2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 Penyakit Diare Pengertian Diare Diare atau penyakit diare berasal dari bahasa Yunani yaitu “diarroia” yang berarti mengalir terus (to flow trough), merupakan keadaan abnormal pengeluaran tinja yang terlalu sering. Menurut WHO secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya atau lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan perubahan konsisten tinja (menjadi cair) dengan tau tanpa darah. Hal ini disebabkan adanya perubahan-perubahan dalam transport air dan elektrolit dalam usus, terutama pada keadaan-keadaan dengan gangguan intestinal pada fungsi digesti, absorpsi dan sekresi. Diare adalah suatu penyakit dengan tandatanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi berak lebih dari biasanya (3 kali atau lebih dalam 1 hari) (Depkes RI, 2005). Sedangkan, menurut Widjaja (2002), diare diartikan sebagai buang air encer lebih dari empat kali sehari, baik disertai lendir dan darah maupun tidak. Hingga kini diare masih menjadi child killer (pembunuh anakanak) peringkat pertama di Indonesia. Semua kelompok usia diserang oleh diare, baik balita, anak-anak dan orang dewasa. Diare yang terus menerus merupakan gejala penyakit berat seperti tipus, kolera dan kanker usus. Diare berat dapat menyebabkan dehidrasi dan dapat pula membahayakan jiwa (Depkes RI, 2001). 7 8 2.1.2 Jenis Diare Secara umum diare diklasifikasikan menjadi 4 kelompok (Depkes RI, 2009) 1. Diare akut, yaitu buang air besar lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dan bertambah banyaknya cairan yang dikeluarkan dari biasanya dan berlangsung kurang dari 14 hari. 2. Disentri, yaitu diare yang disertai dengan darah dalam tinjanya. Disentri dapat berakibat menurunnya berat badan dengan cepat, anoreksia dan kemungkinan terjadinya komplikasi pada mukosa usus. 3. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terusmenerus yang berakibat pada penurunan berat badan dan ganggguan metabolism sehingga menyebabkan berkurangnya penyerapan gizi. 4. Diare dengan penyakit penyerta; anak yang menderita diare (diare akut dan persisten) mungkin juga disertai dengan penyakit lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya. Diare dapat juga diklasifikasikan berdasarkan derajat dehidrasinya yaitu (Syarbaini, 2002) 1) Diare dengan dehidrasi ringan yaitu kehilangan cairan sampai 5% dari berat badan. 2) Diare dengan dehidrasi sedang yaitu kehilangan cairan 6-10% dari berat badan. 3) Diare dengan dehidrasi berat yaitu kehilangan cairan lebih dari 10% dari berat badan. 9 2.1.3 Etiologi Penyebab diare dapat dikelompokkan menjadi 5 yaitu (Hamdani, 2001) : 1. Faktor Infeksi Infeksi enternal, infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare pada balita meliputi: a. Infeksi bakteri seperti Vibrio Cholera, E.coli, Salmonella, Shigella, Clostridium perfringens dan Staphilococcus aereus. b. Infeksi virus seperti Entovirus, Adenovirus, Rotavirus c. Infeksi parasit seperti cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyris, strongyloides), protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lambia, Trichomonas hominis), jamur (Candida albicans) d. Infeksi parenteral adalah infeksi diluar alat percenaan makanan seperti otitis madia akut (OMA), tonsillitis, bronkopneumonia dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur di bawah 2 tahun. 2. Faktor malabsorpsi Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan lemak. Malabsorpsi karbohidrat, pada bayi kepekaan terhadap lactoglobulis dalam susu formula dapat menyebabkan diare. Gejalanya berupa diare berat, tinja berbau sangat asam, dan sakit di daerah perut. Sedangkan malabsorpsi lemak, terjadi bila dalam makanan terdapat lemak yang disebut triglyserida. Triglyserida, dengan bantuan kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorpsi usus. Jika tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat muncul karena lemak tidak terserap dengan baik. 10 3. Faktor makanan: makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan, makanan mentah dan kurang matang. Makanan yang terkontaminsi jauh lebih mudah mengakibatkan diare pada anak-anak balita. 4. Faktor psikologis: rasa takut dan cemas dapat menyebabkan diare kronis. Tetapi jarang apan anak balkita umumnya terjadi pada anak yang lebih besar. 5. Faktor-faktor lain seperti kurangnya penyediaan air brsih, kurangnya fasilitas sanitasi dan hygiene perorangan, pemberian makanan pendamping ASI. 2.1.4 Gejala Diare Gejala diare adalah tinja yang encer dengan frekuensi 4 kali atau lebih dalam sehari, yang kadang disertai muntah, badan lesu atau lemah, panas, tidak nafsu makan darah dan lendir dalam kotoran, rasa mual dan muntah dapat mendahului diare yang disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi bisa secara tiba-tiba menyebabkan diare, muntah, tinja berdarah, demam, penurunan nafsu makan atau kelesuan. Selain itu, dapat mengalami sakit perut dan kejang perut, serta gejala-gejala lain seperti flu, demam, nyeri otot atau kejang dan sakit kepala. Gangguan bakteri dan parasit kadang-kadang menyebabkan tinja mengandung darah atau demam tinggi. (Amirudin, 2007). Dehidrasi merupakan gejala yang segera terjadi akibat pengeluaran cairan tinja berulang-ulang. Dehidrasi terjadi akibat kehilangan air dan elektrolit yang melebihi pemasukannya ( Hamdani, 2001). 11 2.1.5 Cara Penularan Kuman yang menyebabkan penyakit diare biasanya ditularkan melalui jalan mulut karena ( Sinthamurniwaty, 2006): 1. Makanan yang terkontaminasi dengan tinja atau muntahan penderita diare melalui serangga seperti lalat dan kecoa. 2. Tangan yang terkontaminasi kuman penyebab diare. 3. Air yang telah tercemar dengan tinja. 2.1.6 Pencegahan Diare Pencegahan terhadap penyakit diare antara lain ( Sinthamuniwaty, 2006) 1. Terhadap faktor penjamu. Mempertinggi daya tahan tubuh manusia dan meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam prinsip-prinsip hygiene perorangan. Pencegahan diare pada anak balita antara lain: 1) Imunisasi Salah satu jalan pintas yang sangat ampuh untuk menurunkan angka kesakitan suatu penyakit infeksi baik oleh virus maupun bakteri adalah imunisasi. Hal ini berlaku pula untuk penyakit diare dan penyakit gastrointestinal lainya. Untuk dapat membuat vaksin secara baik, efisien. dan efektif diperlukan pengetahuan mengenai mekanisme kekebalan tubuh pada umumnya terutama, kekebalan saluran pencernakan makanan. 2) Pemberian ASI ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar 12 terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama kehidupan, risiko mendapat diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian 3) Perilaku hidup bersih dan sehat Untuk melakukan pola perilaku hidup bersih dan sehat dilakukan beberapa penilaian antara lain adalah : a) Air bersih, keluarga menggunakan air bersih (PAM, sumur, perpipaan) untuk keperluan sehari-hari. b) Jamban keluarga, keluarga buang air besar di jamban atau WC yang memenuhi syarat kesehatan. c) Air yang di minum dimasak terlebih dulu. d) Mandi menggunakan sabun mandi. e) Selalu cuci tangan sebelum makan dengan menggunakan sabun f) Pencucian peralatan menggunakan sabun. g) Limbah, apakah SPAL sering di bersihkan. 2. Terhadap faktor bibit penyakit. 1) Memberantas sumber penularan penyakit, baik dengan mengobati penderita maupun carrier atau dengan meniadakan reservoir penyakit. 2) Mencegah terjadinya penyebaran kuman, baik di tempat umum maupun di lingkungan rumah. 3) Meningkatkan taraf hidup rakyat, sehingga dapat memperbaiki dan memelihara kesehatan. 13 3. Terhadap faktor lingkungan Mengubah atau mempengaruhi faktor lingkungan hidup, sehingga faktorfaktor yang tidak baik dapat diawasi sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan kesehatan manusia. 2.2 Faktor Risiko Kejadian Diare pada Balita 2.2.1 Faktor Host 1. Pemberian ASI Eksklusif ASI eksklusif yaitu pemberian ASI saja pada bayi tanpa tambahan makanan dan minuman lain kecuali sirup obat dan vitamin dalam bentuk tetes, untuk jangka waktu bayi sampai umur 6 bulan (Depkes RI, 2005). Kandungan protein ASI cukup tinggi dan komposisinya berbeda dengan protein yang terdapat dalam susu sapi. Pemberian ASI yang dianjurkan adalah ASI eksklusif selama 6 bulan yang diartikan bahwa bayi hanya mendapatkan ASI saja tanpa makanan atau minuman lain termasuk air putih (Matondang, dkk, 2008). Pemberian ASI secara eksklusif dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan, tetapi bila mungkin sampai 6 bulan (Roesli, 2005). Idealnya bayi yang diberi ASI eksklusif tidak terkena diare karena ASI merupakan makanan alami yang ideal bagi bayi dan sesuai dengan kondisi sistem pencernaan bayi yang belum matur (pada bayi 0-6 bulan) sehingga tidak menyebabkan alergi pada bayi. Namun ada juga bayi yang diberi ASI eksklusif terkena diare baik jarang maupun sering. Hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor baik dari bayi maupun perilaku ibu. Penyebab diare dari faktor bayi adalah adanya infeksi baik di dalam ataupun di luar saluran pencernaan baik itu infeksi bakteri, virus, 14 maupun infeksi parasit. Penelitian yang diperoleh di Kecematan Duren Sawit yaitu ASI eksklusif berpengaruh terhadap kejadian diare pada balita dengan nilai OR sebesar 4,11 (Giyantini, 2000). Pemberian ASI eksklusif merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian diare balita di Kabupaten Aceh Tamiang dengan nilai OR 2,09 (Syarbaini, 2002) 2. Status gizi. Status gizi merupakan indicator ketiga dalam menentukan derajat kesehatan anak. Status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak mencapai kematangan yang optimal. Pada penderita kurang gizi serangan diare terjadi lebih sering terjadi. Semakin buruk keadaan gizi anak, semakin sering dan berat diare yang diderita. Pada anak malnutrisi terdapat kontaminasi bakteri pada usus halus bagian atas yang dapat mengakibatkan diare dan kehilangan cairan serta gangguan absorpsi bahan makanan yang berakibat pada kematian (Giyantini, 2000). Status gizi ini sangat dipengaruhi oleh kemiskinan, ketidak tahuan dan penyakit. Beberapa penelitian menunjukkan variabel yang paling berisiko terhadap diare pada balita di Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur yaitu variabel status gizi dimana status gizi buruk mempunyai risiko untuk terjadinya diare pada balita 5,69 kali lebih besar dari balita dengan status gizi (Giyantini, 2000). Penelitian lain yang memperoleh hasil yang signifikan yaitu penelitian di Semarang dimana status gizi yang rendah berisiko 4,213 kali lebih besar menderita diare pada balita dibandingkan dengan status gizi yang baik (Sinthamurniwaty, 2006). Faktor risiko yang bermakna dengan kejadian diare balita di Lombok yaitu status gizi balita dengan OR sebesar 3,069 (Krismarini, 2009) 15 3. Pengetahuan Ibu Tingginya angka kesakitan dan kematian sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu. Pengetahuan yang merupakan parameter keadaan sosial sangat menentukan derajat kesehatan masyarakat. Pengetahuan ibu sangat berperan dalam hal pemeliharaan kesehatan anak-anaknya. Ibu yang memiliki pendidikan yang cukup akan mempunyai wawasan yang luas dalam memelihara kesehatan anaknya (Giyantini, 2000). Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan dapat terus ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan sosialnya menjadi sehat (Krismarini, 2009) 4. Sosial Ekonomi Proses sehat dan sakit dalam suatu masyarakat pada dasarnya ditentukan oleh ciri sosial dimana anak dilahirkan dan bertumbuh kembang. Faktor sosial ekonomi merupakan faktor penentu morbiditas dan mortalitas bayi dan anak. (Syarbaini, 2002). Sosial ekonomi juga mempunyai pengaruh langsung terhadap faktor-faktor penyebab diare. Kebanyakan anak mudah menderita diare berasal dari keluarga besar dengan daya beli rendah, kondisi rumah yang buruk, tidak mempunyai penyediaan air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan, pendidikan orang tuanya yang rendah dan sikap serta kebiasaan yang tidak menguntungkan. Karena itu faktor edukasi dan perbaikan ekonomi sangat berperan dalam pencegahan dan penanggulangn diare. 5. Pekerjaan Karakteristik pekerjaan seseorang dapat mencerminkan pendapatan, status sosial, pendidikan, status sosial ekonomi, risiko cedera atau masalah kesehatan dalam suatu kelompok populasi. Pekerjaan juga merupakan suatu determinan 16 risiko dan determinan terpapar yang khusus dalam bidang pekerjaan tertentu serta merupakan prediktor status kesehatan dan kondisi tempat suatu populasi bekerja (Widyastuti, 2005). Ayah dan ibu yang bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta rata-rata mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan ayah dan ibu yang bekerja sebagai buruh atau petani. Jenis pekerjaan umunya berkaitan dengan tingkat pendidikan dan pendapatan. Tetapi ibu yang bekerja harus membiarkan anaknya diasuh oleh orang lain, sehingga mempunyai risiko lebih besar untuk terkena penyakit diare (Giyantini, 2000). 6. Pendidikan Pendidikan masyarakat yang rendah menjadikan mereka sulit diberi tahu mengenai pentingnya higyene perorangan dan sanitasi lingkungan untuk mencegah terjangkitnya penyakit menular diantaranya diare. Dengan sulitnya mereka menerima penyuluhan, menyebabkan mereka tidak peduli terhadap upaya pencegahan penyakit menular (Sander, 2005). Tingginya angka kesakitan dan kematian karena diare di Indonesia disebabkan oleh faktor kesehatan lingkungan yang belum memadai, keadaan gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi dan masyarakat yang secara langsung perilaku maupun tidak langsung mempengaruhi keadaan penyakit diare. Masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi lebih berorientasi pada tindakan preventif, mengetahui lebih banyak tentang masalah kesehatan dan memiliki status kesehatan yang lebih baik. Pada perempuan, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah angka kematian bayi dan kematian ibu (Widyastuti, 2005). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Erial dkk (1994), ditemukan bahwa kelompok ibu dengan status pendidikan 17 SLTP keatas mempunyai kemungkinan 1,6 kali memberikan cairan rehidrasi oral dengan baik pada balita dibanding dengan kelompok ibu dengan status pendidikan SD kebawah. Jenjang pendidikan memegang peranan cukup penting dalam kesehatan masyarakat. 7. Kebiasaan mencuci tangan Diare merupakan salah satu penyakit yang penularannya berkaitan dengan penerapan prilaku hidup sehat. Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecal oral. Kuman-kuman tersebut ditularkan dengan perantara air atau bahan yang tercemar tinja yang mengandung mikroorganisme pathogen dengan melalui air minum. Pada penularan ini seperti ini, tangan memegang peranan penting, karena lewat tangan yang tidak bersih makanan atau minuman tercemar kuman penyakit masuk ke tubuh manusia. Kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun adalah sebagai perilaku amat penting bagi upaya mencegah diare. Kebiasaan mencuci tangan diterapkan setelah buang air besar, setelah menangani tinja anak, sebelum makan atau member makana anak dan sebelum menyiapkan makanan. Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare dikemukakan oleh Bozkurt et al (2003) di Turki, orang tua yang tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum merawat anak, anak mempunyai risiko lebih besar terkena diare. 2.2.2 Faktor Lingkungan 1. Sanitasi makanan dan minuman Sanitasi makanan meliputi kegiatan atau usaha yang ditujukan kepada keberishan dan keamanan agar tidak menimbulkan suatu penyakit. Usaha-usaha 18 sanitasi tersebut meliputi tindakan-tindakan saniter yang ditujukan pada semua tingkatan, saat bahan makanan dibeli, disimpin, diolah dan disajikan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam sanitasi makan dan minuman untuk mencegah diare antara lain (Suarsana, 2008) 1) Mengonsumsi makanan yang sudah dimasak dengan baik dan benar. 2) Memakai dan memelihara peralatan dalam keadaan bersih. 3) Selalu menjaga agar kondisi kita dalam keadaan bersih dan sehat. 4) Menggunakan air bersih dan sehat, baik untuk memasak minum dan mencuci peralatan makanan 5) Menjaga lingkungan agar tetap dalam kondisi yang bersih. 6) Menjaga binatang peliharaan dan menbersihkan kotoran secara teratur. Air minum yang juga merupakan media penyebaran penyakit diare hendaknya diusahakan memenuhi persyaratan kesehatan agar tidak menyebabkan penyakit. Adapun persyaratan kesehatan air inum antara lain: 1) Syarat fisik: persyaratan fisik untuk air minum yang sehat adalah bening (tidak berawrna), tidak berasa, suhu dibawah suhu udara diluarnya, sehingga dalam kehidupansehari-hari tidak susah untuk mengenal air yang memenuhi persyaratn fisik. 2) Syarat bakteriologi: air untuk keperluan minum yang tidak sehat harus bebas dari segala bakteri, terutama bakteri pathogen. 3) Syarat kimia: air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu didalam jumlah tetrtentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat kimia dalam air akan menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia. 19 Sanitasi makanan dan minuman yang kurang merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kejadian diare pada balita. Penelitian membuktikan ada hubungan dengan penyediaan bahan makanan (OR 8,105), penyimpanan makanan (OR 4,929) terhadap kejadian diare pada balita di kabupaten Kebumen (Rachmanti, 2006) 2. Sarana Pembuangan Tinja Kejadian diare lebih besar dari pada keluarga yang tidak memupunyai fasilitas jamban keluarga berkaitan dengan personal hygiene dari masyarakat yang ditunjang dengan situasi kebiasaan yang menimbulkan pencemaran lingkungan sekitarnya terutama di daerah-daerah dimana air merupakan masalah dan kebiasaan buang air besar yang tidak sehat. Ketentuan sistem pembuangan tinja (jamban) yang memenuhi syarat kesehatan harus memenuhi kriteria berikut : 1) Tidak mencemari sumber air tanah dan sumber air permukaan 2) Tidak terjangkau oleh serangga dan binatang penular penyakit 3) Tidak mengganggu estetik. Menurut penelitian Wagner (1958) yang dikutip Sugiharto, jarak penyebaran pencemaran bakteri dari tempat penampungan tinja sesuai dengan arah aliran air tanah dapat mencapai 11 meter, sedangkan penyebaran bahan kimia dapat mencapai 95 meter dari sumbernya. Penyebaran vertikal pada lapisan tanah yang jauh dari muka air tanah adalah 3 meter dengan lebar sekitar 1 meter. Berdasarkan hal ini maka syarat jarak lokasi jamban dari sumber air bersih minimal adalah 10 meter. Pada daerah miring, maka lokasi jamban sebaiknya diletakkan di bawah sumber air bersih. Tinja sebagai hasil buangan metabolisme 20 tubuh manusia yang sarat dengan kuman penyebab penyakit, apabila tidak dikelola dengan baik dapat menjadi sumber kuman penyakit diare yang ditularkan kepada manusia lain melalui sumber air bersih yang terkontaminasi maupun melalui vektor pembawa penyakit seperti serangga dan binatang pengganggu. Berdasarkan hasil penelitian ada perbedaan kualitas jamban dengan kejadian diare pada anak balita (OR = 3,059). Penelitian lain menunjukkan kepemilikan dan pemanfaatan jamban keluarga yang kurang baik atau tidak memiliki jamban dapat meningkatkan kejadian diare pada balita dengan nilai OR 4,85 (Suarsana, 2008). 3. Sarana Air Bersih Air merupakan kebutuhan pokok untuk kehidupan manusia. Penyediaan air yang sangat penting dalam pencegahan penyakit, untuk fasilitas perorangan, rumah tangga dan hygiene makanan. Penyediaan air untuk kepentingan rumah tangga yang memenuhi akan mempunyai kontribusi dalam menurunkan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui tinja ke mulut dan penyakit yang dapat ditularkan melalui lainnya. Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih yang benar-benar bersih mempunyai risiko menderita diare lebih kecil dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih. Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare yatu menggunakan air bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanan dirumah (Meiyati, 2003). Menurut WHO sekitar 60% penduduk dinegara-negara yang sedang berkembang hidup dalam lingkungan yang tidak sehat, terutama kurangnya penyediaan air bersih dan menyebabkan 100-2500 anak balita meninggal tiap jam karena diare, fakta menunjukkan 21 bahwa upaya peningkatan kebersihan/sanitasi, dirumah dan lingkungan hidup kita akan dapat menghilngkan 80%-90% penyakit dan penyebabnya yang melanda masyarakat tersebut. Salah satu faktor risiko kejadian diare pada balita di Indonesia yaitu sarana air bersih dengan nilai OR 1,37 (Harianto, 2004). Penelitian menunjukkan di Kecamatan Duren Sawit memperoleh hasil sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat berisiko 5,41 kali lebih besar untuk menyebabkan diare pada balita (Giyantini, 2000). Penelitian lain menunjukkan bahwa kejadian diare pada balita terkait dengan sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan dengan nilai PR 2,000 responden yang tidak memiliki sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan memiliki risiko 2 kali lebih besar (Pramesti, 2011).