Kelainan dan Disfungsi Seksual

advertisement
Clinical Science Session (CSS)
Diajukan sebagai tugas kepaniteraan di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung
Kelainan dan Disfungsi Seksual
\
Oleh :
Fani Fitrya Nafisah
1301-1213-0506
Alifah Syarafina
Sedang proses
Agus Bosnia
Sedang proses
Pembimbing :
dr. RM Haryadi Karyono, SpKJ
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG
2015
Pendahuluan
Aktivitas seksual merupakan komponen kebutuhan biologis dalam kehidupan manusia
yang berguna untuk mendapatkan keturunan dan melestarikan spesies. Namun tak jarang
aktivitas seksual menjadi suatu masalah akibat dampak dari masalah lain atau juga dapat
menjadi penyebab masalah lain. Masalah aktivitas seksual dalam rumah tangga dapat
disebabkan oleh salah satu pihak (suami atau istri) atau keduanya mengalami gangguan atau
disfungsi seksual.
Disfungsi Seksual
Disfungsi seksual merupakan suatu kondisi dimana fungsi seksual dalam tubuh
seseorang mulai melemah yang dapat terjadi pada usia muda maupun pada usia lanjut yang
dikarenakan kondisi fisik dan mental yang berkurang. Disfungsi seksual dapat juga
merupakan suatu gejala masalah biologis atau konflik intrapsikis atau interpersonal atau
kombinasi diantara dua faktor tersebut. Kondisi disfungsi seksual dapat terjadi pada pria dan
wanita. Bentuk dari disfungsi seksual mengikuti fase siklus respon seksual sehingga dalam
kehidupan manusia disfungsi seksual dapat dikelompokan berdasarkan dengan fase siklus
respon seksual. Berikut merupakan pembagian fase siklus respon seksual disertai dengan
gangguannya:

Fase hasrat atau dorongan
Mencerminkan motivasi atau dorongan seseorang dalam menginisiasi respon seksual
yang dapat ditandai dengan khayalan seksual dan hasrat untuk melakukan hubungan
seksual.
Kelainan: dorongan seksual hipoaktif, gangguan keengganan seksual, disfungsi
seksual karena zat dengan gangguan dorongan, dorongan seksual hipoaktif karena
kondisi medis umum.

Fase rangsangan
Merupakan perasaan subjektif tentang kenikmatan seksual dan perubahan fisiologis
yang menyertai.
Disfungsi: gangguan rangsangan seksual wanita, gangguan erektil pria, gangguan
erektil pria karena kondisi medis umum, dan disfungsi seksual karena zat dengan
gangguan rangsangan.

Fase orgasme
Merupakan bagian puncak kenikmatan seksual dengan pelepasan ketegangan seksual
dan kontraksi ritmik otot perineum dan organ reproduktif pelvis.
Disfungsi: gangguan orgasmik wanita dan pria, ejakulasi dini/premature, dan disfungsi
seksual karena zat dengan gangguan orgasme.

Fase resolusi
Merupakan perasaan relaksasi umum yang ditandai dengan relaksasi otot-otot
reproduksi. Pada fase ini untuk pria merupakan periode refrakter terhadap orgasme
baru dalam jangka waktu tertentu yang semakin bertambah lama sesuai peningkatan
usia. Sedangkan untuk wanita, pada fase ini dapat mengalami orgasme multiple tanpa
periode refrakter.
Disfungsi: disforia pasca senggama, nyeri kepala pasca senggama.
Disfungsi seksual yang dapat terjadi pada pria meliputi hiposeksualitas (berkurangnya
hasrat seksual), impotensia (masalah pada saat ereksi), ejakulasi dini, dan anorgasmia.
Disfungsi seksual yang dapat terjadi pada wanita meliputi hiposeksualitas (berkurangnya
hasrat seksual), frigiditas (dingin terhadap seks dan tidak bergairah sama sekali), vaginismus,
dispareunia, dan anorgasmia.
Disfungsi seksual ini dapat disebabkan oleh berbagai gangguan dan penyakit, baik
fisik maupun mental. Penyakit fisik yang dapat menyebabkan disfungsi seksual umumnya
merupakan penyakit kronik seperti DM, anemia, kurang gizi, maupun penyakit otak dan
sumsum tulang. Selain itu dapat disebabkan oleh penyakit yang langsung secara organik
menyerang kelamin. Disfungsi seksual dapat juga disebabkan oleh penggunaan narkoba, obat
penenang, alkohol, dan rokok. Penyakit mental yang menyebabkan disfungsi seksual adalah
psikosis, skizofrenia, neurosis cemas, histerik, obsesif-kompulsif,depresif, fobia, serta
retardasi mental dan gangguan intelegensia.
Disfungsi seksual harus dicari penyebabnya sehingga dapat ditanggulangi secara
menyeluruh. Apabila tidak diatasi dapat menimbulkan maslaah yang lebih besar. Disfungsi
seksual mungkin terjadi seumur hidup atau didapat yang berkembang setelah periode normal
sebelumnya. Disfungsi mungkin saja dapat terjadi secara umum ataupun situasional.
A. Gangguan Preferensi Seksual
ICD-10 Kriteria diagnostik untuk Gangguan preferensi seksual
-
Pengalaman individu berupa dorongan seksual berulang yang intens dan fantasi yang
melibatkan benda-benda yang tidak biasa kegiatan.
-
Individu baik bekerja pada dorongan atau nyata tertekan oleh mereka.
-
Preferensi telah hadir selama minimal 6 bulan.
Fetisisme
Fetish (beberapa objek tidak hidup) adalah sumber yang paling penting dari rangsangan
seksual atau sangat penting untuk respon seksual yang memuaskan.
Transvestim Fetisistik
Individu memakai artikel pakaian dari lawan jenis untuk menciptakan penampilan dan
perasaan menjadi anggota lawan jenis. Setelah orgasme terjadi dan gairah seksual menurun,
ada keinginan kuat untuk mengganti pakaian.
Eksibisionisme
Kecenderungan gigih untuk mengekspos alat kelamin kepada orang asing yang tidak curiga
(biasanya lawan jenis) yang hampir selalu berhubungan dengan gairah seksual dan
masturbasi. Perilaku tersebut tidak disertai dengan adanya niat atau undangan untuk
melakukan hubungan seksual dengan "witness (es)".
Voyeurisme
Kecenderungan gigih yang berulang untuk melihat orang-orang yang terlibat dalam perilaku
seksual atau intim seperti membuka baju, yang berhubungan dengan gairah seksual dan
masturbasi. Tidak ada niat untuk mengungkapkan kehadiran seseorang dan tidak ada niat
keterlibatan seksual dengan orang diamati.
Pedofilia
Dominan untuk aktivitas seksual dengan anak praremaja atau anak-anak. Individu adalah
setidaknya 16 tahun dan setidaknya 5 tahun lebih tua dari anak.
Sadomasochisme
Ada preferensi untuk aktivitas seksual, sebagai penerima (masokisme) atau penyedia
(sadisme), atau keduanya, yang melibatkan setidaknya salah satu dari berikut:
(1) rasa sakit
(2) penghinaan
(3) perbudakan
Kegiatan sadomasokis ini adalah sumber yang paling penting dari stimulasi atau yang
diperlukan untuk kepuasan seksual.
Gangguan Beberapa preferensi seksual
Kemungkinan lebih dari satu preferensi seksual yang abnormal yang terjadi pada satu
individu lebih besar dari yang diharapkan secara kebetulan. Untuk tujuan penelitian berbagai
jenis preferensi, dan kepentingan relatif mereka kepada individu, harus terdaftar. Kombinasi
yang paling umum adalah fetisisme, transvestisme, dan sadomasochism.
Gangguan lain preferensi seksual
Berbagai pola lain preferensi seksual dan aktivitas dapat terjadi, masing-masing
menjadi relatif jarang. Ini termasuk kegiatan seperti membuat panggilan telepon cabul,
menggosok melawan orang untuk rangsangan seksual di tempat-tempat ramai umum
(Frotteurism), aktivitas seksual dengan binatang, penggunaan pencekikan atau anoksia untuk
mengintensifkan gairah seksual, dan preferensi untuk mitra dengan beberapa kelainan anatomi
tertentu seperti anggota tubuh diamputasi. Praktek erotis terlalu beragam dan banyak terlalu
jarang atau istimewa untuk membenarkan istilah yang terpisah untuk masing-masing.
Menelan urine, mengolesi tinja, atau menusuk kulup atau puting mungkin menjadi bagian dari
repertiore perilaku dalam sadomasochism. Ritual masturbasi dari berbagai jenis yang umum,
tetapi praktik yang lebih ekstrim, seperti penyisipan benda ke dalam rektum atau uretra penis,
atau parsial diri pencekikan, ketika mereka mengambil tempat kontak seksual biasa, jumlah
kelainan. Necrophilia juga harus dikodekan di sini.
B. Parafilia
Parafilia adalah gangguan seksual yang ditandai oleh khayalan seksual yang khusus
dan desakan serta praktek seksual yang kuat yang biasanya dilakukan berulang kali
dan menakutkan bagi seseorang, yang merupakan penyimpangan dari norma-norma dalam
hubungan seksual yang dipertahankan secara tradisional, yang secara sosial tidak dapat
diterima.Parafilia merupakan perilaku menyimpang yang disembunyikan oleh pelakunya,
tampak mengabaikan atau menyakiti orang lain dan merusak kemungkinan ikatan antara
orang yang satu dengan yang lain. Rangsangan parafilia bersifat sementara pada beberapa
orang yang melakukan impulsnya hanya selama periode stress atau konflik.
Etiologi dari parafilia terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Faktor Psikososial
Dalam model psikoanalitik klasik, seorang parafilia adalah orang yang gagal untuk
menyelesaikan proses perkembangan normal kearah penyesuaian heteroseksual,
dan telah dimodifikasi oleh pendekatan psikoanalitik. Yang membedakan parafilia yang
satu dengan yang lainnya adalah metode yang dipilih oleh seseorang untuk mengatasi
kecemasan yang disebabkan oleh ancaman kastrasi oleh ayah perpisahan dengan ibu.
Kegagalan untuk memecahkan krisis oedipal melalui identifikasi dengan aggressor-ayah
(untuk anak laki-laki) atau aggressor-ibu (untuk anak perempuan) menyebabkan
identifikasi yang tidak sesuai dengan orangtua yang berlawanan jenis kelamin atau
pemilihan objek untuk katheksis libido yang tepat. Walaupun perkembangan baru-baru ini
dalam bidang psikoanalitik memberikan penekanan lebih besar dalam mengobati
mekanisme pertahanan dibandingkan pada trauma oedipal, dan perjalanan terapi
psikoanalitik untuk pasien dengan parafilia tetap konsisten dengan teori Sigmund Freud.
Teori lain
menyebutkan
perkembangan
parafilia
terjadi dari pengalaman
awal
mensosialisasikan anak di lingkungannya. Pengalaman seksual pertama kali secara
bersama-sama merupakan hal yang penting yangmempengaruhinya. Onset tindakan
parafilia dapat disebabkan dari pembentukkan perilaku seseorang terhadap orang lain
yang telah melakukan tindakan parafilia, meniru perilaku seksual yang ditampilakan oleh
media, atau mengingat peristiwa emosional masa lalu seseorang,seperti penganiayaanyang
dialaminya.
2.Faktor Organik
Sejumlah penelitian telah mengidentifikasi temuan organik yang abnormal pada
seseorang dengan parafilia. Faktor-faktor organik yang dapat mempengaruhi seperti adanya
kadar hormon abnormal, kelainan kromosom,kejang, disleksia, memiliki EEG abnormal tanpa
kejang,
gangguan
mental berat,
keterbelakangan
mental
dan
lain
sebagainya.Tes
psikofisiologis telah dikembangkan untuk mengukur ukuran volumetrik penis sebagai respon
stimuli parafiliak dan nonparafiliak.Prosedur dapat digunakan dalam diagnosis dan
pengobatan tetapi memilki keabsahan diagnostik yang diragukan, karena beberapa laki-laki
mampumenekan respon erektilnya.
Kriteria DSM-IV untuk parafilia termasuk adanya suatu khayalan yang patognomonik dan
desakan yang kuat untuk melakukan khayalan, yang mungkin menyebabkan penderitaan bagi
pasien. Khayalan mengandung material seksual yang tidak lazim yang relatif terpaku dan jarang
bervariasi.
Klasifikasi paraphilia:

Ekshibisionisme
Pada ekshibisionisme,
seseorang
laki)
(biasanya
laki-
memamerkan
alat
kelaminnya kepada orang lain
yang sama sekali tidak menduga
hal ini akan terjadi dan pada saat
melakukan hal tersebut, penderita akan terangsang secaraseksual .Bisa terjadi Masturbasi
setelah penderita melakukan hal tersebut. Hubungan seksual yang lebih jauh hampir tidak
pernah terjadi, sehingga penderita jarang melakukan pemerkosaan. Sebagian penderita yang
tertangkap, berusia dibawah 40tahun. Seorang wanita bisa memamerkan tubuhnya dengan
cara-cara yang mengganggu, tetapi pada wanita, ekshibisionisme jarang dihubungkan dengan
kelainan psikoseksual.

Fetihisme

Frotteurisme

Pedofilia
Pedofilia adalah kecenderungan
untuk
melakukan
aktivitas
seksual dengananak-anak kecil.
Di negara-negara Barat, pedofilia
biasanya
diartikan
keinginan
untuk
sebagai
melakukan
aktivitas seksual dengan anak
yang berusia di bawah 13 tahun.
Seseorang
yang
didiagnosis
pedofilia, setidaknya berusia 16
tahun dan biasanya minimal 5
tahun lebih tua daripada korban.
Penderita sangat terganggu dan
fikirannya
dipenuhi
dengan
khayalan seksual tentang anakanak, bahkan meskipun tidak terjadi aktivitas seksual yang sesungguhnya. Beberapa
penderitaanya
tertarik
pada
anak-anak,
seringkali
anak
pada
usia
tertentu;
sedangkan penderita lainnya tertarik pada anak-anak dan dewasa. Baik pria maupun
wanita bisa menderita pedofilia, dan korbannya pun bisa anak laki-laki maupun
anak perempuan. Penderita mungkin hanya tertarik pada anak-anak kecil dalamkeluarganya
sendiri (incest ), atau mereka bisa juga mengincar anak-anak kecil dilingkungan sekitarnya.
Penderita bisa melakukan pemaksaan atau kekerasan untuk melakukan hubungan seksual
dengan anak-anak tersebut dan memberikan ancamansupaya korbannya tutup mulut. Pedofilia
bisa diobati dengan psikoterapi dan obat-obatan yang merubah dorongan seksual. Pengobatan
tersebut bisa dilakukan berdasarkan kemauan sendiri atau setelah penderita menjalani proses
hukum. Beberapa penderita memberikan respon terhadap pengobatan, sedangkan penderita
lainnya tidak. Hukuman penjara, bahkan untuk waktu yang lama, tidak merubah hasrat
maupun khayalan penderita.

Masokisme
Masokisme
kenikmatan
diperoleh
merupakan
seksual
jika
yang
penderita
secara fisik dilukai, diancam
atau
dianiaya.
sadisme
adalah
Sedangkan
kebalikan
dari masokisme, yaitu kenikmatan seksual yang diperoleh penderita jika dia menyebabkan
penderitaan fisik maupun psikis pada mitra seksualnya. Sejumlah sadisme dan masokisme
sering dimainkan dalam hubungan seksual yang sehat. Sebagai contoh, penggunaan
saputangan sutra untuk menirukan perbudakan dan tamparan ringan pada saat melakukan
hubungan seksual, sering dilakukan dengan persetujuan mitra seksualnya dan bukan
merupakan
suatu
sadomasokistik.
masokisme
atau
Tetapi
sadisme
sampai yang tingkat yang
berat, dapat mengakibatkan
luka baik
psikis,
fisik
bahkan
maupun
kematian.
Kelainan seksual masokis memelibatkan kebutuhan akan penghinaan, pemukulan atau
penderitaan lainnya yang nyata, bukan pura-pura. yang dilakukan oleh mitra seksualnya
untuk membangkitkan gairah seksualnya. Misalnya penyimpangan aktivitas seksual
yang berupa Asfiksiofilia, dimana penderita dicekik atau dijerat (baik oleh mitraseksualnya
maupun oleh dirinya sendiri). Berkurangnya pasokan oksigen ke otak yang bersifat sementara
pada saat mengalami orgasme, dicari sebagai penambahan kenikmatan seksual; tetapi cara
tersebut bisa secara tidak sengaja menyebabkan kematian. Sadisme seksual bisa terjadi hanya
dalam khayalan atau mungkin diperlukan untuk perangsangan atau untuk mencapai orgasme.
Beberapa penderita sadisme, menjerat korban yang ketakutan, yang tidak menyetujui apa
yangdilakukan oleh penderita dan kemudian memperkosanya. Penderita lainnya, secara
khusus mencari mitra seksual yang menderita masokisme dan memenuhi keinginan
sadistiknya dengan mitra seksual yang memang senang untuk disakiti. Khayalan dari
pengendalian dan kekuasaan total seringkali penting bagi penderita, dan penderita sadisme
bisa mengikat dan menyumbat mitra seksualnya dengan cara yang rumit. Pada kasus yang
berat, penderita bisa menyiksa, memotong,mencambuk, memasang kejutan listrik atau
membunuh mitra seksualnya.
V oyeurisme

Pada voyeurisme,
seseorang akan terangsang
jika melihat orang lain
yang
menanggalkan
pakaiannya, telanjang atau
sedang
melakukan
hubungan seksual. Voyeurisme merupakan kegiatan mengintip yang menggairahkan, bukan
merupakan aktivitas seksual dengan orang yang dilihat. Voyeurisme dalamtingkatan tertentu
sering terjadi pada anak-anak laki-laki dan pria dewasa, dan masyarakat seringkali menilai
perilaku dalam bentuk yang ringan ini sebagai sesuatu yang normal. Tetapi sebagai suatu
kelainan, voyeurisme merupakan metode aktivitas seksual yang lebih disukai oleh
penderitanya dan bisa menghabiskanwaktu berjam-jam untuk mengintip korbannya. Sebagian
besar penderita adalah pria. Salah satu kriteria yang merupakan ciri khas dari voyeurisme,
yaitu melihatsecara sembunyi-sembunyi.

F etihisme Transvestime
Pada transvestisme, seorang pria kadang lebih menyukai untuk mengenakan pakaian wanita
atau (yang lebih jarang terjadi)
seorang wanita lebih menyukai
untuk mengenakan pakaian pria.
Pada kedua kasus tersebut, baik
pria
maupunwanita,
ingin
merubah
seksnya,
seperti
halnya
pada
transeksualis.
Mengenakan pakaian lawan jenisnya tidak selalu merupakan kelainan jiwa dan mungkin
tidak mempengaruhi hubungan seksual pasangan tersebut. Transvestisme merupakan suatu
kelainan jika: menimbulkan masalah, menyebabkan gangguan tertentu,melibatkan perilaku
berani-mati yang memungkinkan terjadinya cedera, kehilangan pekerjaan atau hukuman
penjara. Penderita mengenakan pakaian lawan jenisnya untuk alasan lainnya selain
rangsangan seksual, seperti untuk mengurangikecemasan, untuk santai atau sebagai suatu
eksperimen (percobaan) dengan sisifeminin yang mereka miliki.
Ada lima macam intervensi psikiatrik yang digunakan dalam kasus parafilia : kontrol
eksternal, pengurangan dari dorongan seksual, pengobatan kondisi komorbid (seperti depresi
atau kecemasan), terapi cognitive-behavioral, dan psikoterapi dinamik. Penjara adalah sebuah
kontrol eksternal untuk pelaku kejahatan seksual yang biasanya tidak mengandung komponen
pengobatan. Saat kejahatan seksual terjadi dalam lingkungan pekerjaan atau keluarga, kontrol
eksternal berasal dari atasan, rekan kerja, atau anggota keluarga yang lebih tua, dan
menyarankan kepada korban untuk menghilangkan adanya kesempatan bagi pelaku kejahatan
seksual. Terapi obat, termasuk di dalamnya obat-obatan antipsikotik atauantidepresan,
digunakan untuk mengobati skizofrenia atau gangguan depresif jika pelaku parafilia
menderita gangguan ini. Antiandrogen, contohnya cyproteroneacetate di Eropa atau
medroxyprogesterone acetate (depo-Provera) di Amerika, dapat mengurangi dorongan
perilaku seksual dengan mengurangi kadar serumtestosteron menjadi di bawah normal. Agen
serotonergik seperti fluoxetine (Prozac) juga digunakan dengan angka keberhasilan yang kecil
pada pasien parafilia.
Terapi cognitive-behavioral digunakan untuk mengintervensi pola parafilia yang
sudah terbentuk pada pasien parafilia dan memodifikasi tingkah laku pasien menjadi dapat
diterima oleh masyarakat. Intervensi ini termasuk pelatihan kemampuan sosial, edukasi
seksual, pembangunan kembali fungsi kognitif, dan mengembangkan empati kepada korban.
Imaginal desensitization, teknik relaksasi,dan mempelajari hal-hal yang menjadi pencetus
terjadinya parafilia sehinggastimulus-stimulus tersebut dapat dihindari oleh pasien. Pada
terapi modified aversive behaviour , salah satu pasien direkam dalam video sedang melakukan
aksi parafilia dengan manekin. Kemudian pasien dihadapkan dengan seorang terapis dan
sekelompok orang yang menanyakan tentang perasaan, pikiran, motivasi yang berkaitan
dengan perilaku pasien dan secara berulang mencoba untuk memperbaikidistorsi
kognitif
serta kurangnya empati pasien terhadap korban.
Psikoterapi insight-oriented adalah sebuah terapi jangka panjang. Pasienmempunyai
kesempatan untuk mengerti perubahan mereka dan kejadian-kejadian yang menyebabkan
parafilia berkembang. Secara singkat, mereka menjadi mengerti tentang kejadian sehari-hari
yang menyebabkan mereka kambuh. Pengobatan ini membantu mereka dalam menghadapi
kehidupan dan meningkatkan kemampuan mereka untuk hidup dengan pasangannya.
Psikoterapi juga dapat meningkatkan rasa percaya diri pasien dan hal ini dapat membuat
mereka memiliki kemampuan pendekatan terhadap pasangannya secara normal.
Prognosis buruk pada parafilia berhubungan dengan onset usia yang awal, tingginya
frekuensi tindakan, tidak adanya perasaan bersalah atau malu terhadap tindakan tersebut dan
penyalahgunaan zat. Prognosis baik jika pasien memiliki riwayat koitus di samping
parafilianya, jika pasien memiliki motivasi tinggi untuk berubah, dan jika pasien dating
ataskemauan sendiri bukan dikirim oleh badan hukum.
C. Gangguan Keinginan dan Gairah Seksual
1. Gangguan Keinginan Seksual
DSM-IV-TR membagi gannguan keinginan seksual menjadi 2 kelas, yaitu hypoactive
sexual desire disorder dan sexual aversion disorder. Kondisi yang pertama lebih sering
daripada kondisi kedua dan wanita lebih sering dibandingkan dengan pria. Di United States,
kira-kira 20 persen orang memiliki kondisi hypoactive sexual desire disorder dengan
penyebab yang bermacam-macam seperti stress kronis, cemas, depresi.
Hypoactive Sexual Desire Disorder
Hypoactive sexual desire disorder dapat dialami oleh wanita maupun pria. Hypoactive
sexual desire disorders sering terjadi pada masa pubertas dan bisa menetap seumur hidup.
Kurangnya keinginan dapat dilihat dari menurunnya frekuensi untu koitus, persepsi pasangan
yang tidak atraktif, dan ada keluhan kurangnya keinginan. Dari orangnya tersebut dapat
dilihat sedikit atau tidak ada pikiran atau hasrat untuk berhubungan seksua, kuranya
awareness terhadap tanda-tanda seksual, dan sedikit tertarik terhadap pengalaman seksual.
Adanya keinginan disebabkan oleh beberapa faktor: biologis, kepercayaan diri cukup,
memiliki pengalaman seksual yang bagus sebelumnya, pasangan yang sesuai, dan
berhubungan nonseksual dengan satu pasangan. Rusaknya salah satu dari faktor tersebut dapat
menyebabkan gangguan keingingan.
Terkadang biokimia berhubungan dengan hypoactive desire. Penelitian memperlihatkan
rendahnya serum testosteron pada pria dengan disfungsi tersebut dan adanya blok central
dopamine bisa menyebakan kurangnya keinginan seksual. Absennya seseorang dari seks
dalam waktu yang lama dapat menekan impuls seksual. Dokter dalam menegakkan diagnosis
harus mengevaluasi umur pasien, kesehatan secara umum, stres dan harus membangun dasar
interest seks pasien sebelum gangguan muncul.
Kriteria diagnosis :

Kekurangan khayalan seksual dan keinginan untuk aktivitas seksual yang persisten
atau rekuren. Pertimbangan kekurangan atau tIdak adanya hal tersebut dilakukan oleh
klinisi dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi seksual
seperti usia dan konteks kehidupan pasien.

Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau kesulitan interpersonal.

Disfungsi seksual tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan aksis lainnya dan semata
%mata bukan efek fisiologis langsung dari suatu zat atau suatu kondisi medis umum.
Aversion Disorder
Kriteria diagnosis :

Keengganan ekstrim yang persisten atau rekuran dan menghindari semua kontak
seksual dengan pasangan seksual.

Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau kesulitan interpersonal.

Disfungsi seksual tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan aksis ' lainnya.
Definisi aversion disorder menurut DSM IV-TR adalah penolakan dan penghindaran
kontak genital terhadap pasangannya yang terus menerus atau berulang. Dokter sebaiknya
berpikir mengenai fobia dan kemuakan dalam hubungannya dengan pasien dengan aversion
disorder. Menurut penelitian Sigmund Freud menurunnya keinginan untuk berhubungan
seksual karena adanya penghambat saat fase perkembangan phallic psychosexual (pada lakilaki takut kepada vagina dan percaya alat seksual mereka akan dirusak saat menyentuh
vagina) dan belum selesainya oedipal conflicts.
Gangguan ini dapat merupakan hasil dari trauma seksual, seperti pelecehan seksual
saat anak-anak, dari pengalaman yang mebuat sakit ketika koitus, dari konflik saat
perkembangan awal (meninggalkan pasien dengan koneksi sadar antara dorongan seksual dan
perasaan yang luar biasa dari rasa malu dan rasa bersalah) atau merupakan reaksi terhadap
serangan psikologis yang diterima dari pasangan dan terhadap hubungan yang sulit.
b. Sexual Arousal Disorders
DSM-IV-TR membagi sexual arousal disorders menjadi dua yaitu female sexual
arousal disorder dan male erectile disorder. Diagnosis dilihat dari fokus, intensitas, dan
durasi dalam aktivitas seksual.
Female Sexual Arousal Disorder
Kriteria diagnosis :

Ketidakmampuan rekuren atau menetap untuk mencapai atau mempertahankan respon
lubrikasi pembengkakan yang adekuat dari rangsangan seksual sampai selesainya
aktivitas seksual.

Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau kesulitan interpersonal.

Disfungsi seksual tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan aksis lainnya dan semata
%mata bukan efek fisiologis langsung dari suatu zat atau suatu kondisi medis umum.
Wanita yang memiliki gangguan gairah seksual kadang dapat memiliki gangguan
orgasm juga. Sekitar 14 sampai 19 persen wanita disfungsi seksual kesulitan dalam lubrikasi,
44 persen wanita postmenopaus mengeluhkan kesulitan lubrikasi yang menetap maupun
hilang timbul. Beberapa faktor psikologis berhubungan deengan terhambatnya seksual pada
wanita. Masalah tersebut terlihat saat terhambatnya gairah atau orgasm, bisa juga dari
dyspareunia atau kurangnya keiginan untuk melakukan hubungan seksual.
Penelitian Masters and Johnson memperlihatkan bahwa respons normal wanita
terhadap keinginan seksual adalah saat sebelum menstruasi. Wanita yang disfungsional, lebih
responsif sesaat setelah periodnya, ada juga yang responsif saat waktu ovulasi. Beberapa
keterangan menyebutkan bahwa wanita yang disfungsi dalam seksual sedikit tahu terhadap
perubahan pada dirinya saat adanya gairah seperti vasocongestion.
Beberapa penyebab female sexual arousal disorder yaitu perubahan konsentrasi
testosterone, estrogen, prolaktin, dan tiroksin. Pengobatan seperti antihistamin atau
anticholinergic mengurangi lubrikasi vagina.vaginal lubrication dan memengaruhi gairah
seksual. Pada wanita yang post menopause membutuhkan waktu yang lebih lama dalam
menstimulasi proses lubrikasi terjadi.
D. Gangguan Orgasmik
Merupakan salah satu bentuk disfungsi seksual akibat adanya masalah pada fase
orgasme atau saat pencapaian puncak kebahagian seksual.
-
Pada wanita
Gangguan orgasme pada wanita merupakan gangguan kearah inhibisi dari pemuasan
puncak seksual yang disebut anorgasmia. Anorgasmia dapat didefinisikan sebagai inhibisi
orgasme wanita yang berulang dan menetap serta dpaat bermanifestasi sebagai
keterlambatan orgasme atau tidaknya orgasme setelah fase perangsangan seksual yang
adekuat dalam fokus, intensitas, dan durasi.
Kriteria diagnostik untuk gangguan orgasme pada wanita:
1. Keterlambatan atau tidak adanya orgasme yang menetap atau berulang setelah fase
rangsangan seksual yang normal muncul.
2. Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau kesulitan interpersonal.
3. Disfungsi seksual semata-mata bukan efek fisiologis langsung dari suatu zat atau
kondisi medis umum.
Orgasme pada wanita normal dapat terjadi bila ada rangsangan seksual yang cukup intens
dan adanya stimulus pada klitoris maupun vagina karena pada dasarnya kepuasan
rangsangan pada klitoris dan vagina sama saja.
Faktor psikologis yang berhubungan dengan dengan masalah orgasmik pada wanita
berhubungan dengan ketakutan menjadi hamil, penolakan oleh pasangan seksual,
kerusakan vagina, permusuhan terhadap pria, dan munculnya perasaan bersalah terhadap
impuls seksual.
-
Pada pria
Gangguan orgasmik pria merupakan maslaah yang dialami pria ketika mendapatkan
kesusahan untuk mencapai ejakulasi saat koitus. Selain itu dapat juga muncul gejala
adanya ejakulasi yang cepat sebelum waktunya serta adanya penurunan rasa kenikmatan
subjektif selama orgasme (anhedonia orgasmik).
Kriteria diagnostik untuk gangguan orgasme pada wanita:
1. Keterlambatan atau tidak adanya orgasme yang menetap atau berulang setelah fase
rangsangan seksual yang normal muncul.
2. Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau kesulitan interpersonal.
3. Disfungsi seksual semata-mata bukan efek fisiologis langsung dari suatu zat atau
kondisi medis umum.
Gangguan orgasmik pada pria dapat menunjukan psikopatologi yang parah terutama yang
dialami seumur hidup.Pria yang biasanya berasal dari latar belakang yang kaku mungkin
saja memandang seks sebagai hal yang kotor.
Disfungsi Ereksi
Disfungsi Ereksi atau erectile dysfunction adalah disfungsi sexsual yang ditandai
dengan ketidakmampuan atau mempertahankan ereksi pada pria untuk mencapai kebutuhan
sexsual dirinya sendiri maupun pasangannya. Disfungsi ereksi (DE) merupakan masalah yang
signifikan dan umum di bidang medis, merupakan kondisi medis yang tidak berhubungan
dengan proses penuaan walaupun prevalensinya meningkat sejalan dengan bertambahnya usia
Banyak faktor yang berhubungan dengan terjadinya DE ini. Walaupun secara garis
besar faktor penyebabnya dibagi menjadi penyebab fisik (organik), psikologis (psikogenik),
tetapi belum tentu salah satu faktor tersebut menjadi penyebab tunggal DE. Faktor terjadinya
DE adalah:
1. Penyakit kronik (misalnya aterosklerosis, diabetes dan penyakit jantung)
2. Obat-obatan, contoh antihipertensi (terutama diuretik thiazid dan penghambat
beta), antiaritmia (digoksin), antidepresan dan antipsikotik (terutama neuroleptik),
antiandrogen, antihistamin II (simetidin), (alkohol atau heroin), obat penenang,
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Di
litium
Pembedahan/ operasi misal operasi daerah pelvis dan prostatektomi radikal
Trauma (misal spinal cord injury)
Radioterapi pelvis.
Inflamasi prostat (prostatitis)
Penyakit parah (anemia, tuberkulosis, pneumonia, dll)
Gangguan hormonal
Multiple sclerosis dan penyakit saraf lainnya
antara sekian banyak penyebab fisik, gangguan vaskular adalah penyebab yang
paling umum dijumpai. Faktor psikologis dapat menyebabkan cacat fisik ringan menjadi DE.
Banyak pria merasa gagal sebagai lelaki ketika daya seksual mereka melemah.Kegagalan
awal mempertahankan ereksi menimbulkan kecemasan dan stress yang pada gilirannya justru
memperburuk DE. Hal tersbut menjadi lingkaran setan. Beberapa masalah psikologis yang
dapat menyebabkan DE antara lain:
1
Kurangnya kepercayaan diri
2
Gangguan hubungan personal
3
Kurangnya hasrat seksual
4
Cemas, depresi, stress, kepenatan, kehilangan, kemarahan
5
Konflik rumah tangga
Ereksi terjadi melalui 2 mekanisme:
Pertama, adalah reflex ereksi oleh sentuhan pada penis (ujung batang dan
sekitarnya).
Kedua, ereksi psikogenik karena rangsangan erotis. Keduanya menstimulir sekresi nitric
oxide yang memicu relaksasi otot polos batang penis (corpora cavernosa), sehingga aliran
darah ke area tersebut meningkat dan terjadilah ereksi. Disamping itu, produksi testosteron
(dari testis) yang memadai dan fungsi hipofise (pituitary gland) yang bagus, diperlukan untuk
ereksi.
Ereksi merupakan hasil dari suatu interaksi yang kompleks dari faktor psikologik,
neuroendokrin dan mekanisme vaskular yang bekerja pada jaringan ereksi penis. Organ
erektil penis terdiri dari sepasang korpora kavernosa dan korpus spongiosum yang
ditengahnya berjalan urethra dan ujungnya melebar membentuk glans penis. Korpus
spongiosum ini terletak di bawah kedua korpora kavernosa. Ketiga organ erektil ini masingmasing diliputi oleh tunika albuginean yang kemudian dilapisi oleh suatu selaput kolagen
yang kurang padat yang disebut fasia Buck.
Pada disfungsi ereksi, tanda-tandanya adalah sebagai berikut:
1. Tidak mampu ereksi sama sekali atau tidak mampu mempertahankan ereksi secara
berulang ( paling tidak selama 3 bulan ).
2. Tidak mampu mencapai ereksi yang konsisten
3. Ereksi hanya sesaat ( dalam referensi tidak disebutkan lamanya )
Prinsip penatalaksanaan dari disfungsi seksual pada pria dan wanita adalah sebagai berikut:
1. Membuat diagnosa dari disfungsi seksual
2. Mencari etiologi dari disfungsi seksual tersebut
3. Pengobatan sesuai dengan etiologi disfungsi seksual
4. Pengobatan untuk memulihkan fungsi seksual, yang terdiri dari pengobatan bedah dan
pengobatan non bedah (konseling seksual dan sex theraphy, obat-obatan, alat bantu seks,
serta pelatihan jasmani).
Penanganan
disfungsi
ereksi tentu
harus
disesuaikan
dengan
penyebabnya.
Penangannan disfungsi ereksi melibatkan keikutsertaan pasangan suami-istri. Karena gaya
hidup
sangat
berperan,
maka
modifikasi
gaya
hidup
sangat
berperan
dalam
penatalaksanaannya. Pria yang mengalami disfungsi ereksi harap mengurangi konsumsi
rokok, menghindari kegemukan, dan meningkatkan aktivitas fisik. Kadang diperlukan terapi
psikoseksual untuk mengatasi penyebab psikogenik seperti kecemasan dan depresi.
Berbagai jenis pengobatan yang tersedia untuk mengatasi masalah DE dapat dilihat
pada tabel 1. Terdapat banyak cara yang digunakan untuk terapi DE, salah satunya adalah
dengan obat oral yang mulai dipasarkan secara luas yaitu sildenafil. Obat ini hanya bekerja
bilamana terdapat stimulasi seksual dan diminum satu jam sebelum aktifitas seksual dengan
dosis antara 25 – 100mg. Sildenafil bekerja dengan menghambat kompetitif enzim PDE 5
yang banyak terdapat pada korpus kavernosus penis, sehingga menyebabkan relaksasi otot
polos yang terdapat berlangsung lebih lama, dengan demikian ereksi juga akan berlangsung
lebih lama. Masih banyak kontradiksi mengenai penggunaan sildenafil dalam penatalaksanaan
DE, dengan angka keberhasilannya sekitar 60-70 %. Pada penderita diabetes angka
keberhasilan hanya sekitar 50 %. Kontraindikasi pemakaian sildenafil adalah pasien yang
menggunakan preparat nitrat, adanya riwayat stroke, infark miokard, hipotensi, penyakit
degeneratif retina dan obat yang membuat waktu paruh sildenafil menjadi lebih panjang.
Penanganan disfungsi ereksi dengan farmakologi dan bedah dibagi menjadi 3 lini
terapi, yaitu:
Terapi lini pertama
Terapi lini pertama yaitu memberi oral pada pasien. Untuk tahap ini, Badan
Pengawasan Obat-obatan dan Makanan telah mengizinkan tiga jenis obat yang beredar di
Indonesia, masing-masing dikenal dengan jenis obat
a.
Sildenafil (viagra),
b.
Tadalafil (Cialis) dan
c.
Vardenafil (Levitra).
Ketiga jenis obat ini merupakan obat untuk menghambat enzim Phosphodiesterase-5
(PDE-5), suatu enzim yang terdapat di organ penis dan berfungsi untuk menyelesaikan ereksi
penis. Ketiga jenis obat ini memiliki kelebihan dan kekurangan :
a. Sildenafil merupakan preparat erektogenik golongan PDE-5 yang pertama kali
ditemukan. Mula kerja Sildenafil antara ½ jam – 1 jam. Sedangkan masa kerjanya
berkisar 5-10 jam. Dari segi profilnya, Sildenafil tidak begitu selektif dalam
menghambat PDE-5. karena, zat ini ternyata juga menghambat PDE-6, jenis enzim
yang letaknya di mata. Kondisi ini menyebabkan penglihatan mata menjadi biru
(blue vision). Obat ini juga tidak bisa diminum berbarengan dengan makanan
karena absorsi (penyerapannya) akan terganggu jika lambung dalam kondisi
penuh.
b. Vandenafil, lebih selektif dalam menghambat PDE-5 mengingat dosisnya
tergolong kecil yaitu antara 10mg-20mg. Mula kerjanya lebih cepat, 10 menit –
1jam, dengan masa kerja 5-10 jam. Keunggulan Vandenafil adalah absorsinya
tidak dipengaruhi oleh makanan. Jadi jika Anda ingin melakukan hubungan intim
dengan istri setelah candle light dinner, boleh-boleh saja. Kelemahannya, akan
terjadi vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah di hidung sehingga menyebabkan
hidung tersumbat). Biasanya minum pertama akan menyebabkan pening.
c. Tadalafil, masa kerjanya jauh lebih panjang yaitu 36 jam. Mula kerjanya sekitar 1
jam dan tidak dipengaruhi oleh makanan sehingga absorsinya tidak terganggu.
Kekurangannya, obat ini juga menghambat PDE-11 enzim yang letaknya di
pinggang sehingga jika mengkonsumsi ini, si pria akan mengalami rasa sakit di
pinggang.
Sedangkan farmakologi topikal dapat digunakan pada penderita yang tidak dapat
mengkonsumsi obat penghambat PDE 5. Obat topikal dioleskan pada kulit batang penis dan
glans penis. Beberapa agen yang biasa digunakan adalah solusio minoksidil, nitrogliserin dan
gel papaverin. Sementara penggunaan VCD bertujuan untuk memperbesar penis secara pasif
yang kemudian cincin pengikat pada pangkal penis akan mempertahankan darah dalam penis.
Namun penggunaan VCD ini dapat menimbulkan efek samping berupa nyeri, sulit ejakulasi,
perdarahan bawah kulit (petekie) dan baal.
Disfungsi Ejakulasi
Ada beberapa tipe kelainan ejakulasi, yaitu:
1. Ejakulasi premature; ejakulasi yang muncul sebelum atau segera setelah penetrasi
penis ke liang vagina.
2. Ejakulasi yang terhambat; ejakulasi yang lambat untuk muncul
3. Ejakulasi retrograde; ejakulasi yang timbul ketika orgasme dan mengalir kembali ke
kandung kemih melalui urethra.
Ada yang menyebutkan batasan untuk ejakulasi premature apabila tidak dapat mengendalikan
ejakulasi untuk jangka penjang selama hubungan intravagina untuk memuaskan pasangannya
sekurangnya pada setengah episode koitus. Lebih sering ditemukan pada pria dengan
pendidikan tinggi. Kesulitan dalam mengendalikan ejakulasi mungkin berhubungan dengan
kecemasan terhadap tindakan seksual atau ketakutan yang tidak disadari terhadap vagina.
E. Gangguan Nyeri Seksual
Dispareunia
Dispareunia berarti nyeri alat kelamin yang menetap atau berulang, yang berkaitan
dengan hubungan seksual (masuknya penis ke vagina) atau upaya memasukkan objek ke
vagina (baik sebagian atau keseluruhan), yang menyulitkan diri sendiri atau menimbulkan
ketidaknyamanan. Makna lain dyspareunia adalah sensasi nyeri saat vagina sedang atau telah
lengkap dimasuki, pengalaman nyeri selama persetubuhan (sexual intercourse) dan/atau nyeri
nonseksual dengan penetrasi vagina, atau nyeri alat kelamin yang dialami sebelum, selama,
atau setelah senggama. Secara singkat, dispareunia ialah hubungan seksual yang
menimbulkan rasa nyeri pada kelamin atau sekitar kelamin. Dispareunia dapat dialami oleh
pria maupun wanita, wanita lebih sering. Dispareunia dapat bersifat dangkal (superfi cial)
atau dalam (deep), akut atau kronis, sementara atau sepanjang waktu. Dispareunia bersama
vaginismus dan nyeri seksual nonkoitus (Noncoital Sexual Pain) dikelompokkan sebagai
gangguan nyeri seksual (Sexual Pain Disorders, SPD).
Upaya empiris pertama untuk menggambarkan subtipe dispareunia dilakukan oleh
Meana dkk (1997).24 Dua subtipe dispareunia adalah superfi cial dyspareunia dan deep
dyspareunia. Disebut superfi cial dyspareunia bila sensasi nyeri dirasakan di vaginal introitus.
Mayoritas wanita merasakan subtipe ini. Disebut deep dyspareunia bila sensasi nyeri
dirasakan di bagian dalam pelvis selama masuknya penis. Dispareunia juga diklasifi kasikan
menjadi primer (nyeri muncul dari saat mulai bersenggama) dan sekunder (rasa tak nyaman
bersenggama dirasakan setelah dimulainya sensasi bebas-nyeri saat senggama), dengan
kategorisasi lebih lanjut: komplet/lengkap (selama semua episode) atau situasional/ sesaat
(hanya selama persetubuhan tertentu atau dengan pasangan tertentu).
Beberapa faktor psikis pencetus dispareunia, seperti: (1) Riwayat trauma seksual,
misalnya: incest, diperkosa. Ada yang beranggapan hal ini tidak berperan penting
menyebabkan dispareunia, (2) Persetubuhan sebelumnya nyeri, dengan alasan/penyebab
apapun, (3) Rasa takut, cemas (ansietas) berlebihan, (4) Rasa bersalah (konflik dengan
keluarga, agama, sistem nilai, adat-istiadat, sahabat, kerabat, dsb), ketidaktahuan (harapan
penampilan yang tak realistik, fantasi seksual berlebihan, misinformasi seksualitas dan
hubungan sosial, dsb), faktor lingkungan (kejenuhan, tidak ada keleluasaan pribadi atau
privacy, preokupasi karir atau orangtua, kurangnya waktu, kurangnya kehangatan dan
kebersamaan),
(5)
Problematika
pernikahan,
misalnya:
penderitaan,
tekanan,
ketidakharmonisan, dan sebagainya. Meliputi faktor perilaku (behavioural), kognitif, dan
afektif. Pada studi yang melibatkan lebih dari 1400 remaja wanita, mereka yang dispareunia
setidaknya dalam 6 bulan terakhir, lebih banyak melaporkan riwayat siksaan seksual di masa
lalu (past sexual abuse), ketakutan terhadap siksaan fisik, dan ansietas bila dibandingkan
dengan control. Penyiksaan atau trauma seksual dan fi sik di masa anak (severe physical or
sexual childhood abuse) berisiko 4-6 kali lipat menjadi dispareunia dan nyeri genital di masa
dewasa.
Pada persistent dyspareunia, beberapa lokasi paling nyeri seperti: di daerah introitus
vagina, vagina, uretra, kandung kemih, pelvis, atau tersebar dan tak dapat ditentukan pasti
lokasinya. Penderita dispareunia bisa memiliki pendapat negatif tentang interaksi seksual.
Bila berlangsung lama pada wanita bisa menyebabkan vaginismus, pada pria bisa
menyebabkan ejakulasi dini atau disfungsi ereksi. Hanya sedikit wanita dyspareunia disertai
depresi dan gangguan cemas. Depresi bukan penyebab rasa nyeri dyspareunia. Pendekatan
klinis dilematis karena kurangnya standarisasi temuan pemeriksaan fisik, ketidaksesuaian
antara temuan fisik yang objektif dengan keluhan penderita yang subjektif, kurangnya pilihan
terapi terutama dengan diagnosis yang belum jelas.
Dispareunia dapat dibuatkan diagnose banding dengan endometriosis, kelainan
lubrikasi vagina, kelainan bentuk anatomis uterus, infeksi vagina. Di dalam praktik,
dispareunia sulit dibedakan dari vaginismus, dengan asumsi keduanya memiliki persamaan di
lima elemen, yaitu: persentase sukses penetrasi vagina, sensasi nyeri atau takut saat (atau
selama) penetrasi vagina, disfungsi otot dasar pelvis, dan komorbiditas medis. Rekomendasi
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V menyarankan dispareunia dan
vaginismus digabung menjadi satu kesatuan diagnostic disebut genito-pelvic pain/penetration
disorder.
Terapi dilakukan sesuai penyebab atau faktor yang mendasarinya. Intervensi terapi
medis (farmakoterapi) meliputi pemakaian anestesi lokal (misalnya lidokain topikal) atau
salep kortikosteroid. Alternatif medikamentosa lainnya berupa fl uconazole dan cromolyn
cream. Pada kasus vulvar vestibulitis syndrome (VVS), pembedahan/operasi (misalnya
dengan terapi laser, vestibulectomy atau pembuangan jaringan vestibular yang nyeri). Untuk
mengatasi kekeringan vagina, dapat diberikan kontrasepsi oral estrogen dosis rendah,
histamine-1 blockers generasi pertama, tamoxifen, dan agen antikolinergik (misalnya:
diphenhydramine HCl). Untuk mengatasi nyeri vulva, dipertimbangkan pemberian kromolin
sulfat topikal; salep likokain 5% dipakai malam hari untuk 7 minggu, krim capsaicin 0,025%,
dipakai selama 20 menit setiap hari, selama 12 minggu. atau gabapentin topikal (2% hingga
6%). Gel aplikasi vagina yang mengandung ekstrak tanaman Hops (Humulus lupulus) dapat
efektif mengatasi dispareunia. Untuk kasus entry dyspareunia yang disebabkan provoked
vestibulodynia, obat pilihannya adalah amitriptilin topikal 2% di dalam krim sorbolene
(cetomacrogol aqueous). Terapi estrogen lokal efektif mengurangi dispareunia dan kekeringan
vagina (vaginal dryness). Terapi hormon sistemik dengan estrogen, estrogen/progesteron,
estrogen/ testosteron dan tibolon memiliki pengaruh positif pada disfungsi seksual selama
masa peri- dan pascamenopause.
Terapi nonmedis meliputi terapi fisik (seperti electromyographic biofeedback) dan cognitivebehavioral therapy (CBT). Terapi fisik ini bertujuan untuk mengendalikan dan
merelaksasikan otot dasar panggul. Sedangkan fokus utama program CBT adalah manajemen
nyeri, perbaikan, sekaligus peningkatan fungsi seksual terutama peningkatan hasrat seksual.
Cara lain yakni dengan program “penetration desensitization”, yaitu: penderita didukung
penuh untuk memasukkan satu jarinya, lalu dua, kemudian tiga, ke dalam vaginanya, sambil
merelaksasi otot-otot organ bagian bawah (seperti: vagina dan panggul), dilakukan secara
bertahap dan teratur. Program ini hanya disarankan untuk wanita yang telah menikah, bukan
untuk mereka yang masih gadis/ perawan. Penting diingat dan ditekankan untuk
mengendalikan spasme otot involunter yang terjadi. Terapi desensitisasi berupa latihan
merelaksasikan vagina dapat mengurangi nyeri. Senam Kegel diperlukan untuk otot
perineum. Terapi dasar panggul juga efektif mengatasi dispareunia. Bila perlu, boleh
dipadukan dengan terapi seks, psikoterapi,dan konseling
Vaginismus
Kontraksi otot pada sepertiga bagian luar vagina yang terjadi secara involunter
sehingga menghalangi insersi penis dan hubungan seks. Respon dapat terjadi selama
pemeriksaan ginekologi saat konstriksi vagina involunter menghalangi masuknya spekulum
ke dalam vagina. Keadaan ini paling sering mengenai wanita berpendidikan tinggi dan
kelompok sosial ekonomi tinggi. Wanita yang memiliki vaginismus dapat secara sadar
berharap melakukan koitus tetapi secara tidak disadari berharap untuk menghalangi penis
memasuki tubuhnya. Suatu trauma pemerkosaan dapat menyebabkan vaginismus karena
wanita dengan konflik psikoseksual dapat menganggap penis sebagai senjata. Selain itu
kenangan nyeri saat koitus pertama juga dapat menyebabkan vaginismus.
Kriteria diagnostik vaginismus:
1. Spasme involunter yang menetap atau rekuren pada otot-otot sepertiga bagian bawah
vagina yang mengganggu hubungan seksual.
2. Gangguan menyebabkan penderitaan yang jelas atau kesulitan interpersonal.
3. Gangguan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan aksis I lainnya dan semata-mata
bukan efek fisiologis langsung dari suatu zat atau suatu kondisi medis umum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry. 10th ed. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia. 2007
2. FKUI. Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2. 2013
3. Feldman HA, Goldstein I, Hatzichrictou DG, Krane RJ, McKinley JB. Impotence and its
medical and psychosocial correlates : results of the Massachusetts male aging study. J
Urol 1994.151:54-61.
4. Garbett R. “New generation ED treatment” in pipeline. Asian Medical News 2000.22:5.
5. Basson R, Berman J, Burnett A, Derogatis L, Ferguson D, Fourcroy J, et al. Report of the
international consensus development conference on female sexual dysfunction: Defi
nitions and classifi cation. Journal of Urology 2003;163:888-893.
6. Basson R, Shultz WCW, Binik YM, Brotto LA, Eschenbach DA, Laan E, et al. Women’s
sexual desire and arousal disorders and sexual pain. In: Lue TF, Bassoon R, Rosen R,
Giuliano F, Khoury S, Montorris F, editors. Sexual medicine: sexual dysfunctions in men
and women. Paris, France: Health Publications; 2004. p.851-974.
7. World Health Organization. Manual of the international statistical classifi cation of disease
and related health problems, 10th revision (ICD-10). Geneva: World Health Organization;
2000.
8. Colson M, Lemaire A, Pinton P, Hamidi K, Klein P. Sexual behaviours and mental
perception, satisfaction and expectations of sex life in men and women in France. Journal
of Sexual Medicine.2005;3:121-31.
9. Clayton AH, Campbell BJ, Favit A, et al. Symptoms of sexual dysfunction in patients
treated for major depressive disorder: a meta-analysis comparing selegiline transdermal
system and plasebo using a patient-rated scale. Journal of Clinical Psychiatry
2007;68:1860-6.
Download