“Perihal Perikatan”. Perkataan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Umum tentang Perjanjian
Buku III B.W. berjudul “Perihal Perikatan”. Perkataan “perikatan”
(verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian”, sebab
dalam Buku III itu, diatur juga perihal perhubungan hukum yang sama sekali tidak
bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang
timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal
perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak
berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming). Tetapi, sebagian besar dari Buku III
ditujukan pada perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian.
Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa
suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undangundang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatanperikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang
karena suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi lagi atas
perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan lahir
dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum (Subekti, 1989: 122).
1.1 Pengertian Perjanjian
Perjanjian merupakan perikatan yang paling banyak terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat, baik masyarakat umum maupun badan hukum dan
perjanjian itu lahir karena ada dua orang atau lebih para pihak yang
8
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
mengikatkan diri sehingga terjadi perikatan. Perjanjian menerbitkan suatu
perikatan antara dua orang yang membuatnya dan bentuk perjanjian itu
berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perjanjian melahirkan perikatan.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan
pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau pihak
yang berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan
dinamakan debitur atau pihak berutang. Hubungan antara dua orang atau dua
pihak tadi adalah suatu perhubungan hukum, yang berarti bahwa hak pihak
berpiutang ini dijamin oleh hukum atau undang-undang. Perjanjian atau
overeenkomst adalah hubungan hukum yang oleh hukum itu sendiri diatur
dan disahkan cara perhubungannya oleh karena itu perjanjian yang
mengandung hubungan hukum antara seseorang adalah hak-hak yang terletak
dan berada dalam lingkungan hukum (Subekti, 1995: 1).
Perjanjian atau persetujuan batasannya diatur dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi: “suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Mengenai batasan
tersebut para sarjana hukum perdata umumnya berpendapat bahwa definisi
atau batasan rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313
9
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
KUHPerdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas dan banyak
mengandung kelemahan, adapun kelemahannya sebagai berikut:
a.
Hanya menyangkut perjanjian sepihak
Hal ini dapat diketahui dari rumusan satu orang atau lebih mengikatkan
diri terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata ”mengikatkan”
merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,
tidak berarti kedua belah pihak.
Sedangkan maksud dari perjanjian itu mengikat diri dari kedua belah
pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidaknya perlu ada
rumusan
saling
mengikatkan
diri.
Jadi
jelas
nampak
adanya
konsensus/kesapakatan antara kedua belah pihak yang membuat
perjanjian.
b.
Kata “Perbuatan” mencakup juga kata konsensus/kesapakatan dalam
pengertian “perbuatan”, termasuk juga tindakan :
1. melaksanakan tugas tanpa kuasa
2. perbuatan melawan hukum
Kedua hal tersebut merupakan tindakan atau perbuatan yang tidak
mengandung adanya konsensus. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya
sangat luas, karena sebenarnya maksud yang ada dalam rumusan tersebut
adalah “perbuatan hukum”.
c.
Pengertian perjanjian terlalu luas
Untuk pengertian perjanjian dalam hal ini dapat diartikan juga pengertian
perjanjian mencakup melansungkan perkawinan atau janji kawin. Pada
10
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
hal perkawinan sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga, yang
memncakup hubungan lahir bathin. Sedangkan yang dimaksud dalam
perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata adalah hubungan antara debitior
dengan kreditor. Dimana hubungan antara debitor dan kreditor terletak
dalam lapangan hukum harta kekayaan saja selebihnya tidak, jadi, yang
dimaksud hanya perjanjian kebendaan saja, bukan perjanjian personal.
d.
Tanpa menyebut tujuan
Dalam perumusan Pasal 1313 KUHPerdata itu tidak disebut apa
tujuanyang mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan
dirinyaitu tidaklah jelas maksudnya apa (Abdulkadir Muhammad, 2000:
224-225).
Dari kelemahan yang diterangkan diatas, dapat kita perbandingkan pengertian
perjanjian menurut para ahli sebagai berikut:
1) Subekti
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang
lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal. Dari peristiwa ini ditimbulkan suatu hubungan antara dua orang tersebut
yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara
dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis.
11
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
2) Wiryono Projodikoro
Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua
pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan suatu hal, sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu.
Dari pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata dan pendapat
para ahli di atas, rumusan yang dapat dianggap tepat untuk definisi perjanjian
itu adalah :
“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih
saling mengikatkan diri untuk melaksanan suatu hal dalam lapangan
harta kekayaan”.
Selanjutnya untuk adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua
bentuk yaitu perjanjian yang dilakukan dengan tertulis dan perjanjian yang
dilakukan secara lisan. Untuk kedua bentuk perjanjian tersebut sama
kekuatannya dalam arti sama kedudukannya untuk dapat dilaksanakan oleh
para pihak. Hanya saja bila perjanjian dibuat dengan tertulis dapat dengan
mudah dipakai sebagai alat bukti bila sampai terjadi persengketaan (Riduan
Syahrani, 2006: 207)
1.2 Unsur‐Unsur Perjanjian
Apabila kembali kita perhatikan rumusan dari perjanjian, dapat kita
simpulkan unsur-unsur perjanjian sebagai berikut :
a. Ada pihak-pihak sedikitnya dua orang
Pihak-pihak dalam perjanjian disebut sebagai subyek perjanjian, subjek
perjanjian dapat berupa manusia pribadi atau juga badan hukum. Subyek
perjanjian harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum
seperti
yang
ditetapkan
dalam
undang-undang.
Subyek
hukum
12
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
berkedudukan pasif apabila sebagai debitor sedangkan yang berkedudukan
aktif apabila sebagai kreditor.
b. Adanya persetujuan antara pihak-pihak tersebut
Persetujuan disini bersifat tetap, dalam arti bukan baru dalam tahap
berunding. Perundingan hanya merupakan tindakan pendahuluan untuk
menuju pada adanya persetujuan. Dengan disetujuinya oleh masingmasing pihak tentang syarat dan objek perjanjian itu, maka timbullah
persetujuan yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian.
c. Adanya tujuan yang hendak dicapai
Tujuan mengadakan perjanjian, terutama guna memenuhi kebutuhan para
pihak, dan kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi jika mengadakan
perjanjian dengan pihak lain.
d. Adanya prestasi yang akan dilaksanakan
Bila telah ada persetujuan, maka dengan sendirinya akan timbul suatu
kewajiban untuk melaksankannya. Pelaksanaan disini tentu saja berwujud
suatu prestasi. Pasal 1314 ayat (3) menjelaskan, bahwa prestasi dalam
perjanjian meliputi: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu.
e. Adanya bentuk tertentu baik lisan maupun tertulis
Dalam suatu perjanjian bentuk itu sangat penting, karena ada ketentuan
undang-undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu, maka suatu
perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan sebagai bukti.
13
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
f. Adanya syarat tertentu sebagai isi perjanjian
Mengenai syarat tertentu ini sebenarnya sebagai isi dari perjanjian, karena
dengan syarat-syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban dari pihakpihak. Biasanya syarat ini dapat dibedakan syarat pokok dan syarat
tambahan (Subekti, 2002: 3-4).
1.3 Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
Meskipun hukum perjanjian menganut sistem terbuka, orang bebas
untuk mengadakan perjanjian, sehingga tidak terikat pada ketentuan-ketentuan
yang telah ada, namun syarat sahnya perjanjian yang dikehendaki oleh
undang-undang haruslah dipenuhi agar berlakunya perjanjian tanpa cela.
Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian secara umum diatur dalam Pasal
1320 KUHPerdata, yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya:
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu dan
d. Suatu sebab yang halal (Djaja S. Meliala, 2007: 91).
Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu :
1)
Syarat Subyektif
Syarat subyektif adalah syarat yang menyangkut pada subyek
perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian di mana hal ini
meliputi:
14
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
a.
Sepakat dari mereka yang mengikatkan diri
Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk
terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini terjadi dengan berbagai
cara, namun yang paling penting adanya penawaran dan
penerimaan atas penawaran tersebut. Cara-cara untuk terjadinya
penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun
dengan tidak tegas, yang penting dapat dipahami atau dimengerti
oleh pihak bahwa telah terjadi penawaran dan penerimaan.
Kesesuaian kehendak ini harus dinyatakan dan tidak cukup
hanya dalam hati saja, karena hal itu tidak akan diketahui oleh
orang lain sehingga tidak mungkin melahirkan kata sepakat yang
perlu untuk melahirkan perjanjian. Pernyataan sepakat ini tidak
terbatas dengan mengucapkan kata-kata, akan tetapi juga bisa
diwujudkan dengan tanda-tanda yang dapat diartikan sebagai
kehendak untuk menyetujui adanya perjanjian tersebut seperti
tulisan.
Beberapa cara terjadinya kesepakatan/terjadinya penawaran
dan penerimaan adalah:
a. dengan cara tertulis;
b. dengan cara lisan;
c. dengan simbol-simbol tertentu; dan
d. dengan berdiam diri.
15
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
Seorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya
dilakukan baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta
autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh
para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta
seperti Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, atau pejabat lain
yang diberi wewenang untuk itu.
Kesepakatan lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak
terjadi dalam masyarakat, namun kesepakatan secara lisan ini
kadang tidak disadari sebagai perjanjian padahal sebenarnya sudah
terjadi perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang
lainnya, misalnya seorang membeli keperluan sehari-hari di toko
maka tidak perlu ada perjanjian tertulis, tetapi cukup dilakukan
secara lisan antara para pihak.
Kesepakatan yang terjadi dengan menggunakan simbol-simbol
tertentu sering terjadi pada penjual yang hanya menjual satu
macam jualan pokok, contohnya adalah jual beli sapi dengan
simbol kode antara penjual dan pembeli. Maka, setelah proses
tersebut menciptakan kata sepakat.
Kesepakatan dapat pula terjadi dengan hanya berdiam diri,
misalnya dalam hal perjanjian pengangkutan. Jika kita mengetahui
jurusan mobil-mobil penumpang umum, kita biasanya tanpa
bertanya mau kemana tujuan mobil tersebut dan berapa biayanya,
tetapi kita hanya lansung naik dan bila sampai di tujuan kita pun
16
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
turun dan membayar biaya sebagaimana biasanya sehingga kita
tidak pernah mengucapkan sepakat kata pun kepada sopir mobil
tersebut,
namun
pada
dasarnya
sudah
terjadi
perjanjian
pengangkutan.
Dengan demikian tolak ukur kesepakatan para pihak adalah
pernyataan-pernyataan yang boleh dipegang untuk dijadikan dasar
sepakat adalah pernyataan secara objektif yang dapat dipercaya,
atau yang secara sungguh-sungguh memang dikehendaki oleh para
pihak. Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut diatas,
khususnya syarat kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya
atau lahirnya perjanjian, dapat disimpulkan bahwa tidak adanya
kesepakatan parapihak, berarti tidak akan terjadi perjanjian atau
kontrak.
b.
Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Untuk mengadakan perjanjian, para pihak harus cakap, namun
dapat saja terjadi bahwa para pihak atau salah satu pihak yang
mengadakan perjanjian adalah tidak cakap menurut hukum.
Seorang yang dianggap dewasa dan cakap melakukan perbuatan
hukum menurut hukum dan peraturan perundang-undangan adalah:
1)
KUHPerdata
Menurut KUHPerdata, seorang yang dewasa dan cakap
melakukan perbuatan hukum adalah orang yang telah berumur
21 (dua puluh satu) tahun atau sebelum umur 21 (dua puluh
17
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
satu) tahun telah menikah. Dan serta orang tersebut tidak
berada dibawah pengampuan contoh gelap mata, sakit ingatan
atau pemboros.
2) Undang‐Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(UUP) Pasal 50 ayat (1) UUP menerangkan bahwa anak yang
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada
dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali
artinya bahwa yang dikatakan orang yang cakap melakukan
perbuatan hukum menurut UUP adalah orang yang telah
berumur 18 (delapan belas) tahun keatas atau telah pernah
kawin dan tidak berada dibawah pengampuan.
3) Undang‐Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris syarat orang yang cakap melakukan perbuatan hukum
dalam UU Jabatan Notaris tidak ada perbedaan dengan orang
yang cakap melakukan perbuatan hukum dengan UUP.
4) Hukum Islam
Seseorang dikatakan Dewasa/cakap melakukan perbuatan
hukum menurut Hukum Islam adalah mereka yang telah akhil
balik. Untuk menentukan telah dewasa/cakap, dalam Hukum
Islam tidak dilihat berdasarkan umur orang tersebut tetapi
ditandai, bagi laki‐laki telah datangnya mimpi dan bagi
perempuan telah mengalami datang bulan atau menstruasi.
18
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi oleh para pihak
mengakibatkan perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut dapat
dibatalkan. Pihak yang dapat mengajukan pembatalan itu, adalah pihak
yang tidak cakap atau pihak yang memberikan kesepakatan secara tidak
bebas. Jadi perjanjian yang telah dibuat tetap mengikat, selama tidak
dibatalkan oleh Pengadilan atas permintaan yang berkepentingan.
2)
Syarat Obyektif
Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada objek perjanjian,
ini meliputi:
a. Suatu hal tertentu
Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan
ditentukan para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang
maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal
tertentu dalam kontrak disebut prestasi yang dapat berwujud barang,
keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.
Dengan demikian, maka dalam setiap perjanjian, baik yang
melahirkan perikatan untuk memberikan sesuatu, perikatan untuk
berbuat sesuatu atau perikatan tidak berbuat sesuatu, senantiasa
haruslah ditentukan lebih dahulu kebendaan yang akan menjadi
obyek perjanjian, yang selanjutnya akan menjadi obyek dalam
perikatan yang lahir (baik secara bertimbal balik atau tidak) diantara
para pihak yang membuat perjanjian tersebut Pasal 1332
KUHPerdata juga menjelaskan, bahwa obyek dari perjanjian adalah
19
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
benda yang dapat diperdagangkan, karena benda diluar perdagangan
tidak dapat dijadikan obyek perjanjian.
b. Suatu sebab yang halal
Syarat obyektif lainnya dalam perjanjian yaitu suatu sebab
yang halal yang diatur oleh Pasal 1335 KUHPerdata, yang
menerangkan bahwa suatu sebab yang halal adalah:
1. Bukan tanpa sebab, artinya jika ada sebab lain dari pada yang
dinyatakan;
2. Bukan sebab yang palsu, artinya adanya sebab yang palsu atau
dipalsukan;
3. Bukan sebab yang terlarang, artinya apabila berlawanan dengan
kesusilaan atau ketertiban umum.
Pasal 1335 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik kesimpulan
sebab yang halal itu adalah bahwa perjanjian yang dibuat oleh para
pihak tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan
peraturan
perundangan-undangan
yang
berlaku,
baik
itu
diberlakukan terhadap para pihak maupun objek yang diperjanjikan
(Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2014: 154-161).
1.4 Asas‐Asas Dalam Perjanjian
Menurut Paul Scholten, asas-asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar
yang ada di dalam dan belakang tiap-tiap sistem hukum, yang telah mendapat
bentuk sebagai perundang-undangan atau putusan pengadilan, dan ketentuanketentuan dan keputusan itu dapat dipandang sebagai penjabarannya. Dengan
20
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
demikian, asas-asas hukum selalu merupakan fenomena yang penting dan
mengambil tempat yang sentral dalam hukum positif.
Asas-asas hukum berfungsi sebagai pendukung bangunan hukum,
menciptakan harmonisasi, keseimbangan dan mencegah adanya tumpang
tindih diantara semua norma hukum yang ada. Asas hukum juga menjadi titik
tolak pembangunan sistem hukum dan menciptakan kepastian hukum yang
diberlakukan dalam masyarakat (Paul Scholten, 2007: 23).
Menurut Salim (2003: 9-12) hukum kontrak dikenal lima asas penting,
yaitu asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme
(concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad
baik (good faith) dan asas kepribadian (personality). Kelima asas tersebut
diatas yaitu:
a.
Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
21
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
b.
Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah adanya kata sepakat antara kedua belah pihak.
Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada
umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara
kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
c.
Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta
sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati
substansi
kontrak
yang
dibuat
oleh
para
pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata.
d.
Asas Itikad Baik (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang
berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas ini
merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan
yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik
22
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik
mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan
tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian
terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif
untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma
yang objektif.
e.
Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan
saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata.
Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak
dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”.
Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian,
orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340
KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya”.
Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para
pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian,
ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana ditulis dalam Pasal
1317 KUHPerdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan
untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk
diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu
syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang
23
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga,
dengan adanya suatu syarat yang ditentukan.
1.5 Jenis‐jenis Perjanjian
Jenis-jenis perjanjian adalah :
a. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan
kewajiban kepada kedua belah pihak, misalnya jual beli, sewa menyewa,
pemborongan. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan
kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya
perjanjian hibah, hadiah.
b. Perjanjian percuma dan Perjanjian alas hak yang membebani
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan
pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah.
Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana
terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu mendapat kontra prestasi dari
pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungannya
menurut hukum.
c. Perjanjian bernama dan Perjanjian tidak bernama.
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.
Maksudnya ialah perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh
pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi
sehari-hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab
XVIII KUH Perdata.
24
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
Perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH
Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Terciptanya Perjanjian tidak
bernama didasari karena pada hukum perjanjian, berlakunya asas
kebebasan mengadakan perjanjian (Partij Ekonomi).
d. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik
dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan
perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang
menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan
kewajiban pihak pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang,
penjual berhak atas pembayaran harga.
e. Perjanjian konsesual dan Perjanjian riil.
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada
persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian riil adalah perjanjian
disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan
nyata atas barangnya, misalnya jual beli barang bergerak (Abdulkadir
Muhammad, 1982: 86).
1.6 Berakhirnya Atau Hapusnya Perjanjian
KUHPerdata tidak mengatur secara khusus tentang berakhirnya
perjanjian, tetapi yang diatur dalam Bab IV Buku III KUHPerdata hanya
hapusnya perikatan, walaupun demikian, hubungan antara perikatan dan
perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Berakhirnya
atau hapusnya perikatan juga mengakibatkan berakhirnya perjanjian.
25
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
Berdasarkan Pasal 1381 KUHPerdata hapusnya perikatan karena sebagai
berikut:
a. pembayaran;
b. penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
c. pembaharuan utang;
d.perjumpaan utang atau kompensasi;
e. percampuran utang;
f. pembebasan utang;
g. musnahnya barang yang terutang;
h. kebatalan atau pembatalan;
i. berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab kesatu buku ini;
j. lewatnya waktu (Djaja S. Meliala, 2007: 105).
2. Tinjauan Umum tentang Jual Beli
2.1 Pengertian jual beli
Istilah perjanjian jual beli berasal dari terjemahan dari contract of sale.
Pengertian jual beli menurut KUHPerdata pasal 1457 adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu meningkatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu benda dan pihak lain membayar harga yang telah dijanjikan (Subekti,
2008: 366). Perjanjian Jual beli adalah persetujuan dimana penjual
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan kepada pembeli suatu barang
sebagai milik (en eigendom te leveren) dan menjaminnya (vrijwaren) pembeli
mengikat diri untuk membayar harga yang diperjanjikan (Salim, 2003: 48).
26
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
Lahirnya suatu perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata disebabkan
adanya kesepakatan dari para pihak (Asas Konsesualisme). Sebagaimana
telah disebutkan dimuka, hukum perjanjian dalam KUHPerdata menganut
asas konsesualisme yang artinya hukum perjanjian itu menganut suatu asas
bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan adanya kata sepakat
saja sehingga dengan demikian perikatan yang ditimbulkan lahir pada saat
terjadinya kata sepakat tersebut. Begitu pula dengan saat terjadinya jual beli.
Perjanjian jual beli dianggap telah terjadi pada saat dicapai kata sepakat
antara penjual dan pembeli, hal yang demikian ini telah diatur dalam Pasal
1458 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “ Jual beli dianggap sudah
terjadi antara para pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat
tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun
harganya belum dibayar”. Dengan demikian jual beli itu sebenarnya sudah
terjadi pada waktu terjadinya kesepakatan tersebut (J.Satrio, 1999: 39).
2.2 Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli
Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual beli adalah barang dan
harga. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian
B.W. perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya kata
“sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju
tentang barang dan harga, maka lahirnya perjanjian jual beli yang sah.
Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458
yang berbunyi: “Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak
27
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga,
meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.
2.3 Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Jual Beli
Perjanjian yang dibuat pastinya melahirkan hubungan hukum antara
para pembuatnya. Hubungan hukum itu berisi hak dan kewajiban para pihak.
Hak adalah segala sesuatu yang diterima akibat dari perjanjian yang
dibuatnya sedangkan kewajiban adalah segala sesuatu yang harus
dilaksanakan oleh masing-masing pihak atas segala apa yang telah disepakati
dalam perjanjian yang mereka buat.
Pihak-pihak yang ada dalam perjanjian jual beli biasanya hanya ada 2
(dua) pihak yaitu Penjual dan Pembeli. Oleh sebab itu yang perlu dipaparkan
dalam penulisan ini adalah hak dan kewajiban dari penjual dengan pembeli
dan sebaliknya.
1.
Hak Dan Kewajiban Penjual
Hak merupakan suatu hal yang tidak dipisahkan dari kewajiban.
Hak dari penjual menurut KUHPerdata adalah menerima harga
pembelian atas benda yang dijualnya kepada pembeli. Apabila pembeli
tidak membayar harga pembelian, penjual dapat menuntut pembatalan
perjanjian jual beli tersebut. Dari beberapa ketentuan yang terdapat di
dalam KUHPerdata kewajiban yang utama dari penjual ada dua yaitu:
a. Kewajiban menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan
Berdasarkan Pasal 1475 KUHPerdata penyerahan ialah suatu
pemindahan barang yang telah dijual kedalam kekuasaan dan
28
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
kepunyaan pembeli. Menurut KUHPerdata, walaupun perjanjian jual
beli mengikat para pihak setelah tercapainya kesepakatan, namun
tidak berarti bahwa hak milik atas barang yang diperjual belikan
tersebut
akan
beralih
pula
bersamaan
dengan
tercapainya
kesepakatan karena untuk beralihnya hak milik atas barang yang
diperjual belikan dibutuhkan penyerahan.
Kewajiban menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual
belikan meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan
untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual belikan dari
penjual kepada pembeli, seperti:
1) Penjual berkewajiban menyerahkan suatu barang meliputi segala
sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta dimaksudkan bagi
pemakaiannya yang tetap, beserta surat-surat bukti milik, jika ada
(Pasal 1482 KUHPerdata).
2) Penjual diwajibkan menyerahkan barang yang dijual seutuhnya,
sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian, dengan perubahanperubahan yang pernah dilakukan (Pasal 1483 KUHPerdata).
Dalam KUHPerdata dikenal dua macam penyerahan atas
barang ditinjau dari bentuk penyerahannya. Penyerahan benda
tersebut adalah penyerahan benda yang sesungguhnya dari yang
menyerahkan kepada yang menerima penyerahan atau penyerahan
dari
tangan
ketangan.
Penyerahan
ini
disebut
dengan
“feitelijklevering” atau penyerahan sesungguhnya. Sedangkan
29
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
penyerahan hak atas benda itu dari yang menyerahkan kepada yang
menerima penyerahan disebut “jurisdiche levering” atau penyerahan
yuridis.
Pelaksanaan penyerahan hak milik dari penjual kepada
pembeli untuk setiap barang tidaklah sama, akan tetapi harus melihat
jenis barangnya terlebih dahulu, untuk penulisan ini penulis hanya
membedakan terhadap dua bentuk kebendaan, yaitu:
1) Benda Bergerak
Pasal 509 sampai dengan Pasal 518 Bagian ke empat,
Buku II KUHPerdata merupakan pasal-pasal yang mengatur
mengenai benda bergerak. Pengertian benda bergerak dijelaskan
dalam Pasal 509 KUH Perdata berbunyi “kebendaan bergerak
karena sifatnya ialah kebendaan yang dapat berpindah atau
dipindahkan”.
Jadi
penyerahannya
terhadap
cukup
benda
dilakukan
bergerak,
pelaksanaan
dengan
menyerahkan
kekuasaan saja atas barang itu. Pasal 612 KUHPerdata
menyebutkan bahwa, penyerahan barang bergerak, terkecuali
yang tidak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata
kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan
penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan
itu berada. Terhadap benda bergerak juga terdapat juga
penyimpangan yaitu siapa yang menguasai barang dianggap
30
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
sebagai pemiliknya (bezit geldt als volkmen title). Menurut asas
ini bahwa siapa yang tampak sebagai pemilik harus dipandang
sebagai pemilik dan orang yang menerima barang bergerak
tersebut harus dilindungi oleh hukum.
2) Barang Bergerak Tidak bertubuh
Barang bergerak tidak bertubuh dan piutang atas nama,
cara penyerahannya adalah dengan melalui akta dibawah tangan
atau akta autentik. Akan tetapi, agar penyerahan piutang atas
nama tersebut mengikat bagi si berutang, penyerahan tersebut
harus diberitahukan kepada si berutang atau disetujui dan diakui
secara tertulis oleh si berutang.
3) Benda Tidak Bergerak (Tetap)
Benda tidak bergerak atau tanah, cara penyerahannya
adalah melalui pendaftaran atau balik nama. Seperti pengalihan
hak atas tanah dilakukan melalui Kantor Pertanahan dan
kepemilikan kapal dengan bobot diatas 20 ton dilakukan melalui
Syahbandar atau Administrasi Pelabuhan.
b. Kewajiban
menanggung
kenikmatan,
ketentraman
dan
cacat
tersembunyi atas benda sebagai obyek jual beli
Kewajiban untuk menanggung kenikmatan/ketentraman atas
barang yang dijualnya merupakan konsekuensi logis yang penjual
diberikan kepada pembeli bahwa benda yang dijualnya dan
diserahkan kepada pembeli adalah sungguh-sungguh merupakan
31
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
benda miliknya sendiri yang bebas dari suatu beban atau tuntutan
hukum dari pihak lain. Terhadap hal ini, Pasal 1471 KUHPerdata
menerangkan bahwa jual beli yang dilakukan terhadap milik orang
lain batal demi hukum.
Bebas dari suatu beban artinya adalah bahwa barang yang
dijualnya tidak dijadikan suatu jaminan hutang dari pihak penjual
sedangkan bebas dari tuntutan pihak lain artinya pihak pembeli
dijamin oleh pihak penjual jika ada tuntutan mengenai apa yang
telah dibelinya dari penjual. Kewajiban ini diwujudkan dalam bentuk
kewajiban untuk memberikan penggantian kerugian jika sampai
terjadi si pembeli karena gugatan dari suatu pihak ketiga, dengan
putusan hakim untuk menyerahkan barang yang telah dibelinya
kepada pihak ketiga tersebut.
Setiap penjual berkewajiban bahwa benda yang dijualnya
dalam keadaan baik, sedangkan penjual juga wajib menanggung
apabila benda itu terdapat cacat tersembunyi. Mengenai kewajiban
penjual dalam hal ini telah diatur dalam KUHPerdata, yaitu:
1) Penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada
barang yang dijual, yang membuat barang tak sanggup untuk
pemakaian yang dimaksud, atau yang demikian mengurangi
pemakaian itu. Sehingga, seandainya si pembeli mengetahui cacat
itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan
32
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
membelinya selain dengan harga yang kurang (Pasal 1504
KUHPerdata).
2) Penjual tidaklah diwajibkan menanggung terhadap cacat yang
kelihatan, yang dapat diketahui sendiri oleh pembeli (Pasal 1505
KUHPerdata).
3) Penjual
diwajibkan
menanggung
terhadap
cacat
yang
tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui adanya cacat
itu, kecuali jika ia, dalam hal demikian, telah meminta
diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu
apapun (Pasal 1506 KUHPerdata).
4) Jika penjual telah mengetahui cacat-cacatnya barang, maka selain
diwajibkan
mengembalikan
harga
pembelian
yang
telah
diterimanya, ia juga diwajibkan mengganti segala biaya, kerugian
dan bunga kepada si pembeli (Pasal 1508 KUHPerdata).
5) Penjual diwajibkan mengembalikan harga pembelian, dan
mengganti kepada si pembeli biaya yang telah dikeluarkan untuk
pembelian dan penyerahan, sekadar itu telah dibayar oleh pembeli
(Pasal 1509 KUHPerdata) (Salim, 2003: 54).
2.
Hak Dan Kewajiban Pembeli
Hak utama pembeli dari perjanjian jual beli adalah menerima
barang dari penjual sesuai dengan apa yang diperjanjikan sedangkan
kewajiban yang utama dari pembeli diatur dalam Pasal 1513
KUHPerdata adalah membayar harga pembelian, pada waktu dan
33
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
ditempat
sebagaimana
ditetapkan menurut
perjanjian. Hak
dan
Kewajiban lain berdasarkan KUHPerdata yang dimiliki dan harus
dipenuhi pembeli adalah sebagai berikut:
a. Pembeli dapat menuntut pembatalan pembelian, jika penyerahan
benda yang menjadi obyek jual beli karena kelalaian penjual tidak
dapat dilaksanakan (Pasal 1480 KUHPerdata).
b. Dalam hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 1504 dan 1506, si
pembeli dapat memilih apakah ia akan mengembalikan barangnya
sambil menuntut kembali harga pembeliannya, atau apakah ia akan
tetap memiliki barangnya sambil menuntut pengembalian sebagian
harta, sebagaimana akan ditentukan oleh Hakim, setelah mendengar
ahli-ahli tentang itu (Pasal 1507 KUHPerdata).
c. Pembeli
diwajibkan
membayar
harga
pembelian,
di
tempat
penyerahan benda dilakukan apabila tidak diperjanjikan mengenai
tempat pembayaran harga pembelian (Pasal 1514 KUHPerdata).
d. Pembeli walaupun tidak ada suatu janji yang tegas, diwajibkan
membayar bunga dari harga pembelian, jika barang yang dijual dan
diserahkan memberikan hasil atau lain pendapatan (Pasal 1515
KUHPerdata).
e. Pembeli dapat menangguhkan pembayaran harga pembelian, apabila
pembeli dalam penguasaannya diganggu oleh suatu tuntutan hukum
yang berdasarkan hipotik atau suatu tuntutan untuk meminta kembali
barangnya, atau jika pembeli mempunyai suatu alasan yang patut
34
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
untuk berkuatir bahwa ia akan diganggu dalam penguasaannya,
hingga si penjual telah menghentikan gangguan tersebut kecuali jika si
penjual memilih memberikan jaminan, tersebut atau jika telah
diperjanjikan bahwa si pembeli diwajibkan membayar biarpun segala
gangguan (Pasal 1516 KUHPerdata) (Salim, 2003: 54-57).
3. Tinjauan Umum tentang Itikad Baik
Perjanjian-Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Rumusan
tersebut memberikan arti bahwa sebagai sesuatu yang disepakati dan disetujui
oleh para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati
sepenuhnya, sesuai dengan kehendak para pihak pada saat perjanjian ditutup. Hal
kedua yang mendasari keberadaan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata dengan rumusan itikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat
hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak
dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitur maupun kreditur, maupun
pihak lain atau pihak ketiga lainnya di luar perjanjian. Hal mengenai itikad baik
ini sebenarnya telah kita temukan dalam Pasal 1235 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa:
“Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, termasuk kewajiban untuk
menyerahkan barang yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai
seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan. Luas
tidaknya kewajiban yang terakhir ini tergantung pada perjanjian tertentu;
akibatnya akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan”.
Dalam kaitannya dengan Pasal 1237 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
yang menyatakan bahwa:
35
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
“Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu
menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk
menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu semenjak
perikatan dilakukan menjadi tanggungan” (Kartini Muljadi dan Gunawan
Widjaja, 2014: 79).
Menurut teori klasik, asas itikad baik hanya berlaku pada saat
penandatanganan dan pelaksanaan kontrak. Sebalinya, menurut pandangan teori
kontrak yang modern janji prakontrak harus didasarkan pada itikad baik, sehingga
pihak yang ingkar janji dapat dituntut untuk membayar ganti rugi berdasarkan
perbuatan melawan hukum sehingga ganti rugi yang diberikan hanyalah kerugian
nyata, atau disebut juga Reliance damages yaitu harga yang telah dibayar oleh
pembeli (Suharnoko, 2004: 10).
Itikad baik secara subyektif menunjuk pada sikap batin atau unsur yang ada
dalam diri pembuat, sedangkan itikad baik dalam arti obyektif lebih pada hal-hal
diluar diri pelaku. Mengenai pengertian itikad baik secara subyektif dan obyektif,
dinyatakan oleh Muhamad Faiz bahwa: " Itikad baik subyektif, yaitu apakah yang
bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad
baik, sedangkan itikad baik obyektif adalah kalau pendapat umum menganggap
tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik".
Itikad baik dalam sebuah penjanjian harus ada sejak perjanjian baru akan
disepakati, artinya itikad baik ada pada saat negosiasi pra kesepakatan perjanjian,
dinyatakan oleh Ridwan Khairandy bahwa: " Itikad baik sudah harus ada sejak
36
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
fase prakontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai
kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak".
Itikad baik seharusnya dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian dari
makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial
terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan
menciptakan suasana tenteram bersama-sama. Melepaskan diri dari keharusan
adanya itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat adalah
pengingkaran dari kebutuhannya sendiri. Kebutuhan akan hidup bersama, saling
menghormati
dan
saling
memenuhi
kebutuhan
pribadi
dan
sosial.
Keberadaan itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat memberi arti
penting bagi ketertiban masyarakat, itikad baik sebagai sikap batin untuk tidak
melukai hak orang lain menjadi jaminan bagi hubungan masyarakat yang lebih
tertib. Ketiadaan itikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah pada
perbuatan yang secara umum dicela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap
batin pembuat yang tidak memiliki itikad baik, sikap batin di sini mengarah pada
„kesengajaan sebagai bentuk kesalahan‟ pembuat yang secara psikologis
menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada
perbuatan tersebut (Ridwan Khairandy, 2003: 190). Syarat itikad baik, kepatutan,
kepentingan umum dan kebiasaan:
a. Kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik
Menurut Pasal 1338 KUHPerdata, suatu kontrak haruslah dilaksanakan
dengan itikad baik (gooder trouw, bona fide). Rumusan dari Pasal 1338 ayat
(3) tersebut mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan
37
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
syarat sah suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal “pelaksanaan”
dari suatu kontrak, bukan pada “perbuatan” suatu kontrak.
Dapat saja suatu kontrak dibuat secara sah, dalam arti memenuhi semua
syarat sahnya kontrak (antara lain sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata),
dan karenanya kontrak tersebut dibuat dengan itikad baik, tetapi justru dalam
pelaksanaannya misalnya dibelokkan ke arah yang merugikan salah satu pihak
atau merugikan pihak ketiga.
b. Kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan
Suatu kontrak haruslah sesuai dengan asas “kepatutan” (vide Pasal 1339
KUHPerdata). Untuk ini pemberlakuan asas kepatutan terhadap suatu kontrak
mengandung dua fungsi sebagai berikut:
1)
Fungsi yang melarang
Dalam hal ini, kontrak yang mengandung unsur-unsur yang
bertentangan dengan asas kepatutan adalah tidak dapat dibenarkan.
Misalnya dilarang membuat suatu kontrak pinjaman uang dengan bunga
yang sangat tinggi. Bunga yang sangat tinggi ini bertentangan dengan
asas kepatutan (reasonability).
2)
Fungsi yang menambah
Sebaliknya, suatu kontrak juga dapat ditambah dengan atau
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip kepatutan. Dalam hal ini
kedudukan prinsip kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam
pelaksanaan suatu kontrak, dimana tanpa isian tersebut, tujuan
38
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
dibuatnya kontrak tidak mungkin tercapai. Misalnya terhadap suatu
kontrak jual beli (yang dibayar kemudian) tidak jelas siapa yang
menanggung resiko inflasi/devaluasi mata uang, maka adalah sesuai
dengan asas “kepatutan” jika di pengadilan hakim menafsirkan bahwa
resiko inflasi/devaluasi mata uang tersebut di pikul bersama secara fiftyfifty.
c. Kontrak tidak melanggar prinsip kepentingan umum
Suatu perbuatan dan pelaksanaan kontrak tidaklah boleh melanggar prinsip
kepentingan umum (openbaar orde). Karena sesuai dengan prinsip hukum
yang universal dan sangat mendasar bahwa kepentingan umum tidak boleh
dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Karena itu, jika ada kontrak yang
bertentangan dengan kepentingan/ketertiban umum, maka kontrak tersebut
sudah pasti bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, yang menurut
Pasal 1339 KUHPerdata hal tersebut tidak dibenarkan. Contoh kontrak yang
bertentangan dengan kepentingan/ketertiban umum adalah kontrak jual beli
obat bius (Munir Fuady, 1999: 80-82).
4.
Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi
Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif dan
sisi pasif. Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditor untuk menuntut pemenuhan
prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur untuk
melaksanakan prestasinya. Pada situasi normal antara prestasi dan kontra
prestasi akan saling bertukar, namun pada kondisi tertentu pertukarn prestasi
39
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut
wanprestasi (Agus Yudha Hernoko, 2010: 260).
Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah
“performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan
hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri
untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana
disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan (Munir Fuady, 1999: 87).
Adapun yang merupakan model-model dari prestasi adalah seperti yang
disebutkan dalam Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu berupa:
a) Memberikan sesuatu;
b) Berbuat sesuatu;
c) Tidak berbuat sesuatu.
Sementara itu, dengan wanprestasi (default atau non fulfilment, maupun
yang disebut juga dengan istilah breach of contract) yang dimaksudkan adalah
tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang
dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan
dalam kontrak yang bersangkutan.
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak
pihak yang dirugikan untk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk
memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu
pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini
dapat terjadi karena:
40
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
a) Kesengajaan;
b) Kelalaian;
c) Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).
Berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatan melawan
hukum, hukum kontrak tidak begitu membedakan apakah suatu kontrak tidak
dilaksanakan karena adanya unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibat
umunya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan
tertentu (Munir Fuady, 1999: 87-88).
Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan somasi.
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan
debitur (Salim, 2003: 98). Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini dapat terjadi
karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut juga karena
terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut. Wanprestasi dapat berupa
(J.Satrio, 1999: 122):
1) Sama sekali tidak memenuhi prestasi;
2) Prestasi yang dilakukan tidak sempurna;
3) Terlambat memenuhi prestasi;
4) Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan. Terjadinya
wanprestasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang wanprestasi)
dirugikan. Oleh karena itu pihak yang dirugikan akibat wanprestasi tersebut,
pihak wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan pihak yang
dirugikan, yang dapat berupa tuntutan (J.Satrio, 1999: 144) :
41
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
1) pembatalan perjanjian;
2) peralihan resiko;
3) membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat
dinamakan ganti‐rugi;
4) membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan
pengadilan.
d) Akibat Adanya Wanprestasi
Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut
1) Perikatan tetap ada
Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi,
apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditur berhak
menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal
ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur
melaksankan prestasi tepat pada waktunya.
2) Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH
Perdata)
3) Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul
setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan
besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk
berpegang pada keadaan memaksa.
4) Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat
membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan
menggunakan Pasal 1266 KUHPerdata (Salim, 2003: 99)
42
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
5.
Tinjauan Umum Tentang Jual Beli Menurut Hukum Adat
Sering kita jumpai pada fenomena terurainya lingkungan hidup yang
didalamnya para warganya melakukan tolong-menolong. Untuk keperluan tukarmenukar jasa dan barang dalam segala urusan kepentingan hidup masingmasing, salah satunya melakukan transaksi jual beli. Istilah jual itu mengenai
pengoperan hak dari sesuatu orang kepada orang lain. Apabila pengoperan itu
dilakukan untuk selama-lamanya, maka dipakailah istilah “Jual lepas”, atau “jual
mutlak”, sedangkan kalau pengoperan itu hanya untuk waktu yang tertentu saja,
misalnya satu tahun, dipergunakan istilah “Jual Tahunan” dan apabila
pengoperan tersebut disertai syarat, bahwa dapat pulang kembali kepada si
penjual lagi asalkan uang pembayaran yang dahulu ia terima dikembalikan
kepada pembeli lagi, maka istilah yang dipergunakan adalah “Jual sende” atau
“Jual gadai”.
Perjanjian jual beli didalam masyarakat hukum adat biasanya dalam jual
beli mempunyai sifat Kontan ( Tunai ) dan percaya yang kuat. Kontan ( Tunai )
adalah suatu bentuk prestasi yang dilakukan sekaligus bersama-sama pada waktu
itu juga. Lalu , sifat percaya yang kuat yaitu saling percaya satu sama lain ,
antara pembeli dan penjual dalam proses jual beli, sehingga didalam proses
tersebut, mereka tidak membuat bukti tertulis karena mereka sudah saling
percaya. Jadi, di dalam hukum adat jual beli dilakukan dengan tunai. Dalam
hukum adat sisa pembayaran dianggap harga yang pada kenyataannya belum
dibayar penuh dianggap sebagai hutang pembeli kepada penjual atas perjanjian
43
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
utang-piutang yang dianggap terjadi antara penjual dan pembeli (Soerojo, 1995:
71).
Perbandingan perjanjian jual beli hukum B.W dengan hukum adat yaitu
hukum B.W , memiliki ketentuan,“ jual beli sudah terjadi apabila sudah terucap
kata sepakat , walaupun barang tersebut belum diserahkan dan harganya belum
dibayar” dan dalam perjanjian jual beli pun diharuskan untuk membuat
suatu bukti tertulis sebagai ketentuan yang sudah ditetapkan untuk masalah
pembuktian, sedangkan didalam hukum adat , jual beli berasaskan sifat Kontan
yang memiliki ketentuan “ jual beli terjadi bersama-sama pada saat waktu itu
juga”, sehingga walaupun sudah terucap kata sepakat antara kedua belah pihak
itu belum terjadi jual beli. Adapun didalam jual beli, masyarakat adat tidak
mengenal namanya pembuktian tertulis, karena masyarakat adat memiliki sifat
percaya, saling percaya satu sama lain, dan jual beli menurut adat tidak perlu
dengan membuat bukti tertulis seperti didalam B.W (http://sifauzi174.blogspot
.co.id/2014/04/hukum-bw-vs-hukum-adat-dalam-perjanjian.html).
6.
Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa
Para pelaku bisnis dalam hubungannya dengan pihak lain senantiasa
mengharapkan agar kontrak yang mereka buat dapat berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Namun demikian, dalam perjalanan waktu tidak menutup
kemungkinan terjadi sengketa diantara mereka, meskipun hal ini sebenarnya
sama sekali tidak diharapkan. Sengketa kontrak pada umumnya muncul sebagai
44
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
akibat adanya ketidaksepakatan, perbedaan, gangguan, kompetisi, atau
ketidakseimbangan di antara para pihak.
Adakalanya pelaku bisnis bersikap rasional ketika menghadapi sengketa
bisnis karena hal itu dianggap sebagai bagian dari resiko bisnis. Persoalan
terpenting bagi pelaku bisnis adalah bagaimana upaya mereka dalam
mengantisipasi atau mencegah kemungkinan terjadinya sengketa, oleh karena itu
umumnya dalam kontrak bisnis (komersial) para pihak mencantumkan klausul
penyelesaian sengketa (Dispute settlement clause atau midnight clause) dalam
kontrak mereka (Agus Yudha Hernoko, 2010: 304-307).
Pola penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi dua macam yaitu: (1)
melalui litigasi, dan (2) non litigasi. Penyelesaian sengketa melalui litigasi
merupakan suatu proses gugatan, suatu sengketa di ritualisasikan yang
menggantikan sengketa sesungguhnya, yaitu para pihak dengan memberikan
kepada seseorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan (Salim,
2003: 141). Sistem litigasi mempunyai keuntungan dan kekurangannya dalam
penyelesaian suatu sengketa. Keuntungannya, yaitu:
a) Dalam mengambil alih keputusan dari para pihak, litigasi sekurangkurangnya dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat
mempengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial;
b) Litigasi sangat baik sekali untuk menemukan berbagai kesalahan dan
masalah dalam posisi pihak lawan;
45
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
c) Litigasi memberikan suatu standar bagi prosedur yang adil dan memberikan
peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum
mengambil keputusan;
d) Litigasi membawa nilai-nilai masyarakat untuk penyelesaian sengketa
pribadi;
e) Dalam sistim litigasi para hakim menerapkan nilai-nilai masyarakat yang
terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa.
Basuki Rekso Wibowo, mengemukakan bahwa paradigma beracara di
pengadilan telah mengalami pergeseran yang memprihatinkan. Idealisme
berperkara untuk menegakkan keadilan yang substansial, telah bergeser menjadi
pergulatan kesempatan dan kekuatan untuk saling megalahkan (to be the winner,
not the losser). Kondisi demikian akhirnya membuat masyarakat pencari
keadilan sedapat mungkin menghindari pengadilan dalam menyelesaikan
berbagai problematika hukum yang mereka hadapi.
M. Yahya Harahap dalam buku Agus Yudhi Hernoko (2010: 309),
mengemukakan bahwa penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga peradilan
dinilai kurang efektif oleh para pelaku bisnis, karena:
1) Penyelesaian perkara yang lambat dan banyak membuang waktu;
2) Biaya mahal;
3) Peradilan tidak responsif tehadap kepentingan umum;
4) Putusan pengadilan tidak menyelesaikan sengketa.
Litigasi tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari itu juga
menjamin suatu bentuk ketertiban umum, yang tertuang dalam Undang-undang
46
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
secara eksplisit maupun implisit. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui
alternatif (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan
dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal
1 ayat (10) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa). Apabila mengacu ketentuan Pasal 1
ayat (10) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 maka cara penyelesaian
sengketa melalui ADR dibagi tiga cara, yaitu:
a) Negosiasi
b) Mediasi
c) Konsiliasi
Ketiga bentuk penyelesaian sengketa dilakukan oleh pihak yang merasa
dirugikan atau terjadinya perbedaan pendapat baik itu antara individu, kelompok
maupun antar badan usaha. Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi
dilakukan untuk menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah mufakat dan
hasil penyelesaian konflik atau sengketa secara kekeluargaan. Menurut Salim
(2003: 140-160) bentuk-bentuk penyelesaian sengketa melalui jalur NonLitigasi, sebagai berikut:
a) Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana antara dua orang
atau lebih/para pihak yang mempunyai hal atau bersengketa saling
melakukan
kompromi
atau
tawar
menawar
terhadap
kepentingan
penyelesaian suatu hal atau sengketa untuk mencapai kesepakatan. Dengan
47
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan
mengakhiri sengketa tersebut secara baik. Pihak yang melakukan negosiasi
disebut negosiator, sebagai seorang yang dianggap bisa melakukan
negosiasi.
Seorang
negosiator
harus
mempunyai
keahlian
dalam
menegosiasi hal yang disengketakan antara kedua pihak. Beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam menjalankan negosiasi, diantaranya:
1. Memahami tujuan yang ingin dicapai
2. Menguasai materi negosiasi
3. Mengetahui tujuan negosiasi
4. Menguasai keterampilan tehnis negosiasi, didalamnya menyangkut
keterampilan komunikasi.
b) Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar peradilan yang
kurang lebih hampir sama dengan negosiasi. Bedanya adalah terdapat pihak
ketiga yang netral dan berfungsi sebagai penengah atau memfasilitasi
mediasi tersebut yang biasa disebut mediator. Pihak ketiga tersebut hanya
boleh memberikan saran-saran yang bersifat sugestif, karena pada dasarnya
yang memutuskan untuk mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak
ketiga tersebut juga harus netral sehingga dapat memberikan saran-saran
yang objektif dan tidak terkesan memihak salah satu pihak. Mediasi
merupakan prosedur wajib dalam proses pemeriksaan perkara perdata,
bahkan dalam arbitrase sekalipun dimana hakim atau arbiter wajib
memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi dan jika mediasi
48
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
tersebut gagal barulah pemeriksaan perkara dilanjutkan. Tidak semua orang
bisa menjadi mediator professional karena untuk dapat menjadi mediator
dibutuhkan semacam sertifikasi khusus.
Menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa, kesepakata penyelesaian sengketa
atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak
untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tertulis tersebut wajib
didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran (Gunawan
Widjaja, 2001: 92).
c) Konsiliasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian
konsiliasi. Konsiliasi adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan
pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelasaikan
peselisihan tersebut. Sedangkan menurut Oppenheim, konsiliasi adalah
“Suatu proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada
suatu komisi orang-orang yang bertugas menguraikan/menjelaskan
fakta-fakta dan (biasanya setelah mendengar para pihak dan
mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesepakatan), membuat
usulan-usulan suatu penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak
mengikat”
49
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
Inti konsiliasi dalam definisi di atas adalah penyelesaian sengketa
kepada sebuah komisi dan keputusan yang dibuat oleh komisi tersebut tidak
mengikat pihak. Artinya bahwa para pihak dapat menyetujui atau menolak
isi keputusan tersebut.
Berbeda dengan negosiasi, konsialiasi dari pengertian yang diberikan
dalam Black‟s Law Dictionary merupakan langkah awal perdamaian
sebelum sidang peradilan (litigasi) dilaksanakan. Bahkan jika kita melihat
pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
dengan berasumsi bahwa yang dimaksud konsiliasi dalam Undang-undang
No. 30 Tahun 1999 adalah identik dengan perdamaian yang diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, maka berarti konsiliasi tidak hanya
dapat
dilakukan
untuk
mencegah
dilaksanakannya
proses
litigasi
(peradilan), melainkan juga dapat dilakukan oleh para pihak, dalam setiap
peradilan yang sedang berlangsung, baik di dalam maupun diluar
pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah
diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, tidak dapat dilakukan konsiliasi (Gunawan Widjaja, 2001: 94).
Selain itu, ADR dipandang sebagai pilihan terbaik (the best choice),
karena:
1) Bersifat informal;
2) Penyelesaian secara kooperatif oleh pihak yang bersengketa;
3) Biaya murah (nominal cost atau zero cost);
4) Penyelesaian cepat (quick);
50
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
5) Menyelesaikan sengketa serta memperbaiki hubungan masa depan (the
future);
6) Penyelesaian secara kompromi;
7) Hasil yang dicapai sama-sama menang (win-win)
8) Hubungan semakin mesra (Agus Yudha Hernoko, 2010: 310).
51
Pelaksanaan Asas Itikad…, Latif Argani, Fakultas Hukum UMP, 2016
Download