BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Agresivitas 1

advertisement
 37 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Agresivitas
1. Pengertian Agresivitas
Agresivitas adalah perilaku yang memiliki maksud untuk menyakiti
seseorang, baik secara fisik maupun verbal (Myers, 2010). Hal yang serupa juga
dikemukakan oleh Berkowitz (1995) yang mendefinisikan perilaku agresi sebagai
segala bentuk perilaku yang bertujuan untuk menyakiti seseorang, baik secara
fisik maupun mental. Tindakan agresif yang biasa dilakukan dengan cara melukai
fisik misalnya tindakan yang bersifat menyakitkan dan melukai orang lain,
membahayakan orang lain dengan cara sengaja, sedangkan secara psikis (mental)
misalnya melalui kegiatan yang menghina dan menyalahkan.
Anderson dan Bushman (dalam Russell, 2008) menyatakan bahwa
agresivitas merupakan perilaku yang diarahkan pada orang lain yang dilakukan
saat itu dengan maksud untuk melukai. Sementara itu Loeber (dalam Einsenber,
2006) menjelaskan bahwa agresivitas akan memunculkan perilaku antisosial,
yang menyebabkan kerugian secara fisik atau mental, kerusakan barang atau
hilang dan kemungkinan bisa menjurus ke arah kriminal dengan melanggar
hukum.
Bandura (dalam Berkowitz, 1995) menyatakan bahwa suatu perilaku bisa
dikatakan sebagai “agresi” yakni ketika perilaku yang dilakukan tidak dapat
diteima dalam aturan sosial. Buss (dalam Berkowitz, 1995) menambahkan bahwa
38 pelaku agresif sering tidak menunjukkan tujuan mereka yang sebenarnya ketika
mereka bertindak menyerang, dan kalaupun mereka ingin jujur, mungkin mereka
tidak dapat mengatakan apa sebenarnya yang mereka inginkan, dan agresi
dipandang sebagai cara paling tepat untuk mengekspresikannya.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Krahe (2005) yang menyatakan perilaku
agresif sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau
melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan
tersebut. Pengertian ini menunjukkan bahwa suatu perilaku dikatakan agresif jika
perilaku tersebut disengaja untuk menimbulkan rasa sakit kepada makhluk hidup
yang dituju. Perilaku seseorang dapat memenuhi kualifikasi agresif, jika
dilakukan dengan niat menimbulkan akibat negatif terhadap targetnya, dan
sebaliknya. Berdasarkan pendapat tersebut perlu diperhatikan terkait dengan motif
tindakan tersebut sengaja atau tidak. Tindakan yang disengaja untuk menyakiti
orang lain tetapi tidak mengenai sasaran tetap dikatakan bahwa perilaku tersebut
termasuk pada kriteria perilaku agresif.
Anantasari (2006) menyebutkan beberapa ciri perilaku agresif yang perlu
diperhatikan. Ciri perilaku agresif tersebut meliputi tiga hal, yaitu menyakiti diri
sendiri, orang lain atau objek pengganti. Bahaya kesakitan yang ditimbulkan
dapat berupa kesakitan fisik dan psikis. Kedua, tidak diinginkan oleh orang yang
menjadi sasarannya. Terakhir, sering kali merupakan perilaku yang melanggar
norma sosial. Poin yang perlu disoroti dari ketiga ciri perilaku agresif yang
dikemukakan tersebut adalah bahwa perilaku menyakiti ataupun mengganggu
orang lain sering bersamaan dengan pelanggaran norma sosial di lingkungan
masyarakat. Hal ini dikarenakan bentuk perilaku agresif yang muncul sering
39 menimbulkan keresahan bagi lingkungan sekitar, sehingga dalam hal ini
pelanggaran norma sosial dapat dijadikan objektifikasi suatu perilaku dikatakan
agresif.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif
adalah suatu tindakan yang sengaja dilakukan oleh seseorang dengan maksud
untuk menyakiti ataupun membahayakan, baik diri sendiri maupun orang lain,
yang menyebabkan adanya kerugian yang dirasakan, baik secara fisik maupun
psikis, dan umumnya tidak dapat diterima dalam aturan sosial.
2. Jenis-jenis Agresivitas
Buss dan Durkee (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) mengklasifikasikan agresi
ke dalam delapan jenis, antara lain :
a. Agresi fisik aktif langsung
Yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan individu atau kelompok dengan
cara berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang
menjadi targetnya dan terjadi kontak fisik secara langsung, seperti
menusuk,menembak, mendorong, serta memukul orang lain
b. Agresif fisik aktif tidak langsung
Yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok lain
dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok
lain yang menjadi targetnya, seperti merusak harta korba,. membakar rumah,
menyewa tukang pukul, dan lain-lain
c. Agresi fisik pasif langsung
40 Yakni tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok
dengan cara berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi
targetnya, namun tidak terjadi kontak fisik secara langsung, seperti
demonstrasi, aksi mogok, aksi diam
d. Agresi fisik pasif tidak langsung
Yakni tindakan agresi fisik yang dilakukan individu atau kelompok dengan
cara berhadapan secara tidak berhadapan dengan individu ataupun kelompok
lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung,
seperti tidak peduli, apatis, masa bodoh
e. Agresif verbal aktif langsung
Yakni tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok
dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain,
seperti menghina, memaki,marah, dan mengumpat.
f. Agresif verbal aktif tidak langsung
Merupakan tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau
kelompok lain yang menjadi targetnya, seperti menyebar fitnah, mengadu
domba.
g. Agresif verbal pasif langsung
Yakni tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok
dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain
namun tidak terjadi kontak verbal secara langsung,seperti menolah bicara,
bungkam.
h. Agresi verbal pasif tidak langsung
41 Yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok
dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok
lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung,
seperti tidak memberi dukungan dan tidak menggunakan hak suara.
3. Aspek-aspek Agresivitas
Anderson dan Huesmann (2007) menyebutkan dua macam aspek dalam
agresivitas, diantaranya:
a. Agresi Fisik
Merupakan agresi yang dilakukan dengan menggunakan kemampuan
fisik, seperi: perilaku memukul, menendang, mencubit, menjewer,
mengigit, merusak barang, merebut paksa, berkelahi, serta mencelakakan
orang lain.
b. Agresi Verbal
Merupakan agresi yang dilakukan secara verbal atau lisan, seperti perilaku
mengejek, membentak, membantah, membual, mengancam membantah,
berteriak, dan menipu orang lain agar mengalami kesulitan.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Agresivitas
Baron dan Branscombe (2012) mengemukakan empat faktor yang
mempengaruhi seseorang bertindak agresif, yaitu :
a. Faktor sosial
Faktor sosial terdiri dari frustasi (frustation), provokasi langsung dari
orang lain (direct provocation) berupa cemoohan, kritikan ataupun
candaan yang bersifat kasar dan menghina, serta adanya pengaruh media
42 massa (media violence) seperti tayangan kekerasan melalui televisi,film,
game, dan sebagainya
b. Faktor budaya (cultural)
Agresivitas yang disebabkan oleh faktor budaya, dipengaruhi oleh
beberapa hal, yaitu (1) kehormatan pada budaya, dimana sebagian negara
cenderung memperbolehkan adanya tindakan yang mengandung unsur
agresivitas atas nama kehormatan bagi negaranya, (2) Kecemburuan
seksual, yang terkait dengan perselingkuhan ataupun perasaan dihianati,
serta (3) peran laki-laki, dimana terdapat beberapa negara yang
mengkaitkan kejantanan seorang laki-laki dengan menantangnya untuk
melakukan tindakan yang mengandung unsur agresivitas.
c. Faktor pribadi atau personal
Agresivitas yang disebabkan oleh faktor pribadi, dipengaruhi oleh
beberapa hal, yaitu kepribadian, narsis, dan perbedaan jenis kelamin.
d. Faktor situasi
Agresivitas yang disebabkan oleh faktor situasi, dipengaruhi oleh
beberapa hal, yaitu : suhu yang panas dan konsumsi alkohol.
Sementara
Mundia
(2006)
menyebutkan
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi perilaku agresif, antara lain :
a.
Faktor biologis
Berdasarkan jenis kelamin, dapat dilihat bahwa anak laki-laki memiliki
tendensi perilaku agresif yang lebih tinggi dibandingkan perempuan.
43 b.
Karakteristik Individual
Karakteristik pribadi seseorang dapat berkontribusi pada adanya
perilaku agresif. Seperti tempramental, kemampuan sosial yang rendah,
sensitif dan mudah tersinggung dengan perilaku orang lain, serta adanya
ketidakmampuan dalam menemukan solusi non-agresif pada konflik
yang dihadapi (Salvin, 1994 dalam
c.
Keluarga dan lingkungan rumah
Adanya pola asuh orang tua yang terlalu otoriter dan keras dalam
mendidik anak, menyebabkan anak menjadi cenderung membangkang
d.
Lingkungan sekolah
Adanya
peran
guru
dalam
mengajar
yang
cenderung
tidak
menyenangkan, seperti bersikap koersif mapun diktator, serta sikap guru
yang kasar, dapat menjadi contoh (modelling) bagi siswa untuk
berperilaku serupa.
e.
Pengaruh teman sebaya (peer)
Berteman dengan teman yang memiliki sikap dan perilaku antisosial,
dapat mempengaruhi individu tersebut untuk berperilaku serupa melalui
adanya modelling pada sikap kasar teman sebaya tersebut
f.
Kekerasan media
Banyak penelitian yang menyebutkan adanya pengaruh besar dari
adanya paparan media elektronik seperti tayangan televisi, game,
maupun internet, yang menyebabkan berkembangnya perilaku agresif
pada anak maupun remaja. Anak-anak yang sering menyaksikan
tayangan yang bersifat kekerasan taupun memankan permainan yang
44 terdapat unsur adegan kekerasan fisik, seperti mortal combat, counter
strike, dan sebagainya, dapat menyebabkan anak juga memunculkan
perilaku serupa seperti yang terdapat dalam adegan tersebut (Shaffer,
2002)
g.
Komunitas dan faktor sosial
Adanya toleransi dan penerimaan masyarakat di sekitar anak terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan di lingkungan sosial menyebabkan
anak menjadi cenderung bersikap agresif, karena menganggap hal
tersebut wajar untuk dilakukan (Shaffer, 2002)
Bandura (dalam Meliyana, 2009) menambahkan salah satu faktor
penyebab agresi adalah pembelajaran yang dilakukan melalui proses
observasi atau pengamatan yang didapat dengan proses modelling. Dalam
hal ini, agresi dapat dipelajari dan terbentuk melalui perilaku meniru atau
mencontoh perilaku agresi yang dilakukan oleh individu lain yang dianggap
sebagai contoh atau model. Individu dapat mengendalikan perilaku yang
ditirunya dan menentukan serta memilih objek imitasinya. Misalnya saja
seorang anak yang setiap hari melihat orang tua dan temannya memukul,
maka dia akan mengetahui cara memuku dari hasil pengamatannya seharihari. Sehingga bisa dikatakan bahwa anak dapat belajar menjadi agresif
berdasarkan pengamatan melalui orang tuanya sendiri.
B. Social Emotional Learning
1. Pengertian Social emotional learning
45 Denhamm & Weissberg (2004) menjelaskan bahwa belajar sosial
emosional atau yang biasa disebut SEL (social emotional learning) adalah
suatu proses berpikir secara integratif, merasakan, dan berperilaku dengan
maksud untuk menyadari individu agar lebih terbuka dengan diri sendiri
maupun orang lain, mampu membuat keputusan yang betanggung jawab,
dan mampu mengelola sikap terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Program intervensi yang berfokus pada SEL ini cenderung dibuat untuk
memfasilitasi proses ini secara lebih sistematis dengan cara yang
komperhensif. Adapun pembuatan bagian dalam SEL tersebut mengacu juga
pada kecerdasan emosional yang pernah dicetuskan oleh Goleman (1955),
diantaranya ialah kemampuan memproses dan merespon emosi (termasuk
mengenali dan mengeskpresikan emosi kepada orang lain), menggunakan
emosi untuk meningkatkan proses berpikir, serta meregulasi emosi untuk
mengarahkan perilaku orang lain. Kemampuan ini kerap juga dihubungkan
dengan kompetensi sosial, adaptasi, dan kesuksesan akademik.
Sementara CASEL (2008) menjelaskan bahwa social emotional
learning merupakan suatu proses memperoleh keterampilan untuk
mengenali dan mengelola emosi, mengembangkan kepedulian dan perhatian
untuk orang lain, membuat keputusan yang bertanggung jawab, membangun
hubungan yang positif dan menangani situasi secara efektif. Proses ini
berfokus pada perilaku prososial, dan kemampuan dalam mengatur dan
mengenali emosi. Perilaku prososial yang diajarkan termasuk menolong,
berbagi dan peduli untuk menjalin pertemanan. Regulasi dan memahami
46 emosi termasuk kemampuan dalam mengontrol perasaan dan perilaku
impulsif, mengidentifikasi perasaan negatif, serta meningkatkan perasaan
positif kepada orang lain.
Ha yang serupa juga dituturkan oleh Hayne (2003) yang menjelaskan
bahwa
social
emotional
learning
merupakan
kemampuan
untuk
mengidentifikasi dan mengatur emosi seseorang, memikirkan tentang orang
lain, membuat keputusan yang baik, memiliki etnis dan bertanggung jawab,
membangun komunikasi yang baik, dan menghindari emosi-emosi negatif.
Goleman, 1995 (dalam Arslan 2015) menambahkan bahwa social emotional
learning merupakan suatu kemampuan yang terdiri dari rangkaian proses
yang dapat membantu anak hingga orang dewasa dalam membangun
kemampuan yang dibutuhkan untuk hidup secara produktif.
Merrell (2008) menjelaskan bahwa belajar sosial emosional merupakan
suatu cara yang dinilai efektif dalam menangani siswa dengan masalah
perilaku, sosialisasi, dan persahabatan. Social emotional learning dapat
meningkatkan kemampuan untuk merencanakan sesuatu dan menentukan
tujuan, memecahkan masalah tanpa kekerasan, dan merefleksikan ke dalam
kehidupan sehari-hari. Secara efektif, program yang terdapat pada social
emotional learning ini dibuat untuk mendukung kompetensi yang dapat
meningkatkan hasil yang positif, seperti penerimaan teman sebaya serta
memperoleh adanya peningkatan prestasi (Caldarella, et all, 2009).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
social emotional learning ialah suatu proses yang diberikan kepada anak
47 dengan tujuan agar anak dapat memperoleh ilmu tentang keterampilan
mengatur emosi, membangun perasaan untuk peduli dan perhatian terhadap
orang lain, bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil, membangun
hubungan positif dan menangani perubahan situasi secara efektif.
2. Aspek-aspek Social emotional learning
Denham dan Weissberg (2004) mengemukakan lima aspek yang termasuk
dalam social emotional learning, diantaranya ialah :
a. Kesadaran diri (Self awareness)
Aspek ini membahas mengenai cara melihat perasaan, minat,
ketertarikan, nilai dan kekuatan secara akurat serta mempertahankan
rasa percaya diri
b. Manajemen diri (Self management)
Merupakan kemampuan individu dalam mengendalikan kontrol dalam
diri untuk mengatasi tekanan, mengotrol dorongan, dan kegigihan
dalam mengatasi hambatan. Selain itu melakukan pengaturan dan
mengontrol lemajuan dalam mencapai tujuan personal dan akademik
serta mampu mengekspresikan emosi secara tepat.
c. Kesadaran sosial (Social awareness)
Merupakan kemampuan untuk melihat perspektif orang lain dan
berempati, menghargai persamaan dan perbedaan kelompok serta
mengakui keberadaan keluarga, sekolah, dan komunitas.
d. Kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain (Relationship skill)
Merupakan kemampuan seorang individu dalam mempertahankan dan
mengatur suatu hubungan yang sehat dan bermanfaat dengan orang lain
48 yang didasarkan pada kerjasama, mengurangi tekanan sosial yang tidak
tepat, melakukan pencegahan, pengaturan, dan pemecahan konflik
interpersonal serta memberikan bantuan ketika dibutuhkan
e. Membuat keputusan yang bertanggung jawab (Responsible decision
making)
Aspek ini merupakan cara membuat suatu keputusan dengan
mempertiimbangkan etika, mengutamakan keselamatan, norma-norma
sosial yang tepat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
dalam social emotional learning ialah kesadaran diri, manajemen diri,
kesadaran sosial, kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain, dan
membuat keputusan yang bertanggung jawab.
3. Modul Social emotional learning
Penyusunan modul ini dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti
dengan mengadaptasi modul social emotional learning milik Zwagery
(2012). Penyusunan modul ini dilakukan dengan mengacu pada aspek-aspek
social emotional learning yang di kemukakan oleh Denham dan Weissberg
(2004), yaitu: kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, kemampuan
menjalin hubungan dengan orang lain, dan membuat keputusan yang
bertanggung jawab.
Program social emotional learning ini merupakan suatu program yang
menggunakan pendekatan kognitif perilaku. Pendekatan kognitif perilaku
merupakan pendekatan yang menggabungkan antara strategi perilaku
dengan komponen kognitif yang dapat diaplikasikan dalam ranah sekolah
49 untuk mengontrol perilaku (Robinson, 2007; Smith, Lochman & Daunic,
2005 dalam Zwagery, 2012).
Pendekatan kognitif perilaku digunakan karena melihat faktor kognitf
berperan dalam pembentukan perilaku seseorang, khususnya perilaku
agresif. Hal tersebut sejalan dengan terori Ellis (dalam Corey, 2011) yang
mengungkapkan bahwa kognisi, emosi, dan perilaku saling berhubungan
secara signifikan dan memiliki hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi. Ketika anak diajarkan respon yang adaptif untuk mengatasi
suatu situasi secara efektif, mereka akan mulai memikirkan sesuatu yang
berbeda mengenai situasi tersebut. Sehingga asumsisnya adalah ketika anak
diajarkan mengenai kemampuan sosial dan mengganti cara berpikir mereka
yang tidak tepat menjadi cara berpikir yang tepat dan rasional, maka akan
menghasilkan perubahan reaksi emosional sehingga perilaku agresif
semakin berkurang (Spiegler dan Guevremont, 2010 dalam Zwagery, 2012).
Metode yang digunakan dalam pemberian materi dalam pelatihan ini
antara lain ialah :
a. Bercerita (Story telling)
Qudsy (2005) menyatakan bahwa bercerita merupakan penyapaian suatu
peristiwa dalam kata-kata, gambar, dan suara yang seringkali
disampaikan dengan improvisasi dan penambahan tertentu. Cerita sering
digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan moral kepada pendengar
cerita. Dalam pelatihan ini, bentuk cerita yang disajikan dilakukan
dengan cara membacakan narasi atau cerita kepada pendengar melalui
media gambar, foto maupun suara tentang keterampilan berperilaku.
50 Contoh materi yang diangkat berupa hal-hal apa saja yang biasanya
membuat seseorang menjadi marah, dan bagaimana reaksi yang
ditunjukkan. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan diskusi mengenai
apa yang akan dilakukan anak apabila berada dalam situasi tersebut,
disesuaikan dengan pengalaman yang mereka rasakan.
b. Bermain peran (role play)
Dilakukan dengan cara mendengarkan petunjuk yang disajikan model,
kemudian dilanjutkan dengan memperagakan sekaligus melakukan
diskusi mengenai aktivitas yang dimodelkan. Contoh materi yang
diangkat berupa memperagakan cara-cara yang baik dan tidak baik
dalam berteman, mempraktekkan ekpresi-ekpresi tubuh tertentu, serta
latihan teknik mengurangi rasa marah kepada anak saat dalam keadaan
marah. Latihan ini dilakukan dengan menyajikan situasi atau model
dimana anak dapat mengamati serta mempraktekkannya secara langsung.
c. Permainan (games)
Santrock (2002) menjelaskan bahwa permainan merupakan suatu
kegiatan yang menyenangkan yang dilaksanakan untuk kepentingan
kegiatan itu sendiri. Dalam pelatihan ini, bentuk permainan yang akan
diberikan
berupa
penyususnan
puzzle
yang
dilakukan
secara
berkelompok, untuk melihat kerjasama tim antar teman.
d. Umpan balik (feed back)
Dilakukan dengan cara memberikan pengukuhan (reinforcement) berupa
hadiah (reward) terhadap anak yang berhasil melakukan peran yang
dilatihkan atau apabila anak mampu melakukan target yang diinginkan.
51 Adapun untuk materi-materi yang akan disampaikan oleh peneliti yang
disesuaikan dengan kebutuhan subjek penelitian ialah:
a. Kesadaran diri (self awareness)
Komponen ini bertujuan untuk mengajarakan kepada anak mengenai
penenalan emosi dasar anak, bagaimana mengenal perasaan diri sendiri
maupun orang lain, dan menumbuhkan perasaan nyaman.
b. Manajemen diri (self management)
Komponen ini bertujuan mengajarkan kepada anak dalam meregulasi
emosi mereka, terutama saat menghadapi adanya tekanan, mengontrol
dorongan dalam menghatasi hambatan. Komponen ini juga mengajarkan
anak
kemampuan
tentang
kemampuan
menyalurkan
dan
mengrekspresikan emosi mereka secara tepat.
c. Kesadaran sosial (social awareness)
Komponen ini bertujuan mengajarkan kepada anak mengenai cara
melihat sudut pandang berdasarkan perspektif orang lain, seperti
mengajarkan kemampuan berempati, menghargai perbedaan dan
persamaan, serta mengakui keberadaan orang di sekeliling mereka
d. Kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain
Komponen ini bertujuan untuk mengajarkan kepada anak mengenai cara
membangun hubungan positif dengan orang lain dengan cara
membangun komunikasi yang tepat, memberikan respon-respon yang
sesuai, kemampuan mempertahankan dan mengatur hubungan yang
52 sehat, kemampuan bekerjasama, melakukan pencegahan dan pemecahan
konflik interpersonal, serta memberikan bantuan ketika dibutuhkan
e. Membuat keputusan yang bertanggung jawab
Komponen ini bertujuan untuk mengajarkan kepada anak mengenai cara
dalam membuat suatu keputusan dengan mempertimbangkan etika dan
norma-norma sosial yang tepat.
Adapun gambaran pemberian materi (blueprint) modul pelatihan social
emotional learning dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Blueprint Modul Pelatihan
Aspek
Self Awareness
Self Awareness
Self management
Sesi
Tujuan
Pembukaan dan
Perkenalan
g. Memahami
perasaanmu I
§
h. Memahami
perasaanmu II
§
f.
§
§
Mengenalkan anak pada program
pelatihan belajar sosial-emosional
Membantu anak dalam mengenal
dan memahami perasaan dasar yang
mereka miliki
Menjelaskan kembali perasaan dasar
yang mereka miliki
Mengajarkan anak mengenai cara
mengekspresikan perasaan secara
tepat
Self Management
4. Saat kamu marah
§
Mengajarkan anak teknik yang dapat
dipakai dalam mengatasi rasa marah
secara tepat.
Sosial Awareness
5. Memahami
perasaan orang lain
§
Mengajarkan anak cara untuk
mengenal dan memahami perasaan
orang lain
6. Menjadi teman yang
baik
§
Mengajarkan anak kemampuan
komunikasi dasar dan membangun
Relationship skill
Relationship skill
53 persahabatan
Relationship skill
Responsible
decision making
Self Awareness
Self Management
7. Memecahkan
masalah
§
§
8. Berakhir!
9. Penutup
§
Social Awareness
Relationship Skill
Responsible
decision making
C.
§
Mengenalkan anak pada
konflik/permasalahan dengan orang
lain
Mengenalkan anak pada cara-cara
yang dapat digunakan dalam
mengatasi permasalahan dengan
teman maupun orang lain
Meninjau kembali materi-materi
yang sudah disampaikan sebelumnya
agar anak dapat memahami dan
mengaplikasikan materi yang telah
diberikan
Menutup acara dan memberikan
umpan balik
Social Emotional Learning Dalam Menurunkan Agresivitas Siswa
Agresivitas merupakan masalah perilaku yang sering muncul, dan kerap
digunakan oleh anak sebagai suatu cara dalam mengungkapkan perasaan dan
persoalan. Adelman dan Taylor (2011) menyatakan bahwa masa usia sekolah
dasar merupakan masa yang rentan bagi anak untuk mulai menunjukkan sikap
agresif mereka dalam berperilaku sehari-hari. Perilaku ini merupakan salah satu
bentuk reaksi terhadap rasa frustasi (rasa marah ataupun kecewa akibat tidak
terpenuhi keinginannya). Adapun bentuk-bentuk perilaku agresif anak di
sekolah seringkali ditunjukkan dengan adanya perilaku mengganggu teman,
saling mengejek, membuat keributan, membantah guru, maupun terlibat
perkelahian fisik.
Munculnya perilaku agresif yang dilakukan anak disebabkan oleh adanya
ketidaktahuan dalam mengendalikan dan melampiaskan emosi dalam dirinya
54 secara tepat. Mereka juga memiliki kemampuan yang rendah dalam
berkomunikasi secara efektif dan menjalin hubungan peretemanan. Hal ini
dipicu oleh kurang berkembangnya kompetensi sosial emosional yang optimal
pada diri anak. Hal ini ditegaskan oleh Papalia, Old dan Feldman (2008) bahwa
adanya konflik yang menimbulkan agresivitas pada anak biasanya terjadi akibat
kurangnya kemampuan individu dalam mengatur emosi negatif dalam dirinya.
Emosi mempengaruhibagaimana seseorang berperilaku, karena motif seseorang
dalam berperilaku terkadang tergantung pada emosi yang dialami saat itu.
Dampak dari adanya tingginya perilaku agresif yang dilakukan siswa di
sekolah menyebabkan suasana kelas menjadi tidak kondusif, sehingga
keefektifan proses belajar mengajar pun menjadi semakin berkurang. Bagi siswa
itu sendiri, dengan adanya perilaku agresif yang dilakukan memuculkan adanya
peer labelling dan penolakan yang didapat dari guru maupun lingkungan
pertemanannya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Farrington, Craig dan Robert
(1995) yang menyatakan bahwa anak yang berperilaku agresif dapat cenderung
memiliki pola perilaku yang sama ketika menginjak dewasa. Oleh karena itu
penanganan pada terhadap perilaku agresif pada anak sangatlah perlu dilakukan
untuk dapat mengurangi sekaligus mencegah perilaku yang semakin buruk yang
dapat terjadi pada anak.
Salah satu intervensi yang dapat diberikan pada siswa dengan karakteristik
gangguan emosi dan perilaku ini ialah dengan mengajari anak kemampuan
mengenal emosi dan keterampilan sosial. Hal ini sesuai dengan apa yang
disampaikan oleh Kauffman (2005) yang menyatakan bahwa social emotional
55 learning merupakan suatu cara yang efektif dalam menangulangi permasalahan
emosi dan perilaku pada siswa, seperti perilaku agresif.
Penelitian yang dilakukan oleh Merrel, Whitcomb dan Parisi (2009) serta
Caldarella, et all (2009) menyatakan bahwa intervensi berbasis social emotional
learning sangatlah cocok diterapkan untuk anak dengan permasalahan emosi
maupun perilaku, seperti perilaku agresif dan mengganggu di kelas. Merrel, et
all (2009) sendiri membuat program yang bernama “Strong kids” sebagai bentuk
social emotional learning pada siswa sekolah dasar. Program ini dibuat sebagai
bentuk intervensi sekaligus upaya pencegahan pada anak-anak yang bersiko
mengalami permasalahan emosi dan perilaku. Selain itu, Zwagery (2012) juga
pernah menerapkan pembelajaran sosial emosional “aku anak baik” untuk
menurunkan agresivitas pada anak usia taman kanak-kanak. Hasilnya
menunjukkan bahwa social emotional learning ini terbukti efektif dalam
menurunkan tingkat agresifitas siswa.
Pelatihan social emotional learning ini menggunakan beberapa metode
yang akan diberikan kepada siswa, yaitu metode bercerita, bermain peran,
modelling permainan dan memberikan umpan balik sebagai bentuk penguatan
perilaku anak. Terdapat 5 aspek yang akan dibahas dan diaplikasikan dalam
pelatihan ini, diantaranya ialah: kesadaran diri (self awareness), manajemen diri
(self
management),
kesadaran
sosial
(social
awareness),
kemampuan
membangun hubungan dengan orang lain (relationship skill), serta kemampuan
membuat keputusan yang bertanggung jawab (responsible decision making).
Aspek pertama yang akan diungkap ialah kesadaan diri. Anak yang agresif
umumnya tidak memiliki kesadaran tentang perilaku agresif yang dilakukannya.
56 Mereka merasa kesulitan dalam memahami emosi yang ada adalam diri mereka
maupun orang lain sehingga cenderung memunculkan perasaan yang tidak tepat
sesuai dengan apa yang mereka rasakan (Giles & Heymann, 2004). Untuk itu
dengan mengajarkan anak pada kemampuan mengenali perasaan dasar, anak
dapat memahami apa saja emosi dasar yang sering mereka rasakan seperti sedih,
senang, marah, takut serta terkejut. Dengan begitu anak dapat belajar
mengidentifikasi perasaan nyaman yang sesuai dengan keadaan dirinya
Aspek kedua ialah manajemen diri. Pada aspek ini, anak akan diajarkan
mengenai bagaimana cara dalam mengekspresikan emosi yang dirasakan secara
tepat. Kemampuan mengekspresikan emosi merupakan hal yang penting dalam
pergaulan sosial, karena dengan menggunakan ekspresi emosi yang tepat maka
orang-orang disekitar akan memahami apa yang sedang dirasakan dan
diinginkan sehingga respon yang akan diberikan oleh orang-orang tersebut
adalah respon yang sesuai dari apa yang diingkan sesuai dengan akpresi yang
ditunjukkan. Salah satu keterampilan yang akan diajarkan pada ini adalah
keterampilan mengendalikan dan mengatasi rasa marah. Hurlock (1998)
menyebutkan bahwa emosi yang muncul pada anak akan lebih sering muncul
dan semakin kuat, ditandai dengan adanya ledakan amarah yang kuat, ketakutan,
serta perasaan iri hati yang tidak masuk akal. Tindakan agresif yang dilakukan
pada anak salah satunya disebabkan oleh adanya ledakan rasa marah yang ada
pada diri mereka. Rangsangan yang membangkitkan emosi ini biasanya muncul
dalam bentuk pertengkaran dalam permaianan ataupun tidak tercapainya
keinginan anak. Oleh sebab itu, dengan mengajarkan anak keterampilan dalam
57 mengendalikan
rasa
marah
diharapkan
dapat
membantu
anak
dalam
mengarahkan emosi dan perilaku mereka agar lebih tenang.
Aspek ketiga ialah kesadaran sosial. Anak yang agresif mereka umumnya
cenderung kesulitan dalam memahami dan mengenali emosi yang ada dalam diri
mereka maupun orang lain, sehingga mereka tidak mampu membedakan maksud
dari candaan teman sebayanya. Pada aspek ini, anak akan diajarkan
keterampilan berempati dan mengenali emosi dalam diri orang lain berdasarkan
sudut pandang yang ia rasakan. Ketika anak mampu mengenali emosi yang
mereka rasakan, maka secara tidak langsung anak juga akan belajar mengenali
perasaan orang lain. Individu yang memiliki kemampuan empati biasanya akan
cenderung
lebih
mampu
menangkap
sinyal-sinyal
tersembunyi
yang
menginsyaratkan apa yang dibutuhkan oleh orang lain sehingga ia akan lebih
peka dan bias menerima sudut pandang orang lain.
Aspek keempat ialah mengajarkan kemampuan menjalin hubungan dengan
orang lain. Telah dikatahui bahwa anak yang agresif biasanya cenderung
memiliki keterampilan yang rendah dalam berinteraksi ataupun menjalin
hubungan pertemanan dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Elisabeth (2007) yang menyatakan bahwa anak yang agresif
cenderung mengalami lack of social skill, hal tersebut disebabkan oleh
kurangnya kemampuan anak dalam berkomunikasi yang baik, mengeskpresikan
emosi negatif tanpa menyakiti orang lain, sehingga berdampak pada hubungan
pertemanan yang terbentuk. Untuk itu, dalam aspek ini, anak akan diajarkan
mengenai keterampilan berkomunikasi dengan baik, dengan cara melatih
keterampilan mendengarkan dan berbicara yang baik kepada orang lain. Dengan
58 begitu diharapkan anak yang mendapatkan gambaran mengenai keterampilan
berkomunikasi dan menjalin hubungan pertemanan yang baik antar teman.
Aspek terakhir yaitu mengajarkan kemampuan membuat keputusan yang
bertanggung jawab. Salah satu penyebab munculnya perilaku agresif pada anak
ialah adanya kesulitan pada diri anak dalam meredam permasalahan yang terjadi
antar teman. Ketika anak dihadapkan pada situasi sosial, anak yang agresif
umumnya kurang terampil dalam mengatasi persoalan secara sehat, sehingga
mereka mudah bertindak dan berperilaku tidak sesuai dengan aturan yang ada
(Berkowitz dalam Malti 2006). Oleh karena itu, dengan mengajarkan anak
kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi, anak akan mendapatkan gambaran
mengenai alternatif apa saja yang dapat mereka terapkan dalam menghindari
pertengkaran yang terjadi dengan teman.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pelatihan social
emotional learning diharapkan mampu memberikan pemahaman bagi siswa
tentang bagaimana bersikap dan berperilaku dengan seharusnya. Hal ini sesuai
dengan dengan apa yang diungkap oleh CASEL (2008) yang menyatakan bahwa
social emotional learning dapat meningkatkan perilaku prososial siswa,
sehingga perilaku externalizing siswa dapat berkurang. Untuk itu, dengan
adanya beberapa aspek serta keterampilan yang diajarkan tersebut, diharapkan
anak mampu mengenali emosi yang dirasakan, mampu mengekspresikannya
dengan cara yang tepat, mampu mengenali perasaan orang lain, mampu menjadi
seorang pendengar dan pembicara yang baik, serta mampu memecahkan
permasalahan yang terjadi antar teman dengan cara yang baik dan benar.
59 Sehingga dengan adanya peningkatan keterampilan sosial dan emosional pada
anak diharapkan perilaku agresif pada anak dapat berkurang.
Download