BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejarah mencatat bahwa hampir semua bangsa di dunia ini mempunyai riwayat yang sama dalam satu hal yakni bertatanan patriarkhal. Marjinalisasi terhadap kaum perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. Perkembangan sejarah kemudian mencatat bahwa marjinalisasi itu tidak berkurang melainkan justru meningkat dan mengakar dalam bentuk budaya dan nilai-nilai estetika yang diyakini kebenaran dan keabsahannya oleh sebagian besar manusia bahkan terkadang oleh kaum perempuan itu sendiri. Situasi ini lalu melahirkan sebuah sistem budaya patriarkhi yang sangat merugikan kaum perempuan.1 Sistem budaya ini yang banyak terdapat dalam budaya bangsa-bangsa di dunia, termasuk bangsa Israel. Tidak dapat disangkal bahwa Bangsa Israel bertatanan patriarkal. Keputusan yang menentukan hidup masyarakat diambil oleh kaum bapak2 dengan demikian jelas sekali sistem budaya bangsa Israel merupakan sistem budaya patriarkhi. Patriarkhi sendiri berasal dari kata pater yang artinya bapak dan arche yang artinya kekuasaan. Patriarkhi berarti kekuasaan bapak/laki-laki yang mendominasi, mensubordinasi, dan mendiskriminasikan kaum perempuan dalam segala bidang kehidupan, baik menyangkut badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, maupun statusnya entah dalam keluarga, jemaat 1 umaimahwahid, “MEDIA MASSA DAN HEGEMONI NEGARA TERHADAP REALITAS POLITIK PEREMPUAN:Analisis Gramscian Atas Proses Perjuangan Affirmative Action Kuota 30 Persen” dalam http://budiluhur.academia.edu, diunduh 22 Februari 2012 2 Marie Claire Barth-Frommel, Hati Allah bagaikan Hati Seorang Ibu : Pengantar Teologi Feminis, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2003, 65 atau masyarakat. Segala bidang kehidupan bersifat androsentris, yaitu berpusat pada lakilaki.3 Melihat dari perjalanan Abram (kemudian disebut Abraham), anaknya Ishak dan cucunya Yakub hingga keturunannya menjadi duabelas suku sebagai bangsa Israel yang besar, nama-nama seperti Musa, Harun dan Yosua yang disebut sebagai pemimpin dan yang menjadi pahlawan bangsa Israel hanyalah nama-nama laki-laki. Dari sini menjadi jelas bahwa bangsa Israel menganut budaya patriarkhi dalam kehidupan komunitas mereka. Meskipun tentu saja ada nama-nama perempuan seperti Sarai (kemudian disebut Sara) sebagai istri Abraham, Ribka sebagai istri Ishak, Lea dan Rahel sebagai istri Yakub, Zipora sebagai istri Musa serta Miryam, saudara perempuan Musa dan Harun. Namun tetap saja nama mereka hanya sekedar hiasan untuk menunjukkan kepemimpinan dan kepahlawanan para laki-laki. Kaum perempuan memegang peranan di latar belakang saja. Para pria selalu merindukan kehadiran perempuan di sisi mereka, untuk dijadikan istri yang ideal yang melahirkan anak-anak dalam keluarga. Setiap ibu di dalam keluarga bangsa Israel dituntut untuk mengajar putrinya supaya mahir mengurusi keperluan rumah tangga, rajin, jujur, setia, suka mengalah, bagaimana mengabdi kepada calon suami dan berbagai keterampilan lainnya. Peran sebagai ibu rumah tangga bukanlah peran yang mudah dan ringan. Seorang ibu yang hendak melahirkan anaknya harus mengalami pengalaman “susah payah” seperti yang telah diingatkan kepada Hawa, dan itu juga mengandung resiko meninggal dunia pada waktu proses kelahiran itu berlangsung.4 3 M. Nur Widi, Eklesiologi ardas Keuskupan Agung Semarang, Yogyakarta:Kanisius, 2009, 126 4 Wilson Nadeak, Perempuan-Perempuan Pemberani, Bandung:Lembaga Literatur Baptis, 2005, 10-11 Para penulis Alkitab menempatkan perempuan pada posisi yang sentral dalam keluarga. Perempuan ditempatkan pada pusat keluarga sebagai penjaga keluarga dan menjadi ibu yang melahirkan anak, membesarkan mereka, dan mengurusi segala tetek bengek keperluan hidup sehari-hari. Kaum perempuan melaksanakan keputusankeputusan yang dibuat dan dirancang kaum lelaki, karena pada hakikatnya mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan itu. Begitulah hasil pergulatan hidup dalam sistem kekeluargaan yang patriarkhal, saat kaum pria menjadi dominan dan menentukan garis keturunan, perempuan berperan sebagai penjaga gawang.5 Namun ada hal menarik dalam sejarah patriarkhi bangsa Israel. Alkitab mencatat nama-nama perempuan Israel yang turut mengukir sejarah bangsa Israel di samping nama-nama istri dari Bapa Leluhur mereka. Beberapa nama yang mungkin familiar bagi kita yang pernah membacanya. Sebut saja Tamar, Debora, Rut, Batsyeba, Ester, Maria, Elizabet, Lidia, Priskila dan masih banyak lagi nama-nama yang lain. Di antara namanama ini, ada yang menonjol dan mengundang rasa ingin tahu yang mendalam, karena namanya muncul di antara nama para hakim yang memimpin bangsa Israel pada saat bangsa itu baru terbentuk. Menariknya ia sebagai pemimpin bukan karena ketenaran nama orang lelaki terdekatnya/suaminya melainkan karena kecakapannya sendiri, ia diakui sebagai satu-satunya hakim perempuan dalam Alkitab dan dalam sejarah bangsa Israel. Hakim perempuan yang menjadi sorotan itu ialah Debora, perempuan yang diakui sehingga dijadikan pemimpin dalam kehidupan patriarkhi bangsa Israel di zamannya. Tak dapat dipungkiri hal ini mengundang suatu rasa penasaran untuk mengungkapkan kenyataan dibalik diakuinya seorang perempuan menjadi pemimpin 5 ibid, 5 suatu bangsa yang menganut budaya patriarkhi yang kental di masa yang lampau. Jika dilihat dari kebudayaan patriarkhi yang telah mengakar dalam bangsa Israel sepertinya mereka tidak mungkin mengakui perempuan sebagai pemimpin namun perlakuan kepada Debora dengan mengakuinya sebagai pemimpin mengisyaratkan bahwa bangsa Israel tidak begitu fanatik dengan budaya patriarkhinya dengan memarjinalisasi perempuan sebagai kelas dua yang tidak mempunyai kemampuan apa-apa. Kesediaan bangsa Israel diwakili Barak yang mengakui pentingnya peran Debora untuk turut maju dalam perang melawan pasukan Sisera. Di sisi lain, pengakuan ini dapat dikatakan mempunyai landasan teologis karena bangsa Israel saat itu merupakan Negara Teokrasi sehingga siapapun yang ditunjuk oleh Tuhan sebagai pemimpin mereka akan selalu mendapat pengakuan tanpa memandang latar belakang suku maupun gender. Terbukti hakim Debora dengan statusnya sebagai seorang perempuan, diakui peranannya dalam kehidupan bangsa Israel. Oleh karena itu tulisan ini diberi judul, Hakim Debora (Studi Pustaka terhadap Peran Hakim Debora dalam Kehidupan Patriarkhi Bangsa Israel) 1.2. Perumusan Masalah Dengan latar belakang di atas, maka masalah penelitian ini dapat dijabarkan dalam pertanyaan sebagai berikut : a. Bagaimana peranan Hakim perempuan Debora dalam kehidupan patriarkhi bangsa Israel? b. Mengapa Bangsa Israel mengakui seorang perempuan sebagai pemimpinnya meskipun mereka bertatanan patriarkhi? 1.3. Batasan Masalah Dengan rumusan masalah di atas maka tulisan ini diberikan batasan masalah terhadap peranan Hakim Debora yang mencakup tiga hal yaitu peranan sebagai seorang nabiah, seorang hakim dan seorang pemimpin militer. 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk a. mendeskripsikan peran Debora di tengah-tengah kehidupan bangsa Israel b. mendeskripsikan alasan Bangsa Israel mengakui Debora sebagai hakim 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua yakni : Secara teoritis, tulisan ini sebagai kontribusi dalam ilmu pendidikan Teologi berkaitan dengan mengkaji peranan hakim Debora sebagai satu-satunya hakim perempuan yang diakui dalam kehidupan bangsa Israel yang sangat kental dengan budaya patriarkhi serta sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai peranan-peranan perempuan dalam kehidupan masyarakat. Secara praktis, tulisan ini ingin menyatakan bahwa perempuan bisa berperan dalam mengambil keputusan bahkan bisa menjadi pemimpin yang baik bagi suatu kelompok sosial yang berbudaya patriakhi dengan tidak mempermasalahkan status gender. 1.6. Metode Penelitian Metode penelitian yang saya gunakan untuk membantu penulisan ini adalah metode penelitian kualitatif dengan studi pustaka yakni membaca dan mempelajari sumber kepustakaan yang ada dan berkaitan dengan masalah penelitian sebagai referensi yang mendukung penganalisisan data. Teori untuk mendeskripsikan budaya patriarkhi dalam bangsa Israel dengan teori patriarkhi, teori kepemimpinan partnership untuk menjelaskan kepemimpinan yang terjalin antara Debora dan Barak serta teori feminis liberal. Sumber data yang saya pakai dalam penelitian ini ialah sumber kepustakaan dengan menggunakan data sekunder yang meliputi Alkitab, teks/ buku ajar, jurnal dan internet. Sistematika Penulisan : Bab I Pendahuluan Berisi latar belakang penulisan, perumusan masalah,batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori Pembahasan mengenai teori-teori yang dipakai untuk membuat tulisan ini antara lain teori patriarkhi dari sudut pandang antropologis, sosiologis dan teologis; teori kepemimpinan partnership (bermitra); teori feminisme liberal; budaya patriarkhi Israel Bab III Debora dalam Kehidupan Bangsa Israel Pembahasan mengenai peran Debora dalam lingkup sosial dan agama serta dalam perang antara Israel dengan Kanaan Bab IV Pengakuan Terhadap Debora Pembahasan mengenai pengakuan atas peran Debora sebagai perempuan dalam bangsa Israel yang merupakan masyarakat patriarkhal Bab V Penutup Berisi kesimpulan dan saran