BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Suatu persetujuan tertentu berupa rangkaian kata-kata sebagai gambaran dari suatu perhubungan antara kedua belah pihak. Seperti halnya dengan semua buah perbuatan manusia, maka gambaran ini tidak ada yang sempurna. Kalau orang mulai melaksanakan persetujuan itu, timbullah bermacam-macam persoalan yang pada waktu persetujuan terbentuk, sama sekali tidak atau hanya sedikit nampak pada alam pikiran dan alam perasaan kedua belah pihak. 1 Tidak dapat dipungkiri bahwa perbuatan hukum seperti jual beli sering dilakukan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada hakekatnya perjanjian jual beli bertujuan untuk memindahkan hak milik atas suatu barang yang diperjualbelikan karena dalam jual beli pihak penjual wajib menyerahkan barang yang dijualnya itu kepada pembeli, sedangkan pihak pembeli mempunyai kewajiban untuk membayar harga dari barang itu kepada pihak penjual. Masalah jual beli tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Kejujuran atau itikad baik dalam jual beli merupakan faktor yang penting sehingga pembeli yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum secara wajar, sedangkan yang tidak beritikad baik tidak perlu mendapat perlindungan hukum. 1 R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm.102. Universitas Sumatera Utara Umumnya dapat dikatakan, bahwa dalam pergaulan hidup ditengah-tengah masyarakat, pihak yang jujur atau beritikad baik haruslah dilindungi dan sebaliknya pihak yang tidak jujur atau tidak beritikad baik patut merasakan akibat dari ketidakjujurannya itu. Itikad baik adalah faktor yang paling penting dalam hukum karena tingkah dari anggota masyarakat itu tidak selamanya diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi ada juga dalam peraturan yang berdasarkan persetujuan masing-masing pihak dan oleh karena peraturan-peraturan tersebut hanya dibuat oleh manusia biasa maka peraturan-peraturan itu tidak ada yang sempurna. Kejujuran atau itikad baik, dapat dilihat dalam dua macam, yaitu pada waktu mulai berlakunya suatu perhubungan hukum atau pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam perhubungan hukum itu. 2 Kejujuran pada waktu mulainya dalam hati sanubari yang bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai berlakunya perhubungan hukum itu sudah dipenuhi semua, sedang kemudian ternyata bahwa ada syarat yang tidak terpenuhi. Dalam hal yang demikian itu, bagi pihak yang jujur dianggap seolaholah syarat-syarat tersebut dipenuhi semua, atau dengan kata lain yang jujur tidak boleh dirugikan sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat termaksud di dalam perjanjian itu. Sebaliknya satu pihak dikatakan tidak jujur pada waktu mulai berlakunya perhubungan hukum, apabila ia pada waktu itu tahu betul tentang adanya keadaan yang menghalang-halangi pemenuhan suatu syarat untuk 2 R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perdata, Bandung: Sumur, 1983, hlm.56. Universitas Sumatera Utara berlakunya perhubungan itu. Sedangkan pihak lain mungkin jujur tentang hal itu, artinya tidak mengetahui adanya hal tersebut. Dalam hal ini pihak yang tidak jujur pada umumnya harus bertanggung jawab atas ketidakjujuran itu dan harus memikul risiko.Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ketentuan mengenai itikad baik, khususnya yang berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian terdapat dalam Pasal 1338 ayat 3 yang menetapkan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Ini berarti, bahwa setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut dibuat dengan disertai oleh itikad baik, dalam hal ini termasuk perjanjian jual-beli. Itikad baik dalam kontrak merupakan lembaga hukum (rechtsfiguur) yang berasal dari hukum Romawi yang kemudian diserap oleh civil law. Dalam perkembangannya diterima pula dalam hukum kontrak di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australian, Selandia baru, dan Kanada. Walaupun itikad baik menjadi asas penting dalam hukum kontrak di berbagai sistem hukum, tetapi asas itikad baik tersebut masih menimbulkan sejumlah permasalahan terutama yang berkaitan dengan keabstrakan makna itikad baik. B.Perumusan Masalah Perumusan masalah adalah merupakan persoalan yang harus dicari pemecahannya. Perumusan masalah biasanya mempunyai banyak aspek. Dalam perumusan masalah dapat dilihat manfaat penelitian, yang diharapkan dapat menemukan pemecahan atau jawaban. Untuk menjawab secara tuntas semua Universitas Sumatera Utara kemungkinan sebab-sebab itu mungkin diperlukan banyak penelitian. Manfaat ilmiah dari suatu penelitian perlu ditonjolkan atau dikembangkan. Permasalahan yang akan menjadi pangkal tolak dalam pembahasan adalah sebagai berikut: 1. Apa yang menjadi kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli? 2. Bagaimana jual beli yang dilakukan terhadap barang orang lain? 3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak yang beritikad baik dalam perjanjian jual beli? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah : a. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli. b. Untuk mengetahui jual beli yang dilakukan terhadap barang orang lain. c. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pihak yang beritikad baik dalam perjanjian jual beli. 2. Manfaat Penulisan a. Secara teoretis Secara teoretis diharapkan penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untk menambah pengetahuan dan wawasan terutama mengenai hukum perjanjian khusunya mengenai perjanjian jual beli. Universitas Sumatera Utara b. Secara Praktis Manfaat penelitian yang bersifat praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian di bidang yang sama. D. Keaslian Penulisan Adapun judul yang dipilih adalah “Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Yang Beritikad Baik dalam Perjanjian Jual Beli”, merupakan hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada, penulis yakin subtansi pembahasannya berbeda. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan. E. Tinjauan Kepustakaan Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dengan seseorang yang lain atau lebih akan menimbulkan suatu hubungan hukum yang dinamakan perikatan, jadi dapat disimpulkan perjanjian adalah sumber perikatan di samping sumber lainnya. Wirjono Prodjodikoro mengemukakan arti perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak. Dalam mana suatu Universitas Sumatera Utara pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 3 Beberapa ajaran saat terjadinya perjanjian antara pihak adalah : 1. Teori kehendak (willstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan melukiskan surat; 2. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarjan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran; 3. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima; 4. Teori kepercayaan (vertrowenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan. Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain membayar harga yang telah dijanjikan. Hasanuddin Rahman mengatakan dari pengertian Pasal 1457 KUH Perdata di atas dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa: 4 1. Terdapat dua pihak yang saling mengikatkan dirinya, yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang timbul dari perikatan jual beli tersebut; 3 4 R.Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hlm.9. Hasanuddin Rahman, Contract Darfting, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hlm.24. Universitas Sumatera Utara 2. Pihak yang satu berhak untuk mendapatkan/ menerima pembayaran dan berkewajiban menyerahkan suatu kebendaan, sedangkan pihak yang lainnya berhak mendapatkan/menerima suatu kebendaan dan berkewajiban menyerahkan suatu pembayaran; 3. Hak bagi pihak yang satu merupakan kewajiban bagi pihak lainnya, begitupun sebaliknya, kewajiban bagi pihak yang satu merupakan hak bagi pihak yang lain. 4. Bila salah satu hak tidak terpenuhi atau kewajiban tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka tidak akan terjadi perikatan jual beli. Berdasarkan penjelasan para sarjana di atas, jual beli merupakan suatu bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Jual beli senantiasa terletak pada dua sisi hukum perdata, yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan. Pada sisi hukum kebendaan, jual beli melahirkan hak bagi kedua belah pihak atas tagihan berupa penyerahan kebendaan pada satu pihak dan pembayaran pada pihak lainnya. Pada sisi hukum perikatan, jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Walaupun demikian KUH Perdata melihat jual beli hanya dari sisi perikatan semata-mata, yaitu dalam bentuk kewajiban dalam lapangan harta kekayaan, dari masing-masing pihak secara bertimbal balik, oleh karena itu jual beli dimasukkan dalam Buku Ketiga KUH Perdata tentang perikatan. Universitas Sumatera Utara Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata membahas mengenai pelaksanaan suatu perjanjian dan berbunyi :” Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Jadi dalam perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, maka para pihak bukan hanya terikat oleh kata-kata perjanjian itu, tetapi juga oleh itikad baik. Martijn Hasselin menyebutkan semua itikad baik yang bersifat objektif mengacu kepada konsep normatif. Sesungguhnya itikad baik seringkali dilihat sebagai suatu norma tertinggi dari hukum kontrak, hukum perikatan, bahkan hukum perdata. Itikad baik seringpula dikatakan sebagai berhubungan dengan standar moral. Di satu sisi, dikatakan menjadi suatu standar moral itu sendiri, yakni suatu prinsip legal ethical, sehingga itikad baik bermakna honesty. Dengan demikian, pada dasarnya itikad baik bermakna bahwa satu pihak harus memperhatikan kepentingan pihak lainnya di dalam kontrak. Di sisi lain, itikad baik dapat dikatakan sebagai pintu masuk hukum melalui nilai moral (moral values). Dengan keadaan yang demikian itu menjadikan itikad baik sebagai norma terbuka (open norm), yakni suatu norma yang isinya tidak dapat ditetapkan secara abstrak, tetapi ditetapkan melalui kongkretisasi kasus demi kasus dengan memperhatikan kondisi yang ada. 5 Dalam common law Inggris dikenal dua makna itikad baik yang berbeda, yakni good faith performance dan good faith purchase. Good faith performance berkaitan dengan kepatutan (yang objektif), atau reasonableness pelaksanaan kontrak. Di dalam makna yang demikian itu, itikad baik digunakan sebagai 5 Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta : Pascasarjana UI, 2004, hlm.34-35. Universitas Sumatera Utara implide term, yang digunakan dalam hukum Romawi, mensyaratkan adanya kerjasama diantara para pihak untuk tidak menimbulkan kerugian dari reasonableness expectation. Good faith purchase, di lain pihak, berkaitan dengan a contracting party’s subjective state of mind; apakah seseorang membeli dengan itikad baik sepenuhnya digantungkan pada ketidaktauannya, kecurigaan, dan pemberitahuan yang berkaitan dengan kontrak. 6 Kejujuran dalam pelaksanaan persetujuan harus diperbedakan daripada kejujuran pada waktu mulai berlakunya perhubungan hukum dan kejujuran dalam pelaksanaan perjanjian. Dalam kejujuran pada waktu mulai berlakunya suatu perhubungan hukum berupa pengiraan dalam hati sanubari terhadap syarat untuk memperoleh hak milik barang telah dipenuhi. Sedangkan kejujuran dalam pelaksanaan perjanjian terletak pada keadaan jiwa manusia, akan tetapi titik berat dari kejujuran ini terletak pada tindakan yang dilakukan kedua belah pihak dalam hal melaksanakan janji. Dalam melaksanakan tindakan inilah kejujuran harus berjalan dalam hari sanubari seorang manusia berupa selalu mengingat, bahwa manusia itu sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat menipukan pihak lain dengan menggunakan secara membabi buta kata-kata yang dipakai pada waktu kedua belah pihak membentuk suatu persetujuan. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal ini dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi. 7 Dalam pandangan ahli hukum Belanda antara lain Hofmann dan Vollmar dianggap adanya pengertian kejujuran yang bersifat objektif dan kejujuran bersifat 6 7 Ibid, hlm.161. R.Wirjono Prodjodikoro, Op.cit, hlm.104-105. Universitas Sumatera Utara subjektif. Perbedaan antara kejujuran subjektif dan kejujuran objektif itu oleh para ahli hukum Belanda tadi terutama dibicarakan dalam hubungan dengan suatu persetujuan, dalam mana para pihak bersepakat untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa yang mungkin akan timbul dalam melaksanakan perjanjian, kepada pihak ketiga atau suatu badan hukum atau kepada salah seorang daripada para pihak, yaitu selaku pemberi nasehat yang mengikat (bindend advise). Dimana hakim tidak boleh meninjau lagi isi dari nasehat yang dikatakan mengikat itu.Sedangkan apabila dilihat dari kejujuran subjektif ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata dapat dianggap bersifat subjektif, sedang untuk mencapai agar isi dari nasehat yang dikatakan mengikat itu, dapat ditinjau, dapatlah dipergunakan Pasal 1339 KUH Perdata yang memperbolehkan hakim memperhatikan hal kepatuhan (billikheid) di samping kejujuran (goede trouw). 8 F.Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum. 9 Penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan yang bersifat kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam 8 9 Ibid, hlm.106. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press,1986, hlm.63 Universitas Sumatera Utara peraturan perundang-undangan. 10 Dalam penelitian yuridis normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum. 2. Sumber Data Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasiinformasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder Penelitian yang digunakan terdiri dari : 11 1) Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundangundangan. 2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat sarjana, dan hasil-hasil penelitian. 3) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia,dan lain-lain. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan meneliti sumber bacaan yang berhubungan 10 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.14 11 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayumedia, 2006, hlm.192. Universitas Sumatera Utara dengan topik dalam skripsi ini, seperti: Buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel, pendapat para sarjana, dan bahan-bahan lainnya. 4. Analisa Data Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban kemudian diolah dengan menggunakan metode induktif dan deduktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini. G. Sistematika Penulisan Sistematika dari penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, dan setiap bab dibagi lagi menjadi beberapa bab, yang diperinci sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis memaparkan hal-hal yang bersifat umum sebagai langkah awal dari penulisan ini yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN Dalam bab ini dibahas mengenai pengertian perjanjian, syarat-syarat sahnya perjanjian, jenis-jenis perjanjian, asas-asas hukum perjanjian, akibat perjanjian. BAB III : TINJAUAN UMUM MENGENAI JUAL BELI Universitas Sumatera Utara Dalam bab ini dibahas tentang pengertian jual beli, macam-macam jual beli, saat terjadinya jual beli, serta wanprestasi. BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG BERITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI Dalam bab ini dibahas mengenai hak dan kewajiban dalam jual beli, penjualan benda kepunyaan orang lain, perlindungan hukum bagi pembeli yang beritikad baik. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab terakhir dan menututp seluruh pembahasan penulisan dalam skripsi ini. Dalam bab ini ditarik kesimpulan yang merupakan saripati bab-bab pembahasan, kemudian penulis mencoba memberikan saran yang diharapkan dapat berguna bagi penulis dan pembaca. Universitas Sumatera Utara