebelumnya anda dapat menceritakan pengalaman anda ketika anda telah
siap
Teknik pelaksanaan guided imagery pada anak perlu dimodifikasi sesuai
dengan tahap perkembangan anak, kognitif, dan pilihan anak. Waktu yang
digunakan untuk pelaksanaan guided imagery pada anak-anak hanya boleh 10-15
menit dan anak biasanya tidak suka menutup mata mereka saat berimajinasi
(Snyder, 2008 dalam Dewanti, 2013).
Universitas Sumatera Utara
12
2.2
Konsep Kecemasan
2.2.1 Definisi Kecemasan
Kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang tidak
menyenangkan dan dialami semua makhluk hidup dalam kehidupan sehari-hari.
Kecemasan merupakan pengalaman subjektif dari individu dan tidak dapat
diobservasi secara langsung serta merupakan suatu keadaan emosi tanpa objek
yang spesifik (Suliswati, 2005).
Kecemasan merupakan suatu keadaan yang menggoncangkan karena
adanya ancaman terhadap kesehatan (Sundari, 2005).
2.2.2 Tanda-tanda Kecemasan
Suliswati (2005) menyebutkan, setiap individu berbeda dalam menghadapi
suatu stimulus. Kecemasan memiliki satu gejala utama, yaitu takut atau timbul
perasaan khawatir dalam situasi dimana kebanyakan orang tidak merasa terancam.
Selain gejala yang utama, tanda umum lainnya dari gejala perasaan gelisah adalah
perasaan takut, terganggu berkontraksi, merasa tegang dan gelisah, antisipasi yang
terburuk, cepat marah, resah, merasakan adanya tanda-tanda bahaya. Kecemasan
tidak hanya menyerang perasaan, namun juga berdampak terhadap kondisi fisik.
Gejala fisik secara umum dari kecemasan adalah jantung berdebar, berkeringat,
mual dan pusing, muntah, sakit perut, peningkatan frekuensi BAB atau diare,
sesak nafas, tremor, ketegangan otot, sakit kepala, kelelahan.
2.2.3 Reaksi Kecemasan
Stuart (2006), kecemasan dapat diekspresikan secara langsung melalui
perubahan fisiologis dan perilaku dan secara tidak langsung melalui timbulnya
Universitas Sumatera Utara
13
gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk melawan kecemasan.
Intensitas perilaku akan meningkat sejalan dengan peningkatan tingkat
kecemasan. Respon kecemasan dapat dibagi 4 yaitu respon fisiologis, perilaku,
kognitif, dan afektif.
1. Respon fisiologis
Sistem kardiovaskuler akan memunculkan tanda palpitasi, jantung
berdebar, tekanan darah meningkat. Respon parasimpatis juga dapat muncul
seperti rasa ingin pingsan, tekanan darah menurun dan denyut nadi menurun.
Respon tubuh pada juga akan menunjukan tarikan nafas yang pendek dan cepat,
hiperventilasi, berkeringat dingin termasuk telapak tangan, kehilangan nafsu
makan, mual atau muntah, nyeri perut, sering buang air kecil, nyeri kepala, tidak
bisa tidur, kelemahan umum, pucat dan gangguan pencernaan.
2. Respon perilaku
Respon perilaku sering ditunjukan seperti gelisah, ketegangan fisik,
tremor, gugup, bicara cepat, kurang koordinasi, menarik diri dari hubungan
interpersonal, dan menghindar.
3. Respon kognitif
Respon kognitif ditunjukan seperti perhatian terganggu, konsentrasi
memburuk, pelupa, salah dalam memberikan penilaian, kreatifitas menurun,
bingung, sangat waspada, kehilangan objektivitas, takut kehilangan kontrol, takut
pada gambaran visual, takut cedera atau kematian.
Universitas Sumatera Utara
14
4. Respon afektif
Respon afektif ditunjukan seperti mudah terganggu, tidak sabar, gelisah,
tegang, gugup, waspada, gelisah, kecemasan, dan ketakutan.
2.3
Anak Usia Sekolah
2.3.1 Defenisi Anak Usia Sekolah
Anak usia sekolah adalah anak yang berumur 6 sampai 12 tahun yang
masih duduk di sekolah dasar dari kelas 1 sampai kelas 6 dan perkembangan
sesuai usianya. Anak mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari
budaya masa kanak-kanak dan menggabungkan diri ke dalam kelompok sebaya.
Pada tahap ini terjadi perkembangan fisik, mental, dan sosial yang kontinu,
disertai penekanan pada perkembangan kompetensi keterampilan (Wong, 2008).
2.3.2 Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah
1.
Perkembangan Biologis
Petumbuhan tinggi dan berat badan terjadi lebih lambat tetapi pasti jika
dibandingkan dengan masa sebelumnya. Antara usia 6-12 tahun, anak-anak akan
mengalami pertumbuhan sekitar 5 cm per tahun untuk mencapai tinggi badan 3060 cm dan berat badannya akan bertambah hampir dua kali lipat, bertambah 2-3
kg per tahun. Tinggi rata-rata anak usia 6 tahun adalah sekitar 116 cm dan berat
badannya sekitar 21 kg; tinggi rata-rata anak usia 12 tahun adalah sekitar 150 cm
dan berat badannya mendekati 40 kg. Menjelang akhir usia sekolah, ukuran tubuh
anak perempuan mulai melebihi anak laki-laki, menyebabkan ketidaknyamanan
yang akut bagi anak laki-laki dan perempuan (Wong, 2008).
Universitas Sumatera Utara
15
2.
Perkembangan Psikososial
Masa
kanak-kanak
pertengahan
adalah
periode
perkembangan
psikoseksual yang dideskripsikan oleh Freud sebagai periode laten, yaitu waktu
tenang antara fase Oedipus pada masa kanak-kanak awal dan erotisisme masa
remaja. Selama waktu ini, anak-anak membina hubungan dengan teman sebaya
sesama jenis setelah pengabdian pada tahun-tahun sebelumnya dan didahului
ketertarikan pada lawan jenis yang menyertai pubertas (Wong, 2008).
3.
Perkembangan Moral (Kohlberg)
Pola pikir anak mulai berubah dari egosentrisme ke pola pikir logis,
mereka juga bergerak melalui tahap perkembangan kesadaran diri dan standar
moral. Anak usia sekolah mampu menilai suatu tindakan berdasarkan niat
dibandingkan akibat yang dihasilkannya. Peraturan dan penilaian tidak lagi
bersifat mutlak dan otoriter serta mulai berisi lebih banyak kebutuhan dan
keinginan orang lain (Wong, 2008).
4.
Perkembangan Kognitif
Tahap operasional konkret menurut J.Piaget adalah anak mampu
menggunakan proses berpikir untuk mengalami peristiwa dan tindakan. Pemikiran
egosentris yang kaku pada tahun-tahun prasekolah digantikan dengan proses
pikiran yang memungkinkan anak melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain.
Selama tahap ini anak mengembangkan pemahaman mengenai hubungan antara
sesuatu
hal
dan
ide.
Mereka
mulai
memperoleh
kemampuan
untuk
menghubungkan serangkaian kejadian untuk menggambarkan mental anak yang
dapat diungkapkan secara verbal ataupun simbolik (Wong, 2008).
Universitas Sumatera Utara
16
5.
Perkembangan Spiritual
Anak usia sekolah mempunyai batasan yang sangat konkret dalam berfikir
akan tetapi merupakan pelajar yang sangat baik dan memiliki kemauan besar
untuk mempelajari Tuhan. Mereka menggambarkan Tuhan sebagai manusia yang
menggunakan sifat seperti “sayang” dan “membantu” dan mereka sangat tertarik
dengan adanya surga dan neraka. Anak usia sekolah ingin dan berharap dihukum
jika berperilaku yang salah dan, jika diberikan pilihan, anak cenderung memilih
hukuman yang “sesuai dengan kejahatannya”. Kepercayaan dan harapan keluarga
serta tokoh agama lebih berpengaruh dalam hal keyakinan dibandingkan dengan
teman sebaya (Wong, 2008).
6.
Perkembangan Sosial
Anak memiliki budaya mereka sendiri, disertai rahasia, adat istiadat dan
kode etik yang meningkatkan rasa solidaritas kelompok dan melepasakan diri dari
orang dewasa. Melalui hubungan dengan teman sebaya, anak belajar bagaimana
menghadapi dominasi dan permusuhan, berhubungan dengan pemimpin dan
pemegang kekuasaan, serta menggali ide-ide dan lingkungan fisik. Bantuan dan
dukungan kelompok memberi anak rasa aman yang cukup untuk menghindari
resiko penolakan dari orang tua yang disebabkan oleh setiap kemenangan kecil
dalam perkembangan kemandirian (Wong, 2008).
2.4
Konsep Hospitalisasi
2.4.1 Defenisi hospitalisasi
Hospitalisasi merupakan proses karena alasan yang berencana, darurat,
mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan perawatan
Universitas Sumatera Utara
17
sampai pemulangan kembali ke rumah. Berbagai perasaan yang sering muncul
pada anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah. Anak juga sering
kali berhadapan dengan prosedur yang menimbulkan nyeri, kehilangan
kemandirian, dan berbagai hal yang tidak diketahui (Wong, 2008).
2.4.2 Stresor hospitalisasi
Stresor yang dialami anak pada saat mengalami hospitalisasi adalah cemas
akibat perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh atau nyeri.
1. Cemas akibat perpisahan
Anak usia sekolah memiliki aktivitas fisik dan mental yang tinggi yang
kerap kali menemukan ketidaksesuaian dalam lingkungan rumah sakit dan bahkan
meskipun ketika mereka tidak menyukai sekolah, mereka mengakui kehilangan
rutinitasnya dan merasa khawatir mereka tidak mampu menyesuaikan diri dengan
teman sekelas mereka pada saat mereka kembali masuk sekolah. Kesepian, bosan,
isolasi, dan depresi umum terjadi. Anak usia sekolah membutuhkan dan
menginginkan dukungan orang tua (Wong, 2008).
2. Kehilangan kendali
Anak usia sekolah yang dirawat di rumah sakit menjadi rentan terhadap
kejadian-kejadian yang dapat mengurangi rasa kendali dan kekuatan mereka.
Banyak rutinitas rumah sakit yang mengambil kekuatan dan identitas individu.
Bagi anak usia sekolah, aktivitas ketergantungan seperti tirah baring yang
dipaksakan, penggunaan pispot, ketidakmampuan memilih menu, kurangnya
privasi, bantuan mandi di tempat tidur, atau berpindah dengan kursi roda atau
brankar dapat menjadi ancaman langsung bagi rasa aman mereka. Prosedur
Universitas Sumatera Utara
18
tersebut tidak memungkinkan kebebasan memilih bagi anak-anak yang ingin
bertindak dewasa. Akan tetapi, jika anak-anak tersebut diizinkan memegang
kendali, tanpa memperhatikan keterbatasannya maka biasanya mereka akan
berespons dengan sangat baik terhadap prosedur apapun. Selain lingkungan rumah
sakit, penyakit juga dapat menyebabkan perasaan kehilangan kendali. Salah satu
masalah yang paling signifikan dari anak-anak dalam kelompok usia ini berpusat
pada kebosanan (Wong, 2008).
3. Cedera tubuh atau nyeri
Ketakutan mendasar tehadap sifat fisik dari penyakit muncul pada saat ini.
Anak usia sekolah tidak begitu khawatir terhadap nyeri jika dibandingkan dengan
disabilitas, pemulihan yang tidak pasti, atau kemungkinan kematian. Anak
perempuan cenderung mengekspresikan ketakutan yang lebih banyak dan lebih
kuat dibandingkan dengan anak laki-laki, dan hospitalisasi sebelumya tidak
berdampak pada frekuensi atau intensitas kecemasan karena kemampuan kognitif
mereka sedang berkembang, anak usia sekolah waspada terhadap pentingnya
berbagai penyakit yang berbeda. Pentingnya anggota tubuh tertentu, bahaya
pengobatan, dan makna kematian (Wong, 2008).
2.4.3 Reaksi Anak Usia Sekolah Terhadap Sakit dan Rawat Inap
Anak usia sekolah membayangkan rawat inap di rumah sakit adalah
perpisahan dengan orang tua, merasa tidak nyaman, aktivitas dan kemandiriannya
terbatas dan terhenti. Anak akan bertanya mengapa berada di rumah sakit,
bingung, dan bermacam pertanyaan yang akan ditanya dikarenakan anak tidak
mengetahui yang sedang terjadi. Reaksi rawat inap pada anak bersifat individual
Universitas Sumatera Utara
19
dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak. Pengalaman
sebelumnya di rumah sakit, sistem pendukung yang tersedia dan kemampuan
koping yang dimiliki anak (Wong, 2008).
Wong (2008) mengatakan reaksi anak terhadap sakit dan rawat inap
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : perkembangan anak terhadap sakit
beberapa-beda sesuai tingkat perkembangan anak. Berkaitan dengan umur anak,
semakin muda anak maka akan semakin sukar baginya untuk menyelesuaikan diri
mereka tentang pengalaman di rumah sakit; pengalaman rawat inap di rumah sakit
sebelumnya, apabila anak pernah mengalami yang tidak menyenangkan saat di
rawat inap, akan menyebabkan anak takut dan trauma, dan sebaliknya apabila saat
dirawat inap anak mendapat perawatan yang baik dan menyenangkan maka anak
akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter, dukungan keluarga: anak akan
mencari dukungan dari orang tua, dan saudara kandungan untuk melepaskan
tekanan akibat penyakit yang dideritanya; dan perkembangan koping dalam
menangani stressor pada anak baik dalam menerima keadaan bahwa anak harus
dirawat inap, maka akan lebih kooperatif anak tersebut dalam menjalani
perawatan di rumah sakit.
2.4.4 Dampak hospitalisasi pada anak
Anak akan merasa cemas, takut, sedih, dan perasaan tidak nyaman saat
dirawat (Supartini, 2004). Anak yang cemas akan mengalami kelelahan karena
menangis, tidak mau berinteraksi dengan perawat, rewel, menolak makan
sehingga memperlambat proses penyembuhan, menurunnya semangat untuk
sembuh dan tidak kooperatif terhadap perawat (Sari & Sulisno, 2012).
Universitas Sumatera Utara
20
Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dengan
lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama kelompok sosialnya.
Anak menjadi jauh dari temannya membuat anak merasa sendiri. Anak akan
merasakan kecemasan akibat perpisahan yang terjadi. Kehilangan kontrol
berdampak pada perubahan peran keluarga, ketidakmampuan fisik, dan takut akan
kematian (Wong, 2008). Anak merasa terlantar, cedera permanen, kehilangan
penerimaan teman, kurangnya produktivitas, dan ketidakmampuan menghadapi
stres (Wong, 2008).
Anak sering menganggap sakit adalah hukuman untuk perilaku buruk, hal
ini terjadi karena anak masih mempunyai keterbatasan koping. Anak juga
mempunyai kesulitan dalam pemahaman mengapa mereka sakit, tidak bisa
bermain dengan teman sebayanya, mengapa mereka terluka dan nyeri sehingga
mereka harus ke rumah sakit dan harus mengalami rawat inap. Reaksi anak
tentang hukuman yang diterimanya dapat bersifat kooperatif, menyebabkan anak
menjadi marah. Sehingga anak kehilangan kontrol sehubungan terganggunya
fungsi motorik yang mengakibatkan berkurangnya percaya diri pada anak,
sehingga tugas perkembangan yang sudah dicapasi akan terhambat (Wong, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Download