USIA PERKAWINAN DI INDONESIA DAN

advertisement
USIA PERKAWINAN DI INDONESIA DAN MALAYSIA
(Studi Komparatif Undang-Undang Perkawinan Indonesia dan Negara Bagian Sarawak)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
M. RASYID RIDHA
NIM. 1111044100010
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
(AHWAL SYAKHSHIYYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2016 M
ABSTRAK
M. Rasyid Ridha. NIM: 1111044100010. Judul Skripsi ini adalah “Usia
Perkawinan di Indonesia dan Malaysia (Studi Komparatif Undang-Undang
Perkawinan Indonesia dan Negara Bagian Sarawak).” Fokus utama studi ini adalah
bagaimana ketentuan usia perkawinan menurut Undang-Undang di Indonesia dan
Negara Bagian Sarawak serta persamaan dan perbedaannya dalam menentukan usia
perkawinan. Program Studi Hukum Keluarga Islam, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1438 H / 2016 M. x + 63 Halaman.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam mengenai: pertama,
bagaimana ketentuan usia perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1874
dan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001; kedua, persamaan dan
perbedaan penetapan usia perkawinan dalam berbagai aspek menurut Undangundang No 1 Tahun1974 dan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun
2001
Metode pendekatan yang digunakan dalam studi ini ialah melalui pendekatan
Deskriptif-Komparatif. Pendekatan Deskriptif-Komparatif yakni membandingkan
suatu peraturan di suatu negara dengan aturan di negara lain berkaitan suatu hal yang
sama. Metode penelitian hukum yuridis yang bertitik tolak pada analisis terhadap
peraturan perundang-undangan yang membahas usia perkawinan yang dimuat dalam
Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Ordinan 43 Negeri Sarawak.
Studi ini menyimpulkan bahwa penentuan usia perkawinan di antara kedua
negara yakni Indonesia dan Negeri Sarawak (Malaysia) bagi laki laki memiliki
perbedaan dalam rentang usia satu tahun, bagi di Indonesia usia laki-laki boleh
menikah jika mencapai umur minimal 19 Tahun, sedangkan di Negeri Sarawak
(Malaysia) 18 Tahun, bagi mempelai perempuan usia minimal boleh menikah tetap
sama 16 tahun.
Persamaan yang ditemukan dari kedua peraturan tersebut
menyangkut bidang teknis-administrasi seperti diwajibkannya izin tertulis dari pihak
yang berwenang jika terjadi perkawinan dibawah dari usia yang ditentukan. Dari
penentuan usia perkawinan bagi kedua Negara tetap memenuhi asas-asas umum dari
perkawinan yaitu pentingnya kematangan (kedewasaan) dalam usia bagi kedua calon
mempelai. Namun kurang memperhatikan aspek penentu kedewasaan seseorang
meliputi layak menikah secara Psikologi dan Medis.
Kata Kunci
: Usia Perkawinan, Undang-undang
Pembimbing
: Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, M.A
Daftar pustaka : 1960 s/d 2014
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan Semesta Alam. Yang telah memberikan
nikmat dan karunia yang tidak terhingga kepada saya sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi
Besar Muhammad Saw. Kepada keluarga, sahabat, dan seluruh umat Islam yang setia
hingga akhir zaman.
Saya ucapkan Alhamdulillah atas karunia Allah Swt sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Usia Perkawinan di Indonesia dan Negara
bagian Sarawak (Studi Komparatif Undang-Undang Perkawinan Indonesia dan
Negara Bagian Sarawak)” sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mengenai perihal penyelesaian studi ini, banyak pelajaran serta manfaat yang
didapatkan dan kesan yang bermakana. Oleh karena itu, atas tersusunnya skripsi ini
saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memeberikan bantuan,
baik dalam membimbing, memberikan petunjuk, doa serta dukungan terutama kepada
kedua orang tua saya yang selalu memberikan kasih sayang terus-menerus tiada
hentinya, semoga Allah Swt. Selalu memberikan keberkahan serta pahala disisi Allah
Swt. Aamiin.
Pada kesempatan ini patut saya mengucapkan terimakasih kepada:
vi
1. Dr. Asep Saepuddin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
beseta segenap pimpinan, karyawan, dan staf yang telah berperan terhadap
kemajuan kualitas spritual dan intelektual Mahasiswa/I Fakultas Syariah
dan Hukum.
2. Dr. Abdul Halim, M.Ag. ketua Program Studi Ahwal Al-Syakshiyyah, dan
Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakshiyyah Arip Purkon, M.A. yang
telah banyak memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. H. A. Juaini Syukri, Lc, M,A sebagai dosen pembimbing akademik
yang telah memberikan dukungan dan arahan intelektual maupun spritual
terhadap penulis selama masa perkuliahan hingga selesai masa studi.
4. Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan selaku dosen pembimbing skripsi yang
penuh dengan rasa sabar dalam memberikan arahan, saran, bimbingan
serta motivasi kepada penulis selama penulisan skiripsi ini.
5. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik, memberikan pengetahuan
intelektual serta memberikan bantuannya kepada penulis.
6. Seluruh staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum atas pelayanan yang sangat
membantu dalam penulisan skripsi ini.
7. Untuk kedua orang tua saya tercinta, Ayahanda H. Helminizami, S.H.,
M.H. serta ibunda tercinta Hj. Faridah. Kakak-kakak yang memberikan
vii
support dan dukungan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi
ini H. Ahmad Zaki Yamani, S.Hi., M.H, Hj Imra Atus Shalihah, S.Hi,
Khalisatun Nisa, S.Hi,. M.H, Sayyidatul Mu’minah, S.Hi, dan adik-adik
saya Muhammad Hafidz Al-Sirazi, dan Muhammad Iqbal yang telah
memberikan dukungannya.
8. Serta sahabat-sahabat seperjuangan selama kuliah di UIN syarif
Hidayatullah Jakarta diantanya Fauzan Hakim, S.Sy, Hatoli, S.Sy, Zainal
Arifin, S.Sy. dan teman-teman lainnya di Jurusan Peradilan Agama kelas
A dan B, Fakultas Syariah dan Hukum angkatan 2011 yang telah
mewarnai hari-hari penulis dengan hal-hal positif serta memberikan kesan
tersendiri selama mendalami studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Oleh karenanya, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh komponen
yang telah berjasa dan memberikan kontribusinya. Penulis tidak bisa membalas
kebaikan mereka kecuali doa, semoga Allah Swt membalas amal perbuatan
semuanya. Aamiin.
Ciputat,
10
November
2016
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...........................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ....................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................
iv
ABSTRAK .................................................................................................................
v
KATA PENGANTAR ...............................................................................................
vi
DAFTAR ISI ..............................................................................................................
ix
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................
1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah .................................................
5
C. Rumusan masalah ................................................................................
6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................................
6
E. Studi Review Terdahulu ......................................................................
7
F. Metode Penelitian ................................................................................
9
G. Sistematika Penelitian .........................................................................
11
BATAS USIA PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG
PERKAWINAN NO 1 TAHUN 1974
A. Sejarah Singkat Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 ........
13
1. Latar Belakang Undang-undang Perkawinan ...............................
13
2. Landasan dan Dasar Hukum Undang-undang Perkawinan ...........
17
B. Kententuan Umum tentang Perkawinan dalam Undang-undang ........
18
1. Pengertian Perkawinan ..................................................................
18
2. Asas-asas Perkawinan ...................................................................
21
3. Syarat-syarat Perkawinan ..............................................................
25
C. Usia Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan ....................
27
ix
BAB III
BATAS
USIA
PERKAWINAN
MENURUT
ORDINAN
43
KELUARGA ISLAM NEGERI SARAWAK TAHUN 2001
A. Sejarah Singkat Ordinan 43 Keluarga Islam Tahun 2001 ...................
32
1. Latar Belakang Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak
Tahun 2001 ...................................................................................
32
2. Landasan dan Dasar Hukum Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri
Sarawak Tahun 2001 .....................................................................
37
B. Ketentuan Umum tentang Perkawinan Menurut Ordinan 43 Keluarga
Islam Negeri Sarawak Tahun 2001 .....................................................
40
1. Pengertian Perkawinan ..................................................................
40
2. Asas-asas Perkawinan ..................................................................
42
3. Syarat-syarat Perkawinan ..............................................................
43
C. Usia Perkawinan Menurut Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri
Sarawak Tahun 2001 ...........................................................................
BAB IV
44
PERBANDINGAN BATAS USIA PERKAWINAN MENURUT
UNDANG-UNDANG
PERKAWINAN
DI
INDONESIA
DAN
ORDINAN 43 KELUARGA ISLAM NEGERI SARAWAK TAHUN
2001
A. Persamaan Usia Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan
dan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001 ...........
46
B. Perbedaan Usia Perkawinan Menurut Undang-undang Perkawinan
dan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001 ...........
BAB V
51
PENUTUP
A. Kesimpulan .........................................................................................
56
B. Saran-saran ..........................................................................................
58
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................
60
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya, Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas usia
perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas usia minimal dan maksimal
untuk melangsungkan perkawinan diasumsikan memberi kelonggaran bagi manusia
untuk mengaturnya. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan
perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu. Sesuai dengan Firman Allah Swt
dalam QS An-Nuur : 32 yang menyatakan :
           
)32 : ‫ (انور‬.       
Artinya : “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang diantara kamu,
dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)
lagi Maha mengetahui”. 1
Siap dan mampu bukan suatu tolok ukur dalam pernikahan, akan tetapi
kematangan Psikis dan kejiwaan yang ditandai dengan ukuran usia seorang calon
mempelai bak laki-laki maupun perempuan yang utama. Penikahan atau perkawinan
adalah suatu anjuran bagi setiap umat beragama Islam diseluruh belahan belahan dunia
temasuk Indonesia dan Malaysia. Negara telah mempunyai hukum yang diadopsi dari
ajaran Islam baik Itu Indonesia Maupun Malaysia, berkaitan di Indonesia hukum tentang
1
Departemen Agama RI, Al – Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Al Huda, 2005, h. 355.
1
2
perkawinan, secara formal perkawinan dituangkan dalam Undang-undang No 1 Tahun
1974 tetang Perkawinan. Adapun di Malaysia yakni negara bagian Sarawak dengan
aturan Ordinan 43 Tahun 2001 Undang-undang Keluarga Islam
Di dalam suatu pernikahan diperlukan adanya pedoman bagi warga negara
Indonesia yang melaksankan pernikahan agar terciptanya tujuan dari pernikahan.
Pedoman ini merupakan tata atau aturan-aturan yang lazim juga disebut kaidah atau
norma.2
Yang dimaksud dengan Undang-undang adalah ketetapan yang di bentuk oleh
perlengkapan negara yang mempunyai kewenagan membentuk undang-undang dalam hal
ini adalah DPR atau MPR, yang di sahkan dan di undangkan sebagaimana mestinya.3
Hanya saja isi Undang-undang perkawinan kontemporer tersebut tidak mendapat
sambutan positif dari mayoritas kaum Muslimin. Terbukti berdasarkan sejumlah
penelitian, aturan perundang-undangan perkawinan belum dijadikan sebagai nilai yuridis,
filosofis, dan sosiologis mayoritas Muslim, termasuk didalamnya Muslim Indonesia dan
Malaysia.4
Sementara menurut Atho Mudzhar, terdapat empat aspek penting dalam
perubahan yang tidak ada dalam kitab fiqih klasik, yaitu masalah pembatasan usia
menikah dan perbedaan usia antara dua pasangan, masalah pencatatan perkawinan,
2
Mufti Wirihardjo, Kitab Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada,
1972). Cet 1, h. 6
3
Kusumadi Pudjosewoyo, Pedoman Pembelajaran Tata Hukum Di Indonesia, (Jakarta: PT
Penerbit Universias, 1966), h. 74.
4
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia. (Jakarta: INIS, 2002). h. 6.
3
masalah pembatasan dan pelarangan poligami, dan masalah penjatuhan talak di depan
pengadilan.5 Sedang yang menjadi fokus bahasan ialah mengenai pembatasan usia
menikah serta perbedaan usia di antara dua pasangan calon yang akan menikah.
Dalam tataran konstitusional perkawinan ini tidak hanya sebatas hubungan antara
suami dan istri, namun lebih dekat pada hal-hal yang berisikan hubungan pribadi antara
pihak yang terlibat dalam perbuatan hukum. Dalam tata hukum di Indonesia perkawinan
menempati posisi formal dan oleh karena itu, menuruti Undang-undang No 1 Tahun
1974 pasal 2 ayat (2) perkawinan harus dicatat.6 Sekarang Pemerintah telah
mengeluarkan kebijakan yang terdapat pada Undang-undang No 1 Tahun 1974 pada
pasal 7 ayat (1) yang berisi perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.7 Pada usia tersebut, baik
laki-laki maupun perempuan diasumsikan telah mencapai usia minimal untuk
melangsungkan perkawinan. Selain itu dalam Undang-undang No1 Tahun 1974 pada
pasal 6 ayat (2) menyebutkan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang
belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua atau
wali.
Batasan umur yang termuat dalam Undang-undang perkawinan sebernanya masih
belum terlalu tinggi dibanding dengan beberapa negara lainnya di dunia. Aljazair
misalnya, umur melasungkan pernikahan itu, laki-lakinya 21 tahun dan untuk wanita 18
5
Muhammad Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam, (Jakarta: Paramadina,
1995), h. 318.
6
Abdurrahman, Himpunan Undang-undang Tentang Perkawinan No 1 Tahun 1974, (Jakarta:
Gema Insani Pers, 1996), Cetakan 1, h. 64
7
Abdurrahman, Himpunan Undang-undang Tentang Perkawinan No 1 Tahun 1974, h. 66
4
tahun. Demikian juga dengan Bangladesh menetapkan umur 21 tahun laki-laki dan umur
wanita 18 tahun. Malaysia membatasi Usia perkawinannya, laki-laki berumur 18 tahun
dan yang wanita 16 tahun. Dan rata-rata negara di dunia membatasi usai perkawinan, laki
laki 18 tahun dan wanitanya berkisar antara 15 dan 16 tahun.8
Salah satu undang-undang Malaysia yakni pada Bagian Sarawak Ordinan 43
Keluarga Islam Negeri Sarawak bagian seksyen 7 dalam umur minimal untuk perkawinan
untuk laki-laki 18 tahun dan umur perempuan 16 tahun, seperti dijelaskan dalam seksyen
7 berikut:
Tiada Perkahwinan boleh diakadnikahkan di bawah ordinan ini jika lelaki itu
berumur kurang daripada lapan belas tahun atau perempuan itu berumur kurang
daripada enam belas tahun kecuali jika Hakim Syarie telah memberi
kebenarannya secara tertulis dalam hal keadaan tertentu.9
Memang perbedaan dalam menentukan batas usia perkawinan antara Undangundang perkawinan di Indonesia dan malaysia tidak terlalu jauh dalam hal umur standar
minimal boleh melakukan pernikahan. Pembaruan hukum perkawinan kontemporer di
negara Muslim seperti di Indonesia dan Malaysia, karena pemberlakuan undang-undang
di Indonesia bersifat universal, sedangkan di Malaysia yang menganut sistem federal.
Maka aturan hukum perkawinan berbeda antar negara bagian.
Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan mengangkat judul skripsi : Usia Perkawinan di
8
Tahir Mahmod, Personal Law In Islamic Countries, (New Delhi: Academy of Law and Religion,
1987), h. 270.
9
Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001, Seksyen 7.
5
Indonesia dan Malaysia (Studi Komparatif Undang-Undang Perkawinan Indonesia
dan Negara Bagian Sarawak).
B. Identifikasi Dan Pembatasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari uraian yang ada pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat
disebutkan identifikasi masalah di bawah ini yang akan di jelaskan lebih lanjut, yaitu:
a. Batas usia perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974
b. Batas usia perkawinan menurut Ordinan 43 Keluarga Islam Tahun 2001
c. Persamaan dan perbedaan batas usia perkawinan menurut Undang-undang
dan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan berkenaan dengan penentuan usia perkawinan
menurut perspektif hukum keluarga Islam, baik negara-negara Islam yang menggunakan
hukum keluarga sebagai tolok ukur dalam penentuan usia yang ideal dalam perkawinan,
maka penulis di sini membatasi hanya hukum keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia
dalam hal ini Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan Ordinan 43 keluarga Islam Negeri
Sarawak Tahun 2001 sebagai undang-undang yang akan diteliti sebagai sumber rujukan
utama.
6
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari identifikasi dan pembatasan masalah, selanjutnya penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana ketentuan batas usia perkawinan menurut Undang-undang No 1
Tahun 1974 dan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan Batas Usia Perkawinan menurut Undangundang No 1 Tahun 1974 dan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun
2001?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui penetapan batas usia perkawinan menurut Undang-undang No 1
Tahun 1974 dan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001
b. Mengetahui persamaan dan perbedaan tentang usia perkawinan menurut
Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri
Sarawak Tahun 2001
2. Manfaat Penelitian
Dalam penulisan diharapkan dapat memberikan manfaat:
a. Memberikan wawasan secara umum mengenai usia perkawinan, serta
perbedaan dan persamaannya antara Undang-undang Perkawinan di Indonesia
dengan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak.
7
b. Menjadi rujukan bagi akademisi tentang bagaimana analisa secara mendalam
persamaan dan perbedaan dalam penentuan batas usia perkawinan
c. Menambah khazanah pengetahuan dalam keilmuan bidang Hukum Keluarga
baik secara teoritis maupun praktis.
d. Selanjutnya menjadi bahan tambahan tehadap mahasiswa yang akan
melakukan penelitian berkaitan dengan batas usia perkawinan.
E. Studi Review Terdahulu
Dari hasil penelusuran pada katalog Skripsi pada Perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta terdapat beberapa judul yang berkaitan secara garis besar, namun
memiliki pembahasan yang berbeda. Baik itu secara tematik serta objek kajian yang
diteliti. Adapun kajian terdahulu yang penulis temukan diantaranya.
Muhammad Syarif Hidayatullah, menjelaskan tentang batas usia ideal untuk
menikah menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditinjau dari
hukum Islam, serta batas-batas seseorang yang dewasa serta cakap dan cukup usia untuk
menikah menurut Undang-undang No 1Tahun 1974 tentang Perkawinan.10
Haris Santoso, menjelaskan batas minimal usia melakukan penikahan menurut
hukum positif dan hukum Islam sebenarnya sama-sama mengutamakan kemaslahatan
guna tercapainya tujuan dari pernikahan tersebut, walaupun dalam Islam sendiri tidak ada
10
Hidayatullah, Muhammad Syarif, “Batas Usia Dewasa Untuk Menikah menurut Undangundang No 1 Tahun 1974Ditinjau dariHukum Islam” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta: 2012)
8
batasan usia minimal dalam melakukan perkawinan tetapi yang menjadi patokan ada
baligh nya seseorang, baik itu laki-laki maupun wanita.11
Udi Wahyudi, menjelaskan tentang tingkat kedewasaan antara laki-laki dan
perempuan serta relevansinya dengan batas usia perkawinan perbandingan antara hukum
Islam dan pandangan medis. Berdasarkan aspek medis, menurut penelitian ini usia
perkawinan sudah tidak relevan yakni terlalu muda untuk ukuran seorang perempuan 16
tahun. Sedangkan hukum Islam sendiri mengisyaratkan pentiingnya kedewasaan bagi
kedua calon mempelai.
Dari ketiga skripsi kajian terdahulu di atas mengenai garis besar batas
kedewasaan dalam usia perkawinan, perbedaan dengan skripsi penulis objek kajian dari
batas kedewasaan dalam usia perkawinan itu sendiri, yakni lebih menitikberatkan pada
mengkomparatifkan undang-undang perkawinan antar negara Indonesia dan Malaysia
melibatkan faktor-faktor penentu dalam menentukan usia perkawinan. Di Indonesia
sendiri faktor penentu dalam menentukan usia perkawinan ideal meliputi Faktor: Sosial,
Psikologi, kedokteran serta dalam kajian hukum Islam secara umum. Persamaan dari
ketiga skripsi diatas dijelaskan yakni sama-sama menjelaskan dan menguraikan hal-hal
yang berkenaan dengan usia perkawinan.
11
Haris Santoso, “Batas Minimal Usia melakukan perkawinan di Indonesia Perspektif Imam
Madzhab” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2010)
9
F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian dan Pendekatan
Untuk jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian guna
menemukan jawaban terhadap suatu fenomena atau pertanyaan melalui prosedur aplikasi
ilmiah secara sistematis.12 Dengan menggunakan pendekatan Deskriptif – Komparatif,
yakni dilakukan dengan membandingkan suatu peraturan di suatu negara dengan aturan
di negara lain berkaitan dengan suatu hal yang sama. Dalam hal
ini penulis
membandingkan mengenai usia perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974
di Indonesia dengan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak di Negara Malaysia.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan terdiri dari sumber data primer dan
sekunder.13 Diantara data tersebut yakni:
a. Data Primer mencakup Undang-undang
yang membahas mengenai usia
perkawinan yaitu Undang-undang No 1 Tahun 1974 di Indonesia, dan
Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001.
b. Data Sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen, buku-buku, hasilhasil penelitian maupun yang berwujud laporan, dan sebagainya.14 Dan yang
berkaitan dengan pokok permasalahan dari penelitian ini.
12
13
15.
14
Muri Yusuf, Metode Penelitian, (Jakarta: Prenadamedia, 2014), h. 329
Soerjono Soekanto dan Srimudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali, 1990), h. 14-
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 30
10
3. Teknik Pengumpulan Data
Studi Kepustakaan (Library Research) yang dilakukan untuk memperoleh data
Primer maupun sekunder sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan di atas.
Adapun dokumen yang akan diteliti dalam studi ini, yaitu Undang-undang No 1 Tahun
1974 di Indonesia, dan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan di inpretasikan.15 Atau mudah dipahami dan di informasikan
kepada orang lain. Data-data yang terkumpul kemudian dianalisa. Teknik analisa data
yang digunakan adalah teknik analisa Deskriptif-Komparatif. Pertama Deskriptif Yakni
menggambarkan ketentuan tentang usia ideal seseorang dalam melakukan perkawinan
yang terdapat dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan Ordinan 43 Keluarga Islam
Negeri Sarawak Tahun 2001. Dan yang kedua Komparatif yaitu membandingkan
penetapan usia melakukan perkawinan antara Undang-undang Perkawinan di Indonesia
dengan Ordinan 43 keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001 kemudian diuraikan
analisis dari perbedaan dan persamaannya.
5. Teknik penulisan
Teknik penulisan dalam studi ini, merujuk pada pedoman penulisan skripsi, tesis,
dan disertasi, disertai dengan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan
15
1, h. 263.
Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1996), Cet.
11
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan
Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum Jakarta Tahun 2012 dengan sedikit
pengecualian dalam penulisan yaitu:
a. Terjemahan Alquran dan Hadis diketik satu spasi sekalipun kurang dari enam
baris, dengan diberi tanda petik di awal dan di akhir kalimat.
b. Kutipan yang berasal dari bahasa asing (kecuali Alquran dan hadis) diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia.
c. Istilah-istilah asing dan catatan-catatan yang terdapat di dalam penulisan, ditulis
dengan cetakan miring.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mencapai sebuah karya ilmiah yang sistematis, maka penulis menggunakan
perincian sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Identifikasi,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Studi Review
Terdahulu, Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan.
BAB II BATAS USIA PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG
PERKAWINAN Sub Bab nya terdiri dari Pembahasan Undang-undang Perkawinan No 1
Tahun 1974 Meliputi latar belakang, landasan hukum . Ketentuan umum tentang
perngertian Perkawinan, asas-asas perkawinan, syarat-syarat perkawinan, serta usia
perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
12
BAB
III
BATAS
USIA
PERKAWINAN
MENURUT
ORDINAN
43
KELUARGA ISLAM NEGERI SARAWAK TAHUN 2001 Sub Bab nya terdiri dari:
Pembahasan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001, meliputi latar
belakang, landasan. Ketentuan umum tentang pengertian Perkawinan, asas-asas
dan,syarat-syarat perkawinan serta usia perkawinan menurut Ordinan 43 Keluarga Islam
Negeri Sarawak Tahun 2001.
BAB IV PERBANDINGAN BATAS USIA PERKAWINAN MENURUT
UNDANG-UNDANG
PERKAWINAN
DI INDONESIA
DAN ORDINAN 43
KELURGA ISLAM NEGERI SARAWAK TAHUN 2001 Sub Bab nya terdiri dari
perbedaan dan persamaan Menurut Undang-undang Perkawinan dan Ordinan 43
Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001.
BAB V PENUTUP yakni bagian akhir dari suatu penelitian yang terdiri dari
Kesimpulan, serta Saran-saran yang menunjang dari hasil penelitian ini.
BAB II
BATAS USIA PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
NO 1 TAHUN 1974
A. Sejarah Singkat Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974
1. Latar Belakang Undang-Undang Perkawinan
Salah satu hukum Islam yang di terapkan di Indonesia ialah Undang-Undang
Perkawinan dalam bahasan ini ialah segala sesuatu dalam bentuk aturan yang dapat dan
dijadikan petunjuk oleh umat Islam dalam hal bidang perkawinan dan dijadikan pedoman
hakim di lembaga Peradilan Agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara
perkawinan.1
Pasca kemerdekaan Bangsa Indonesia atas sebagian dari umat Islam kala itu
terhadap DPR barulah pada tanggal 2 Januari 1974 dengan Undang-undang No 1 Tahun
1974 dapat menciptakan undang-undang perkawinan. Sekedar melihat kembali prolog
kelahiran undang-undang ini, akan di utarakan beberapa pendapat yang mendahului
pembicaraan rencana itu sendiri di DPR (Dewan Perwakilan Rakayat) kala itu:
a. Segala suara dari golongan Islam yang tergabung dalam organisasi
masyarakat dan organisasi sosial menolak rencana tersebut.
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 20.
13
14
b. Adanya peristiwa pada tanggal 27 September 1973, dimana sebagian masssa
umat Islam mendatangi DPR dengan tuntutan penolakan rencana undangundang tersebut akan diadakan revisi.2
Dalam kaitannya dengan pembentukan perundang-undangan, khususnya undangundang perkawinan perlu dicatat tentang keberadaan undang-undang tersebut. Pada
Tanggal 16 Agustus 1973 pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU)
Perkawinan. Satu bulan diajukannya rancangan undang-undang tersebut timbul reaksi
keras dari berbagai kalangan dari umat Islam kala itu. Rancangan Undang-undang
tersebut sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam dan ada anggapan yang lebih
keras lagi, rancangan tersebut ingin mengkristenkan Indonesia. Di lembaga legislatif,
Fraksi Persatuan Pembangunan adalah fraksi yang sangat keras menentang rancangan
undang-undang tersebut karena bertentangan dengan fiqh Islam. Kamal Hasan
menggambarkan bahwa semua ulama baik dari kalangan tradisional maupun modernis,
dari Aceh sampai Jawa Timur menolak rancangan undang-undang tersebut.3
Undang-undang No 1 Tahun 1974 ini adalah hasil suatu usaha untuk menciptakan
hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku bagi setiap warga Republik Indonesia,
undang-undang ini merupakan hasil legislatif yang pertama yang memberikan gambar
yang nyata tentang kebenaran dasar azasi kejiwaan dan kebudayaan “Bhineka Tunggal
2
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: CV Zahir Trading, 1975), h. 1
Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia: Respons Cendekiawan Muslim, (Jakarta: Lingkaran Studi
Indonesia, 1978), h. 190.
3
15
Ika” yang dicantumkan dalam lambang negara Indonesia, selain sungguh mematuhi
Falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.4
Adapun yang sudah menjadi peraturan perundang-undangan negara yang
mengatur perkawinan ditetapkan setelah Indonesia merdeka, meliputi sebagai berikut:5
a. Undang-undang No 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undangundang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 Undang-undang No
22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh daerah
Luar Jawa dan Madura.
b. Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
merupakan hukum materil dari perkawinan.
c. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
No 1 Tahun 1974.
d. Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sebagian dari
materi undang-undang ini memuat aturan yang berkenaan dengan tata cara
(hukum formil) penyelesaian sengketa perkawinan di Peradilan Agama.
Awal mula undang-undang perkawinan disahkan oleh DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat) dalam sidang paripurna pada tanggal 22 Desember 1973, setelah Rancangan
Undang-Undang
sempat mengalami pembahasan selama tiga bulan, kemudian
Rancangan Undang-undang perkawinan dinyatakan sah sebagai lembaran negara tepat
4
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, (Jakarta:
Tintamas, 1975), h. 5.
5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, h. 21
16
pada tanggal 2 Januari 1974, dengan berlakunya undang-undang tersebut, maka segala
peraturan yang berkaitan perkawinan terdahulu dinyatakan tidak berlaku lagi.
Lahirnya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku
bagi semua warga negara RI tanggal 02 Januari 1974 untuk sebagian besar telah
memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia. Tuntutan ini sudah di kumandangkan sejak
Kongres Perempuan Indonesia pertama pada tahun 1928 yang kemudian dikedepankan
dalam kesempatan-kesempatan lainnya, berupa harapan perbaikan kedudukan bagi
wanita dalam perkawinan. Perbaikan yang didambakan itu terutama bagi golongan
“Indonesia Asli” yang beragama Islam dimana hak dan kewajibannya dalam perkawinan
tidak diatur dalam hukum tertulis. Hukum perkawinan orang Indonesia asli yang
beragama Islam yang tercantum dalam kitab-kitab Fikih, menurut sistem hukum
Indonesia tidaklah dapat digolongkan dalam kategori hukum tertulis, karena tidak tertulis
dalam aturan yang di sahkan menjadi lembaran negara.6
Masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian pergerakan wanita pada waktu itu
adalah masalah, perkawinan paksa di bawah umur, poligami, dan talak yang sewenangwenang.
Pada tanggal 01 April 1975, setelah 1 tahun 3 bulan Undang-undang Perkawinan
di undangkan, lahir Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 yang memuat peraturan
pelaksanaan Undang-undang Perkawinan tersebut. Dan dengan demikian, mulai 01
6
Erfaniah Zuhriah, Peardilan Agama di Indonesia: Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut,
(Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 128.
17
Oktober 1975 Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 itu telah berjalan secara
efektif.7
2. Landasan dan Dasar Hukum Undang-Undang Perkawinan
Perlu di ketahui bahwasanya segala sumber pokok perundang-undangan di
Indonesia ialah bersumber dari Pancasila dan UUD Tahun 1945. Salah satu butir sila
dalam Pancasila ialah sila pertama yakni Ketuhahan yang Maha Esa. Kemudian ide dan
cita-cita dari sila pertama ini di implementasikan pada UUD Tahun 1945 terhadap negara
yang menjamin warganya dalam pelaksanaan ajaran masing-masing agama yang di akui
negara. Salah satu agama dengan penganut terbesarnya ialah Umat Islam. Dengan ini
dapat dinyatakan bahwa undang-undang bersifat agamis, karena diserap dari agama Islam
dalam undang-undang perkawinan lebih menempati posisi dominan.
Undang-Undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan berdasarkan ketetapan
MPRS No IV/MPR/1973 bahwa telah menimbang UU No Tahun 1974 adalah sebagai
peraturan pemerintah yang ditetapkan berdasarkan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk
pembinaan hukum nasional, perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.8
Ide yang terkandung dalam undang-undang ini mengandung arti Unifikasi hukum
sesuai dengan falsafah pancasila dalam kesatuan dan persatuan nasional dalam segala
bidang, termasuk bidang perkawinan yang berlaku untuk semua warga negara. Berikut
adalah peraturan berkaitan hal ihwal perkawinan sebelum Undang-undang perkawinan:
7
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1977), h. 23.
8
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
18
a. Ketetntuan undang-undang perkawinan yang terdapat pada B.W. (Burgerlijk
Wetboek) yang dulu berlaku untuk orang Eropa dan turunan asing
b. Ordonasi Perkawinan Indonesia Kristen St. 1933 No. 74 yang berlaku untuk
golongan Kristen Jawa – Madura dan Minahasa.
c. Perkawinan Campuran Sb. 1898 No. 158.
d. Serta peraturan lainnya sepanjang yang telah diatur oleh undang-undang
perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Secara umum UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut memiliki
beberapa prinsip . prinsip-prinsip ini merupakan azas bagi terjaminnya cita-cita luhur dari
perkawinan. Dari Undang-undang ini diharapkan agar supaya pelaksanaan perkawinan
dapat lebih sempurna dari masa yang sebelumnya.9
Adapun salah satu prinsip-prinsip dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan yang berkenaan dengan pentingnya kedewasaan bagi calon mempelai ialah:
Asas kematangan jasmani dan rohani bagi mempelai.
B. Ketentuan Umum tentang Perkawinan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974
1.
Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluknya, baik pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Perkawinan dapat pula
9
Yayan Sopyan, Transformasi Hukum Islam ke Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2007) h. 216-217.
19
disebut sebagai suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluknya
untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.10
Dari segi bahasa perkawinan berasal dari kata “kawin” yang merupakan
terjemahan dari bahasa Arab “nikah” dan perkataan ziwaaj. Pengertian nikah menurut
bahasa Arab mempunyai dua pengertian yakni dalam arti sebenarnya dan dalam arti kias.
Dalam pengertian sebenarnya nikah adalah dham yang berarti menghimpit, menindih
atau berkumpul, sedangkan dalam pengertian kiasannya ialah wathaa yang berarti
setubuh.11 Menurut Kamus Bahasa Indonesia perkawinan beasal dari kata kawin yang
menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis serta melakukan
hubungan kelamin serta bersetubuh.12
Dalam pengertian secara umum perkawinan merupakan akad yang mehalalkan
pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan karena ikatan suami istri, dan
membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
bukan mahram.13 Sebab implikasi dari perbuatan hukum dalam perkawinan yakni
membatasi kedua calon mempelai setelah resmi perkawinannya baik itu secara hak
maupun kewajibannya terhadap laki-laki yang bukan mahramnya dan perempuan yang
bukan mahramnya. Dengan sah nya ikatan lahir batin di antara keduanya, maka
dihalalkan pergaulan atau hubungan suami istri.
10
H.M.A Tihami dan Sohami Sahrani, Fiqh Munakahat. Cet I (Jakarta: Rajawali Press, 2009) h. 6.
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan kekeluargaan di Indonesia. Cet I,
(Jakarta: Grafika, 2006), h. 268.
12
Anonimous, Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1994), h. 456.
13
Mustofa hasan, Pengantar Hukum Keluarga. (Bandung: Pustaka Setia, 2011) h. 9.
11
20
Sedangkan dalam UU Perkawinan pada pasal 1, yang selengkapnya sebagai
berikut:
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.14
Dari pengertian tersebut jelas terlihat bahwa dalam sebuah perkawinan memiliki
dua aspek, diantaranya:15
a. Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat ‘ikatan lahir batin’,
artinya bahwa perkawinan disamping mempunyai nilai ikatan secara lahir tampak,
juga mempunai ikatan batin ini merupakan inti dari perkawinan.
b. Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya ‘berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa’, artinya perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
karohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tetapi unsur batinpun turut
berperan penting.
Di samping itu, bila definisi perkawinan tersbut ditelaah maka terdapat lima unsur
perkawinan di dalamnya yaitu:
Pertama, “ikatan lahir batin” dimaksudkan bahwa antara ikatan lahir dan ikatan
batin itu saling berjalan dan tidak boleh terpisahkan. Karena pada dasarnya ikatan lahir
adalah ikatan yang mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk hidup bersama, sebagai suami istri. Sedangkan ikatan batin ialah
14
15
h. 103.
Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1.
Titik Triwulan, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Cet II (Jakarta: Kencana, 2010),
21
suatu ikatan yang tidak dapat dilihat walau tidak nyata, tetapi ikatan itu harus ada. Karena
tanpa adanya ikatan batin, ikatan lahir menjadi rapuh. Oleh karena itu terjalinnya ikatan
lahir dan ikatan batin merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang
bahagia dan kekal.16
Kedua, “seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa
perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan
sesama jenis.17
Ketiga, “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah
bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam satu rumah tangga.
Selanjutnya disebutkan pula tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu
rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan kekal. Maksudnya ialah perkawinan itu
hendaknya dapat berlangung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Dan
pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu haruslah bedasarkan pada Ketuhanan
Yang Maha Esa.18
2. Asas-asas Perkawinan
Secara umum UU Perkawinan memiliki beberapa prinsip. Prinsip tersebut
merupakan asas agar terjaminnya cita-cita luhur dari sebuah perkawinan meliputi:
16
14-15.
17
K. Wanjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia. Cet V, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), h.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinn. h. 40
18
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia. Cet I, (Jakarta:
PT Bina Aksara, 1987), h. 4.
22
a. Asas Sukarela
Sebuah perkawinan hendaknya harus didasarkan atas persetujuan serta kerelaan
kedua belah pihak yakni calon mempelai, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun
dalam membentuk suatu rumah tangga. Hal ini justru berdampak pada keutuhan suatu
hubungan rumah tangga, karena setiap manusia berhak menentukan pasangan hidupnya.
Kecuali hal-hal yang dilarang agama dan perundang-undangan untuk dikawinkan.
b. Asas Partisipasi Keluarga
Peran penting dari keluarga salah satu dari perkawinan yakni menyatukan
hubungan dari dua keluarga yang berbeda dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan.
Peran aktif dari kepala keluarga dari pihak perempuan dalam menikahkan anaknya bagi
yang usianya dibawah umur 21 tahun setelah seorang ayah memelihara, mendidik, dan
mengasuh anak perempuan nya berpindah tanggung jawab kepada seorang suami.
c.
Asas Perceraian dipersulit
Berkenaan dengan asas perceraian yang dipersulit yakni berupaya semaksimal
mungkin untuk dihindari berpisahnya pasangan yg akan bercerai agar rujuk kembali.
Pasangan suami istri yang telah menikah secara sah harus bertanggung jawab terhadap
hubungan yang telah dibina bersama jangan sampai berpisah sampai nyawa memisahkan
mereka. Undang-undang perkawinan di Indonesia mengharuskan agar suatu proses
perceraian di lakukan di depan pengadilan, bila perceraian terjadi di luar pengadilan
maka di anggap tidak sah dan tidak memiliki landasan hukumnya. Dalam proses
23
persidangan Peran Hakim sangat diperlukan dalam berupaya semaksimal mungkin agar
pasangan yang hendak bercerai rujuk kembali.
d. Asas Monogami (Poligami dibatasi dan diperketat)
Pada asas ini seorang suami hanya diperkenankan memiliki seorang istri begitu
pun sebaliknya seorang istri memiliki seorang suami, namun poligami hanya di
perbolehkan pada kasus-kasus tertentu serta syarat-syarat tertentu yang telah diatur dalam
UU Perkawinan. Seperti pada pasal 4 dan 5 dalam UU Perkawinan mengenai alasan
diperbolehkannya seorang suami melakukan poligami sebagai berikut:
Pertama, istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan
keturunan. Sedangkan dari pihak suami dengan syarat-syarat yang memberatkan untuk
melakukan poligami diantaranya adanya persetujuan dari para istri sebelumnya, memiliki
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup para istri dan anak-anaknya.
Dan syarat yang terakhir suami dapat berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.
e.
Asas kedewasaan calon mempelai
Mengingat pentingnya kematangan jasmani dan rohaninya bagi kedua calon
mempelai dalam melangsungkan perkawinan agar dapat terpenuhi tujuan suatu
perkawinan serta mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Karena kedewasan yang
matang membuat suami dan istri berpikir dewasa dalam menjalankan dan menyelesaikan
berbagai permasalahan dan problema dalam rumah tangga. Dari sudut pandang kesehatan
24
pentingnya kedewasaan bagi calon mempelai perempuan berdampak pada kematangan
alat reproduksi serta kematangan jiwa dalam memelihara dan mendidik anak agar
menjadi anak yang sehat dan taat kepada orang tuanya.
Untuk mengukur kedewasaan dan kematangan dalam berpikir, tentu saja agak
sulit. Namun secara kuantitatif, Undang-undang Perkawinan mematok kedewasaan ini
dengan usia 21 tahun. Artinya calon mempelai yang sudah mencapai usia 21 tahun
dianggap sudah dewasa dan sudah mandiri. Bagi calon mempelai yang usianya belum
mencapai 21 tahun, maka harus mendapatkan persetujuan (izin) terlebih dahulu dari
orang tuanya.19
f. Asas memperbaiki dan meningkatkan derajat kaum wanita
Sejak awal mula pembentukannya UU Perkawinan selalu di ikuti dari berbagai
organisasi wanita, demi mengakomodir keinginan tersebut untuk meningkatkan derajat
dan melindungi kaum perempuan. Dalam UU Perkawinan usaha-usaha untuk
merealisasikan perlindungan terhadap perempuan diantaranya:
Pertama,
Pencatatan
Perkawinan
merupakan
perlindungan
hukum
bagi
terjaminnya hak-hak perempuan dan anak.
Kedua, berkenaan dengan poligami suami seorang suami tidak boleh melakukan
perkawinan poligaminya sebelum mendapatkan izin dari istri atau istri-istrinya.
19
Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional.
(Jakarta: RMBooks, 2012), h. 113.
25
Ketiga, wali tidak berhak memaksakan perkawinan anak perempuannya, karena
setiap perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
Dengan adanya UU Perkawinan antara suami dan istri mempunyai hak dan
kedudukan yang sama atau seimbang dalam berkehidupan rumah tangga serta pergaulan
hidup bersama dalam masyarakat.
3. Syarat-syarat Perkawinan
Mengingat pentingnya memasukan syarat dalam prosesi perkawinan, maka syarat
memiliki pengertian sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu
perkawinan, tetapi sesuatu tersebut tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
calon mempelai laki-laki dan perempuan harus beragama Islam.20
Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur
berkenaan dengan syarat-syarat perkawinan pada pasal 6 sampai pasal 12, yang meliputi
syarat materil dan syarat formil. Syarat materil adalah syarat yang ada dan melekat pada
diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, sedangkan syarat-syarat formil adalah
tatacara atau prosedur perkawinan yang harus dipenuhi baik sebelum maupun pada waktu
perkawinan.21
12.
65-66.
20
H. M. A. Tihaimi dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat. Cet I, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h.
21
M. Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sasak. Cet I, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h.
26
Persyaratan
materil
berkenaan
dengan
calon
mempelai
yang
hendak
melangsungkan perkawinan, yaitu:22
a. Persyaratan orangnya
1. Berlaku umum bagi semua Perkawinan
i. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai.
ii. Calon mempelai sudah Berumur 19 tahun bagi pria dan 16 bagi
wanita.
iii. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali bagi seorang
laki-laki yang beristri lebih dari seorang.
iv. Bagi wanita tidak sedang berada dalam jangka waktu tunggu atau
masa iddah.
2. Berlaku khusus bagi perkawinan tertentu
i. Tidak terkena larangan/ halangan melakukan perkawinan, baik
menurut Undang-undang maupun hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaan itu.
ii. Tidak terkena larangan kawin kembali untuk ketiga kalinya setelah
kawin dan bercerai lagi untuk kedua kalinya berdasarkan hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
b. Izin yang harus diperoleh
1. Izin orang tua atau wali calon mempelai jika belum berumur 21 tahun.
22
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia. Cet I,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 273.
27
2. Izin pengadilan bagi mereka yang hendak atau mampu beristri lebih dari
seorang,23 wali nikah nya adhal serta bagi calon mempelai yang mencapai
umur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan mengharuskan
mengajukan dispensasi nikah di Pengadilan Agama.24
Sedangkan syarat formal yang mengatur tentang tatacara melakukan perkawinan
diatur dalam pasal 10 dan pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jo Peraturan
Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.25
C. Usia Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan
Dasar hukum perkawinan yang boleh di langsungkan di Indonesia adalah
Undang-undang Perkawinan, batas usia dalam pernikahan telah ditentukan di dalam
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang terdapat pada Bab II, syarat-syarat perkawinan
pasal 7 ayat 1 yang berbunyi:
Perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita berumur 16 (enam belas) tahun.26
Tetapi dilain pasal Undang-undang Perkawinan tidak mengenal adanya rukun
perkawinan. Dan undang-undang perkawinan hanya memuat hal-hal yang berkenaan
23
Rachamdi Usman, h. 273.
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No 1 Tahun 1974 sampai KHI. Cet III, (Jakarta: Kencana,
2006), h. 69.
25
Muhammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. Cet V, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.
59.
26
Undang-Undang No 1 Tahun 1974
24
28
dengan syarat-syarat perkawinan. Di dalam Bab II pasal 6 ditemukan syarat perkawinan
sebagai berikut:
1. Perkawinan harus di dasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapatkan izin dari kedua orang tuanya.
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan keluraga yang
mempunyai hubungan darah dari garis keturunan lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat
(2), (3), dan (4) pada pasal ini, atau salah seorang lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan tersebut
dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pada pasal ini.
29
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pada pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.27
Selanjutnya pada pasal 7, terdapat persyaratan-persyaratan yang lebih rinci.
Berkenaan dengan calon mempelai pria dan wanita, undang-undang mensyaratkan batas
minimum umur calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 (sembilan belas) tahun dan
calon istri sekurang-kurangnya 16 (enam belas) tahun.
Dalam hal adanya penyimpangan terhadap pasal 7, dapat di lakukan dispensasi
kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun wanita. Ternyata dalam undang-undang perkawinan melihat persyaratan
perkawinan itu hanya menyangkut persetujuan kedua calon dan batasan umur serta tidak
adanya halangan perkawinan antara kedua calon mempelai tersebut. Ketiga hal in sangat
menentukan untuk pencapaian tujuan perkawinan itu sendiri.28
Bahkan batasan umur yang ditetapkan dalam undang-undang perkawinan masih
lebih tinggi dibanding dengan ketentuan yang terdapat dalam Ordonasi Perkawinan
Kristen maupun dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pembuat rancangan
undang-undang perkawinan mungkin menganggap umur 19 (sembilan belas) tahun dan
16 (enam belas) tahun bagi seseorang lebih matang fisiknya dan kejiwaannya dari pada
27
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Center
Publishing, 2002), h. 13-14.
28
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat dan
Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h. 45-47.
30
18 (delapan belas) tahun untuk laki-laki, dan 15 (lima belas) tahun untuk perempuan
seperti yang ditetapkan oleh hukum perdata.29
Yang jelas dengan dicantumkannya secara eksplisit batasan umur, menunjukan
apa yang disebut oleh Yahya Harahap exepressip verbis atau langkah penerobosan
hukum adat dan kebiasaan yang di jumpai di dalam masyarakat Indonesia. Di dalam
masyarakat adat Jawa misalnya sering kali dijumpai perkawinan anak perempuan yang
masih muda usianya. Ana perempuan Jawa dan Aceh seringkali di kawinkan meskipun
umurnya masih kurang dari 15 tahun, walaupun mereka belum di perkenankan hidup
bersama sampai batas umur yang pantas. Biasanya ini disebut dengan kawin gantung.30
Salah satu asas dan prinsip yang dianut dalam penjelasan umum undang-undang
perkawinan ialah mengenai calon suami istri itu harus telah masak jiwa dan raganya
untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat diwujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang
baik dan sehat.
Selanjutnya dinyatakan bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21
tahun harus mendapat izin dari orang tua sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat 2, 3, 4,
dan 5 Undang-undang No 1 Tahun 1974. Dalam hal ini kompilasi hukum Islam tampakya
memberikan aturan yang sama dengan Undang-undang perkawinan.
29
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1982), h. 111.
30
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1960), 41.
31
Jika di analisa lebih jauh, peraturan batas usia perkawinan ini memiliki kaitan
yang cukup erat dengan masalah kependudukan. Dengan batasan umur ada kesan,
undang-undang perkawinan bermaksud merekayasa untuk menahan laju perkawinan yang
membawa akibat pada laju pertambahan penduduk.
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini
tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua
belah pihak benar-benar siap dna matang dari sisi fisik, psikis, dan mental. Dari sudut
pandang kedokteraan, penikahan yang dilangsungkan usia dini mempunyai dampak
negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan.31
Tidak dapat dipungkiri, ternyata batas umur yang rendah bagi seorang wanita
untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi dan berakibat pula pada kematian
ibu hamil yang juga cukup tinggi pula. Pengaruh buruk lainnya adalah kesehatan
reproduksi wanita jadi terganggu.32
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di
bawah umur. Maka undang-undang ini menentukan bahwa untuk kawin baik bagi pria
maupun wanita ialah 19 (sembilan belas) tahun untuk pria, dan 16 (enam belas) tahun
bagi wanita.33
31
Shappiro. F, Mencegah Perkawinan Yang Tidak Bahagia, (Jakarta: Restu Agung, 2007), h. 19.
Wila Chandarawila Supriadi, Perempuan dan Kekerasan Dalam Perkawinan, (Bandung:
Mandar Hijau, 2001), h. 75-80.
33
Amir Syarifuddin, Hukum Perkaiwinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, h. 26.
32
BAB III
BATAS USIA PERKAWINAN MENURUT ORDINAN 43 KELUARGA ISLAM
NEGERI SARAWAK TAHUN 2001
A. Sejarah Singkat Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001
1. Latar Belakang Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001
Sebelum kemerdekaan negara bagian Sarawak, memang sudah dibentuk institusi
peradilan yang dinamakan sebagai Mahkamah Melayu Sarawak yang mengurus semua
perkara yang berkaitan dengan kekeluargaan Islam berdasarkan Undang-Undang Majlis
Islam Sarawak tahun 1915 diubah kembali kembali pada tahun 1956 karena dinilai
mengandung beberapa kelemahan. Akhirnya pada tahun 1978, Mahkamah Syariah telah
didirikan di bawah Undang-undang Majlis islam Sarawak.1 Tepat pada tanggal 1 Maret
1985, Mahkamah Syariah telah mempunyai sistem Undang-undang tersendiri yang
disebut sebagai Undang-undang Mahkamah Syariah Order 1985.
Di dalam meningkatkan peran dan kualitas pelayanan publik, pemerintah telah
bersetuju untuk menyusun semula organisasi dan fungsi mahkamah Syariah dengan
membentuk tiga peringkat Mahkamah, yaitu: Mahkamah Rendah Syariah, Mahkamah
Tinggi Syariah, dan Mahkamah Rayuan Syariah. Untuk mewujudkan pelayanan hukum
yang mandiri dan merdeka, akhirnya Mahkamah Syariah telah di pisahkan daripada
Majlis Islam Serawak yang sejatinya sebuah majelis yang didirikan di bawah controlan
pemerintah sendiri. Pada tahun 1991, kerajaan negeri Sarawak melalui pembahasan
1
Wakil Pegawai Pendafar Mahkamah Tinggi Syari’ah Sarawak, Perundangan Islam di Malaysia,
2005, h. 33
32
33
undang-undang di dewan Undangan Negeri (DUN) atau dikenal jika di Indonesia Sebagai
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah meluluskan enam rancangan undang-undang pada
tanggal 1 September 1992 menjadi Ordinan. Hasil daripada pembahasan tersebut, maka
terbentuklah beberapa Ordinan dengan resminya. Ordinan-ordinan tersebut di antaranya:
a.
Ordinan Mahkamah Syariah, Tahun 1991
b.
Ordinan Kanun Acara Jenayah Syariah, Tahun 1991
c.
Ordinan Acara Mal Syariah, Tahun 1991
d.
Ordinan Kesalahan Jenayah Syariah, Tahun 1991
e.
Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam, Tahun 1991
f.
Ordinan Keterangan Syariah, Tahun 1991
Selain itu, Kaedah-kaedah Pengacara Syara’e tahun 1992 juga telah diwujudkan
untuk memberi garis panduan kepada pengacara dalam mengendalikan perkara Dewan
Undangan Negeri (DUN) pada tanggal 6 November 2001, telah merevisi keseluruhan
Ordinan tahun 1991 di atas. Ordinan hasil revisi tersebut secara resminya diberlakukan
pada tanggal 1 Desember 2004 yang memuatkan:
a.
Ordinan Mahkamah Syariah, Tahun 2001
b.
Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam, Tahun 2001
c.
Ordinan Tatacara Mal Syariah, Tahun 2001
d.
Ordinan Tatacara Jenayah Syariah, Tahun 2001
e.
Ordinan Kesalahan Jenayah Syariah, Tahun 2001
f.
Ordinan Keterangan Syariah, Tahun 2001
34
Secara umum, undang-undang yang dipakai oleh Negeri-negeri di Malaysia dapat
dibagi menjadi dua kategori: pertama, menganut Akta Undang-undang Keluarga Islam
(untuk wilayah persekutuan) tahun 1984 atau disebut (akta 303). Negeri-negeri yang
menganut akta ini antara lain: Negeri Selangor, Negeri Sembilan, Pulau Pinang, pahang,
Perlis, Terengganu, Sarawak, dan Sabah. Kendati demikian, masih juga terdapat sedikit
perbedaan dan persamaan dengan akta Undang-undang Keluarga Islam Wilayah
Persekutuan 1984. Perbedaan tersebut terletak dari segi susunan seksyen, bentuk
perubahan dan hukum. Negeri-negeri yang menganut akata tersebut antara lain: Kelantan,
Johor, Melaka, dan Kedah.2 Kedua, Ordinan 43 Undang-undang Keluarga Islam Negeri
Sarawak tahun 2001 menganut akta Undang-undang Keluarga Islam (Wilayah-wilayah
Persekutuan) tahun 1984 atau disebut dengan (akta 303).
Di Malaysia, undang-undang tertulis disebut dengan “Akta Palemen” (suatu
undang-undang yang diterapkan di seluruh negara bagian yang ada di Malaysia) yang
disahkan oleh parlemen dan “Enakmen Negeri Bagian (suatu undang-undang yang hanya
diterapkan di suatu negara bagian tersebut) yang disahkan oleh Dewan Undangan Negeri
bagian, kecuali Sabah dan Sarawak. “Enakmen Negara Bagian” dikenal dengan nama
“Ordinan Negeri Bagian.” Pengertian ini melibatkan semua undang-undang yang telah
disahkan oleh badan-badan perundangan sebelum merdeka (di Malaysia Barat) dan
sebelum Hari Malaysia (di Malaysia Timur) yang dikenali dalam buku-buku Statut
2
Abdul Munir Yaakob, Undang-Undang Keluarga Islam dan Wanita di Negara-Negara Asean,
(Kuala Lumpur: Yayasan Islam Terengganu, 2001), h. 23-24.
35
sebagai Ordinance atau Enacment. Semua undang-undang tersebut diatas disebut dengan
Statut.3
Mengenai undang-undang negeri bagian, perlembagaan (Undang-undang Dasar)
menyatakan Bahwa:
Jika mana-mana undang-undang Negeri Bagian adalah berlawanan dengan
sesuatu undang-undang persekutuan, maka Undang-undang Persekutuan itu
hendaklah dipakai dan undang-undang Negeri Bagain itu hendaklah terbatal,
setakat mana Ian berlawanan dengan Undang-undang Persekutuan itu.4
Sebelum Negeri Bagian Sarawak dijajah oleh penjajah dan menghirup udara
kemerdekaan, negeri ini mempunyai undang-undang sendiri seperti yang berlaku sampai
saat ini. Pada saat Negeri Bagian Sarawak masih berada dalam jajahan Kesultanan
Brunei, ketika itu agama Islam telah berkembang denga pesatnya di seluruh Negara
Brunei, termasuk Negeri Bagian Sarawak yang dipimpin oleh Sultan Brunei yang
pertama yang memeluk agama Islam yaitu Sultan Muhammad pada tahun 1478, sehingga
rakyat pun banyak yang mengikuti rajanya memeluk agama Islam.
Untuk mengurus dan mengendalikan negara, Sultan Brunei melantik Pangeran
Mahkota sebagai Gubernur (Govenor) atau wakil Sultan d setiap tanah jajahannya,
khususnya untuk menjalankan roda pemerintahan Negeri Bagian Sarawak yang berpusat
di Kuching. Dalam bidang perundangan, Negeri Bagian Sarawak telah mempunyai
undang-undang sendiri, yaitu Undang-undang adat Sarawak. Dan undang-undang ini
telah mendapatkan persetujuan atau izin dari Sultan Brunei ketika itu. Dan adanya
3
Sani Hasyim Yeop A, Bagaimana Undang-undang Kita diperbuat?, (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1990), h. 10.
4
Undang-Undang Malaysia, Perlembagaan Persekutuan Perkara, (Kuala Lumpur: MDC
Publishirs Sdn Bhd, 2003), h. 75.
36
perpindahan agama (dari Hindu ke Islam), maka undang-undang pun akhirnya
mengalami perubahan, yaitu dari bercorak Hindu menjadi Undang-undang yang
bercirikan Islam, yang diberi nama Undang-undang Adat Sarawak.
Pada awal mulanya, Undang-undang Adat ini telah dianut. Akan tetapi karena
orang-orang Melayu menganut agama Islam, maka Undang-undang Adat pun akhirnya
ditambah dan diubah untuk disesuaikan dengan unsur-unsur agama Islam.
Adapun penyebab atau latar belakang adanya Undang-undang Adat Melayu
Sarawak karena keperluan masyarakat Islam di Sarawak pada Zaman dahulu yang
mengalami perubahan zaman dan juga sosial budaya yang berlaku disekitarnya. Dengan
adanya undang-undang ini, masalah-masalah yang awal mulanya cukup banyak menjadi
berkurang. Semua itu tertanggulangi dengan adanya undang-undang yang baru ini.
Undang-undang Adat Melayu Sarawak pun dijadikan sebagai pedoman, bimbingan serta
acuan untuk memberikan hukuman yang setimpal kepada siapapun yang berbuat salah.
Selain itu, pertambahan jumlah penduduk Islam yang semakin banyak di sekitar
Negeri Bagian Sarawak menyebabkan Undang-undang Adat Melayu Sarawak diadakan,
di samping karena kompleksnya permasalahan umat Islam pada waktu itu. Undangundang Adat Melayu Sarawak hanya diberlakukan untuk penduduk Islam di Negeri
Bagian Sarawak saja. Namun setelah terjadi perubahan zaman, timbulnya berbagai
permasalahan, dari zaman sebelum kemerdekaan hingga mencapai kemerdekaan seperti
sekarang ini, Negeri Bagian Sarawak pun akhirnya merumuskan Ordinan Undangundang, yaitu sebagai pelengkap undang-undang terdahulu.
37
Namun Undang-undang yang telah diberlakukan terdahulu telah diganti
pelaksanaannya dengan Undang-undang Adat Melayu Sarawak, Undang-undang
Mahkamah Melayu Sarawak, dan Undang-undang Mahkamah Syariah tahun 1985. Di
antara penyebab undang-undang tersebut diganti hingga sekarang karena dirasa kurang
melengkapi dan memiliki berbagai kelemahan, serta dirasa tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Islam pada tahun 90-an.
Walaupun terdapat enam Ordinan Undang- undang yang diterapkan di Negeri
Bagian Sarawak dengan berbagai bidang, namun penulis tidak akan menyentuh keenamenam Ordinan Undang-undang tersebut karena sesuai dengan judul skripsi ini, penulis
akan membahas tentang hal-hal yang mengenai Ordinan 43 Keluarga Islam Tahun 2001
saja.
2. Landasan dan Dasar Hukum Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak
Tahun 2001
Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan Ordinan 43 Keluarga
Islam Negeri Sarawak adalah Ordinan Majlis Agama yang telah didirikan pada tahun
1977. Ordinan Majlis Agama tersebut dasar hukumnya adalah “Undang-undang
Mahkamah Syariah Order Tahun 1985 yang menggantikan Undang-undang Mahkamah
Melayu Sarawak yang telah dimansuhkan pelaksanaannya.5
5
Hamid Jusoh, Kedudukan Undang-undang Islam dalam Perlembagaan Malaysia, (Selangor:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992), h. 15.
38
Ordinan Majlis Islam ini adalah merupakan penyesuaian kepada undang-undang
dari hal pentadbiran hal-ehwal Islam yang ada di Semenanjung Malaysia.6 Ordinan ini
dikuatkuasakan bagi mendirikan sebuah badan atau lembaga yang sepenuhnya oleh
Kerajaan Negara Bagian Sarawak bertanggung jawab dari hal pengelolaan masalah Islam
yang ada dan hanya diberi nama “Majlis Islam Sarawak”. Dan pada tahun 1978, di bawah
undang-undang Majlis
Islam Serawak, didirikan Mahkamah Syari’ah dengan
pemerintahan di bawah Majlis Islam Sarawak. Pada ketika itu, Mahkamah Syari’ah telah
diperkenalkan sebagai tempat untuk mengadili disebut Kadi (Mahkamah Kadi) dan
Mahkamah Kadi Besar (Mahkamah Kadi Besar).
Undang-undang Mahkamah Melayu Sarawak (untuk orang Islam) terus
digunapakai dari tahun 1915 sehinggalah pada tahun 1985 dengan beberapa perubahan
perkara dalam undang-undang Mahkamah Melayu Sarawak pada tahun 19567, yang mana
terdapat beberapa kelemahan di dalam undang-undang tersebut. Dan juga setelah Negara
Bagian Sarawak telah mendapatkan kemerdekaan, demi menurut kesesuaian dengan adat
dan hukum Islam yang telah berlaku di kalangan penduduk Muslim secara khususnya.
Undang-undang ini mengandung enam puluh enam seksyen, dan undang-undang
ini ialah satu-satunya undang-undang Melayu yang masih terpakai sehingga tahun 19858,
sebelum keenam-enam Ordinan undang-undang dikuatkuasakan. Berdasarkan penelitian,
6
Zaini Nasohah, Pentadbiran Undang-undang Islam Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Utusan
Publications dan Distributors Sdn Bhd, 2004), h. 68.
7
Zaini Nasohah, Pentadbiran Undang-undang Islam Di Malaysia, (Kuala Lumpur: Utusan
Publications dan Distributors Sdn Bhd, 2004), h. 68.
8
Undang-undang tersebut telah dipindah pada tahun 1985 dan dikenali sebagai Undang-undang
Mahkamah Syari’ah Sarawak Order 1985 dan Berkuatkuasa pada 1 Maret 1985
39
undang-undang ini mengandung labih banyak peruntukan undang-undang adat. Sebagian
besar daripada peruntukan tersebut di dalam bentuk undang-undang keluarga berkenaa
dengan kasus pertunangan, perkawinan, perceraian, dan perwarisan.9
Terdapat beberapa perubahan dalam undang-undang terdahulu, sesuai dengan
adat dan masyarakat sekitarnya. Ketika ini, Undang-undang Mahkamah Syari’ah Order
tahun 1985 masih dibukukan dalam satu buku saja dan belum keadaan terpisah.
Pada 17 Agustus 1990, Mahkamah Syari’ah Sarawak telah dipisahkan
pentadbirannya dari Majlis Islam Serawak dan Jabatan Agama Islam Sarawak, dengan
penubuhan sebuah jabatan baru sebagaimana jabatan-jabatan Kerajaan Serawak yang
lain, yang diberi nama Jabatan Kehakiman Syari’ah Sarawak (JKSS) pada 2 Oktober
1990, bagi mengatur perjalanan dan sistem Mahkamah Syari’ah di seluruh Negeri Bagian
Sarawak.
Lanjutan dari itu, yaitu setelah Dewan Undangan Negeri Bagian Sarawak melalui
dan Perundangan Negeri Bagian Sarawak telah menggubah Undang-undang yang
berkaitan dengan ajaran Islam terutama tentang hal Keluarga Islam. Dan pada 14 Mei
1991 Dewan Undangan Negeri bagian Sarawak telah meluluskan enam undang-undang
yaitu:
1.
Ordinan Mahkamah Syari’ah,
2.
Ordinan Undang-undang Keluarga Islam,
9
Hamid Jusoh, Kedudukan Undang-undang Islam dalam Perlembagaan Malaysia, (Selangor:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992), h. 15-16.
40
3.
Ordinan Kesalahan Jenayah Syari’ah,
4.
Ordinan Acara Mal,
5.
Ordinan Kanun Acara Syari’ah, dan
6.
Ordinan Keterangan Syari’ah.
Keenam-enam ordinan tersebut telah diperkenankan oleh Yang di-pertua Negeri
Sarawak dan juga dikuatkuasakan pelaksanaannya melalui pemberitahuan dalam Warta
Kerajaan mulai 1 September 1992. Ini sekaligus menjadikan Negeri Bagian Sarawak
merupakan Negeri Bagian pertama di Malaysia mempunyai undang-undang yang
lengkap. Dan juga adanya keenam-enam ordinan ini, yang telah dipisah dan diasingkan
buku mengikut kelompok undang-undang (Ordinan) tertentu, juga merupakan undangundang pelengkap dan juga undang-undang sebelumnya (Undang-undang Mahkamah
Syari’ah Order Tahun 1985), telah digantikan pelaksanaannya dengan Ordinan Undangundang yang ada sekarang. Ke-enam Ordinan undang-undang tersebut berkuatkuasa
mulai tanggal 1 September 1992 sebelum direvisi keseluruhannya oleh Dewan Undangan
Negeri Sarawak (DUN) pada tanggal 6 November 2001.
B. Ketentuan Umum tentang Perkawinan Menurut Ordinan 43 Keluarga Islam
Negeri Sarawak Tahun 2001
1. Pengertian Perkawinan
Dalam bahasa Melayu (Malaysia dan Brunei Darussalam), digunakan istilah
kahwin. Kahwin ialah “Perikatan yang sah antara laki-laki dengan perempuan menjadi
41
suami istri, nikah” Berkahwin maksudnya sudah mempunyai istri (suami).10 Sedangkan
menurut Imam Syafi’I pengertian nikah ialah suatu akad yang dengannya menjadi halal
hubungan seksual antara pria dengan wanita, sedangkan menurut arti majazi
(mathaporic) nikah itu sesuatu hal yang berhubungan dengan hubungan seksual.11
Dalam Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001 tidak disebutkan
secara implisit berkenaan hal pengertian Perkawinan, namun secara garis besarnya saja
pengertian perkawinan pada seksyen 9 (2) sesuatu perkahwinan adalah tak sah
melainkan jika cukup semua syarat yang perlu menurut Undang-undang Islam untuk
menjadikannya sah. Penting nya akad perkawinan yang sah secara syarie antara laki-laki
dan perempuan yang sudah baligh atau dewasa serta cukup umur untuk berkeluarga dan
memperoleh keturunan yang sehat.
Dari pengertian perkawinan di atas, memberikan definisi yang beragam, baik itu
sama sekali tidak menyinggung kehalalan hubungan seksual atau menyebutkan secara
eksplisit bahwa perkawinan adalah akad yang membolehkan suami istri untuk
berhubungan seksual. Tetapi juga dengan mencantumkan tujuan perkawinan sebagai
suatu akad suami istri yang abadi, kekal, dan menyebarkan kasih sayang di antara
keluarga untuk mencapai kebahagiaan.12
10
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2005), h. 42.
11
Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, h. 2.
12
Ahmad Tholabi Kharlie, dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Kontemporer. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 262.
42
2. Asas-asas Perkawinan
Pada dasarnya dalam penyusunan peraturan yang berkaitan dengan perkawinan
Indonesia lebih dahulu mengkodifikasinya Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun
1974. Keterlambatan Indoensia dalam hal Undang-undang perkawinan memberikan
hikmah tersendiri ke arah penyusunan undang-undang perkawinan yang relatif lebih baik
dan kaya karenan sempat mempelajari sejumlah undang-undang perkawinan yang telah
dimiliki oleh negara-negara Islam yang telah lebih dahulu memiliki undang-undang
perkawinan, termasuk undang-undang Keluarga Islam Malaysia yang menjadi sumber
rujukan bagi Ordinan keluarga Islam Negeri Sarawak karena mengikuti Akta Persekutuan
yang telah disepakati.
Secara umum, asas terpenting yang diusung Undang-undang Perkawinan Islam di
Dunia Islam adalah asas kematangan atau kedewasaan calon mempelai. Maksudnya,
Undang-undang Perkawinan menganut prinsip bahwa setiap calon suami dan calon istri
yang hendak melangsungkan akad pernikahan , harus benar-benar telah matang secara
fisik mapun psikis (rohani), atau harus sudah siap secara jasmani maupun rohani, sesuai
dengan yang tertera dalam pengertian perkawinan itu sendiri “perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita.” Berkenaan dengan asas
kematangan ini, salah satu standard yang digunakan adalah penetapan usia kawin
(nikah).13
13
Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, (Bandung:
Pustaka Al-Fikriis, 2009) h. 37.
43
Selanjutnya asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam peraturan ini
adalah sebagai berikut:14
1. Tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal untuk itu seorang suami istri perlu saling membantu dan melengkapi
agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan membantu
mencapai kesejahteraan spritualdan materil.
2. Perkawinan yang dicatatkan dalam Ordinan seksyen 20 Catatan dalam Daftar
Perkawinan. Ayat (2) catatan itu hendaklah diakusaksi oleh pihak-pihak
kepada perkahwinan itu, oleh wali dan dua orang saksi, selain pendaftar,
yang hadir semasa perkahwinan itu diakadnikahkan. Selanjutnya dalam ayat
(3) catatan itu hendaklah kemudiannya ditandatangani oleh pendaftar itu.
3. Ordinan ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan karena hukum agama dari yang bersangkutan mengizinkan
seorang suami dapat beristri lebih dari seorang.namun demikian, perkawina
seorang suami dangan lebih dari seorang istri hanya dapat dilakukan apabila
dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Mahkamah.
3. Syarat-Syarat Perkawinan
Dan syarat-syarat perkawinan menurut Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri
Sarawak diantaranya sebagai berikut:
14
Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, h. 56.
44
1. Syarat utama seorang boleh melakukan perkahwinan ialah beragama Islam,
seperti dalam seksyen 9 Perkahwinan tak sah (1) tiada orang boleh berkahwin
dengan seseorang bukan Islam.
2. Didasarkan pada persetujuan bebas antara calon suami dan calon istri, dan
tidak ada paksaan diantara keduanya. Diatur dalam Seksyen 11 persetujuan
dikehendaki Seseuatu perkahwinan adalah tidak diakui dan tidak boleh
didaftarkan di bawah Ordinan ini melainkan kedua-dua pihak kepada
perkahwinan itu telah bersetuju terhadapnya.
3. Usia keduanya telah mencukupi dalam boleh melakukan akadnikah, aturan
yang berkenaan dengan ini ada pada Seksyen 7 umur minimun untuk
perkahwinan bagi laki-laki usia 18 tahun dan perempuan 16 tahun.
4. Tidak termasuk dalam larangan-larangan yang ditetapkan oleh hukum syarie,
hal ini diatur dalam seksyen 8 pertalian yang melarang perkahwinan.
C. Usia Perkawinan Menurut Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun
2001
Perkawinan d ibawah umur tidak dianjurkan mengingat mereka dianggap belum
memiliki kemampuan untuk mengelola harta (rusyd). Selain itu, mereka juga belum
membutuhkan perkawinan. Mereka dikhawatirkan tidak mampu memenuhi kewajibankewajiban yang harus dipikul dalam kehidupan sebagai suami istri terutama dalam
pengelolaan keuangan rumah tangga.
45
Sebelum melangsungkan pernikahan, ada beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi oleh pihak-pihak tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan antara lain:
a. Batas umur calon mempelai.
b. Persetujuan kedua belah pihak.
c. Larangan perkawinan karena adanya hubungan kekeluargaan.
d. Mengikuti tata cara perkawinan yang ditentukan.15
Di antaranya ialah ketentuan batas kedewasaan yang menyangkut usia minimum
dibolehkannya menikah.
Seksyen 7. Umur minimum untuk perkahwinan.
Tiada perkahwinan boleh diakadnikahkan di bawah Ordinan ini jika lelaki itu
berumur kurang daripada lapan belas tahun atau perempuan itu berumur kurang
daripada enam belas tahun kecuali jika Hakim Syarie telah memberi
kebenarannya secara tertulis dalam hal keadaan tertentu.16
Berdasarkan penjelasan pasal di atas maka batas dewasa seseoang dalam boleh di
akad nikahkan yakni 18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk calon wanitanya.
Penentuan usia tersebut tidak jauh berbeda dengan madzhab Hanafiyyah dalam
menentukan usia baligh atau kedewasaan seseorang.
15
Ahmad Ibrahim, Family Law in Malaysia and Singapore, (Kuala Lumpur: University of
Malaya, 1973), h. 203.
16
Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001, Seksyen 7.
BAB IV
PERBANDINGAN BATAS USIA PERKAWINAN MENURUT UNDANGUNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA DAN ORDINAN 43 KELUARGA
ISLAM NEGERI SERAWAK TAHUN 2001
A. Persamaan Usia Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan
Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Serawak Tahun 2001
Menurut catatan Tahir Mahmood, pembaruan dan praktik hukum keluarga di
negara-negara Muslim dapat dilihat dalam beberapa bentuk, yaitu:
1. Negara yang secara prinsipil menggunakan produk hukum klasik sebagai
hukum positifnya, tanpa melakukan perubahan atau kodifikasi.
2. Negara-negara Muslim yang secara utuh meninggalkan dan menggantikan
hukum keluarga klasik menjadi hukum modern yang ditetapkan secara legal
kepada seluruh warga negara.
3. Negara-negara yang secara umum telah mereformasi hukum keluarga klasik
melalui peraturan perundang-undangan dengan menggunakan banyak
pandangan aliran fikih, atau juga melalui kebijakan institusi kenegaraan.1
Negara-negara Muslim yang menganut metode pembaruan dan praktik hukum
keluarga pada bentuk ketiga meliputi negara di Asia Tenggara diantaranya; Indonesia,
Malaysia, dan Brunei Darussalam, bentuk ketiga ini juga tergambar pada negara-negara
1
Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World, (Bombay, India: Thripathi), h. 3.
46
47
lainnya seperti; Mesir, Tunisia, Maroko, Aljazair, Irak, Iran, dan Pakistan. Di Negara
Indonesia dan Malaysia yang sama-sama menggunakan Madzhab Syafi’I sebagai salah
satu sumber pandangan aliran fikih yang dijadikan pedoman dalam merumuskan
peraturan perundang-undangan.
Sementara itu corak unifikasi hukum yang diterapkan dengan berupaya untuk
menyatukan beragam pandangan hukum Islam dari berbagai aliran fikih, karena di kedua
negara tersebut mengakomodir komunitas yang mengikuti aliran tersebut. Dengan
demikian di kedua negara tersebut dalam perumusan hukum keluarga masih tetap
memasukan pandangan atau pendapat dari aliran hukum Islam yang lain.
Dalam konteks persamaan antara hukum terutama undang-undang perkawinan
Islam di Dunia Islam, ialah berkenaan dengan asas-asas atau prinsip-prinsip yang
ditekankan dalam undang-undang perkawinan, yakni asas sukarela, asas partisipasi
keluarga, asas mempersulit perceraian, asas monogami, asas kematangan usia
(kedewasaan) calon mempelai, asas memperbaiki (meningkatkan) derajat perempuan.2
Sehingga kesamaan yang terkandung dari UU perkawinan di Indonesia dan Ordinan
Keluarga Islam Malaysia karena memiliki sumber hukum material yang sama yakni AlQuran dan Hadits.
Persamaan dari sumber hukum material secara normatif dalam menentukan usia
perkawinan yakni Al-Quran dan Hadits, karena tidak ada suatu negara Muslim atau
negara yang berpenduduk Muslin mengingkari keabsahan dari kedua sumber hukum
2
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 202.
48
pokok tersebut. Sehingga kesamaan sumber hukum pokok inilah tidak terdapat perbedaan
yang mencolok antara negara Islam yang satu dengan negara Islam yang lain.
Dalam hal pengertian perkawinan dan tujuan perkawinan misalnya, tampak ada
kesamaan dalam hal peletakan sighatul aqdi sebagai unsur mutlak dalam dalam sebuah
akad perkawinan, tujuan jangka panjang dari sebuah perkawinan, dan pelaksanaan akad
perkawinan yang hanya dibolehkan antara laki-laki dan perempuan.3 Tidak ada
perkawinan yang sejenis yang dilarang agama Islam, bahkan agama lain pun demikian.
Dari akad perkawinan yang berlainan jenis tersebut pentingnya memenuhi aspek
kedewasaan setiap pasangan yang ingin menikah.
Bahwasanya tolok ukur dalam menentukan batas kedewasaan memiliki kesamaan
dalam berbagai aspek seperti aspek biologis yakni terhadap perempuan bila sudah
kedatangan haid, dan rahimnya sanggup menumbuhkan janin, atau sudah siap untuk
hamil dan melahirkan. Sedangkan bagi pria bila sudah mimpi disertai mengeluarkan
sperma dan sejak itu mulai tertarik dengan lawan jenis.
Berdasarkan asas kematangan dalam usia (kedewasaan) calon mempelai terdapat
kesamaan dalam mematok usia ideal dalam menikah untuk calon mempelai perempuan
yakni 16 tahun. Baik itu yang terdapat dalam Undang-undang Perkawinan No 1 tahun
1974 pada pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:
3
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 202.
49
Perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita berumur 16 (enam belas) tahun.4
Maupun yang terdapat pada Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun
2001diantaranya:
Seksyen 7. Umur minimum untuk Menikah.
Tiada perkahwinan boleh diakadnikahkan di bawah Ordinan ini jika lelaki itu
berumur kurang daripada lapan belas tahun atau perempuan itu berumur kurang
daripada enam belas tahun kecuali jika Hakim Syarie telah memberi
kebenarannya secara tertulis dalam hal keadaan tertentu.5
Dalam Ordinan di atas penetapkan usia bagi perempuan untuk menikah ialah 16
tahun. Persamaan ini mengingat aspek biologis penentu kedewasaan seorang perempuan
ialah bilamana sudah haid dan sanggup menngandung serta melahirkan. Selanjutnya
aspek psikologis seorang perempuan ialah siap secara psikis untuk mengelola rumah
tangga, memelihara anak, serta mengasuhnya membutuhkan mental yang siap untuk
menjadi seorang ibu dalam mendidik anak. Sedangkan faktor kedewasaan perempuan
berdasarkan aspek kedokteran yakni siap dalam mengandung janin dan melahirkan anak
dari fisik seorang calon ibu.
Bagi mereka perempuan yang belum mencapai umur 16 tahun maka harus
memiliki izin tertulis dari pengadilan, dan bagi belum mencapai umur dewasa seutuhnya,
yakni 21 tahun diperlukan izin dari orang tua atau wali dari calon mempelai perempuan.
Karena hal ini dalam membatasi umur calon perempuan akhir dari tujuan tersebut ialah
perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara suami dan istri untuk membentuk rumah
4
5
Undang-Undang No 1 Tahun 1974.
Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001, Seksyen 7.
50
tangga yang bahagia dan kekal. Dengan kedewasaan calon mempelai yang matang
diharapkan dapat menerima dan menyelesaikan problema rumah tangga dengan nalar
yang logis dan serta mempunyai pola pikir dewasa.
Dari persamaan usia perkawinan bagi perempuan di umur 16 tahun ada beberapa
aspek yang mempengaruhi kurang idealnya menikah diusia tersebut. Berdasarkan aspek
kesehatan atau medis, perkawinan perempuan di usia muda menyebabkan tingginya
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tergolong tinggi dibanding dengan
negara-negara lain di ASEAN. Di Malaysia, angka kematian ibu pasca natal hanya
mencapai 39 kasus untuk 100.000 persalinan, sementara di Indonesia mencapai 307 kasus
untuk 100.000 persalinan.6 Aspek lainnya yakni dari segi psikologis, bahwasanya di umur
16 tahun perempuan memasuki periode remaja akhir (late Adolescent), pada fase ini di
tandai awal dari pertumbuhan bentuk tubuh serta sikap kedewasaan. Menurut pandangan
psikologis idealnya seorang perempuan menikah ketika berada di fase dewasa awal
(Early Adulthood) berada di usia 21 tahun keatas.7 Pada usia ini merupakan seseorang
baru dikatakan dewasa,
Seperti Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya
seseorang memasuki hidup berumah tangga harus di perpanjang menjadi 20 tahun untuk
wanita dan 25 tahun untuk pria. Hal ini diperlukan karena zaman modern menuntut untuk
mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun
6
222.
7
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: El-Kahfi, 2008), h.
Zahrotun Nihayah, dkk, Psikologi Perkembangan: Tinjauan Psikologi Barat dan Islam. (Jakarta:
UIN Jakarta Press, 2006), h.
51
tanggung jawab sosial.8 Dengan usia tersebut seorang perempuan dipastikan secara
dewasa telah masak jiwa dan raganya, sempurna akalnya, dan dapat diterima sebagai
anggota masyarakat secara utuh
Dalam mengemban tugas tanggung jawab dalam mendidik seorang anak calon
mempelai perempuan harus telah matang jasmani dan rohaninya, agar dapat memenuhi
tujuan luhur dari perkawinan dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
B. Perbedaan Usia Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan
Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Serawak Tahun 2001
Malaysia adalah negara federal, sampai sekarang Undang-Undang Perkawinan
Islam (Hukum Keluarga) yang berlaku di Malaysia adalah Undang-undang Perkawinan
masing-masing negeri. Usaha penyeragaman UU Keluarga Islam di Malaysia pernah
dilakukan, yang diketuai oleh Tengku Zaid. Setelah mendapat persetujuan dari Majelis
Raja-raja, draft ini disebarkan ke negeri-negeri yang dipakai sebagai UU Keluarga.
Sayangnya tidak semua negeri menerima isi keseluruhan UU ini. Kelantan misalnya,
melakukan pemerintah federal. Akibatnya UU Keluarga Islam yang berlaku di Malaysia
tidak seragam sejak sebelum mencapai kemerdekaan sampai sekarang.9
Belanda misalnya, menerapkan sistem hukum Kontinental di Indonesia; dan
Inggris (British) mempraktikkan sistem hukum common law-nya di Brunei Darussalam,
8
Chuzaimah T. Yanggo dan H.A Hafiz Anshary A.Z, Problematika Hukum Islam Kontemporer.
(Jakarta: LSIK Pustaka Firdaus, 2009), h. 84.
9
Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam. h. 32-33.
52
Malaysia dan Singapura.10 Indonesia sendiri merupakan negara Demokrasi yang memiliki
sistem hukum yang terpadu berupa Undang-undang yang berlaku secara keseluruhan,
karena perbedaan dari penerapan sistem hukum penjajah di negara jajahannya dengan
segala akibat yang ditimbulkan mempengaruhi pula pemberlakuan hukum Islam di
negara-negara Islam dan atau negara yang berpenduduk Muslim.
Berawal dari perbedaan sistem hukum yang dianut kedua negara tentu
berimplikasi pada pelaksanaan peraturan yang berkenaan dengan usia perkawinan seperti
Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 di Indonesia dan Ordinan 43 Keluarga
Islam Negeri Sarawak Tahun 2001. Perbedaan tersebut mencakup dalam hal penentuan
usia perkawinan yang berkaitan dengan kedewasaan calon mempelai laki-laki dan calon
mempelai perempuan,
Ditinjau dari perkembangan fisik, terdapat perbedaan yang jelas antara pria dan
wanita dalam rata-rata tinggi badan, organ genetalia, payudara, kumis dan pola-pola
pertumbuhan rambut (termasuk kebotakan). Selain itu, pria dan wanita memiliki
perbedaan fisiologis yang bersifat hormonal yang mempengaruhi variasi ciri-ciri biologis,
seperti kesuburan.11
Bahwa secara metodologis, langkah penentuan usia kawin didasarkan kepada
metode maslahat mursalah. Namun demikian karena sifatnya yang ijtihady, yang
kebenarannya relatif, ketentuan tersebut tidak bersifat kaku. Artinya apabila karena
10
Muhammad Amin Suma, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam, h. 204.
Hurlock E.B., Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.
(Jakarta: Erlangga, 1994), h. 65.
11
53
sesuatu dan lain hal perkawinan dari mereka yang usianya di bawah 21 (dua puluh satu)
tahun – atau sekurang-kurangnya 19 (sembilan belas) tahun untuk pria dan 16 (enam
belas) tahun untuk wanita. Dengan kata lain, filosofi dalam pembatasan ini semata-mata
untuk mencapai sebuah rumah tangga sakinah, mawaddah wa rahmah. Oleh karena itu,
pembatasan usia perkawinan amat penting sebagai modal awal dalam proses
pembentukan rumah tangga.12
Perbedaan usia ideal dalam perkawinan di tunjukan pada calon laki-laki yakni 19
tahun menurut Undang-undang Perkawinan di Indonesia, sedangkan Ordinan Kelaurga
Islam Negeri Sarawak menetapkan usia perkawinan berkisar pada umur 18 tahun. Dalam
penentuannya umur 19 tahun lebih dewasa di Indonesia ketimbang umur 18 tahun. Di
Indonesia sendiri bagi mereka yang belum mencapai umur ini, maka harus meminta izin
dari pengadilan, dan bagi calon pengatin laki-laki maupun perempuan yang belum
mencapai umur 21 tahun maka harus menyertakan izin izin dari orang tua. Berdasarkan
pada pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan Indonesia yang mana diperlukan dispensasi dari
pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak
perempuan. Dan bila belum mencapai umur 21 tahun bagi keduanya harus mendapat izin
dari kedua orang tua seperti yang temaktub pada pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan
Indonesia.
Menurut Ordinan Keluarga Islam Negeri Sarawak pada seksyen 7 jika umur
kurang dari yang dimaksudkan dalam usia perkawinan laki-laki 18 tahun dan perempuan
16 tahun, maka diperlukan kebenaran dari hakim Syarie secara tertulis dalam hal keadaan
12
Dedi Supriadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam., h. 51.
54
tertentu. Secara teknis tidak jauh perbedaan dalam hal administrasi bilamana kedua
pasangan laki-laki dan perempuan kurang dari usia yang ditentukan oleh kedua peraturan
tersebut. Ditambahkan izin kedua orang tua jika kedua pasangan belum mencapai umur
yang ditetapkan untuk diatur secara ketat terhadap perkawinan dini.
Dalam catatan sejarah, penerapan dan penyeragaman batas minimum usia
perkawinan di Indonesia, pada awalnya, ingin diatur melalui pasal 7 ayat (1) Rancangan
UUP tahun 1973 yang menyatakan batas minimal usia perkawinan 21 tahun bagi laki-laki
dan 19 tahun bagi perempuan.13 Namun demikian, karena RUU ini menuai perdebatan
yang rawan dengan konflik, 14 akhirnya harus ditunda.
Perbedaan tidak begitu berpengaruh terhadap rentang usia 1 tahun bagi mempelai
laki-laki, bila di Indonesia umur yang ditetapkan 19 tahun, sedangkan di Ordinan di
Negeri Sarawak 18 tahun. Namun tetap memiliki pengaruh terhdap kematangan dan
kedewasaan dalam berpikir dan bertindak dalam mengemban tanggung jawab sebagai
calon kepala keluarga. Batas minimal bagi calon laki-laki boleh menikah 19 tahun
merupakan ranah ijtihad fikih ala ulama Indonesia yang sudah di positifkan (diundangundangkan). Selain itu, kondisi masyarakat dan tingkat pendewasaan laki-laki di setiap
13
Pasal 7 ayat (1) Rancangan UUP 1973 berbunyi: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 18 (delapan belas)
tahun.” Dalam penjelasan ayat ini juga disebutkan bahwa “Undang-undang perkawinan ini menentukan
batas umur minimum untuk kawin dan ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang
wanita untuk kawin itu mempunyai pengaruh terhadap “rate” kelahiran jika dibandingkan dengan umur
yang lebih tinggi untuk kawin. Selain daripada itu, batas umur tersebut pula merupakan jaminan agar calon
suami-istri telah masak jiwa raganya, supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa
berakhir pada perceraian, dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.”
14
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler; Studi tentang konflik dan Resolusi dalam
Sistem Hukum Indonesia. (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008), h. 260.
55
wilayah memang berbeda-beda tergantung faktor-faktor yang mendukung kedewasaan,
seperti faktor pendidikan, psikis, sosial, medis dan faktor penentu lainnya.
Dari analisis perbandingan terhadap persamaan dan perbedaan pemberlakuan
peraturan mengenai aturan usia perkawinan, persamaan yang ditimbulkan secara garis
besar lebih pada persoalan teknis-administrasi, ketimbang hal-hal yang bersifat filosofisyuridis. Sedangkan persamaan-persamaannya meliputi sumber hukum utama yang di
jadikan rujukan dalam menetapkan usia perkawinan itu sendiri, yakni Alquran dan
Hadits. Sedangkan perbedaan secara umum dari segi sosio-historis, pertama sistem
hukum yang berbeda, kedua kebudayaan serta tradisi masing-masing yang sedikit turut
memrpengaruhi perbedaan usia perkawinan.
Namun dari itu semua mengingat pentingnya menentukan batas usia perkawinan
agar terciptanya keluarga yang kekal dengan memenuhi segala aspek yang
mempengaruhi keutuhan sebuah keluarga. Akan tetapi, tetap saja segala aturan yang
berkaitan bagi pasangan yang belum mencapai usia minimal perkawinan untuk menikah
membolehkan dengan terlebih dahulu meminta persetujuan dari pengadilan atau walinya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Uraian dan analisis di atas pada bab-bab terdahulu, maka penulis dapat
memberikan kesimpulan bahwa:
1. Dalam hukum Islam tidak diatur secara jelas dan tegas berapa usia minimal
perkawinan dapat dilangsungkan. Namun secara implisit syariat Islam hanya
memberi ketentuan itu apabila seseorang telah mencapai usia menikah, yang
dimaksud dengan telah mencapai usia menikah adalah jika seorang anak telah
mencapai batas usia usia kesiapan dalam akil balighnya. Dalam Undangundang Perkawinan Indonesia Usia yang di tentukan untuk menikah yakni, 19
tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Bila kurang dari umur yang
ditentukan tersebut diperlukan dispensasi dari Pengadilan atau pejabat terkait
yang di setujui kedua belah pihak dari mempelai. Sedangkan perkawinan yang
kurang dari umur 21 tahun harus memiliki izin dari kedua orang tua.
2. Usia perkawinan yang ditentukan menurut Ordinan keluarga Islam Negeri
Sarawak ialah 18 Tahun Bagi mempelai laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan. Sedangkan bila kurang dari usia yang ditentukan diatas
diperlukan kebenaran secara tertulis oleh hakim syarie yang telah ditunjuk.
3. Implementasi terhadap pelaksanaan tatacara Perkawinan yang menyangkut
usia perkawinan di Indonesia berlaku secara serentak di bawah Undang-
56
57
undang Perkawinan No 1 Tahun 1974. Akan tetapi Bagi Ordinan 43 Kelauga
Islam Negeri Sarawak hanya berlaku di suatu daerah tertentu saja.
4. Persamaan yang ditemukan dari studi ini bahwa usia perempuan memiliki
kesamaan yakni 16 tahun, usia yang ditetapkan untuk seorang perempuan
masih terbilang terlau muda, bila dikaitkan dengan asas-asas perkawinan yang
menyangkut
kematangan
(kedewasaan)
calon
mempelai
dan
asas
memperbaiki derajat perempuan. Dibalik penentuan usia tersebut tentu
memperhatikan faktor penentu meliputi aspek medis dan psikis seorang
perempuan.
5. Sedangkan perbedaan yang ditemukan berkenaan usia perkawinan bagi lakilaki, di Indonesia usia perkawinan bagi laki-laki 19 tahun, dan di Negeri
Sarawak usia yang ditetapkan yakni 18 tahun. Perbedaan ini dalam rentang 1
tahun sedikit berpengaruh baik itu dalam tingkat kedewasaan, kematangan
dalam berpikir, serta dalam mengemban tugas tanggung jawab sebagai calon
kepala keluarga. Diperlukan wali dari mempelai perempuan dalam
menikahkan anaknya bila mencapai umur 18 tahun di negeri Sarawak,
sedangkan di Indonesia Dalam Undang-undang Perkawinan bila usia calon
mempelai kurang dari 21 tahun, maka diperlukan ijin orang tua.
58
B. Saran
Penulis memberikan konstruksi keilmuan mengenai bidang hukum keluarga Islam
baik dari segi teoritis maupun praktis melalui saran di bawah ini, diantaranya sebagai
berikut:
1. Dari studi perbandingan aturan hukum keluarga di dua negara yang
berdampingan, Indonesia dan Malaysia. Sehingga kedua negara ini di jadikan
sebagai sample dalam hal yang berkenaan dengan usia perkawinan untuk
konteks Asia Tenggara. Yang secara khusus aturan di negeri Sarawak dipilih
yakni Ordinan 43 Keluarga Islam Tahun 2001. Sudah selayaknya perubahan
atas aturan yang berkenaan dengan usia menikah lebih di naikkan menjadi
diatas 21 tahun. Dengan mempertimbangkan aspek psikologis dan
kematangan kesehatan dari pasangan yang akan menikah. Secara tidak
langsung menaikkan usia menikah mengurangi penilaian negatif dari bias
gender.
2. Terhadap para pemangku pembuat aturan di Indonesia yakni DPR agar lebih
memperhatikan secara seksama atas tingkat kedewasaan terhadap laki-laki dan
perempuan yang akan melaksanakan pernikahan. Dan lebih mengkaji secara
mendalam dan merevisi terhadap batas minimal usia pernikahan di Indonesia
agar memenuhi berbagai aspek dalam penentuannya baik itu secara Psikologis
maupun Medis. yang saat ini diatur pada pasal 7, Undang-undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
59
3. Setelah penelitian ini diharapkan ada penelitian lanjutan untuk dilakukan
perbandingan di beberapa negara Muslim lainnya, seperti Asia Tenggara dan
Timur Tengah berdasarkan batasan wilayah dan masa tertentu. Sehingga
menemukan perbedaan dan progresifitas hukum. Dengan memahami hal ini,
akan diperoleh pengetahuan yang cukup dalam kerangka memahami praktek
hukum keluarga secara global.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2005.
Abdurrahman, Himpunan Undang-Undang Tentang Perkawinan No 1 Tahun 1974.
Jakarta: Gema Insani, 1996.
Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
Anonimous, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1994.
Daud Ali, Muhammad. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1977.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Menrut Perundangan, Hukum Adat
dan Agama. Bandung: Mandar Maju, 1990.
Harahap, M. Yahya, Hukum Perkawinan Nasional. Medan: ZahirTrading, 1975. Cet 1.
Hasam, Kamal, Modernisasi Indonesia: Respons Cendekiawan Muslim. Jakarta:
Lingkaran Studi Indonesia, 1978.
Hasan, Mustofa, Pengantar Hukum Keluarga. Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Hasyim Yeop A, Sani, Bagaimana Undang-Undang Kita Diperbuat. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990.
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Jakarta: Tintamas, 1975. Cet 1.
Hurlock E.B, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta: Erlangga, 1994.
Ibrahim, Ahmad, Family Law in Malaysia and Singapore. Kuala Lumpur: University of
Malaya, 1973.
Joeniarto, Selayang Tentang Sumber-Sumer Hukum Tata Negara di Indonesia.
Yogyakarta: Liberty, 1983.
Juosh, Hamid, Kedudukan Undang-Undang Islam Dalam Perlembagaan Malaysia.
Selangor: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992.
60
61
Kharlie, Ahmad Tholabi, dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga di Dunia
Islam Kontemporer. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011.
Lukito, Ratno, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi
dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008.
Mahmod, Tahir, Personal Law In Islamic Countries. New Delhi: Academy of Law and
Religion, 1987.
----------, Family Law Reform in the Muslim World, Bombay, India: Thripathi, 1972.
Mesraini, “Hak-Hak Perempuan Pasca Cerai di Asia Tenggara: Studi Perundangundangan Perkawinan Indonesia dan Malaysia.” Disertasi Pasca Sarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Mudzhar, Muhammad Atho, Letak Gagasan Reaklualisasi Hukum Islam. Jakarta:
Paramdina, 1995.
Nasohah, Zaini, Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia. Kuala Lumpur: Utusan
Pulications dan Distributors Sdn Bhd, 2004.
Nasution, Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundangundangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Jakarta:
INIS, 2002.
Parihah, Ipah, Buku Pedoman Penelitian UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: UIN Press,
2006.
Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia.
Jakarta: PT Bina Aksara, 1987. Cet I.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Sumur, 1960.
Prodjohamidjojo, Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Indonesia Legal
Center Publishing, 2002.
Pudjosewyo, Kusumadi, Pedoman Tata Hukum di Indonesia. Jakarta: PT Penerbit
Universitas, 1966.
Ramulyo, Muhammad Idris, Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Rasjidi, Lili, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung:
Alumni, 1982.
Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976.
62
Shappiro. F, Mencegah Perkawinan Yang Tidak Bahagia. Jakarta: Restu Agung, 2007.
Singarimbun, Masri. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES, 1996.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004.
Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2001.
Sopyan, Yayan, Transformasi Hukum Islam ke Dalam Hukum Nasional. Jakarta:
Disertasi Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta, 2007.
----------. Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional.
Jakarta: RMBooks, 2012.
Subhan, Zaitunah, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, Jakarta: El-Kahfi, 2008.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005.
Supriadi, Chandarawila, Perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bandung:
Mandar Maju, 2001.
Supriadi, Dedi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam.
Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007.
Thalib, Sayuti, Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
Tihami dan Sohami Sahrani, Fiqh Munakahat. Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Triwulan, Titik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana, 2010,
Cet II.
Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia.
Jakarta: SInar Grafika, 2006.
Wirihardjo, Mufti, Kitab Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah
Mada, 1972.
Yaakob, Abdul Munir. Undang-Undang Keluarga Islam dan Wanita di Negara-Negara
Asean, Kuala Lumpur: Yayasan Islam Terengganu, 2001.
63
Yanggo, Chuzaimah T, dan H.A Anshary A.Z, Problematika Hukum Islam Kontemporer.
Jakarta: LSIK Pustaka Firdaus, 2009.
Yasin, M. Nur, Hukum Perkawinan Islam Sasak. Malang: UIN Malang Press, 2008.
Yusuf, Muri, Metode penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,
Jakarta: Prenadamedia, 2014.
Zuhriah, Erfaniah, Peardilan Agama di Indonesia: Dalam Rentang Sejarah dan Pasang
Surut. Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Ikatan Hakim Indonesia, Majalah Hukum Varia Peradilan. Tahun XXVII, No. 334,
Jakarta: 2013.
Ikatan Hakim Indonesia, Majalah Hukum Varia Peradilan. Tahun XXX, No. 354,
Jakarta: 2015.
Undang-Undang Malaysia, Perlembagaan Persekutuan Perkara. Kuala Lumpur: MDC
Publisher Sdn Bhd, 2003.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Direktorat pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta:
1998/1999.
Wakil Pegawai pendaftar Mahkamah Tinggi Syari’ah Sarawak, Perundangan Islam di
Malaysia. 2005
Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001.
Download