BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Nasional yang sedang dilaksanakan bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata dan materil dan spiritual berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Guna mencapai hal tersebut, maka pembangunan dilaksanakan disegala bidang antara lain: politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dengan memerlukan kerja sama disemua pihak, bukan hanya pemerintah sebagai pelaksana, melainkan juga semua lapisan masyarakat. Sistem hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh Belanda yang telah menancapkan pilar-pilar ketentuan yang mengikat antara masyarakat dengan penguasa maupun masyarakat dengan masyarakat sendiri. Sistem hukum yang dimaksud adalah sistem hukum Eropa atau disebut juga sistem hukum Romawi Jerman. Subekti mengemukakan bahwa suatu sistem adalah suatu susunan atau catatan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola hasil suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. Dalam suatu sistem yang baik, tidak boleh terjadi suatu Universitas Sumatera Utara duplikasi atau tumpang tindih (overlapping). Belleffoid mengatakan pula bahwa “sistem hukum adalah keseluruhan aturan hukum yang disusun secara terpadu berdasarkan asas-asas tertentu”. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, dimana dibangun tertib hukum. Asas-asas ini diperoleh melalui konstruksi yuridis, yaitu dengan menganalisis (mengolah) datadata yang sifatnya nyata (konkrit) untuk kemudian mengambil sifat-sifat yang umum (kolektif) atau abstrak. Proses ini dapat juga dikatakan mengabstraksi. Asas-asas ini mempunyai tingkatan jika dilihat dari gradasi sifatnya yang abstrak. Perbedaan antara berbagai asas ini tidak prinsipil, tetapi gradual. Aturan-aturan hukum membentuk dirinya dalam sistem hukum dan merupakan suatu “pohon hukum” (Science tree), yang mempunyai akar, batang, cabang, dahan, ranting, daun, bunga, dan sebagainya. Sistem hukum dapat dijabarkan dalam sub-sub sistem, seperti hukum nasional dapat dijabarkan dalam hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum ekonomi dan sebagainya. Sub sistem hukum ini dijabarkan lagi secara rinci dalam bagianbagian yang lebih kecil misalnya dari sub sistem hukum perdata, dijabarkan dalam sub sistem hukum kontrak, hukum kontrak internasional, hukum perkreditan dan sebagainya. Dilihat dari sistem hukum nasional, maka hukum perjanjian adalah sub sistem hukum perdata. Universitas Sumatera Utara Demikianlah suatu sistem hukum dalam suatu negara tertentu dapat seterusnya dibagi-bagi kedalam beberapa bagian. Seluruh sub sistem ini satu sama lain berkaitan dalam hubungan yang harmonis dan serasi, seimbang, tidak tumpang tindih, tidak berbenturan karena asas-asas yang terpadu. Asas-asas yang terdapat didalam hukum perdata harus senada, seirama dengan asas-asas yang terdapat dalam hukum nasional. Demikian juga asas-asas hukum perjanjian harus selaras dengan asas-asas hukum perdata. Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) bahwa mengenai hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, dimana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihakpihak tertentu.1 Sedangkan menurut teori ilmu hukum, hukum perjanjian digolongkan kedalam Hukum tentang diri seseorang dan Hukum Kekayaan karena hal ini merupakan perpaduan antara kecakapan seseorang untuk bertindak serta berhubungan dengan hal-hal yang diatur dalam suatu perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang dinilai dengan uang. Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal sebagai kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu 1 R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-undang Hukum Perdata=Burgerlijk Wetboek (terjemahan),” Cet. 28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hal. 323. Universitas Sumatera Utara perjanjian/kontrak seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, antara lain sebagai berikut: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua belah pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif). Namun adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak.2 Dalam praktek dunia usaha juga menunjukkan bahwa “keuntungan” kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan/atau 2 Gunawan Widjaja, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal. 53. Universitas Sumatera Utara klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang “lebih dominan” dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat “baku” karena, baik perjanjian baku maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya.3 Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku karena keadaan sosial ekonomi. Perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan syaratsyarat secara sepihak. Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai kedudukan (ekonomi) lemah baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya, hanya menerima apa yang disodorkan.4 Tujuan semula diadakannya perjanjian baku yakni alasan efisiensi dan praktis. Sebagai contoh dapat ditemukan perjanjian baku seperti dalam perjanjian: kredit perbankan, perjanjian asuransi, perjanjian penitipan barang, perjanjian konsumen/pelanggan dan PT. Telkom, perjanjian konsumen/pelanggan dan PDAM. Kemudian perjanjian antara pemilik hotel dan konsumen, perjanjian konsumen dengan perusahaan chemical laundry, dan sebagainya. Kesemuanya pada dasarnya selalu membuat perjanjian tersebut tidak mengikutsertakan pelanggan/konsumen didalam menyusun pasal-pasal didalam isi perjanjian tersebut, sehingga bisa dikatakan bahwa perjanjian tersebut selalu menguntungkan kepentingan pihak 3 4 Ibid, hal. 9. Ningrum Natasya Sirait, Intisari Perkuliahan Azas Kebebasan Berkontrak dan Perjanjian Baku, 2008. Universitas Sumatera Utara perusahaan (pembuat perjanjian) tersebut dibanding kepentingan pelanggan. Hal ini juga terdapat pada sanksi/hukuman yang ada di dalam perjanjian baku tersebut. Dalam tesis ini lebih meneliti kepada perjanjian berlangganan alat telekomunikasi pada “TELKOMFlexi” yang dalam hal ini sebagai operator alat telekomunikasi yang merupakan anak perusahaan PT. Telkom Indonesia, Tbk. Adapun perjanjian ini teliti dikarenakan dalam kenyatannya sarana telekomunikasi seperti telepon merupakan sarana yang sangat penting dan sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Disini dapat dilihat bahwa kedudukan masyarakat sebagai pelanggan, apalagi “TELKOMFlexi” dalam melakukan penawaran berlangganan kepada masyarakat menggunakan system take it or leave it (ambil atau tinggalkan), jadi walaupun calon pelanggan memilih untuk menolak kontrak yang ditawarkan, hal itu tidak akan mempengaruhi penawaran kepada masyarakat secara umum, karena kebutuhan masyarakat akan telepon masih tetap tinggi. Pada asasnya isi perjanjian yang dibakukan adalah tetap dan tidak dapat diadakan perundingan lagi. PT. Telkom sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di bidang jasa telekomunikasi harus memberikan pelayanan yang terbaik untuk masyarakat yang menggunakan jasanya. Berbagai cara telah digunakan PT. Telkom agar dapat memberikan yang terbaik untuk konsumen pengguna jasanya. Salah satunya adalah dengan mengusahakan peningkatan jasa telekomunikasi, sehingga diharapkan dapat menjangkau konsumen pengguna jasanya sampai keseluruh pelosok tanah air, Universitas Sumatera Utara sehingga pemerataan informasi dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Baik buruknya suatu perusahaan khususnya perusahaan yang bergerak di bidang jasa akan berhubungan secara langsung dengan masyarakat, demikian juga dengan PT. Telkom. Dalam penelitian ini yang menjadi sasaran pembahasan adalah “TELKOMFlexi”, yaitu produk dari PT. Telkom yang dapat dimanfaatkan sebagai fixed wireless digital yang digunakan sebagai telepon rumah (fixed phone) dan telepon bergerak (mobility), dengan menawarkan fasilitas sekelas seluler, tetapi dengan tarif pulsa telepon rumah. Untuk saat ini sudah tersedia dua layanan unggulan, yaitu Pra Bayar (FlexiTrendy) dan Pasca Bayar (FlexyClassy).5 Hubungan antara PT. Telkom dengan pelanggan “TELKOMFlexi” Pasca Bayar (flexiClassy) terbentuk melalui sebuah perjanjian atau kontrak berlangganan. Perjanjian yang digunakan sebagai alat bukti perikatan antara PT. Telkom dengan pelanggannya berupa Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi “TELKOMFlexi”. Dalam perjanjian tersebut terdapat dua pihak yang mengikatkan dirinya, yaitu PT. Telkom sebagai supplier jasa sambungan telepon atau disebut sebagai penyelenggara pelayanan (survive provider), dan pelanggan. Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi “TELKOMFlexi” yang dibuat oleh PT. Telkom berupa kontrak berlangganan yang dibuat oleh PT. Telkom berupa kontrak berlangganan yang dibuat dalam bentuk baku (Standart Contract), yaitu suatu bentuk 5 http://www.telkomflexi.com, Corporate, Company Profile, diakses tanggal 3 Mei 2010. Universitas Sumatera Utara perjanjian dimana didalamnya telah terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh salah satu pihak dalam hal ini adalah PT. Telkom dan pihak lain tinggal menyetujuinya. Bentuk perjanjian semacam ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelanggan, karena semua isi perjanjian ditentukan oleh satu pihak saja yaitu PT. Telkom, sedangkan pihak lain tidak diberi kesempatan untuk ikut mengutarakan kehendaknya dalam membuat isi perjanjian. Hal ini berarti telah melanggar asas kebebasan berkontrak yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Calon pelanggan sebelum mengikatkan diri dalam kontrak berlangganan dengan PT. Telkom, masih merupakan pihak yang bebas, artinya sebelum adanya kesepakatan berlangganan dengan PT. Telkom maka kedudukannya belum berubah menjadi pelanggan sehingga masih tetap mempunyai pilihan untuk menerima tawaran dari PT. Telkom untuk berlangganan atau tidak. Apabila calon pelanggan menolak tawaran yang diberikan PT. Telkom karena merasa keberatan dengan isi perjanjian atau kontrak yang ditawarkan, calon pelanggan tidak dapat melakukan tawar menawar untuk merubah isi kontrak yang berakibat perjanjian tidak jadi dibuat karena tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Dalam kenyataannya sarana telekomunikasi seperti telepon merupakan sarana yang sangat penting dan sudah menjadi suatu kebutuhan masyarakat. Disini dapat dilihat bahwa kedudukan PT. Telkom sebagai penyedia jasa lebih kuat dibandingkan kedudukan masyarakat sebagai pelanggan, apalagi PT. Telkom dalam melakukan Universitas Sumatera Utara penawaran berlangganan kepada masyarakat menggunakan sistem take it or leave it (ambil atau tinggalkan), jadi walaupun calon pelanggan memilih untuk menolak kontrak yang ditawarkan, hal itu tidak akan mempengaruhi penawaran kepada masyarakat secara umum, karena kebutuhan masyarakat akan telepon masih tetap tinggi. Pada asasnya isi perjanjian yang dibakukan adalah tetap dan tidak dapat diadakan perundingan lagi. Penerapan perjanjian baku semacam ini dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat sebagai konsumen pengguna jasa telepon, karena pihaknya sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mengutarakan keinginan dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian. Pihak yang membuat isi perjanjian bebas dalam membuat dan menentukan isi perjanjian sehingga dapat sedemikian rupa menempatkan pihak lain di bawah kekuasaannya, sehingga kedudukan pihak lain tersebut menjadi lemah. Jenis perjanjian semacam ini akan memberikan keuntungan bagi pihak pembuat perjanjian, karena untuk semua pelanggan diberlakukan ketentuan dan syarat-syarat yang sama dan semuanya itu di bawah kekuasaan pihak pembuat isi perjanjian. Bagi pelanggan penerapan perjanjian yang demikian menimbulkan rasa ketidakadilan, karena hanya satu pihak saja yang membuat dan menentukan isi dari perjanjian sedangkan pihak lain hanya tinggal menyetujui saja. Prinsip kebebasan berkontrak, adalah begitu essensial dalam membuat suatu perjanjian. Kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan isi perjanjian, yaitu Universitas Sumatera Utara kebebasan mengenai “apa” dan “dengan siapa” perjanjian itu diadakan. Bilamana antara para pihak telah diadakan sebuah persetujuan, maka diakui bahwa ada kebebasan kehendak para pihak tersebut. Bahkan di dalam prinsip kebebasan berkontrak, dipersangkakan adanya suatu kesetaraan kedudukan antara para pihak. Dalam perjanjian baku, seringkali tidak ada kesetaraan kedudukan secara ekonomis antara para pihak, keadaan yang demikian ini dimanfaatkan pihak yang mempunyai kedudukan ekonomi yang lebih tinggi, untuk membuat ketentuan-ketentuan yang menguntungkan pihaknya. Dengan ketidakadaan kesetaraan para pihak dalam membuat perjanjian, maka nampaknya tidak ada pula kebebasan untuk mengadakan kontrak.6 Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata disebutkan, bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Menurut Pitlo dalam Purwahid Patrik, pasal ini berarti bahwa kita harus menafsirkan perjanjian itu menurut kepatutan dan keadilan. Menafsirkan, berarti menetapkan akibat-akibat dari perjanjian tersebut. Dengan mengacu pada itikad baik ini, maka para pihak pembuat perjanjian dapat merubah atau melengkapi perjanjian di luar kata-kata aslinya.7 Ketentuan-ketentuan yang memberatkan pihak konsumen dalam perjanjian baku, dapat berupa pencantuman syarat yang membatasi atau bahkan meniadakan 6 Soedjono Dirdjosisworo, Misteri Dibalik Kontrak Bermasalah, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal 23. 7 Purwahid Patrik, Peranan Perjanjian Baku dalam Masyarakat, Seminar Masalah Standar Kontrak dalam Perjanjian Kredit, IKADIN Surabaya, Garden Palace Hotel, 11 Desember 1993, hal. 11. Universitas Sumatera Utara tanggung jawab sepihak, yaitu pihak pembuat perjanjian (kreditur atau produsen). Dicantumkan klausula yang membatasi, mengecualikan atau bahkan meniadakan tanggung jawab produsen menyebabkan perjanjian baku sering dituding sebagai perjanjian yang tidak adil. Klausula yang membatasi atau meniadakan tanggung jawab kreditur atau produsen atas resiko-resiko tertentu yang mungkin timbul dikemudian hari. Biasa disebut dengan klausula eksonerasi atau exemption clause.8 Keberadaan klausula eksonerasi dalam kontrak standar dinilai bertentangan dengan asas itikad baik, karena pihak penyusun kontrak dapat memasukkan ketentuan-ketentuan yang menguntungkan pihaknya untuk membatasi tanggung jawabnya, apabila terjadi wanprestasi atau muncul masalah-masalah yang menimbulkan kerugian baik salah satu pihak maupun kedua belah pihak, dengan cara mengalihkan tanggung jawab atas masalah tersebut kepada pihak konsumen. Hal ini akan sangat merugikan pihak konsumen, apabila ternyata masalah yang timbul terjadi di luar kemampuan dan kekuasaan dari pihaknya. Adapun di dalam perjanjian antara kedua belah pihak yaitu PT. Telkom dengan Pelanggan, harus memperhatikan kepentingan Pelanggan di dalam perjanjian tersebut karena di dalam penerapan perjanjian tersebut antara PT. Telkom dengan Pelanggan harus bisa lebih menjamin kepentingan Pelanggan, sehingga di dalam perjanjian antara PT. Telkom dengan Pelanggan harus memperhatikan juga upaya 8 Johannes Gunawan, Penggunaan Perjanjian Standar dan Implementasinya pada Asas Kebebasan Berkontrak, Majalah Pro Justitia, Universitas Katholik Parahyangan, Bandung, 1987, hal. 71. Universitas Sumatera Utara perlindungan konsumen yang didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam implementasinya di tingkat praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memilki dasar pijakan yang benar-benar kuat. Asas-asas yang terkandung di dalam perlindungan konsumen sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu : 1. Asas Manfaat. Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha itu sendiri secara keseluruhan. 2. Asas Keadilan. Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas Keseimbangan. Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan Pemerintah dalam arti material atau spiritual. 4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen. Universitas Sumatera Utara Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas Kepastian Hukum. Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.9 Maka dari itulah penulis terdorong untuk menguji dan meneliti permasalahan tersebut dengan memberikan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN (Studi Pada Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom Flexi)” B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik pokok permasalahan yang akan menjadi dasar dalam penyusunan tesis ini. Perumusan masalah dalam suatu penelitian sangat penting keberadaannya karena akan diteliti. Adapun pokok permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana penerapan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi”? 9 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi Media, Jakarta, 2008, hal. 17-18. Universitas Sumatera Utara 2. Bagaimana penerapan asas itikad baik dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian pada perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi” dengan Pelanggan? 3. Bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha jasa telekomunikasi “TELKOMFlexi” terhadap penerapan asas itikad baik dengan adanya klausula baku? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi”. 2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan asas itikad baik dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian pada perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi ”TELKOMFlexi” dengan Pelanggan. 3. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha jasa telekomunikasi “TELKOMFlexi” terhadap penerapan asas itikad baik dengan adanya klausula baku. Universitas Sumatera Utara D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian merupakan penentu apakah penelitian itu berguna atau tidak, mempunyai nilai atau tidak. Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka diharapkan manfaat penelitian sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya, dan hukum perdata pada khususnya. b. Dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti. c. Dapat digunakan untuk menambah referensi sebagai bahan acuan bagi penelitian yang akan datang apabila sama bidang penelitiannya dengan yang penyusun teliti. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para pihak yang berkepentingan dalam penelitian ini. b. Untuk melengkapi syarat akademis guna mencapai jenjang Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. c. Untuk melatih penyusun dalam mengungkapkan permasalahan tertentu secara sistematis dan berusaha menemukan jawaban yang ada tersebut dengan metode ilmiah sehingga menunjang pengembangan ilmu pengetahuan yang pernah penyusun terima selama masa perkuliahaan. Universitas Sumatera Utara E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan, khususnya pada Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang menyangkut masalah, “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN (Studi Pada Perjanjian Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Telkom Flexi)”, belum pernah ditemukan judul atau penelitian tentang judul penelitian diatas sebelumnya. Akan tetapi terdapat suatu penelitian tesis yang hampir sama, dilakukan oleh: 1. Asmadi Lubis, Mahasiswa Program Magister Kenotariatan, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara pada Tahun 2008 dengan judul ”Penerapan Asas Itikad Baik dalam Penyelesaian Klaim Asuransi Jiwa.” Dimana permasalahan dalam penelitian tersebut berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini adalah asli, untuk itu penulis dapat mempertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Universitas Sumatera Utara F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.10 Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan mengimplementasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasilhasil terdahulu.11 Sedang dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.12 Dalam sebuah penelitian ilmiah, teori digunakan sebagai landasan berpikir dan mengukur sesuatu berdasarkan variabel yang tersedia. Sebelum peneliti mengetahui kegunaan dari kerangka teori, maka peneliti perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai arti teori. Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian yang hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas.13 10 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Cet ke I, Bandar Maju, Bandung, 1994, 11 Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Cet ke II, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 80. hal. 23. 12 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi I Cet ke VII, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 7. 13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1986, hal. 126. Universitas Sumatera Utara Dalam hal ini menurut Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustafa Adidjoyo teori diartikan sebagai ungkapan mengenai hubungan kasual yang logis di antara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka berpikir (frame of thinking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut.14 Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengenai suatu variabel bebas tertentu yang dimasukkan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variabel yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab.15 Dari beberapa pengertian teori tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa kerangka teori adalah pengetahuan yang diperoleh dari tulisan dan dokumen serta pengetahuan yang diperoleh dari tulisan dan dokumen serta pengetahuan kita sendiri yang merupakan kerangka dari pemikiran dan sebagai lanjutan dari teori yang bersangkutan, sehingga teori penelitian dapat digunakan dalam proses penyusunan maupun penjelasan serta meramalkan kemungkinan adanya gejala-gejala yang timbul. Menurut M.Solly Lubis, kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus 14 Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustafa Adidjoyo, Teori dan Strategis Pembangunan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 1988, hal. 12. 15 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 192-193. Universitas Sumatera Utara atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis.16 Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah perubahan masyarakat harus diikuti dengan perubahan hukum.17 Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan masyarakat dibidang hukum perlindungan konsumen harus berjalan dengan teratur dan diikuti dengan pembentukan norma-norma sehingga dapat berlangsung secara harmonis.18 Dalam teori perlindungan konsumen yang menjadi pedoman dalam penulisan ini adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.19 Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum adalah benteng untuk menghalangi kesewenang-wenangan yang akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, baik dalam 16 M. Solly Lubis, op.cit., hal. 13. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984, hal. 102. 18 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan , Alumni, Bandung, 2006, hal. 18. 19 Ibid. 17 Universitas Sumatera Utara bidang hukum privat (Perdata), maupun hukum publik (Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara).20 Selanjutnya asas-asas hukum perlindungan konsumen harus bersumber dari Pancasila, sebagai asas idiil (filosofis), UUD 1945 sebagai asas konstitusional (struktural), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai asas konsepsional (politis) dan undang-undang sebagai asas operasional (teknis). Dalam hal ini Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas mana dibangun tertib hukum. Asas-asas tersebut mempunyai tingkat-tingkat dilihat dari gradasi sifatnya yang abstrak.21 Dalam Pancasila, Hukum perlindungan konsumen memperoleh landasan idiil (filosafis) hukumnya pada sila kelima yaitu: ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pengertian keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, di dalamnya terkandung suatu “Hak” seluruh rakyat Indonesia untuk diperlakukan sama (equality) di depan hukum. Hak adalah suatu kekuatan hukum, yakni hukum dalam pengertian subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum. Oleh karena hak dilindungi oleh tatanan hukum, maka 20 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 1-2. 21 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal. 18-19. Universitas Sumatera Utara pemilik hak memiliki kekuatan untuk mempertahankan haknya dari gangguan/ancaman dari pihak manapun juga.22 Apabila pihak lain melanggar hak tersebut, maka akan menimbulkan gugatan hukum dari si pemilik hak, yang diajukan ke hadapan aparat penegak hukum.23 Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh keadilan, yang dalam konteks hukum perlindungan konsumen terbagi menjadi dua kelompok yakni keadilan sebagai pelaku usaha disatu sisi dan keadilan sebagai konsumen di sisi lain. Bagi konsumen sebagai pribadi, penggunaan produk dan/atau jasa itu, adalah untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya (kepentingan non komersial), dimana penggunaan produk tersebut harus bermanfaat bagi kesehatan/keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan harta benda, diri, keluarga dan/atau rumah tangganya (tidak membahayakan atau merugikan), dan juga membantu mempermudah aktifitas kehidupan konsumen sehari-hari. Perbedaan prinsipil dari kepentingan-kepentingan dalam penggunaan produk/jasa dan pelaksanaan kegiatan antara pelaku usaha dan konsumen, dengan sendirinya memerlukan jenis pengaturan perlindungan dan dukungan yang berbeda pula. 22 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), Terjemahan Raisul Muttaqien, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, 2006, hal. 152. 23 Ibid. Universitas Sumatera Utara Bagi kalangan pelaku usaha perlindungan itu adalah untuk kepentingan komersial mereka dalam menjalankan kegiatan usaha, seperti bagaimana mendapatkan bahan baku, bahan tambahan dan penolong, bagaimana memproduksinya, mengangkut dan memasarkannya, termasuk di dalamnya bagaimana menghadapi persaingan usaha. Harus ada peraturan perundangundangan yang mengatur tentang usaha dan mekanisme persaingan usaha itu. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dinyatakan persaingan haruslah berjalan secara wajar dan tidak terjadi kecurangan-kecurangan, sehingga mengakibatkan kalangan pelaku usaha tidak saja tidak meningkatkan pendapatannya, bahkan dapat mati usahanya. Sekalipun diakui bahwa persaingan merupakan suatu yang biasa dalam dunia usaha, tetapi persaingan antar kalangan pelaku usaha itu haruslah sehat dan terkendali. Bagi konsumen kepentingan tidak komersial mereka yang harus diperhatikan adalah akibat-akibat kegiatan usaha dan persaingan di kalangan pelaku usaha terhadap keselamatan jiwa, tubuh atau kerugian harta benda mereka dalam keadaan bagaimanapun, dengan tetap harus menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan diantara keduanya. Pasal 1233 KUH Perdata mengatakan, perikatan itu dapat muncul dari perjanjian atau karena undang-undang. Dua pengertian ini sangat mempengaruhi Universitas Sumatera Utara perlindungan dan penyelesaian sengketa hukum yang melibatkan kepentingan konsumen di dalamnya.24 Jika seseorang sebagai konsumen mempunyai hubungan hukum berupa perjanjian dengan pihak lain, dan pihak lain itu melanggar perjanjian yang disepakati bersama, maka konsumen berhak menggugat lawannya berdasarkan dalih melakukan wanprestasi (cidera/ingkar janji). Jika sebelumnya tidak ada perjanjian, konsumen tetap saja memiliki hak untuk menuntut secara perdata, yakni melalui ketentuan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Dalam konsepsi perbuatan melawan hukum, seseorang diberi kesempatan untuk menggugat, sepanjang dipenuhi tiga unsur yaitu, adanya unsur kesalahan (dilakukan pihak lain/tergugat), ada kerugian (diderita si penggugat), dan ada hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian itu.25 Selain ditinjau dari bidang-bidang hukum yang mengatur perihal perlindungan konsumen dan dua macam kebijakan umum yang dapat ditempuh, juga terdapat prinsip-prinsip pengaturan di bidang perlindungan konsumen. Dalam penjelasan Pasal 2 UUPK menyebutkan lima prinsip pengaturan yang dikaitkan dengan asas-asas pembangunan nasional, yaitu : 1. Asas Manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 24 25 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 1. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 59. Universitas Sumatera Utara 2. Asas Keadilan, Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas Keseimbangan, Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan Pemerintah dalam arti material atau spiritual. 4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen, Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas Kepastian Hukum, Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.26 Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK, demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara kesatuan Republik Indonesia yaitu Pancasila. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu : 1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen, 2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. Asas kepastian hukum.27 26 27 Happy Susanto, Op Cit, hal.17-18. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op Cit, hal. 26. Universitas Sumatera Utara BPHN Departemen Kehakiman, Januari 1989 maka disepakati sejumlah asas dalam hukum kontrak antara lain: 1. Asas Konsensualisme : asas ini dapat ditemukan dalam pasal 1320 KUH Perdata didalamnya ditemukan istilah ”semua”. Kata-kata ”semua” menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keingininnya, yang rasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. 2. Asas Kepercayaan: seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. 3. Asas Kekuatan Mengikat : demikian seterusnya dapat ditarik kesimpulan bahwa didalam perjanjian tercantum suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan yang juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki kebiasaan dan kepatuhan, dan kebiasaan akan mengikat para pihak. 4. Asas Persamaan Hak : asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuaasan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan tuhan. 5. Asas Keseimbangan : asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menunjuk pelunasan prestasi, melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. 6. Asas Moral : asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat didalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaiakan perbuatannya, asas ini terdapatnya dalam pasal 1339 KUHPerdata. 7. Asas Kepatuhan : asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUHPerdata. Asas kepatuhan disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. asas Universitas Sumatera Utara kepatuhan ini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. 8. Asas Kebiasaan : asas ini diatur dalam pasal 1339 Jo 1347 KUHPerdata, yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur dalam keadaan yang diikuti. 9. Asas Kepastian Hukum : Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang para pihak.28 Pada perjanjian berlangganan jasa telekomunikasi TELKOMFlexi, antara pelaku usaha dan konsumen telah terjadi suatu perikatan yang lahir dari butir-butir perjanjian yang telah tertulis pada blanko perjanjian yang telah disediakan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam hal ini konsumen hanya menandatangani atau tidak sebagai bentuk persetujuan atas berbagai klausul yang termuat dalam perjanjian. Dengan adanya perjanjian yang terdapat pada blanko perjanjian tersebut, mengikat pelaku usaha dan konsumen, bukan hanya pada saat transaksi berlangsung tetapi juga pada pasca transaksi, sampai jangka waktu perjanjian berakhir atau dengan kata lain salah satu pihak memutuskan perjanjian. Mengenai aspek perlindungan konsumen bagi konsumen jasa berlangganan telekomunikasi “TELKOMFlexi” yang juga menggunakan perjanjian baku (standar) yang memuat klausul baku dapat ditinjau dari Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, bertolak dari tujuan 28 Ningrum Natasya Sirait, Op Cit, 2009. Universitas Sumatera Utara itu, Mariam Darus Badrulzaman lalu mendefinisikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.29 Pasal 1338 alinea 1 KUH Perdata, menentukan bahwa ”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan ini merupakan dasar hukum disahkannya perjanjian dalam bentuk apapun yang dibuat secara sah, sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Dengan demikian perjanjian yang telah menjelma menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya wajib dipatuhi oleh kedua belah pihak dengan itikad baik (Pact Sunt Servanda). Pasal 1338 alinea pertama ini merupakan suatu tuntutan kepastian hukum.30 Tidak dipatuhinya perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut akan menimbulkan tuntutan/gugatan dari pihak yang merasa dirugikan. Kemungkinan campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini negara melalui hakim menjadi terbuka bila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Disini hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan perjanjian tersebut melanggar kepatutan atau keadilan. Pasal 1338 alinea 3 mengatakan: ”suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Kalau Pasal 1338 alinea pertama dipandang sebagai suatu tuntutan kepastian hukum, 29 Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Perjanjian Baku (standar), Bina Cipta, 1986, hal. 58 dalam Sidharta, hal. 119. 30 Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1981, hal. 67. Universitas Sumatera Utara maka Pasal 1338 alinea ketiga sebagaimana tersebut di atas harus dipandang sebagai suatu tuntutan keadilan bagi pihak yang dirugikan.31 Memperhatikan uraian tentang asas-asas hukum perlindungan konsumen tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum perlindungan konsumen berada dalam lingkup kajian hukum ekonomi. Hukum ekonomi yang dimaksud, mengakomodasikan dua aspek hukum sekaligus, yaitu aspek hukum publik dan aspek hukum privat, dalam hubungan ini, maka hukum ekonomi mengandung berbagai asas hukum yang bersumber dari kedua aspek hukum dimaksud di atas. Di dalam asas hukum tersebut mengandung nilai-nilai untuk melindungi berbagai aspek kehidupan kemanusiaan di dalam kegiatan ekonomi. Asas-asas utama dari hukum ekonomi yang bersumber dari asas-asas hukum publik antara lain; asas keseimbangan kepentingan, asas pengawasan publik, dan asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi. Sedangkan asas-asas hukum yang bersumber dari hukum perdata dan/atau hukum dagang yaitu khusus mengenai hubungan hukum para pihak di dalam suatu kegiatan atau perjanjian tertentu atau perbuatan hukum tertentu dimana harus menghormati ”hak dan kepentingan pihak lain”.32 Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dilaksanakannya perlindungan konsumen sesuai dengan Pasal 3 UUPK, adalah sebagai berikut: 31 Ibid Sri Redjeki Hartono, Menyongsong Sistem Hukum Ekonomi Yang Berwawasan Asas Keseimbangan, dalam Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 71-72. 32 Universitas Sumatera Utara a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan sistem perlindungan yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. 2. Konsepsi Agar tidak menjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut : 1. Asas itikad baik: Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang itikad baik dalam pengertian yang obyektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat. Itikad baik secara subyektif menunjuk pada sikap batin atau unsur yang ada dalam Universitas Sumatera Utara diri pembuat, sedangkan itikad baik dalam arti obyektif lebih pada hal-hal diluar diri pelaku. Mengenai pengertian itikad baik secara subyektif dan obyektif, dinyatakan oleh Muhammad Faiz bahwa "Itikad baik subyektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik obyektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik".33 2. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, yang menimbulkan hubungan hukum yang dinamakan perikatan antara dua orang yang membuatnya dan bentuknya berupa rangkaian perkataan yang mengandung janjijanji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.34 3. Perjanjian Berlangganan Sambungan telekomunikasi adalah kontrak antara PT. TELKOM dengan PELANGGAN yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan berlangganan sambungan telekomunikasi yang tertuang dalam perjanjian, permohonan, dan prosedur yang disampaikan PT. TELKOM pada PELANGGAN yang merupakan satu kesatuan dan tidak terpisahkan dari perjanjian. 4. Telkom Flexi adalah layanan jasa telekomunikasi berupa suara dan data yang berbasis akses tanpa kabel dengan teknologi Code Devision Multiple Access (CDMA). 33 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 112. 34 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, 1996, hal. 1. Universitas Sumatera Utara Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Kata “semua” dalam pasal tersebut mengindikasikan bahwa orang dapat membuat perjanjian apa saja, tidak terbatas pada jenis perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, dan perjanjian tersebut akan mengikat para pihak yang membuatnya. Pasal 1338 KUH Perdata itu sendiri juga menggunakan kalimat “yang dibuat secara sah”, hal ini berarti bahwa apa yang disepakati antara para pihak, berlaku sebagai undang-undang selama apa yang disepakati itu adalah sah. Artinya tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam hal suatu kontrak ternyata bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan, kontrak tersebut batal demi hukum.35 Secara historis kebebasan berkontrak mengandung makna adanya 5 (lima) macam kebebasan, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. Kebebasan bagi para pihak untuk menutup atau tidak menutup kontrak; Kebebasan untuk menentukan dengan siapa para pihak akan menutup kontrak; Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan bentuk kontrak; Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan isi kontrak; Kebebasan bagi para pihak untuk menentukan cara pembuatan kontrak.36 35 Setiawan, Menurunnya Supremasi Azas Kebebasan Berkontrak, PPH Newsletter, 2003, hal. 1. 36 Johannes Gunawan, dalam Bernadette M. Waluyo, Hukum Perjanjian sebagai Ius Constituendum (Lege Ferenda)” dalam Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas : Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, diedit oleh Ida Susanti dan Bayu Seto, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 60-61. Universitas Sumatera Utara Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya, sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio Interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana take it or leave it (ambil atau tinggalkan). Menurut hukum perjanjian Indonesia, seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Itikad baik merupakan salah satu asas yang terkandung di dalam suatu hukum perjanjian. Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal Universitas Sumatera Utara sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. Itikad baik bukanlah istilah atau unsur yang dikenal dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana Indonesia (KUHP), untuk menggambarkan adanya kesengajaan dalam suatu delik, KUHP lebih sering menggunakan istilah-istilah selain itikad baik, antara lain: “dengan sengaja”, “mengetahui bahwa”, “tahu tentang”, dan “dengan maksud”. Mengenai “itikad baik” dikenal dalam tindak pidana yang tersebar di luar KUHP dan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Mengenai itikad baik dalam KUH Perdata Pasal 1338 ayat 3 dinyatakan bahwa: "… Suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik", selain tentang itikad baik dalam Pasal 531 KUH Perdata dinyatakan sebagai berikut: “Kedudukan itu beritikad baik, manakala si yang memegangnya memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana tak tahulah dia akan cacat cela yang terkandung dalamnya”. Dalam perjanjian dikenal asas itikad baik, yang artinya setiap orang yang membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Itikad baik dalam sebuah penjanjian harus ada sejak perjanjian baru akan disepakati, artinya itikad baik ada pada saat negosiasi prakesepakatan perjanjian, dinyatakan oleh Ridwana Khairandy bahwa: " Itikad baik sudah harus ada sejak fase prakontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak". Itikad baik seharusnya dimiliki oleh Universitas Sumatera Utara setiap individu sebagai bagian dari makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan menciptakan suasana tenteram bersama-sama. Melepaskan diri dari keharusan adanya itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat adalah pengingkaran dari kebutuhannya sendiri, kebutuhan akan hidup bersama, saling menghormati dan saling memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial. Keberadaan itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat memberi arti penting bagi ketertiban masyarakat, itikad baik sebagai sikap batin untuk tidak melukai hak orang lain menjadi jaminan bagi hubungan masyarakat yang lebih tertib. Ketiadaan itikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah pada perbuatan yang secara umum dicela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap batin pembuat yang tidak memiliki itikad baik, sikap batin di sini mengarah pada “kesengajaan sebagai bentuk kesalahan” pembuat yang secara psikologis menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada perbuatan tersebut. Seperti yang telah diuraikan, pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum (pemenuhan syarat subjektif) untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas (pemenuhan syarat objektif). Namun adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu Universitas Sumatera Utara negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak. Dalam praktek dunia usaha juga menunjukkan bahwa “keuntungan” kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan/atau klausula baku. Perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standart contract. Standart contract merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Agar perjanjian standar dapat memberikan pelayanan yang cepat, isi dan syarat perjanjian standar harus diterapkan terlebih dahulu secara tertulis dalam bentuk formulir, kemudian digandakan dalam jumlah tertentu sesuai dengan kebutuhan. Formulirformulir tersebut kemudian ditawarkan kepada para konsumen secara massal, tanpa memperhatikan perbedaan kondisi mereka satu dengan yang lain. Dikatakan bersifat ”baku” karena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Take it or leave it. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang ”kurang dominan” tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan tersebut untuk membuktikan tidak adanya Universitas Sumatera Utara kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut, atau atas klausula baku yang termuat dalam perjanjian yang ada.37 Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan standart contract merupakan perjanjian yang telah dibakukan, yang ciri-cirinya adalah sebagai berikut : 1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonomisnya) kuat. 2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian. 3. Terdorong oleh kebutuhan debitur terpaksa menerima perjanjian itu. 4. Bentuk tertentu (tertulis) 5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.38 Unsur-unsur kontrak baku, yaitu : 1. Diatur oleh kreditur atau ekonomi kuat. 2. Dalam bentuk sebuah formulir 3. Adanya klausul-klausul eksonerasi/pengecualian.39 Dengan melihat kenyataan bahwa bargaining position konsumen pada prakteknya jauh di bawah para pelaku usaha, maka Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen merasakan perlunya pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku dan/atau pencantuman klausula baku dalam setiap dokumen atau 37 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op Cit, hal. 53. Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 285. 39 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 147. 38 Universitas Sumatera Utara perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan definisi tentang perjanjian baku, tetapi merumuskan klausula baku sebagai : ”Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”40 Dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ketentuan mengenai klausula baku ini diatur dalam Bab V tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku yang hanya terdiri dari satu pasal, yaitu Pasal 18. Pasal 18 tersebut, secara prinsip mengatur dua macam larangan yang diberlakukan bagi para pelaku usaha yang membuat perjanjian baku dan/atau mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuat olehnya. Pasal 18 ayat (1) mengatur larangan pencantuman klausula baku dan Pasal 18 ayat (2) mengatur ”bentuk” atau format, serta penulisan perjanjian baku yang dilarang. Dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian di mana klausula baku tersebut akan mengakibatkan : a. Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; 40 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op Cit, hal. 54. Universitas Sumatera Utara b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Selanjutnya, dalam Pasal 18 ayat (2) dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Universitas Sumatera Utara Sebagai konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) tersebut, Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menyatakan batal demi hukum setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memuat ketentuan yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) maupun perjanjian baku atau klausula baku yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (2). Hal ini merupakan penegasan kembali akan sifat kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata jo. Pasal 1337 KUH Perdata. Ini berarti perjanjian yang memuat ketentuan mengenai klausula baku yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) atau yang memiliki format sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (2) dianggap tidak pernah ada dan mengikat para pihak, pelaku usaha, dan konsumen yang melaksanakan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa tersebut. Atas kebatalan demi hukum dari klausula sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini.41 “TELKOMFlexi” adalah layanan jasa telekomunikasi suara dan data berbasis akses tanpa kabel dengan teknologi CDMA yang sangat hemat karena biaya pemakaiannya mengacu pada tarif telepon rumah (PSTN TELKOM). Hemat pula bagi yang melakukan panggilan ke “TELKOMFlexi”, karena layaknya telepon 41 Ibid, hal. 55-56. Universitas Sumatera Utara rumah, pelanggan tidak dikenakan biaya airtime. Didukung teknologi terkini CDMA2000 (IX), membuat “TELKOMFlexi” memiliki kualitas suara yang sangat jernih dan radiasi yang rendah. Jenis terminalnya juga beragam, pelanggan bebas memilih untuk menggunakan terminal mobile atau fixed. G. Metode Penelitian 1. Jenis Peneiltian Penelitian adalah pencarian atas sesuatu (incquiry) secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan.42 Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistimatika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.43 Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisis tentang hak-hak konsumen atas pengguna jasa berlangganan telekomunikasi “TELKOMFlexi” dilihat dari hukum positif secara umum dan UUPK, dan unsurunsur keperdataan serta akibat hukum yang timbul apabila klausula baku yang dimuat dalam perjanjian merugikan konsumen. 42 43 Mohamad Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 13. Soejono Soekanto, Op Cit, hal. 43. Universitas Sumatera Utara Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis). Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif. Selain itu, dalam penelitian ini juga dilakukan pendekatan yuridis sosiologis, dengan meneliti keberlakuan hukum itu dalam aspek kenyataan. Hal ini diperlakukan dengan pertimbangan bahwa efektif tidaknya berlaku suatu aturan hukum sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti perubahan pemikiran masyarakat. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kandatel Medan PT.Telkom Indonesia, Jalan Prof. HM.Yamin No.13 Medan. Universitas Sumatera Utara 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya. Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan, yang dapat berupa wawancara langsung dengan konsumen pengguna jasa telekomunikasi “TELKOMFlexi”, pimpinan dan staf operator jasa telekomunikasi “TELKOMFlexi”, yang dalam penelitian ini dipilih sebagai informan dan narasumber. 4. Sumber Data Penelitian Sumber data yang berupa bahan hasil penelitian kepustakaan diperoleh dari : 1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari ; a. Norma atau kaidah dasar b. Peraturan dasar c. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan konsumen. Universitas Sumatera Utara d. Kontrak atau perjanjian berlangganan jasa telekomunikasi TELKOMFlexi yang memuat klausul baku. 2. Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. 3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan skunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini. 5. Alat Pengumpulan Data Adapun alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa: a. Studi Dokumen, yaitu dengan meneliti dokumen-dokemen yaitu tentang perjanjian dan klausula baku dalam perjanjian. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting yang merupakan dasar dilakukannya penelitian baik dari ketentuan norma dan perundang-undangan maupun kontrak atau perjanjian yang dibuat para pihak. Universitas Sumatera Utara b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide). Wawancara dilakukan terhadap narasumber dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya baik secara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam (depth interview). 6. Analisis Data Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi dilakukan untuk memudahkan pekerjaan analisis dan mengatur urutan data dan mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan kesatuan. Setelah data sekunder diperoleh kemudian disusun secara berturut-turut dan sistematis. Selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif, yaitu dengan cara penguraian, menghubungkannya dengan peraturan-peraturan yang berlaku menghubungkannya dengan pendapat para pakar hukum. Dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini sehingga diperoleh kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan. Universitas Sumatera Utara