Demokrasi Lokal? Suatu proses bermasyarakat yang localy dan ideal, inilah point penting dalam UU Desa. Hari-hari ini di masyarakat, utamanya aparat desa, harus menyadarinya, bahwa hal tersebut adalah jantung dalam berdemokrasi dan "berdesa" sebagai jalan menuju kesejahteraannya. (Ahmad Muqqowam, Ketua Komite I DPD RI dan Mantan Ketua Pansus RUU Desa ) Buku ini memotret pengalaman lapangan tentang desa dan praktik demokrasi. Pelaksanaan UU Desa (dengan segala plus minusnya) sudah menghadirkan desa sebagai "sekolah politik kebangsaan" bagi warganya. Sebagai salah seorang yang ikut melahirkan UU Desa dan menyaksikan dari dekat praktik pemberdayaan desa, saya berpikir menjadikan praktik yang sudah baik di desa ini juga menjadi praktik di 74.900 desa lainnya. Cuma dgn itu kita layak optimis dengan pendewasaan rakyat dalam berdemokrasi. (Budiman Sudjatmiko: anggota DPR dan praktisi pemberdayaan desa) Buku ini memotret perkembangan Desa di Indonesia. Praktik- praktik baik yang ada bisa kita contoh, dan dengan tahu kelemahannya maka bisa menyikapi serta bisa mengukur saat ini posisi desa kita seperti apa. Gaya kepemimpinan di desa pun beragam. Buku ini sangat bermanfaat untuk dibaca para generasi muda sebagai penerus estafet kepemimpinan desa. (Sugeng Handoko, penggerak pemuda Pengelola Desa Wisata Nglanggeran @gunungapipurba) Demokrasi sejati, menempatkan perempuan dan laki-laki setara dalam pengambilan keputusan dan penikmatan HAM. Untuk mencapai itu, dibutuhkan serangkaian pemberdayaan dan tindakan afirmasi. Buku ini memberikan pelajaran tentang masih lemahnya akses perempuan untuk turut menyemarakkan arena demokrasi lokal, sehingga kehadiran UU Desa harus dimanfaatkan dalam rangka menciptakan keadilan gender di Desa (Dian Kartika Sari, Sekretaris Jendral Koalisi Perempuan Indonesia) diterbitkan oleh: Institute for Research and Empowerment (IRE) Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5 Dusun Tegalrejo RT 01/RW 09 Desa Sariharjo Kec. Ngaglik Kab. Sleman, Yogyakarta 55581 Telp/Fax:0274-867686 E-mail: [email protected] Website: www.ireyogya.org ISBN 979981830-3 9 799799 818309 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Demokrasi desa adalah demokrasi orisinal nusantara yang tumbuh dan berkembang mendampingi kemajuan bangsa. Studi yang dilakukan oleh IRE ini menyumbang pelaksanaan UU Desa sesuai amanahnya. Mari kita gali esensi dari buku ini sebagai pembelajaran berdemokrasi dari Desa. (Anwar Sanusi, Sekretaris Jenderal (Sekjen) kementerian Desa, Pembangunan DaerahTertinggal, dan Transmigrasi) DESA Situs Baru Demokrasi Lokal DESA Situs Baru Demokrasi Lokal Penulis: Dina Mariana, Iranda Yudatama, Nurma Fitrianingrum, Rajif Dri Angga, Sigit Pranawa, Sugeng Yulianto, Sukasmanto, Sunaji Zamroni, Titok Hariyanto Editor: Fatih Gama Abisono Nasution Desa: Situs Baru Demokrasi Lokal Hak cipta © Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia Oleh Penerbit IRE, Yogyakarta. 2017 dengan dukungan Program Yayasan Tifa Cetakan Pertama, Februari 2017 Kata Pengantar: Darmawan Triwibowo, Direktur Eksekutif Yayasan Tifa Prolog: A.E. Priyono Epilog: Dr. Arie Sujito Reviewer: Dr. Arie Sujito, Dr. Krisdyatmiko Penyunting: Dina Mariana, Zelvia Debi Hapsari Editor: Fatih Gama Abisono Nasution Desain Sampul & Layout: Suparmo Institute for Research and Empowerment (IRE) Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5 Dusun Tegalrejo RT 01/RW 09 Desa Sariharjo, Kec. Ngaglik, Sleman, D.I. Yogyakarta 55581 Phone: 0274 - 867686, 7482091 E-mail: [email protected], Website: www.ireyogya.org Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit. Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Desa: Situs Baru Demokrasi Lokal, Cetakan. 1 Yogyakarta: IRE Yogyakarta, 2017 xx + 164 hlm.; 14 x 21,5 cm ISBN: 979-9818-30-3 KATA PENGANTAR Yayasan Tifa Desa tidak pernah luput dari silang sengkarut praktik pembangunan di Indonesia. Secara umum, ada dua lensa pandang utama terhadap desa yang bisa ditarik dari cara negara memperlakukan desa dalam pembangunan, yaitu sebagai “alat” atau “masalah”. Sebagai alat, desa adalah sekrup kecil dalam mesin pembangunan yang berfungsi melayani kepentingan yang lebih besar dari keberadaan desa itu sendiri. Desa menjadi alat untuk menjaga stabilitas harga pangan bagi penduduk kelas menegah perkotaan; sumber pasok buruh murah bagi perluasan industri manufaktur padat karya; maupun (paling tidak sekali dalam lima tahun) alat untuk mendulang suara bagi partai berkuasa atas nama stabilitas politik nasional. Di sisi lain, negara juga mendekati desa sebagai sumber permasalahan yang harus diatasi. Tidak heran jika kemudian desa begitu akrab dengan beragam kata yang tidak hanya merujuk pada masalah ekonomi, seperti kemiskinan, ketertinggalan, kesenjangan, tapi juga masalah sosial-politik, bahkan ideologi, seperti sumber konflik (agraria) hingga sarang komunisme. Seperti yang dengan cergas digambarkan oleh Antlov (2003), desa dalam dua lensa pandang ini tidak lebih dari “objek sentralisasi, depolitisasi, kooptasi, intervensi, dan instruksi dari atas”. Desa, dengan demikian, menempati posisi paradoksal dalam v DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL pembangunan. Desa dibicarakan namun tidak pernah sungguhsungguh menjadi rujukan; dibangun namun tidak pernah dipertuankan; disediakan panggung namun (warganya) hanya bisa bertepuk tangan di pinggiran. Tidak mengherankan jika perlakuan negara terhadap desa yang diterapkan berdekade-dekade tersebut telah menggerus jati diri desa sebagai satuan komunal dengan tujuan serta kepentingan kolektif yang mandiri, baik terhadap satuan komunal lainnya maupun atas struktur kuasa di luar desa. Hal ini juga menjelaskan mengapa desa tidak segera ditengok di masa awal ekperimen demokrasi bernama desentralisasi. Namun, ketika desentralisasi (berbasis kabupaten/kota) mulai terlihat majal dalam mendorong perbaikan pelayanan publik serta pendalaman demokrasi, desa secara tiba-tiba menjadi tumpuan akhir bagi partisipasi aktif warga untuk bernegara (civic engagement) dan berkembangnya tatanan demokrasi yang benar-benar bersifat deliberatif. Implementasi UU No 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) de­ngan demikian bisa dibaca sebagai pengakuan negara atas “malpraktik” terhadap desa yang telah dilakukan selama ini. Di sisi lain, otonomi desa berbasis rekognisi dan subsidiaritas yang diintroduksikan oleh undang-undang ini, memberikan tantangan kepada desa untuk menggali ulang dan mengolah potensi-potensi yang ada di dalam komunitas serta wilayahnya, sebagai pemilik dan bukan lagi sekadar kuli dalam proses pembangunan. Buku “Desa: Situs Baru Demokrasi lokal” yang disusun oleh IRE ini menyajikan petikan-petikan ringkas (snapshots) atas skala tantangan yang dihadapi desa tersebut. Kasus-kasus yang dipaparkan dalam buku ini menunjukkan bahwa upaya untuk membangkitkan ulang tata nilai pemandu kehidupan sosial kemasyarakatan desa (ber­desa) yang selama ini disubtitusi oleh program teknokratis dan rekayasa penyeragaman kelembagaan oleh negara bukanlah perihal yang sederhana. Orientasi vi KATA PENGANTAR YAYASAN TIFA belanja fiskal yang mendominasi rancang bangun proses desentralisasi (Lewis 2015), dan masih terbawa dalam skema otonomi desa, kerap lebih mendominasi dan memperumit upaya untuk memperkuat kepemimpinan, partisipasi warga dan representasi yang lebih ber­ makna di tingkat desa. Yayasan Tifa percaya bahwa pendalaman dan pembelajaran yang terus menerus tarhadap tantangan-tantangan tersebut akan mampu mendorong perbaikan praktik otonomi desa dan mewujudkan peran desa sebagai arena demokrasi dan wahana repolitisasi warga di Indonesia. Buku ini, dengan demikian, adalah langkah awal untuk mendorong pendalaman demokrasi melalui praktik politik keseharian (everyday politics) di tingkat desa yang akan dilakukan Yayasan Tifa bersama mitra-mitra strategisnya dalam empat tahun ke depan. Darmawan Triwibowo Direktur Eksekutif Yayasan Tifa vii DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL viii KATA PENGANTAR Direktur Eksekutif IRE Jagad politik Indonesia diriuhkan oleh ekses-ekses ter­ tentu demokrasi elektoral dalam kurun dua dekade ini. Ratusan da­ erah dan ribuan desa dalam waktu serentak telah merayakan pemilu yang ditabalkan sebagai ikon demokrasi, untuk mencari kepala daerah dan kepala desa. Namun kini banyak kalangan mulai terusik dengan patologi elektoral: dari menyoal partisipasi warga, kandidasi calon yang elitis, politik uang, peta jalan politik kesejahteraan, sampai me­ rebaknya trend praktik koruptif para aktor “jebolan kontes demokrasi” ini. Demokrasi pada akhirnya hanya berhenti pada “kontes antar­ aktor” dalam berburu jabatan politik kepala pemerintahan maupun jabatan wakil rakyat. Sehingga terjadi pembajakan demokrasi lokal oleh para elitnya, (Demos, 2005). Bahkan nyaris tidak terdengar lagi semangat berdemokrasi paska politik elektoral. Demokrasi elektoral akhirnya dituding tidak terhubung dengan kehidupan sehari-hari aktor pe­nguasa dan para wakil rakyat sesudahnya. Banyak pihak mulai meyakini demokrasi liberal mengalami krisis makna dan kemanfaatan. Keyakinan tersebut berangkat dari praktik demokrasi liberal di Indonesia yang mengagungkan tradisi individualisme ternyata me­ mung­gungi nilai-nilai tradisi bangsa Indonesia yang sarat dan lekat dengan karakter masyarakat komunitarian. ix DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Berpijak pada merebaknya situs-situs perdebatan yang menyoal demokrasi tersebut, IRE Yogyakarta sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil di Indonesia, terpanggil untuk urun rembug. Bahwa demokrasi memang harus terus dikonsolidasikan dan dikembangkan di Indonesia. Tetapi yang penting diagendakan saat ini adalah proyek besar pengembangan demokrasi alternatif di Indonesia. Momentum pelaksanaan UU No 6/2014 tentang Desa (UU Desa) bisa menjadi situs baru kebangkitan demokrasi alternatif seperti yang dimaksud. Bisa jadi UU Desa menjadi peluang berlangsungnya arus balik demokrasi yang tengah mengalami titik nadir. Mengapa? IRE Yogyakarta meyakini, bahwa UU Desa akan menggerakkan puluhan ribu entitas desa (lebih dari 74.000) mempraktikkan prinsip dan nilai demokrasi desa. Praktik pelembagaan demokrasi desa secara masif inilah yang berpeluang menjadi arus balik demokrasi di Indonesia. Bukan lagi demokrasi liberal yang mengarus deras ke desa, tetapi demokrasi desalah yang mengepung panggung nasional. Keyakinan IRE ini telah ditempuh dengan mendokumentasikan praktik-praktik kepemimpinan, repre­ sen­tasi, dan inisiatif warga di desa-desa Pulau Jawa. Ada 10 desa di 5 propinsi Pulau Jawa yang diambil pembelajaran atas praktik-praktik lokalitasnya (stock taking study). Hasil studi lapangan di 10 desa inilah yang menjadi bahan dasar penulisan buku ini. Para peneliti IRE Yogyakarta telah mendedikasikan segenap kemampuannya untuk menemukan dan menarik pembelajaran berharga atas praktik-praktik berdemokrasi lokal, melalui aspek kepemimpinan, representasi, dan inisiatif warga. Atas nama lembaga kami menye­matkan apresiasi yang tinggi atas kerja produktif ini. Tangan dingin manager program demokrasi lokal di IRE, Dina Mariana, telah menghadirkan kerja-kerja kolaboratif dan produktif antarpeneliti, yaitu; Titok Haryanto, Sugeng Yulianto, Abdur Rozaki, Sukasmanto, Dimpos Manalu, Sigit Pranawa, Iranda Yudatama, Fajar x KATA PENGANTAR DIREKTUR EKSEKUTIF IRE Sudarwo, Rajif Dri Angga, dan Nurma Fitrianingrum. Kerja produktif para peneliti IRE didukung pula oleh kerja telaten para asisten peneliti yang bekerja di 10 desa lokasi penelitian. Atas nama lembaga, kami menghaturkan terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada mereka, yaitu; Romli (Desa Cangkudu, Tangerang), Hendra Gunawan (Desa Mekarjaya, Sukabumi), Suyanto (Desa Sidorejo, Kulonprogo), Ahmad Nur Ardiansyah (Desa Nglanggeran, Gunungkidul), Mohammad Fathollah (Desa Panggungharjo, Bantul), Mahmudi (Desa Punjulharjo, Rembang), Melani Jayanti (Desa Umbulharjo, Sleman), Irfan Pranoto (Desa Ringinrejo, Blitar), Hendra Arditya Sakti Mahulae (Desa Gulon, Magelang) Kerja produktif ini pun tidak luput dari sentuhan daya ulet “Ida” Hidayatut Thoyibah, yang dilanjutkan oleh “Deby” Zelvia Debi Hapsari dalam mengawal kerja-kerja penelitian, penulisan, dan serangkaian menyusun pengetahuan di dalam buku ini. Akhirnya, kami menghaturkan terima kasih kepada semua tim peneliti dan penulis buku ini. Kepada para pembaca buku ini, selamat membaca dan menemukan kritik atas buku ini, agar proyek besar demokrasi lokal ini terus berlanjut dan tidak layu sebelum berkembang. Yogyakarta, Februari 2017 Direktur Eksekutif IRE Sunaji Zamroni xi DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL xii BIOGRAFI SINGKAT Penulis Dina Mariana, S.H. Peneliti madya Institute for Research and Empowerment Yogyakarta Email : [email protected] Iranda Yudhatama, S.Sos. Direktur Eksekutif Swara Nusa Institute, fellow/associate researcher IRE Email : [email protected] Nurma Fitrianingrum, S.I.P. Peneliti Muda Institute for Research and Empowerment (IRE ) Yogyakarta, Alumni Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM. Email: [email protected] xiii DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Rajif Dri Angga, S.I.P. Peneliti Muda Institute for Research and Empowerment (IRE )Yogyakarta, Alumni Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM. Email: [email protected] Dr. Sigit Pranawa, M.Si. Fellow Researcher Institute for Research and Empowerment (IRE ) Yogyakarta. Dosen tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional Email: [email protected] Sugeng Yulianto, M.Sc. Deputi Pengembangan SDM dan Kelembagaan Institute for Research and Empowerment (IRE) Yog­yakarta. Alumni Magister Pengelolaan Lingkungan (MPL) Universitas Gadjah Mada. Email: [email protected] Sukasmanto, M.Si. Peneliti Senior Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis dan Perbankan (STIE BBANK) Yogyakarta. Email: [email protected] xiv BIOGRAFI REVIEWER, EDITOR, & PENULIS Sunaji Zamroni, M.Si. Direktur Eksekutif Institute for Research and Empowerment (IRE) Yog­yakarta (2015-2017). Anggota KPU Kota Yogyakarta (2008-2013). Email: [email protected] Titok Hariyanto, S.I.P. Deputi Pengembangan Program dan Jaringan Institute for Research and Empowerment (IRE) Yog­ yakarta (2015-2017) Email: [email protected] Prolog AE Priyono Co-founder and Research fellow, Public Virtue – Institute for Digital Democracy and Civic Activism, and freelance journalist. Email : [email protected] Epilog Dr. Arie Sujito, M.Si. Peneliti Senior IRE Yogya­karta. Dosen tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Email: [email protected] xv DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Editor Fatih Gama Abisono Nasution, M.Si. Sekretaris Eksekutif Centre For Lead, Staf Pengajar/Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta. Email : [email protected] Reviewer Dr. Krisdyatmiko, M.Si. Peneliti Senior IRE Yogyakarta. Dosen tetap Program Studi Pembangunan Sosial dan Ke­sejahteraan (PSdK), FISIPOL Uni­versitas Gadjah Mada. Email: [email protected] Penyunting Zelvia Debi Hapsari, S.Hut. Peneliti Muda IRE Yogyakarta, Alumni Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan UGM. Email : [email protected] xvi Daftar Isi Kata Pengantar : Yayasan Tifa........................................................v Kata Pengantar: Direktur Eksekutif IRE.......................................ix Biografi Singkat Penulis..................................................................xiii Daftar Isi...........................................................................................xvii Daftar Tabel .....................................................................................xvii Daftar Singkatan..............................................................................xix Prolog Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?................1 Bab 1: Penemuan Kembali ..........................................................15 A. Prawacana....................................................................................15 B. Kontekstualisasi Berdesa.............................................................20 C. Argumentasi Metodologis..........................................................22 D. Tentang Alur dan Isi...................................................................25 Bab 2: Kepemimpinan dan Transformasi Desa.....................29 A. Prawacana ...................................................................................29 B. Warisan Lama: Dominasi Orang Kuat Lokal dan Politik Kekerabatan di Desa....................................................................31 C. Menuju Kepemimpinan Transformatif ...................................45 D.Simpul Wacana............................................................................57 xvii Bab 3: Memperkuat Representasi Warga ..............................61 A. Representasi Partisipatoris-Deliberatif ....................................61 B. BPD dan Musyawarah Desa: Rute Formal Deliberasi Demokrasi Desa..........................................................................64 C. Rute Representasi Informal: Suplemen .Demokrasi Deliberatif 79.. 79 D. Simpul Wacana...........................................................................89 Bab 4: Inisiatif Warga Dalam Ruang Demokrasi Desa........95 A. Inisiatif Warga: Penguatan Delibrasi Demokrasi Desa...........95 B. Dinamika Inisiatif Warga dalam Ruang Demokrasi Desa .....99 C. Simpul Wacana...........................................................................129 Epilog Menyemai Demokrasi Desa............................................................131 Daftar Pustaka..................................................................................147 Lampiran...........................................................................................15 Daftar Tabel Tabel. 1 Kerangka Analisis Politik Partisipatoris.........................12 Tabel 2 Tipologi Lokasi dan Kasus Penelitian..............................21 xviii Daftar Singkatan APBDesa BNPB BP BP SPAMS BPD BRI BUMDes CC D3 DPR RI DPRD ELSAM FDS GP Ansor GSB IRE ISI Kades KJB KPA KTP Linmas LSM : Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa : Badan Nasional Penanggulan Bencana : Badan Pengelola : Badan Pengelola Sarana Penyediaan Air Minum dan Sanitasi : Badan Permusyawaratan Desa : Bank Rakyat Indonesia : Badan Usaha Milik Desa : Community Centre : Diploma : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat : Forum Difabel Sidorejo : Gerakan Pemuda Ansor : Gerakan Sosial Baru : Institute for Research and Empowerment : Institut Seni Indonesia : Kepala Desa : Karang Jahe Beach : Konsorsium Pembaruan Agraria : Kartu Tanda Penduduk : Perlindungan Masyarakat : Lembaga Swadaya Masyarakat xix Musdes Musrenbangdes NGO NU OPAB P3DT PAD PDAM PDI-P PKK Pokdarwis PT PTUN RAPBDesa Rekompak RKPDesa RPJM Desa RT Rusun RW SDM SIGAB SKPD SMA TKI TNBTS Unesco UU xx : Musyawarah Desa : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa : Non Governement Organization : Nahdlatul ‘Ulama : Organisasi Pengelola Air Bersih : Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal : Pendapatan Asli Daerah : Perusahaan Daerah Air Minum : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan : Pembinaan Kesejahteraan Keluarga : Kelompok Sadar Wisata : Perseroan Terbatas : Pengadilan Tata Usaha Negara : Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa : Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas : Rencana Kerja Pemerintah Desa : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa : Rukun Tetangga : Rumah Susun : Rukun Warga : Sumber Daya Manusia : Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel’ : Satuan Kerja Perangkat Daerah : Sekolah Menengah Akhir : Tenaga Kerja Indonesia : Taman Nasional Bromo Tengger Semeru : The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization : Undang-Undang PROLOG Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris? Demokratisasi Indonesia pada tingkat politik makro dan nasional sudah lama dideteksi mengalami kemacetan, terus bergerak ke arah kemunduran, dan sedang akan berakhir menuju kegagalan. Banyak studi membuktikan takdir pahit ini. Demos (2005) sudah sejak awal memperlihatkan terjadinya pembajakan elit terhadap lembagalembaga dan prosedur demokrasi, dan ini menjadikan demokratisasi Indonesia berwatak sangat elitis. Robison & Hadiz (2004) melakukan studi yang menggaris-bawahi bahwa elit predatorial (elit pemangsa rakyat) lama yang berbasis partai-partai politik menguasai panggung politik. Mereka melakukan reorganisasi kekuasaan mengikuti logika politik kartel, dan ini menjadi basis bagi munculnya oligarki dan plutokrasi.1 Tapi studi lain yang dilakukan Hee-Yeon Cho (2008) 1 Politik kartel digambarkan sebagai situasi manakala partai-partai politik secara bersamasama mengabaikan komitmen ideologis dan programnya agar tetap bisa bertahan di lingkar kekuasaan dengan memilih bergabung dengan pemerintahan baru paska pemilu. Sebagai imbalan atas dukungan yang diberikan mereka berbagi pos-pos jabatan di pemerintahan. Politik kartel pada gilirannya membentuk pemerintahan berwatak oligarkis. Oligarki merupakan mekanisme pemusatan kekuasaan pada segelintir elit berkuasa yang menekankan pada kekuatan sumber daya material (kekayaan) sebagai basis mempertahanan kekuasaan sekali­ gus kekayaan pada diri elit. Sementara plutokrasi mirip dengan oligarki. Namun, plutokrasi 1 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL melihat bahwa “demokrasi oligarkis” Indonesia berangsur-angsur berubah menjadi “oligarki demokratis.” Inilah sejenis oligarki yang ingin mempertahankan kekayaan — sekaligus merebut kekuasaan – melalui kompetisi elektoral (melalui pemilu) yang berwatak elitis. Jadi, bukan politik demokrasi yang berlangsung di Indonesia, tapi politik oligarki. Sementara itu Winters (2014) juga menegaskan kenyataan serupa, bahwa elemen penting plutokrasi neo Orde Baru adalah kaum oligark (elit berwatak oligarkis) yang tak ikut lenyap bersama tumbangnya Suharto. Kaum oligark yang dulu berada di bawah kendali mutlak Suharto kini sedang berebut posisi di puncak kekuasaan. Oligarki sultanistik di zaman Orde Baru terpusat di Cendana, sedangkan oligarki pasca Orde Baru menyebar ke dalam banyak kutub persaingan kaum elit. Metode otoritarian Orde Baru membuat oligarki bisa dikuasai seorang diktator, sedangkan “demokratisasi” pasca Orde Baru membuat para oligark bersaing melalui mekanisme kompetisi electoral. Melalui telaah ini, Winters ingin menegaskan bahwa oligarki dan demokrasi saling menunggangi. Cerita ini belum lengkap tanpa melihat apa yang terjadi di tingkat lokal. Studi awal yang dikerjakan Nordholt (2004) menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia pasca Orde Baru tidak menyebabkan ke­ terputusan kekuasaan elit-elit lama. Yang terjadi bukan hanya kontinuitas atau kelanjutan praktek politik Orde Baru, tetapi justru munculnya kembali kekuasaan patrimonial pra-kolonial.2 Elit-elit terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrem ketimpangan sumber daya antara “kaya” dan “miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat (penguasa dalam plutokrasi) tidak hanya menguasai sumber ekonomi dan politik, melainkan juga sumber daya kekerasan (pasukan ,senjata, teknologi). Dalam kondisi seperti ini, plutokrat boleh jadi lebih berkuasa ketimbang pemerintah resmi. 2 Konsep patrimonial merujuk pada corak kekuasaan tradisional yang berakar dari pemerintahan monarki atau kerajaan. Kekuasaan patrimonial menempatkan titah raja ( termasuk kaisar atau sultan) sebagai basis bekerjanya hukum dan pemerintahan. Dalam negara partri- 2 PROLOG lokal feodal merebut instrumen-instrumen demokrasi dan mereka me­nemukan ruang untuk kembali mewujudkan kepentingan elitisfeodal mereka. Melalui kontestasi dalam demokrasi elektoral, elitelit lama itu tak jarang berhasil menguasai birokrasi lokal. Di sini Klinken (2014) memberikan sumbangan temuan riset lain yang juga menarik, bahwa kelas birokrasi lokal membangun aliansi dengan kelas menengah lokal yang berwatak patronal, antara lain yang berbasis etnis (suku), untuk penguasaan sumberdaya. Inilah yang menjadi basis bagi munculnya dinasti-dinasti politik baru di tingkat lokal.3 Sementara itu studi Peluso (2007) melihat kenyataan bahwa surutnya kekuasaan militer di daerah membuat para penguasa Kodam menjadi kaki-tangan pemodal (Investor), demi eksploitasi sumberdaya alam. Mereka memberikan jasa keamanan untuk berlangsungnya aliansi antara birokrasi lokal, korporasi, dan kekuatan-kekuatan predator lain seperti partai politik. Studi dari ketiga peneliti yang disebut terakhir itu menjelaskan fenomena umum proses politik di tingkat lokal. Sama dengan yang terjadi di tingkat nasional, maka proses politik demokratisasi lokal – khususnya melalui mekanisme kontestasi elektoral di tingkat provinsi maupun kabupaten — hanya mendaur ulang siklus politik elitisoligarkis. monial legitimasi pemimpin atau raja bersumber dari karisma personalnya atau karena klaim pewahyuan sebagai wakil Tuhan. Patrimonialisme acapkali dituding melahirkan rejim despotik (sewenang-wenang), karena tidak ada kontrol terhadap kekuasaan yang menempatkan pimpinan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. 3 Patronal adalah relasi yang berangkat dari patronase. Patronase sendiri merupakan relasi antara orang dengan status lebih tinggi (sebagai patron) dengan orang dengan status lebih rendah (klien) berdasarkan pertukaran sumber daya. Patron menggunakan pengaruh dan sumber dayanya akan menyediakan perlindungan serta keuntungan-keuntungan material bagi seseorang yang menjadi kliennya. Sementara Klien akan membalasnya dengan memberikan loyalitasnya dalam bentuk dukungan dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Patronase ini akhirnya menjadi basis relasi antara pemimpin dengan yang dipimpin terutama dalam kekuasaan feodalistik. 3 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Pengamatan seperti ini juga dikemukanan oleh Hans Antlov (2004), salah seorang sarjana yang banyak melakukan kajian dan advokasi tentang politik lokal dan demokratisasi desa. Menurutnya, desain demokrasi elektoral di tingkat nasional yang hanya melibatkan warganegara untuk ikut dalam pemilu lima tahun sekali, mustahil menciptakan partisipasi yang bermakna. Karena itu, juga mustahil menghadirkan demokrasi yang bermakna. Model demokrasi elek­ toral seperti itu hanya akan membuat para teknokrat dan birokrat mempertahankan kekuasaan mereka selama masa-antara lima tahunan antar-pemilu.4 Menurutnya, model demokrasi minimal demikian hanya menghasilkan reformasi politik yang dangkal — dan ini membuat korupsi berjalan terus, sistem peradilan yang busuk tidak bisa berubah, sementara masyarakat akan tetap apatis dan tak percaya pada negara. Lalu, bagaimana? *** Antlov berpijak pada dua argumen untuk membuat demokratisasi Indonesia bekerja dengan maksimal. Pertama, otonomi daerah yang sejauh ini hanya berlangsung pada level administratif harus di­ sertai dengan penguatan kapasitas politik masyarakat sipil di tingkat lokal. Meminjam kalimatnya sendiri, “mendukung demokrasi tidak cukup hanya dengan membuka ruang-ruang baru politik lokal: ada kebutuhan untuk melakukan tindakan-tindakan yang memungkinkan suara-suara baru didengar dan memberikan kepada rakyat kekuatan untuk terlibat mengurus komunitas mereka sendiri” (Antlov 2004: 141). Di sini Antlov tampak menekankan gagasan tentang repolitisasi masyarakat sipil. 5 4 Teknokrat, berasal dari teknokrasi yaitu sistem pemerintahan yang dijalankan oleh para ahli. Dalam pengambilan keputusan politik-ekonomi, para ahli yang selanjutnya disebut teknokrat tersebut, menggunakan pendekatan ilmiah-rasional dan teknis untuk melegitimasi keputusan yang diambil. Akibatnya, keputusan yang diambil meminggirkan pertimbangan politis sekaligus menyingkirkan peran rakyat dalam pengambilan keputusan. 5 Repolitisasi dimaksudkan sebagai upaya menghidupkan kembali kesadaran politik masyara- 4 PROLOG Sebelumnya Antlov mengakui bahwa desentralisasi bisa menjadi agenda depolitisasi masyarakat. Dengan menyerahkan semua kebijakan pemerintahan menjadi urusan kabupaten/kota dan/atau provinsi, maka sangat mungkin hanya para politisi dan birokrat lokal yang memonopoli arah desentralisasi. Di tangan mereka kebijakankebijakan pembangunan daerah menjadi urusan teknis, bukan politis. Jika demikian halnya maka hasilnya adalah desain kebijakan desentralisasi yang sepenuhnya bersifat teknokratis, kembali berwatak top-down (atas-bawah), tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Desentralisasi yang seperti itu tidak mencerminkan aspirasi yang sesungguhnya dari bawah. Desentralisasi dengan watak demikian justru melanggengkan hubungan kekuasaan elitis dan melestarikan penyimpangan politik di tingkat lokal – apatisme dan ketidakpercayaan masyarakat kepada negara. Kedua, kunci untuk repolitisasi masyarakat sipil dalam proses desentralisasi adalah dengan cara membuat mereka mau terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik yang berkaitan dengan kepentingannya yang paling dekat dan nyata – yaitu menyangkut problem-problem kehidupan mereka sehari-hari. Bagi Antlov, ini berarti menurunkan urusan publik ke tingkat desa, khususnya ke tingkat everyday-politics (urusan politik sebagai peristiwa keseharian yang nyata). Demokrasi lokal hanya bisa menghasilkan dampak nyata dalam setting yang seriil itu. Dengan keyakinan seperti inilah Antlov bergerak untuk melanjutkan proyek desentralisasi ke level desa. Me­minjam lagi kalimatnya sendiri Antlov menyatakan, “... dulu desa adalah objek sentralisasi, depolitisasi, kooptasi, intervensi, dan instruksi dari atas. Sekarang desa [harus dibayangkan] menjadi arena demokrasi, otonomi, partisipasi, dan kontrol bagi warga kat sebagai warga negara, setelah mengalami “tidur panjang” dibawah depolitisasi atau upaya menjauhkan rakyat dari kehidupan politik yang berdampak pada pelemahan kapasitas politik warga pada masa Orde Baru. 5 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL masyarakat” (Antlov, 2003). Menarik bahwa Antlov mengembangkan imaginasi tentang desa sebagai “arena demokrasi” itu jauh sebelum terbitnya UU No. 6/2014 tentang Desa. Sebagian besar impiannya tampaknya betul-betul terwujud dalam banyak pasal pada undang-undang itu, terutama berkenaan dengan isu partisipasi warga desa. Kita tahu bagaimana peranannya sangat penting – misalnya bersama beberapa NGO, seperti IRE – ketika mengadvokasi legislasi UU tersebut. Mereka terutama mempromosikan tema civic-engagement (pelibatan warga) dalam kerangka demokratisasi desa. Dan persis di sinilah, kita perlu sedikit mendalami fokus dan tekanan-utama mereka atas gagasan tersebut. Menurut Antlov, partisipasi warga melibatkan partisipasi sistematis dalam perumusan dan pembuatan kebijakan oleh kelompokkelompok warga. Pelibatan partisipasi itu juga mencakup kerja berjejaring dengan mereka yang telah lebih dulu mengembangkan metode-metode politik partisipatoris untuk konsultasi, deliberasi, perencanaan, dan monitoring terhadap agenda-agenda dan programprogam pemeritahan desa (Antlov 2004: 142). Jadi, singkatnya politik partisipatoris harus diwujudkan kembali dengan menguji secara empiris di tingkat desa. Ini menjadi desain praksis untuk membuat alternatif bagi demokrasi elektoral yang gagal di tingkat supra-desa. Bagi banyak pengamat, perwujudan kembali politik partisipatoris di tingkat lokal memang menjadi sebuah keharusan. Tamrin Amal Tomagola baru-baru ini mengingatkan bahwa salah satu persoalan paling serius demokrasi Indonesia adalah pengabaian terhadap aspirasi-aspirasi masyarakat pedesaan yang sebenarnya merupakan konsti­tuen terbesar demokrasi. Menurutnya, selama ini demokrasi Indonesia terlalu berorientasi kota dan hanya terkonsentrasi pada gerakan kelas menengah perkotaan.6 Kepentingan kalangan menengah 6 Diskusi redaksi Prisma, Cikini, Jakarta, 2 September 2016. Petikannya akan dimuat dalam 6 PROLOG kota secara sosiologis dan kultural jelas harus dibedakan dengan kepentingan kelas masyarakat non-kota di tingkat lokal, khususnya di daerah pedesaan. Demokrasi liberal cukup bisa memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah perkotaan akan kebebasan sipil-politik yang berbasis pada aspirasi-aspirasi individual. Tapi demokrasi tidak bisa hanya memenuhi kebutuhan individual akan kebebasan sipil dan politik. Bagi masyarakat pedesaan yang lebih berwatak komunal (kebersamaan), di mana akses kolektif atas sumberdaya alam lokal menjadi pertaruhan hidup-mati, demokrasi harus menekankan sisi partisipasi kolektif warga. Masalahnya adalah, daya dukung politik masyarakat desa tidak memadai untuk memperbesar tekanan pada aspek ini. Karena itu bagi Tamrin, ada kebutuhan untuk reorientasi demokrasi Indonesia ke arah penguatan kapasitas politik masyarakat desa. Ini adalah kata lain dari istilah civic-engagement yang ditekankan Antlov di atas. Jadi, seperti halnya Antlov, Tamrin juga melihat ada dua manfaat dalam reorientasi ini. Pertama, memberi keseimbangan baru agar demokrasi tidak hanya berkiblat ke kota, yang cenderung menekankan sisi-sisi kebebasan individual kelas menengah liberal dan kompetisi elektoral para elit. Kedua, dengan menekankan aspek partisipatorisnya dalam latar sosio-kultural komunal berbasis desa, demokratisasi Indonesia bisa menjadi lebih produktif, inklusif (terbuka), otentik (asli), dan maksimal. *** Studi-studi kasus IRE tentang 10 desa di Jawa yang terhimpun dalam buku ini memberi gambaran bahwa ada yang sedang menggeliat dari bawah, dari tingkat lokal, dari desa-desa kita. Kasus-kasus yang diteliti membawa kita untuk memiliki gambaran tentang dimensidimensi empiris mengenai apa yang dipikirkan Antlov dan Tamrin. rubrik Dialog Prisma, edisi khusus (Januari 2017, akan terbit). 7 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Di tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru berupa lemahnya organisasi dan kelembagaan masyarakat sipil di tingkat desa, maka dengan terbitnya UU No. 6/2014 telah tercipta kesempatan politik yang terbuka luas bagi lahirnya model-model tata kelola baru di tingkat desa. Model-model baru itu memang sedang dalam proses terbentuk, sesuai dengan konteks-konteks problematik setempat. Cerita-cerita yang terhimpun dari 10 kasus yang distudi IRE itu baru merupakan sebagian dari ilustrasi nyata yang kini bisa ditemukan di mana-mana di seluruh penjuru tanah air. Kesepuluh studi kasus IRE dengan sengaja membatasi fokus analisisnya untuk melihat tiga aspek: (i) kepemimpinan desa; (ii) kinerja lembaga-lembaga representasi (perwakilan) desa; dan (iii) inisiatif warga desa. Hasilnya adalah sebuah bunga rampai yang merupakan cerita saling-silang; masing-masing bisa bertutur sendiri mengenai kombinasi yang saling mempengaruhi antara ketiga aspek itu. Ada kepemimpinan desa yang responsif atau tanggap, didukung oleh kelompok-kelompok warga desa yang penuh inisatif atau prakarsa dengan tradisi deliberatif (dialog dan musyawarah) yang punya akar kuat; dan ditopang pula oleh lembaga-lembaga formal representasi desa yang terbuka. Ini jelas sebuah kombinasi ideal untuk membangun pemerintahan desa yang partisipatoris. Ada pula jenis kepemipinan desa dinastik yang elitis, konservatif, tidak transparan; dan ini biasanya muncul dari dan/atau melahirkan sikap masyarakat yang apatis atau tidak peduli dan pasif; serta dilengkapi pula oleh lembaga representasi desa yang tidak responsif dan tidak kredibel. Hasilnya tentu sebuah jenis tata-pemerintahan desa yang majal dan anti-pembaruan. Di tengah-tengah model kombinasi yang ideal dan yang majal itu, terdapat rangkaian variasi model-model pemerintahan desa yang penuh ketegangan internal, dinamis, tapi juga involutif atau mandeg. Misalnya, kepemimpinan inovatif (mampu menghadirkan terobosan) 8 PROLOG yang muncul dari aktivisme kelompok-kelompok warga masyarakat yang penuh inisiatif, tapi yang tidak didukung oleh adanya lembagalembaga representasi formal. Atau kepemimpinan yang lemah, tapi dikontrol ketat oleh lembaga-lembaga representasi masyarakat yang agresif menyuarakan kepentingan-kepentingan delegatif warga. Atau kepemimpinan yang kuat, tapi berada dalam ketegangan dengan kelompok-kelompok warga yang juga kuat, dengan lembagalembaga representasi yang mengalami kemandulan. Atau berbagai jenis lain variasi-variasi semacam itu. Semua bentuk kombinasi yang penuh dengan kemungkinan itu, tentu juga menemukan batasbatas strukturalnya. Mana dari ketiga aspek itu yang paling kuat sebagai faktor dominan, biasanya akan sangat menentukan arah perubahan baik transformatif atau deformatif. Studi IRE kali ini cukup memperkaya khazanah wawasan, bagaimana sebuah polity atau satuan politik berbasis lokal-kewilayahan bergerak karena dialektika endogennya yang berlangsung dalam dirinya sendiri. Namun demikian, mengamati dinamika politik “lokalisme kewi­ layahan” tidak pernah bisa diletakkan di luar pengaruh-pengaruh eksogen atau berasal dari luar. Ini yang tampaknya lepas dari perhatian IRE. Faktor-faktor eksogen yang mempengaruhi dinamika sosialpolitik pedesaan di Indonesia perlu juga didasarkan pada perspektif global. Di sini saya perlu memperkenalkan perspektif Joshua Forrest (2014), yang dengan meyakinkan telah memperingatkan bahwa gagasan-gagasan lokalisme kewilayahan kini sedang menyurut. Mazhab lokalisme kewilayahan percaya bahwa masyarakat pedesaan mempunyai daya tahan dalam menghadapi apa yang disebut arus “metropolitanisasi” – yakni pertumbuhan wilayah yang terus berlanjut di mana kawasan perdesaan terurbanisasi dengan cepat sejalan dengan kebijakan aglomerasi regional.7 7 Aglomerasi mengacu pada pemusatan aktivitas-aktivitas ekonomi di lokasi yang sama untuk 9 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Forrest memperlihatkan gejala-gejala baru di mana selama dua dasawarsa terakhir ini, bahkan di seluruh dunia, potensi masyarakat lokal dalam mempertahankan kontrol atas sumberdaya perekonomian masing-masing, pun juga menyangkut kemampuan mereka untuk membuat dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada kepentingan lokal justru sedang sangat menurun. Beberapa faktor ditunjukkan Forrest menyangkut gejala ini. Pertama, tentu saja adalah karena pengaruh ekspansi investasi yang semakin fleksibel yang mengikis batasan teritorial kota-desa. Modal begitu cepat bergerak dari kota ke desa; dan ini menciptakan proses de-teritorialisasi. Kedua, pada saat yang sama, untuk mengakomodasi sumber ekonomi baru akibat investasi itu, ada kebutuhan bagi pemerintah-pemerintah desa untuk melakukan privatisasi (atau dikenal swastanisasi) di mana modal mengambil alih atas berbagai jenis pelayanan publik tertentu. Ketiga, sebagai akibat perluasan investasi oleh swasta itu, muncul gelombang migrasi yang menyerbu desa-desa dan gelombang yang akhirnya mengikis tradisi komunitarianisme (kebersamaan) lokal dan otentik (asli) desa-desa. Singkatnya spirit lokalisme kewilayahan menjadi melemah. Pelemahan inilah yang menyebabkan menipisnya otonomi dan kapasitas tata-kelola penyelenggaraan kepentingan publik pemerintahan desa. Sampai di sini kita sedang memetakan dua gelombang pengaruh yang menyerbu desa-desa. UU No. 6/2014 mendesain desa untuk tumbuhnya kapasitas lokal demokratik melalui skenario pelibatan warga (civic-engagement). Tapi di pihak lain, aglomerasi yang menyerbu desa-desa karena ekspansi modal membuat kapasitas otonomi desa-desa menyurut. Inilah situasi dilematis yang secara menghasilkan manfaat ekonomi yang pada akhirnya mendorong pembentukan kluster-kluster usaha. Aglomerasi dapat ditandai dengan pembentukan kawasan ekonomi khusus dan diorientasikan bagi ekspansi (perluasan) sektor industri. 10 PROLOG struktural menciptakan tantangan besar bagi inisiatif apapun yang ingin menjadikan desa sebagai situs baru demokrasi partisipatoris. *** Catatan-catatan di atas sangat penting dikemukakan untuk menganalisis hasil-hasil studi kasus yang dilakukan IRE yang terhimpun dalam buku ini. Faktor-faktor kepemimpinan formal desa, inisiatif warga-desa, dan lembaga representasi desa yang diteliti dalam ke-10 studi kasus adalah unit-unit analisis untuk mendeteksi kemungkinan munculnya kinerja pemerintahan desa yang partisipatoris. Tetapi faktor-faktor itu tampaknya memerlukan definisi operasional yang menegaskan gagasan politik partsipatoris sebagaimana tersaji dalam matrik tabel 1. Faktor kepemimpinan misalnya mensyaratkan daya tanggap (responsivitas), kebertanggungjawaban, dan transparansi. Faktor inisiatif warga mensyaratkan gagasan tentang otonomi lokalkewilayahan dalam rangka klaim kesejahteraan kolektif. Sedangkan faktor representasi mensyaratkan adanya kemampuan (kapabilitas) dan kredibilitas (seberapa jauh meraih kepercayaan) kelembagaan untuk bertindak mewakili aspirasi warga. 11 12 Publicness/ Inclusiveness of Aspirations Capital-Driven Aglomeration Public Space Extention Public Interest Formation Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10 Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10 Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10 Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10 LEADERSHIP (responsivity, responsibility, and transparancy) Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10 Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10 Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10 Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10 REPRESENTATION (credibility, representativeness capability) Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10 Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10 Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10 CITIZEN INITIATIVE (idea of local territorial autonomy, reassertion and reclaiming of welfare) Kasus 1 s/d kasus 10; Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10 Kerangka Analisis Politik Partisipatoris Tabel. 1 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL PROLOG Ketiga faktor dengan seluruh syarat-syarat instrinsiknya itu, pada analisis selanjutnya harus dikorelasikan dengan faktor lain yang bersifat endogen maupun eksogen. Ada tiga faktor endogen untuk dipakai sebagai parameter pengujian —yakni perumusan kepentingan publik, perluasan ruang publik, serta inklusivitas dan sifat-kepublikan aspirasi-aspirasi. Sementara itu satu faktor eksogen adalah menyangkut fenomena aglomerasi, terutama yang dilatarbelakangi oleh ekspansi modal dari aktor-aktor/lembaga-lembaga supra-desa. Kerangka analisis matriks ini penting dipakai untuk melihat dan memeriksa secara detail setiap studi kasus. Setiap kasus perlu membeberkan situasi setiap faktor dengan ilustrasi-ilustrasi kongkret. Hasilnya diharapkan adalah gambaran deskriptif yang lengkap untuk memperlihatkan beragam bentuk politik partisipasi, kualitasnya, narasi-narasi mengenai prosesnya, tantangan-tantangannya, capaiancapaian maksimalnya, dan seterusnya. Singkatnya mengenai proses politik demokrasi partipatoris di dalam arena riil politik lokal. Kajian menyeluruh berdasarkan analisis matriks itu setidaknya akan menggambarkan dua hal. Pertama, politik demokrasi lokal sebagai ajang kontestasi seluruh aktornya – jadi di sini yang ditekankan adalah gambaran mengenai politik partisipatoris dalam arena kontestasi yang empiris dan aktual. Kedua, gambaran kontekstual mengenai eksperimentasi politik partisipatoris untuk melihat secara riil capaian-­ capaiannya, hambatan-hambatannya, maupun kegagalan-­ kegagalannya. Dengan kerangka seperti itu, kita telah menggelar panggung. Setidaknya secara hipotetis, situs demokrasi partisipatoris di tingkat lokal bisa dikerjakan di luar skema besar demokrasi elektoral nasional yang minimalis itu. Kita sedang menggelar sebuah upaya untuk membuat demokrasi berjalan maksimal sebagai urusan publik, sebagai kepentingan kolektif, dalam pertarungan politik sehari-hari – bukan 13 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL hanya lima tahun sekali seperti panggung demokrasi elektoral. Tentu kemungkinan kegagalannya adalah sebesar kemungkinan keber­ hasilannya. Analisis dan interprestasi atas kesepuluh studi kasus IRE ini bisa dipakai sebagai referensi empiris untuk melihat seberapa besar kemungkinan dan ketidakmungkinanya dalam konteks-konteks aktual di tempat lain, di puluhan ribu desa-desa di seluruh Indonesia. Karena setiap eksperimentasi mengandung gagasan mengenai model ideal yang dijadikan referensi normatif, perlulah kiranya dibuka di sini apa yang seharusnya menjadi acuan. Acuan ideal eksperimentasi demokrasi partisipatoris di tingkat desa ini adalah demokrasi republikan. Adalah Republikanisme dalam pengertian Plato. Desa harus dibayangkan sebagai republik di tingkat lokal. Dari sekian elemen demokrasi republikan, dua di antaranya harus diasumsikan ada di desa. Dua elemen itu adalah active citizen (warga yang penuh prakarsa), dan cita-cita yang hidup untuk membangun public-virtue (kebajikan bagi publik), berbasis common-good, dan common interest. Kita percaya bahwa spirit komunitarianisme yang hidup di banyak desa-desa kita masih menyimpan modal sosial dan modal budaya itu. 14 BAB 1 Penemuan Kembali “Berdesa” A. Prawacana Sudah menjadi pengetahuan bersama, kehidupan sosial kemasyarakatan di desa selama ini dipandu oleh seperangkat nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi. Masyarakat Jawa, misalnya, secara umum mengenal tiga tata nilai untuk melangsungkan hidup bersama di desa, yaitu; tata cara, tata krama, dan tata susila. Tata cara mengacu pada aturan-aturan yang berkaitan dengan tindakan atau mekanisme dalam menjalani kegiatan sosial kemasyarakatan. Tata krama adalah etika pergaulan yang berkaitan dengan sopan santun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sedangkan tata susila merupakan aturan tingkah laku warga dalam menjalani hidup berbangsa di desa, atau kini disebut sebagai “berdesa”.8 Secara historis, masyarakat “berdesa” di Nusantara memiliki basis sosial kehidupan yang berbeda dengan masyarakat Eropa, Amerika, Arab atau belahan dunia lainnya. Gagasan demokrasi yang kini menjadi 8 Dalam laporan tahunan yang ditulis oleh IRE Yogyakarta, Annual Report 2001 – 2002, memuat laporan tentang pemikiran demokrasi desa. Dalam laporan tersebut, IRE menemukan bahwa kehidupan sosial kemasyarakatan desa dipandu oleh tiga tata nilai, yaitu tata cara, tata krama dan tata susila. 15 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL arus utama dalam mengelola kehidupan publik, lahir dan bertumbuh kembang dari pengalaman masyarakat Amerika yang berwatak indi­ vidual-liberal maupun masyarakat Eropa yang berakar dari budaya industrialis. Sistem demokrasi yang kini menyebar luas di berbagai penjuru dunia adalah hasil pemikiran dari tradisi panjang kehidupan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan kemasyarakatan yang dikenal se­ bagai “masyarakat Barat”. Tidak salah jika akhirnya demokrasi yang bekerja adalah pelembagaan tradisi, cita rasa dan karakter “masyarakat Barat” dalam membingkai kehidupan bersama.9 Sebagian besar warga di negeri ini pada dasarnya masyarakat petani di desa. Pada masa pra kolonial, masyarakat petani bermukim dalam wilayah geografis dan pengaruh kekuasaan tradisional yang cenderung terisolasi dan terbatas jaringan sosial keluar maupun mobilitas sosial. Tempat bermukimnya berhimpitan dengan ladang, kebun atau sawah pertanian yang menjadi sumber penghidupan mereka. Sartono Kartodirjo (1985) menuturkan bahwa karakteristik masyarakat petani yang berciri khas terpecah kecil-kecil secara geografis ini, ditemukan pula pada masyarakat India yang diikat dalam satuan panchayat (desa) yang isolatif, miskin jaringan sosial dan relasi kekerabatannya kuat. Situasi ini menurut Sartono Kartodirjo (1985), menjadi berubah ketika pemerintah kolonial menguasai India dan Nusantara. Masa kolonial yang mengungkung Indonesia dan India sejak abad 18 meng­ akibatkan perubahan sosial ekonomi terjadi nyata di desa-desa di 9 Pemikir Alexis De Tocqueville secara menarik memaparkan sejarah demokrasi di Eropa dan Amerika melalui cara berpikir induktif, yaitu mendeskripsikan narasi-narasi dinamika sosial suatu kelompok bangsa dari bawah tanpa dibebani oleh suatu kerangka teori dan konsep tertentu. Kumpulan pemikiran demokrasi dari Tocqueville ini dihimpun dalam sebuah buku yang disunting oleh John Stone dan Stephen Mennel, diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 2005 dengan judul “Tentang Revolusi, Demokrasi dan Masyarakat” kerjasama Kedutaan Besar Amerika Serikat, Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia. 16 Indonesia maupun masyarakat petani Panchayat India.10 Kolonial Belanda mempengaruhi dalam narasi pertanian dan perkebunan dalam bentuk sistem tanam paksa, sementara Kolonial Inggris mem­pengaruhi pribumi India dengan narasi administrasi bersosial masyarakat berupa sistem pajak. Pengaruh-pengaruh yang beragam inilah yang menentukan pembentukan sekaligus perubahan tata nilai dan orientasi sosial kemasyarakatan di Panchayat (India) maupun desadesa di Indonesia. Tekanan pengaruh rejim kolonial telah membentuk lanskap sosial-ekonomi-budaya-politik masyarakat desa Nusantara. Pasca mendeklarasikan kemerdekaan tahun 1945, rejim Orde Lama berusaha membangun jati diri masyarakat desa melalui narasi negara bangsa (berbangsa ala negara) dimana nasionalisme menjadi spirit pengelolaan kehidupan bersama desa. Pada titik inilah, menjadi awal mula masuknya negara sebagai organisasi kekuasaan modern ke desa. Namun, ketegangan politik di kalangan elit nasional menyebabkan rute demokratisasi yang dijalani Indonesia menjadi limbung. Pergantian rejim Orde Lama ke Orde Baru justru semakin menjauhkan Indonesia dari rute demokrasi, bahkan berbalik arah menuju otoritarianisme. Di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru, desa semakin termiskinkan. Kekayaan berupa keragaman sistem, lembaga dan tata nilai sosial kemasyarakatan desa di Nusantara tercabik-cabik format penyeragaman desa oleh negara Orde Baru.11 Dalam kondisi semacam inilah desa-desa di Indonesia sulit mengem­ 10 Penjelasan ringkas dilakukan oleh Sartono Kartodirjo melalui makalah ringkasnya sebagai bahan diskusi bulanan di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, menjelaskan dinamika perubahan sosial ekonomi pedesaan di Indonesia, termasuk membandingkan dengan Panchayat India. Lebih rinci tentang hal ini silahkan baca buku “Dinamika Perubahan Sosial Ekonomi Pedesaan”, disunting oleh Sartono Kartodirjo, Mubyarto dan Edi Suandi Hamid, 1996, Penerbit Aditya Media Yogyakarta. 11 Beberapa studi terkait fenomena desa di bawah tekanan rejim orde baru, bisa dibaca dalam buku Mochtar Mas’oed, 1983, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, termasuk buku Yando Zakaria, 2000, Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru, Jakarta: ELSAM, dan Hans Antlov, 2003, Negara Dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal, Yogyakarta: Lappera Pustaka utama, 17 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL bangkan diri, meski di dalam dirinya mengalir tradisi-tradisi tata sosial kemasyarakatan yang mencerminkan prinsip dan nilai demokrasi. Pasca reformasi, kelahiran UU No 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menjadi oase yang menghadirkan kesempatan sekaligus tantangan bagi re-demokratisasi desa. Regulasi baru ini menyedia­ kan rute perubahan revolusioner bagi desa di dalam sistem NKRI. Sejarah masa lalu yang terwariskan dan kemampuan desa dalam mengembangkan diri, diakui dan dihormati, melalui dua asas utama peraturan ini, yaitu; rekognisi (pengakuan terhadap hak asalusul) dan subsidiaritas (kewenangan desa untuk menetapkan ke­ wenangannya sendiri yang berskala lokal desa). Desa pun didorong untuk menghidupkan kembali demokrasi desa, melalui mekanisme Musyawarah Desa (Musdes), terutama dalam memutuskan aspekaspek strategis desa. Namun demikian, disisi lain regulasi itu juga meghadapkan desa pada tantangan tersendiri. Tantangan tersebut berupa kesiapan desa dan supradesa (pemerintah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota) dalam merespon perubahan revolusioner pada aspek regulasi menjadi tindakan kolektif. Sayangnya spirit UU Desa tersebut belum ditangkap dengan baik oleh pelaku desa. Studi-studi yang dilakukan IRE dalam kurun waktu dua tahun terakhir (IRE dan CCES, 2015; IRE, 2015; IRE, 2016) menunjukkan gejala bahwa penyebaran pengetahuan tentang substansi UU Desa masih bermasalah. Masalah mendasar dalam kerangka penyebaran tersebut adalah tidak merata dan tidak tuntas dalam memahami UU Desa. Gairah memanfaatkan Musdes untuk merayakan demokratisasi desa terlihat lesu, dikalahkan oleh hiruk pikuk administrasi dana desa yang mengharu biru para Kades dan perangkat desa. Alih-alih menata diri mempersiapkan pelembagaan Musdes sebagai wadah rembug warga yang inklusif, para elit desa justru hilir mudik ke kantor kabupaten/kota dan tempat-tempat 18 PENEMUAN KEMBALI “BERDESA” bimbingan teknis (bimtek) berkaitan dengan pengelolaan keuangan desa. Situasi ini bermakna demokrasi desa masih berjalan di atas kertas dan belum tersemat di sanubari para pemimpin dan masyarakat desa. Padahal, desa dengan segala kearifannya telah mewariskan tatanan sistem dan nilai sosial kemasyarakatan yang lekat dengan nilai-nilai universal demokrasi. Kehidupan sosial masyarakat di desa masa lampau telah mengenal dan memberlakukan seperangkat nilai yang sebangun dengan nilai-nilai universal demokrasi. Meski tidak mengenal istilah demokrasi, tetapi esensi demokrasi telah dijalani pada masa itu. Sayangnya, warisan bak harta karun yang tak ternilai itu masih teronggok. Kekayaan tersebut sesungguhnya dapat diramu dan ditawarkan sebagai cara baru dalam mengembangkan demokrasi di Indonesia. Kritik keras atas arus deras demokrasi liberal yang prosedural-formal saat ini, bisa dijawab dengan menghidupkan kembali spirit dan nilai-nilai kehidupan sosial kemasyarakatan desa yang sudah teruji dalam membangun kebersamaan dan kesejahteraan. Kiranya tidak keliru jika misi utama hari ini adalah menemukan kembali spirit “berdesa” sebagai wajah demokrasi desa. Sejarah desa yang kaya, berbentuk organisasi pemerintahan lokal, lembaga ke­ masyarakatan, sistem sosial, dan nilai-nilai dasar dalam mengem­ bangkan kehidupan bersama, —merupakan harta karun pengetahuan yang semakin langka dan perlu dihidupkan serta senantiasa dirawat. Namun demikian, upaya penemuan kembali “berdesa” tidak sekedar diletakkan dalam spirit romantisisme masa lampau semata. Spirit “berdesa” tersebut perlu diadaptasi dalam praktik-praktik pengelolaan kehidupan bersama desa sesuai dengan tantangan zamannya. Ringkasnya, penemuan kembali spirit “berdesa” membutuhkan kerjakerja kontekstual. 19 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL B. Kontekstualisasi Berdesa Dalam semangat semacam itulah buku ini disusun. Disamping menyelamatkan harta karun yang tercecer, buku ini merupakan Ik­ hti­ar awal dalam melakukan kontekstualisasi spirit “berdesa”. Buku ini memuat hasil kajian IRE berupa potret mendalam peristiwaperistiwa menarik dan penting tentang praktik (menuju) “berdesa” yang kemudian ditarik sebagai etalase pembelajaran berharga. Peristiwa sosial kemasyarakatan dan pembangunan desa bisa menjadi gambaran secara nyata bekerjanya pilar-pilar utama demokrasi. Pada studi ini pilar utama yang diyakini menjadi penyangga bagi bekerjanya demokrasi lokal (desa) meliputi tiga aspek, yaitu; kepemimpinan, inisiatif warga dan representasi. Ketiga aspek yang jalin berkelindan menggerakkan peristiwa demi peristiwa sosial kemasyarakatan dan pembangunan desa menjadi lingkup kajian ini. Tradisi panjang kehidupan sosial masyarakat desa-desa di Jawa memberikan pertimbangan utama dalam memilih Jawa sebagai lokasi studi ini. Berlangsung di 10 desa di Jawa, lokasi studi dipilih dengan menggunakan pertimbangan karakteristik topografis yang diyakini berkontribusi dalam melahirkan segregasi sosial budaya masyarakat. Pada Tabel 1. secara rinci diinformasikan tipologi lokasi, kasus yang diteliti dan penelitinya. 20 PENEMUAN KEMBALI “BERDESA” Tabel 2 Tipologi Lokasi dan Kasus Penelitian Tipologi DataranTinggi/ Pegunungan Dataran Rendah Kawasan Pesisir Kabupaten Probolinggo Desa Penelitian Studi Kasus Perlindungan Lahan Masyarakat Tengger Kabupaten Nglanggeran Pengembangan Gunungkidul Pariwisata Berwawasan Lingkungan Kabupaten Mekar Jaya Pembangunan Sukabumi Lapangan Sepak Bola Kabupaten Gulon Pembangunan Magelang Rusunawa Rajif Dri Angga Kabupaten Tangerang Cangkudu Iranda Yudatama Kabupaten Sleman Umbulharjo Kabupaten Bantul Panggungharjo Kabupaten Rembang Punjul Harjo Kabupaten Kulon Progo Sidorejo Kabupaten Blitar Ringinrejo Sumber : IRE, 2016 Ngadisari Peneliti Reformasi birokrasi dalam Pelayanan Publik Desa Mengembangkan Pengelolaan air bersih Reformasi Birokrasi dan Inovasi Pelayanan Publik Pengembangan Pariwisata “Karang Jahe Beach” Insiatif Pengembangan Desa Inklusi Okupasi Lahan Perhutani oleh Pihak Swasta dan Masyarakat Desa Sugeng Yulianto Fajar Sudjarwo Dimpos Manalu Sukasmanto Abdur Rozaki Sigit Pranawa Titok Hariyanto Nurma Fitrianing­rum 21 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Sebagaimana diinformasikan pada tabel 2, bahwa penelitian ini dilakukan dengan memakai pendekatan studi kasus atas peristiwaperistiwa yang berlangsung di desa. Artinya, studi yang dilakukan IRE ini mengumpulkan praktik-praktik bermasyarakat dan berdesa yang terjadi di 10 desa lokasi riset. Inilah yang dimaksud sebagai stock taking study. Peristiwa yang dikaji oleh para peneliti bisa berdimensi praktik baik namun bisa juga praktik buruk dalam aspek kepemimpinan, inisiatif warga, dan representasi. Singkatnya, studi ini tidak berpre­ tensi mengumpulkan praktik-praktik terbaik tentang tiga aspek utama demokrasi desa. Disisi lain, studi ini pun tidak bertujuan melakukan evaluasi atas proyek pembangunan masyarakat dan desa. Bukan pula melakukan penilaian atas kerja-kerja masyarakat dan pemerintahan desa yang berujung pada pemberian apresiasi penghargaan atas praktik terbaik dan turunanya. Studi ini sejak awal didedikasikan untuk menemukan pelajaran berharga atas praktik-praktik baik maupun buruk dalam kehidupan sosial masyarakat dan pembangunan desa. Karena baik praktik baik maupun buruk memiliki nilai yang sama, yakni sebagai mutiara pembelajaran. C. Argumentasi Metodologis Ada dua argumentasi metodologis yang penting dikemukakan dalam studi yang menghasilkan buku ini. Pertama, cara pandang induktif. Studi yang ditempuh memakai nalar berpikir induktif, meskipun tidak secara total. Karena studi ini secara sadar dibimbing pula oleh keyakinan, bahwa UU Desa memberi peluang besar bagi desadesa untuk mengembangkan demokrasi yang lebih subtantif. Sebagai nalar utama dalam studi, tentu cara pandang induktif membawa konskuensi, bahwa para peneliti turun ke lapangan tidak berbekal kerangka teori dan konsep yang baku dan ketat. Pada saat melakukan 22 PENEMUAN KEMBALI “BERDESA” penelitian lapangan para peneliti dibekali kerangka instrumen yang longgar (question guide), bagaimana memilih kasus dan apa saja data/ informasi yang penting dikumpulkan. Artinya, peneliti di lapangan memiliki keleluasaan dalam mengeksplorasi peristiwa-peristiwa sosial yang berlangsung untuk diangkat menjadi kasus yang hendak dikaji. Selanjutnya, para peneliti datang ke desa diawali dengan me­ nemui pihak-pihak strategis, targetnya menemukan peristiwa sosial kemasyarakatan atau pembangunan desa yang bisa dipilih sebagai kasus untuk dikaji secara lebih mendalam. Data dan informasi yang dianggap memadai kemudian ditulis secara naratif, melalui teknik analisis deskriptif, interpretatif, dan eksplanatif. Pada saat menarasikan data dan informasi ini peneliti menggunakan perspektif yang terkait dengan prinsip dan nilai universal demokrasi untuk memahami dan menjelaskan rangkaian peristiwa yang diteliti. Studi kasus yang me­ lahirkan narasi kecil didialogkan dengan narasi besar dari perspektif demokrasi. Dialektika inilah yang kemudian melahirkan pengetahuan yang diharapkan berkontribusi bagi pemikiran dan praktik demokrasi yang saat ini sedang berlangsung. Kedua, memasok pengetahuan untuk kebijakan. Buku ini dihasilkan dari studi yang sejak awal tidak semata-mata hanya untuk memuaskan kegelisahan intelektual, melainkan lebih dari itu untuk melahirkan pengetahuan yang relevan bagi perbaikan pemikiran dan praktik demokrasi. Pada level mikro produk pengetahuan yang dihasilkan diharapkan bisa mengingatkan maupun menginspirasi bagi para pihak berkepentingan di desa dalam upaya mengembangkan demokrasi desa. Sementara pada level makro, pengetahuan yang dihasilkan studi ini diharapkan mampu menjadi basis pemikiran para pengambil kebijakan di tingkat nasional maupun subnasional dalam mengembangkan kebijakan yang terkait dengan pelembagaan demokrasi desa. 23 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Selain argumentasi metodologis di atas, dengan diterbitkannya buku ini diharapkan akan bermanfaat bagi para pihak yang selama ini berada di dalam pergulatan semesta demokrasi di Indonesia. Pertama, pemerintah nasional dan sub nasional, termasuk pemerintahan desa. Buku ini penting dibaca oleh para pengambil keputusan karena beberapa pengetahuan di dalam buku ini dapat dipakai sebagai pertimbangan dalam mengembangkan desain kebijakan untuk melembagakan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas di level desa, kabupaten, propinsi, dan pusat. Kedua, masyarakat desa. Buku ini diharapkan bisa menjadi sumber inspirasi bagi warga masyarakat desa, terutama para warga aktif desa yang sedang merayakan pelaksanaan UU Desa. Desa membangun tidak sekedar membelanjakan uang desa, tetapi bagaimana mengembangkan tradisi bermasyarakat dan berdesa yang demokratis. Ketiga, pegiat pembaruan desa dan aktivis pro demokrasi. Buku ini berupaya menghadirkan sisi kritis pemikiran dan praktik demokrasi liberal yang kini melembaga di Indonesia, namun kian tak jelas sumbangannya bagi kesejahteraan bersama. Dengan konstruksi pengetahuan yang dibangun berbasis pada perspektif demokrasi partisipatoris-deliberatif, buku ini menawarkan alternatif bagi para pegiat desa dan pro demokrasi untuk mengembangkan demokrasi desa yang berbeda dengan praktik-praktik demokrasi formal prosedural selama ini. Keempat, akademisi dan peneliti. Buku ini memancing pemikiran tentang demokrasi alternatif atas demokrasi liberal. Komunitas akademik seharusnya mengelaborasi lebih lanjut melalui perdebatan paradigmatik dan teoritik atas tawaran-tawaran di dalam buku ini. Agenda-agenda riset tentang demokrasi alternatif dan pengembangannya penting dirumuskan oleh para peneliti. 24 PENEMUAN KEMBALI “BERDESA” D. Tentang Alur dan Isi Buku ini disusun dengan mempergunakan gaya tulisan ilmiah popular dengan alur penulisan seperti berikut ini. Pertama, bagian perspektif studi ini. Apa cara pandang yang digunakan untuk membangun nalar dan merumuskan pengetahuan atas hasil penelitian? Bagian ini berusaha menegaskan posisi cara pandang yang digunakan dalam mengembangkan demokrasi desa. Karena itu dalam sistematika buku ini ditempatkan pada Bagian Prolog: Demokratisasi Desa – Situs Baru Politik Partisipatoris? Pada bagian ini diuraikan latar feno­ mena kegagalan demokrasi liberal sampai kemudian ditawarkannya cara pandang demokrasi partisipatoris-deliberatif. Dialog perspektif besar demokrasi dengan gejala yang menggeliat dari desa-desa yang ditemukan di 10 lokasi riset, ditulis menjadi skema cara pandang yang ditawarkan untuk menjelaskan fenomena dan usulan gagasan model demokrasi desa di masa depan. Kedua, bagian latar belakang studi ini. Pada bagian ini diuraikan tentang konteks dan urgensi studi mengenai demokrasi desa. Selain itu juga menguraikan tentang tipologi lokasi dan kasus penelitian, gagasan mengembangkan demokrasi desa, argumentasi metodologis yang digunakan untuk melakukan penelitian yang membuahkan pengetahuan di buku ini. Termasuk juga menguraikan sistematika dan alur penulisan buku. Dalam alurnya penulisan bagian ini ditulis pada Bab 1 buku ini. Ketiga, bagian temuan-temuan studi demokrasi. Sejak awal studi demokrasi desa menggunakan keyakinan pada tiga aspek utama pelembagaan demokrasi, yaitu; kepemimpinan, representasi, inisiatif warga. Bagian ini alurnya diletakkan secara berurutan pada Bab 3 menguraikan aspek kepemimpinan dalam pelembagaan demokrasi desa. Kemudian diteruskan Bab 4 menguraikan tentang representasi dalam pelembagaan demokrasi desa. Sedangkan Bab 5 menguraikan 25 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL tentang inisiatif warga dalam pelembagaan demokrasi desa. Keempat, bagian epilog. Pada bagian ini diuraikan tentang model demokrasi desa yang berpijak pada penguatan kepemimpinan, representasi, dan inisiatif warga. Pada bagian ini pula agenda-agenda pelembagaan demokrasi desa yang menggunakan nalar demokrasi partisipatoris-deliberatif diuraikan dari sisi peluang dan tantangannya. 26 Bapak Senen Kades Nglanggeran yg sederhana, dicintai warganya Kebijakan Kades Ngadisari untuk untuk melindungi tanah leluhur Tengger dari ekspansi kapital, terutama di lereng atas yang berbatasan dg TNBTS Ki Petinggi (kanan) dan Dukun Pandita (kiri) berjalan beriringan dalam puncak Hari Raya (Karo_Sumber_Woko) BAB 2 Kepemimpinan dan Transformasi Desa A. Prawacana Sejauh penelurusan yang ada, tak banyak kajian yang secara eksplisit mengkaitkan studi tentang kepemimpinan Jawa dengan gagasan demokrasi lokal yang berkembang di pedesaan Jawa pasca perubahan penting yang didorong UU Desa. Terbitnya UU Desa memang menyediakan basis perubahan fundamental dalam konteks pelembagaan demokratisasi desa. Terlebih politik rekognisi (pengakuan atas hak asal-usul) dan subsidiaritas (penetapan kewenangan berskala lokal desa) dalam UU Desa telah menyediakan peluang transformasi bagi desa melalui kewenangan yang dimilikinya. Namun demikian, penting untuk memeriksa kembali sejauh mana perubahan tersebut dimungkinkan bekerja di desa melalui praktikpraktik otentik demokrasi desa. Studi yang dilakukan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta di desa-desa di Jawa ini adalah salah satunya. Studi rintisan ini memperlihatkan gejala dan praktik demokrasi di desa yang diuraikan dari tiga titik pijak: kepemimpinan, representasi dan 29 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL inisiatif warga. Bab ini secara spesifik akan memusatkan perhatian pada aspek kepemimpinan desa untuk melihat tipe kepemimpinan semacam apa yang kondusif bagi bekerjanya demokrasi deliberatifpartisipatoris.12 Oleh karena itu, studi rintisan ini hendak melihat sejauh mana kepemimpinan desa yang tengah berlangsung saat ini diuji dengan praktik demokrasi lokal yang masih bekerja dan otentik atau bahkan telah lenyap dan hanya sedikit menyisakan jejaknya. Pengujian pada aspek kepemimpinan tersebut menyasar pada tiga faktor penting: pembentukan kepentingan publik, perluasan ruang publik, dan inklusivitas (keterbukaan) terhadap aspirasi-aspirasi menyangkut urusan publik. Meskipun demikian, dua titik pijak lainnya (representasi dan inisiatif warga) tentu tidak dapat dilepaskan begitu saja dan juga akan mewarnai analisis dalam tulisan ini. Salah satu temuan penting pada aspek kepemimpinan mi­ salnya, menunjukkan bahwa kepemimpinan yang kuat, tanggap, dan transparan hadir sebagai elemen penting dalam pembentukan kepen­ tingan publik sekaligus mampu memastikan perluasan ruang publik melalui menciptakan ruang-ruang publik informal di desa. Di sisi lain, kepemimpinan semacam ini juga membuka inklusivitas (keterbukaan) bagi aspirasi-aspirasi kepublikan, seperti isu pelayanan publik dasar. Sementara itu, di titik ekstrim yang lain, kepemimpinan desa menutup peluang bagi pembentukan kepentingan publik dan cenderung eksklusif (peminggiran) terhadap isu-isu publik di desa. Di antara dua titik ekstrim ini tentu saja terdapat keragaman dari tiga faktor tersebut dari 10 desa yang diteliti. 12 Demokrasi deliberatif merupakan pandangan tentang demokrasi yang mendorong ruang publik menjadi arena bagi perbincangan isu tertentu sehingga menjadi wacana publik. Deliberasi dibutuhkan dalam demokrasi, agar proses merumuskan kebijakan publik telah diuji melalui perbincangan publik, sehingga memunculkan argumentasi yang memadai dan cukup dalam mengambil keputusan. Agar wacana publik menjadi arena yang hidup, maka dibutuhkan keterlibatan warga. Pada titik inilah partisipasi dalam bentuk inisiatif atau usulan warga menjadi prasyarat bagi hadirnya deliberasi dalam makna yang sesungguhnya. 30 KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA B. Warisan Lama: Dominasi Orang Kuat Lokal dan Politik Kekerabatan di Desa Dalam sejarahnya, kepemimpinan desa di Jawa tak bisa lepas dari dominasi politik patronase dan jejaring kekerabatan yang kuat. Politik pengaturan desa sejak era kolonial dan dilanjutkan oleh Orde Baru mewariskan kepemimpinan desa yang feodal, dinastik (didominasi jejaring keluarga elit), dan seringkali oligarkis (arena kekuasaan hanya dikuasai oleh elit dan untuk kepentingan elit). Warisan lama kepe­ mimpinan desa tersebut—setidaknya dari hasil studi ini—berakar pada dua hal: dominasi elit/orang (kuat) lokal melalui budaya paternalistik (Mulder, 2001), kepemimpinan konservatif-birokratik, dan politik kekerabatan.13 Sidel (2004) mengingatkan tentang kepemimpinan desa yang dikuasai oleh orang kuat atau bosisme lokal (kuasa para bos lokal) yang telah berakar kuat dalam perekonomian desa dan berkembang pesat selama Orde Baru.14 Di masa ini pula, kepala desa dan sanak kerabatnya menikmati akses atas sumberdaya yang digelontorkan oleh negara melalui beragam mekanisme subsidi sarana produksi pertanian (seperti bibit, pupuk dan pestisida), beragam pola pertanian padat modal, serta lahan yasan. Pelaksanaan program-program pemerintah, dengan demikian, 13 Budaya paternalistik merujuk pada metafora atau perumpamaan bahwa pemimpin berperan sebagai kepala keluarga. Kepala keluarga yang dalam masyarakat patriarkal diperankan oleh bapak, menjadi panutan dan karena itu menjadi satu-satunya sumber kebenaran. Budaya tersebut menciptakan adanya pandangan bahwa pemimpin tidak boleh dikritik. Sementara konservatisme-birokratis mengacu pola kepemimpinan dengan karakter dogmatis, kaku, sulit menerima gagasan baru, hirarkis atau berjenjang dan mengandalkan kewenangan sebagai basis kekuasaannya. Karakter demikian secara potensial memunculkan watak otoriter dalam kepemimpinan. 14 Praktik-praktik bosisme lokal mengejawantah dalam peran-peran yang dimainkan para jago, warok, blater, jawara, dan preman di berbagai wilayah di Nusantara. Yang membedakan mereka hanya sifat, pola kerja, atau bentuk organisasi. Namun semuanya mengandalkan paksaan dan kekerasan, jika persuasi dan negosiasi menghadapi jalan buntu. Bosisme lokal terjadi akibat minimnya peran negara dalam menegakkan ketertiban umum, juga karena disebabkan pembiaran dan politisasi negara terhadap hadirnya beragam bisnis pengamanan 31 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL diperantarai oleh kepentingan para elit lokal di tingkat desa yang mengkontrol berbagai sumber ekonomi yang besar di desa. Selain itu, selama abad 19 dan abad 20, jabatan kepala desa di ba­nyak desa dipegang oleh satu trah keluarga atau sekelompok keluarga yang menguasai tanah-tanah komunal, seperti tanah bengkok.15 Politik kekerabatan (kinship) menjadi sesuatu yang lazim dalam dinamika kepemimpinan desa di Jawa pada saat itu (Sidel, 2004). Jejak-Jejak Warisan Lama Di empat desa yang diteliti yakni Ngadisari, Gulon, Punjulharjo, dan Ringinrejo, corak kepemimpinan semacam itu begitu kentara. Dalam konteks Ngadisari, adat Tengger menjadi tatanan dasar kehidupan sosial politik di Desa Ngadisari. Kepemimpinan yang ada di desa ditopang oleh kekuasaan yang berbasis tatanan adat Tengger yang masih dipegang oleh masyarakat Ngadisari. Masyarakat dan pemimpin desa Ngadisasri diikat oleh sistem simbol adat dan agama yang menempatkan lembaga desa menjadi begitu penting. Arti pen­ ting ini tentu saja membentuk pola kekuasaan yang dipancarkan oleh desa beserta para pelaku yang ada di dalamnya. Namun demikian, kepemimpinan yang hadir di Ngadisari tak semata-mata dipengaruhi oleh adat semata. Corak kepemimpinan juga dipengaruhi oleh aspekaspek lainnya, termasuk di dalamnya jaringan politik yang lebih luas (Hefner, 1983). Kepemimpinan Desa Ngadisari secara de jure dipegang oleh Sri Wahayu yang tidak lain adalah istri dari kepala desa sebelumnya, Supoyo. Supoyo sendiri mulai menjabat sebagai Kepala Desa Ngadisari sejak tahun 2001 hingga tahun 2013. Sejarah regenerasi kepemim­ pinan di Desa Ngadisari memang tak jauh-jauh dari proses pemilihan 15 Tanah bengkok adalah tanah aset desa yang penggunaannya sebagai hak perangkat desa dan bentuk sumber penghasilan para perangkat desa. 32 KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA kepala desa dengan calon tunggal. Setidaknya sejak jabatan kepala desa dipegang oleh Sapawi (kades sebelum Supoyo), selama dua periode kepemimpinannya diwarnai oleh ketiadaan calon yang menandai minimnya persaingan dalam politik pilkades. Bagaimanapun Sri Wahayu merupakan kepala desa secara formal. Namun Kebijakan sepenuhnya dibicarakan secara informal dan ditentukan bersama Ki Petinggi. Di samping berorientasi ke dalam dengan adat dan kekerabatan sebagai basis kekuasaan, jaringan politik yang dibangun elit desa ke luar juga menjadi salah satu penyokong kekuasaan efektif bagi elit. Situasi ini salah satunya terlihat dari dukungan pemerintah kabupaten dalam proyek-proyek infrastruktur di Desa Ngadisari. Secara ke­ betulan, seperti halnya Supoyo yang juga kader Partai Nasdem, Kabupaten Probolinggo dipegang oleh Hasan Aminudin dan kini, istrinya Tantriana yang juga sama-sama kader Partai Nasdem. Selain itu, bagi pemerintah daerah, Desa Ngadisari adalah aset penting yang juga mendatangkan pendapatan bagi daerah. Serupa di Ngadisari, kehidupan politik di Desa Gulon kental de­ ngan politik kekerabatan melalui dominasi satu trah keluarga dalam pemerintahan desa secara turun temurun. Trah merupakan tipe organisasi masyarakat Jawa berbasis genealogis (relasi sanak-saudara) yang diperhitungkan dengan mengambil salah satu nenek moyang tertentu sebagai pangkal perhitungannya. Di Jawa, pengetahuan genealogis ini, menurut Husken (1991), sangat erat kaitannya dengan kelas sosial. Petani-petani kaya begitu mudahnya bercerita tentang garis keturunan mereka yang dilacak sampai jauh, namun bagi orang-orang miskin jarang sekali memiliki pengetahuan tentang garis kekerabatan mereka (Antlov, 2002:196). Dalam konteks Gulon, terpeliharanya garis kekerabatan ini berbanding lurus dengan penguasaan kekayaan yang dimiliki trah balung gedhe. Sejak lama mereka dikenal sebagai elit kaya di desa. 33 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Organisasi sosial berbasis trah memungkinkan siapa saja untuk menjadi bagian dari komunitas ini sejauh mereka mampu me­ nunjukkan garis keturunannya sebagai bagian dari komunitas trah (Robson, 1987). Kondisi ini berlangsung dalam masyarakat Gulon yang kuat memegang budaya ewuh pekewuh atau segan mengkritik elit yang hampir tak memungkinkan adanya dorongan perubahan dari bawah. Bagaimana pun, budaya ini pula yang sedikit banyak menimbulkan lemahnya prakarsa warga dalam menjalankan kontrol terhadap pemerintah desa dan urusan publik lainnya. Secara lebih rinci, kita akan melihat sejauh mana dominasi trah keluarga balung gede ini mempengaruhi proses politik di Desa Gulon dan dampaknya bagi demokrasi yang ingin dibangun sesuai dengan semangat UU Desa.16 Kepala desa, Ketua BPD, Ketua Linmas, dan Ketua PKK di desa tersebut berasal dari satu trah keluarga yang sejak awal kemerdekaan menduduki jabatan kepala desa. Keluarga besar tersebut hingga kini menjadi kekuatan yang menentukan kemenangan seorang kepala desa di Gulon. Dominasi balung gede tersebut sedikit banyak didukung oleh kekuatan ekonomi anggota keluarga yang memang telah dikenal sebagai para orang kaya di desa. Kekuatan ekonomi ini meningkatkan status sosial mereka sebagai keluarga kaya yang ter­hormat. Adalah Nanang Bintartana yang kini menjadi Kepala Desa Gulon merupakan anggota trah balung gedhe. Karir politik Nanang di desa dimulai saat dirinya terpilih menjadi anggota BPD di awal tahun 2000-an untuk kemudian mencalonkan diri menjadi kepala desa pada tahun 2007 dan berujung pada kekalahan karena perpecahan keluarga. Dukungan kakak iparnya, Sutrisno yang juga mantan kepala desa 16 Dalam Bahasa Jawa, Balung Gede dipahami sebagai ungkapan untuk menjelaskan keluarga yang memiliki banyak keturunan, keluarga besar. Ibarat pohon, mereka berasal dari bagian batang pohon, bukan cabang atau ranting. Umumnya, keluarga Balung Gede juga memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi dari masyarakat umumnya. 34 KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA sebelumnya, kepada lawan politiknya disebut-sebut mempengaruhi suara para pemilih. Sutrisno yang juga seorang pensiunan militer memang cukup ‘didengar’ dan memiliki pengaruh di kalangan masya­ rakat. Nanang yang tak hanya mewarisi modal jaringan kekerabatan berbasis trah juga memiliki kemampuan untuk membangun jaringan politik di tingkat lokal, bahkan nasional. Nanang merupakan seorang pengusaha, tokoh pemuda, sekaligus aktivis PDI-P. Dia dikenal dekat dengan sejumlah elit politik lokal, seperti Bupati Magelang Zainal Arifin dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang juga berasal dari PDI-P. Nanang dikenal pula sebagai tokoh Goro, sebuah orga­ nisasi kepemudaan yang disegani oleh masyarakat.17 Kolaborasi pengusaha dan organisasi kepemudaan inilah yang juga menyokong dan menyediakan sumberdaya finansial untuk maju menjadi kepala desa hingga akhirnya terpilih. Modal sosial kekerabatan, jaringan politik, dan modal ekonomi inilah yang berperan penting dalam membangun kepemimpinan Nanang di Desa Gulon. Berbeda dengan Desa Ngadisari dan Adat Tenggernya, Desa Punjulharjo yang terletak di sisi paling timur Rembang ini mewarisi kultur Islam tradisional yaitu Tradisi NU. Dalam masyarakat Islam tradisional, struktur dan kultur masyarakat didasarkan pada simbol keagamaan yaitu Islam cenderung bersifat paternalistik dan patriarkal. Dengan konteks semacam itu, pemimpin keagamaan yakni Kyai, menempati posisi posisi sentral dalam masyarakat. Kyai berperan lebih daripada sekadar seorang guru agama. Dia juga memainkan peran sebagai pemimpin informal yang memiliki pengaruh di kalangan warga dan juga seringkali diperhitungkan secara politik (Bruinessen, 17 Organisasi ini menyediakan bisnis keamanan dan pungutan pada bisnis tambang pasir di Kali Putih. 35 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL 1994).18 Kepemimpinan kyai terutama ditopang oleh kekuasaan yang bersumber dari kapasitas moral spiritual yang dimilikinya. Forumforum keagamaan seperti pengajian, menjadi ruang bekerjanya kepemimpinan moral Kiai kepada warga. Demikian pula yang terjadi di Desa Punjulharjo, struktur dan kultur NU membentuk corak masyarakat yang taat dan hormat kepada mereka yang dipandang sebagai pemimpin, kiai, ataupun mereka yang memiliki status sosial yang tinggi. Terpilihnya Muntholib sebagai kepala desa sejak 2014 mem­ perlihatkan adanya perubahan politik penting di Desa Punjulharjo. Muntholib adalah wajah baru di pemerintahan desa, namun dia tidak lahir dari keturunan trah balung gedhe seperti di Desa Gulon. Berbeda dengan para kepala desa sebelumnya, kemenangan Muntholib merupakan pembalikan dari politik pemilihan kepala desa yang didominasi oleh kepentingan ekonomi politik penyandang dana (botoh) yang seringkali menjadi penentu pemenangan. Secara moral, masyarakat menghendaki pemimpin yang berintegritas (jujur) dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Masyarakat setempat memandang figur Muntholib memenuhi kriteria moral semacam itu. Sebagai kepala desa dia dikenal enthengan (suka membantu), jujur, tidak neko-neko (macam-macam), lurus-lurus saja, dan sederhana. Bagi masyarakat desa yang masih kuat memegang nilai-nilai tradisional, kesempurnaan moral merupakan modal penting. Keyakinan semacam ini seringkali membuat hadirnya seorang pemimpin dalam acara-acara warga, seperti slametan atau upacara kematian menjadi lebih penting ketimbang kehadirannya dalam urusan dan masalah publik. Moralitas semacam itulah yang nyatanya mampu 18 Meski para kiai ini tinggal di pedesaan, mereka merupakan bagian dari kelompok elit dalam struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Jawa pada umumnya. Perubahan dalam masyarakat seringkali digerakkan oleh kepemimpinan elit-elit tersebut. 36 KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA memenangkan hati masyarakat Punjulharjo. Secara ideal, seorang pemimpin moral adalah orang terpandang di desa yang mendapat kepercayaan dari masyarakat, dan memiliki ikatan kekeluargaan dengan masyarakat desa yang dilayaninya dan hidup bersama-sama dengannya. Dalam konteks itu, Kades Muntholib telah menunjukkan dirinya pantas dipilih sebagai pemimpin yang dihormati karena kepatuhannya untuk mengikuti norma perilaku yang diterima secara umum. Kemenangan Muntholib juga didorong oleh faktor kekerabatan (kinship). Ayahnya adalah seorang Kiai terpandang di desa tersebut, sementara saudaranya adalah seorang mantan lurah dan polisi, serta satu saudaranya lagi merupakan aktivis partai. Jaringan kekerabatan ini berperan penting dalam proses pemenangan Muntholib dalam pilkades. Sementara Desa Ringinrejo menunjukkan corak kepemimpinan yang konservatif-birokratik, sebagai semacam warisan birokratisasi pemerintahan desa di masa Orde Baru. Selain itu, dari sisi rekrutmen politik, kepala desa terpilih Ringinrejo yakni Bintoro memiliki garis keturunan mantan lurah (kepala desa) meski dominasinya tak sekuat trah balung gedhe di Gulon. Kakek buyut dari pihak ayah dan kakek dari pihak ibu Bintoro merupakan mantan kepala desa. Meski demikian, terpilihnya Bintoro merupakan sesuatu yang tidak terduga karena banyak calon yang dianggap lebih kuat dan memiliki basis masa yang lebih besar. Selama hampir tiga tahun dibawah kepemimpinan Bintoro masyarakat memiliki berbagai penilaian yang berbeda terhadap kebijakan-kebijakan maupun pola kepemimpinan Bintoro. Dalam hal pelayanan publik, warga merasakan peningkatan pelayanan dari pemerintah desa berupa pengurusan keperluan adminsitrasi lebih cepat.19 Peningkatan pelayanan tersebut disebabkan oleh kebijakan 19 Meskipun secara faktual pelayanan yang diberikan oleh perangkat desa masih di bawah stan- 37 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL kepala desa merekrut tiga perangkat desa muda yang cakap dan melek teknologi untuk menggantikan perangkat desa lama yang sudah sepuh dan dinilai kurang cakap. Gambaran Ringinrejo menunjukkan, sejauh pelayanan administrasi terpenuhi di situlah letak peran institusi desa. Dimana pemerintah desa sekadar menjalankan administrasi pemerintahan selayaknya institusi desa korporatis (Sutoro, 2014). Warisan penyeragaman dan birokratisasi desa di masa lalu menjadikan desa sekadar kepanjangan tangan negara bukan untuk menumbuhkan emansipasi lokal, melainkan menjalankan perintah dari atasan (Antlov, 2002). Wajah Warisan Lama dalam Praktik Kepemimpinan Untuk menguji kehadiran dan bekerjanya kepemimpinan desa dapat dilacak dari daya tanggap pemimpin terhadap urusan publik. Dalam kasus masyarakat Tengger Ngadisari, perlindungan penguasaan lahan menjadi isu publik penting. Tanah yang keberadaannya disakralkan oleh adat Tengger membentuk kesadaran kolektif masyarakat untuk mempertahankan aset produksi tersebut dari gempuran alih fungsi dan komersialisasi lahan. Inisiatif tersebut juga dimantapkan oleh kenyataan bahwa aset lahan pertanian tersebut memiliki prospek penghidupan yang begitu baik bagi warga. Bagaimana pun juga inisiatif warga untuk tidak menjual lahan ke pihak manapun di luar komunitas Tengger menemukan pelembagaannya melalui respons pemerintah desa untuk mengaturnya dalam peraturan desa. Kebijakan Supoyo di Ngadisari yang populis tampak melalui komitmennya untuk menjaga tanah masyarakat Tengger melalui dar. Pelayanan selama hari kerja hanya berlangsung empat hingga lima jam. Bahkan di hari Jumat pelayanan hanya dibuka selama tiga jam. Dalam pengurusan administrasi, juga masih terjadi praktik pungutan liar yang tidak transparan. 38 KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA kebijakan perlindungan lahan. Inisiatif warga untuk melindungi lahan direspons oleh kepemimpinan desa yang hadir melalui kontrol setiap jenis transaksi berkaitan dengan lahan. Menurut Supoyo, kebijakan pemerintah desa untuk melindungi lahan melalui Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Mutasi Lahan menjamin tidak adanya praktik jual beli dan sewa lahan tanpa sepengetahuan peme­rintah desa. Baginya, kebijakan ini juga bagian dari upayanya menjalankan mandat leluhur Tengger untuk menjaga kelangsungan tradisi Tengger di tanahnya mereka sendiri. Meski kepemimpinan Supoyo dianggap berhasil oleh masyarakat, populisme dalam praktik pengelolaan kesejahteraan ini tak selalu dibangun dengan menumbuhkan partisipasi warga yang lama hidup dalam budaya parokial dan sisa-sisa depolitisasi sejak Orde Baru.20 Sungguhpun demikian, kepemimpinan di Desa Ngadisari menjalankan akuntabilitas dan partisipasi warga dengan caranya sendiri. Di setiap pengerjaan proyek-proyek fisik, pemerintah desa melaporkan penggunaan anggaran untuk kegiatan tersebut secara lisan kepada masyarakat. Di tempat gotong-royong (sayan), perangkat desa sekaligus melaporkan penggunaan APB Desa untuk pengerjaan proyek tersebut. Dengan cara ini, masyarakat mengetahui berapa dan bagaimana sumberdaya publik (desa) dialokasikan dan didistribusikan. Distribusi ini berkaitan dengan pengerjaan pembangunan fisik yang dilakukan secara gotong-royong dengan tenaga kerja dari mereka sendiri. Sehingga sumber dana yang ada tidak tersedot keluar desa untuk membayar kontraktor. Sedangkan di Punjulharjo, cepat atau lambat, bakal terjadi perubahan penting dalam struktur sosial masyarakat seiring dengan pertautan mereka dengan ekonomi pariwisata. Ketika studi ini 20 Budaya parokial merujuk pada struktur mental yang terkungkung dalam sekat-sekat identitas baik agama, etnis, ras, atau kelokalan (kedaerahan). Struktur demikian melahirkan sikap sempit dalam memandang persoalan publik. 39 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL berlangsung, masyarakat Punjulharjo tengah menghadapi ketegangan laten antara tradisi dan modernitas sebagai konsekuensi atas dibukanya objek wisata Karang Jahe Beach (KJB) sebagai ikon baru destinasi wisata di Rembang.21 Dalam kasus di Punjulharjo, tata kelola aset pantai KJB (BUMDes) menjadi arena untuk melihat bagaimana kepemimpinan desa bekerja. Pada saat mencalonkan diri, program yang ditawarkan Muntholib adalah meningkatkan pelayanan warga yang lebih baik, memperbaiki jalan terutama akses yang akan menuju ke lokasi KJB, serta memperbaiki pengelolaan dan kinerja KJB untuk kesejahteraan warga. Dalam konteks perbaikan pelayanan publik, kepala desa menetapkan kebijakan jadwal piket untuk perangkat desa berikut nomer telpon/hand phone. Selain itu, dia membuka pintu rumahnya selama 24 jam untuk melayani keperluan warga jika kantor desa tutup. Muntholib biasanya melayani warga yang tengah mengurus keperluan administrasi, mengurus keringanan biaya rumah sakit, hingga mengantar warga ke rumah sakit. Selain pelayanan rutin kepada warga, terobosan program yang dilakukan dia selama dua tahun menjabat fokus pada peningkatan pendapatan masyarakat melalui pengelolaan KJB. Untuk pengembangan KJB, kepala desa membangun fasilitas seperti memperluas jalan me­ nuju KJB melalui pembebasan tanah menggunakan dana pinjaman dari BRI. Selain itu membangun gapura sebagai pintu masuk menuju lokasi KJB. Sementara, untuk mengelola objek wisata KJB, Pemerintah Desa Punjulharjo membentuk Badan Pengelola (BP) KJB 21 Situasi serupa barangkali pernah dirasakan oleh masyarakat Tengger yang lebih dulu berinteraksi dengan ekonomi pasar dan dibukanya kawasan Bromo sebagai objek pariwisata berkelas internasional. Meski demikian, semua telah dilalui dengan baik melalui negosiasi budaya yang dilakukan dengan sangat baik. Adat Tengger tetap terpelihara dan bahkan menjadi aset dan komoditas budaya. Dengan demikian, perubahan semacam itu bisa jadi akan membuahkan hasil yang berbeda dengan apa yang mungkin terjadi dengan masyarakat Punjulharjo. 40 KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA dibawah Badan Usaha Milik Desa. Badan Pengelola tersebut dibentuk dan diberi kewenangan oleh kepala desa untuk mengelola KJB secara profesional. 22 Disamping tetap dengan pekerjaan yang sudah digeluti, masyarakat juga didorong untuk banyak terlibat dalam menggarap KJB. Badan pengelola ini mengidentifikasi berbagai jenis usaha yang potensial untuk dikembangkan, kesiapan infrastruktur penunjang kawasan pariwisata, serta pelibatan warga secara partisipatif dalam tata kelola KJB. Dampaknya, satu tahun pengelolaan KJB, pendapatan warga masyarakat dan PAD menunjukkan peningkatan. Meski demikian, politik kekerabatan tetap mewarnai Punjulharjo. Demi mengamankan program-program tersebut, kepala desa menunjuk keponakannya sendiri sebagai ketua BP KJB. Demikian pula dengan sejumlah posisi di direktur BUM Desa dijabat adik kepala desa dan Penasehat BUM Desa masing-masing merupakan adik dan kakak sepupu kepala desa. Di BPD, salah seorang anggotanya masih merupakan kerabat, demikian pula dengan salah seorang perangkat desa yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala desa. Jejaring kekerabatan yang dibangun menjamin adanya dukungan penuh bagi kebijakan kepala desa. Politik kekerabatan yang tampak begitu kentara di Punjulharjo membuka peluang pengelolaan kesejahteraan yang memusat pada lingkaran kekerabatan kepala desa. Kecenderungan ke arah monopoli bisa saja terjadi. Namun kasus di Punjulharjo menunjukkan bahwa corak kepemimpinan tersebut pada saat bersamaan juga mampu menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat dengan kebijakan populis yang dihadirkan. Watak kepemimpinan populis di Ngadisari dan Punjulharjo penting untuk ditelaah lebih jauh. Populisme dalam pengelolaan kesejahteraan di dua desa tersebut nampaknya masih jauh dari 22 Untuk menunjang operasionalnya, BP KJB memiliki posko sebagai kantor pengelolaan KJB di dekat pintu masuk lokasi wisata KJB. Kepala Desa juga memfasilitasi KJB untuk menggunakan ruangan di Kantor Kepala Desa untuk mengadakan rapat rutin maupun insidental. 41 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL pelibatan publik secara partisipatif. Pengelolaan KJB memang membawa perubahan dari sisi redistribusi sumberdaya kepada masyarakat, namun hal tersebut tak dibarengi dengan masuknya aktor-aktor di luar kerabat kepala desa yang penting dalam proses tata kelola yang lebih transparan dan partisipatif. Kebijakan populis di Ngadisari juga menunjukkan hal serupa. Masyarakat menerima kebijakan tersebut karena berdampak positif bagi mereka, namun hal tersebut bukan dalam konteks kesadaran masyarakat yang melihat pengelolaan kesejahteraan sebagai isu publik. Infrastruktur pertanian yang memadai dan pengembangan kawasan wisata penunjang Bromo dikelola untuk kesejahteraan, namun belum tentu melibatkan publik desa sebagai subjek yang aktif. UU Desa membuka struktur kesempatan politik bagi aktor-aktor di desa untuk merebut ruang-ruang demokrasi yang tersedia. Sungguhpun demikian, pengetahuan dan kesadaran untuk merebut ruang tersebut belum mampu menjangkau elemen masyarakat secara luas. Sementara itu, Desa Ringinrejo memperlihatkan watak konser­ vatif­-birokratis dari kepemimpinan desa. Kapasitas desa yang lemah menjadikan institusi pemerintahan desa sekadar sebagai mesin birokrasi semata dan tidak melibatkan diri dalam masalah publik. Bahkan, pemerintah desa enggan melibatkan diri dalam aksi reklaim tanah perkebunan oleh warga yang lapar tanah.23 Pemerintah desa mengambil posisi netral dengan alasan merasa berada pada posisi terjepit diantara warga desa dan pemerintah supra desa yang lebih tinggi yang menekan pemerintah desa untuk meredam upaya klaim tanah perkebunan. Ketika warga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 367 Tahun 2013, 23 Di Blitar sendiri saat ini terapat banyak upaya claiming maupun reclaiming tanah perkebunan yang dilakukan oleh warga yang telah bertahun-tahun menggarap perkebunan yang sebelumnya ditelantarkan. 42 KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA Pemerintah desa sulit memberikan pengesahan yang menyatakan bahwa 726 warga penggarap sawah yang terdaftar dalam dokumen gugatan merupakan warga Desa Ringinrejo. Pada moment tersebut mereka yang memperjuangkan klaim tanah merasa tidak diakui sebagai warga.24 Warga terutama yang aktif mengupayakan klaim tanah memang banyak yang kecewa pada sikap netral yang diambil oleh kepala desa. Pemerintah desa masih mewarisi paradigma lama desa sebagai kepanjangan tangan negara dalam struktur yang hierarkis. Pada akhirnya, kepemimpinan di desa sama sekali menutup akses untuk proses dialogis dengan warga yang menuntut klaim atas tanah. Jika di Ringinrejo kepala desa menunjukkan watak konserva­ tismenya, kepemimpinan Kepala Desa Gulon menunjukan agresivi­ tasnya. Hal itu dapat dilihat dari adanya proyek pembangunan rumah susun. Awalnya, Desa Gulon tidak menjadi lokasi proyek Kementrian PU dan Perumahan Rakyat itu. Namun karena terdapat satu desa yang dinilai kurang responsif, kesempatan tersebut ditangkap oleh peme­ rintah Desa Gulon dengan mengajukan pemindahan lokasi rumah susun ke Gulon.25 Faktor yang berperan dipilihnya Desa Gulon sebagai lokasi rusun adalah faktor kedekatan Kepala Desa dengan elit Partai PDI-P baik di daerah maupun di pusat. Menurutnya, keputusan untuk memindahkan rusun ini ke Gulon dibuat setelah kunjungan reses anggota DPR RI Komisi V, Ir Sudjadi, yang berasal dari partai PDIP ke Desa Gulon, yang termasuk sebagai daerah pemilihannya. Bahkan pengajuan pemindahan lokasi rumah susun itu tanpa proposal. Fakta tersebut mengesankan Kepala Desa ingin bergerak 24 Untuk menandatangani dokumen tersebut Bintoro sampai berkoordiansi dengan pihak kecamatan walau akhirnya bersedia menandatangani setelah mendapat tekanan warga 25 Di Kabupaten Magelang, rencana awal ada empat kecamatan yang mendapat jatah pembangunan rusun ini adalah Desa Taman Agung (Kecamatan Muntilan), Kecamatan Salaman, Kecamatan Tempuran, dan Desa Gunungpring (Kecamatan Salam). 43 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL cepat dan meninggalkan proses formal yang semestinya dijalani.26 Penetapan lokasi rusun diputuskan kepala desa sepihak dengan pertimbangan tanah kas desa di Dusun Mancasan dinilai sudah tidak produktif lagi. Selain itu, dia beralasan rusun ini merupakan kebutuhan masyarakat di desanya karena dalam pengamatannya selama ini permintaan hunian sangat tinggi. Namun, sebaliknya beberapa warga menyatakan tidak tahu menahu mengenai rencana pembangunan rusun itu. Mereka menilai, pemerintah desa lebih baik meningkatkan program bedah rumah, sebab masih banyak rumah-rumah warga tidak layak huni. Sampai saat ini tidak begitu jelas bagi pemerintah desa sendiri dan masyarakat bagaimana kelak mekanisme pengelolaan, biaya sewa, kriteria calon penghuni, bagi hasil antara pemerintah desa dengan kabupaten, yang menurut informasi yang dihimpun menjadi pengelola rusun ini. Satu-satunya dokumen resmi terkait pembangunan rusun ini adalah keluarnya Perdes tentang alih fungsi tanah kas desa menjadi rusun. Pembangunan rusun ini merefleksikan bagaimana aspek kepemimpinan bekerja, di dalam pengawasan lembaga representasi formal (BPD) yang minim, dan lemahnya kontrol publik atau inisiatif warga. Pada akhirnya, mengutip Sutoro Eko (2014:54), tipologi lembaga asli (indigenous institution) dapat dipakai untuk melihat kasus Ngadi­ sari. Pengaruh adat jauh lebih kuat daripada pengaruh pemerintah dan agama karena adatlah yang menjadi pengikat institusi sosial yang ada di desa bersama masyarakatnya. Mereka memiliki self governing community yang memiliki pranata dan kearifan lokal, yang mengutamakan keteraturan dan keseimbangan: social order, ecological order, dan spiritual order. Dalam konteks ini, urusan publik 26 Selain tanpa proposal, pembangunan ini tidak didahului oleh analisa kebutuhan, proses pembahasan yang mendalam bersama lembaga desa lain seperti BPD, dan analisa dampak sosial bagi masyarakat sekitar rusun. 44 KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA menjadi arena bagi berlangsungnya pranata dan kearifan lokal yang menempatkan ke­teraturan dan keseimbangan antara manusia (desa dan masyarakatnya) dengan alam dan leluhurnya sebagai nilai dasarnya. Ngadisari sebagai institusi asli juga memiliki tradisi demokrasi komunitarian – yang menguta­makan kebaikan bersama, dengan model pengambilan keputusan secara deliberatif melalui institusi-institusi asli (rembug warga Tengger dan Safari Wulan Kapitu, tradisi gotong-royong atau sayan). Institusi asli ini mengedepankan emansipasi dalam merawat harmoni sosial dan kemakmuran ekonomi berkelanjutan tetapi tidak terbuka terhadap isu-isu publik kekinian. Tipologi desa parokial dapat dipakai untuk menelaah Desa Gulon dan Punjulharjo yang menggunakan politik kekerabatan dan agama sebagai basis ikatan sosial. Di Gulon, sistem kekerabatan menjadi pijakan kompetisi politik dan pembentukan struktur politik desa. Penempatan jabatan strategis di desa didasarkan pada kedekatan seseorang secara kekerabatan dengan elit. Punjulharjo nampak sebagai desa yang masih bercorak parokial keagamaan dan kekerabatan namun mulai memiliki kesadaran bersama tentang isu-isu publik yang lebih luas, terutama tentang kesejahteraan melalui pengelolaan desa wisata. Desa Ringinrejo lebih tepat dikategorikan sebagai desa dengan watak korporatis yang kuat. Meski UU Desa memperkuat kewenangan desa dengan asas rekognisi dan subsidiaritas, desa ini menempatkan dirinya sebagai kepanjangan tangan institusi di atasnya dalam menjalankan tugas-tugas administratif. Kepemimpinan desa, bahkan, tak ambil bagian dalam upaya penyelesaian konflik agraria yang terjadi di desa. C. Menuju Kepemimpinan Transformatif Jika pada bagian sebelumnya kita menemukan warisan lama kepemimpinan desa yang bercorak paternalistik, konservatif-biro­ kratis, dan pola kekerabatan yang mencolok, maka studi di enam 45 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL desa lainnya menunjukkan situasi yang berbeda. Desa Mekarjaya, Cangkudu, Sidorejo, Nglanggeran, Umbulharjo, dan Panggungharjo mengarah pada situasi kepemimpinan di desa yang lebih mendorong proses demokratisasi. Meskipun tak selalu menghasilkan praktik yang bisa dikatakan sepenuhnya demokratis, namun kecenderungan untuk terbuka dan responsif terhadap tuntutan aspirasi dari bawah (open and responsive leadership) semakin tampak. Hal yang sama juga dapat ditelaah dari praktik transparansi dan akuntabilitas kepemimpinan di desa yang mulai berkembang. Bagian ini akan menjelaskan bagaimana kepemimpinan desa bertransformasi ke arah yang demokratis. Benih Kepemimpinan Transformatif Terdapat adagium bahwa kepemimpinan menjadi kunci menghadirkan perubahan. Namun demikian, kepemimpinan semacam apa yang dapat memandu perubahan menuju transformasi sosial demo­­ kratis menjadi pertanyaan kunci dalam studi ini. Tentu saja setting dimana benih kepemimpinan transformatif tersebut ditanam, menjadi sangat menentukan tumbuh-kembang kepemimpinan transformatif. Dalam konteks tersebut, bagian ini akan menyajikan narasi tentang embrio atau benih kemunculan kepemimpinan transformatif beserta ragam atau variasi setting sosial yang melatarinya. Desa Mekarjaya di Sukabumi memperlihatkan corak kehidupan desa yang ditopang oleh semangat komunitarian melalui tradisi gotongroyong. Tradisi ini telah berlangsung lama dan menjadi bagian penting dalam relasi sosial masyarakat Mekarjaya. Jika dilacak lebih jauh, gotong-royong telah menjadi energi sosial bagi komunitas masyarakat desa, termasuk untuk menghadapi krisis yang berlangsung dalam komunitas. Koentjaraningrat (dalam Zakaria 2000) mengklasifikasi budaya gotong-royong ke dalam tiga sistem: (1) sistem mobilisasi tenaga kerja dalam pertanian, (2) sistem bantuan bersama dalam 46 KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA kehidupan sosial, dan (3) sistem nilai. (Zakaria, 2000:291-292). Dalam konteks Mekarjaya, gotong-royong telah menjadi sistem nilai sekaligus modus organisasi tradisional yang dipraktekkan secara kolektif dari masa ke masa. Tentu saja ada pergeseran yang terjadi, setidaknya sejak era Orde Baru dimana ruang publik informal dalam kegiatan gotong-royong terdistorsi oleh intervensi dan kontrol yang kuat dari elit desa sebagai kepanjangan tangan birokrasi negara. Bagaimana pun, pergeseran setting politik pasca Orde Baru dan tidak lama ini berlakunya UU Desa memberikan makna positif. Kepemimpinan desa memanfaatkan gotong-royong sebagai ruang publik informal dimana gagasan dan ide terkait urusan publik di desa dibicarakan. Melalui ruang publik informal ini, interaksi antara institusi desa dengan masyarakatnya berlangsung. Aspirasi-aspirasi publik hadir di tengah-tengah kegiatan gotong-royong warga, seperti usulan pembuatan lumbung pangan desa, pelayanan administrasi kependudukan, dan usulan pemuda terkait penggunaan dana desa. Kehadiran ruang publik informal ini pun pada akhirnya menjadi ruang yang deliberatif karena asimetrisme kekuasaan hampir tidak ada. Warga merasa lebih leluasa untuk menyampaikan aspirasinya melalui ruang tersebut dibandingkan dengan forum musyawarah yang lebih formal. Meski demikian, perluasan ruang publik tersebut perlu dibarengi dengan akomodasi ini­siatif-inisiatif warga ke dalam arena deliberasi formal, seperti musyawarah desa. Penting pula untuk melihat sejauh mana aspirasi-aspirasi publik yang telah didialogkan tersebut dilembagakan ke dalam kebijakan publik di desa. Di samping kepemimpinan desa yang kuat, kasus di sejumlah desa menunjukkan variasi lain kepemimpinan desa yang lemah namun dibarengi dengan kontrol dan inisiatif warga yang kuat. Desa Nglanggeran dan Desa Umbulharjo menyajikan realita tentang kepemimpinan desa yang lemah dan cenderung konservatif- 47 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL administratif namun ditopang oleh kelembagaan representasi yang bekerja dan inisiatif warga yang kuat. Senen, Kepala Desa Nglanggeran, terpilih menggantikan kepala desa sebelumnya yang otoriter dan tidak transparan. Profil Senen, yang bisa dikatakan anti-tesa model kepemimpinan kepala desa terdahulu yang keras, otoriter, dan kurang bersih, membuat warga menjadi lebih aktif mengungkapkan aspirasinya. Senen yang mirip warga kebanyakan (orang biasa, bukan trah elite) jauh lebih terbuka, dekat dengan warga (merakyat), dan dianggap sangat jujur, mampu melahirkan kepercayaan (trust), sehingga menyuburkan partisipasi. Bahkan, warga mulai berani menyampaikan kritik terbuka, sesuatu yang tidak pernah terjadi pada masa kepemimpinan sebelumnya yang sangat dominan. Demikian pula dengan Desa Umbulharjo, kepemimpinan baru lahir sebagai anti-tesa kepemimpinan lama. Adalah Suyatmi, kepala desa terpilih berhasil menumbangkan petahana yang sudah berkuasa selama 20 tahun. Faktor kemenangan Suyatmi karena kehendak masyarakat agar terjadi perubahan kepemimpinan lama yang dinilai tidak partisipatif, tidak transparan, dan tidak akuntabel dalam tata kelola pembangunan.27 Kemenangan Suyatmi juga karena dukungan keluarga yang bekerja dalam jaringan trah keluarga besarnya. Meski bukan dari keluarga “balung lurah” (keturunan lurah), Suyatmi dan sang suami memiliki keluarga besar di Umbulharjo karena keduanya berasal dari desa ini. Dukungan juga mengalir dari kelompok perempuan yang diwadahi dalam PKK. Selain Suyatmi memang sebagai aktivis PKK, Kades sebelumnya gagal mengakomodasi keberadaan PKK sebagai kelompok penggerak pemberdayaan paling aktif di desa. Suyat­mi dipilih dengan harapan terjadi peningkatan program dan kegiatan kelompok perempuan di desa. 27 Termasuk isu-isu ketidakberesan dalam pengelolaan sumber daya ekonomi, baik persoalan air bersih, penambangan pasir, maupun pariwisata. 48 KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA Kepemimpinan Desa Umbulharjo diwarnai oleh problem kapa­ sitas delegatif kepala desa dan lemahnya pengambilan keputusan yang efektif. Ini ditandai dengan jarangnya Kepala desa memberikan arahan pada perangkat desa dan keputusan diserahkan pada bawahan. Akibatnya perangkat desa yang terbiasa dengan kepemimpinan otokratik kemudian menilai kepemimpinan kepala desa tidak berjalan efektif. Puncak ketidakefektifan pemerintahan terjadi manakala BPD menagih RPJM Desa yang telah satu tahun berjalan tak kunjung rampung disusun oleh kepala desa terpilih. Situasi tersebut berujung pada konflik Kepala Desa dan BPD. Konflik tersebut dapat diselesaikan dan justru menjadi titik balik bagi Suyatmi untuk memperbaiki gaya kepemimpinanya. Perubahan di Desa Umbulharjo didorong bukan dari sisi kepemimpinan, melainkan dari fungsi representasi dan kontrol Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang aktif serta inisiatif warga yang bekerja. Sementara di Cangkudu, lahirnya kepemimpinan baru juga lahir dari anti-tesa kepemimpinan lama, meski tidak responsif terhadap inisiatif warga. Pemerintah desa terdahulu bisa dikatakan kurang peduli dengan masyarakat. Menurut penuturannya, kepala desa terdahulu yang dulu cenderung lebih sibuk mengurus bisnis limbah pabrik dibandingkan mengurus warganya, terutama pengabaian pelayanan publik. Sehingga seringkali kepala desa tidak ada di kantor desa dan perangkatnya lebih sering mencari obyekan di luar atau “ngompreng”. Apalagi kondisi tersebut, diperparah dengan adanya praktek politik orang kuat lokal yang mewarnai pemerintah desa dibawah kepemimpinan Eneng Ida Zuraida yang merupakan anak dari tokoh Jawara lokal di Desa Cangkudu. Sehingga banyak warga yang relatif tidak berani menyuarakan aspirasi atau bersikap kritis, warga lebih memilih untuk bersikap apatis. Situasi dan kondisi tersebut, membuat sebagian warga Desa 49 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Cangkudu menginginkan sebuah perubahan yang ditempuh warga adalah melalui pemilihan kepala desa yang jatuh pada tahun 2013. Pada saat pemilihan kepala desa Cangkudu tersebut, munculah salah seorang kandidat yakni Amir Hamzah. Amir Hamzah dalam kampanye­ nya menjanjikan perubahan wajah pemerintah desa Cangkudu yang akan lebih melayani warga secara prima melalui reformasi birokrasi. Jika dilihat dari latar belakangnya, Amir Hamzah merupakan seorang businesman yang memiliki beberapa perusahaan dan juga seorang konsultan keuangan.28 Berangkat dari latar belakang tersebut, Kepala Desa berupaya menerapkan pendekatan administrasi publik dalam tata kelola pemerintahan. Pemerintah desa sebagai memposisikan dirinya sebagai penyedia layanan serta menempatkan warga selaku penerima layanan seperti layaknya klien. Paska terpilihnya Amir Hamzah sebagai kepala desa, menurut pengakuan beberapa warga Desa Cangkudu menyatakan bahwa ada sebuah perubahan yang signifikan dalam pemerintahan desa Cangkudu dibandingkan dengan situasi dan kondisi pemerintah desa terdahulu. Perubahan yang paling dirasakan adalah adanya perbaikan kualitas pelayanan publik di kantor pemerintah desa, termasuk di dalamnya adanya kepastian dalam hal pelayanan baik dari sisi biaya maupun waktu pelayanan.29 Dalam konteks melakukan upaya reformasi birokrasi tersebut, Amir Hamzah melakukan berbagai macam terobosan, antara lain; melakukan peningkatan kapasitas perangkat desa, membangun kultur pelayanan serta meningkatkan disiplin dan kinerja para perangkatnya. 28 Ketokohan Amir Hamzah di Desa Cangkudu lebih dikenal sebagai sosok pengusaha dan intelektual. 29 Saat ini kantor pemerintah desa berfungsi optimal dalam melakukan pelayanan publik, dengan adanya jam layanan yang jelas yakni dari jam 08.00 sampai dengan jam 16.00 dan semua urusan pelayanan publik harus diselesaikan di kantor pemerintah desa bukan di rumah perangkat desa. Serta menerapkan sistem absensi dengan menggunakan finger print. Inovasi dan perubahan inilah yang mengantarkan Desa Cangkudu sebagai Desa Teladan Nasional. 50 KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA Variasi kepemimpinan berikutnya menyajikan corak kepemim­ pinan yang terbuka dan responsif terhadap isu kelompok rentan di Desa Sidorejo. Kepala Desa setempat, Sutrisna, adalah sosok yang memiliki ketrampilan dalam membangun komunikasi dengan berbagai pihak. Dengan gaya kepemimpinan yang menghilangkan sekat-sekat hirar­ kis, Sutrisna mampu mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan pada berbagai lapisan masyarakat yang ada di desa sehingga memudahkan konsolidasi berbagai unsur masyarakat desa. Dibawah kepemimpinanya, Sidorejo tampak berubah wajah dibandingkan dengan periode kepemimpinan sebelumnya. Misalnya jam pelayanan di kantor desa yang sudah pasti, yaitu mulai jam 08.30 sampai jam 13.00. Untuk transparansi anggaran, Sutrisna tidak segan-segan menghadiri pertemuan-pertemuan warga di tingkat dusun untuk menjelaskan anggaran yang dimiliki desa. Selain itu, Sutrisna dinilai sosok yang memiliki ketegasan dalam menyelesaikan persoalan yang ada di desa maupun ketegasan kepada perangkat desa. Dengan gaya kepemimpinan demikian, beberapa aspek tata kelola pemerintahan serta pelayanan publik, kades yang belum ada satu tahun menjabat tersebut telah melakukan reformasi yang dipandang masyarakat sangat positif. Sebangun dengan yang terjadi di Sidorejo, salah satu desa di Indonesia yang mengalami proses perubahan signifikan dalam upaya memperbaiki pelayaan publik adalah Desa Panggungharjo. Proses perubahan diawali sejak terpilihnya Wahyudi Anggoro Hadi, sebagai Kades pada tahun 2012.30 Wahyudi terpilih menjadi Kades, karena dukungan modal sosial yang dimilikinya. Sebagai putra asli desa, tentu ia sangat mengenal ragam dinamika dan karakter warga di desa tempat 30Dorongan untuk maju dalam Pilkades, merupakan hasil rembungan bersama komunitas pemuda di Pojok Budaya yang concern untuk mendorong adanya perubahan di desanya. Pojok Budaya ini semacam think tank bagi Wahyudi, tempat ide perubahan di desa digodog dan direalisasikan ketika dirinya terpilih sebagai Kades. 51 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL dia tumbuh dan dibesarkan. Wahyudi juga memiliki latar belakang yang berasal dari keluarga santri. Pemuda lulusan sarjana apoteker UGM ini, memiliki ragam pergaulan sosial yang melampaui batasbatas jaringan sosial kemasyarakatan. Tak heran, bila ia sangat populer di kalangan komunitas santri, seniman, aktivis sosial, pengusaha dan politisi. Untuk mewujudkan visi pada saat kampanye Wahyudi mengem­ bangkan pola pengembangan desa melalui tiga rute penguatan kapasitas yang saling bersinergi satu sama lain. Pertama, kapasitas kepemimpinan. Kedua, kapasitas birokrasi, dan Ketiga, kapasitas sosial. Kapasitas kepemimpinan visioner dan tangguh menjadi unsur paling fundamental karena sebagai penggerak mesin birokrasi desa dan upaya memperkuat kapasitas emansipasi warga.31 Dalam konteks kapasitas birokrasi, Wahyudi berpendapat selama ini birokrasi desa lamban dan tidak berorientasi pada pelayanan warga karena selama bertahuntahun birokrasi desa terkondisikan tanpa jenjang karir yang jelas dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) rendah. Bertolak dari kondisi tersebut, Panggungharjo di bawah kepemimpinan Wahyudi melakukan penguatan birokrasi desa melalui peningkatan penghasilan perangkat desa untuk memotivasi kinerja birokrasi desa dan penguatan kapasitas SDM birokrasi desa. Peningkatan penghasilan perangkat desa di Panggungharjo dilakukan dengan memberikan penghasilan tetap serta berbagai insentif penghasilan.32 Selain tambahan penghasilan, pemerintah 31 Bagi Wahyudi, kapasitas kepemimpinan melekat unsur kapasitas regulasi (membuat pengaturan sesuai dengan konteks tantangan desa), redistributif (kemampuan membagi habis kewenangan kepada kelembagaan desa lainnya, bukan memusatkan kekuasaan ke dalam dirinya semata), responsif (tanggap terhadap permasalahan yang ada), ekstraktif (memahami potensi masyarakat agar dapat tumbuh kembang secara alamiah) dan jaringan (membangun jaringan yang dapat bersinergi memajukan desa). 32 Insentif berupa tunjangan baik tunjangan jabatan, tunjangan kinerja, tunjangan anak-istri serta asuransi kesehatan. Perangkat desa juga masih mendapatkan tambahan penghasilan dari tanah bengkok. 52 KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA desa juga memberikan sangsi pemotongan tunjangan kinerja sebesar Rp. 3.000,-/jam jika terlambat masuk jam kantor. Untuk mengukur kedisiplinan dan ketepatan sangsi, setiap perangkat desa masuk dan pulang harus melakukan finger print yang terpasang di kantor desa.33 Untuk memperkuat SDM desa, kepala desa mengikutsertakan berbagai macam pelatihan dari berbagai pihak bagi perangkat desa sesuai dengan bidang tugasnya. Selain itu, perangkat desa yang masih lulusan SMA mendapatkan beasiswa yang berasal dari APBDes untuk melanjutkan ke jenjang D3 di sebuah perguruan tinggi yang dikenal sejak lama sebagai “kampus desa”. Berbagai terobosan tersebut, pada gilirannya mampu menghadirkan wajah baru birokrasi desa dalam mengelola kebijakan dan pembangunan secara demokratis, memperbaiki pelayanan publik dan menggerakan partisipasi masyarakat secara bersama-sama membangun desa. Menguji Kepemimpinan Transformatif Benih-benih kepemimpinan transformatif desa yang sedang bertumbuh di berbagai pelosok desa seiring dengan terbitnya UU No.6/2014, hari ini juga tengah menghadapi ujian. Tidak semua benih kepemimpinan transformatif pada akhirnya dapat membangun prasyarat bagi bekerjanya praktik-praktik demokrasi desa. Bisa jadi benih kepemimpinan transformatif memunculkan variasi berupa pengkerdilan, kemandegan, atau justru terus bertumbuh dan ber­ buah pemerintahan desa yang responsif dan terbuka, bekerjanya lembaga representasi secara deliberatif, serta masyarakat yang penuh prakarsa dan partisipatoris. Bagian ini akan menyajikan variasi narasi tentang bagaimana kepemimpinan (menuju) transformatif tersebut 33 Desa Panggungharjo menetapkan jam pelayan publik, mulai dibuka dari pukul 08.00 Wib, dan berakhir sampai dengan pukul 16.00 Wib. 53 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL berdialektika dengan tantangan kontekstualnya. Corak kepemimpinan - yang lebih terbuka dan akomodatif - lebih memungkinkan partisipasi masyarakat muncul dan berkembang. Di Nglanggeran kepemimpinan tersebut sedikit banyak didukung oleh inisiatif kelompok warga Nglanggeran dalam konteks pengembangan desa wisata mendorong pemanfaatan aset desa bagi penghidupan warga. Pembentukan kepentingan publik dimungkinkan terjadi oleh pertautan antara responsivitas dan keterbukaan kepemimpinan Desa Nglanggeran dan inisiatif warga aktif yang terlembaga melalui kelompok wisata desa. Di samping itu, perluasan ruang publik juga berlangsung melalui forum-forum warga (forum selapanan) yang memungkinkan interaksi antar warga terjadi sekaligus membuka ruang deliberasi. Situasi serupa juga tampak di Umbulharjo. Semenjak hubungan Kades dan ketua BPD di Umbulharjo sudah mencair dan saling bekerjasama, muncul inisiatif dari warga berupa usulan-usulan kepada pemerintah desa. Salah satunya usulan adalah persoalan pengelolaan air bersih yang menjadi isu publik yang penting di Umbulharjo. Isu pengelolaan air di Umbulharjo berlatar belakang konflik antara masyarakat Desa Umbulharjo dengan pengelola air minum Kabupaten Sleman, PD. Anindya untuk taman wisata Kaliurang, dan bisnis air minum dalam kemasan, yaitu Qannat dan Evita yang disuplai oleh PDAM Sleman. Konflik sudah sampai pada tahap kekerasan antara kedua pihak sebenarnya sudah mulai di tahun 1999, yaitu ketika PDAM Sleman mempunyai proyek penyediaan air bersih dengan mengambil air dari Umbul Wadon. Selain itu pengelolaan air bersih ditingkat desa dikelola Organisasi Pengelola Air Bersih (OPAB) yang dibentuk oleh pemerintah desa yang dalam perjalanannya ditengarai belum berjalan baik oleh masyarakat. Dalam konteks ini, pembentukan kepentingan publik 54 KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA menemukan arenanya dalam proses pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) sebagai lembaga yang disiapkan mengganti OPAB dalam mengelola barang publik tersebut (common goods). Sinergi antara pemerintah desa dan fungsi representasi BPD menghasilkan kesepakatan untuk mengelola aset desa (air bersih) yang lama menjadi aspirasi publik. Variasi yang berbeda namun dalam spirit yang sama ditunjukkan di Sidorejo. Gerakan desa inklusi di Sidorejo berkembang melalui proses dialogis antara responsivitas pemerintah desa dengan inisiatif kelompok warga (Forum Difabel Sidorejo). Keterbukaan kepemimpinan desa dan struktur kesempatan politik yang disediakan UU Desa menjadi peluang bagi FDS untuk mendorong lahirnya desa inklusi di Sidorejo. Pemerintah desa berupaya hadir untuk mendorong emansipasi kelompok difabel dalam pembuatan kebijakan di desa. Kelahiran dan aktivitas yang dilakukan FDS, dalam kaca mata Sutrisna adalah suatu inisiatif maju yang bisa membawa perubahan di desa karena para penyadang disabilitas memang belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah desa. Untuk mengangkat derajat hidup disabilitas, Sutrisno tergerak untuk menghadirkan pemerintah desa melalui program-program yang bisa membawa mereka menjadi lebih sejahtera. Pembentukan kepentingan publik, dengan demikian, diinisiasi oleh gerakan masyarakat sipil (FDS) yang menemukan pertautannya dengan kehendak pemerintah desa untuk melibatkan warga yang marjinal sekalipun dalam proses pembangunan di desa. Sungguhpun demikian, ada satu hal yang luput. Dalam konteks inklusivitas aspirasiaspirasi publik, pelibatan kelompok marjinal masih sebatas pada satu kategori sosial saja, yakni penyandang disabilitas. Inklusivitas pun menjadi paradoks manakala maknanya dipersempit dan keanggotaan (membership) dari kelompok ini sekadar pada kelompok difabel. 55 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Padahal, perempuan dan petani dalam konteks Sidorejo juga menjadi bagian dari kelompok rentan di desa. Pada titik variasi yang lain, Desa Cangkudu memperlihatkan corak kepemimpinan yang kurang responsif terhadap tuntutan-tuntutan dari warga, namun menjalankan akuntabilitas melalui reformasi birokrasi pemerintahan desa. Kritik terhadap reforma birokrasi di Cangkudu terutama ditujukan pada adalah absennya partisipasi publik dimana reformasi birokrasi yang berjalan relatif baru menyentuh aspek administrasi publik. Sebagian warga merasa, reformasi birokrasi di Cangkudu belum mendorong keterbukaan pemerintah desa terhadap inisiasi maupun usulan warga. Banyak warga merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses musyawarah desa dan kurang mengetahui informasi terkait kebijakan desa termasuk APBDES. Selain itu dampak reforma birokrasi belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh sebagian warga. Sebagian warga justru merasa langgam perubahan masih bersifat artifisial dan memunculkan biro­kratisasi layanan publik yang cenderung kaku. Hasilnya, institusi desa yang secara teknokratis dapat diandalkan, namun hanya sebatas pada kapasitas memperkuat dirinya untuk menjadi handal di level administratif. Di sisi lain, institusi desa gagap dalam memainkan perannya untuk memediasi aktor-aktor pemburu rente bisnis limbah pabrik dan isu-isu ekonomi politik berkaitan dengan kehadiran ekonomi industri di desa ini. Di titik ini, nampak adanya geliat organisasi masyarakat sipil di desa yang seolah-olah berdinamika, namun sebenarnya hanya menjadi instrumen penyokong pebisnis limbah pabrik yang saling bersaing. Terakhir, Desa Panggungharjo memberikan gambaran menarik tentang kepemimpinan desa yang responsif dan membuka ruang partisipasi warga di satu sisi dan di sisi lain, digerakkan oleh inisiatif warga yang kuat. Sama halnya dengan Desa Cangkudu yang memiliki 56 KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA karakter urban yang kuat, Desa Panggungharjo memiliki cukup banyak prasyarat mengenai hadirnya institusi masyarakat sipil yang menopang inisiatif warga yang kuat. Di antara prasyarat tersebut, misalnya tingkat pendidikan, kehadiran kelas menengah yang peduli terhadap pembangunan desa, dan organisasi warga non korporatis yang dinamis. Di samping itu, satu hal yang penting adalah latar belakang sosial kepala desa yang lama berinteraksi dan menjadi bagian dari masyarakat sipil di desa dengan kombinasi antara basis kultural santri, aktivis desa, dan basis intelektual sarjana. Perpaduan tersebut menjadikan corak kepemimpinan yang dihadirkan memiliki kapasitas untuk merespons kepentingan warga dan membuka diri bagi per­ luasan ruang-ruang publik di desa. Bagaimanapun dari semua desa tersebut, peluang dan struktur kesempatan politik yang diberikan oleh UU Desa dalam konteks demokratisasi memberikan aksentuasi yang beragam di masing-­masing desa. Ada desa yang mampu memanfaatkan struktur kesempatan politik melalui UU Desa untuk mendorong politik partisipatoris di desa dalam tata kelola sumberdaya bersama (air bersih dan aset wisata desa) serta mendorong inklusi sosial di desa. Di sisi lain, ada pula desa yang cenderung menutup diri dari perubahan dan terkungkung oleh birokratisme dan kapasitas politik yang lemah berhadapan dengan aktor supra desa. D. Simpul Wacana Ide demokrasi komunitarian sebagai pilar self-governing community berpijak pada pentingnya mempromosikan partisipasi warga dalam urusan publik, pemerintahan, dan pembangunan di level komunitas. Melampaui garis batas formalitas, demokrasi semacam ini mengutamakan pentingnya perluasan ruang publik, aktivasi peran kelompok-kelompok sosial, forum-forum warga, dan jaringan 57 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL antar kelompok. Tujuannya, tak hanya untuk kepentingan selfhelp kelompok itu sendiri, namun juga sebagai instrumen awareness warga, civic engagement, dan partisipasi dalam urusan pemerintahan di level komunitas (IRE, 2002). Dari hasil temuan riset di atas, nampak adanya derajat partisipasi publik yang dipotret dari sejauh mana kepemimpinan di desa membuka peluang bagi demokrasi di aras lokal. Dalam konteks itu, pengaruh tipe kepemimpinan ini memberikan warna yang beragam dan tentu saja saling berkelindan dengan dinamika representasi dan inisiatif warga. Desa dengan tradisi kepemimpinan parokial yang kuat cende­ rung mendominasi formasi kepentingan publik dan menutup berkembangnya isu-isu publik yang lebih inklusif di desa. Ini juga diperparah oleh terbatasnya ruang-ruang publik di desa dan tidak berkembangnya forum-forum alternatif kewargaan. Namun di sisi lain, arah transformasi kepemimpinan yang akomodatif bagi formasi kepentingan publik sekaligus mendorong perluasan ruang-ruang publik juga me­nunjukkan optimisme meski seringkali diwarnai oleh corak kepe­mimpinan yang lemah. Sungguh pun demikian, variabel lain seperti inisiatif warga yang kuat dan bekerjanya institusi representasi politik mampu menutupi kelemahan dari sisi kepemimpinan politik. Corak kepe­ mimpinan yang berlangsung di masing-masing desa tak berdiri dalam ruang hampa. Ada kepemimpinan desa yang lahir sebagai imbas dari jenuhnya masyarakat pada monopoli kekuasaan desa oleh trah ba­lung lurah ataupun penggunaan instrumen kekayaan (resources) semata dalam memenangkan politik elektoral di desa. Meski tak ideal dan cenderung bercorak soft governance, corak kepemimpinan semacam itu memungkinkan ide-ide perubahan dan partisipasi publik yang lebih luas dapat berlangsung. 58 Buku Aspirasi yang diinisiasi BPD Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman Musyawarah Rencana Pembangunan Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul Forum warga, Malem-Slasa-Kliwonan di Desa Nglanggeran, Kabupaten Gunungkidul BAB 3 Memperkuat Representasi Warga A. Representasi Partisipatoris-Deliberatif Konflik agraria antara perusahaan dan warga Desa Ringin­ rejo sudah terjadi sejak tahun 90-an. Saat itu lahan milik perusahaan semen PT. Semen Dwima Agung yang tidak digunakan, diolah kembali oleh warga. Sejak mengolah lahan tersebut, taraf penghidupan warga meningkat. Kondisi tersebut mendorong para petani penggarap melakukan klaim atas lahan tidur milik anak perusahaan korporasi global Holcim itu. Untuk memperjuangkan klaim lahan perkebunan tersebut, warga membentuk paguyuban petani. Dalam melakukan advokasi, paguyuban petani juga tidak berjalan sendiri. Mereka membangun jejaring advokasi dengan organisasi non pemerintah seperti ELSAM dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Bersama dengan lembaga non pemerintah tersebut, paguyuban melakukan upaya klaim lahan baik ke Pemda Blitar, Kementerian Kehutanan, bersidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), hingga bernegosiasi dengan perusahaan semen Holcim di Swiss. 61 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Cerita di Ringinrejo tersebut memantik pertanyaan kritis, me­ ngapa kehadiran lembaga-lembaga representasi (perwakilan) formal belum dapat memberikan makna berarti bagi perjuangan aspirasi warga di tingkat lokal? Padahal lembaga-lembaga tersebut telah dibekali kewenangan yang kuat, termasuk menjadi saluran perwakilan warga dalam memperjuangkan isu-isu publik sebagai keputusan politik di level desa. Terbitnya UU Desa sesungguhnya menyediakan peluang bagi Badan Permusyawaratan Desa (BPD), sebagai agen representasi formal desa untuk meningkatkan peran strategisnya.34 UU Desa sebenarnya lahir dalam semangat reformasi, yakni sebagai koreksi atas sistem korporatis warisan pemerintahan Orde Baru. UU ini mencoba menciptakan terobosan baru, diantaranya menekankan agar kekuasaan di desa dikelola dengan cara-cara demokratik (Arie Sujito, 2016).35 Kasus tersebut sesungguhnya merefleksikan gambaran tentang tantangan lembaga representasi formal desa yaitu BPD pasca terbitnya UU Desa. Meski struktur peluang yang disediakan oleh UU Desa cukup memadai, namun tak serta merta mendorong BPD dapat menghadirkan ruang-ruang deliberasi di tingkat desa. Tidak mengherankan apabila warga mencari saluran representasi alternatif yang bersifat informal. Munculnya representasi informal ini terjadi karena agenda-agenda publik yang dirumuskan warga belum sepenuhnya mendapat perhatian pemerintah desa maupun BPD sebagai lembaga perwakilan formal. Pada titik inilah representasi informal perlu mendapatkan ruang sebagai alternatif kanal bagi 34 Sebagai parlemen desa, BPD memiliki posisi strategis karena tidak lain sebagai lembaga representasi politik formal, dengan tugas legislasi yakni legislasi (membuat peraturan desa), budgeting (turut menyusun anggaran desa) dan kontrol atas pemerintah desa. 35 Dalam Undang-Undang tersebut, substansi demokrasi deliberatif dikenalkan, yang tercermin dari hadirnya klausul pengaturan tentang BPD dan Musyawarah Desa (Musdes). 62 MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA warga dalam mendorong isu-isu pu­blik di level desa. Kondisi ini memunculkan kebutuhan mencangkokkan elemen partisipatoris dari representasi informal ke dalam format representasi formal yang ber­ corak deliberatif. Ringkasnya, tantangan tersebut hendak dijawab dengan menghadirkan perspektif partisipatoris-deliberatif dalam menguji praktik-praktik representasi di tingkat desa. Oleh karena itu, bab ini hendak melihat format representasi semacam apa yang terbentuk dari dialektika antara yang formal dan informal. BPD sebagai lembaga representasi formal maupun ruangruang representasi informal yang berciri partisipatoris, hendak diuji melalui praktik-praktik representasi desa: seberapa jauh keduanya mampu menghadirkan ruang-ruang deliberasi bagi warga. Berpijak pada kerangka kerja kajian ini, pengujian aspek representasi tersebut difokuskan pada tiga arena: pembentukan kepentingan publik, perluasan ruang publik, dan inklusivitas (keterbukaan) terhadap aspirasi-aspirasi menyangkut urusan publik. Dengan menghadirkan kerangka partisipatoris-deliberatif, kita bisa mendapatkan potret bekerjanya praktik-praktik demokrasi lokal ala warga desa secara utuh. Kasus Desa Ringinrejo, merupakan satu dari sekian ragam problem representasi yang diangkat dalam bab ini. Berangkat dari narasi di 10 desa, menunjukkan sejumlah variasi temuan penting tentang aspek representasi dalam kajian ini. Sebagian besar desa menunjukkan praktik-praktik representasi formal oleh BPD masih bekerja dalam logika normatif. Dengan nalar demikian, efektifitas kinerja represetasi tentu saja tidak optimal dalam pembentukan kepentingan publik. Begitu pula, ada desa yang menjalankan praktik representasi formal secara inovatif yang mampu melampaui logika normatif dengan memanfaatkan ruang-ruang informal di desa, sehingga fungsi representasi dapat bekerja maksimal. Sementara itu, di kutub berseberangan, terdapat pula lembaga-lembaga representasi formal 63 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL yang bekerja sangat minimal, sehingga justru membuka ruang bagi menguatnya kinerja representasi informal. Keseluruhan variasi tersebut, tentunya menjadi kekayaan pembelajaran yang disuguhkan dalam bab ini. B. BPD dan Musyawarah Desa: Rute Formal Deliberasi Demokrasi Desa UU Desa secara normatif mendefinisikan BPD sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.36 Dalam perkembangannya, lembaga perwakilan desa ini mengalami dinamika tersendiri dalam menjalankan fungsi perwakilan. Temuan dalam riset ini menunjukkan, derajat representasi formal BPD ternyata ditentukan oleh: pertama, pola relasi BPD dengan pemerintah desa dan warga. Pola relasi ditandai dengan seberapa jauh BPD terlibat (atau dilibatkan) dalam menciptakan ruang-ruang deliberasi. Pola relasi BPD dengan pemerintah desa sangat dipengaruhi oleh setting sosial-budaya setempat dan derajat ketergantungan BPD terhadap pemerintah desa.37 36BPD sebagai lembaga representasi di desa secara nomenklatur (Badan Permusyawaratan Desa) memang baru dikenal pada tahun 2004 pasca berlakunya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum berlakunya UU tersebut, lembaga perwakilan desa adalah Badan Perwakilan Desa mengacu pada UU Nomor 22 Tahun 1999. Meski nomenklaturnya berubah sebetulnya tugas kedua lembaga tersebut hampir sama, hanya saja ketika berstatus sebagai “Perwakilan” Badan Perwakilan Desa memiliki wewenang untuk mengusulkan pemberhentian kepala desa kepada bupati. Sedangkan Badan Permusyawaratan Desa tidak memiliki kewenangan. Banyak yang berpandangan bahwa nomenklatur “permusyawaratan” telah mengkebiri wewenang BPD karena tidak lagi memiliki hak untuk mengajukan pemberhentian kepala desa. namun, dengan UU Desa sebetulnya BPD memiliki peran yang lebih luas dalam menjalankan representasi warga dan pengawasan kinerja kepala desa. BPD berhak melakukan pengawasan atas kinerja kepala desa, termasuk mempertanyakan kebijakan kepala desa apabila tidak sesuai dengan aspirasi warga. 37 Setting berupa lanskap sosial berwatak komunitarian (guyub, gotong-royong kebersamaan), struktur politik bercorak kekerabatan, fenomena orang kuat (strongman), dan sebagainya. 64 MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA Kedua, kapasitas politik dan teknis-manajerial BPD. Kapasitas politik ditandai dengan kemampuan BPD dalam mengelola ragam aspirasi warga yang berkembang terutama melalui saluran komunikasi formal, dan saluran informal maupun menginisiasi inovasi tertentu. Kapasitas politik BPD ini dalam sejumlah kasus juga bertautan erat dengan pola relasi BPD dengan pemerintah desa dimana posisi politik BPD dihadapan pemerintah desa. Sementara kapasitas teknismanajerial BPD ditandai dengan kapasitas menginstrumentasikan ragam aspirasi tersebut menjadi kebijakan publik di tingkat desa. Kapasitas ini ditentukan oleh tingkat pemahaman dan pengetahuan anggota BPD. Pola Relasi Representasi Formal Dalam kajian ini, narasi tentang relasi BPD dengan pemerintah desa dan warga menunjukkan pola variasi yang tinggi. Desa Sidorejo, Cangkudu, dan Ngadisari menunjukkan relasi BPD dalam posisi infe­ rior dihadapan pemerintah desa. Di Sidorejo misalnya, kelahiran desa inklusi di Sidorejo bukan merupakan aspirasi yang diperjuangkan oleh BPD sebagai lembaga perwakilan rakyat desa. Melainkan, di dorong oleh satu gerakan masyarakat sipil dalam hal ini komunitas difabel yang secara langsung bernegosiasi melakukan kerjasama dengan pemerintah desa. Dalam kerangka kerja sebagai lembaga perwakilan, BPD Sidorejo masih bekerja dalam nalar normatifnya. Setiap bulan BPD mengadakan rapat-rapat internal untuk melihat dan menilai kinerja pemerintah desa. Secara rutin pula BPD melakukan kegiatan penjaringan aspirasi di masing-masing ‘kring’ atau ‘daerah pemilihan. Sesungguhnya penjaringan aspirasi tersebut merupakan langkah maju, dimana anggota BPD setempat pro-aktif turun ke bawah. Hanya saja, pola komunikasi berbasis kewilayahan yang dilakukan BPD pada akhirnya gagal menangkap aspirasi sektoral warga. 65 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Kepentingan wilayah kerap kali mengabaikan kepentingan misalnya, kelompok tani, para pengrajin, dan peternak yang sebenarnya juga membutuhkan perhatian. Bagi sebagian warga, hal tersebut justru persoalan fundamental yang mendesak untuk dikerjakan karena berdampak langsung pada kesejahteraan warga. Sayangnya, persoalan tersebut belum ditangkap oleh BPD sebagai persoalan serta potensi yang perlu dikelola. Pada gilirannya muncul kecenderungan BPD hanya mengikuti agenda pemerintah desa yang cenderung mendorong program desa inklusi. Di sisi lain, masyarakat desa sendiri belum memfungsikan BPD sebagai lembaga perwakilan yang secara efektif bisa menjadi mitra kerja pemerintah desa. Warga Sidorejo melihat adanya ruang dialog yang semakin terbuka dan langsung antara pemerintah desa dengan warganya sehingga memunculkan kecenderungan BPD “dilewatkan” oleh masyarakat. Melalui komunikasi secara langsung dalam ruangruang demokrasi yang tersedia di desa, aspirasi yang ‘sektoral’ biasanya kerap disuarakan. Namun karena dianggap ‘tidak jelas’ —karena tidak mewakili wilayah, aspirasi yang disampaikan tersebut kerap kali diabaikan. Situasi serupa juga terdapat di Desa Cangkudu, yang mana posisi BPD dihadapan Pemerintah Desa terkesan inferior dimata warga. Kesan tersebut berangkat dari fakta bahwa jejak kinerja perwakilan BPD belum dirasakan warga. BPD Cangkudu hanya bekerja dengan nalar normatif (memaknai aturan secara tekstual) tanpa melakukan pemaknaan mendalam atas tugas dan fungsinya. Nalar normatif tersebut tampak dari peran yang dilakukan BPD Cangkudu hanya menyelenggarakan forum-forum formal seperti Musdes dan Musren­ bangdes, tanpa melibatkan banyak warga. Padahal, warga terbiasa menyampaikan aspirasinya melalui perwakilan RT, RW atau tokoh masyarakat untuk disampaikan dalam forum-forum tersebut. Aspirasi 66 MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA warga tidak secara langsung dapat diserap dalam forum-forum resmi seperti musrenbangdes ataupun musyawarah desa. Situasi ter­ sebut rentan terhadap bias elit manakala keputusan publik diambil dalam forum-forum resmi. Tak mengherankan jika warga Cangkudu memiliki persepsi bahwa BPD adalah bagian dari pemerintah desa. Situasi yang lebih ekstrim terjadi di Desa Ngadisari. Representasi formal BPD tak cukup kuat mengimbangi kapasitas pemerintah desa saat dipimpin oleh Supoyo dan kini oleh istrinya yang juga ditopang oleh peran politik Supoyo. Dalam hal ini Supoyo lebih mengandalkan representasi langsung dan cenderung memangkas peran representasi inistitusi ini. Kondisi tersebut tergambar dengan baik dengan lahirnya Perdes No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Mutasi Tanah Desa Ngadisari. BPD tak memiliki banyak peran selain menjalankan fungsi pengawasan atas implementasi peraturan tersebut.38 Selain itu secara sosiologis, masyarakat memiliki saluran representasi langsung yang bisa jadi jauh lebih efektif, seperti rembug desa dan Safari Wulan Kapitu. Representasi formal BPD bisa jadi tak relevan bagi masyarakat Ngadisari yang memiliki tradisi demokrasi langsung yang lebih kuat. Dalam konteks itu, Desa Ngadisari memiliki cara sendiri dalam menjalankan demokrasi desa. Kondisi tersebut membentuk kinerja representasi formal BPD Ngadisari sangat minimal dalam membuka ruang-ruang deliberasi. Kondisi yang berlawanan ditunjukkan dengan kasus Desa Umbulharjo dan Panggungharjo, dimana BPD dapat membangun ke­ setaraan peran dengan pemerintah desa. BPD di kedua desa tersebut berhasil membangun engagement (pelibatan) dengan pemerintah desa 38 BPD bisa jadi hanya sebagai ‘tukang stempel’ atas rancangan peraturan yang diajukan pemerintah desa tersebut. Dalam praktek kepemimpinannya, Supoyo yang juga mantan kepala desa, lebih banyak turun langsung ke masyarakat. Dia juga cenderung memotong peran BPD dengan asumsi bahwa dirinya mampu menyerap aspirasi warganya secara langsung tanpa melalui BPD. Ketimbang mendengarkan aspirasi yang disampaikan BPD, dia lebih memilih untuk turun langsung ke masyarakat. 67 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL dalam mengelola urusan publik desa. Di Desa Umbulharjo, BPD berhasil memainkan fungsi kontrol dalam pemerintahan dan pemba­ngunan di desa. Hal itu ditampakkan dengan kasus ketegangan antara BPD dan Kepala Desa, saat BPD menagih RPJMDesa yang tak kunjung rampung disusun kepala desa terpilih. Konflik tersebut tidak berlarut dan justru menjadi momentum menata kembali relasi kelembagaan antara BPD dan Pemerintah Desa. Paska konflik, hubungan BPD dan Kepala Desa jauh lebih harmonis dan produktif. Hal ini menjadi mo­dal penting bagi Umbulharjo dalam menyelesaikan isu-isu publik yang berkembang di masyarakat.39 Salah satu isu publik yang paling menonjol di desa setempat adalah pengelolaan air bersih. Oleh karena itu, berdasarkan usulan warga, BPD bersama pemerintah desa menginisiasi kebijakan pembentukan BUMDesa yang diorientasikan mengelola kebutuhan air bersih bagi warga. Untuk keperluan itu maka dilakukan musdes untuk mendirikan BUMDesa. Musdes tentang pendirian BUMDesa ini merupakan musdes pertama yang diselenggarakan oleh BPD.40 Musdes ini menjadi tonggak penting pelembagaan demokrasi di desa karena merupakan praktek demokrasi pertama di Desa Umbulharjo yang melibatkan partisipasi masyarakat. Demikian pula di Desa Panggungharjo, relasi BPD dan Peme­ rintah Desa berjalan secara sinergis. Sinergi antara BPD dan peme­ rintah desa dibangun dari rekatan emosi dan sosial masyarakat Desa Panggungharjo. Forum-forum deliberasi desa, mulai di tingkatan RT, Dusun dan Musyawarah Warga di tingkat desa menjadi medium mempertemukan gagasan dan menjadi arena membangun konsensus antara warga dengan pemerintah desa dan BPD. Produk dari sinergi 39 Banyak isu publik yang berkembang di Desa Umbulharjo. Isu-isu publik tersebut meliputi pengelolaan air baik air bersih, penambangan pasir, hunian tetap untuk warga korban erupsi Merapi, desa tanggap bencana, dan pengelolaan kegiatan wisata. 40 Kegiatan musdes tersebut dihadiri kades, perangkat desa, BPD, dan seluruh kadus, serta perwakilan perempuan, pemuda dan tokoh masyarakat. 68 MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA BPD dan Pemerintah Desa tercermin dalam APBDes yang berorientasi pada dimensi pelayanan dan perlindungan sosial warga desa untuk mencapai visi desa mandiri, sebagai desa sehat, desa pintar dan desa budaya. Pada titik ini, BPD Panggungharjo telah memanfaatkan secara maksimal ruang deliberasi yang menjalankan fungsi representasi. Bahkan, jejak representasi BPD Panggungharjo dapat dilihat dari munculnya peraturan desa inisiatif BPD. Dalam konteks yang sedikit berbeda, relasi antara pemerintah desa dan BPD Punjulharjo memang melibatkan BPD. Namun peliba­ tan BPD hanya sebatas menjalankan fungsi secara normatif se­perti membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama kepala desa, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Apalagi posisi BPD terlihat lemah dengan terbitnya Peraturan Bupati Rembang yang mengatur bahwa pemerintah desa tetap bisa melanjutkan program-programnya, sekalipun BPD tidak menyetujui rancangan program yang diajukan oleh pemerintah desa. Hal ini bermakna BPD tidak berwewenang untuk menyetop program yang sudah dibuat Pemerintah Desa. Dengan posisi politik demikian, fungsi representasi formal oleh BPD Punjulharjo juga tidak bekerja dengan optimal. BPD Punjulharjo misalnya, tidak menyelenggarakan musdes karena merasa tidak punya kewenangan untuk mengundang warga atau lembaga desa yang ada. Tugas untuk menyelenggarakan musdes kemudian diberikan kepada pemerintah desa. Meski demikian, BPD menempuh strategi penja­ ringan aspirasi melalui forum warga seperti pertemuan RT dan RW oleh masing-masing anggota BPD. Akhirnya aktivitas BPD hanya mengadakan pertemuan internal yang rutin digelar setiap bulannya. Pertemuan internal BPD biasanya membahas isu yang muncul dan dianggap penting di masyarakat. Masalah biasanya digali oleh anggota BPD melalui forum-forum warga. Pola representasi demikian, pada 69 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL akhirnya memang dapat menjembatani kepentingan warga terhadap pemerintah desa yang ditandai dengan menjadikan BPD sebagai saluran aspirasi masyarakat terkait pengelolaan Karang Jahe Beach. Namun BPD Punjulharjo kurang berfungsi dalam melakukan pengawasan kinerja kepala desa. Ketika terjadi kasus keuangan yang melibatkan sekretaris desa, fungsi BPD sebagai pengawasan kinerja kepala desa sulit dilakukan. Laporan keuangan hanya bisa diakses oleh BPD pada saat rapat pertanggungjawaban. Mandulnya fungsi BPD Punjulrejo bisa dipahami dengan kuatnya politik kekerabatan di Punjulharjo. Hampir seluruh orang yang menempati jabatan strategis di Desa Punjulharjo masih merupakan teman, kerabat dan tim sukses kepala desa terpilih. Bahkan salah satu anggota BPD adalah tokoh yang dekat dengan kepala desa sudah sejak awal diproyeksikan dan dipersiapkan untuk menjadi anggota BPD. Dalam proses pemilihan pun kemudian diatur agar dia terpilih dengan mudah dan tidak melalui perdebatan yang panjang. Temuan dalam kajian ini juga menunjukkan variasi relasi BPD dengan warga desa yang mau melibatkan BPD meski dalam nalar normatif sebagaimana di Desa Nglanggeran dan Desa Mekarjaya. Nalar normatif tersebut dibangun dari setting sosial masyarakat setempat yang menempatkan nilai-nilai komunitarian (gotong royong, guyub, dan kebersamaan) sebagai dasar dalam menata kehidupan publik. Di Desa Nglanggeran, BPD dinilai kredibel, mewakili aspirasi warga, dan memiliki kemampuan saat menanggapi isu rencana masuknya investasi ke desa dalam kerangka pengelolaan situs gunung api purba. Kondisi tersebut ditunjukkan dengan sikap BPD yang mendukung aspirasi warga. Sayangnya , BPD dan juga pemerintah desa dinilai lambat merespon inisiatif warga yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang mendesakkan terbitnya peraturan 70 MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA desa tentang perlindungan aset dan tanah warga.41 Meski demikian, di mata warga, BPD tetap dipandang sebagai pihak yang harus dirangkul dalam pengembangan situs gunung api purba tersebut. Warga yang dimotori Pokdarwis tetap menjadikan BPD salah satu saluran aspirasi warga, selain pemerintah desa dan tokoh masyarakat setempat. Hal itu terlihat manakala Pokdarwis hendak mengosiasikan ide membebaskan situs gunung api purba dari kegi­atan pertanian warga. Berkat dialog yang bersifat kekeluargaan yang melibatkan BPD, pemerintah desa dan kelompok warga, jalan damai itu membuahkan kesepakatan.42 Pada titik ini terlihat bahwa aspirasi pengelolaan situs gunung api purba disalurkan melalui BPD atau forum informal desa guna memenuhi derajat inklusifitas (keterbukaan) dan bernilai publik. Situasi serupa juga ditunjukkan di Desa Mekarjaya yang oleh warga dinilai sebagai lembaga desa terpercaya dan mewakili warga manakala menanggapi usulan pembangunan lapangan sepak bola.43 Bagi warga Mekarjaya, BPD dipandang sebagai aktor strategis terkait kebijakan desa sehingga mereka menggandeng BPD untuk mendukung usulan tersebut. Usulan tersebut diperjuangkan baik melalui lembaga41 Usulan tersebut dilatabelakangi kekhawatiran warga tentang lahan-lahan di kawasan situs gunung api purba akan jatuh ke tangan investor, jika tidak diproteksi yang berakibat me­ ngancam hajat hidup warga Nglanggeran. Kesepakatan warga tersebut sudah berulangkali di­ sampaikan dalam forum-forum yang melibatkan perwakilan dari Pemerintah Desa dan BPD, namun belum ditindaklanjuti dengan penerbitan peraturan desa. 42 Pihak Pokdarwis sepakat mengganti atau membeli kayu-kayu yang sudah berukuran besar kepada warga yang menanamnya. Mereka pada prinsipnya masih bisa berkebun di kawasan tersebut, tetapi tidak lagi bisa menebang secara sembarangan kayu-kayu yang telah mereka tanam. 43 Sudah sejak lama warga masyarakat Desa Mekarjaya mengidamkan lapangan sepak bola. Sampai pada tahun 2002 pembangunan lapangan sepak bola belum terwujud. Terlebih tanah desa ( tanah sara ) yang luasnya hanya dua hektar harus dibagi desa Cianaga. Maka keinginan untuk membangun lapangan sepak bola semakin sulit direalisasikan, karena tanah desa yang diharapkan untuk lapangan sepak bola berkurang. Namun semangat warga untuk mewujudkan cita cita membangun lapangan sepak bola tetap tinggi. 71 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL lembaga formal, seperti BPD dan pemerintah desa dan terutama forum-forum informal warga yang saling terhubung satu de­ngan lainnya. Fenomena warga menggandeng BPD dalam kasus lapangan sepak bola menunjukkan adanya kesadaran warga tentang nilai kepublikan dan pentingnya keterbukaan untuk melibatkan semua pihak, termasuk lembaga representasi formal seperti BPD. Macetnya representasi formal oleh BPD ditunjukkan dalam kasus di Desa Gulon dan Desa Ringinrejo. Kemacetan fungsi perwakilan oleh BPD di kedua desa tersebut menunjukkan variasi pola relasi yang berbeda. Pola relasi BPD Gulon dengan pemerintah desa cenderung menempatkan BPD sebagai alat jejaring kekuasaan elit desa yang diwarnai dengan kentalnya politik kekerabatan. Dalam kasus pemba­ ngunan rumah susun (rusun), ide tersebut disalurkan secara formal melalui BPD tanpa melalui proses diskusi dengan warga. Ide tersebut tidak melalui pengujian sebagai wacana yang diperbincangkan warga, misalnya terkait dengan kemanfaatan atau studi kelayakan proyek tersebut. BPD Gulon hanya menyuarakan ide kepala desa sebagai bagian dari elit berkuasa yang mendominasi kehidupan politik di Desa Gulon secara turun temurun. Ide tersebut juga tidak banyak disosialisasikan BPD kepada publik untuk menjaring respon balik warga ter­hadap rencana tersebut. Situasi tersebut menggambarkan kualitas representasi BPD yang tidak mewakili aspirasi warga dimana warga lebih menginginkan pemerintah desa melakukan program bedah rumah. Sedangkan di Desa Ringinsari, representasi formal oleh BPD benar-benar terlihat mandeg. Dalam kasus klaim lahan perusahaan oleh warga, lembaga formal desa, baik pemerintah desa dan BPD, sungguh tidak dapat diandalkan sebagai saluran aspirasi warga. Kendati warga telah membuat tekanan publik, BPD cenderung menghindari risiko untuk berperan dalam penyelesaian konflik tersebut. Padahal 72 MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA penyelesaian konflik lahan tersebut menjadi gantungan hidup ratusan warga di Ringinrejo. Situasi ini mendorong warga untuk mencari saluran representasi alternatif di luar saluran formal dengan membentuk paguyuban. Warga juga membangun jejaring advokasi dengan lembaga-lembaga non pemerintah untuk melakukan proses negosiasi dengan perusahaan maupun upaya hukum. Potret Kinerja Representasi Formal: Problem Kapasitas Kinerja representasi BPD dipengaruhi oleh kapasitas politik maupun teknis-manajerial berupa daya dukung pengetahuan anggotanya. Senada dengan temuan dalam kajian ini, keterbatasan kapasitas ternyata masih menghinggapi sebagian besar BPD sebagai wadah representasi formal. Selain dipengaruhi tingkat pemahaman terhadap UU Desa, lemahnya kapasitas BPD juga dipengaruhi oleh posisi politik BPD yang sangat bergantung pada pemerintah desa. Kondisi ini dialami BPD Desa Cangkudu, Mekarjaya, Sidorejo, Ringinrejo, Punjulharjo, Gulon dan Ngadisari. Sementara BPD Desa Nglanggeran dan Desa Umbulharjo, memiliki kapasitas politik yang kuat, namun menghadapi tantangan berupa lemahnya daya dukung kapasitas pengetahuan. Sedangkan kondisi kapasitas ideal BPD, tergambar dengan baik oleh BPD Desa Panggungharjo yang memiliki kapasitas andal baik secara politik maupun teknis. Di Desa Cangkudu, kapasitas politik BPD dalam mengelola ke­ ragaman aspirasi warga menjadi persoalan bagi berjalannya peran dan fungsi BPD. Kapasitas politik BPD belum mampu mengimbangi kapasitas pemerintah desa. Namun demikian kapasitas pengetahuan BPD Cangkudu terhadap peran dan fungsinya telah tumbuh. BPD Cangkudu misalnya telah mengundang perwakilan warga untuk hadir dalam forum-forum formal seperti musrenbang ataupun musyawarah desa yang dihadiri perangkat desa, tokoh masyarakat, perwakilan 73 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL pemuda dan tokoh agama yang diundang secara resmi oleh pihak BPD. Meski demikian, kapasitas tersebut belum sepenuhnya efektif menjadi modal BPD dalam mengawal agenda-agenda publik. Kondisi tersebut berakar dari, pemahaman anggota BPD terhadap fungsinya sebagaimana dimandatkan UU Desa masih bersifat normatif. Problem kapasitas BPD di Desa Gulon kental diwarnai ketergantungan posisi inferior BPD terhadap pemerintah desa. Dilihat dari kualitas sumber daya manusia, BPD Gulon sebenarnya memiliki kapasitas yang cukup memadai.44 Anggota BPD juga cukup memahami tugas dan fungsinya. Namun dalam praktiknya, fungsi BPD yang paling bekerja hanyalah membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa. Sedangkan fungsi representasi dan pengawasan tidak dapat berjalan secara memadai lagi karena lemahnya kewenangan. Selain aspek lemahnya kewenangan dalam menjalankan tugas representasi, BPD juga menghadapi masalah berupa: Pertama, adalah persoalan anggaran. Minimnya anggaran operasional yang dialokasikan di dalam APBDes, membuat BPD kini tak lagi mampu melakukan pertemuanpertemuan secara rutin, apalagi jika harus mengundang pemerintah desa maupun warga.45 Kedua, BPD tidak memiliki penghasilan tetap (siltap), sebagaimana diterima perangkat desa. Hal ini berdampak BPD sebagai lembaga legislatif desa tidak diminati masyarakat.46 Tanpa penghasilan tetap yang memadai, BPD cenderung menjadi lembaga 44 Terdapat lima anggota BPD yang berprofesi menjadi guru. Empat di antaranya berpendidikan sarjana (S-1). Di desa, para guru juga dikenal sebagai tokoh masyarakat dan intelektual yang seringkali dijadikan rujukan oleh masyarakat. 45 BPD bisa mengusulkan kenaikan anggaran dalam APBDes, namun mereka mengaku tidak mampu memaksakan hal ini kepada pemerintah desa karena tiadanya formula anggaran yang dapat dijadikan pegangan. Sebagai gambaran, anggaran APBDes Gulon 2015 untuk BPD selama setahun hanya Rp 9.8 juta untuk keperluan sidang/rapat, perjalanan dinas, dan belanja barang dan jasa. 46 Hal ini berbanding terbalik dengan minat mendaftar menjadi perangkat desa (staf dan kepala dusun). Karena kurangnya minat terhadap jabatan BPD, pengisian anggota BPD pun tidak berlangsung melalui standard seleksi yang ketat dan ideal. 74 MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA yang dianggap sebagai “pengabdian” dan mengharapkan komitmen moral anggotanya, di sisi lain masyarakat menuntut dedikasi dan disiplin kerja mereka. Keseluruhan faktor tersebut membuat BPD tidak dapat mengimbangi kapasitas pemerintah desa. Apalagi BPD Gulon bekerja dalam setting sosial dimana politik kekerabatan di Gulon menjadikan posisi BPD sebagai alat dari elit yang berkuasa.47 Di Desa Mekarjaya, problem kapasitas BPD berakar dari proses rekrutmen yang tidak menarik minat warga untuk berkiprah di lembaga perwakilan tersebut. Banyak kandidat yang digadang-gadang untuk menjadi wakil warga, namun banyak pula yang menolak untuk dicalonkan menjadi anggota BPD. Sebelas anggota terpilih BPD umumnya merasa “terpaksa”, karena sesungguhnya tidak ada minat menjadi anggota BPD. Namun karena telah dimusyawarahkan di tingkat dusun, mereka akhirnya bersedia menjadi anggota BPD. Alhasil, Anggota BPD terpilih sebenarnya tidak memenuhi kriteria kelayakan anggota BPD. Dalam kasus pembangunan lapangan sepak bola misalnya, tak satupun anggota BPD yang menguasai pengeta­ huan teknis bangunan, sehingga tidak mampu mengawasi teknis pembanguan lapangan sepak bola. Demikian kapasitas lainnya seperti menguasai manajemen keuangan sehingga tidak bisa memberi umpan balik terkait laporan keuangan desa. Sebagaimana dengan Desa Gulon, BPD Punjulharjo juga menghadapi masalah serupa berupa ketergantungan terhadap peme­ rintah desa. Sebagai ilustrasi BPD Punjulharjo hanya mengadakan rapat-rapat internal tanpa mengundang atau melibatkan unsur lembaga desa serta tidak mengundang masyarakat karena terkendala anggaran. Dalam hal anggaran, BPD Punjulharjo tidak diberi kewe­ 47 Dominasi “Balung Gede”, menjadi konteks politik di Gulon yang turut melemahkan kapasitas politik BPD. Ketua BPD Gulon merupakan kerabat dekat kepala desa yang acapkali mengambil keputusan sepihak tanpa membuka diskusi dengan anggota BPD yang lain. 75 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL nangan untuk me­ngelola anggaran tersendiri. Biasanya jika ingin membiayai rapat internal, BPD mengajukan anggaran kepada bagian keuangan desa dahulu untuk dicairkan. Kondisi ini menandai tingkat ketergantungan BPD yang tinggi terhadap pemerintah desa. Selain problem daya dukung anggaran, kapasitas pengetahuan BPD terhadap tugas dan fungsinya juga terlihat lemah. Hal ini ditunjukkan dengan ada­ nya pemahaman bahwa wewenang untuk menyelenggarakan musdes sepenuhnya menjadi otoritas pemerintah desa. Selain kapasitas politik yang kurang memadai, lemahnya kapasitas pengetahuan juga dialami oleh BPD Ringinrejo, Ngadisari, dan Mekarjaya. Pemahaman anggota BPD Ringinrejo akan UU Desa masih sangat terbatas, bahkan mereka belum tahu tentang UU Desa beserta tanggungjawab baru BPD menurut UU Desa, termasuk fungsi BPD dalam menyelenggarakan musyawarah desa. Praktis selama dua tahun pelaksanaan UU Desa belum pernah terselenggara musyawarah desa di Desa Ringinrejo. BPD tidak terlalu aktif dan hanya mengagendakan pertemuan sekali dalam satu bulan yang pada praktiknya belum tentu rutin terlaksana. Salah satu sebab minimnya kiprah BPD, karena kesibukan ketua BPD sehingga sulit mengalokasikan waktu untuk pertemuan. Hal serupa juga dialami oleh BPD Ngadisari. Peran BPD yang semakin penting sejak UU Desa tak banyak berubah di Ngadisari. Selain kapasitas politik lemah karena dominasi orang kuat, BPD juga lemah dari sisi kapasitas pengetahuan. Kewenangan BPD untuk menyelenggarakan musyawarah desa misalnya tak diketahui oleh BPD. Menurut Ketua BPD, setiap ada rapat-rapat atau pertemuan desa BPD selalu diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat. BPD belum memahami bahwa lembaga representasi ini juga dapat menyelenggarakan musyawarah desa. Berbeda dengan ketujuh desa yang ada, BPD Nglanggeran dan BPD Umbulharjo memiliki kapasitas politik cukup memadai, namun 76 MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA kurang ditopang dengan kapasitas teknis. BPD Desa Nglanggeran misalnya, saat didesak Pokdarwis untuk menerbitkan peraturan desa tentang perlindungan aset warga dan desa dalam konteks pengembangan situs gunung api purba tak dapat memenuhi aspirasi tersebut. Baik pihak desa maupun BPD mengakui bahwa mereka masih menghadapi kendala kapasitas berupa keahlian khusus dibidang legal drafting (merancang peraturan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum) peraturan desa. Selama ini, mereka baru dapat membuat peraturan desa rutin seperti seperti perdes tentang RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa karena bisa meniru rancangan peraturan desa milik desa lain. Disamping itu memang, mereka belum banyak mendapatkan pelatihan dan sosialisasi dari Supra-Desa ataupun pihak luar perihal regulasi baru terkait implementasi UU Desa. Sementara, kapasitas politik dalam mengelola aspirasi warga ditunjukkan oleh BPD Umbulharjo. Selain menjalankan fungsi BPD secara substantif, baik fungsi legislasi (membuat peraturan), representasi dan pengawasan, BPD juga melakukan inovasi dalam menjaring aspirasi warga. Dalam melakukan proses penjaringan ide dan aspirasi warga, anggota BPD Umbulharjo memanfaatkan forum-forum informal seperti rapat-rapat RT yang diadakan oleh masing-masing dusun. Bahkan ketua BPD Umbulharjo menyediakan buku aspirasi yang diedarkan keliling di seluruh dusun. Masyarakat dapat menuliskan keluhan, usulan, dan gagasannya terkait desa pada buku tersebut. Demikian pula, setiap keputusan BPD disampaikan kembali kepada masyarakat melalui forum-forum tersebut. Untuk mendorong transparansi internal, BPD setempat mengupayakan seluruh anggotanya mengetahui program-program BPD maupun informasi lainnya pada saat rapat-rapat koordinasi yang diadakan setiap bulannya. Selain itu BPD juga mengikuti rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh pemerintah desa. Pada kesempatan itulah 77 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL mereka saling berbagi informasi baik mengenai program maupun permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Sayangnya, kapasitas politik tersebut kurang ditopang dengan kapasitas teknis. Dalam hal penganggaran desa misalnya, BPD masih sekedar menyetujui rencana penganggaran yang telah dibuat. BPD juga belum dilibatkan pada perencanaan teknis program dan pe­rencanaan peraturan desa. Situasi ini berakar dari lemahnya kapasitas teknis BPD dalam rangka melakukan pengawasan pada aspek-aspek teknis penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Gambaran ideal kapasitas representasi BPD ditunjukkan oleh BPD Panggungharjo yang secara sinergis berkolaborasi dengan pemerintah desa serta warga. Kapasitas representasi BPD Panggungharjo tergambar dengan baik dengan adanya produk-produk peraturan desa inisiatif BPD. Peraturan desa inisiatif BPD Panggungharjo ini menandai sensitifitas BPD terhadap isu-isu publik yang berkembang di kalangan warga. Dalam hal ini, BPD Panggungharjo berhasil menangkap de­ngan baik aspirasi warga dan selanjutnya mengolahnya menjadi agenda kebijakan desa setelah diuji melalui forum-forum deliberasi baik formal dan informal. Tidak semua anggota BPD, terlebih warga masyarakat desa, memahami UU Desa. Di beberapa desa dimana kajian ini dilang­ sungkan, banyak anggota BPD tidak memiliki pemahaman mengenai UU Desa, termasuk fungsi dan tanggungjawab BPD sesuai UU Desa. Selain kurang berfungsinya BPD karena kapasitas terbatas, bahkan mereka tidak proaktif, masyarakatpun merasa saluran aspirasi tidak harus ke BPD. Fungsi representasi juga bisa dilakukan pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan perangkat dusun seperti ketua RT, RW, maupun kepala dusun. Warga juga merujuk pertemuan-pertemuan warga di tingkat RT maupun dusun yang mereka hadiri. Pemerintah desa pun seringkali mengamini proses ini sebagai proses representasi 78 MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA yang terjadi di desa untuk kemudian disampaikan dalam pertemuanpertemuan desa maupun Musrenbang atau Musdes. Namun kembali lagi pada pertanyaan inti bagaimana dengan fungsi representasi formal yang dijalankan BPD? Seberapa berkualitas representasi yang dihasilkan, tanpa ada pihak yang melakukan pengawasan? Bagaimana aspirasi warga sepenuhnya mampu dikawal hingga mencapai sirkuit kebijakan? Pada titik ini, peran BPD sebagai aktor representasi formal perlu ditopang dengan kapasitas yang cukup baik secara politik maupun pengetahuan teknis-manajerial. C. Rute Representasi Informal: Suplemen Demokrasi Deliberatif Aspirasi masyarakat yang selama ini disalurkan melalui BPD maupun pemerintah desa acapkali tidak terkawal secara memadai. Tak mengherankan, eksistensi lembaga-lembaga representasi formal desa tengah digugat. Bahkan apatisme mulai menghinggapi warga yang dialamatkan pada lembaga formal tersebut. Telah menjadi peman­ da­ngan umum, masyarakat mengungkapkan kekecewaan manakala usulan-usulan mereka lenyap dalam daftar priotitas pembangunan desa. Mereka menilai BPD tidak benar-benar mendengarkan usulan mereka. Aspirasi warga masih belum mampu dapat “disuarakan (voicing) dengan baik oleh agen representasi (anggota BPD) apalagi diperjuangkan. Akibatnya terbentuk perasaan umum dikalangan warga bahwa mereka merasa tidak penting membangun hubungan dengan lembaga formal desa karena dinilai tidak menghadirkan manfaat dan kebermaknaan. Macetnya lembaga representasi formal pada akhirnya memaksa warga untuk menyampaikan gagasan dan aspirasinya dalam wadah lain yang tersedia di desa. Pada titik inilah, warga berupaya mencari kanal alternatif untuk memastikan bahwa agenda-agenda publik 79 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL sungguh mendapatkan ruangnya dalam arena pengambilan kebijakan. Kanal-kanal alternatif ini dapat berupa forum-forum warga (ritual publik, tradisi), kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat desa (baik kelompok kultural, keagamaan, sektoral, maupun kelompok berbasis isu seperti kelompok perempuan, penyandang disabilitas, pemuda, dan sebagainya), organisasi sosial seperti LSM, hingga figurfigur kuat di desa, —dikenal sebagai tokoh masyarakat,—yang acapkali menjadi tumpuan warga. Ragam kanal alternatif inilah yang sesungguhnya memiliki kontribusi besar dalam menghidupkan dan merawat ruang-ruang deli­ berasi desa. Ditengah tersendatnya rute representasi formal oleh BPD, kanal informal ini justru mampu menembus kemacetan menuju ruang-ruang deliberasi desa. Karakter informal itulah justru memuat keunggulan tersendiri yakni luwes dan mampu membangun intimasi (kehangatan) antara warga dengan pemimpinnya sehingga mampu melampaui sekat-sekat sosial yang ada. Melalui mediasi tokoh, kelompok sosial,forum warga, hingga organisasi masyarakat, gagasan, aspirasi, kritik dan usulan memiliki peluang untuk lebih didengar oleh pengambil kebijakan. Kanal alternatif ini merupakan wujud representasi informal. Apalagi, bagi orang desa, tradisi menyampaikan pendapat lebih banyak dilakukan secara informal. Forum-forum warga yang berakar dari lokalitas tradisi acapkali menjadi arena informal yang efektif bagi warga dalam mencurahkan gagasan, menyampaikan aspirasi, bahkan menjadi media menyampaikan kritik. Di tingkat desa, representasi informal acapkali bekerja secara kritis mengangkat isu-isu yang lekat dengan tema kehidupan sehari-hari warga desa seperti kemiskinan, perjuangan agraria, hak kelompok rentan dan kaum marjinal hingga sumber penghidupan alternatif warga. Oleh karena itu, muncul kebutuhan untuk merekognisi (mengakui) keberadaan lembaga- 80 MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA lembaga lokal yang sejatinya memiliki akar tradisi yang menyejarah sebagai representasi alternatif guna memperkuat dan menambah daya peran dan fungsi BPD. Corak Representasi Informal Sejalan dengan pandangan tersebut, temuan umum dalam kajian ini juga menguatkan pendapat tersebut. Kajian ini menemukan representasi informal justru menjadi tumpuan warga manakala terjadi kemacetan komunikasi antara pemerintah desa dengan warganya. Namun demikian, selain dapat dibaca sebagai peluang, representasi informal juga menemukan tantangannya sekaligus batasbatasnya. Tantangan tersebut berupa lembaga representasi informal berwatak parokial yang belum mampu menembus sekat-sekat sosial hingga lemahnya kapasitas membangun aksi kolaborasi, engagement (pelibatan), dan linkage (tautan) yang kuat dengan seluruh pemangku kepentingan desa. Diantara peluang dan tantangan itulah, variasi corak representasi informal menjadi temuan dalam kajian ini. Corak representasi informal berwatak parokial misalnya, ditemu­ kan di Gulon. Melalui forum-forum kelompok keagamaan seperti tahlilan atau yasinan menjadi salah satu ruang untuk membahas permasalahan warga maupun dusun, serta kegiatan-kegiatan desa. Namun, peran lembaga-lembaga lokal ini dalam fungsi representasi di tingkat desa juga belum dapat diandalkan dan berjalan secara maksimal. Di Gulon, terdapat berbagai organisasi sosial masyarakat seperti Muslimat NU, GP Ansor, PKK, kelompok tani, koperasi dan lain sebagainya. Namun, kelompok-kelompok ini berjalan sendirisendiri de­ngan isu atau concern masing-masing, dan belum ada upaya membangun gerakan bersama. Muslimat NU lebih banyak bicara soal “tabungan surga”. PKK lebih banyak mengurus arisan dan kegiatan gotong royong bersih-bersih desa. Tidak mengherankan, karena 81 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL memang PKK lahir di masa Orde Baru, satu-satunya organisasi kaum perempuan lintas agama dan sosial ini juga menghindari percakapan politis. Satu-satunya organisasi di desa yang sudah mulai merespons isu-isu struktural dan politis, semacam transparansi, hanyalah GP Ansor. Namun, hal itu pun masih berlangsung secara sporadis dan temporer. Di luar forum, masyarakat juga menyampaikan aspirasi mereka langsung kepada tokoh-tokoh masyarakat di dusun maunpun di desa. Di Gulon salah satunya, masyarakat menyalurkan aspirasinya lewat tokoh agama dan tokoh masyarakat, misalnya tokoh yang tergolong kharismatik adalah KH. Afifuddin (tokoh agama), Soetrisno (tokoh masyarakat), dan Nurrohman (mantan anggota DPRD Magelang). Namun, keberadaan tokoh-tokoh masyarakat ini belum mampu menjalankan fungsi representasi alternatif karena sebagian dari mereka terlibat dalam politik partisan di desa, juga karena faktor keengganan tertentu tokoh-tokoh tersebut yang tidak ingin mencampuri terlalu jauh domain kerja kepala desa Sedikit berbeda dengan Desa Gulon, meski keluar dari sekatsekat sosial, representasi informal oleh kelompok keagamaan di Ringinrejo belum mampu mendorong terbukanya ruang deliberasi. Memang dalam pertemuan yasinan, tidak hanya mendiskusikan tema keagamaan tetapi juga membahas berbagai hal tekait desa termasuk agenda dusun maupun desa terdekat. Namun, sayangnya bentuk komunikasi yang terjadi masih lebih banyak berwujud sosialisasi satu arah dari pemerintah desa dibanding ruang berpendapat dan menyampaikan gagasan yang benar-benar deliberatif. Meski demikian, kanal alternatif di Ringinrejo justru ditemukan pada forumforum warga di tingkat RT dan kelompok sektoral yaitu kelompok tani. Pertemuan RT menjadi ruang mendiskusikan kebijakan yang paling menjangkau masyarakat terbawah di Desa Ringinrejo. Dalam 82 MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA pertemuan RT tersebut warga bebas menyampaikan apa keluhan dan asprasinya terkait pembangunan desa tanpa batasan status sosial. Aspirasi yang terkumpul kemudian dibawa ke level desa oleh ketua RT untuk selanjutnya diusung ke level desa. Selain itu, kelompok tani di Ringinharjo menjadi kanal informal yang efektif dalam perjuangan klaim lahan perusahaan yang dipergunakan untuk lahan pertanian warga. Corak perwakilan informal yang berbeda terjadi di Punjulharjo dimana terjadi relasi lembaga formal dan lembaga informal desa yang dihubungkan dengan praktik rangkap jabatan oleh pemerintah desa.48 Sumber daya manusia di desa Punjulharjo yang terbatas, membuat perangkat desa merangkap menjadi pengurus dalam beberapa lembaga kemasyarakatan informal. Alasan mereka ikut dalam beberapa organisasi, karena aspirasi warga pada umumnya bisa diakomodasi melalui beberapa kelembagaan desa dimana aspirasi lebih efektif penyampaiannya jika melalui saluran informal. Dapat dikatakan bahwa medan aksi masyarakat desa Punjulharjo cukup efektif karena banyak saluran yang bisa digunakan untuk menyampaikan aspirasi. Apalagi Kades juga tidak sulit untuk ditemui. Meski demikian lembaga-lembaga informal ini belum sepenuhnya mampu mewadahi kelompok-kelompok rentan. Ada pula desa dengan corak representasi informal yang lekat dengan ciri komunitarian seperti di Desa Ngadisari dan Mekarjaya. Di Desa Ngadisari, komunitarianisme representasi informal kental dengan pranata adat Tengger. Pemerintah desa memiliki inovasi kultural yang dikenal sebagai Safari Wulan Kapitu dan Rembug Desa. Safari Wulan Kapitu menjadi ajang dalam proses perencanaan desa. Dalam kegiatan ini, kepala desa beserta perangkatnya berkeliling ke 21 48 Di Punjulharjo terdapat lembaga kemasyarakatan seperti kelompok gotong royong, LPMD/ LPMK, Karang Taruna, kelompok tani/nelayan, kelompok keagamaan, dan organisasi perempuan, BUMDes, BP KJB dan BP SPAMS. 83 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL RT pada malam hari di bulan ketujuh dalam penanggalan Tengger.49 Forum tersebut melibatkan hampir semua warga masyarakat, termasuk para perangkat desa. Telah menjadi tradisi bahwa ritual publik dan ritual domestik menyerap tenaga dan sumberdaya yang besar di desa, sehingga tidak mengherankan melibatkan seluruh warga. Dalam forum ini pula, masyarakat baik laki-laki dan perempuan menyampaikan usulan-usulan program yang akan dijalankan dan pemerintah desa menyampaikan program-program prioritas desa. Sedangkan tradisi rembug desa telah dilakukan jauh sebelum UU Desa mengamanatkan adanya musyawarah desa (musdes). Kepala desa (petinggi) memberikan laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat desa secara langsung dalam forum rembug desa tersebut. Ini telah dilakukan sebelum UU Desa mengatur adanya mekanisme pertanggungjawaban ke atas (Bupati/Walikota) dan ke bawah (masyarakat). Rembug desa di akhir tahun tersebut mengundang seluruh kepala keluarga yang berjumlah 500-an orang di Balai Desa Ngadisari. Bagi masyarakat Tengger Ngadisari, partisipasi mereka dalam musyawarah atau rembug desa merupakan bentuk kepatuhan (setuhu) masyarakat kepada pemerintah yang berangkat dari filosofi bekti ning guru papat. Dalam konteks tertentu, kepatuhan ini membentuk prinsip patuh pada aturan main (rule of law) yang menjadi salah satu nilai demokrasi substantif.50 Sementara di Mekarjaya, representasi informal tercermin dari 49 Wulan Kapitu dipilih karena di bulan ini masyarakat Tengger tidak menyelenggarakan ritual publik yang berkaitan dengan siklus kehidupan, seperti pernikahan, khitanan, dan slametan lainnya serta hanya berfokus menjalankan ibadah puasa mutih (megeng). 50 Sebelum adanya UU Desa, praktik rembug desa Tengger ini dilaksanakan pada bulan Desember pada saat penyampaian laporan pertanggungjawaban kepala desa dan musrenbang lebih dilihat sebagai bentuk formal dari praktik musyawarah ala masyarakat Tengger. Setuhu ini juga nampak dari kepatuhan masyarakat Ngadisari dalam membayar pajak secara tepat waktu. 84 MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA tradisi aktivitas rutin gotong-royong. Bagi warga Mekarjaya, gotongroyong menjadi medium penyampaian gagasan, aspirasi, hingga kritik warga terhadap pemerintah desa. Gotong-royong, sekaligus menjadi forum deliberasi, dimana isu-isu publik dibincangkan mulai dari pembangunan lapangan bola, pembangunan jalan, pengembangan pertanian organic, rencana menghidupkan lumbung pangan, pelayanan KTP, hingga peraturan desa tentang Gotong Royong. Cerita munculnya aspirasi warga yang disampaikan di lokasi gotong royong di Mekarjaya, ternyata membuktikan bahwa gotong royong bisa menjadi forum deliberasi desa. Hanya saja, Mekarjaya belum membuat perangkat yang dapat menghubungkan proses demokrasi informal di forum gotong royong ke dalam ranah formal seperti dalam proses perencanaan pembangunan, penganggaran, pengelolaan pemerintahan, dan pelayanan publik. Variasi corak representasi informal berbasis isu ditunjukkan dalam kasus Desa Sidorejo. Dalam hal ini, representasi informal di Sidorejo diwadahi oleh kelompok difabel yang mengusung isu inklusi. Adalah Forum Difabel Sidorejo (FDS), lembaga yang dibentuk warga kemudian menjadi penggerak untuk mengadvokasi pembentukan desa inklusi di Desa Sidorejo. Melalui FDS, kelompok rentan difabel ak­ hirnya berhasil menyalurkan aspirasinya kepada pihak desa. FDS juga memilki memiliki kapasitas dalam membangun pelibatan pemangku kepentingan desa dalam isu inklusi. Selain itu, FDS memiliki kapasitas dalam membangun jejaring hingga ke luar desa, termasuk dengan organisasi non pemerintah yang corncern pada isu Difabel. Sayangnya spirit inklusi (terbuka) belum mampu membuka kanal-kanal alternatif lain, seperti kelompok rentan lainnya (perempuan, anak-anak) dan kelompok sektoral (petani, peternak dan pengrajin). Label desa inklusi di Sidorejo, pada saat bersamaan justru menciptakan jebakan eksklusi (meminggirkan) kelompok-kelompok sosial warga yang lain. 85 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Di Cangkudu, corak representasi informal diwarnai dengan lemahnya kapasitas lembaga –lembaga informal dalam memerankan dirinya sebagai lembaga representasi sekaligus dalam membangun kolaborasi dengan lembaga-lembaga formal. Kanal representasi informal di Cangkudu biasanya melalui perwakilan RT, RW atau tokoh masyarakat untuk disampaikan dalam forum-forum formal seperti musrenbang ataupun musyawarah desa. Biasanya forumforum tersebut dihadiri oleh, perangkat desa, anggota BPD, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan tokoh agama yang diundang secara resmi oleh pihak BPD. Namun demikian forum-forum tersebut bergerak dalam nalar normatif yang mendudukan pembahasan agenda desa sebagai rutinitas formal saja (business as usual) tanpa melibatkan partisipasi publik yang lebih dalam. Dalam pandangan warga, muncul semacam krisis kepercayaan terhadap pemerintah desa dan lembaga representasi politik warga seperti BPD serta tokoh. Ketidakmampuan BPD menyerap aspirasi warga Di Desa Cang­ kudu mendorong tumbuhnya LSM ataupun organisasi masya­rakat sebagai dampak dari kehadiran industri dan dinamika politik lokal. Organisasi lokal tersebut memang berperan dalam pendampingan mana­­kala warga menghadapi kasus pencemaran limbah industri. Saat menghadapi masalah tersebut, LSM dan warga memilih cara yang paling efektif yakni menggertak pabrik untuk mau mengabulkan tuntutan warga yang terkena dampak lingkungan akibat polusi pabrik. Namun demikian, organisasi–organisasi ini juga rentan terjebak kepentingan ekonomi politik organisasi sendiri, ketimbang membuka ruang-ruang deliberasi warga.51 Situasi tersebut menggambarkan adanya diskoneksi (keterputusan) representasi antara yang formal dan informal. Hal itu juga disumbang dengan adanya faktor kepemimpinan 51 Konteks di Cangkudu memperlihatkan bekerjanya politik kaum Jawara. 86 MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA kepala desa yang gagal melakukan pelibatan (engagement) warga dalam agenda-agenda publik desa. Meski mengusung spirit good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) yang diterjemahkan dalam tema reformasi birokrasi, pemerintah desa tampak abai terhadap spirit partisipatoris yang menjadi elemen pokok dalam good governance. Dari sisi pelayanan administrasi, memang terdapat perubahan yang dirasakan warga. Pemerintah desa tampaknya lebih mendudukkan warga hanya sebatas konsumen atau penerima layanan yang pasif dan bukan sebagai warga negara aktif (active citizen) dimana warga berhak berpartisipasi dalam agenda-agenda publik. Dengan demikian, reformasi birokrasi di Cangkudu hanya melayani dirinya sendiri. Cerita positif tentang representasi informal datang dari Desa Nglanggeran dan Umbulharjo. Di Nglanggeran, kanal alternatif justru diperankan oleh Pokdarwis yang dimotori kelompok pemuda. Pokdarwis Nglanggeran memiliki kapasitas kolaboratif dengan menggandeng BPD dan pemerintah desa dalam mengembangkan situs gunung api purba sebagai desa wisata. Pokdarwis juga mengembangkan kola­borasi dengan kelompok-kelompok warga lainnya. Serta jejaring de­ngan lembaga-lembaga di luar desa. Kelahiran Pokdarwis sendiri lahir dari setting sosial-kultural masyarakat yang nyengkuyung (hidup rukun dalam harmoni atau guyub). Keguyuban tersebut salah satunya ditopang oleh adanya forum-forum warga baik yang berbasis kewilayahan maupun sektoral.52 Dalam forum warga yang biasanya juga digunakan untuk kegiatan arisan dan simpan-pinjam itu, telah mampu memberikan ruang publik yang kondusif bagi berkembangnya demokrasi lokal. Forum-forum warga mampu memberikan ruang bagi warga untuk menyampaikan dan mendiskusikan segala gagasan secara kekeluargaan. Dari situ pula, inisiatif warga Nglanggeran berkembang 52 Forum-forum kewilayanan misalnya, forum tingkat dusun dan forum tingkat RT dengan namanya masing-masing yang biasanya sesuai dengan nama hari penanggalan Jawa (selapanan), serta forum-forum sektoral seperti forum Gabungan kelompok tani (Gapoktan). 87 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL dengan baik, sehingga warga Nglanggeran terasah kreativitasnya. Sedangkan di Umbulharjo, forum-forum informal warga benarbenar hadir sebagai penopang bagi kinerja perwakilan BPD sebagai representasi formal desa maupun pemerintah desa. Masyarakat meman­­faat­kan bentuk-bentuk forum informal berbasis kewilayahan seperti rapat RT, rapat dusun, pertemuan yasinan, dan bahkan menyam­ paikan aspirasinya secara langsung dan informal kepada BPD dan kepala desa dan perangkat desa. Dalam forum-forum itu, musyawarah masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat dalam memecahkan masalah atau mengambil keputusan. Di samping itu, BPD sebagai lembaga perwakilan benar-benar menjalankan fungsi representasinya menjadi jembatan antara pemerintah desa dengan warga. Terlepas dari hal itu BPD belum cukup mewakili aspirasi warga dan kelompok-kelompok warga. Hal ini disebabkan luasnya wilayah desa dan kompleksnya permasalahan yang ada di desa sehingga anggota BPD tidak dapat memotret seluruh permasalahan. Dalam hal ini, masih terdapat kanal-kanal alternatif yang belum disentuh BPD terutama lembaga kemasyarakatan sektoral (petani, peternak sapi, perempuan, dan sebagainya). Pada titik ini corak representasi alternatif di Umbulharjo, memiliki kapasitas kolaboratif dengan lembaga-lembaga formal desa, meski masih berbasis kewilayahan. Gambaran ideal ditunjukkan dengan praktik representasi informal di Desa Panggungharjo. Lembaga-lembaga informal warga memiliki kapasitas konsolidasi, pelibatan (engagement) serta kapasitas kola­borasi sekaligus. Lembaga berbasis kewilayahan seperti RT dan dusun di Pangungharjo. Hal ini dapat dilihat dari adanya sejumlah 118 RT di seluruh Desa Panggungharjo yang terorganisasi di dalam satu perkumpulan dengan nama Pakarti (perkumpulan ketua RT).53 Di tingkat RT, warga aktif melakukan pertemuan baik yang bersifat 53 Kepengurusan Pakarti diambil dari masing-masing pedukuhan sebanyak dua orang. 88 MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA bulanan ataupun pada saat menyiapkan momentum tertentu.54 Setiap perencanaan pembangunan yang digelar pemerintah desa, terlebih dahulu warga melakukan rembug bersama di tingkat RT untuk merumuskan kebutuhan apa yang penting diprogramkan. Setelah pembahasan selesai, selanjutnya usulan tersebut disampaikan ke desa melalui dukuh masing-masing. Tidak hanya selesai di dukuh, forum yang lebih besar sebelum pelaksanaan Musyawarah Desa juga digelar oleh Pakarti untuk melakukan konsolidasi. Sementara Kepala Dukuh terfasilitasi di dalam Paguyuban Kepala Dukuh (Pandu). Antar dua lembaga ini, baik Pakarti dan Pandu tidak saling tumpang tindih dan menjalankan fungsi koordinasi yang tertata dengan baik. Dengan adanya dua lembaga ini warga memiliki banyak kanal aspirasi sekaligus informasi atau program dari desa bisa cepat diketahui oleh warga. Selain berbasis kewilayahan, warga juga memiliki kekayaan beragam komunitas kewargaan desa, seperti komunitas seni, budaya, kuliner, obat tradisional, perawatan warisan budaya (heritige), kerajinan dan kriya sejauh ini saling berinteraksi secara inklusif tanpa menciptakan sekat-sekat sosial, sebaliknya mendorong adanya pembauran sosial. Mereka semua memperoleh akses yang sama di memberikan masukan perihal pembangunan desa kepada pemerintah desa melalui RT dan Dukuh. D. SIMPUL WACANA Hari ini muncul gejala menguatnya kesadaran masyarakat desa mengenai isu-isu publik makin menguat. Situasi ini ditunjukkan de­ ngan berbagai pengalaman tentang meningkatnya kesadaran warga desa terhadap masalah-masalah keseharian sebagai masalah publik. Isu pendidikan, kesehatan, lingkungan, pemberdayaan ekonomi dan 54Seperti pitulasan (memperingati hari Kemerdekaan RI), lomba kesenian, persiapan acara hari besar Islam, pementasan budaya, dan lainnya. 89 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL sejenisnya makin dibincangkan dalam arena warga. Namun demikian, tidak mudah bagi warga untuk membawa perbincangan sehari-hari tersebut menjadi isu kebijakan di level desa yang disebabkan oleh tersendatnya jalur representasi formal oleh BPD. Memang, praktikpraktik lokal desa telah menunjukkan betapi inisiasi dan penguatan lembaga representasi mulai tumbuh, paling tidak secara formal paska terbitnya UU Desa. Disadari betul bahwa representasi formal oleh lembaga-lembaga formal desa belum sepenuhnya mampu menjadi kanal yang handal dalam mengawal aspirasi warga. Kondisi tersebut dibentuk oleh tiga faktor yakni: pertama, keterbatasan representasi oleh BPD ini sesungguhnya berakar dari nalar normatif dan formalistik dalam mengelola keragaman kehendak warganya. Pada titik ini, aspirasi warga hanya ditempatkan input (masukan) semata dalam arena pengambilan kebijakan, tanpa mampu mendorong terbukanya ruang-ruang deliberasi desa. Pada gilirannya, banyak kepentingan warga yang tidak mendapat tempat untuk disuarakan, terdengar samar-­samar, bahkan nyaris tak terdengar gaungnya. Kedua, pada saat yang sama, BPD sebagai lembaga representasi formal juga dihinggapi dengan persoalan di dalam dirinya sendiri yakni problem kapasitas kelembagaan terutama soal kemampuan teknokratik. Disamping itu, problem kapasitas juga disumbang oleh lemahnya kesadaran politik para wakil warga itu dalam menjalankan misi penguatan partisipasi dalam demokrasi, menyangkut pengambilan keputusan strategis. Ketiga, kultur patronase, corak patriarkhi dan feodalisme dalam kadar tertentu masih menjadi tantangan serius yang harus dijawab dalam menjalankan misi transformasi demokrasi desa. Problem ini dengan berbagai wajahnya telah mendistorsi ruang penyam­paian kepentingan warga yang semakin inklusif (terbuka) di desa. Alhasil, jejak-jejak keterwakilan BPD semakin samar dan tak dapat direkam dengan baik oleh warga. 90 MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA Sesungguhnya terdapat kanal representasi yang lahir dari inisiasi warga dalam bentuk forum-forum warga dan kelompok-kelompok kemasyarakatan. Lembaga yang lahir dan tumbuh dari tradisi lokal yang menyejarah itu sesungguhnya menjadi kekayaan desa yang berharga. Kanal Representasi informal ini menyimpan kekuatan luar biasa yakni sifatnya yang luwes, adaptif, serta menyediakan intimasi sehingga melampaui sekat-sekat sosial antara warga dan pemimpinnya. Sa­yangnya, kekayaan berupa modal sosial itu, belum didayagunakan secara memadai sebagai kanal alternatif yang mampu memperkuat proses deliberasi desa. Hadirnya saluran-saluran informal nampaknya perlu dipertimbangkan sebagai alternatif menambal keterbatasan jalur kelembagaan formal dan sekaligus sebagai penopang bekerjanya demokrasi yang melayani kepentingan warga. Dalam konteks ter­ sebut, di masa mendatang perlu kiranya menghidupkan kembali dan merawat lembaga-lembaga informal itu melalui rekoginisi (pengakuan) terhadap lembaga-lembaga informal yang ada sebagai kekayaan dalam membangun tradisi berdesa. 91 Desa Ngadisari dengan kom sayuran kentang-kubis-dan bawang di lereng-lereng pe moditas daun erbukitan Lahan Pertanian di Desa Ngadisari dengan tanaman sayuran, kentang, kubis, dan daun bawang di lerenglereng perbukitan Gotong royong pembangunan Lapangan Sepak Bola Desa Mekarjaya BAB 4 Inisiatif Warga Dalam Ruang Demokrasi Desa A. Inisiatif Warga: Penguatan Delibrasi Demokrasi Desa Dikenal sebagai kawasan Geo Park yang telah diakui UNESCO, membuat situs Gunung Api Purba Desa Nglanggeran Kabupaten Gunung Kidul menjadi salah satu destinasi wisata baru terpopuler bagi wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta. Keberhasilan meraih berbagai prestasi nasional hingga bertaraf internasional yang disematkan di desa wisata tersebut, tak lepas dari prakarsa aktif warga Nglanggeran yang dimotori kelompok pemuda desa setempat. Awalnya kelompok pemuda yang tergabung dalam organisasi karang taruna di beberapa dusun bersepakat untuk mengembangkan eko wisata berbasis masyarakat dengan membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Dalam perkembangannya, Pokdarwis berhasil mengubah warga menjadi lebih peka terhadap persoalan lingkungan hidup, merevitalisasi dan mengembangkan kearifan lokal, serta mengembangkan sumber-sumber penghidupan melalui fasilitasi pengembangan desa wisata berwawasan lingkungan. DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Kunci keberhasilan Pokdarwis Nglanggeran terletak pada kemauan melakukan engagement (pelibatan) berbagai pihak dalam mengem­ bangkan desa wisata. Kapasitas engagement yang dibangun dari kearifan lokal tersebut menjadikan Pokdarwis memiliki daya lenting menghadapi segala macam tantangan dan persoalan dalam mengembang­kan usaha ekonomi kreatif tersebut. Cerita sukses dari desa Nglanggeran ini merupakan satu dari ragam narasi tentang dinamika inisiatif warga dalam mengawal pe­ ngelolaan desa yang disuguhkan dalam bab ini. Bersama dengan narasi dari sembilan desa lainnya, cerita dari Nglanggeran merupakan ikhtiar menghadirkan demokrasi substantif pada aras desa yang bertumpu pada prakarsa warga. Keterlibatan warga desa dalam pengelolaan pemerintahan desa, merupakan kata kunci yang seharusnya menjadi peluang sekaligus menyediakan tantangan dalam mendorong tumbuh kembangnya demokrasi subtantif pada aras desa. Kehadiran demo­ krasi subtantif ditandai dengan adanya demokrasi deliberatif yang mewujud dalam bentuk ruang publik (public sphere)55. Tanpa keberadaan ruang publik dan partisipasi masyarakat sipil dalam proses formulasi kebijakan, berarti demokrasi tidak akan memiliki makna bagi masyarakat desa. Ringkasnya, keberadaan ruang publik sangatlah menentukan bagaimana demokrasi deliberatif tersebut berjalan (Piliang, 2005:3). Perspektif demokrasi deliberatif sejatinya merupakan“roh” atau “nyawa” dari Undang-Undang Desa yang ditunjukkan dalam Pasal 54 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menyatakan dengan jelas tentang musyawarah desa sebagai suatu forum deliberasi 55 Pengertian ruang publik (Public Sphere) mengacu pada pendapat Jurgen Habermas dalam buku The Structural Transformation of the Public Sphere, yang memaknainya sebagai sebuah ruang bagi otoritas publik dalam sistem demokrasi di mana negara tidak memiliki otoritas terhadap domain atau arena publik. Keberadaan ruang publik (public sphere) sebagai suatu arena berbagai kepentingan publik bertemu yang di dalamnya membentuk otoritas publik (public authority) dan partisipasi masyarakat sipil dalam proses formulasi kebijakan. 96 MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA tertinggi untuk membahas dan memutuskan hal-hal bersifat strategis di desa. Jika dikaji lebih dalam, semangat dan nyawa dari undangundang Desa ini tidaklah sekedar mewujudkan otonomi desa melalui pemberian otoritas kepada pemerintah desa. Desa bukan lagi se­kedar local state government (pemerintahan lokal ala negara) semata tapi merupakan bentuk pemerintahan komunitas atau hybrid antara self go­ verning community dan local self government (Zaini, 2015 : 9). Artinya, pemerintah desa tidak semata-mata berperan sebagai pemerintahan lokal tapi juga harus merepresentasikan keterlibatan komunitas warga dalam pengelolaan pemerintahan desa. Model demokrasi deli­beratif inilah yang dijadikan basis bagi tumbuh kembangnya demokrasi subs­ tantif pada aras desa. Dalam wacana demokrasi, corak semacam ini dimasukkan dalam kategori demokrasi komunitarian yang memiliki akar historis dalam budaya masyarakat desa di Indonesia dalam bentuk tradisi musyawarah (IRE, 2003). Hasil penelitian yang dilakukan IRE (2012), menunjukkan bahwa di desa-desa yang bertumpu pada kekuatan masyarakat sipilnya dalam bentuk inisiatif-inisiatif warga, mampu menjadikan perkembangan demokrasi menjadi lebih bermakna. Seperti yang terjadi di Lombok Barat bagaimana inisiatif warga dalam bentuk Community Centre (CC) yang mampu melakukan advokasi terkait perbaikan pelayanan publik di desa dan sekaligus mendorong pemerintah desa untuk memberikan perlindungan terhadap calon TKI. Demikian pula kisah yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul, tradisi gugur gunung (gotong royong) yang menjadi forum penting di luar forum formal musyawarah desa dan dalam tradisi tersebut, masyarakat tidak hanya sekadar berkumpul menyelesaikan pekerjaan bersama, namun juga sekaligus membangun interaksi solidaritas dan memupuk modal sosial. Tumbuhnya inisiatif warga desa dalam arena demokrasi desa ini merupakan pertanda baik bagi berseminya gerakan sosial para aras desa yang akan menjadi “pupuk” dan “nutrisi” bagi bertumbuhkembangnya 97 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL demokrasi yang subtantif. Sebagaimana mengacu pada pendapat Habermas, Offe, McLucci dan Nash dalam Darmawan (2006: 8) yang menyatakan bahwa gerakan sosial merupakan sebuah ruang antara (intermediary space) yang menjembatani kepentingan masyarakat sipil dengan negara dan merupakan suatu sumber bagi proses penguatan demokrasi terutama dalam menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin kompleks. Meskipun demikian, pada kenyataannya belum semua desa mampu memaknai UU Desa tersebut terkait dengan pentingnya membangun demokrasi deliberatif dan sekaligus menangkap peluang yang diberikan oleh UU Desa tersebut dalam kerangka mendorong tumbuhkembangnya inisiatif dan partisipasi warga dalam proses pembangunan desa. Oleh sebab itu, realitas tersebut menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji yang memunculkan pertanyaan: bagaimana praktik-praktik inisiatif warga dan partisipasi aktif warga bekerja dalam konteks arena demokrasi lokal terutama terkait dengan urusanurusan strategis desa, mulai dari proses agenda setting kebijakan, formulasi kebijakan, implementasi hingga evaluasi kebijakan pada aras desa? Memotret dan menyelami permasalahan terkait inisiatif warga desa inilah yang akan diulas dalam bab ini. Hasil studi kasus di 10 desa menunjukkan cerita insiatif warga yang dapat dijadikan contoh baik dalam konteks bekerjanya model demokrasi deliberatif. Namun di sisi lain, studi ini juga menyuguhkan kisah-kisah tentang minimnya atau betapa pasifnya insiatif warga dalam ruang demokrasi desa yang cenderung hanya dimaknai sebagai demokrasi yang bersifat formal-prosedural semata. Sebagai sebuah proses penghimpunan pengetahuan terkait inisiatif warga dalam praktik-praktik demokrasi lokal yang tengah bergulir pada aras desa, hasil studi ini dapat menjadi proses pembelajaran bersama dan memberikan secercah harapan bagi tumbuh kembangnya inisiatif warga dalam ruang demokrasi desa. 98 B. Dinamika Inisiatif Warga dalam Ruang Demokrasi Desa Pentingnya inisiatif warga sebagai warga negara aktif (active citizen) dalam mendorong tumbuhnya akuntabilitas dan transparansi pada proses pengelolaan desa merupakan suatu keharusan dan kondisi ideal yang diamanatkan dalam UU Desa. Kondisi ideal tersebut merupakan suatu peluang namun sekaligus tantangan dalam kerangka membangun demokrasi subtantif pada aras desa. Gambaran ideal terkait bagaimana inisiatif warga memberikan kontribusi yang signifikan dalam ruang demokrasi desa dideskrisipkan dari beberapa temuan lapangan dalam penelitian ini. Meskipun di sisi lain, hasil studi kasus juga menunjukkan masih adanya gejala minimnya inisiatif warga desa atau bahkan dapat dikatakan pasif dalam merespon isu-isu publik yang tengah terjadi di desa dan memanfaatkan ruang demokrasi desa untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Kisah-kisah berikut ini akan bertutur tentang bagaimana dinamika warga desa dalam merespon isu-isu publik yang terjadi di desa dan bagaimana warga memanfaatkan ruang demokrasi desa tersebut dengan berbagai ragam corak atau karakter pemerintahan desa yang menjadi lokasi penelitian. Dalam setiap kisah pasti terdapat isu yang menjadi pemicu munculnya inisiatif warga, aktor yang berperan, rangkaian proses yang dilalui, serta respon pemerintahan desa ter­ hadap inisiatif tersebut. Inisiatif warga muncul saat ada kepentingan bersama hingga membutuhkan aksi kolektif untuk memenuhinya. Salah satu isu publik yang krusial yang banyak terjadi di desa wilayah penelitian adalah pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam untuk peningkatan kesejahteraan menjadi isu publik. Sehingga isu ini selalu menjadi perbincangan dan sorotan warga desa. Pada titik inilah kapasitas inisiatif warga diuji: seberapa jauh prakarsa warga dapat menjangkau semua pemangku kepentingan untuk membangun aksi kolaboratif, atau justru menghasilkan kemandegan dan fragmentasi. 99 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Inisiatif Warga Berbuah Aksi Kolaboratif Keberlanjutan Inisiatif warga pada beragam cerita di bab ini sangat ditentukan oleh kapasitas warga untuk melibatkan beragam pemangku kepentingan agar terlibat dalam perjuangan agenda publik yang diusulkan warga. Kapasitas tersebut ditandai dengan adanya hadirnya aksi kolaboratif yang diinisiasi warga. Kondisi tersebut tergambar dengan baik melalui pengalaman warga Desa Nglanggeran dan Sidorejo. Sedikit berbeda, pengalaman Desa Panggungharjo, Umbulharjo, Punjulharjo, dan Mekar Jaya, inisiatif warga tampak menguat karena kuatnya dorongan dan berjalan beriringan dengan kemauan pemerintah desa yang responsif dalam membuka ruangruang publik desa. Dorongan tersebut mewujud dalam berbagai inovasi pemerintah desa, sehingga menyediakan habitus yang subur bagi berseminya inisiatif warga. Sebagaimana telah sedikit dipaparkan sebagai pembuka bab ini, Desa Nglanggeran, Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunungkidul memiliki pengalaman sangat menarik dalam dinamika inisiatif warga untuk pengelolaan sumberdaya alam. Pengembangan aset lokal berupa gunung api purba menjadi desa wisata merupakan isu publik yang cepat menjadi perhatian warga seiring perkembangan Gunung Kidul sebagai destinasi wisata alternatif di Daerah Istimewa Yogyakarta yang digerakkan kaum muda Nglanggeran. Pada tahun 1999 dan era sebelumnya, kelompok pemuda desa masih terpecahpecah dalam wadah karang taruna di dusun masing-masing. Dalam situasi perekonomian desa yang masih “minus”, sarana dan saluran komunikasi yang terbatas, keadaan tersebut menjadi rentan konflik ketika musim kompetisi antar dusun pada musim perayaan 17an berlangsung.56 Selain itu, kondisi warga yang masih tertekan 56 Saat itu, sering terjadi pertikaian atar kelompok pemuda dusun, terutama di Dusun Nglanggeran Kulon, Nglanggeran Wetan, dan Gunung Butak, yang dipicu aksi saling ejek saat pertandingan olah-raga antar dusun berlangsung. 100 INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA kemiskinan, mendorong mereka merantau ke luar daerah, bahkan hingga mengadu nasib ke luar negeri sebagai TKI, misalnya di Korea dan Taiwan. Melihat situasi yang tidak produktif tersebut, beberapa aktivis pemuda berinisiatif menyatukan kelompok pemuda di tiga dusun menjadi satu wadah bersama, guna memperkenalkan kegiatankegiatan kepemudaan bersama yang positif. Ide tersebut, ketika dikomunikasikan kepada Hartono, kepala desa saat itu, dan langsung disetujui. Kades Hartono sangat mendukung gagasan itu, dan dia juga punya keinginan untuk mewujudkan lahirnya desa wisata, yang saat itu mulai banyak bermunculan di desa-desa di Kabupaten Gunung Kidul. Selanjutnya dibentuklah Karang Taruna “Bukit Putra Mandiri” yang mewakili seluruh organisasi kepemudaan Desa Nglanggeran. Kekompakan pemuda tersebut meningkatkan kepercayaan peme­ rintah desa terhadap kegiatan mereka. Karena itu pula, melalui Kades Hartono, Pemerintah Desa tidak ragu mendukung upaya kelompok pemuda tersebut, dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Kepala Desa Nglanggeran Nomor 05/KPTS/1999, tertanggal 12 Mei 1999. SK Kades tersebut mengukuhkan kepercayaan desa dengan memberikan kewenangan kepada karang taruna untuk mengelola situs gunung api purba, yang luasnya kurang lebih 48 hektar untuk kepentingan pengembangan desa wisata. Karang Taruna “Bukit Putra Mandiri” memperluas jangkauan pembahasan pengelolaan situs gunung api purba dengan melibatkan seluruh warga, termasuk para orang tua, dengan memanafaatkan forum Selasa-Kliwonan. Melalui forum ini bisa dibentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) pengelola gunung api purba, dengan struktur organisasi terdiri dari unsur pemerintah desa, BPD, tokoh masyarakat, pemuda, perempuan, kelompok tani, kelompok ternak, pedagang, dan juga warga biasa. Keberadaan perwakilan hampir dari seluruh lapisan masyarakat desa ini, memudahkan Pokdarwis dalam 101 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL berinteraksi baik dengan pemerintahan desa maupun dengan segenap lapisan masyarakat. Interaksi antaraktor ini terjadi dalam upaya pengembangan usaha ekonomi kreatif dalam menyelesaikan pro­ blem, terutama konflik, baik yang diselesaikan secara formal maupun informal kepada pemerintahan desa dan para tokoh masyarakat. Selain forum Selasa-Kliwonan yang berisi kegiatan arisan dan sharing informasi dan pengusulan ide dan pemecahan masalah jika ada masalah organisasi, Pokdarwis juga mengembangkan ruang konsolidasi organisasi dan antarwarga. Forum tersebut antara lain: (1) Forum Malam Rabu (forum sharing mingguan); (2) Forum pengajian Jumat-Kliwonan (forum pengajian dan sharing informasi dan diskusi pemecahan masalah); dan (3) Forum informal untuk koordinasi yang sifatnya bisa insidental dan sering dilakukan harian. Forum ini juga memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dengan menggunakan fasilitas internet, termasuk group WA dan BBM. Melalui forum-forum yang dilakukan, Pokdarwis telah berhasil merumuskan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepenti­ ngan desa wisata Nglanggeran dengan tetap memperhatikan kepentingan lainnya yang lebih luas. Sebagai contoh, Pokdarwis menetapkan honorarium harian tim lapangan yang besarannya tidak boleh melebihi upah harian buruh batu di Nglanggeran, maksimal sama dengan upah harian tukang batu. Hal ini dimaksudkan menjaga keseimbangan distribusi pekerjaan di Desa Nglanggeran, sehingga tidak ada kelangkaan tukang batu, yang memang selalu menjadi kebutuhan masyarakat ketika hendak membangun. Selain itu, Pokdarwis juga menjamin distribusi resources yang relatif seimbang dan proporsional dengan membentuk kelompok homestay dan kelompok dagang yang melibatkan warga secara merata. Secara internal, Pokdarwis juga melaporkan keuangan organisasi dalam forum pertemuan rutin anggota. Akuntabilitas organisasi juga 102 INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA diupayakan dengan cara mempekerjakan 3 orang bendahara. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan uang tidak terkonsentrasi pada satu orang saja, agar supaya risiko penyalahgunaan pengelolaan keuangan bisa dikurangi. Mereka meyakini bahwa dominasi satu atau sedikit orang bisa menimbulkan kerentanan organisasi. Inisiatif warga Nglanggeran yang mampu mengembangkan situs gunung api purba hingga terkenal sampai tingkat internasional, bahkan masuk sabagai kawasan geopark yang diakui UNESCO, tidak terlepas dari kondisi lingkungan sosial dan politik yang melatarbelakanginya. Warga Nglanggeran dikenal sebagai masyarakat yang gu­yub dimana harmoni dengan tradisi masih terjaga dengan baik. Kegu­yuban tersebut ditopang oleh adanya forum-forum warga yang telah membuka ruang publik yang kondusif bagi berkembangnya demokrasi lokal. Keberadaan Kades yang berasal dari “warga kebanyakan”, dekat dengan warga, terbuka, dan berintegritas mampu melahirkan kepercayaan dan pada gilirannya menyuburkan partisipasi. Karakter kepemimpinan desa yang terbuka, partisipatif dan responsif merupakan kondisi yang makin memungkinkan tumbuh dan berkembangnya inisiatif warga. Kuatnya inisiatif warga yang didukung oleh pemerintah desa terjadi pula di Desa Sidorejo, Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo. Bahkan ada yang khas di desa ini, manakala kaum difabel melakukan gerakan inklusi yang mampu mendorong pemerintah desa untuk mengalokasikan anggarannya bagi program pemberdayaan kaum difabel, yaitu program pembangunan aksesibilitas pelayanan publik bagi kaum difabel.57 Gerakan inklusi yang dilakukan kelompok difabel di Desa Sidorejo telah mampu mendorong perubahan relasi yang signifikan antara pemerintah desa dengan kelompok difabel. 57 Keberhasilan ini yang menjadikan Desa Sidorejo pada tanggal 24-27 Agustus 2016 lalu, menjadi tuan rumah Temu Inklusi Nasional kedua, sebuah gelaran para penyandang disabilitas pada tingkat nasional sekaligus mendeklarasikan Desa Sidorejo kepada publik sebagai Desa Inklusif. 103 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Aktivitas-aktivitas yang diselenggarakan oleh Forum Difabel Sidorejo (FDS) juga dinilai mampu mengubah cara pandang masyarakat Sidorejo terhadap kaum difabel.58 Perkembangan relasi produktif antara kaum difabel dengan masyarakat desa ini menghasilkan program pembangunan aksesibilitas dan pembinaan ekonomi kepada difabel. Fenomena di Sidorejo ini merupakan pembelajaran yang menarik mengingat gerakan kaum difabel di Indonesia sejauh ini masih memiliki sejumlah tantangan fundamental baik ke dalam maupun ke luar. Ke dalam, gerakan difabel masih belum memiliki kesamaan cara pandang terkait persoalan-persoalan yang mereka hadapi sehingga formulasi gerakan belum terumuskan secara kuat. Meskipun demikian, harus diakui bahwa kesadaran kaum difabel mengalami peningkatan pesat seiring dengan semakin banyaknya organisasi difabel di Indonesia. Sedangkan ke luar, organisasi difabel masih belum memiliki jaringan kuat dengan gerakan sosial lainnya. Penerimaan masyarakat pada umumnya terhadap gerakan inipun masih belum terlihat signifikan karena adanya sejumlah faktor, terutama terkait dengan cara pandang masyarakat terhadap difabel (Salim, 2015). Artinya, membangun suatu gerakan yang di dalamnya berisi penyandang disabilitas memiliki tantangan berlipat-lipat jika dibandingkan dengan gerakan yang di dalamnya berisi “orang-orang normal”. Bagi FDS, upaya untuk mengorganisir kaum difabel untuk berhimpun dalam satu wadah gerakan menghadapi sejumlah tantangan yang cukup berat. Secara eksternal mereka berhadapan dengan stigma dari masyarakat yang selama dilekatkan kepada kaum difabel. Berbagai stigma dari masyarakat sampai sekarang ini masih melekat kuat pada kaum difabel. Mereka dianggap sebagai manusia cacat, buta, 58 Salah satu bukti adanya perubahan cara pandang masyarakat dalam melihat kaum difabel terlihat nyata dengan terpilihnya Wahyu Adi Nugroho sebagai salah satu Kepala Dukuh Senden. Nugroho adalah salah satu aktivis difabel yang selama ini aktif menggorganisir dan menggerakkan kaum difabel di Sidorejo. 104 INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA tuli, bisu, tidak bisa berjalan, kerdil, cebol, dan sebagainya. Mereka dianggap tidak normal seperti manusia pada umumnya yang disikapi masyarakat kita dengan perasaan risih.59 Oleh sebab itu sebagian masyarakat lalu meminggirkan kaum difabel dalam gerak dinamika keseharian yang berlangsung di lingkungannya. Berdekatan dengan kaum difabel dikhawatirkan akan membuat mereka yang normal akan tertulari ‘dosa’ yang diidap kaum difabel. Sementara, secara internal para penyandang disabilitas tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengorganisir diri dan melakukan sesuatu secara bersama-sama. Jika ditelusuri kembali naskah-naskah lama dan realitas hubungan yang terbangun antara orang difabel dengan kekuasaan, terdapat relasi yang bersifat unik dan eksotik. Berbagai cerita masa lalu yang terekam dalam naskah-naskah sejarah Jawa menunjukkan kaum difabel atau disebut sebagai abdi polowijan memiliki posisi yang khusus di hadapan raja. Ada diantara mereka yang dianggap sebagai klangenan raja atau abdi dalem kesayangan raja (Janutama, 2015).60 Tidak jarang mereka juga dianggap sebagai manusia yang memiliki daya linuwih, memiliki kemampuan lebih dibandingkan manusia kebanyakan dalam banyak hal.61 Posisi yang demikian tentu berbeda dengan cara pandang manusia modern. Cara pandang modernis melihat kesempurnaan adalah yang utama, yang baik adalah yang sempurna. Sementara yang cacat adalah buruk karena dianggap tidak sempurna. Cara pandang manusia modern inilah yang melingkupi sebagian besar kita dalam memandang difabel. 59 Bahkan, sebagian masyarakat ada yang memandang difabel sebagai kelompok masyarakat yang diliputi dosa. Cacat dianggap sebagai semacam kutukan yang mesti mereka terima karena kesalahan yang pernah dilakukan keluarganya atau kesalahan-kesalahan yang pernah mereka lakukan di masa lalu. 60 Polowijan adalah istilah untuk menyebut bagian masyarakat tradisional yang menyandang cacat atau difabel. 61 Kadangkala polowijan diposisikan raja sebagai penasehat spiritual serta memimpin kegiatankegiatan laku spiritual tertentu. 105 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Bagi aktivis yang selama ini melakukan kerja-kerja advokasi kelompok difabel, mengubah cara pandang masyarakat kebanyakan terhadap kaum difabel adalah tantangan paling berat yang mesti ditaklukkan pertama kali.62 Pengalaman gerakan difabel di Sidorejo menunjukkan mereka bisa eksis dan bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah desa dengan sejumlah tahapan. Pertama, dengan meng­ himpun diri dan mendirikan organisasi di tingkat desa. Difasilitasi oleh SIGAB, Nugroho dan Sarjiyo berhasil membentuk suatu organisasi di tingkat desa yang diberi nama Forum Difabel Sidorejo (FDS). Kedua, membangun kapasitas anggota melalui kegiatan-kegiatan pelatihan dan pembangunan jaringan. Dalam kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan; pelatihan maupun pertemuan-pertemuan rutin mereka sering menggunakan balai desa sebagai tempat kegiatan.63 Ketiga, melakukan pendataan jumlah penyandang disabilitas di desa serta permasalahan yang mereka hadapi. Keempat, melakukan pengkajian atas masalah yang mereka hadapi. Hasil kajian yang dilakukan lalu disampaikan kepada pemerintah desa, BPD dan unsur-unsur masyarakat yang ada di desa. Dan kelima, membangun kerjasama dengan pemerintahan desa dalam rangka mencari solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi difabel. Dari rute pembangunan gerakan dan advokasi yang dilakukan FDS, disadari atau tidak, mereka dipengaruhi oleh pendekatan Social 62 Salah satu tolok ukur yang dipandang sebagai keberhasilan FDS mengubah cara pandang masyarakat terhadap difabel adalah dengan terpilihnya Wahyu Adi Nugroho atau biasa dipanggil Nugroho sebagai Kepala Dukuh Senden. Nugroho adalah salah satu aktivis difabel yang selama ini aktif menggorganisir dan menggerakkan kaum difabel di Sidorejo. 63 Menggunakan balai desa sebagai tempat pertemuan tersebut kelihatannya sederhana namun sebenarnya memiliki tujuan strategis. Menurut penuturan Sarjiyo, hal itu dilakukan agar para penyandang disabilitas mau keluar rumah. Sekaligus juga sebagai upaya untuk mengubah cara pandang perangkat desa terhadap difabel, dan upaya agar mereka lebih memahami persoalan-persoalan yang dialami oleh kaum difabel. Dalam menyelenggarakan pertemuan-pertemuan, FDS sering difasilitasi oleh SIGAB (Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel). sebuah NGO yang berada di Yogyakarta yang concern melakukan kerja-kerja advokasi difabel. 106 INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA Model of Disability dalam melihat persoalan difabel. Pendekatan ini memiliki cara pandang yang melihat difabel tidak semata-mata sebagai kekurangan fisik dan biologis. Lebih dari itu, disabilitas dilihat sebagai penindasan di mana struktur sosial yang ada telah meminggirkan mereka dari dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang berlangsung. Dengan asumsi dasar ini maka Social Model of Disability mengubah cara pandang permasalahan difabel dari kekurangan fungsional, psikologis, dan kognitif yang dimiliki individu kepada struktur masyarakat yang secara sistematis menindas dan mendiskriminasi kaum difabel (Ro’fiah, 2015).64 Pendekatan ini juga meyakini penanganan persoalan disabilitas adalah melalui politisasi, pemberdayaan, dan penegasan hak-hak kaum difabel sebagai warga negara. Gerakan yang dilakukan FDS telah mampu mengatasi berbagai hambatan utama yang selama ini menyumbat gerakan sosial, khususnya gerakan difabel. Secara internal, meskipun mereka masih terus berproses, telah muncul kesadaran tentang pentingnya “bergerak” dan “pergerakan”. Transformasi dan penguatan kapasitas digunakan sebagai kata kunci untuk memperkuat organisasi serta memperteguh tujuan gerakan. Paralel dengan kerja-kerja ke dalam, mereka juga terus memperkuat jaringan ke luar desa. Dalam narasi besar teori gerakan sosial, apa yang dilakukan oleh FDS bisa dikategorikan sebagai gerakan sosial baru (GSB). Merujuk pada pandangan Singh (2001), tujuan GSB adalah untuk menata kembali hubungan negara dengan masyarakat dan masyarakat dengan ekonomi. Selain itu, GSB juga melakukan dorongan terciptanya ruang publik yang memungkinkan masyarakat bisa saling berkontestasi gagasan tentang isu seputar demokratisasi, otonomi, kebebasan individu, kolektivitas, serta identitas (Singh, 2001). GSB juga 64 Pendekatan dengan cara pandang ini tentu berbeda dengan pendekatan Medical Model of Disability. Dalam pendekatan Medical Model of Disability, penanganan terhadap disabilitas dilakukan dengan cara rehabilitasi dan metode-metode pengobatan secara medik. 107 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL mendorong terwujudnya representasi yang lebih substantif ketika struktur politik negara tidak mampu menyuarakan aspirasi mereka. Dengan demikian, kehadiran GSB merupakan bentuk perlawanan atas kekosongan representasi substantif yang selama ini dibajak oleh kekuatan-kekuatan politik dominan yang berkuasa. Karena itu mereka berusaha menciptakan dan menyerukan struktur yang lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan individu dengan membangun struktur yang terbuka, terdesentralisasi dan non hirarkis. Serupa dengan pengalaman Nglanggeran dan Sidorejo, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul menjadi contoh baik interaksi antara warga yang aktif dengan pemerintahan yang rensponsif. Di Panggungharjo, inisiatif warga tumbuh subur karena pemerintah desa telah merubah corak tata kelola pemerintahan desa yang sebelumnya tertutup menjadi model pemerintahan desa yang terbuka yang menempatkan transparansi dan akuntabilitas sebagai nilai dasar pengelolaan pemerintahan desa. Dampak perubahan dari model pemerintahan desa yang terbuka dan responsif memunculkan banyaknya forum-forum warga yang aktif dalam upaya terlibat dalam proses pembangunan desa. Praktik tata kelola Pemerintah Desa Panggungharjo yang terbuka dan responsif dapat diamati pada pelaksanaan Musrenbangdes. Sebagian besar warga yang aktif di perkumpulan di tingkat RT atau Pedukuhan mengetahui perencanaan dan pelaksanaan program yang dilakukan Pemerintah Desa Panggungharjo. Warga mengetahui laporan informasi penyelenggaraan pemerintahan desa melalui perkumpulan di tingkat RT atau pedukuhan.65 Tidak hanya itu, sosialisasi kegiatan 65 Forum di tingkat Rukun Tetangga (RT) selalu menjadi basis berkegiatan warga di setiap pedukuhan di Desa Panggungharjo. Di RT 03 Pedukuhan Krapyak Wetan misalnya, terdapat perkumpulan dasawisma untuk ibu-ibu dan perkumpulan pengajian atau tahlilan untuk bapak-bapak. Pertemuan kelompok perempuan yang tergabung dalam dasawisma tingkat RT biasanya digelar minggu pertama setiap bulan. Perkumpulan kelompok perempuan tersebut tidak hanya menggelar pengajian, tapi juga menggelar arisan bahkan termasuk membahas 108 INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA dan pertanggungjawaban desa biasanya disampaikan di forum Pakarti dan Pandu yang biasanya digelar di pelataran Masjid atau Musholla yang bertebaran di setiap pedukuhan. Saat ada perencanaan pembangunan yang digelar pemerintah desa, warga melakukan musyawarah dari tingkat bawah untuk membahas program apa yang akan diusulkan dan penting dilaksanakan. Usulan tersebut disampaikan ke desa melalui dukuh masing-masing. Puncaknya pada saat pelaksanaan musrenbang tingkat desa pada bulan Agustus 2016 lalu di Balai Desa Panggungharjo. Dalam Musdes tersebut, peserta yang hadir kurang lebih 100 orang warga berasal dari berbagai macam representasi latar belakang sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Bahkan Musdes yang membahas perihal RKPDesa (Rencana Kegiatan Pemerintah) Desa Panggungharjo Tahun Anggaran 2017 itu, hampir 50% peserta yang hadir adalah kaum perempuan. Dalam berkebudayaan, masyarakat desa ini dapat dikategorikan masyarakat yang aktif, kreatif, dan menjujung tinggi nilai-nilai budaya tradisional. Keaktifan dan kreatifitas masyarakat dapat ditilik dari ra­ gam komunitas kewargaan desa, seperti komunitas seni, budaya, kuli­ ner, obat tradisional, perawatan warisan budaya (heritage), kerajinan dan kriya yang sejauh ini saling berinteraksi secara inklusif tanpa menciptakan sekat-sekat sosial. Dan sebaliknya justru mendorong adanya pembauran sosial. Mereka semua memperoleh akses yang sama di memberikan masukan perihal pembangunan desa kepada pemerintah desa melalui RT dan Dukuh. Kemunculan dan beragamnya forum-forum warga aktif yang tidak hanya berbasis wilayah namun juga sektoral mendorong semakin kuatnya kohesifitas sosial dan mendorong terbangunnya inklusitas sosial di desa. Rekatan-rekatan dan merespon isu kebersihan lingkungan dengan berinisiatif membentuk lingkar bank sampah warga. Dalam setiap pertemuan tersebut, ibu-ibu membawa sampah non-organik yang berasal dari rumah tangga masing-masing. Selanjutnya, sampah tersebut disetor ke pengurus BUMDesa Panggung Lestari Desa Panggungharjo. 109 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL tersebut digerakkan melalui komunitas-komunitas yang berkembang di setiap pedukuhan Desa Panggungharjo. Rekatan yang berasal dari inisiatif warga selanjutnya menjadi gayung bersambut bagi Pemerintah Desa Panggungharjo dalam merumuskan visi misi pembangunannya. Tiga hal yang dianggap penting sebagai perekat mewujudkan pemba­ ngunan desa ialah inisiasi desa budaya, menggerakkan remaja untuk mewujudkan desa sehat, dan pengaturan rumah sewa atau kos-kosan. Salah satu inisiatif warga yang difasilitasi oleh Pemerintah Desa adalah pembentukan Paguyuban Bumi Panggung. Pembentukan Paguyuban Bumi Panggung merupakan langkah strategis pemerintah desa untuk menyiapkan Desa Panggungharjo sebagai rintisan desa budaya. Bumi Panggung merupakan implementasi dari inisiatif warga untuk berkesenian. Banyaknya komunitas seni dan budaya yang bertebaran di Desa Panggungharjo menjadi momentum untuk mewujudkan desa destinasi wisata seni. Inisiatif kelompok kesenian ini kemudian mendapatkan respon dari kepala desa dengan membentuk dan melantik kepengurusan Bumi Panggung. Kepengurusan Paguyuban Bumi Panggung sebagian besar diisi oleh kalangan pemuda. Melalui Bumi Panggung, para pemuda Desa Panggungharjo memiliki arena untuk berkreasi dan berbudaya.66 Bahkan, untuk mewujudkan Desa Panggungharjo menjadi desa budaya, warga bersama pemerintah desa berinisiatif memasukkan konsep tersebut dalam perubahan Peraturan Desa Nomor 4 Tahun 2013 tentang Rencana Pembangunan jangka Menengah Desa Tahun 2013-2017.67 66 Bumi Panggung sebagai wadah paguyuban di Desa Panggungharjo telah melaksanakan pagelaran seni yang disebut Panggung Literasi Selatan. Panggung Literasi Selatan merupakan inisiatif warga desa untuk mewadahi para pelaku seni dan pertunjukan yang tersebar di segenap pelosok desa, terutama di wilayah Selatan yang kebetulan berdekatan dengan kampus ISI Yogyakarta. 67 Khususnya di penjelasan tujuan dan sasaran Pemerintah Desa Panggungharjo mengemban salah satu misi peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian seni budaya dan tradisi lokal. 110 INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA Selain isu terkait desa budaya, hal lain yang cukup menarik dari Desa Panggungharjo adalah adanya inisiatif warga desa tentang isu perlindungan hak anak. Pemerintah desa bersama dengan anakanak dan para remaja desa berinisiatif membentuk forum anak Desa Panggungharjo yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Lurah Nomor 10 Tahun 2015 sebagai suatu bentuk keberpihakan pemerintah desa kepada pemenuhan dan perlindungan hak anak. Narasi–narasi tersebut menandai adanya kemauan kuat Pemerintahan Desa Panggungharjo untuk memberi akses bagi hadirnya inisiatif warga dalam membangun desa. Geliat aktif warga desa ini merupakan suatu bukti bahwa apabila pemerintahan desa dapat merawat prakarsa warga secara baik akan memunculkan ruang-ruang demokrasi yang lebih bermakna di tingkat desa. Sementara di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, isu pengelolaan sumberdaya air merupakan hal yang sangat krusial bagi sebagian besar warga Desa Umbulharjo, sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Merapi. Inisiatif warga dalam pe­ngelolaan air bersih muncul dari sejarah panjang bagaimana warga desa berupaya memenuhi kebutuhan air bersih. Pada awalnya, mereka memenuhi kebutuhan air untuk mandi dan mencuci harus bersusah payah mengakses sumber air dari sungai kecil yang bernama kali kuning. Sedangkan air bersih untuk kebutuhan rumah mereka harus membawanya dengan “ngangsu” dari bawah yakni dari Umbul Temanten.68 Bagi warga yang mampu, mereka memasang selang sendiri untuk membawa air ke rumahnya. Hal ini terus berlangsung sampai tahun 1997-1998 saat pemerintah pusat melaksanakan P3DT (Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal) de­ ngan pembangunan prasarana air bersih, salah satunya membuat bak 68 “Ngangsu” adalah istilah dalam bahasa jawa yang berarti mencari dan mengambil air dengan cara manual dari suatu tempat. Umbul Temanten adalah salah satu mata air utama di Desa Umbulharjo yang terletak di Lereng Merapi. 111 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL penampungan air.69 Setelah adanya bak penampungan air, mulailah muncul inisiatif warga desa melalui dana swadaya membuat instalasi pipa untuk menyalurkan air dari bak penampungan air hingga ke rumahnya. Sayangnya, inisiatif warga ini masih bias kepentingan rumah tangga yang mampu atau yang dekat dengan sumber mata air saja. Akibatnya hanya warga desa yang berada di dekat bak penampungan air dan mampu yang dapat mengakses air. Warga yang jauh dari bak penampung dan tidak memiliki dana sulit untuk mendapatkan air bersih. Hal ini me­nunjukkan bahwa inisiatif warga baru muncul setelah adanya stimulus program dari pemerintah dan di sisi lain juga menunjukkan masih kurangnya kesadaran sebagian warga desa untuk berbagi sumber daya air kepada warga desa lainnya yang membutuhkannya. Merespon permasalahan tersebut, pemerintah Desa Umbulharjo pada tahun 1998 berinisiatif untuk terlibat dalam pengelolaan air bersih. Pemerintah desa mengundang beberapa tokoh masyarakat dari beberapa dusun untuk membentuk Organisasi Pengelola Air Bersih (OPAB). Proses pembentukan pengurus OPAB ditentukan melalui musyawarah mufakat. Setelah terbentuknya OPAB, sumberdaya air mulai dapat terdistribusi kepada semua warga secara merata. Pengelolaan sumberdaya air merupakan isu publik yang sangat penting di Desa Umbulharjo, sehingga isu tersebut selalu mendapat perhatian dan sorotan warga desa. Warga desa aktif mengartikulasikan suaranya terkait pengelolaan sumberdaya air ter­ utama, jika ada permasalahan yang dirasa memberatkan warga desa. Untuk merespon suara-suara warga terkait permasalahan penge­ lolaan sumberdaya air tersebut, pemerintahan Desa Umbulharjo 69 Program ini bersumber dari Bappenas dan diimplementasikan pada tahun 1997-1998 dalam bentuk penyedian sarana prasana air bersih berupa pipa saluran air dari sumber mata air dan bak-bak penampungan air di setiap dusun. 112 INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA melalui Badan Permusyawatan Desa (BPD) berinisiatif membuat buku aspirasi. Warga Desa Umbulharjo juga terbiasa menyalurkan aspirasinya melalui rapat-rapat Rukun Tetangga (RT) dan bahkan menyampaikannya secara langsung kepada perangkat desa dan kepala desa. Berbagai permasalahan yang muncul baik internal maupun eksternal tidak menyurutkan pelayanan OPAB kepada warga desa Umbulharjo. OPAB terus melakukan perbaikan pengelolaan dan pe­ ningkatan pelayanan yang lebih baik bagi warga secara keseluruhan. Baru-baru ini OPAB sedang melakukan program pemasangan water meter. Program tersebut dilakukan sebagai jalan keluar dari polemik kecemburuan distribusi air diantara warga.70 Pemasangan water meter dipandang sebagai solusi untuk mengukur penggunaan air agar terjadi proses yang adil bagi semua penerima manfaat dalam memanfaatkan sumberdaya air. Agar tidak membebani warga desa selaku pengguna, pengurus OPAB berinisiatif untuk mencari sumber pendanaan dari program-program pembangunan, mulai dari program Rekompak hingga menggunakan Dana Desa.71 Hal tersebut dilakukan oleh pe­ ngurus OPAB dikarenakan banyak warga yang menolak untuk dipasang water meter karena khawatir jika terpasang water meter aliran air tidak akan lancar. Mereka menunggu bukti ketika dipasang water meter dan diatur pengelolaannya dengan tarif maka aliran air akan lancar dan teratur. Oleh karena itu, pengurus kemudian membuat pilot 70 Sebelum adanya water meter, warga hanya dibebankan iuran tetap Rp. 4.000,- per bulan tanpa mempedulikan penggunaan debit air yang digunakan. Namun, seringkali beberapa warga yang berada di daerah bawah tidak bijak dalam menggunakan air. Mereka membiarkan air mengalir hingga meluap padahal ada warga lain yang rumahnya berada di atas tidak mendapatkan air karena semua air mengalir ke bawah. 71 Rekompak (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas) merupakan program dari pemerintah pusat yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) bersama Ditjen Penataan Bangunan dan Lingkungan Cipta Karya, Kementerian PU paska erupsi Merapi 2010 113 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL project di dusun Pentingsari untuk program pemasangan water meter. 72 Praktik baik ini segera disosialisasikan ke seluruh warga desa dan program dilanjutkan di dusun Karanggeneng, Gambretan, dan sebagian Balong yang belum terpasang semua. Beberapa dusun sudah menyetujui untuk pemasangan alat pengukur pemakaian air tersebut. Hanya Dusun Gondang yang masih menolak untuk dipasang water meter. Padahal, Gondang merupakan dusun yang banyak berdiri pondok wisata, semacam penginapan-penginapan kecil. Pemakaian air di pondok wisata relatif lebih besar dibandingkan dengan pemakaian rumah tangga biasa. Penolakan tidak hanya dari pemilik pondok wisata, tetapi masyarakat lain juga menolak. Penolakan ini lebih disebabkan kurangnya kesadaran para pelaku usaha wisata dan warga untuk berbagi pemanfaatan air dan sarat dengan kepentingan ekonomi mereka. Pemerintah desa dan pengurus OPAB masih terus memberikan sosialisasi kepada warga Gondang terkait water meter ini melalui pertemuan-pertemuan warga. Selain permasalahan pengelolaan dan pelayanan sumberdaya air oleh OPAB dalam rangka melayani kebutuhan air bersih bagi warga Desa Umbulharjo, pemanfaatan sumberdaya air tersebut juga me­ nimbulkan permasalahan lain karena sumberdaya air tersebut juga dimanfaatkan oleh pihak pengelola lainnya yakni Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) Tirta Marta yang merupakan perusahaan daerah Kota Yogyakarta dan PDAM Tirta Dharma yang dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Sleman. Permasalahan yang cukup krusial adalah belum adanya peraturan yang jelas diantara para pengelola sumberdaya air tersebut. Bahkan beberapa pihak pengelola tidak 72 Pentingsari dipilih untuk pilot project karena masyarakatnya yang relatif lebih mudah diajak melakukan perubahan dan mereka membuka diri dengan hal-hal yang baru. Hasilnya, setelah water meter terpasang aliran air bersih di dusun menjadi lebih lancar. 114 INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA pernah memberikan kontribusi bagi hasil yang jelas kepada Desa Umbulharjo. Dana bagi hasil pengelolaan air dari perusahaan maupun desa lain tidak dipatok pada biaya tertentu. Hal tersebut dikarenakan belum ada keputusan bersama terkait pemeliharaan Umbul Wadon. Padahal, dana tersebut sangat dibutuhkan untuk pemeliharaan jaringan dan menjaga kelestarian sumber mata air. Saat ini baru PDAM Tirta Marta yang memberikan iuran perawatan kepada desa Umbulharjo sejumlah Rp.7.000.000,- pertahun, dan PDAM Tirta Darma Rp. 2.500.000,-pertahun. Berbagai permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air ter­ sebut pada akhirnya mendorong inisiatif warga bersama pemerintah desa serta BPD untuk mengelola sumberdaya air sebagai bagian dari unit usaha BUMDesa.73 Inisiatif ini mampu diartikulasikan hingga berdiri BUMDesa melalui forum musyawarah desa (Musdes) yang mengelola air bersih melalui unit usahanya. Pemerintah desa, BPD, dan BUMDesa serta warga desa berharap bahwa dengan dikelola oleh BUMDesa maka pengelolaan air ke depan dapat lebih profesional tanpa meninggalkan kearifan lokal yaitu gotong royong dan swadaya masyarakat serta tarif yang dapat diterima oleh semua pihak. Kisah prakarsa warga terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam dan aset desa dapat juga dilihat dari apa yang terjadi di Desa Punjulharjo, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang.74 Isu publik yang mengemuka di Desa Punjulharjo tentang pengelolaan kawasan pantai Karang Jahe Beach (KJB) sebagai kawasan wisata baru di Rembang. Beberapa permasalahan yang terjadi dalam konteks 73Pilihan terhadap BUMDes sebagai suatu model pengelolaan barang kepentingan untuk umum (public goods) merupakan suatu solusi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan asset desa yang relatif berkeadilan dalam hal distribusi barang kebutuhan umum warga. Dengan syarat dikelola secara professional yang mengedepankan prinsip akuntablitas dan transpa­ ransi serta tanpa meninggalkan kearifan lokal serta partisipasi warga desa. 74 Dikenal sebagai desa dengan karakter desa pesisir Pantai Utara Jawa yang relatif kental de­ ngan nuansa budaya santri yang cenderung paternalistik dan patriarkhis. 115 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL pengelolaan kawasan wisata itu antara lain; kasus tukar guling tanah milik desa yang akan dijadikan kawasan wisata dengan tanah milik warga yang berada di lokasi wisata tersebut; transparansi pengelolaan keuangan KJB; serta masalah penempatan lokasi berdagang bagi warga desa yang ingin berjualan di lokasi wisata tersebut. Untuk mencari solusi atas permasalahan tukar guling tanah yang belum rampung, sebagian warga yang terdampak meng­ gunakan saluran formal yakni Musyawarah Desa (Musdes) untuk menyampaikan kepentingan mereka.75 Selain menggunakan saluran formal melalui Musdes, warga pernah melakukan demonstrasi kepada mantan Kades berkaitan dengan masalah tukar guling yang menurut masyarakat pengurusannya tidak kunjung selesai. Saat itu, puluhan ibu-ibu yang berdemonstrasi mendatangi kediaman mantan lurah untuk menanyakan penyelesaian soal tukar guling. Mereka memperoleh penjelasan: pertama, bahwa belum semua warga yang ikut program tukar guling membayar secara lunas, dan kedua, saat demonstrasi tersebut terjadi, aturan tukar guling harus sepengetahuan gubernur. Namun sa­ yangnya, demonstrasi warga tersebut masih belum membuahkan hasil berupa kepastian hukum terhadap proses tukar guling pada warga, sekalipun ada warga yang telah membayar lunas. Selain masalah tukar guling, isu krusial lainnya terkait pengelolaan KJB adalah transparasi pengelolaan keuangan KJB yang dinilai warga kurang dapat dipertanggungjawabkan pengelola KJB. Berangkat dari kondisi tersebut, sebagian warga desa berinisiatif mengusulkan perubahan kelembagaan pengelola KJB yang kemudian diubah menjadi Badan Pengelola KJB (BP KJB). Dalam badan pengelola tersebut ada unsur BPD, pemerintah desa, PKK, mantan pengurus Karang Taruna dan unsur-unsur lain. Dengan diperluasnya unsur-unsur pemangku 75 Sampai penelitian ini selesai diselenggarakan, belum ada solusi atas permasalahan tersebut. 116 INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA kepentingan yang duduk dalam BP KJB, maka kepercayaan warga terhadap pengelola KJB meningkat. Kontrol terhadap pengelolaan KJB dilakukan oleh wakil-wakil warga dalam badan itu. Penyelesaian atas persoalan-persoalan tersebut dalam BP KJB, biasanya ditempuh de­ngan cara musyawarah. Selain forum formal, terdapat semacam tradisi-tradisi lokal yang sering dilakukan warga untuk menyampaikan gagasan, aspirasi dan inisiatif warga terkait pengelolaan KJB, seperti forum tahlilan di masing-masing RT, forum pengajian di masjid, serta obrolan di warung-warung kopi yang banyak terdapat di Desa Punjulharjo. Pada umumnya setelah diskusi dalam forum-forum informal tersebut, ditindaklanjuti dalam forum formal di tingkat desa. Bahkan warga masyarakat juga bisa mendatangi kepala desa secara personal dan pihak BPD serta tokoh agama untuk menyampaikan permasalahan mereka terkait dengan KJB. Peran tokoh agama masih relatif kuat dan berpengaruh di Desa Punjulharjo yang merupakan lingkungan masyarakat pesantren. Saluran-saluran di atas dipandang cukup efektif untuk menyalur­ kan inisiatif warga. Apalagi, selama ini kepala desa cukup akomodatif menampung keluhan atau aspirasi warga yang rasional. Menurut ketua ibu-ibu PKK Desa Punjulharjo, jika memang usulan itu cukup baik untuk kepentingan warga masyarakat dan tidak melanggar aturan, biasanya kepala desa akan memperhatikan. Penggunaan ruang-ruang publik untuk menyampaikan aspirasi dan dialog sudah cukup terbuka. Warga cukup mampu menyampaikan keinginan dan harapan untuk disampaikan kepada Kadesnya. Ruang publik sebagai sarana demokrasi di desa Punjulharjo sudah bisa dirasakan warga masyarakat.76 Meskipun demikian, adanya ruang-ruang publik yang dapat 76 Ruang Demokrasi deliberatif akan sulit berkembang dalam masyarakat yang masih kuat pengaruh budaya paternalistik (parochial) dan patriarkhis, karena demokrasi deliberatif mensyaratkan adanya kesetaraan antara warga dalam membangun diskursus publik. 117 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL menjadi ruang artikulasi bagi inisiatif warga dalam menyampaikan kepentingannya tersebut, tidak dengan sendirinya menjamin adanya keterbukaan dan kesetaraan dalam ruang demokrasi desa. Hal ini dikarenakan masih relatif kentalnya budaya paternalistik dan patriarkhis di Desa Punjulharjo. Buktinya, hampir semua pelaku perubahan di desa Punjulharjo didomininasi oleh para tokoh agama dan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa ruang publik di Punjulharjo belum sepenuhnya ramah terhadap partisipasi kelompok perempuan, termasuk di dalamnya dalam hal pengelolaan kawasan wisata KJB. Senada dengan pengalaman Punjulharjo, Pengalaman di Desa Mekarjaya, Kabupaten Sukabumi, menunjukkan keterbatasan saluran komunikasi politik warga melalui jalur demokrasi formal-prosedural dan keterwakilan di desa, ternyata mampu dipecahkan oleh warga. Warga Desa Mekar Jaya memanfaatkan saluran komunikasi tradisio­ nal dalam bentuk tradisi “gotong royong” yang masih sangat kuat dalam membahas berbagai permasalahan atau isu-isu publik yang tengah menjadi perbincangan warga desa. Di desa ini, gotong royong tidak hanya sekedar sebuah aktivitas kerjasama fisik dalam membangun sesuatu, tapi berkembang pula diskusi yang membahas isu-isu publik atau permasalahan umum yang terjadi di desa. Mulai dari pembahasan terkait penggunaan alat berat untuk mempercepat pembangunan lapangan sepak bola desa, diskusi tentang perlu tidaknya perempuan terlibat dalam pembangunan lapangan sepak bola, masalah peraturan desa hingga mendiskusikan tentang anggaran desa. Gotong royong sebagai sebuah modal sosial dimanfaatkan oleh pemerintah desa sebagai media dan saluran komunikasi politik antara warga desa dengan pihak pemerintah Desa Mekar Jaya. Situasi komunikasi yang terbangun dalam kegiatan gotong royong tersebut relatif terbuka dan dialogis. Warga desa siapapun dia, tidak peduli tua atau muda, kaya atapun miskin memiliki hak yang sama untuk 118 INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA menyuarakan aspirasinya. Pemerintah desa melalui kepala desa relatif hanya berfungsi sebagai fasilitator, sehingga pola komunikasi yang terjadi bersifat horizontal dengan kedudukan yang setara. Hal ini dapat ditunjukkan pada saat waktu istirahat di sela-sela aktivitas gotong royong pembangunan lapangan sepak bola. Ada seorang tokoh perempuan desa yang mengusulkan pada Kades agar perempuan diikutsertakan gotong royong pembanguan lapangan sepak bola. Kepala Desa tidak langsung menjawab, tetapi meminta pendapat tokoh masyarakat lainnya yang ternyata kurang sependapat bila perempuan ikut gotong royong membuat lapangan. Alasannya, disamping lokasi lapangan jauh dari kawasan rumah penduduk, perempuan tidak banyak memanfaatkan lapangan sepak bola, sehingga kurang adil bila perempuan harus diikutsertakan. Berbeda dengan gotong royong membangun masjid, musholla, air bersih dan jalan, perempuan selalu diikutkan dalam gotong royong dengan bentuk dan porsi pekerjaan yang disesuaikan dengan kepantasannya. Contoh lain yang terjadi saat gotong royong pada saat seorang pemuda mengajukan protes pada Kades tentang permasalahan kelompok pemuda yang mengajukan usulan dana untuk membuat kolam pemancingan pemuda, tidak bisa disetujui desa di tahun ini. Kepala Desa menjelaskan bahwa dana desa tidak bisa dikeluarkan kalau belum masuk dalam APBDes. Oleh karena itu usulan dari pemuda baru bisa diberikan tahun depan setelah dimasukan dalam RKPDes dan RAPBDes. Dialog antara pemuda dan Kades tentang dana desa didengar oleh semua warga desa berpartisipasi dalam gotong royong tersebut. Relatif tidak ada sekat-sekat sosial yang muncul dalam tradisi gotong royong di Desa Mekar Jaya tersebut menunjukkan adanya relasi kesetaraan dalam budaya warga desa. Jika dimaknai lebih dalam dapat diartikan bahwa antara nalar warga desa dan nalar pemerintah desa relatif telah terbangun budaya egaliter yang dapat menjadi semacam 119 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL embrio bagi tumbuh kembangnya demokrasi deliberatif pada aras desa. Selain itu, inisiatif-inisiatif warga yang muncul dalam setiap aktivitas gotong royong tersebut merupakan bentuk nyata dari adanya kesadaran warga aktif untuk terlibat dalam proses pembangunan di Desa Mekar Jaya. Tidak sebatas mendiskusikan hal berkaitan dengan aktivitas sehari-hari warga, gotong royong pun membahas proses pengambilan keputusan publik terkait dengan peraturan desa, salah satunya Perdes tentang gotong royong. Ketua LPMD mempunyai ide yang disampaikan secara langsung Kepala Desa dan anggota BPD bahwa Perdes gotong royong dianggap sangat penting untuk menjaga dan melestarikan modal sosial Desa Mekarjaya yang telah terbukti menjadi kekuatan kemandirian desa. Siapapun kepala desanya, gotong royong akan menjadi kekuatan utama desa. Jika tidak ada Perdes gotong royong, dikhawatirkan jika di masa yang akan datang Kades tidak suka dengan gotong royong, maka kegiatan gotong royong tidak menjadi bagian kebijakan desa untuk kekuatan pembangunan. Pada akhir diskusi dalam forum gotong royong tersebut, disepakati akan diusulkan kepada BPD untuk menyusun Perdes tersebut melalui forum Musyawarah Desa. Cerita-cerita tersebut di atas merupakan contoh-contoh mun­ culnya inisiatif warga yang disampaikan di lokasi gotong royong. Hal ini membuktikan bahwa media gotong royong bisa menjadi forum warga untuk menyampaikan aspirasinya agar terakomodasi dalam program desa. Banyak program pembangunan Desa Mekar Jaya yang berawal dari inisiatif warga yang disampaikan di lokasi gotong royong, seperti pembangunan jalan, pembangunan jembatan, pengembangan pertanian organik, dan lain-lain. Pembelajaran yang bisa diambil dari Desa Mekarjaya ini adalah adanya fakta sosial bahwa gotong royong warga bisa menjadi kekuatan 120 INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA desa untuk membantu warga yang miskin tanpa tergantung dengan bantuan dari luar desa. Sudah menjadi tradisi masyarakat Desa Mekarjaya dalam hidupnya berbagi dengan warga miskin sekitarnya, walupun kondisi dirinya tidak berlebihan. Basis penopang kehidupan keluarga miskin desa ini dari gotong royong warga di lingkungannya. Mulai dari pernikahan, melahirkan anak, membuat atau memperbaiki rumah sampai pekerjaan hariannya mendapat dukungan dari warga di sekitarnya. Warga Desa Mekar Jaya memiliki pandangan hidup yang menjadi acuan warga : “mandiri walaupun miskin, dan membagi kepada warga miskin walaupun dirinya tidak hidup dalam kecukupan”. Pandangan hidup ini merupakan bentuk keyakinan lokal yang dapat menambah khazahah pengetahuan atas praktik-praktik kehidupan berdemokrasi di desa-desa yang ada di belahan bumi nusantara ini. Lemahnya Inisiatif Warga Selain menorehkan kisah sukses tentang inisiatif warga, ada pula variasi narasi tentang lemahnya prakarsa warga atau inisiatif warga yang kuat namun lemah dalam mengkonsolidasikan dukungan sehingga tidak mendapatkan respon dengan memadai dari pemangku kepentingan desa. Pengalaman Desa Cangkudu dan Ringinrejo, meng­ gambarkan tentang adanya inisiatif warga namun kurang disambut baik oleh pemerintah desa. Sementara pengalaman Ngadisari menunjukkan kuatnya pemerintah desa yang berhimpit dengan institusi adat justru melemahkan inisiatif warga. Sebagaimana di Desa Panggungharjo, reformasi birokasi juga dilakukan oleh Desa Cangkudu, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang. Desa ini telah berubah karakternya dari wilayah rural menjadi urban karena perkembangan industri yang ditandai banyak­ nya pendirian pabrik. Pemerintah desa telah melakukan peningkatan pelayanan publik menjadi makin cepat dan mudah, sehingga warga 121 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL desa pun merasakan manfaatnya. Warga Desa Cangkudu mengakui apa yang telah dilakukan oleh pemerintah desa sekarang memang jauh lebih bagus, terutama dalam hal pelayanan administrasi di kantor pemerintah desa, dibandingkan pemerintahan desa terdahulu yang dipimpin oleh lurah yang berlatar belakang keluarga jawara.77 Tetapi, reformasi teknokratis-adminitratif ini belum membawa dampak yang lebih luas dalam mendorong tumbuh kembangnya inisiatif warga, menciptakan keterbukaan saluran artikulasi warga dalam ruang demokrasi yang ada di desa. Upaya reformasi birokrasi di Desa Cangkudu masih terbatas dampaknya pada perubahan kinerja aparat desa dalam melakukan pelayanan publik, terutama dalam hal mening­katkan kualitas dan integritas (kedisiplinan dan kepatuhan terhadap sistem) perangkat desa. Perubahan dalam kinerja pemerintah desa ini belum mampu membangkitkan gairah warga untuk berpartisipasi aktif dalam setiap proses pengambilan kebijakan di Desa Cangkudu. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan warga jika mereka jarang diajak berdialog untuk membahas hal-hal yang penting, se­ perti permasalahan ketenagakerjaan dan masalah konflik warga dengan pabrik. Menurut warga, meskipun reformasi birokasi telah menghasilkan pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik 77 Mengacu pada studi Tihami (1992:2000) dalam Hamid (2004), yang menyatakan bahwa Jawara merupakan individu yang karena kekayaannya dekat dengan para Kiai atau ulama dan merupakan salah satu elemen kepemimpinan yang sangat berpengaruh di Banten. Dalam konteks sejarah masyarakat Banten, Jawara adalah sosok tentara fisik, yang pada saat era kolonial para Jawara ini bersama para ulama melakukan perlawanan terhadap Kolonial Belanda. Secara etimologis, kata Jawara berasal dari bahasa Arab, “Jauharao” yang berarti “Permata” dan kata “Waro’i” yang berarti orang-orang yang bersih. Namun dalam perkembangannya makna Jawara telah mengalami transformasi menjadi makna yang berkonotasi negatif yakni menjadi akronim dari Jalma Wani Rampog (orang yang berani merampok). Berdasarkan hasil penelitian dari Abdul Hamid (2006:45-63) terkait Peranan Jawara dalam konteks Pe­ nguasaan Politik Lokal di Banten, menunujukkan bahwa Jawara merupakan entitas politik yang relatif berpengaruh dalam arena percaturan politik di wilayah Banten dan bahkan telah mengakar dalam setiap sendi kehidupan politik di Banten. 122 INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA dibandingkan pemerintah desa terdahulu, tapi pemerintah desa saat ini masih kurang mendengarkan aspirasi warga. Salah seorang tokoh di Desa Cangkudu, mengaku belum pernah diundang dalam proses musyawarah desa untuk membahas permasalahan pengelolaan bisnis limbah yang sering menimbulkan konflik di desa ini. Pernyataan warga desa dan tokoh masyarakat Cangkudu dibenarkan sekaligus diklarifikasi BPD. Dalam penyelenggaraan musyawarah desa, BPD berkilah tidak mungkin mengundang semua warga desa. Menurut BPD ketidakterlibatan warga dan tokoh masyarakat dalam Musdes hanya persoalan teknis karena sesungguhnya mereka sudah diwakili oleh warga lain yang hadir dalam Musdes tersebut. Pada kenyataannya apa yang dikritisi warga ternyata bukan semata persoalan teknis sebagaimana diungkapkan BPD. Warga merasa kurang dilibatkan dalam merumuskan hal-hal strategis di desa yang dibahas dalam Musdes. Akibatnya, keputusan-keputusan strategis pemerintahan desa belum diketahui oleh warga desa. Sebagian warga desa tidak mengetahui kebijakan desa dalam bentuk peraturan desa, termasuk tidak tahu besaran APBDes dan alokasi atau penggunaannya. Prinsip transparansi dan akuntabilitas publik belum nampak di Desa Cangkudu. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya informasi terkait Peraturan Desa, APBDes dan juga LPJ Kepala Desa yang dapat diakses langsung oleh warga baik dalam bentuk offline (papan pengumuman, banner, poster yang terpampang di kantor pemerintah desa) maupun yang dapat diakses secara online dalam bentuk media sosial seperti facebook, twitter, dan website. Apa yang terjadi di Desa Cangkudu, meskipun ada praktik partisipasi dalam proses Musrenbangdes dan Musdes, namun belum merefleksikan hakikat atau substansi dari partisipasi yang menekankan pada prinsip kesetaraan dan inklusifitas. Sebagaimana dikatakan oleh Chambers (1996) bahwa dalam praktik partisipasi seringkali 123 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL terjadi bias.78 Belajar dari pengalaman dari model reformasi birokrasi yang dilakukan Desa Panggungharjo dan Desa Cangkudu ini dapat dijadikan sebuah model perbandingan. Inovasi yang dilakukan oleh dua pemerintah desa tersebut dalam melakukan reformasi birokrasi bagi perbaikan pelayanan publik relatif memiliki dampak yang berbeda. Reformasi birokrasi di Desa Panggungharjo memiliki tujuan untuk mendorong pemerintahan desa yang lebih terbuka sehingga berdampak munculnya inisiatif-inisiatif warga dan forum-forum warga yang aktif menyuarakan kepentingan mereka terhadap pembangunan desa. Di sisi lain, reformasi birokrasi yang terjadi di Desa Cangkudu relatif baru menyentuh aspek penataan administrasi pemerintahan dan meningkatkan kapasitas birokrasi desa dalam melakukan pela­ yanan kepada warga desa. Reformasi belum menyentuh aspek ke­ terbukaan dan transparansi pemerintah desa. Kondisi ini diperparah dengan masih minimnya inisiatif warga untuk terlibat dalam prosesproses pengambilan keputusan di desa sehingga ruang demokrasi yang tersedia relatif masih berwatak formal-prosedural. Pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa tersebut adalah bagaimana sebuah kekuatan inisiatif warga dapat membawa suatu perubahan nyata bagi warga desa. Terbentuknya beragam forum warga aktif dalam merespon isu-isu publik di tingkat desa merupakan suatu bentuk nyata dari sebuah gerakan sosial yang tumbuh dari warga dalam ruang demokrasi desa yang berperan aktif sebagai ruang antara (intermediary space) masyarakat sipil di satu sisi dengan negara atau pemerintah desa di sisi yang lain. Inisiatif-inisiatif warga aktif ini dapat menjadi sumber bagi proses penguatan demokrasi terutama dalam menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin kompleks di 78 Seperti bias kepentingan elit atau hanya elit yang berpartisipasi, bias aktif atau hanya orangorang yang aktif yang berpartisipasi dan meninggalkan yang pasif, bias gender dan bias kaum terdidik atau hanya orang-orang yang terdidik yang berpartispasi. Sementara orang yang tidak berpendidikan tidak dilibatkan. 124 INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA desa. Di sisi lain, pemerintahan desa yang responsif merupakan syarat utama bagi berkembangan pelembagaan demokrasi desa yang lebih bermakna. Berbeda dengan pengalaman Cangkudu yang minim inisiatif, kisah Inisiatif warga dengan gerakan yang lebih radikal terjadi dalam kasus claiming lahan di Desa Ringinrejo, Kecamatan Wates, Kabupa­ ten Blitar. Sayangnya, kuatnya inisiatif warga tidak direspon baik oleh pemerintah desa yang cenderung tertutup dan korporatik. Di desa ini, terdapat tanah milik PT. Semen Dwima Agung Para yang tidak dimanfaatkan, sehingga sejak tahun 1990an diolah oleh warga. Alasan warga memanfaatkan lahan tersebut karena memungkinkan mereka yang lahan pribadinya sedikit dapat mengolah lahan yang lebih luas, atau bahkan memungkinkan mereka yang sebelumnya sama sekali tidak memiliki lahan garapan menjadi memiliki lahan untuk dikerjakan. Bertambahnya aset tanah yang digarap memungkinkan pertambahan jumlah produksi pertanian dan penghasilan mereka yang kemudian meningkatkan kesejahteraan petani. Bahkan petani yang awalnya hanya menanam tanaman lahan sawah, kebun, dan ladang seperti singkong, jagung, kedelai dan terbatas pada musim penghujan, kini mulai melakukan variasi menanam tanaman hortikultura seperti cabai, melon, ketimun, semangka yang memiliki harga jual lebih tinggi. Para petani bahkan membuat sumur bor dengan harapan dapat mengairi ladang sehingga dapat ditanami sepanjang tahun. Selama puluhan tahun para petani telah memanfaatkan lahan. Selama itu juga mereka berupaya mengajukan klaim atas tanah tersebut, tetapi tentu tidak diijinkan oleh perusahaan pemilik lahan. Mereka berorganisasi/berkelompok untuk mengupayakan hak kepemilikan atas lahan yang digarap. Hingga kini kelompok tersebut telah me­ ngalami dinamika mulai dari pergantian kepemimpinan hingga ter­ belahnya perjuangan ke dalam dua kelompok. Saat ini, terdapat dua 125 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL kelompok masyarakat yang tengah memperjuangkan claiming atas tanah PT. Semen Dwima Agung di Desa Ringinrejo. Kelompok pertama adalah Paguyuban Petani Gondangtapen yang digawangi oleh Talminto, dan yang kedua adalah kelompok Gito. Sayang, diantara kedua kelompok kurang terjadi komunikasi yang baik meskipun tanah yang mereka perjuangkan sepenuhnya adalah tanah yang sama, begitupula masyarakat penggarap yang mereka perjuangkan nasibnya. Ketiadaan komunikasi dan pemahaman satu sama lain ini pada akhirnya juga menimbulkan saling prasangka satu sama lain dan kebingungan bagi petani penggarap sehingga banyak petani memilih untuk tidak terlibat sama sekali dalam upaya memperoleh tanah perkebunan. Persoalan klaim ini semakin menguat ketika tahun 2013 Menteri Kehutanan melalui Surat Keterangan Menteri Kehutanan No.367 menyatakan bahwa lahan perkebunan milik PT. Semen Dwima Agung (seluas 724,23 Ha)merupakan kawasan hutan produksi.79 Masyarakat pengolah lahan merasa bahwa sumber penghidupan mereka terancam apabila pemerintah ingin menghutankan kembali lahan yang telah mereka olah. Selain itu, sejumlah area di kawasan perkebunan tersebut tidak hanya telah berubah menjadi lahan bercocok tanam tetapi juga dimanfaatkan untuk pemukiman. Masyarakat tidak tinggal diam meng­­­hadapi permasalahan ini. Mereka melakukan berbagai aktivitas untuk mempengaruhi para pihak terkait, termasuk advokasi kepada pembuat kebijakan. Potensi internal kelompok dioptimalkan dan di­ tingkatkan, sekaligus menambah mitra jaringan yang mendukung perjuangan mereka. Gerakan mereka bersifat self-funded, menanggung bersama pembiayaan yang dibutuhkan untuk advokasi, baik ke Pemda 79 SK Menteri Kehutanan No.367 tahun 2013 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Produksi yang Berasal dari Lahan Kompensasi dalam rangka Pinjam Pakai Kawasan Hutan Atas nama PT. Semen Dwima Agung, yang terletak di Desa Ringinrejo Kecamatan Wates Kabupaten Blitar Jawa Timur. 126 INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA Blitar, ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara, hingga temu dengar dengan pihak Semen Holcim di Swiss. Dalam melaksanakan aksi, kelompok masyarakat tidak berjalan sendiri tetapi bekerjasama dengan organisasi non pemerintah yang menekuni isu pertanian seperti Solidaritas Masyarakat (Sitas) Desa, ELSAM dan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA). Kelompok masyarakat memang sengaja mencari rekan dalam upaya advokasi, hal tersebut dilakukan pasca melihat banyaknya kisah sukses upaya claiming maupun redistribusi tanah warga Blitar yang dibantu oleh organisasi masyarakat sipil. Sayangnya, dukungan dari berbagai pihak ternyata tidak diikuti oleh dukungan internal desa. Bahkan ketika warga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 367 Tahun 2013, pemerintah desa sulit untuk memberikan tandatangan yang menyatakan bahwa 726 warga penggarap sawah yang terdaftar dalam dokumen gugatan merupakan warga Desa Ringinrejo. Berbeda dengan Cangkudu dan Riginrejo, kuatnya dukungan pemerintah desa juga terjadi di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Hal yang membedakannya dengan Desa Nglanggeran dan Panggungharjo terletak pada inisiatornya. Jika di Nglanggeran, warga yang berinisiatif kemudian didukung oleh pemerintah desa. Di Panggungharjo, antara inisiatif warga dan pemerintah desa berjalan beriringan karena Kades memiliki latar belakang aktivis organisasi masyarakat sipil tingkat desa. Tetapi di Desa Ngadisari, pemerintah desa yang memegang peranan utama. Kuatnya peranan pemerintah desa karena posisi mereka beririsan dengan pemerintahan adat. Para tokoh adat di Desa Ngadisari menduduki posisi di pemerin­ tahan desa. Kepala desa saat ini merupakan isteri dari Ki Petinggi yang 127 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL menjadi kepala desa pada periode sebelumnya. Selain punya akar yang kuat dalam pemerintahan adat dan formal, Ki Petinggi juga memiliki jaringan politik yang membuatnya mampu menghadirkan kebijakankebijakan desa yang populis dengan dukungan politik dan finansial dari pemerintah Kabupaten Probolinggo. Kebijakan tersebut di antaranya: pembangunan infrastruktur dan akses jalan ke ladang-ladang warga di lereng-lereng gunung, pembuatan infrastruktur penunjang pariwisata, seperti rest area dan kawasan Seruni Point yang dibangun di Dusun Cemoro Lawang, dusun terdekat dengan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).80 Pembangunan infrastruktur pertanian dan penataan sektor jasa pariwisata merupakan keberhasilan Ki Petinggi selama menjabat. Respon positif warga ini memperlancar isterinya saat mencalonkan diri sebagai kepala desa Ngadisari. Berhimpitnya peran adat dan peran pemerintahan formal ini di satu sisi membuat watak pemerintahan desa bersifat oligarkhis, tetapi di sisi lain dapat memperlancar rekognisi aturan adat menjadi aturan formal pemerintah desa. Hal ini bisa terjadi karena kuatnya komitmen pemerintah desa untuk melindungi aset desa, khususnya tanah. Bagi masyarakat adat Tengger, tanah merupakan ibu bumi suci atau ibu pertiwi, mereka menempatkan tanah seperti halnya seorang ibu yang memberikan kebaikan sehingga kedudukannya harus dijaga dan dihormati. Arti simbolis ini, bagi beberapa masyarakat agraris menunjukkan kecintaan atau rasa lekat pada tanah yang dihubungkan dengan penghormatan kepada dewi bumi, ibu pertiwi yang melahirkan kehidupan kodrati (Dillistone, 2002). Sebagai bentuk pengakuan terhadap aturan adat, pemerintah Desa Ngadisari mensahkan Peraturan Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura No. 2 Tahun 2015 tanggal 4 Mei 2015 tentang “Tata Cara Mutasi 80 Bagi masyarakat petani seperti Ngadisari, akses jalan ke ladang merupakan infrastruktur vital yang mampu mengurangi biaya tenaga kerja (buruh angkut) dan mendekatkan pasar. 128 INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA Tanah”. Perdes ini pada intinya mengatur bahwa tanah di Ngadisari tidak boleh dijual atau disewakan kepada pihak luar tanpa rekomendasi kepala desa dan ketua adat. Untuk memperkuat Perdes ini, pemerintah desa melakukan advokasi ke Badan Pertanahan Nasional, sehingga di setiap sertifikat tanah yang diterbitkan untuk warga Ngadisari memiliki stempel berwarna merah yang berisi larangan sebagaimana diatur dalam Perdes No. 2 Tahun 2015. Belajar dari pengalaman Desa Panggungharjo dan Ngadisari, transformasi identitas sebagai masyarakat sipil menjadi bagian dari pemerintahan desa, memberi peluang sangat terbuka komunikasi politik antara pemerintah dengan masyarakatnya. Kades Panggungharjo berasal dari aktivis organisasi masyarakat sipil di tingkat desa sehingga kebijakannya pun mampu merepresentasikan kepentingan masyarakat. Kades Ngadisari berasal tokoh adat sehingga merumuskan kebijakan desa yang merekognisi aturan adat. Perbedaannya, di Panggungharjo baik pemerintah dan masyarakatnya sama-sama aktif, sementara di Ngadisari peran utama lebih dimainkan oleh para elit desa. Sementara warga hanya mengikuti apa yang telah diputuskan oleh elit desa yang duduk di pemerintahan desa dan para tokoh adat. C. Simpul Wacana Berdasar pengalaman beberapa desa tersebut, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik: pertama, gairah dan geliat warga dalam memanfaatkan ruang demokrasi desa dapat dilihat dari munculnya inisiatif warga dalam merespon berbagai isu di desa. Inisiatif warga tersebut akan semakin bermakna jika bisa bertemu dengan dukungan pemerintah yang responsif dan terbuka terhadap suara-suara warga dalam merespon isu-isu publik, sehingga menunjukkan berjalannya demokrasi deliberatif pada aras desa. Kedua, semangat UU 6/2014 129 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL untuk pengelolaan Desa yang semakin demokratis dalam realisasinya tidak sebatas terjadi dalam demokrasi prosedural melalui Musdes, tetapi banyak forum-forum informal yang telah dimanfaatkan masyarakat desa untuk terlibat aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Inisiatif warga desa harus dikanalisasi dalam ruang-ruang demokrasi deliberatif, baik secara formal melalui musyawarah desa, maupun secara infromal melalui engagement (interaksi aktif) warga desa dengan pemerintahan desa. Ketiga, peranan tokoh masyarakat memang diperlukan dalam rangka untuk menyelesaikan konflik tapi jika peran tersebut terlalu dominan apalagi dalam situasi budaya desa yang masih sangat parochial akan memunculkan dominasi elit desa dalam menjalankan kepen­tingannya atas pengelolaan sumberdaya alam dan aset desa. Keempat, isu pengelolaan sumberdaya alam dan aset desa merupakan isu pen­ting dan strategis di desa karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Pengalaman berbagai desa menunjukkan bahwa isu ini menjadi media bekerjanya demokrasi deliberatif. Sensitivitas isu sering mengakibatkan sumber, dan untuk penanganannya tidak bisa dibiarkan hanya didasarkan pada inisiatif warga, pemerintah desa harus responsif sebagai pihak yang mempunyai otoritas untuk menciptakan resolusi konflik yang berkeadilan bagi semua warga desa. Kelima, lingkungan politik yang kondusif berperan penting dalam memunculkan inisiatif warga. Di beberapa desa yang didominasi Kades atau elit lainnya, berdampak miskinnya inisiatif warga, Oleh sebab itu sebagai penyeimbang kekuatan atau dominasi elit desa, diperlukan kekuatan masyarakati sipil atau warga aktif yang berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya alam dan asset desa, serta dalam pengelolaan desa secara keseluruhan. 130 EPILOG Menyemai Demokrasi Desa Tarik ulur antara harapan dan kegalauan sedang mewarnai dinamika desa hari ini. Pada satu sisi, begitu banyak cerita lokal menganyam prestasi, inovasi, dan pola baru pembaharuan desa yang mempesona. Mulai dari kisah sukses bidang pendidikan, teknologi informasi, pemberdayaan ekonomi, peduli lingkungan, tata kelola keuangan, pelayanan publik (Tempo 30.01/2017), dan terobosan lainnya yang layak diacungi jempol. Itulah penanda gairah kebangkitan desa, menepis mitos keterbelakangan (IRE, 2015). Akan tetapi, pada sisi lain kerap muncul sindiran sinis. Meruaknya berita mengenai mal­administrasi, korupsi, degradasi ekologi, konflik komunalitas yang terus membayangi desa, juga menciptakan kekhawatiran akan terjadinya kerusakan fondasi integrasi sosial komunitas. Fenomena ini mengingatkan kita mengenai gambaran bagaimana mengawali penerapan desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah sebagai babak baru pasca politik otoriterisme kala itu yang menandai gelombang awal reformasi. Mengalami fase transisi tentu tidak mudah untuk melangsungkan —meminjam gagasan Berger (1990) sebagai— internalisasi dan pembaharuan nilai-nilai. Dimana pengenalan model demokrasi sebagai sistem mengelola kekuasaan baru 131 bertaut dengan struktur sosial lokal mensyaratkan sekian penyesuaian. Kenya­taannya, karakter budaya lama masyarakat yang dalam beberapa hal terdapat perbedaan memerlukan proses dialog dan adaptasi baik tingkat substansi maupun simbolik. Apa yang juga dialami di daerah dan desa kurang lebih berkisar soal semacam itu. Meskipun demikian, secara bertahap perbaikan dan upaya stra­ tegis dalam rangka pembenahan terus bermunculan, kian meluas, dan kemudian tereplikasi menjadi kebijakan yang terlembaga. Bahkan tidak kurang best practices (pengalaman terbaik) daerah menjadi inspirasi tingkat nasional. Hal itu artinya, proses awal pembaharuan desa sejak diterapkan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, yang masih diliputi keterbatasan tentu bisa dimaklumi. Kuncinya, kita mampu memetik pelajaran dari pengalaman yang baik itu sebagai inspirasi meningkatkan kualitas perubahan ke depan. Apa yang diuraikan didalam bab demi bab buku ini, tentu menjadi bahan menarik untuk mengisi harapan baru itu. Perubahan struktur masyarakat, dinamika politik lokal serta keragaman pola kelola kekuasaan mengisyaratkan potret baru desa, yang kini mulai berubah. Romansa kehidupannya yang dulu identik keterbelakangan, miskin dan tertinggal, secara bertahap makin memancarkan pesona baru yang ditandai dengan tumbuhnya berbagai inisiatif desa sebagai pe­ nanda kebangkitan lokalitas. Perjalanan awal Desa harus menghadapi kesulitan saat memperagakan pendekatan berdemokrasi. Mulai dari hal mendasar tentang model pembangunan, instrumentalisasi kebijakan serta tuntutan menciptakan pembaharuan. Sebagian apa yang dialaminya tidak asing karena sejarah “berdemokrasi” pernah dienyam. Tetapi banyak pula tantangan yang harus disesuaikan sehingga desa gagap mengoperasikannya. Kesemua ini, lagi-lagi perlu dimaklumi karena sejarah lama desa tidak dibiasakan dengan demokrasi dan kemandirian. Jika ditengok sejenak ke belakang misalnya, nampak jelas bagai­ 132 EPILOG mana rasanya begitu lama desa mengalami marginalisasi (peminggiran), baik urusan ekonomi maupun politik. Pengalaman buruk dibawah tekanan corak kekuasaan otoriter Orde Baru di masa lalu menjadikan desa sebagai objek pembangunan. Sekalipun selalu didendangkan strategi pembangunan berlabel swadaya, penerapan moder­ nisasi pertanian, justru desa semakin tereksploitasi. Dari rekaman historis, tidak sulit mengingat bagaimana proyek ambisus green revolution (revolusi hijau) sebagai reformulasi model pembangunan desa saat itu menekankan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada sektor pertanian. Perubahan sporadis dengan cita rasa kemajuan desa yang modern, toh pada akhirnya gagal menciptakan pemerataan dan kemandirian. Justru desa mengalami pelumpuhan sistemik. Selain terjadi kesenjangan sosial, kerusakan ekologi, juga membuat nirdaya masyarakat karena pranata sosial dijinakkan oleh kebijakan politik korporatik. UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa saat itu menjadi faktor yang menjelaskan kebangkrutan desa dan masyarakat adat (IRE, 2010). Regulasi itu mengubah relasi kuasa pengeloaan sumberdaya desa dalam kendali negara. Marginalisasi desa menjadi cerita suram yang mengisi sejarah lokalitas saat itu. Sejak angin perubahan berhembus sebagai dampak reformasi, semangat membangkitkan kembali komunitas grassroots (akar rumput) ini mulai menguat. Ada harapan menjadikan desa sebagai poros pembangunan lokal penopang pembangunan nasional. Komitmen awal itu, paling tidak tercermin dari nafas UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang di dalamnya mengatur desa. Regulasi tersebut hendak mengembalikan roh desa pada asal-usulnya, yakni kemandirian. Selain sebagai bentuk rekognisi (pengakuan), kebijakan itu memberi ruang desa bernegosiasi dalam pembangunan daerah. Melalui desentralisasi kekuasaan bertajuk otonomi daerah, 133 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL diharapkan mendorong pembaharuan desa. Jika bobot kekuasaan perencanaan pembangunan diletakkan pada daerah, dimungkinkan inisiatif dari bawah, yakni masyarakat, akan mendapatkan tempat. Disitulah kemudian dikenal model musyawarah perencanaan pem­ bangunan (musrenbang) daerah yang mengombinasi pendekatan politik, teknokrasi, dan partisipasi. Harapannya, penyerapan aspirasi lokal benar-benar dari grassroots. Sayangnya otonomi daerah ternyata hanya menjadi berkah buat elit lokal dan belum sampai di rasakan nyata oleh rakyat desa. Otoritas kelola sumberdaya hanya mempertebal pembagian kue APBD yang dinikmati oleh pemerintah daerah dengan warna patronase politik yang mengitarinya. Distribusi manfaat pembangunan sangat terbatas dan tidak sampai menembus di akar rumput. Kalaupun sampai ke masyarakat, tidak lebih bersifat residual atau hanya mendapat sisa. Senyatanya, tidak ada korelasi positif antara tingginya partisipasi warga dengan besaran akses masyarakat pada APBD. Keberlangsu­ ngan otonomi daerah belum mengatasi ketidakberdayaan desa (Tempo. Co, 15/11/2016). Ketika otonomi daerah gagal membawa misi memberdayakan desa, kunci terpenting mengubah nasib desa sesungguhnya perlu menggeser pendulum kuasa politik pembangunan pada dataran pa­ling bawah, yakni desa itu sendiri. Ketimpangan relasi kuasa desa de­ngan supradesa (Kabupaten dan struktur di atasnya) menjadi penyebab pokok mengapa ketidakberdayaan desa terus berlangsung. Terbitnya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, dirasa sebagai salah satu jawaban. Selain memberi pesan eksplisit berupa pengakuan (recognition) negara pada desa, regulasi ini juga memperjelas kedudukan dan kewenangan desa dalam politik pembangunan. Bahkan meredistribusi sumberdaya secara lebih nyata kepada desa dalam bentuk dana desa. Ini lompatan besar untuk menuju pembaharuan desa. 134 EPILOG Jika dulu desa disatu sisi hanya dipompa untuk memperbesar partisipasi warga, sementara disisi lain disumbat oleh kewenangan supradesa, maka pola itu dibalik. Desa memiliki kesempatan dan “kuasa baru” yang dapat dimanfaatkan untuk mengubah keadaan dirinya menjadi subjek. Meminjam pemikiran Foucault (1969), partisipasi baru masyarakat, artikulasi gagasan dan pengetahuan yang berproses itu berkesempatan mengambilalih ”kekuasaan baru”, menginterpretasi, kemudian terlibat berpolitik dalam pengertian yang lebih luas. Itulah yang secara eksplisit terjelaskan bahwa, kini Desa memiliki kewenangan untuk menentukan sendiri orientasi pembangunan. Perencanaan pembangunan Desa berisi tentang apa yang menjadi kepentingan dan prioritas pemerintah dan warga desa itu sendiri. Dengan demikian secara bertahap juga, ruang negosiasi ter­ bangun. Dalam arena yang lebih luas, representasi sosial tidak lagi dimonopoli oleh, —meminjam bahasa Bottomore (1966)—, para elit (rulling class) yang memegang kekuasaan formal ekonomi-politik. Representasi sosial lebih menyebar sehingga memungkinkan sirkulasi sosial secara lebih terbuka. Akses untuk melibatkan diri dalam proses sosial ini sebagai kuasa baru, —yang oleh Foucault (2012)—, disebut sebagai, kekuasaan yang menyebar (decentering). Hal ini memantik pertanyaan kritis: arena apa yang bisa dimanfaatkan bagi masyarakat dan komponen lainnya dalam mengambil keputusan bersama? UU Desa mewadahi partisipasi warga melalui musyawarah desa (musdes) sebagai arena dimana kontestasi dan pertarungan kepen­ tingan dilangsungkan sampai menghasilkan konsensus. Disitulah, menggambarkan apa yang oleh Habermas (1985) disebut gerbang terbangunnya demokrasi, situasi dimana relasi masyarakat yang lebih terbuka, saling mempengaruhi, mensyaratkan corak relasi egaliter, sehingga komunikasi terbebas dari dominasi dan hegemoni oleh siapapun. 135 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Tidak berhenti sebatas sebagai arena kontestasi gagasan, musya­ warah desa juga bisa menghasilkan konsensus dari pertarungan dan negosiasi kepentingan para pemangku kepentingan desa. Ukurannya adalah, musdes bisa menghasilkan produk dokumen Rencana Pemba­ ngunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa), yang kemudian diturunkan menjadi Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKPDesa), selanjutnya secara konkrit dianggarkan dalam Rencana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Desa (RAPBDesa). Dengan begitu, Desa pada tingkat tertentu begitu otonom memiliki kewenangan mengambil keputusan strategis, merencanakan, menganggarkan, dan meng­ implemetasi serta mengawasi pelaksanaan pembangunan. Hal ini bermakna UU Desa telah mengubah pola relasi politik pembangunan secara nyata. Perubahan hubungan struktural semacam ini memberi peluang desa tidak lagi bergantung oleh selera diatasnya (Arie Sujito, 2014). Jika dulu desa hanya menjadi lokasi proyek, atau sekadar ajang komodifikasi oleh gugusan elit lokal, maka rantai manipulasi pembangunan semacam itu dapat diputus. Bahkan, modelmodel pembangunan sektoral yang mutilatif (membelah-belah desa secara parsial) sebagai bagian rekayasa teknokratik oleh dinas-dinas SKPD kabupaten/kota dapat dicegah (Sutoro Eko, 2014). Karena itu, konsolidasi pembangunan dimungkinkan terjadi. Itulah substansi desa menjadi subjek pembangunan, yang menempatkan cara pandang dari dalam desa (IRE, 2014). Sekalipun masih berusia muda, kebijakan ini telah menumbuhkan harapan baru. Tercatat sejumlah inisiatif bermunculan. Banyak contoh desa-desa telah merintis jalan pembaharuan. Prestasi mengelola aset desa, rintisan pembangunan badan usaha milik desa (BUMDesa), penataan administrasi dan keuangan, sistem informasi desa, maupun regrouping sosial dan penguatan forum-forum kewargaan menjadi bukti awal yang dapat dijadikan sebagai rintisan perbaikan (IRE, 2016). 136 EPILOG Desa-desa di Indonesia memang tidak dalam posisi titik berangkat yang sama. Kondisi ini terjadi karena warisan masa lalu dimana pola pembangunan menciptakan kesenjangan kapasitas antar desa serta tipologi desa yang tidak mungkin sama satu sama lain. Itulah tantangan serius yang dihadapi. Ada desa-desa yang cepat bergerak begitu cepat dan aktif, responsif atas arus baru yang mendorong terjadinya akselerasi pembenahan di berbagai hal. Karena itulah, muncul desa unggul dengan berbagai indikator. Namun, diseberang lain, keterbatasan SDM, masih bersemayamnya kultur feodalisme, penyakit menahun berupa ketergantungan serta pola kepemimpinan konservatif (kolot, anti perubahan) menjadi masalah yang masih membelit. Hal ini memuculkan sejumlah kekhawatiran mengenai ketidakmampuan desa dalam memanfaatkan kesempatan mengelola kewenangan ini. Salah-salah bisa terjebak konflik dan korupsi. Kondisi tersebut, tentu harus dimaklumi pada fase awal ini, seraya terus berbenah sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini. Pelajaran Penting Jika diabstraksi dari tiga tema yang diulas dari buku ini menandaskan catatan penting yang menarik untuk didiskusikan. Pertama, berkenaan dengan kepemimpinan desa, memang ada kehendak kuat untuk melakukan pembaharuan corak kekuasaan dari pola lama kepemimpinan yang bersifat feodalistik yang diekspresikan dengan cara-cara otoriter yang sudah dianggap usang. Perwujudan transformasi desa dalam nafas demokrasi mengharuskan kepemimpinan yang prorakyat dan egaliter. Pengertian prorakyat adalah, pemimpin yang membangun desa dengan landasan nilai-nilai peduli, komitmen, dan amanah atas apa yang dikehendaki rakyatnya. Orientasi semacam ini ditandai oleh watak kekuasaan sang pemimpin yang egaliter, memperlakukan warganya secara adil tidak diskriminatif, 137 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL bahkan mudah dijangkau oleh masyarakat klas bawah. Artinya ke­ pemim­pinan desa diperlukan lebih terbuka, baik untuk menampung masukan, kritik maupun kemudahan masyarakat mengakses informasi atau kebijakan yang menjadi tugas dan domain pemerintahan desa. Dengan begitu, pemimpin akan memiliki legitimasi (pengakuan moral sosial) dari warganya, sehingga berdampak meningkatnya partisipasi karena masyarakat kian peduli. Beberapa desa telah mengabarkan berita positif soal lahirnya kepemimpinan model ini, yang dianggap sebagai modalitas penting bagi bekerjanya demokrasi desa. Namun, harus diakui masih banyak desa yang dihinggapi pola pemimpin yang konservatif, bahkan terjebak pada oportunistik (mencuri kesempatan, aji mumpung) dengan gaya premanisme lokal. Ada pula pemimpin yang lebih berkonsentrasi pada hal-hal administratif ketimbang berinovasi untuk membuat terobosan di bidang pemerintahan, pelayanan publik maupun model pembangunan desa. Kondisi tersebut menyimpan pesan, bahwa sekalipun patronase elit masih kuat pada Desa asli dan parokial sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, akan berhadapan dengan kecenderungan inisiatif warga yang kuat dimana prakarsa warga menjadi kontrol atas dominasi elit. Itulah tesis penting yang perlu untuk dikembangkan jika demokrasi desa akan diperjuangkan di desa. Demikian pula, setidaknya UU Desa berhasil memaksa lahirnya model kepemimpinan normatif (sesuai gagasan formal yang diemban regulasi), dimana melalui pengaturan asas-asas yang mendorong inklusi dan akuntabilitas sosial memungkinkan bisa terjadi pembaharuan. Namun demikian, problem serius yang perlu diantisipasi adalah potensi dinasti politik masih berpeluang terjadi di desa. Kekuasaan, dalam derajat tertentu masih berpeluang sebagai penyangga kepentingan ekonomi politik para elit lokal, khususnya potensi mencari rente. 138 EPILOG Kedua, fungsi representasi untuk memastikan demokrasi komu­ nitas bekerja, menunjukkan sejumlah kemajuan yang berarti. Peran BPD yang mewakili aspirasi dan suara masyarakat desa, makin terdorong aktif sebagai pengontrol pemerintah desa. Demikian pula fungsi legislasi dan budgeting. Peran semacam ini tergolong baru, karena ada beberapa desa yang belum sepenuhnya mengaktifkan BPD untuk menggerakan demokrasi desa. Selain hambatan kapasitas SDM, kultur lama yang feodal juga kerap menjadi kendala BPD dalam meningkatkan kualitas perannya.Tantangan untuk mengubur pola oligarkhi dan representasi simbolik masih harus dijawab dan diupayakan lebih kuat, agar tumbuh cara kerja lembaga perwakilan dengan langgam kolektivitas. Terdapat fakta menarik di desa pada awal-awal perubahan, sejauh ini mencoba mengkombinasikan gaya keterwakilan formal dengan informal. Saat dimana BPD dibayangi kesulitan mengartikulasi dan mengagregasikan kepentingan rakyat desa dengan berbagai alasan, sumbatan-sumbatan itu disalurkan melalui jalur informalitas yang lebih dianggap mengakar dan dekat dengan “suasana batin” rakyat desa. Sejauh ini mereka bisa saja memanfaatkan jalur agensi baru atau tokoh lama yang dianggap artikulatif dan bisa berperan sebagai “pe­nyambung lidah rakyat”, maupun pendekatan lain yang “non birokratik”. Suatu model lama yang masih dianggap relevan mengiringi sistem demokrasi prosedural. Hal lain yang perlu dicatat mengenai BPD ini adalah kesulitan membangun institusi yang inklusif, terutama terhadap kelompok rentan dan marginal. Disitu tercatat pula komposisi gender belum seimbang, dimana BPD dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan publik yang masih didominasi oleh laki-laki. Hal ini berdampak pada masih lemahnya akses perempuan dan kelompok marjinal terhadap sumber daya ekonomi di Desa. Ketiga, sejak kran partisipasi dibuka, maka sejumlah inisiasi warga 139 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL bermunculan. Temuan pada sejumlah desa sebagaimana diulas pada bab sebelumnya menjelaskan pengelompokan masyarakat sektor pertanian, keagamaan, pariwisata, perempuan, difable, pemuda, maupun lokuslokus lain yang menggambarkan aktivitas keseharian masyarakat desa. Makin hidupnya inisiatif dengan bertumpu pada kelompok komunitas merupakan modalitas berharga dalam menghimpun aspirasi sehingga inisiatif itu dapat diakumulasikan dalam forum-forum yang lebih besar selevel musdes maupun musrenbangdes. Tidak bisa dipungkiri bahwa ruang lahirnya komunitas warga yang bergerak memperjuangkan isu-isu publik dalam arena-arena formal dan informal di Desa makin menguat. Jika dulu masyarakat sa­ ngat minimalis dalam mengambil inisiasi dalam pembangunan, bahkan cenderung pasif, kini sudah berubah. Sekalipun inisiasi itu masih terbatas atau, akan tetapi jika diolah dengan baik dan terorganisir maka bisa menjadi daya ungkit emansipatif. Dengan begitu, akan membantu membangun kerja bersama dan engagement antar pihak di desa. Dalam jangka panjang, pelibatan masyarakat sipil dengan kombinasi jalur artikulasi ini menjadi peluang mendorong inklusi sosial di Desa. Bahkan dalam sejumlah kasus menunjukkan bahwa inovasi yang digerakkan oleh kelompok civil society terbukti berkontribusi meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan secara nyata (lihat kesimpulan kunci dari buku ini), termasuk perbaikan pelayanan publik. Ini capaian menarik sekaligus tantangan. Menakar Makna Baru Jika ketiga tema (kepemimpinan, representasi, dan inisiasi warga) itu diperdalam terkait beberapa faktor; (1) pembentukan kepenti­ ngan publik; (2) perluasan ruang publik; (3) inklusivitas aspirasi; 4) fenomena aglomerasi berlatar belakang ekspansi modal dari supra­desa, menarik untuk dipelajari. Studi ini telah mengidentifikasi 10 kasus 140 EPILOG bekerjanya tiga tema tersebut ke masing-masing faktor, sebagaimana diuraikan di dalam matriks terlampir dalam buku ini. Selanjutnya, beberapa hal pen­ting dapat dicatat sebagai berikut. Pertama, Public interest formation. Isu, masalah, dan kebutuhan dasar masyarakat yang dulu sering tenggelam dan termarginalisasi oleh karena kepentingan elit desa dan didomestifikasi karena pe­ ngaruh hegemonik golongan berkuasa, kini mulai bergeser ke tengah menjadi kepentingan publik dan berhasil menarik perhatian banyak pihak di desa. Bahkan, menjadi pokok bahasan dalam arena formal desa. Wacana komunitas juga diwarnai dengan tema dan masalah dasar masyarakat. Hal Ini menjadi temuan menarik sekaligus sebagai kabar baik, dimana terdapat perubahan cara pandang mengenai isu publik. Pembentukan kepentingan publik semacam ini hanya terjadi pada desa dimana corak kepemimpinan bersifat relatif terbuka. Gaya kepemimpinan Kepala Desa yang bertanggung jawab, berkomitmen, dan peka pada suara dan kebutuhan masyarakat, bertemu dengan kemampuan lembaga representasi (BPD) dalam mengagregasikan kepentingan warga, tentu menjadi modal penting untuk memperjuangkan kepentingan warga. Sebut saja misalnya urusan air, pela­yanan publik, infrastruktur, ruang publik, BUMDes, serta sumberdaya ekonomi sejenis di desa. Corak open leadership (kepemimpinan terbuka) dan peran BPD yang responsif, dalam beberapa kasus berhasil mengolah inisiatif aktif para warganya dan biasanya menjadikan aspirasi warga sebagai bahan pertimbangan utama mengambil keputusan strategis di desa. Pengalaman pada desa Umbulharjo, Panggungharjo, Punjulharjo, Mekarjaya, dan Nglanggeran menunjukkan beberapa bukti bagaimana beberapa masalah pokok masyarakat grassroots diangkat sebagai isu bersama yang layak diperjuangkan. Pengalaman beberapa desa ini 141 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL dapatlah dianggap sebagai lompatan penting, layak dijadikan sebagai modalitas mendorong kesadaran kolektif memperkuat sikap peduli isu publik. Dengan kalimat lain, dapat pula disebut sebagai penanda gerak nadi demokrasi desa yang bermakna untuk masyarakat. Meski demikian, temuan positif ini, dalam beberapa hal tidak bisa dipungkiri ternyata berseberangan dengan desa lainnya yakni Sidorejo, Gulon, Ringinrejo, Ngadisari, dan Cangkudu dimana situasinya justeru berkebalikan. Kedua, public space extension. Salah satu problem serius yang dihadapi desa adalah penyempitan akses masyarakat untuk terlibat dan mempengaruhi didalam proses mengambil keputusan strategis, yang menyangkut masa depan desanya. Riset ini menemukan hal menarik, bahwa dalam prosesnya sejauh ini menunjukkan rata-rata para Kepala Desa semakin terdorong untuk seinklusif mungkin disaat merancang pembangunan dan atau agenda lainnya yang dinilai strategis, dengan cara membuka kesempatan seluasnya pelibatan masyarakat. Selain disadari bahwa hal demikian merupakan prinsip tata kelola yang baik dan keharusan dalam membuat kebijakan, disisi lain para perangkat desa mereka juga menyadari keterbatasan diri sehingga harus membuka akses agar mendapatkan masukan publik. Begitupun dengan BPD, berhasil memanfaatkan musyawarah desa sebagai arena formal, ditransformasi menjadi ruang “curhat” dan media kontestasi pengetahuan dengan topangan forum-forum informal di komunitas. Makin meluasnya ruang publik dan berhasil dijangkau oleh hampir semua lapis sosial masyarakat telah memantik peningkatan inisiatif warga, yang dalam beberapa hal, merupakan cara dan mekanisme baru menegosiasikan kepentingan agar berpengaruh pada kebijakan desa. Rata-rata desa seperti ini berhasil mendorong perubahan yang bisa dirasakan masyarakatnya. Ketiga, inklusivitas. Senafas dengan faktor terbukanya akses 142 EPILOG publik, desa yang berhasil memeragakan pendekatan semacam itu juga mampu menciptakan kebijakan yang cenderung inklusif. Beberapa pengalaman pada 10 desa, hampir semua desa itu pada aspek kepemimpinan, keterwakilan, dan inisiasi telah menghasilkan produk kebijakan yang mampu mengakomodasi kepentingan publik yang lebih luas. Paling tidak, kombinasi peran pemerintah desa, BPD, dan kelompok masyarakat yang menautkan pendekatan teknokrasi dan partisipasi telah memungkinkan hadirnya kebijakan anti diskiriminasi pada kelompok-kelompok pinggiran. Temuan corak produk kebijakan inklusif ini menepis keraguan bahwa golongan minoritas pinggiran tidak mendapatkan tempat dalam menentukan keputusan desa. Sebab, sejauh ini, memang ada kekhawatiran mengenai potensi politik diskriminatif yang mengancam demokrasi yang diindikasikan dengan penyusunan keputusan yang tidak melibatkan golongan “silent” dan marginal seperti difable, petani, nelayan, buruh, anak-anak, dan perempuan. Temuan lain yang menarik, —bisa jadi anomali— ada sejumlah desa yang menjadi kajian IRE ini, sekalipun produk kebijakan dinilai relatif inklusif, namun tidak melalui proses pembentukan kebijakan yang partisipatif. Katagori semacam ini dimungkinkan dengan peran “elit terbatas” dimana mereka berhasil memasukkan beberapa usulan populis dalam kebijakan yang lebih mendekati kehendak rakyat. Keempat, capital-driven aglomeration. Urat nadi dalam pencapaian tujuan kesejahteraan desa bergantung pada kemampuan gerak ekonomi agar bisa menghasilkan pendapatan bagi desa. Hampir semua desa menyadari kebutuhan kerjasama antar desa maupun pihak lain untuk mengakselerasi capaian ekonomi desa, yang diindikasi diantaranya soal orientasi memanfaatkan investasi disatu sisi, dan pada sisi lain pemeliharaan pada kelestarian lingkungan. Debat paradigmatik pembangunan secara artikulatif muncul dimana terjadi tarik ulur 143 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL antara penumpuan diri pada pertumbuhan ekonomi dalam satu posisi de­ngan tema keberlanjutan lingkungan pada posisi berbeda. Jika dikelompokkan dengan beberapa katagori, misalnya mereka yang dapat disebut ekstrim dengan menolak kehadiran investasi dari luar dengan berbagai alasan seperti Punjulharjo. Ada pula bersikap kritis pada investasi dengan memberi bobot perhatian pada penyan­ dingan sensitivitas pada perlindungan aset maupun dalam rangka kelestarian lingkungan seperti nglanggeran dan Ngadisari. Namun ada juga yang permisif atas kepentingan publik dan keberlanjutan ekologi. Beberapa desa, terkait tema pengembangan ekonomi dengan dorongan investasi ternyata kehendak elit pemerintahan desa tidak sepenuhnya berjalan seiring dengan masyarakat. Perseberangan ini terjadi, baik antara Pemdes dengan BPD, bahkan masyarakatnya. Hal paling sering terjadi adalah kepentingan pemanfaatkan sumberdaya agraria seperti air, tanah, dan juga sumberdaya strategis lainnya, misalnya benturan antara kepentingan petani yang mempertahankan pemanfaatan tanah untuk kegiatan pertanian, sementara elit desa mengorientasikan pada kegiatan wisata yang rawan pada kerusakan ekologi biotis dan nonbiotis. Kesulitan lain untuk soal pengembangan ekonomi dan daya dukung modal ini terkait pula dengan fragmentasi kebijakan, tumpang tindih antara regulasi sektoral dengan UU Desa sebagai sentra orientasi desa. Hal demikian menjadi penyebab seringkali desa ragu untuk menentukan kebijakan dengan sejumlah kekhawatiran benturan dengan supradesa. Merintis jalan baru Mempertimbangkan kecenderungan pola manajemen kekuasaan serta lanskap dinamik partisipasi sebagaimana pengalaman yang bisa dipetik dari 10 desa, tampak jelas orientasi yang dituju cende­ rung model deliberative democracy. Sejumlah pendekatan demokrasi 144 EPILOG partisipatorik setidaknya telah mampu menjadi daya ungkit mendasar bagaimana inisiatif warga berhasil masuk arena strategis seperti musdes, bertaut dengan political will (kehendak baik) pemegang kuasa formal seperti Kepala Desa dan perangkatnya yang kian didorong terbuka dan responsif, diperkuat oleh agregasi dan peran artikulasi BPD sesuai dengan tugas dan fungsi yang diembannya. Arena-arena baru musdes, musrenbangdes, maupun forumforum sektoral komunitas telah menjadi habitat subur bagi tumbuh dan terbangunnya sikap interaksi kekuasaan yang makin cair. Praktik kekuasaan di desa telah menampilkan keunikan yang khas, sebagai situs baru demokrasi lokal yang jika dirumuskan sebagai pola deliberative democracy. Partisipasi dan inisiasi warga berisi kombinasi antara peran tokoh, kesadaran akan hak-hak dasar, dan modal sosial merupakan kekuatan penting sebagai faktor penggerak demokrasi desa. Demikian pula gaya pemimpin yang bergeser ke arah “terbuka, berkomitmen, dan tanggap” menjadi peluang politik pembaharuan dalam menyusun kebijakan publik desa yang lebih berpihak pada rakyat. Kehadiran BPD juga sangah jauh berubah lebih maju. Kesan lama seolah lembaga re­ presentasi ini dulu dikesankan sebagai “kumpulan golongan sakit hati” atau lembaga kaum oligark, kini bergeser menjadi lembaga perwakilan yang menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat desa. Pada akhirnya kita perlu menyadari betul bahwa masa depan desa, terutama demokrasi warga sebagai pilar lokalitas sejak implementasi UU Desa sangat dipengaruhi oleh bagaimana kita mampu mendialogkan antara narasi besar berupa paradigma demokrasi dengan realitas empirik atau cerita lokal yang ada saat ini. Kita perlu memperkuat perimbangan wacana atau pembicaraan praksis, tidak hanya berkutat pada wacana teknis, pandangan teknokratik administratif, yang dalam beberapa hal terjebak pada birokratisasi dalam membaca gerak desa. Namun harus dilengkapi dengan hal-hal substansi yang mencakup 145 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL ideologi, metodologi kerja pemberdayaan serta nilai-nilai transformasi desa yang dibutuhkan Desa secara praksis partisipatoris. Kita memerlukan kerja-kerja konkrit mendorong inisiatif dan kreativitas baru untuk memaknai peluang perubahan yang lebih bermakna. Disadari pula bahwa kerja pembaharuan desa bukan semestinya berangkat dari jebakan perselisihan teknis administratif, yang ujungujungnya sekadar “menakut-nakuti desa”. Energi Desa jangan sampai habis untuk membahas hal-hal teknis instrumental yang begitu asing dengan desa. Jika hal-hal substansi ini berproses dengan mendalam, hangat dan menyenangkan bagi orang-orang desa, maka optimisme keberhasilan pembaharuan desa akan dapat dibuktikan capaiannya. Pekerjaan yang musti dilakukan adalah, bagaimana mengawal perubahan desa ini agar sesuai harapan. Sejumlah kemajuan desa, terobosan dan inovasi yang tumbuh yang bisa dipetik dari 10 desa sebagaimana diulas dalam buku ini, tentu dengan cerita positif desadesa lainnya di Indonesia perlu dipikirkan keberlanjutannya. Demikian pula hambatan yang masih merintangi desa baik bersumber karena fragmentasi regulasi dan kebijakan, maupun keterbatasan kapasitas pada masing-masing komponen desa dalam menerjemahkan kerja praksis, juga perlu didampingi. Pintu perubahan lokalitas desa makin terbuka. Keberhasilan memanfaatkan kesempatan ini berarti menjadi jalan mewujudkan transformasi yang bermakna, menghasilkan desa mandiri, sejahtera dan berwatak demokratis. Pengalaman membangun dari bawah, desa, meyakinkan betapa situs baru demokrasi lokal ini layak dirawat dan dikembangkan sebagai alternatif pendekatan membangun demokrasi Indonesia. 146 DAFTAR PUSTAKA Antlöv, H. (2002). Negara dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal. Yogyakarta: Lapera. Antlöv, H. & Cederroth, Sven (2001). Kepemimpinan Jawa. Antlöv, Hans (2003). Kerangka Hukum Pemerintahan Desa Menurut UU No. 22 Tahun 1999, Jurnal Forum Inovasi, Maret-Mei 2003. Antlöv, Hans (2004). Civic Engagement in Local Government Renewal in Indonesia, in Hans Antlov, et.al (2004), Citizen Participation in Local Governance: Experiences from Thailand, Indonesia, and the Philippines (Manila: IPD for Logolink Southeast Asia). Bruinessen, M. v. (1994). NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS. Chamber, R. (1996). Participatory Rural Appraisal, Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius. Cho, Hee-Yeon (2008), “Democratization in Asia: Oligarchic Democracy and Democratic Oligarchy,” dalam Cho, Hee-Yeon Cho, Lawrence Surendra and Eun-hong Park [eds.] (2008), States of Democracy: Oligarchic Democracies and Asian Democratization (Chinnai: Earthworm Books). Darmawan, T. (2006). Gerakan Social, Wahana Civil Society Bagi Demokratisasi, Jakarta: Pustaka LP3ES. 147 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL Demos (2005), Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia (Jakarta: Demos). Diamond, L.(2005). Developing Democray, Toward Consolidation, Yogyakarta: IRE Press. Denhardt and Denhardt (2003). The New Public Service, Serving Not Steering, London: M.E Sharpe. Eko, Sutoro Eko. (2014). Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta: FPPD. Forrest, Joshua B. (2014). The Demise of Territorial Localism, paper prepared for presentation at the 23rd World Congress of Political Science, International Political Science Association, Montréal, Canada, July 22nd. Hadiz, Vedi R & Robison, Richard (2004), Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. (London: RoutledgeCurzon). Harriss, dkk. (2004). Politisasi Demokrasi, Politik Lokal Baru, Jakarta: Demos. Hefner, R. (1983). Ritual and Cultural Reproduction in Non-Islamic Java. American Etnologist, Vol. 10, No. 4. Husken, Frans.(1998). Masyarakat Desa Dalam Perubahan Jaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980, Jakarta: Gramedia. Husna, Lilis Nurul (2009). Berprakarsa untuk Menjamin Partisipasi: Dokumentasi Pengalaman Organisasi Masyarakat Warga dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik, LGSP-USAID. Ishak Salim, Perspektif Difabel dalam Politik di Indonesia, dalam Jurnal Difabel, Vol. 2 No.2, 2015 148 DAFTAR PUSTAKA IRE. (2002). Annual Report 2001-2002: Desentralisasi dan Demokrasi Lokal. Yogyakarta: IRE Yogyakarta. Jay, R. (1956). Local Government in Rural Central Java. Journal of Asian Studies, Vol. 15, No. 2. Ki Herman Sinung Janutama, Polowijan; Disabilitas dalam Masyarakat Eksotik, Lembaga SAPDA dan Kalimah Nuswantara, 2015 Klinken, Gerry van (2014), “Demokrasi Patronase Indonesia di Tingkat Provinsial,” dalam AE Priyono & Usman Hamid (2014), Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia). Kuntowijoyo. (2002). Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang Budaya. Mietzner, Marcus (2012), “Indonesia Democratic Stagnation: AntiReformist Elits and Resilient Civil Society,” Democratization, Vol. 19, No. 2. Masaaki O, dkk (2006). Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta: IRE Press Mustakim, Mochammad Z, (2015). Kepemimpinan Desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia. Mulder, N. (2001). Ideologi Kepemimpinan Jawa. Dalam H. Antlov, & S. Cederroth, Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Peluso, Nancy Lee (2007), Violence, Decentralization and Resources Access in Indonesia, Peace Review, A Journal of Social Justice, No. 19, 2007. Piliang Yasraf A, dkk. (2005). Republik Tanpa Ruang Publik, Yogyakar- 149 DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL ta: IRE Press. Rogers, Everett M, (1983). Diffusions of Innovations, Third Edition. New York: Tree Press Ruslin, Muhammad Afif (2000), Desa dan Negara: Studi tentang Kemandiran Desa dalam Konteks UU No. 22 Tahun 1999, Skripsi pada Jurusan Ilmu Politik, FISIPOL, UGM. Rajendar Singh, Social Movement, Old and New, A Post-modernist Critique, Sage Publication, New Delhi, 2001 Ro’fiah, Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur, dalam Jurnal Difabel, Vol. 2 No.2, 2015 Robson, S. (1987). The Terminology of Javanese Kinship. Bijdragen tot Taal Land en Volkenkunde, Vol. 143, No. 4. Rozaki, Abdur. Dkk (2014). Dari Representasi Simbolik Menuju Representasi Subtantif. Yogyakarta: IRE Press. Sidel, J. T. (2004). Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia: Menuju Kerangka Analisis Baru Tentang “Orang Kuat Lokal”. Dalam J. Harriss, K. Stokke, & O. Tornquist, Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru (hal. 71-104). Jakarta: Demos. Sujito, Arie, 2016, “Desa dan Tantangan Demokrasi Lokal” (Makalah, 2016) Tim Riset IRE Yogyakarta. (2017). Research Paper Studi Stock Taking terhadap Inisiatif Desa dalam Mengembangkan Transparansi dan Akuntabilitas melalui Praktik-Praktik Demokrasi Lokal. Yogyakarta: IRE. Waluyo, H. (1997). Sistem Pemerintahan Tradisional di Tengger Jawa Timur. Jakarta: Depdikbud 150 DAFTAR PUSTAKA Winters, Jeffrey A. (2014), Oligarki dan Demokrasi di Indonesia, dalam AE Priyono & Usman Hamid (2014), Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Zakaria, Y. (2000). Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru. Jakarta: ELSAM. 151 152 Public Interest Formation (Pembentukan kepentingan publik) FAKTOR LAMPIRAN 3.Punjulharjo: warga berkepentingan atas otonomi pengelolaan Karang Jahe Beach guna reclaiming kesejahteraan 3.Punjulharjo : BPD kredibel, representatif dan kapabel atas kepentingan pengelolaan Karang Jahe Beach 3.Punjulharjo: Kades merespon, terbuka dan bertanggungjawab atas kepentingan pengelolaan Karang Jahe Beach 2.Panggungharjo : warga berkepentingan atas reformasi birokrasi dan pelayanan publik guna reclaiming kesejahteraan 2.Panggungharjo: BPD kredibel, representatif dan kapabel atas kepentingan reformasi birokrasi dan pelayanan publik 2.Panggungharjo: Kades merespon, terbuka dan bertanggungjawab atas kepentingan reformasi birokrasi dan pelayanan publik 1.Umbulharjo: warga berkepentingan atas otonomi pengelolaan air bersih guna reclaiming kesejahteraan (idea of local territorial autonomy, reassertion and reclaiming of welfare) CITIZEN INITIATIVE 1.Umbulharjo : BPD kredibel, representatif dan kapabel atas kepentingan pengelolaan air bersih. Forum-forum informal desa demikian juga REPRESENTATION (credibility, representativeness capability) 1.Umbulharjo: Kades merespon, terbuka dan bertanggungjawab atas kepentingan pengelolan air bersih (responsivity, responsibility, and transparancy) LEADERSHIP Kerangka Analisis Politik Partisipatoris Tabel 4.Mekarjaya: Kades 4.Mekarjaya: BPD kredibel, 4.Mekarjaya: warga merespon, terbuka dan representatif dan kapabel berkepentingan atas pembertanggungjawab atas atas kepentingan pembanbangunan lapangan sepak kepentingan pembangugunan lapangan sepak bola bola guna reclaiming kesnan lapangan sepak bola ejahteraan pembangunan 5.Nglanggeran: BPD kurang lapangan sepak bola 5.Nglanggeran: Kades kredibel, kurang represenmerespon, terbuka dan tatif dan tidak kapabel atas 5.Nglanggeran: warga bertanggungjawab atas kepentingan pengelolaan berkepentingan atas kepentingan pengeloSitus Gunung Api Purba. otonomi pengelolaan laan Situs Gunung Api Forum-forum infomal desa Situs Gunung Purba guna Purba Nglanggeran justru kredibel, representatif reclaiming kesejahteraan dan kapabel 6.Sidorejo: Kades mer6.Sidorejo: warga (kelompok espon, terbuka dan 6.Sidorejo: BPD kurang kredimarginal) berkepentingan bertanggungjawab atas bel, kurang representatif dan atas isu desa inklusi guna kepentingan mengemtidak kapabel atas kepentinreclaiming kesejahteraan bangkan desa inklusi gan mendorong desa inklusi 7.Gulon: inisiatif warga lemah 7.Gulon: Kades kurang 7.Gulon: BPD kurang kredidan tidak berkepentinresponsif dan kurang bel, kurang representatif gan atas pembangunan terbuka terhadap dan tidak kapabel atas rusunawa kepentingan publik atas kepentingan pembangunan pembangunan rusunawa rusunawa LAMPIRAN 153 154 8.Ringinrejo: BPD kurang kredibel, kurang representatif dan tidak kapabel atas kepentingan reclaiming tanah. Forum informal justru kredibel dan kapabel atas kepentingan reclaiming lahan 9.Ngadisari: BPD kurang kredibel, kurang representatif dan tidak kapabel atas kepentingan perlindungan 10. Cangkudu: Kades aset tanah tidak responsif, dan tidak terbuka atas kepentin10. Cangkudu: BPD gan reformasi pelayanan kurang kredibel, kurang reppublik resentatif dan tidak kapabel atas kepentingan reformasi pelayanan publik 9.Ngadisari: Kades dikendalikan oleh pemimpin informal dalam memutuskan kepentingan Perdes Perlindungan Tanah Masyarakat Ngadisari. 8.Ringinrejo: Kades tidak responsif, tidak terbuka dan kurang bertanggungjawab atas kepentingan reclaiming lahan 10. Cangkudu: inisiatif warga lemah dan tidak berkepentingan atas reformasi pelayanan publik 9.Ngadisari: warga (kelompok adat) berkepentingan atas perlindungan tanah 8.Ringinrejo, warga berkepentingan atas reclaiming lahan guna reclaiming kesejahteraan DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL (perluasan ruang publik) Extention Public Space 3.Punjulharjo : Artikulasi atas ide pengelolaan karang jahe beach 3.Punjulharjo: Kades mengakui dan memanfaatkan perluasan ruang publik dalam pembahasan pengelolaan karang jahe beach 4.Mekarjaya: Kades mengakui dan memanfaatkan perluasan ruang publik dalam pembahasan pembangunan lapangan sepak bola 2.Panggungharjo: Artikulasi atas ide reformasi birokrasi dan pelayanan publik berlangsung melalui BPD dan ruang-ruang informal desa, dimana keduanya saling terhubung 2.Panggungharjo: Kades mengakui dan memanfaatkan perluasan ruang publik dalam pembahasan reformasi birokrasi dan pelayanan publik 4.Mekarjaya: Artikulasi atas ide pembangunan lapangan sepak bola berlangsung melalui BPD dan ruangruang informal desa, dimana keduanya saling terhubung berlangsung melalui BPD dan ruang-ruang informal desa, dimana keduanya saling terhubung. 1.Umbulharjo: Artikulasi atas ide pengelolaan air bersih berlangsung melalui BPD dan ruang-ruang informal desa, dimana keduanya saling terhubung 1.Umbulharjo: Kades mengakui dan memanfaatkan perluasan ruang publik dalam pembahasan pengelolaan air bersih 4.Mekarjaya : warga aktif menyuarakan ide pembangunan lapangan sepak bola melalui beragam ruang informal desa 3.Punjulharjo: warga aktif menyuarakan ide pengelolaan karang jahe beach melalui beragam ruang informal desa 2.Panggungharjo: warga aktif menyuarakan ide reformasi birokrasi dan pelayanan publik melalui beragam ruang informal desa 1.Umbulharjo: warga aktif menyuarakan ide pengelolaan sumber daya air melalui beragam ruang informal desa LAMPIRAN 155 156 8.Ringinrejo: kepala desa tidak memanfaatkan perluasan ruang publik guna membahas isu reclaiming lahan 8.Ringinrejo: Artikulasi atas ide reclaiming lahan tidak tersalurkan melalui BPD, hanya terartikulasikan di ruang-ruang informal desa 7.Gulon : Artikulasi atas ide pembangunan rusunawa berlangsung secara formal melalui BPD saja 6.Sidorejo: Artikulasi atas ide mengembangkan desa inklusi berlangsung melalui BPD dan ruang-ruang informal desa, meskipun keduanya tidak saling terhubung 6.Sidorejo: Kades mengakui dan memanfaatkan perluasan ruang publik dalam pembahasan Forum Difabel Sidorejo (FDS) untuk menuju desa inklusi 7.Gulon: kepala desa tidak memanfaatkan perluasan ruang publik guna membahas isu pembangunan rusunawa. 5.Nglanggeran: Artikulasi atas ide pengelolaan situs gunung api purba berlangsung melalui BPD dan ruang-ruang informal desa, meskipun keduanya tidak saling terhubung 5.Nglanggeran: Kades mengakui dan memanfaatkan perluasan ruang publik dalam pembahasan pengelolaan situs desa wisata gunung purba 8.Ringinrejo: warga aktif menyuarakan ide reclaiming lahan melalui beragam ruang informal desa 7.Gulon: warga aktif bergiat di beragam ruang informal desa tetapi tidak menyuarakan pembangunan rusunawa 6.Sidorejo: kelompok warga marginal aktif menyuarakan ide desa inklusi melalui Forum Difabel Sidorejo (FDS) 5.Nglanggeran: warga aktif menyuarakan ide pengelolaan situs desa wisata gunung api purba melalui beragam ruang informal desa DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL 2.Panggungharjo: Kades terbuka dan bertanggungjawab untuk merespon aspirasi dari semua elemen desa atas ide reformasi birokrasi dan pelayanan publik Publicness/Inclu1.Umbulharjo : Kades siveness of Aspiraterbuka dan bertangtions ( gungjawab untuk merespon aspirasi dari inklusivitas dan semua elemen desa atas sifat-kepublikan ide pengelolaan sumber aspirasi-aspirasi) daya air 10.Cangkudu: kepala desa tidak memanfaatkan perluasan ruang publik guna membahas isu reformasi pelayanan publik 9.Ngadisari: Kades mengakui dan memanfaatkan perluasan ruang publik dalam pembahasan isu perlindungan tanah 1.Umbulharjo : warga aktif menyuarakan isu pengelolaan sumberdaya air bersih sebagai kepentingan bersama dan kemanfaatannya untuk semua elemen desa 2.Panggungharjo: warga aktif menyuarakan isu reformasi birokrasi dan pelayanan publik sebagai kepentingan bersama dan kemanfaatannya untuk semua elemen desa 2.Panggungharjo, Aspirasi reformasi birokrasi dan pelayanan publik diartikulasikan melalui BPD atau forum informal desa guna memenuhi derajat inklusifitas dan kepublikan 10. Cangkudu : warga aktif dalam beragam ruang informal desa tetapi tidak aktif menyuarakan ide reformasi pelayanan publik 9.Ngadisari : warga aktif menyuarakan ide perlindungan aset tanah melalui beragam ruang informal desa 1.Umbulharjo: Aspirasi pengelolaan sumber daya air diartikulasikan melalui BPD atau forum informal desa guna memenuhi derajat inklusifitas dan kepublikan 10. Cangkudu, Artikulasi atas ide reformasi pelayanan publik berlangsung secara formal melalui BPD saja berlangsung melalui BPD dan ruang-ruang informal desa, dimana keduanya saling terhubung 9.Ngadisari : Artikulasi atas ide perlindungan aset tanah LAMPIRAN 157 158 5.Nglanggeran: Kades terbuka dan bertanggungjawab untuk merespon aspirasi dari semua elemen desa atas ide pengelolaan situs gunung api purba 4.Mekarjaya : Kades terbuka dan bertanggungjawab untuk merespon aspirasi dari semua elemen desa atas ide pembangunan lapangan sepak 3.Punjulharjo : Kades terbuka dan bertanggungjawab untuk merespon aspirasi dari semua elemen desa atas ide pengelolaan pantai Karang Jahe 3.Punjulharjo, warga aktif menyuarakan isu Karang Jahe sebagai kepentingan bersama dan kemanfaatannya untuk semua elemen desa 4.Mekarjaya, warga aktif menyuarakan isu pembangunan lapangan sepak bola sebagai kepentingan bersama dan kemanfaatannya untuk semua elemen desa 5.Nglanggeran, warga aktif menyuarakan isu pengelolaan situs gunung api purba sebagai kepentingan bersama dan kemanfaatannya untuk semua elemen desa 3.Punjulharjo : Aspirasi pengelolaan Karang Jahe diartikulasikan melalui BPD atau forum informal desa guna memenuhi derajat inklusifitas dan kepublikan 4.Mekarjaya : Aspirasi pembangunan lapangan sepak bola diartikulasikan melalui BPD atau forum informal desa guna memenuhi derajat inklusifitas dan kepublikan 5.Nglanggeran : Aspirasi pengelolaan situs gunung api purba diartikulasikan melalui BPD atau forum informal desa guna memenuhi derajat inklusifitas dan kepublikan DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL 6.Sidorejo, Aspirasi pengem- 6.Sidorejo, hanya kelompok bangan desa inklusi tidak warga difabel yang mebisa diartikulasikan secara nyuarakan mengembangbaik melalui BPD atau forum kan desa inklusi sebagai informal desa kepentingan publik desa, sedangkan kelompok lain 7.Gulon : Aspirasi pembantidak menyuarakan ide gunan Rusunawa diartikudesa inklusi maupun isu 7.Gulon: Kades tertutup lasikan elit desa melalui BPD, publik lainnya untuk merespon aspirasi tidak mempertimbangkan dari elemen desa atas derajat inklusifitas dan 7.Gulon : Warga tidak aktif ide-ide yang berdimensi kepublikan menyuarakan isu publik, publik, karena Kades termasuk isu pembangu8.Ringinrejo : Aspirasi relebih perhatian untuk nan rusunawa. claiming lahan tidak bisa merespon ide pembandiartikulasikan melalui BPD, 8.Ringinrejo: warga aktif megunan rusunawa padahal isu ini memenuhi nyuarakan isu reclaiming 8.Ringinrejo: Kades tertuderajat inklusifitas dan lahan sebagai kepentingan tup untuk merespon askepublikan bersama dan kemanfaatanpirasi dari elemen desa nya untuk semua elemen atas ide reclaiming lahan desa yang berdimensi publik, karena Kades lebih perhatian untuk merespon ide pembangunan fisik 6.Sidorejo: Kades terbuka dan bertanggungjawab untuk merespon khususnya aspirasi atas ide pengembangan desa inklusi, belum merespon ide-ide lainnya LAMPIRAN 159 160 Capital-Driven Aglomeration 10. Cangkudu, Aspirasi reformasi pelayanan publik dari kepala desa diartikulasikan secara formal-normatif melalui BPD, tidak diartikulasikan melalui forum informal guna memenuhi derajat inklusifitas dan kepublikan 9.Ngadisari : Aspirasi perlindungan aset tanah tidak diartikulasikan melalui BPD, tetapi driven by informal leader 10. Cangkudu, Warga tidak aktif menyuarakan isu publik, termasuk isu reformasi pelayanan publik 9.Ngadisari : warga aktif menyuarakan isu perlindungan aset tanah sebagai kepentingan bersama dan kemanfaatannya untuk semua elemen desa 1.Umbulharjo: Kades 1.Umbulharjo : BPD kredibel, 1.Umbulharjo : Warga desa mengajak masyarakat kapabel dan diakui merepreaktif menyuarakan penolauntuk mengritisi rencana sentasikan warga dalam mekan atas rencana investasi investasi pihak swasta nanggapi rencana investasi yang tidak mementingkan guna mengelola air berke desa kesejahteraan warga. sih dan penambangan pasir abai terhadap kelestarian lingkungan. 10. Cangkudu : Kades terbuka dan bertanggungjawab untuk merespon aspirasi dari semua elemen desa atas ide reformasi pelayanan publik 9.Ngadisari : Kades terbuka dan bertanggungjawab untuk merespon aspirasi dari semua elemen desa atas ide perlindungan aset tanah DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL 2.Panggungharjo: Kades 2.Panggungharjo : BPD mengajak masyarakat kredibel, kapabel dan diakui untuk mengritisi rencana merepresentasikan warga investasi pihak swasta dalam menanggapi rencana guna mengelola aset investasi ke desa desa 3.Punjulharjo : BPD dianggap 3.Punjulharjo: Kades tidak kredibel, kapabel dan mengajak masyarakat merepresentasi warga dalam untuk mengritisi rencana urusan merespon investasi investasi pihak swasta ke desa guna mengelola pantai 4.Mekarjaya : BPD kurang dan aset desa lainnya kredebel, kapabel dan repre4.Mekarjaya: kades sentatif dalam bernegosiasi kompromis dengan dengan kebijakan supradesa pihak-pihak supradesa 5.Nglanggeran : BPD kredibel, termasuk dalam isu kapabel dan diakui mereprepengelolaan aset desa sentasikan warga dalam me5.Nglanggeran : Kades nanggapi rencana investasi mengajak masyarakat ke desa, meskipun belum untuk mengritisi rencana mampu melembagakannya investasi pihak swasta dalam bentuk Perdes guna mengelola situs gunung api purba dan aset desa lainnya 5.Nglanggeran: Warga desa aktif menyuarakan penolakan atas rencana investasi yang tidak mementingkan kesejahteraan warga 4.Mekarjaya : warga menyuarakan kepentingankepentingan untuk perbaikan kesejahteraan desa 3.Punjulharjo, Warga desa aktif menyuarakan penolakan atas rencana investasi yang tidak mementingkan kesejahteraan warga. 2.Panggungharjo : warga menyuarakan kepentingankepentingan untuk perbaikan kesejahteraan desa LAMPIRAN 161 162 6.Sidorejo: BPD kurang kredebel, kapabel dan representatif dalam bernegosiasi dengan kebijakan supradesa 6.Sidorejo : warga menyuarakan kepentingan-kepentingan untuk perbaikan kesejahteraan desa 7.Gulon : BPD kurang kre7.Gulon : warga masih debel, kapabel dan reprepasif untuk menyuarakan 7.Gulon: Kades bersikap sentatif dalam bernegosiasi kepentingan-kepentingan tidak jelas dalam merdengan kebijakan supradepublik espon tawaran atau kensa, disamping para anggota 8.Ringinrejo : warga medali dari pihak supradesa BPD memang “kroninya” nyuarakan kepentinganatas aset-aset desa yang Kades kepentingan untuk perbaidikuasainya 8.Ringinrejo : BPD kurang kan kesejahteraan desa 8.Ringinrejo: Kades berkredebel, kapabel dan represikap tidak jelas dalam sentatif dalam bernegosiasi merespon kepentingan dengan kebijakan supradesa warga petani yang menuntut reclaiming lahan dari pihak supradesa, cara pandangnya legal formal 6.Sidorejo : Kades bersikap tidak jelas dalam merespon tawaran atau kendali dari pihak supradesa atas aset-aset desa yang dikuasainya DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL 10.Cangkudu : Kades mengajak masyarakat untuk mengritisi rencana investasi pihak swasta 9.Ngadisari : Kades dan mantan Kades (informal leader) berkomitmen dan mengajak masyarakat desa untuk melindungi aset lahan produktif warga Tengger dari ancaman investasi. 10.Cangkudu : BPD kurang 10.Cangkudu : warga mekredebel, kapabel dan reprenyuarakan kepentingansentatif dalam bernegosiasi kepentingan untuk perdengan kebijakan supradesa baikan kesejahteraan desa melalui proses investasi 9.Ngadisari : BPD kurang 9.Ngadisari : Warga desa kredebel, kapabel dan repreaktif menyuarakan penolasentatif dalam bernegosiasi kan atas rencana investasi dengan kebijakan pemdes yang tidak mementingkan maupun supradesa kesejahteraan warga LAMPIRAN 163 164