II. TINJAUN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Fisiologi Ikan Kakap Putih/Barramundi 2.1.1 Klasifikasi Taksonomi Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer Bloch) atau barramundi dikelompokkan dalam klasifikasi taksonomi sebagai berikut (FAO, 2007): 2.1.2 Phillum : Chordata Sub phillum : Vertebrata Klas : Pisces Subclas : Taleostei Ordo : Percomorphi Famili : Centroponidae Genus : Lates Species : Lates calcarifer (Bloch) Morfologi Ikan Kakap Putih Food and Agriculture Organozation (2007), menyatakan bahwa karakter morfologi ikan kakap putih memiliki tubuh memanjang dan padat. Kepala menjorong, dengan profil dorsal yang cekung menjadi cembung di depan sayap dorsal. Mulut besar, rahang atas panjang hingga mencapai belakang mata: gigi villiform, tidak dijumpai gigi canine. Terdapat tulang keras pada tepi bawah dari preoperculum: operculum dengan tulang kecil dan dengan sirip bergerigi di atas garis lateral. Sirip dorsal dengan 7 hingga 9 tulang dan 10 hingga 11 sirip lunak: 5 6 duri tulang sangat dalam yang terbagi penuh dari bagian sirip lunak: sirip pectoral pendek dan bulat: bergerigi keras diatas dasarnya: sirip dorsal dan anal memiliki lembaran yang bersisik. Sirip anal bulat, dengan 3 tulang duri dan 7 - 8 sisik lunak: Sirip caudal bulat. Sisik besar ctenoid (kasar bila disentuh). Warna dasar tubuh coklat olive di atas dengan sisi samping. Ikan kakap putih yang hidup di lingkungan perairan laut dan air payau memiliki warna perut keperakan dan coklat emas (biasanya saat masih muda), sedangkan saat dewasa berwarna biru-hijau atau abuabu di atas dan keperakan di bawah (Anonym, 2009). Gambar 1. Ikan kakap putih (Lates calcarifer Bloch) 2.1.3 Fisiologi Secara fisiologi ikan kakap putih (Lates calcarifer Bloch) atau barramundi adalah ikan yang mempunyai sifat toleransi yang tinggi terhadap kadar garam (euryhaline) dan merupakan jenis ikan yang hidup di sungai kemudian bermigrasi ke laut atau air payau untuk memijah (katadromous). Ikan kakap putih tersebar luas di wilayah tropis dan sub tropis Pasifik Barat dan Lautan Hindia, di antara 50°E 160°W, 24°N - 25°S. Secara khusus kakap putih tersebar pada bagian Utara Asia, Utara Australia, Barat hingga Timur Africa (FAO 1974 dalam FAO, 2007). Umumnya ikan kakap putih (Lates calcarifer Bloch) adalah ikan liar yang hidup di laut. Namun setelah di lakukan penelitian, ternyata ikan kakap putih 7 memiliki habitat yang sangat luas. Ikan kakap putih (Lates calcarifer Bloch) dapat hidup di daerah laut yang berlumpur, berpasir, serta di dalam ekosistem mangrove. Ikan kakap putih (Lates calcarifer Bloch) akan menuju daerah habitat aslinya saat memijah yaitu pada salinitas 30-32 ppt. Telur-telur yang telah menetas akan beruaya menuju pantai dan larvanya akan hidup di daerah yang bersalinitas 29-30 ppt. Ketika ukuran larvanya semakin besar maka ikan kakap putih tersebut akan beruaya ke air payau (Mayunar, 2002). 2.1.4 Sistem Peredaran Darah pada Ikan Ikan adalah mahluk hidup yang memiliki sistem peredaran darah tunggal yang terdiri dari jantung dan pembuluh darah 1. Jantung Jantung ikan terdiri dari 2 ruang (atrium dan ventrikel) yang terletak di bagian posterior lengkung insang. Pada jantung juga terdapat sebuah ruang tambahan (sinus venosus) yang berfungsi sebagai penampung darah dari ducrtus cuveri dan vena hepaticus, serta mengirimkannya ke atrium. Diantara sinus venosus dan atrium terdapat sebuah katup, yang disebut dengan katup sinuatrial. Selanjutnya darah dikirim ke ventrikel. Ventrikel memompa darah dan dialirkan ke trunchus arteious lalu ke conus arteriosus. Dari conus arteriosus selanjutnya darah mengalir ke aorta ventral sebelum masuk ke insang melalui arteri branchial afferent. Di dalam insang darah mengalami proses fisiologi dimana oksigen diserap secara difusi dari dalam air dan karbondioksida dilepaskan ke dalam air juga dengan cara difusi. Kemudian darah kaya oksigen yang berasal dari insang melewati arteri branchial afferent. Selanjutnya melewati aorta dorsal kemudian diedarkan ke 8 seluruh tubuh melalui pembuluh darah cabang dan kapiler. Setelah digunakan oksigen kemudian masuk lagi ke jantung melalui pembuluh vena. Dari jantung, darah dipompa lagi menuju insang, demikian seterusnya berulang lagi. 2. Pembuluh darah Pembuluh darah pada ikan terdiri dari: a. Pembuluh darah utama Pembuluh darah utama terdiri dari pembuluh darah dorsal dan ventral yang terlertak sejajar memanjang sepanjang tubuh ikan. b. Pembuluh darah cabang Pembuluh darah cabang merupakan cabang-cabang pembuluh darah utama yang menuju ke seluruh bagian tubuh ikan (aorta, ventral, arteri branchia afferent, aorta dorsal). 2.2 Mutu Ikan 2.2.1 Definisi Mutu Mutu merupakan nilai-nilai tertentu yang diinginkan pada suatu material, produk atau jasa (Ilyas, 1993). Seperti halnya produk pertanian, produk hasil perikanan juga mengandung beberapa aspek mutu, antara lain: a. Aspek bio-tekno-ekonomis perikanan. Hasil perikanan secara biologis mengandung nilai gizi yang mampu dimanfaatkan secara teknologi dengan menerapkan kaidah ekonomi. b. Aspek sanitasi dan higienis (kesehatan). Hasil perikanan yang memiliki nilai kebersihan dan memenuhi membahayakan kesehatan. persyaratan kesehatan, sehingga tidak 9 c. Aspek komersial. Nilai komersial produk hasil perikanan dapat dipindahpindahkan kepada pihak lain dengan cara penggolongan mutu (grade grading). d. Aspek industrial. Hasil perikanan memiliki nilai mutu yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan industrial. 2.2.2 Persyaratan Mutu Fillet Ikan Kakap Mutu fillet ikan identik dengan tingkat kesegarannya. Persyaratan standar mutu dan keamanan pangan fillet ikan kakap berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Persyaratan standar mutu dan keamanan pangan fillet ikan kakap Jenis uji a. Organoleptik Satuan Persyaratan mutu Angka (1-9) minimal 7 koloni/g maksimal 5,0 x 105 b. Cemaran mikroba: - Angka Lempeng Total (ALT) - Escherichia coli APM/g maksimal < 2 - Salmonella APM/25 g negatif - Vibrio chlorae APM/25 g negatif - Raksa (Hg) mg/kg maksimal 0,5 - Timbal (Pb) mg/kg maksimal 0,4 - Cadmium (Cd) mg/kg maksimal 0,1 c. Cemaran kimia: * d. Fisika: - Suhu pusat maksimal -18 °C e. Parasit CATATAN * Ekor Bila diperlukan. Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2006) maksimal 0 10 2.2.3 Kemunduran Mutu Ikan Proses pembusukan pada ikan terjadi melalui empat tahapan sebagai berikut: a. Hiperaemia Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan secara fisik, kimia, biokimia dan mikrobiologi mulai terjadi dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya akan mengarah pada pembusukan ikan. Ditandai dengan terlepasnya lendir ikan dari kelenjar-kelenjar dalam kulitnya yang membentuk lapisan bening tebal dan menyelimuti tubuh ikan. Pelepasan lendir ini merupakan reaksi alami pada ikan yang sedang sekarat. Lendir tersebut terdiri dari glucoprotein mucin yang sangat baik sebagai media pertumbuhan bakteri (Bimoharto, 2009). Kondisi ini secara biokimia ditandai oleh menurunnya kadar adenosine triphosphate (ATP) dan keratin fosfat seperti pada reaksi aktif glikolisis (Eskin, 1990). b. Rigor mortis Ikan yang melalui tahap rigor mortis ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati, hal ini mendakan telah terjadinya perubahan biokimia yang kompleks dalam tubuh ikan (Dwiari et al., 2008). Selanjutnya kelenturan ikan mulai hilang, hal ini berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin. Aktomiosin adalah senyawa protein kompleks yang dihasilkan oleh otot selama berkontraksi. Lama masa rigor mortis ikan tergantung pada beberapa faktor, yaitu: 1. Suhu lingkungan Suhu lingkungan yang rendah dapat memperpanjang masa rigor mortis pada ikan, yang berarti dapat memperpanjang tingkat kesegarannya, sehingga pascapanen ikan harus menerapkan prinsip rantai dingin. 2. Cara ikan mati 11 Ikan yang dimatikan dengan cepat, segera setelah ditangkap akan mempunyai masa rigor yang lebih panjang. Hal ini disebabkan oleh kandungan yang ada pada tubuh ikan, apa bila ikan mati dalam keadaan stress maka kandungan glikogennya akan cepat habis. c. Autolisis Autolisis merupakan proses penguraian protein dan lemak oleh enzim (protease dan lipase) yang terjadi di dalam daging ikan. Pada ikan proses ini dapat disebut proteolysis, karena daging ikan terdiri atas protein. Pada dasarnya enzimenzim ini sudah aktif sejak ikan masih hidup, akan tetapi hasil aktivitasnya dimanfaatkan untuk menghasilkan energi dan pemeliharaan tubuh. Autolisis dimulai bersamaan dengan penurunan nilai pH. Dimulai oleh terpecahnya protein menjadi molekul-molekul makro, yang menyebabkan peningkatan dehidrasi kemudian terpecah lagi menjadi pepton, polipeptida dan akhirnya menjadi asam amino. Selain asam amino, autolisis juga menghasilkan pirimidin dan purin dalam jumlah yang kecil. Pirimidin dan purin merupakan basa yang dibebaskan saat pemecahan asam nukleat. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak juga berlangsung dan menghasilkan asam lemak gliserol. Terjadinya proses autolisis akan menyebabkan menurunnya kekenyalan pada daging ikan (Dwiari et al., 2008). d. Pembusukan oleh bakteri Pada tahapan ini perkembangbiakan bakteri sudah terjadi cukup tinggi. Aktifitas bakteri pembusuk dimulai hampir bersamaan dengan autolis, kemudian berjalan sejajar. Bakteri mampu merusak ikan lebih parah dibandingkan dengan kerusakan yang diakibatkan oleh aktifitas enzimatis yang berasal dari dalam tubuh ikan. Mulanya bakteri bersarang pada permukaan tubuh, insang dan di dalam perut 12 ikan. Secara bertahap bakteri akan menguraikan daging ikan, sehingga penguraian oleh bakteri mulai berlangsung intensif setelah melewati fase rigor mortis, yaitu setelah daging menjadi lunak dan celah-celah seratnya terisi air. Meskipun mampu menguraikan protein, tetapi bakteri memilih hasil-hasil hidrolisis yang terbentuk selama autolisis dan senyawa-senyawa nitrogen non protein (trimetilamin oksida, urea) yang terdapat dalam daging sebagai substrat yang terbaik. Karena daging ikan laut lebih banyak mengandung senyawa non-protein dibandingkan dengan ikan air tawar, maka ikan laut lebih cepat diuraikan oleh bakteri (Dwiari et al., 2008). 2.3 Pengertian dan Pengolahan Fillet Ikan Kakap Putih 2.3.1 Pengertian Fillet Fillet ikan adalah suatu produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan segar yang mengalami perlakuan penyiangan, penyayatan, dengan atau tanpa pembuangan kulit, perapihan, pencucian, dengan atau tanpa pembekuan, pengepakan dan penyimpanan segar atau beku (Ditjen P2HP, 2006). Berdasarkan bentuknya, fillet ikan terbagi dalam dua jenis yaitu fillet ikan dengan kulit (skin-on) dan fillet ikan tanpa kulit (skin-less). Dari dua jenis fillet tersebut dapat dibagi lagi ke dalam dua bagian, yaitu fillet yang masih memiliki bagian dinding perut (belly-on) dan fillet yang tidak memiliki bagian dinding perut (belly-off). Sedangkan berdasarkan bahan bakunya, fillet dapat dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu fillet yang berasal dari ikan ekonomis tinggi dan fillet yang berasal dari ikan tidak bernilai ekonomis tinggi (Ditjen P2HP, 2007). 13 2.3.2 Pengolahan Fillet Ikan Kakap Putih Mengacu pada Badan Standardisasi Nasional (2006), yang menyatakan bahwa proses pengolahan fillet beku dimulai dari tahap penerimaan, sortasi 1, penyiangan, pencucian 1, pemfilletan, perapihan, pencucian 2, sortasi, penimbangan, penyusunan dalam pan, pembekuan, penggelasan dan pengepakan. Maka setelah dimodifikasi diagram alir proses pengolahan fillet ikan kakap segar dapat dilihat pada gambar 2. Penerimaan Sortasi 1 Penyiangan Pencucian 1 Pemfilletan Perapihan Pencucian 2 Sortasi Penimbangan Pengepakan Gambar 2. Diagram alir proses pengolahan fillet ikan kakap (modifikasi BSN, 2006) Badan Standarisai Nasional (2006), menjelaskan bahwa proses pengolahan fillet ikan kakap segar adalah sebagai berikut: 1. Penerimaan Penerimaan bahan baku bertujuan untuk mendapatkan bahan baku yang bebas bakteri pathogen dan memenuhi persyaratan mutu, ukuran, dan jenis. Bahan baku yang diterima di unit pengolahan harus melewati uji organoleptic, dan harus ditangani dengan hati-hati, cepat, cermat, dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 50 C, selanjutnya dilakukan penimbangan untuk mengetahui berat total. 14 2. Sortasi 1 Sortasi dilakukan bertujuan untuk mendapatkan mutu, ukuran, dan jenis yang sesuai serta bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. Sortasi dilakukan dengan cara memisahkan ikan berdasarkan jenis, mutu, dan ukuran. Sortasi harus dilakukan cepat, cermat, dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 50 C. 3. Penyiangan Penyiangan dialakukan bertujuan untuk mendapatkan ikan yang bersih dari sisik da nisi perut. Penyiangan dilakukan dengan cara melakukan penyisikan dan membuang isi perut. Serta dialakukan dengan cepat, cermat, dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 50 C. 4. Pencucian 1 Pencucian dilakukan bertujuan untuk mendapatkan ikan yang bersih dari kotoran yang menempel pada ikan. Pencucian dilakukan dengan menggunakan air yang bersih dan dingin. Serta dilakukan dengan cepat, cermat, dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 50 C. 5. Pemfilletan Pemfilletan dilakukan bertujuan untuk mendapatkan fillet ikan yang bersih dan sesuai dengan ukuran yang diperlukan serta bebas dari kontaminasi bakteri pathogen. Pemfilletan dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 50 C. 6. Perapihan Perapihan dilakukan bertujuan untuk mendatkan fillet ikan yang bersih dan rapi. Perapihan dilakukan dengan cara memotong daging perut dan membuang 15 tulang yang masih tersisa secara cepat, cermat, dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 50 C. 7. Pencucian 2 Pencucian keduan dilakukan bertujuan untuk mendapatkan fillet ikan yang bersih. Pencucian kedua dilakukan dengan cara menggunakan air bersih dan dingin. Pencucian harus dialakukan dengan cepat, cermat, dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 50 C. 8. Sortasi Sortasi dilakukan bertujuan untuk mendapatkan ukuran fillet yang sesuai dan bebas dari kontaminasi patogen. Sortasi dilakukan dengan cara memisahkan fillet berdasarkan ukuran. Sortasi harus dilakukan dengan cepat, cermat, dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 50 C. 9. Penimbangan Penimbangan dilakukan bertujuan untuk mendapatkan berat fillet ikan yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan. Penimbangan dilakukan dengan cara menimbang satu persatu untuk mengetahui beratnya dengan menggunakan timbangan yang telah dikalibrasi. Penimbangan harus dilakukan dengan cepat, cermat, dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 50 C. 10. Pengepakan Pengepakan dilakukan bertujuan untuk melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi. Pengepakan dilakukan dengan cara membungkus fillet dengan plastik secara individual dan dimasukan dalam master karton sesuai dengan label. Pengepakan harus dilakukan dengan cepat, cermat, dan saniter. 16 2.4 Teknik Bleeding Dalam penanganan ikan segar, segera setelah mematikan ikan disarankan untuk melakukan bleeding. Bleeding adalah proses mengeluarkan darah pada ikan yang bertujuan untuk mempertahankan kesegaranya, karena darah merupakan media penyebaran mikroba pembusuk dari insang ke daging ikan melalui pembuluh darah ikan (Yusra dan Yempita, 2010). Jenis-jenis teknik bleeding yang ada dan diterapkan oleh CV. Mina Utama yaitu: a. Teknik bleeding dengan satu luka adalah teknik bleeding yang dilakukan dengan cara memotong jantung, menyayat di belakang sirip dada atau sayatan mendatar. Sayatan yang dibuat hanya dilakukan sedalam 2-3 cm (Murniyati dan Sunarman, 2011). b. Teknik bleeding dengan dua luka adalah teknik bleeding yang dilakukan dengan cara memotong pembuluh darah ikan di bawah sirip dada dan di bagian ekor menggunakan pisau tajam dengan mata sangat pendek (maksimum 3 cm) (Yusra dan Yempita, 2010). c. Teknik bleeding dengan metode ike-jime adalah teknik bleeding yang dilakukan oleh nelayan jepang dengan cara menghancurkan otak dan sumsum tulang belakang ikan dengan menggunakan kawat melalui bagian kepala atau ekor sesuai jenisnya. 2.5 Jenis Media Pendingin Prinsip mencegah atau menghambat kerusakan ikan oleh faktor komposisi fisik, mikrobakteri, dan kimiawi ikan, adalah memberi perlakuan suhu rendah 17 terhadap ikan segera setelah ditangkap atau dipanen, karena proses enzimatis dan aktifitas mikroba pengurai daging akan terhambat pada suhu rendah mendekati 0ºC (3°C s/d 5ºC). Suhu rendah ikan ini harus dipertahanlan selama pencucian, penyiangan, pengemasan, penyimpanan dan distribusinya (Agung, 2012). Pernyataan tersebut juga didukung oleh Yusra dan Yempita (2010), yang menyatakan bahwa penanganan ikan segar ketika baru ditangkap atau di atas kapal sangat menentukan mutunya. Melepaskan ikan dari alat tangkap dengan benar dan mematikannya secepat mungkin dapat menjaga kesegarannya. Selain itu ikan harus terus dijaga dalam suhu rendah dengan kisaran 00C - 30 C. Menjaga suhu rendah ikan dapat dilakukan dengan cara refrigrasi, penambahan es, dan air dingin.