Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Pembesaran Kakap Putih, Seabass (Lates calcarifer Bloch) di Tambak dengan Pemberian Pakan Pelet Kandungan Protein Berbeda untuk Calon Induk Melalui Seleksi Pertumbuhan Agus Priyono, Bejo Selamet, Titiek Aslianti, Tony Setiadharma, Irwan Setyadi, I Gusti Ngurah Permana dan Gigih Setiawibawa Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut, BALI e-mail: [email protected] Abstract Agus Priyono, Bejo Selamet, Titiek Aslianti, Tony Setiadharma, Irwan Setyadi, I Gusti Ngurah Permana dan Gigih Setiawibawa. 2013. The Enlargement of White Snapper, Seabass (Lates calcarifer Bloch) in Ponds with Pellet Feeding has Different Protein Content for Parent Prospective Through Growth Selection Through. Konferensi Akuakultur Indonesia 2013. Seabass (Lates calcarifer) is the one of carnivorous fishes, hermaphrodite protandrie has transition sex from male to female up for 5 kg and from 2 to 5 kg is approximately male. Can life in high level of salinity from5 to 40 ppt. In generally fishes was culture in tidal pond with feeding by trash fish or pellet. Based for providing of breed conducted by magnification and do the selection to get breed candidate with its fast-growth character. Main of research is finding of performance of breed candidate has fast-growth in tidal pond with given by different protein level. The sea-bass fishes with weight ±150 g reared in 2 big ponds. In each pond separate by net becoming 3 seperates pond. In each separate pond reared by 500 fishes, so in all pond fill by 3.000 fishes. The treatment has 3 level of protein i.e: 28-30%; 33-35% and 38-40%, with two replicated. By the growth fish (weight and length) observe by every month, and the fishes has weight about 1.000 g to conducted by individual selection about 50% from total number of fishes. The observation indication of gonadal development, from gonad sample of both of different growth (big and small) group fishes in each treatment to observed by collecting gonad and preparation used with double staining method. To know the performance of genetic of fish by the way to be conducted by perception of genetic performance through allozyme analysis from big and small fish group. The water monitoring to be done every 2 week i.e: salinity, temperature, pH, dissolve oxygen, ammonia and nitrite. Result indicated that the sea-bass growth in pond to show growth weight is the good. The good growth is fishes feed by 38-40% protein level. Individual selection conducted to fish which its weight more than 1,000 g detected by the variation there are 2 loci polymorphic that is GPI and EST. Gametes growth at big sized fishes detected to be formed by male with gamete level 1, with protein level is 38-40%. Keywords: Growth; Individual selection; Seabass (L. calcarifer) Abstrak Ikan kakap putih (L. calcarifer) merupakan salah satu jenis ikan canivora, bersifat hermaprodit protandri yaitu perubahan induk jantan menjadi betina mulai berat 2-5 kg dan lebih dari 5 kg pada umumnya betina. Bisa hidup pada rentang salinitas cukup tinggi mulai 5-40 ppt. Upaya pembesaran, umumnya dilakukan ditambak pasang surut, dengan memanfaatkan pakan berupa ikan maupun pelet. Hal yang sangat mendasar dalam menyiapkan induk dilakukan melalui pembesaran dan melakukan seleksi untuk mendapatkan calon induk yang pertumbuhannya cepat. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan performa pertumbuhan kakap putih yang tumbuh cepat ditambak dengan pemberian pakan pelet dengan protein yang berbeda. Ikan kakap putih berukuran ±150 g sebanyak 3000 ekor dipelihara pada petakan tambak. Selanjutnya dipindahkan pada masing-masing petakan sebanyak 500 ekor/petak. Perlakuan pakan yang diberikan berupa pelet dengan kandungan protein masing-masing 28-30%; 33-35% dan 38-40% diulang dua kali. Pengamatan performa pertumbuhan dilakukan setiap bulan, selanjutnya setelah ikan mencapai ukuran (±1000 g) dilakukan seleksi individu ± 50% dari populasi. Untuk mengetahui perkembangan awal terhadap perkembangan gonad, maka sampel dari tiap kelompok yang tumbuh besar diamati melalui preparasi pewarnaan dengan double staining untuk melihat perkembangan gonad. Untuk mengetahui performansi genetik terhadap ikan yang terseleksi dilakukan pengamatan keragaman genetik melalui analisis allozyme dari kelompok ikan yang kecil dan yang besar. Pemantauan kualitas air dilakukan setiap 2 minggu meliputi salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut, amonia dan nitrit. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan kakap putih yang dipelihara ditambak menunjukkan pertambahan bobot cukup baik. 245 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Pertambahan bobot yang terbaik adalah yang diberi pakan kandungan protein 38-40%. Seleksi individu yang dilakukan terhadap ikan yang bobotnya lebih dari 1,0 kg terdeteksi variasi genetik terdapat 2 loki polimorfik yaitu GPI dan EST. Perkembangan gamet pada ikan yang berukuran besar terdeteksi terbentuk gamet jantan tingkat 1, terutama pada perlakuan yang diberi pakan protein 38-40%. Kata kunci: Pembesaran; Seleksi individu; Kakap putih (L. calcarifer) Pendahuluan Ikan kakap putih (L. calcarifer) merupakan salah satu komoditas yang memiliki prospek cerah untuk dapat dikembangkan. Budidaya kakap putih secara komersial sudah dilakukan Asia misalnya di Thailand, Malaysia, Singapore, Hongkong, Taiwan, dan Indonesia, demikian pula telah berkembang di Australia (Davis, 1986) dan Thailand Kungvankij et al. (1986). Salah satu sumber menyebutkan bahwa daerah Asia Tenggara telah memproduksi 300.000 ton, sedangkan Amerika Serikat hanya 800 ton per tahun Anonym (1999). Jumlah produksi tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan ikan secara global, terutama dalam bentuk olahan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mutlak diperlukan peningkatan produksi khususnya di Indonesia. Sementara ini produksi benih kakap putih di Indonesia untuk budidaya terdapat di beberapa tempat seperti di Bali, Batam, Jawa timur namun jumlah produksinya belum mampu mengsuplai kebutuhan secara kontinyu. Oleh karenanya beberapa pengusaha perbenihan di Indonesia masih menggantungkan kebutuhan benihnya berasal dari luar negeri, salah satunya Singapura. Berdasarkan wilayah perairan Indonesia yang sedemikian luas membuka kesempatan untuk peningkatan produksi, terutama tambak-tambak tradisional. Hal ini merupakan salah satu cara untuk merealisasikan program peningkatan produksi yang mampu dilakukan oleh petani tambak. Berkaitan dengan peningkatan produksi, berarti kebutuhan benih untuk budidaya sangat tinggi dan berkesinambungan. Sementara ini benih hasil alam yang diakui mempunyai ketahanan hidup yang tinggi tidak selalu tersedia, dan umumnya tercampur dengan benih ikan lainnya serta ukurannya tidak seragam. Sehingga benih asal hatcheri diharapkan mampu menggantikan kebutuhan benih untuk budidaya secara kontinyu. Namun dilain pihak bahwa benih asal hatcheri rentan terhadap kondisi lingkungan maupun penyakit sehingga menyebabkan tingkat kelangsungan hidupnya rendah. Sebagai ikan karnivora, nampaknya kebutuhan protein pakan cukup tinggi untuk mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Kebutuhan yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh rendahnya ketersediaan karbohidrat sebagai sumber energi, sehingga sebagian dari protein digunakan hanya untuk memenuhi kebutuhan energi Watanabe (1988). Berdasarkan kebutuhan protein pada ikan-ikan laut secara umum diberikan antara 40-50%. Pada percobaan Kusnendar et al. (2001) melaporkan bahwa ikan kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina) mempunyai pertumbuhan maksimum jika diberi pakan dengan kandungan protein 50%, namun mereka mendapatkan data bahwa kadar protein pakan 40% adalah yang paling ekonomis. Selain kandungan protein pakan yang ideal nampaknya suhu, feeding rate, ketersediaan dan kualitas pakan dan tingkat kecernaan pakan juga berperan terhadap pertumbuhan ikan. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka perlu dilakukan program pembesaran kakap putih di tambak sebagai upaya menyiapkan calon induk kakap putih (L. calcarifer) yang diharapkan memiliki ketahanan terhadap lingkungan budidaya. Tujuan penelitian adalah upaya pembesaran ikan kakap putih (L. calcarifer) di tambak dengan pemberian pakan kandungan protein berbeda untuk mendapatkan calon induk yang tumbuh cepat melalui seleksi pertumbuhan. Materi dan Metode Persiapan petakan tambak melalui pengeringan, pemupukan dan pengisian air pada petakan. Dua petakan tambak masing-masing seluas ± 4.000 m2 disekat menjadi 3 bidang menggunakan waring sehingga setiap petak mempunyai luasan ± 1.300 m2.. Setiap petakan ditebar ikan sebanyak 500 ekor ukuran berat ±150 g. Setelah diadaptasikan selama 40 hari di dalam tambak hingga ikan 246 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 mulai terbiasa dengan pemberian pakan berupa pelet, selanjutnya dilakukan seleksi individu untuk mendapatkan performansi tumbuh yang lebih besar. Pada masing-masing petak terseleksi glondongan kakap putih dengan rata-rata berat 258,5±7,79 g, sebanyak 250 ekor. Selama pemeliharaan, kakap putih diberi pakan berupa pelet produk pabrik pakan ± 2% biomass, dengan perlakuan perbedaan kandungan protein pakan yaitu 28-30%; 33-35% dan 38-40%, perlakuan diulang 2 kali. Untuk meningkatkan kesuburan tanah dan perairan didalam perairan tambak ditambahkan probiotik sebanyak 1-2 mL/m2. Pengamatan performa pertumbuhan dilakukan setiap bulan, selanjutnya setelah ikan mencapai ukuran (±1.000 g) dilakukan seleksi individu lagi (cut off) ±50% dari populasi. Untuk mengetahui performansi genetik terhadap ikan yang terseleksi dilakukan pengamatan keragaman genetik melalui analisis allozyme dari kelompok ikan yang kecil dan yang besar. Diharapkan ikan yang mempunyai karakter tumbuh akan terekspresi didalam paparan genetik yang diamati. Untuk mengetahui perkembangan awal terhadap perkembangan gonad, maka sampel dari tiap kelompok yang tumbuh besar diamati melalui preparasi pewarnaan dengan double staining untuk melihat perkembangan gonad. Sebagai pendukung data dilakukan pemantauan kualitas air dilakukan setiap 2 minggu meliputi salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut, amonia dan nitrit. Hasil dan Pembahasan Dari Tabel 1 tersebut memperlihatkan bahwa panjang mutlak ikan kakap yang diberi pakan dengan protein berbeda belum memperlihatkan perbedaan tumbuh yang mencolok, demikian pula berat mutlak dari ketiga perlakuan juga tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Namun bagi ikan yang diberi pakan dengan kandungan protein 38-40% relatif tumbuh lebih baik (Gambar 1). Pertumbuhan panjang pada ulangan 1 dari perlakuan pemberian pakan protein 28-30%, 33-35% dan 38-40% menunjukkan pola tumbuh yang baik, demikian pula pada ulangan 2. Dari ketiga percobaan tidak memberikan perbedaan, nampaknya pemberian pakan pelet dengan kandungan protein 38-40% memberikan pertumbuhan panjang yang relatif sama dengan pemberian pakan lainnya selama 8 bulan pemeliharaan. Namun bila dilihat pertumbuhan beratnya nampak bagi ikan kakap yang diberi dengan kandungan protein 38-40% memberikan pertambahan berat lebih baik dari pada pemberian pakan kandungan protein 30% maupun 35%. Hepher (1988), menjelaskan bahwa sebagian besar ikan memerlukan protein 35-45% dalam pakannya. Mengamati kandungan protein pakan berupa pelet sebesar 28-30% diduga menyebabkan lambatnya pertumbuhan dibandingkan pertumbuhan ikan kakap dengan pemberian pakan dengan kandungan prote lebih tinggi. Menurut (Chen dan Tsai, 1994) kekurangan protein dalam pakan akan mengakibatkan perlambatan pertumbuhan akibat adanya perombakan cadangan protein dalam tubuh ikan menjadi energi melalui peristiwa deaminasi. Sehingga diketahui dari ulangan 1 dan 2 ada kecenderungan terjadi perlambatan pertumbuhan terutama pada bulan Juni, Juli. Perlambatan pertumbuhan panjang tersebut berdampak pada penurunan bobot tubuh rata-rata ikan disebabkan oleh perubahan lingkungan terutama suhu. Tabel 1. Pertumbuhan (Panjang, berat, pertumbuhan harian) ikan kakap yang dipelihara dalam tambak dengan pemberian pakan protein yang berbeda. Kadar Protein Kadar Protein Kadar Protein 28-30% 33-35% 38-40% Variabel Perlakuan Perlakuan 2 Perlakuan Perlakuan Perlakuan 1 Perlakuan 1 1 2 2 Panjang Awal (cm) 20,7 20,7 20,7 20,7 20,7 20,7 Panjang Akhir (cm) 37,5 37,82 37,95 38,17 37,45 37,35 Panjang Mutlak (cm) 16,8 17,12 17,25 17,46 16,75 16,65 Bobot Awal (g) 172 172 172 172 172 172 Bobot Akhir (g) 1010,5 985,714 1045 1050 1064,70 1077,778 Bobot Absolut (g) 838,5 813,71 873 878 892,70 905,77 Pertumbuhan Harian 3,49 3,39 3,63 3,65 3,72 3,77 (g) 247 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Terhambatnya pertumbuhan terutama disebabkan adanya perubahan suhu air yang rendah hingga 26oC pada pagi hari dan siang hari menjadi sangat tinggi mendekati 32 oC. Pada kondisi pemeliharaan tersebut ikan banyak mengalami kegagalan pertumbuhan. Ikan cenderung berada pada lapisan dasar, dan aktivitas makan menurun. Kondisi yang demikian menyebabkan pertumbuhan sangat lambat (Gambar 1). 1200 Protein 30% Protein 35% Protein 40% 800 Protein 30% Protein 35% Protein 40% 1000 Weight (g) .... 1000 Weight (g).... Replicate 2 Replicate 1 1200 600 400 800 600 400 200 200 0 0 Initial Initial Feb Mrt Aprl May Jun Jul Augt Sept Feb Mrt Oct Aprl May Jun Jul Augt Sept Oct Monthly Observation Monthly Observation Gambar 1. Pertumbuhan Ikan Kakap (Total Panjang dan Berat). Hasil pengamatan pada Gambar 2, menunjukkan pertumbuhan rata-rata dari masing-masing perlakuan. Perbedaan tumbuh yang mencolok terjadi pada pengamatan bulan Oktober, oleh karenanya untuk mengetahui pengaruh pakan terhadap perbedaan pertumbuhan dilakukan seleksi individu. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan variasi genetik dari ikan kakap putih hasil seleksi diamati berdasarkan ukuran berat ikan. Selection of weight Replicate 1 Selection of weight Replicate 2 1400 1400 1200 Protein 30% 1000 Weight (g).... Weight (g)..... 1200 Protein 35% 800 Protein 40% 600 Protein 30% 400 Protein 35% Protein 35% 800 Protein 40% 600 Protein 30% 400 Protein 40% 200 Protein 30% 1000 Protein 35% Protein 40% 200 0 0 July August Sept Oct July Monthly Observation August Sept Oct Monthly Observation Gambar 2. Seleksi Individu Ikan Kakap per Perlakuan Dari hasil seleksi individu untuk mengetahui keberadaan variasi genetik terhadap ikan yang berukuran besar dan kecil dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Variasi genetik Ikan Kakap dalam tiap perlakuan (ukuran berbeda). Lokus Gpi* Est-1* Sampel N Ukuran Besar Ukuran Kecil Ukuran Besar Ukuran Kecil 35 35 35 35 A 0,000 0,083 0,000 0,000 Frekuensi Alel B C 0,972 0,020 0,917 0,00 0,916 0,084 1,000 0,00 Tabel 3. Variasi genetik Ikan Kakap dari seleksi individu tiap perlakuan. Populasi No. Parameter Besar Kecil 1 Jumlah sampel dianalisis 35 35 2 Jumlah lokus teramati 14 12 3 Jumlah lokus polimorfik 2 1 4 Prosentase lokus polimorfik % 0,20 1,00 5 Jumlah alel per lokus 1,20 1,10 6 Heterosigositas 0,020 0,015 Teramati (Ho) 0,020 0,015 1,000 1,000 Harapan (He) Ho/He 248 2 0,11 0,27 0,00 0,00 Rata-Rata 35 13 1,5 0,15 1,15 0,017 0,017 1,000 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Frekuensi genotip tiga lokus polimorfik seperti pada Tabel 2, menunjukkan bahwa proporsi genotip berasal dalam kesetimbangan Hardy-Weinberg (P<0,05). Hal ini berarti bahwa cara pembacaan genotype adalah benar. Dari Tabel di atas terlihat bahwa pada populasi seleksi dengan ukuran lebih besar mempunyai frekuensi allele B dan C. Sedangkan frekuensi allele untuk populasi kecil adalah A dan B. Dari 10 enzim yang dianalisis, terdapat 2 lokus polimorfik yairu Gpi* dan Est-1*. Nilai variasi genetik yang ditunjukkan dari heterosigositas pada populasi seleksi lebih tinggi yaitu 0,027 dan kontrol 0,0153. Munculnya beberapa enzim pada kelompok ikan yang berukuran besar yang bersifat polimorfik merupakan sintesis dari dua rantai polipeptida atau lebih yang disinyalir merupakan stimulator sehingga ikan tersebut mampu tumbuh lebih cepat. Enzim yang terekspresi salah satunya adalah GPI. Enzim GPI tersebut diketahui sebagai pengontrol pertumbuhan pada catfish, (Goidie et al., 1995). Hasil pengamatan enzim GPI juga ditemukan pada ikan kakap hasil dari seleksi individu yang mempunyai pertumbuhan lebih besar sementara pada ikan yang berukuran kecil tidak muncul. Dari 2 loki polimorfik yang terdeteksi meng indikasikan bahwa genotip ikan kakap putih variasinya lebih banyak. Sementara variasi genetik ikan yang lebih kecil terdeteksi monomorfik. Selain dari enzim GPI yang terekspresi juga diketahui enzim EST yang terdeteksi, Munculnya enzim tersebut membuktikan bahwa seleksi individu terhadap pertumbuhan yang lebih baik terbukti pada jenis enzim GPI (Tabel 3). Beberapa penelitian tentang penggunaan enzim melalui pengamatan allozyme untuk mengetahui variasi genetik terhadap perbedaan variasi genetik pada ikan yang tumbuh lebih cepat maupun yang tumbuh lambat digunakan enzim dari golongan NAD misal ADH, LDH, SDH GPD dan MDH, sedangkan dari golongan NADP adalah PGM, 6-GPD, IDH, ME dan GPI dan dua enzim lain yaitu EST dan SP. Macam-macam enzim tersebut biasanya digunakan sebagai upaya mengetahui variasi genetik pada ikan laut, misalnya pada ikan Red Sea Bream (Sugama, 1988). Enzim yang terekspresi tersebut merupakan protein enzim yang menggambarkan suatu informasi genetik berupa gen yang terkandung di dalam lokus-lokus pada kromosom Watson et al. (1983). Dengan banyaknya informasi genetik yang terkandung pada kromosom akan memberikan variasi genetik yang tinggi. Salah satu faktor penting dalam budidaya ikan adalah variasi genetik, karena akan diturunkan secara terus menerus ke generasi berikutnya yang terekspresi pada penampakan fenotip. Terjadinya perkawinan acak pada populasi yang banyak menyebabkan terjadi kesimbangan genetik, yaitu variasi genetik akan tetap konstan dari satu generasi ke generasi berikutnya, asalkan tidak ada faktor pengganggu Purdom (1993). Pengamatan perkembangan gonad pada masing-masing perlakuan yang ditunjukan melalui pemotongan histologi gonad menunjukkan bahwa ikan yang diberi pakan berupa pelet dengan kandungan protein 38-40% menunjukkan ekspresi bentuk sel gamet jantan yang terbentuk cukup banyak (tingkat 1). Sementara pada ikan yang diberi pakan dengan kandungan pelet 28-30% maupun 33-35%, sel gamet didalam gonad terlihat baru terbentuk (Gambar 3). Perkembangan sperma sepertihalnya pada ikan kakap putih umumnya terjadi setelah mencapai berat 2 kg (pada jantan) dan lebih dari 6 kg (pada betina). Namun pada ikan cobia jantan yang berukuran panjang (Fork Length) 640 mm yang diperkirakan berumur 1 tahun sudah matang kelamin (Kaiser dan Holt, 2005). Sehingga pengaruh kandungan protein, fosfor, pigmen, asam lemak esensial serta supplement vitamin dalam pakan sangat berpengaruh pada kualitas telur pada ikan red sea bream, Pagrus major Watanabe. (1988). Gambar 3. Histologi Gonad Kakap Jantan dengan berat 1,250 kg yang diberi pakan pellet berpotensi 38.40% 249 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Pengamatan kualitas air terhadap ketiga perlakuan yang diukur pada pagi hari menunjukkan variasi nilai yang baik untuk pertumbuhan ikan kakap putih di tambak. Kualitas air selama pemeliharaan seperti halnya suhu air antara 28-29,5oC, pH 8-8,5, salinitas: 33-38 promil, nitrit 0,01-0,03 mg/L, oksigen terlarut dalam air antara 5,8-6,9 mg/L adalah kualitas air yang relatif baik dan tidak berpengaruh pada kehidupan ikan (Tabel 4). Namun perubahan suhu dan salinitas pada siang hari pada saat terjadinya pasang terendah, menyebabkan kenaikan suhu dan salinitas yang cukup tinggi. Perubahan tersebut umumnya terjadi pada bulan Juni sampai Oktober. Suhu air di tambak bisa mencapai 31-35oC dan salinitas terukur sebesar 45-50 ppt. Secara umum pertumbuhan normal ikan kakap putih berada pada kisaran suhu sekitar 30-32oC, suhu yang melebihi 32oC akan terjadi kelambatan tumbuh dan bahkan akan mengalami kematian apabila suhu lebih dari 38-40oC. Pada umumnya ikan kakap yang lebih sensitif terhadap suhu tinggi adalah yang berukuran besar (Glencross dan Bermudes, 2010). Tabel 4. Data kualitas air di kolom pembesaran Ikan Kakap. Obser Treatment Feb March Aprl May vation Temp (m) 29 28,8 29 28,5 pH 8 8,1 8,2 8 Protein Oxygen 5,9 6,1 6,3 6 level Amonia 28-30% Nitrit Salinity 33,5 33,5 34 35 June July Augst Sept Oct 26,5 8,4 6,8 0,02 0,03 37 27 8,3 6,1 37 29 8,5 6,3 0.02 0,003 38 29 8,2 6,5 0.04 45 29,2 8,2 6 0,04 0,003 45 Protein level 33-35% Temp (m) pH Oxygen Amonia Nitrit Salinity 29,1 8,2 5,8 33,5 29 8 6,3 34 29,1 8,4 6,5 34 28 8,3 6,7 35 26,8 8 6,3 37 27,1 8,1 6,5 36 28,5 8,5 6,7 0,002 0,003 37 29,5 8,4 6,6 0,02 48 29 8,2 6,5 0,02 0,003 45 Protein level 38-40% Temp (m) pH Oxygen Amonia Nitrit Salinity 29,4 8,3 6 33,5 29,5 8,2 6,5 33 29,1 8,5 6,8 34 28,1 8,1 6,2 34,5 26,7 8,2 6,9 36,5 27,2 8,1 6,9 37 28,9 8 6,8 0,002 0,002 39 29,1 8,4 6,8 0,02 47 29,3 8,2 6,65 0,02 0,001 46 Kesimpulan Pertumbuhan ikan kakap putih yang dipelihara ditambak dengan kondisi suhu lebih dari 32oC dan salinitas lebih dari 45 ppt menunjukkan pertambahan bobot relatif meningkat. Pertambahan bobot yang lebih baik adalah yang diberi pakan kandungan protein 38-40% juga menunjukkan perkembangan sel gamet jantan relatif banyak (tingkat 1). Batas atas seleksi individu yang dilakukan terhadap ikan yang bobotnya lebih dari 1,0 kg. Nilai variasi genetik yang ditunjukkan dari heterosigositas pada populasi seleksi lebih tinggi yaitu 0,027 dan kontrol 0,0153. Ucapan Terima Kasih Disampaikan ucapan terima kasih kepada Kemenristek SiNAS 2012 yang telah memberikan bantuan dana untuk penelitian, serta terimakasih kepada semua peneliti dan teknisi litkayasa yang telah membantu terlaksananya kegiatan penelitian sampai selesai. Daftar Pustaka Anonim. 1999. Pembenihan Ikan Kakap Putih (Later calcarifer Bloch). Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Laut, Lampung. 250 Konferensi Akuakultur Indonesia 2013 Chen, H.Y. and J.C. Tsai. 1994. Optimaly dietary protein level for the growth of juvenil grouper, Ephinephelus malabaricus, fed semipurified diets. Aquaculture, 119 : 265-271. Davis, T.L.O. 1986. Biology of wildstock Lates calcariferNorthern Australia In Management of wild and cultured Sea Bass/Baramundi (Lates calcarifer). Proceeding of an International Workshop Held at Darwin, N.T. Australia, 29-30 September 1986. Glencross, B. and M. Bermudes. 2010. Effect of High Water Temperatures on the Utilisation Efficiencies of Energy and Protein by Juvenile Barramundi, Later calcarifer. Fisheires and Aquaculture Journal, 14:1-12. Goudie, C.A., Q. Liu., B.A. Simco and K.B. Davis. 1995. Genetic relationship of growth, sex and glucosephosphate isomerase-B phenotypes in channel catfish (Ictalurus punctatus). Aquaculture, 138: 119-124. Hepher, B. 1988. Nutrition of pond fishes. Cambridge University Press. Great Britain. 388p Kaiser, J.B and G. Joan Holt, 2005. Species profile Cobia. Southern Regional Aquaculture Centre, SRAC Publication No 7202 Kungvankij, P., B.J. Ludadera., L.B.Ir. Tiro and I.O. Postestas. 1986. Biology and Culture of SeaBass (Lates calcarifer). Training Manual. Selected Publication No 3 Network of Aquaculture Centre in Asia. Bangkok-Thailand. Kusnendar, E., I. Mokoginta, B. Widigdo, D. Yaniharto, N.A. Giri dan F. Widjaja. 2001. Penerapan Teknologi Nutrisi dan Pakan Pada Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu Tikus (Cromileptis altivelis) Pros. Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, hlm: 37-48. Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Purdom, C.E. 1993. Genetics and Fish Breeding. Chapman and Hall. London. Sugama, K. 1988. Population Genetics Analysis of Red Sea Bream. Thesis Kochi University. Watanabe, T. 1988. Fish nutrition and marieculture: JICA Textbook-The General Aquaculture Course. Department of Aquatic Bioscience, Tokyo Univ. of Fisheries, Japan. Watson, J.D., J. Tooze and D.T. Kurtz. 1983. Recombinant DNA (Alih bahasa Wisnu Gunarso 1988) DNA Rekombinan. Penerbit Erlangga, Jakarta. 251