BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Kelor (Moringa

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kelor (Moringa oleifera)
a.
Klasifikasi
Tanaman kelor memiliki klasifikasi sebagai berikut; Kingdom:
Plantae
(Tumbuhan);
Subkingdom:
Tracheobionta
(Tumbuhan
berpembuluh) ; Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji); Divisi:
Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga); Kelas: Magnoliopsida (berkeping
dua/dikotil);
Sub
Kelas:
Dilleniidae;
Ordo:
Capparales;
Famili:
Moringaceae; Genus: Moringa; Spesies: Moringa oleifera Lam (Krisnadi,
2013).
Kelor (Moringa oleifera) tumbuh dalam bentuk pohon, berumur
panjang (perenial) dengan tinggi 7 - 12 m. Batang berkayu (lignosus), tegak,
berwarna putih kotor, kulit tipis, permukaan kasar. Percabangan simpodial,
arah cabang tegak atau miring, cenderung tumbuh lurus dan memanjang.
Perbanyakan bisa secara generatif (biji) maupun vegetatif (stek batang).
Tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai di ketinggian ±
1000 m dpl, banyak ditanam sebagai tapal batas atau pagar di halaman
rumah atau ladang. Kelor merupakan tanaman dapat mentolerir berbagai
kondisi lingkungan, sehingga mudah tumbuh meski dalam kondisi ekstrim
seperti temperatur yang tinggi, di bawah naungan dan dapat bertahan hidup
di daerah bersalju ringan. Kelor tahan dalam musim kering yang panjang
dan tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan tahunan berkisar
antara 250 sampai 1500 mm. Meskipun lebih suka tanah kering lempung
berpasir atau lempung, tetapi dapat hidup di tanah yang didominasi tanah
liat. Perbanyakan Kelor dapat dilakukan dengan metode penyemaian
langsung dengan biji atau menggunakan stek batang. Daun Kelor dapat
dipanen setelah tanaman tumbuh 1,5 hingga 2 meter, yang biasanya
memakan waktu 3 sampai 6 bulan. Namun dalam budidaya intensif yang
bertujuan untuk produksi daunnya, Kelor dipelihara dengan ketinggian tidak
lebih dari 1 meter. Pemanenan dilakukan dengan cara memetik batang daun
4
dari cabang atau dengan memotong cabangnya dengan jarak 20 sampai 40
cm di atas tanah (Krisnadi, 2013).
b.
Kandungan Gizi
Kelor merupakan tanaman yang kaya akan nutrisi seperti halnya Zat
gizi makro dan mikro, mineral, vitamin. Berbagai bagian dari tanaman Kelor
seperti daun, akar, biji, kulit kayu, buah, bunga dan polong dewasa,
bertindak sebagai stimulan jantung dan peredaran darah, memiliki antitumor, anti-piretik, anti-epilepsi, anti-inflamasi, anti-ulcer, anti-spasmodic,
diuretik, anti-hipertensi, menurunkan kolesterol, antioksidan, anti-diabetik,
hepatoprotektif, anti-bakteri dan anti-jamur (Krisnadi, 2013).
Tabel 2.1. Kandungan Nutrisi Serbuk Daun Kelor
Zat gizi
Serbuk daun per 100 gram
Satuan
vitamin A
vitamin C
vitamin E
Flavonoid
Selenium
Mg
16,3
Mg
17,3
Mg
113,6
Mg
473.3
µg
0,9
Sumber : Krisnadi 2013 dan Rahmat 2009
Antioksidan dalam makanan dapat didefinisikan sebagai zat yang
mampu menunda, memperlambat atau mencegah perkembangan dalam
makanan dari tengik atau kerusakan rasa lain karena oksidasi (Porkony et
al,. 2001). Antioksidan merupakan senyawa yang penting dalam menjaga
kesehatan manusia karena berfungsi meredam radikal bebas. Antioksidan
adalah suatu senyawa yang dapat menetralkan dan meredam radikal bebas
dan menghambat terjadinya oksidasi pada sel sehingga mengurangi
terjadinya kerusakan sel. Kemajuan penelitian di bidang kesehatan
menunjukkan bahwa radikal bebas dapat mengganggu kesehatan kita
misalnya kanker, penyakit hati, penyakit degeneratif seperti artherosklerosis,
kardiovaskular, jantung, penuaan dini, rematik (Hernani dan Raharjo 2005)
Berdasarkan uji fitokimia pada daun kelor adalah positif mengandung
flavonoid (Rohyani et al,. 2015). Flavonoid merupakan tanaman metabolit
sekunder yang terdapat pada tanaman hijau, kecuali alga. Termasuk senyawa
fenolik alam yang berpotensi sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktif
5
sebagai obat. Flavonoid mempunyai manfaat pada tubuh manusia antara lain
untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin c, anti
inflamasi dan antibiotik. Kandungan flavonoid dapat menghambat aktivitas
enzim ɑ glucosidase mengganggu pemecahan maltosa menjadi glukosa
sehingga sulit diserap oleh intestinum (Husain et al, 2012). Flavonoid yang
disintesis dari bunga pohon pisang memiliki potensi untuk mengaktivasi
reseptor tyrosin kinase insulin. Aktivasi reseptor tyrosin ini akan
meningkatkan GLUT-4 pada permukaan sel (terutama otot skelet) sehingga
terjadi peningkatan transport glukosa ke dalam sel (Ganugapati et al, 2012).
Flavonoid quercetin menyebabkan regenerasi sel β pankreas yang mungkin
meningkatkan produksi insulin pada tikus DM yang diinduksi Streptozotocin
(Vessal et al, 2003)
Vitamin C berperan menekan proses aktivasi jalur poliol dan glikasi
protein pada penderita diabetes melitus sehingga produksi radikal bebas
menjadi berkurang (Iqbal et al., 2004) Sebagai antioksidan, vitamin C peran
utama adalah untuk menetralisir radikal bebas. Asam askorbat dapat bekerja
baik di dalam dan di luar sel untuk memerangi kerusakan radikal bebas
karena sifatnya larut dalam air. Radikal bebas mencari pasangan elektron
untuk mendapatkan kembali stabilitas mereka. Vitamin C adalah sumber
elektron karena itu dapat menyumbangkan elektron radikal bebas seperti
hidroksil dan superoksida radikal dan memuaskan reaktivitas mereka (Iqbal
2004).
Vitamin A dalam tumbuhan terdapat dalam bentuk prekusor
(provitamin). Provitamin A terdiri dari α, β, dan γ-karoten. β –karoten
merupakan pigmen kuning dan salah satu jenis antioksidan yang memegang
peranan penting dalam mengurangi reaksi berantai radikal bebas dalam
jaringan. Vitamin A (kareotenoid) dapat melindungi sel dari kerusakan dan
menurunkan risiko kanker dan penyakit kardiovaskular. Vitamin A, vitamin
larut lemak memiliki properti antioksidan yang memainkan peran penting
dalam pemulungan radikal bebas yang mirip dengan vitamin D dan E
(Banala, 2015). Suplemenasi vitamin A dapat meningkatkan aktivitas
katalase hati tikus diabetes (Zobali, 2002). Vitamin A, selain perannya
6
sebagai antioksidan, menawarkan peran pleiotropik dalam regulasi sel
melalui aksinya pada regulasi gen, pemeliharaan integritas sel epitel, dan
ketahanan terhadap infeksi. Peran vitamin A adalah up-regulation fungsi
enzim antioksidan dalam tubuh (Iqbal, 2015).
Kandungan selenium pada daun kelor kering adalah 0,9 µg/100 gram
(Krisnadi, 2013). Selenium merupakan kofaktor regulatori dan katalitik
untuk protein (enzim) yang mengandung selenosistein. Selenium berfungsi
penting untuk mengaktifkan glutation peroksidase, yaitu salah satu enzim
yang sangat penting dalam tubuh yang menetralisir radikal-radikal bebas
(Rita et al,. 2009). RDA selenium per hari adalah 55-77 µg/day dan
dikategorikan menjadi deficienct (33% < RDA), Adequate (66%-200% dari
RDA) dan kelebihan (>200% dari RDA) (Caroline, 2013).
Vitamin E merupakan antioksidan terpenting yang larut dalam lemak,
proteksi terhadap membran lipid dari kerusakan oksidatif. Vitamin E
mempunyai fungsi utama sebagai antioksidan larut lemak dan mudah
memberikan hidrogen dari gugus hidroksil (OH) pada struktur cincin ke
radikal bebas. Memiliki peranan biologik utama yaitu memutuskan rantai
proses peroksidasi lipida sehingga terbentuk radikal vitamin E yang stabil
dan tidak merusak. Menurut dugaan terjadi regenerasi dengan bantuan
vitamin C atau reduktase lain yang mereduksi radikal vitamin E ke bentuk
aslinya (Almatsier, 2010). Vitamin E mempunyai dua isomer yaitu tokoferol
dan tokotrienol. Tokoferol berfungsi sebagai antioksidan yang mampu
mempertahankan integritas membran. Tokoferol bekerja sebagai scavenger
radikal bebas oksigen, peroksi lipid dan oksigen tunggal. Adapun tokotrienol
merupakan
antioksidan
yang
dapat
bekerja
cepat,
dengan
cara
mempengaruhi ekspresi gen yang berkaitan dengan induksi ekspresi protein
yang terlibat dalam penghambatan sel kanker sehingga penyebarannya dapat
dicegah. (Hadi et al., 2013). Vitamin E memperbaiki potensi sistem
pertahanan radikal bebas dan memiliki efek menguntungkan dalam
perbaikan transpor glukosa dan sensitivitas insulin (Setiawan, 2005).
7
2. Diabetes mellitus tipe 2
a. Pengertian
Diabetes melitus (DM) tipe 2 adalah suatu sindrom metabolik yang
disebabkan oleh resistensi insulin dan defisiensi insulin (Ndraha, 2014). DM
Tipe 2 juga dapat diartikan sebagai penyakit hiperglikemi akibat insensivitas
sel terhadap insulin. Diabetes melitus tipe II disebut sebagai non-insulin
dependent diabetes mellitus karena sel-sel beta pancreas tetap menghasilkan
insulin. DM tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin) (Fatimah, 2015).
Penderita diabetes tipe 2 bevariasi, mulai dari yang dominan resistensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin. Sebanyak 90 hingga 95 % penderita diabetes
termasuk dalam DM tipe 2. Kebanyakan pasien DM tipe 2 mengalami
obesitas dan obesitas sendiri menyebabkan resistensi insulin. Diabetes tipe 2
sering tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun karena hiperglikemia
berkembang secara bertahap dan pada tahap-tahap awal tidak nampak gejala
klasik diabetes (Ndraha, 2014).
Penyakit DM tipe 2 merupakan tipe DM yang lebih umum, lebih
banyak jumlah penderitanya dibandingkan DM tipe 1. Berbeda dengan DM
tipe 1, pada penderita DM tipe 2 di tahap awal umumnya dapat dideteksi
jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya walaupun kadar glukosa juga
tinggi. Pada DM tipe 2 tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara
otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian
defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif tidak
absolut. Sehingga dalam penanganan umumnya tidak menggunakan
memerlukan terapi insulin (Ndraha, 2014).
Sel-sel β pankreas mensekresi insulin melalui 2 fase. Fase pertama
sekresi terjadi setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi
sekitar 20 menit sesudahnya. Awal perkembangan DM tipe 2, terjadi
gangguan sekresi insulin fase pertama yang ditunjukkan oleh sel-sel β
8
pankreas, yaitu sekresi insulin gagal mengkonpensasi resistensi insulin. Jika
hal tersebut tidak ditangani dengan baik, maka perkembangan penyakit
selanjutnya penderita DM tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β
pankreas yang terjadi secara progresif mengakibatkan defisiensi insulin,
sehingga penderita memerlukan insulin eksogen (Ndraha, 2014)..
b. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah kondisi kadar glukosa darah yang tinggi.
Defisiensi insulin baik relatif maupun absolut akan mendasari semua krisis
hiperglikemia. Hiperglikemia akan melemahkan kapasitas sekresi insulin dan
menambah berat resistensi insulin sehingga membentuk lingkaran setan yaitu
hiperglikemia bertambah berat dan produksi insulin yang semakin berkurang
(Putri 2013).
Keadaan hiperglikemia dan DM mengakibatkan kerusakan sistemik
yang luas pada tubuh. Hal ini disebabkan karena terdapat gangguan pada
metabolisme glukosa, lemak, dan protein sebagai hasil dari defek sekresi
insulin maupun gangguan fungsi insulin di perifer. Berbagai komplikasi akut
DM yaitu koma hiperglikemia, ketoasidosis dan komahiperosmolar nonketotik (Soewondo, 2009).
Keadaan
mengakibatkan
hiperglikemia
pada
penderita
diabetes
melitus
autooksidasi glukosa, glikasi protein, dan aktivasi jalur
metabolisme poliol yang kemudian akan mempercepat pembentukan senyawa
oksigen reaktif. Pembentukan senyawa oksigen reaktif tersebut dapat
meningkatkan modifikasi lipid, DNA, dan protein pada berbagai jaringan.
Modifikasi molekuler pada
berbagai jaringan tersebut mengakibatkan
ketidakseimbangan antara antioksidan protektif (pertahanan antioksidan)
dan peningkatan
produksi
radikal
bebas. Hal
ini
merupakan
awal
kerusakan oksidatif yang dikenal sebagai stres oksidatif. Dampak negatif
pada membran sel akan terjadi reaksi rantai yang disebut peroksidasi lipid.
Akibat akhir dari rantai reaksi ini adalah terputusnya rantai asam lemak
menjadi
berbagai
senyawa
yang
toksik
terhadap
sel,
malondialdehyde (MDA), etana dan pentane (Kadri et al 2010).
9
diantaranya
Komplikasi kronik DM mengakibatkan kerusakan pembuluh darah
(endotel) meliputi makroangiopati yang mengenai pembuluh darah besar
pada jantung serta otak dan mikroangiopati meliputi nefropati dan retinopati
(Waspadji, 2009).
c. Tikus model diabetes melitus tipe 2
Pembuatan model tikus diabetes melitus tipe 2 menggunakan
streptozotocin dan nikotinamid. Pemberian streptozotosin (STZ) didahului
dengan injeksi nikotinamid (NA) pada tikus. Pemberian STZ dan NA akan
menginduksi diabetes mellitus terkait resistensi insulin dan mengakibatkan
terbentuknya
hiperglikemia
dan
dislipidemia
yang
ditunjukkan
oleh
peningkatan kadar glukosa darah dan kadar kolesterol total tikus (Leo, 2014).
Pemberian nikotinamide 15 menit sebelum administrasi STZ merupakan
metode yang umum digunakan untuk menginduksi diabetes mellitus pada tikus
(Ananda, 2012).
Streptozotocin (STZ) disintesis oleh Streptomycetes achromogenes dan
digunakan untuk menginduksi DM tipe I dan tipe II. Induksi streptozotocin
merupakan metode yang lazim digunakan. Kerusakan sel-sel β pankreas baik
secara total ataupun parsial akan terjadi setelah induksi STZ. Dosis tunggal
diabetogenik dari STZ (70-250 mg/kgBB) mengakibatkan keruskan total selsel β pankreas. Sedangkan pemberian dosis sub-diabetogenik multiple akan
mengakibatkan kerusakan sel-sel β pankreas secara parsial yang akan memicu
infiltrasi makrofag dan limfosit dan resistensi insulin (Kolb dan Kroneke,
1993; Like dan Rosini, 1976).
Injeksi intravena atau intraperitonieal dari streptozotocin dengan dosis
50-100 mg/kgBB dapat menginduksi DM tipe 1 pada tikus. Administrasi
streptozotocin dengan dosis 50-60mg/kgBB menurunkan kadar insulin sebesar
10-30% tanpa disertai ketosis berat dan tikus dapat bertahan selama beberapa
minggu tanpa pemberian insulin (Heidari et al., 2008).
Penelitian terbaru menunjukkan STZ yang diinduksi pada DM
berhubungan dengan kadar Nitric Oxide (NO) pada sel β pankreas. Nitric
10
Oxide pada sel β pankreas menyebabkan kematian sel β pankreas melalui
induksi nekrosis dan apoptosis sel. Kerusakan sel β pankreas oleh NO melalui
rusaknya DNA sel. Kerusakan DNA sel β pankreas dapat menyebabkan
kematian sel β pankreas melalui 2 mekanisme yaitu 1) rusaknya DNA sel β
pankreas secara langsung menyebabkan nekrosis sel β pankreas 2) rusaknya
DNA sel β pankreas menyebabkan poly(ADP-ribosa) polymerase (PARP-1)
yang berfungsi memperbaiaki DNA. Aktivitas PARP-1 yang yang berlebihan
mengakibatkan deplesi NAD dan ATP sel sehingga berujung pada kematian sel
β pankreas (Shimabukur et al., 1997; moncada et al., 1991). Transport STZ ke
dalam sel difasilitasi oleh reseptor GLUT 2 dan sel β pankreas memiliki
reseptor GLUT 2 dengan jumlah yang relatif tinggi (Heidari et al., 2008).
Banyaknya jumlah reseptor GLUT 2 pada sel β pankreas mengakibatkan
toksisitas STZ terhadap sel β pankreas (Junod et al., 1967).
Nicotinamide (NA) adalah vitamin B3 yang merupakan vitamin larut
air, berfungsi untuk mengurangi efek diabetik dari STZ. NA terbukti memiliki
scavenger terhadap radikal bebas sehingga mampu mengurangi kerusakan
DNA (Bedoya et al., 1997). Pembentukan NO pada sel β pankreas dihambat
oleh NA dengan cara menghambat ekpresi iNOS pada sel β pankreas. NO
melakukan reaksi sinergistik dengan superoxide anion yang dilepaskan oleh
makrofag untuk membentuk peroxynitrite anion dan hyrdroxyl radical yang
mungkin memiliki peran mayor dalam apoptosis sel (Alenzi, 2009). NA
berperan pada biosintesis NAD sehingga dapat mengembalikan kandungan
NAD sel β pankreas ke rentang normal dan menghambat aktivitas enzim
PARP-1 (Kim et al., 1997; Suarez-Pinzon et al., 2003; Virag, 2005).
3. Mekanisme stres oksidatif dan komplikasi diabetes mellitus
a. Mekanisme stres oksidatif
Stres oksidatif memegang peranan penting terhadap patogenesis
berbagai komplikasi makro dan mikroangiopati DM. Hal tersebut terjadi
melalui peningkatan berbagai aktifitas metabolik pada DM seperti
peningkatan aktivitas jalur polyol, peningkatan produksi produk akhir
glikasi (AGEs), protein kinase C (PKC), peningkatan Aktivitas nuclear
11
transcription factor kb (NFkb) dan peningkatan Aktivitas jalur heksoamin.
Berbagai proses metabolism tersebut akan menghasilkan Sejumlah besar
spesies oksigen dan nitrogen reaktif. Keadaan ini akan diperparah karena
terdapat peningkatan Kadar free fatty acid Dan penurunan produksi
Antioksidan nitric oxide (NO) sehingga turut mendukung kerusakan pada
struktur pembuluh darah (Malik et al., 2015)
Menurut Tjokroprawiro tahun 2014, keadaan stres oksidatif juga
akan muncul melalui empat mekanisme yang disebut „PAHA‟ yaitu PKC
pathway (P), AGE pathway (A), Hexosamine pathway (H) dan Aldose
reductase or polyol pathway (A). Keadaan stres oksidatif menyebabkan
disfungsi sel β dan resistensi insulin. Keadaan kontrol glikemik yang
sempurna dan antioksidan kuat dapat mengurangi stres oksidatif, sehingga,
meningkatkan fungsi sel β dan sensitivitas insulin. „PAHA‟ biasanya diikuti
dengan terjadinya disfungsi Mitochondrial, dan kemudian istilah „PAHA‟
akan berubah menjadi„PAHAM‟.
b. Jalur PKC
Protein tubuh menjadi ireversibel diubah oleh gula dalam proses
yang dikenal sebagai reaksi Mailard, yang menyebabkan pencoklatan
jaringan. Diasilgliserol (DAG) dan PKC merupakan sinyal molekul intrasel
sangat penting yang dapat mengatur banyak fungsi pembuluh darah,
termasuk permeabilitas, pelepasan vasodilator, aktivasi endotel, dan faktor
pertumbuhan sinyal (Brownle, 2005).
Aktivasi PKC juga mungkin terlibat dalam induksi faktor
pertumbuhan ekspresi (VEGF, TGFβ) dan molekul sinyal (VEGF, ET1).
Selain itu, aktivasi PKC juga dapat berdampak pada jalur sinyal lain seperti
mereka yang menggunakan MAP kinase atau faktor transkripsi nuklir.
Dalam glomeruli tikus diabetes, α, β, dan δ, isoform dari PKC telah
terbukti diaktifkan (Brownlee, 2005).
c. Jalur AGE
Kadar glukosa darah yang tinggi dalam jangka panjang pada
penderita DM memicu terjadinya proses glikasi lipid dan protein yang
mengakibatkan peningkatan AGE (advanced glycation end-product) (Bassa
12
et all,. 2004). AGE diproduksi melalui reaksi Maillard yang ditandai dengan
adanya asam amino teralkilasi, residu fluoresens, dan ikatan silang (cross
linkage) intramolekul maupun intermolekul. AGE memegang peran yang
cukup signifikan dalam proses terjadinya berbagai komplikasi pada
diabetes, baik AGE yang berada di jaringan (intraseluler) maupun di
sirkulasi plasma darah (ekstraseluler) (Vlassara et al,. 2002). Peningkatan
produk glycoxidation dan lipoxidation pada plasma dan jaringan protein
diyakini meningkatkan stres oksidatif pada DM. Bentukan AGE dan
perubahan aktivitas polyol pathway berperan terhadap stres oksidatif. AGE
menjadi penyebab stres oksidatif dan ekspresi growth factor (Sugiarto,
2010). Interaksi antara AGE dalam sirkulasi dengan RAGE (receptor for
advanced glycation end product) akan meningkatkan produksi ROS
(reactive oxygen species) intraseluler dan up-regulation faktor transkripsi
NF-κB dan produknya, yakni endothelin-1, vascular cell adhesion
molecule-1 (VCAM-1), intercellular adhesion molecule-1(ICAM-1), Eselectin, tissue factor, thrombomodulin, vascular endothelial growth factor
(VEGF), sitokin proinflamasi IL (interleukin)-1α, IL-6, tumor necrosis
factor-α, dan RAGE. ROS juga menginisiasi proses peroksidasi lipid yang
ditandai dengan peningkatan MDA (malondialdehid), penurunan aktivitas
NO (nitric oxide) in vitromaupun in vivo, atau meningkatkan regulasi (upregulation) iNOS (inducible nitric oxide synthase) dan menurunkan regulasi
(downregulation) eNOS (endothelial nitric oxide synthase) (Rosdiana &
Soewoto 2008 dalam Farabi 2013).
d. Jalur Hexosamine
Produksi ROS yang meningkat akibat hiperglikemia menyebabkan
kerusakan inti DNA, kemudian mengaktivasi Poly ADP-ribose polymerase
(PARP). Selanjutnya PARP mengurangi aktivitas Glyceraldehydes-3
phosphate
dehydrogenase
mengaktivasi
polyol
(GADPH).
pathway,
Penurunan
meningkatkan
aktivitas
AGE
GADPH
intraseluler,
mengaktivasi PKC dan NFkB, dan mengaktivasi hexosamine pathway flux.
Chronic hexosamine flux merangsang aktivasi AMP-activated protein kinase
(AMPK) dan meningkatkan oksidasi asam lemak (Sugiarto, 2010).
13
e. Jalur Aldose reduktase
Aldose reduktase menggunakan nicotinamide adenine dinucleotide
phospate (NADPH) untuk mengurangi glukosa menjadi sorbitol. Tingkat
oksidasi sorbitol dipercaya berpengaruh terhadap perkembangan katarak.
Aktivasi jalur aldose reduktase mungkin mengaktifkan produksi TNF α,
yang akan menghasilkan proliferasi SMC. Penurunan NADPH seluler yang
disebabkan oleh peningkatan aliran aldosa reduktase dapat menurunkan
generasi nitrat oksida (NO) dalam sel endotelial. Penurunan NO dapat
meningkatkan ekspresi ICAM dan VCAM, yang menginduksi agregasi
platelet, menekan vasodilator, menginduksi proliferasi SMC, dan mengubah
keseimbangan redoks selular. Inhibitor aldose reduktase telah terbukti untuk
mencegah beberapa perubahan patologis dalam model tikus retinopati
diabetik dan neuropati (Brownlee, 2005).
f. Reaktif oksigen spesies
Reaktif oksigen spesies (ROS) adalah radikal bebas yang berperan
penting pada beberapa proses fisiologi organ tubuh. Pembentukan ROS
dapat mengiduksi peroksidasi lipid yang bersifat sitotoksik akibat inisiasi
suatu reaksi rantai ke dalam membran, diikuti reaksi propagasi sehingga
secara keseluruhan akan menyebabkan kerusakan sel (Sikka 2004 dalam
Astuti et al., 2009).
Radikal bebas akan menyerang komponen seluler di sekitarnya baik
lipid, protein, maupun DNA. Proses oksidasi ketiga komponen tersebut
berupa peroksidasi lipid, oksidasi protein, dan oksidasi DNA. Akibat
peroksidasi lipid antara lain adalah terbentuknya senyawa-senyawa aldehid.
Produk degradasi peroksidasi lipid adalah MDA dan hidrokarbon,
sedangkan produk akhirnya berupa etana dan etilen. Peroksidasi lipid adalah
hasil kerja radikal bebas yang paling awal diketahui dan paling mudah
diukur. Oleh karena itu reaksi ini paling sering dilakukan untuk mempelajari
stres oksidatif (Priyanti, 2013).
Malondialdehyde (MDA) merupakan salah satu produk akhir
peroksidasi lipid yang terbentuk setelah aksi senyawa radikal sehingga
digunakan sebagai indikator keberadaan radikal bebas dalam tubuh dan
14
indikator kerusakan oksidatif membran sel (Astuti et al., 2009). Senyawa ini
mempunyai tiga rantai karbon dengan rumus C3H4O2. MDA juga
merupakan produk dekomposisi dari asam amino, karbohidrat kompleks,
pentose dan heksosa. Selain itu, MDA juga merupakan produk yang
dihasilkan oleh radikal bebas melalui ionisasi dalam tubuh dan produk
samping biosinteais akhir oksidasi lipid membrane (Winarsi, 2007).
Komponen nukleofilik atau elektrofilik dapat bereaksi dengan MDA.
Senyawa MDA ini memiliki Aktivitas non spesifik yaitu dapat berkaitan
dengan berbagai molekul biologis seperti protein, asam nukleat dan
aminofosfolipid secara kovalen. MDA juga dapat menghasilkan polimer
dalam berbagai berat molekul dan polaritas. Efek negative senyawa radikal
maupun metabolit elektrofil ini dapat diredam oleh antioksidan, baik yang
berupa zat gizi seperti vitamin A, C, E dan albumin, ataupun antioksidan
non-gizi seperti flavonoid dan gingerol. Oleh sebab itu, tinggi rendahnya
MDA sangat tergantung pada status antioksidan dalam tubuh seseorang
(Regina, 2013).
Menurut Priyanti (2013) MDA merupakan alat ukur yang paling
sering digunakan sebagai indikator peroksidasi lipid. MDA sangat sesuai
sebagai biomarker stres oksidatif karena:
1) Pembentukan MDA meningkat sesuai stres oksidatif
2) Kadar MDA dapat diukur dengan akurat
3) Bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi
4) Variasi diurnal dan kandungan lemak dalam diet tidak mempengaruhi
pengukuran
5) Merupakan produk spesifik dari peroksidasi lipid
6) Tersedia dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan tubuh
dan cairan biologis.
Jumlah radikal bebas yang berlebih mengakibatkan peningkatan
proses peroksidasi lipid sehingga produksi MDA juga meningkat.
Mekanisme pembentukan MDA melalui peroksidasi lipid diawali dengan
penghilangan atom hidrogen (H) dari molekul lipid tak jenuh rantai panjang
oleh gugus radikal hidroksil (OH), sehingga lipid bersifat radikal. Kemudian
15
radikal lipid ini bereaksi dengan atom oksigen (O2) membentuk radikal
peroksil (OO), yang selanjutnya menghasilkan MDA (dengan ikatan tak
jenuh lebih dari tiga) (Yustika, 2013).
Kenaikan MDA menandai terjadinya stres oksidatif yang nantinya
akan mengakibatkan oksidasi LDL sehingga mengakibatkan terbentuknya
sel busa yang akan membentuk fatty streaks dan atherosklerosis (Vogiatzi,
2009).
16
Tabel 2.2. Penelitian yang relevan
No
1
Nama
Susi Dewiyeti
dan Saleh
Hidayat
2
Sumarno,
2006
Puspita T dan
Wahyuningsih R
3.
Dolly Jaiswal,
Prashant Kumar
Rai, Amit
Kumar, Shikha
Mehta, Geeta
Watal
Velaga MK,
Daughtry LK,
Jones AC,
Yallapragada
PR, Rajanna S,
Rajanna B.
2009
Putri Dafriyani
2010
4
5
Tahun
2015
2014
Judul
Ekstrak Daun
Kelor (Moringa
oleifera Lamk.)
sebagai Penurun
Kadar Glukosa
Darah Mencit
Jantan
(Mus musculus L.)
Hiperglikemik
Hasil
Pemberian ekstrak daun
kelor (Moringa oleifera
Lamk.) dengan berbagai
konsentrasi (10%, 20%
dan 30%) mempunyai
pengaruh dalam
menurun-kan
kadar gula darah pada
mencit (Mus muscullus
L.) galur Swiss Webster.
Peran antioksidan
Terdapat pengaruh
pada ektrak tepung pemberian ektrak tepung
daun kelor terhadap daun kelor terhadap kadar
kadar MDA (hepar) MDA (hepar) pada tikus
pada tikus “Rattus
“Rattus noverginicus
noverginicus strain strain wistar” yang
wistar” yang
dipapari asap rokok akut.
dipapari asap rokok Efektif pada dosis 400
akut
mg/hari
Perbedaan
Hewan coba yang
digunakan berbeda
Mencit Jantan
(Mus musculus L.),
perlakuan
menggunakan
ekstrak daun kelor
Effect of Moringa
oleiferaLam. leaves
aqueous extract
therapy
on hyperglycemic
rats
Attenuation of
lead-induced
oxidative stress in
rat brain, liver,
kidney and blood
of male wistar rats
by moringa oleifera
seed powder
Daun kelor Moringa
oleifera merupakan
tanaman herbal untuk
penanganan DM
perlakuan
menggunakan
ekstrak daun kelor,
induksi DM
menggunakan STZ
Moringa oleifera memiliki
efek yang lebih baik
daripada pengobatan
meso-2, 3
dimercaptosuccinic acid
(DMSA) dalam
menurunkan efek
negative timbal
Model hewan coba
berbeda wistar yang
diinduksi timbal
asetat. Perlakuan
dengan bubuk biji
kelor
Efek suspense
bubuk kedelai pada
tikus diabetes
akibat diinduksi
streptozotocin
Pemberian suspensi bubuk
kedelai dapat mengatasi
stress oksidatif pada
diabetes dengan
menurunkan kadar MDA
dan mencegah komplikasi
pada diabetes dengan
menurunkan kadar
kreatinin serum dan kadar
Perlakuan
menggunakan
suspense bubuk
kedelai, induksi
hewan coba
menggunakan STZ
17
Model hewan coba
berbeda “Rattus
noverginicus strain
wistar” yang
dipapari asap rokok
akut, perlakuan
menggunakan
ekstrak tepung daun
kelor
protein urin.
Ekstrak etanol daun kelor
dosis 250 dan 500 mg/Kg
menyebabkan ekspresi
insulinlebih tinggi dan
derajat insulinlebih rendah
dibandingkan dengan
kelompok kontrol
6
Ratna
Sulistyorini,
Sarjadi, Andrew
Johan, Kis
Djamiatun
2015
Pengaruh ekstrak
etanol daun kelor
(Moringa aloefera)
pada ekspresi
insulin dan insulitis
tikus DM
7
Ambarwati ,
Sarjadi, Andrew
Johan, Kis
Djamiatun
2014
Efek moringa
oleifera terhadap
gula darah dan
kolagen matrik
ekstrakseluler sel β
pancreas diabeter
eksperimental
8
Adisakwattana
S, Chanathong
B
2011
α glucosidase
inhibitory activity
and lipid lowering
mechanism of
moringa oleifera
leaf ekstract
9
Aditya Nugraha
2013
Bioaktivitas ektrak
daun kelor (MO)
terhadap Escehricia
Coli penyebab
kolibasilosis pada
babi
Daun kelor pelarut air dan
etanol mampu
menghambat pertumbuhan
bakteri e coli
10
O. Addeeyo, K
Adefute, A.
Ofusori, A,
Aderinola, A.
Caxton-martin
2013
Antihyperglicemic
effect of aqueous
leaf extracts of
mistletoe and
moringa oleifera in
STZ-induced
diabetes wistar rats
Kelor dan mistletoe
memiliki sifat
hipoglikemik yang sangat
berguna dalam
memanajemen
hiperglikemia pada DM
18
Kadar glukosa darah
menjadi normal pada
kelompok 500
mg/KgBB/hari, ketebalan
kolagen ECM pulau
langerhans pancreas tetap
normal di semua
kelompok perlakuan
Ekstrak dau moringa
oleifera dapat digunakan
untuk mengontrol glukosa
darah dan konsentrasi lipid
dan pencegahan
hiperglikemia dan
hiperlipidemia
Jenis tikus strai
Sprague Dawlay,
perlakuan dengan
ekstrak etanol daun
kelor, variable yang
diteliti adalah
ekpresi insulin dan
inulitis tikus.
Perlakuan dengan
ektrak etanol
Moringa aloefera
dan variable yang
diteliti ketebalan
kolagen ECM pulau
langerhans pancreas
Perlakuan dengan
ekstrak moringa
oleifera, variable
yang diteliti α
amylase, α
glukosidase, lipase
pancreas, ekstrase
kolesterol pankreas
Perlakuan dengan
ekstrak etanol daun
kelor, subyek
menggunakan babi,
variabelnya
aktivitas bakteri e
coli
Induksi DM denga
STZ 70 mg/KgBB,
variable yang
diukur glukosa,
SOD, BB, GSH
pada pankreas
B. Kerangka Berpikir
Defisiensi insulin
Resistensi insulin
Diabetes mellitus tipe 2
↑↑ Glukosa
darah
Berkurangnya absorbsi
glukosa & fruktosa
PKC↑
AGE↑
heksosamine↑
Menghambat
GLUT 2 mukosa
usus
Aldose reductase or
polyol pathway↑
Stress oksidatif
Tepung Daun kelor
vitamin A, E, C,
flavonoid dan
selenium
↑↑ROS
(MDA)
↑↑ kerusakan endotel ↓
Keterangan :
AGE : Advanced Glycosilation End product
: Variabel bebas
: Variabel terikat
: Variabel terikat
↑
: Meningkat
: Mengakibatkan
↓
: Menurun
:Mengendalikan
MDA : Malondialdehyde
PKC : Protein Kinase C
ROS : reactive oxygen spesies
Gambar 2.6. Kerangka berpikir pengaruh tepung daun kelor (moringa oleifera) terhadap
kadar glukosa darah dan Malondialdehid (MDA) tikus diabetes tipe 2
19
C. Hipotesis
1. Tepung daun kelor (moringa oleifera) dengan dosis 500 mg/KgBB, 1000
mg/KgBB dan 1500 mg/KgBB dapat menurunkan kadar glukosa darah pada
tikus diabetes mellitus tipe 2.
2. Tepung daun kelor (moringa oleifera) dengan dosis 500 mg/KgBB, 1000
mg/KgBB dan 1500 mg/KgBB dapat menurunkan malondialdehyde (MDA)
pada tikus diabetes mellitus tipe 2.
20
Download