hubungan antara asupan energi, protein dan penyakit infeksi

advertisement
HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ENERGI, PROTEIN DAN PENYAKIT INFEKSI
DENGAN KEJADIAN GIZI KURANG PADA BALITA 36-59 BULAN DI DESA BEJI
KECAMATAN UNGARAN TIMUR KABUPATEN SEMARANG
ARTIKEL ILMIAH
OLEH:
Eko Irianto Agustinus S
060112a008
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO
UNGARAN
2016
Hubungan Antara Asupan Energi, Protein dan Penyakit Infeksi Dengan Kejadian Gizi kurang Pada
Balita 36-59 Bulan Di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
HUBUNGAN ANTARA ASUPAN ENERGI, PROTEIN DAN PENYAKIT INFEKSI
DENGAN KEJADIAN GIZI KURANG PADA BALITA 36-59 BULAN DI DESA BEJI
KECAMATAN UNGARAN TIMUR KABUPATEN SEMARANG
Eko Irianto Agustinus S, Galeh Septiar Pontang, Indri Mulyasari
*Program Studi Ilmu Gizi Stikes Ngudi Waluyo
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Latar Belakang : Kekurangan gizi pada balita akan menyebabkan hilangnya masa hidup
sehat pada balita. Konsumsi makanan dan penyakit infeksi dapat secara langsung
menyebabkan gizi kurang.
Tujuan : Mengetahui hubungan antara asupan energi, protein dan penyakit infeksi dengan
kejadian gizi kurang pada balita 36-59 bulan di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur
Kabupaten Semarang.
Metode : Desain penelitian ini adalah analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita usia 36-59 bulan di Desa Beji Kecamatan
Ungaran Timur Kabupaten Semarang. Teknik sampling adalah total sampling dengan besar
sampel 90 balita. Pengumpulan data menggunakan kuesioner, recall 24 jam dan timbangan
injak. Analisis yang digunakan adalah uji Chi-square (α = 0,05).
Hasil: Asupan energi baik 12 balita (13,3%), energi kurang 78 balita (86,7%); Asupan protein
lebih 10 balita (11,1%), protein baik 36 balita (40,0%), protein kurang 44 balita (48,9%);
Balita yang tidak menderita penyakit infeksi 43 balita (47,8%), menderita 47 balita (52,2%);
Balita yang gizi baik 43 balita (47,8%), gizi kurang 47 balita (52,2%); Ada hubungan asupan
energi (p=0,019); Asupan protein (p=0,003); Penyakit infeksi (p=0,036).
Simpulan: Ada hubungan antara asupan energi, protein dan penyakit infeksi dengan kejadian
gizi kurang pada balita 36-59 bulan di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten
Semarang.
Kata Kunci
: Asupan Energi, Protein, Penyakit infeksi, Gizi Kurang
Hubungan Antara Asupan Energi, Protein dan Penyakit Infeksi Dengan Kejadian Gizi kurang Pada
Balita 36-59 Bulan Di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
THE CORRELATION BETWEEN INTAKE OF ENERGY AND PROTEIN AND
INFECTIOUS DISEASE WITH THE INCIDENCES OF MALNUTRITION IN
CHILDREN AGED 36-59 MONTHS OLDAT BEJI VILLAGE EAST UNGARAN SUBDISTRICT SEMARANG REGENCY
Eko Irianto Agustinus S, Galeh Septiar Pontang, Indri Mulyasari
* Nutrition Science Study Program of Ngudi Waluyo School of Health
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Background: Malnutrition among under-five yearschildren will cause the loss of healthy life
span in children. The consumption of food and infectious diseases may directly lead to
malnutrition.
Purpose: This study aims to find the correlation between the intake of energy, and protein
and infectious diseases with the incidence of malnutrition in children aged 36-59 months old
at Beji Village East Ungaran Sub-district Semarang Regency.
Method: This was an analytic correlative study with cross sectional approach. The population
in this study was all children aged 36-59 months old at Beji Village East Ungaran Sub-district
Semarang Regency. The data sampling used total sampling technique to 90 respondents. The
data collecting used questionnaires, 24-hour recall and bathroom scales. The data analysis
used Chi-square test ( = 0.05).
Result:The results of this study indicated that there were 12 children (13,3%), having good
energy intake, 78 children (86.7%) having poor energy intake; 10 children (11,1%) having
excessive protein intake; 36 children (40,0%) having good protein intake, 44 children
(48.9%)havingpoor protein intake; 43 children (47,8%) not suffering from infectious diseases,
47 children (52.2%) suffering from infectious diseases; 43 children (47,8%) having good
nutrition, 47 children (52.2%) having malnutrition. There was a correlation between energy
intake, protein intake, and infectious diseases with the incidences of malnutrition with p-value
of 0.019, 0.003, and 0.036, respectively.
Conclusion: There is a correlation between the intake of energy, protein and infectious
disease with the incidences of malnutrition in children aged 36-59 months old at Beji Village
East Ungaran Sub-district Semarang Regency.
Keywords
: Intake of energy and protein, Infectious disease, Malnutrition
Hubungan Antara Asupan Energi, Protein dan Penyakit Infeksi Dengan Kejadian Gizi kurang Pada
Balita 36-59 Bulan Di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
PENDAHULUAN
Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi utama pada balita
diIndonesia.Prevalensi yang tinggi banyak terdapat pada anak-anak di bawah umur 5 tahun
(balita). Anak balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi. Kelompok ini yang
merupakan kelompok umur yang paling sering terjadi status gizi kurang.Balita merupakan
salah satu kelompok rawan gizi yang perlu mendapatkan perhatian khusus, kekurangan gizi
akan menyebabkan hilangnya masa hidup sehat pada balita. Dampak yang lebih serius dari
kekurangan zat gizi adalah terjadinya gizi buruk yang mengakibatkan tingginya angka
kesakitan dan kematian (Depkes RI, 2003).
Balita membutuhkan zat-zat gizi untuk tumbuh kembang, perbaikanatau pengganti selsel yang rusak, pengaturan tubuh, kekebalan terhadap penyakit. Zat-zat gizi yang dibutuhkan
diantaranya karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral dengan jumlah kalori di dalam
makanan berdasarkan komposisi banyaknya zat gizi yang terkandung. Balita membutuhkan
kalori lebih banyak perkilogram berat badannya dari pada orang dewasa untuk
pertumbuhannya selain untuk kebutuhan fisik (Husaini, 2002).
Anak pada usia 3-5 tahun (pra sekolah) menurut Khomsan (2004), sering dianggap sedang
memasuki fase Jonny won’teat (anak sering tidak mau makan). Pada anak usia 3-5 tahun
aktifitas yang dapat dilakukan antara lain berjalan-jalan sendiri, melompat dan menari.
Kegiatan tersebut memerlukan energi yang besar, apabila energi yang dikeluarkan tidak
sesuai dengan yang dibutuhkan maka akan mengakibatkan balita tersebut kekurangan energi
atau mengalami gizi kurang (Almatsier, 2001). Anak usia 3-5 tahun, atau sekitar 4 tahun,
sering mengalami penurunan nafsu makan, karena mereka lebih menikmati untuk bermain
(Waryono, 2010). Pada kelompok umur tersebut, pengenalan terhadap lingkungan semakin
luas sehingga jika lingkungan kurang sehat anak akan lebih mudah terkena infeksi
(Soekirman, 2000).
Berdasarkan Riskesdas 2013, prevalensi berat-kurang (underweight) Secara nasional
pada tahun 2013 adalah 19,6% terdiri dari 5,7 % gizi buruk dan 13,9 % gizi kurang. Jika
dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9%)
terlihat meningkat tahun 2013. Prevalensi gizi kurang meningkat 0,9 % dari 2007 sebesar
13,0% dan 2013 sebesar 13,9% (Kemenkes RI, 2013). Sedangkan Menurut hasil Riskesdas
Jawa tengah 2013, prevalensi berat kurang (underweight) tahun 2013 adalah 17,6% yang
terdiri dari 4,1% gizi buruk dan 13,5% gizi kurang. Prevalensi gizi kurang menunjukkan
kecenderungan meningkat dari 12,0% (2007) menjadi 13,5% (2013). Bila dibandingkan
dengan pencapaian sasaran MDGs tahun 2015 yaitu 15,5% maka prevalensi gizi berat kurang
di Provinsi Jawa Tengah harus diturunkan minimal sebesar 2,1% dalam periode 2013 sampai
2015.
Faktor- faktor yang mempengaruhi gizi kurang terdiri dari faktor langsung dan tidak
langsung. Konsumsi makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi
kurang.Sedangkan faktor tidak langsung dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, pendidikan
orang tua, pengetahuan gizi ibu, pekerjaan orang tua, pola asuh makan.
Faktor makanan dan penyakit infeksi, sebagai penyebab langsung masalah gizi,
keduanya saling berkaitan. Anak balita yang tidak mendapat cukup makanan bergizi
seimbang memiliki daya tahan yang rendah terhadap penyakit sehingga mudah terserang
infeksi. Hubungan antara kurang gizi dengan penyakit infeksi tergantung dari besarnya
dampak yang ditimbulkan oleh sejumlah infeksi terhadap status gizi itu sendiri (Istiano,
2009). Menurut teori Moehdji (2003), terjadinyapenyakit infeksi akan mempengaruhi status
gizi dan mempercepat malnutrisi. Penyakit infeksi menyebabkan penyerapan zat gizi dari
makanan juga terganggu, sehingga nafsu makan hilang dan mendorong terjadinya gizi kurang
atau gizi buruk bahkan kematian.
Hubungan Antara Asupan Energi, Protein dan Penyakit Infeksi Dengan Kejadian Gizi kurang Pada
Balita 36-59 Bulan Di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
Berbagai sebab penyakit infeksi terjadi khususnya pada anak-anak. Status gizi kurang
akibat kurang energi dan protein akan bertambah buruk seiring dengan penyakit infeksi yang
ada pada seseorang, khususnya pada anak-anak. Semakin kurang status gizi maka penyakit
infeksi juga semakin buruk, sebaliknya jika penyakit infeksi semakin buruk maka akan sulit
meningkatkan status gizi sehingga kaitan antara status gizi dengan penyakit infeksi seperti
lingkaran setan yang agak sulit penanganannya. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk
keadaan gizi (Pudjiadi, 2003).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinkes Kabupaten Semarang, kasus gizi kurang
di Puskesmas Leyangan terus meningkat. Tahun 2012 sebesar 0,71%; meningkat tajam tahun
2013 sebesar 7,50%; dan terus meningkat di tahun 2014 dan 2015 sebesar 9,51%. Data
Puskesmas Leyangan tahun 2015, prevalensi gizi kurang tertinggi pada wilayah kerja
Puskesmas Leyangan yaitu di desa beji sebesar 10,72%. Tujuan penelitian : Untuk
mengetahui hubungan antara asupan energi, protein dan penyakit infeksi dengan kejadian gizi
kurang pada balita 36-59 bulan di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten
Semarang.
METODE PENELITIAN
Desain dalam penelitian ini adalah analitik korelasi dimana metode korelasi digunakan
untuk mengukur hubungan antara variabel yang diteliti dengan pendekatan cross sectional
(Arikunto, 2006). Cross sectional merupakan suatu penelitian yang mempelajari hubungan
antara faktor risiko (independen) dengan faktor efek (dependen), dimana melakukan observasi
atau pengukuran variabel sekali dan sekaligus pada wakktu yang sama (Riyanto, 2011).
Metode analitik korelasi pada penelitian ini digunakan untuk menganalisis hubungan antara
asupan energi, protein dan penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita 36-59
bulan di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh balita usia 36-59 bulan di Desa Beji Kecamatan Ungaran Barat
Kabupaten Semarang tahun 2016 dengan jumlah 90 balita. Sampel dalam penelitian ini
diambil menggunakan total sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan
mengambil seluruh anggota populasi (Notoatmodjo, 2010). Jumlah sampel pada penelitian
ini sebanyak 90 balita, dengan kriteria inklusi ibu atau pengasuh balita bersedia berpartisipasi,
kriteria eksklusi balita yang menderita gizi buruk dan gizi lebih. Analisis data menggunakan
uji chi square dengan (α = 0,05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Asupan Energi
Tabel 1 Distribusi frekuensi berdasarkan asupan energi pada balita 36-59 bulan di Desa
Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
Frekuensi
Persentase (%)
Asupan Energi
Baik (> 105 %)
12
13,3
Kurang (<100 %)
78
86,7
Total
90
100,0
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa persentase balita yang memiliki asupan
energi kurang lebih banyak yaitu sebesar 78 balita (86,7%) sedangkan balita dengan
asupan energinya baik yaitu sebanyak12 balita (13,3%). Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Rarastiti (2013), yang diperoleh hasil lebih banyak balita dengan
asupan energi kurang yaitu sebanyak 64,9% dari balita yang asupan energinya cukup
yaitu sebanyak 35,1%. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar 2010, kecukupan
konsumsi energi anak umur 24–59 bulan di Jawa Tengah rata-rata 106,4 dan
Hubungan Antara Asupan Energi, Protein dan Penyakit Infeksi Dengan Kejadian Gizi kurang Pada
Balita 36-59 Bulan Di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
persentase kebutuhan asupan energi <70 % AKG sebanyak 21,6%. Jika dibandingkan
dengan hasil penelitian ini maka presentase asupan energi kurang di Desa Beji lebih
besar dari tingkat nasional terlepas dari besar populasi. Perbedaan hasil ini mungkin
karena perbedaan klasifikasi tingkat konsumsi energi yang digunakan dalam
penelitian.
Berdasarkan wawancara pada responden yang merupakan ibu atau pengasuh
balita (anggota keluarga lain) bahwa balita jarang makan, balita lebih sering
melewatkan makan siang dan hal ini dibiarkan saja oleh ibu atau pengasuh balita.
Penyebab balita jarang makan ataupun sering melewatkan makan siang dikarenakan
mereka lebih suka makan jajan berupa chiki, wafer dan makanan ringan lainnya yang
kandungan gizinya tidak sesuai dengan kebutuhannya. Biasanya banyak orangtua yang
menyerah, karena mereka lebih mementingkan agar balitanya makan dan akhirnya
pertimbangan gizi pun tidak dipikirkan. Menurut Adiningsih (2010), penurunan nafsu
makan anak disebabkan oleh keaktifan anak, anak kurang mendapat perhatian. Pada
anak sangat aktif, anak sering menolak pemberian makanan ini dikarenakan anak
yang terlalu lelah untuk makan, apabila dalam kondisi ini anak disuruh makan maka
akan menimbulkan emosi.
Balita seharusnya lebih banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung
sumber karbohidrat, protein, lemak yang dapat digunakan sebagai energi untuk
menopang aktivitasnya.Hasil wawancara juga didapatkan bahwa balita juga sering
melewatkan waktu makan karena lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk bermain.
Balita bermain membutuhkan energi yang banyak, karena kegiatan yang dilakukan
antara lain melompat, menari dan berlari. Menurut Waryono, (2010) anak usia 3-5
tahun sering mengalami penurunan nafsu makan, karena mereka lebih menikmati
untuk bermain. Kegiatan tersebut memerlukan energi yang besar, apabila energi yang
dikeluarkan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan maka akan mengakibatkan balita
tersebut kekurangan energi (Almatsier, 2001).
2. Asupan Protein
Tabel 2 Distribusi frekuensi berdasarkan asupan proteini pada balita 36-59 bulan di Desa
Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
Frekuensi
Persentase (%)
Asupan Protein
Lebih (> 100 %)
10
11,1
Baik (80–100 %)
36
40,0
Kurang (<80%)
44
48,9
Total
90
100,0
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa persentase balita dengan asupan protein kurang
lebih banyak yaitu sebesar 44 balita (48,9%); dari balita yang asupan protein baik yaitu
36 balita (40,0%) dan yang asupan protein lebih yaitu sejumlah 10 balita (11,1%).
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar 2010, kecukupan konsumsi protein anak umur 2459 bulan di Jawa Tengah rata-rata 140,5; sedangkan persentase kebutuhan asupan protein
<80 % AKG sebanyak 17,7%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa presentase asupan
protein kurang pada balita 36-59 bulan di Desa Beji lebih tinggi dari hasil Riskesdas Jawa
Tengah 2010.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak balita memiliki asupan protein
kurang sebanyak 44 balita (48,9%) dan paling sedikit balita yang asupan protein lebih
sebanyak 10 balita (11,1%). Berdasarkan hasil wawancara dengan recall 24 jam balita
yang mempunyai asupan protein baik karena mengkonsumsi makanan yang mengandung
tinggi protein seperti ikan, tahu dan tempe yang relatif terjangkau oleh masyarakat. Balita
Hubungan Antara Asupan Energi, Protein dan Penyakit Infeksi Dengan Kejadian Gizi kurang Pada
Balita 36-59 Bulan Di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
dengan asupan protein kurang dikarenakan balita mempunyai pola makan yang tidak
teratur, balita kurang mengkonsumsi sumber protein yang bernilai tinggi seperti ikan,
telur, daging akan diberi pengganti misalnya mie goreng, pop mie, sosis serta balita
makan dalam porsi yang sangat sedikit yaitu satu-tiga sendok saja, serta tidak ada variasi
dalam pemberian makan pada balita. Menu makanan yang di makan balita pada pagi hari,
rata-rata akan diberikan lagi pada siang ataupun sorenya, sehingga balita bosan dengan
makanan yang ada. Menurut hasil penelitian Syukriawati tahun 2011 didapatkan balita
yang proteinnya baik yaitu 70 orang (56,0%) lebih banyak dari balita yang konsumsi
proteinnya kurang yaitu 55 orang (44,0%), dan hasil penelitian Syukriawati, didapatkan
bahwa kualitas dan kuantitas konsumsi protein pada balita masih kurang, karena
berdasarkan hasil FFQ semikuantitatif kualitas dan kuantitas konsumsi protein masih
kurang baik.
3. Penyakit Infeksi
Tabel 3 Distribusi frekuensi berdasarkan penyakit infeksi pada balita 36-59 bulan di Desa
Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
Frekuensi
Persentase (%)
Penyakit Infeksi
Tidak menderita
43
47,8
Menderita
47
52,2
Total
90
100,0
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa balita yang menderita penyakit infeksi lebih
banyak yaitu sejumlah 47 balita (52,2%) dibandingkan balita yang tidak menderita
penyakit infeksi yaitu sejumlah 43 balita (47,8%). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Jayani tahun 2014, didapatkan hasil yang sama yaitu lebih banyak balita yang menderita
penyakit infeksi yaitu sebesar 65,2%; dibanding balita yang tidak mengalami penyakit
infeksi 34,8%; serta penelitian yang dilakukan oleh Hutagalung tahun 2012 didapatkan
hasil lebih banyak balita yang mengalami penyakit infeksi yaitu sebesar 69,1% dibanding
balita yang tidak mengalami penyakit infeksi (30,9%).
Penyebab penyakit infeksi yang dialami balita karena balita bermain bersama temanteman, dimana terdapat keberadaan teman bermain yang menderita ISPA, balita bermain
di lingkungan berdebu, lingkungan jalan raya yang dilalui banyak kenderaan bermotor
dimana asap yang dikeluarkan oleh kenderaan bermotor, terdapat keberadaan anggota
keluarga yang merokok dalam rumah dan terdapat balita yang mengalami penyakit
infeksi karena rumah balita digunakan sebagai tempat kerja meubel dan sablon, dimana
pekerjaan meubel banyak mengeluarkan serbuk serta pekerjaan sablon mengeluarkan bau
cat yang menyengat dari hasil penyemprotan sehingga mengganggu pernapasan. Anak
balita pun banyak ditemukan bermain di lingkungan tempat kerja ini. Menurut hasil
penelitian yang dilakukan oleh Tandipayuk 2015, diperoleh hasil ada hubungan antara
keberadaan perokok dengan kejadian ISPA (p=0,049); ada hubungan sumber infeksi
(penularan melalui kontak tangan dengan sekret yang mengandung virus dari penderita
atau lingkungan (p=0,001); serta penelitian yang dilakukan oleh Catiyas 2012, diperoleh
hasil ada hubungan antara jarak rumah dengan jalan raya (p=0,000). Pengenalan terhadap
lingkungan pada kelompok umur 36-59 bulan semakin luas, sehingga jika lingkungan
kurang sehat anak akan lebih mudah terkena infeksi.Penyakit infeksi seperti infeksi
saluran pernapasan dapat juga menurunkan nafsu makan (Arisman, 2004).
Hubungan Antara Asupan Energi, Protein dan Penyakit Infeksi Dengan Kejadian Gizi kurang Pada
Balita 36-59 Bulan Di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
4. Kejadian Gizi Kurang
Tabel 4 Distribusi frekuensi berdasarkan kejadian gizi kurang pada balita 36-59 bulan
di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
Frekuensi
Persentase (%)
Kejadian Gizi Kurang
Gizi Baik (-2 SD s/d 2 SD)
43
47,8
Gizi Kurang(-3 SD s/d < -2 SD)
47
52,2
Total
90
100,0
Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa lebih banyak balita yang mengalami gizi kurang
yaitu sejumlah 47 balita (52,2%) dibandingkan balita yang mengalami gizi baik yaitu
sejumlah 43 balita (47,8%). Menurut hasil Riskesdas Jawa tengah 2013, prevalensi gizi
kurang menunjukkan kecenderungan meningkat dari 12,0% (2007) menjadi 13,5%
(2013). Sedangkan prevalensi gizi kurang menurut kelompok umur 36-59 bulan sebesar
30,8%; dan prevalensi menurut jenis kelamin lebih banyak pada perempuan yaitu
sebanyak 13,9% dari laki-laki yaitu sebesar 13,1%. Hal ini menunjukan bahwa kejadian
gizi kurang di Desa Beji lebih tinggi dari angka nasional, jika tidak ditanggulangi maka
angka prevalensi dapat meningkat dengan cepat dan jika terus berlangsung maka akan
terjadi gizi buruk.
Kondisi gizi kurang akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi
gizi kurang ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro
nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi kurang akan mempengaruhi sistem
pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme sehingga mudah sekali terkena infeksi
(Depkes RI, 2002). Kekurangan gizi merupakan salah satu penyebab tingginya kematian
pada bayi dan anak. Apabila anak kekurangan gizi dalam hal zat karbohidrat (zat tenaga)
dan protein (zat pembangun) akan berakibat anak menderita kekurangan gizi yang disebut
KEP tingkat ringan dan sedang, apabila hal ini berlanjut lama maka akan berakibat
terganggunya pertumbuhan, terganggunya perkembangan mental dan terganggunya
sistem pertahanan tubuh sehingga dapat menjadikan penderita KEP tingkat berat dan
sangat mudah terserang penyakit dan dapat berakibat kematian (Moehji, 2009).
5. Hubungan antara asupan energi dengan kejadian gizi kurang pada balita 36-59 bulan di
Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
Tabel 5 Hubungan antara asupan energi dengan kejadian gizi kurang pada balita 36-59
bulan di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
Kejadian Gizi Kurang
Total
Asupan Energi
Gizi Baik
Gizi Kurang
p value
F
%
F
%
f %
Baik
10
83,3
2
16,7 12 100
0,019
Kurang
33
42,3
45
57,7 78 100
Total
43
47,8
47
52,2 90 100
Hasil uji statistik menggunakan Chi Square didapatkan p value=0,019 ≤α (0,05)
artinya bahwa ada hubungan antara asupan energi dengan kejadian gizi kurang pada balita
36-59 bulan di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang.
Gizi kurang pada anak dapat terjadi karena kekurangan makanan sumber energi secara
umum, apabila sumber energi dan zat-zat gizi yang masuk ke dalam tubuh kurang
terpenuhinya kebutuhan dalam waktu yang lama maka akan terjadi gizi kurang dan jika
terus berlanjut maka akan terjadinya gizi buruk (Almatsier, 2002). Pada balita yang asupan
energinya kurang mengalami gizi kurang, disebabkan karena terjadi ketidakcukupan zat
gizi yang berlangsung lama sehingga terjadi kemorosotan jaringan, yang ditandai dengan
penurunan berat badan (Supariasa, 2002).
Hubungan Antara Asupan Energi, Protein dan Penyakit Infeksi Dengan Kejadian Gizi kurang Pada
Balita 36-59 Bulan Di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syukriawati
tahun 2011, dimana hasil penelitian menunjukan ada hubungan antara konsumsi energi
dengan status gizi kurang dengan p value=0,036. Energi diperlukan untuk
mempertahankan fungsi jaringan tubuh, proses mempertahankan suhu tubuh agar tetap
stabil dan gerakan otot untuk aktivitas. Kekurangan energi terjadi akibat dari asupan
energi yang tidak cukup memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan oleh tubuh, maka tubuh
akan mengambil simpanan glikogen dalam tubuh dan diubah menjadi energi. Jika hal itu
terus terjadi maka status gizi pun akan menjadi kurang (Almatsier, 2004).
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa, pada 90 balita 36-59 bulan di Desa Beji,
terdapat 78 balita (86,7%) yang asupan energinya kurang dan dari 78 balita tersebut
terdapat 45 balita (57,7%) mengalami gizi kurang dan 33 balita (42,3%) mengalami gizi
baik. Hasil kuesioner penelitian didapatkan balita yang memiliki asupan energi kurang
dalam kategori gizi baik namun berdasarkan penghitungan z-score sebenarnya
menghampiri gizi kurang. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakcukupan zat
gizi. Apabila ketidakcukupan zat gizi ini berlangsung lama maka persediaan /cadangan
jaringan akan digunakan untuk memenuhi ketidak kecukupan itu, sehingga akan terjadi
kemorosotan jaringan yang di tandai dengan penurunan berat badan.
6. Hubungan antara asupan protein dengan kejadian gizi kurang pada balita 36-59 bulan di
Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
Tabel 6 Hubungan antara asupan protein dengan kejadian gizi kurang pada balita 36-59
bulan di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
Kejadian Gizi Kurang
Total
Asupan Protein
Gizi Baik
Gizi Kurang
p value
F
%
F
%
f %
Lebih
6
60,0
4
40,0 10 100
0,003
Baik
24
66,7
12
33,3 36 100
Kurang
13
29,5
31
70,5 44 100
Total
43
47,8
47
52,2 90 100
Hasil uji statistik menggunakan Chi Square didapatkan p value= 0,003 ≤α (0,05)
artinya bahwa ada hubungan antara asupan protein dengan kejadian gizi kurang pada
balita 36-59 bulan di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang.
Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan zat lain, yaitu
membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier, 2006). Penggunaan
protein di dalam tubuh dikarenakan kebutuhan energi yang berasal dari karbohidrat dan
lemak tidak terpenuhi kecukupannya bagi tubuh, maka terjadi pemecahan protein di
dalam tubuh sehingga terhambat fungsinya. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa dari 10
balita yang asupan proteinnya lebih, terdapat 4 orang (40,0%) yang status gizinya kurang.
Dari hasil kuesioner penelitian, balita yang memiliki asupan protein lebih dan mengalami
gizi kurang tersebut, asupan energinya juga kurang. Hal ini menunjukkan bahwa telah
terjadi ketidakcukupan energi, sehingga protein akan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan energi, dengan mengalahkan fungsi utamanya. Penggunaan protein di dalam
tubuh dikarenakan kebutuhan energi yang berasal dari karbohidrat dan lemak tidak
terpenuhi kecukupannya bagi tubuh, maka terjadi pemecahan protein di dalam tubuh
sehingga terhambat fungsinya(Almatsier, 2009).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syukriawati
tahun 2011, dimana hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara konsumsi protein
dengan status gizi kurang pada anak usia 24-59 bulan dengan p= 0,040; serta penelitian
yang dilakukan oleh Hapsari menunjukan hasil ada hubungan antara asupan protein
dengan status gizi kurang (p=0,03).
Hubungan Antara Asupan Energi, Protein dan Penyakit Infeksi Dengan Kejadian Gizi kurang Pada
Balita 36-59 Bulan Di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pada 90 balita 36-59 bulan di Desa Beji,
terdapat 44 balita (48,9%) yang asupan proteinnya kurang dan dari 44 balita tersebut,
sebanyak 31balita (70,5%) mengalami gizi kurang dan 13 balita (29,5%) mengalami gizi
baik. Berdasarkan hasil recall 24 jam didapatkan bahwa balita yang asupan proteinnya
kurang, mengalami gizi kurang karena kuantitas konsumsi dan kualitas protein masih
kurang baik, karena ibu balita belum membiasakan pola makan yang seimbang dan teratur
pada anak setiap hari, sesuai dengan tingkat kecukupannya.
7. Hubungan antara penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita 36-59 bulan di
Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
Tabel 7 Hubungan antara penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita 36-59
bulan di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
Kejadian Gizi Kurang
Total
Penyakit Infeksi
Gizi Baik
Gizi Kurang
p value
F
%
F
%
f %
Tidak menderita
26
60,5
17
39,5 43 100
0,036
Menderita
17
36,2
30
63,8 47 100
Total
43
47,8
47
52,2 90 100
Hasil uji statistik menggunakan Chi Square didapatkan p value = 0,036 ≤ α (0,05)
artinya bahwa ada hubungan antara penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang pada
balita 36-59 bulan di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang.
Penyakit infeksi dapat bertindak sebagai pemula terjadinya gizi kurang sebagai akibat
menurunnya nafsu makan, adanya gangguan penyerapan dalam saluran pencernaan atau
peningkatan kebutuhan zat gizi oleh adanya penyakit. Umumnya penyakit yang
menyerang anak bersifat akut artinya penyakit menyerang secara mendadak dan gejala
timbul dengan cepat. Infeksi bisa berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa
cara yaitu mempengaruhi nafsu makan sehingga kebutuhan zat gizinya tidak terpenuhi
(Supariasa, 2001).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jayani tahun 2014,
yang memperoleh hasil sebagian besar dari responden menderita penyakit infeksi dengan
status gizi kurang. Serta dari hasil uji statistik diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan
antara penyakit infeksi dengan status gizi pada balita (p = 0,01). Infeksi merupakan faktor
yang penting yang berpengaruh terhadap terjadinya gizi kurang pada balita. Berdasarkan
hasil penelitian ini didapatkan bahwa, pada 90 balita 36-59 bulan di Desa Beji, terdapat 47
balita (52,2%) menderita penyakit infeksi dan dari 47 balita tersebut, sebanyak 30 orang
(63,8%) mengalami gizi kurang dan 17 balita (36,2%) mengalami gizi baik.Terjadinya
penyakit infeksi akan mempengaruhi status gizi dan mempercepat malnutrisi karena
penyakit infeksi menyebabkan penyerapan zat gizi dari makanan terganggu sehingga nafsu
makan akan hilang dan mendorong terjadinya gizi kurang (Moehji, 2003).
Anak-anak biasanya mudah tertular penyakit serta sering mengalami infeksi yang
umumnya dikarenakan kegiatannya yang sangat aktif dan di tempat yang sembarangan.
Meskipun makanan yang diberikan bergizi, namun jika anak sakit, maka bisa saja anak
menjadi kurang gizi. Penyakit infeksi yang menyerang anak menyebabkan gizi anak
menjadi buruk (Waryono, 2010). Interaksi infeksi dan gizi merupakan paradigma penting
untuk memahami ekologi keadaan gizikurang, selama terjadi infeksi, status gizi akan
menurun (Widyastuti, 2008).
Salah satu faktor banyaknya balita mengalami penyakit infeksi yaitu terjadinya
mekanisme pertahanan tubuh pada balita yang kekurangan konsumsi makanan di dalam
tubuh sehingga kemampuan tubuh untuk membentuk energi baru berkurang. Hal ini
kemudian menyebabkan pembentukan kekebalan tubuh terganggu, sehingga tubuh rawan
Hubungan Antara Asupan Energi, Protein dan Penyakit Infeksi Dengan Kejadian Gizi kurang Pada
Balita 36-59 Bulan Di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang
serangan infeksi. Penyakit infeksi dapat berdampak pada gizi kurang dan sebaliknya gizi
kurang akan memperparah penyakit infeksi yang diderita. Rendahnya daya tahan tubuh
akibat gizi kurang sangat memudahkan dan mempercepat berkembangnya bibit penyakit
dalam tubuh (Thaha, 2002).
SIMPULAN
Ada hubungan antara asupan energi, protein dan penyakit infeksi dengan kejadian gizi
kurang pada balita 36-59 bulan di Desa Beji Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten
Semarang.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Iimu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Arisman. 2004. Buku Ajar Ilmu Gizi Dalam Daur Kehidupan. Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Departemen Kesehatan RI. 2003. Pemantauan Pertumbuhan Balita. Departemen Kesehatan
RI, Jakarta.
Jayani. 2014. Hubungan antara penyakit infeksi dengan status gizi pada balita di Puskesmas
Jambon Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo.
Hapsari, S. Faktor Determinan Kejadian Gizi Kurang Anak Usia 2-5 Tahun Di Desa Pulutan
Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. (https://publikasiilmiah.ums.ac.id diakses 04
Agustus-2016).
Hutagalung. 2012. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Balita (12-59 Bulan) Di
Desa Bojonggede Kabupaten Bogor. UI Depok. (lib.ui.ac.id >file >diakses 04 Agustus2016).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar Provinsi Jawa
Tengah. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta.
Khomsan. 2004. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. PT Rajagrafindo Persada,Jakarta.
Moehji. 2003. Pemeliharaan Gizi Bayi Dan Balita. Bharata Karya Aksara, Jakarta.
Pudjiadi S. 2003. Iimu Gizi Klinis Pada Anak. FKUI, Jakarta.
Notoatmodjo. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta.
Riyanto A. 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Nuha Medika, Yogyakarta.
Saptawati. 2009. Masalah Gizi Indonesia.Universitas Indonesia.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat, Dirjen
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Syukriawati R. 2011. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Kurang pada
Anak Usia 24-59 Bulan di Kelurahan Pamulang barat, Kota Tangerang Selatan Tahun
2011. http://perpus.fkik.uinjkt.ac.id . Diakses (10 Mei 2016).
Thaha. 2002. Pangan dan Gizi di Era Desentralisasi : Masalah dan Strategi
Pemecahannya, DPP Pergizi Pangan Indonesia dan Pusat Pangan. Gizi dan
Kesehatan Unhas, Makassar.
Waryono. 2010. Gizi Reproduksi. Pustaka Rihama, Yogyakarta. web:www.gizi.net dan link
(diakses 09 mei 2016).
Download