desa: situs baru demokrasi lokal

advertisement
Demokrasi Lokal? Suatu proses bermasyarakat yang localy dan ideal, inilah
point penting dalam UU Desa. Hari-hari ini di masyarakat, utamanya aparat
desa, harus menyadarinya, bahwa hal tersebut adalah jantung dalam
berdemokrasi dan "berdesa" sebagai jalan menuju kesejahteraannya.
(Ahmad Muqqowam, Ketua Komite I DPD RI dan Mantan Ketua Pansus
RUU Desa )
Buku ini memotret pengalaman lapangan tentang desa dan praktik
demokrasi. Pelaksanaan UU Desa (dengan segala plus minusnya) sudah
menghadirkan desa sebagai "sekolah politik kebangsaan" bagi warganya.
Sebagai salah seorang yang ikut melahirkan UU Desa dan menyaksikan dari
dekat praktik pemberdayaan desa, saya berpikir menjadikan praktik yang
sudah baik di desa ini juga menjadi praktik di 74.900 desa lainnya. Cuma dgn
itu kita layak optimis dengan pendewasaan rakyat dalam berdemokrasi.
(Budiman Sudjatmiko: anggota DPR dan praktisi pemberdayaan desa)
Buku ini memotret perkembangan Desa di Indonesia. Praktik- praktik baik
yang ada bisa kita contoh, dan dengan tahu kelemahannya maka bisa
menyikapi serta bisa mengukur saat ini posisi desa kita seperti apa. Gaya
kepemimpinan di desa pun beragam. Buku ini sangat bermanfaat untuk
dibaca para generasi muda sebagai penerus estafet kepemimpinan desa.
(Sugeng Handoko, penggerak pemuda Pengelola Desa Wisata
Nglanggeran @gunungapipurba)
Demokrasi sejati, menempatkan perempuan dan laki-laki setara dalam
pengambilan keputusan dan penikmatan HAM. Untuk mencapai itu,
dibutuhkan serangkaian pemberdayaan dan tindakan afirmasi. Buku ini
memberikan pelajaran tentang masih lemahnya akses perempuan untuk turut
menyemarakkan arena demokrasi lokal, sehingga kehadiran UU Desa harus
dimanfaatkan dalam rangka menciptakan keadilan gender di Desa
(Dian Kartika Sari, Sekretaris Jendral Koalisi Perempuan Indonesia)
diterbitkan oleh:
Institute for Research and Empowerment (IRE)
Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5
Dusun Tegalrejo RT 01/RW 09 Desa Sariharjo
Kec. Ngaglik Kab. Sleman, Yogyakarta 55581
Telp/Fax:0274-867686
E-mail: [email protected]
Website: www.ireyogya.org
ISBN 979981830-3
9 799799 818309
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Demokrasi desa adalah demokrasi orisinal nusantara yang tumbuh dan
berkembang mendampingi kemajuan bangsa. Studi yang dilakukan oleh IRE
ini menyumbang pelaksanaan UU Desa sesuai amanahnya. Mari kita gali
esensi dari buku ini sebagai pembelajaran berdemokrasi dari Desa.
(Anwar Sanusi, Sekretaris Jenderal (Sekjen) kementerian Desa,
Pembangunan DaerahTertinggal, dan Transmigrasi)
DESA
Situs Baru Demokrasi Lokal
DESA
Situs Baru Demokrasi Lokal
Penulis:
Dina Mariana, Iranda Yudatama, Nurma Fitrianingrum,
Rajif Dri Angga, Sigit Pranawa, Sugeng Yulianto,
Sukasmanto, Sunaji Zamroni, Titok Hariyanto
Editor:
Fatih Gama Abisono Nasution
Desa: Situs Baru Demokrasi Lokal
Hak cipta © Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta
Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia
Oleh Penerbit IRE, Yogyakarta. 2017
dengan dukungan Program Yayasan Tifa
Cetakan Pertama, Februari 2017
Kata Pengantar: Darmawan Triwibowo, Direktur Eksekutif Yayasan Tifa
Prolog: A.E. Priyono
Epilog: Dr. Arie Sujito
Reviewer: Dr. Arie Sujito, Dr. Krisdyatmiko
Penyunting: Dina Mariana, Zelvia Debi Hapsari
Editor: Fatih Gama Abisono Nasution
Desain Sampul & Layout: Suparmo
Institute for Research and Empowerment (IRE)
Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5
Dusun Tegalrejo RT 01/RW 09
Desa Sariharjo, Kec. Ngaglik, Sleman, D.I. Yogyakarta 55581
Phone: 0274 - 867686, 7482091
E-mail: [email protected], Website: www.ireyogya.org
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit.
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Desa: Situs Baru Demokrasi Lokal, Cetakan. 1
Yogyakarta: IRE Yogyakarta, 2017
xx + 164 hlm.; 14 x 21,5 cm
ISBN: 979-9818-30-3
KATA PENGANTAR
Yayasan Tifa
Desa tidak pernah luput dari silang sengkarut praktik
pembangunan di Indonesia. Secara umum, ada dua lensa pandang
utama terhadap desa yang bisa ditarik dari cara negara memperlakukan
desa dalam pembangunan, yaitu sebagai “alat” atau “masalah”. Sebagai
alat, desa adalah sekrup kecil dalam mesin pembangunan yang
berfungsi melayani kepentingan yang lebih besar dari keberadaan desa
itu sendiri. Desa menjadi alat untuk menjaga stabilitas harga pangan
bagi penduduk kelas menegah perkotaan; sumber pasok buruh murah
bagi perluasan industri manufaktur padat karya; maupun (paling
tidak sekali dalam lima tahun) alat untuk mendulang suara bagi partai
berkuasa atas nama stabilitas politik nasional. Di sisi lain, negara juga
mendekati desa sebagai sumber permasalahan yang harus diatasi.
Tidak heran jika kemudian desa begitu akrab dengan beragam kata
yang tidak hanya merujuk pada masalah ekonomi, seperti kemiskinan,
ketertinggalan, kesenjangan, tapi juga masalah sosial-politik, bahkan
ideologi, seperti sumber konflik (agraria) hingga sarang komunisme.
Seperti yang dengan cergas digambarkan oleh Antlov (2003),
desa dalam dua lensa pandang ini tidak lebih dari “objek sentralisasi,
depolitisasi, kooptasi, intervensi, dan instruksi dari atas”.
Desa, dengan demikian, menempati posisi paradoksal dalam
v
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
pembangunan. Desa dibicarakan namun tidak pernah sungguhsungguh menjadi rujukan; dibangun namun tidak pernah dipertuankan;
disediakan panggung namun (warganya) hanya bisa bertepuk tangan
di pinggiran. Tidak mengherankan jika perlakuan negara terhadap
desa yang diterapkan berdekade-dekade tersebut telah menggerus jati
diri desa sebagai satuan komunal dengan tujuan serta kepentingan
kolektif yang mandiri, baik terhadap satuan komunal lainnya maupun
atas struktur kuasa di luar desa. Hal ini juga menjelaskan mengapa desa
tidak segera ditengok di masa awal ekperimen demokrasi bernama
desentralisasi.
Namun, ketika desentralisasi (berbasis kabupaten/kota) mulai
terlihat majal dalam mendorong perbaikan pelayanan publik serta
pendalaman demokrasi, desa secara tiba-tiba menjadi tumpuan
akhir bagi partisipasi aktif warga untuk bernegara (civic engagement)
dan berkembangnya tatanan demokrasi yang benar-benar bersifat
deliberatif. Implementasi UU No 6 tahun 2014 tentang Desa (UU
Desa) de­ngan demikian bisa dibaca sebagai pengakuan negara atas
“malpraktik” terhadap desa yang telah dilakukan selama ini. Di
sisi lain, otonomi desa berbasis rekognisi dan subsidiaritas yang
diintroduksikan oleh undang-undang ini, memberikan tantangan
kepada desa untuk menggali ulang dan mengolah potensi-potensi
yang ada di dalam komunitas serta wilayahnya, sebagai pemilik dan
bukan lagi sekadar kuli dalam proses pembangunan.
Buku “Desa: Situs Baru Demokrasi lokal” yang disusun oleh IRE
ini menyajikan petikan-petikan ringkas (snapshots) atas skala tantangan
yang dihadapi desa tersebut. Kasus-kasus yang dipaparkan dalam buku
ini menunjukkan bahwa upaya untuk membangkitkan ulang tata nilai
pemandu kehidupan sosial kemasyarakatan desa (ber­desa) yang selama
ini disubtitusi oleh program teknokratis dan rekayasa penyeragaman
kelembagaan oleh negara bukanlah perihal yang sederhana. Orientasi
vi
KATA PENGANTAR YAYASAN TIFA
belanja fiskal yang mendominasi rancang bangun proses desentralisasi
(Lewis 2015), dan masih terbawa dalam skema otonomi desa, kerap
lebih mendominasi dan memperumit upaya untuk memperkuat
kepemimpinan, partisipasi warga dan representasi yang lebih ber­
makna di tingkat desa. Yayasan Tifa percaya bahwa pendalaman dan
pembelajaran yang terus menerus tarhadap tantangan-tantangan
tersebut akan mampu mendorong perbaikan praktik otonomi desa
dan mewujudkan peran desa sebagai arena demokrasi dan wahana
repolitisasi warga di Indonesia. Buku ini, dengan demikian, adalah
langkah awal untuk mendorong pendalaman demokrasi melalui
praktik politik keseharian (everyday politics) di tingkat desa yang akan
dilakukan Yayasan Tifa bersama mitra-mitra strategisnya dalam empat
tahun ke depan.
Darmawan Triwibowo
Direktur Eksekutif Yayasan Tifa
vii
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
viii
KATA PENGANTAR
Direktur Eksekutif IRE
Jagad politik Indonesia diriuhkan oleh ekses-ekses ter­
tentu demokrasi elektoral dalam kurun dua dekade ini. Ratusan da­
erah dan ribuan desa dalam waktu serentak telah merayakan pemilu
yang ditabalkan sebagai ikon demokrasi, untuk mencari kepala daerah
dan kepala desa. Namun kini banyak kalangan mulai terusik dengan
patologi elektoral: dari menyoal partisipasi warga, kandidasi calon
yang elitis, politik uang, peta jalan politik kesejahteraan, sampai me­
rebaknya trend praktik koruptif para aktor “jebolan kontes demokrasi”
ini. Demokrasi pada akhirnya hanya berhenti pada “kontes antar­
aktor” dalam berburu jabatan politik kepala pemerintahan maupun
jabatan wakil rakyat. Sehingga terjadi pembajakan demokrasi lokal
oleh para elitnya, (Demos, 2005). Bahkan nyaris tidak terdengar lagi
semangat berdemokrasi paska politik elektoral. Demokrasi elektoral
akhirnya dituding tidak terhubung dengan kehidupan sehari-hari
aktor pe­nguasa dan para wakil rakyat sesudahnya. Banyak pihak mulai
meyakini demokrasi liberal mengalami krisis makna dan kemanfaatan.
Keyakinan tersebut berangkat dari praktik demokrasi liberal di
Indonesia yang mengagungkan tradisi individualisme ternyata me­
mung­gungi nilai-nilai tradisi bangsa Indonesia yang sarat dan lekat
dengan karakter masyarakat komunitarian.
ix
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Berpijak pada merebaknya situs-situs perdebatan yang menyoal
demokrasi tersebut, IRE Yogyakarta sebagai bagian dari gerakan
masyarakat sipil di Indonesia, terpanggil untuk urun rembug. Bahwa
demokrasi memang harus terus dikonsolidasikan dan dikembangkan
di Indonesia. Tetapi yang penting diagendakan saat ini adalah proyek
besar pengembangan demokrasi alternatif di Indonesia. Momentum
pelaksanaan UU No 6/2014 tentang Desa (UU Desa) bisa menjadi situs
baru kebangkitan demokrasi alternatif seperti yang dimaksud. Bisa jadi
UU Desa menjadi peluang berlangsungnya arus balik demokrasi yang
tengah mengalami titik nadir. Mengapa? IRE Yogyakarta meyakini,
bahwa UU Desa akan menggerakkan puluhan ribu entitas desa (lebih
dari 74.000) mempraktikkan prinsip dan nilai demokrasi desa. Praktik
pelembagaan demokrasi desa secara masif inilah yang berpeluang
menjadi arus balik demokrasi di Indonesia. Bukan lagi demokrasi
liberal yang mengarus deras ke desa, tetapi demokrasi desalah yang
mengepung panggung nasional. Keyakinan IRE ini telah ditempuh
dengan mendokumentasikan praktik-praktik kepemimpinan, repre­
sen­tasi, dan inisiatif warga di desa-desa Pulau Jawa. Ada 10 desa di 5
propinsi Pulau Jawa yang diambil pembelajaran atas praktik-praktik
lokalitasnya (stock taking study). Hasil studi lapangan di 10 desa inilah
yang menjadi bahan dasar penulisan buku ini.
Para peneliti IRE Yogyakarta telah mendedikasikan segenap
kemampuannya untuk menemukan dan menarik pembelajaran
berharga atas praktik-praktik berdemokrasi lokal, melalui aspek
kepemimpinan, representasi, dan inisiatif warga. Atas nama lembaga
kami menye­matkan apresiasi yang tinggi atas kerja produktif ini.
Tangan dingin manager program demokrasi lokal di IRE, Dina
Mariana, telah menghadirkan kerja-kerja kolaboratif dan produktif
antarpeneliti, yaitu; Titok Haryanto, Sugeng Yulianto, Abdur Rozaki,
Sukasmanto, Dimpos Manalu, Sigit Pranawa, Iranda Yudatama, Fajar
x
KATA PENGANTAR DIREKTUR EKSEKUTIF IRE
Sudarwo, Rajif Dri Angga, dan Nurma Fitrianingrum. Kerja produktif
para peneliti IRE didukung pula oleh kerja telaten para asisten peneliti
yang bekerja di 10 desa lokasi penelitian. Atas nama lembaga, kami
menghaturkan terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada mereka,
yaitu; Romli (Desa Cangkudu, Tangerang), Hendra Gunawan (Desa
Mekarjaya, Sukabumi), Suyanto (Desa Sidorejo, Kulonprogo), Ahmad
Nur Ardiansyah (Desa Nglanggeran, Gunungkidul), Mohammad
Fathollah (Desa Panggungharjo, Bantul), Mahmudi (Desa Punjulharjo,
Rembang), Melani Jayanti (Desa Umbulharjo, Sleman), Irfan Pranoto
(Desa Ringinrejo, Blitar), Hendra Arditya Sakti Mahulae (Desa Gulon,
Magelang) Kerja produktif ini pun tidak luput dari sentuhan daya
ulet “Ida” Hidayatut Thoyibah, yang dilanjutkan oleh “Deby” Zelvia
Debi Hapsari dalam mengawal kerja-kerja penelitian, penulisan, dan
serangkaian menyusun pengetahuan di dalam buku ini. Akhirnya,
kami menghaturkan terima kasih kepada semua tim peneliti dan
penulis buku ini. Kepada para pembaca buku ini, selamat membaca
dan menemukan kritik atas buku ini, agar proyek besar demokrasi
lokal ini terus berlanjut dan tidak layu sebelum berkembang.
Yogyakarta, Februari 2017
Direktur Eksekutif IRE
Sunaji Zamroni
xi
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
xii
BIOGRAFI SINGKAT
Penulis
Dina Mariana, S.H.
Peneliti madya Institute for Research and
Empowerment Yogyakarta
Email : [email protected]
Iranda Yudhatama, S.Sos.
Direktur Eksekutif Swara Nusa Institute,
fellow/associate researcher IRE
Email : [email protected]
Nurma Fitrianingrum, S.I.P.
Peneliti Muda Institute for Research and Empowerment
(IRE ) Yogyakarta, Alumni Jurusan Politik dan
Pemerintahan FISIPOL UGM.
Email: [email protected]
xiii
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Rajif Dri Angga, S.I.P.
Peneliti Muda Institute for Research and Empowerment
(IRE )Yogyakarta, Alumni Jurusan Politik dan
Pemerintahan FISIPOL UGM.
Email: [email protected]
Dr. Sigit Pranawa, M.Si.
Fellow Researcher Institute for Research and
Empowerment (IRE ) Yogyakarta. Dosen tetap
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Nasional
Email: [email protected]
Sugeng Yulianto, M.Sc.
Deputi Pengembangan SDM dan Kelembagaan
Institute for Research and Empowerment (IRE)
Yog­yakarta. Alumni Magister Pengelolaan
Lingkungan (MPL) Universitas Gadjah Mada.
Email: [email protected]
Sukasmanto, M.Si.
Peneliti Senior Institute for Research and
Empowerment (IRE) Yogyakarta, dosen di Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis dan Perbankan
(STIE BBANK) Yogyakarta.
Email: [email protected]
xiv
BIOGRAFI REVIEWER, EDITOR, & PENULIS
Sunaji Zamroni, M.Si.
Direktur Eksekutif Institute for Research and
Empowerment (IRE) Yog­yakarta (2015-2017).
Anggota KPU Kota Yogyakarta (2008-2013).
Email: [email protected]
Titok Hariyanto, S.I.P.
Deputi Pengembangan Program dan Jaringan
Institute for Research and Empowerment (IRE) Yog­
yakarta (2015-2017)
Email: [email protected]
Prolog
AE Priyono
Co-founder and Research fellow, Public Virtue
– Institute for Digital Democracy and Civic
Activism, and freelance journalist.
Email : [email protected]
Epilog
Dr. Arie Sujito, M.Si.
Peneliti Senior IRE Yogya­karta. Dosen tetap
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Gadjah Mada.
Email: [email protected]
xv
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Editor
Fatih Gama Abisono Nasution, M.Si.
Sekretaris Eksekutif Centre For Lead, Staf
Pengajar/Dosen Program Studi Ilmu
Pemerintahan di Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta.
Email : [email protected]
Reviewer
Dr. Krisdyatmiko, M.Si.
Peneliti Senior IRE Yogyakarta. Dosen tetap
Program Studi Pembangunan Sosial dan
Ke­sejahteraan (PSdK), FISIPOL Uni­versitas
Gadjah Mada. Email: [email protected]
Penyunting
Zelvia Debi Hapsari, S.Hut.
Peneliti Muda IRE Yogyakarta, Alumni Jurusan
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan UGM.
Email : [email protected]
xvi
Daftar Isi
Kata Pengantar : Yayasan Tifa........................................................v
Kata Pengantar: Direktur Eksekutif IRE.......................................ix
Biografi Singkat Penulis..................................................................xiii
Daftar Isi...........................................................................................xvii
Daftar Tabel .....................................................................................xvii
Daftar Singkatan..............................................................................xix
Prolog
Demokratisasi Desa: Situs Baru Politik Partisipatoris?................1
Bab 1: Penemuan Kembali ..........................................................15
A. Prawacana....................................................................................15
B. Kontekstualisasi Berdesa.............................................................20
C. Argumentasi Metodologis..........................................................22
D. Tentang Alur dan Isi...................................................................25
Bab 2: Kepemimpinan dan Transformasi Desa.....................29
A. Prawacana ...................................................................................29
B. Warisan Lama: Dominasi Orang Kuat Lokal dan Politik
Kekerabatan di Desa....................................................................31
C. Menuju Kepemimpinan Transformatif ...................................45
D.Simpul Wacana............................................................................57
xvii
Bab 3: Memperkuat Representasi Warga ..............................61
A. Representasi Partisipatoris-Deliberatif ....................................61
B. BPD dan Musyawarah Desa: Rute Formal Deliberasi
Demokrasi Desa..........................................................................64
C. Rute Representasi Informal: Suplemen .Demokrasi Deliberatif 79..
79
D. Simpul Wacana...........................................................................89
Bab 4: Inisiatif Warga Dalam Ruang Demokrasi Desa........95
A. Inisiatif Warga: Penguatan Delibrasi Demokrasi Desa...........95
B. Dinamika Inisiatif Warga dalam Ruang Demokrasi Desa .....99
C. Simpul Wacana...........................................................................129
Epilog
Menyemai Demokrasi Desa............................................................131
Daftar Pustaka..................................................................................147
Lampiran...........................................................................................15
Daftar Tabel
Tabel. 1 Kerangka Analisis Politik Partisipatoris.........................12
Tabel 2 Tipologi Lokasi dan Kasus Penelitian..............................21
xviii
Daftar Singkatan
APBDesa
BNPB
BP
BP SPAMS
BPD
BRI
BUMDes
CC
D3
DPR RI
DPRD
ELSAM
FDS
GP Ansor
GSB
IRE
ISI
Kades
KJB
KPA
KTP
Linmas
LSM
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
: Badan Nasional Penanggulan Bencana
: Badan Pengelola
: Badan Pengelola Sarana Penyediaan Air
Minum dan Sanitasi
: Badan Permusyawaratan Desa
: Bank Rakyat Indonesia
: Badan Usaha Milik Desa
: Community Centre
: Diploma
: Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia
: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
: Forum Difabel Sidorejo
: Gerakan Pemuda Ansor
: Gerakan Sosial Baru
: Institute for Research and Empowerment
: Institut Seni Indonesia
: Kepala Desa
: Karang Jahe Beach
: Konsorsium Pembaruan Agraria
: Kartu Tanda Penduduk
: Perlindungan Masyarakat
: Lembaga Swadaya Masyarakat
xix
Musdes
Musrenbangdes
NGO
NU
OPAB
P3DT
PAD
PDAM
PDI-P
PKK
Pokdarwis
PT
PTUN
RAPBDesa
Rekompak
RKPDesa
RPJM Desa
RT
Rusun
RW
SDM
SIGAB
SKPD
SMA
TKI
TNBTS
Unesco
UU
xx
: Musyawarah Desa
: Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa
: Non Governement Organization
: Nahdlatul ‘Ulama
: Organisasi Pengelola Air Bersih
: Program Pembangunan Prasarana Pendukung
Desa Tertinggal
: Pendapatan Asli Daerah
: Perusahaan Daerah Air Minum
: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
: Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
: Kelompok Sadar Wisata
: Perseroan Terbatas
: Pengadilan Tata Usaha Negara
: Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa
: Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan
Permukiman Berbasis Komunitas
: Rencana Kerja Pemerintah Desa
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Desa
: Rukun Tetangga
: Rumah Susun
: Rukun Warga
: Sumber Daya Manusia
: Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel’
: Satuan Kerja Perangkat Daerah
: Sekolah Menengah Akhir
: Tenaga Kerja Indonesia
: Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
: The United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization
: Undang-Undang
PROLOG
Demokratisasi Desa:
Situs Baru Politik
Partisipatoris?
Demokratisasi Indonesia pada tingkat politik makro dan
nasional sudah lama dideteksi mengalami kemacetan, terus bergerak
ke arah kemunduran, dan sedang akan berakhir menuju kegagalan.
Banyak studi membuktikan takdir pahit ini. Demos (2005) sudah sejak
awal memperlihatkan terjadinya pembajakan elit terhadap lembagalembaga dan prosedur demokrasi, dan ini menjadikan demokratisasi
Indonesia berwatak sangat elitis. Robison & Hadiz (2004) melakukan
studi yang menggaris-bawahi bahwa elit predatorial (elit pemangsa
rakyat) lama yang berbasis partai-partai politik menguasai panggung
politik. Mereka melakukan reorganisasi kekuasaan mengikuti logika
politik kartel, dan ini menjadi basis bagi munculnya oligarki dan
plutokrasi.1 Tapi studi lain yang dilakukan Hee-Yeon Cho (2008)
1 Politik kartel digambarkan sebagai situasi manakala partai-partai politik secara bersamasama mengabaikan komitmen ideologis dan programnya agar tetap bisa bertahan di lingkar
kekuasaan dengan memilih bergabung dengan pemerintahan baru paska pemilu. Sebagai
imbalan atas dukungan yang diberikan mereka berbagi pos-pos jabatan di pemerintahan.
Politik kartel pada gilirannya membentuk pemerintahan berwatak oligarkis. Oligarki merupakan mekanisme pemusatan kekuasaan pada segelintir elit berkuasa yang menekankan pada
kekuatan sumber daya material (kekayaan) sebagai basis mempertahanan kekuasaan sekali­
gus kekayaan pada diri elit. Sementara plutokrasi mirip dengan oligarki. Namun, plutokrasi
1
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
melihat bahwa “demokrasi oligarkis” Indonesia berangsur-angsur
berubah menjadi “oligarki demokratis.” Inilah sejenis oligarki yang
ingin mempertahankan kekayaan — sekaligus merebut kekuasaan –
melalui kompetisi elektoral (melalui pemilu) yang berwatak elitis. Jadi,
bukan politik demokrasi yang berlangsung di Indonesia, tapi politik
oligarki.
Sementara itu Winters (2014) juga menegaskan kenyataan serupa,
bahwa elemen penting plutokrasi neo Orde Baru adalah kaum oligark
(elit berwatak oligarkis) yang tak ikut lenyap bersama tumbangnya
Suharto. Kaum oligark yang dulu berada di bawah kendali mutlak
Suharto kini sedang berebut posisi di puncak kekuasaan. Oligarki
sultanistik di zaman Orde Baru terpusat di Cendana, sedangkan
oligarki pasca Orde Baru menyebar ke dalam banyak kutub persaingan
kaum elit. Metode otoritarian Orde Baru membuat oligarki bisa
dikuasai seorang diktator, sedangkan “demokratisasi” pasca Orde
Baru membuat para oligark bersaing melalui mekanisme kompetisi
electoral. Melalui telaah ini, Winters ingin menegaskan bahwa
oligarki dan demokrasi saling menunggangi.
Cerita ini belum lengkap tanpa melihat apa yang terjadi di tingkat
lokal. Studi awal yang dikerjakan Nordholt (2004) menunjukkan
bahwa demokrasi Indonesia pasca Orde Baru tidak menyebabkan
ke­
terputusan kekuasaan elit-elit lama. Yang terjadi bukan hanya
kontinuitas atau kelanjutan praktek politik Orde Baru, tetapi justru
munculnya kembali kekuasaan patrimonial pra-kolonial.2 Elit-elit
terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrem ketimpangan sumber daya antara “kaya” dan
“miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat (penguasa dalam plutokrasi) tidak hanya menguasai sumber ekonomi dan politik, melainkan juga sumber daya kekerasan (pasukan ,senjata,
teknologi). Dalam kondisi seperti ini, plutokrat boleh jadi lebih berkuasa ketimbang pemerintah resmi.
2 Konsep patrimonial merujuk pada corak kekuasaan tradisional yang berakar dari pemerintahan monarki atau kerajaan. Kekuasaan patrimonial menempatkan titah raja ( termasuk
kaisar atau sultan) sebagai basis bekerjanya hukum dan pemerintahan. Dalam negara partri-
2
PROLOG
lokal feodal merebut instrumen-instrumen demokrasi dan mereka
me­nemukan ruang untuk kembali mewujudkan kepentingan elitisfeodal mereka. Melalui kontestasi dalam demokrasi elektoral, elitelit lama itu tak jarang berhasil menguasai birokrasi lokal. Di sini
Klinken (2014) memberikan sumbangan temuan riset lain yang juga
menarik, bahwa kelas birokrasi lokal membangun aliansi dengan kelas
menengah lokal yang berwatak patronal, antara lain yang berbasis
etnis (suku), untuk penguasaan sumberdaya. Inilah yang menjadi
basis bagi munculnya dinasti-dinasti politik baru di tingkat lokal.3
Sementara itu studi Peluso (2007) melihat kenyataan bahwa surutnya
kekuasaan militer di daerah membuat para penguasa Kodam menjadi
kaki-tangan pemodal (Investor), demi eksploitasi sumberdaya alam.
Mereka memberikan jasa keamanan untuk berlangsungnya aliansi
antara birokrasi lokal, korporasi, dan kekuatan-kekuatan predator lain
seperti partai politik.
Studi dari ketiga peneliti yang disebut terakhir itu menjelaskan
fenomena umum proses politik di tingkat lokal. Sama dengan yang
terjadi di tingkat nasional, maka proses politik demokratisasi lokal –
khususnya melalui mekanisme kontestasi elektoral di tingkat provinsi
maupun kabupaten — hanya mendaur ulang siklus politik elitisoligarkis.
monial legitimasi pemimpin atau raja bersumber dari karisma personalnya atau karena klaim
pewahyuan sebagai wakil Tuhan. Patrimonialisme acapkali dituding melahirkan rejim despotik (sewenang-wenang), karena tidak ada kontrol terhadap kekuasaan yang menempatkan
pimpinan sebagai satu-satunya sumber kebenaran.
3 Patronal adalah relasi yang berangkat dari patronase. Patronase sendiri merupakan relasi antara orang dengan status lebih tinggi (sebagai patron) dengan orang dengan status lebih rendah (klien) berdasarkan pertukaran sumber daya. Patron menggunakan pengaruh dan sumber dayanya akan menyediakan perlindungan serta keuntungan-keuntungan material bagi
seseorang yang menjadi kliennya. Sementara Klien akan membalasnya dengan memberikan
loyalitasnya dalam bentuk dukungan dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya.
Patronase ini akhirnya menjadi basis relasi antara pemimpin dengan yang dipimpin terutama
dalam kekuasaan feodalistik.
3
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Pengamatan seperti ini juga dikemukanan oleh Hans Antlov
(2004), salah seorang sarjana yang banyak melakukan kajian dan
advokasi tentang politik lokal dan demokratisasi desa. Menurutnya,
desain demokrasi elektoral di tingkat nasional yang hanya melibatkan
warganegara untuk ikut dalam pemilu lima tahun sekali, mustahil
menciptakan partisipasi yang bermakna. Karena itu, juga mustahil
menghadirkan demokrasi yang bermakna. Model demokrasi elek­
toral seperti itu hanya akan membuat para teknokrat dan birokrat
mempertahankan kekuasaan mereka selama masa-antara lima
tahunan antar-pemilu.4 Menurutnya, model demokrasi minimal
demikian hanya menghasilkan reformasi politik yang dangkal — dan
ini membuat korupsi berjalan terus, sistem peradilan yang busuk tidak
bisa berubah, sementara masyarakat akan tetap apatis dan tak percaya
pada negara. Lalu, bagaimana?
***
Antlov berpijak pada dua argumen untuk membuat demokratisasi
Indonesia bekerja dengan maksimal. Pertama, otonomi daerah yang
sejauh ini hanya berlangsung pada level administratif harus di­
sertai dengan penguatan kapasitas politik masyarakat sipil di tingkat
lokal. Meminjam kalimatnya sendiri, “mendukung demokrasi tidak
cukup hanya dengan membuka ruang-ruang baru politik lokal: ada
kebutuhan untuk melakukan tindakan-tindakan yang memungkinkan
suara-suara baru didengar dan memberikan kepada rakyat kekuatan
untuk terlibat mengurus komunitas mereka sendiri” (Antlov 2004:
141). Di sini Antlov tampak menekankan gagasan tentang repolitisasi
masyarakat sipil. 5
4 Teknokrat, berasal dari teknokrasi yaitu sistem pemerintahan yang dijalankan oleh para
ahli. Dalam pengambilan keputusan politik-ekonomi, para ahli yang selanjutnya disebut teknokrat tersebut, menggunakan pendekatan ilmiah-rasional dan teknis untuk melegitimasi
keputusan yang diambil. Akibatnya, keputusan yang diambil meminggirkan pertimbangan
politis sekaligus menyingkirkan peran rakyat dalam pengambilan keputusan.
5 Repolitisasi dimaksudkan sebagai upaya menghidupkan kembali kesadaran politik masyara-
4
PROLOG
Sebelumnya Antlov mengakui bahwa desentralisasi bisa menjadi
agenda depolitisasi masyarakat. Dengan menyerahkan semua
kebijakan pemerintahan menjadi urusan kabupaten/kota dan/atau
provinsi, maka sangat mungkin hanya para politisi dan birokrat lokal
yang memonopoli arah desentralisasi. Di tangan mereka kebijakankebijakan pembangunan daerah menjadi urusan teknis, bukan
politis. Jika demikian halnya maka hasilnya adalah desain kebijakan
desentralisasi yang sepenuhnya bersifat teknokratis, kembali berwatak
top-down (atas-bawah), tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
Desentralisasi yang seperti itu tidak mencerminkan aspirasi yang
sesungguhnya dari bawah. Desentralisasi dengan watak demikian
justru melanggengkan hubungan kekuasaan elitis dan melestarikan
penyimpangan politik di tingkat lokal – apatisme dan ketidakpercayaan
masyarakat kepada negara.
Kedua, kunci untuk repolitisasi masyarakat sipil dalam proses
desentralisasi adalah dengan cara membuat mereka mau terlibat
dan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik yang
berkaitan dengan kepentingannya yang paling dekat dan nyata –
yaitu menyangkut problem-problem kehidupan mereka sehari-hari.
Bagi Antlov, ini berarti menurunkan urusan publik ke tingkat desa,
khususnya ke tingkat everyday-politics (urusan politik sebagai peristiwa
keseharian yang nyata). Demokrasi lokal hanya bisa menghasilkan
dampak nyata dalam setting yang seriil itu. Dengan keyakinan seperti
inilah Antlov bergerak untuk melanjutkan proyek desentralisasi ke
level desa. Me­minjam lagi kalimatnya sendiri Antlov menyatakan, “...
dulu desa adalah objek sentralisasi, depolitisasi, kooptasi, intervensi,
dan instruksi dari atas. Sekarang desa [harus dibayangkan] menjadi
arena demokrasi, otonomi, partisipasi, dan kontrol bagi warga
kat sebagai warga negara, setelah mengalami “tidur panjang” dibawah depolitisasi atau upaya
menjauhkan rakyat dari kehidupan politik yang berdampak pada pelemahan kapasitas politik
warga pada masa Orde Baru.
5
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
masyarakat” (Antlov, 2003).
Menarik bahwa Antlov mengembangkan imaginasi tentang desa
sebagai “arena demokrasi” itu jauh sebelum terbitnya UU No. 6/2014
tentang Desa. Sebagian besar impiannya tampaknya betul-betul
terwujud dalam banyak pasal pada undang-undang itu, terutama
berkenaan dengan isu partisipasi warga desa. Kita tahu bagaimana
peranannya sangat penting – misalnya bersama beberapa NGO, seperti
IRE – ketika mengadvokasi legislasi UU tersebut. Mereka terutama
mempromosikan tema civic-engagement (pelibatan warga) dalam
kerangka demokratisasi desa. Dan persis di sinilah, kita perlu sedikit
mendalami fokus dan tekanan-utama mereka atas gagasan tersebut.
Menurut Antlov, partisipasi warga melibatkan partisipasi
sistematis dalam perumusan dan pembuatan kebijakan oleh kelompokkelompok warga. Pelibatan partisipasi itu juga mencakup kerja
berjejaring dengan mereka yang telah lebih dulu mengembangkan
metode-metode politik partisipatoris untuk konsultasi, deliberasi,
perencanaan, dan monitoring terhadap agenda-agenda dan programprogam pemeritahan desa (Antlov 2004: 142). Jadi, singkatnya politik
partisipatoris harus diwujudkan kembali dengan menguji secara
empiris di tingkat desa. Ini menjadi desain praksis untuk membuat
alternatif bagi demokrasi elektoral yang gagal di tingkat supra-desa.
Bagi banyak pengamat, perwujudan kembali politik partisipatoris
di tingkat lokal memang menjadi sebuah keharusan. Tamrin Amal
Tomagola baru-baru ini mengingatkan bahwa salah satu persoalan
paling serius demokrasi Indonesia adalah pengabaian terhadap
aspirasi-aspirasi masyarakat pedesaan yang sebenarnya merupakan
konsti­tuen terbesar demokrasi. Menurutnya, selama ini demokrasi
Indonesia terlalu berorientasi kota dan hanya terkonsentrasi pada
gerakan kelas menengah perkotaan.6 Kepentingan kalangan menengah
6 Diskusi redaksi Prisma, Cikini, Jakarta, 2 September 2016. Petikannya akan dimuat dalam
6
PROLOG
kota secara sosiologis dan kultural jelas harus dibedakan dengan
kepentingan kelas masyarakat non-kota di tingkat lokal, khususnya di
daerah pedesaan. Demokrasi liberal cukup bisa memenuhi kebutuhan
masyarakat kelas menengah perkotaan akan kebebasan sipil-politik
yang berbasis pada aspirasi-aspirasi individual. Tapi demokrasi tidak
bisa hanya memenuhi kebutuhan individual akan kebebasan sipil
dan politik. Bagi masyarakat pedesaan yang lebih berwatak komunal
(kebersamaan), di mana akses kolektif atas sumberdaya alam lokal
menjadi pertaruhan hidup-mati, demokrasi harus menekankan sisi
partisipasi kolektif warga.
Masalahnya adalah, daya dukung politik masyarakat desa tidak
memadai untuk memperbesar tekanan pada aspek ini. Karena itu
bagi Tamrin, ada kebutuhan untuk reorientasi demokrasi Indonesia
ke arah penguatan kapasitas politik masyarakat desa. Ini adalah kata
lain dari istilah civic-engagement yang ditekankan Antlov di atas. Jadi,
seperti halnya Antlov, Tamrin juga melihat ada dua manfaat dalam
reorientasi ini. Pertama, memberi keseimbangan baru agar demokrasi
tidak hanya berkiblat ke kota, yang cenderung menekankan sisi-sisi
kebebasan individual kelas menengah liberal dan kompetisi elektoral
para elit. Kedua, dengan menekankan aspek partisipatorisnya dalam
latar sosio-kultural komunal berbasis desa, demokratisasi Indonesia
bisa menjadi lebih produktif, inklusif (terbuka), otentik (asli), dan
maksimal.
***
Studi-studi kasus IRE tentang 10 desa di Jawa yang terhimpun
dalam buku ini memberi gambaran bahwa ada yang sedang menggeliat
dari bawah, dari tingkat lokal, dari desa-desa kita. Kasus-kasus yang
diteliti membawa kita untuk memiliki gambaran tentang dimensidimensi empiris mengenai apa yang dipikirkan Antlov dan Tamrin.
rubrik Dialog Prisma, edisi khusus (Januari 2017, akan terbit).
7
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Di tengah warisan menyimpang yang ditinggalkan Orde Baru
berupa lemahnya organisasi dan kelembagaan masyarakat sipil di
tingkat desa, maka dengan terbitnya UU No. 6/2014 telah tercipta
kesempatan politik yang terbuka luas bagi lahirnya model-model tata
kelola baru di tingkat desa. Model-model baru itu memang sedang
dalam proses terbentuk, sesuai dengan konteks-konteks problematik
setempat. Cerita-cerita yang terhimpun dari 10 kasus yang distudi
IRE itu baru merupakan sebagian dari ilustrasi nyata yang kini bisa
ditemukan di mana-mana di seluruh penjuru tanah air.
Kesepuluh studi kasus IRE dengan sengaja membatasi fokus
analisisnya untuk melihat tiga aspek: (i) kepemimpinan desa; (ii)
kinerja lembaga-lembaga representasi (perwakilan) desa; dan (iii)
inisiatif warga desa. Hasilnya adalah sebuah bunga rampai yang
merupakan cerita saling-silang; masing-masing bisa bertutur sendiri
mengenai kombinasi yang saling mempengaruhi antara ketiga aspek
itu. Ada kepemimpinan desa yang responsif atau tanggap, didukung
oleh kelompok-kelompok warga desa yang penuh inisatif atau prakarsa
dengan tradisi deliberatif (dialog dan musyawarah) yang punya akar
kuat; dan ditopang pula oleh lembaga-lembaga formal representasi
desa yang terbuka. Ini jelas sebuah kombinasi ideal untuk membangun
pemerintahan desa yang partisipatoris. Ada pula jenis kepemipinan
desa dinastik yang elitis, konservatif, tidak transparan; dan ini biasanya
muncul dari dan/atau melahirkan sikap masyarakat yang apatis atau
tidak peduli dan pasif; serta dilengkapi pula oleh lembaga representasi
desa yang tidak responsif dan tidak kredibel. Hasilnya tentu sebuah
jenis tata-pemerintahan desa yang majal dan anti-pembaruan.
Di tengah-tengah model kombinasi yang ideal dan yang majal
itu, terdapat rangkaian variasi model-model pemerintahan desa yang
penuh ketegangan internal, dinamis, tapi juga involutif atau mandeg.
Misalnya, kepemimpinan inovatif (mampu menghadirkan terobosan)
8
PROLOG
yang muncul dari aktivisme kelompok-kelompok warga masyarakat
yang penuh inisiatif, tapi yang tidak didukung oleh adanya lembagalembaga representasi formal. Atau kepemimpinan yang lemah, tapi
dikontrol ketat oleh lembaga-lembaga representasi masyarakat yang
agresif menyuarakan kepentingan-kepentingan delegatif warga.
Atau kepemimpinan yang kuat, tapi berada dalam ketegangan
dengan kelompok-kelompok warga yang juga kuat, dengan lembagalembaga representasi yang mengalami kemandulan. Atau berbagai
jenis lain variasi-variasi semacam itu. Semua bentuk kombinasi yang
penuh dengan kemungkinan itu, tentu juga menemukan batasbatas strukturalnya. Mana dari ketiga aspek itu yang paling kuat
sebagai faktor dominan, biasanya akan sangat menentukan arah
perubahan baik transformatif atau deformatif. Studi IRE kali ini
cukup memperkaya khazanah wawasan, bagaimana sebuah polity atau
satuan politik berbasis lokal-kewilayahan bergerak karena dialektika
endogennya yang berlangsung dalam dirinya sendiri.
Namun demikian, mengamati dinamika politik “lokalisme kewi­
layahan” tidak pernah bisa diletakkan di luar pengaruh-pengaruh
eksogen atau berasal dari luar. Ini yang tampaknya lepas dari perhatian
IRE. Faktor-faktor eksogen yang mempengaruhi dinamika sosialpolitik pedesaan di Indonesia perlu juga didasarkan pada perspektif
global. Di sini saya perlu memperkenalkan perspektif Joshua Forrest
(2014), yang dengan meyakinkan telah memperingatkan bahwa
gagasan-gagasan lokalisme kewilayahan kini sedang menyurut.
Mazhab lokalisme kewilayahan percaya bahwa masyarakat pedesaan
mempunyai daya tahan dalam menghadapi apa yang disebut arus
“metropolitanisasi” – yakni pertumbuhan wilayah yang terus berlanjut
di mana kawasan perdesaan terurbanisasi dengan cepat sejalan dengan
kebijakan aglomerasi regional.7
7 Aglomerasi mengacu pada pemusatan aktivitas-aktivitas ekonomi di lokasi yang sama untuk
9
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Forrest memperlihatkan gejala-gejala baru di mana selama dua
dasawarsa terakhir ini, bahkan di seluruh dunia, potensi masyarakat
lokal dalam mempertahankan kontrol atas sumberdaya perekonomian
masing-masing, pun juga menyangkut kemampuan mereka untuk
membuat dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi
pada kepentingan lokal justru sedang sangat menurun.
Beberapa faktor ditunjukkan Forrest menyangkut gejala ini.
Pertama, tentu saja adalah karena pengaruh ekspansi investasi yang
semakin fleksibel yang mengikis batasan teritorial kota-desa. Modal
begitu cepat bergerak dari kota ke desa; dan ini menciptakan proses
de-teritorialisasi. Kedua, pada saat yang sama, untuk mengakomodasi
sumber ekonomi baru akibat investasi itu, ada kebutuhan bagi
pemerintah-pemerintah desa untuk melakukan privatisasi (atau
dikenal swastanisasi) di mana modal mengambil alih atas berbagai jenis
pelayanan publik tertentu. Ketiga, sebagai akibat perluasan investasi
oleh swasta itu, muncul gelombang migrasi yang menyerbu desa-desa
dan gelombang yang akhirnya mengikis tradisi komunitarianisme
(kebersamaan) lokal dan otentik (asli) desa-desa. Singkatnya spirit
lokalisme kewilayahan menjadi melemah. Pelemahan inilah yang
menyebabkan menipisnya otonomi dan kapasitas tata-kelola
penyelenggaraan kepentingan publik pemerintahan desa.
Sampai di sini kita sedang memetakan dua gelombang pengaruh
yang menyerbu desa-desa. UU No. 6/2014 mendesain desa untuk
tumbuhnya kapasitas lokal demokratik melalui skenario pelibatan
warga (civic-engagement). Tapi di pihak lain, aglomerasi yang
menyerbu desa-desa karena ekspansi modal membuat kapasitas
otonomi desa-desa menyurut. Inilah situasi dilematis yang secara
menghasilkan manfaat ekonomi yang pada akhirnya mendorong pembentukan kluster-kluster usaha. Aglomerasi dapat ditandai dengan pembentukan kawasan ekonomi khusus dan
diorientasikan bagi ekspansi (perluasan) sektor industri.
10
PROLOG
struktural menciptakan tantangan besar bagi inisiatif apapun yang
ingin menjadikan desa sebagai situs baru demokrasi partisipatoris.
***
Catatan-catatan di atas sangat penting dikemukakan untuk
menganalisis hasil-hasil studi kasus yang dilakukan IRE yang terhimpun
dalam buku ini. Faktor-faktor kepemimpinan formal desa, inisiatif
warga-desa, dan lembaga representasi desa yang diteliti dalam ke-10
studi kasus adalah unit-unit analisis untuk mendeteksi kemungkinan
munculnya kinerja pemerintahan desa yang partisipatoris. Tetapi
faktor-faktor itu tampaknya memerlukan definisi operasional yang
menegaskan gagasan politik partsipatoris sebagaimana tersaji dalam
matrik tabel 1. Faktor kepemimpinan misalnya mensyaratkan daya
tanggap (responsivitas), kebertanggungjawaban, dan transparansi.
Faktor inisiatif warga mensyaratkan gagasan tentang otonomi lokalkewilayahan dalam rangka klaim kesejahteraan kolektif. Sedangkan
faktor representasi mensyaratkan adanya kemampuan (kapabilitas)
dan kredibilitas (seberapa jauh meraih kepercayaan) kelembagaan
untuk bertindak mewakili aspirasi warga.
11
12
Publicness/
Inclusiveness of
Aspirations
Capital-Driven
Aglomeration
Public Space
Extention
Public Interest
Formation
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi
10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi
10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi
10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi
10
LEADERSHIP
(responsivity,
responsibility, and
transparancy)
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi
10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi
10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi
10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi
10
REPRESENTATION
(credibility,
representativeness
capability)
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10
CITIZEN INITIATIVE
(idea of local territorial
autonomy, reassertion
and reclaiming of
welfare)
Kasus 1 s/d kasus 10;
Ilustrasi 1 s/d ilustrasi 10
Kerangka Analisis Politik Partisipatoris
Tabel. 1
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
PROLOG
Ketiga faktor dengan seluruh syarat-syarat instrinsiknya itu,
pada analisis selanjutnya harus dikorelasikan dengan faktor lain yang
bersifat endogen maupun eksogen. Ada tiga faktor endogen untuk
dipakai sebagai parameter pengujian —yakni perumusan kepentingan
publik, perluasan ruang publik, serta inklusivitas dan sifat-kepublikan
aspirasi-aspirasi. Sementara itu satu faktor eksogen adalah menyangkut
fenomena aglomerasi, terutama yang dilatarbelakangi oleh ekspansi
modal dari aktor-aktor/lembaga-lembaga supra-desa.
Kerangka analisis matriks ini penting dipakai untuk melihat
dan memeriksa secara detail setiap studi kasus. Setiap kasus perlu
membeberkan situasi setiap faktor dengan ilustrasi-ilustrasi kongkret.
Hasilnya diharapkan adalah gambaran deskriptif yang lengkap untuk
memperlihatkan beragam bentuk politik partisipasi, kualitasnya,
narasi-narasi mengenai prosesnya, tantangan-tantangannya, capaiancapaian maksimalnya, dan seterusnya. Singkatnya mengenai proses
politik demokrasi partipatoris di dalam arena riil politik lokal.
Kajian menyeluruh berdasarkan analisis matriks itu setidaknya
akan menggambarkan dua hal. Pertama, politik demokrasi lokal sebagai
ajang kontestasi seluruh aktornya – jadi di sini yang ditekankan adalah
gambaran mengenai politik partisipatoris dalam arena kontestasi
yang empiris dan aktual. Kedua, gambaran kontekstual mengenai
eksperimentasi politik partisipatoris untuk melihat secara riil
capaian-­
capaiannya, hambatan-hambatannya, maupun kegagalan-­
kegagalannya.
Dengan kerangka seperti itu, kita telah menggelar panggung.
Setidaknya secara hipotetis, situs demokrasi partisipatoris di tingkat
lokal bisa dikerjakan di luar skema besar demokrasi elektoral nasional
yang minimalis itu. Kita sedang menggelar sebuah upaya untuk
membuat demokrasi berjalan maksimal sebagai urusan publik, sebagai
kepentingan kolektif, dalam pertarungan politik sehari-hari – bukan
13
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
hanya lima tahun sekali seperti panggung demokrasi elektoral. Tentu
kemungkinan kegagalannya adalah sebesar kemungkinan keber­
hasilannya. Analisis dan interprestasi atas kesepuluh studi kasus IRE
ini bisa dipakai sebagai referensi empiris untuk melihat seberapa
besar kemungkinan dan ketidakmungkinanya dalam konteks-konteks
aktual di tempat lain, di puluhan ribu desa-desa di seluruh Indonesia.
Karena setiap eksperimentasi mengandung gagasan mengenai
model ideal yang dijadikan referensi normatif, perlulah kiranya dibuka
di sini apa yang seharusnya menjadi acuan. Acuan ideal eksperimentasi
demokrasi partisipatoris di tingkat desa ini adalah demokrasi
republikan. Adalah Republikanisme dalam pengertian Plato. Desa
harus dibayangkan sebagai republik di tingkat lokal. Dari sekian
elemen demokrasi republikan, dua di antaranya harus diasumsikan
ada di desa. Dua elemen itu adalah active citizen (warga yang penuh
prakarsa), dan cita-cita yang hidup untuk membangun public-virtue
(kebajikan bagi publik), berbasis common-good, dan common interest.
Kita percaya bahwa spirit komunitarianisme yang hidup di banyak
desa-desa kita masih menyimpan modal sosial dan modal budaya itu.
14
BAB 1
Penemuan Kembali “Berdesa”
A. Prawacana
Sudah menjadi pengetahuan bersama, kehidupan sosial
kemasyarakatan di desa selama ini dipandu oleh seperangkat nilai yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Masyarakat Jawa, misalnya, secara
umum mengenal tiga tata nilai untuk melangsungkan hidup bersama
di desa, yaitu; tata cara, tata krama, dan tata susila. Tata cara mengacu
pada aturan-aturan yang berkaitan dengan tindakan atau mekanisme
dalam menjalani kegiatan sosial kemasyarakatan. Tata krama adalah
etika pergaulan yang berkaitan dengan sopan santun dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan. Sedangkan tata susila merupakan aturan
tingkah laku warga dalam menjalani hidup berbangsa di desa, atau kini
disebut sebagai “berdesa”.8
Secara historis, masyarakat “berdesa” di Nusantara memiliki basis
sosial kehidupan yang berbeda dengan masyarakat Eropa, Amerika,
Arab atau belahan dunia lainnya. Gagasan demokrasi yang kini menjadi
8 Dalam laporan tahunan yang ditulis oleh IRE Yogyakarta, Annual Report 2001 – 2002,
memuat laporan tentang pemikiran demokrasi desa. Dalam laporan tersebut, IRE menemukan bahwa kehidupan sosial kemasyarakatan desa dipandu oleh tiga tata nilai, yaitu tata cara,
tata krama dan tata susila.
15
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
arus utama dalam mengelola kehidupan publik, lahir dan bertumbuh
kembang dari pengalaman masyarakat Amerika yang berwatak indi­
vidual-liberal maupun masyarakat Eropa yang berakar dari budaya
industrialis. Sistem demokrasi yang kini menyebar luas di berbagai
penjuru dunia adalah hasil pemikiran dari tradisi panjang kehidupan
sosial, ekonomi, kebudayaan, dan kemasyarakatan yang dikenal se­
bagai “masyarakat Barat”. Tidak salah jika akhirnya demokrasi yang
bekerja adalah pelembagaan tradisi, cita rasa dan karakter “masyarakat
Barat” dalam membingkai kehidupan bersama.9
Sebagian besar warga di negeri ini pada dasarnya masyarakat
petani di desa. Pada masa pra kolonial, masyarakat petani bermukim
dalam wilayah geografis dan pengaruh kekuasaan tradisional yang
cenderung terisolasi dan terbatas jaringan sosial keluar maupun
mobilitas sosial. Tempat bermukimnya berhimpitan dengan ladang,
kebun atau sawah pertanian yang menjadi sumber penghidupan
mereka. Sartono Kartodirjo (1985) menuturkan bahwa karakteristik
masyarakat petani yang berciri khas terpecah kecil-kecil secara
geografis ini, ditemukan pula pada masyarakat India yang diikat dalam
satuan panchayat (desa) yang isolatif, miskin jaringan sosial dan relasi
kekerabatannya kuat.
Situasi ini menurut Sartono Kartodirjo (1985), menjadi berubah
ketika pemerintah kolonial menguasai India dan Nusantara. Masa
kolonial yang mengungkung Indonesia dan India sejak abad 18 meng­
akibatkan perubahan sosial ekonomi terjadi nyata di desa-desa di
9 Pemikir Alexis De Tocqueville secara menarik memaparkan sejarah demokrasi di Eropa dan
Amerika melalui cara berpikir induktif, yaitu mendeskripsikan narasi-narasi dinamika sosial
suatu kelompok bangsa dari bawah tanpa dibebani oleh suatu kerangka teori dan konsep
tertentu. Kumpulan pemikiran demokrasi dari Tocqueville ini dihimpun dalam sebuah buku
yang disunting oleh John Stone dan Stephen Mennel, diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 2005 dengan judul “Tentang Revolusi, Demokrasi dan Masyarakat” kerjasama
Kedutaan Besar Amerika Serikat, Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia.
16
Indonesia maupun masyarakat petani Panchayat India.10 Kolonial
Belanda mempengaruhi dalam narasi pertanian dan perkebunan
dalam bentuk sistem tanam paksa, sementara Kolonial Inggris
mem­pengaruhi pribumi India dengan narasi administrasi bersosial
masyarakat berupa sistem pajak. Pengaruh-pengaruh yang beragam
inilah yang menentukan pembentukan sekaligus perubahan tata nilai
dan orientasi sosial kemasyarakatan di Panchayat (India) maupun desadesa di Indonesia. Tekanan pengaruh rejim kolonial telah membentuk
lanskap sosial-ekonomi-budaya-politik masyarakat desa Nusantara.
Pasca mendeklarasikan kemerdekaan tahun 1945, rejim Orde
Lama berusaha membangun jati diri masyarakat desa melalui narasi
negara bangsa (berbangsa ala negara) dimana nasionalisme menjadi
spirit pengelolaan kehidupan bersama desa. Pada titik inilah,
menjadi awal mula masuknya negara sebagai organisasi kekuasaan
modern ke desa. Namun, ketegangan politik di kalangan elit nasional
menyebabkan rute demokratisasi yang dijalani Indonesia menjadi
limbung. Pergantian rejim Orde Lama ke Orde Baru justru semakin
menjauhkan Indonesia dari rute demokrasi, bahkan berbalik arah
menuju otoritarianisme. Di bawah pemerintahan otoriter Orde Baru,
desa semakin termiskinkan. Kekayaan berupa keragaman sistem,
lembaga dan tata nilai sosial kemasyarakatan desa di Nusantara
tercabik-cabik format penyeragaman desa oleh negara Orde Baru.11
Dalam kondisi semacam inilah desa-desa di Indonesia sulit mengem­
10 Penjelasan ringkas dilakukan oleh Sartono Kartodirjo melalui makalah ringkasnya sebagai
bahan diskusi bulanan di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM, menjelaskan dinamika
perubahan sosial ekonomi pedesaan di Indonesia, termasuk membandingkan dengan Panchayat India. Lebih rinci tentang hal ini silahkan baca buku “Dinamika Perubahan Sosial Ekonomi Pedesaan”, disunting oleh Sartono Kartodirjo, Mubyarto dan Edi Suandi Hamid, 1996,
Penerbit Aditya Media Yogyakarta.
11 Beberapa studi terkait fenomena desa di bawah tekanan rejim orde baru, bisa dibaca dalam
buku Mochtar Mas’oed, 1983, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, termasuk buku Yando Zakaria, 2000, Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde
Baru, Jakarta: ELSAM, dan Hans Antlov, 2003, Negara Dalam Desa: Patronase Kepemimpinan
Lokal, Yogyakarta: Lappera Pustaka utama,
17
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
bangkan diri, meski di dalam dirinya mengalir tradisi-tradisi tata sosial
kemasyarakatan yang mencerminkan prinsip dan nilai demokrasi.
Pasca reformasi, kelahiran UU No 6 tahun 2014 tentang Desa
(UU Desa) menjadi oase yang menghadirkan kesempatan sekaligus
tantangan bagi re-demokratisasi desa. Regulasi baru ini menyedia­
kan rute perubahan revolusioner bagi desa di dalam sistem NKRI.
Sejarah masa lalu yang terwariskan dan kemampuan desa dalam
mengembangkan diri, diakui dan dihormati, melalui dua asas utama
peraturan ini, yaitu; rekognisi (pengakuan terhadap hak asalusul) dan subsidiaritas (kewenangan desa untuk menetapkan ke­
wenangannya sendiri yang berskala lokal desa). Desa pun didorong
untuk menghidupkan kembali demokrasi desa, melalui mekanisme
Musyawarah Desa (Musdes), terutama dalam memutuskan aspekaspek strategis desa. Namun demikian, disisi lain regulasi itu juga
meghadapkan desa pada tantangan tersendiri. Tantangan tersebut
berupa kesiapan desa dan supradesa (pemerintah nasional, provinsi,
dan kabupaten/kota) dalam merespon perubahan revolusioner pada
aspek regulasi menjadi tindakan kolektif.
Sayangnya spirit UU Desa tersebut belum ditangkap dengan
baik oleh pelaku desa. Studi-studi yang dilakukan IRE dalam kurun
waktu dua tahun terakhir (IRE dan CCES, 2015; IRE, 2015; IRE,
2016) menunjukkan gejala bahwa penyebaran pengetahuan tentang
substansi UU Desa masih bermasalah. Masalah mendasar dalam
kerangka penyebaran tersebut adalah tidak merata dan tidak tuntas
dalam memahami UU Desa. Gairah memanfaatkan Musdes untuk
merayakan demokratisasi desa terlihat lesu, dikalahkan oleh hiruk
pikuk administrasi dana desa yang mengharu biru para Kades dan
perangkat desa. Alih-alih menata diri mempersiapkan pelembagaan
Musdes sebagai wadah rembug warga yang inklusif, para elit desa
justru hilir mudik ke kantor kabupaten/kota dan tempat-tempat
18
PENEMUAN KEMBALI “BERDESA”
bimbingan teknis (bimtek) berkaitan dengan pengelolaan keuangan
desa. Situasi ini bermakna demokrasi desa masih berjalan di atas kertas
dan belum tersemat di sanubari para pemimpin dan masyarakat desa.
Padahal, desa dengan segala kearifannya telah mewariskan
tatanan sistem dan nilai sosial kemasyarakatan yang lekat dengan
nilai-nilai universal demokrasi. Kehidupan sosial masyarakat di desa
masa lampau telah mengenal dan memberlakukan seperangkat nilai
yang sebangun dengan nilai-nilai universal demokrasi. Meski tidak
mengenal istilah demokrasi, tetapi esensi demokrasi telah dijalani
pada masa itu. Sayangnya, warisan bak harta karun yang tak ternilai
itu masih teronggok. Kekayaan tersebut sesungguhnya dapat diramu
dan ditawarkan sebagai cara baru dalam mengembangkan demokrasi
di Indonesia. Kritik keras atas arus deras demokrasi liberal yang
prosedural-formal saat ini, bisa dijawab dengan menghidupkan
kembali spirit dan nilai-nilai kehidupan sosial kemasyarakatan desa
yang sudah teruji dalam membangun kebersamaan dan kesejahteraan.
Kiranya tidak keliru jika misi utama hari ini adalah menemukan
kembali spirit “berdesa” sebagai wajah demokrasi desa. Sejarah desa
yang kaya, berbentuk organisasi pemerintahan lokal, lembaga ke­
masyarakatan, sistem sosial, dan nilai-nilai dasar dalam mengem­
bangkan kehidupan bersama, —merupakan harta karun pengetahuan
yang semakin langka dan perlu dihidupkan serta senantiasa dirawat.
Namun demikian, upaya penemuan kembali “berdesa” tidak sekedar
diletakkan dalam spirit romantisisme masa lampau semata. Spirit
“berdesa” tersebut perlu diadaptasi dalam praktik-praktik pengelolaan
kehidupan bersama desa sesuai dengan tantangan zamannya.
Ringkasnya, penemuan kembali spirit “berdesa” membutuhkan kerjakerja kontekstual.
19
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
B. Kontekstualisasi Berdesa
Dalam semangat semacam itulah buku ini disusun. Disamping
menyelamatkan harta karun yang tercecer, buku ini merupakan Ik­
hti­ar awal dalam melakukan kontekstualisasi spirit “berdesa”. Buku
ini memuat hasil kajian IRE berupa potret mendalam peristiwaperistiwa menarik dan penting tentang praktik (menuju) “berdesa”
yang kemudian ditarik sebagai etalase pembelajaran berharga.
Peristiwa sosial kemasyarakatan dan pembangunan desa bisa menjadi
gambaran secara nyata bekerjanya pilar-pilar utama demokrasi. Pada
studi ini pilar utama yang diyakini menjadi penyangga bagi bekerjanya
demokrasi lokal (desa) meliputi tiga aspek, yaitu; kepemimpinan,
inisiatif warga dan representasi. Ketiga aspek yang jalin berkelindan
menggerakkan peristiwa demi peristiwa sosial kemasyarakatan dan
pembangunan desa menjadi lingkup kajian ini.
Tradisi panjang kehidupan sosial masyarakat desa-desa di Jawa
memberikan pertimbangan utama dalam memilih Jawa sebagai lokasi
studi ini. Berlangsung di 10 desa di Jawa, lokasi studi dipilih dengan
menggunakan pertimbangan karakteristik topografis yang diyakini
berkontribusi dalam melahirkan segregasi sosial budaya masyarakat.
Pada Tabel 1. secara rinci diinformasikan tipologi lokasi, kasus yang
diteliti dan penelitinya.
20
PENEMUAN KEMBALI “BERDESA”
Tabel 2
Tipologi Lokasi dan Kasus Penelitian
Tipologi
DataranTinggi/
Pegunungan
Dataran Rendah
Kawasan Pesisir
Kabupaten
Probolinggo
Desa
Penelitian
Studi Kasus
Perlindungan
Lahan Masyarakat
Tengger
Kabupaten
Nglanggeran Pengembangan
Gunungkidul
Pariwisata Berwawasan Lingkungan
Kabupaten
Mekar Jaya
Pembangunan
Sukabumi
Lapangan Sepak
Bola
Kabupaten
Gulon
Pembangunan
Magelang
Rusunawa
Rajif Dri Angga
Kabupaten
Tangerang
Cangkudu
Iranda Yudatama
Kabupaten
Sleman
Umbulharjo
Kabupaten
Bantul
Panggungharjo
Kabupaten
Rembang
Punjul Harjo
Kabupaten
Kulon Progo
Sidorejo
Kabupaten
Blitar
Ringinrejo
Sumber : IRE, 2016
Ngadisari
Peneliti
Reformasi birokrasi dalam Pelayanan Publik
Desa Mengembangkan Pengelolaan air bersih
Reformasi Birokrasi dan Inovasi
Pelayanan Publik
Pengembangan
Pariwisata “Karang
Jahe Beach”
Insiatif Pengembangan Desa
Inklusi
Okupasi Lahan
Perhutani oleh
Pihak Swasta dan
Masyarakat Desa
Sugeng Yulianto
Fajar Sudjarwo
Dimpos Manalu
Sukasmanto
Abdur Rozaki
Sigit Pranawa
Titok Hariyanto
Nurma
Fitrianing­rum
21
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Sebagaimana diinformasikan pada tabel 2, bahwa penelitian ini
dilakukan dengan memakai pendekatan studi kasus atas peristiwaperistiwa yang berlangsung di desa. Artinya, studi yang dilakukan IRE
ini mengumpulkan praktik-praktik bermasyarakat dan berdesa yang
terjadi di 10 desa lokasi riset. Inilah yang dimaksud sebagai stock taking
study. Peristiwa yang dikaji oleh para peneliti bisa berdimensi praktik
baik namun bisa juga praktik buruk dalam aspek kepemimpinan,
inisiatif warga, dan representasi. Singkatnya, studi ini tidak berpre­
tensi mengumpulkan praktik-praktik terbaik tentang tiga aspek utama
demokrasi desa.
Disisi lain, studi ini pun tidak bertujuan melakukan evaluasi atas
proyek pembangunan masyarakat dan desa. Bukan pula melakukan
penilaian atas kerja-kerja masyarakat dan pemerintahan desa yang
berujung pada pemberian apresiasi penghargaan atas praktik terbaik
dan turunanya. Studi ini sejak awal didedikasikan untuk menemukan
pelajaran berharga atas praktik-praktik baik maupun buruk dalam
kehidupan sosial masyarakat dan pembangunan desa. Karena baik
praktik baik maupun buruk memiliki nilai yang sama, yakni sebagai
mutiara pembelajaran.
C. Argumentasi Metodologis
Ada dua argumentasi metodologis yang penting dikemukakan
dalam studi yang menghasilkan buku ini. Pertama, cara pandang
induktif. Studi yang ditempuh memakai nalar berpikir induktif,
meskipun tidak secara total. Karena studi ini secara sadar dibimbing
pula oleh keyakinan, bahwa UU Desa memberi peluang besar bagi desadesa untuk mengembangkan demokrasi yang lebih subtantif. Sebagai
nalar utama dalam studi, tentu cara pandang induktif membawa
konskuensi, bahwa para peneliti turun ke lapangan tidak berbekal
kerangka teori dan konsep yang baku dan ketat. Pada saat melakukan
22
PENEMUAN KEMBALI “BERDESA”
penelitian lapangan para peneliti dibekali kerangka instrumen yang
longgar (question guide), bagaimana memilih kasus dan apa saja data/
informasi yang penting dikumpulkan. Artinya, peneliti di lapangan
memiliki keleluasaan dalam mengeksplorasi peristiwa-peristiwa
sosial yang berlangsung untuk diangkat menjadi kasus yang hendak
dikaji. Selanjutnya, para peneliti datang ke desa diawali dengan me­
nemui pihak-pihak strategis, targetnya menemukan peristiwa sosial
kemasyarakatan atau pembangunan desa yang bisa dipilih sebagai
kasus untuk dikaji secara lebih mendalam. Data dan informasi yang
dianggap memadai kemudian ditulis secara naratif, melalui teknik
analisis deskriptif, interpretatif, dan eksplanatif. Pada saat menarasikan
data dan informasi ini peneliti menggunakan perspektif yang terkait
dengan prinsip dan nilai universal demokrasi untuk memahami dan
menjelaskan rangkaian peristiwa yang diteliti. Studi kasus yang me­
lahirkan narasi kecil didialogkan dengan narasi besar dari perspektif
demokrasi. Dialektika inilah yang kemudian melahirkan pengetahuan
yang diharapkan berkontribusi bagi pemikiran dan praktik demokrasi
yang saat ini sedang berlangsung.
Kedua, memasok pengetahuan untuk kebijakan. Buku ini
dihasilkan dari studi yang sejak awal tidak semata-mata hanya untuk
memuaskan kegelisahan intelektual, melainkan lebih dari itu untuk
melahirkan pengetahuan yang relevan bagi perbaikan pemikiran
dan praktik demokrasi. Pada level mikro produk pengetahuan yang
dihasilkan diharapkan bisa mengingatkan maupun menginspirasi
bagi para pihak berkepentingan di desa dalam upaya mengembangkan
demokrasi desa. Sementara pada level makro, pengetahuan yang
dihasilkan studi ini diharapkan mampu menjadi basis pemikiran
para pengambil kebijakan di tingkat nasional maupun subnasional
dalam mengembangkan kebijakan yang terkait dengan pelembagaan
demokrasi desa.
23
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Selain argumentasi metodologis di atas, dengan diterbitkannya
buku ini diharapkan akan bermanfaat bagi para pihak yang selama ini
berada di dalam pergulatan semesta demokrasi di Indonesia. Pertama,
pemerintah nasional dan sub nasional, termasuk pemerintahan desa.
Buku ini penting dibaca oleh para pengambil keputusan karena
beberapa pengetahuan di dalam buku ini dapat dipakai sebagai
pertimbangan dalam mengembangkan desain kebijakan untuk
melembagakan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas di level
desa, kabupaten, propinsi, dan pusat. Kedua, masyarakat desa. Buku ini
diharapkan bisa menjadi sumber inspirasi bagi warga masyarakat desa,
terutama para warga aktif desa yang sedang merayakan pelaksanaan
UU Desa. Desa membangun tidak sekedar membelanjakan uang desa,
tetapi bagaimana mengembangkan tradisi bermasyarakat dan berdesa
yang demokratis.
Ketiga, pegiat pembaruan desa dan aktivis pro demokrasi.
Buku ini berupaya menghadirkan sisi kritis pemikiran dan praktik
demokrasi liberal yang kini melembaga di Indonesia, namun kian tak
jelas sumbangannya bagi kesejahteraan bersama. Dengan konstruksi
pengetahuan yang dibangun berbasis pada perspektif demokrasi
partisipatoris-deliberatif, buku ini menawarkan alternatif bagi para
pegiat desa dan pro demokrasi untuk mengembangkan demokrasi
desa yang berbeda dengan praktik-praktik demokrasi formal
prosedural selama ini. Keempat, akademisi dan peneliti. Buku ini
memancing pemikiran tentang demokrasi alternatif atas demokrasi
liberal. Komunitas akademik seharusnya mengelaborasi lebih lanjut
melalui perdebatan paradigmatik dan teoritik atas tawaran-tawaran di
dalam buku ini. Agenda-agenda riset tentang demokrasi alternatif dan
pengembangannya penting dirumuskan oleh para peneliti.
24
PENEMUAN KEMBALI “BERDESA”
D. Tentang Alur dan Isi
Buku ini disusun dengan mempergunakan gaya tulisan ilmiah
popular dengan alur penulisan seperti berikut ini. Pertama, bagian
perspektif studi ini. Apa cara pandang yang digunakan untuk
membangun nalar dan merumuskan pengetahuan atas hasil penelitian?
Bagian ini berusaha menegaskan posisi cara pandang yang digunakan
dalam mengembangkan demokrasi desa. Karena itu dalam sistematika
buku ini ditempatkan pada Bagian Prolog: Demokratisasi Desa – Situs
Baru Politik Partisipatoris? Pada bagian ini diuraikan latar feno­
mena kegagalan demokrasi liberal sampai kemudian ditawarkannya
cara pandang demokrasi partisipatoris-deliberatif. Dialog perspektif
besar demokrasi dengan gejala yang menggeliat dari desa-desa yang
ditemukan di 10 lokasi riset, ditulis menjadi skema cara pandang yang
ditawarkan untuk menjelaskan fenomena dan usulan gagasan model
demokrasi desa di masa depan.
Kedua, bagian latar belakang studi ini. Pada bagian ini diuraikan
tentang konteks dan urgensi studi mengenai demokrasi desa. Selain
itu juga menguraikan tentang tipologi lokasi dan kasus penelitian,
gagasan mengembangkan demokrasi desa, argumentasi metodologis
yang digunakan untuk melakukan penelitian yang membuahkan
pengetahuan di buku ini. Termasuk juga menguraikan sistematika dan
alur penulisan buku. Dalam alurnya penulisan bagian ini ditulis pada
Bab 1 buku ini.
Ketiga, bagian temuan-temuan studi demokrasi. Sejak awal studi
demokrasi desa menggunakan keyakinan pada tiga aspek utama
pelembagaan demokrasi, yaitu; kepemimpinan, representasi, inisiatif
warga. Bagian ini alurnya diletakkan secara berurutan pada Bab 3
menguraikan aspek kepemimpinan dalam pelembagaan demokrasi
desa. Kemudian diteruskan Bab 4 menguraikan tentang representasi
dalam pelembagaan demokrasi desa. Sedangkan Bab 5 menguraikan
25
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
tentang inisiatif warga dalam pelembagaan demokrasi desa.
Keempat, bagian epilog. Pada bagian ini diuraikan tentang model
demokrasi desa yang berpijak pada penguatan kepemimpinan,
representasi, dan inisiatif warga. Pada bagian ini pula agenda-agenda
pelembagaan demokrasi desa yang menggunakan nalar demokrasi
partisipatoris-deliberatif diuraikan dari sisi peluang dan tantangannya.
26
Bapak Senen Kades
Nglanggeran yg
sederhana, dicintai
warganya
Kebijakan Kades Ngadisari untuk untuk
melindungi tanah leluhur Tengger dari
ekspansi kapital, terutama di lereng atas
yang berbatasan dg TNBTS
Ki Petinggi (kanan) dan Dukun Pandita (kiri)
berjalan beriringan dalam puncak Hari Raya
(Karo_Sumber_Woko)
BAB 2
Kepemimpinan dan
Transformasi Desa
A. Prawacana
Sejauh penelurusan yang ada, tak banyak kajian yang
secara eksplisit mengkaitkan studi tentang kepemimpinan Jawa
dengan gagasan demokrasi lokal yang berkembang di pedesaan
Jawa pasca perubahan penting yang didorong UU Desa. Terbitnya
UU Desa memang menyediakan basis perubahan fundamental
dalam konteks pelembagaan demokratisasi desa. Terlebih politik
rekognisi (pengakuan atas hak asal-usul) dan subsidiaritas (penetapan
kewenangan berskala lokal desa) dalam UU Desa telah menyediakan
peluang transformasi bagi desa melalui kewenangan yang dimilikinya.
Namun demikian, penting untuk memeriksa kembali sejauh mana
perubahan tersebut dimungkinkan bekerja di desa melalui praktikpraktik otentik demokrasi desa.
Studi yang dilakukan oleh Institute for Research and Empowerment
(IRE) Yogyakarta di desa-desa di Jawa ini adalah salah satunya. Studi
rintisan ini memperlihatkan gejala dan praktik demokrasi di desa
yang diuraikan dari tiga titik pijak: kepemimpinan, representasi dan
29
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
inisiatif warga. Bab ini secara spesifik akan memusatkan perhatian
pada aspek kepemimpinan desa untuk melihat tipe kepemimpinan
semacam apa yang kondusif bagi bekerjanya demokrasi deliberatifpartisipatoris.12 Oleh karena itu, studi rintisan ini hendak melihat
sejauh mana kepemimpinan desa yang tengah berlangsung saat ini
diuji dengan praktik demokrasi lokal yang masih bekerja dan otentik
atau bahkan telah lenyap dan hanya sedikit menyisakan jejaknya.
Pengujian pada aspek kepemimpinan tersebut menyasar pada tiga
faktor penting: pembentukan kepentingan publik, perluasan ruang
publik, dan inklusivitas (keterbukaan) terhadap aspirasi-aspirasi
menyangkut urusan publik. Meskipun demikian, dua titik pijak
lainnya (representasi dan inisiatif warga) tentu tidak dapat dilepaskan
begitu saja dan juga akan mewarnai analisis dalam tulisan ini.
Salah satu temuan penting pada aspek kepemimpinan mi­
salnya, menunjukkan bahwa kepemimpinan yang kuat, tanggap, dan
transparan hadir sebagai elemen penting dalam pembentukan kepen­
tingan publik sekaligus mampu memastikan perluasan ruang publik
melalui menciptakan ruang-ruang publik informal di desa. Di sisi lain,
kepemimpinan semacam ini juga membuka inklusivitas (keterbukaan)
bagi aspirasi-aspirasi kepublikan, seperti isu pelayanan publik dasar.
Sementara itu, di titik ekstrim yang lain, kepemimpinan desa menutup
peluang bagi pembentukan kepentingan publik dan cenderung
eksklusif (peminggiran) terhadap isu-isu publik di desa. Di antara dua
titik ekstrim ini tentu saja terdapat keragaman dari tiga faktor tersebut
dari 10 desa yang diteliti.
12 Demokrasi deliberatif merupakan pandangan tentang demokrasi yang mendorong ruang
publik menjadi arena bagi perbincangan isu tertentu sehingga menjadi wacana publik. Deliberasi dibutuhkan dalam demokrasi, agar proses merumuskan kebijakan publik telah diuji
melalui perbincangan publik, sehingga memunculkan argumentasi yang memadai dan cukup
dalam mengambil keputusan. Agar wacana publik menjadi arena yang hidup, maka dibutuhkan keterlibatan warga. Pada titik inilah partisipasi dalam bentuk inisiatif atau usulan warga
menjadi prasyarat bagi hadirnya deliberasi dalam makna yang sesungguhnya.
30
KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA
B. Warisan Lama: Dominasi Orang Kuat Lokal dan Politik
Kekerabatan di Desa
Dalam sejarahnya, kepemimpinan desa di Jawa tak bisa lepas dari
dominasi politik patronase dan jejaring kekerabatan yang kuat. Politik
pengaturan desa sejak era kolonial dan dilanjutkan oleh Orde Baru
mewariskan kepemimpinan desa yang feodal, dinastik (didominasi
jejaring keluarga elit), dan seringkali oligarkis (arena kekuasaan hanya
dikuasai oleh elit dan untuk kepentingan elit). Warisan lama kepe­
mimpinan desa tersebut—setidaknya dari hasil studi ini—berakar pada
dua hal: dominasi elit/orang (kuat) lokal melalui budaya paternalistik
(Mulder, 2001), kepemimpinan konservatif-birokratik, dan politik
kekerabatan.13 Sidel (2004) mengingatkan tentang kepemimpinan desa
yang dikuasai oleh orang kuat atau bosisme lokal (kuasa para bos lokal)
yang telah berakar kuat dalam perekonomian desa dan berkembang
pesat selama Orde Baru.14
Di masa ini pula, kepala desa dan sanak kerabatnya menikmati
akses atas sumberdaya yang digelontorkan oleh negara melalui
beragam mekanisme subsidi sarana produksi pertanian (seperti bibit,
pupuk dan pestisida), beragam pola pertanian padat modal, serta lahan
yasan. Pelaksanaan program-program pemerintah, dengan demikian,
13 Budaya paternalistik merujuk pada metafora atau perumpamaan bahwa pemimpin berperan
sebagai kepala keluarga. Kepala keluarga yang dalam masyarakat patriarkal diperankan oleh
bapak, menjadi panutan dan karena itu menjadi satu-satunya sumber kebenaran. Budaya
tersebut menciptakan adanya pandangan bahwa pemimpin tidak boleh dikritik. Sementara
konservatisme-birokratis mengacu pola kepemimpinan dengan karakter dogmatis, kaku, sulit menerima gagasan baru, hirarkis atau berjenjang dan mengandalkan kewenangan sebagai
basis kekuasaannya. Karakter demikian secara potensial memunculkan watak otoriter dalam
kepemimpinan.
14 Praktik-praktik bosisme lokal mengejawantah dalam peran-peran yang dimainkan para jago,
warok, blater, jawara, dan preman di berbagai wilayah di Nusantara. Yang membedakan
mereka hanya sifat, pola kerja, atau bentuk organisasi. Namun semuanya mengandalkan paksaan dan kekerasan, jika persuasi dan negosiasi menghadapi jalan buntu. Bosisme lokal terjadi
akibat minimnya peran negara dalam menegakkan ketertiban umum, juga karena disebabkan
pembiaran dan politisasi negara terhadap hadirnya beragam bisnis pengamanan
31
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
diperantarai oleh kepentingan para elit lokal di tingkat desa yang
mengkontrol berbagai sumber ekonomi yang besar di desa. Selain
itu, selama abad 19 dan abad 20, jabatan kepala desa di ba­nyak desa
dipegang oleh satu trah keluarga atau sekelompok keluarga yang
menguasai tanah-tanah komunal, seperti tanah bengkok.15 Politik
kekerabatan (kinship) menjadi sesuatu yang lazim dalam dinamika
kepemimpinan desa di Jawa pada saat itu (Sidel, 2004).
Jejak-Jejak Warisan Lama
Di empat desa yang diteliti yakni Ngadisari, Gulon, Punjulharjo,
dan Ringinrejo, corak kepemimpinan semacam itu begitu kentara.
Dalam konteks Ngadisari, adat Tengger menjadi tatanan dasar
kehidupan sosial politik di Desa Ngadisari. Kepemimpinan yang ada
di desa ditopang oleh kekuasaan yang berbasis tatanan adat Tengger
yang masih dipegang oleh masyarakat Ngadisari. Masyarakat dan
pemimpin desa Ngadisasri diikat oleh sistem simbol adat dan agama
yang menempatkan lembaga desa menjadi begitu penting. Arti pen­
ting ini tentu saja membentuk pola kekuasaan yang dipancarkan oleh
desa beserta para pelaku yang ada di dalamnya. Namun demikian,
kepemimpinan yang hadir di Ngadisari tak semata-mata dipengaruhi
oleh adat semata. Corak kepemimpinan juga dipengaruhi oleh aspekaspek lainnya, termasuk di dalamnya jaringan politik yang lebih luas
(Hefner, 1983).
Kepemimpinan Desa Ngadisari secara de jure dipegang oleh Sri
Wahayu yang tidak lain adalah istri dari kepala desa sebelumnya,
Supoyo. Supoyo sendiri mulai menjabat sebagai Kepala Desa Ngadisari
sejak tahun 2001 hingga tahun 2013. Sejarah regenerasi kepemim­
pinan di Desa Ngadisari memang tak jauh-jauh dari proses pemilihan
15 Tanah bengkok adalah tanah aset desa yang penggunaannya sebagai hak perangkat desa dan
bentuk sumber penghasilan para perangkat desa.
32
KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA
kepala desa dengan calon tunggal. Setidaknya sejak jabatan kepala desa
dipegang oleh Sapawi (kades sebelum Supoyo), selama dua periode
kepemimpinannya diwarnai oleh ketiadaan calon yang menandai
minimnya persaingan dalam politik pilkades. Bagaimanapun Sri
Wahayu merupakan kepala desa secara formal. Namun Kebijakan
sepenuhnya dibicarakan secara informal dan ditentukan bersama Ki
Petinggi.
Di samping berorientasi ke dalam dengan adat dan kekerabatan
sebagai basis kekuasaan, jaringan politik yang dibangun elit desa ke
luar juga menjadi salah satu penyokong kekuasaan efektif bagi elit.
Situasi ini salah satunya terlihat dari dukungan pemerintah kabupaten
dalam proyek-proyek infrastruktur di Desa Ngadisari. Secara ke­
betulan, seperti halnya Supoyo yang juga kader Partai Nasdem,
Kabupaten Probolinggo dipegang oleh Hasan Aminudin dan kini,
istrinya Tantriana yang juga sama-sama kader Partai Nasdem. Selain
itu, bagi pemerintah daerah, Desa Ngadisari adalah aset penting yang
juga mendatangkan pendapatan bagi daerah.
Serupa di Ngadisari, kehidupan politik di Desa Gulon kental de­
ngan politik kekerabatan melalui dominasi satu trah keluarga dalam
pemerintahan desa secara turun temurun. Trah merupakan tipe
organisasi masyarakat Jawa berbasis genealogis (relasi sanak-saudara)
yang diperhitungkan dengan mengambil salah satu nenek moyang
tertentu sebagai pangkal perhitungannya. Di Jawa, pengetahuan
genealogis ini, menurut Husken (1991), sangat erat kaitannya dengan
kelas sosial. Petani-petani kaya begitu mudahnya bercerita tentang garis
keturunan mereka yang dilacak sampai jauh, namun bagi orang-orang
miskin jarang sekali memiliki pengetahuan tentang garis kekerabatan
mereka (Antlov, 2002:196). Dalam konteks Gulon, terpeliharanya
garis kekerabatan ini berbanding lurus dengan penguasaan kekayaan
yang dimiliki trah balung gedhe. Sejak lama mereka dikenal sebagai elit
kaya di desa.
33
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Organisasi sosial berbasis trah memungkinkan siapa saja untuk
menjadi bagian dari komunitas ini sejauh mereka mampu me­
nunjukkan garis keturunannya sebagai bagian dari komunitas trah
(Robson, 1987). Kondisi ini berlangsung dalam masyarakat Gulon
yang kuat memegang budaya ewuh pekewuh atau segan mengkritik
elit yang hampir tak memungkinkan adanya dorongan perubahan
dari bawah. Bagaimana pun, budaya ini pula yang sedikit banyak
menimbulkan lemahnya prakarsa warga dalam menjalankan kontrol
terhadap pemerintah desa dan urusan publik lainnya.
Secara lebih rinci, kita akan melihat sejauh mana dominasi trah
keluarga balung gede ini mempengaruhi proses politik di Desa Gulon
dan dampaknya bagi demokrasi yang ingin dibangun sesuai dengan
semangat UU Desa.16 Kepala desa, Ketua BPD, Ketua Linmas, dan
Ketua PKK di desa tersebut berasal dari satu trah keluarga yang sejak
awal kemerdekaan menduduki jabatan kepala desa. Keluarga besar
tersebut hingga kini menjadi kekuatan yang menentukan kemenangan
seorang kepala desa di Gulon. Dominasi balung gede tersebut sedikit
banyak didukung oleh kekuatan ekonomi anggota keluarga yang
memang telah dikenal sebagai para orang kaya di desa. Kekuatan
ekonomi ini meningkatkan status sosial mereka sebagai keluarga kaya
yang ter­hormat.
Adalah Nanang Bintartana yang kini menjadi Kepala Desa Gulon
merupakan anggota trah balung gedhe. Karir politik Nanang di desa
dimulai saat dirinya terpilih menjadi anggota BPD di awal tahun
2000-an untuk kemudian mencalonkan diri menjadi kepala desa pada
tahun 2007 dan berujung pada kekalahan karena perpecahan keluarga.
Dukungan kakak iparnya, Sutrisno yang juga mantan kepala desa
16 Dalam Bahasa Jawa, Balung Gede dipahami sebagai ungkapan untuk menjelaskan keluarga
yang memiliki banyak keturunan, keluarga besar. Ibarat pohon, mereka berasal dari bagian
batang pohon, bukan cabang atau ranting. Umumnya, keluarga Balung Gede juga memiliki
status sosial ekonomi yang lebih tinggi dari masyarakat umumnya.
34
KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA
sebelumnya, kepada lawan politiknya disebut-sebut mempengaruhi
suara para pemilih. Sutrisno yang juga seorang pensiunan militer
memang cukup ‘didengar’ dan memiliki pengaruh di kalangan masya­
rakat.
Nanang yang tak hanya mewarisi modal jaringan kekerabatan
berbasis trah juga memiliki kemampuan untuk membangun jaringan
politik di tingkat lokal, bahkan nasional. Nanang merupakan seorang
pengusaha, tokoh pemuda, sekaligus aktivis PDI-P. Dia dikenal dekat
dengan sejumlah elit politik lokal, seperti Bupati Magelang Zainal
Arifin dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang juga berasal
dari PDI-P. Nanang dikenal pula sebagai tokoh Goro, sebuah orga­
nisasi kepemudaan yang disegani oleh masyarakat.17 Kolaborasi
pengusaha dan organisasi kepemudaan inilah yang juga menyokong
dan menyediakan sumberdaya finansial untuk maju menjadi kepala
desa hingga akhirnya terpilih. Modal sosial kekerabatan, jaringan
politik, dan modal ekonomi inilah yang berperan penting dalam
membangun kepemimpinan Nanang di Desa Gulon.
Berbeda dengan Desa Ngadisari dan Adat Tenggernya, Desa
Punjulharjo yang terletak di sisi paling timur Rembang ini mewarisi
kultur Islam tradisional yaitu Tradisi NU. Dalam masyarakat Islam
tradisional, struktur dan kultur masyarakat didasarkan pada simbol
keagamaan yaitu Islam cenderung bersifat paternalistik dan patriarkal.
Dengan konteks semacam itu, pemimpin keagamaan yakni Kyai,
menempati posisi posisi sentral dalam masyarakat. Kyai berperan lebih
daripada sekadar seorang guru agama. Dia juga memainkan peran
sebagai pemimpin informal yang memiliki pengaruh di kalangan
warga dan juga seringkali diperhitungkan secara politik (Bruinessen,
17 Organisasi ini menyediakan bisnis keamanan dan pungutan pada bisnis tambang pasir di Kali
Putih.
35
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
1994).18 Kepemimpinan kyai terutama ditopang oleh kekuasaan yang
bersumber dari kapasitas moral spiritual yang dimilikinya. Forumforum keagamaan seperti pengajian, menjadi ruang bekerjanya
kepemimpinan moral Kiai kepada warga. Demikian pula yang terjadi
di Desa Punjulharjo, struktur dan kultur NU membentuk corak
masyarakat yang taat dan hormat kepada mereka yang dipandang
sebagai pemimpin, kiai, ataupun mereka yang memiliki status sosial
yang tinggi.
Terpilihnya Muntholib sebagai kepala desa sejak 2014 mem­
perlihatkan adanya perubahan politik penting di Desa Punjulharjo.
Muntholib adalah wajah baru di pemerintahan desa, namun dia tidak
lahir dari keturunan trah balung gedhe seperti di Desa Gulon. Berbeda
dengan para kepala desa sebelumnya, kemenangan Muntholib
merupakan pembalikan dari politik pemilihan kepala desa yang
didominasi oleh kepentingan ekonomi politik penyandang dana
(botoh) yang seringkali menjadi penentu pemenangan. Secara moral,
masyarakat menghendaki pemimpin yang berintegritas (jujur)
dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Masyarakat setempat
memandang figur Muntholib memenuhi kriteria moral semacam itu.
Sebagai kepala desa dia dikenal enthengan (suka membantu), jujur,
tidak neko-neko (macam-macam), lurus-lurus saja, dan sederhana. Bagi
masyarakat desa yang masih kuat memegang nilai-nilai tradisional,
kesempurnaan moral merupakan modal penting.
Keyakinan semacam ini seringkali membuat hadirnya seorang
pemimpin dalam acara-acara warga, seperti slametan atau upacara
kematian menjadi lebih penting ketimbang kehadirannya dalam urusan
dan masalah publik. Moralitas semacam itulah yang nyatanya mampu
18 Meski para kiai ini tinggal di pedesaan, mereka merupakan bagian dari kelompok elit dalam
struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Jawa pada umumnya. Perubahan dalam masyarakat seringkali digerakkan oleh kepemimpinan elit-elit tersebut.
36
KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA
memenangkan hati masyarakat Punjulharjo. Secara ideal, seorang
pemimpin moral adalah orang terpandang di desa yang mendapat
kepercayaan dari masyarakat, dan memiliki ikatan kekeluargaan
dengan masyarakat desa yang dilayaninya dan hidup bersama-sama
dengannya. Dalam konteks itu, Kades Muntholib telah menunjukkan
dirinya pantas dipilih sebagai pemimpin yang dihormati karena
kepatuhannya untuk mengikuti norma perilaku yang diterima secara
umum. Kemenangan Muntholib juga didorong oleh faktor kekerabatan
(kinship). Ayahnya adalah seorang Kiai terpandang di desa tersebut,
sementara saudaranya adalah seorang mantan lurah dan polisi, serta
satu saudaranya lagi merupakan aktivis partai. Jaringan kekerabatan
ini berperan penting dalam proses pemenangan Muntholib dalam
pilkades.
Sementara Desa Ringinrejo menunjukkan corak kepemimpinan
yang konservatif-birokratik, sebagai semacam warisan birokratisasi
pemerintahan desa di masa Orde Baru. Selain itu, dari sisi rekrutmen
politik, kepala desa terpilih Ringinrejo yakni Bintoro memiliki garis
keturunan mantan lurah (kepala desa) meski dominasinya tak sekuat
trah balung gedhe di Gulon. Kakek buyut dari pihak ayah dan kakek dari
pihak ibu Bintoro merupakan mantan kepala desa. Meski demikian,
terpilihnya Bintoro merupakan sesuatu yang tidak terduga karena
banyak calon yang dianggap lebih kuat dan memiliki basis masa yang
lebih besar.
Selama hampir tiga tahun dibawah kepemimpinan Bintoro
masyarakat memiliki berbagai penilaian yang berbeda terhadap
kebijakan-kebijakan maupun pola kepemimpinan Bintoro. Dalam
hal pelayanan publik, warga merasakan peningkatan pelayanan dari
pemerintah desa berupa pengurusan keperluan adminsitrasi lebih
cepat.19 Peningkatan pelayanan tersebut disebabkan oleh kebijakan
19 Meskipun secara faktual pelayanan yang diberikan oleh perangkat desa masih di bawah stan-
37
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
kepala desa merekrut tiga perangkat desa muda yang cakap dan melek
teknologi untuk menggantikan perangkat desa lama yang sudah
sepuh dan dinilai kurang cakap. Gambaran Ringinrejo menunjukkan,
sejauh pelayanan administrasi terpenuhi di situlah letak peran institusi
desa. Dimana pemerintah desa sekadar menjalankan administrasi
pemerintahan selayaknya institusi desa korporatis (Sutoro, 2014).
Warisan penyeragaman dan birokratisasi desa di masa lalu menjadikan
desa sekadar kepanjangan tangan negara bukan untuk menumbuhkan
emansipasi lokal, melainkan menjalankan perintah dari atasan
(Antlov, 2002).
Wajah Warisan Lama dalam Praktik Kepemimpinan
Untuk menguji kehadiran dan bekerjanya kepemimpinan
desa dapat dilacak dari daya tanggap pemimpin terhadap urusan
publik. Dalam kasus masyarakat Tengger Ngadisari, perlindungan
penguasaan lahan menjadi isu publik penting. Tanah yang
keberadaannya disakralkan oleh adat Tengger membentuk kesadaran
kolektif masyarakat untuk mempertahankan aset produksi tersebut
dari gempuran alih fungsi dan komersialisasi lahan. Inisiatif tersebut
juga dimantapkan oleh kenyataan bahwa aset lahan pertanian
tersebut memiliki prospek penghidupan yang begitu baik bagi warga.
Bagaimana pun juga inisiatif warga untuk tidak menjual lahan ke pihak
manapun di luar komunitas Tengger menemukan pelembagaannya
melalui respons pemerintah desa untuk mengaturnya dalam peraturan
desa.
Kebijakan Supoyo di Ngadisari yang populis tampak melalui
komitmennya untuk menjaga tanah masyarakat Tengger melalui
dar. Pelayanan selama hari kerja hanya berlangsung empat hingga lima jam. Bahkan di hari
Jumat pelayanan hanya dibuka selama tiga jam. Dalam pengurusan administrasi, juga masih
terjadi praktik pungutan liar yang tidak transparan.
38
KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA
kebijakan perlindungan lahan. Inisiatif warga untuk melindungi lahan
direspons oleh kepemimpinan desa yang hadir melalui kontrol setiap
jenis transaksi berkaitan dengan lahan. Menurut Supoyo, kebijakan
pemerintah desa untuk melindungi lahan melalui Peraturan Desa
Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Mutasi Lahan menjamin
tidak adanya praktik jual beli dan sewa lahan tanpa sepengetahuan
peme­rintah desa. Baginya, kebijakan ini juga bagian dari upayanya
menjalankan mandat leluhur Tengger untuk menjaga kelangsungan
tradisi Tengger di tanahnya mereka sendiri.
Meski kepemimpinan Supoyo dianggap berhasil oleh masyarakat,
populisme dalam praktik pengelolaan kesejahteraan ini tak selalu
dibangun dengan menumbuhkan partisipasi warga yang lama
hidup dalam budaya parokial dan sisa-sisa depolitisasi sejak Orde
Baru.20 Sungguhpun demikian, kepemimpinan di Desa Ngadisari
menjalankan akuntabilitas dan partisipasi warga dengan caranya
sendiri. Di setiap pengerjaan proyek-proyek fisik, pemerintah desa
melaporkan penggunaan anggaran untuk kegiatan tersebut secara
lisan kepada masyarakat. Di tempat gotong-royong (sayan), perangkat
desa sekaligus melaporkan penggunaan APB Desa untuk pengerjaan
proyek tersebut. Dengan cara ini, masyarakat mengetahui berapa dan
bagaimana sumberdaya publik (desa) dialokasikan dan didistribusikan.
Distribusi ini berkaitan dengan pengerjaan pembangunan fisik yang
dilakukan secara gotong-royong dengan tenaga kerja dari mereka
sendiri. Sehingga sumber dana yang ada tidak tersedot keluar desa
untuk membayar kontraktor.
Sedangkan di Punjulharjo, cepat atau lambat, bakal terjadi
perubahan penting dalam struktur sosial masyarakat seiring dengan
pertautan mereka dengan ekonomi pariwisata. Ketika studi ini
20 Budaya parokial merujuk pada struktur mental yang terkungkung dalam sekat-sekat identitas baik agama, etnis, ras, atau kelokalan (kedaerahan). Struktur demikian melahirkan sikap
sempit dalam memandang persoalan publik.
39
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
berlangsung, masyarakat Punjulharjo tengah menghadapi ketegangan
laten antara tradisi dan modernitas sebagai konsekuensi atas
dibukanya objek wisata Karang Jahe Beach (KJB) sebagai ikon baru
destinasi wisata di Rembang.21 Dalam kasus di Punjulharjo, tata kelola
aset pantai KJB (BUMDes) menjadi arena untuk melihat bagaimana
kepemimpinan desa bekerja.
Pada saat mencalonkan diri, program yang ditawarkan
Muntholib adalah meningkatkan pelayanan warga yang lebih baik,
memperbaiki jalan terutama akses yang akan menuju ke lokasi KJB,
serta memperbaiki pengelolaan dan kinerja KJB untuk kesejahteraan
warga. Dalam konteks perbaikan pelayanan publik, kepala desa
menetapkan kebijakan jadwal piket untuk perangkat desa berikut
nomer telpon/hand phone. Selain itu, dia membuka pintu rumahnya
selama 24 jam untuk melayani keperluan warga jika kantor desa
tutup. Muntholib biasanya melayani warga yang tengah mengurus
keperluan administrasi, mengurus keringanan biaya rumah sakit,
hingga mengantar warga ke rumah sakit.
Selain pelayanan rutin kepada warga, terobosan program yang
dilakukan dia selama dua tahun menjabat fokus pada peningkatan
pendapatan masyarakat melalui pengelolaan KJB. Untuk pengembangan
KJB, kepala desa membangun fasilitas seperti memperluas jalan me­
nuju KJB melalui pembebasan tanah menggunakan dana pinjaman
dari BRI. Selain itu membangun gapura sebagai pintu masuk
menuju lokasi KJB. Sementara, untuk mengelola objek wisata KJB,
Pemerintah Desa Punjulharjo membentuk Badan Pengelola (BP) KJB
21 Situasi serupa barangkali pernah dirasakan oleh masyarakat Tengger yang lebih dulu berinteraksi dengan ekonomi pasar dan dibukanya kawasan Bromo sebagai objek pariwisata
berkelas internasional. Meski demikian, semua telah dilalui dengan baik melalui negosiasi
budaya yang dilakukan dengan sangat baik. Adat Tengger tetap terpelihara dan bahkan menjadi aset dan komoditas budaya. Dengan demikian, perubahan semacam itu bisa jadi akan
membuahkan hasil yang berbeda dengan apa yang mungkin terjadi dengan masyarakat Punjulharjo.
40
KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA
dibawah Badan Usaha Milik Desa. Badan Pengelola tersebut dibentuk
dan diberi kewenangan oleh kepala desa untuk mengelola KJB secara
profesional. 22 Disamping tetap dengan pekerjaan yang sudah digeluti,
masyarakat juga didorong untuk banyak terlibat dalam menggarap
KJB. Badan pengelola ini mengidentifikasi berbagai jenis usaha yang
potensial untuk dikembangkan, kesiapan infrastruktur penunjang
kawasan pariwisata, serta pelibatan warga secara partisipatif dalam
tata kelola KJB. Dampaknya, satu tahun pengelolaan KJB, pendapatan
warga masyarakat dan PAD menunjukkan peningkatan.
Meski demikian, politik kekerabatan tetap mewarnai Punjulharjo.
Demi mengamankan program-program tersebut, kepala desa
menunjuk keponakannya sendiri sebagai ketua BP KJB. Demikian
pula dengan sejumlah posisi di direktur BUM Desa dijabat adik kepala
desa dan Penasehat BUM Desa masing-masing merupakan adik dan
kakak sepupu kepala desa. Di BPD, salah seorang anggotanya masih
merupakan kerabat, demikian pula dengan salah seorang perangkat
desa yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala desa.
Jejaring kekerabatan yang dibangun menjamin adanya dukungan
penuh bagi kebijakan kepala desa. Politik kekerabatan yang tampak
begitu kentara di Punjulharjo membuka peluang pengelolaan
kesejahteraan yang memusat pada lingkaran kekerabatan kepala desa.
Kecenderungan ke arah monopoli bisa saja terjadi. Namun kasus di
Punjulharjo menunjukkan bahwa corak kepemimpinan tersebut
pada saat bersamaan juga mampu menghadirkan kesejahteraan bagi
masyarakat dengan kebijakan populis yang dihadirkan.
Watak kepemimpinan populis di Ngadisari dan Punjulharjo
penting untuk ditelaah lebih jauh. Populisme dalam pengelolaan
kesejahteraan di dua desa tersebut nampaknya masih jauh dari
22 Untuk menunjang operasionalnya, BP KJB memiliki posko sebagai kantor pengelolaan KJB
di dekat pintu masuk lokasi wisata KJB. Kepala Desa juga memfasilitasi KJB untuk menggunakan ruangan di Kantor Kepala Desa untuk mengadakan rapat rutin maupun insidental.
41
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
pelibatan publik secara partisipatif. Pengelolaan KJB memang
membawa perubahan dari sisi redistribusi sumberdaya kepada
masyarakat, namun hal tersebut tak dibarengi dengan masuknya
aktor-aktor di luar kerabat kepala desa yang penting dalam proses
tata kelola yang lebih transparan dan partisipatif. Kebijakan populis
di Ngadisari juga menunjukkan hal serupa. Masyarakat menerima
kebijakan tersebut karena berdampak positif bagi mereka, namun hal
tersebut bukan dalam konteks kesadaran masyarakat yang melihat
pengelolaan kesejahteraan sebagai isu publik. Infrastruktur pertanian
yang memadai dan pengembangan kawasan wisata penunjang Bromo
dikelola untuk kesejahteraan, namun belum tentu melibatkan publik
desa sebagai subjek yang aktif. UU Desa membuka struktur kesempatan
politik bagi aktor-aktor di desa untuk merebut ruang-ruang demokrasi
yang tersedia. Sungguhpun demikian, pengetahuan dan kesadaran
untuk merebut ruang tersebut belum mampu menjangkau elemen
masyarakat secara luas.
Sementara itu, Desa Ringinrejo memperlihatkan watak konser­
vatif­-birokratis dari kepemimpinan desa. Kapasitas desa yang lemah
menjadikan institusi pemerintahan desa sekadar sebagai mesin
birokrasi semata dan tidak melibatkan diri dalam masalah publik.
Bahkan, pemerintah desa enggan melibatkan diri dalam aksi reklaim
tanah perkebunan oleh warga yang lapar tanah.23 Pemerintah desa
mengambil posisi netral dengan alasan merasa berada pada posisi
terjepit diantara warga desa dan pemerintah supra desa yang lebih
tinggi yang menekan pemerintah desa untuk meredam upaya klaim
tanah perkebunan.
Ketika warga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 367 Tahun 2013,
23 Di Blitar sendiri saat ini terapat banyak upaya claiming maupun reclaiming tanah perkebunan yang dilakukan oleh warga yang telah bertahun-tahun menggarap perkebunan yang
sebelumnya ditelantarkan.
42
KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA
Pemerintah desa sulit memberikan pengesahan yang menyatakan
bahwa 726 warga penggarap sawah yang terdaftar dalam dokumen
gugatan merupakan warga Desa Ringinrejo. Pada moment tersebut
mereka yang memperjuangkan klaim tanah merasa tidak diakui
sebagai warga.24 Warga terutama yang aktif mengupayakan klaim
tanah memang banyak yang kecewa pada sikap netral yang diambil
oleh kepala desa. Pemerintah desa masih mewarisi paradigma lama
desa sebagai kepanjangan tangan negara dalam struktur yang hierarkis.
Pada akhirnya, kepemimpinan di desa sama sekali menutup akses
untuk proses dialogis dengan warga yang menuntut klaim atas tanah.
Jika di Ringinrejo kepala desa menunjukkan watak konserva­
tismenya, kepemimpinan Kepala Desa Gulon menunjukan agresivi­
tasnya. Hal itu dapat dilihat dari adanya proyek pembangunan rumah
susun. Awalnya, Desa Gulon tidak menjadi lokasi proyek Kementrian
PU dan Perumahan Rakyat itu. Namun karena terdapat satu desa yang
dinilai kurang responsif, kesempatan tersebut ditangkap oleh peme­
rintah Desa Gulon dengan mengajukan pemindahan lokasi rumah
susun ke Gulon.25 Faktor yang berperan dipilihnya Desa Gulon sebagai
lokasi rusun adalah faktor kedekatan Kepala Desa dengan elit Partai
PDI-P baik di daerah maupun di pusat. Menurutnya, keputusan untuk
memindahkan rusun ini ke Gulon dibuat setelah kunjungan reses
anggota DPR RI Komisi V, Ir Sudjadi, yang berasal dari partai PDIP
ke Desa Gulon, yang termasuk sebagai daerah pemilihannya.
Bahkan pengajuan pemindahan lokasi rumah susun itu tanpa
proposal. Fakta tersebut mengesankan Kepala Desa ingin bergerak
24 Untuk menandatangani dokumen tersebut Bintoro sampai berkoordiansi dengan pihak kecamatan walau akhirnya bersedia menandatangani setelah mendapat tekanan warga
25 Di Kabupaten Magelang, rencana awal ada empat kecamatan yang mendapat jatah pembangunan rusun ini adalah Desa Taman Agung (Kecamatan Muntilan), Kecamatan Salaman,
Kecamatan Tempuran, dan Desa Gunungpring (Kecamatan Salam).
43
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
cepat dan meninggalkan proses formal yang semestinya dijalani.26
Penetapan lokasi rusun diputuskan kepala desa sepihak dengan
pertimbangan tanah kas desa di Dusun Mancasan dinilai sudah tidak
produktif lagi. Selain itu, dia beralasan rusun ini merupakan kebutuhan
masyarakat di desanya karena dalam pengamatannya selama ini
permintaan hunian sangat tinggi. Namun, sebaliknya beberapa warga
menyatakan tidak tahu menahu mengenai rencana pembangunan
rusun itu. Mereka menilai, pemerintah desa lebih baik meningkatkan
program bedah rumah, sebab masih banyak rumah-rumah warga
tidak layak huni.
Sampai saat ini tidak begitu jelas bagi pemerintah desa sendiri
dan masyarakat bagaimana kelak mekanisme pengelolaan, biaya sewa,
kriteria calon penghuni, bagi hasil antara pemerintah desa dengan
kabupaten, yang menurut informasi yang dihimpun menjadi pengelola
rusun ini. Satu-satunya dokumen resmi terkait pembangunan rusun
ini adalah keluarnya Perdes tentang alih fungsi tanah kas desa menjadi
rusun. Pembangunan rusun ini merefleksikan bagaimana aspek
kepemimpinan bekerja, di dalam pengawasan lembaga representasi
formal (BPD) yang minim, dan lemahnya kontrol publik atau inisiatif
warga.
Pada akhirnya, mengutip Sutoro Eko (2014:54), tipologi lembaga
asli (indigenous institution) dapat dipakai untuk melihat kasus Ngadi­
sari. Pengaruh adat jauh lebih kuat daripada pengaruh pemerintah
dan agama karena adatlah yang menjadi pengikat institusi sosial
yang ada di desa bersama masyarakatnya. Mereka memiliki self
governing community yang memiliki pranata dan kearifan lokal,
yang mengutamakan keteraturan dan keseimbangan: social order,
ecological order, dan spiritual order. Dalam konteks ini, urusan publik
26 Selain tanpa proposal, pembangunan ini tidak didahului oleh analisa kebutuhan, proses pembahasan yang mendalam bersama lembaga desa lain seperti BPD, dan analisa dampak sosial
bagi masyarakat sekitar rusun.
44
KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA
menjadi arena bagi berlangsungnya pranata dan kearifan lokal
yang menempatkan ke­teraturan dan keseimbangan antara manusia
(desa dan masyarakatnya) dengan alam dan leluhurnya sebagai
nilai dasarnya. Ngadisari sebagai institusi asli juga memiliki tradisi
demokrasi komunitarian – yang menguta­makan kebaikan bersama,
dengan model pengambilan keputusan secara deliberatif melalui
institusi-institusi asli (rembug warga Tengger dan Safari Wulan Kapitu,
tradisi gotong-royong atau sayan). Institusi asli ini mengedepankan
emansipasi dalam merawat harmoni sosial dan kemakmuran ekonomi
berkelanjutan tetapi tidak terbuka terhadap isu-isu publik kekinian.
Tipologi desa parokial dapat dipakai untuk menelaah Desa Gulon
dan Punjulharjo yang menggunakan politik kekerabatan dan agama
sebagai basis ikatan sosial. Di Gulon, sistem kekerabatan menjadi
pijakan kompetisi politik dan pembentukan struktur politik desa.
Penempatan jabatan strategis di desa didasarkan pada kedekatan
seseorang secara kekerabatan dengan elit. Punjulharjo nampak sebagai
desa yang masih bercorak parokial keagamaan dan kekerabatan namun
mulai memiliki kesadaran bersama tentang isu-isu publik yang lebih
luas, terutama tentang kesejahteraan melalui pengelolaan desa wisata.
Desa Ringinrejo lebih tepat dikategorikan sebagai desa dengan watak
korporatis yang kuat. Meski UU Desa memperkuat kewenangan desa
dengan asas rekognisi dan subsidiaritas, desa ini menempatkan dirinya
sebagai kepanjangan tangan institusi di atasnya dalam menjalankan
tugas-tugas administratif. Kepemimpinan desa, bahkan, tak ambil
bagian dalam upaya penyelesaian konflik agraria yang terjadi di desa.
C. Menuju Kepemimpinan Transformatif
Jika pada bagian sebelumnya kita menemukan warisan lama
kepemimpinan desa yang bercorak paternalistik, konservatif-biro­
kratis, dan pola kekerabatan yang mencolok, maka studi di enam
45
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
desa lainnya menunjukkan situasi yang berbeda. Desa Mekarjaya,
Cangkudu, Sidorejo, Nglanggeran, Umbulharjo, dan Panggungharjo
mengarah pada situasi kepemimpinan di desa yang lebih mendorong
proses demokratisasi. Meskipun tak selalu menghasilkan praktik yang
bisa dikatakan sepenuhnya demokratis, namun kecenderungan untuk
terbuka dan responsif terhadap tuntutan aspirasi dari bawah (open
and responsive leadership) semakin tampak. Hal yang sama juga dapat
ditelaah dari praktik transparansi dan akuntabilitas kepemimpinan di
desa yang mulai berkembang. Bagian ini akan menjelaskan bagaimana
kepemimpinan desa bertransformasi ke arah yang demokratis.
Benih Kepemimpinan Transformatif
Terdapat adagium bahwa kepemimpinan menjadi kunci
menghadirkan perubahan. Namun demikian, kepemimpinan semacam
apa yang dapat memandu perubahan menuju transformasi sosial demo­­
kratis menjadi pertanyaan kunci dalam studi ini. Tentu saja setting
dimana benih kepemimpinan transformatif tersebut ditanam, menjadi
sangat menentukan tumbuh-kembang kepemimpinan transformatif.
Dalam konteks tersebut, bagian ini akan menyajikan narasi tentang
embrio atau benih kemunculan kepemimpinan transformatif beserta
ragam atau variasi setting sosial yang melatarinya.
Desa Mekarjaya di Sukabumi memperlihatkan corak kehidupan
desa yang ditopang oleh semangat komunitarian melalui tradisi gotongroyong. Tradisi ini telah berlangsung lama dan menjadi bagian penting
dalam relasi sosial masyarakat Mekarjaya. Jika dilacak lebih jauh,
gotong-royong telah menjadi energi sosial bagi komunitas masyarakat
desa, termasuk untuk menghadapi krisis yang berlangsung dalam
komunitas. Koentjaraningrat (dalam Zakaria 2000) mengklasifikasi
budaya gotong-royong ke dalam tiga sistem: (1) sistem mobilisasi
tenaga kerja dalam pertanian, (2) sistem bantuan bersama dalam
46
KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA
kehidupan sosial, dan (3) sistem nilai. (Zakaria, 2000:291-292). Dalam
konteks Mekarjaya, gotong-royong telah menjadi sistem nilai sekaligus
modus organisasi tradisional yang dipraktekkan secara kolektif dari
masa ke masa. Tentu saja ada pergeseran yang terjadi, setidaknya
sejak era Orde Baru dimana ruang publik informal dalam kegiatan
gotong-royong terdistorsi oleh intervensi dan kontrol yang kuat dari
elit desa sebagai kepanjangan tangan birokrasi negara. Bagaimana
pun, pergeseran setting politik pasca Orde Baru dan tidak lama ini
berlakunya UU Desa memberikan makna positif. Kepemimpinan desa
memanfaatkan gotong-royong sebagai ruang publik informal dimana
gagasan dan ide terkait urusan publik di desa dibicarakan.
Melalui ruang publik informal ini, interaksi antara institusi desa
dengan masyarakatnya berlangsung. Aspirasi-aspirasi publik hadir di
tengah-tengah kegiatan gotong-royong warga, seperti usulan pembuatan
lumbung pangan desa, pelayanan administrasi kependudukan, dan
usulan pemuda terkait penggunaan dana desa. Kehadiran ruang
publik informal ini pun pada akhirnya menjadi ruang yang deliberatif
karena asimetrisme kekuasaan hampir tidak ada. Warga merasa lebih
leluasa untuk menyampaikan aspirasinya melalui ruang tersebut
dibandingkan dengan forum musyawarah yang lebih formal. Meski
demikian, perluasan ruang publik tersebut perlu dibarengi dengan
akomodasi ini­siatif-inisiatif warga ke dalam arena deliberasi formal,
seperti musyawarah desa. Penting pula untuk melihat sejauh mana
aspirasi-aspirasi publik yang telah didialogkan tersebut dilembagakan
ke dalam kebijakan publik di desa.
Di samping kepemimpinan desa yang kuat, kasus di sejumlah
desa menunjukkan variasi lain kepemimpinan desa yang lemah
namun dibarengi dengan kontrol dan inisiatif warga yang kuat.
Desa Nglanggeran dan Desa Umbulharjo menyajikan realita tentang
kepemimpinan desa yang lemah dan cenderung konservatif-
47
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
administratif namun ditopang oleh kelembagaan representasi yang
bekerja dan inisiatif warga yang kuat. Senen, Kepala Desa Nglanggeran,
terpilih menggantikan kepala desa sebelumnya yang otoriter dan
tidak transparan. Profil Senen, yang bisa dikatakan anti-tesa model
kepemimpinan kepala desa terdahulu yang keras, otoriter, dan
kurang bersih, membuat warga menjadi lebih aktif mengungkapkan
aspirasinya. Senen yang mirip warga kebanyakan (orang biasa,
bukan trah elite) jauh lebih terbuka, dekat dengan warga (merakyat),
dan dianggap sangat jujur, mampu melahirkan kepercayaan (trust),
sehingga menyuburkan partisipasi. Bahkan, warga mulai berani
menyampaikan kritik terbuka, sesuatu yang tidak pernah terjadi pada
masa kepemimpinan sebelumnya yang sangat dominan.
Demikian pula dengan Desa Umbulharjo, kepemimpinan baru
lahir sebagai anti-tesa kepemimpinan lama. Adalah Suyatmi, kepala
desa terpilih berhasil menumbangkan petahana yang sudah berkuasa
selama 20 tahun. Faktor kemenangan Suyatmi karena kehendak
masyarakat agar terjadi perubahan kepemimpinan lama yang dinilai
tidak partisipatif, tidak transparan, dan tidak akuntabel dalam tata
kelola pembangunan.27 Kemenangan Suyatmi juga karena dukungan
keluarga yang bekerja dalam jaringan trah keluarga besarnya. Meski
bukan dari keluarga “balung lurah” (keturunan lurah), Suyatmi dan sang
suami memiliki keluarga besar di Umbulharjo karena keduanya berasal
dari desa ini. Dukungan juga mengalir dari kelompok perempuan yang
diwadahi dalam PKK. Selain Suyatmi memang sebagai aktivis PKK,
Kades sebelumnya gagal mengakomodasi keberadaan PKK sebagai
kelompok penggerak pemberdayaan paling aktif di desa. Suyat­mi
dipilih dengan harapan terjadi peningkatan program dan kegiatan
kelompok perempuan di desa.
27 Termasuk isu-isu ketidakberesan dalam pengelolaan sumber daya ekonomi, baik persoalan
air bersih, penambangan pasir, maupun pariwisata.
48
KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA
Kepemimpinan Desa Umbulharjo diwarnai oleh problem kapa­
sitas delegatif kepala desa dan lemahnya pengambilan keputusan
yang efektif. Ini ditandai dengan jarangnya Kepala desa memberikan
arahan pada perangkat desa dan keputusan diserahkan pada bawahan.
Akibatnya perangkat desa yang terbiasa dengan kepemimpinan
otokratik kemudian menilai kepemimpinan kepala desa tidak berjalan
efektif. Puncak ketidakefektifan pemerintahan terjadi manakala BPD
menagih RPJM Desa yang telah satu tahun berjalan tak kunjung
rampung disusun oleh kepala desa terpilih. Situasi tersebut berujung
pada konflik Kepala Desa dan BPD. Konflik tersebut dapat diselesaikan
dan justru menjadi titik balik bagi Suyatmi untuk memperbaiki gaya
kepemimpinanya. Perubahan di Desa Umbulharjo didorong bukan
dari sisi kepemimpinan, melainkan dari fungsi representasi dan
kontrol Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang aktif serta inisiatif
warga yang bekerja.
Sementara di Cangkudu, lahirnya kepemimpinan baru juga lahir
dari anti-tesa kepemimpinan lama, meski tidak responsif terhadap
inisiatif warga. Pemerintah desa terdahulu bisa dikatakan kurang
peduli dengan masyarakat. Menurut penuturannya, kepala desa
terdahulu yang dulu cenderung lebih sibuk mengurus bisnis limbah
pabrik dibandingkan mengurus warganya, terutama pengabaian
pelayanan publik. Sehingga seringkali kepala desa tidak ada di kantor
desa dan perangkatnya lebih sering mencari obyekan di luar atau
“ngompreng”. Apalagi kondisi tersebut, diperparah dengan adanya
praktek politik orang kuat lokal yang mewarnai pemerintah desa
dibawah kepemimpinan Eneng Ida Zuraida yang merupakan anak dari
tokoh Jawara lokal di Desa Cangkudu. Sehingga banyak warga yang
relatif tidak berani menyuarakan aspirasi atau bersikap kritis, warga
lebih memilih untuk bersikap apatis.
Situasi dan kondisi tersebut, membuat sebagian warga Desa
49
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Cangkudu menginginkan sebuah perubahan yang ditempuh warga
adalah melalui pemilihan kepala desa yang jatuh pada tahun 2013.
Pada saat pemilihan kepala desa Cangkudu tersebut, munculah salah
seorang kandidat yakni Amir Hamzah. Amir Hamzah dalam kampanye­
nya menjanjikan perubahan wajah pemerintah desa Cangkudu yang
akan lebih melayani warga secara prima melalui reformasi birokrasi.
Jika dilihat dari latar belakangnya, Amir Hamzah merupakan seorang
businesman yang memiliki beberapa perusahaan dan juga seorang
konsultan keuangan.28 Berangkat dari latar belakang tersebut, Kepala
Desa berupaya menerapkan pendekatan administrasi publik dalam tata
kelola pemerintahan. Pemerintah desa sebagai memposisikan dirinya
sebagai penyedia layanan serta menempatkan warga selaku penerima
layanan seperti layaknya klien.
Paska terpilihnya Amir Hamzah sebagai kepala desa, menurut
pengakuan beberapa warga Desa Cangkudu menyatakan bahwa ada
sebuah perubahan yang signifikan dalam pemerintahan desa Cangkudu
dibandingkan dengan situasi dan kondisi pemerintah desa terdahulu.
Perubahan yang paling dirasakan adalah adanya perbaikan kualitas
pelayanan publik di kantor pemerintah desa, termasuk di dalamnya
adanya kepastian dalam hal pelayanan baik dari sisi biaya maupun
waktu pelayanan.29 Dalam konteks melakukan upaya reformasi
birokrasi tersebut, Amir Hamzah melakukan berbagai macam
terobosan, antara lain; melakukan peningkatan kapasitas perangkat
desa, membangun kultur pelayanan serta meningkatkan disiplin dan
kinerja para perangkatnya.
28 Ketokohan Amir Hamzah di Desa Cangkudu lebih dikenal sebagai sosok pengusaha dan intelektual.
29 Saat ini kantor pemerintah desa berfungsi optimal dalam melakukan pelayanan publik, dengan adanya jam layanan yang jelas yakni dari jam 08.00 sampai dengan jam 16.00 dan semua
urusan pelayanan publik harus diselesaikan di kantor pemerintah desa bukan di rumah perangkat desa. Serta menerapkan sistem absensi dengan menggunakan finger print. Inovasi dan
perubahan inilah yang mengantarkan Desa Cangkudu sebagai Desa Teladan Nasional.
50
KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA
Variasi kepemimpinan berikutnya menyajikan corak kepemim­
pinan yang terbuka dan responsif terhadap isu kelompok rentan di Desa
Sidorejo. Kepala Desa setempat, Sutrisna, adalah sosok yang memiliki
ketrampilan dalam membangun komunikasi dengan berbagai pihak.
Dengan gaya kepemimpinan yang menghilangkan sekat-sekat hirar­
kis, Sutrisna mampu mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan pada
berbagai lapisan masyarakat yang ada di desa sehingga memudahkan
konsolidasi berbagai unsur masyarakat desa.
Dibawah kepemimpinanya, Sidorejo tampak berubah wajah
dibandingkan dengan periode kepemimpinan sebelumnya. Misalnya
jam pelayanan di kantor desa yang sudah pasti, yaitu mulai jam 08.30
sampai jam 13.00. Untuk transparansi anggaran, Sutrisna tidak
segan-segan menghadiri pertemuan-pertemuan warga di tingkat
dusun untuk menjelaskan anggaran yang dimiliki desa. Selain itu,
Sutrisna dinilai sosok yang memiliki ketegasan dalam menyelesaikan
persoalan yang ada di desa maupun ketegasan kepada perangkat desa.
Dengan gaya kepemimpinan demikian, beberapa aspek tata kelola
pemerintahan serta pelayanan publik, kades yang belum ada satu
tahun menjabat tersebut telah melakukan reformasi yang dipandang
masyarakat sangat positif.
Sebangun dengan yang terjadi di Sidorejo, salah satu desa di
Indonesia yang mengalami proses perubahan signifikan dalam upaya
memperbaiki pelayaan publik adalah Desa Panggungharjo. Proses
perubahan diawali sejak terpilihnya Wahyudi Anggoro Hadi, sebagai
Kades pada tahun 2012.30 Wahyudi terpilih menjadi Kades, karena
dukungan modal sosial yang dimilikinya. Sebagai putra asli desa, tentu
ia sangat mengenal ragam dinamika dan karakter warga di desa tempat
30Dorongan untuk maju dalam Pilkades, merupakan hasil rembungan bersama komunitas
pemuda di Pojok Budaya yang concern untuk mendorong adanya perubahan di desanya. Pojok Budaya ini semacam think tank bagi Wahyudi, tempat ide perubahan di desa digodog dan
direalisasikan ketika dirinya terpilih sebagai Kades.
51
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
dia tumbuh dan dibesarkan. Wahyudi juga memiliki latar belakang
yang berasal dari keluarga santri. Pemuda lulusan sarjana apoteker
UGM ini, memiliki ragam pergaulan sosial yang melampaui batasbatas jaringan sosial kemasyarakatan. Tak heran, bila ia sangat populer
di kalangan komunitas santri, seniman, aktivis sosial, pengusaha dan
politisi.
Untuk mewujudkan visi pada saat kampanye Wahyudi mengem­
bangkan pola pengembangan desa melalui tiga rute penguatan
kapasitas yang saling bersinergi satu sama lain. Pertama, kapasitas
kepemimpinan. Kedua, kapasitas birokrasi, dan Ketiga, kapasitas sosial.
Kapasitas kepemimpinan visioner dan tangguh menjadi unsur paling
fundamental karena sebagai penggerak mesin birokrasi desa dan upaya
memperkuat kapasitas emansipasi warga.31 Dalam konteks kapasitas
birokrasi, Wahyudi berpendapat selama ini birokrasi desa lamban
dan tidak berorientasi pada pelayanan warga karena selama bertahuntahun birokrasi desa terkondisikan tanpa jenjang karir yang jelas dan
kapasitas sumber daya manusia (SDM) rendah.
Bertolak dari kondisi tersebut, Panggungharjo di bawah
kepemimpinan Wahyudi melakukan penguatan birokrasi desa
melalui peningkatan penghasilan perangkat desa untuk memotivasi
kinerja birokrasi desa dan penguatan kapasitas SDM birokrasi
desa. Peningkatan penghasilan perangkat desa di Panggungharjo
dilakukan dengan memberikan penghasilan tetap serta berbagai
insentif penghasilan.32 Selain tambahan penghasilan, pemerintah
31 Bagi Wahyudi, kapasitas kepemimpinan melekat unsur kapasitas regulasi (membuat pengaturan sesuai dengan konteks tantangan desa), redistributif (kemampuan membagi habis
kewenangan kepada kelembagaan desa lainnya, bukan memusatkan kekuasaan ke dalam
dirinya semata), responsif (tanggap terhadap permasalahan yang ada), ekstraktif (memahami
potensi masyarakat agar dapat tumbuh kembang secara alamiah) dan jaringan (membangun
jaringan yang dapat bersinergi memajukan desa).
32 Insentif berupa tunjangan baik tunjangan jabatan, tunjangan kinerja, tunjangan anak-istri
serta asuransi kesehatan. Perangkat desa juga masih mendapatkan tambahan penghasilan dari
tanah bengkok.
52
KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA
desa juga memberikan sangsi pemotongan tunjangan kinerja sebesar
Rp. 3.000,-/jam jika terlambat masuk jam kantor. Untuk mengukur
kedisiplinan dan ketepatan sangsi, setiap perangkat desa masuk dan
pulang harus melakukan finger print yang terpasang di kantor desa.33
Untuk memperkuat SDM desa, kepala desa mengikutsertakan
berbagai macam pelatihan dari berbagai pihak bagi perangkat desa
sesuai dengan bidang tugasnya. Selain itu, perangkat desa yang masih
lulusan SMA mendapatkan beasiswa yang berasal dari APBDes untuk
melanjutkan ke jenjang D3 di sebuah perguruan tinggi yang dikenal
sejak lama sebagai “kampus desa”. Berbagai terobosan tersebut,
pada gilirannya mampu menghadirkan wajah baru birokrasi desa
dalam mengelola kebijakan dan pembangunan secara demokratis,
memperbaiki pelayanan publik dan menggerakan partisipasi
masyarakat secara bersama-sama membangun desa.
Menguji Kepemimpinan Transformatif
Benih-benih kepemimpinan transformatif desa yang sedang
bertumbuh di berbagai pelosok desa seiring dengan terbitnya UU
No.6/2014, hari ini juga tengah menghadapi ujian. Tidak semua
benih kepemimpinan transformatif pada akhirnya dapat membangun
prasyarat bagi bekerjanya praktik-praktik demokrasi desa. Bisa jadi
benih kepemimpinan transformatif memunculkan variasi berupa
pengkerdilan, kemandegan, atau justru terus bertumbuh dan ber­
buah pemerintahan desa yang responsif dan terbuka, bekerjanya
lembaga representasi secara deliberatif, serta masyarakat yang penuh
prakarsa dan partisipatoris. Bagian ini akan menyajikan variasi narasi
tentang bagaimana kepemimpinan (menuju) transformatif tersebut
33 Desa Panggungharjo menetapkan jam pelayan publik, mulai dibuka dari pukul 08.00 Wib,
dan berakhir sampai dengan pukul 16.00 Wib.
53
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
berdialektika dengan tantangan kontekstualnya.
Corak kepemimpinan - yang lebih terbuka dan akomodatif - lebih
memungkinkan partisipasi masyarakat muncul dan berkembang. Di
Nglanggeran kepemimpinan tersebut sedikit banyak didukung oleh
inisiatif kelompok warga Nglanggeran dalam konteks pengembangan
desa wisata mendorong pemanfaatan aset desa bagi penghidupan
warga. Pembentukan kepentingan publik dimungkinkan terjadi
oleh pertautan antara responsivitas dan keterbukaan kepemimpinan
Desa Nglanggeran dan inisiatif warga aktif yang terlembaga melalui
kelompok wisata desa. Di samping itu, perluasan ruang publik juga
berlangsung melalui forum-forum warga (forum selapanan) yang
memungkinkan interaksi antar warga terjadi sekaligus membuka
ruang deliberasi.
Situasi serupa juga tampak di Umbulharjo. Semenjak hubungan
Kades dan ketua BPD di Umbulharjo sudah mencair dan saling
bekerjasama, muncul inisiatif dari warga berupa usulan-usulan kepada
pemerintah desa. Salah satunya usulan adalah persoalan pengelolaan
air bersih yang menjadi isu publik yang penting di Umbulharjo. Isu
pengelolaan air di Umbulharjo berlatar belakang konflik antara
masyarakat Desa Umbulharjo dengan pengelola air minum Kabupaten
Sleman, PD. Anindya untuk taman wisata Kaliurang, dan bisnis air
minum dalam kemasan, yaitu Qannat dan Evita yang disuplai oleh
PDAM Sleman. Konflik sudah sampai pada tahap kekerasan antara
kedua pihak sebenarnya sudah mulai di tahun 1999, yaitu ketika
PDAM Sleman mempunyai proyek penyediaan air bersih dengan
mengambil air dari Umbul Wadon.
Selain itu pengelolaan air bersih ditingkat desa dikelola Organisasi
Pengelola Air Bersih (OPAB) yang dibentuk oleh pemerintah desa
yang dalam perjalanannya ditengarai belum berjalan baik oleh
masyarakat. Dalam konteks ini, pembentukan kepentingan publik
54
KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA
menemukan arenanya dalam proses pembentukan Badan Usaha Milik
Desa (BUM Desa) sebagai lembaga yang disiapkan mengganti OPAB
dalam mengelola barang publik tersebut (common goods). Sinergi
antara pemerintah desa dan fungsi representasi BPD menghasilkan
kesepakatan untuk mengelola aset desa (air bersih) yang lama menjadi
aspirasi publik.
Variasi yang berbeda namun dalam spirit yang sama ditunjukkan
di Sidorejo. Gerakan desa inklusi di Sidorejo berkembang melalui
proses dialogis antara responsivitas pemerintah desa dengan
inisiatif kelompok warga (Forum Difabel Sidorejo). Keterbukaan
kepemimpinan desa dan struktur kesempatan politik yang disediakan
UU Desa menjadi peluang bagi FDS untuk mendorong lahirnya
desa inklusi di Sidorejo. Pemerintah desa berupaya hadir untuk
mendorong emansipasi kelompok difabel dalam pembuatan kebijakan
di desa. Kelahiran dan aktivitas yang dilakukan FDS, dalam kaca mata
Sutrisna adalah suatu inisiatif maju yang bisa membawa perubahan di
desa karena para penyadang disabilitas memang belum mendapatkan
perhatian serius dari pemerintah desa. Untuk mengangkat derajat
hidup disabilitas, Sutrisno tergerak untuk menghadirkan pemerintah
desa melalui program-program yang bisa membawa mereka menjadi
lebih sejahtera.
Pembentukan kepentingan publik, dengan demikian, diinisiasi
oleh gerakan masyarakat sipil (FDS) yang menemukan pertautannya
dengan kehendak pemerintah desa untuk melibatkan warga yang
marjinal sekalipun dalam proses pembangunan di desa. Sungguhpun
demikian, ada satu hal yang luput. Dalam konteks inklusivitas aspirasiaspirasi publik, pelibatan kelompok marjinal masih sebatas pada satu
kategori sosial saja, yakni penyandang disabilitas. Inklusivitas pun
menjadi paradoks manakala maknanya dipersempit dan keanggotaan
(membership) dari kelompok ini sekadar pada kelompok difabel.
55
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Padahal, perempuan dan petani dalam konteks Sidorejo juga menjadi
bagian dari kelompok rentan di desa.
Pada titik variasi yang lain, Desa Cangkudu memperlihatkan corak
kepemimpinan yang kurang responsif terhadap tuntutan-tuntutan
dari warga, namun menjalankan akuntabilitas melalui reformasi
birokrasi pemerintahan desa. Kritik terhadap reforma birokrasi di
Cangkudu terutama ditujukan pada adalah absennya partisipasi publik
dimana reformasi birokrasi yang berjalan relatif baru menyentuh aspek
administrasi publik. Sebagian warga merasa, reformasi birokrasi di
Cangkudu belum mendorong keterbukaan pemerintah desa terhadap
inisiasi maupun usulan warga. Banyak warga merasa tidak pernah
dilibatkan dalam proses musyawarah desa dan kurang mengetahui
informasi terkait kebijakan desa termasuk APBDES.
Selain itu dampak reforma birokrasi belum sepenuhnya
dirasakan manfaatnya oleh sebagian warga. Sebagian warga justru
merasa langgam perubahan masih bersifat artifisial dan memunculkan
biro­kratisasi layanan publik yang cenderung kaku. Hasilnya, institusi
desa yang secara teknokratis dapat diandalkan, namun hanya sebatas
pada kapasitas memperkuat dirinya untuk menjadi handal di level
administratif. Di sisi lain, institusi desa gagap dalam memainkan
perannya untuk memediasi aktor-aktor pemburu rente bisnis limbah
pabrik dan isu-isu ekonomi politik berkaitan dengan kehadiran
ekonomi industri di desa ini. Di titik ini, nampak adanya geliat
organisasi masyarakat sipil di desa yang seolah-olah berdinamika,
namun sebenarnya hanya menjadi instrumen penyokong pebisnis
limbah pabrik yang saling bersaing.
Terakhir, Desa Panggungharjo memberikan gambaran menarik
tentang kepemimpinan desa yang responsif dan membuka ruang
partisipasi warga di satu sisi dan di sisi lain, digerakkan oleh inisiatif
warga yang kuat. Sama halnya dengan Desa Cangkudu yang memiliki
56
KEPEMIMPINAN DAN TRANSFORMASI DESA
karakter urban yang kuat, Desa Panggungharjo memiliki cukup
banyak prasyarat mengenai hadirnya institusi masyarakat sipil yang
menopang inisiatif warga yang kuat. Di antara prasyarat tersebut,
misalnya tingkat pendidikan, kehadiran kelas menengah yang peduli
terhadap pembangunan desa, dan organisasi warga non korporatis
yang dinamis. Di samping itu, satu hal yang penting adalah latar
belakang sosial kepala desa yang lama berinteraksi dan menjadi bagian
dari masyarakat sipil di desa dengan kombinasi antara basis kultural
santri, aktivis desa, dan basis intelektual sarjana. Perpaduan tersebut
menjadikan corak kepemimpinan yang dihadirkan memiliki kapasitas
untuk merespons kepentingan warga dan membuka diri bagi per­
luasan ruang-ruang publik di desa.
Bagaimanapun dari semua desa tersebut, peluang dan struktur
kesempatan politik yang diberikan oleh UU Desa dalam konteks
demokratisasi memberikan aksentuasi yang beragam di masing-­masing
desa. Ada desa yang mampu memanfaatkan struktur kesempatan
politik melalui UU Desa untuk mendorong politik partisipatoris di
desa dalam tata kelola sumberdaya bersama (air bersih dan aset wisata
desa) serta mendorong inklusi sosial di desa. Di sisi lain, ada pula desa
yang cenderung menutup diri dari perubahan dan terkungkung oleh
birokratisme dan kapasitas politik yang lemah berhadapan dengan
aktor supra desa.
D. Simpul Wacana
Ide demokrasi komunitarian sebagai pilar self-governing
community berpijak pada pentingnya mempromosikan partisipasi
warga dalam urusan publik, pemerintahan, dan pembangunan di level
komunitas. Melampaui garis batas formalitas, demokrasi semacam
ini mengutamakan pentingnya perluasan ruang publik, aktivasi
peran kelompok-kelompok sosial, forum-forum warga, dan jaringan
57
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
antar kelompok. Tujuannya, tak hanya untuk kepentingan selfhelp kelompok itu sendiri, namun juga sebagai instrumen awareness
warga, civic engagement, dan partisipasi dalam urusan pemerintahan di
level komunitas (IRE, 2002). Dari hasil temuan riset di atas, nampak
adanya derajat partisipasi publik yang dipotret dari sejauh mana
kepemimpinan di desa membuka peluang bagi demokrasi di aras lokal.
Dalam konteks itu, pengaruh tipe kepemimpinan ini memberikan
warna yang beragam dan tentu saja saling berkelindan dengan
dinamika representasi dan inisiatif warga.
Desa dengan tradisi kepemimpinan parokial yang kuat cende­
rung mendominasi formasi kepentingan publik dan menutup
berkembangnya isu-isu publik yang lebih inklusif di desa. Ini juga
diperparah oleh terbatasnya ruang-ruang publik di desa dan tidak
berkembangnya forum-forum alternatif kewargaan. Namun di sisi
lain, arah transformasi kepemimpinan yang akomodatif bagi formasi
kepentingan publik sekaligus mendorong perluasan ruang-ruang
publik juga me­nunjukkan optimisme meski seringkali diwarnai oleh
corak kepe­mimpinan yang lemah. Sungguh pun demikian, variabel lain
seperti inisiatif warga yang kuat dan bekerjanya institusi representasi
politik mampu menutupi kelemahan dari sisi kepemimpinan politik.
Corak kepe­
mimpinan yang berlangsung di masing-masing desa
tak berdiri dalam ruang hampa. Ada kepemimpinan desa yang lahir
sebagai imbas dari jenuhnya masyarakat pada monopoli kekuasaan
desa oleh trah ba­lung lurah ataupun penggunaan instrumen kekayaan
(resources) semata dalam memenangkan politik elektoral di desa. Meski
tak ideal dan cenderung bercorak soft governance, corak kepemimpinan
semacam itu memungkinkan ide-ide perubahan dan partisipasi publik
yang lebih luas dapat berlangsung.
58
Buku Aspirasi yang diinisiasi BPD Desa
Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan,
Kabupaten Sleman
Musyawarah Rencana Pembangunan
Desa Panggungharjo, Kabupaten
Bantul
Forum warga, Malem-Slasa-Kliwonan
di Desa Nglanggeran, Kabupaten
Gunungkidul
BAB 3
Memperkuat
Representasi Warga
A. Representasi Partisipatoris-Deliberatif
Konflik agraria antara perusahaan dan warga Desa
Ringin­
rejo sudah terjadi sejak tahun 90-an. Saat itu lahan milik
perusahaan semen PT. Semen Dwima Agung yang tidak digunakan,
diolah kembali oleh warga. Sejak mengolah lahan tersebut, taraf
penghidupan warga meningkat. Kondisi tersebut mendorong para
petani penggarap melakukan klaim atas lahan tidur milik anak
perusahaan korporasi global Holcim itu. Untuk memperjuangkan klaim
lahan perkebunan tersebut, warga membentuk paguyuban petani.
Dalam melakukan advokasi, paguyuban petani juga tidak berjalan
sendiri. Mereka membangun jejaring advokasi dengan organisasi non
pemerintah seperti ELSAM dan Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA). Bersama dengan lembaga non pemerintah tersebut, paguyuban
melakukan upaya klaim lahan baik ke Pemda Blitar, Kementerian
Kehutanan, bersidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),
hingga bernegosiasi dengan perusahaan semen Holcim di Swiss.
61
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Cerita di Ringinrejo tersebut memantik pertanyaan kritis, me­
ngapa kehadiran lembaga-lembaga representasi (perwakilan) formal
belum dapat memberikan makna berarti bagi perjuangan aspirasi
warga di tingkat lokal? Padahal lembaga-lembaga tersebut telah
dibekali kewenangan yang kuat, termasuk menjadi saluran perwakilan
warga dalam memperjuangkan isu-isu publik sebagai keputusan
politik di level desa. Terbitnya UU Desa sesungguhnya menyediakan
peluang bagi Badan Permusyawaratan Desa (BPD), sebagai agen
representasi formal desa untuk meningkatkan peran strategisnya.34
UU Desa sebenarnya lahir dalam semangat reformasi, yakni sebagai
koreksi atas sistem korporatis warisan pemerintahan Orde Baru. UU
ini mencoba menciptakan terobosan baru, diantaranya menekankan
agar kekuasaan di desa dikelola dengan cara-cara demokratik (Arie
Sujito, 2016).35
Kasus tersebut sesungguhnya merefleksikan gambaran tentang
tantangan lembaga representasi formal desa yaitu BPD pasca
terbitnya UU Desa. Meski struktur peluang yang disediakan oleh
UU Desa cukup memadai, namun tak serta merta mendorong BPD
dapat menghadirkan ruang-ruang deliberasi di tingkat desa. Tidak
mengherankan apabila warga mencari saluran representasi alternatif
yang bersifat informal. Munculnya representasi informal ini terjadi
karena agenda-agenda publik yang dirumuskan warga belum
sepenuhnya mendapat perhatian pemerintah desa maupun BPD
sebagai lembaga perwakilan formal. Pada titik inilah representasi
informal perlu mendapatkan ruang sebagai alternatif kanal bagi
34 Sebagai parlemen desa, BPD memiliki posisi strategis karena tidak lain sebagai lembaga representasi politik formal, dengan tugas legislasi yakni legislasi (membuat peraturan desa), budgeting (turut menyusun anggaran desa) dan kontrol atas pemerintah desa.
35 Dalam Undang-Undang tersebut, substansi demokrasi deliberatif dikenalkan, yang tercermin dari hadirnya klausul pengaturan tentang BPD dan Musyawarah Desa (Musdes).
62
MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA
warga dalam mendorong isu-isu pu­blik di level desa. Kondisi ini
memunculkan kebutuhan mencangkokkan elemen partisipatoris dari
representasi informal ke dalam format representasi formal yang ber­
corak deliberatif. Ringkasnya, tantangan tersebut hendak dijawab
dengan menghadirkan perspektif partisipatoris-deliberatif dalam
menguji praktik-praktik representasi di tingkat desa.
Oleh karena itu, bab ini hendak melihat format representasi
semacam apa yang terbentuk dari dialektika antara yang formal dan
informal. BPD sebagai lembaga representasi formal maupun ruangruang representasi informal yang berciri partisipatoris, hendak diuji
melalui praktik-praktik representasi desa: seberapa jauh keduanya
mampu menghadirkan ruang-ruang deliberasi bagi warga. Berpijak
pada kerangka kerja kajian ini, pengujian aspek representasi tersebut
difokuskan pada tiga arena: pembentukan kepentingan publik,
perluasan ruang publik, dan inklusivitas (keterbukaan) terhadap
aspirasi-aspirasi menyangkut urusan publik. Dengan menghadirkan
kerangka partisipatoris-deliberatif, kita bisa mendapatkan potret
bekerjanya praktik-praktik demokrasi lokal ala warga desa secara utuh.
Kasus Desa Ringinrejo, merupakan satu dari sekian ragam problem
representasi yang diangkat dalam bab ini. Berangkat dari narasi di 10
desa, menunjukkan sejumlah variasi temuan penting tentang aspek
representasi dalam kajian ini. Sebagian besar desa menunjukkan
praktik-praktik representasi formal oleh BPD masih bekerja
dalam logika normatif. Dengan nalar demikian, efektifitas kinerja
represetasi tentu saja tidak optimal dalam pembentukan kepentingan
publik. Begitu pula, ada desa yang menjalankan praktik representasi
formal secara inovatif yang mampu melampaui logika normatif
dengan memanfaatkan ruang-ruang informal di desa, sehingga
fungsi representasi dapat bekerja maksimal. Sementara itu, di kutub
berseberangan, terdapat pula lembaga-lembaga representasi formal
63
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
yang bekerja sangat minimal, sehingga justru membuka ruang bagi
menguatnya kinerja representasi informal. Keseluruhan variasi
tersebut, tentunya menjadi kekayaan pembelajaran yang disuguhkan
dalam bab ini.
B. BPD dan Musyawarah Desa: Rute Formal Deliberasi
Demokrasi Desa
UU Desa secara normatif mendefinisikan BPD sebagai lembaga
yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan
wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan
ditetapkan secara demokratis.36 Dalam perkembangannya, lembaga
perwakilan desa ini mengalami dinamika tersendiri dalam menjalankan
fungsi perwakilan. Temuan dalam riset ini menunjukkan, derajat
representasi formal BPD ternyata ditentukan oleh: pertama, pola relasi
BPD dengan pemerintah desa dan warga. Pola relasi ditandai dengan
seberapa jauh BPD terlibat (atau dilibatkan) dalam menciptakan
ruang-ruang deliberasi. Pola relasi BPD dengan pemerintah desa
sangat dipengaruhi oleh setting sosial-budaya setempat dan derajat
ketergantungan BPD terhadap pemerintah desa.37
36BPD sebagai lembaga representasi di desa secara nomenklatur (Badan Permusyawaratan
Desa) memang baru dikenal pada tahun 2004 pasca berlakunya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebelum berlakunya UU tersebut, lembaga perwakilan desa
adalah Badan Perwakilan Desa mengacu pada UU Nomor 22 Tahun 1999. Meski nomenklaturnya berubah sebetulnya tugas kedua lembaga tersebut hampir sama, hanya saja ketika berstatus sebagai “Perwakilan” Badan Perwakilan Desa memiliki wewenang untuk mengusulkan
pemberhentian kepala desa kepada bupati. Sedangkan Badan Permusyawaratan Desa tidak
memiliki kewenangan. Banyak yang berpandangan bahwa nomenklatur “permusyawaratan”
telah mengkebiri wewenang BPD karena tidak lagi memiliki hak untuk mengajukan pemberhentian kepala desa. namun, dengan UU Desa sebetulnya BPD memiliki peran yang lebih
luas dalam menjalankan representasi warga dan pengawasan kinerja kepala desa. BPD berhak
melakukan pengawasan atas kinerja kepala desa, termasuk mempertanyakan kebijakan kepala desa apabila tidak sesuai dengan aspirasi warga.
37 Setting berupa lanskap sosial berwatak komunitarian (guyub, gotong-royong kebersamaan),
struktur politik bercorak kekerabatan, fenomena orang kuat (strongman), dan sebagainya.
64
MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA
Kedua, kapasitas politik dan teknis-manajerial BPD. Kapasitas
politik ditandai dengan kemampuan BPD dalam mengelola ragam
aspirasi warga yang berkembang terutama melalui saluran komunikasi
formal, dan saluran informal maupun menginisiasi inovasi tertentu.
Kapasitas politik BPD ini dalam sejumlah kasus juga bertautan erat
dengan pola relasi BPD dengan pemerintah desa dimana posisi
politik BPD dihadapan pemerintah desa. Sementara kapasitas teknismanajerial BPD ditandai dengan kapasitas menginstrumentasikan
ragam aspirasi tersebut menjadi kebijakan publik di tingkat desa.
Kapasitas ini ditentukan oleh tingkat pemahaman dan pengetahuan
anggota BPD.
Pola Relasi Representasi Formal
Dalam kajian ini, narasi tentang relasi BPD dengan pemerintah
desa dan warga menunjukkan pola variasi yang tinggi. Desa Sidorejo,
Cangkudu, dan Ngadisari menunjukkan relasi BPD dalam posisi infe­
rior dihadapan pemerintah desa. Di Sidorejo misalnya, kelahiran desa
inklusi di Sidorejo bukan merupakan aspirasi yang diperjuangkan oleh
BPD sebagai lembaga perwakilan rakyat desa. Melainkan, di dorong
oleh satu gerakan masyarakat sipil dalam hal ini komunitas difabel
yang secara langsung bernegosiasi melakukan kerjasama dengan
pemerintah desa. Dalam kerangka kerja sebagai lembaga perwakilan,
BPD Sidorejo masih bekerja dalam nalar normatifnya. Setiap bulan
BPD mengadakan rapat-rapat internal untuk melihat dan menilai
kinerja pemerintah desa. Secara rutin pula BPD melakukan kegiatan
penjaringan aspirasi di masing-masing ‘kring’ atau ‘daerah pemilihan.
Sesungguhnya penjaringan aspirasi tersebut merupakan langkah
maju, dimana anggota BPD setempat pro-aktif turun ke bawah.
Hanya saja, pola komunikasi berbasis kewilayahan yang dilakukan
BPD pada akhirnya gagal menangkap aspirasi sektoral warga.
65
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Kepentingan wilayah kerap kali mengabaikan kepentingan misalnya,
kelompok tani, para pengrajin, dan peternak yang sebenarnya juga
membutuhkan perhatian. Bagi sebagian warga, hal tersebut justru
persoalan fundamental yang mendesak untuk dikerjakan karena
berdampak langsung pada kesejahteraan warga. Sayangnya, persoalan
tersebut belum ditangkap oleh BPD sebagai persoalan serta potensi
yang perlu dikelola. Pada gilirannya muncul kecenderungan BPD
hanya mengikuti agenda pemerintah desa yang cenderung mendorong
program desa inklusi.
Di sisi lain, masyarakat desa sendiri belum memfungsikan BPD
sebagai lembaga perwakilan yang secara efektif bisa menjadi mitra
kerja pemerintah desa. Warga Sidorejo melihat adanya ruang dialog
yang semakin terbuka dan langsung antara pemerintah desa dengan
warganya sehingga memunculkan kecenderungan BPD “dilewatkan”
oleh masyarakat. Melalui komunikasi secara langsung dalam ruangruang demokrasi yang tersedia di desa, aspirasi yang ‘sektoral’ biasanya
kerap disuarakan. Namun karena dianggap ‘tidak jelas’ —karena tidak
mewakili wilayah, aspirasi yang disampaikan tersebut kerap kali
diabaikan.
Situasi serupa juga terdapat di Desa Cangkudu, yang mana posisi
BPD dihadapan Pemerintah Desa terkesan inferior dimata warga.
Kesan tersebut berangkat dari fakta bahwa jejak kinerja perwakilan
BPD belum dirasakan warga. BPD Cangkudu hanya bekerja dengan
nalar normatif (memaknai aturan secara tekstual) tanpa melakukan
pemaknaan mendalam atas tugas dan fungsinya. Nalar normatif
tersebut tampak dari peran yang dilakukan BPD Cangkudu hanya
menyelenggarakan forum-forum formal seperti Musdes dan Musren­
bangdes, tanpa melibatkan banyak warga. Padahal, warga terbiasa
menyampaikan aspirasinya melalui perwakilan RT, RW atau tokoh
masyarakat untuk disampaikan dalam forum-forum tersebut. Aspirasi
66
MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA
warga tidak secara langsung dapat diserap dalam forum-forum
resmi seperti musrenbangdes ataupun musyawarah desa. Situasi ter­
sebut rentan terhadap bias elit manakala keputusan publik diambil
dalam forum-forum resmi. Tak mengherankan jika warga Cangkudu
memiliki persepsi bahwa BPD adalah bagian dari pemerintah desa.
Situasi yang lebih ekstrim terjadi di Desa Ngadisari. Representasi
formal BPD tak cukup kuat mengimbangi kapasitas pemerintah desa
saat dipimpin oleh Supoyo dan kini oleh istrinya yang juga ditopang
oleh peran politik Supoyo. Dalam hal ini Supoyo lebih mengandalkan
representasi langsung dan cenderung memangkas peran representasi
inistitusi ini. Kondisi tersebut tergambar dengan baik dengan
lahirnya Perdes No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Mutasi Tanah
Desa Ngadisari. BPD tak memiliki banyak peran selain menjalankan
fungsi pengawasan atas implementasi peraturan tersebut.38 Selain itu
secara sosiologis, masyarakat memiliki saluran representasi langsung
yang bisa jadi jauh lebih efektif, seperti rembug desa dan Safari Wulan
Kapitu. Representasi formal BPD bisa jadi tak relevan bagi masyarakat
Ngadisari yang memiliki tradisi demokrasi langsung yang lebih kuat.
Dalam konteks itu, Desa Ngadisari memiliki cara sendiri dalam
menjalankan demokrasi desa. Kondisi tersebut membentuk kinerja
representasi formal BPD Ngadisari sangat minimal dalam membuka
ruang-ruang deliberasi.
Kondisi yang berlawanan ditunjukkan dengan kasus Desa
Umbulharjo dan Panggungharjo, dimana BPD dapat membangun ke­
setaraan peran dengan pemerintah desa. BPD di kedua desa tersebut
berhasil membangun engagement (pelibatan) dengan pemerintah desa
38 BPD bisa jadi hanya sebagai ‘tukang stempel’ atas rancangan peraturan yang diajukan pemerintah desa tersebut. Dalam praktek kepemimpinannya, Supoyo yang juga mantan kepala
desa, lebih banyak turun langsung ke masyarakat. Dia juga cenderung memotong peran BPD
dengan asumsi bahwa dirinya mampu menyerap aspirasi warganya secara langsung tanpa
melalui BPD. Ketimbang mendengarkan aspirasi yang disampaikan BPD, dia lebih memilih
untuk turun langsung ke masyarakat.
67
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
dalam mengelola urusan publik desa. Di Desa Umbulharjo, BPD berhasil
memainkan fungsi kontrol dalam pemerintahan dan pemba­ngunan di
desa. Hal itu ditampakkan dengan kasus ketegangan antara BPD dan
Kepala Desa, saat BPD menagih RPJMDesa yang tak kunjung rampung
disusun kepala desa terpilih. Konflik tersebut tidak berlarut dan justru
menjadi momentum menata kembali relasi kelembagaan antara BPD
dan Pemerintah Desa. Paska konflik, hubungan BPD dan Kepala Desa
jauh lebih harmonis dan produktif. Hal ini menjadi mo­dal penting bagi
Umbulharjo dalam menyelesaikan isu-isu publik yang berkembang
di masyarakat.39 Salah satu isu publik yang paling menonjol di desa
setempat adalah pengelolaan air bersih. Oleh karena itu, berdasarkan
usulan warga, BPD bersama pemerintah desa menginisiasi kebijakan
pembentukan BUMDesa yang diorientasikan mengelola kebutuhan
air bersih bagi warga. Untuk keperluan itu maka dilakukan musdes
untuk mendirikan BUMDesa. Musdes tentang pendirian BUMDesa
ini merupakan musdes pertama yang diselenggarakan oleh BPD.40
Musdes ini menjadi tonggak penting pelembagaan demokrasi di desa
karena merupakan praktek demokrasi pertama di Desa Umbulharjo
yang melibatkan partisipasi masyarakat.
Demikian pula di Desa Panggungharjo, relasi BPD dan Peme­
rintah Desa berjalan secara sinergis. Sinergi antara BPD dan peme­
rintah desa dibangun dari rekatan emosi dan sosial masyarakat Desa
Panggungharjo. Forum-forum deliberasi desa, mulai di tingkatan
RT, Dusun dan Musyawarah Warga di tingkat desa menjadi medium
mempertemukan gagasan dan menjadi arena membangun konsensus
antara warga dengan pemerintah desa dan BPD. Produk dari sinergi
39 Banyak isu publik yang berkembang di Desa Umbulharjo. Isu-isu publik tersebut meliputi
pengelolaan air baik air bersih, penambangan pasir, hunian tetap untuk warga korban erupsi
Merapi, desa tanggap bencana, dan pengelolaan kegiatan wisata.
40 Kegiatan musdes tersebut dihadiri kades, perangkat desa, BPD, dan seluruh kadus, serta perwakilan perempuan, pemuda dan tokoh masyarakat.
68
MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA
BPD dan Pemerintah Desa tercermin dalam APBDes yang berorientasi
pada dimensi pelayanan dan perlindungan sosial warga desa untuk
mencapai visi desa mandiri, sebagai desa sehat, desa pintar dan desa
budaya. Pada titik ini, BPD Panggungharjo telah memanfaatkan secara
maksimal ruang deliberasi yang menjalankan fungsi representasi.
Bahkan, jejak representasi BPD Panggungharjo dapat dilihat dari
munculnya peraturan desa inisiatif BPD.
Dalam konteks yang sedikit berbeda, relasi antara pemerintah
desa dan BPD Punjulharjo memang melibatkan BPD. Namun peliba­
tan BPD hanya sebatas menjalankan fungsi secara normatif se­perti
membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama
kepala desa, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
desa. Apalagi posisi BPD terlihat lemah dengan terbitnya Peraturan
Bupati Rembang yang mengatur bahwa pemerintah desa tetap bisa
melanjutkan program-programnya, sekalipun BPD tidak menyetujui
rancangan program yang diajukan oleh pemerintah desa. Hal ini
bermakna BPD tidak berwewenang untuk menyetop program yang
sudah dibuat Pemerintah Desa.
Dengan posisi politik demikian, fungsi representasi formal oleh
BPD Punjulharjo juga tidak bekerja dengan optimal. BPD Punjulharjo
misalnya, tidak menyelenggarakan musdes karena merasa tidak punya
kewenangan untuk mengundang warga atau lembaga desa yang ada.
Tugas untuk menyelenggarakan musdes kemudian diberikan kepada
pemerintah desa. Meski demikian, BPD menempuh strategi penja­
ringan aspirasi melalui forum warga seperti pertemuan RT dan RW
oleh masing-masing anggota BPD. Akhirnya aktivitas BPD hanya
mengadakan pertemuan internal yang rutin digelar setiap bulannya.
Pertemuan internal BPD biasanya membahas isu yang muncul dan
dianggap penting di masyarakat. Masalah biasanya digali oleh anggota
BPD melalui forum-forum warga. Pola representasi demikian, pada
69
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
akhirnya memang dapat menjembatani kepentingan warga terhadap
pemerintah desa yang ditandai dengan menjadikan BPD sebagai
saluran aspirasi masyarakat terkait pengelolaan Karang Jahe Beach.
Namun BPD Punjulharjo kurang berfungsi dalam melakukan
pengawasan kinerja kepala desa. Ketika terjadi kasus keuangan yang
melibatkan sekretaris desa, fungsi BPD sebagai pengawasan kinerja
kepala desa sulit dilakukan. Laporan keuangan hanya bisa diakses
oleh BPD pada saat rapat pertanggungjawaban. Mandulnya fungsi
BPD Punjulrejo bisa dipahami dengan kuatnya politik kekerabatan di
Punjulharjo. Hampir seluruh orang yang menempati jabatan strategis
di Desa Punjulharjo masih merupakan teman, kerabat dan tim sukses
kepala desa terpilih. Bahkan salah satu anggota BPD adalah tokoh
yang dekat dengan kepala desa sudah sejak awal diproyeksikan dan
dipersiapkan untuk menjadi anggota BPD. Dalam proses pemilihan
pun kemudian diatur agar dia terpilih dengan mudah dan tidak melalui
perdebatan yang panjang.
Temuan dalam kajian ini juga menunjukkan variasi relasi BPD
dengan warga desa yang mau melibatkan BPD meski dalam nalar
normatif sebagaimana di Desa Nglanggeran dan Desa Mekarjaya. Nalar
normatif tersebut dibangun dari setting sosial masyarakat setempat
yang menempatkan nilai-nilai komunitarian (gotong royong, guyub,
dan kebersamaan) sebagai dasar dalam menata kehidupan publik. Di
Desa Nglanggeran, BPD dinilai kredibel, mewakili aspirasi warga,
dan memiliki kemampuan saat menanggapi isu rencana masuknya
investasi ke desa dalam kerangka pengelolaan situs gunung api purba.
Kondisi tersebut ditunjukkan dengan sikap BPD yang mendukung
aspirasi warga. Sayangnya , BPD dan juga pemerintah desa dinilai
lambat merespon inisiatif warga yang tergabung dalam Kelompok
Sadar Wisata (Pokdarwis) yang mendesakkan terbitnya peraturan
70
MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA
desa tentang perlindungan aset dan tanah warga.41
Meski demikian, di mata warga, BPD tetap dipandang sebagai
pihak yang harus dirangkul dalam pengembangan situs gunung api
purba tersebut. Warga yang dimotori Pokdarwis tetap menjadikan
BPD salah satu saluran aspirasi warga, selain pemerintah desa dan
tokoh masyarakat setempat. Hal itu terlihat manakala Pokdarwis
hendak mengosiasikan ide membebaskan situs gunung api purba dari
kegi­atan pertanian warga. Berkat dialog yang bersifat kekeluargaan
yang melibatkan BPD, pemerintah desa dan kelompok warga, jalan
damai itu membuahkan kesepakatan.42 Pada titik ini terlihat bahwa
aspirasi pengelolaan situs gunung api purba disalurkan melalui
BPD atau forum informal desa guna memenuhi derajat inklusifitas
(keterbukaan) dan bernilai publik.
Situasi serupa juga ditunjukkan di Desa Mekarjaya yang oleh
warga dinilai sebagai lembaga desa terpercaya dan mewakili warga
manakala menanggapi usulan pembangunan lapangan sepak bola.43
Bagi warga Mekarjaya, BPD dipandang sebagai aktor strategis terkait
kebijakan desa sehingga mereka menggandeng BPD untuk mendukung
usulan tersebut. Usulan tersebut diperjuangkan baik melalui lembaga41 Usulan tersebut dilatabelakangi kekhawatiran warga tentang lahan-lahan di kawasan situs
gunung api purba akan jatuh ke tangan investor, jika tidak diproteksi yang berakibat me­
ngancam hajat hidup warga Nglanggeran. Kesepakatan warga tersebut sudah berulangkali di­
sampaikan dalam forum-forum yang melibatkan perwakilan dari Pemerintah Desa dan BPD,
namun belum ditindaklanjuti dengan penerbitan peraturan desa.
42 Pihak Pokdarwis sepakat mengganti atau membeli kayu-kayu yang sudah berukuran besar
kepada warga yang menanamnya. Mereka pada prinsipnya masih bisa berkebun di kawasan
tersebut, tetapi tidak lagi bisa menebang secara sembarangan kayu-kayu yang telah mereka
tanam.
43 Sudah sejak lama warga masyarakat Desa Mekarjaya mengidamkan lapangan sepak bola.
Sampai pada tahun 2002 pembangunan lapangan sepak bola belum terwujud. Terlebih tanah
desa ( tanah sara ) yang luasnya hanya dua hektar harus dibagi desa Cianaga. Maka keinginan
untuk membangun lapangan sepak bola semakin sulit direalisasikan, karena tanah desa yang
diharapkan untuk lapangan sepak bola berkurang. Namun semangat warga untuk mewujudkan cita cita membangun lapangan sepak bola tetap tinggi.
71
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
lembaga formal, seperti BPD dan pemerintah desa dan terutama
forum-forum informal warga yang saling terhubung satu de­ngan
lainnya. Fenomena warga menggandeng BPD dalam kasus lapangan
sepak bola menunjukkan adanya kesadaran warga tentang nilai
kepublikan dan pentingnya keterbukaan untuk melibatkan semua
pihak, termasuk lembaga representasi formal seperti BPD.
Macetnya representasi formal oleh BPD ditunjukkan dalam kasus
di Desa Gulon dan Desa Ringinrejo. Kemacetan fungsi perwakilan
oleh BPD di kedua desa tersebut menunjukkan variasi pola relasi yang
berbeda. Pola relasi BPD Gulon dengan pemerintah desa cenderung
menempatkan BPD sebagai alat jejaring kekuasaan elit desa yang
diwarnai dengan kentalnya politik kekerabatan. Dalam kasus pemba­
ngunan rumah susun (rusun), ide tersebut disalurkan secara formal
melalui BPD tanpa melalui proses diskusi dengan warga. Ide tersebut
tidak melalui pengujian sebagai wacana yang diperbincangkan warga,
misalnya terkait dengan kemanfaatan atau studi kelayakan proyek
tersebut. BPD Gulon hanya menyuarakan ide kepala desa sebagai
bagian dari elit berkuasa yang mendominasi kehidupan politik di
Desa Gulon secara turun temurun. Ide tersebut juga tidak banyak
disosialisasikan BPD kepada publik untuk menjaring respon balik
warga ter­hadap rencana tersebut. Situasi tersebut menggambarkan
kualitas representasi BPD yang tidak mewakili aspirasi warga dimana
warga lebih menginginkan pemerintah desa melakukan program
bedah rumah.
Sedangkan di Desa Ringinsari, representasi formal oleh BPD
benar-benar terlihat mandeg. Dalam kasus klaim lahan perusahaan
oleh warga, lembaga formal desa, baik pemerintah desa dan BPD,
sungguh tidak dapat diandalkan sebagai saluran aspirasi warga. Kendati
warga telah membuat tekanan publik, BPD cenderung menghindari
risiko untuk berperan dalam penyelesaian konflik tersebut. Padahal
72
MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA
penyelesaian konflik lahan tersebut menjadi gantungan hidup
ratusan warga di Ringinrejo. Situasi ini mendorong warga untuk
mencari saluran representasi alternatif di luar saluran formal dengan
membentuk paguyuban. Warga juga membangun jejaring advokasi
dengan lembaga-lembaga non pemerintah untuk melakukan proses
negosiasi dengan perusahaan maupun upaya hukum.
Potret Kinerja Representasi Formal: Problem Kapasitas
Kinerja representasi BPD dipengaruhi oleh kapasitas politik
maupun teknis-manajerial berupa daya dukung pengetahuan
anggotanya. Senada dengan temuan dalam kajian ini, keterbatasan
kapasitas ternyata masih menghinggapi sebagian besar BPD sebagai
wadah representasi formal. Selain dipengaruhi tingkat pemahaman
terhadap UU Desa, lemahnya kapasitas BPD juga dipengaruhi oleh
posisi politik BPD yang sangat bergantung pada pemerintah desa.
Kondisi ini dialami BPD Desa Cangkudu, Mekarjaya, Sidorejo,
Ringinrejo, Punjulharjo, Gulon dan Ngadisari. Sementara BPD Desa
Nglanggeran dan Desa Umbulharjo, memiliki kapasitas politik yang
kuat, namun menghadapi tantangan berupa lemahnya daya dukung
kapasitas pengetahuan. Sedangkan kondisi kapasitas ideal BPD,
tergambar dengan baik oleh BPD Desa Panggungharjo yang memiliki
kapasitas andal baik secara politik maupun teknis.
Di Desa Cangkudu, kapasitas politik BPD dalam mengelola ke­
ragaman aspirasi warga menjadi persoalan bagi berjalannya peran
dan fungsi BPD. Kapasitas politik BPD belum mampu mengimbangi
kapasitas pemerintah desa. Namun demikian kapasitas pengetahuan
BPD Cangkudu terhadap peran dan fungsinya telah tumbuh. BPD
Cangkudu misalnya telah mengundang perwakilan warga untuk hadir
dalam forum-forum formal seperti musrenbang ataupun musyawarah
desa yang dihadiri perangkat desa, tokoh masyarakat, perwakilan
73
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
pemuda dan tokoh agama yang diundang secara resmi oleh pihak
BPD. Meski demikian, kapasitas tersebut belum sepenuhnya efektif
menjadi modal BPD dalam mengawal agenda-agenda publik. Kondisi
tersebut berakar dari, pemahaman anggota BPD terhadap fungsinya
sebagaimana dimandatkan UU Desa masih bersifat normatif.
Problem kapasitas BPD di Desa Gulon kental diwarnai
ketergantungan posisi inferior BPD terhadap pemerintah desa. Dilihat
dari kualitas sumber daya manusia, BPD Gulon sebenarnya memiliki
kapasitas yang cukup memadai.44 Anggota BPD juga cukup memahami
tugas dan fungsinya. Namun dalam praktiknya, fungsi BPD yang paling
bekerja hanyalah membahas dan menyepakati rancangan peraturan
desa. Sedangkan fungsi representasi dan pengawasan tidak dapat
berjalan secara memadai lagi karena lemahnya kewenangan. Selain
aspek lemahnya kewenangan dalam menjalankan tugas representasi,
BPD juga menghadapi masalah berupa: Pertama, adalah persoalan
anggaran. Minimnya anggaran operasional yang dialokasikan di dalam
APBDes, membuat BPD kini tak lagi mampu melakukan pertemuanpertemuan secara rutin, apalagi jika harus mengundang pemerintah
desa maupun warga.45 Kedua, BPD tidak memiliki penghasilan tetap
(siltap), sebagaimana diterima perangkat desa. Hal ini berdampak BPD
sebagai lembaga legislatif desa tidak diminati masyarakat.46 Tanpa
penghasilan tetap yang memadai, BPD cenderung menjadi lembaga
44 Terdapat lima anggota BPD yang berprofesi menjadi guru. Empat di antaranya berpendidikan sarjana (S-1). Di desa, para guru juga dikenal sebagai tokoh masyarakat dan intelektual
yang seringkali dijadikan rujukan oleh masyarakat.
45 BPD bisa mengusulkan kenaikan anggaran dalam APBDes, namun mereka mengaku tidak
mampu memaksakan hal ini kepada pemerintah desa karena tiadanya formula anggaran yang
dapat dijadikan pegangan. Sebagai gambaran, anggaran APBDes Gulon 2015 untuk BPD selama setahun hanya Rp 9.8 juta untuk keperluan sidang/rapat, perjalanan dinas, dan belanja
barang dan jasa.
46 Hal ini berbanding terbalik dengan minat mendaftar menjadi perangkat desa (staf dan kepala
dusun). Karena kurangnya minat terhadap jabatan BPD, pengisian anggota BPD pun tidak
berlangsung melalui standard seleksi yang ketat dan ideal.
74
MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA
yang dianggap sebagai “pengabdian” dan mengharapkan komitmen
moral anggotanya, di sisi lain masyarakat menuntut dedikasi dan
disiplin kerja mereka. Keseluruhan faktor tersebut membuat BPD
tidak dapat mengimbangi kapasitas pemerintah desa. Apalagi BPD
Gulon bekerja dalam setting sosial dimana politik kekerabatan di Gulon
menjadikan posisi BPD sebagai alat dari elit yang berkuasa.47
Di Desa Mekarjaya, problem kapasitas BPD berakar dari proses
rekrutmen yang tidak menarik minat warga untuk berkiprah di
lembaga perwakilan tersebut. Banyak kandidat yang digadang-gadang
untuk menjadi wakil warga, namun banyak pula yang menolak
untuk dicalonkan menjadi anggota BPD. Sebelas anggota terpilih
BPD umumnya merasa “terpaksa”, karena sesungguhnya tidak ada
minat menjadi anggota BPD. Namun karena telah dimusyawarahkan
di tingkat dusun, mereka akhirnya bersedia menjadi anggota BPD.
Alhasil, Anggota BPD terpilih sebenarnya tidak memenuhi kriteria
kelayakan anggota BPD. Dalam kasus pembangunan lapangan sepak
bola misalnya, tak satupun anggota BPD yang menguasai pengeta­
huan teknis bangunan, sehingga tidak mampu mengawasi teknis
pembanguan lapangan sepak bola. Demikian kapasitas lainnya seperti
menguasai manajemen keuangan sehingga tidak bisa memberi umpan
balik terkait laporan keuangan desa.
Sebagaimana dengan Desa Gulon, BPD Punjulharjo juga
menghadapi masalah serupa berupa ketergantungan terhadap peme­
rintah desa. Sebagai ilustrasi BPD Punjulharjo hanya mengadakan
rapat-rapat internal tanpa mengundang atau melibatkan unsur
lembaga desa serta tidak mengundang masyarakat karena terkendala
anggaran. Dalam hal anggaran, BPD Punjulharjo tidak diberi kewe­
47 Dominasi “Balung Gede”, menjadi konteks politik di Gulon yang turut melemahkan kapasitas
politik BPD. Ketua BPD Gulon merupakan kerabat dekat kepala desa yang acapkali mengambil keputusan sepihak tanpa membuka diskusi dengan anggota BPD yang lain.
75
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
nangan untuk me­ngelola anggaran tersendiri. Biasanya jika ingin
membiayai rapat internal, BPD mengajukan anggaran kepada bagian
keuangan desa dahulu untuk dicairkan. Kondisi ini menandai tingkat
ketergantungan BPD yang tinggi terhadap pemerintah desa. Selain
problem daya dukung anggaran, kapasitas pengetahuan BPD terhadap
tugas dan fungsinya juga terlihat lemah. Hal ini ditunjukkan dengan
ada­
nya pemahaman bahwa wewenang untuk menyelenggarakan
musdes sepenuhnya menjadi otoritas pemerintah desa.
Selain kapasitas politik yang kurang memadai, lemahnya kapasitas
pengetahuan juga dialami oleh BPD Ringinrejo, Ngadisari, dan
Mekarjaya. Pemahaman anggota BPD Ringinrejo akan UU Desa masih
sangat terbatas, bahkan mereka belum tahu tentang UU Desa beserta
tanggungjawab baru BPD menurut UU Desa, termasuk fungsi BPD
dalam menyelenggarakan musyawarah desa. Praktis selama dua tahun
pelaksanaan UU Desa belum pernah terselenggara musyawarah desa
di Desa Ringinrejo. BPD tidak terlalu aktif dan hanya mengagendakan
pertemuan sekali dalam satu bulan yang pada praktiknya belum tentu
rutin terlaksana. Salah satu sebab minimnya kiprah BPD, karena
kesibukan ketua BPD sehingga sulit mengalokasikan waktu untuk
pertemuan. Hal serupa juga dialami oleh BPD Ngadisari. Peran BPD
yang semakin penting sejak UU Desa tak banyak berubah di Ngadisari.
Selain kapasitas politik lemah karena dominasi orang kuat, BPD juga
lemah dari sisi kapasitas pengetahuan. Kewenangan BPD untuk
menyelenggarakan musyawarah desa misalnya tak diketahui oleh
BPD. Menurut Ketua BPD, setiap ada rapat-rapat atau pertemuan
desa BPD selalu diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat.
BPD belum memahami bahwa lembaga representasi ini juga dapat
menyelenggarakan musyawarah desa.
Berbeda dengan ketujuh desa yang ada, BPD Nglanggeran dan
BPD Umbulharjo memiliki kapasitas politik cukup memadai, namun
76
MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA
kurang ditopang dengan kapasitas teknis. BPD Desa Nglanggeran
misalnya, saat didesak Pokdarwis untuk menerbitkan peraturan
desa tentang perlindungan aset warga dan desa dalam konteks
pengembangan situs gunung api purba tak dapat memenuhi aspirasi
tersebut. Baik pihak desa maupun BPD mengakui bahwa mereka masih
menghadapi kendala kapasitas berupa keahlian khusus dibidang legal
drafting (merancang peraturan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum)
peraturan desa. Selama ini, mereka baru dapat membuat peraturan
desa rutin seperti seperti perdes tentang RPJMDesa, RKPDesa, dan
APBDesa karena bisa meniru rancangan peraturan desa milik desa
lain. Disamping itu memang, mereka belum banyak mendapatkan
pelatihan dan sosialisasi dari Supra-Desa ataupun pihak luar perihal
regulasi baru terkait implementasi UU Desa.
Sementara, kapasitas politik dalam mengelola aspirasi warga
ditunjukkan oleh BPD Umbulharjo. Selain menjalankan fungsi
BPD secara substantif, baik fungsi legislasi (membuat peraturan),
representasi dan pengawasan, BPD juga melakukan inovasi dalam
menjaring aspirasi warga. Dalam melakukan proses penjaringan
ide dan aspirasi warga, anggota BPD Umbulharjo memanfaatkan
forum-forum informal seperti rapat-rapat RT yang diadakan oleh
masing-masing dusun. Bahkan ketua BPD Umbulharjo menyediakan
buku aspirasi yang diedarkan keliling di seluruh dusun. Masyarakat
dapat menuliskan keluhan, usulan, dan gagasannya terkait desa pada
buku tersebut. Demikian pula, setiap keputusan BPD disampaikan
kembali kepada masyarakat melalui forum-forum tersebut. Untuk
mendorong transparansi internal, BPD setempat mengupayakan
seluruh anggotanya mengetahui program-program BPD maupun
informasi lainnya pada saat rapat-rapat koordinasi yang diadakan
setiap bulannya. Selain itu BPD juga mengikuti rapat koordinasi
yang diselenggarakan oleh pemerintah desa. Pada kesempatan itulah
77
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
mereka saling berbagi informasi baik mengenai program maupun
permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Sayangnya,
kapasitas politik tersebut kurang ditopang dengan kapasitas teknis.
Dalam hal penganggaran desa misalnya, BPD masih sekedar menyetujui
rencana penganggaran yang telah dibuat. BPD juga belum dilibatkan
pada perencanaan teknis program dan pe­rencanaan peraturan desa.
Situasi ini berakar dari lemahnya kapasitas teknis BPD dalam rangka
melakukan pengawasan pada aspek-aspek teknis penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan desa.
Gambaran ideal kapasitas representasi BPD ditunjukkan oleh BPD
Panggungharjo yang secara sinergis berkolaborasi dengan pemerintah
desa serta warga. Kapasitas representasi BPD Panggungharjo
tergambar dengan baik dengan adanya produk-produk peraturan
desa inisiatif BPD. Peraturan desa inisiatif BPD Panggungharjo ini
menandai sensitifitas BPD terhadap isu-isu publik yang berkembang
di kalangan warga. Dalam hal ini, BPD Panggungharjo berhasil
menangkap de­ngan baik aspirasi warga dan selanjutnya mengolahnya
menjadi agenda kebijakan desa setelah diuji melalui forum-forum
deliberasi baik formal dan informal.
Tidak semua anggota BPD, terlebih warga masyarakat desa,
memahami UU Desa. Di beberapa desa dimana kajian ini dilang­
sungkan, banyak anggota BPD tidak memiliki pemahaman mengenai
UU Desa, termasuk fungsi dan tanggungjawab BPD sesuai UU Desa.
Selain kurang berfungsinya BPD karena kapasitas terbatas, bahkan
mereka tidak proaktif, masyarakatpun merasa saluran aspirasi tidak
harus ke BPD. Fungsi representasi juga bisa dilakukan pemerintah
desa, tokoh masyarakat, dan perangkat dusun seperti ketua RT, RW,
maupun kepala dusun. Warga juga merujuk pertemuan-pertemuan
warga di tingkat RT maupun dusun yang mereka hadiri. Pemerintah
desa pun seringkali mengamini proses ini sebagai proses representasi
78
MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA
yang terjadi di desa untuk kemudian disampaikan dalam pertemuanpertemuan desa maupun Musrenbang atau Musdes. Namun kembali
lagi pada pertanyaan inti bagaimana dengan fungsi representasi
formal yang dijalankan BPD? Seberapa berkualitas representasi yang
dihasilkan, tanpa ada pihak yang melakukan pengawasan? Bagaimana
aspirasi warga sepenuhnya mampu dikawal hingga mencapai sirkuit
kebijakan? Pada titik ini, peran BPD sebagai aktor representasi formal
perlu ditopang dengan kapasitas yang cukup baik secara politik
maupun pengetahuan teknis-manajerial.
C. Rute Representasi Informal: Suplemen Demokrasi Deliberatif
Aspirasi masyarakat yang selama ini disalurkan melalui BPD
maupun pemerintah desa acapkali tidak terkawal secara memadai. Tak
mengherankan, eksistensi lembaga-lembaga representasi formal desa
tengah digugat. Bahkan apatisme mulai menghinggapi warga yang
dialamatkan pada lembaga formal tersebut. Telah menjadi peman­
da­ngan umum, masyarakat mengungkapkan kekecewaan manakala
usulan-usulan mereka lenyap dalam daftar priotitas pembangunan
desa. Mereka menilai BPD tidak benar-benar mendengarkan usulan
mereka. Aspirasi warga masih belum mampu dapat “disuarakan
(voicing) dengan baik oleh agen representasi (anggota BPD) apalagi
diperjuangkan. Akibatnya terbentuk perasaan umum dikalangan
warga bahwa mereka merasa tidak penting membangun hubungan
dengan lembaga formal desa karena dinilai tidak menghadirkan
manfaat dan kebermaknaan.
Macetnya lembaga representasi formal pada akhirnya memaksa
warga untuk menyampaikan gagasan dan aspirasinya dalam wadah
lain yang tersedia di desa. Pada titik inilah, warga berupaya mencari
kanal alternatif untuk memastikan bahwa agenda-agenda publik
79
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
sungguh mendapatkan ruangnya dalam arena pengambilan kebijakan.
Kanal-kanal alternatif ini dapat berupa forum-forum warga (ritual
publik, tradisi), kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat desa
(baik kelompok kultural, keagamaan, sektoral, maupun kelompok
berbasis isu seperti kelompok perempuan, penyandang disabilitas,
pemuda, dan sebagainya), organisasi sosial seperti LSM, hingga figurfigur kuat di desa, —dikenal sebagai tokoh masyarakat,—yang acapkali
menjadi tumpuan warga.
Ragam kanal alternatif inilah yang sesungguhnya memiliki
kontribusi besar dalam menghidupkan dan merawat ruang-ruang
deli­
berasi desa. Ditengah tersendatnya rute representasi formal
oleh BPD, kanal informal ini justru mampu menembus kemacetan
menuju ruang-ruang deliberasi desa. Karakter informal itulah justru
memuat keunggulan tersendiri yakni luwes dan mampu membangun
intimasi (kehangatan) antara warga dengan pemimpinnya sehingga
mampu melampaui sekat-sekat sosial yang ada. Melalui mediasi tokoh,
kelompok sosial,forum warga, hingga organisasi masyarakat, gagasan,
aspirasi, kritik dan usulan memiliki peluang untuk lebih didengar
oleh pengambil kebijakan. Kanal alternatif ini merupakan wujud
representasi informal.
Apalagi, bagi orang desa, tradisi menyampaikan pendapat lebih
banyak dilakukan secara informal. Forum-forum warga yang berakar
dari lokalitas tradisi acapkali menjadi arena informal yang efektif bagi
warga dalam mencurahkan gagasan, menyampaikan aspirasi, bahkan
menjadi media menyampaikan kritik. Di tingkat desa, representasi
informal acapkali bekerja secara kritis mengangkat isu-isu yang lekat
dengan tema kehidupan sehari-hari warga desa seperti kemiskinan,
perjuangan agraria, hak kelompok rentan dan kaum marjinal hingga
sumber penghidupan alternatif warga. Oleh karena itu, muncul
kebutuhan untuk merekognisi (mengakui) keberadaan lembaga-
80
MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA
lembaga lokal yang sejatinya memiliki akar tradisi yang menyejarah
sebagai representasi alternatif guna memperkuat dan menambah daya
peran dan fungsi BPD.
Corak Representasi Informal
Sejalan dengan pandangan tersebut, temuan umum dalam kajian
ini juga menguatkan pendapat tersebut. Kajian ini menemukan
representasi informal justru menjadi tumpuan warga manakala
terjadi kemacetan komunikasi antara pemerintah desa dengan
warganya. Namun demikian, selain dapat dibaca sebagai peluang,
representasi informal juga menemukan tantangannya sekaligus batasbatasnya. Tantangan tersebut berupa lembaga representasi informal
berwatak parokial yang belum mampu menembus sekat-sekat sosial
hingga lemahnya kapasitas membangun aksi kolaborasi, engagement
(pelibatan), dan linkage (tautan) yang kuat dengan seluruh pemangku
kepentingan desa. Diantara peluang dan tantangan itulah, variasi
corak representasi informal menjadi temuan dalam kajian ini.
Corak representasi informal berwatak parokial misalnya, ditemu­
kan di Gulon. Melalui forum-forum kelompok keagamaan seperti
tahlilan atau yasinan menjadi salah satu ruang untuk membahas
permasalahan warga maupun dusun, serta kegiatan-kegiatan desa.
Namun, peran lembaga-lembaga lokal ini dalam fungsi representasi
di tingkat desa juga belum dapat diandalkan dan berjalan secara
maksimal. Di Gulon, terdapat berbagai organisasi sosial masyarakat
seperti Muslimat NU, GP Ansor, PKK, kelompok tani, koperasi dan
lain sebagainya. Namun, kelompok-kelompok ini berjalan sendirisendiri de­ngan isu atau concern masing-masing, dan belum ada upaya
membangun gerakan bersama. Muslimat NU lebih banyak bicara soal
“tabungan surga”. PKK lebih banyak mengurus arisan dan kegiatan
gotong royong bersih-bersih desa. Tidak mengherankan, karena
81
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
memang PKK lahir di masa Orde Baru, satu-satunya organisasi kaum
perempuan lintas agama dan sosial ini juga menghindari percakapan
politis. Satu-satunya organisasi di desa yang sudah mulai merespons
isu-isu struktural dan politis, semacam transparansi, hanyalah GP
Ansor. Namun, hal itu pun masih berlangsung secara sporadis dan
temporer.
Di luar forum, masyarakat juga menyampaikan aspirasi mereka
langsung kepada tokoh-tokoh masyarakat di dusun maunpun di desa.
Di Gulon salah satunya, masyarakat menyalurkan aspirasinya lewat
tokoh agama dan tokoh masyarakat, misalnya tokoh yang tergolong
kharismatik adalah KH. Afifuddin (tokoh agama), Soetrisno (tokoh
masyarakat), dan Nurrohman (mantan anggota DPRD Magelang).
Namun, keberadaan tokoh-tokoh masyarakat ini belum mampu
menjalankan fungsi representasi alternatif karena sebagian dari mereka
terlibat dalam politik partisan di desa, juga karena faktor keengganan
tertentu tokoh-tokoh tersebut yang tidak ingin mencampuri terlalu
jauh domain kerja kepala desa
Sedikit berbeda dengan Desa Gulon, meski keluar dari sekatsekat sosial, representasi informal oleh kelompok keagamaan di
Ringinrejo belum mampu mendorong terbukanya ruang deliberasi.
Memang dalam pertemuan yasinan, tidak hanya mendiskusikan tema
keagamaan tetapi juga membahas berbagai hal tekait desa termasuk
agenda dusun maupun desa terdekat. Namun, sayangnya bentuk
komunikasi yang terjadi masih lebih banyak berwujud sosialisasi
satu arah dari pemerintah desa dibanding ruang berpendapat
dan menyampaikan gagasan yang benar-benar deliberatif. Meski
demikian, kanal alternatif di Ringinrejo justru ditemukan pada forumforum warga di tingkat RT dan kelompok sektoral yaitu kelompok
tani. Pertemuan RT menjadi ruang mendiskusikan kebijakan yang
paling menjangkau masyarakat terbawah di Desa Ringinrejo. Dalam
82
MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA
pertemuan RT tersebut warga bebas menyampaikan apa keluhan
dan asprasinya terkait pembangunan desa tanpa batasan status sosial.
Aspirasi yang terkumpul kemudian dibawa ke level desa oleh ketua
RT untuk selanjutnya diusung ke level desa. Selain itu, kelompok tani
di Ringinharjo menjadi kanal informal yang efektif dalam perjuangan
klaim lahan perusahaan yang dipergunakan untuk lahan pertanian
warga.
Corak perwakilan informal yang berbeda terjadi di Punjulharjo
dimana terjadi relasi lembaga formal dan lembaga informal desa yang
dihubungkan dengan praktik rangkap jabatan oleh pemerintah desa.48
Sumber daya manusia di desa Punjulharjo yang terbatas, membuat
perangkat desa merangkap menjadi pengurus dalam beberapa lembaga
kemasyarakatan informal. Alasan mereka ikut dalam beberapa
organisasi, karena aspirasi warga pada umumnya bisa diakomodasi
melalui beberapa kelembagaan desa dimana aspirasi lebih efektif
penyampaiannya jika melalui saluran informal. Dapat dikatakan
bahwa medan aksi masyarakat desa Punjulharjo cukup efektif karena
banyak saluran yang bisa digunakan untuk menyampaikan aspirasi.
Apalagi Kades juga tidak sulit untuk ditemui. Meski demikian
lembaga-lembaga informal ini belum sepenuhnya mampu mewadahi
kelompok-kelompok rentan.
Ada pula desa dengan corak representasi informal yang lekat
dengan ciri komunitarian seperti di Desa Ngadisari dan Mekarjaya.
Di Desa Ngadisari, komunitarianisme representasi informal kental
dengan pranata adat Tengger. Pemerintah desa memiliki inovasi
kultural yang dikenal sebagai Safari Wulan Kapitu dan Rembug Desa.
Safari Wulan Kapitu menjadi ajang dalam proses perencanaan desa.
Dalam kegiatan ini, kepala desa beserta perangkatnya berkeliling ke 21
48 Di Punjulharjo terdapat lembaga kemasyarakatan seperti kelompok gotong royong, LPMD/
LPMK, Karang Taruna, kelompok tani/nelayan, kelompok keagamaan, dan organisasi
perempuan, BUMDes, BP KJB dan BP SPAMS.
83
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
RT pada malam hari di bulan ketujuh dalam penanggalan Tengger.49
Forum tersebut melibatkan hampir semua warga masyarakat, termasuk
para perangkat desa. Telah menjadi tradisi bahwa ritual publik dan
ritual domestik menyerap tenaga dan sumberdaya yang besar di desa,
sehingga tidak mengherankan melibatkan seluruh warga. Dalam forum
ini pula, masyarakat baik laki-laki dan perempuan menyampaikan
usulan-usulan program yang akan dijalankan dan pemerintah desa
menyampaikan program-program prioritas desa.
Sedangkan tradisi rembug desa telah dilakukan jauh sebelum UU
Desa mengamanatkan adanya musyawarah desa (musdes). Kepala
desa (petinggi) memberikan laporan pertanggungjawaban kepada
masyarakat desa secara langsung dalam forum rembug desa tersebut.
Ini telah dilakukan sebelum UU Desa mengatur adanya mekanisme
pertanggungjawaban ke atas (Bupati/Walikota) dan ke bawah
(masyarakat). Rembug desa di akhir tahun tersebut mengundang
seluruh kepala keluarga yang berjumlah 500-an orang di Balai Desa
Ngadisari. Bagi masyarakat Tengger Ngadisari, partisipasi mereka
dalam musyawarah atau rembug desa merupakan bentuk kepatuhan
(setuhu) masyarakat kepada pemerintah yang berangkat dari filosofi
bekti ning guru papat. Dalam konteks tertentu, kepatuhan ini
membentuk prinsip patuh pada aturan main (rule of law) yang menjadi
salah satu nilai demokrasi substantif.50
Sementara di Mekarjaya, representasi informal tercermin dari
49 Wulan Kapitu dipilih karena di bulan ini masyarakat Tengger tidak menyelenggarakan ritual
publik yang berkaitan dengan siklus kehidupan, seperti pernikahan, khitanan, dan slametan
lainnya serta hanya berfokus menjalankan ibadah puasa mutih (megeng).
50 Sebelum adanya UU Desa, praktik rembug desa Tengger ini dilaksanakan pada bulan Desember
pada saat penyampaian laporan pertanggungjawaban kepala desa dan musrenbang lebih dilihat sebagai bentuk formal dari praktik musyawarah ala masyarakat Tengger. Setuhu ini juga
nampak dari kepatuhan masyarakat Ngadisari dalam membayar pajak secara tepat waktu.
84
MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA
tradisi aktivitas rutin gotong-royong. Bagi warga Mekarjaya, gotongroyong menjadi medium penyampaian gagasan, aspirasi, hingga kritik
warga terhadap pemerintah desa. Gotong-royong, sekaligus menjadi
forum deliberasi, dimana isu-isu publik dibincangkan mulai dari
pembangunan lapangan bola, pembangunan jalan, pengembangan
pertanian organic, rencana menghidupkan lumbung pangan,
pelayanan KTP, hingga peraturan desa tentang Gotong Royong.
Cerita munculnya aspirasi warga yang disampaikan di lokasi gotong
royong di Mekarjaya, ternyata membuktikan bahwa gotong royong
bisa menjadi forum deliberasi desa. Hanya saja, Mekarjaya belum
membuat perangkat yang dapat menghubungkan proses demokrasi
informal di forum gotong royong ke dalam ranah formal seperti
dalam proses perencanaan pembangunan, penganggaran, pengelolaan
pemerintahan, dan pelayanan publik.
Variasi corak representasi informal berbasis isu ditunjukkan
dalam kasus Desa Sidorejo. Dalam hal ini, representasi informal di
Sidorejo diwadahi oleh kelompok difabel yang mengusung isu inklusi.
Adalah Forum Difabel Sidorejo (FDS), lembaga yang dibentuk warga
kemudian menjadi penggerak untuk mengadvokasi pembentukan desa
inklusi di Desa Sidorejo. Melalui FDS, kelompok rentan difabel ak­
hirnya berhasil menyalurkan aspirasinya kepada pihak desa. FDS juga
memilki memiliki kapasitas dalam membangun pelibatan pemangku
kepentingan desa dalam isu inklusi. Selain itu, FDS memiliki kapasitas
dalam membangun jejaring hingga ke luar desa, termasuk dengan
organisasi non pemerintah yang corncern pada isu Difabel. Sayangnya
spirit inklusi (terbuka) belum mampu membuka kanal-kanal alternatif
lain, seperti kelompok rentan lainnya (perempuan, anak-anak) dan
kelompok sektoral (petani, peternak dan pengrajin). Label desa inklusi
di Sidorejo, pada saat bersamaan justru menciptakan jebakan eksklusi
(meminggirkan) kelompok-kelompok sosial warga yang lain.
85
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Di Cangkudu, corak representasi informal diwarnai dengan
lemahnya kapasitas lembaga –lembaga informal dalam memerankan
dirinya sebagai lembaga representasi sekaligus dalam membangun
kolaborasi dengan lembaga-lembaga formal. Kanal representasi
informal di Cangkudu biasanya melalui perwakilan RT, RW atau
tokoh masyarakat untuk disampaikan dalam forum-forum formal
seperti musrenbang ataupun musyawarah desa. Biasanya forumforum tersebut dihadiri oleh, perangkat desa, anggota BPD, tokoh
masyarakat, tokoh pemuda dan tokoh agama yang diundang secara
resmi oleh pihak BPD. Namun demikian forum-forum tersebut
bergerak dalam nalar normatif yang mendudukan pembahasan agenda
desa sebagai rutinitas formal saja (business as usual) tanpa melibatkan
partisipasi publik yang lebih dalam. Dalam pandangan warga, muncul
semacam krisis kepercayaan terhadap pemerintah desa dan lembaga
representasi politik warga seperti BPD serta tokoh.
Ketidakmampuan BPD menyerap aspirasi warga Di Desa Cang­
kudu mendorong tumbuhnya LSM ataupun organisasi masya­rakat
sebagai dampak dari kehadiran industri dan dinamika politik lokal.
Organisasi lokal tersebut memang berperan dalam pendampingan
mana­­kala warga menghadapi kasus pencemaran limbah industri. Saat
menghadapi masalah tersebut, LSM dan warga memilih cara yang
paling efektif yakni menggertak pabrik untuk mau mengabulkan
tuntutan warga yang terkena dampak lingkungan akibat polusi pabrik.
Namun demikian, organisasi–organisasi ini juga rentan terjebak
kepentingan ekonomi politik organisasi sendiri, ketimbang membuka
ruang-ruang deliberasi warga.51 Situasi tersebut menggambarkan
adanya diskoneksi (keterputusan) representasi antara yang formal dan
informal.
Hal itu juga disumbang dengan adanya faktor kepemimpinan
51 Konteks di Cangkudu memperlihatkan bekerjanya politik kaum Jawara.
86
MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA
kepala desa yang gagal melakukan pelibatan (engagement) warga dalam
agenda-agenda publik desa. Meski mengusung spirit good governance
(tata kelola pemerintahan yang baik) yang diterjemahkan dalam tema
reformasi birokrasi, pemerintah desa tampak abai terhadap spirit
partisipatoris yang menjadi elemen pokok dalam good governance.
Dari sisi pelayanan administrasi, memang terdapat perubahan yang
dirasakan warga. Pemerintah desa tampaknya lebih mendudukkan
warga hanya sebatas konsumen atau penerima layanan yang pasif
dan bukan sebagai warga negara aktif (active citizen) dimana warga
berhak berpartisipasi dalam agenda-agenda publik. Dengan demikian,
reformasi birokrasi di Cangkudu hanya melayani dirinya sendiri.
Cerita positif tentang representasi informal datang dari Desa
Nglanggeran dan Umbulharjo. Di Nglanggeran, kanal alternatif
justru diperankan oleh Pokdarwis yang dimotori kelompok pemuda.
Pokdarwis Nglanggeran memiliki kapasitas kolaboratif dengan
menggandeng BPD dan pemerintah desa dalam mengembangkan situs
gunung api purba sebagai desa wisata. Pokdarwis juga mengembangkan
kola­borasi dengan kelompok-kelompok warga lainnya. Serta jejaring
de­ngan lembaga-lembaga di luar desa. Kelahiran Pokdarwis sendiri
lahir dari setting sosial-kultural masyarakat yang nyengkuyung
(hidup rukun dalam harmoni atau guyub). Keguyuban tersebut salah
satunya ditopang oleh adanya forum-forum warga baik yang berbasis
kewilayahan maupun sektoral.52 Dalam forum warga yang biasanya
juga digunakan untuk kegiatan arisan dan simpan-pinjam itu, telah
mampu memberikan ruang publik yang kondusif bagi berkembangnya
demokrasi lokal. Forum-forum warga mampu memberikan ruang bagi
warga untuk menyampaikan dan mendiskusikan segala gagasan secara
kekeluargaan. Dari situ pula, inisiatif warga Nglanggeran berkembang
52 Forum-forum kewilayanan misalnya, forum tingkat dusun dan forum tingkat RT dengan
namanya masing-masing yang biasanya sesuai dengan nama hari penanggalan Jawa (selapanan), serta forum-forum sektoral seperti forum Gabungan kelompok tani (Gapoktan).
87
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
dengan baik, sehingga warga Nglanggeran terasah kreativitasnya.
Sedangkan di Umbulharjo, forum-forum informal warga benarbenar hadir sebagai penopang bagi kinerja perwakilan BPD sebagai
representasi formal desa maupun pemerintah desa. Masyarakat
meman­­faat­kan bentuk-bentuk forum informal berbasis kewilayahan
seperti rapat RT, rapat dusun, pertemuan yasinan, dan bahkan
menyam­
paikan aspirasinya secara langsung dan informal kepada
BPD dan kepala desa dan perangkat desa. Dalam forum-forum itu,
musyawarah masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat dalam
memecahkan masalah atau mengambil keputusan. Di samping itu,
BPD sebagai lembaga perwakilan benar-benar menjalankan fungsi
representasinya menjadi jembatan antara pemerintah desa dengan
warga. Terlepas dari hal itu BPD belum cukup mewakili aspirasi warga
dan kelompok-kelompok warga. Hal ini disebabkan luasnya wilayah
desa dan kompleksnya permasalahan yang ada di desa sehingga
anggota BPD tidak dapat memotret seluruh permasalahan. Dalam
hal ini, masih terdapat kanal-kanal alternatif yang belum disentuh
BPD terutama lembaga kemasyarakatan sektoral (petani, peternak
sapi, perempuan, dan sebagainya). Pada titik ini corak representasi
alternatif di Umbulharjo, memiliki kapasitas kolaboratif dengan
lembaga-lembaga formal desa, meski masih berbasis kewilayahan.
Gambaran ideal ditunjukkan dengan praktik representasi
informal di Desa Panggungharjo. Lembaga-lembaga informal warga
memiliki kapasitas konsolidasi, pelibatan (engagement) serta kapasitas
kola­borasi sekaligus. Lembaga berbasis kewilayahan seperti RT dan
dusun di Pangungharjo. Hal ini dapat dilihat dari adanya sejumlah
118 RT di seluruh Desa Panggungharjo yang terorganisasi di dalam
satu perkumpulan dengan nama Pakarti (perkumpulan ketua RT).53
Di tingkat RT, warga aktif melakukan pertemuan baik yang bersifat
53 Kepengurusan Pakarti diambil dari masing-masing pedukuhan sebanyak dua orang.
88
MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA
bulanan ataupun pada saat menyiapkan momentum tertentu.54 Setiap
perencanaan pembangunan yang digelar pemerintah desa, terlebih
dahulu warga melakukan rembug bersama di tingkat RT untuk
merumuskan kebutuhan apa yang penting diprogramkan. Setelah
pembahasan selesai, selanjutnya usulan tersebut disampaikan ke desa
melalui dukuh masing-masing. Tidak hanya selesai di dukuh, forum
yang lebih besar sebelum pelaksanaan Musyawarah Desa juga digelar
oleh Pakarti untuk melakukan konsolidasi.
Sementara Kepala Dukuh terfasilitasi di dalam Paguyuban Kepala
Dukuh (Pandu). Antar dua lembaga ini, baik Pakarti dan Pandu
tidak saling tumpang tindih dan menjalankan fungsi koordinasi yang
tertata dengan baik. Dengan adanya dua lembaga ini warga memiliki
banyak kanal aspirasi sekaligus informasi atau program dari desa
bisa cepat diketahui oleh warga. Selain berbasis kewilayahan, warga
juga memiliki kekayaan beragam komunitas kewargaan desa, seperti
komunitas seni, budaya, kuliner, obat tradisional, perawatan warisan
budaya (heritige), kerajinan dan kriya sejauh ini saling berinteraksi
secara inklusif tanpa menciptakan sekat-sekat sosial, sebaliknya
mendorong adanya pembauran sosial. Mereka semua memperoleh
akses yang sama di memberikan masukan perihal pembangunan desa
kepada pemerintah desa melalui RT dan Dukuh.
D. SIMPUL WACANA
Hari ini muncul gejala menguatnya kesadaran masyarakat desa
mengenai isu-isu publik makin menguat. Situasi ini ditunjukkan de­
ngan berbagai pengalaman tentang meningkatnya kesadaran warga
desa terhadap masalah-masalah keseharian sebagai masalah publik.
Isu pendidikan, kesehatan, lingkungan, pemberdayaan ekonomi dan
54Seperti pitulasan (memperingati hari Kemerdekaan RI), lomba kesenian, persiapan acara hari
besar Islam, pementasan budaya, dan lainnya.
89
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
sejenisnya makin dibincangkan dalam arena warga. Namun demikian,
tidak mudah bagi warga untuk membawa perbincangan sehari-hari
tersebut menjadi isu kebijakan di level desa yang disebabkan oleh
tersendatnya jalur representasi formal oleh BPD. Memang, praktikpraktik lokal desa telah menunjukkan betapi inisiasi dan penguatan
lembaga representasi mulai tumbuh, paling tidak secara formal paska
terbitnya UU Desa. Disadari betul bahwa representasi formal oleh
lembaga-lembaga formal desa belum sepenuhnya mampu menjadi
kanal yang handal dalam mengawal aspirasi warga. Kondisi tersebut
dibentuk oleh tiga faktor yakni: pertama, keterbatasan representasi
oleh BPD ini sesungguhnya berakar dari nalar normatif dan formalistik
dalam mengelola keragaman kehendak warganya. Pada titik ini,
aspirasi warga hanya ditempatkan input (masukan) semata dalam
arena pengambilan kebijakan, tanpa mampu mendorong terbukanya
ruang-ruang deliberasi desa. Pada gilirannya, banyak kepentingan
warga yang tidak mendapat tempat untuk disuarakan, terdengar
samar-­samar, bahkan nyaris tak terdengar gaungnya.
Kedua, pada saat yang sama, BPD sebagai lembaga representasi
formal juga dihinggapi dengan persoalan di dalam dirinya sendiri
yakni problem kapasitas kelembagaan terutama soal kemampuan
teknokratik. Disamping itu, problem kapasitas juga disumbang oleh
lemahnya kesadaran politik para wakil warga itu dalam menjalankan
misi penguatan partisipasi dalam demokrasi, menyangkut pengambilan
keputusan strategis. Ketiga, kultur patronase, corak patriarkhi dan
feodalisme dalam kadar tertentu masih menjadi tantangan serius
yang harus dijawab dalam menjalankan misi transformasi demokrasi
desa. Problem ini dengan berbagai wajahnya telah mendistorsi ruang
penyam­paian kepentingan warga yang semakin inklusif (terbuka) di
desa. Alhasil, jejak-jejak keterwakilan BPD semakin samar dan tak
dapat direkam dengan baik oleh warga.
90
MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA
Sesungguhnya terdapat kanal representasi yang lahir dari inisiasi
warga dalam bentuk forum-forum warga dan kelompok-kelompok
kemasyarakatan. Lembaga yang lahir dan tumbuh dari tradisi lokal
yang menyejarah itu sesungguhnya menjadi kekayaan desa yang
berharga. Kanal Representasi informal ini menyimpan kekuatan luar
biasa yakni sifatnya yang luwes, adaptif, serta menyediakan intimasi
sehingga melampaui sekat-sekat sosial antara warga dan pemimpinnya.
Sa­yangnya, kekayaan berupa modal sosial itu, belum didayagunakan
secara memadai sebagai kanal alternatif yang mampu memperkuat
proses deliberasi desa. Hadirnya saluran-saluran informal nampaknya
perlu dipertimbangkan sebagai alternatif menambal keterbatasan
jalur kelembagaan formal dan sekaligus sebagai penopang bekerjanya
demokrasi yang melayani kepentingan warga. Dalam konteks ter­
sebut, di masa mendatang perlu kiranya menghidupkan kembali
dan merawat lembaga-lembaga informal itu melalui rekoginisi
(pengakuan) terhadap lembaga-lembaga informal yang ada sebagai
kekayaan dalam membangun tradisi berdesa.
91
Desa Ngadisari dengan kom
sayuran kentang-kubis-dan
bawang di lereng-lereng pe
moditas
daun
erbukitan
Lahan Pertanian di Desa Ngadisari
dengan tanaman sayuran, kentang,
kubis, dan daun bawang di lerenglereng perbukitan
Gotong royong pembangunan Lapangan
Sepak Bola Desa Mekarjaya
BAB 4
Inisiatif Warga Dalam
Ruang Demokrasi Desa
A. Inisiatif Warga: Penguatan Delibrasi Demokrasi Desa
Dikenal sebagai kawasan Geo Park yang telah diakui
UNESCO, membuat situs Gunung Api Purba Desa Nglanggeran
Kabupaten Gunung Kidul menjadi salah satu destinasi wisata
baru terpopuler bagi wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta.
Keberhasilan meraih berbagai prestasi nasional hingga bertaraf
internasional yang disematkan di desa wisata tersebut, tak lepas
dari prakarsa aktif warga Nglanggeran yang dimotori kelompok
pemuda desa setempat. Awalnya kelompok pemuda yang tergabung
dalam organisasi karang taruna di beberapa dusun bersepakat untuk
mengembangkan eko wisata berbasis masyarakat dengan membentuk
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Dalam perkembangannya,
Pokdarwis berhasil mengubah warga menjadi lebih peka terhadap
persoalan lingkungan hidup, merevitalisasi dan mengembangkan
kearifan lokal, serta mengembangkan sumber-sumber penghidupan
melalui fasilitasi pengembangan desa wisata berwawasan lingkungan.
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Kunci keberhasilan Pokdarwis Nglanggeran terletak pada kemauan
melakukan engagement (pelibatan) berbagai pihak dalam mengem­
bangkan desa wisata. Kapasitas engagement yang dibangun dari
kearifan lokal tersebut menjadikan Pokdarwis memiliki daya
lenting menghadapi segala macam tantangan dan persoalan dalam
mengembang­kan usaha ekonomi kreatif tersebut.
Cerita sukses dari desa Nglanggeran ini merupakan satu dari
ragam narasi tentang dinamika inisiatif warga dalam mengawal pe­
ngelolaan desa yang disuguhkan dalam bab ini. Bersama dengan narasi
dari sembilan desa lainnya, cerita dari Nglanggeran merupakan ikhtiar
menghadirkan demokrasi substantif pada aras desa yang bertumpu
pada prakarsa warga. Keterlibatan warga desa dalam pengelolaan
pemerintahan desa, merupakan kata kunci yang seharusnya menjadi
peluang sekaligus menyediakan tantangan dalam mendorong tumbuh
kembangnya demokrasi subtantif pada aras desa. Kehadiran demo­
krasi subtantif ditandai dengan adanya demokrasi deliberatif yang
mewujud dalam bentuk ruang publik (public sphere)55. Tanpa
keberadaan ruang publik dan partisipasi masyarakat sipil dalam proses
formulasi kebijakan, berarti demokrasi tidak akan memiliki makna
bagi masyarakat desa. Ringkasnya, keberadaan ruang publik sangatlah
menentukan bagaimana demokrasi deliberatif tersebut berjalan
(Piliang, 2005:3).
Perspektif demokrasi deliberatif sejatinya merupakan“roh” atau
“nyawa” dari Undang-Undang Desa yang ditunjukkan dalam Pasal 54
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menyatakan
dengan jelas tentang musyawarah desa sebagai suatu forum deliberasi
55 Pengertian ruang publik (Public Sphere) mengacu pada pendapat Jurgen Habermas dalam
buku The Structural Transformation of the Public Sphere, yang memaknainya sebagai sebuah ruang bagi otoritas publik dalam sistem demokrasi di mana negara tidak memiliki otoritas terhadap domain atau arena publik. Keberadaan ruang publik (public sphere) sebagai
suatu arena berbagai kepentingan publik bertemu yang di dalamnya membentuk otoritas
publik (public authority) dan partisipasi masyarakat sipil dalam proses formulasi kebijakan.
96
MEMPERKUAT REPRESENTASI WARGA
tertinggi untuk membahas dan memutuskan hal-hal bersifat strategis
di desa. Jika dikaji lebih dalam, semangat dan nyawa dari undangundang Desa ini tidaklah sekedar mewujudkan otonomi desa melalui
pemberian otoritas kepada pemerintah desa. Desa bukan lagi se­kedar
local state government (pemerintahan lokal ala negara) semata tapi
merupakan bentuk pemerintahan komunitas atau hybrid antara self go­
verning community dan local self government (Zaini, 2015 : 9). Artinya,
pemerintah desa tidak semata-mata berperan sebagai pemerintahan
lokal tapi juga harus merepresentasikan keterlibatan komunitas warga
dalam pengelolaan pemerintahan desa. Model demokrasi deli­beratif
inilah yang dijadikan basis bagi tumbuh kembangnya demokrasi subs­
tantif pada aras desa. Dalam wacana demokrasi, corak semacam ini
dimasukkan dalam kategori demokrasi komunitarian yang memiliki
akar historis dalam budaya masyarakat desa di Indonesia dalam bentuk
tradisi musyawarah (IRE, 2003).
Hasil penelitian yang dilakukan IRE (2012), menunjukkan bahwa
di desa-desa yang bertumpu pada kekuatan masyarakat sipilnya dalam
bentuk inisiatif-inisiatif warga, mampu menjadikan perkembangan
demokrasi menjadi lebih bermakna. Seperti yang terjadi di Lombok
Barat bagaimana inisiatif warga dalam bentuk Community Centre (CC)
yang mampu melakukan advokasi terkait perbaikan pelayanan publik
di desa dan sekaligus mendorong pemerintah desa untuk memberikan
perlindungan terhadap calon TKI. Demikian pula kisah yang terjadi
di Kabupaten Gunungkidul, tradisi gugur gunung (gotong royong)
yang menjadi forum penting di luar forum formal musyawarah desa
dan dalam tradisi tersebut, masyarakat tidak hanya sekadar berkumpul
menyelesaikan pekerjaan bersama, namun juga sekaligus membangun
interaksi solidaritas dan memupuk modal sosial.
Tumbuhnya inisiatif warga desa dalam arena demokrasi desa ini
merupakan pertanda baik bagi berseminya gerakan sosial para aras desa
yang akan menjadi “pupuk” dan “nutrisi” bagi bertumbuhkembangnya
97
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
demokrasi yang subtantif. Sebagaimana mengacu pada pendapat
Habermas, Offe, McLucci dan Nash dalam Darmawan (2006: 8) yang
menyatakan bahwa gerakan sosial merupakan sebuah ruang antara
(intermediary space) yang menjembatani kepentingan masyarakat sipil
dengan negara dan merupakan suatu sumber bagi proses penguatan
demokrasi terutama dalam menghadapi perkembangan masyarakat
yang semakin kompleks.
Meskipun demikian, pada kenyataannya belum semua desa
mampu memaknai UU Desa tersebut terkait dengan pentingnya
membangun demokrasi deliberatif dan sekaligus menangkap peluang
yang diberikan oleh UU Desa tersebut dalam kerangka mendorong
tumbuhkembangnya inisiatif dan partisipasi warga dalam proses
pembangunan desa. Oleh sebab itu, realitas tersebut menjadi suatu hal
yang menarik untuk dikaji yang memunculkan pertanyaan: bagaimana
praktik-praktik inisiatif warga dan partisipasi aktif warga bekerja
dalam konteks arena demokrasi lokal terutama terkait dengan urusanurusan strategis desa, mulai dari proses agenda setting kebijakan,
formulasi kebijakan, implementasi hingga evaluasi kebijakan pada aras
desa?
Memotret dan menyelami permasalahan terkait inisiatif warga
desa inilah yang akan diulas dalam bab ini. Hasil studi kasus di 10 desa
menunjukkan cerita insiatif warga yang dapat dijadikan contoh baik
dalam konteks bekerjanya model demokrasi deliberatif. Namun di
sisi lain, studi ini juga menyuguhkan kisah-kisah tentang minimnya
atau betapa pasifnya insiatif warga dalam ruang demokrasi desa
yang cenderung hanya dimaknai sebagai demokrasi yang bersifat
formal-prosedural semata. Sebagai sebuah proses penghimpunan
pengetahuan terkait inisiatif warga dalam praktik-praktik demokrasi
lokal yang tengah bergulir pada aras desa, hasil studi ini dapat menjadi
proses pembelajaran bersama dan memberikan secercah harapan bagi
tumbuh kembangnya inisiatif warga dalam ruang demokrasi desa.
98
B. Dinamika Inisiatif Warga dalam Ruang Demokrasi Desa
Pentingnya inisiatif warga sebagai warga negara aktif (active
citizen) dalam mendorong tumbuhnya akuntabilitas dan transparansi
pada proses pengelolaan desa merupakan suatu keharusan dan
kondisi ideal yang diamanatkan dalam UU Desa. Kondisi ideal
tersebut merupakan suatu peluang namun sekaligus tantangan dalam
kerangka membangun demokrasi subtantif pada aras desa. Gambaran
ideal terkait bagaimana inisiatif warga memberikan kontribusi yang
signifikan dalam ruang demokrasi desa dideskrisipkan dari beberapa
temuan lapangan dalam penelitian ini. Meskipun di sisi lain, hasil
studi kasus juga menunjukkan masih adanya gejala minimnya inisiatif
warga desa atau bahkan dapat dikatakan pasif dalam merespon isu-isu
publik yang tengah terjadi di desa dan memanfaatkan ruang demokrasi
desa untuk memperjuangkan kepentingan mereka.
Kisah-kisah berikut ini akan bertutur tentang bagaimana dinamika
warga desa dalam merespon isu-isu publik yang terjadi di desa dan
bagaimana warga memanfaatkan ruang demokrasi desa tersebut
dengan berbagai ragam corak atau karakter pemerintahan desa yang
menjadi lokasi penelitian. Dalam setiap kisah pasti terdapat isu yang
menjadi pemicu munculnya inisiatif warga, aktor yang berperan,
rangkaian proses yang dilalui, serta respon pemerintahan desa ter­
hadap inisiatif tersebut. Inisiatif warga muncul saat ada kepentingan
bersama hingga membutuhkan aksi kolektif untuk memenuhinya.
Salah satu isu publik yang krusial yang banyak terjadi di desa wilayah
penelitian adalah pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya alam
untuk peningkatan kesejahteraan menjadi isu publik. Sehingga isu ini
selalu menjadi perbincangan dan sorotan warga desa. Pada titik inilah
kapasitas inisiatif warga diuji: seberapa jauh prakarsa warga dapat
menjangkau semua pemangku kepentingan untuk membangun aksi
kolaboratif, atau justru menghasilkan kemandegan dan fragmentasi.
99
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Inisiatif Warga Berbuah Aksi Kolaboratif
Keberlanjutan Inisiatif warga pada beragam cerita di bab ini
sangat ditentukan oleh kapasitas warga untuk melibatkan beragam
pemangku kepentingan agar terlibat dalam perjuangan agenda publik
yang diusulkan warga. Kapasitas tersebut ditandai dengan adanya
hadirnya aksi kolaboratif yang diinisiasi warga. Kondisi tersebut
tergambar dengan baik melalui pengalaman warga Desa Nglanggeran
dan Sidorejo. Sedikit berbeda, pengalaman Desa Panggungharjo,
Umbulharjo, Punjulharjo, dan Mekar Jaya, inisiatif warga tampak
menguat karena kuatnya dorongan dan berjalan beriringan dengan
kemauan pemerintah desa yang responsif dalam membuka ruangruang publik desa. Dorongan tersebut mewujud dalam berbagai
inovasi pemerintah desa, sehingga menyediakan habitus yang subur
bagi berseminya inisiatif warga.
Sebagaimana telah sedikit dipaparkan sebagai pembuka bab ini,
Desa Nglanggeran, Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunungkidul
memiliki pengalaman sangat menarik dalam dinamika inisiatif
warga untuk pengelolaan sumberdaya alam. Pengembangan aset
lokal berupa gunung api purba menjadi desa wisata merupakan isu
publik yang cepat menjadi perhatian warga seiring perkembangan
Gunung Kidul sebagai destinasi wisata alternatif di Daerah Istimewa
Yogyakarta yang digerakkan kaum muda Nglanggeran. Pada tahun
1999 dan era sebelumnya, kelompok pemuda desa masih terpecahpecah dalam wadah karang taruna di dusun masing-masing. Dalam
situasi perekonomian desa yang masih “minus”, sarana dan saluran
komunikasi yang terbatas, keadaan tersebut menjadi rentan konflik
ketika musim kompetisi antar dusun pada musim perayaan 17an berlangsung.56 Selain itu, kondisi warga yang masih tertekan
56 Saat itu, sering terjadi pertikaian atar kelompok pemuda dusun, terutama di Dusun Nglanggeran Kulon, Nglanggeran Wetan, dan Gunung Butak, yang dipicu aksi saling ejek saat pertandingan olah-raga antar dusun berlangsung.
100
INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA
kemiskinan, mendorong mereka merantau ke luar daerah, bahkan
hingga mengadu nasib ke luar negeri sebagai TKI, misalnya di Korea
dan Taiwan.
Melihat situasi yang tidak produktif tersebut, beberapa aktivis
pemuda berinisiatif menyatukan kelompok pemuda di tiga dusun
menjadi satu wadah bersama, guna memperkenalkan kegiatankegiatan kepemudaan bersama yang positif. Ide tersebut, ketika
dikomunikasikan kepada Hartono, kepala desa saat itu, dan langsung
disetujui. Kades Hartono sangat mendukung gagasan itu, dan dia juga
punya keinginan untuk mewujudkan lahirnya desa wisata, yang saat
itu mulai banyak bermunculan di desa-desa di Kabupaten Gunung
Kidul. Selanjutnya dibentuklah Karang Taruna “Bukit Putra Mandiri”
yang mewakili seluruh organisasi kepemudaan Desa Nglanggeran.
Kekompakan pemuda tersebut meningkatkan kepercayaan peme­
rintah desa terhadap kegiatan mereka. Karena itu pula, melalui Kades
Hartono, Pemerintah Desa tidak ragu mendukung upaya kelompok
pemuda tersebut, dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Kepala
Desa Nglanggeran Nomor 05/KPTS/1999, tertanggal 12 Mei 1999. SK
Kades tersebut mengukuhkan kepercayaan desa dengan memberikan
kewenangan kepada karang taruna untuk mengelola situs gunung
api purba, yang luasnya kurang lebih 48 hektar untuk kepentingan
pengembangan desa wisata.
Karang Taruna “Bukit Putra Mandiri” memperluas jangkauan
pembahasan pengelolaan situs gunung api purba dengan melibatkan
seluruh warga, termasuk para orang tua, dengan memanafaatkan
forum Selasa-Kliwonan. Melalui forum ini bisa dibentuk Kelompok
Sadar Wisata (Pokdarwis) pengelola gunung api purba, dengan
struktur organisasi terdiri dari unsur pemerintah desa, BPD, tokoh
masyarakat, pemuda, perempuan, kelompok tani, kelompok ternak,
pedagang, dan juga warga biasa. Keberadaan perwakilan hampir dari
seluruh lapisan masyarakat desa ini, memudahkan Pokdarwis dalam
101
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
berinteraksi baik dengan pemerintahan desa maupun dengan segenap
lapisan masyarakat. Interaksi antaraktor ini terjadi dalam upaya
pengembangan usaha ekonomi kreatif dalam menyelesaikan pro­
blem, terutama konflik, baik yang diselesaikan secara formal maupun
informal kepada pemerintahan desa dan para tokoh masyarakat.
Selain forum Selasa-Kliwonan yang berisi kegiatan arisan dan
sharing informasi dan pengusulan ide dan pemecahan masalah jika
ada masalah organisasi, Pokdarwis juga mengembangkan ruang
konsolidasi organisasi dan antarwarga. Forum tersebut antara lain: (1)
Forum Malam Rabu (forum sharing mingguan); (2) Forum pengajian
Jumat-Kliwonan (forum pengajian dan sharing informasi dan diskusi
pemecahan masalah); dan (3) Forum informal untuk koordinasi
yang sifatnya bisa insidental dan sering dilakukan harian. Forum
ini juga memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dengan
menggunakan fasilitas internet, termasuk group WA dan BBM.
Melalui forum-forum yang dilakukan, Pokdarwis telah berhasil
merumuskan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepenti­
ngan desa wisata Nglanggeran dengan tetap memperhatikan
kepentingan lainnya yang lebih luas. Sebagai contoh, Pokdarwis
menetapkan honorarium harian tim lapangan yang besarannya tidak
boleh melebihi upah harian buruh batu di Nglanggeran, maksimal
sama dengan upah harian tukang batu. Hal ini dimaksudkan menjaga
keseimbangan distribusi pekerjaan di Desa Nglanggeran, sehingga tidak
ada kelangkaan tukang batu, yang memang selalu menjadi kebutuhan
masyarakat ketika hendak membangun. Selain itu, Pokdarwis juga
menjamin distribusi resources yang relatif seimbang dan proporsional
dengan membentuk kelompok homestay dan kelompok dagang yang
melibatkan warga secara merata.
Secara internal, Pokdarwis juga melaporkan keuangan organisasi
dalam forum pertemuan rutin anggota. Akuntabilitas organisasi juga
102
INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA
diupayakan dengan cara mempekerjakan 3 orang bendahara. Hal ini
dimaksudkan agar pengelolaan uang tidak terkonsentrasi pada satu
orang saja, agar supaya risiko penyalahgunaan pengelolaan keuangan
bisa dikurangi. Mereka meyakini bahwa dominasi satu atau sedikit
orang bisa menimbulkan kerentanan organisasi.
Inisiatif warga Nglanggeran yang mampu mengembangkan situs
gunung api purba hingga terkenal sampai tingkat internasional, bahkan
masuk sabagai kawasan geopark yang diakui UNESCO, tidak terlepas
dari kondisi lingkungan sosial dan politik yang melatarbelakanginya.
Warga Nglanggeran dikenal sebagai masyarakat yang gu­yub dimana
harmoni dengan tradisi masih terjaga dengan baik. Kegu­yuban tersebut
ditopang oleh adanya forum-forum warga yang telah membuka
ruang publik yang kondusif bagi berkembangnya demokrasi lokal.
Keberadaan Kades yang berasal dari “warga kebanyakan”, dekat dengan
warga, terbuka, dan berintegritas mampu melahirkan kepercayaan dan
pada gilirannya menyuburkan partisipasi. Karakter kepemimpinan
desa yang terbuka, partisipatif dan responsif merupakan kondisi yang
makin memungkinkan tumbuh dan berkembangnya inisiatif warga.
Kuatnya inisiatif warga yang didukung oleh pemerintah desa
terjadi pula di Desa Sidorejo, Kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon
Progo. Bahkan ada yang khas di desa ini, manakala kaum difabel
melakukan gerakan inklusi yang mampu mendorong pemerintah desa
untuk mengalokasikan anggarannya bagi program pemberdayaan
kaum difabel, yaitu program pembangunan aksesibilitas pelayanan
publik bagi kaum difabel.57 Gerakan inklusi yang dilakukan kelompok
difabel di Desa Sidorejo telah mampu mendorong perubahan relasi
yang signifikan antara pemerintah desa dengan kelompok difabel.
57 Keberhasilan ini yang menjadikan Desa Sidorejo pada tanggal 24-27 Agustus 2016 lalu, menjadi tuan rumah Temu Inklusi Nasional kedua, sebuah gelaran para penyandang disabilitas
pada tingkat nasional sekaligus mendeklarasikan Desa Sidorejo kepada publik sebagai Desa
Inklusif.
103
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Aktivitas-aktivitas yang diselenggarakan oleh Forum Difabel Sidorejo
(FDS) juga dinilai mampu mengubah cara pandang masyarakat
Sidorejo terhadap kaum difabel.58 Perkembangan relasi produktif
antara kaum difabel dengan masyarakat desa ini menghasilkan
program pembangunan aksesibilitas dan pembinaan ekonomi kepada
difabel.
Fenomena di Sidorejo ini merupakan pembelajaran yang menarik
mengingat gerakan kaum difabel di Indonesia sejauh ini masih memiliki
sejumlah tantangan fundamental baik ke dalam maupun ke luar. Ke
dalam, gerakan difabel masih belum memiliki kesamaan cara pandang
terkait persoalan-persoalan yang mereka hadapi sehingga formulasi
gerakan belum terumuskan secara kuat. Meskipun demikian, harus
diakui bahwa kesadaran kaum difabel mengalami peningkatan pesat
seiring dengan semakin banyaknya organisasi difabel di Indonesia.
Sedangkan ke luar, organisasi difabel masih belum memiliki jaringan
kuat dengan gerakan sosial lainnya. Penerimaan masyarakat pada
umumnya terhadap gerakan inipun masih belum terlihat signifikan
karena adanya sejumlah faktor, terutama terkait dengan cara pandang
masyarakat terhadap difabel (Salim, 2015). Artinya, membangun suatu
gerakan yang di dalamnya berisi penyandang disabilitas memiliki
tantangan berlipat-lipat jika dibandingkan dengan gerakan yang di
dalamnya berisi “orang-orang normal”.
Bagi FDS, upaya untuk mengorganisir kaum difabel untuk
berhimpun dalam satu wadah gerakan menghadapi sejumlah tantangan
yang cukup berat. Secara eksternal mereka berhadapan dengan
stigma dari masyarakat yang selama dilekatkan kepada kaum difabel.
Berbagai stigma dari masyarakat sampai sekarang ini masih melekat
kuat pada kaum difabel. Mereka dianggap sebagai manusia cacat, buta,
58 Salah satu bukti adanya perubahan cara pandang masyarakat dalam melihat kaum difabel
terlihat nyata dengan terpilihnya Wahyu Adi Nugroho sebagai salah satu Kepala Dukuh
Senden. Nugroho adalah salah satu aktivis difabel yang selama ini aktif menggorganisir dan
menggerakkan kaum difabel di Sidorejo.
104
INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA
tuli, bisu, tidak bisa berjalan, kerdil, cebol, dan sebagainya. Mereka
dianggap tidak normal seperti manusia pada umumnya yang disikapi
masyarakat kita dengan perasaan risih.59 Oleh sebab itu sebagian
masyarakat lalu meminggirkan kaum difabel dalam gerak dinamika
keseharian yang berlangsung di lingkungannya. Berdekatan dengan
kaum difabel dikhawatirkan akan membuat mereka yang normal akan
tertulari ‘dosa’ yang diidap kaum difabel. Sementara, secara internal
para penyandang disabilitas tidak memiliki kepercayaan diri untuk
mengorganisir diri dan melakukan sesuatu secara bersama-sama.
Jika ditelusuri kembali naskah-naskah lama dan realitas hubungan
yang terbangun antara orang difabel dengan kekuasaan, terdapat relasi
yang bersifat unik dan eksotik. Berbagai cerita masa lalu yang terekam
dalam naskah-naskah sejarah Jawa menunjukkan kaum difabel
atau disebut sebagai abdi polowijan memiliki posisi yang khusus di
hadapan raja. Ada diantara mereka yang dianggap sebagai klangenan
raja atau abdi dalem kesayangan raja (Janutama, 2015).60 Tidak jarang
mereka juga dianggap sebagai manusia yang memiliki daya linuwih,
memiliki kemampuan lebih dibandingkan manusia kebanyakan dalam
banyak hal.61 Posisi yang demikian tentu berbeda dengan cara pandang
manusia modern. Cara pandang modernis melihat kesempurnaan
adalah yang utama, yang baik adalah yang sempurna. Sementara yang
cacat adalah buruk karena dianggap tidak sempurna. Cara pandang
manusia modern inilah yang melingkupi sebagian besar kita dalam
memandang difabel.
59 Bahkan, sebagian masyarakat ada yang memandang difabel sebagai kelompok masyarakat
yang diliputi dosa. Cacat dianggap sebagai semacam kutukan yang mesti mereka terima
karena kesalahan yang pernah dilakukan keluarganya atau kesalahan-kesalahan yang pernah
mereka lakukan di masa lalu.
60 Polowijan adalah istilah untuk menyebut bagian masyarakat tradisional yang menyandang
cacat atau difabel.
61 Kadangkala polowijan diposisikan raja sebagai penasehat spiritual serta memimpin kegiatankegiatan laku spiritual tertentu.
105
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Bagi aktivis yang selama ini melakukan kerja-kerja advokasi
kelompok difabel, mengubah cara pandang masyarakat kebanyakan
terhadap kaum difabel adalah tantangan paling berat yang mesti
ditaklukkan pertama kali.62 Pengalaman gerakan difabel di Sidorejo
menunjukkan mereka bisa eksis dan bisa mempengaruhi kebijakan
pemerintah desa dengan sejumlah tahapan. Pertama, dengan meng­
himpun diri dan mendirikan organisasi di tingkat desa. Difasilitasi oleh
SIGAB, Nugroho dan Sarjiyo berhasil membentuk suatu organisasi di
tingkat desa yang diberi nama Forum Difabel Sidorejo (FDS). Kedua,
membangun kapasitas anggota melalui kegiatan-kegiatan pelatihan
dan pembangunan jaringan. Dalam kegiatan-kegiatan yang mereka
lakukan; pelatihan maupun pertemuan-pertemuan rutin mereka sering
menggunakan balai desa sebagai tempat kegiatan.63 Ketiga, melakukan
pendataan jumlah penyandang disabilitas di desa serta permasalahan
yang mereka hadapi. Keempat, melakukan pengkajian atas masalah
yang mereka hadapi. Hasil kajian yang dilakukan lalu disampaikan
kepada pemerintah desa, BPD dan unsur-unsur masyarakat yang ada
di desa. Dan kelima, membangun kerjasama dengan pemerintahan
desa dalam rangka mencari solusi atas persoalan-persoalan yang
dihadapi difabel.
Dari rute pembangunan gerakan dan advokasi yang dilakukan
FDS, disadari atau tidak, mereka dipengaruhi oleh pendekatan Social
62 Salah satu tolok ukur yang dipandang sebagai keberhasilan FDS mengubah cara pandang
masyarakat terhadap difabel adalah dengan terpilihnya Wahyu Adi Nugroho atau biasa dipanggil Nugroho sebagai Kepala Dukuh Senden. Nugroho adalah salah satu aktivis difabel
yang selama ini aktif menggorganisir dan menggerakkan kaum difabel di Sidorejo.
63 Menggunakan balai desa sebagai tempat pertemuan tersebut kelihatannya sederhana namun
sebenarnya memiliki tujuan strategis. Menurut penuturan Sarjiyo, hal itu dilakukan agar para
penyandang disabilitas mau keluar rumah. Sekaligus juga sebagai upaya untuk mengubah
cara pandang perangkat desa terhadap difabel, dan upaya agar mereka lebih memahami persoalan-persoalan yang dialami oleh kaum difabel. Dalam menyelenggarakan pertemuan-pertemuan, FDS sering difasilitasi oleh SIGAB (Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel). sebuah
NGO yang berada di Yogyakarta yang concern melakukan kerja-kerja advokasi difabel.
106
INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA
Model of Disability dalam melihat persoalan difabel. Pendekatan ini
memiliki cara pandang yang melihat difabel tidak semata-mata sebagai
kekurangan fisik dan biologis. Lebih dari itu, disabilitas dilihat sebagai
penindasan di mana struktur sosial yang ada telah meminggirkan
mereka dari dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang berlangsung.
Dengan asumsi dasar ini maka Social Model of Disability mengubah cara
pandang permasalahan difabel dari kekurangan fungsional, psikologis,
dan kognitif yang dimiliki individu kepada struktur masyarakat
yang secara sistematis menindas dan mendiskriminasi kaum difabel
(Ro’fiah, 2015).64 Pendekatan ini juga meyakini penanganan persoalan
disabilitas adalah melalui politisasi, pemberdayaan, dan penegasan
hak-hak kaum difabel sebagai warga negara.
Gerakan yang dilakukan FDS telah mampu mengatasi berbagai
hambatan utama yang selama ini menyumbat gerakan sosial, khususnya
gerakan difabel. Secara internal, meskipun mereka masih terus
berproses, telah muncul kesadaran tentang pentingnya “bergerak”
dan “pergerakan”. Transformasi dan penguatan kapasitas digunakan
sebagai kata kunci untuk memperkuat organisasi serta memperteguh
tujuan gerakan. Paralel dengan kerja-kerja ke dalam, mereka juga terus
memperkuat jaringan ke luar desa.
Dalam narasi besar teori gerakan sosial, apa yang dilakukan oleh
FDS bisa dikategorikan sebagai gerakan sosial baru (GSB). Merujuk
pada pandangan Singh (2001), tujuan GSB adalah untuk menata
kembali hubungan negara dengan masyarakat dan masyarakat dengan
ekonomi. Selain itu, GSB juga melakukan dorongan terciptanya ruang
publik yang memungkinkan masyarakat bisa saling berkontestasi
gagasan tentang isu seputar demokratisasi, otonomi, kebebasan
individu, kolektivitas, serta identitas (Singh, 2001). GSB juga
64 Pendekatan dengan cara pandang ini tentu berbeda dengan pendekatan Medical Model of
Disability. Dalam pendekatan Medical Model of Disability, penanganan terhadap disabilitas
dilakukan dengan cara rehabilitasi dan metode-metode pengobatan secara medik.
107
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
mendorong terwujudnya representasi yang lebih substantif ketika
struktur politik negara tidak mampu menyuarakan aspirasi mereka.
Dengan demikian, kehadiran GSB merupakan bentuk perlawanan
atas kekosongan representasi substantif yang selama ini dibajak oleh
kekuatan-kekuatan politik dominan yang berkuasa. Karena itu mereka
berusaha menciptakan dan menyerukan struktur yang lebih responsif
terhadap kebutuhan-kebutuhan individu dengan membangun struktur
yang terbuka, terdesentralisasi dan non hirarkis.
Serupa dengan pengalaman Nglanggeran dan Sidorejo, Desa
Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul menjadi contoh
baik interaksi antara warga yang aktif dengan pemerintahan yang
rensponsif. Di Panggungharjo, inisiatif warga tumbuh subur karena
pemerintah desa telah merubah corak tata kelola pemerintahan desa
yang sebelumnya tertutup menjadi model pemerintahan desa yang
terbuka yang menempatkan transparansi dan akuntabilitas sebagai
nilai dasar pengelolaan pemerintahan desa. Dampak perubahan dari
model pemerintahan desa yang terbuka dan responsif memunculkan
banyaknya forum-forum warga yang aktif dalam upaya terlibat dalam
proses pembangunan desa.
Praktik tata kelola Pemerintah Desa Panggungharjo yang terbuka
dan responsif dapat diamati pada pelaksanaan Musrenbangdes. Sebagian
besar warga yang aktif di perkumpulan di tingkat RT atau Pedukuhan
mengetahui perencanaan dan pelaksanaan program yang dilakukan
Pemerintah Desa Panggungharjo. Warga mengetahui laporan
informasi penyelenggaraan pemerintahan desa melalui perkumpulan
di tingkat RT atau pedukuhan.65 Tidak hanya itu, sosialisasi kegiatan
65 Forum di tingkat Rukun Tetangga (RT) selalu menjadi basis berkegiatan warga di setiap
pedukuhan di Desa Panggungharjo. Di RT 03 Pedukuhan Krapyak Wetan misalnya, terdapat
perkumpulan dasawisma untuk ibu-ibu dan perkumpulan pengajian atau tahlilan untuk
bapak-bapak. Pertemuan kelompok perempuan yang tergabung dalam dasawisma tingkat RT
biasanya digelar minggu pertama setiap bulan. Perkumpulan kelompok perempuan tersebut
tidak hanya menggelar pengajian, tapi juga menggelar arisan bahkan termasuk membahas
108
INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA
dan pertanggungjawaban desa biasanya disampaikan di forum Pakarti
dan Pandu yang biasanya digelar di pelataran Masjid atau Musholla yang
bertebaran di setiap pedukuhan. Saat ada perencanaan pembangunan
yang digelar pemerintah desa, warga melakukan musyawarah dari
tingkat bawah untuk membahas program apa yang akan diusulkan
dan penting dilaksanakan. Usulan tersebut disampaikan ke desa
melalui dukuh masing-masing. Puncaknya pada saat pelaksanaan
musrenbang tingkat desa pada bulan Agustus 2016 lalu di Balai Desa
Panggungharjo. Dalam Musdes tersebut, peserta yang hadir kurang
lebih 100 orang warga berasal dari berbagai macam representasi latar
belakang sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Bahkan Musdes yang
membahas perihal RKPDesa (Rencana Kegiatan Pemerintah) Desa
Panggungharjo Tahun Anggaran 2017 itu, hampir 50% peserta yang
hadir adalah kaum perempuan.
Dalam berkebudayaan, masyarakat desa ini dapat dikategorikan
masyarakat yang aktif, kreatif, dan menjujung tinggi nilai-nilai budaya
tradisional. Keaktifan dan kreatifitas masyarakat dapat ditilik dari ra­
gam komunitas kewargaan desa, seperti komunitas seni, budaya, kuli­
ner, obat tradisional, perawatan warisan budaya (heritage), kerajinan
dan kriya yang sejauh ini saling berinteraksi secara inklusif tanpa
menciptakan sekat-sekat sosial. Dan sebaliknya justru mendorong
adanya pembauran sosial. Mereka semua memperoleh akses yang
sama di memberikan masukan perihal pembangunan desa kepada
pemerintah desa melalui RT dan Dukuh. Kemunculan dan beragamnya
forum-forum warga aktif yang tidak hanya berbasis wilayah namun
juga sektoral mendorong semakin kuatnya kohesifitas sosial dan
mendorong terbangunnya inklusitas sosial di desa. Rekatan-rekatan
dan merespon isu kebersihan lingkungan dengan berinisiatif membentuk lingkar bank sampah warga. Dalam setiap pertemuan tersebut, ibu-ibu membawa sampah non-organik yang
berasal dari rumah tangga masing-masing. Selanjutnya, sampah tersebut disetor ke pengurus
BUMDesa Panggung Lestari Desa Panggungharjo.
109
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
tersebut digerakkan melalui komunitas-komunitas yang berkembang
di setiap pedukuhan Desa Panggungharjo. Rekatan yang berasal dari
inisiatif warga selanjutnya menjadi gayung bersambut bagi Pemerintah
Desa Panggungharjo dalam merumuskan visi misi pembangunannya.
Tiga hal yang dianggap penting sebagai perekat mewujudkan pemba­
ngunan desa ialah inisiasi desa budaya, menggerakkan remaja untuk
mewujudkan desa sehat, dan pengaturan rumah sewa atau kos-kosan.
Salah satu inisiatif warga yang difasilitasi oleh Pemerintah Desa
adalah pembentukan Paguyuban Bumi Panggung. Pembentukan
Paguyuban Bumi Panggung merupakan langkah strategis pemerintah
desa untuk menyiapkan Desa Panggungharjo sebagai rintisan desa
budaya. Bumi Panggung merupakan implementasi dari inisiatif
warga untuk berkesenian. Banyaknya komunitas seni dan budaya
yang bertebaran di Desa Panggungharjo menjadi momentum untuk
mewujudkan desa destinasi wisata seni. Inisiatif kelompok kesenian ini
kemudian mendapatkan respon dari kepala desa dengan membentuk
dan melantik kepengurusan Bumi Panggung. Kepengurusan
Paguyuban Bumi Panggung sebagian besar diisi oleh kalangan pemuda.
Melalui Bumi Panggung, para pemuda Desa Panggungharjo memiliki
arena untuk berkreasi dan berbudaya.66 Bahkan, untuk mewujudkan
Desa Panggungharjo menjadi desa budaya, warga bersama pemerintah
desa berinisiatif memasukkan konsep tersebut dalam perubahan
Peraturan Desa Nomor 4 Tahun 2013 tentang Rencana Pembangunan
jangka Menengah Desa Tahun 2013-2017.67
66 Bumi Panggung sebagai wadah paguyuban di Desa Panggungharjo telah melaksanakan pagelaran seni yang disebut Panggung Literasi Selatan. Panggung Literasi Selatan merupakan inisiatif warga desa untuk mewadahi para pelaku seni dan pertunjukan yang tersebar di segenap
pelosok desa, terutama di wilayah Selatan yang kebetulan berdekatan dengan kampus ISI
Yogyakarta.
67 Khususnya di penjelasan tujuan dan sasaran Pemerintah Desa Panggungharjo mengemban
salah satu misi peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian seni budaya dan
tradisi lokal.
110
INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA
Selain isu terkait desa budaya, hal lain yang cukup menarik
dari Desa Panggungharjo adalah adanya inisiatif warga desa tentang
isu perlindungan hak anak. Pemerintah desa bersama dengan anakanak dan para remaja desa berinisiatif membentuk forum anak
Desa Panggungharjo yang ditetapkan melalui Surat Keputusan
Lurah Nomor 10 Tahun 2015 sebagai suatu bentuk keberpihakan
pemerintah desa kepada pemenuhan dan perlindungan hak anak.
Narasi–narasi tersebut menandai adanya kemauan kuat Pemerintahan
Desa Panggungharjo untuk memberi akses bagi hadirnya inisiatif
warga dalam membangun desa. Geliat aktif warga desa ini merupakan
suatu bukti bahwa apabila pemerintahan desa dapat merawat prakarsa
warga secara baik akan memunculkan ruang-ruang demokrasi yang
lebih bermakna di tingkat desa.
Sementara di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan,
Kabupaten Sleman, isu pengelolaan sumberdaya air merupakan hal
yang sangat krusial bagi sebagian besar warga Desa Umbulharjo,
sebuah desa yang terletak di kaki Gunung Merapi. Inisiatif warga
dalam pe­ngelolaan air bersih muncul dari sejarah panjang bagaimana
warga desa berupaya memenuhi kebutuhan air bersih. Pada awalnya,
mereka memenuhi kebutuhan air untuk mandi dan mencuci harus
bersusah payah mengakses sumber air dari sungai kecil yang bernama
kali kuning. Sedangkan air bersih untuk kebutuhan rumah mereka
harus membawanya dengan “ngangsu” dari bawah yakni dari Umbul
Temanten.68 Bagi warga yang mampu, mereka memasang selang
sendiri untuk membawa air ke rumahnya. Hal ini terus berlangsung
sampai tahun 1997-1998 saat pemerintah pusat melaksanakan P3DT
(Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal) de­
ngan pembangunan prasarana air bersih, salah satunya membuat bak
68 “Ngangsu” adalah istilah dalam bahasa jawa yang berarti mencari dan mengambil air dengan
cara manual dari suatu tempat. Umbul Temanten adalah salah satu mata air utama di Desa
Umbulharjo yang terletak di Lereng Merapi.
111
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
penampungan air.69
Setelah adanya bak penampungan air, mulailah muncul inisiatif
warga desa melalui dana swadaya membuat instalasi pipa untuk
menyalurkan air dari bak penampungan air hingga ke rumahnya.
Sayangnya, inisiatif warga ini masih bias kepentingan rumah
tangga yang mampu atau yang dekat dengan sumber mata air saja.
Akibatnya hanya warga desa yang berada di dekat bak penampungan
air dan mampu yang dapat mengakses air. Warga yang jauh dari
bak penampung dan tidak memiliki dana sulit untuk mendapatkan
air bersih. Hal ini me­nunjukkan bahwa inisiatif warga baru muncul
setelah adanya stimulus program dari pemerintah dan di sisi lain
juga menunjukkan masih kurangnya kesadaran sebagian warga
desa untuk berbagi sumber daya air kepada warga desa lainnya yang
membutuhkannya. Merespon permasalahan tersebut, pemerintah
Desa Umbulharjo pada tahun 1998 berinisiatif untuk terlibat dalam
pengelolaan air bersih. Pemerintah desa mengundang beberapa
tokoh masyarakat dari beberapa dusun untuk membentuk Organisasi
Pengelola Air Bersih (OPAB). Proses pembentukan pengurus OPAB
ditentukan melalui musyawarah mufakat. Setelah terbentuknya
OPAB, sumberdaya air mulai dapat terdistribusi kepada semua warga
secara merata.
Pengelolaan sumberdaya air merupakan isu publik yang
sangat penting di Desa Umbulharjo, sehingga isu tersebut selalu
mendapat perhatian dan sorotan warga desa. Warga desa aktif
mengartikulasikan suaranya terkait pengelolaan sumberdaya air ter­
utama, jika ada permasalahan yang dirasa memberatkan warga desa.
Untuk merespon suara-suara warga terkait permasalahan penge­
lolaan sumberdaya air tersebut, pemerintahan Desa Umbulharjo
69 Program ini bersumber dari Bappenas dan diimplementasikan pada tahun 1997-1998 dalam
bentuk penyedian sarana prasana air bersih berupa pipa saluran air dari sumber mata air dan
bak-bak penampungan air di setiap dusun.
112
INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA
melalui Badan Permusyawatan Desa (BPD) berinisiatif membuat
buku aspirasi. Warga Desa Umbulharjo juga terbiasa menyalurkan
aspirasinya melalui rapat-rapat Rukun Tetangga (RT) dan bahkan
menyampaikannya secara langsung kepada perangkat desa dan kepala
desa.
Berbagai permasalahan yang muncul baik internal maupun
eksternal tidak menyurutkan pelayanan OPAB kepada warga desa
Umbulharjo. OPAB terus melakukan perbaikan pengelolaan dan pe­
ningkatan pelayanan yang lebih baik bagi warga secara keseluruhan.
Baru-baru ini OPAB sedang melakukan program pemasangan water
meter. Program tersebut dilakukan sebagai jalan keluar dari polemik
kecemburuan distribusi air diantara warga.70 Pemasangan water meter
dipandang sebagai solusi untuk mengukur penggunaan air agar terjadi
proses yang adil bagi semua penerima manfaat dalam memanfaatkan
sumberdaya air. Agar tidak membebani warga desa selaku pengguna,
pengurus OPAB berinisiatif untuk mencari sumber pendanaan dari
program-program pembangunan, mulai dari program Rekompak
hingga menggunakan Dana Desa.71 Hal tersebut dilakukan oleh pe­
ngurus OPAB dikarenakan banyak warga yang menolak untuk
dipasang water meter karena khawatir jika terpasang water meter aliran
air tidak akan lancar. Mereka menunggu bukti ketika dipasang water
meter dan diatur pengelolaannya dengan tarif maka aliran air akan
lancar dan teratur. Oleh karena itu, pengurus kemudian membuat pilot
70 Sebelum adanya water meter, warga hanya dibebankan iuran tetap Rp. 4.000,- per bulan
tanpa mempedulikan penggunaan debit air yang digunakan. Namun, seringkali beberapa
warga yang berada di daerah bawah tidak bijak dalam menggunakan air. Mereka membiarkan air mengalir hingga meluap padahal ada warga lain yang rumahnya berada di atas tidak
mendapatkan air karena semua air mengalir ke bawah.
71 Rekompak (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas) merupakan program dari pemerintah pusat yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) bersama Ditjen Penataan Bangunan dan Lingkungan Cipta Karya,
Kementerian PU paska erupsi Merapi 2010
113
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
project di dusun Pentingsari untuk program pemasangan water meter. 72
Praktik baik ini segera disosialisasikan ke seluruh warga desa
dan program dilanjutkan di dusun Karanggeneng, Gambretan, dan
sebagian Balong yang belum terpasang semua. Beberapa dusun sudah
menyetujui untuk pemasangan alat pengukur pemakaian air tersebut.
Hanya Dusun Gondang yang masih menolak untuk dipasang water
meter. Padahal, Gondang merupakan dusun yang banyak berdiri
pondok wisata, semacam penginapan-penginapan kecil. Pemakaian
air di pondok wisata relatif lebih besar dibandingkan dengan
pemakaian rumah tangga biasa. Penolakan tidak hanya dari pemilik
pondok wisata, tetapi masyarakat lain juga menolak. Penolakan ini
lebih disebabkan kurangnya kesadaran para pelaku usaha wisata dan
warga untuk berbagi pemanfaatan air dan sarat dengan kepentingan
ekonomi mereka. Pemerintah desa dan pengurus OPAB masih terus
memberikan sosialisasi kepada warga Gondang terkait water meter ini
melalui pertemuan-pertemuan warga.
Selain permasalahan pengelolaan dan pelayanan sumberdaya air
oleh OPAB dalam rangka melayani kebutuhan air bersih bagi warga
Desa Umbulharjo, pemanfaatan sumberdaya air tersebut juga me­
nimbulkan permasalahan lain karena sumberdaya air tersebut juga
dimanfaatkan oleh pihak pengelola lainnya yakni Perusahaan Air
Minum Daerah (PDAM) Tirta Marta yang merupakan perusahaan
daerah Kota Yogyakarta dan PDAM Tirta Dharma yang dimiliki oleh
pemerintah Kabupaten Sleman. Permasalahan yang cukup krusial
adalah belum adanya peraturan yang jelas diantara para pengelola
sumberdaya air tersebut. Bahkan beberapa pihak pengelola tidak
72 Pentingsari dipilih untuk pilot project karena masyarakatnya yang relatif lebih mudah diajak
melakukan perubahan dan mereka membuka diri dengan hal-hal yang baru. Hasilnya, setelah
water meter terpasang aliran air bersih di dusun menjadi lebih lancar.
114
INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA
pernah memberikan kontribusi bagi hasil yang jelas kepada Desa
Umbulharjo. Dana bagi hasil pengelolaan air dari perusahaan maupun
desa lain tidak dipatok pada biaya tertentu. Hal tersebut dikarenakan
belum ada keputusan bersama terkait pemeliharaan Umbul Wadon.
Padahal, dana tersebut sangat dibutuhkan untuk pemeliharaan jaringan
dan menjaga kelestarian sumber mata air. Saat ini baru PDAM Tirta
Marta yang memberikan iuran perawatan kepada desa Umbulharjo
sejumlah Rp.7.000.000,- pertahun, dan PDAM Tirta Darma Rp.
2.500.000,-pertahun.
Berbagai permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air ter­
sebut pada akhirnya mendorong inisiatif warga bersama pemerintah
desa serta BPD untuk mengelola sumberdaya air sebagai bagian dari
unit usaha BUMDesa.73 Inisiatif ini mampu diartikulasikan hingga
berdiri BUMDesa melalui forum musyawarah desa (Musdes) yang
mengelola air bersih melalui unit usahanya. Pemerintah desa, BPD,
dan BUMDesa serta warga desa berharap bahwa dengan dikelola oleh
BUMDesa maka pengelolaan air ke depan dapat lebih profesional
tanpa meninggalkan kearifan lokal yaitu gotong royong dan swadaya
masyarakat serta tarif yang dapat diterima oleh semua pihak.
Kisah prakarsa warga terkait dengan pengelolaan sumberdaya
alam dan aset desa dapat juga dilihat dari apa yang terjadi di Desa
Punjulharjo, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang.74 Isu
publik yang mengemuka di Desa Punjulharjo tentang pengelolaan
kawasan pantai Karang Jahe Beach (KJB) sebagai kawasan wisata
baru di Rembang. Beberapa permasalahan yang terjadi dalam konteks
73Pilihan terhadap BUMDes sebagai suatu model pengelolaan barang kepentingan untuk
umum (public goods) merupakan suatu solusi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan asset
desa yang relatif berkeadilan dalam hal distribusi barang kebutuhan umum warga. Dengan
syarat dikelola secara professional yang mengedepankan prinsip akuntablitas dan transpa­
ransi serta tanpa meninggalkan kearifan lokal serta partisipasi warga desa.
74 Dikenal sebagai desa dengan karakter desa pesisir Pantai Utara Jawa yang relatif kental de­
ngan nuansa budaya santri yang cenderung paternalistik dan patriarkhis.
115
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
pengelolaan kawasan wisata itu antara lain; kasus tukar guling tanah
milik desa yang akan dijadikan kawasan wisata dengan tanah milik
warga yang berada di lokasi wisata tersebut; transparansi pengelolaan
keuangan KJB; serta masalah penempatan lokasi berdagang bagi warga
desa yang ingin berjualan di lokasi wisata tersebut.
Untuk mencari solusi atas permasalahan tukar guling tanah
yang belum rampung, sebagian warga yang terdampak meng­
gunakan saluran formal yakni Musyawarah Desa (Musdes) untuk
menyampaikan kepentingan mereka.75 Selain menggunakan saluran
formal melalui Musdes, warga pernah melakukan demonstrasi
kepada mantan Kades berkaitan dengan masalah tukar guling yang
menurut masyarakat pengurusannya tidak kunjung selesai. Saat itu,
puluhan ibu-ibu yang berdemonstrasi mendatangi kediaman mantan
lurah untuk menanyakan penyelesaian soal tukar guling. Mereka
memperoleh penjelasan: pertama, bahwa belum semua warga yang
ikut program tukar guling membayar secara lunas, dan kedua, saat
demonstrasi tersebut terjadi, aturan tukar guling harus sepengetahuan
gubernur. Namun sa­
yangnya, demonstrasi warga tersebut masih
belum membuahkan hasil berupa kepastian hukum terhadap proses
tukar guling pada warga, sekalipun ada warga yang telah membayar
lunas.
Selain masalah tukar guling, isu krusial lainnya terkait pengelolaan
KJB adalah transparasi pengelolaan keuangan KJB yang dinilai warga
kurang dapat dipertanggungjawabkan pengelola KJB. Berangkat
dari kondisi tersebut, sebagian warga desa berinisiatif mengusulkan
perubahan kelembagaan pengelola KJB yang kemudian diubah menjadi
Badan Pengelola KJB (BP KJB). Dalam badan pengelola tersebut ada
unsur BPD, pemerintah desa, PKK, mantan pengurus Karang Taruna
dan unsur-unsur lain. Dengan diperluasnya unsur-unsur pemangku
75 Sampai penelitian ini selesai diselenggarakan, belum ada solusi atas permasalahan tersebut.
116
INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA
kepentingan yang duduk dalam BP KJB, maka kepercayaan warga
terhadap pengelola KJB meningkat. Kontrol terhadap pengelolaan
KJB dilakukan oleh wakil-wakil warga dalam badan itu. Penyelesaian
atas persoalan-persoalan tersebut dalam BP KJB, biasanya ditempuh
de­ngan cara musyawarah.
Selain forum formal, terdapat semacam tradisi-tradisi lokal
yang sering dilakukan warga untuk menyampaikan gagasan, aspirasi
dan inisiatif warga terkait pengelolaan KJB, seperti forum tahlilan
di masing-masing RT, forum pengajian di masjid, serta obrolan di
warung-warung kopi yang banyak terdapat di Desa Punjulharjo. Pada
umumnya setelah diskusi dalam forum-forum informal tersebut,
ditindaklanjuti dalam forum formal di tingkat desa. Bahkan warga
masyarakat juga bisa mendatangi kepala desa secara personal dan
pihak BPD serta tokoh agama untuk menyampaikan permasalahan
mereka terkait dengan KJB. Peran tokoh agama masih relatif kuat
dan berpengaruh di Desa Punjulharjo yang merupakan lingkungan
masyarakat pesantren.
Saluran-saluran di atas dipandang cukup efektif untuk menyalur­
kan inisiatif warga. Apalagi, selama ini kepala desa cukup akomodatif
menampung keluhan atau aspirasi warga yang rasional. Menurut ketua
ibu-ibu PKK Desa Punjulharjo, jika memang usulan itu cukup baik
untuk kepentingan warga masyarakat dan tidak melanggar aturan,
biasanya kepala desa akan memperhatikan. Penggunaan ruang-ruang
publik untuk menyampaikan aspirasi dan dialog sudah cukup terbuka.
Warga cukup mampu menyampaikan keinginan dan harapan untuk
disampaikan kepada Kadesnya. Ruang publik sebagai sarana demokrasi
di desa Punjulharjo sudah bisa dirasakan warga masyarakat.76
Meskipun demikian, adanya ruang-ruang publik yang dapat
76 Ruang Demokrasi deliberatif akan sulit berkembang dalam masyarakat yang masih kuat pengaruh budaya paternalistik (parochial) dan patriarkhis, karena demokrasi deliberatif mensyaratkan adanya kesetaraan antara warga dalam membangun diskursus publik.
117
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
menjadi ruang artikulasi bagi inisiatif warga dalam menyampaikan
kepentingannya tersebut, tidak dengan sendirinya menjamin adanya
keterbukaan dan kesetaraan dalam ruang demokrasi desa. Hal
ini dikarenakan masih relatif kentalnya budaya paternalistik dan
patriarkhis di Desa Punjulharjo. Buktinya, hampir semua pelaku
perubahan di desa Punjulharjo didomininasi oleh para tokoh agama
dan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa ruang publik di Punjulharjo
belum sepenuhnya ramah terhadap partisipasi kelompok perempuan,
termasuk di dalamnya dalam hal pengelolaan kawasan wisata KJB.
Senada dengan pengalaman Punjulharjo, Pengalaman di Desa
Mekarjaya, Kabupaten Sukabumi, menunjukkan keterbatasan saluran
komunikasi politik warga melalui jalur demokrasi formal-prosedural
dan keterwakilan di desa, ternyata mampu dipecahkan oleh warga.
Warga Desa Mekar Jaya memanfaatkan saluran komunikasi tradisio­
nal dalam bentuk tradisi “gotong royong” yang masih sangat kuat dalam
membahas berbagai permasalahan atau isu-isu publik yang tengah
menjadi perbincangan warga desa. Di desa ini, gotong royong tidak
hanya sekedar sebuah aktivitas kerjasama fisik dalam membangun
sesuatu, tapi berkembang pula diskusi yang membahas isu-isu publik
atau permasalahan umum yang terjadi di desa. Mulai dari pembahasan
terkait penggunaan alat berat untuk mempercepat pembangunan
lapangan sepak bola desa, diskusi tentang perlu tidaknya perempuan
terlibat dalam pembangunan lapangan sepak bola, masalah peraturan
desa hingga mendiskusikan tentang anggaran desa.
Gotong royong sebagai sebuah modal sosial dimanfaatkan
oleh pemerintah desa sebagai media dan saluran komunikasi politik
antara warga desa dengan pihak pemerintah Desa Mekar Jaya. Situasi
komunikasi yang terbangun dalam kegiatan gotong royong tersebut
relatif terbuka dan dialogis. Warga desa siapapun dia, tidak peduli
tua atau muda, kaya atapun miskin memiliki hak yang sama untuk
118
INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA
menyuarakan aspirasinya. Pemerintah desa melalui kepala desa relatif
hanya berfungsi sebagai fasilitator, sehingga pola komunikasi yang
terjadi bersifat horizontal dengan kedudukan yang setara.
Hal ini dapat ditunjukkan pada saat waktu istirahat di sela-sela
aktivitas gotong royong pembangunan lapangan sepak bola. Ada
seorang tokoh perempuan desa yang mengusulkan pada Kades agar
perempuan diikutsertakan gotong royong pembanguan lapangan
sepak bola. Kepala Desa tidak langsung menjawab, tetapi meminta
pendapat tokoh masyarakat lainnya yang ternyata kurang sependapat
bila perempuan ikut gotong royong membuat lapangan. Alasannya,
disamping lokasi lapangan jauh dari kawasan rumah penduduk,
perempuan tidak banyak memanfaatkan lapangan sepak bola, sehingga
kurang adil bila perempuan harus diikutsertakan. Berbeda dengan
gotong royong membangun masjid, musholla, air bersih dan jalan,
perempuan selalu diikutkan dalam gotong royong dengan bentuk dan
porsi pekerjaan yang disesuaikan dengan kepantasannya. Contoh lain
yang terjadi saat gotong royong pada saat seorang pemuda mengajukan
protes pada Kades tentang permasalahan kelompok pemuda yang
mengajukan usulan dana untuk membuat kolam pemancingan pemuda,
tidak bisa disetujui desa di tahun ini. Kepala Desa menjelaskan bahwa
dana desa tidak bisa dikeluarkan kalau belum masuk dalam APBDes.
Oleh karena itu usulan dari pemuda baru bisa diberikan tahun depan
setelah dimasukan dalam RKPDes dan RAPBDes. Dialog antara
pemuda dan Kades tentang dana desa didengar oleh semua warga desa
berpartisipasi dalam gotong royong tersebut.
Relatif tidak ada sekat-sekat sosial yang muncul dalam tradisi
gotong royong di Desa Mekar Jaya tersebut menunjukkan adanya relasi
kesetaraan dalam budaya warga desa. Jika dimaknai lebih dalam dapat
diartikan bahwa antara nalar warga desa dan nalar pemerintah desa
relatif telah terbangun budaya egaliter yang dapat menjadi semacam
119
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
embrio bagi tumbuh kembangnya demokrasi deliberatif pada aras
desa. Selain itu, inisiatif-inisiatif warga yang muncul dalam setiap
aktivitas gotong royong tersebut merupakan bentuk nyata dari adanya
kesadaran warga aktif untuk terlibat dalam proses pembangunan di
Desa Mekar Jaya.
Tidak sebatas mendiskusikan hal berkaitan dengan aktivitas
sehari-hari warga, gotong royong pun membahas proses pengambilan
keputusan publik terkait dengan peraturan desa, salah satunya
Perdes tentang gotong royong. Ketua LPMD mempunyai ide yang
disampaikan secara langsung Kepala Desa dan anggota BPD bahwa
Perdes gotong royong dianggap sangat penting untuk menjaga dan
melestarikan modal sosial Desa Mekarjaya yang telah terbukti menjadi
kekuatan kemandirian desa. Siapapun kepala desanya, gotong royong
akan menjadi kekuatan utama desa. Jika tidak ada Perdes gotong
royong, dikhawatirkan jika di masa yang akan datang Kades tidak
suka dengan gotong royong, maka kegiatan gotong royong tidak
menjadi bagian kebijakan desa untuk kekuatan pembangunan. Pada
akhir diskusi dalam forum gotong royong tersebut, disepakati akan
diusulkan kepada BPD untuk menyusun Perdes tersebut melalui
forum Musyawarah Desa.
Cerita-cerita tersebut di atas merupakan contoh-contoh mun­
culnya inisiatif warga yang disampaikan di lokasi gotong royong. Hal
ini membuktikan bahwa media gotong royong bisa menjadi forum
warga untuk menyampaikan aspirasinya agar terakomodasi dalam
program desa. Banyak program pembangunan Desa Mekar Jaya yang
berawal dari inisiatif warga yang disampaikan di lokasi gotong royong,
seperti pembangunan jalan, pembangunan jembatan, pengembangan
pertanian organik, dan lain-lain.
Pembelajaran yang bisa diambil dari Desa Mekarjaya ini adalah
adanya fakta sosial bahwa gotong royong warga bisa menjadi kekuatan
120
INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA
desa untuk membantu warga yang miskin tanpa tergantung dengan
bantuan dari luar desa. Sudah menjadi tradisi masyarakat Desa
Mekarjaya dalam hidupnya berbagi dengan warga miskin sekitarnya,
walupun kondisi dirinya tidak berlebihan. Basis penopang kehidupan
keluarga miskin desa ini dari gotong royong warga di lingkungannya.
Mulai dari pernikahan, melahirkan anak, membuat atau memperbaiki
rumah sampai pekerjaan hariannya mendapat dukungan dari warga
di sekitarnya. Warga Desa Mekar Jaya memiliki pandangan hidup
yang menjadi acuan warga : “mandiri walaupun miskin, dan membagi
kepada warga miskin walaupun dirinya tidak hidup dalam kecukupan”.
Pandangan hidup ini merupakan bentuk keyakinan lokal yang dapat
menambah khazahah pengetahuan atas praktik-praktik kehidupan
berdemokrasi di desa-desa yang ada di belahan bumi nusantara ini.
Lemahnya Inisiatif Warga
Selain menorehkan kisah sukses tentang inisiatif warga, ada
pula variasi narasi tentang lemahnya prakarsa warga atau inisiatif
warga yang kuat namun lemah dalam mengkonsolidasikan dukungan
sehingga tidak mendapatkan respon dengan memadai dari pemangku
kepentingan desa. Pengalaman Desa Cangkudu dan Ringinrejo, meng­
gambarkan tentang adanya inisiatif warga namun kurang disambut
baik oleh pemerintah desa. Sementara pengalaman Ngadisari
menunjukkan kuatnya pemerintah desa yang berhimpit dengan
institusi adat justru melemahkan inisiatif warga.
Sebagaimana di Desa Panggungharjo, reformasi birokasi juga
dilakukan oleh Desa Cangkudu, Kecamatan Balaraja, Kabupaten
Tangerang. Desa ini telah berubah karakternya dari wilayah rural
menjadi urban karena perkembangan industri yang ditandai banyak­
nya pendirian pabrik. Pemerintah desa telah melakukan peningkatan
pelayanan publik menjadi makin cepat dan mudah, sehingga warga
121
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
desa pun merasakan manfaatnya. Warga Desa Cangkudu mengakui
apa yang telah dilakukan oleh pemerintah desa sekarang memang
jauh lebih bagus, terutama dalam hal pelayanan administrasi di kantor
pemerintah desa, dibandingkan pemerintahan desa terdahulu yang
dipimpin oleh lurah yang berlatar belakang keluarga jawara.77
Tetapi, reformasi teknokratis-adminitratif ini belum membawa
dampak yang lebih luas dalam mendorong tumbuh kembangnya
inisiatif warga, menciptakan keterbukaan saluran artikulasi warga
dalam ruang demokrasi yang ada di desa. Upaya reformasi birokrasi
di Desa Cangkudu masih terbatas dampaknya pada perubahan
kinerja aparat desa dalam melakukan pelayanan publik, terutama
dalam hal mening­katkan kualitas dan integritas (kedisiplinan dan
kepatuhan terhadap sistem) perangkat desa. Perubahan dalam kinerja
pemerintah desa ini belum mampu membangkitkan gairah warga
untuk berpartisipasi aktif dalam setiap proses pengambilan kebijakan
di Desa Cangkudu.
Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan warga jika mereka
jarang diajak berdialog untuk membahas hal-hal yang penting, se­
perti permasalahan ketenagakerjaan dan masalah konflik warga
dengan pabrik. Menurut warga, meskipun reformasi birokasi telah
menghasilkan pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik
77 Mengacu pada studi Tihami (1992:2000) dalam Hamid (2004), yang menyatakan bahwa
Jawara merupakan individu yang karena kekayaannya dekat dengan para Kiai atau ulama dan
merupakan salah satu elemen kepemimpinan yang sangat berpengaruh di Banten. Dalam
konteks sejarah masyarakat Banten, Jawara adalah sosok tentara fisik, yang pada saat era kolonial para Jawara ini bersama para ulama melakukan perlawanan terhadap Kolonial Belanda.
Secara etimologis, kata Jawara berasal dari bahasa Arab, “Jauharao” yang berarti “Permata”
dan kata “Waro’i” yang berarti orang-orang yang bersih. Namun dalam perkembangannya
makna Jawara telah mengalami transformasi menjadi makna yang berkonotasi negatif yakni
menjadi akronim dari Jalma Wani Rampog (orang yang berani merampok). Berdasarkan
hasil penelitian dari Abdul Hamid (2006:45-63) terkait Peranan Jawara dalam konteks Pe­
nguasaan Politik Lokal di Banten, menunujukkan bahwa Jawara merupakan entitas politik
yang relatif berpengaruh dalam arena percaturan politik di wilayah Banten dan bahkan telah
mengakar dalam setiap sendi kehidupan politik di Banten.
122
INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA
dibandingkan pemerintah desa terdahulu, tapi pemerintah desa saat
ini masih kurang mendengarkan aspirasi warga. Salah seorang tokoh
di Desa Cangkudu, mengaku belum pernah diundang dalam proses
musyawarah desa untuk membahas permasalahan pengelolaan bisnis
limbah yang sering menimbulkan konflik di desa ini. Pernyataan
warga desa dan tokoh masyarakat Cangkudu dibenarkan sekaligus
diklarifikasi BPD. Dalam penyelenggaraan musyawarah desa, BPD
berkilah tidak mungkin mengundang semua warga desa. Menurut
BPD ketidakterlibatan warga dan tokoh masyarakat dalam Musdes
hanya persoalan teknis karena sesungguhnya mereka sudah diwakili
oleh warga lain yang hadir dalam Musdes tersebut.
Pada kenyataannya apa yang dikritisi warga ternyata bukan semata
persoalan teknis sebagaimana diungkapkan BPD. Warga merasa
kurang dilibatkan dalam merumuskan hal-hal strategis di desa yang
dibahas dalam Musdes. Akibatnya, keputusan-keputusan strategis
pemerintahan desa belum diketahui oleh warga desa. Sebagian warga
desa tidak mengetahui kebijakan desa dalam bentuk peraturan desa,
termasuk tidak tahu besaran APBDes dan alokasi atau penggunaannya.
Prinsip transparansi dan akuntabilitas publik belum nampak di Desa
Cangkudu. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya informasi terkait
Peraturan Desa, APBDes dan juga LPJ Kepala Desa yang dapat diakses
langsung oleh warga baik dalam bentuk offline (papan pengumuman,
banner, poster yang terpampang di kantor pemerintah desa) maupun
yang dapat diakses secara online dalam bentuk media sosial seperti
facebook, twitter, dan website.
Apa yang terjadi di Desa Cangkudu, meskipun ada praktik
partisipasi dalam proses Musrenbangdes dan Musdes, namun belum
merefleksikan hakikat atau substansi dari partisipasi yang menekankan
pada prinsip kesetaraan dan inklusifitas. Sebagaimana dikatakan
oleh Chambers (1996) bahwa dalam praktik partisipasi seringkali
123
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
terjadi bias.78 Belajar dari pengalaman dari model reformasi birokrasi
yang dilakukan Desa Panggungharjo dan Desa Cangkudu ini dapat
dijadikan sebuah model perbandingan. Inovasi yang dilakukan oleh
dua pemerintah desa tersebut dalam melakukan reformasi birokrasi
bagi perbaikan pelayanan publik relatif memiliki dampak yang
berbeda. Reformasi birokrasi di Desa Panggungharjo memiliki tujuan
untuk mendorong pemerintahan desa yang lebih terbuka sehingga
berdampak munculnya inisiatif-inisiatif warga dan forum-forum warga
yang aktif menyuarakan kepentingan mereka terhadap pembangunan
desa. Di sisi lain, reformasi birokrasi yang terjadi di Desa Cangkudu
relatif baru menyentuh aspek penataan administrasi pemerintahan
dan meningkatkan kapasitas birokrasi desa dalam melakukan pela­
yanan kepada warga desa. Reformasi belum menyentuh aspek ke­
terbukaan dan transparansi pemerintah desa. Kondisi ini diperparah
dengan masih minimnya inisiatif warga untuk terlibat dalam prosesproses pengambilan keputusan di desa sehingga ruang demokrasi yang
tersedia relatif masih berwatak formal-prosedural.
Pelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa tersebut adalah
bagaimana sebuah kekuatan inisiatif warga dapat membawa suatu
perubahan nyata bagi warga desa. Terbentuknya beragam forum
warga aktif dalam merespon isu-isu publik di tingkat desa merupakan
suatu bentuk nyata dari sebuah gerakan sosial yang tumbuh dari warga
dalam ruang demokrasi desa yang berperan aktif sebagai ruang antara
(intermediary space) masyarakat sipil di satu sisi dengan negara atau
pemerintah desa di sisi yang lain. Inisiatif-inisiatif warga aktif ini dapat
menjadi sumber bagi proses penguatan demokrasi terutama dalam
menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin kompleks di
78 Seperti bias kepentingan elit atau hanya elit yang berpartisipasi, bias aktif atau hanya orangorang yang aktif yang berpartisipasi dan meninggalkan yang pasif, bias gender dan bias kaum
terdidik atau hanya orang-orang yang terdidik yang berpartispasi. Sementara orang yang
tidak berpendidikan tidak dilibatkan.
124
INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA
desa. Di sisi lain, pemerintahan desa yang responsif merupakan syarat
utama bagi berkembangan pelembagaan demokrasi desa yang lebih
bermakna.
Berbeda dengan pengalaman Cangkudu yang minim inisiatif,
kisah Inisiatif warga dengan gerakan yang lebih radikal terjadi dalam
kasus claiming lahan di Desa Ringinrejo, Kecamatan Wates, Kabupa­
ten Blitar. Sayangnya, kuatnya inisiatif warga tidak direspon baik oleh
pemerintah desa yang cenderung tertutup dan korporatik. Di desa
ini, terdapat tanah milik PT. Semen Dwima Agung Para yang tidak
dimanfaatkan, sehingga sejak tahun 1990an diolah oleh warga. Alasan
warga memanfaatkan lahan tersebut karena memungkinkan mereka
yang lahan pribadinya sedikit dapat mengolah lahan yang lebih
luas, atau bahkan memungkinkan mereka yang sebelumnya sama
sekali tidak memiliki lahan garapan menjadi memiliki lahan untuk
dikerjakan. Bertambahnya aset tanah yang digarap memungkinkan
pertambahan jumlah produksi pertanian dan penghasilan mereka yang
kemudian meningkatkan kesejahteraan petani. Bahkan petani yang
awalnya hanya menanam tanaman lahan sawah, kebun, dan ladang
seperti singkong, jagung, kedelai dan terbatas pada musim penghujan,
kini mulai melakukan variasi menanam tanaman hortikultura seperti
cabai, melon, ketimun, semangka yang memiliki harga jual lebih
tinggi. Para petani bahkan membuat sumur bor dengan harapan dapat
mengairi ladang sehingga dapat ditanami sepanjang tahun.
Selama puluhan tahun para petani telah memanfaatkan lahan.
Selama itu juga mereka berupaya mengajukan klaim atas tanah tersebut,
tetapi tentu tidak diijinkan oleh perusahaan pemilik lahan. Mereka
berorganisasi/berkelompok untuk mengupayakan hak kepemilikan
atas lahan yang digarap. Hingga kini kelompok tersebut telah me­
ngalami dinamika mulai dari pergantian kepemimpinan hingga ter­
belahnya perjuangan ke dalam dua kelompok. Saat ini, terdapat dua
125
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
kelompok masyarakat yang tengah memperjuangkan claiming atas
tanah PT. Semen Dwima Agung di Desa Ringinrejo. Kelompok
pertama adalah Paguyuban Petani Gondangtapen yang digawangi oleh
Talminto, dan yang kedua adalah kelompok Gito. Sayang, diantara
kedua kelompok kurang terjadi komunikasi yang baik meskipun
tanah yang mereka perjuangkan sepenuhnya adalah tanah yang
sama, begitupula masyarakat penggarap yang mereka perjuangkan
nasibnya. Ketiadaan komunikasi dan pemahaman satu sama lain ini
pada akhirnya juga menimbulkan saling prasangka satu sama lain dan
kebingungan bagi petani penggarap sehingga banyak petani memilih
untuk tidak terlibat sama sekali dalam upaya memperoleh tanah
perkebunan.
Persoalan klaim ini semakin menguat ketika tahun 2013 Menteri
Kehutanan melalui Surat Keterangan Menteri Kehutanan No.367
menyatakan bahwa lahan perkebunan milik PT. Semen Dwima Agung
(seluas 724,23 Ha)merupakan kawasan hutan produksi.79 Masyarakat
pengolah lahan merasa bahwa sumber penghidupan mereka terancam
apabila pemerintah ingin menghutankan kembali lahan yang telah
mereka olah. Selain itu, sejumlah area di kawasan perkebunan tersebut
tidak hanya telah berubah menjadi lahan bercocok tanam tetapi juga
dimanfaatkan untuk pemukiman. Masyarakat tidak tinggal diam
meng­­­hadapi permasalahan ini. Mereka melakukan berbagai aktivitas
untuk mempengaruhi para pihak terkait, termasuk advokasi kepada
pembuat kebijakan. Potensi internal kelompok dioptimalkan dan di­
tingkatkan, sekaligus menambah mitra jaringan yang mendukung
perjuangan mereka. Gerakan mereka bersifat self-funded, menanggung
bersama pembiayaan yang dibutuhkan untuk advokasi, baik ke Pemda
79 SK Menteri Kehutanan No.367 tahun 2013 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Produksi
yang Berasal dari Lahan Kompensasi dalam rangka Pinjam Pakai Kawasan Hutan Atas nama
PT. Semen Dwima Agung, yang terletak di Desa Ringinrejo Kecamatan Wates Kabupaten
Blitar Jawa Timur.
126
INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA
Blitar, ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sidang di
Pengadilan Tata Usaha Negara, hingga temu dengar dengan pihak
Semen Holcim di Swiss.
Dalam melaksanakan aksi, kelompok masyarakat tidak berjalan
sendiri tetapi bekerjasama dengan organisasi non pemerintah yang
menekuni isu pertanian seperti Solidaritas Masyarakat (Sitas) Desa,
ELSAM dan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA). Kelompok
masyarakat memang sengaja mencari rekan dalam upaya advokasi,
hal tersebut dilakukan pasca melihat banyaknya kisah sukses upaya
claiming maupun redistribusi tanah warga Blitar yang dibantu oleh
organisasi masyarakat sipil. Sayangnya, dukungan dari berbagai pihak
ternyata tidak diikuti oleh dukungan internal desa. Bahkan ketika
warga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 367 Tahun 2013, pemerintah
desa sulit untuk memberikan tandatangan yang menyatakan bahwa
726 warga penggarap sawah yang terdaftar dalam dokumen gugatan
merupakan warga Desa Ringinrejo.
Berbeda dengan Cangkudu dan Riginrejo, kuatnya dukungan
pemerintah desa juga terjadi di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura,
Kabupaten Probolinggo. Hal yang membedakannya dengan Desa
Nglanggeran dan Panggungharjo terletak pada inisiatornya. Jika
di Nglanggeran, warga yang berinisiatif kemudian didukung oleh
pemerintah desa. Di Panggungharjo, antara inisiatif warga dan
pemerintah desa berjalan beriringan karena Kades memiliki latar
belakang aktivis organisasi masyarakat sipil tingkat desa. Tetapi di
Desa Ngadisari, pemerintah desa yang memegang peranan utama.
Kuatnya peranan pemerintah desa karena posisi mereka beririsan
dengan pemerintahan adat.
Para tokoh adat di Desa Ngadisari menduduki posisi di pemerin­
tahan desa. Kepala desa saat ini merupakan isteri dari Ki Petinggi yang
127
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
menjadi kepala desa pada periode sebelumnya. Selain punya akar yang
kuat dalam pemerintahan adat dan formal, Ki Petinggi juga memiliki
jaringan politik yang membuatnya mampu menghadirkan kebijakankebijakan desa yang populis dengan dukungan politik dan finansial dari
pemerintah Kabupaten Probolinggo. Kebijakan tersebut di antaranya:
pembangunan infrastruktur dan akses jalan ke ladang-ladang warga di
lereng-lereng gunung, pembuatan infrastruktur penunjang pariwisata,
seperti rest area dan kawasan Seruni Point yang dibangun di Dusun
Cemoro Lawang, dusun terdekat dengan kawasan Taman Nasional
Bromo Tengger Semeru (TNBTS).80 Pembangunan infrastruktur
pertanian dan penataan sektor jasa pariwisata merupakan keberhasilan
Ki Petinggi selama menjabat. Respon positif warga ini memperlancar
isterinya saat mencalonkan diri sebagai kepala desa Ngadisari.
Berhimpitnya peran adat dan peran pemerintahan formal ini
di satu sisi membuat watak pemerintahan desa bersifat oligarkhis,
tetapi di sisi lain dapat memperlancar rekognisi aturan adat menjadi
aturan formal pemerintah desa. Hal ini bisa terjadi karena kuatnya
komitmen pemerintah desa untuk melindungi aset desa, khususnya
tanah. Bagi masyarakat adat Tengger, tanah merupakan ibu bumi suci
atau ibu pertiwi, mereka menempatkan tanah seperti halnya seorang
ibu yang memberikan kebaikan sehingga kedudukannya harus dijaga
dan dihormati. Arti simbolis ini, bagi beberapa masyarakat agraris
menunjukkan kecintaan atau rasa lekat pada tanah yang dihubungkan
dengan penghormatan kepada dewi bumi, ibu pertiwi yang melahirkan
kehidupan kodrati (Dillistone, 2002).
Sebagai bentuk pengakuan terhadap aturan adat, pemerintah Desa
Ngadisari mensahkan Peraturan Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura
No. 2 Tahun 2015 tanggal 4 Mei 2015 tentang “Tata Cara Mutasi
80 Bagi masyarakat petani seperti Ngadisari, akses jalan ke ladang merupakan infrastruktur vital
yang mampu mengurangi biaya tenaga kerja (buruh angkut) dan mendekatkan pasar.
128
INISIATIF WARGA DALAM RUANG DEMOKRASI DESA
Tanah”. Perdes ini pada intinya mengatur bahwa tanah di Ngadisari
tidak boleh dijual atau disewakan kepada pihak luar tanpa rekomendasi
kepala desa dan ketua adat. Untuk memperkuat Perdes ini, pemerintah
desa melakukan advokasi ke Badan Pertanahan Nasional, sehingga
di setiap sertifikat tanah yang diterbitkan untuk warga Ngadisari
memiliki stempel berwarna merah yang berisi larangan sebagaimana
diatur dalam Perdes No. 2 Tahun 2015.
Belajar dari pengalaman Desa Panggungharjo dan Ngadisari,
transformasi identitas sebagai masyarakat sipil menjadi bagian
dari pemerintahan desa, memberi peluang sangat terbuka
komunikasi politik antara pemerintah dengan masyarakatnya. Kades
Panggungharjo berasal dari aktivis organisasi masyarakat sipil di
tingkat desa sehingga kebijakannya pun mampu merepresentasikan
kepentingan masyarakat. Kades Ngadisari berasal tokoh adat
sehingga merumuskan kebijakan desa yang merekognisi aturan adat.
Perbedaannya, di Panggungharjo baik pemerintah dan masyarakatnya
sama-sama aktif, sementara di Ngadisari peran utama lebih dimainkan
oleh para elit desa. Sementara warga hanya mengikuti apa yang telah
diputuskan oleh elit desa yang duduk di pemerintahan desa dan para
tokoh adat.
C. Simpul Wacana
Berdasar pengalaman beberapa desa tersebut, ada beberapa
pelajaran yang bisa dipetik: pertama, gairah dan geliat warga dalam
memanfaatkan ruang demokrasi desa dapat dilihat dari munculnya
inisiatif warga dalam merespon berbagai isu di desa. Inisiatif warga
tersebut akan semakin bermakna jika bisa bertemu dengan dukungan
pemerintah yang responsif dan terbuka terhadap suara-suara warga
dalam merespon isu-isu publik, sehingga menunjukkan berjalannya
demokrasi deliberatif pada aras desa. Kedua, semangat UU 6/2014
129
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
untuk pengelolaan Desa yang semakin demokratis dalam realisasinya
tidak sebatas terjadi dalam demokrasi prosedural melalui Musdes, tetapi
banyak forum-forum informal yang telah dimanfaatkan masyarakat
desa untuk terlibat aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Inisiatif warga desa harus dikanalisasi dalam ruang-ruang demokrasi
deliberatif, baik secara formal melalui musyawarah desa, maupun
secara infromal melalui engagement (interaksi aktif) warga desa
dengan pemerintahan desa.
Ketiga, peranan tokoh masyarakat memang diperlukan dalam
rangka untuk menyelesaikan konflik tapi jika peran tersebut terlalu
dominan apalagi dalam situasi budaya desa yang masih sangat
parochial akan memunculkan dominasi elit desa dalam menjalankan
kepen­tingannya atas pengelolaan sumberdaya alam dan aset desa.
Keempat, isu pengelolaan sumberdaya alam dan aset desa merupakan
isu pen­ting dan strategis di desa karena menyangkut hajat hidup
orang banyak. Pengalaman berbagai desa menunjukkan bahwa isu
ini menjadi media bekerjanya demokrasi deliberatif. Sensitivitas isu
sering mengakibatkan sumber, dan untuk penanganannya tidak
bisa dibiarkan hanya didasarkan pada inisiatif warga, pemerintah
desa harus responsif sebagai pihak yang mempunyai otoritas untuk
menciptakan resolusi konflik yang berkeadilan bagi semua warga desa.
Kelima, lingkungan politik yang kondusif berperan penting dalam
memunculkan inisiatif warga. Di beberapa desa yang didominasi Kades
atau elit lainnya, berdampak miskinnya inisiatif warga, Oleh sebab itu
sebagai penyeimbang kekuatan atau dominasi elit desa, diperlukan
kekuatan masyarakati sipil atau warga aktif yang berpartisipasi aktif
dalam pengelolaan sumberdaya alam dan asset desa, serta dalam
pengelolaan desa secara keseluruhan.
130
EPILOG
Menyemai Demokrasi Desa
Tarik ulur antara harapan dan kegalauan sedang
mewarnai dinamika desa hari ini. Pada satu sisi, begitu banyak cerita
lokal menganyam prestasi, inovasi, dan pola baru pembaharuan
desa yang mempesona. Mulai dari kisah sukses bidang pendidikan,
teknologi informasi, pemberdayaan ekonomi, peduli lingkungan, tata
kelola keuangan, pelayanan publik (Tempo 30.01/2017), dan terobosan
lainnya yang layak diacungi jempol. Itulah penanda gairah kebangkitan
desa, menepis mitos keterbelakangan (IRE, 2015). Akan tetapi, pada
sisi lain kerap muncul sindiran sinis. Meruaknya berita mengenai
mal­administrasi, korupsi, degradasi ekologi, konflik komunalitas
yang terus membayangi desa, juga menciptakan kekhawatiran akan
terjadinya kerusakan fondasi integrasi sosial komunitas.
Fenomena ini mengingatkan kita mengenai gambaran bagaimana
mengawali penerapan desentralisasi kekuasaan melalui otonomi
daerah sebagai babak baru pasca politik otoriterisme kala itu yang
menandai gelombang awal reformasi. Mengalami fase transisi tentu
tidak mudah untuk melangsungkan —meminjam gagasan Berger
(1990) sebagai— internalisasi dan pembaharuan nilai-nilai. Dimana
pengenalan model demokrasi sebagai sistem mengelola kekuasaan baru
131
bertaut dengan struktur sosial lokal mensyaratkan sekian penyesuaian.
Kenya­taannya, karakter budaya lama masyarakat yang dalam beberapa
hal terdapat perbedaan memerlukan proses dialog dan adaptasi baik
tingkat substansi maupun simbolik. Apa yang juga dialami di daerah
dan desa kurang lebih berkisar soal semacam itu.
Meskipun demikian, secara bertahap perbaikan dan upaya stra­
tegis dalam rangka pembenahan terus bermunculan, kian meluas, dan
kemudian tereplikasi menjadi kebijakan yang terlembaga. Bahkan
tidak kurang best practices (pengalaman terbaik) daerah menjadi
inspirasi tingkat nasional. Hal itu artinya, proses awal pembaharuan
desa sejak diterapkan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, yang masih
diliputi keterbatasan tentu bisa dimaklumi. Kuncinya, kita mampu
memetik pelajaran dari pengalaman yang baik itu sebagai inspirasi
meningkatkan kualitas perubahan ke depan.
Apa yang diuraikan didalam bab demi bab buku ini, tentu menjadi
bahan menarik untuk mengisi harapan baru itu. Perubahan struktur
masyarakat, dinamika politik lokal serta keragaman pola kelola
kekuasaan mengisyaratkan potret baru desa, yang kini mulai berubah.
Romansa kehidupannya yang dulu identik keterbelakangan, miskin
dan tertinggal, secara bertahap makin memancarkan pesona baru
yang ditandai dengan tumbuhnya berbagai inisiatif desa sebagai pe­
nanda kebangkitan lokalitas. Perjalanan awal Desa harus menghadapi
kesulitan saat memperagakan pendekatan berdemokrasi. Mulai
dari hal mendasar tentang model pembangunan, instrumentalisasi
kebijakan serta tuntutan menciptakan pembaharuan. Sebagian apa
yang dialaminya tidak asing karena sejarah “berdemokrasi” pernah
dienyam. Tetapi banyak pula tantangan yang harus disesuaikan
sehingga desa gagap mengoperasikannya. Kesemua ini, lagi-lagi
perlu dimaklumi karena sejarah lama desa tidak dibiasakan dengan
demokrasi dan kemandirian.
Jika ditengok sejenak ke belakang misalnya, nampak jelas bagai­
132
EPILOG
mana rasanya begitu lama desa mengalami marginalisasi (peminggiran),
baik urusan ekonomi maupun politik. Pengalaman buruk dibawah
tekanan corak kekuasaan otoriter Orde Baru di masa lalu menjadikan
desa sebagai objek pembangunan. Sekalipun selalu didendangkan
strategi pembangunan berlabel swadaya, penerapan moder­
nisasi
pertanian, justru desa semakin tereksploitasi. Dari rekaman historis,
tidak sulit mengingat bagaimana proyek ambisus green revolution
(revolusi hijau) sebagai reformulasi model pembangunan desa saat
itu menekankan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada sektor
pertanian.
Perubahan sporadis dengan cita rasa kemajuan desa yang
modern, toh pada akhirnya gagal menciptakan pemerataan dan
kemandirian. Justru desa mengalami pelumpuhan sistemik. Selain
terjadi kesenjangan sosial, kerusakan ekologi, juga membuat nirdaya
masyarakat karena pranata sosial dijinakkan oleh kebijakan politik
korporatik. UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa saat itu
menjadi faktor yang menjelaskan kebangkrutan desa dan masyarakat
adat (IRE, 2010). Regulasi itu mengubah relasi kuasa pengeloaan
sumberdaya desa dalam kendali negara. Marginalisasi desa menjadi
cerita suram yang mengisi sejarah lokalitas saat itu.
Sejak angin perubahan berhembus sebagai dampak reformasi,
semangat membangkitkan kembali komunitas grassroots (akar rumput)
ini mulai menguat. Ada harapan menjadikan desa sebagai poros
pembangunan lokal penopang pembangunan nasional. Komitmen
awal itu, paling tidak tercermin dari nafas UU No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah yang di dalamnya mengatur desa. Regulasi
tersebut hendak mengembalikan roh desa pada asal-usulnya, yakni
kemandirian. Selain sebagai bentuk rekognisi (pengakuan), kebijakan
itu memberi ruang desa bernegosiasi dalam pembangunan daerah.
Melalui desentralisasi kekuasaan bertajuk otonomi daerah,
133
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
diharapkan mendorong pembaharuan desa. Jika bobot kekuasaan
perencanaan pembangunan diletakkan pada daerah, dimungkinkan
inisiatif dari bawah, yakni masyarakat, akan mendapatkan tempat.
Disitulah kemudian dikenal model musyawarah perencanaan pem­
bangunan (musrenbang) daerah yang mengombinasi pendekatan
politik, teknokrasi, dan partisipasi. Harapannya, penyerapan aspirasi
lokal benar-benar dari grassroots.
Sayangnya otonomi daerah ternyata hanya menjadi berkah buat
elit lokal dan belum sampai di rasakan nyata oleh rakyat desa. Otoritas
kelola sumberdaya hanya mempertebal pembagian kue APBD yang
dinikmati oleh pemerintah daerah dengan warna patronase politik
yang mengitarinya. Distribusi manfaat pembangunan sangat terbatas
dan tidak sampai menembus di akar rumput. Kalaupun sampai ke
masyarakat, tidak lebih bersifat residual atau hanya mendapat sisa.
Senyatanya, tidak ada korelasi positif antara tingginya partisipasi
warga dengan besaran akses masyarakat pada APBD. Keberlangsu­
ngan otonomi daerah belum mengatasi ketidakberdayaan desa (Tempo.
Co, 15/11/2016).
Ketika otonomi daerah gagal membawa misi memberdayakan
desa, kunci terpenting mengubah nasib desa sesungguhnya perlu
menggeser pendulum kuasa politik pembangunan pada dataran pa­ling
bawah, yakni desa itu sendiri. Ketimpangan relasi kuasa desa de­ngan
supradesa (Kabupaten dan struktur di atasnya) menjadi penyebab
pokok mengapa ketidakberdayaan desa terus berlangsung. Terbitnya
UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, dirasa sebagai salah satu jawaban.
Selain memberi pesan eksplisit berupa pengakuan (recognition) negara
pada desa, regulasi ini juga memperjelas kedudukan dan kewenangan
desa dalam politik pembangunan. Bahkan meredistribusi sumberdaya
secara lebih nyata kepada desa dalam bentuk dana desa. Ini lompatan
besar untuk menuju pembaharuan desa.
134
EPILOG
Jika dulu desa disatu sisi hanya dipompa untuk memperbesar
partisipasi warga, sementara disisi lain disumbat oleh kewenangan
supradesa, maka pola itu dibalik. Desa memiliki kesempatan dan
“kuasa baru” yang dapat dimanfaatkan untuk mengubah keadaan
dirinya menjadi subjek. Meminjam pemikiran Foucault (1969),
partisipasi baru masyarakat, artikulasi gagasan dan pengetahuan
yang berproses itu berkesempatan mengambilalih ”kekuasaan baru”,
menginterpretasi, kemudian terlibat berpolitik dalam pengertian
yang lebih luas. Itulah yang secara eksplisit terjelaskan bahwa, kini
Desa memiliki kewenangan untuk menentukan sendiri orientasi
pembangunan. Perencanaan pembangunan Desa berisi tentang apa
yang menjadi kepentingan dan prioritas pemerintah dan warga desa
itu sendiri.
Dengan demikian secara bertahap juga, ruang negosiasi ter­
bangun. Dalam arena yang lebih luas, representasi sosial tidak lagi
dimonopoli oleh, —meminjam bahasa Bottomore (1966)—, para elit
(rulling class) yang memegang kekuasaan formal ekonomi-politik.
Representasi sosial lebih menyebar sehingga memungkinkan sirkulasi
sosial secara lebih terbuka. Akses untuk melibatkan diri dalam proses
sosial ini sebagai kuasa baru, —yang oleh Foucault (2012)—, disebut
sebagai, kekuasaan yang menyebar (decentering). Hal ini memantik
pertanyaan kritis: arena apa yang bisa dimanfaatkan bagi masyarakat
dan komponen lainnya dalam mengambil keputusan bersama?
UU Desa mewadahi partisipasi warga melalui musyawarah desa
(musdes) sebagai arena dimana kontestasi dan pertarungan kepen­
tingan dilangsungkan sampai menghasilkan konsensus. Disitulah,
menggambarkan apa yang oleh Habermas (1985) disebut gerbang
terbangunnya demokrasi, situasi dimana relasi masyarakat yang lebih
terbuka, saling mempengaruhi, mensyaratkan corak relasi egaliter,
sehingga komunikasi terbebas dari dominasi dan hegemoni oleh
siapapun.
135
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Tidak berhenti sebatas sebagai arena kontestasi gagasan, musya­
warah desa juga bisa menghasilkan konsensus dari pertarungan dan
negosiasi kepentingan para pemangku kepentingan desa. Ukurannya
adalah, musdes bisa menghasilkan produk dokumen Rencana Pemba­
ngunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa), yang kemudian
diturunkan menjadi Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKPDesa),
selanjutnya secara konkrit dianggarkan dalam Rencana Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Desa (RAPBDesa). Dengan begitu, Desa pada
tingkat tertentu begitu otonom memiliki kewenangan mengambil
keputusan strategis, merencanakan, menganggarkan, dan meng­
implemetasi serta mengawasi pelaksanaan pembangunan.
Hal ini bermakna UU Desa telah mengubah pola relasi politik
pembangunan secara nyata. Perubahan hubungan struktural semacam
ini memberi peluang desa tidak lagi bergantung oleh selera diatasnya
(Arie Sujito, 2014). Jika dulu desa hanya menjadi lokasi proyek,
atau sekadar ajang komodifikasi oleh gugusan elit lokal, maka rantai
manipulasi pembangunan semacam itu dapat diputus. Bahkan, modelmodel pembangunan sektoral yang mutilatif (membelah-belah desa
secara parsial) sebagai bagian rekayasa teknokratik oleh dinas-dinas
SKPD kabupaten/kota dapat dicegah (Sutoro Eko, 2014). Karena itu,
konsolidasi pembangunan dimungkinkan terjadi. Itulah substansi desa
menjadi subjek pembangunan, yang menempatkan cara pandang dari
dalam desa (IRE, 2014).
Sekalipun masih berusia muda, kebijakan ini telah menumbuhkan
harapan baru. Tercatat sejumlah inisiatif bermunculan. Banyak contoh
desa-desa telah merintis jalan pembaharuan. Prestasi mengelola aset
desa, rintisan pembangunan badan usaha milik desa (BUMDesa),
penataan administrasi dan keuangan, sistem informasi desa, maupun
regrouping sosial dan penguatan forum-forum kewargaan menjadi
bukti awal yang dapat dijadikan sebagai rintisan perbaikan (IRE, 2016).
136
EPILOG
Desa-desa di Indonesia memang tidak dalam posisi titik berangkat
yang sama. Kondisi ini terjadi karena warisan masa lalu dimana
pola pembangunan menciptakan kesenjangan kapasitas antar desa
serta tipologi desa yang tidak mungkin sama satu sama lain. Itulah
tantangan serius yang dihadapi. Ada desa-desa yang cepat bergerak
begitu cepat dan aktif, responsif atas arus baru yang mendorong
terjadinya akselerasi pembenahan di berbagai hal. Karena itulah,
muncul desa unggul dengan berbagai indikator. Namun, diseberang
lain, keterbatasan SDM, masih bersemayamnya kultur feodalisme,
penyakit menahun berupa ketergantungan serta pola kepemimpinan
konservatif (kolot, anti perubahan) menjadi masalah yang masih
membelit. Hal ini memuculkan sejumlah kekhawatiran mengenai
ketidakmampuan desa dalam memanfaatkan kesempatan mengelola
kewenangan ini. Salah-salah bisa terjebak konflik dan korupsi.
Kondisi tersebut, tentu harus dimaklumi pada fase awal ini, seraya
terus berbenah sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini.
Pelajaran Penting
Jika diabstraksi dari tiga tema yang diulas dari buku ini
menandaskan catatan penting yang menarik untuk didiskusikan.
Pertama, berkenaan dengan kepemimpinan desa, memang ada
kehendak kuat untuk melakukan pembaharuan corak kekuasaan
dari pola lama kepemimpinan yang bersifat feodalistik yang
diekspresikan dengan cara-cara otoriter yang sudah dianggap usang.
Perwujudan transformasi desa dalam nafas demokrasi mengharuskan
kepemimpinan yang prorakyat dan egaliter. Pengertian prorakyat
adalah, pemimpin yang membangun desa dengan landasan nilai-nilai
peduli, komitmen, dan amanah atas apa yang dikehendaki rakyatnya.
Orientasi semacam ini ditandai oleh watak kekuasaan sang pemimpin
yang egaliter, memperlakukan warganya secara adil tidak diskriminatif,
137
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
bahkan mudah dijangkau oleh masyarakat klas bawah. Artinya ke­
pemim­pinan desa diperlukan lebih terbuka, baik untuk menampung
masukan, kritik maupun kemudahan masyarakat mengakses informasi
atau kebijakan yang menjadi tugas dan domain pemerintahan desa.
Dengan begitu, pemimpin akan memiliki legitimasi (pengakuan moral
sosial) dari warganya, sehingga berdampak meningkatnya partisipasi
karena masyarakat kian peduli.
Beberapa desa telah mengabarkan berita positif soal lahirnya
kepemimpinan model ini, yang dianggap sebagai modalitas penting
bagi bekerjanya demokrasi desa. Namun, harus diakui masih banyak
desa yang dihinggapi pola pemimpin yang konservatif, bahkan terjebak
pada oportunistik (mencuri kesempatan, aji mumpung) dengan gaya
premanisme lokal. Ada pula pemimpin yang lebih berkonsentrasi
pada hal-hal administratif ketimbang berinovasi untuk membuat
terobosan di bidang pemerintahan, pelayanan publik maupun model
pembangunan desa. Kondisi tersebut menyimpan pesan, bahwa
sekalipun patronase elit masih kuat pada Desa asli dan parokial
sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, akan berhadapan
dengan kecenderungan inisiatif warga yang kuat dimana prakarsa
warga menjadi kontrol atas dominasi elit. Itulah tesis penting yang
perlu untuk dikembangkan jika demokrasi desa akan diperjuangkan
di desa.
Demikian pula, setidaknya UU Desa berhasil memaksa
lahirnya model kepemimpinan normatif (sesuai gagasan formal
yang diemban regulasi), dimana melalui pengaturan asas-asas yang
mendorong inklusi dan akuntabilitas sosial memungkinkan bisa
terjadi pembaharuan. Namun demikian, problem serius yang perlu
diantisipasi adalah potensi dinasti politik masih berpeluang terjadi
di desa. Kekuasaan, dalam derajat tertentu masih berpeluang sebagai
penyangga kepentingan ekonomi politik para elit lokal, khususnya
potensi mencari rente.
138
EPILOG
Kedua, fungsi representasi untuk memastikan demokrasi komu­
nitas bekerja, menunjukkan sejumlah kemajuan yang berarti. Peran
BPD yang mewakili aspirasi dan suara masyarakat desa, makin
terdorong aktif sebagai pengontrol pemerintah desa. Demikian pula
fungsi legislasi dan budgeting. Peran semacam ini tergolong baru,
karena ada beberapa desa yang belum sepenuhnya mengaktifkan
BPD untuk menggerakan demokrasi desa. Selain hambatan kapasitas
SDM, kultur lama yang feodal juga kerap menjadi kendala BPD
dalam meningkatkan kualitas perannya.Tantangan untuk mengubur
pola oligarkhi dan representasi simbolik masih harus dijawab dan
diupayakan lebih kuat, agar tumbuh cara kerja lembaga perwakilan
dengan langgam kolektivitas.
Terdapat fakta menarik di desa pada awal-awal perubahan, sejauh
ini mencoba mengkombinasikan gaya keterwakilan formal dengan
informal. Saat dimana BPD dibayangi kesulitan mengartikulasi dan
mengagregasikan kepentingan rakyat desa dengan berbagai alasan,
sumbatan-sumbatan itu disalurkan melalui jalur informalitas yang
lebih dianggap mengakar dan dekat dengan “suasana batin” rakyat desa.
Sejauh ini mereka bisa saja memanfaatkan jalur agensi baru atau tokoh
lama yang dianggap artikulatif dan bisa berperan sebagai “pe­nyambung
lidah rakyat”, maupun pendekatan lain yang “non birokratik”. Suatu
model lama yang masih dianggap relevan mengiringi sistem demokrasi
prosedural.
Hal lain yang perlu dicatat mengenai BPD ini adalah kesulitan
membangun institusi yang inklusif, terutama terhadap kelompok
rentan dan marginal. Disitu tercatat pula komposisi gender belum
seimbang, dimana BPD dalam mempengaruhi proses pengambilan
keputusan publik yang masih didominasi oleh laki-laki. Hal ini
berdampak pada masih lemahnya akses perempuan dan kelompok
marjinal terhadap sumber daya ekonomi di Desa.
Ketiga, sejak kran partisipasi dibuka, maka sejumlah inisiasi warga
139
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
bermunculan. Temuan pada sejumlah desa sebagaimana diulas pada bab
sebelumnya menjelaskan pengelompokan masyarakat sektor pertanian,
keagamaan, pariwisata, perempuan, difable, pemuda, maupun lokuslokus lain yang menggambarkan aktivitas keseharian masyarakat desa.
Makin hidupnya inisiatif dengan bertumpu pada kelompok komunitas
merupakan modalitas berharga dalam menghimpun aspirasi sehingga
inisiatif itu dapat diakumulasikan dalam forum-forum yang lebih
besar selevel musdes maupun musrenbangdes.
Tidak bisa dipungkiri bahwa ruang lahirnya komunitas warga
yang bergerak memperjuangkan isu-isu publik dalam arena-arena
formal dan informal di Desa makin menguat. Jika dulu masyarakat sa­
ngat minimalis dalam mengambil inisiasi dalam pembangunan, bahkan
cenderung pasif, kini sudah berubah. Sekalipun inisiasi itu masih
terbatas atau, akan tetapi jika diolah dengan baik dan terorganisir maka
bisa menjadi daya ungkit emansipatif. Dengan begitu, akan membantu
membangun kerja bersama dan engagement antar pihak di desa.
Dalam jangka panjang, pelibatan masyarakat sipil dengan
kombinasi jalur artikulasi ini menjadi peluang mendorong inklusi
sosial di Desa. Bahkan dalam sejumlah kasus menunjukkan bahwa
inovasi yang digerakkan oleh kelompok civil society terbukti
berkontribusi meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan secara nyata
(lihat kesimpulan kunci dari buku ini), termasuk perbaikan pelayanan
publik. Ini capaian menarik sekaligus tantangan.
Menakar Makna Baru
Jika ketiga tema (kepemimpinan, representasi, dan inisiasi warga)
itu diperdalam terkait beberapa faktor; (1) pembentukan kepenti­
ngan publik; (2) perluasan ruang publik; (3) inklusivitas aspirasi; 4)
fenomena aglomerasi berlatar belakang ekspansi modal dari supra­desa,
menarik untuk dipelajari. Studi ini telah mengidentifikasi 10 kasus
140
EPILOG
bekerjanya tiga tema tersebut ke masing-masing faktor, sebagaimana
diuraikan di dalam matriks terlampir dalam buku ini. Selanjutnya,
beberapa hal pen­ting dapat dicatat sebagai berikut.
Pertama, Public interest formation. Isu, masalah, dan kebutuhan
dasar masyarakat yang dulu sering tenggelam dan termarginalisasi
oleh karena kepentingan elit desa dan didomestifikasi karena pe­
ngaruh hegemonik golongan berkuasa, kini mulai bergeser ke tengah
menjadi kepentingan publik dan berhasil menarik perhatian banyak
pihak di desa. Bahkan, menjadi pokok bahasan dalam arena formal
desa. Wacana komunitas juga diwarnai dengan tema dan masalah
dasar masyarakat. Hal Ini menjadi temuan menarik sekaligus sebagai
kabar baik, dimana terdapat perubahan cara pandang mengenai isu
publik.
Pembentukan kepentingan publik semacam ini hanya terjadi
pada desa dimana corak kepemimpinan bersifat relatif terbuka.
Gaya kepemimpinan Kepala Desa yang bertanggung jawab,
berkomitmen, dan peka pada suara dan kebutuhan masyarakat,
bertemu dengan kemampuan lembaga representasi (BPD) dalam
mengagregasikan kepentingan warga, tentu menjadi modal penting
untuk memperjuangkan kepentingan warga. Sebut saja misalnya
urusan air, pela­yanan publik, infrastruktur, ruang publik, BUMDes,
serta sumberdaya ekonomi sejenis di desa. Corak open leadership
(kepemimpinan terbuka) dan peran BPD yang responsif, dalam
beberapa kasus berhasil mengolah inisiatif aktif para warganya dan
biasanya menjadikan aspirasi warga sebagai bahan pertimbangan
utama mengambil keputusan strategis di desa.
Pengalaman pada desa Umbulharjo, Panggungharjo, Punjulharjo,
Mekarjaya, dan Nglanggeran menunjukkan beberapa bukti bagaimana
beberapa masalah pokok masyarakat grassroots diangkat sebagai isu
bersama yang layak diperjuangkan. Pengalaman beberapa desa ini
141
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
dapatlah dianggap sebagai lompatan penting, layak dijadikan sebagai
modalitas mendorong kesadaran kolektif memperkuat sikap peduli
isu publik. Dengan kalimat lain, dapat pula disebut sebagai penanda
gerak nadi demokrasi desa yang bermakna untuk masyarakat. Meski
demikian, temuan positif ini, dalam beberapa hal tidak bisa dipungkiri
ternyata berseberangan dengan desa lainnya yakni Sidorejo, Gulon,
Ringinrejo, Ngadisari, dan Cangkudu dimana situasinya justeru
berkebalikan.
Kedua, public space extension. Salah satu problem serius yang
dihadapi desa adalah penyempitan akses masyarakat untuk terlibat dan
mempengaruhi didalam proses mengambil keputusan strategis, yang
menyangkut masa depan desanya. Riset ini menemukan hal menarik,
bahwa dalam prosesnya sejauh ini menunjukkan rata-rata para Kepala
Desa semakin terdorong untuk seinklusif mungkin disaat merancang
pembangunan dan atau agenda lainnya yang dinilai strategis, dengan
cara membuka kesempatan seluasnya pelibatan masyarakat. Selain
disadari bahwa hal demikian merupakan prinsip tata kelola yang baik
dan keharusan dalam membuat kebijakan, disisi lain para perangkat
desa mereka juga menyadari keterbatasan diri sehingga harus
membuka akses agar mendapatkan masukan publik.
Begitupun dengan BPD, berhasil memanfaatkan musyawarah
desa sebagai arena formal, ditransformasi menjadi ruang “curhat”
dan media kontestasi pengetahuan dengan topangan forum-forum
informal di komunitas. Makin meluasnya ruang publik dan berhasil
dijangkau oleh hampir semua lapis sosial masyarakat telah memantik
peningkatan inisiatif warga, yang dalam beberapa hal, merupakan cara
dan mekanisme baru menegosiasikan kepentingan agar berpengaruh
pada kebijakan desa. Rata-rata desa seperti ini berhasil mendorong
perubahan yang bisa dirasakan masyarakatnya.
Ketiga, inklusivitas. Senafas dengan faktor terbukanya akses
142
EPILOG
publik, desa yang berhasil memeragakan pendekatan semacam
itu juga mampu menciptakan kebijakan yang cenderung inklusif.
Beberapa pengalaman pada 10 desa, hampir semua desa itu pada aspek
kepemimpinan, keterwakilan, dan inisiasi telah menghasilkan produk
kebijakan yang mampu mengakomodasi kepentingan publik yang
lebih luas. Paling tidak, kombinasi peran pemerintah desa, BPD, dan
kelompok masyarakat yang menautkan pendekatan teknokrasi dan
partisipasi telah memungkinkan hadirnya kebijakan anti diskiriminasi
pada kelompok-kelompok pinggiran.
Temuan corak produk kebijakan inklusif ini menepis keraguan
bahwa golongan minoritas pinggiran tidak mendapatkan tempat
dalam menentukan keputusan desa. Sebab, sejauh ini, memang ada
kekhawatiran mengenai potensi politik diskriminatif yang mengancam
demokrasi yang diindikasikan dengan penyusunan keputusan yang
tidak melibatkan golongan “silent” dan marginal seperti difable,
petani, nelayan, buruh, anak-anak, dan perempuan. Temuan lain
yang menarik, —bisa jadi anomali— ada sejumlah desa yang menjadi
kajian IRE ini, sekalipun produk kebijakan dinilai relatif inklusif,
namun tidak melalui proses pembentukan kebijakan yang partisipatif.
Katagori semacam ini dimungkinkan dengan peran “elit terbatas”
dimana mereka berhasil memasukkan beberapa usulan populis dalam
kebijakan yang lebih mendekati kehendak rakyat.
Keempat, capital-driven aglomeration. Urat nadi dalam pencapaian
tujuan kesejahteraan desa bergantung pada kemampuan gerak ekonomi
agar bisa menghasilkan pendapatan bagi desa. Hampir semua desa
menyadari kebutuhan kerjasama antar desa maupun pihak lain untuk
mengakselerasi capaian ekonomi desa, yang diindikasi diantaranya
soal orientasi memanfaatkan investasi disatu sisi, dan pada sisi lain
pemeliharaan pada kelestarian lingkungan. Debat paradigmatik
pembangunan secara artikulatif muncul dimana terjadi tarik ulur
143
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
antara penumpuan diri pada pertumbuhan ekonomi dalam satu posisi
de­ngan tema keberlanjutan lingkungan pada posisi berbeda.
Jika dikelompokkan dengan beberapa katagori, misalnya mereka
yang dapat disebut ekstrim dengan menolak kehadiran investasi dari
luar dengan berbagai alasan seperti Punjulharjo. Ada pula bersikap
kritis pada investasi dengan memberi bobot perhatian pada penyan­
dingan sensitivitas pada perlindungan aset maupun dalam rangka
kelestarian lingkungan seperti nglanggeran dan Ngadisari. Namun ada
juga yang permisif atas kepentingan publik dan keberlanjutan ekologi.
Beberapa desa, terkait tema pengembangan ekonomi dengan
dorongan investasi ternyata kehendak elit pemerintahan desa tidak
sepenuhnya berjalan seiring dengan masyarakat. Perseberangan ini
terjadi, baik antara Pemdes dengan BPD, bahkan masyarakatnya. Hal
paling sering terjadi adalah kepentingan pemanfaatkan sumberdaya
agraria seperti air, tanah, dan juga sumberdaya strategis lainnya,
misalnya benturan antara kepentingan petani yang mempertahankan
pemanfaatan tanah untuk kegiatan pertanian, sementara elit desa
mengorientasikan pada kegiatan wisata yang rawan pada kerusakan
ekologi biotis dan nonbiotis. Kesulitan lain untuk soal pengembangan
ekonomi dan daya dukung modal ini terkait pula dengan fragmentasi
kebijakan, tumpang tindih antara regulasi sektoral dengan UU
Desa sebagai sentra orientasi desa. Hal demikian menjadi penyebab
seringkali desa ragu untuk menentukan kebijakan dengan sejumlah
kekhawatiran benturan dengan supradesa.
Merintis jalan baru
Mempertimbangkan kecenderungan pola manajemen kekuasaan
serta lanskap dinamik partisipasi sebagaimana pengalaman yang
bisa dipetik dari 10 desa, tampak jelas orientasi yang dituju cende­
rung model deliberative democracy. Sejumlah pendekatan demokrasi
144
EPILOG
partisipatorik setidaknya telah mampu menjadi daya ungkit mendasar
bagaimana inisiatif warga berhasil masuk arena strategis seperti
musdes, bertaut dengan political will (kehendak baik) pemegang kuasa
formal seperti Kepala Desa dan perangkatnya yang kian didorong
terbuka dan responsif, diperkuat oleh agregasi dan peran artikulasi
BPD sesuai dengan tugas dan fungsi yang diembannya.
Arena-arena baru musdes, musrenbangdes, maupun forumforum sektoral komunitas telah menjadi habitat subur bagi tumbuh
dan terbangunnya sikap interaksi kekuasaan yang makin cair. Praktik
kekuasaan di desa telah menampilkan keunikan yang khas, sebagai situs
baru demokrasi lokal yang jika dirumuskan sebagai pola deliberative
democracy. Partisipasi dan inisiasi warga berisi kombinasi antara peran
tokoh, kesadaran akan hak-hak dasar, dan modal sosial merupakan
kekuatan penting sebagai faktor penggerak demokrasi desa. Demikian
pula gaya pemimpin yang bergeser ke arah “terbuka, berkomitmen,
dan tanggap” menjadi peluang politik pembaharuan dalam menyusun
kebijakan publik desa yang lebih berpihak pada rakyat. Kehadiran BPD
juga sangah jauh berubah lebih maju. Kesan lama seolah lembaga re­
presentasi ini dulu dikesankan sebagai “kumpulan golongan sakit hati”
atau lembaga kaum oligark, kini bergeser menjadi lembaga perwakilan
yang menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat desa.
Pada akhirnya kita perlu menyadari betul bahwa masa depan desa,
terutama demokrasi warga sebagai pilar lokalitas sejak implementasi
UU Desa sangat dipengaruhi oleh bagaimana kita mampu mendialogkan
antara narasi besar berupa paradigma demokrasi dengan realitas
empirik atau cerita lokal yang ada saat ini. Kita perlu memperkuat
perimbangan wacana atau pembicaraan praksis, tidak hanya berkutat
pada wacana teknis, pandangan teknokratik administratif, yang dalam
beberapa hal terjebak pada birokratisasi dalam membaca gerak desa.
Namun harus dilengkapi dengan hal-hal substansi yang mencakup
145
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
ideologi, metodologi kerja pemberdayaan serta nilai-nilai transformasi
desa yang dibutuhkan Desa secara praksis partisipatoris. Kita
memerlukan kerja-kerja konkrit mendorong inisiatif dan kreativitas
baru untuk memaknai peluang perubahan yang lebih bermakna.
Disadari pula bahwa kerja pembaharuan desa bukan semestinya
berangkat dari jebakan perselisihan teknis administratif, yang ujungujungnya sekadar “menakut-nakuti desa”. Energi Desa jangan sampai
habis untuk membahas hal-hal teknis instrumental yang begitu asing
dengan desa. Jika hal-hal substansi ini berproses dengan mendalam,
hangat dan menyenangkan bagi orang-orang desa, maka optimisme
keberhasilan pembaharuan desa akan dapat dibuktikan capaiannya.
Pekerjaan yang musti dilakukan adalah, bagaimana mengawal
perubahan desa ini agar sesuai harapan. Sejumlah kemajuan desa,
terobosan dan inovasi yang tumbuh yang bisa dipetik dari 10 desa
sebagaimana diulas dalam buku ini, tentu dengan cerita positif desadesa lainnya di Indonesia perlu dipikirkan keberlanjutannya. Demikian
pula hambatan yang masih merintangi desa baik bersumber karena
fragmentasi regulasi dan kebijakan, maupun keterbatasan kapasitas
pada masing-masing komponen desa dalam menerjemahkan kerja
praksis, juga perlu didampingi.
Pintu perubahan lokalitas desa makin terbuka. Keberhasilan
memanfaatkan kesempatan ini berarti menjadi jalan mewujudkan
transformasi yang bermakna, menghasilkan desa mandiri, sejahtera
dan berwatak demokratis. Pengalaman membangun dari bawah, desa,
meyakinkan betapa situs baru demokrasi lokal ini layak dirawat dan
dikembangkan sebagai alternatif pendekatan membangun demokrasi
Indonesia.
146
DAFTAR PUSTAKA
Antlöv, H. (2002). Negara dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal.
Yogyakarta: Lapera.
Antlöv, H. & Cederroth, Sven (2001). Kepemimpinan Jawa.
Antlöv, Hans (2003). Kerangka Hukum Pemerintahan Desa Menurut UU
No. 22 Tahun 1999, Jurnal Forum Inovasi, Maret-Mei 2003.
Antlöv, Hans (2004). Civic Engagement in Local Government Renewal in
Indonesia, in Hans Antlov, et.al (2004), Citizen Participation in
Local Governance: Experiences from Thailand, Indonesia, and the
Philippines (Manila: IPD for Logolink Southeast Asia).
Bruinessen, M. v. (1994). NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian
Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS.
Chamber, R. (1996). Participatory Rural Appraisal, Memahami
Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.
Cho, Hee-Yeon (2008), “Democratization in Asia: Oligarchic Democracy and Democratic Oligarchy,” dalam Cho, Hee-Yeon Cho,
Lawrence Surendra and Eun-hong Park [eds.] (2008), States
of Democracy: Oligarchic Democracies and Asian Democratization
(Chinnai: Earthworm Books).
Darmawan, T. (2006). Gerakan Social, Wahana Civil Society Bagi
Demokratisasi, Jakarta: Pustaka LP3ES.
147
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
Demos (2005), Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di
Indonesia (Jakarta: Demos).
Diamond, L.(2005). Developing Democray, Toward Consolidation,
Yogyakarta: IRE Press.
Denhardt and Denhardt (2003). The New Public Service, Serving Not
Steering, London: M.E Sharpe.
Eko, Sutoro Eko. (2014). Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta:
FPPD.
Forrest, Joshua B. (2014). The Demise of Territorial Localism, paper prepared for presentation at the 23rd World Congress of Political
Science, International Political Science Association, Montréal, Canada, July 22nd.
Hadiz, Vedi R & Robison, Richard (2004), Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. (London:
RoutledgeCurzon).
Harriss, dkk. (2004). Politisasi Demokrasi, Politik Lokal Baru, Jakarta:
Demos.
Hefner, R. (1983). Ritual and Cultural Reproduction in Non-Islamic
Java. American Etnologist, Vol. 10, No. 4.
Husken, Frans.(1998). Masyarakat Desa Dalam Perubahan Jaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980, Jakarta: Gramedia.
Husna, Lilis Nurul (2009). Berprakarsa untuk Menjamin Partisipasi: Dokumentasi Pengalaman Organisasi Masyarakat Warga dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik, LGSP-USAID.
Ishak Salim, Perspektif Difabel dalam Politik di Indonesia, dalam Jurnal Difabel, Vol. 2 No.2, 2015
148
DAFTAR PUSTAKA
IRE. (2002). Annual Report 2001-2002: Desentralisasi dan Demokrasi Lokal. Yogyakarta: IRE Yogyakarta.
Jay, R. (1956). Local Government in Rural Central Java. Journal of
Asian Studies, Vol. 15, No. 2.
Ki Herman Sinung Janutama, Polowijan; Disabilitas dalam Masyarakat Eksotik, Lembaga SAPDA dan Kalimah Nuswantara, 2015
Klinken, Gerry van (2014), “Demokrasi Patronase Indonesia di
Tingkat Provinsial,” dalam AE Priyono & Usman Hamid
(2014), Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia).
Kuntowijoyo. (2002). Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Mietzner, Marcus (2012), “Indonesia Democratic Stagnation: AntiReformist Elits and Resilient Civil Society,” Democratization,
Vol. 19, No. 2.
Masaaki O, dkk (2006). Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta: IRE Press
Mustakim, Mochammad Z, (2015). Kepemimpinan Desa, Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia.
Mulder, N. (2001). Ideologi Kepemimpinan Jawa. Dalam H. Antlov,
& S. Cederroth, Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Peluso, Nancy Lee (2007), Violence, Decentralization and Resources Access in Indonesia, Peace Review, A Journal of Social Justice, No.
19, 2007.
Piliang Yasraf A, dkk. (2005). Republik Tanpa Ruang Publik, Yogyakar-
149
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
ta: IRE Press.
Rogers, Everett M, (1983). Diffusions of Innovations, Third Edition. New
York: Tree Press
Ruslin, Muhammad Afif (2000), Desa dan Negara: Studi tentang Kemandiran Desa dalam Konteks UU No. 22 Tahun 1999, Skripsi
pada Jurusan Ilmu Politik, FISIPOL, UGM.
Rajendar Singh, Social Movement, Old and New, A Post-modernist
Critique, Sage Publication, New Delhi, 2001
Ro’fiah, Teori Disabilitas: Sebuah Review Literatur, dalam Jurnal Difabel, Vol. 2 No.2, 2015
Robson, S. (1987). The Terminology of Javanese Kinship. Bijdragen tot
Taal Land en Volkenkunde, Vol. 143, No. 4.
Rozaki, Abdur. Dkk (2014). Dari Representasi Simbolik Menuju
Representasi Subtantif. Yogyakarta: IRE Press.
Sidel, J. T. (2004). Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia: Menuju Kerangka Analisis Baru Tentang “Orang Kuat
Lokal”. Dalam J. Harriss, K. Stokke, & O. Tornquist, Politisasi
Demokrasi: Politik Lokal Baru (hal. 71-104). Jakarta: Demos.
Sujito, Arie, 2016, “Desa dan Tantangan Demokrasi Lokal” (Makalah,
2016)
Tim Riset IRE Yogyakarta. (2017). Research Paper Studi Stock Taking
terhadap Inisiatif Desa dalam Mengembangkan Transparansi dan
Akuntabilitas melalui Praktik-Praktik Demokrasi Lokal. Yogyakarta: IRE.
Waluyo, H. (1997). Sistem Pemerintahan Tradisional di Tengger Jawa
Timur. Jakarta: Depdikbud
150
DAFTAR PUSTAKA
Winters, Jeffrey A. (2014), Oligarki dan Demokrasi di Indonesia, dalam
AE Priyono & Usman Hamid (2014), Merancang Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Zakaria, Y. (2000). Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde
Baru. Jakarta: ELSAM.
151
152
Public Interest
Formation
(Pembentukan
kepentingan
publik)
FAKTOR
LAMPIRAN
3.Punjulharjo: warga
berkepentingan atas otonomi pengelolaan Karang
Jahe Beach guna reclaiming kesejahteraan
3.Punjulharjo : BPD kredibel,
representatif dan kapabel
atas kepentingan pengelolaan Karang Jahe Beach
3.Punjulharjo: Kades
merespon, terbuka dan
bertanggungjawab atas
kepentingan pengelolaan Karang Jahe Beach
2.Panggungharjo : warga
berkepentingan atas reformasi birokrasi dan pelayanan publik guna reclaiming kesejahteraan
2.Panggungharjo: BPD
kredibel, representatif dan
kapabel atas kepentingan
reformasi birokrasi dan
pelayanan publik
2.Panggungharjo: Kades
merespon, terbuka dan
bertanggungjawab atas
kepentingan reformasi
birokrasi dan pelayanan
publik
1.Umbulharjo: warga
berkepentingan atas
otonomi pengelolaan air
bersih guna reclaiming
kesejahteraan
(idea of local territorial
autonomy, reassertion and
reclaiming of welfare)
CITIZEN INITIATIVE
1.Umbulharjo : BPD kredibel,
representatif dan kapabel
atas kepentingan pengelolaan air bersih. Forum-forum
informal desa demikian juga
REPRESENTATION (credibility,
representativeness capability)
1.Umbulharjo: Kades
merespon, terbuka dan
bertanggungjawab atas
kepentingan pengelolan
air bersih
(responsivity, responsibility,
and transparancy)
LEADERSHIP
Kerangka Analisis Politik Partisipatoris
Tabel
4.Mekarjaya: Kades
4.Mekarjaya: BPD kredibel,
4.Mekarjaya: warga
merespon, terbuka dan
representatif dan kapabel
berkepentingan atas pembertanggungjawab atas
atas kepentingan pembanbangunan lapangan sepak
kepentingan pembangugunan lapangan sepak bola
bola guna reclaiming kesnan lapangan sepak bola
ejahteraan pembangunan
5.Nglanggeran: BPD kurang
lapangan sepak bola
5.Nglanggeran: Kades
kredibel, kurang represenmerespon, terbuka dan
tatif dan tidak kapabel atas
5.Nglanggeran: warga
bertanggungjawab atas
kepentingan pengelolaan
berkepentingan atas
kepentingan pengeloSitus Gunung Api Purba.
otonomi pengelolaan
laan Situs Gunung Api
Forum-forum infomal desa
Situs Gunung Purba guna
Purba Nglanggeran
justru kredibel, representatif
reclaiming kesejahteraan
dan kapabel
6.Sidorejo: Kades mer6.Sidorejo: warga (kelompok
espon, terbuka dan
6.Sidorejo: BPD kurang kredimarginal) berkepentingan
bertanggungjawab atas
bel, kurang representatif dan
atas isu desa inklusi guna
kepentingan mengemtidak kapabel atas kepentinreclaiming kesejahteraan
bangkan desa inklusi
gan mendorong desa inklusi
7.Gulon: inisiatif warga lemah
7.Gulon: Kades kurang
7.Gulon: BPD kurang kredidan tidak berkepentinresponsif dan kurang
bel, kurang representatif
gan atas pembangunan
terbuka terhadap
dan tidak kapabel atas
rusunawa
kepentingan publik atas
kepentingan pembangunan
pembangunan rusunawa
rusunawa
LAMPIRAN
153
154
8.Ringinrejo: BPD kurang
kredibel, kurang representatif dan tidak kapabel atas
kepentingan reclaiming
tanah. Forum informal justru
kredibel dan kapabel atas
kepentingan reclaiming
lahan
9.Ngadisari: BPD kurang
kredibel, kurang representatif dan tidak kapabel atas
kepentingan perlindungan
10.
Cangkudu: Kades
aset tanah
tidak responsif, dan tidak
terbuka atas kepentin10.
Cangkudu: BPD
gan reformasi pelayanan
kurang kredibel, kurang reppublik
resentatif dan tidak kapabel
atas kepentingan reformasi
pelayanan publik
9.Ngadisari: Kades dikendalikan oleh pemimpin
informal dalam memutuskan kepentingan Perdes Perlindungan Tanah
Masyarakat Ngadisari.
8.Ringinrejo: Kades tidak
responsif, tidak terbuka
dan kurang bertanggungjawab atas kepentingan reclaiming lahan
10.
Cangkudu: inisiatif
warga lemah dan tidak
berkepentingan atas reformasi pelayanan publik
9.Ngadisari: warga (kelompok adat) berkepentingan
atas perlindungan tanah
8.Ringinrejo, warga
berkepentingan atas
reclaiming lahan guna
reclaiming kesejahteraan
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
(perluasan ruang
publik)
Extention
Public Space
3.Punjulharjo : Artikulasi atas
ide pengelolaan karang jahe
beach
3.Punjulharjo: Kades
mengakui dan memanfaatkan perluasan ruang
publik dalam pembahasan pengelolaan
karang jahe beach
4.Mekarjaya: Kades
mengakui dan memanfaatkan perluasan ruang
publik dalam pembahasan pembangunan
lapangan sepak bola
2.Panggungharjo: Artikulasi
atas ide reformasi birokrasi
dan pelayanan publik berlangsung melalui BPD dan
ruang-ruang informal desa,
dimana keduanya saling
terhubung
2.Panggungharjo: Kades
mengakui dan memanfaatkan perluasan
ruang publik dalam
pembahasan reformasi
birokrasi dan pelayanan
publik
4.Mekarjaya: Artikulasi atas
ide pembangunan lapangan
sepak bola berlangsung
melalui BPD dan ruangruang informal desa, dimana
keduanya saling terhubung
berlangsung melalui BPD
dan ruang-ruang informal
desa, dimana keduanya
saling terhubung.
1.Umbulharjo: Artikulasi atas
ide pengelolaan air bersih
berlangsung melalui BPD
dan ruang-ruang informal
desa, dimana keduanya
saling terhubung
1.Umbulharjo: Kades
mengakui dan memanfaatkan perluasan ruang
publik dalam pembahasan pengelolaan air
bersih
4.Mekarjaya : warga aktif
menyuarakan ide pembangunan lapangan sepak bola
melalui beragam ruang
informal desa
3.Punjulharjo: warga aktif
menyuarakan ide pengelolaan karang jahe beach
melalui beragam ruang
informal desa
2.Panggungharjo: warga
aktif menyuarakan ide
reformasi birokrasi dan
pelayanan publik melalui
beragam ruang informal
desa
1.Umbulharjo: warga aktif
menyuarakan ide pengelolaan sumber daya air melalui beragam ruang informal
desa
LAMPIRAN
155
156
8.Ringinrejo: kepala desa
tidak memanfaatkan
perluasan ruang publik
guna membahas isu
reclaiming lahan
8.Ringinrejo: Artikulasi atas
ide reclaiming lahan tidak
tersalurkan melalui BPD,
hanya terartikulasikan di
ruang-ruang informal desa
7.Gulon : Artikulasi atas ide
pembangunan rusunawa
berlangsung secara formal
melalui BPD saja
6.Sidorejo: Artikulasi atas
ide mengembangkan desa
inklusi berlangsung melalui
BPD dan ruang-ruang informal desa, meskipun keduanya tidak saling terhubung
6.Sidorejo: Kades mengakui dan memanfaatkan perluasan ruang
publik dalam pembahasan Forum Difabel
Sidorejo (FDS) untuk
menuju desa inklusi
7.Gulon: kepala desa tidak
memanfaatkan perluasan ruang publik guna
membahas isu pembangunan rusunawa.
5.Nglanggeran: Artikulasi
atas ide pengelolaan situs
gunung api purba berlangsung melalui BPD dan
ruang-ruang informal desa,
meskipun keduanya tidak
saling terhubung
5.Nglanggeran: Kades
mengakui dan memanfaatkan perluasan ruang
publik dalam pembahasan pengelolaan situs
desa wisata gunung
purba
8.Ringinrejo: warga aktif
menyuarakan ide reclaiming lahan melalui beragam
ruang informal desa
7.Gulon: warga aktif bergiat
di beragam ruang informal
desa tetapi tidak menyuarakan pembangunan
rusunawa
6.Sidorejo: kelompok warga
marginal aktif menyuarakan
ide desa inklusi melalui Forum Difabel Sidorejo (FDS)
5.Nglanggeran: warga aktif
menyuarakan ide pengelolaan situs desa wisata
gunung api purba melalui
beragam ruang informal
desa
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
2.Panggungharjo: Kades
terbuka dan bertanggungjawab untuk
merespon aspirasi dari
semua elemen desa atas
ide reformasi birokrasi
dan pelayanan publik
Publicness/Inclu1.Umbulharjo : Kades
siveness of Aspiraterbuka dan bertangtions (
gungjawab untuk
merespon aspirasi dari
inklusivitas dan
semua elemen desa atas
sifat-kepublikan
ide pengelolaan sumber
aspirasi-aspirasi)
daya air
10.Cangkudu: kepala desa
tidak memanfaatkan
perluasan ruang publik
guna membahas isu
reformasi pelayanan
publik
9.Ngadisari: Kades mengakui dan memanfaatkan perluasan ruang
publik dalam pembahasan isu perlindungan
tanah
1.Umbulharjo : warga aktif
menyuarakan isu pengelolaan sumberdaya air bersih
sebagai kepentingan bersama dan kemanfaatannya
untuk semua elemen desa
2.Panggungharjo: warga aktif
menyuarakan isu reformasi
birokrasi dan pelayanan
publik sebagai kepentingan
bersama dan kemanfaatannya untuk semua elemen
desa
2.Panggungharjo, Aspirasi
reformasi birokrasi dan pelayanan publik diartikulasikan melalui BPD atau forum
informal desa guna memenuhi derajat inklusifitas dan
kepublikan
10.
Cangkudu : warga
aktif dalam beragam ruang
informal desa tetapi tidak
aktif menyuarakan ide
reformasi pelayanan publik
9.Ngadisari : warga aktif
menyuarakan ide perlindungan aset tanah melalui
beragam ruang informal
desa
1.Umbulharjo: Aspirasi pengelolaan sumber daya air
diartikulasikan melalui BPD
atau forum informal desa
guna memenuhi derajat
inklusifitas dan kepublikan
10.
Cangkudu, Artikulasi
atas ide reformasi pelayanan publik berlangsung
secara formal melalui BPD
saja
berlangsung melalui BPD dan
ruang-ruang informal desa,
dimana keduanya saling
terhubung
9.Ngadisari : Artikulasi atas
ide perlindungan aset tanah
LAMPIRAN
157
158
5.Nglanggeran: Kades
terbuka dan bertanggungjawab untuk
merespon aspirasi dari
semua elemen desa atas
ide pengelolaan situs
gunung api purba
4.Mekarjaya : Kades terbuka dan bertanggungjawab untuk merespon
aspirasi dari semua
elemen desa atas ide
pembangunan lapangan
sepak
3.Punjulharjo : Kades
terbuka dan bertanggungjawab untuk
merespon aspirasi dari
semua elemen desa atas
ide pengelolaan pantai
Karang Jahe
3.Punjulharjo, warga aktif
menyuarakan isu Karang
Jahe sebagai kepentingan
bersama dan kemanfaatannya untuk semua elemen
desa
4.Mekarjaya, warga aktif
menyuarakan isu pembangunan lapangan sepak
bola sebagai kepentingan
bersama dan kemanfaatannya untuk semua elemen
desa
5.Nglanggeran, warga aktif
menyuarakan isu pengelolaan situs gunung api
purba sebagai kepentingan
bersama dan kemanfaatannya untuk semua elemen
desa
3.Punjulharjo : Aspirasi pengelolaan Karang Jahe diartikulasikan melalui BPD atau
forum informal desa guna
memenuhi derajat inklusifitas dan kepublikan
4.Mekarjaya : Aspirasi pembangunan lapangan sepak
bola diartikulasikan melalui
BPD atau forum informal
desa guna memenuhi derajat inklusifitas dan kepublikan
5.Nglanggeran : Aspirasi
pengelolaan situs gunung
api purba diartikulasikan
melalui BPD atau forum
informal desa guna memenuhi derajat inklusifitas dan
kepublikan
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
6.Sidorejo, Aspirasi pengem- 6.Sidorejo, hanya kelompok
bangan desa inklusi tidak
warga difabel yang mebisa diartikulasikan secara
nyuarakan mengembangbaik melalui BPD atau forum
kan desa inklusi sebagai
informal desa
kepentingan publik desa,
sedangkan kelompok lain
7.Gulon : Aspirasi pembantidak menyuarakan ide
gunan Rusunawa diartikudesa inklusi maupun isu
7.Gulon: Kades tertutup
lasikan elit desa melalui BPD,
publik lainnya
untuk merespon aspirasi
tidak mempertimbangkan
dari elemen desa atas
derajat inklusifitas dan
7.Gulon : Warga tidak aktif
ide-ide yang berdimensi
kepublikan
menyuarakan isu publik,
publik, karena Kades
termasuk isu pembangu8.Ringinrejo : Aspirasi relebih perhatian untuk
nan rusunawa.
claiming lahan tidak bisa
merespon ide pembandiartikulasikan melalui BPD,
8.Ringinrejo: warga aktif megunan rusunawa
padahal isu ini memenuhi
nyuarakan isu reclaiming
8.Ringinrejo: Kades tertuderajat inklusifitas dan
lahan sebagai kepentingan
tup untuk merespon askepublikan
bersama dan kemanfaatanpirasi dari elemen desa
nya untuk semua elemen
atas ide reclaiming lahan
desa
yang berdimensi publik,
karena Kades lebih perhatian untuk merespon
ide pembangunan fisik
6.Sidorejo: Kades terbuka
dan bertanggungjawab
untuk merespon khususnya aspirasi atas ide
pengembangan desa
inklusi, belum merespon
ide-ide lainnya
LAMPIRAN
159
160
Capital-Driven
Aglomeration
10.
Cangkudu, Aspirasi
reformasi pelayanan publik
dari kepala desa diartikulasikan secara formal-normatif
melalui BPD, tidak diartikulasikan melalui forum informal guna memenuhi derajat
inklusifitas dan kepublikan
9.Ngadisari : Aspirasi perlindungan aset tanah tidak
diartikulasikan melalui BPD,
tetapi driven by informal
leader
10.
Cangkudu, Warga
tidak aktif menyuarakan
isu publik, termasuk isu
reformasi pelayanan publik
9.Ngadisari : warga aktif
menyuarakan isu perlindungan aset tanah sebagai
kepentingan bersama dan
kemanfaatannya untuk
semua elemen desa
1.Umbulharjo: Kades
1.Umbulharjo : BPD kredibel,
1.Umbulharjo : Warga desa
mengajak masyarakat
kapabel dan diakui merepreaktif menyuarakan penolauntuk mengritisi rencana
sentasikan warga dalam mekan atas rencana investasi
investasi pihak swasta
nanggapi rencana investasi
yang tidak mementingkan
guna mengelola air berke desa
kesejahteraan warga.
sih dan penambangan
pasir abai terhadap
kelestarian lingkungan.
10.
Cangkudu : Kades
terbuka dan bertanggungjawab untuk
merespon aspirasi dari
semua elemen desa atas
ide reformasi pelayanan
publik
9.Ngadisari : Kades terbuka dan bertanggungjawab untuk merespon
aspirasi dari semua
elemen desa atas ide
perlindungan aset tanah
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
2.Panggungharjo: Kades
2.Panggungharjo : BPD
mengajak masyarakat
kredibel, kapabel dan diakui
untuk mengritisi rencana
merepresentasikan warga
investasi pihak swasta
dalam menanggapi rencana
guna mengelola aset
investasi ke desa
desa
3.Punjulharjo : BPD dianggap
3.Punjulharjo: Kades
tidak kredibel, kapabel dan
mengajak masyarakat
merepresentasi warga dalam
untuk mengritisi rencana
urusan merespon investasi
investasi pihak swasta
ke desa
guna mengelola pantai
4.Mekarjaya : BPD kurang
dan aset desa lainnya
kredebel, kapabel dan repre4.Mekarjaya: kades
sentatif dalam bernegosiasi
kompromis dengan
dengan kebijakan supradesa
pihak-pihak supradesa
5.Nglanggeran : BPD kredibel,
termasuk dalam isu
kapabel dan diakui mereprepengelolaan aset desa
sentasikan warga dalam me5.Nglanggeran : Kades
nanggapi rencana investasi
mengajak masyarakat
ke desa, meskipun belum
untuk mengritisi rencana
mampu melembagakannya
investasi pihak swasta
dalam bentuk Perdes
guna mengelola situs
gunung api purba dan
aset desa lainnya
5.Nglanggeran: Warga desa
aktif menyuarakan penolakan atas rencana investasi
yang tidak mementingkan
kesejahteraan warga
4.Mekarjaya : warga menyuarakan kepentingankepentingan untuk perbaikan kesejahteraan desa
3.Punjulharjo, Warga desa
aktif menyuarakan penolakan atas rencana investasi
yang tidak mementingkan
kesejahteraan warga.
2.Panggungharjo : warga
menyuarakan kepentingankepentingan untuk perbaikan kesejahteraan desa
LAMPIRAN
161
162
6.Sidorejo: BPD kurang kredebel, kapabel dan representatif dalam bernegosiasi
dengan kebijakan supradesa
6.Sidorejo : warga menyuarakan kepentingan-kepentingan untuk perbaikan
kesejahteraan desa
7.Gulon : BPD kurang kre7.Gulon : warga masih
debel, kapabel dan reprepasif untuk menyuarakan
7.Gulon: Kades bersikap
sentatif dalam bernegosiasi
kepentingan-kepentingan
tidak jelas dalam merdengan kebijakan supradepublik
espon tawaran atau kensa, disamping para anggota
8.Ringinrejo : warga medali dari pihak supradesa
BPD memang “kroninya”
nyuarakan kepentinganatas aset-aset desa yang
Kades
kepentingan untuk perbaidikuasainya
8.Ringinrejo : BPD kurang
kan kesejahteraan desa
8.Ringinrejo: Kades berkredebel, kapabel dan represikap tidak jelas dalam
sentatif dalam bernegosiasi
merespon kepentingan
dengan kebijakan supradesa
warga petani yang menuntut reclaiming lahan
dari pihak supradesa,
cara pandangnya legal
formal
6.Sidorejo : Kades bersikap tidak jelas dalam
merespon tawaran
atau kendali dari pihak
supradesa atas aset-aset
desa yang dikuasainya
DESA: SITUS BARU DEMOKRASI LOKAL
10.Cangkudu : Kades
mengajak masyarakat
untuk mengritisi rencana investasi pihak
swasta
9.Ngadisari : Kades dan
mantan Kades (informal leader) berkomitmen dan mengajak
masyarakat desa untuk
melindungi aset lahan
produktif warga Tengger
dari ancaman investasi.
10.Cangkudu : BPD kurang
10.Cangkudu : warga mekredebel, kapabel dan reprenyuarakan kepentingansentatif dalam bernegosiasi
kepentingan untuk perdengan kebijakan supradesa
baikan kesejahteraan desa
melalui proses investasi
9.Ngadisari : BPD kurang
9.Ngadisari : Warga desa
kredebel, kapabel dan repreaktif menyuarakan penolasentatif dalam bernegosiasi
kan atas rencana investasi
dengan kebijakan pemdes
yang tidak mementingkan
maupun supradesa
kesejahteraan warga
LAMPIRAN
163
164
Download