BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Estrogen merupakan faktor terpenting di dalam proses reproduksi, di mana berperan di dalam pertumbuhan dan perkembangan saluran reproduksi, kelenjar payudara (pertumbuhan sel duktus, perkembangan sel stroma), pembentukan tubuh wanita, dan mengakselerasi perkembangan pubertas (distimulasi juga oleh adanya sekresi hormon Gonadotropin). Selama siklus mentruasi, estrogen memodulasi pelepasan GnRH dan gonadotropin dan memiliki fungsi yang utama di saluran reproduksi. Pelepasan estrogen di folikular dapat menstimulasi proliferasi dan differensiasi endometrium (Bayliss, 2003). Estrogen juga berpengaruh terhadap jaringan kelenjar payudara. Lobulus yang ada di saluran terminal jaringan kelenjar payudara sangat responsif terhadap estrogen. Di jaringan kelenjar payudara, estrogen menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi sel epitel duktal, menginduksi aktivitas mitotik dari sel silinder dan menstimulasi jaringan ikat kelenjar payudara. Estrogen juga menstimulasi histamin sehingga menimbulkan efek mikrosirkulasi jaringan payudara. Densitas reseptor estrogen sangat tinggi pada saat siklus menstruasi dan setelah ovulasi ( Porter, JC., 1974; Soderqvist, G., 1993). Secara fisiologis, payudara mengalami berbagai perubahan yang dipengaruhi oleh hormonal. Pada saat pubertas, estrogen dan progesteron yang dihasilkan oleh ovarium dan pengaruh hipofisa anterior menyebabkan 1 berkembangnya duktus dan asinus. Sesuai dengan siklus menstruasi, terjadi peningkatan estrogen dan progesteron sehingga terjadi proliferasi sel dan retensi cairan. Pada saat kehamilan, terjadi proliferasi sel akibat pengaruh estrogen, progesteron, laktogen plasenta dan prolaktin. Pada saat menyusui terjadi peningkatan produksi prolaktin dan penurunan estrogen dan progesteron, sedangkan pada saat menopause terjadi involusi payudara diikuti dengan berkurangnya jumlah kelenjar (Rosai, 2005). Perbesaran payudara ini terjadi karena regenerasi, proliferasi, dan penghambatan kerusakan sel epitel payudara. Sel epitel payudara manusia mempunyai reseptor estrogen (ER) yang menstimulasi mammogenesis dan perkembangan kelenjar mamae. Estrogen berikatan dengan ER membentuk kompleks aktif yang berikatan dengan estrogen response element (ERE) DNA dan mempengaruhi transkripsi gen melalui interaksi dengan SP1, AP1, dan NFκB (Nilsson et al., 2001). Estrogen memacu ekspresi protein yang berperan dalan cell cycle progression seperti CycD1, CDK4, CycE, dan CDK 2 serta mempengaruhi gen regulasi pertumbuhan myc (Foster et al., 2001). Defisiensi estrogen dalam jumlah besar pada wanita menopause sangat berpengaruh besar terhadap organ reproduksi, proliferasi sel epitel payudara, peningkatan osteoklas dalam sel tulang sehingga meningkatkan insidensi osteoporosis (Jordan, 2004). Dalam kesehatan medis pemberian Hormon Replacement Therapy (HRT) efektif berperan dalam mengurangi ketidaknyamanan saat fase menopouse pada wanita. HRT berikatan dengan reseptor estrogen sehingga dapat memacu proliferasi organ uterus dan kelenjar payudara (Jordan, 2004). Penggunaan HRT 2 jangka panjang dapat memberikan efek samping yaitu memicu terjadinya kanker payudara, stroke, bahkan pembekuan darah (Jordan, 2004). Oleh karena itu diperlukan adanya alternatif pengganti yang relatif aman digunakan. Fitoestrogen merupakan salah satu alternatif HRT (Hormon Replacement Therapy) yang berasal dari tumbuhan dan mempunyai struktur kimia yang mirip dengan estrogen misal fitoestrogen yang berasal dari tanaman bengkoang (Pachyrhizus erosus (L) Urb). Oleh karena itu, fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen dan memberikan efek estrogenik (Gruber et al., 2002) yaitu memacu perkembangan sel epitel payudara. Efek estrogenik terjadi karena sel epitel payudara sangat responsif terhadap estrogen. Sel epitel payudara mengekspresikan reseptor estrogen (ER) yang menstimulasi perkembangan payudara (Van De Graaff and Fox, 1995). Senyawa-senyawa yang merupakan fitoestrogen antara lain flavonoid (flavon, flavonol, flavanon, isoflavon, dan antosianidin), coumestan, lignan, dan stilben (Ross and Kasum, 2002). Sedangkan Lukitaningsih (2009) telah melakukan isolasi dan identifikasi pada bengkoang terhadap senyawa fitoestrogenik menunjukkan hasil bahwa bengkoang mengandung sedikitnya 4 senyawa daidzin, genistein, daidezin glucopyranose dan pterokarpanol serta 2 senyawa fitosterol (stigmasterol dan sitosterol). Hasil penelitian in vitro mengenai efek daidzein terhadap sel kanker manusia (Zava & Duwe 1997) adalah ditemukannya efek estrogenik dan ERindependent cell growth-inhibitory actions. Dalam konsentrasi tertentu, daidzein dapat berfungsi sebagai estrogen agonis dan growth regulator. Miksicek (1995) mengatakan bahwa adanya hidroksilasi yang optimum menjadikan flavonoid 3 memiliki aktivitas estrogen. Miksicek melaporkan bahwa adanya subtituent hidroksi pada posisi 4’ dan 7 efek estrogeniknya lebih rendah daripada genistein karena daidzein memiliki subtituen hidroksi pada posisi 5’. Menurut Yildiz (2005), struktur kunci yang membuat fitoestrogen dapat berikatan dengan ER dan memperlihatkan efek estrogenik antara lain: 1. Cincin fenol yang sangat diperlukan untuk berikatan dengan ER 2. Cincin isoflavon yang mirip cincin estrogen pada sisi ikatan reseptor 3. Bobot molekul yang rendah yang mirip dengan estrogen 4. Jarak antara 2 gugus hidroksi pada inti isoflavon yang mirip dengan estradiol (11,0-11,5Å). Adanya kandungan isoflavon pada fraksi etil asetat umbi bengkoang masih memerlukan pembuktian secara ilmiah, terutama senyawa (8,9)- furanylpterocarpanol-3-ol. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk menguji efek pemberian fraksi etil asetat umbi bengkoang terhadap histopatologi kelenjar mamae tikus Spalgue Dawley terovariektomi dan proliferasi sel T47D secara in vitro. B. Rumusan Masalah 1. Apakah fraksi etil asetat umbi bengkoang (Pachyrhizus erosus (L) Urb) memiliki efek estrogenik dan berapakah dosis dari fraksi tersebut yang memiliki efek estrogenik terhadap proliferasi sel T47D secara in vitro? 2. Apakah fraksi etil asetat umbi bengkoang (Pachyrhizus erosus (L) Urb) memiliki efek estrogenik dan berapakah dosis dari fraksi tersebut yang 4 memiliki efek estrogenik terhadap proliferasi sel kelenjar mamae tikus Sprague Dawley terovariektomi? 3. Apakah fraksi etil asetat umbi bengkoang (Pachyrhizus erosus (L) Urb) memiliki ekpresi ER dan cMy sebagai parameter aktivitas estrogenik terhadap sel kelenjar mamae Sprague Dawley ? C. Keaslian penelitian Penelitian efek estrogenik fraksi etil asetat umbi bengkoang pada tikus Sprague Dawley terovariektomi dan sel T47D belum pernah dilakukan. Pada umumnya penelitian yang sudah pernah dilakukan mengenai penggunaan umbi bengkoang di Indonesia adalah penggunaannya sebagai produk kosmetik sebagai skin whitening dan sunscreen. Lukitaningsih (2009) melaporkan bahwa bengkoang beraktivitas sebagai sunscreen dan skin whitening karena adanya senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas mengabsorbsi UV, antioksidatif, dan menghambat enzim tirosinase. Penelitian umbi bengkoang masih diperlukan penelitian lanjutan untuk menggali potensi lain dari tanaman ini. D. Tujuan Melalui penelitian ini diharapkan mendapatkan bukti-bukti ilmiah penggunaan ekstrak dari umbi bengkoang yang mengandung fitoestrogen, sehingga tidak hanya digunakan sebagai skin whitening tetapi juga dikembangkan sebagai alternatif HRT dan supplemen produk kosmetik untuk perawatan dan pemeliharaan payudara untuk wanita postmenopouse. 5