37 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Agresivitas 1. Pengertian Agresivitas Agresivitas adalah perilaku yang memiliki maksud untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun verbal (Myers, 2010). Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Berkowitz (1995) yang mendefinisikan perilaku agresi sebagai segala bentuk perilaku yang bertujuan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun mental. Tindakan agresif yang biasa dilakukan dengan cara melukai fisik misalnya tindakan yang bersifat menyakitkan dan melukai orang lain, membahayakan orang lain dengan cara sengaja, sedangkan secara psikis (mental) misalnya melalui kegiatan yang menghina dan menyalahkan. Anderson dan Bushman (dalam Russell, 2008) menyatakan bahwa agresivitas merupakan perilaku yang diarahkan pada orang lain yang dilakukan saat itu dengan maksud untuk melukai. Sementara itu Loeber (dalam Einsenber, 2006) menjelaskan bahwa agresivitas akan memunculkan perilaku antisosial, yang menyebabkan kerugian secara fisik atau mental, kerusakan barang atau hilang dan kemungkinan bisa menjurus ke arah kriminal dengan melanggar hukum. Bandura (dalam Berkowitz, 1995) menyatakan bahwa suatu perilaku bisa dikatakan sebagai “agresi” yakni ketika perilaku yang dilakukan tidak dapat diteima dalam aturan sosial. Buss (dalam Berkowitz, 1995) menambahkan bahwa 38 pelaku agresif sering tidak menunjukkan tujuan mereka yang sebenarnya ketika mereka bertindak menyerang, dan kalaupun mereka ingin jujur, mungkin mereka tidak dapat mengatakan apa sebenarnya yang mereka inginkan, dan agresi dipandang sebagai cara paling tepat untuk mengekspresikannya. Hal serupa juga dikemukakan oleh Krahe (2005) yang menyatakan perilaku agresif sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan tersebut. Pengertian ini menunjukkan bahwa suatu perilaku dikatakan agresif jika perilaku tersebut disengaja untuk menimbulkan rasa sakit kepada makhluk hidup yang dituju. Perilaku seseorang dapat memenuhi kualifikasi agresif, jika dilakukan dengan niat menimbulkan akibat negatif terhadap targetnya, dan sebaliknya. Berdasarkan pendapat tersebut perlu diperhatikan terkait dengan motif tindakan tersebut sengaja atau tidak. Tindakan yang disengaja untuk menyakiti orang lain tetapi tidak mengenai sasaran tetap dikatakan bahwa perilaku tersebut termasuk pada kriteria perilaku agresif. Anantasari (2006) menyebutkan beberapa ciri perilaku agresif yang perlu diperhatikan. Ciri perilaku agresif tersebut meliputi tiga hal, yaitu menyakiti diri sendiri, orang lain atau objek pengganti. Bahaya kesakitan yang ditimbulkan dapat berupa kesakitan fisik dan psikis. Kedua, tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasarannya. Terakhir, sering kali merupakan perilaku yang melanggar norma sosial. Poin yang perlu disoroti dari ketiga ciri perilaku agresif yang dikemukakan tersebut adalah bahwa perilaku menyakiti ataupun mengganggu orang lain sering bersamaan dengan pelanggaran norma sosial di lingkungan masyarakat. Hal ini dikarenakan bentuk perilaku agresif yang muncul sering 39 menimbulkan keresahan bagi lingkungan sekitar, sehingga dalam hal ini pelanggaran norma sosial dapat dijadikan objektifikasi suatu perilaku dikatakan agresif. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif adalah suatu tindakan yang sengaja dilakukan oleh seseorang dengan maksud untuk menyakiti ataupun membahayakan, baik diri sendiri maupun orang lain, yang menyebabkan adanya kerugian yang dirasakan, baik secara fisik maupun psikis, dan umumnya tidak dapat diterima dalam aturan sosial. 2. Jenis-jenis Agresivitas Buss dan Durkee (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003) mengklasifikasikan agresi ke dalam delapan jenis, antara lain : a. Agresi fisik aktif langsung Yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan terjadi kontak fisik secara langsung, seperti menusuk,menembak, mendorong, serta memukul orang lain b. Agresif fisik aktif tidak langsung Yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok lain dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya, seperti merusak harta korba,. membakar rumah, menyewa tukang pukul, dan lain-lain c. Agresi fisik pasif langsung 40 Yakni tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara berhadapan dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya, namun tidak terjadi kontak fisik secara langsung, seperti demonstrasi, aksi mogok, aksi diam d. Agresi fisik pasif tidak langsung Yakni tindakan agresi fisik yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara berhadapan secara tidak berhadapan dengan individu ataupun kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung, seperti tidak peduli, apatis, masa bodoh e. Agresif verbal aktif langsung Yakni tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain, seperti menghina, memaki,marah, dan mengumpat. f. Agresif verbal aktif tidak langsung Merupakan tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya, seperti menyebar fitnah, mengadu domba. g. Agresif verbal pasif langsung Yakni tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain namun tidak terjadi kontak verbal secara langsung,seperti menolah bicara, bungkam. h. Agresi verbal pasif tidak langsung 41 Yaitu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok lain yang menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung, seperti tidak memberi dukungan dan tidak menggunakan hak suara. 3. Aspek-aspek Agresivitas Anderson dan Huesmann (2007) menyebutkan dua macam aspek dalam agresivitas, diantaranya: a. Agresi Fisik Merupakan agresi yang dilakukan dengan menggunakan kemampuan fisik, seperi: perilaku memukul, menendang, mencubit, menjewer, mengigit, merusak barang, merebut paksa, berkelahi, serta mencelakakan orang lain. b. Agresi Verbal Merupakan agresi yang dilakukan secara verbal atau lisan, seperti perilaku mengejek, membentak, membantah, membual, mengancam membantah, berteriak, dan menipu orang lain agar mengalami kesulitan. 4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Agresivitas Baron dan Branscombe (2012) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi seseorang bertindak agresif, yaitu : a. Faktor sosial Faktor sosial terdiri dari frustasi (frustation), provokasi langsung dari orang lain (direct provocation) berupa cemoohan, kritikan ataupun candaan yang bersifat kasar dan menghina, serta adanya pengaruh media 42 massa (media violence) seperti tayangan kekerasan melalui televisi,film, game, dan sebagainya b. Faktor budaya (cultural) Agresivitas yang disebabkan oleh faktor budaya, dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu (1) kehormatan pada budaya, dimana sebagian negara cenderung memperbolehkan adanya tindakan yang mengandung unsur agresivitas atas nama kehormatan bagi negaranya, (2) Kecemburuan seksual, yang terkait dengan perselingkuhan ataupun perasaan dihianati, serta (3) peran laki-laki, dimana terdapat beberapa negara yang mengkaitkan kejantanan seorang laki-laki dengan menantangnya untuk melakukan tindakan yang mengandung unsur agresivitas. c. Faktor pribadi atau personal Agresivitas yang disebabkan oleh faktor pribadi, dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu kepribadian, narsis, dan perbedaan jenis kelamin. d. Faktor situasi Agresivitas yang disebabkan oleh faktor situasi, dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu : suhu yang panas dan konsumsi alkohol. Sementara Mundia (2006) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku agresif, antara lain : a. Faktor biologis Berdasarkan jenis kelamin, dapat dilihat bahwa anak laki-laki memiliki tendensi perilaku agresif yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. 43 b. Karakteristik Individual Karakteristik pribadi seseorang dapat berkontribusi pada adanya perilaku agresif. Seperti tempramental, kemampuan sosial yang rendah, sensitif dan mudah tersinggung dengan perilaku orang lain, serta adanya ketidakmampuan dalam menemukan solusi non-agresif pada konflik yang dihadapi (Salvin, 1994 dalam c. Keluarga dan lingkungan rumah Adanya pola asuh orang tua yang terlalu otoriter dan keras dalam mendidik anak, menyebabkan anak menjadi cenderung membangkang d. Lingkungan sekolah Adanya peran guru dalam mengajar yang cenderung tidak menyenangkan, seperti bersikap koersif mapun diktator, serta sikap guru yang kasar, dapat menjadi contoh (modelling) bagi siswa untuk berperilaku serupa. e. Pengaruh teman sebaya (peer) Berteman dengan teman yang memiliki sikap dan perilaku antisosial, dapat mempengaruhi individu tersebut untuk berperilaku serupa melalui adanya modelling pada sikap kasar teman sebaya tersebut f. Kekerasan media Banyak penelitian yang menyebutkan adanya pengaruh besar dari adanya paparan media elektronik seperti tayangan televisi, game, maupun internet, yang menyebabkan berkembangnya perilaku agresif pada anak maupun remaja. Anak-anak yang sering menyaksikan tayangan yang bersifat kekerasan taupun memankan permainan yang 44 terdapat unsur adegan kekerasan fisik, seperti mortal combat, counter strike, dan sebagainya, dapat menyebabkan anak juga memunculkan perilaku serupa seperti yang terdapat dalam adegan tersebut (Shaffer, 2002) g. Komunitas dan faktor sosial Adanya toleransi dan penerimaan masyarakat di sekitar anak terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan di lingkungan sosial menyebabkan anak menjadi cenderung bersikap agresif, karena menganggap hal tersebut wajar untuk dilakukan (Shaffer, 2002) Bandura (dalam Meliyana, 2009) menambahkan salah satu faktor penyebab agresi adalah pembelajaran yang dilakukan melalui proses observasi atau pengamatan yang didapat dengan proses modelling. Dalam hal ini, agresi dapat dipelajari dan terbentuk melalui perilaku meniru atau mencontoh perilaku agresi yang dilakukan oleh individu lain yang dianggap sebagai contoh atau model. Individu dapat mengendalikan perilaku yang ditirunya dan menentukan serta memilih objek imitasinya. Misalnya saja seorang anak yang setiap hari melihat orang tua dan temannya memukul, maka dia akan mengetahui cara memuku dari hasil pengamatannya seharihari. Sehingga bisa dikatakan bahwa anak dapat belajar menjadi agresif berdasarkan pengamatan melalui orang tuanya sendiri. B. Social Emotional Learning 1. Pengertian Social emotional learning 45 Denhamm & Weissberg (2004) menjelaskan bahwa belajar sosial emosional atau yang biasa disebut SEL (social emotional learning) adalah suatu proses berpikir secara integratif, merasakan, dan berperilaku dengan maksud untuk menyadari individu agar lebih terbuka dengan diri sendiri maupun orang lain, mampu membuat keputusan yang betanggung jawab, dan mampu mengelola sikap terhadap diri sendiri maupun orang lain. Program intervensi yang berfokus pada SEL ini cenderung dibuat untuk memfasilitasi proses ini secara lebih sistematis dengan cara yang komperhensif. Adapun pembuatan bagian dalam SEL tersebut mengacu juga pada kecerdasan emosional yang pernah dicetuskan oleh Goleman (1955), diantaranya ialah kemampuan memproses dan merespon emosi (termasuk mengenali dan mengeskpresikan emosi kepada orang lain), menggunakan emosi untuk meningkatkan proses berpikir, serta meregulasi emosi untuk mengarahkan perilaku orang lain. Kemampuan ini kerap juga dihubungkan dengan kompetensi sosial, adaptasi, dan kesuksesan akademik. Sementara CASEL (2008) menjelaskan bahwa social emotional learning merupakan suatu proses memperoleh keterampilan untuk mengenali dan mengelola emosi, mengembangkan kepedulian dan perhatian untuk orang lain, membuat keputusan yang bertanggung jawab, membangun hubungan yang positif dan menangani situasi secara efektif. Proses ini berfokus pada perilaku prososial, dan kemampuan dalam mengatur dan mengenali emosi. Perilaku prososial yang diajarkan termasuk menolong, berbagi dan peduli untuk menjalin pertemanan. Regulasi dan memahami 46 emosi termasuk kemampuan dalam mengontrol perasaan dan perilaku impulsif, mengidentifikasi perasaan negatif, serta meningkatkan perasaan positif kepada orang lain. Ha yang serupa juga dituturkan oleh Hayne (2003) yang menjelaskan bahwa social emotional learning merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengatur emosi seseorang, memikirkan tentang orang lain, membuat keputusan yang baik, memiliki etnis dan bertanggung jawab, membangun komunikasi yang baik, dan menghindari emosi-emosi negatif. Goleman, 1995 (dalam Arslan 2015) menambahkan bahwa social emotional learning merupakan suatu kemampuan yang terdiri dari rangkaian proses yang dapat membantu anak hingga orang dewasa dalam membangun kemampuan yang dibutuhkan untuk hidup secara produktif. Merrell (2008) menjelaskan bahwa belajar sosial emosional merupakan suatu cara yang dinilai efektif dalam menangani siswa dengan masalah perilaku, sosialisasi, dan persahabatan. Social emotional learning dapat meningkatkan kemampuan untuk merencanakan sesuatu dan menentukan tujuan, memecahkan masalah tanpa kekerasan, dan merefleksikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Secara efektif, program yang terdapat pada social emotional learning ini dibuat untuk mendukung kompetensi yang dapat meningkatkan hasil yang positif, seperti penerimaan teman sebaya serta memperoleh adanya peningkatan prestasi (Caldarella, et all, 2009). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa social emotional learning ialah suatu proses yang diberikan kepada anak 47 dengan tujuan agar anak dapat memperoleh ilmu tentang keterampilan mengatur emosi, membangun perasaan untuk peduli dan perhatian terhadap orang lain, bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil, membangun hubungan positif dan menangani perubahan situasi secara efektif. 2. Aspek-aspek Social emotional learning Denham dan Weissberg (2004) mengemukakan lima aspek yang termasuk dalam social emotional learning, diantaranya ialah : a. Kesadaran diri (Self awareness) Aspek ini membahas mengenai cara melihat perasaan, minat, ketertarikan, nilai dan kekuatan secara akurat serta mempertahankan rasa percaya diri b. Manajemen diri (Self management) Merupakan kemampuan individu dalam mengendalikan kontrol dalam diri untuk mengatasi tekanan, mengotrol dorongan, dan kegigihan dalam mengatasi hambatan. Selain itu melakukan pengaturan dan mengontrol lemajuan dalam mencapai tujuan personal dan akademik serta mampu mengekspresikan emosi secara tepat. c. Kesadaran sosial (Social awareness) Merupakan kemampuan untuk melihat perspektif orang lain dan berempati, menghargai persamaan dan perbedaan kelompok serta mengakui keberadaan keluarga, sekolah, dan komunitas. d. Kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain (Relationship skill) Merupakan kemampuan seorang individu dalam mempertahankan dan mengatur suatu hubungan yang sehat dan bermanfaat dengan orang lain 48 yang didasarkan pada kerjasama, mengurangi tekanan sosial yang tidak tepat, melakukan pencegahan, pengaturan, dan pemecahan konflik interpersonal serta memberikan bantuan ketika dibutuhkan e. Membuat keputusan yang bertanggung jawab (Responsible decision making) Aspek ini merupakan cara membuat suatu keputusan dengan mempertiimbangkan etika, mengutamakan keselamatan, norma-norma sosial yang tepat. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dalam social emotional learning ialah kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain, dan membuat keputusan yang bertanggung jawab. 3. Modul Social emotional learning Penyusunan modul ini dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti dengan mengadaptasi modul social emotional learning milik Zwagery (2012). Penyusunan modul ini dilakukan dengan mengacu pada aspek-aspek social emotional learning yang di kemukakan oleh Denham dan Weissberg (2004), yaitu: kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain, dan membuat keputusan yang bertanggung jawab. Program social emotional learning ini merupakan suatu program yang menggunakan pendekatan kognitif perilaku. Pendekatan kognitif perilaku merupakan pendekatan yang menggabungkan antara strategi perilaku dengan komponen kognitif yang dapat diaplikasikan dalam ranah sekolah 49 untuk mengontrol perilaku (Robinson, 2007; Smith, Lochman & Daunic, 2005 dalam Zwagery, 2012). Pendekatan kognitif perilaku digunakan karena melihat faktor kognitf berperan dalam pembentukan perilaku seseorang, khususnya perilaku agresif. Hal tersebut sejalan dengan terori Ellis (dalam Corey, 2011) yang mengungkapkan bahwa kognisi, emosi, dan perilaku saling berhubungan secara signifikan dan memiliki hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Ketika anak diajarkan respon yang adaptif untuk mengatasi suatu situasi secara efektif, mereka akan mulai memikirkan sesuatu yang berbeda mengenai situasi tersebut. Sehingga asumsisnya adalah ketika anak diajarkan mengenai kemampuan sosial dan mengganti cara berpikir mereka yang tidak tepat menjadi cara berpikir yang tepat dan rasional, maka akan menghasilkan perubahan reaksi emosional sehingga perilaku agresif semakin berkurang (Spiegler dan Guevremont, 2010 dalam Zwagery, 2012). Metode yang digunakan dalam pemberian materi dalam pelatihan ini antara lain ialah : a. Bercerita (Story telling) Qudsy (2005) menyatakan bahwa bercerita merupakan penyapaian suatu peristiwa dalam kata-kata, gambar, dan suara yang seringkali disampaikan dengan improvisasi dan penambahan tertentu. Cerita sering digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan moral kepada pendengar cerita. Dalam pelatihan ini, bentuk cerita yang disajikan dilakukan dengan cara membacakan narasi atau cerita kepada pendengar melalui media gambar, foto maupun suara tentang keterampilan berperilaku. 50 Contoh materi yang diangkat berupa hal-hal apa saja yang biasanya membuat seseorang menjadi marah, dan bagaimana reaksi yang ditunjukkan. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan diskusi mengenai apa yang akan dilakukan anak apabila berada dalam situasi tersebut, disesuaikan dengan pengalaman yang mereka rasakan. b. Bermain peran (role play) Dilakukan dengan cara mendengarkan petunjuk yang disajikan model, kemudian dilanjutkan dengan memperagakan sekaligus melakukan diskusi mengenai aktivitas yang dimodelkan. Contoh materi yang diangkat berupa memperagakan cara-cara yang baik dan tidak baik dalam berteman, mempraktekkan ekpresi-ekpresi tubuh tertentu, serta latihan teknik mengurangi rasa marah kepada anak saat dalam keadaan marah. Latihan ini dilakukan dengan menyajikan situasi atau model dimana anak dapat mengamati serta mempraktekkannya secara langsung. c. Permainan (games) Santrock (2002) menjelaskan bahwa permainan merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan yang dilaksanakan untuk kepentingan kegiatan itu sendiri. Dalam pelatihan ini, bentuk permainan yang akan diberikan berupa penyususnan puzzle yang dilakukan secara berkelompok, untuk melihat kerjasama tim antar teman. d. Umpan balik (feed back) Dilakukan dengan cara memberikan pengukuhan (reinforcement) berupa hadiah (reward) terhadap anak yang berhasil melakukan peran yang dilatihkan atau apabila anak mampu melakukan target yang diinginkan. 51 Adapun untuk materi-materi yang akan disampaikan oleh peneliti yang disesuaikan dengan kebutuhan subjek penelitian ialah: a. Kesadaran diri (self awareness) Komponen ini bertujuan untuk mengajarakan kepada anak mengenai penenalan emosi dasar anak, bagaimana mengenal perasaan diri sendiri maupun orang lain, dan menumbuhkan perasaan nyaman. b. Manajemen diri (self management) Komponen ini bertujuan mengajarkan kepada anak dalam meregulasi emosi mereka, terutama saat menghadapi adanya tekanan, mengontrol dorongan dalam menghatasi hambatan. Komponen ini juga mengajarkan anak kemampuan tentang kemampuan menyalurkan dan mengrekspresikan emosi mereka secara tepat. c. Kesadaran sosial (social awareness) Komponen ini bertujuan mengajarkan kepada anak mengenai cara melihat sudut pandang berdasarkan perspektif orang lain, seperti mengajarkan kemampuan berempati, menghargai perbedaan dan persamaan, serta mengakui keberadaan orang di sekeliling mereka d. Kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain Komponen ini bertujuan untuk mengajarkan kepada anak mengenai cara membangun hubungan positif dengan orang lain dengan cara membangun komunikasi yang tepat, memberikan respon-respon yang sesuai, kemampuan mempertahankan dan mengatur hubungan yang 52 sehat, kemampuan bekerjasama, melakukan pencegahan dan pemecahan konflik interpersonal, serta memberikan bantuan ketika dibutuhkan e. Membuat keputusan yang bertanggung jawab Komponen ini bertujuan untuk mengajarkan kepada anak mengenai cara dalam membuat suatu keputusan dengan mempertimbangkan etika dan norma-norma sosial yang tepat. Adapun gambaran pemberian materi (blueprint) modul pelatihan social emotional learning dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 1. Blueprint Modul Pelatihan Aspek Self Awareness Self Awareness Self management Sesi Tujuan Pembukaan dan Perkenalan g. Memahami perasaanmu I § h. Memahami perasaanmu II § f. § § Mengenalkan anak pada program pelatihan belajar sosial-emosional Membantu anak dalam mengenal dan memahami perasaan dasar yang mereka miliki Menjelaskan kembali perasaan dasar yang mereka miliki Mengajarkan anak mengenai cara mengekspresikan perasaan secara tepat Self Management 4. Saat kamu marah § Mengajarkan anak teknik yang dapat dipakai dalam mengatasi rasa marah secara tepat. Sosial Awareness 5. Memahami perasaan orang lain § Mengajarkan anak cara untuk mengenal dan memahami perasaan orang lain 6. Menjadi teman yang baik § Mengajarkan anak kemampuan komunikasi dasar dan membangun Relationship skill Relationship skill 53 persahabatan Relationship skill Responsible decision making Self Awareness Self Management 7. Memecahkan masalah § § 8. Berakhir! 9. Penutup § Social Awareness Relationship Skill Responsible decision making C. § Mengenalkan anak pada konflik/permasalahan dengan orang lain Mengenalkan anak pada cara-cara yang dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan dengan teman maupun orang lain Meninjau kembali materi-materi yang sudah disampaikan sebelumnya agar anak dapat memahami dan mengaplikasikan materi yang telah diberikan Menutup acara dan memberikan umpan balik Social Emotional Learning Dalam Menurunkan Agresivitas Siswa Agresivitas merupakan masalah perilaku yang sering muncul, dan kerap digunakan oleh anak sebagai suatu cara dalam mengungkapkan perasaan dan persoalan. Adelman dan Taylor (2011) menyatakan bahwa masa usia sekolah dasar merupakan masa yang rentan bagi anak untuk mulai menunjukkan sikap agresif mereka dalam berperilaku sehari-hari. Perilaku ini merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap rasa frustasi (rasa marah ataupun kecewa akibat tidak terpenuhi keinginannya). Adapun bentuk-bentuk perilaku agresif anak di sekolah seringkali ditunjukkan dengan adanya perilaku mengganggu teman, saling mengejek, membuat keributan, membantah guru, maupun terlibat perkelahian fisik. Munculnya perilaku agresif yang dilakukan anak disebabkan oleh adanya ketidaktahuan dalam mengendalikan dan melampiaskan emosi dalam dirinya 54 secara tepat. Mereka juga memiliki kemampuan yang rendah dalam berkomunikasi secara efektif dan menjalin hubungan peretemanan. Hal ini dipicu oleh kurang berkembangnya kompetensi sosial emosional yang optimal pada diri anak. Hal ini ditegaskan oleh Papalia, Old dan Feldman (2008) bahwa adanya konflik yang menimbulkan agresivitas pada anak biasanya terjadi akibat kurangnya kemampuan individu dalam mengatur emosi negatif dalam dirinya. Emosi mempengaruhibagaimana seseorang berperilaku, karena motif seseorang dalam berperilaku terkadang tergantung pada emosi yang dialami saat itu. Dampak dari adanya tingginya perilaku agresif yang dilakukan siswa di sekolah menyebabkan suasana kelas menjadi tidak kondusif, sehingga keefektifan proses belajar mengajar pun menjadi semakin berkurang. Bagi siswa itu sendiri, dengan adanya perilaku agresif yang dilakukan memuculkan adanya peer labelling dan penolakan yang didapat dari guru maupun lingkungan pertemanannya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Farrington, Craig dan Robert (1995) yang menyatakan bahwa anak yang berperilaku agresif dapat cenderung memiliki pola perilaku yang sama ketika menginjak dewasa. Oleh karena itu penanganan pada terhadap perilaku agresif pada anak sangatlah perlu dilakukan untuk dapat mengurangi sekaligus mencegah perilaku yang semakin buruk yang dapat terjadi pada anak. Salah satu intervensi yang dapat diberikan pada siswa dengan karakteristik gangguan emosi dan perilaku ini ialah dengan mengajari anak kemampuan mengenal emosi dan keterampilan sosial. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Kauffman (2005) yang menyatakan bahwa social emotional 55 learning merupakan suatu cara yang efektif dalam menangulangi permasalahan emosi dan perilaku pada siswa, seperti perilaku agresif. Penelitian yang dilakukan oleh Merrel, Whitcomb dan Parisi (2009) serta Caldarella, et all (2009) menyatakan bahwa intervensi berbasis social emotional learning sangatlah cocok diterapkan untuk anak dengan permasalahan emosi maupun perilaku, seperti perilaku agresif dan mengganggu di kelas. Merrel, et all (2009) sendiri membuat program yang bernama “Strong kids” sebagai bentuk social emotional learning pada siswa sekolah dasar. Program ini dibuat sebagai bentuk intervensi sekaligus upaya pencegahan pada anak-anak yang bersiko mengalami permasalahan emosi dan perilaku. Selain itu, Zwagery (2012) juga pernah menerapkan pembelajaran sosial emosional “aku anak baik” untuk menurunkan agresivitas pada anak usia taman kanak-kanak. Hasilnya menunjukkan bahwa social emotional learning ini terbukti efektif dalam menurunkan tingkat agresifitas siswa. Pelatihan social emotional learning ini menggunakan beberapa metode yang akan diberikan kepada siswa, yaitu metode bercerita, bermain peran, modelling permainan dan memberikan umpan balik sebagai bentuk penguatan perilaku anak. Terdapat 5 aspek yang akan dibahas dan diaplikasikan dalam pelatihan ini, diantaranya ialah: kesadaran diri (self awareness), manajemen diri (self management), kesadaran sosial (social awareness), kemampuan membangun hubungan dengan orang lain (relationship skill), serta kemampuan membuat keputusan yang bertanggung jawab (responsible decision making). Aspek pertama yang akan diungkap ialah kesadaan diri. Anak yang agresif umumnya tidak memiliki kesadaran tentang perilaku agresif yang dilakukannya. 56 Mereka merasa kesulitan dalam memahami emosi yang ada adalam diri mereka maupun orang lain sehingga cenderung memunculkan perasaan yang tidak tepat sesuai dengan apa yang mereka rasakan (Giles & Heymann, 2004). Untuk itu dengan mengajarkan anak pada kemampuan mengenali perasaan dasar, anak dapat memahami apa saja emosi dasar yang sering mereka rasakan seperti sedih, senang, marah, takut serta terkejut. Dengan begitu anak dapat belajar mengidentifikasi perasaan nyaman yang sesuai dengan keadaan dirinya Aspek kedua ialah manajemen diri. Pada aspek ini, anak akan diajarkan mengenai bagaimana cara dalam mengekspresikan emosi yang dirasakan secara tepat. Kemampuan mengekspresikan emosi merupakan hal yang penting dalam pergaulan sosial, karena dengan menggunakan ekspresi emosi yang tepat maka orang-orang disekitar akan memahami apa yang sedang dirasakan dan diinginkan sehingga respon yang akan diberikan oleh orang-orang tersebut adalah respon yang sesuai dari apa yang diingkan sesuai dengan akpresi yang ditunjukkan. Salah satu keterampilan yang akan diajarkan pada ini adalah keterampilan mengendalikan dan mengatasi rasa marah. Hurlock (1998) menyebutkan bahwa emosi yang muncul pada anak akan lebih sering muncul dan semakin kuat, ditandai dengan adanya ledakan amarah yang kuat, ketakutan, serta perasaan iri hati yang tidak masuk akal. Tindakan agresif yang dilakukan pada anak salah satunya disebabkan oleh adanya ledakan rasa marah yang ada pada diri mereka. Rangsangan yang membangkitkan emosi ini biasanya muncul dalam bentuk pertengkaran dalam permaianan ataupun tidak tercapainya keinginan anak. Oleh sebab itu, dengan mengajarkan anak keterampilan dalam 57 mengendalikan rasa marah diharapkan dapat membantu anak dalam mengarahkan emosi dan perilaku mereka agar lebih tenang. Aspek ketiga ialah kesadaran sosial. Anak yang agresif mereka umumnya cenderung kesulitan dalam memahami dan mengenali emosi yang ada dalam diri mereka maupun orang lain, sehingga mereka tidak mampu membedakan maksud dari candaan teman sebayanya. Pada aspek ini, anak akan diajarkan keterampilan berempati dan mengenali emosi dalam diri orang lain berdasarkan sudut pandang yang ia rasakan. Ketika anak mampu mengenali emosi yang mereka rasakan, maka secara tidak langsung anak juga akan belajar mengenali perasaan orang lain. Individu yang memiliki kemampuan empati biasanya akan cenderung lebih mampu menangkap sinyal-sinyal tersembunyi yang menginsyaratkan apa yang dibutuhkan oleh orang lain sehingga ia akan lebih peka dan bias menerima sudut pandang orang lain. Aspek keempat ialah mengajarkan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain. Telah dikatahui bahwa anak yang agresif biasanya cenderung memiliki keterampilan yang rendah dalam berinteraksi ataupun menjalin hubungan pertemanan dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Elisabeth (2007) yang menyatakan bahwa anak yang agresif cenderung mengalami lack of social skill, hal tersebut disebabkan oleh kurangnya kemampuan anak dalam berkomunikasi yang baik, mengeskpresikan emosi negatif tanpa menyakiti orang lain, sehingga berdampak pada hubungan pertemanan yang terbentuk. Untuk itu, dalam aspek ini, anak akan diajarkan mengenai keterampilan berkomunikasi dengan baik, dengan cara melatih keterampilan mendengarkan dan berbicara yang baik kepada orang lain. Dengan 58 begitu diharapkan anak yang mendapatkan gambaran mengenai keterampilan berkomunikasi dan menjalin hubungan pertemanan yang baik antar teman. Aspek terakhir yaitu mengajarkan kemampuan membuat keputusan yang bertanggung jawab. Salah satu penyebab munculnya perilaku agresif pada anak ialah adanya kesulitan pada diri anak dalam meredam permasalahan yang terjadi antar teman. Ketika anak dihadapkan pada situasi sosial, anak yang agresif umumnya kurang terampil dalam mengatasi persoalan secara sehat, sehingga mereka mudah bertindak dan berperilaku tidak sesuai dengan aturan yang ada (Berkowitz dalam Malti 2006). Oleh karena itu, dengan mengajarkan anak kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi, anak akan mendapatkan gambaran mengenai alternatif apa saja yang dapat mereka terapkan dalam menghindari pertengkaran yang terjadi dengan teman. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pelatihan social emotional learning diharapkan mampu memberikan pemahaman bagi siswa tentang bagaimana bersikap dan berperilaku dengan seharusnya. Hal ini sesuai dengan dengan apa yang diungkap oleh CASEL (2008) yang menyatakan bahwa social emotional learning dapat meningkatkan perilaku prososial siswa, sehingga perilaku externalizing siswa dapat berkurang. Untuk itu, dengan adanya beberapa aspek serta keterampilan yang diajarkan tersebut, diharapkan anak mampu mengenali emosi yang dirasakan, mampu mengekspresikannya dengan cara yang tepat, mampu mengenali perasaan orang lain, mampu menjadi seorang pendengar dan pembicara yang baik, serta mampu memecahkan permasalahan yang terjadi antar teman dengan cara yang baik dan benar. 59 Sehingga dengan adanya peningkatan keterampilan sosial dan emosional pada anak diharapkan perilaku agresif pada anak dapat berkurang.