BAB IV REFLEKSI Pada bagian ini, penulis akan membuat refleksi teologis yang berisikan sebagai berikut, yaitu: manusia (baik laki-laki maupun perempuan) adalah gambar Allah yang secara bersama bertanggungjawab mewujudkan keadilan di dunia. Dalam melaksanakan tanggungjawab tersebut, baik laki-laki maupun perempuan adalah bermitra sejajar. Dengan demikian, perempuan juga turut disertakan dalam kepemimpinan Gereja sebagaimana diungkapkan dalam Alkitab. 4.1.Manusia gambar Allah Sejak awal penciptaan sebagaimana disaksikan Alkitab, pesan kesetaraan jender sudah terkandung di dalam penciptan. Hal ini ditegaskan dalam Kitab Kejadian 1: 26 – 28, yang berbunyi : “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut....Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya dan menurut gambar Allah diciptakanNya dia: laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka.” Hal ini menyatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dalam gambar Allah dan diwarisi gambar kemuliaan. Ayat tersebut tidak mendukung apapun yang mencoba membatasi gambar kemuliaan perempuan dan juga tidak mendukung teori apapun yang merendahkan perempuan dari laki-laki dalam garis penciptaan. 99 Pandangan ini dipertegas oleh Nidith214 dengan menyatakan bahwa dalam penciptaaan manusia baik aspek laki-laki maupun perempuan secara implisit adalah bagian dari manusia pertama dan merupakan sebuah refleksi dari Pencipta. Hal ini kembali ditegaskan Stelan,215 Alkitab mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan setara dalam merefleksikan kemuliaan Pencipta mereka dalam bentuk aslinya. Itu juga berarti mereka sama-sama bersalah dalam menentang Penciptanya yang menginginkan lebih dari gambar Allah. Hasilnya hubungan mereka kepada Allah, juga hubungan satu dengan yang lainnya dan kepada Pencipta dunia telah terganggu dan rusak. Namun kenyataannya dalam periode sejarah yang panjang, kisah penciptaan dalam Kejadian 2 – 3 yang menggambarkan perempuan sebagai “penolong” di bawah aturan suaminya serta cerita jatuhnya manusia ke dalam dosa, terkadang dipergunakan sebagai satu argumen menjadikan perempuan subordinasi kepada laki-laki dalam penciptaan dan peran lakilaki sebagai penguasa atas perempuan.216 Hal ini hendak mengatakan bahwa perempuan diciptakan Allah hanya dengan tujuan sebagai penolong untuk melayani laki-laki, sekaligus lakilaki yang memerintah, (Kejadian 2:18).217 Perempuan dipandang sebagai warga kelas dua, dianggap sebagai harta milik, pemilik pertama adalah ayahnya, pemilik kedua adalah suaminya dan pemilik ketiga adalah anaknya laki-laki. Sebagai contoh perempuan milik suaminya diungkapkan dalam titah kesepuluh bahwa: “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan 214 Carol A, Newsom and Sharon H. Ringe (Ed), The Women’s Bible Commentary, USA, Westminister/Jhon Knox Press, 1992, 12-13. 215 John Gerhard Stelan, Women and the Ministry, Australia, Lutheran Publishing House, 1992, 23. 216 Janet Crawford and Michael Kinnamon (Ed), In God’s Image, Geneva, World Council Churches 1983, 217 Gerhard Von Rad, Genesis A Commentary, London, SCM Press, 1970, 80. Menurut Von Rad, penggunaan kata penolong adalah untuk menyatakan keperluan dan kebutuhan manusia itu akan pertolongan. Kata penolong dalam bahasa Ibrani “ezer” adalah kata yang sama digunakan untuk Allah sebagai penolong. Demikian juga pandagan Walter Lempp, Tafsiran Kejadian 1:1-4:26, Jakarta, BPK, 1968,70-71. 100 mengingini isterinya atau hambanya laki-laki atau hambanya perempuan, atau lembunya, atau keledainya atau apapun yang dipunyai sesamamu” (Keluaran 20:17). Dari ayat tersebut jelas bahwa perempuan adalah milik dari laki-laki (suaminya). Pemahaman ini ditentang tegas oleh Spong.218 Menurut Spong bahwa seksisme mengorbankan perempuan dengan memperlakukannya sebagai subhuman, berada di bawah kemanusiaan. Akan tetapi Tuhan Yesus memahami bahwa prasangka seksis merusak laki-laki dan mengurangi kemanusiaannya sendiri. Di samping itu menurut John Stott,219 jika laki-laki dan perempuan sesuai dengan gambar Allah itu bukan saja sangat kuat menekankan kesejatian kemanusiaan kita tetapi juga pluralitas dalam seksualitas. Sekaligus juga menekankan dalam relasi kepada Allah sebagai Pencipta mengilhami kita bekerjasama, bermitra, berkarya bersama dengan Allah. Hal ini juga model alam untuk memahami aktifitas Allah yang mengingatkan kita kreatifitas Allah hadir memasuki seluruh ciptaan-alam, bumi dan langit. Allah memberikan kita tanggungjawab penatalayanan atas ciptaan dan bukan mendominasi atau menjadikan ciptaan sebagai objek. Penatalayanan yang dimaksud adalah tugas menyatukan alam dan komunitas hidup.220 Oleh karena itu apa saja yang esensial manusiawi dalam diri laki-laki atau perempuan itu adalah refleksi dari gambar ilahi yang sama, yang diletakkan Allah dalam diri kita. Kita sama terpanggil untuk menguasai bumi, untuk dalam kerja dengan Allah mengelola kekayaannya demi kepentingan bersama umat manusia. 218 John Shelby Spong, Yesus bagi orang non Relegius, Jakarta, Gramedia, 314, 2008. John Stott, Isu-isu... 338 – 339. 220 Janet Crawford and Michael Kinnamon (Ed), In God’s.., 66-67. 219 101 Pembatasan manusia berkarya karena jenis kelamin itu tidak sesuai dengan Penciptaan bahkan merusak gambar Allah dalam diri laki-laki dan perempuan. Gereja sebagai persekutuan orang percaya yang memakai Alkitab sebagai tuntunan hidup hendaknya menegaskan dan menerima semua orang berkarya untuk melayani sesama. 4.2. Laki-laki dan perempuan setara di dalam Kristus Kitab Galatia adalah merupakan teks yang menentang pandangan negatif Paulus terhadap perempuan. Pandangan Paulus, tembok pemisah tersebut yaitu suku, jender dan ekonomi yang kaku telah dihancurkan oleh kata-kata dalam Galatia 3:28.221 Dalam ayat tersebut Rasul Paulus mengungkapkan, “dalam Kristus tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau tidak ada perempuan” adalah bagian dari teks itu yang akan menjadi tekanan dalam kesadaran penuh. Di dalam Kristus, baik keturunan, tingkatan atau seks tidak dianggap penting atau ditiadakan. Paulus mengatakan bahwa tembok pemisah tidak hadir di dalam Kristus tetapi telah dijembatani didalamNya. Penebusan dalam Kristus dan pemberian Roh Kudus yang dijamin oleh Kristus mengandung arti tidak ada pilihan antara Yahudi dan Yunani, tuan dan hamba, laki-laki dan perempuan.222 Semuanya adalah satu keutuhan dan setara. Pengalaman bersama Kristus membuahkan hasil bahwa dalam kuasa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan-suatu kesetaraan yang sudah dibangun oleh kehendak Allah, diekspresikan dalam cerita penciptaan dan telah digunakan sebagai dasar penentuan warga kelas dua. Pada hakekatnya sekarang ini telah hancur. Tuhan Yesus yang terlibat dalam 221 222 Jhon Shelby Spong, The Sins..., 103 – 104 Ridderbos, Herman N, The Epistle of Paul to the Churches of Galatia, Michigan, WMB Eerdmans Publishing Co, Grand Rapids, 1972, 148-150. 102 percakapan dengan seorang perempuan Samaria di sumur Yakub mengungkapkan tentang siapa Tuhan Yesus yang mengetahui diri perempuan Samaria itu (Yohanes 4:17-42) sehingga menuangkan ke dalam diri perempuan itu suatu penghormatan, suatu martabat yang memanggilnya masuk ke dalam dimensi-dimensi baru apa artinya menjadi manusia. Demikian juga kisah Tuhan Yesus mengunjungi dua perempuan bersaudara Marta dan Maria (Lukas 10:38-42). Dalam cerita tersebut diungkapkan Tuhan Yesus menolak permintaan Marta agar memaksa Maria masuk ke wilayah pekerjaan perempuan di dapur sebagaimana ia terperangkap dalam peran stereotipe (baca: klise) yang diharapkan masyarakat dilakukan perempuan. Sebaliknya Tuhan Yesus mendukung sikap Maria yang mengambil peran sebagai seorang murid dan duduk dekat kaki Tuhan Yesus, adalah bagian yang terbaik yang tidak akan diambil daripadanya. Ini adalah kisah-kisah menakjubkan bagaimana definisi-definisi yang dipaksakan sedang dihancurkan oleh pemahaman baru apa artinya menjadi seorang perempuan sekaligus menjadi seorang manusia. Oleh karena itu tidak ada laki-laki dan tidak ada perempuan, tidak ada superioritas dan tidak ada imferioritas. Sebagaimana dikatakan Soritua Nababan,223 presiden DGD (Dewan Gereja-gereja Dunia) yang memahami I Petrus 2: 9 “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terangNya yang ajaib,” yang mengembangkan pemahaman imamat am orang percaya. Selanjutnya Nababan224 mengungkapkan bahwa dengan baptisan kita semua 223 Soritua Nababan, bahan seminar, Tugas tanggungjawab para pelayan dalam masyarakat secara khusus pada masa pemilu, Jakarta, Januari 2008, 3. 224 Ibid. 103 adalah imam-imam yang sudah ditahbiskan. Nilai baru dari ungkapan ini adalah kesetaraan yang akan menjadi tanda Gereja di masa depan. Dalam Gereja tidak akan ada lagi tembok pemisah yang menentang perempuan, tidak ada definisi yang menilai mereka sebagai warga kelas dua. “Gereja baru” akan menempelkan ekspresi iman bahwa didalam Kristus tidak ada laki-laki dan tidak ada perempuan. Kesetaraan adalah keberhasilan perempuan dari yang menentang patiarkhat dalam masyarakat dan Gereja. Tuhan Yesus telah menghancurkan kekuatan tembok-tembok pemisah dan definisi-definisi tersebut. Mengikuti Tuhan Yesus adalah mengetahui didalam Kristus, kemanusian utuh/ penuh sebagaimana adanya. Apakah dia laki-laki atau perempuan boleh dipisah secara fungsi biologis, tetapi harus tidak pernah dipisahkan nilai kemanusiaannya dan nilai kemuliaannya. Pemahaman Gereja yang keliru terhadap perempuan sebagai warga kelas dua bersumber dari Alkitab, dalam cerita penciptaan. Budaya patriarkhat telah mengokohkan perlakuan Gereja terhadap perempuan. Alkitab telah mencatat bahwa Tuhan Yesus telah menghancurkan pemahaman tersebut melalui pertemuan dan percakapannya serta tindakannya kepada banyak perempuan, yang sampai akhir hidupnya setia menemaninya. Pemahaman ini ditegaskan kembali oleh Rasul Paulus bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi Gereja untuk membatasi atau menutup peluang bagi perempuan sebagai pemimpin dalam Gereja. Pada saat ini Gereja sebagai tubuh Kristus termasuk HKBP menyuarakan kabar sukacita bagi seluruh mahluk ciptaan. Tembok-tembok pemisah telah dihancurkan didalam Kristus, 104 sebagaimana dalam Galatia 3:28 “Dalam hal ini tidak orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan karena kamu semua satu di dalam Kristus Yesus.” Tidak ada bentuk pembatasan apapun yang dapat diberlakukan terhadap perempuan dalam Gereja karena kesetaraan laki-laki dan perempuan. Sebaliknya laki-laki dan perempuan bersama-sama mewujudkan nilai kemanusiaannya dan nilai kemuliaannya. 4.3. Kepemimpinan perempuan dalam Alkitab Menurut Russel,225 Tuhan yang maha tinggi memutuskan menjadi mitra kita, tetapi masalahnya bagaimana kita mempergunakan kebebasan kehadiran Tuhan dalam Kristus sebagai mitra dalam hidup kita? Selanjutnya Russel menjelaskan, spiritualitas adalah respon terhadap kehadiran Roh Tuhan dalam hidup kita. Kehadiran Roh adalah campur tangan Tuhan dalam kehidupan sehingga kita menjadi mitra dalam tindakan kebebasan Tuhan. 226 Kehadiran Roh terkandung dalam berbagai aspek kehidupan orang Kristen yang menguatkan Gereja dalam segala masa, seperti belajar Alkitab, berdoa, meditasi, partisipasi dalam persekutuan Firman dan Sakramen, berbagai karunia dari Roh, dan melayani tetangga. Fokus dari kebebasan spiritualitas adalah mitra dalam situasi tertekan. Dari perspektif ini membangun tubuh Kristus bertumbuh dalam berbagi penderitaan sehingga beroleh pembelajaran yang memberikan pengharapan.227 Tuhan adalah pusat dari semua relasi kita, kita menemukan sumber identitas dan pengharapan yang seorangpun tidak akan dapat mengambil hal itu dari kita. Hal itulah yang dapat mengajarkan kita menghargai hidup kita sendiri dan hidup mitra kita. Yang terutama kualitas hidup kita sebagaimana kita memelihara 225 Letty M. Russel, Growth in ... 139-142 Ibid. 227 Ibid. 226 105 dalam perjalanan bersama orang lain dan untuk orang lain dengan mengedepankan masa depan Tuhan. Oleh karena itu kita sebagai pengikut Kristus perlu mengajak satu dengan yang lain, perempuan dan laki-laki menjadi mitra Tuhan dalam tindakan kebebasan Allah. Berbagi penderitaan satu dengan yang lain dapat membangun solidaritas diantara sesama ciptaan. Di sini kita menemukan fokus baru dari relasi dalam sejarah Yesus Kristus melalui campur tangan Roh Tuhan dalam kehidupan kita dan membebaskan kita. Dalam spiritualitas dan campur tangan Tuhan menumbuhkan solidaritas di antara laki-laki dan perempuan sebagai mitra Tuhan. Dengan demikian Gereja masa kini perlu membaca kembali kepemimpinan Miryam yang menegaskan dirinya sebagai nabi Tuhan dan mengetahui kebutuhan komunitasnya. Perempuan telah menciptakan gaya kepemimpinan mereka sendiri dalam penolakan terhadap patriarki.228 Satu tugas yang dihadapi oleh perempuan pada masa kini adalah menemukan kembali, membaca kembali dan menceritakan kembali cerita-cerita kepemimpinan perempuan sehingga semua tahu bahwa perempuan dan laki-laki bersama-sama berbagi karunia-karunia. Di luar ini tentu akan muncul model-model dan gambar-gambar bagaimana sikap kepemimpinan yang berarti ditengah-tengah komunitas berbagi otoritas. Alkitab telah mencatat kepemimpinan perempuan seperti Miryam dan Debora. Kepemimpinan Miryam dalam keluaran (Bilangan 12:2) memperlihatkan klaim terhadap perannya sebagai nabi dan mendukung bentuk kepemimpinan yang inklusif yang lebih berpendidikan melayani kebutuhan komunitas. Dimana kepemimpinan hadir terjadi komunitas 228 Letty M. Russel, Church in Round..., 72 106 dalam kepemimpinan Miryam, kita menemukan bahwa kepemimpinannya juga mampu menciptakan komunitas dan memungkinkan membuat nama baru. Dalam kitab Hakim-hakim 4-5, nabi sekaligus hakim Debora, diidentifikasi sebagai pribadi yang dihormati oleh hakim laki-laki maupun seluruh bangsa Israel. Relasinya dengan Israel adalah pada dimensi publik, agama dan hukum. Tetapi relasi di bidang publik ini juga diimbangi dengan relasi yang baik dalam dimensi domestik.229 Dalam keadaannya sebagai perempuan Debora juga disebut “ibu Israel” (Hakim-hakim 5:7). Debora memiliki posisi penting dalam sistem patriarkhat. Teks (Hakim-hakim 4:5) menyatakan bahwa Debora duduk di bawah pohon palem dan orang Israel datang kepadanya untuk minta keputusan. Debora sebagai seorang perempuan memiliki intuisi yang lebih peka daripada seorang laki-laki yang mengandalkan rasionya untuk menyelesaikan sebuah perkara.230 Debora telah membangun reputasi besar dan kepercayaan orang-orang yang datang kepadanya meminta bimbingan. Debora membuat dirinya diakses orang. Dia tidak menyalahgunakan kekuasaan sebagai seorang hakim dan memaksa orang untuk meminta bimbingannya. Dia membiarkan orang memutuskan sendiri. Bahkan berani bertempur bersama Barak. Barak berkata kapadanya: ”Jika engkau turut maju akupun maju, tetapi jika engkau tidak turut maju akupun tidak maju” (Hakim-hakim 4:8). Rupanya ada banyak laki-laki seperti Barak yang mendengar saran dari Debora sebagai hakim perempuan. Pada akhir kisah Debora, terlihat sebuah lagu yang ditulis untuk memuji Debora. Dalam kitab Hakim-hakim 5:7 mengungkapkan: "Penduduk pedusunan diam-diam saja di Israel, ya mereka diam-diam, sampai engkau bangkit, Debora, bangkit sebagai ibu di Israel.” Dalam ayat 229 230 Carol A. Newsome and Sharon H. Ringe, The Women’s Bible..., 68 - 69 Wilson Nadeak, Perempuan-perempuan Pemberani, Bandung, Lembaga Literatur Baptis, 2005, 43-46. 107 terlihat Debora dianggap sebagai pemecah masalah, penentu kota, pelindung, dan penyelamat yang memulihkan kota-kota yang ditinggalkan Israel.231 Ini bukan peran konvensional bagi perempuan waktu itu. Kepemimpinannya divalidasi dan dipuji. Orang melihat Debora sebagai seorang pemimpin yang kuat. Kesuksesan Debora harus diberitahukan lagi dan lagi kepada Gereja hari ini maupun kepada perempuan supaya lebih ekspresif dalam mengungkapkan talentanya. Sebagai imbalannya, perempuan dalam Gereja saat ini dapat menyatakan diri mereka lebih baik. Gereja dapat mengandalkan kepemimpinan pendeta perempuan seperti yang dilakukan Israel dalam kasus Debora. Fokus dari uraian ini adalah tentang bagaimana Debora, seorang wanita dalam dunia patriarkhat kuno, diupayakan untuk memimpin orang-orang tanpa rasa takut. Kepemimpinan Debora ditekankan ketika membaca Hakim 4 dan 5 dengan harapan cara membaca Alkitab yang tidak menduplikasi wacana patriarkhat subordinasi dan ketaatan. Menurut Fiorenza,232 saat ini perempuan harus belajar memahami diri mereka sendiri sebagai manusia. Seperti laki-laki mereka harus menyadari diri mereka sendiri sebagai pribadi yang otonom, kemitraan dan menentukan nasib sendiri. Mereka harus menghadirkan zaman baru dan tidak lagi mentolerir “pengawasan” laki-laki. Hanya jika perempuan mengakui sebagai mitra sejajar laki-laki dalam wacana masyarakarat maka masyarakat yang terstruktur berdasarkan seks dapat diubah. Dengan singkat kata, gerakan perempuan belum selesai hingga hari ini. Demikian juga Tuhan Yesus telah menunjukkan kebijaksanaan dalam Injil bahwa semua orang yang disingkirkan karena “hukum lama” telah diberikan kesempatan untuk pemuridan 231 Lin, Yu-Fen, Exploring Asian Female Pastor’s Leadership Roles in the Church: Using Deborah’s Story, http://www.nova.edu/ssss/QR/QR15-6/Iin.pdf, University of North Texas, USA, The Qualitative Report Volume, 6, 1431- 1458, 15 diunduh6, November 2010. 232 Elizabeth Schussler Fiorenza, Dicipleship of Equals, New York, Crossroad, 1992, 20 108 yang setara. Semua orang yang tidak berarti, jauh dari Tuhan sekarang diterima Tuhan. Orang miskin dan orang rendah menjadi instrumen dan memaknai arti keadilan, cinta dan mempertajam pelayanan Yesus (Matius 25:31–46). Karena pemberian Roh kepada persekutuan Gereja maka pelayanan mereka kepada dunia semakin diperkuat. Pelayanan tersebut untuk membebaskan manusia baik laki-laki dan perempuan dari tekanan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Oleh karena itu seorang pendeta dan pemimpin Gereja harus memiliki keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan sehingga mampu melayani untuk membebaskan seluruh ciptaan dari erangan dan kesakitan serta beroleh kesejahteraan sebagaimana Yesus dalam pelayananNya ditengah-tengah dunia. Sebagai mitra Allah, baik laki-laki dan perempuan, kita hanya melanjutkan apa yang telah dikerjakan Tuhan Yesus di dunia dengan tetap menjadikanNya sebagai teladan. 109