PROSES ADAPTASI SPEECH CODE DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA (Studi Deskriptif Kualitatif Mahasiswa Aceh yang Berinteraksi dalam Host Culture di Yogyakarta) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Ilmu Komunikasi Oleh: Rahmat Paska Risalah NIM. 11730071 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2015 MOTTO QS. Al- Baqarah : (286) “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” *** “Your greatest strength is the courage to try and also the courage to fail” (Kekuatan Terbesarmu Adalah Keberanian Untuk Mecoba Dan Keberanian Untuk Gagal) *** “Memang tidak ada yang tidak mudah, Akan tetapi tidak ada yang tidak mungkin” (Rahmat Paska Risalah) v HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan untuk : ALMAMATER ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA vi KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim Alhamdulillahirobbilalamin, puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan Nikmat dan Ridha-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat beserta salam, peneliti curahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Skripsi ini merupakan hasil dari bentuk keingintahuan peneliti di bidang Ilmu Komunikasi dalam meneliti komunikasi antar budaya. Penelitian ini merupakan bentuk kecintaan peneliti kepada Budaya Indonesia. Kekayaan budaya Indonesia merupakan warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan kepada generasi penerus bangsa, agar warisan budaya bangsa dapat dijadikan sebagai kekuatan dalam membentuk identitas dan pemersatu bangsa. Penelitian ini menjelaskan tentang proses adaptasi speech code komunikasi antar budaya yang dilakukan oleh mahasiswa Aceh yang berinteraksi dengan host culture Yogyakarta, dengan segala macam perbedaan dan benturan budaya speech code host culture Yogyakarta itu sendiri. Peneliti telah berupaya semaksimal mungkin untuk menggambarkan adaptasi proses speech code pada ranah komunikasi antar pribadi di dalam skripsi ini. Meskipun demikian, peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, peneliti berharap penelitian ini mendapatkan masukan berupa kritik dan saran agar skripsi ini menjadi lebih baik. Skripsi ini tentunya tidak dapat dilakukan oleh peneliti seorang diri. Banyak pihak yang telah vii membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Ungkapan terima kasih pun tidak lupa peneliti ucapkan kepada : 1. Dr. H. Kamsi, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, semoga dengan kehadiran beliau Fakultas Ilmu Sosial dan Humanioran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta semakin maju dan berkembang. 2. Drs. H. Bono Setyo, M.Si., selaku Kaprodi Ilmu Komunikasi yang senantiasa mengayomi mahasiswa sekaligus memimpin Prodi Ilmu Komunikasi ke arah yang lebih baik. 3. Diah Ajeng Purwani, S.Sos., M.Si, selaku dosen pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah banyak membantu peneliti dalam proses kuliah hingga skripsi. Peneliti sangat berterima kasih kepada beliau, karena telah mencurahkan tenaga dan fikirannya kepada mahasiswa bimbingannya. 4. Seluruh dosen Ilmu Komunikasi, yang telah mendedikasikan jasa dan ilmu pengetahuannya kepada peneliti: Pak Siantari, Pak Iswandi, Pak Alip, Pak Mahfud, Pak Iqbal, Pak Rama, Bu Yani, Bu Fatma, Bu Marfuah, Mbak Rika, serta Mbak Ninda. 5. Rekan-rekan Taman Pelajar Aceh (TPA) yang telah bersedia membantu dan menjadi narasumber saya dalam penelitian ini: Fakhrurrazi, Ani, Zaki, Reni, Aqila, Ardi, Bang Hamzah, dan Mas Tengku. Keluarga asrama Meurapi Duwa Aceh Dan Asrama Cut Nyak Dien, khususnya kepada: Mas Fikri, Pak Mugni, Risnelli, Irfan, dan Bu viii Epi, terima kasih telah membantu peneliti sampai tahap akhir. Terima kasih yang sebesar-besarnya khususnya kepada Fata yang telah sangat membantu penelti dalam penelitian ini. 6. Keluarga peneliti yang tak henti-hentinya men-support dan mendoakan peneliti hingga sekarang: Ayahanda tercinta Drs. Marliyas Malin Sutan, Ibunda tercinta Huriati, S.Ag., Uni Fifi, Zaki, dan semua saudara dan Karin kerabat peneliti. 7. Nurhadiani Gusmi, terima kasih untuk setiap waktu dan segala hal yang telah dilalui dan dibagi bersama peneliti, serta dukungan dan semangat yang tiada henti sampai saat ini. Kita percaya dengan niat, keyakinan, serta doa yang akan membawa kita kepada tujuan dimasa depan. Bersama kita senantiasa belajar untuk menjadi lebih dewasa. 8. Keluarga Peniliti di Hotel Al Barokah Yogyakarta; Om Engkeng, Tek Gus, Ipi, Ica, Alim, Aliya, Adit, Sahid, Mak Uwo, Bang Danis, Dan Oncu. Terima kasih telah menjadi bagian hidup peneliti di Yogyakarta, serta memberikan pengalaman hidup yang lebih berarti bagi peneliti. 9. Teman - teman Perhumas Muda Yogyakarta: Andri, Dhani, Anggi, Mas Mufid, Tia, Mbak Via, Ade, Feri, Anggie, Mega, dan temanteman lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Kalian luar biasa, terus maju dan kembangkan kreatifitas sebaik mungkin. 10. Teman-teman Komunitas Public Relation Orientied (PRO UIN SUKA), FOKASI UIN SUKA, Tim Akademia: Uud, Irhas, Olin, Amel, Vian, Tery, Dunia, Adit, Tea, Tiwi, Danang, Rahmat, Rian, Mas ix Irul, Mbak Monica, Ika, Budi, Vian, Nur, dan rekan-rekan lainnya di PRO yang hebat. Teruslah berkarya kawan. 11. Teman-teman Anggota Kontrakan Plumbon Jaya (AKPJ); Wahab, Iki, Ozan, Angga, Idam, Tanto, Anas, Fadol, Idar,Iwan, Nada, Idris, Doni, Ibu Angkringan, Bapak Magistra, terima kasih atas semua dukungan semangat kalian. 12. Seluruh teman/ sahabat seperjuangan jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2011, khususnya kepada Ihsan, Endah, Dayat, Hamam, Niken, Kholis, Restu, Bram, Irhas, Okta, Angel, Matari, Feri, Eni, Dino, Yoga, serta teman-teman lain yang ikut membantu proses penelitian saya dari awal sampai akhir.mudah-mudahan Allah SWT membalas kebaikan teman-teman semua. 13. Seluruh anak-anak Asrama Tanjung Raya (ASTARA) Yogyakarta; Farid, Buya, Bone, Faisal, Gafur, Bang Roker, Kak Faris, Ihsan, Si Bos, Daniel, Rahmat, Bang Hendra, Bang Erik, Bang Amul, Bang Al, Inas, Alam, Akbar, Kahfi, Said, Bang Findri, dan Dadang. Kalian adalah keluarga kecil peneliti yang membentu sampai detik ini. 14. Sahabat-sahabat peneliti yang telah menjadi keluarga kecil peneliti selama KKN; Yogi, Pak Sule, Fafa, Septi, Hisyam, Ridho, Irul, Mpok Mia, dan Masyarakat Kranggal Kidul yang telah banyak memberikan pengalaman kepada peneliti. 15. Seluruh pihak yang telah membantu peneliti hingga lulus kuliah. x DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i SURAT PERNYATAAN ...................................................................................... ii HALAMAN NOTA DINAS PEMBIMBING ..................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iv HALAMAN MOTTO ........................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... vi KATA PENGANTAR ........................................................................................... vii DAFTAR ISI .......................................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xv DAFTAR TABEL .................................................................................................. xvi ABSTRACT .......................................................................................................... xviii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 11 C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 11 D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 12 E. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 13 F. Landasan Teori ........................................................................................... 16 G. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 49 H. Metode Penelitian ....................................................................................... 50 xii BAB II GAMBARAN SOSIAL WILAYAH PENELITIAN A. Sosial Budaya Yogyakarta ......................................................................... 59 B. Bahasa dan Speech Code Yogyakarta ........................................................ 66 C. Kondisi Sosial Masyarakat Aceh di Yogyakarta ........................................ 71 BAB III PEMBAHASAN A. Identitas Informan ....................................................................................... 77 B. Speech Code .............................................................................................. 83 1. Proposisi Speech Code .......................................................................... 83 a. Kekhasan Speech Code ........................................................................ 83 1) Logat .............................................................................................. 84 2) Intonasi dan Tekanan Berbicara ......................................................... 89 3) Tempo dan Kecepatan Berbicara ....................................................... 91 4) Partikel dan Dialek Bahasa ................................................................ 95 5) Mimik .............................................................................................. 99 b. Subtansi Speech Code ......................................................................... 101 1) Psikologi.......................................................................................... 101 2) Sosiologi ........................................................................................ 103 3) Retroric .......................................................................................... 106 c. Makna Speech Code ............................................................................. 108 d. Kegunaan Speech Code ........................................................................ 111 e. Kekuatan Diskursif Speech Code ......................................................... 114 xiii f. Situs Speech Code................................................................................. 118 2. Elemen-elemen Speech Code ................................................................. 121 a. Persepsi ........................................................................................... 121 b. Pesan Verbal .................................................................................... 131 c. Pesan Non Verbal ............................................................................... 136 C. Proses Adaptasi Speech Code Mahasiswa Aceh yang Berkuliah di Yogyakarta .......................................................... 141 1. Tahapan Adaptasi Speech Code ............................................................. 141 a. Honeymoon ......................................................................................... 141 b. Frustation ........................................................................................... 144 c. Readjustment ....................................................................................... 147 d. Resolution ........................................................................................... 148 1) Full Participation ........................................................................... 148 2) Accommodation ............................................................................. 151 3) Fight .......................................................................................... 158 4) Flight .......................................................................................... 159 2. Proses dan Cara Adaptasi Speech Code .................................................. 161 a. Assimilation ........................................................................................ 161 b. Separation........................................................................................... 164 c. Integration .......................................................................................... 168 d. Marginalization .................................................................................. 170 e. Mode Gabungan Dari Relasi............................................................... 171 xiv BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................... ............. 174 B. Saran …………………............................................................................... 177 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xv DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Tahapan Dari Adptasi Budaya U-curve Theory of Adaptation.......... 35 xvi DAFTAR TABEL Tabel 1 Daftar Asrama Aceh Di Yogyakarta ........................................................ 71 xvii ABSTRACT This research discusses a process of Aceh students adaptation speech code in Yogyakarta. The research used a qualitative descriptive data collection techniques of observation, interviews, and documentation. The researchers discuss the stages and process of adaptation speech code by speech code analyzing aspects and propositions. It elements intercultural communication to involves it a perception, verbal communication and non-verbal communication. The speech code specificity into a proposition that differentiates culture. Speech code propositioncan be seen the process of aceh students adaptation to the host culture in Yogyakarta. Conflicts of speech code can be seen from the accent, intonation, expression, tempo and speed, as well as the augmentation particles and dialects. In the stage adaptation Aceh students speech code it perception and ability of the individual factors in selecting and arranging stimuli. The environment into the host culture underwent benchmark it honeymoon, frustration, readjustment, and resolution. Resolution stage is a finishing phase of Aceh student to enter the realm. The process of Aceh students adaptation speech code it full participation, accommodation, fight or even flight. The manner and process of adaptation of the speech code in the Assimilation. In this research don’t be isolated culturally but wants to maintain relations of other groups. Separation is the option of students Aceh that offers to decide to remain in their own cultures and avoid interaction. Integration is an option offered Aceh students to studying in Yogyakarta. It have an interest to retain its own culture while still holding the interaction with the people in Yogyakarta. While on marginalization Aceh student it have overseas in Yogyakarta will express little interest in maintaining ties with the differentiates culture. Keywords: Intercultural Communication, Speech Codes, Adaptation Speech Code BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunikasi sejatinya tidak hanya sekedar percakapan sederhana atau pertukaran informasi semata yang terjadi diantara pelaku komunikasi, lebih dari itu komunikasi memiliki berbagai macam langkah dan proses yang rumit. Rangkaian proses ini nantinya yang akan membawa pelaku komunikasi dalam menciptakan, menterjemahkan, serta merespon sebuah pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain. Keberagamanan budaya Indonesia sejatinya telah menjadi simbol identitas dan kekayaan yang dimiliki Indonesia. Lewat keberagaman budaya ini, Indonesia memiliki sejuta corak dan gaya komunikasi yang dimiliki oleh masyarakatnya. Peribahasa “lain padang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya” sangat tepat digunakan untuk menggambarkan bagaimana manusia memiliki karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan lingkungan dan faktor pembentuk dalam kehidupannya. Sikap keterbukaan, toleransi, dan saling menghormati pun sangat dibutuhkan dalam menjalin komunikasi antarbudaya di Indonesia. “Bhineka Tunggal Ika” merupakan semboyan pemersatu budaya yang telah melekat sejak dulu di Indonesia. Semboyan ini juga menggambarkan betapa Indonesia kaya akan budaya yang dimiliki oleh masyarakatnya. Menurut data disitus laman resmi Republika Online (m.republika.co.id/berita/nasional/umum/), terdapat lebih dari 11200-an kelompok etnis dan suku bangsa di Indonesia seperti; 1 Jawa, Bali, Minang, Dayak dan lain-lain. Dari jumlah suku tersebut di prediksi terdapat 726 bahasa daerah yang hingga saat ini baru 456 bahasa daerah yang berhasil dipetakan. Masing-masing suku dan etnis tersebut memiliki bahasa daerah dan dialeknya masing-masing. Keberagaman suku dan etnis di Indonesia ini menandakan terdapatnya ratusan variasi bahasa dan istilah untuk menggambarkan suatu benda ataupun keadaan dalam proses komunikasi masyarakatnya di Indonesia. Keberagaman budaya ini sendiri telah di jelaskan oleh Allah SWT dalam surat Al Hujurat ayat 13, yaitu: ٌَب أٌَُّهَب انىَّبس إِوَّب َخهَ ْقىَبك ْم ِم ْه َر َكش َوأ ْوثَى َو َج َع ْهىَبك ْم شعىبًب َوقَبَبئِ َم نِتَ َعب َسفىا َّ إِ َّن أَ ْك َش َمك ْم ِع ْى َذ َّ َللاِ أَ ْتقَبك ْم إِن ٌعهٍِم َخ ِبٍش َ ََللا "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (QS. Al Hujurat: 13) Ayat diatas menjelaskan tentang perbedaan manusia yang diciptakan berbeda-beda sesuai budaya yang ada di lingkungannya, agar manusia tersebut dapat saling mengenal dan memahami antara satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut harus dimaknai sebagai anugerah dari Allah SWT, agar manusia dapat saling mengenal dan saling memahami sebagai makhluk sosial. Keberagaman budaya yang jelaskan oleh QS. Al Hujurat: 13 ini, bisa dilihat dari kekayaan budaya yang dimiliki oleh Indonesia. Lewat keragaman 2 budaya ini tentu akan melahirkan perbedaan antara satu budaya dengan budaya yang lain, oleh karena itu dibutuhkan pemahaman dan penyesuaian diantara keragaman budaya yang ada di Indonesia. Salah satunya bentuk pemahaman dan penyesuaian budaya itu berupa adaptasi budaya. Adaptasi budaya merupakan salah satu bentuk penyesuaian dan pemahaman individu atau kelompok dalam keragaman budaya, sehingga adaptasi budaya ini akan meminimalisir resiko-resiko terjadinya konflik antar budaya. Oleh kerena itu adaptasi budaya merupakan upaya pengenalan dan pemahaman atas keberagaman budaya. Dalam QS. Al Hujurat: 13 manusia diperintahkan untuk melakukan upaya untuk saling mengenal dan saling memahami antara budaya agar tercipta kerukunan hidup manusia itu sendiri. Keberagaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia ini, akan mengkontrkusi pola komunikasi masyarakatnya. Budaya dan komunikasi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Budaya sangat mempengaruhi komunikasi dan komunikasi sangat mempengaruhi budaya. Karena budaya itu sangat mempengaruhi komunikasi, maka setiap tindak komunikasi yang dilakukan seseorang, akan sangat dipengaruhi budaya yang menjadi pijakan hidup orang tersebut. Komunikasi sendiri merupakan „basic social process‟, yang artinya budaya membawa pengaruh dalam segi kehidupan setiap orang. Makna yang terkandung dalam setiap pesan yang digunakan dalam berkomunikasi sangat dipengaruhi oleh budaya yang melatarbelakanginya (Darmastuti, 2013: 41). Selain itu dalam kebudayaan, ada sistem dan dinamika yang mengatur cara pertukaran 3 simbol-simbol dalam komunikasi, dan hanya dengan komunikasilah pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan (Liliweri, 2004: 21). Korelasi antara budaya dan komunikasi ini dapat terlihat dari system syari‟at Islam yang menjadi pondasi interaksi kehidupan masyarakat di Aceh. Qanun merupakan salah satu pondasi kebudayaan masyarakat Aceh yang berpedaman kepada syari‟at Islam. Qanun juga merupakan peraturan perundangundangan sejenis peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintah dan kehidupan masyarakat di provinsi Aceh. Hal ini bisa terlihat dari hukuman cambuk yang diberikan kepada seorang pelanggar hukum seperti; berjudi, berzina, dan melakukan pemerkosaan. Qanun akan diberlakukan jika perbuatannya tidak diatur dalam hukum nasional atau kitab undang-undang hukum pidana (www.bbc.co.uk). Selain itu System Qanun ini juga terlihat dari pelarangan budaya duduk mengangkang bagi kaum hawa saat berboncengan di atas motor, serta pewajiban bagi kaum hawa untuk memakai jilbab (menutup aurat) selama berada di Aceh (http://sp.beritasatu.com). Sistem Qanun yang menjadi pondasi budaya dalam kehidupan sehari-hari di Aceh, akan membentuk pola komunikasi masyarakat Aceh sendiri. Qanun yang barazazkan kepada syari‟at Islam akan mengkontruksi nilai-nilai keislaman dalam interaksi sosial masyarakat Aceh sehari-hari. Hal ini terlihat dari masyarakat Aceh yang lantang dalam berbicara, mengeluarkan pendapat, serta dalam pengambilan keputusan berdasarkan syaria‟at agama Islam. Komponen-kompenen dari sistem kebudayaan yang membentuk gaya bahasa seseorang atau kelompok tertentu disebut dengan Speech code. Speech 4 code (kode bicara) dalam komunikasi antara budaya berupa sistem konvensi yang mengorganisasi dan mengkombinasikan tanda-tanda antara satu dengan yang lain berupa kata-kata atau image, tetapi juga perilaku dan konsep (Liliweri. 2002:178). Jadi bisa disimpulkan, bahwa sistem kebudayaan yang membentuk pola komunikasi seperti Qanun di Aceh, akan mengkonstruksi speech code masyarakat Aceh. Hal ini terlihat dari gaya berbicara, logat khas melayu, kecepatan berbicara, nada yang lantang, cara berbicara, isi percakapan, intonasi, gaya bicara puitis, mimik, serta komponen-komponen lainnya yang berkenaan dengan gaya bahasa. Philipsen menegaskan bahwa speech code merupakan element pembeda antara satu budaya dengan budaya yang lain. Speech code mendasari sebuah komunitas percakapan yang memiliki arti dalam bagaimana menjadi seseorang, bagaimana bertindak atau berkomunikasi dalam kelompok sosial (Littlejohn.2011: 462). Speech code yang menjadi identitas sebuah budaya, akan mengalami pergolakan adaptasi ketika seseorang atau kelompok melakukan mobilitas ke daerah lain. Hal inilah yang dialami masyarakat Aceh ketika melakukan mobilitas ke daerah Jawa. Menurut data yang dirilis oleh Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia pada Essay Strategi pengarahan mobilitas penduduk dalam perspektif ketahanan nasional dalam menigkatkan harmonisasi hubungan pusat dan daerah, (LKN Indonesia, 2011: Bidang Ketahanan Nasional), menyebutkan bahwa penyebab arus migrasi di Indonesia yang cenderung menigkat dari tahun ketahun karena berbagai alasan, seperti untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik atau 5 pekerjaan. Kebutuhan akan memperoleh pendidikan setinggi mungkin, menjadi alasan masyarakat Aceh dalam melakukan mobilitas ke pulau Jawa. Salah satu daerah yang menjadi tujuan favorit masyarakat Aceh dalam memperoleh pendidikan adalah Yogyakarta. Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar, menjadikan kota ini tempat tujuan favorit yang dikunjungi pelajar dari penjuru nusantara. Universitas favorit negeri maupun swasta melengkapi infrastruktur pendidikan di Yogyakarta. Keramahan dan keterbukaan masyarakanya, menjadi nilai tambah seluruh pelajar di Indonesia untuk menuntut ilmu di Yogyakarta. Kultur budaya Jawa yang masih kental serta ditambahnya masyarakatnya yang plural, membuat interaksi sosial masyarakat Yogyakarta dikenal dengan keramahan sikap, pola berbicara yang lemah lembut, serta tutur kata sopan dan tidak menyakiti hati orang lain. Sebagai mahasiswa pendatang yang menuntut ilmu di daerah dengan latar budaya baru, mahasiswa Aceh akan merasa asing ketika berada di Yogyakarta terutama daerah yang memiliki latar budaya yang berbeda dari daerah asalnya. Kehadiran mereka pun sangat mudah dikenali, terutama dari sisi speech code yang mereka gunakan, seperti bahasa dan logat yang digunakan sangat berbeda dengan host culture (budaya lokal yang menjadi budaya tuan rumah dalam proses adaptasi komunikasi antarbudaya). Perbedaan budaya tentu sangat jelas dirasakan mahasiswa Aceh ketika berinteraksi dan beradaptasi dengan budaya host culture di Yogyakarta seperti bahasa, cara berbicara, dan kebiasaan masyarakatnya. Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah yang selalu digunakan oleh masyarakat 6 Yogyakarta dalam kesehariannya, bahkan yang sudah berusia lanjut bahasa Jawa merupakan bahasa satu-satunya yang digunakan dibanding bahasa Indonesia. Kebudayaan yang berbeda ini memiliki sistem dan dinamika yang berbeda pula dalam mengatur simbol-simbol dalam komunikasi. Speech code masyarakat Aceh yang terlihat dari gaya berbicaranya keras (gaya berbicara anak pantai), logat khas melayu, kecepatan berbicara, nada yang lantang, jujur dan frontal (mengungkapkan kekurangan langsung didepan lawan bicara), tegas, gaya bicara puitis, serta mimik yang bercampur dengan nada melayu. Yogyakarta sendiri memiliki Speech code yang berbeda dengan masyarakat Aceh, hal ini terlihat dari gaya berbicara masyarakat Yogyakarta yang lemah lembut, logat khas jawa yang kental, kecepatan berbicara yang pelan, nada dan mimik suara yang pelan dan lemah lembut, menggunakan tingkatan dalam penggunaannya berdasarkan lawan bicara, cara berbicara sopan yang mengutamakan tata krama, pembicaraan yang tidak menyinggung, serta menggunakan intonasi dan tekanan gaya berbicara yang berbeda dengan Aceh Samovar & Porter (1991: 48) menyatakan bahwa budaya adalah dasar dari komunikasi; jika budaya berbeda, maka praktik komunikasi juga berbeda. Jika kita berkomunikasi antarbudaya perlu diperhatikan bahwa ada kebiasaan (habits) budaya yang mengajarkan kepatutan kapan seseorang harus atau boleh berbicara. Orang Aceh, orang Timor, Batak, Sulawesi, Ambon, Irian, mewarisi sikap kapan saja bisa bicara, tanpa membedakan yang tua dan muda, artinya berbicara tanpa mengenal batas usia. Namun orang Jawa dan Sunda mengenal aturan atau kebiasaan kapan orang berbicara. Semisal ketika orang Aceh berbicara dengan 7 orang Jawa, orang Jawa itu diam saja dan orang aceh marah-marah; kenapa anda diam saja? diam artinya anda tidak mau tahu, tidak mau dengar apa yang saya bicarakan. Perbedaan norma berbahasa ini dapat mengakibatkan konflik antar budaya hanya karena salah memberikan makna kapan orang harus berbicara. (Liliweri.2003:95) Budaya Jawa yang diadaptasi perantau memberikan identitas budaya host culture, diantaranya dapat diidentifikasi dari komunikasi dan bahasa berupa speech code. Perbedaan masyarakat yang berinteraksi dengan budaya berbeda dapat berupa logat, gaya bicara, tata cara, perilaku nonverbal, atau simbol-simbol lain yang digunakan. Salah satu yang membedakan dari cara mereka berkomunikasi adalah latar belakang budaya yang berbeda (Anugrah. 2008:31). Element-element pembeda dalam proses komunikasi antarbudaya ini harus diimbangi dengan berbagai macam cara adaptasi salah satunya adalah adaptasi Speech code. Adaptasi Speech code menekankan kepada kemampuan orang asing dalam menyesuaikan suasana melalui gaya bahasa ketika bersama atau di lingkungan orang asing (Griffin, 2006: 424). Pelaku dalam komunitas lokal menciptakan makna bersama menggunakan kode yang memiliki sejumlah pemahaman. Gerry Philipsen, seorang pemimpin dalam etnografi komunikasi juga mendefenisikan sebagai speech code sebagai serangkaian pemahaman khusus dalam sebuah budaya tentang apa yang dinilai sebagai komunikasi, signifikansi bentuk komunikasi dalam budaya, bagaimana semua bentuk tersebut dapat dipahami, dan bagaimana mereka ditujukan (Littlejohn.2011: 461). 8 Hal ini menunjukan speech code dapat dilihat dari pemaknaan anggota budaya dalam mengubah perilaku dan kosakata mereka dengan pola yang berbeda dalam komunikasi. Fenomena mobilitas mahasiswa Aceh yang berinteraksi dengan host culture Yogyakarta, menggambarkan perbedaan budaya yang menjadi sebuah keharusan bagi mahasiswa perantauan untuk beradaptasi terhadap penggunaan bahasa Jawa dan kebiasaan host culture. Mahasiswa perantauan perlu memahami kebiasaan speech code dari host culture di Yogyakarta, berupa komunikasi non verbal seperti menyapa dengan anggukan sambil tersenyum yang diikuti dengan sapaan „monggo‟ atau bahasa tubuh menyilakan masuk menggunakan tangan ketika mempersilakan seseorang masuk terlebih dahulu yang terkadang juga diikuti dengan kata „monggo‟. Aspek-aspek speech code seperti gaya berbicaranya, logat, kecepatan, intonasi, isi pembicaraan, nada dan mimik dan aspek lainnya yang menjadi tolak ukur mahasiswa Aceh yang berinteraksi di Yogyakarta dalam melakukan adaptasi dengan host culture Yogyakarta. Benturan budaya yang terjadi dalam ranah speech code ini harus diimbangi dengan komunikasi maindfullness secara dalam agar tidak terjadinya „noise‟ dalam komunikasi. Maindfullness merupakan proses dimana seseorang secara sadar mengelola anxiety (perasaan khawatir, tegang, takut atau gelisah atas yang mungkin terjadi saat berkomunikasi dengan orang asing) dan uncertainty (keraguan atas kemampuan untuk memprediksi hasil dari interaksi dengan orang asing) terhadap orang lain dalam sebuah situasi komunikasi (Griffin, 2006: 431). 9 Gangguan dalam berkomunikasi (noise) dalam komunikasi antar budaya tersebut akrab di telinga kita dengan istilah culture shock. Culture shock merupakan hal yang selalu dan hampir pasti terjadi (disease/wabah) dalam adaptasi budaya. Culture shock merupakan rasa putus asa, ketakutan yang berlebihan, terluka, dan keinginan untuk kembali yang besar terhadap rumah. Hal ini disebabkan karena adanya rasa keterasingan dan kesendirian yang disebabkan oleh benturan budaya. Ketika seseorang masuk kedalam budaya lain, keluar dari zona nyamannya, maka orang tersebut akan mengalami hal tersebut (Ruben & Stewart, 2006: 340). Benturan budaya yang terjadi terlihat ketika aspek-aspek speech code yang saling berbeturan dan berbeda antara Aceh dengan Yogyakarta. Mahasiswa Aceh yang dikenal sebagai orang yang lantang dalam mengeluarkan pendapat, tentu mengalami benturan dengan speech code Yogyakarta yang dikenal lemah lembut dalam berucap. Culture shock merupakan gejala awal yang terjadi pada perantau yang kemudian diikuti oleh adaptasi budaya. Dalam proses adaptasi budaya khususnya dalam aspek speech code, biasanya perantau harus bisa beradaptasi dengan berbagai cara, proses itu bisa dilakukan dengan menyamakan (meniru) dan menyesuaikan persepsinya dalam bahasa atau dialek setempat, atau mengadopsi beberapa nilai agar bisa diterima, atau mungkin dengan mencari teman sepenanggungan dan membentuk komunitas baru yang berbeda dengan keadaan lokal. Salah satu cara untuk memahami penyesuaian antar budaya adalah dengan bersikap sesuai dengan pergaulan dan efektif antar individu dalam host culture. Setiap mahasiswa perantauan yang 10 berasal dari Aceh memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga perlu adanya pemahaman karakteristik dari masing – masing individu agar dapat terjalin komunikasi yang efektif. Dari paparan diatas dapat dikatakan bahwa dalam tahap perubahan adaptasi budaya terjadi perubahan pada pengetahuan berdasarkan interaksi yang mencangkup perubahan bahasa, gaya verbal dan non verbal, isu-isu komunikasi yang berkaitan dengan perbedaan. Para pendatang baru akan merasakan perubahan terhadap bentuk komunikasi mereka sebagai bentuk implikasi dari proses adaptasi mereka didaerah baru. Atas dasar inilah penulis tertarik untuk meneliti bagaimana proses adaptasi speech code dalam komunikasi antarbudaya mahasiswa Aceh yang berinteraksi dalam host culture di Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti memiliki rumusan masalah yaitu “Bagaimana proses adaptasi speech code dalam komunikasi antar budaya mahasiswa Aceh yang berinteraksi dalam host culture di Yogyakarta?” C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk meneliti dan menganalisis proses adaptasi speech code dalam komunikasi antar budaya pada mahasiswa Aceh yang berinteraksi dalam host culture di Yogyakarta. Melalui penelitian peneliti akan mengetahui bagaimana proses adaptasi speech code dalam komunikasi antar 11 budaya mahasiswa Aceh yang kuliah di Yogyakarta yang berbenturan dengan host culture Yogyakarta. D. Mamfaat Penelitian Melalui penelitian ini, peneliti berharap dapat memberikan mamfaat dalam: a. Mamfaat Akademis 1) Penelitian ini diharapkan dapat memperluas serta memperkaya wawasan kajian ilmu komunikasi tentang perubahan speech code komunikasi dalam adaptasi budaya. 2) Memberikan tambahan referensi dan informasi kepada mahasiswa ilmu komunikasi yang mengadakan penelitian sejenis tentang perubahan speech code komunikasi dalam adaptasi budaya. b. Mamfaat praktis 1) Penelitian ini diharapkan mampu menumbuhkan rasa solidaritas dan keterbukaan terhadap kaum pendatang demi terciptanya komunikasi antarbudaya yang baik dan efektif. 2) Penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi kaum pendatang dalam beradaptasi terhadap host culture secara mindful demi mencegahnya konflik antar budaya. 12 E. Tinjauan Pustaka Dalam menyusun penelitian ini, penulis melakukan penyelusuran dan pencarian litaratur yang bertema serupa dengan permasalahan yang menjadi fokus penelitian yang penulis lakukan, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan maupun acuan ketika mengerjakan skripsi ini. Telaah pustaka ini juga memberikan gambaran kepada peneliti tentang permasalahan dengan tema yang sama berdasarkan penelitian terdahulu. Selain itu penyelusuran literatur juga penulis lakukan untuk menghindari plagiasi agar membuktikan bahwa judul dan penelitian yang penulis ambil benar-benar original dan belum pernah ada sebelumnya. Adapun telaah pusataka yang pertama adalah dari saudara Muhammad Hyqal Kevinzky mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Indonesia tahun 2011, yang berjudul Proses dan Dinamika Komunikasi Dalam Menghadapi Culture Shock Pada Adaptasi Mahasiswa Perantauan (Kasus Adaptasi Mahasiswa Perantau di UNPAD Bandung). Dalam hasil penelitian ini menyebutkan bahwa terdapat 3 hal yang paling berpengaruh dan saling mempengaruhi dalam keputusan adaptasi seseorang yaitu steriotip yang dibawa merantau, lingkungan yang dia tinggali dan motivasi yang dia miliki untuk beradaptasi dan bertahan diperantauan. Hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa peneliti menemukan kecenderungan seseorang dalam beradaptasi yang dipengatuhi oleh daerah tinggalannya. Hal ini yang menentukan bagaimana seseorang bersikap untuk pertamakalinya di lingkungan yang asing. 13 Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang penulis adalah sama-sama menagnalisis adaptasi komunikasi antarbudaya yang mengunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Selain itu persamaan lainnya yakni metode pengumpulan data sama-sama menggunakan wawancara mendalam yang menekankan kepada adaptasi budaya. Adapun perbedaannya terletak kepada objek penelitian. Jika saudara Muhammad Hyqal lebih menekankan kepada kaum perantauan di UNPAD Bandung, sedangkan peneliti lebih tertarik kepada mahasiswa Aceh yang berinteraksi dengan host culture Yogyakarta dengan penggambaran spesifikasi yang jelas terhadap benturan budaya kedua belah pihak. Selain itu penulis juga lebih mengkerucutkan kepada permasalah speech code adaptasi budaya dalam menghadapi culture shock. Selain itu peneliti juga menjadikan skripsi dari saudari Durrotul Mas‟udah mahasiswi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2014, yang berjudul Mindfulness dalam Komunikasi Antarbudaya (Studi Deskriptif pada Peserta Indonesia – Poland Cross-Cultural Program) sebagai telaah pustaka yang kedua. Hasil penelitian ini mengatakan bahwa peserta IPCCP telah mampu mengelola uncertainty dan anxienty mereka secara mindful melalui berbagai upaya yang telah mereka lakukan. Penelitian ini sama-sama mengangkat komunikasi antar budaya serta proses adaptasi budaya. Penekanan pada Mindfulness juga menjadi kesamaan peneliti dengan penelitian saudari Durrotul Mas‟udah dalam proses adaptasi. Kesamaan lainnya berupa pendekatan metode studi kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam terkait adaptasi budaya. Selain 14 itu peneliti juga sama-sama menggunakan teknik analisis data yang sama dengan saudari Durrotul Mas‟udah. Sedangkan perbedaanya terletak pada objek penelitian, dalam hal ini penulis mengangkat Aceh sebagai objek penelitian yang lebih bersifat representatif terhadap kegelisahan peneliti. Selain itu peneliti juga lebih mengkerucutkan masalah kepada pola komunikasi speech code pendatang dalam proses adaptasi budaya host culture. Selain itu, objek peneliti yang lebih bersifat beragam terhadap tujuan mobilitas individu dan karakteristik personal yang berpengaruh selama adaptasi, membuat penelitian ini lebih kompleks. Peneliti juga menggunakan Jurnal Hukum saudara Johni Najwan Dosen dan Ketua Program Pascasarjana Universitas Jambi tahun 2009, yang berjudul konflik antar budaya dan antar etnis di Indonesia serta alternatif penyelesaiannya. Hasil dari penelitian ini mengatakan bahwa diperlukan sikap keterbukaan dan pemahaman akan keberagaman budaya. sebagai salah satu alternative untuk menyelesaikan konflik antar budaya dan konflik etnis di Indonesia, maka diperlukan adanya pemahaman yang lebih mendalam mengenai fungsi dan peranan hukum dalam kehidupan masyarakatyang berbentuk multi budaya dan multi etnis. Peneliti tertarik untuk menjadikan jurnal ini sebagai telaah pustaka yang ketiga, karena jurnal ini juga memandang aspek ranah hukum sebagai panutan dan pedaman interaksi sosial masyarakat Indonesia dalam beradaptasi dilingkungan baru. Dalam proses adaptasi yang ditekankan peneliti, dalam hal ini 15 kecenderungan dan resiko-resiko atas penanganan konflik selama proses adaptasi komunikasi antar budaya. Penelitian ini sama-sama mengangkat dan mengkaji pemahaman terhadap keberagaman budaya dan cara pemahaman atas keberagaman demi mencegah konflik antar budaya selama proses adaptasi berlangsung. Perbedaan penelitian ini terletak kepada objek penelitian yang lebih dikerucutkan kepada speech code dalam adaptasi komunikasi budaya. Selain itu ranah jurnal ini lebih bergerak dibidang hukum atas dasar solusi dan pencegahan konflik selama proses adaptasi berlangsung, sedangkan peneliti bergerak dibidang komunikasi yang menekankan aspek speech code dalam pemaknaan adaptasi komunikasi antarbudaya. F. Landasan Teori 1. Komunikasi Antarbudaya Dalam buku “Intercultural communication: A Reader” menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya (intercultural communication) terjadi apabila sebuah pesan (message) yang harus dimengerti, dihasilkan oleh anggota dari budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain (Samovar & Porter, 1994: 19). Samovar dan Porter mengatakan, untuk mengkaji komunikasi antarbudaya perlu dipahami hubungan antara kebudayaan dengan komunikasi. Komunikasi antarbudaya berkaitan dengan proses interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latarbelakang kebudayaan yang berbeda. Melalui pengaruh 16 budayalah manusia belajar komunikasi dan memandang dunia mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan kebudayaan. Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek sosial atau peristiwa. Cara-cara manusia berkomunikasi, keadaan berkomunikasi, bahkan bahasa dan gaya bahasa yang digunakan, perilaku - perilaku nonverbal merupakan respons terhadap dan fungsi budaya. Komunikasi yang berjalan dengan baik menjadi suatu tantangan dalam berlangsungnya komunikasi antarbudaya. Ketika makna dan pemahaman sama sekali berbeda, maka pesan yang di sampaikan bisa saja tidak sampai atau menjadi berbeda maksudnya (Liliweri, 200 : 160). Fisher mengatakan bahwa makna dalam komunikasi tidak pernah secara total sama untuk semua komunikator, adalah dengan tidak mengatakan bahwa komunikasi adalah sesuatu yang tak mungkin atau bahkan sulit tapi karena komunikasi tidak sempurna (Gudykunst dan Kim, 2003: 269-270). Jadi untuk mengatakan bahwa dua orang berkomunikasi secara efektif maka keduanya harus meraih makna yang relatif sama dari pesan yang dikirim dan diterima (penginterpretasian pesan yang sama). a. Interaksi Sosial dalam Komunikasi Antarbudaya Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antarindividu, individu (seseorang) dengan 17 kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Tanpa adanya interaksi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Proses sosial adalah suatu interaksi atau hubungan timbal balik atau saling mempengaruhi antar manusia yang berlangsung sepanjang hidupnya didalam masyarakat. (Liliweri, 2005 : 126). Interaksi sosial dalam komunikasi antar budaya diartikan sebagai cara-cara berhubungan yang dapat dilihat jika individu dan kelompokkelompok sosial saling bertemu serta menentukan sistem dan bentuk hubungan sosial dalam komunikasi yang terjadi antar budaya yang berbeda. Interaksi sosial dalam adaptasi speech code menjadi sebuah pemaknaan dan pertukaran simbol-simbol dan makna yang saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sam lain atau berkomunikasi satu sama lain (Philipsen, G. 1997: 35). Jadi dalam kasus interaksi sosial dalam komunikasi antarbudaya, akan mempengarhui setiap tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain. Faktor yang menyebabkan kehidupan terasing misalnya sengaja dikucilkan dari lingkungannya, mengalami cacat, pengaruh perbedaan ras dan perbedaan budaya. Dengan negosiasi yang terjadi dalam interkasi komunikasi antarbudaya akan melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. 18 Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama (Soekanto.2003: 129). Komunikasi antarbudaya terjadi kapanpun seorang penghasil pesan adalah seorang anggota dari satu budaya dan seorang penerima pesan adalah anggota dari budaya yang lainnya. Komunikasi dan budaya secara timbal balik saling mempengaruhi satu sam lain. Budaya dari mana individu-individu berasal mempengaruhi cara mereka berkomunikasi, dan cara individu-individu berkomunikasi bisa merubah budaya yang saling mereka pertukarkan. Peran interaksi dalam Komunikasi antarbudaya menjadi proses yang dinamis dengan berusaha untuk berbagi masalah internal mereka dengan orang lain melalui penggunaan simbol sebuah proses komunikasi memiliki dimensi yang sangat luas dalam pemaknaannya, karena dilakukan oleh subjek-objek yang beragam dan konteks sosial yang majemuk. (Samovar, Porter, dan McDaniel, 2010:18). Dalam komunikasi antarbudaya interaksi sosial menjadi proses pertukaran dan penyesuaian yang komplek antara pendatang dengan host culture. Kontak sosial yang terjadi dapat pula bersifat primer dan 19 sekunder. Kontak sosial primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapam muka, Sebaliknya kontak sosial yang sekunder memerlukan suatu perantara dalam komunikasinya. b. Host culture Pembahasan host culture dalam ranah komunikasi antarbudaya akan merujuk pada karakteristik bahwa budaya itu didasarkan pada simbol. Host culture merupakan budaya lokal yang menjadi budaya tuan rumah dalam proses adaptasi komunikasi antarbudaya. Host Culture menjadi acuan terhadap pemaknaan simbol-simbol yang disesuaikan oleh pendatang. Dalam hal ini speech code host culture menjadi titik tumpuan dalam standarisari acuan terhadap speech code pendatang (Littlejohn. 2011: 314). Host culture menjadi tolak ukur dan fondasi dari hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku dan diterapkan di dalam masyarakat. Dengan adanya nilai dan norma yang berlaku pada sebuah budaya, interaksi sosial pendatang dengan host culuter itu sendiri akan berlangsung dengan baik jika aturan - aturan dan nilai – nilai yang ada dapat dilakukan dengan baik (Stephen W and Karen 2011: 201). Hubungan antara budaya dan simbol yang diberikan kepada pendatang menjadi jelas ketika Ferraro menuliskan, simbol mengikat orang yang mungkin saja bukanlah bagian dari suatu kelompok yang bersatu. 20 Portabilitas (sifat yang mudah dibawa) dari host culture menjadi simbol yang memungkinkan pendatang untuk membungkus, menyimpan, dan menyebarkan. Hal ini membuat setiap individu, tanpa memandang generasi, mewarisi sejumlah informasi yang dikumpulkan dan dipertahankan sebagai antisipasi ketika ia masuk dalam suatu budaya Ikatan antara generasi dalam speech code host culture menyatakan hubungan yang jelas antara budaya dan komunikasi. Komunikasilah yang membuat budaya berkelanjutan, ketika kebiasaan budaya, prinsip, nilai, tingkah laku, dan sebagainya diformulasikan, mereka mengkomunikasikan hal ini kepada anggota yang lainnya. Satu ikatan yang putus akan mengarah pada musnahnya suatu budaya (Samovar. 2010: 44). Adanya hubungan timbal balik dalam memperngaruhi tiap individu pada saat terjadinya komunikasi dapat membentuk suatu pengetahuan maupun pengalaman baru yang dirasakan oleh masing – masing individu. Hal ini membuat kegiatan komunikasi menjadi suatu dasar yang kuat dalam kehidupan maupun proses sosial seseorang. proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik antara host cuture dengan pendatang yang akan membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Terjadinya hubungan antara dua orang atau lebih dari budaya yang berbeda akan memunculkan berbagai macam proses yang terjadi dalam diri individu-individu, seperti yang terjadi antara pendamping dengan 21 masyarakat yaitu seeking similaritas, adalah keadaan individu untuk memiliki selera atau minat yang sama cenderung berkelompok atau bersama. Seperti yang terjadi antara tenaga pendamping sebagai stanger atau orang asing dan masyarakat sebagai host culture akan mencari persamaan dengan tenaga pendamping. Peranan host culuture dalam Komunikasi antarbudaya ini dapat menjadi pondasi pertukaran dan pemahaman makna dengan negosiasi, pertukaran simbol, sebagai pembimbing perilaku budaya, untuk menujukkan fungsi sebuah kelompok. Dengan pemahaman mengenai komunikasi antar budaya dan bagaimana komunikasi dapat dilakukan, maka kita dapat melihat bagaimana komunikasi dapat mewujudkan perdamaian dan meredam konflik di tengah-tengah masyarakat. 2. Speech Code Gerry Philipsen, seorang pemimpin dalam etnografi komunikasi mendefenisikan sebagai speech code sebagai serangkaian pemahaman khusus dalam sebuah budaya tentang apa yang dinilai sebagai komunikasi, signifikansi bentuk komunikasi dalam budaya, bagaimana semua bentuk tersebut dapat dipahami, dan bagaimana mereka ditujukan (Littlejohn.2011: 462). Teori speech code ini meneliti tentang kemampuan orang asing dalam menyesuaikan suasana melalui gaya bahasa ketika bersama atau di lingkungan orang asing (Griffin, 2006: 424). 22 Speech code adalah sebuah budaya yang tidak tertulis dan sering menjadi “buku panduan” bahwa sadar untuk bagaimana berkomunikasi dalam budaya. Philipsen menegaskan tentang speech code (Littlejohn.2011: 462), pertama, kode seperti itu adalah khusus, mereka berbeda dari satu budaya dengan budaya lain. Kedua, komunitas percakapan akan memiliki speech code ganda. Walaupun kode tunggal sangat mendominasi pada waktu dan tempat tertentu, dalam komunitas, beberapa kode mungkin telah disebarkan. Ketiga, speech code mendasari sebuah komunitas percakapan yang memiliki arti dalam bagaimana menjadi seseorang, bagaimana bertindak atau berkomunikasi dalam kelompok sosial. Keempat, kode menuntun apa yang sebenarnya pelaku komunikasi alami ketika mereka berinteraksi satu sama lain. Kode memberitahu mereka tindakan apa yang dapat dinilai sebagai komunikasi. Kelima, speech code tidak memecah sesuatu yang telah ada, namun ditambahkan dalam percakapan sehari-hari. Anda dapat mendeteksi speech code dengan bagaimana anggota budaya mengubah perilaku dan kosakata mereka dengan pola yang berbeda dalam komunikasi. Keenam, speech code sangat kuat. Mereka membentuk sebuah dasar dimana budaya akan mengevaluasi dan melakukan komunikasinya. Kemampuan atau kualitas performa dalam komunikasi diperhatikan dan dievaluasi berdasarkan kebutuhan speech code (Littlejohn.2011: 461-462). 23 a. Proposisi Speech Code Philipsen membaca sebuah artikel yang di keluarkan oleh ahli antropologi dan bahasa Virginia Dell Hymes, “The Ethnography of Speaking”. Dengan kode bicara, Philipsen mengacu pada pengaruh “latar belakang, konstruksi sistem sosialm arti, pendapat, dan peraturan yang berhubungan dengan aturan komunikatif”. Hal yang membedakan kode bicara merupakan proposisi-proposisi yang mengkonstruksi speech code itu sendiri. Lewat paparan proposisi ini, akan mengklasifikasikan speech code dengan memecahnya dalam 6 bagian. Proposisi speech code juga berperan dalam pembentukan identitas speech code pada sebuah budaya, sehinga akan speech code yang muncul akan teridentifikasi dengan jelas. Proposisi speech code tersebut diantaranya (Griffin, 2006: 424-514): 1) Kekhasan Speech Code Dimanapun ada perbedaan budaya, maka akan ditemukan perbedaan speech code. Mahasiswa yang berasal dari Aceh akan berbicara dengan keterbukaan sedangkan mahasiswa asli Yogyakarta akan berbicara dengan hati –hati dan disesuaikan dengan status lawan bicaranya. Tata krama dalam budaya Jawa berbicara dengan „unggahungguh‟ yang biasanya tidak berbicara dengan terus terang menggenai hal yang kurang berkenan dengan lawan bicaranya. Setiap budaya khas (masyarakat) memiliki speech code sendiri yang asing bagi orang luar. Setiap kebudayaan termasuk simbol, 24 makna, tempat, dan aturan tentang perilaku komunikatif. Kode-kode tersebut berbeda dalam hal tertentu kata-kata, makna, tempat, dan aturan tentang perilaku komunikatif bahwa mereka termasuk kedalamnya. Kekhasan speech code dapat di identifikasikan lewat logat, kecepatan berbicara, imbuhan partikel, mimik, serta intonasi dalam pengucapan seseorang ketika berkomunikasi. Kekhasan speech code yang menjadi identitas pembeda dengan budaya lain, dapat di tinjau dari beberapa aspek, diantaranya, (Philipsen, 1997: 119–147): a) Logat Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), logat adalah cara mengucapkan kata (aksen) atau lekuk lidah yang khas, yang dimiliki oleh masing-masing orang sesuai dengan asal daerah ataupun suku bangsa. (kbbi.web.id). Logat dapat mengidentifikasi lokasi dimana pembicara berada, status sosial-ekonomi, dan lainlainya. b) Intonasi dan Tekanan Berbicara Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), intonasi adalah tinggi rendahnya nada pada kalimat yang memberikan penekanan pada kata-kata tertentu di dalam kalimat. (kbbi.web.id). Intonasi menjadi tolak ukur frekuensi nada suara saat proses komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih pada komunikasi antarbudaya. 25 Tekanan dalam gaya berbicara merupakan gejala yang ditimbulkan akibat adanya pengkhususan dalam pelafalan sebuah suku kata atau kata. Atau dengan kata lain, diterangkan bahwa tekanan adalah bentuk tinggi rendahnya, panjang pendeknya, atau kerasnya lembutnya suara atau pengucapan. (http://pesisirjurnalistik.com). c) Tempo / Kecepatan Berbicara Menurut Pusat Balai Bahasa Indonesia yang dikutip di situs resminya (www.balaibahasaindo.web.id), kecepatan berbicara merupakan kemampuan seseorang untuk mengontol kecepatan (cepat, sedang, atau pelan) dalam berbicara sampai jeda. Tolak ukur kecepatan berbicara seseorang adalah lawan bicara ia sendiri. Maka tidak jarang dalam komunikasi antarbudaya komunikan tidak mengerti apa yang disampaikan seseorang yang berbeda budaya dengannya. Hal ini diakibatkan karena kecepatan berbicara yang berbeda-beda setiap daerah. d) Partikel dan Dialek Bahasa Partikel bahasa merupakan peleburan makna serupa yang disematkan dan digabungkan kedalam bahasa Indonesia. Biasanya partikel bahasa berasal dari dialek bahasa daerah yang digunakan seseorang ketika berbicara. (pesisirjurnalistik.com). 26 Partikel dan dialek bahasa biasanya berupa ungkapan atau imbuhan dalam kalimat penegasan, kalimat tanya, ataupun dalam kalimat keseharian yang biasa digunakan seseorang secara spontanitas. Pada speech code Yogyakarta, biasanya ditemui partikel dan dialek bahasa seperti „toh‟, „e‟, „mboh‟, „ora‟, „ojo‟, ‟po‟ dan lain sebagainya, yang kemudian disematkan kedalam bahasa Indonesia. e) Mimik Menurut Pusat Balai Bahasa Indonesia yang dikutip di situs resminya (www.balaibahasaindo.web.id), Mimik adalah hasil dari satu atau lebih gerakan atau posisi otot pada wajah. Mimik merupakan salah satu bentuk komunikasi non verbal, dan dapat menyampaikan keadaan emosi dari seseorang yang mengamatinya. 2) Subtansi Speech Code Kode bicara (speech code) di pengaruhi oleh perbedaan psikologis sosiologi dan gaya bicara dalam kulutural budaya. Hal ini menyangkut tiga substansi dalam kehidupan sosial, yaitu (Philipsen, G. 1997:125): a) Psikologi Dalam konteks psikologi, setiap tanda dari cara berbicara secara tematis adalah keaslian dari individu-individu yang diungkapkan dengan cara berbeda. Psikologi sebagai subtansi 27 speech code menjadikan setiap tanda sebagai cara berbicara secara sistematis yang merupakan keaslian dari individu-individu yang diungkapkan dengan cara berbeda. Keadaan dalam mengungakap kondisi setiap perantauan ketika berkomunikasi dengan host culture dilakukan dengan cara melibatkan proses berfikir dalam diri. Hal ini dikarenakan pengungkapan setiap tanda pada speech code yang terlebih dahulu diterjemahkan ke dalam speech code asal perantau. b) Sosiologi Dalam konteks sosiologi, cara berbicara mencakup jawaban tentang hubungan antara diri sendiri dan orang lain yang dianggap pantas dan sumber apa yang pantas dan efektif digunakan dalam relasi tersebut. Dalam penelitian ini Orang Jawa atau Masyarakat Jawa adalah mereka (baik secara personal maupun kelompok) telah secara sadar maupun tidak sadar memiliki orientasi dasar (terlebih secara mental) walaupun mereka telah hidup dan tinggal dengan berbagai latar belakang sosial, kultur maupun kepercayaan yang lebih variatif sifatnya (Rusly, 2012: 7). c) Rethoric Philipsen mendefinisikan rhetoric sebagai double sense yakni pengetahuan tentang kebenaran dan persuasi. Retrorika 28 sebagai subtansi speech code merupakan penemuan kebenaran dan daya tarik persuasif. Speech code mengungkapkan struktur diri, masyarakat, dan tindakan strategis, tidak peduli budaya (Philipsen, G. 1997:126). Retrorika sebagai subtansi speech code merupakan penemuan kebenaran dan daya tarik persuasif. Speech code mengungkapkan struktur diri, masyarakat, dan tindakan strategis, tidak peduli budaya. Terdapat beberapa gagasan penting yang dapat dijadikan landasan untuk mendiskusikan situasi adaptasi speech code dalam dalam ranah retrorika komunikasi antarbudaya, yaitu (Philipsen, G. 1997:129): (1). Identitas kultural merupakan persoalan subjektivitas bagi setiap individu. Untuk menjawab pertanyaan yang paling mendasar dari eksistensinya sebagai manusia. (2). Persoalan pengakuan identitas kultural pada umumnya dihadapi oleh para anggota kelompok budaya underpresented yang termarjinalkan dalam struktur masyarakat dominan. (3). Dalam menjalin interkasi dengan para anggota kelompok dominan sebagai usaha untuk menyuarakan suara diam mereka, para anggota kelompok budaya akan berusaha untuk menjadi bagian dari kultur yang dominan, berusaha agar para 29 anggota kelompok dominan dapat menerima anggota kelompok underepresented. 3) Makna Speech Code Makna dari pembicara tergatung dari speech code yang digunakan oleh komunikator dan komunikan untuk menginpretasikan komunikasi mereka. Orang-orang yang memainkan peranan kaum pendatang nanti yang sendirinya memutuskan apa yang mereka rasakan adalah komunikasi belaka, bicara kecil atau obrolan biasa. Makna speech code yang berada pada sebuah host culture, dapat dipelajari dan diprediksi dengan cara mendengarkan orang berbicara dalam budaya host culture dan juga bagaimana mereka merespons. 4) Kegunaan Speech Code Kegunaan speech code merupakan kondisi yang utama untuk memperkirakan, menerangkan dan mengkontrol bentuk intelegentibiltas, kebijakasanaan dan tata moral komunikasi (Liliweri, 2005:138). Speech code Aceh sering kali menggunakan bahasa kiasan atau menggunakan bahasa pantun sedangkan budaya Jawa memiliki tingkat bahasa yang tergantung situasi dan kondisi komunikasi tersebut dilakukan. Dalam studi komunikasi antarbudaya tindakan anti pluralitas terjadi karena orang secara individual maupun kelompok sering dengan sangat mudah mengekspresikan dan mengaktifkan 30 keterbatasan dalam komunikasi antarbudaya, yaitu etnosentrisme, stereotip, dan prasangka ketika orang tersebut terlibat dalam suatu pertikaian dengan orang lain meskipun faktor penyebab konflik tersebut sebenarnya tidak mempunyai relasi langsung dengan perbedaan-perbedaan latar belakang kultural. 5) Kekuatan Diskursif Speech Code Speech Code memiliki kekuatan diskursif dalam mendapatkan speech code secara bersama, hal itu dilakukan dengan cara peserta komunikasi dapat memandu metacommunication (pembicaraan tentang pembicaraan) (Littlejohn. 2011:236). Terkait dengan proses adaptasi speech code dalam komunikasi antar budaya, dalam kelompok yang dalam prosesnya, komunikasi tidak selalu berjalan dengan baik. Saat kita berbicara dengan lawan bicara kita, mereka tidak selamanya akan meresponi kita dengan baik. Perasaan tidak suka, malas, atau penolakan seringkali terjadi dalam komunikasi antara dua orang atau lebih. Percakapan sesama budaya atau beda budaya juga memberikan situasi yang sama dalam komunikasi, baik dalam sebuah kelompok budaya, maupun lepas dari itu. 6) Situs Speech Code Merupakan Istilah, tempat, dan aturan speech code yang erat terjalin ke dalam komunikasi itu sendiri. Untuk memahami kode ucapan kita sendiri dan bahkan masyarakat setempat, komunikator 31 harus menganalisis komunikasi speech code penutur asli. Menurut Gerry Philipsen, Teori Speech Code merupakan sistem yang dibangun secara sosial istilah, makna, tempat, dan aturan, yang berkaitan dengan perilaku komunikatif. Salah satu dari enam proposisi umum adalah bahwa di mana pun ada budaya khas, akan ditemukan kode berbicara yang khusus sebagai situs dari identitas speech code budaya tersebut (Littlejohn. 2011:237). b. Elemen - Elemen Speech Code Untuk mengidentifikasi element pengkonstruk speech code sebuah budaya, Samovar & Porter menyimpulkan bahwa terdapat tiga elemen penting dalam speech code komunikasi antarbudaya. Elemen tersebut dikerucukan yang berakar dari elemen komunikasi antar budaya yang kemudian di klasifikasikan dan di analisis untuk pengkonstuksi speech code. Elemen tersebut menjadi titik tumpu dalam pembentukan dan pengklasifikasian speech code dalam komunikasi antarbudaya, ketiga elemen tersebut adalah (Philipsen, G. 1997:126): 1) Persepsi Persepsi adalah proses di mana individu menyeleksi, mengevaluasi, dan merangkai stimuli dari luar diri individu. Ada pun persepsi kultural dipengaruhi oleh kepercayaan, nilai, dan sistem yang mengatur sikap individu. Adaptasi speech code melibatkan persepsi 32 sebagai interaksi sosial yang merupakan suatu proses yang dilakukan oleh setiap orang ketika dia bertindak dalam sebuah relasi dengan orang lain. Interaksi sosial merupakan sebuah proses yang kompleks, yang dilalui oleh setiap individu ketika mengorganisasi stimuli-stimuli dan menginterpretasikan persepsi dia tentang orang lain dalam situasi dimana kita sama-sama berada. Sehingga memberi kita kesan siapakah orang lain itu, apa yang sedang ia perbuat, dan apa sebab ia berbuat seperti itu (Liliweri, 2005 : 126). 2) Proses verbal Proses verbal mengarah pada bagaimana kita berbicara kepada orang lain melalui kata-kata, dan juga proses berpikir dalam diri (komunikasi intrapersonal). Asumsi dari teori adaptasi speech code ini adalah dampak yang ditimbulkan bahasa secara verbal kita terhadap orang lain. Element komunikasi verbal memberikan penekanan dan perbedaan khusus terhadap bahasa sebagai identitas sosial masyarakat tertentu. Secara khusus disini, bahasa memiliki kemampuan verbal untuk mengomunikasikan status dan keanggotaan kelompok di antara para komunikator dalam sebuah percakapan baik singkat maupun panjang. Seperti yang akan terjadi ketika dua orang atau lebih berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang berbeda. Giles dan Wiemann (West & Turner, 2010: 221) menjelaskan situasi seperti ini, kaum minoritas dan mayoritas dapat hidup 33 berdampingan. Pembelajaran bahasa keduanya bersifat satu arah. Maksudnya disini adalah sangat umum bagi kelompok yang dominan untuk bisa mempelajari kebiasaan-kebiasaan dari kelompok minoritas. Bahasa yang digunakan dalam percakapan akan cenderung merefleksikan individu dengan status sosial yang lebih tinggi. Selain itu, keanggotaan kelompok menjadi hal yang penting karena sebagaimana dapat ditarik dari kutipan diatas bahwa, terdapat keinginan untuk menjadi bagian dari kelompok yang “dominan” atau mayoritas. 3) Proses non-verbal Proses non-verbal mengarah pada penggunaan tanda- tanda non-verbal seperti berbagai gerakan tubuh, nada suara, ekspresi wajah, ataupun jarak fisik ketika berkomunikasi. Proses non-verbal mengarah pada penggunaan tanda- tanda non-verbal seperti berbagai gerakan tubuh, nada suara, ekspresi wajah, ataupun jarak fisik ketika berkomunikasi. Tanda verbal membentuk gerkan tubuh, nada suara, dan ekspresi wajah yang berbeda pada masing-masing budaya. 3. Proses Adaptasi Speech Code Hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, akan saling berinteraksi karena stimulus yang diberikan akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi yang nantinya akan memunculkan 34 pelajar/mahasiswa asal Norwegia yang belajar di A.S. Model ini telah digunakaan kepada banyak kelompok migran atau perantau yang berbedabeda. Berdasarkan sumber yang penulis kutip dari (http://www.globalimmersions.com), disebutkan bahwa terdapat 4 tahapan dalam adaptasi budaya yaitu: 1) Honeymoon Tahap ini adalah masa dimana seseorang masih memiliki semangat dan rasa penasaran yang tinggi serta menggebu-gebu dengan suasana baru yang akan dia jalani. Individu tersebut mungkin tetap akan merasa asing, kangen rumah dan merasa sendiri namun masih terlena dengan keramahan penduduk lokal terhadap orang asing. 2) Frustation Fase ini adalah tahap dimana rasa semangat dan penasaran yang menggebugebu tersebut berubah menjadi rasa frustasi, jengkel dan tidak mampu berbuat apa-apa karena realita yang sebenarnya tidak sesuai dengan ekspektasi yang di miliki pada awal tahapan. 3) Readjustment Tahap ini adalah tahap penyesuaian kembali, dimana seseorang akan mulai untuk mengembangkan berbagai macam cara untuk bisa beradaptasi dengan keadaan yang ada. Fase readjustment merupakan fase titik balik perantau dalam melakukan adaptasi speech code. 36 4) Resolution Fase yang terakhir dimana seiring dengan waktu, seseorang kemudian akan sampai pada 4 kemungkinan keadaan, yaitu (William.1997:337); a) Full participation Full participation keadaan dimana para kaum pendatang akan mencapai titik nyaman berhasil membina hubungan serta menerima kebudayaan yang baru tersebut. Full participation adalah tahap terbaik perantau mampu menyatu dengan host culture setelah melewati fase radjusment. b) Accommodation Accommodation merupakan keadaan kaum pendatang bisa menerima speech code dari host culture dengan beberapa catatan dan hal-hal tertentu tidak bisa ditolerir. Komunikasi merupakan suatu proses yang rumit. Dalam rangka menyusun strategi komunikasi diperlukan suatu pemikiran dengan memperhitungkan komponen komunikasi dan faktor pendukung dan penghambatnya. Akomodasi komunikasi dalam strategi komunikasi antarbudaya berhubungan dengan memahami sebuah interaksi dari suatukelompok etnis yang berbeda dalam penilaian akan tanda atas sikap mereka baik suka atau tidak suka terhadap sesuatu. Disini setiap individu harus mencoba beradaptasi dengan sikap dan 37 perilaku lawan bicaranya yang berbeda budaya untuk dapat mencapai tujuan bersama. Pada umumnya adaptasi dalam studi komunikasi selalu dihubungkan dengan sebuah orientasi pembelajaran interkultural. Orientasi adaptif terdiri dari mencari dan memberi perhatian pada lingkungan. Seseorang yang memilih strategi adaptif cenderung memiliki kesadaran yang tinggi terhadap harapan dan tuntutan dari lingkungannya sehingga siap untuk merubah perilakunya. Orientasi ini menyebabkan seseorang lebih fleksibel dan diplomatis. (Rejeki. 2007:167-177) Gudykunts 2002 : 183 Dalam Gudykunts, William B & Bella Mody pada bukunya Handbook of International InterKultural Communication nd Edition memaparkan bahwa teori adaptasi budaya termasuk dalam kelompok teori adaptasi. (Ellingsworth.1988:271), mengemukakan perilaku adaptasi dalam interkultural diadik terkait antara lain dalam unsur adaptasi dalam gaya komunikasi. Menurut Gudykunts, (William.1997:337), adaptasi dapat terjadi dalam dimensi kognitif. Dalam dimensi kognitif, terjadi penyesuaian bahasa verbal dan nonverbal. Penting adanya bahwa strategi komunikator yang utama adalah berdasarkan pada motivasi divergensi dan konvergensi (Gudykunts, 2002:187). Sikap setuju dinyatakan dengan konvergensi, sementara itu divergensi dilakukan sebagai pernyataan menolak. Teori adaptasi 38 speech code menyatakan bahwa dalam percakapan, seseorang berhak memilih cara mereka untuk berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Mereka akan mungkin menciptakan komunitas percakapan yang menggunakan bahasa yang sama atau membedakan diri mereka dengan orang lain. Kedua pilihan ini disebut konvergensi dan divergensi (Richard, 2008: 225-226). (1). Konvergensi Ini adalah strategi dimana individu beradaptasi terhadap perilaku komunikatif satu sama lain (Giles, Nikolas, dan Justin Coupland). Proses konvergensi tidak berlangsung dengan tiba-tiba, biasanya dilatarbelakangi dengan persepsi individu mengenai tuturan atau perilaku lawan bicaranya, apakah terdapat sesuatu yang sama atau tidak. Penyamaan terhadap subtansi speech code seperti logat, kecepatan, intonasi, dan dialek bahasa menjadi tolak ukur peseta komunikasi. Konvergensi membutuhkan keterbukaan sikap dalam diri informan untuk berusaha menyesuaikan agar tidak terjadinya miss communication. (2) Divergensi Divergensi sangat berbeda dengan konvergensi. Alihalih menyamakan, Divergensi malah menunjukkan tidak 39 adanya usaha untuk menunjukkan persamaan antara para pembicara. Hanya saja, Divergensi tidak bisa diartikan sebagai tanda adanya ketidaksepakatan, hanya saja orangorang memutuskan untuk mendisasosiasikan diri mereka dengan berbagai macam alasan tertentu. Pada pandangan pertama konvergensi merupakan sebuah strategi yang positif. Akan tetapi konvergensi dapat didasarkan pada sebuah persepsi orang yang bersifat stereotip. Giles dkk mengatakan bahwa konvergensi seringkali dimediasi secara kognitif oleh stereotip kita mengenai orang lain akan berbicara secara sosial. Artinya adalah bahwa orang akan melakukan konvergensi terhadap stereotip, dibandingkan terhadap bicara dan perilaku yang sebenarnya (West & Turner, 2010: 224). Divergensi sangatlah berbeda dengan konvergensi, ciri-ciri menunjukan bahwa kedua pembicara mirip dalam hal kecepatan bicara, gaya bahasa, postur tubuh. Divergensi di sini adalah ketika tidak terdapat usaha untuk menunjukan persamaan antara pembicara, atau dengan kata lain dua orang berbicara dengan satu sama lain tanpa adanya kekhawatiran mengenai mengadaptasi speech code orang lain. Divergensi tidaklah boleh disalahartikan sebagai suatu cara yang tidak memberikan respon kepada komunikator lain. 40 Divergensi tidak sama dengan ketidakpedulian. Ketika seseorang memutuskan untuk melakukan divergensi, maka mereka memutuskan untuk mendisosialisasikan diri mereka dari komunikator dan percakapan tersebut. Asalannya pun dapat bervariasi tidak selalu sama. Belajar dari beberapa kelompok budaya secara langsung yang telah distereotipkan dan bahwa orang berkomunikasi dengan apa yang ada dibenak mereka. Bukan sesuatu yang salah apabila mereka memilih menggunakan divergensi dalam komunikasi atau konvergensi. Alasan lain orang terkadang suka melakukan divergensi yaitu berkaitan dengan sebuah kekuasaan dan perbedaan peranan dalam percakapan. c) Fight Merupakan keadaan dimana kaum pendatang tidak merasa nyaman namun tetap berusaha menjalani sampai dia kembali kedaerah asalnya dengan segala upaya. Peredaan budaya akan tetap melekat dan menjadi faktor penghambat perantauan saat berinteraksi dengan host culture, akan tetapi mereka akan menjalani dengan tetap berinteraksi pada tahap resolution sampai kembali ke kampung halamannya. 41 d) Flight Flight merupakan keadaan dimana kaum pendatang secara fisik ataupun psikologi menghindari kontak untuk lari dari situasi yang membuat dia frustasi. Adaptasi komunikasi antarbudaya pada ranah speech code ini dilakukan agar hal-hal yang kelak dapat menjadi kendala dalam berkomunikasi dapat dihindari. Ketika seseorang melakukan pengungkapan diri terhadap orang lain, ada beberapa faktor yang mempengaruhi sehingga orang tersebut merasa nyaman dan leluasa dalam berkomunikasi terhadap apa yang ingin mereka ungkapkan. Salah satu dari pengungkapan diri adalah keberanian seseorang dalam mengomunikasikan identitas kultural. b. Cara Adaptasi Speech Code Dalam buku Intercultural communication in Contexts dijelaskan bahwa permasalahan komunikasi dalam komunikasi antar budaya adalah permasalahan mendasar yang datang pada setiap pendatang seperti imigram, mahasiswa yang merantau, dan lain lain terhadap budaya tuan rumah / host culture (Rahardjo, 2005:1-2). Budaya mengikat orang secara bersama-sama melalui kode-kode linguistik dan kode-kode gaya berbicara (speech code) yang dipertukarkan, norma-norma, dan scripts yaitu rangkaian interkasi atau pola komunikasi yang dipertukarkan oleh sekelompok orang dalam suatu komunitas. 42 Budaya memberikan identitas kepada sekelompok orang, diantaranya dapat diidentifikasi dari komunikasi dan bahasa. Sistem komunikasi, verbal dan nonverbal, membedakan suatu kelompok dari kelompok lainnya. Perbedaan budaya tersebut akan menentukan cara berkomunikasi yang berbeda serta simbol bahasa (speech code) yang mungkin berbeda pikiran. Kedudukan setiap dialek sebagai bahasa ibu dalam pergaulan sehari-hari, seharusnya mempunyai kedudukan yang sama karena dialek hakikatnya adalah ekspresi budaya manusia dalam berkomunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2003:58). Adaptasi speech code menyebabkan perubahan yang terjadi dilevel sistem yang mencangkup faktor-faktor yang ada di lingkungan baru. Perubahan tersebut yang mempengaruhi proses adaptasi pendatang baru terhadap budaya baru. Sedangkan perubahan juga terjadi pada level individu yang mencangkup motivasi individual, ekspektasi individual, pengetahuan berdasarkan interaksi dan pengetahuan budaya, serta atribut pribadi. Proses adaptasi mahasiswa daerah menunjukan perbedaan dan bersifat khas. Beda karena asal daerah dengan latar belakang yang berbeda mengakibatkan proses adaptasinya juga berbeda dan khas karena setiap pribadi mahasiswa adalah pribadi yang beda. Perantau pun dapat beradaptasi speech code dengan host culture yaitu dengan beberapa cara diantaranya, (Judith N. M. & Thomas K. N, 2003: 272): 43 1) Assimilation Dengan cara ini, seseorang tidak ingin terisolasi secara kultural tetapi ingin menjaga relasi dengan kelompok lain dengan kultur yang baru. Perantau ini kurang lebih diterima oleh penduduk lokal sehingga bisa melebur secara sosial dan kultural. Pemaknaan pesan akan semakin sulit pada daerah komunikasi antarbudaya karena disebabkan oleh perbedaan budaya diantara para peserta komunikasi antarbudaya jelas hambatan yang terbesar. Benturan budaya yang terjadi pada ranah komunikasi ini merujuk ke sistem speech code tentang gaya komunikasi paralinguistik, yakni karakteristik verbal yang menyertai pesan verbalnya: kecepatan bicara, intonasi, tekanan, mimik, logat, nada suara kelancaran dan sebagainya. Labov (1969) menagakan bahwa setiap kode komunikasi tertentu bersifat sistematis, dan punya aturan sendiri, (rule- governed) (Purwoko. 2008: 21). 2) Separation Ketika seseorang memutuskan untuk tetap pada kulturnya sendiri dan menghindari interaksi dengan kelompok lain. Cara ini bisa terdiri dari dua jenis yaitu; Separasi yaitu keadaan dimana seseorang memutuskan untuk berada pada kulturnya sendiri tanpa di paksakan. Sedangkan segregasi yaitu keadaan dimana perbedaan tersebut 44 dipaksakan dan dilestarikan dengan alasan kultural dari penduduk lokal. Separation terjadi ketika seseorang memutuskan untuk tetap pada kulturnya sendiri dan menghindari interaksi dengan kelompok lain. Separation juga merujuk keranah menarik diri dari host culture. Pengaruh tingkatan kepemahaman speech code memang berpengaruh disini, oleh karena tingkat kepemahaman dan keterbukaan diri informan menuntu ranah separation untuk berada pada arena finishing mereka. a) Separasi Separasi memutuskan yaitu untuk keadaan berada dimana pada seseorang kulturnya perantau sendiri tanpa dipaksakan. Proses separasi yang dalam proses adaptasi speech code melibatkan pengakuan terhadap kultur yang berbada dengan pencarian kesamaan terhadap kolerasi speech code Berdaptasi bukan berarti menyetujui atau mengikuti semua tindakan orang lain, melainkan mencoba memahami alas an dibaliknya tanpa kita sendiri tertekan oleh situasi. Perbedaan masyarakat yang berinteraksi dengan budaya berbeda dapat berupa logat, tata cara, perilaku nonverbal, atau simbol-simbol lain yang digunakan. Salah satu yang membedakan dari cara mereka 45 berkomunikasi adalah latar belakang budaya yang berbeda (Anugrah, 2008:31). b) Segregasi Segregasi yaitu keadaan dimana perbedaan speech code tersebut dipaksakan dan dilestarikan dengan alasan kultural dari penduduk lokal. Segregasi menuntut perantau ingin melebur secara sosial dan kultural demi penciptaan komunikasi yang berkesinambungan, akan tetapi dihambat dengan perbedaan di dalamnya. 3) Integration Integrasi terjadi ketika perantau memiliki ketertarikan untuk mempertahan budayanya sendiri namun tetap mengadakan interaksi dengan kelompok lain. Integrasi terjadi ketika perantau memiliki ketertarikan untuk mempertahan budayanya sendiri namun tetap mengadakan interaksi dengan kelompok lain. Integration dipandang alternative paling cocok untuk kaum perantaun yang memilih tetap berada pada budaya speech code mereka, namun tetap mengadakan interaksi dengan host culture. 46 4) Marginalization Hal ini terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang mengekspresikan sedikit sekali ketertarikan dalam mempertahankan ikatan kultur dengan budayanya ataupun budaya yang lain. Pengekspresian ikatan kultur dilakukan demi mencapai titik kesamaan antara persepsi speech code yang dibangun oleh peserta komunikasi. Ketakutan kaum perantauan terhadap marginalization membuat diri mereka mengekpresikan dan pecarian kesamaan ikatan budaya. 5) Mode Gabungan dari Relasi Maksudnya adalah gabungan dari asimilasi, separasi dan integrasi dengan maksud dan tujuan tertentu. Hal ini bisa dilakukan sesuai dengan keperluan dan situasi dari si individu. Ketika dua orang berbicara, mereka sering kali meniru pembicaraan dan perilaku satu sama lain. Seringkali kita berbicara kepada orang lain yang menggunakan bahasa yang sama dengan kita, bertindak tanduk mirip, dan bahkan berbicara dengan kecepatan yang sama. Kita, sebagai gantinya, juga akan merespon dalam cara yang sama kepada lawan bicara kita Paparan diatas menjelaskan salah satu dari rangkaian teori akomodasi komunikasi yang mengkerucutkan kepada adaptasi speech code. Jika teori akomodasi komunikasi lebih berpijak pada premis bahwa ketika pembicara 47 berinteraksi, mereka menyesuaikan pembicaraan, pola vokal, dan atau tindaktanduk mereka untuk mengakomodasi orang lain, adaptasi speech code bersifat fleksibel yang menekankan pada proposisi-proposisi yang mengatur kaidah sesuai budaya pembentuk speech code indovidu. Selain itu adaptasi speech code juga mengacu pada kemungkinan para adaptasi untuk meniru, mengimbangi, atau bahkan berdiri pada culture speech code mereka masing-masing. Adaptasi speech code juga mengacu kepada penerapan Teori Akomodasi Komunikasi yang merupakan tindak lanjut dari tahapan dan cara adaptasi perantau. 48 G. Kerangka pemikiran Komunikasi Antarbudaya Adaptasi Budaya Adaptasi Speech Code Speech Code Elemen KABSpeech Code Proses Adaptasi Speech Code Proposisi Speech Code 1. Persepsi 2. Verbal 3. Non verbal Makna Subtansi a.Psikologi b.Sosiologi c.Rethoric Kegunaan Proposisi Speech Code Proposisi Speech Code 1. Honeymoon 2. Frustration 3. Readjustment 4. Resolution 1. Assimilation 2. Separation 3. Integration 4. Marginalization 5. Mode Gabungan relasi Kekhasan Kekuatan Diskursif Situs a. Logat b. Intonasi dan tekanan bicara c. Tempo/ kecepatan bicara d. Partikel dan dialek bahasa e. Mimik Sumber: Olahan Peneliti 49 Aspek speech code mencangkup ke dalam ranah komunikasi antarbudaya yang mengacu pada tahap proses adaptasi budaya. element komunikasi antarabudaya sendiri memecah subtasi speech code kedalam 5 bagian, sehingga menimbulkan aspek kekhasan dalam speech code. Ranah kontruksi speech code mengacu pada 3 fungsi yaitu Psikologis, Sosiologis, Dan Retorik. Benturan segala macam aspek speech code yang terjadi antara Aceh dengan Yogyakarta, mengharuskan mahasiswa Aceh yang berinteraksi dalam host culture di Yogyakarta, melakukan segala macam bentuk adaptasi dan pemahaman secara maindfullness agar penerimaan budaya host culture dapat dimaknai secara mendalam. Selanjutnya peneliti akan menggunakan 4 tahapan dalam adatasi komunikasi antarbudaya untuk menganalisis proses dan cara adaptasi yang dilakukan oleh mahasiswa Aceh yang berinterakasi dengan host culture Yogyakarta. H. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Selain itu riset kualitatif tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling , bahkan populasi atau sampling-nya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah dianggap cukup dan sudah mendalam, serta bisa menjelaskan fenomena yang diteliti maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Karena penekanan terletak 50 pada persoalan kedalaman (kualitas) dan bukannya banyaknya (kuantitas) data (Krisyantono, 2006: 56-57). Sifat dan jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yang bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, factual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu. Periset sudah mempunyai konsep dan kerangka konseptual. Melalui kerangka konseptual, periset melakukan operasionalisasi konsep yang akan menghasilkan variable beserta indikatornya. Riset ini untuk menggambarkan realitas yang sedang terjadi tanpa menjelaskan hubungan antar variabel (Krisyantono, 2006: 67-68). 2. Subjek dan Objek Penelitian a. Subjek Penelitian Pada penelitian ini metode sampling yang akan digunakan adalah metode purposive sampling, yakni peneliti melibatkan manusia atau orang sebagai subjek penelitian yang cenderung bersifat “bias kaya informasi” karena informasi (data) pada umumnya diperoleh dari orangorang yang dapat diyakini memang mengetahui persoalan yang diteliti, dan ini berarti adalah para pemuka, pemimpin, atau tokoh-tokoh dari masyarakat yang diteliti yang notabene adalah orang-orang kaya informasi mengenai persoalan-persoalan yang sedang diteliti (Prawito, 2007: 88-89). Peneliti berangkat dari seorang informan untuk mengawali pengumpulan data (purposive sampling). Kepada informan ini peneliti menanyakan siapa lagi berikutnya (siapa saja) orang yang selayaknya 51 diwawancarai, kemudian peneliti beralih menemui informan berikutnya yang disarankan oleh informan pertama, dan begini seterusnya hingga peneliti merasa yakin bahwa data yang dibutuhkan sudah didapatkan secara memadai (Prawito, 2007: 92). Dalam metode pengambilan sampel dengan menggunakan metode purpose sampling, peneliti telah menetapkan empat informan awal yang peneliti yakini bahwa informan tersebut kaya informasi atau setidaknya mengetahui persoalan yang sedang peneliti diteliti. Dalam hal ini peneliti memfokuskan informan yaitu mahasiswa yang sedang menempuh strata 1 di universitas yang ada di Yogyakarta. Hal ini dikarenakan peneliti memandang mahasiswa yang sedang menempuh strata 1 lebih representastif terhadap bahan penelitian peneliti. Para informan tersebut adalah: 1.) Fakhrurrazi, sedang menempuh pendidikan S1 Sosiologi di Universitas Gadjah Mada Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Jurusan Akutansi. Telah merantau di Yogyakarta selama 8 bulan. 2.) Ani Elvia Jakfat, yang sedang menempuh pendidikan S1 Sosiologi di Universitas Mercu Buana Yogyakarta Jurusan Psikologi. Telah merantau di Yogyakarta selama1 tahun 5 bulan. 3.) Ardi Syahputra, yang sedang menempuh pendidikan S1 STTA Yogyakarta Jurusan Teknik Mesin. Telah merantau di Yogyakarta selama1bulan. 52 4.) Nurul Aqila, yang sedang non aktif setelah menempuh pendidikan S1 Universitas Gadjah Mada Jurusan Biologi. Saat ini Aqila masih mengikuti persiapan untuk seleksi SNMPTN. Telah merantau di Yogyakarta selama9 Bulan. 5.) Zaki Nurul Huda, yang sedang menempuh pendidikan S1 Universitas Muhamadiyah Yogyakarta Fakultas MIPA Jurusan Kimia. Telah merantau di Yogyakarta selama 1tahun 1bulan. 6.) Reni Anggraini, yang sedang menempuh pendidikan S1 Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Jurusan Keuangan Islam. Telah merantau di Yogyakarta selama 9 Bulan. b. Objek Penelitian Objek penelitian ini yaitu proses adaptasi speech code mahasiswa Yogyakarta yang berasal dari Aceh terhadap host culture Yogyakarta. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu: a. Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh dari sumber data pertama atau tangan pertama di lapangan. Sumber data ini bisa responden atau subjek riset, dari hasil wawancara dan observasi. (Kriyantono. 2006: 41). Dalam penelitian ini, tekhnik pengumpulan data yang digunakan peneliti sebagai data primer adalah sebagai berikut: 53 1) Wawancara Wawancara merupakan alat pengumpulan data yang sangat penting yang melibatkan manusia sebagai subjek sehubungan dengan realitas atau gejala yang dipilih untuk diteliti. Ada tiga jenis wawancara salah satunya yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yakni yang dimaksud untuk kepentingan wawancara yang lebih mendalam dengan lebih memfokuskan pada persoalan yang menjadi pokok dari persoalan (Prawito, 2007: 132-133). 2) Observasi Observasi merupakan kegiatan mengamati secara langsung suatu objek untuk melihat dengan dekat kegiatan yang dilakukan objek tersebut (Krisyantono, 2006: 108). Metode observasi ini digunakan peneliti untuk mengetahui lebih jauh tentang proses adaptasi speech code dalam komunikasi antarbudaya yang terjadi pada mahasiswa Aceh yang berinteraksi dalam host culture di Yogyakarta. 3) Dokumentasi Metode dokumentasi bertujuan untuk mendapatkan informasi yang mendukung analisis dan interpretasi data (Krisyantono, 2006: 118). Metode pengumpulan data dokumentasi dapat dilakukan dengan cara pengumpulan dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dokumen pribadi adalah catatan atau karangan seseorang secara tertulis tentang 54 tindakan, pengalaman, dan kepercayaan, dapat berupa buku harian, surat pribadi, dan otobiografi (Bungin, 2007: 122-123). Sedangkan dokumen resmi terbagi atas dokumen interen dan eksteren. Dokumen interen dapat berupa memo, pengumuman, instruksi, aturan lembaga untuk lapangan sendiri seperti laporan rapat, keputusan pemimpin, dan konvensi, dan sebagainya. Kemudian dokumen eksteren berupa bahan-bahan informasi yang dikeluarkan suatu lebaga, seperti majalah, buletin, berita-berita yang disiarkan ke media massa, pengumuman, atau pemberitahuan (Bungin, 2007: 123). b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder (Kriyantono, 2006: 42). Terdiri dari berbagai referensi pendukung penelitian lainnya yang berkaitan dengan persoalan penelitian yang penulis teliti, seperti data tambahan dari buku, jurnal, situs, berita Koran, dan majalah. 4. Unit analisis Berdasarkan objek yang akan diteliti dan teori yang sudah dipaparkan, maka unit analisis dari penelitian yang akan dilakukan adalah elemen-elemen dalam komunikasi antar budaya yaitu persepsi, pesan verbal, dan pesan non verbal. Ketiga aspek ini kemudian nantinya akan klasifikasi berdarkan 4 tahapan dalam proses adaptasi budaya serta peneliti juga menjadikan subtansi speech code dengan aspek-aspek yang terkandung didalamnya. 55 5. Metode Analisis Data Analisis data dilakukan untuk dapat menarik kesimpulan-kesimpulan. Penelitian komunikasi kualitatif lebih bertujuan untuk mengemukakan gambaran atau memeberikan pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa sehubungan dengan realitas atau gejala komunikasi yang diteliti (Prawito, 2007:100-101). Pada penelitian ini teknik analisis data yang dipakai dengan menggunakan teknik analisis interaktif miles dan huberman atau yang lazim disebut interactive model, (Prawito, 2007: 104). Teknik analisis pada dasarnya terdiri dari tiga komponen, yaitu: a. Reduksi data (data reduction) Reduksi data melibatkan beberapa tahapan, yakni: 1). Tahap pertama, melibatkan langkah-langkah editing, pengelompokan dan meringkas data 2). Tahap kedua, penyusunan kode-kode dan catatan (memo) mengenai berbagai hal termasuk yang berkenaan dengan aktiftas serta proses-proses sehingga peneliti dapat menemukan tema-tema, kelompok dan pola-pola data. 3). Tahap ketiga, menyusun rancangan konsep-konsep serta penjelasan berkenaan dengan tema, pola, atau kelompok-kelompok data bersangkutan. 56 b. Penyajian data (data display) Penyajian data melibatkan langkah-langkah mengorganisir data, yakni menjalin (kelompok) data yang satu dengan (kelompok) data yang lain sehingga seluruh data yang dianalisis benar-benar dilibatkan dalam satu kesatuan. c. Penarikan dan pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclusion) Pada dasarnya mengimplementasikan prinsip induktif dengan mempertimbangkan pola-pola data yang ada atau kecenderungan dari display data yang telah dibuat. Peneliti harus mengkonfirmasi, mempertajam atau mungkin merevisi kesimpulan-kesimpulan yang telah dibuat untuk sampai pada kesimpulan final berupa proposisi-proposisi ilmiah mengenai gejala atau realitas yang diteliti. 6. Metode Keabsahan Data Teknik keabsahan data merupakan upaya untuk mewujudkan validitas dan reliabilitas data penelitian. Validitas adalah sejauh mana data yang diperoleh telah secara akurat mewakili realitas yang diteliti. Sedangkan reliabilitas adalah tingkat konsistensi hasil dari penggunaan cara pengumpulan data (Pawito, 2008:97) Teknik keabsahan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber data. Triangulasi sumber data merupakan upaya untuk mengakses sumber-sumber yang bervariasi guna memperoleh data mengenai masalah yang diteliti. Peneliti akan menguji data yang diperoleh 57 dari satu sumber, untuk kemudian dibandingkan dengan data dari sumber lain. Dengan cara ini, peneliti dapat menjelaskan masalah yang diteliti dengan lebih komperhensif. Peneliti akan melakukan triangulasi sumber data dari wawancara kepada masyarakat Yogyakarta yang sering berinteraksi dengan mahasiswa Aceh di Yogyakarta sebagai pembanding data. Peneliti akan menganalisis dan memilih informan sebagai triangulasi data yang lebih berkompeten dalam mengambarkan interaksi dengan mahasiswa Aceh. Kemudian peneliti juga akan melakukan triangulasi sumber dengan dokumen, dan pustaka. 58 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Proses adaptasi speech code dalam komunikasi antar budaya, melibatkan element-element komunikasi antar budaya diantaranya; persepsi, komunikasi verbal, dan komunikasi non verbal. Dalam pembentukan speech code pada identitas budaya, element-element komunikasi antar budaya tersebut dijadikan acuan dalam pengklasifikasian proposisi subtansi speech code pada sebuah budaya. Persepsi, komunikasi verbal, serta komunikasi non verbal memegang peranan penting dalam pembentukan konsep diri dalam memandang budaya host culture. Persepsi memegang peranan penting dalam pembentukan konsep diri dalam memandang budaya host culture. Faktror historis menyebabkan mahasiswa Aceh yang berkuliah di Yogyakarta, menimbulkan berbagai macam persepsi, bahkan banyak yang menimbulkan pesepsi negatif dalam bentuk steriotip terhadap Yogyakarta. Konstruksi persepsi selanjutnya yang akan menjadi pondasi dalam beradaptasi speech code seorang perantau terhadap host culture. Komunikasi non verbal juga menjadi pondasi dalam pengklasifikasian proposisi aspek subtansi speech code. Komunikasi non verbal menjadi pondasi utama dalam melihat dan menganalisis speech code pada komunikasi antar budaya lewat penyampaian pesan secara non verbal lewat gaya berbicara, 174 gerakan tubuh, nada bicara, dan mimik yang digunakan oleh sebuah aturan speech code pada sebuah budaya. Kekhasan speech code menjadi proposisi yang membedakan antara satu budaya dengan budaya yang lain. Tataran proposisi speech code ini, dapat dilihat dari proses adaptasi mahasiswa Aceh terhadap host culture Yogyakarta. Benturan speech code yang terjadi antara mahasiswa Aceh dengan hostulture Yogyakarta dapat dilihat dari logat, intonasi, mimik, tempo dan kecepatan, serta imbuhan partikel dan dialek bahasa. Subtansi merupakan element dalam memecah proposisi aspek kontruksi speech code pada sebuah budaya dengan menganalisis kedalam 3 aspek, yaitu Psikologi, Sosiologi, dan Rethoric. Dalam tahapan adaptasi speech code mahasiswa Aceh yang berkuliah di Yogyakarta tersebut, faktor persepsi dan kemampuan individu dalam menyeleksi dan merangkai stimuli dari lingkungan host culture menjadi patokan dalam menjalani tahapan-tahapan yang akan dilalaui ketika melakukan adaptasi speech code. Tahapan adapaptasi tersebut berupa, honeymoon, frustration, readjustment, dan resolution. Tahap resolution merupakan tahapan finishing mahasiswa Aceh untuk memasuki 4 ranah. Yaitu apakah mahasiswa Aceh dalam proses adaptasi speech codenya akan mengalami full participation,accommodation, fight atau bahkan flight. Cara dan proses adaptasi speech code tersebut diantaranya berupa Assimilation.Dengan cara ini, mahasiswa Aceh yang berkuliah di Yogyakarta, tidak ingin terisolasi secara kultural tetapi ingin menjaga relasi dengan kelompok lain dengan kultur yang baru. Mahasiswa aceh ini kurang lebih 175 diterima oleh masyarakat Yogyakarta sehingga bisa melebur secara sosial dan kultural. Separation adalah opsi yang menawarkan mahasiswa Aceh untuk memutuskan untuk tetap pada kulturnya sendiri dan menghindari interaksi dengan masyarakat Yogyakarta. Integration merupakan opsi yang menawarkan kepada mahasiswa Aceh yang berkuliah di Yogyakarta, memiliki ketertarikan untuk mempertahan budayanya sendiri namun tetap mengadakan interaksi dengan masyarakat Yogyakarta. Sedangkan pada Marginalization, mahasiswa Aceh sebagai perantauan di Yogyakarta, mengekspresikan sedikit sekali ketertarikan dalam mempertahankan ikatan kultur dengan budayanya ataupun budaya yang lain. Dari hasil penelitian ini dapat di simpulkan bahwa, dalam proses adaptasi speech code dalam Komunikasi Antar Budaya yang terjadi pada mahasiswa Aceh yang berkuliah di Yogyakarta, mengalami fase frustration pada adaptasi speech code yang cenderung lama dibandingkan mahasiswa pendatang lainnya. Hal ini disebabkan karena faktor persepsi yang telah di bangun dari aspek historis serta benturan aspek dan proposisi speech code yang sangat berbeda. Pada adpatasi speech code ini, rata-rata mahasiswa Aceh menggunakan metode assimilation, integration, dan gabungan relasi. Ketiga metode ini yang sering digunakan dalam adaptasi speech code dengan mempertahan budaya speech code sendiri, tapi tetap melakukan integrasi dan merangkai stimuli dari host culture Yogyakarta. 176 B. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan hasil yang telah dipaparkan, peneliti dapat memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Bagi peneliti selanjutnya: Selain dengan metode in-depth dapat melakukan penelitian interview, bidang peneliti komunikasi selanjutnya antarbudaya khususnya adaptasi speech code dengan menggunakan metode observasi partisipan. Dengan menggunakan metode tersebut, peneliti selanjutnya memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari subjek penelitian sehingga dapat melihat dan mengalami secara langsung berbagai aktivitas dan perilaku dari subjek penelitian. Dengan demikian, peneliti selanjutnya akan dapat memperoleh data lapangan yang lebih lengkap dan komprehensif, serta dapat menganalisis fenomena secara lebih tajam dan mendalam. 2. Bagi Mahasiswa Perantauan Opsi-opsi yang ditawarkan dalam bentuk cara proses adaptasi speech code terhadap host culture, dapat dijadikan acuan bagi mahasiswa perantauan agar tidak mendapatkan meminimalisir potensi yang diakibatkan oleh cuture shock. Penyatuan budaya yang berbeda bukanlah perkara yang mudah, terlebih terjadi pada ranah speech code. Dengan menganalisis potensi dan kemampuan individu seorang perantau, mereka 177 akan mempu melihat opsi-opsi yang ditawarkan dalam melakukan adaptasi speech code. Analisis terhadap tahapan seorang mahasiswa perantauan dapat di lihat dengan fase honeymoon, frustration, readjustment, ataukah sudah berada pada fase resolution. Mahasiswa yang berada pada tahap pencarian akhir atau resolution, tawaran fase full adaptation merupakan konsep yang ideal bagi perantauan untuk beradaptasi dengan host culture. 3. Bagi Masyarakat Tuan Rumah (Host Culture) Keterbukaan dan toleransi host culture sebagai tuan rumah, sangat diperlukan dalam proses adaptasi mahasiswa perantauan. Kekayaan budaya yang dimiliki oleh Indonesia, harus di imbangi dengan sikap toleransi dan saling memahami satu sama lain terhadap perbedaan yang ada. Keterbukaan masyarakat tuan rumah sebagai host culture, sangat dituntut dalam penerimaan identitas budaya lain. Sikap keterbukaan dan toleransi dalam proses adaptasi speech code, akan berpengaruh terhadap perbedaan budaya yang akan berdampak positif terhadap hubungan masyarakat Indonesia yang kaya akan budaya. 4. Bagi Pembaca Bagi pembaca tentang penelitian ini, proses adaptasi speech code dapat dijadikan acuan dalam memahami proses adaptasi yang mengalami benturan budaya. proses adaptasi speech code mengacu pada cara dan 178 tahapan yang dilalui oleh setiap kaum pendatang pada sebuah daerah yang baru. Benturan budaya pada ranah speech code sejatinya adalah hal yang sangat vital dalam perkembangan dan keberlanjutan seorang perantauan di daerah rantau. Seseorang perantau dapat berkiprah di derah rantaunya, jika dirinya dapat beradaptasi dengan baik sehingga dirnya diterima di lingkungan sosial tempat dia merantau. 179 DAFTAR PUSTAKA Buku Al-qur’an dan Terjemahannya. 2006. Departemen Agama RI. Jakarta : Maghfiroh Pustaka Anugrah, Dadan. 2008. Komunikasi Antarbudaya. Jakarta : Jala Permata Bungin, Burhan. 2007. Penelitian kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup Brown, Daniel. 2013. A Communication Perspective On Interfaith Dialogue, speech codes theory. United States Of America: Lexington Book Chaney, Lilian, Martin , Jeanette. 2004. Intercultural Business Communication. New Jersey: Pearson Education, Inc. Griffin, Em. 2006. A First Look at Communication Theory Sixth Edition. New York: McGraw- Hill Gudykunst, William B. & Young Yun Kim. 1997. Communicating with Strangers an Approach to Intercultural Communication Third Edition. New York: McGraw-Hill Liliweri, Alo. 2004. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Littlejohn, Stephen W and karen a. Foss. 2011. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika Krisyantono, Rachmat. 2006. Tekhnik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup Mulyana, Deddy & Jalaludin Rakhmat. 2003. Komunikasi Antar Budaya. Bandung : Remaja Rosda Karya Philipsen, G. 1997. A Theory Of Speech Codes (Developing Communication Theories). Albany: State University Of New York Press Prawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatifif. Yogyakarta: LKiS Poedjosoedarmo, Soepomo. 2008. Tingkat Tutur Bahasa Jawa Volume 8 Dari Seri Bb. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Purwoko, Herudjati. 2008. Jawa Ngoko: Ekspresi Komunikasi Arus Bawah. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Rahardjo, Turnomo. 2005. Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ruben, Brent D. Lea P. Stewart. 2005. Communication and Human Behavior 5.ed. USA: Allan&Bacon A Viacom Company Samovar, Larry A & Richard E.Porter. 2005. Understanding Intercultural Communication. Belmont, California : A Division of Wadsworth Inc Samovar, Larry A. & Richard E. Porter. 2004. Communication Between Culture. Canada : Wadsworth Samovar, Larry A. & Richard E. Porter. 2010. Komunikasi Lintas Budaya (Communication between Cultures) Edisi 7. Jakarta: Salemba Humanika Soerjono Soekanto. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Soyomukti, Nurani. 2010. Pengantar Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Ar-ruzz Media Syam, Nina W, MS. 2011. Psikologi Sebagai Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media Ting-Toomey, Stella. 1998. Communicating Across Culture. New York: The Guilford Press. West, Richard dan Lynn h. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis Dan Aplikasi Edisi Ke- 3. Jakarta: Salemba Humanika Widyawati, Nina. 2008. Komunikasi Antar Budaya Dalam Masyarakat Multikultural. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Skripsi Kevinzky, Muhammad Hyqal. 2011. Proses dan Dinamika Komunikasi Dalam Menghadapi Culture Shock Pada Adaptasi Mahasiswa Perantauan (Kasus Adaptasi Mahasiswa Perantau di UNPAD Bandung). Jakarta: Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Indonesia Mas’udah, Durrotul. 2014. Mindfulness dalam Komunikasi Antarbudaya (Studi Deskriptif pada Peserta Indonesia – Poland Cross-Cultural Program). Yogyakarta: Ilmu Sosial Dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Jurnal Najwan, Johni. 2009. Konflik Antar Budaya Dan Antar Etnis Di Indonesia Serta Alternatif Penyelesaiannya no. 196 vol. 16. Jambi: Program Pascasarjana Universitas Jambi Essay Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia. 2011. Strategi pengarahan mobilitas penduduk dalam perspektif ketahanan nasional dalam menigkatkan harmonisasi hubungan pusat dan daerah. Jakarta: Bidang Ketahanan Nasional Kamus Kamus Online Bahasa Indonesia (kbbi.web.id).Laman Resmi Kamus Besar Bahasa Indonesia, di diakses pada tanggal 20 Mei 2015 pada pukul 05.30 WIB Kamus Online Bahasa Indonesia (www.balaibahasaindo.web.id), di diakses pada tanggal 20 Mei 2015 pada pukul 08.10 WIB Kamus Jurnalistik Online (http://pesisirjurnalistik.com) di diakses pada tanggal 20 Mei 2015 pada pukul 05.30 WIB Internet (http://m.merdeka.com/peristiwa/kerasnya/penegakan/syariat/islam/diaceh.html), diakses pada tanggal 7 Februari 2015 pada pukul 20.10 WIB http://sp.beritasatu.com, diakses pada tanggal 23 Februari 2015 pada pukul 15.34 WIB http://studentjournal.petra.ac.id/index.php/ilmukomunikasi/article/viewFile/939/839, diakses pada tanggal 7 Februari 2015 pada pukul 15.20 WIB http://www.globalimmersions.com/go-global-blog/preparing-for-reverse-cultureshock diakses pada tanggal 7 Februari 2015 pada pukul 15.40 WIB m.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/03/04/n1wj10 diakses pada tanggal 8 Februari 2015 pada pukul 13.10 WIB www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/09140923_qanun_jinayat_nonm uslim_dikriminatif diakses pada tangal 26 Maret 2015 pada pukul 20.00 WIB www.pemdaaceh.go.id/index.php?option_conten&task_view&id=315&197) diakses pada tangal 20 April 2015 pada pukul 20.30 WIB www.pemda-diy.go.id dan E-mail:[email protected]) diakses pada tangal 25 April 2015 pada pukul 22.00 WIB www.pendidikan-diy.go.id) diakses pada tangal 25 April 2015 pada pukul 00.10 WIB INTERVIEW GUIDE Wawancara Penelitian PROSES ADAPTASI SPEECH CODE DALAM KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA (Studi Deskriptif Kualitatif Mahasiswa Aceh yang Berinteraksi dalam Host Culture di Yogyakarta) 1. Bisa diceritakan bagaimana suasana dan gambaran budaya tempat tinggal anda di Aceh? 2. Apakah dalam proses adaptasi gaya berbicara budaya Yogyakarta anda menyeleksi, mengevaluasi, dan merangkai stimuli dari lingkungan anda? Bagaimana anda melakukannya? 3. Apa yang anda rasakan saat pertama kali datang ke Yogyakarta? 4. Apakah persepsi anda terhadap gaya berbicara (speech code) budaya Yogyakarta dipengaruhi oleh kepercayaan, nilai, dan sistem yang mengatur masyarakatnya? 5. Bagaimana anda berbicara (menggunakan bahasa) melaui kata-kata dengan masyarakat Yogyakarta? Apakah anda selalu melakukan komunikasi intrapersonal (proses berfikir dalam diri) terlebih dahulu? 6. Bagaimana anda dalam menggunakan tanda-tanda non verbal (gerakan tubuh, nada suara, ekspresi wajah, atau pun jarak fisik ketika berkomunikasi) dengan masyarakat Yogyakarta? 7. Apakah perbedaan gaya bahasa non verbal masyarakat Yogyakarta membuat anda kurang nyaman dalam berinteraksi atau sebaliknya? 8. Apakah anda menemukan perbedaan gaya berbicara (speech code) Yogyakarta dengan gaya bahasa Aceh? Dan apakah anda sering membandingkan gaya berbicara (speech code) Yogyakarta dengan gaya bahasa Aceh saat berinteraksi dengan masyarakat Yogyakarta? 1 9. Bagaimana anda menyesuaikan Logat anda saat berkomunikasi dengan masyarakat Yogyakarta? 10. Apakah anda menghilangkan logat asli anda demi mencegah miss communication atau tetap mempertahankan logat asli anda saat berkomunikasi dengan masyarakat Yogyakarta? 11. Bagaimana anda menyesuaikan intonasi dan tekanan bicara anda saat berkomunikasi dengan masyarakat Yogyakarta? 12. Bagaimana anda menyesuaikan tempo/ kecepatan bicara anda saat berkomunikasi dengan masyarakat Yogyakarta? 13. Apakah intonasi dan kecepatan berbicara anda sering membuat lawan bicara anda (masyarakat Yogyakarta) tidak mengerti apa yang anda bicarakan? 14. Apa yang anda lakukan saat terjadi kesalahpahaman/ miscoom saat berkomunikasi dengan masyarakat Yogyakarta? 15. Apakah logat melayu yang khas serta ditamabah kecepatan berbicara yang cepat membuat anda sulit berkomunikasi dengan masyarakat yogya? Bagaimana anda dalam menyesuaikannya? Apakah anda menghilangkan logat asli anda? 16. Bagaimana anda menyesuaikan partikel dan dialek bahasa anda saat berkomunikasi dengan masyarakat Yogyakarta? 17. Apakah penyematan bahasa jawa (penggabungan, dan penambahan) seperti; toh, dalem, monggo, dsb membuat anda sulit dalam memahami bahasa Indonesia orang Yogyakarta? Bagaimana anda menyikapi dan memahami hal tersebut? 18. Bagaimana anda menyesuaikan mimik anda saat berkomunikasi dengan masyarakat Yogyakarta? 19. Bagaimana anda mengungkapkan kondisi untuk memperkirakann menerangkan, dan mengkontrol komunikasi anda lewat gaya berbicara anda? 20. Apakah anda bisa melebur secara sosial dan kultural dengan gaya bicara 2 (speech code) masyarakat Yogyakarta saat berinteraksi sehari-hari? Apa yang memotivasi anda dalam berinteraksi dengan masyarakat Yogyakarta? 21. Bagaimana makna speech code dalam menginterpretasikan pesan dalam komunikasi anda? 22. Apakah anda bisa menyimpulkan, bagi anda kegunaan gaya bicara (speech code) anda sendiri serta proses adaptasinya sendiri yang sejauh ini sudah anda jalani? 23. Apakah anda memiliki semangat dan penasaran tinggi serta menggebu-gebu dalam mempelajari gaya berbicara (speech code) Yogyakarta? Jelaskan! 24. Apakah anda pernah merasakan tahap dimana rasa semangat dan penasaran anda yang menggebu-gebu kemudian berubah menjadi frustasi dan jengkel? Apa penyebabnya? 25. Apakah ketika memiliki semangat tersebut anda merasa rindu rumah /kampung halaman anda? Bagaimana anda menyikapi hal tersebut? 26. Pernahkah anda salah memahami (gaya bicara) dan bahasa masyarakat Yogyakarta saat berinteraksi? 27. Apakah perbedaan-perbedaan gaya berbicara tersebut menghambat interaksi antara anda dengan masyarakat Yogyakarta? Dan apakah hal tersebut tidak bisa anda terima? Bagaimana anda dalam menyikapi hal demikian? 28. Jika dalam berbicara orang Yogyakarta kebanyakan menggunakan bahasa tubuh seperti menunduk untuk menunjukan kesopanan? Bagaimana anda menyesuaikan hal tersebut? 29. Apakah anda sering mengulang-ngulang dan menirukan logat, mimik, dan intonasi pada gaya bahasa Yogyakarta demi penyesuaian dalam berkomunikasi? 30. Jika anda ingin mengetahui tentang sesuatu hal dalam bahasa jawa, apakah anda menanyakan kepada orang Yogyakarta, atau memilih utuk diam? 31. Apakah ekspektasi awal anda terhadap gaya berbicara (speech code) budaya 3 Yogyakarta tidak sesuai dengan realita yang anda hadapi? Dan apakah hal tersebut membuat anda frustasi dalam berdaptasi dilingkungan baru anda atau anda kembali menyesuaikan dengan berbagai cara untuk bisa beradaptasi dengan keadaan realita Yogyakarta yang sebenarnya? 32. Apakah selama proses adaptasi gaya berbicara (speech code) Yogyakarta, anda tidak ingin terisolasi secara kultural dan ingin menjaga relasi dengan masyarakat Yogyakarta? Apa alasannya? 33. Apakah anda pernah/ sering mengekspresikan tentang sedikitnya ketertarikan anda dalam mempertahankan kesamaan gaya berbicara Aceh dengan Yogyakarta ataupun dengan budaya lain? 34. Adakah perubahan persepsi anda pada masyarakat Yogyakarta ketika belum datang ke Yogyakarta, kemudian saat datang ke Yogyakarta dan berinteraksi dengan masyarakat Yogyakarta, dan ketika sudah akrab? Bagaimana perubahan tersebut? 35. Apakah lingkungan anda saat ini (Yogyakarta) membuat anda nyaman dalam melakukan adaptasi khususnya adaptasi gaya berbicara? 36. Apakah kedepannya anda tetap berada pada kultur dan gaya berbicara (speech code) anda sendiri (Aceh) dan menghindari interaksi dengan masyarakat Yogyakarta atau tetap berada pada kultur sendiri dan tetap berinteraksi dengan masyarakat Yogyakarta atau bahkan meniggalkan gaya berbicara Aceh dan meniru speech code +Yogyakarta? 4 LAMPIRAN Beberapa Kegiatan Pementasan Seni Budaya Oleh Mahasiswa Aceh yang Kuliah di Yogyakarta Sumber gambar: Dok. Taman Pelajar Aceh (TPA) Yogyakarta 2013 Sumber gambar: Dok. Taman Pelajar Aceh (TPA) Yogyakarta 2013 Sumber gambar: Dok. Taman Pelajar Aceh (TPA) Yogyakarta 2015 Beberapa Kegiatan Sosial dan Kemasyarakatan Guna Menjalin Keakraban dengan Masyarakat dan Host Culture Yogyakarta Sumber gambar: Dok. Taman Pelajar Aceh (TPA) Yogyakarta 2015 Sumber gambar: Dok. Taman Pelajar Aceh (TPA) Yogyakarta 2015 Sumber gambar: Dok. Asrama Sebena Aceh Yogyakarta. 2015 2015 Beberapa Dokumentasi Asrama Aceh yang Ada di Yogyakarta Sebagai Tempat Penelitian Dok. Peneliti CURRICULUM VITAE DATA PRIBADI Nama Jenis Kelamin Tempat & tanggal Lahir Agama Email No Hp : Rahmat Paska Risalah : Laki-Laki : Tanjuang Alam, 26 Januari 1992 : Islam : [email protected] : 085374297501 PENDIDIKAN FORMAL 1998 – 2005 2005 – 2008 2008 – 2010 2011 – Sekarang : SDN 30 Tanjuang Alam Tanah Datar Sumatera Barat : MTsN Payakumbuh Sumatera Barat : MAN 2 Payakumbuh Sumatera Barat : Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta PENGALAMAN ORGANISASI Perhumas Muda Yogyakarta OSIS MAN 2 Payakumbuh Sumatera Barat Pradana Pramuka MAN 2 (Gudep 001-002) Payakumbuh OSIS MTsN Payakumbuh Public Relation Orientied UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Akademia UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta PENGALAMAN KERJA Receptionist Hotel Al Barokah Yogyakarta Announcer RRI PRO 4 Yogyakrta (Magang KKK) Humas BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) Lebak Bulus Jakarta PRESTASI Juara I Pidato Agama Tingkat Kecamatan (Kec. Tanjung Baru Sumatera Barat) Jambore Nasional (Pramuka) Kontingen Payakumbuh Sumatera Barat Juara I Cerdas Cermat Tingkat Kecamatan (Kec. Tanjung Baru Sumatera Barat) Harapan II Olimpiade Biologi Tingkat SMP - Unand Sumatera Barat Juara III Sepak Bola Tingkat Kabupaten (Kab. Tanah Datar)