HAK UNTUK MENENTUKAN NASIB SENDIRI DALAM HUKUM INTERNASIONAL (TINJAUAN TERHADAP PENENTUAN PENDAPAT RAKYAT DI PAPUA BARAT TAHUN 1969) BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Konsepsi hak untuk menentukan nasib sendiri (the rights to self determination) di dalam Hukum Internasional merupakan salah satu kategori dari hak asasi manusia yang terus berkembang secara dinamis. Di dalam Hukum Internasional, hak ini merupakan salah satu prinsip yang kontroversial dikarenakan adanya perbedaan cara pandang terhadap hak menetukan nasib sendiri antara lain mengenai external self determination dan internal self determination, konsepkonsep dari bangsa, dan masalah apakah hak untuk memisahkan diri termasuk dalam apa yang dimaksud dengan hak menentukan nasib sendiri [1]. Di dalam Hukum Internasional terdapat pembatasan secara hukum (legal limit) bahwa hak menentukan nasib sendiri dari suatu bangsa hanya ditujukan pada proses dekolonisasi [2]. Pada awalnya, konsep hak untuk menentukan nasib sendiri tidak pernah dimaksudkan untuk menciptakan mikro nasionalisme. Kontroversi ini terjadi karena adanya perluasan interpretasi bahwa proses dari hak menentukan nasib sendiri tidak hanya ditujukan pada dekolonisasi tetapi juga berlaku bagi kelompok minoritas. Konsep hak untuk menentukan nasib sendiri mulai dikenal ketika Liga Bangsa-Bangsa/LBB (League of Nations) menciptakan sejumlah wilayah mandat bagi wilayah-wilayah yang belum berpemerintahan sendiri. Walaupun hak untuk menentukan nasib sendiri ini tidak ditegaskan secara eksplisit, tetapi pada pelaksanaannya adanya wilayah mandat adalah untuk mengawasi dan mengantarkan daerah-daerah mandat sampai memiliki pemerintahan sendiri. Sejumlah wilayah mandat yang diciptakan oleh LBB setelah berakhirnya PD II beralih menjadi urusan dan kewenangan PBB berdasarkan Piagam PBB sebagai upaya dekolonisasi dalam mengubah negaranegara terjajah menjadi suatu negara yang merdeka dan berdaulat secara politik [3]. Salah satu tujuan pokok dari diciptakannya sistem perwalian ini adalah seperti yang dinyatakan dalam Pasal 76 Ayat (1) dan (2) Piagam PBB adalah mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan asasi manusia. Semua bangsa yang belum merdeka atau belum berpemerintahan sendiri mempunyai kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan kehendaknya, karena hak untuk menentukan nasib sendiri mencapai kemerdekaan merupakan hak yang sangat hakiki dan merupakan salah satu prinsip dalam rangka mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa Hak menentukan nasib sendiri untuk pertama kalinya dirumuskan dalam Piagam PBB (Charter of the United Nations) yang menegaskan penghormatan prinsip hak yang sama dan menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa {Pasal 1 ayat (2)}[4], kemudian pasal 55 memperjelas kedudukan hak menentukan nasib sendiri dalam Piagam PBB dan terdapat tiga bab khusus dalam piagam PBB[5]. Hak untuk menentukan nasib sendiri pada pokoknya terdapat dua jenis yaitu: External self-determination merupakan hak bagi suatu bangsa untuk melepaskan 1 diri dari hegemoni atau penjajahan dari negara lain. Hak ini dalam perkembangannya tidak hanya ditujukan pada negara tetapi juga pada entitas yang belum memenuhi syarat sebagai negara atau yang dikenal dengan gerakan pembebasan nasional (national liberation movement). Internal selfdetermination merupakan hak yang diperuntukkan bagi rakyat yang hidup dalam suatu negara atau golongan minoritas untuk mendapatkan kebebasan dari kekuasaan negara yang represif.[6] Proses dekolonisasi sebagai upaya memenuhi hak menentukan nasib sendiri di seluruh dunia sebenarnya telah dimulai pada permulaan abad XX dan PBB melalui program dekolonisasi memainkan peranan yang sangat penting dalam mendorong aspirasi bangsa-bangsa terjajah dengan menetapkan standar untuk mempercepat tercapainya kemerdekaan bagi bangsabangsa terjajah [7]. Pada tahun 1966 sebagai tindak lanjut setelah diterimanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, PBB menerima dua kovenan yang lebih mengikat secara yuridis sebagai penjabaran dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yaitu Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Culture Rights) [8]. Hak menentukan nasib sendiri dalam kedua kovenan tersebut menduduki tempat yang cukup penting, sehingga dicantumkan pada pasal pertama[9]. Hak menentukan nasib sendiri yang dicantumkan dalam piagam PBB diperkuat dengan suatu Deklarasi mengenai Pemberian Kemerdekaan kepada WilayahWilayah dan Bangsa-Bangsa yang Terjajah (Declaration on the Granting Independence to Colonial Contries and Peoples) yang diterima oleh PBB pada bulan Desember 1960 melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV) dan diperkuat lagi dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) tahun 1970 tentang Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional dalam Hubungan Bersahabat dan Kerjasama di antara Negara-Negara Sesuai dengan Piagam PBB (Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation among States in Accordance with the Charter of The United Nations). Prinsip yang penting dari Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV) bagi wilayah yang belum berpemerintahan sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri dilakukan melalui tiga cara yaitu : Berdiri menjadi negara merdeka yang berdaulat (emergence as a sovereign state) Berasosiasi secara bebas dengan suatu negara merdeka (free association with an independent state) Begabung dengan suatu negara merdeka (integration with an independent state)[10]. Semangat anti kolonialisme yang menjiwai Piagam PBB, membuka kesempatan bagi bangsa-bangsa yang terjajah untuk merdeka. Pelaksanaan program dekolonisasi PBB dibanyak negara-negara Asia Afrika mendapatkan sambutan yang sangat positif dengan digelarnya Konferensi AsiaAfrika (KAA) di Bandung pada 18-24 April 1955 dengan menggalang persatuan dan solidaritas antara Bangsa Asia dan Bangsa Afrika yang membawa dampak dengan munculnya banyak negara-negara baru di Asia dan Afrika setelah penyelenggaraan KAA ini. Fenomena terkini yang muncul setelah runtuhnya Tembok Berlin pada 10 November 1989 adalah menculnya tuntutan untuk pelaksanaan hak asasi manusia menentukan nasib sendiri di negara-negara yang penduduknya multi etnis. Fenomena ini membawa implikasi yang cukup serius 2 bagi negara-negara yang multi etnis dimana etnis-etnis tertentu yang mengalami tindakan represif oleh suatu pemerintahan seakan memperoleh legitimasi secara yuridis bahwa etnis tersebut memperoleh hak menentukan nasib sendiri yang telah diakui dalam berbagai Instrumen Hukum Internasional. Akibat maraknya gerakan pemisahan diri yang mengancam integritas dan kedaulatan wilayah suatu negara tersebut, maka untuk itu dirumuskan Deklarasi Wina (Vienna Declaration) dalam The World Conference on Human Rights pada tahun 1993 yang mencanangkan bahwa sekalipun semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri, akan tetapi tidak boleh hak tersebut diartikan sebagai upaya untuk mengesahkan atau mendorong tindakan-tindakan yang merusak sebagian atau seluruh dari suatu negara yang berdaulat dan merdeka hal ini sesuai dengan Paragraf 6 Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV)[11]. Sehubungan dengan perkembangan hak menentukan nasib sendiri, dewasa ini Indonesia sedang dibayangi bahaya disintegrasi berskala nasional. Beberapa wilayah yang secara terbuka menyatakan ingin berpisah dari Negara Indonesia adalah Aceh dan Papua Barat. Dalam kasus Papua Barat, pernah dilaksanakannya suatu Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) atau Pepera dibawah payung PBB pada tahun 1969 sesuai dengan kesepakatan New York Agreement 1962. Tetapi pada pelaksanaannya Pepera tersebut mendapat banyak tantangan dari rakyat Papua Barat yang merasa bahwa Pepera yang dilaksanakan, telah melanggar kaidah-kaidah dalam Hukum Internasional dan New York Agreement 1962. Catatan sejarah memperlihatkan bahwa proses integrasi Papua Barat ke wilayah NKRI ternyata tidaklah mulus. Sebelum integrasi, tepatnya pada 1 Desember 1961, rakyat Papua telah menyatakan kemerdekaannya dan telah memiliki beberapa perangkat atau simbol-simbol dari sebuah negara merdeka antara lain : 1. Bendera Nasional Bintang Kejora 2. Lagu Kebangsaan Hai Tanahku Papua 3. Dasar Negara Kasih 4. Lambang Negara Burung Cendrawasih; dan 5. 149 Pasal UUD[12]. Pada masa reformasi tuntutan dan gugatan Papua Merdeka semakin menggema terhitung sejak Juli 1998 sampai kepada penyelengaraan Kongres Rakyat Papua pada tahun 2000[13]. Simbol-simbol Papua Barat telah disosialisasikan di tujuh ibukota Kabupaten di Papua Barat. Sementara itu wakil-wakil rakyat Papua Barat dari seluruh kabupaten di Papua Barat yang terdiri dari seratus orang telah menyampaikan aspirasi Papua Merdeka kepada Presiden BJ. Habibie di Jakarta tanggal 26 Februari 1999 dan dengan diselenggarakannya Kongres Rakyat Papua pada Desember 2000 semakin memperjelas posisi rakyat Papua Barat dengan menegaskan kembali tuntutan dibatalkannya hasil-hasil dari Pepera tahun 1969 dan mengembalikan kemerdekaan bangsa Papua seperti yang telah diperoleh pada tahun 1961[14]. Permasalahan tersebut mendorong penulis untuk membahas dan mengkaji lebih jauh delam bentuk skripsi dengan judul "Hak Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self Determinaton) Dalam Hukum Internasional (Suatu Tinjauan 3 Terhadap Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat di Papua Barat Tahun 1969)". 2. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang penelitian tersebut diatas maka permasalahan yang akan diteliti dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan mengenai hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determination) menurut Hukum Internasional ? 2. Sejauh mana proses Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) di Papua Barat tahun 1969 sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam Hukum Internasional ? 3. Bagaimana konsekuensinya terhadap tuntutan pembatalan hasil-hasil dari Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) di Papua Barat dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan Hukum Internasional ? Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai pelaksanaan hak untuk menentukan nasib sendiri menurut Hukum Internasional 2. Untuk mengetahui secara yuridis proses Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) di Papua Barat tahun 1969 berdasarkan ketentuan-ketentuan di dalam Hukum Internasional 3. Untuk mengetahui adanya konsekuensi terhadap tuntutan pembatalan secara yuridis terhadap hasil-hasil dari Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) di Papua Barat tahun 1969 berdasarkan ketentuan-ketentuan Hukum Internasional. 4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dalam memperluas ilmu pengetahuan dan kajian teoritis di bidang hukum hak asasi manusia khususnya mengenai hak menentukan nasib sendiri (the right to self determination) terutama sekali mengenai masalah Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) di Papua Barat tahun 1969. Disamping itu hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah referensi bagi penelitian dengan objek yang sama, dan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbaangan bagi setiap pihak yang berkepentingan dengan masalah hak dan kewajiban negara. Dan pada saat ini masalah hak asasi manusia, demokratisasi, dan lingkungan hidup merupakan sebuah isu global yang harus disikapi oleh setiap negara di dunia secara arif dan bijak. 5. Kerangka Pemikiran Kepedulian masyarakat internasional terhadap hak menentukan nasib sendiri merupakan gejala yang relatif baru, meskipun awal wacana permasalahan ini merujuk pada sejumlah perjanjian internasional yang mempengaruhi isu kemanusiaan sebelum PD II. Setelah dicantumkan dalam piagam PBB pada tahun 1945, wacana mengenai hak menentukan nasib sendiri secara sistematis terakomodasikan di dalam sistem Hukum Internasional. Di dalam masalah Papua Barat dewasa ini, tuntutan kemerdekaan Papua terlepas dari NKRI dalam format bahwa adalah hak dari setiap bangsa untuk dapat menen tukan nasibnya sendiri, haruslah dilihat secara komprehensif. Dalam hal ini tuntutan terealisasinya hak untuk menentukan nasib sendiri tidak dilihat terpisah hanya sebagai hak untuk merdeka karena isi dari hak untuk menentukan nasib sendiri adalah 4 berdasarkan Pasal 1 dari International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social, and Culture Rights adalah : 1. Expression of the popular will 2. Freedom from outside interference 3. The Right over natural wealth and resources[15]. Oleh karena itu tuntutan dari rakyat Papua Barat agar Pemerintah RI merealisasikan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua Barat harus dilihat dalam kerangka berpikir diatas. Masalah Papua Barat ini telah muncul sejak diadakannya sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia[16]. Dalam sidang BPUPKI terjadi perdebatan hangat mengenai status Papua antara Mr Muhammad Yamin dan Ir. Soekarno disatu pihak dengan Moh. Hatta di pihak lain. Yamin dan Soekarno pada dasarnya menegaskan bahwa adalah Papua Barat adalah sebagian dari bangsa Indonesia walaupun Soekarno dalam hal ini menegaskan bahwa rakyat Papua belum mengerti tentang politik dan belum dikenal kehendaknya. Sedangkan Hatta berpendapat bahwa bangsa Papua tidak termasuk kedalam bangsa Polinesia, tetapi termasuk bangsa Melanesia sehingga bangsa Papua harus diberikan hak untuk menentukan nasib sendiri[17]. Jika dilihat dari proses sejarahnya akan sangat menimbulkan kontroversi, karena proses penetapan wilayah negara oleh BPUPKI dilakukan dengan tidak seorangpun wakil-wakil dari pulau Papua ataupun minimal wakilwakil dari Papua Barat hadir untuk menyatakan kehendak dari rakyat Papua. Tuntutan kemerdekaan Papua Barat saat ini sebagaimana yang terjadi di Aceh mendasarkan diri pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) yang dilindungi baik oleh Piagam PBB ataupun Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights, dan International Covenant on Economic, Social, and Culture Rights. Adanya krisis identitas dari rakyat Papua Barat akibat proses marjinalisasi dan manipulasi dari pembangunan, eksploitasi sumber-sumber agraria di Papua Barat semakin menyebabkan meningkatnya tuntutan kemerdekaan bagi Papua Barat[18]. Tuntutan akan kemerdekaan di Papua Barat dapat bermakna ganda yaitu merdeka "dari" dan merdeka "untuk". Pertanyaan yang mungkin timbul dalam benak para "pejuang kemerdekaan" Papua Barat adalah kapankah Papua Barat dapat meraih kemerdekaannya. Dalam menjawab pertanyaan ini ada beberapa asumsi untuk menjawab pertanyaan dari para "pejuang kemerdekaan" Papua Barat, ada asumsi yang mengharuskan agar bangsa Papua Barat memperjuangkan kemerdekaan untuk membentuk suatu entitas politik baru yang terlepas dari negara Republik Indonesia, ada pula asumsi yang berarti bahwa bangsa Papua Barat diberikan suatu hak sebagai wilayah yang berpemerintahan sendiri dan masih dalam lingkungan negara Republik Indonesia, dan ada pula asumsi yang cukup puas dengan pemberian otonomi khusus bagi Papua Barat. Tetapi dibalik itu terdapat pertanyaan yang jauh lebih penting yaitu kenapa rakyat Papua Barat menggemakan teriakan kemerdekaan dari lembah-lembah minyak dan gunung-gunung emas, dan dari belantara kemakmuran. Teriakan kemerdekaan dari rakyat Papua Barat tidak dapat 5 dipahami dari sisi realitas politik saja, tetapi juga harus dipahami sebagai realitas kesejarahan dan realitas kemanusiaan dari perjalanan suatu komunitas masyarakat yang telah lama tidak dihargai identitas kemanusiaan dan kebudayaannya. Untuk itu, hal ini akan dijadikan sebagai pijakan awal dalam penelitian ini dalam menyikapi klaim atas nama "kemerdekaan" dan "kedaulatan negara" baik dari "Gerakan Pembebasan Nasional" Papua Barat ataupun dari pemerintah Indonesia. Jika hendak dilihat proses pelaksanaan Act of Free Choice (Penentuan Pendapat Rakyat) di Papua Barat tahun 1969 akan ditemui banyak kekeliruan dari segi yuridis seperti : 1. Tidak adanya perlindungan HAM dalam hal kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan bergerak, dan kebebasan berserikat[19]. 2. Tidak adanya partsipasi masyarakat lokal dalam pemerintahan lokal di Papua Barat lewat pemilihan unmum yang diselenggarakan secara periodik[20]. 3. Penyimpangan dari ketentuan metode pemilihan yang semula berdasarkan praktek demokrasi Internasional (one man one vote) menjadi berdasarkan praktek demokrasi Indonesia (musyawarah)[21]. Karena itu sekilas tuntutan kemerdekaan dari "bangsa" Papua Barat dapat dipahamai. Akan tetapi kemerdekaan juga tidak dapat hanya dipahami sebagai suatu keinginan untuk membentuk negara merdeka yang tersendiri. Secara filosofis, sosiologis, politis, dan yuridis tuntutan kemerdekaan bagi "bangsa" Papua Barat sangat sulit diwujudkan saat sekarang ini, karena hukum Internasional akan sangat bergantung pada masalah ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia dalam masalah hak untuk memisahkan diri (the right to seccesion) dari suatu kelompok etnis. Untuk itu dalam penelitian ini, eksplorasi yuridis terhadap klaim atas wilayah Papua Barat mutlak diperlukan, dan dalam kerangka tersebut, dalam penelitian ini diperlukan adanya kajian atas beberapa alternatif yang dapat digunakan sebagai salah satu bentuk upaya penyelesaian menyeluruh terhadap sengketa di wilayah Papua Barat. Sehingga dapat diusahakan suatu penyelesaian yang menyeluruh terhadap status hukum wilayah Papua Barat yang bentuk penyelesaiannya dapat memuaskan bagi rakyat Papua Barat dan juga bagi pemerintah Indonesia yang mungkin dapat diwujudkan melalui suatu kerangka Special Autonomous Region bagi wilayah Papua Barat yang berarti tidak diwujudkan dalam pelaksanaan external self-determination yang berujung pada upaya pembentukan suatu negara tersendiri tetapi lebih menitik-beratkan dalam pelaksanaan internal self-determination di wilayah Papua Barat dalam membentuk self government bagi rakyat Papua Barat. 6. Metode Penelitian 6.1. Metode Pendekatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan suatu penelitian dengan pendekatan yuridis-normatif yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder sebagai sumber data utama yang didasarkan pada kaidah-kaidah hukum internasional mengenai Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (The Right to SelfDetermination) dalam Hukum Internasional (Tinjauan terhadap Penentuan Pendapat Rakyat di Papua Barat tahun 1969)[22] 6.2. Spesifikasi Penelitian 6 Spesifikasi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yang digunakan untuk mendapatkan gambaran secara integral dan komprehensif serta sistematis tentang Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self-Determination) dalam Hukum Internasional (Tinjauan terhadap Penentuan Pendapat Rakyat di Papua Barat tahun 1969)[23] 6.3. Bahan-bahan Hukum a. Bahan hukum primer berupa Konvensi-konvensi Internasional, Deklarasideklarasi yang erat kaitannya dengan Hak untuk menentukan nasib sendiri (The right to self-determination) b. Bahan hukum sekunder berupa artikel-artikel dan makalah-makalah c. Bahan hukum tersier berupa ensiklopedi dan kamus 6.4.Bentuk Penelitian Bentuk penelitian yang dilakukan dalam kegiatan penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, sebagai sarana untuk meneliti data sekunder baik yang berupa bahan hukum primer ataupun yang berupa bahan hukum sekunder 6.5.Teknik Pengumpulan Data Data penelitian yang ada kemudian dikumpulkan dengan teknik studi dokumentasi, yaitu melakukan penelitian terhadap dokumendokumen yang erat kaitannya dengan masalah Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self-Determination) dalam Hukum Internasional (Tinjauan terhadap Penentuan Pendapat Rakyat di Papua Barat tahun 1969) 6.6.Metode Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dianalisis dengan metode normatif-kualitatif. Hal ini berkaitan dengan tipe penelitian hukum normatif yang pendekatannya lebih bersifat abstrak teoritis. Karena itu permasalahan lebih ditujukan kepada asas-asas hukum, konsep-konsep hukum, ketentuan-ketentuan hukum, dan bahan-bahan hukum lainnya 6.7.Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di beberapa lokasi yaitu : a. Jakarta b. Bandung c. Surabaya 7. Sistematika Penulisan Penulis menyusun penelitian ini dengan sistematika pembahasan yang dibagi dalam lima bab sebagai pedoman untuk melakukan penulisan, adapun uraiannya adalah sebagai berikut : Pada Bab Pendahuluan diuraikan latar belakang penelitian, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan Pada Bab II berisi latar belakang timbulnya konsep hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determination) menurut hukum internasional yang meliputi sejarah perkembangan konsep penentuan pendapat rakyat (referendum) dan pengaturan hukum internasional pasca perang dunia II terhadap penentuan pendapat rakyat (referendum), juga dilengkapi dengan penentuan pendapat rakyat (referendum) dalam upaya mewujudkan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to selfdetermination) berdasarkan perspektif PBB yang meliputi syarat-syarat mengenai penentuan pendapat rakyat (referendum) menurut praktek PBB dan pembatasan secara hukum (legal limit) bagi penentuan pendapat rakyat 7 (referendum) di luar kerangka proses dekolonisasi. Uraian dalam bab ini juga dilengkapi dengan pengakuan negara sebagai sumber legitimasi bagi pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (referendum) yang meliputi penghormatan terhadap prinsip kedaulatan teritorial sebagai landasan dalam melakukan hubungan internasional dan prinsip yurisdiksi teritotial terhadap terjadinya konflik internal. Pada Bab III berisi tentang latar belakang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat meliputi status Papua Barat sebelum dan sesudah kemerdekaan RI yang berisi persepsi Indonesia dan Belanda terhadap status Hukum Papua Barat. Juga ditambah dengan uraian proses penyelesaian konflik R.I. dengan Belanda terhadap status hukum Papua Barat yang meliputi pembentukan New York Agreement, UNTEA, dan juga dibahas proses serta prosedur pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), serta penyerahan Papua Barat kepada pemerintah R.I. Dalam bab ini juga dibahas tentang tuntutan pembatalan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat tahun 1969 yang meliputi dasar argumentasi tuntutan pembatalan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat tahun 1969 menurut persepsi rakyat Papua Barat yang berisi argumentasi historis dan yuridis, dan dilengkapi dengan penolakan keinginan rakyat Papua Barat untuk membentuk negara merdeka oleh pemerintah R.I. yang berisi argumentasi historis dan yuridis. Pada Bab IV diuraikan mengenai kajian atas pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat tahun 1969, tuntutan pembatalan, eksistensi pemerintah RI menurut hukum internasional dan alternatif penyelesaian menyeluruh untuk wilayah Papua Barat yang berisi tinjauan yuridis terhadap pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat tahun 1969, pembatasan menurut hukum internasional terhadap tuntutan pembatalan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat tahun 1969 yang berisi pengakuan PBB terhadap proses pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat tahun 1969 dan pengakuan negara terhadap eksistensi pemerintah R.I. atas integrasi Papua Barat melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat tahun 1969 dan ditambah dengan alternatif penyelesaian menyeluruh bagi Papua Barat yang berisi referendum dan otonomi ditambah dengan bentuk-bentuk otonomi di Mindanao dan Hong Kong SAR serta ditambah dengan tinjauan terhadap UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pada Bab V yang merupakan bab penutup dalam tulisan ini, akan dikemukakan kesimpulan dari hasil penelitian ini, sekaligus juga akan disampaikan beberapa saran yang diharapkan akan berguna sebagai bahan pertimbangan bagi pihak yang berwenang Catatan: Indonesia dinyatakan suatu bangsa dan negara yang Merdeka baru diakui oleh PBB Tahun 1949. Tahun 1945 yang selama ini dikumandangkan oleh NKRI, bukanlah hari kemerdekaan RI. Belanda menyerahkan bangsa dan tanah Papua Barat kepada PBB, bukanlah sebagai kapasitas kalah perang terhadap Indonesia. Kesalahan PBB adalah mengintervensi kedaulatan bangsa Papua dengan jalan melalui pembentukan UNTEA dan Penentuan Rakyat Papua (Papera). Seharusnya saat itu bangsa Papua diberikan langsung status kemerdekaan oleh PBB, bukan membentuk UNTEA. Karena itu kesalahan hukum internasional yang dilakukan oleh PBB masa lalu, 8 perlu kita koreksi serta mendesak agar dikembalikannya bangsa Papua sebagai status sebuah bangsa malenesia dan bukan sebagai salah satu etnis bangsa Indonesia. Simpatisan Kemerdekaan Papua Barat, Maxi Iroth 21 June 2010 9