makalah - Pusham UII

advertisement
TRAINING HAM LANJUTAN
UNTUK DOSEN HUKUM DAN HAM
Jogjakarta Plaza Hotel, 8 - 10 Juni 2011
MAKALAH
KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEYAKINAN
DALAM PERSPEKTIF KEMANUSIAAN UNIVERSAL,
AGAMA-AGAMA DAN KEINDONESIAAN
Oleh:
Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah
KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEYAKINAN DALAM PERSPEKTIF KEMANUSIAAN UNIVERSAL, AGAMA‐AGAMA DAN KEINDONESIAAN∗
M. Amin Abdullah Abstrak Mendiskusikan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, setidaknya melibatkan tiga entitas berpikir sekaligus, yaitu manusia sebagai manusia yang mempunyai harkat dan martabat (humanity; human dignity) yang tidak bisa dikurangi sedikitpun karena alasan perbedaan suku, ras, agama, etnis dan bahasa, kemudian manusia sebagai warga negara (nation states) yang dibatasi oleh batas‐batas administratif dan territorial, dan manusia sebagai pemeluk agama‐agama tertentu (religions), baik agama‐agama Abrahamik maupun non Abrahamik dan agama‐agama lokal yang ada di berbagai belahan dunia. Masing‐masing tidak dapat berdiri sendiri‐sendiri, terpisah satu dari lainnya, tetapi saling terhubung‐teranyam. Corak hubungan pola pikir antar ketiga entitas tersebut sangat menentukan corak hubungan antar manusia sesamanya, antar bangsa‐bangsa, bahkan antar berbagai pemilik spiritualitas agama‐agama dunia. Corak hubungan antar ketiganya dapat berakibat pada hubungan harmonis‐damai‐sejahtera (peaceful coexistence; harmony), tetapi juga bisa bercorak saling tidak percaya, pertikaian, kekerasan, bahkan peperangan ( mutual distrust; conflict; violence ; war). Tulisan singkat ini menjelaskan dinamika dan dialektika pemikiran antar ketiganya dalam sejarah peradaban modern umat manusia, khususnya paska di deklarasikan Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Telaah dibatasi pada basis nalar etis‐filosofis Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, tanggapan agama‐agama, khususnya Islam dan kewajiban negara‐bangsa (nation state) untuk menjamin, menjaga, melindungi, memajukan hak‐hak tersebut. Pemeluk agama‐agama, tanpa terkecuali menghadapi tantangan baru paska di deklarasikannya Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, karena agama – baik yang menyangkut sistem kepercayaan, ritual‐peribadatan, kitab suci, kepemimpinan, moralitas dan kelembagaan ‐ hingga saat sekarang ini, secara sosiologis masih merupakan sistem “pembatas” (border) yang diciptakan oleh budaya manusia untuk menjaga dan melindungi identitas diri dan kelompok dengan berbagai implikasi sosial dan politiknya. Sementara secara etis‐filosofis, sebagian didorong oleh pemahaman terhadap Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan yang berlaku secara internasional dan realitas berdirinya negara‐bangsa (nation‐state) menumbuhkan kesadaran baru untuk memperbaiki hubungan antar pemeluk agama‐agama dunia di satu sisi dan hubungan antara negara dan agama di sisi lain. Tuntutan kemanusiaan dan peradaban baru ini memberi inspirasi kepada manusia yang hidup di era kontemporer untuk membangun peradaban manusia baru yang tetap berbasis lokalitas , baik dari segi tradisi, agama maupun kultur, tetapi disangga oleh pilar‐pilar norma global ethics yang menjunjung tinggi martabat dan harkat kemanusiaan universal. Dalam konteks ini, Indonesia sebagai negara‐bangsa, yang berpenduduk Muslim terbesar di didunia tetapi majemuk secara agama, aliran kepercayaan, tradisi, ras, etnis dam bahasa masih mengalami banyak kendala dan hambatan dalam mengimplementasikan Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan. ∗
Disampaikan dalan forum Pelatihan Lanjut Hak Asasi Manusia bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta bekerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) University of Oslo Norway, Jogjakarta Plaza Hotel, tanggal 10 Juni 2011 1
Basis nalar etis‐filosofis dari Hak Asasi Manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Hak kebebasan beragama sesungguhnya bukanlah hal baru dalam sejarah manusia. Semua budaya, tradisi, dan agama di dunia telah memahami perlunya hak kebebasan beragama. Dalam Islam sendiri, sekitar abad ke 7 Masehi, disebutkan secara tegas dalam al‐
Qur’an, surat al‐Baqarah, ayat 256, bahwa “tidak ada paksaan dalam agama” (Laa ikraaha fi al‐Diin). Yang baru dari Hak Kebebasan Beragama abad ke 20, paska berakhirnya perang dunia ke 2, adalah pertama, dideklarasikannya hak tersebut bersama‐sama dengan hak‐hak yang lain pada tahun 1948. Kedua, hak‐hak tersebut dideklarasikan oleh banyak negara anggota Perserikatan Bangsa‐Bangsa secara bersama‐sama, pada tahun 1948. Hak‐hak tersebut kemudian lebih dikenal sekarang di tanah air dengan sebutan HAM atau Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Ketiga, Deklarasi ini sifatnya mengikat negara‐negara anggota Perserikatan Bangsa‐Bangsa, dibuktikan dengan perlunya negara‐
negara anggota PBB untuk meratifikasi hak‐hak tersebut lewat Dewan Perwakilan Rakyat atau pemerintah setempat di negara‐negara masing‐masing. Keempat, kantor pusat PBB sendiri membentuk Dewan pengawas yang beranggotakan dari perwakilan negara‐negara anggota untuk mengamati dan mengawasi pelaksanaan hak‐hak tersebut di dalam masing‐
masing negara anggota Perserikatan Bangsa‐Bangsa. Bahkan ada peradilan internasional HAM terhadap pelaku pelanggaran berat HAM oleh PBB. Kelima, di masing‐masing negara anggota PBB, aturannya, dibentuk juga komisi khusus yang bertugas mengamati, mencatat, melaporkan pelaksanakan hak‐hak tersebut di lapangan dan melaporkannya ke pemerintah setempat dan juga kepada Dewan HAM di PBB. Dalam bentuk dan format pengorganisasian yang seperti ini, maka DUHAM (Universal Declaration of Human Rights) abad ke 20, memang berbeda dari kesepakatan‐kesepakatan rumusan HAM‐HAM lain yang ada sebelumnya, HAM‐HAM bentukan masing‐masing negara, seperti Perancis, Inggris atau Amerika atau rumusan agama‐agama dunia dan tradisi‐tradisi yang ada di dunia ini.1
Berbagai konflik, perang saudara dan perang antar suku, ras, etnis, agama, kelompok dan bangsa‐bangsa di dunia, baik pada perang dunia ke 1, perang dunia ke 2 maupun perang dingin (cold war) yang mengikutinya, juga sejarah panjang perang di era abad tengah dan sebelumnya, yang diiringi tindakan pembunuhan, penganiayaan, penangkapan, 1Buku rujukan standar tentang Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia adalah buku yang di edit oleh Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr dan Bahia G. Tahzib Lie (eds.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?: Sebuah Referensi tentang Prinsip‐Prinsip Pokok dan Praktek, Yogyakarta: Kanisius, 2010. Buku ini merupakan terjemahan (tidak seluruhnya) buku Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2004. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Rafael Edy Bosko dan M. Rifa’i Abduh. Diantara yang membedakan buku asli dan versi Indonesia adalah adanya tulisan Nicol Colbran yang menulis khusus tentang Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia. Sedang permasalahan pelaksanaan Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, dapat dibaca Suhadi Cholil dkk, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009, Yogyakarta, 2010. 2
penyiksaan, pemerasan, perampasan, kebengisan, kebencian, kekejaman, pemaksaan, pemerkosaan, ketidakbiadaban dan tindakan kekerasan yang lain mengilhami dan menyadarkan para ilmuan, intelektual dan para pemimpin dunia untuk memikirkan kembali hakekat keberadaan manusia di muka bumi yang membedakannya dari binatang, tumbuh‐
tumbuhan dan alam semesta yang lain. Perang, konflik dan tindakan kekerasan yang berkepanjangan antar manusia menimbulkan rasa iba kemanusiaan. Rasa iba secara psikologis maupun secara sosial dan ekonomis. Manusia dihinggapi perasaan takut, khawatir, cemas, tertekan, tidak aman, tidak sehat, tidak nyaman, tidak berani mengeluarkan pendapat, tidak berani berbeda pendapat, tidak berani menyampaikan kritik dan saran untuk perbaikan, yang akhirnya menumbuhkan rasa apatis‐kolektif. Sedang secara sosial‐ekonomis, konflik dan perang menyebabkan tersebarnya ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, penderitaan berkepanjangan dan ketertinggalan dalam berbagai bidang kehidupan merupakan akibat langsung dari tatanan dunia dan tatanan politik yang tidak sehat, tidak kondusif untuk melakukan pembangunan kesejahteraan manusia baik jasmani, rohani dan sosial‐ekonomi. Kemiskinan, kekurangan sandang ( bahan pakaian), pangan (bahan makanan) dan papan (tempat tinggal), minimnya program dan fasilitas pendidikan, ketiadaan air bersih, ketidakmerataan distribusi hasil pembangunan, dan buruknya fasilitas kesehatan adalah juga sebagai akibat dari berkepanjangannya konflik dan perang antara manusia, antar berbagai kelompok elit kepentingan, antar bangsa‐bangsa juga antar pemeluk agama di dunia maupun konflik internal dalam bangsa itu sendiri.2
Untuk sekedar menyegarkan ingatan. Setelah disahkannya Hak Asasi Manusia yang mengikat secara internasional, dalam bagian kedua abad ke 20 masih terjadi lima pembunuhan, entah yang disebut massacres, mass rapes, ethnic cleansing dan seterusnya, berskala raksasa di dunia. Di China, pada jaman Mao Zedong sekurang‐kurangnya 30 juta orang. Di Kamboja, di bawah Polpot lebih kurang 2 juta dari 9 juta penduduk. Di Rwanda, 800.000 warga Tutsi dan Hutu. Yang dua lagi berlangsung di Indonesia. Sekurang‐kurangnya setengah juta orang dibunuh antara Oktober 1965 dan Januari 1966 dan sekurang‐
kurangnya 150.000 (dari 650.000) warga Timor Timur di bunuh dari tahun 1976 hingga tahun 1980.3 Belum lagi menyebut kekerasan dan ethnic cleansing di bekas negara Yugoslavia (Serbia, Bosnia, Montenegro, dan lain‐lain), Srilangka, Somalia, Ethiopia dan kejadian pergolakan politik di Timur Tengah yang sekarang ini sedang berlangsung. Realitas dan fakta kehidupan yang pahit dan memilukan seperti itulah yang mendorong semua para pemimpin bangsa‐bangsa dunia untuk menggunakan nalar, mengkritik setajam‐tajamnya praktik hidup berbangsa, bernegara dan juga beragama yang telah berjalan selama ini (proses denunsiasi) dan memikirkan ulang tata tertib dunia dan tata kelola politik dunia yang lebih kondusif untuk mensejahterakan hidup rakyat banyak 2Uraian yang lebih detil tentang hal ini dapat di jumpai dalam Malcolm D. Evans, “Analisis Historis Terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan sebagai Cara Menyelesaikan Konflik”, dalam Tore Lindholm dkk. (Ed.), ibid.. 67‐95. 3Franz Magnis‐Suseno SJ, “Kekerasan di Negara Pancasila”, Kompas, 1 Juni 2011, h. 7. 3
pada bangsa‐bangsa dan warga dunia pada umumnya (proses anunsiasi). Muncullah gagasan bagaimana caranya membantu para pemimpin dan elit politik dunia dan elit pemimpin agama untuk dapat sedapat mungkin menghindari atau memperkecil ruang kemungkinan terjadinya konflik dan perang ? Bagaimana membantu para pemimpin politik dunia dapat terlepas dari godaan untuk melakukan tindakan otoriter, sewenang‐wenang terhadap manusia dan kelompok lain, hanya semata‐mata untuk menjaga kepentingannya sendiri dan kelompoknya? Bagaimana membantu para pemimpin agama‐agama dunia untuk menyebarkan gagasan perdamaian, hidup berdampinmgan secara damai antara berbagai pengikut dan pemeluk agama‐agama lain di dunia? Bagaimana seluruh lapisan pimpinan pemerintahan di negara‐negara di bawah payung PBB, dapat menghormati hak‐hak dasar dan fundamental rakyatnya, tanpa membedakan‐bedakan asal‐usul suku, ras, etnis, agama, organisasi, partai politik, demi untuk mencapai kesejahteraan manusia secara bersama‐
sama?4
Olah pikir, refleksi, kritik dan diskusi panjang yang berkesinambungan antar berbagai pimpinan elit bangsa‐bangsa di dunia termasuk cerdik pandai, budayawan dan agamawan nya tentang masalah akut yang dihadapi umat manusia, menghasilkan kesepakatan bahwa manusia memerlukan kemampuan dasar dan keahlian pokok dalam berhubungan secara sosial (social skill) antar sesama umat manusia di muka bumi. Diperlukan patokan nalar dan hukum etika universal yang dapat membimbing perilaku manusia untuk dapat dan mampu menghormati, peduli, menjaga, melindungi dan melakukan kerjasama dengan sesamanya. Kemampuan sosial yang mendasar ini perlu tertanam kokoh dan tertancap kuat dalam kehidupan diri pribadi dan terpatri kuat dalam hati sanubari setiap manusia yang menginginkan kesejahteraan hidup bersama dan hidup berdampingan secara damai antar berbagai suku, agama, warna kulit , jenis kelamin dan bangsa‐bangsa di dunia. Pendidikan sebagai media yang dapat menanamkan basis etika sosial ini amat sangat penting. Kemampuan dan keahlian ini perlu melekat secara intrinsic dalam diri pribadi manusia, dalam arti tak akan lekang karena panas dan tak lapuk lapuk karena hujan. Dalam situasi dan kondisi apapun, manusia harus mampu menghormati dan menghargai sesamanya, tanpa kecuali dan tanpa syarat apapun. Menghormati atau hormatilah manusia sebagai manusia. Bukan menghormati manusia karena alasan atau pamrih tertentu, baik karena kekayaan, agama, suku, etnis, peran, jabatan atau status sosialnya. Begitu filsuf Immanuel Kant, mengingatkan 200 tahun lalu. Perintah untuk menghormati dan menghargai manusia sebagai manusia adalah kategori imperative, bukan kategori hipotetis. Dalam etika kemanusiaan universal, manusia hanyalah dilihat dan dipandang secara objective sebagai manusia. Manusia dilihat, dipedulikan, disapa, diajak dialog, diajak kerjasama bukan karena profesi, peran sosial, kekayaan atau kedudukannya. Bukan manusia sebagai pedagang, pegawai negeri, agamawan, kyai, bhikku, pendeta, pastur, politisi, akademisi, kaya, miskin, artis, pejabat, 4Michael Freeman, Human Rights: An interdiciplinary approache, Cambridge: Polity Press, 2002, h.1‐
4. 4
politisi, tetapi sekali lagi manusia sebagai manusia. Manusia sebagai manusia secara absolute. Manusia yang otonom. Manusia tanpa embel‐embel latarbelakang sosiologis‐
kultural‐ekonomis apapun yang menyertainya. Etika deontologis ala Kant ini, dianggap perlu untuk disadari kembali dan dikedepankan ulang di depan publik. Di tengah kesulitan hubungan antar berbagai kelompok kepentingan dan berbagai kekuatan militer bangsa‐
bangsa di dunia serta kejenuhan basa‐basi kemewahan dan keunggulan sains dan teknologi perang dunia pertama dan ke kedua dengan berbagai implikasi dan konsekwensinya yang sangat menyedihkan, memilukan dan menakutkan bagi perkembangan peradaban manusia dimasa depan. Manusia sebagai manusia , tanpa syarat apapun. Bukan manusia yang subjective, yang heteronom, yang ada maunya, yang ada kepentingan dibelakangnya, yang dapat dan bisa dihormati, dipedulikan dan disantuni. Manusia dihormati, dipedulikan dan dijunjung tinggi martabatnya tanpa syarat apapun. Tanpa syarat atau embel‐embel gelar, kekayaan, keahlian, agama, status sosial, keanggotaan partai, organisasi keagamaan yang dimilikinya.5 Cara berpikir etis‐filosofis yang mendasar seperti inilah yang sedikit banyak mengilhami, menyumbang konsep dan melatarbelakangi munculnya konsep Hak Asasi Manusia modern di era abad ke 20, yang kemudian diambil alih dan dikembangkan lebih lanjut oleh PBB. Dengan sangat kuat, tampak bahwa ide kemanusiaan universal dengan basis etis‐filosofis inilah yang melatarbelakanginya. Di kemudian hari, metode dan cara berpikir ini lebih dikenal dengan istilah HUMAN DIGNITY (harkat dan martabat manusia) sebagaimana yang tercantum dalam deklarasi Perserikatan Bangsa‐Bangsa tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).6 Mau lari kemanapun dan dicari dimanapun, pangkal tolak persoalan atau sumber terjadinya peperangan, kekejaman, penyiksaan, penganiayaan, pembunuhan, pengucilan, pengdiskriminasian, pengusiran, penghilangan hak‐hak asasi sebagai manusia, penghilangan nyawa secara paksa adalah terletak pada persoalan apakah manusia mampu menghormati dan peduli terhadap sesamanya sebagai manusia, bekerjasama dengan manusia sebagai manusia, bukan karena atas dasar pertimbangan ras, etnis, agama (aliran‐aliran, tafsir‐tafsir, organisasi‐oragnisasi agama), suku, apalagi kekayaan, kepartaian atau status sosial. Maka ujung‐ujungnya adalah terletak pada bagaimana corak konsep, pandangan , world view , pandangan keagamaan , 5Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, terjemahan Lewis White Beck, London: Macmillan Publishing Company, 1985, h. 33; 66. Juga H. J Paton, The Categorical Imperative: A Study in Kant’s Moral Philosophy, New York: Harper Torchbooks, 1967, h. 69;129. Juga M. Amin Abdullah, The Idea of Universality of Ethical Normss in Ghazali & Kant, Ankara: 1992, h.106; 155. 6Abdullah Saeed menyebutkan bahwa penghormatan kepada harkat dan martabat manusia (the dignity of human person), semakin sering dan dekatnya hubungan atau komunikasi dengan orang, kelompok atau pengikut agama atau keyakinan lain (greater inter‐faith interaction), munculnya konsep negara bangsa yang membawa implikasi kepada pengakuan hak dan kewajiban warga negara yang sederajat di muka hukum negara (the emergence of nation‐states (and the concept of equal citizenship), serta kesetaraan gender (gender equality) merupakan salah satu perubahan besar pola pikir manusia pada era modern dan sudah barang tentu membawa pengaruh kepada cara dan model penafsiran al‐Qur’an oleh orang Muslim yang hidup di era kontemporer. Lebih lanjut Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a contemporary approach, New York: Routledge 2006, h. 2. 5
singkatnya corak basis etis‐filosofis yang dimiliki seseorang atau kelompok dalam memandang, menghargai, menghormati dan melihat sesamanya adalah sangat penting untuk mencapai kesejahteraan manusia di muka bumi pada bagian yang manapun. Ketika menjelaskan what is human rights (apaka Hak Asasi Manusia itu ?), Umozurike, sebagaimana dikutip oleh Mashood A Baderin menjelaskan sebagai berikut : “Human rights are thus claims, which are invariably supported by ethics and which should be supported by law, made on society, especially on its official managers, by individuals or groups on the basis of their humanity. They apply regardless of race, colour, sex, or other distinction and may not be withdrawn or denied by governments, people or individuals”.7
Degradasi dan erosi nilai kemanusiaan pada era globalisasi bersumber dari hilang atau memudarnya nalar etis‐filosofis yang mendasari cara berpikir sosial, agama, budaya dan politik. Pemerintah Indonesia, khususnya Kementrian Pendidikan Nasional dan Kementrian Agama sedang sekarang ini baru mengeluh tentang kualitas pendidikan karakter serta hasilnya di tanah air. Keduanya sedang berpikir keras lewat tim ahlinya untuk mencari solusi yang tepat dan jitu untuk mengatasi dan mengobati keadaan. Sementara itu, tindak korupsi , kolusi dan nepotisme terus merejalela di mana‐mana dan menjadi sajian headline news di stasiun TV di tanah air. Hampir‐hampir tidak terbendung. Juga hubungan sosial dalam masyarakat juga masuk ke titik yang rendah. Tidak semua memang. Kekerasan antar kelompok, kekerasan antar penganut aliran‐aliran agama dengan menggunakan dalih apapun, kekerasan antar agama, tawuran antar kelompok pelajar dan mahasiswa, antar apartur negara, antar anggota rukun kampung dan tetangga, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan kepada anak dan perempuan dan begitu seterusnya. Tidak ada faktor penyebab tunggal disini. Banyak faktor ikut terlibat disini. Namun, jika dilihat dari perspektif etis‐filosofis, semuanya bersumber dari ketidak pekaan dan tumpulnya hati nurani berbarengan dengan terserabutnya basis etis‐filosofis dari kehidupan masyarakat, utamanya dalam melihat dan memandang orang lain (the other; al‐akhar; liyan) dalam hidup keseharian manusia Indonesia, termasuk dalam dunia pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama tidak terkecuali. Pokok‐pokok Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan. Kebebasan beragama atau berkeyakinan, dalam bentuknya yang terkini, adalah suatu hak asasi mansuia yang dapat berlaku secara universal yang terkodifikasi dalam instrumen‐instrumen hak asasi manusia internasional. Dalam tataran normatif, telah jelas sejak permulaan era hak asasi manusia modern bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan adalah sebuah hak fundamental, yang tidak dapat dikurangi sedikit pun dan oleh siapapun. Hak kebebasan beragama atau berkeyakinan sesungguhnya merupakan satu 7Umozurike, U.O, The African Charter on Human and Peoples’ Rights, 1997, h. 5, sebagaimana dikutip oleh Mashood A. Baderin, International Human Rights and Islamic Law, Oxford: Oxford University Press, 2003, h. 16‐17 .Cetak miring dan cetak tebal adalah tambahan saya. 6
dari hak‐hak fundamental yang paling penting. Hak ini telah diartikulasikan secara tegas dalam pasal 18 baik dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia maupun Kovenan Internasional Hak‐hak Sipil dan Politik. Individu‐individu – semua manusia di muka bumi – adalah pemegang utama dan penerima dari kebebasan ini; negara – yang idealnya selalu diawasi secara serius oleh para para warganya yang sadar akan hak asasi ini – adalah sasaran utama dan karenanya menjadi pemegang dari kewajiban‐kewajiban terkait yang muncul. Selain ketentuan‐ketentuan tentang kebebasan beragama dalam Deklarasi Universal PBB dan Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), elaborasi penting dan spesifikasi hak asasi manusia tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan terdapat dalam, antara lain, Deklarasi 1981, Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak‐hak Asasi Manusia dan Kebebasan‐Kebebasan fundamental. Konvensi Amerika tentang Hak‐hak Asasi Manusia, Dokumen Penutup Pertemuan Vienna bagi Perwakilan Negara‐negara Peserta GSCE (khususnya, pasal 16 dan 17). Komentar Umum No. 22 (48) Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa‐Bangsa memberikan substansi normatif bagi pasal 18 ICCPR.8
Sebagaimana disarikan oleh para editor buku bersama Nazila Ghanea dan Neni Indriati Wetlesen, inti normatif dari Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dapat disingkat menjadi delapan elemen : 1. Kebebasan internal. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk setiap orang memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan. (Komentar Umum 22, pasal 5). 2. Kebebasan eksternal. Setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersama‐
sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah dan penaatan (devotion).(ICCPR, pasal 18 (1), juga ECHR, pasal 9 (1). 3. Tanpa dipaksa. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya. (ICCPR, pasal 18 (2). 4. Tanpa diskriminasi. Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin hak kebebasan atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah hukum atau yurisdiksinya, hak kebebasan beragama dan berkeyakinan tanpa pembedaan apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau keyakinan, politik atau pendapat lain, kebangsaan atau asal‐usul lainnya, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. (ICCPR, pasal 2 (1)). 8Tentang sejarah dan kronologi urut‐urutan dari tahun ke tahun hasil kesepakatan sidang komisi hak‐
hak asasi mansuia Perserikatan Bangsa‐Bangsa dapat di telusuri dalam daftar lampiran buku‐buku yang membahas Hak Asasi Manusia seperti buku Mashood A.Baderin halaman IXX – XXI; buku Torelindholm halaman 739‐799 dan lain. 7
5. Hak orang tua dan wali. Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak‐anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk melindungi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas anak yang sedang berkembang. (ICCPR, pasal 18 (4); konvensi Hah‐
Hak Anak, pasal 14). 6. Kebebasan korporat dan kedudukan hukum. Komunitas keagamaan sendiri mempunyai kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk hak otonomi dalam urusan mereka sendiri. Walaupun komunitas keagamaan mungkin tidak ingin menggunakan kedudukan hukum formilnya, sekarang sudah lazim diakui bahwa mereka mempunyai hak untuk memperoleh kedudukan hukum sebagai bagian dari hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan khususnya sebagai salah satu aspek dari kebebasan memanifestasikan kepercayaan agama bukan hanya secara individual tetapi bersama‐sama dengan orang lain. (ICCPR, pasal 18). 7. Pembatasan yang diperbolehkan terhadap kebebasan eksternal. Kebebasan memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak‐hak mendasar orang lain. (ICCPR, pasal 18 (3)). 8. Tidak dapat dikurangi. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, bahkan dalam keadaan darurat publik.(ICCPR, pasal 4 (2)).9
Istilah‐istilah pokok yang digunakan dalam petikan rumusan yang dianggap penting dari Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan diatas seperti Internal Freedom (kebebasan interna)l, Noncoercion (tanpa dipaksa), Nondiscrimination (tanpa diskriminasi) dan Nonderogability (tidak dapat dikurangi), menurut hemat saya, seluruhnya tidak bisa dipahami dengan baik tanpa dasar dan nalar etis‐filofofis yang kuat. Nalar etis‐filosofis yang berlaku secara universal dan dapat terbebas dari tarikan‐tarikan, godaan‐godaan kepentingan‐kepentingan ad hoc, sektoral. Nalar etis‐filosofis yang tidak mudah memihak karena kepentingan golongan, agama, suku, daerah, etnis, partai dan begitu seterusnya. Istilah‐istilah etis‐filosofis ini menjadi landasan yang kokok bagi dideklarasikannya Universal Declaration of Human Rights (UDHM). Universal disini diartikan sebagai nalar etis‐filosofis, karena sifatnya yang melintasi batas‐batas territorial, bangsa, ras, suku, agama dengan berbagai kepentingan ad hoc nya. Oleh karenanya, dalam pelaksanaan dan implementasinya di lapangan, dimensi nalar etis‐filosofis ini sangat penting. Lebih penting dari pada nalar teknis, praktis, dan administratif bagi pada hakim dan para penanggungajawab pelaksanaan legislasi di lapangan. Tidak hanya untuk para penegak hukum, tetapi lebih‐lebih juga perlu untuk anggota masyarakat pada umumnya. 9Para Editor buku bersama Nazila Ghanea dan Neni Indriati Wetlesen, “Pengantar”, dalam Tore Lindholm dan kawan‐kawan, Ibid. , h. 20‐21. 8
Kata kunci nilai etis‐filosofis, kemudian menjelma menjadi Kebaikan Tertinggi (Sommum Bonum) yang memandu para hakim dan penegak hukum yang lain menjalan tugasnya jika terjadi konflik dan perselisihan dalam kehidupan di lapangan. Secara normatif‐ideologis, hak kebebasan beragama dan berkeyakinan memang telah dirumuskan bersama pada forum PBB dan karenanya telah diratifikasi oleh sejumlah besar negara‐negara anggota PBB. Namun, dalam dataran praxis‐intrumental di alam nyata di lapangan, tetap saja kesulitan masih melilit manusia dimana pun mereka berada. Anak benua mana di dunia yang tidak punya masalah di dalam negeri dan juga hubungan luar negeri antara bangsa‐bangsa di dunia? Afrika (Utara, Tengah, Selatan), Asia (Selatan, Tengah, Timur, Barat), Eropa (Timur, Barat), Australia, Amerika (Utara, Selatan). Realitas manusia sejatinya tidak seperti yang digambarkan oleh Immanuel Kant. Manusia dan budayanya jauh lebih kompleks. Dan Immanuel Kant sendiri, bukannya tidak tahu hal itu. Ketika membicarakan kategori hipotetis, Kant bukannya tidak menyadari betapa susahnya menghadapipersoalan dan kesulitan hidup yang riil di lapangan. Namun, daya kekuatan nalar‐rasional‐kemanusiaaan universalnya, menurut Kant, jika digunakan maksimal masih bisa menolong agar supaya manusia tidak selalu terjebak dalam kesulitan konflik sosial, budaya, agama dan ekonomi dan begitu seterusnya. Dalam bahasa Islam, manusia tidak boleh terkurung dan terjebak oleh al‐nafs al‐Lawwamah (dorongan atau nafsu yang perlu dikritik karena selalu ingin menggoda dan menggiring kearah ketidakadilan dan ketidak proporsionalan; tarikan nafsu yang bersumber dari rasa iri, benci, dendam kesumat). Potensi al‐Nafs al‐Mutmainnah10 (dorongan atau nafsu yang tenang, yang selalu mengingatkan perlunya dijaga rasa keadilan dan proporsionalitas; dibela kebaikan tanpa syarat, tarikan dan panggilan hati nurani yang bersih, tanpa pamrih) dalam diri manusia harus dijaga , dipelihara dan ditumbuhsuburkan agar dapat dimanfaatkan untuk membantu menghargai nilai‐nilai kemanusiaan universal. Keseimbangan antara kedua nafs tersebut, paralel dengan keseimbangan proporsionalitas antara kategori imperative dan hypothetic perlu diprioritaskan, agar manusia terhindar dari malapetaka dan bencana kemanusiaan di kemudian hari. Namun tetap saja, determinasi sosial, politik, kultural, agama dan ekonomi jauh lebih berat dihadapi di lapangan dari pada anjuran moral yang bercorak normatif. Lantaran sulitnya persoalan yang dihadapi di lapangan, maka peran negara amat lah sangat penting. Negara sebagai administrator, legislator, eksekutor, yudikator, fasilitator, bahkan mediator sangat lah penting. Lebih‐lebih lagi, PBB juga memang mengamanatkan kepada negara (states) untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran HAM. Bukan kepada badan organisasi lain, seperti organisasi non‐pemerintah atau non‐governmental organization (NGO). Semua 10Istilah al‐Nafs al‐Lawwamah disebut dalam al‐Qur’an pada surat Al‐Qiyamah, ayat 2. Dalam terjemahan al‐Qur’an Kementrian Agama diartikan sebagai “jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). Dalam kamus Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1979, 1037, diartikan sebagai blame atau stern critic. Sedang istilah al‐Nafs al‐Mutma’innah disebut dalam al‐Qur’an pada surat al‐Fajr, ayat 22. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “jiwa yang tenang”, calm, tranquil, peacefull, of good hope. 9
elemen dalam masyarakat secara bersama‐sama menjamin, memelihara, menjaga, menghargai, memajukan hak‐hak fundamental kebebasan beragama atau berkeyakinan. Peran NGO bersama‐sama masyarakat luas yang lain sangat berperan untuk mengawasi pelaksanaan HAM di lapangan. Hak Kebebasan Beragama atau Keyakinan dalam agama‐agama. Tidak semua hak asasi manusia, lebih‐lebih hak kebebasan beragama atau berkeyakinan yang dideklarasikan PBB diterima secara mulus oleh para pemimpin elit agama‐agama dunia. Hak pindah agama, sebagai contoh, tidak disetujui oleh negara‐negara Arab, yang membawa suara komunitas Islam. Agama Katolik Roma juga mempunyai catatan‐catatan sendiri, tetapi Dokumen Konsili Vatikan 2 (Nostra Aetate) memuat banyak perubahan dan penyesuaian disana‐sini, khususnya yang terkait ide Keselamatan di luar agama Katolik, dibandingkan dengan pandangan keagamaan Katolik sebelum konsili Vatikan 2. Terkait dengan upaya untuk mengurangi konflik dan memperbaiki hubungan antara pengikut agama Islam dan Kristen di seluruh dunia, pada tahun 2007, para intelektual Muslim juga mengambil inisiatif untuk menandatangani nota kesepakatan yang dintandatangai oleh 139 intelektual, imam dan ulama Muslim di dunia A Common Word between You and Us.11 Artinya, cepat atau lambat, pemimpin agama‐agama dunia juga mengambil posisi baru atau memperbaiki pandangan tradisonal mereka ketika mereka harus berhadapan dengan kenyataan pergaulan antar bangsa‐bangsa dan agama‐agama dalam merespon Hak Asasi Manusia yang di deklarasikan PBB. Ketika Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dideklarasikan dan sebagian besar negara‐negara anggota PBB meratifikasinya, maka problem yang menjadi perdebatan hangat adalah arti dan makna keuniversalan Hak Asasi Manusia, termasuk Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan. Bagaimana hubungan yang sesungguhnya antara apa yang disebut “universal” dan “particular” ? Partikularitas disini direpresentasikan oleh norma‐
norma budaya, bermacam sistem sosial, berbagai belief system yang telah dimiliki oleh penganut agama‐agama dunia yang sejak lama telah mengakar kuat dalam tradisi‐tradisi di Timur dan Barat? Bukankah partikularitas ini telah lebih dulu ada, dari pada universalitas ? Apakah dengan disepakati dan dideklarasikannya Hak Asasi Manusia dan Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan secara universal, kemudian akan menghapus, menggeser atau merubah tradisi‐tradisi lokal yang telah berurat‐berakar, tertancap kuat dalam tradisi‐tradisi dunia? Bukankah relativisme kultural (cultural relativism) terasa lebih kuat mengakar dan dominan dalam realitas kehidupan manusia di seantero dunia? Bukankah tidak ada paradoks antara “universalism” dan “cultural relativism”?12 Pendeknya, para pemangku 11Waleed El‐Ansary dan David K. Linnan (Ed.), Muslim and Christian Understanding: Theory and Application of “ A Common Word”, New York: Palgrave Macmillan, 2010. 12Debat filosofis era modern antara “universalism” versus “cultural relativism” berakar sangat dalam dan jauh dalam hitungan sejarah perkembangan pemikiran (A history of thought). Dalam pemikiran Islam klasik, dansaya melihat masih berlaku sampai sekarang, dikenal debat intelektual‐filosofis yang sengit antara Falasifah (para failasuf Muslim) dan Mutakallimun (para ahli Kalam atau teologi Islam). Falasifah selalu 10
kepentingan agama, tradisi, dan budaya tidak begitu saja menerima ide universalitas, untuk tidak menyebutnya “mencurigai” apa yang ada di balik deklarasi HAM tersebut. Tapi, para pemangku agama, norma‐norma tradisi dan sistem sosial di era modern tersebut juga mengakui bahwa dunia telah berubah, khususnya tata kelola pemerintahan telah berubah setelah munculnya apa yang disebut negara‐bangsa atau nation‐state. Sebuah kenyataan yang juga sulit diingkari, dan perubahan tata kelola pemerintahan tersebut pasti akan membawa akibat dalam sektor kehidupan yang lain, baik politik, ekonomi, sosial, agama dan budaya. Hanya bagaimana merekonsiliasikan antara keduanya itulah yang menjadi agenda utama agama‐agama dunia saat ini. Menolaknya secara sepihak, akan menjadikannya “terkucil” dari pergaulan dan kehidupan bangsa‐bangsa di dunia. Dalam pemikiran dan studi Islam ada beberapa pemikir dan peneliti kontemporer yang meneliti bagaimana Islam (ulama, tradisi, umat, lembaga) menanggapi Deklarasi Hak Asasi Manusia pada umumnya dan Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan khususnya. Dapat disebutkan disini antara lain Abdullahi Ahmed an‐Naim, Mashood A. Baderin dan yang terakhir adalah Jasser Auda. Ketiganya pun mempunyai cara pandang dan pendekatan yang berbeda meskipun dapat dikatakan saling melengkapi. Masih ada peneliti‐peneliti lain lain seperti Fathi Osman, Abdul Karim Soroush, A.E. Mayer, Monshipouri, Halliday dan yang lain‐lain masih banyak lagi. Perdebatan dan diskusi hangat ini dapat terekam dari bagaimana budaya dan tradisi Islam menanggapi deklarasi Hak Asasi Manusia yang berlaku secara internasional dan lebih‐
lebih yang menyangkut dengan Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan. Menurut Halliday , setidaknya , ada 4 varian pendapat di lingkungan ulama dan cerdik cendekiawan Muslim dalam merespon Hak Asasi Manusia pada umumnya dan Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan khususnya. 1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) memang sejalan dengan ajaran Islam. Orang Islam tidak perlu meragukannya dan tinggal melaksanakannya. 2) Hak Asasi Manusia bisa dilaksanakan di lapangan asal dibawah payung hukum Syari’at Islam. Kalau tidak, tidak mungkin dapat dilaksanakan. 3) Deklarasi Hak Asasi Manusia yang berlaku secara internasional adalah agenda imperialis Barat Modern yang ingin memojokkan Islam. 4) Hak Asasi Manusia Universal memang benar‐benar tidak sejalan (incompatible) dengan Islam. Maka, harus ditentang dan tidak perlu dilaksanakan. Mashood Baderin menambahkan yang tidak disebut oleh Halliday bahwa 5) Deklarasi Hak Asasi mempertimbang dan mempertautkan antara unsur “Form” dan “Matter” dalam berpikir , sedang Mutakallimun tidak menganggapnya perlu membedakan itu. Hasil penelitian dan pengamatan Josep van Ess mencatat sebagai berikut : “Definition as used by the Mutakallimun usually does not intend to lift individual phenomena to a higher , generic category; it simply distinguishes them the from other things (tamyiz). One was not primarily concerned with the problem how to find out the essence of a thing, but rather how to circumscribe it in the shortest way so that everybody could easily grasp what was meant”. Lebih lanjut Josep van Ess, “The Logical Structure of Islamic Theology”, dalam Issa J. Boullata (Ed.), An Anthology of Islamic Studies, Canada: McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992, tanpa halaman.Cetak hitam dari saya. 11
Manusia yang berlaku secara internasional memiliki agenda tersembunyi, yaitu anti agama (anti‐religious agenda).13
Dalam mengulas ke lima varian pendapat dan tanggapan tersebut, sebagai gambaran awal, akan disampaikan disini secara amat ringkas, pendapat 3 cendekiawan Muslim kontemporer yang serius mempelajari dan meneliti problematika, kompleksitas, liku‐liku dan tanggapan para pemikir Muslim dan ulama Islam terhadap DUHAM. Yaitu Abdullahi Ahmed an‐Na’im, Mashood A. Baderin dan Jasser Auda. Menurut an‐Na’im, tradisi Islam mengalami kesulitan dalam 3 hal menyangkut diundangkannya Hak Asasi Manusia pada umumnya dan Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan khususnya. Yaitu, 1) Pandangan Islam tentang perbudakan (slavery), 2) Hak‐hak wanita dan 3) Hak‐hak non‐
Muslim di negara‐negara Islam. Ketiga hal ini dilihatnya sebagai hambatan utama dari tradisi dan warisan intelektual Islam era klasik/medieval, yang berakibat pada keberatan dalam menerima Deklarasi Hak Asasi manusia oleh PBB. Oleh karenanya, di beberapa negara Islam menyatakan ketidaksepakatan terhadap Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan karena terhalang oleh konsep fikih tradisional Islam, yang ia sebut sebagai Syari’ah historis. Namun demikian, an‐Na’im mengajukan prinsip penting yang perlu dilakukan oleh pemikiran Islam modern dalam berhadapan dengan pergaulan bangsa‐bangsa era kontemporer yang telah meratifikasi Hak Asasi Manusia dan Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan. Yaitu, 1) Pemikiran Islam modern perlu memepertimbangkan prinsip timbal balik (Reciprocity). Jika ingin dihormati oleh orang lain, maka hormati juga lah orang lain itu. Jika tidak ingin disakiti, maka jangan menyakiti. 2) Prinsip non‐diskriminatif. Pemerintahan Islam dimanapun diharapkan dapat berlaku adil kepada semua warganya, tanpa memandang latar belakang ras, suku, agama, jenis kelamin, dan warna kulit.14 Mashood A. Baderin mencoba memaparkan program rekonsiliasi antara Hak Asasi manusia Internasional dan Hukum Islam. Dengan meneliti secara mendalam Hukum Islam, dia berkesimpulan bahwa hukum Islam dapat diparalelkan dengan Hak Asasi Manusia Internasional, setelah dilakukan interpretasi dan reinterpretasi sesuai dengan perkembangan jaman yang melingkarinya. Dia menyebut pendekatannya terhadap HAM Internasional dan Hukum Islam sebagai pendekatan dialogis untuk mencapai a common understanding. Dia teliti semua akar‐akar tradisi hukum Islam klasik dan dicari paralelitasnya dengan HAM Internasional. Namun persyaratan yang ia ajukan, dan tidak bisa ditawar, adalah konsep Masalahah yang ada dalam dalam Usul al‐Fiqh perlu diprioritaskan. Tanpa menggunakan prinsip Maslahah, agak sulit mendialogkan Hukum Islam dengan Hak Asasi Manusia Internasional. Satu prinsip dalam tradisi khazanah intelektual hukum Islam yang dilihatnya penting dan masih penting untuk diaktualisasi kembali dan direvitalisasi adalah prinsip Maslahah. Prinsip ini, ia gayutkan dan pertautkan dengan prinsip “the Margin of Appreciation” yang disetujui oleh Sidang komisi Hak Asasi Manusia wilayah Eropa di 13Mashood A. Baderin, Ibid., h. 13. 14Abdullahi Ahmed an‐Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International law, New York: Syracuse University Press , 1990, h. 142; 172‐179. 12
Strassbourg, 1993. Kesejajaran dan paralelitasnya ada disini, menurut Mashood A. Baderin. Dia kutip hasil kesepakatan Strasbourg sebagai berikut: “We must go back to listening. More thought and effort must be given to enriching the human rights discourse by explicit reference to other non‐Western religions and cultural traditions. By tracing the linkages between constitutional values on the one hand and the concepts, ideas and institutions which are central to Islam or the Hindu‐Buddhist tradition or other traditions, the base of support for fundamental rights can be expanded and the claim to universality vindicated. The Western World has no monopoly or patent on basic human rights. We must embrace cultural diversity but not at the expense of universal minimum standarts”.15
Adapun Jasser Auda, setelah mempelajari keduanya, dia mempunyai pendekatan dan pendapat yang berbeda. Kesejajaran atau ketidak sejajaran antara hukum Islam dan Hak Asasi Manusia Internasional tidak lah begitu penting. Yang lebih penting adalah melihat bagaimana melihat capaian tingkat kesejahteraan masyarakat Muslim di dunia. Lewat Index Human Development dapat diketahui sampai dimana capaian masyarakat Muslim di dunia diantara bangsa‐bangsa lain di dunia. Ternyata, capaiannya sangat rendah16 dibanding negara‐negara yang telah meratifikasi dan mematuhi Hak Asasi Manusia dan Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan. Lalu, dia telaah bagaimana konsep hukum Islam era abad Tengah, Modern dan Postmodern. Dia tidak segan‐segan menggunakan konsep‐konsep dan teori postmodern dalam studi Islam, meskipun sebagian juga ia kritik, untuk melihat seberapa dekat atau seberapa jauh tingkat kesiapan intelektual Muslim untuk mencerna dan memahami Hak Asassi Manusia di deklarasikan PBB, tahun 1948. Dengan menggunakan dan mencangkokkan Pendekatan System dalam Usul fiqh dan hukum Islam, lewat 6 fitur alat analisis yang ditawarkan, akhirnya dia berpendapat bahwa konsep Dharuriyyah al‐
Khams dalam tradisi Hukum Islam perlu dikembangkan dan diperluas sehingga dapat menjangkau, selaras dan mencakup wilayah kerja yang diprioritaskan oleh Hak Asasi Manusia Internasional era modern.17
Pada intinya, para pemikir dan peneliti Muslim kontemporer berupaya keras menjelaskan bahwa tradisi spiritualitas Islam masih relevan untuk menjawab tantangan jaman yang mengitarinya, meskipun perlu dilakukan upaya pembaharuan pemikiran dan penafsiran ulang terhadap pemahaman dan penafsiran lama yang cukup signifikan. Tidak apologis, tetapi sekedar mengingatkan kembali dan menafsirkan ulang prinsip Usul Fiqh lama yang penting, yaitu al‐Muhafadzah ‘ala al‐qadim al‐salih wa al‐akhdz bi al‐jadid al‐
15Mashood A Baderin, Ibid., h. 5‐6. Bandingkan dengan tulisan Abdul hakim Garuda Nusantara, “Margin Apresiasi HAM” Kompas, tanggal 8 Maret, 2011, h. 7, yang memberi pengertian tentang the Margin of Appreciation sebagai berikut : “Setiap masyarakat berhak atas suatu ruang gerak untuk menyeimbangkan hak‐hak individu dan kepentingan nasionalnya, serta menyelesaikan perselisihan yang muncul sebagai akibat adanya keyakinan moral yang berbeda”. Menurutnya, UUD 1945 secara implisit menganut ajaran margin apresiasi HAM. 16Jasser Auda, Maqasid al‐Syariah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, London: The International Institute of islamic Thought, 2008, h. XXII 17Ibid., h. 192. 13
aslah. Tradisi intelektual dan pemikiran Islam bukanlah sekedar tradisi intelektual masa lalu, yang tidak inkompatibel atau tidak bisa diselaraskan dengan perjalanan intelektual dan pemikiran manusia modern, melainkan ia masih selaras dan mampu untuk menjawab tantangan pergumuluan jaman dan perkembangan evolutif pemikiran kemanusiaan dan kebangsaan era modern dan paskamodern, dengan syarat ada kesediaan dari para pemikir Muslim kontemporer untuk melakukan reinterpretasi terhadap hasil ijtihad atau pemahaman lama tersebut. Tidak mudah melakukan hal itu, karena para intelektual Muslim era sekarang perlu dan harus memiliki kemampuan penguasaan tradisi intelektual Islam (penguasaan literatur Islam dalam bahasa Arab dengan baik) dan tradisi intelektual Barat (penguasaan literatur bahasa–bahasa Barat, khususnya Inggris dengan baik) sekaligus dengan baik, dalam satu keutuhan berpikir. Dengan begitu, isu kompatabilitas dan inkompatabilitas dapat diketepikan, dan isu paradok antara yang disebut‐sebut universal dan partikular juga dapat dikesampingkan, kemudian menuju kearah bagaimana menerapkan dan mengaplikasikan hasil ramuan pemikiran yang segar tersebut secara kritis‐
konstruktif dalam kehidupan riil bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta mampu menempatkan diri sebagai warga dunia (world citizenship) yang setara (equal) dan saling menghormati (mutual respect) dalam atmospir tata pergaulan bangsa‐bangsa dan agama‐
agama dunia era global seperti yang dijalani saat ini. Indonesia, Pancasila dan Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan paska Reformasi. Pilihan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia merepresentasikan semangat jaman yang ada pada paroh pertama abad ke 20. Para pendiri bangsa ini telah memahami situasi dunia sebelum dan paska perang dunia ke 1 dan ke 2. Berakhirnya era kolonialisme dan kapitalisme dalam format sejarah lama. Keprihatinan yang sangat mendalam yang diuraikan diawal tulisan ini telah menyatu dengan jiwa dan pola pikir para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia. Tidak dijadikannya agama sebagai landasan berbangsa dan bernegara adalah salah satu hasil olah pemikir yang mendalam para pemikir dan pemimpin calon pendiri bangsa Indonesia saat itu. Bukannya agama tidak penting. Deklarasi HAM oleh PBB, tahun 1948, juga tidak jauh dari saat diproklamirkannya negara Republik Indonseia, tahun 1945. Mustahil, jika para pendiri bangsa ini tidak memahami apa yang dipikirkan oleh pemimpin bangsa‐bangsa di dunia pada paroh pertama abad ke 20. Rumusan Pancasila, dari sila pertama sampai sila ke lima, adalah cermin pergolakan batin, pergumulan pemikiran, tantangan sejarah dan kemanusiaan saat itu. Setelah PBB mendeklarasikan Hak Asasi Manusia , maka Indonesia pun segera meratifikasinya. Sebagai negara anggota PBB dan telah meratifikasi produk undang‐undang yang dideklarasikan oleh badan dunia tersebut, maka OTORITAS NEGARA diwajibkan memenuhi kewajibannya dibawah berbagai konvenan internasional yang telah diratifikasi oleh Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia. Beberapa konvenan yang telah diratifikasi antara lain Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (l948), Deklarasi tantang Pengahpusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskrimasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan (1981), konvenan 14
internasional hak‐hak ekonomi, sosial, dan budaya serta konvenan internasional hak‐hak sipil dan politik. Selain itu, otoritas negara diwajibkan pula menjamin, menjaga, melindungi dan memajukan dan HAM sebagaimana yang tertuang dalam Undang‐undang Hak Asasi Manusia. Namun harus segera dikatakan bahwa menjadi Indonesia, baik yang menyangkut undang‐undang, aparatur negara yang mengemban dan menjalankannya serta warga negara yang menjadi pilar pentingnya adalah merupakan proses yang panjang. Bukan sekali jadi. Jalan Indonesia menegara dan membangsa adalah Pancasila. Menjadi Indonesia, paska proklamasi, bukanlah produk jadi yang siap pakai tanpa proses panjang merealisasikannya. Filosofi negara Pancasila telah membimbing warganya untuk beragama (sila ke 1), dengan menjunjung tinggi peri kemanusiaan (sila ke 2) dan persatuan (sila ke 3). Persoalan yang dihadapi bangsa diselesaikan dengan musyawarah untuk mufakat (sila ke 4), bukan dengan logika mayoritas. Kaya dan miskin tanpa kesenjangan sosial yang ekstrem (sila ke 5). Mimpi Indonesia berakar pada kolektivisme sekaligus individualisme, berbeda dari mimpi Amerika yang berakar pada invidualisme. Idealisme Pancasila bukan kesejahteraan invidual, melainkan masyarakat adil sejahtera. Keadilan sosial adalah muara dari keempat sila yang lain. Bagaimana pelaksanaan nilai Pancasila dalam kehidupan nyata sehari‐hari? Tidak mudah dan tidak sulit menjelaskan hal ini, karena ini adalah wilayah interaksi antara negara, penegak hukum dan warga negara dalam hidup sehari‐hari di lapangan. Dalam ukuran waktu 66 tahun, sejak 1 Juni 1945, khususnya, di era Reformasi, luar biasa kesulitan yang dihadapi di lapangan, baik oleh pimpinan negara, aparat penegak hukum dan warga negaranya terdiri dari beraneka ragam ras, suku, etnis, agama, warna kulit. Lebih‐lebih, Indonesia merupakan sekumpulan pulau‐pulau (archipelago) yang paling luas di dunia, bukan kontinental seperti Eropa maupun Amerika, bahkan Jepang sekalipun. Dari segi territorial, negara Indonesia terdiri dari 17 ribu pulau, besar dan kecil. Ini merupakan kesulitan tersendiri. Belum lagi tingkat penyebaran penduduk dan perbedaan tingkat pendidikan warganya. Namun demikian, Indonesia telah mengukir sejarah, karena telah berjalan selama 66 tahun. Bagaimana gambar wajah penegakan Hak Asasi Manusia dan Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di tanah air? Khususnya paska era Reformasi, tahun 1998? Luar biasa kompleksnya. Sejak merdeka sampai sekarang, banyak persoalan yang muncul ke permukaaan dan harus dihadapi dan diselesaikan oleh negara, aparat penegak hukum dan warganya. Indonesia masih utuh seperti yang kita lihat sekarang ini saja, sudah merupakan karunia. Gambaran terakhir dapat dibaca dalam tulisan Frans Magnis‐Suseno, di harian Kompas, dengan judul “Kekerasan di Negara Pancasila”, dalam memperingati hari Kelahiran Pancasila, 1 Juni 2011 : Tawuran anak‐anak sekolah dan geng‐geng narkoba kampung, perlawanan rakyat terhadap penggusuran, pengeroyokan pencuri sebagai sesuatu yang ‘lazim’, kekerasan etnik dengan 15
nada kepentingan politisi lokal rakus dalam kaitan dengan pilkada, kekerasan – betapa memalukan – atas nama agama. Pasti masih ada yang terlupa di sini. Yang betul‐betul menggelisahkan adalah kedalaman rasa benci dan dendam yang kadang‐kadang mencuat. Katanya ada khotbah dengan seruan, “Bunuh, bunuh, bunuh! Astaga! Setan apa yang sedang merasuki bangsa kita yang ramah, terbuka, berbaik hati?”. 18
Demikianlah gambaran dan penilaian pengamat melihat Indonesia dalam kurun waktu 13 tahun terakhir. Kekerasan menjamur dimana‐mana. Yang pasti, ini melanggar Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pasal 20 (2). Kekerasan atas nama agama menjadi fenomenal di tanah air, menjelang dan paska Reformasi. What went wrong (apa yang salah disini)? Apa yang salah, tidak tepat atau tidak berjalan dengan baik dalam Nation Building dan lebih‐lebih Character Building disini? Kekerasan dalam skalanya yang beraneka ragam ada disini. Baik kekerasan pisik, seperti penyebuan, pemukulan, pengrusakan, pembakaran, penyegelan dan pembunuhan maupun psikis seperti ancaman, penghinaan, pencacimakian. Kekerasan terhadap penganut agama lain ditampakkan dalam pengerusakan rumah ibadah sedang terhadap internal agama sendiri ditunjukkan dalam bentuk pengucilan, pengrusakan, penyegelan dan pengusiran terhadap warga yang tidak sepaham, berbeda penafsiran, pendapat atau keyakinannya dengan golongan mainstream. Contoh, Ahmadiyah di beberapa daerah menjadi berita hangat di tanah air, bahkan eskalasinya semakin semakin menjadi‐jadi, seperti yang terjadi di Cikeusik, Pandeglang, Jawa Barat.19 Kekerasan dapat dimulai dari pidato dimuka publik yang bercorak agitatif dan provokatif menyebar rasa benci (syiar kebencian) terhadap golongan (penganut) agama lain, terhadap pengikut organisasi keagamaan di luar kelompoknya (gerakan sempalan), terhadap pengikut aliran, pemikiran dan penafsiran keagamaan yang berbeda dari yang dimiliki golongan mainstream (perbedaan tafsir keagamaan), hujatan kafir‐mengkafirkan, murtad‐memurtadkan sangat menjamur di dunia riil maupun di dunia maya. Tidak hanya kepada individu, golongan atau organisasi, tetapi juga kepada institusi. Belum lagi hujatan kepada pemerintah pusat dan daerah yang tidak atau belum dapat menjalankan tugas dengan baik lewat demonstrasi‐demonstrasi yang mengerahkan massa, yang seringkali diiringi dengan tindak kekerasan dan brutal. Setelah ditimbang‐timbang, sumber kerumitan pelaksanaan Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di tanah air, setidaknya ada 3 kluster besar. Pertama, Permasalahan perundang‐undangan. Kedua, peran aparat negara dalam penegakan hukum. Ketiga, pemahaman tentang negara‐bangsa (nation‐states) oleh masyarakat atau warga negara penganut agama‐agama, pemangku adat dan anggota ras atau etnis. Ketiganya saling berkait kelindang. Tidak bisa dipisahkan antara yang satu dan lainnya. 18Frans Magnis‐Suseno, Op. Cit.Cetak tebal dari saya. 19 Suhadi Cholil, Zaenal Abidin Bagir, Mustaghfiroh Rahayu, Budi Asyhari, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009, Center for Religious & Cross Cultural Studies, Universitas Gajahmada, Yogyakarta, 2010, Bagian Dua, h. 27‐52. Juga Nicola Colbran, “Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia: Jaminan secara Normatif dan Pelaksanaannya dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, dalam Tore Lindholm dan kawan‐kawan, Ibid, h. 681‐735. 16
Penanganan atau penyelesaian yang satu tanpa melibatkan yang lain adalah pekerjaan yang tidak tuntas, untuk tidak menyebutnya sia‐sia. Ketiganya merupakan elemen atau komponen yang saling berhubungan antara yang satu dan lainnya. Jika Indonesia ingin bahkan wajib menjamin, melindungi, menjaga, memajukan Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan serta keluar dari berbagai kompleksitas yang melilitnya selama ini, maka ketiga komponen tersebut perlu diselesaikan secara bersama‐sama, berbarengan secara simultan. Atau dibuat skala prioritas jadual nasional pemecahannya secara terencana dan terjadual. Jika tidak, maka permasalahan perlindungan terhadap Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan akan muncul terus menerus, timbul tenggelam, terulang kembali, tidak menutup kemungkinan bahkan akan semakin buruk dan mengkhawatirkan bagi persatuan bangsa (sila ketiga Pancasila), tanpa ujung penyelesaian yang jelas sebagai bangsa yang berdaulat. Pertama, masalah Perundang‐undangan. Ada dua sumber hukum yang ada di tanah air untuk menangani dan menyelesaikan perselisihan pelaksanaan Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan. Pertama, adalah Undang‐undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Disebutkan dalam Laporan Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) di Indonesia, bahwa salah satu penyebab “kematian” 517 aliran kepercayaan sejak tahun 1949 hingga tahun 1992 adalah UU No. 1/PNPS/1965. Padahal menurut pasal 27 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, kelompok minoritas tidak boleh diingkari haknya untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri. Agama dan keyakinan merupakan bagian mutlak dari identitas sebuah kelompok dan konteks etnis tidak lepas dari persoalan perlindungan kebebasan beragama atau berkeyakinan.20 Kedua, Apa yang dikenal di Indonesia dengan sebutan SKB (Surat Keputusan Bersama). Surat Keputusan Bersama 3 mentri, yaitu kementrian Agama, kementrian Dalam Negeri dan kementrian Hukum dan HAM. Laporan tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia tahun 2008, disebutkan bahwa kekerasan yang dialami oleh penganut Ahmadiyah sebelum dan setelah dikeluarkannya SKB tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) pada tahun 2008, terdapat 10 kasus kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah berlangsung seperti penyerbuan, pengrusakan, pembakaran, dan penyegelan terhadap masjid dan aset‐aset milik warga Ahmadiyah ti tempat yang berbeda.21 Kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah semakin menjadi‐jadi, pada tahun 2011, khususnya yang dikenal dengan peristiwa Cikeusik, Pandeglang, Banten, Jawa Barat. Satu Undang‐Undang (1965) dan satu SKB (2008) tersebut disebut sebagai bola liar wacana sesat dan penodaan agama. Pada tahun 2009, gejala sesat‐menyesatkan terjadi sangat kuat dan menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Wacana penyesatan dan penodaan agama seperti menjadi bola liar yang bisa menghantam siapapun yang berpandangan dan mempraktikkan ritual keagamaan yang dianggap menyimpang. Pada 20Untuk lebih detil, lihat Nicola Colbran, Ibid., h. 694‐5. 21Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia tahun 2009, Ibid, h. 42. 17
umumnya kelompok yang dituduh sesat selalu merupakan kelompok kecil di tengah masyarakat dengan pandangan keagamaan mainstream. Wacana penyesatan dan penodaan agama bisa terjadi di semua agama. Wacana penyesatan merepresentasikan problem intra agama di mana kelompok mainstream menyesatkan kelompok lain yang berbeda tapi masih dalam satu agama atau memiliki kesamaan sebagian tradisi keagamaan dengannya. Kadang dalam praktiknya, terjadi pemimpin atau anggota kelompok yang dituduh sesat melakukan praktik pidana seperti pelecehan seksual, dan seterusnya. Disisi lain, baik masyarakat maupun pemerintah tidak mau memisahkan antara wacana penodaan agama atau penyesatan keyakinan keagamaan dengan pelanggaran pidana yang menyertainya. Cara kepolisian dan aparat pemerintah menangani kasus‐kasus seperti ini juga menunjukkan mereka tidak memisahkan keduanya. Kondisi ini mendapatkan legitimasinya dari masih adanya delik pidana penodaan atau penistaan agama dalam tata peraturan perundang‐undangan Indonesia dan tugas kepolisian yang antara lain mengawasi aliran‐aliran yang dianggap menyimpang di tengah masyarakat sebagaimana diamanatkan Undang Undang. Meskipun di sisi lain ada jaminan dari konstitusi yang sangat kuat terhadap kebebasan beragama atau berkeyakinan sebagai bagian tak terpisahkan dari Hak asasi Manusia, termasuk kebebasan beragama dan beribadah menurut agama atau kepercayaan tersebut. Menguatnya wacana penyesatan dan penodaan agama ikut dipengaruhi berhasilnya pemidanaan beberapa kasus yang pernah mencuat sebelumnya seperti kasus Lia Eden, Satrio Piningit, dan SKB tentang Ahmadiyah. Kedua, masalah Penegakan Hukum. Ketika terjadi kekerasan terhadap anggota atau pengikut golongan minoritas (baik ekstern maupun intern umat beragam), dimanakah keberadaan negara? Masyarakat merindukan keberadaan negara. Para pengamat , baik di media masa maupun elektronik, melihat seolah‐olah ada politik pembiaran oleh negara. Negara, dalam hal ini, pihak kepolisian dan pemerintah daerah dianggap selalu datang terlambat atau tidak dapat mengantisipasi keadaan dengan baik. Masyarakat luas sebagai warga negara juga menjadi salah satu pilar pokok karut marut persoalan penegakan dan palaksanaan Hak Kebeasan Beragama dan Berkeyakinan di tanah air, disamping kelemahan aparat penegak hukum untuk mengantisipasi dan menyelesaikan persoalan di lapangan. Komnas Indonesia melaporkan ada semacam pola yang terjadi berulang‐ulang dalam kasus‐kasus penyerangan terhadap Ahmadiyah. Tindakan kekerasan dan ancaman terhadap JAI umumnya, “diawali dengan adanya cap sesat dan menyesatkan dari instansi setempat. Cap ini diikuti dengan tindakan penebaran, seruan dan ancaman baik melalui forum‐forum keagamaan seperti pengajian maupun sarana lain seperti spanduk. Masa kemudian menindaklanjutinya dengan tindakan‐tindakan nyata seperti perusakan, pembakaran, dan pengusiran. Kondisi 18
ini diperparah dengan sikap aparat pemerintah yang cenderung melakukan pembiaran sehingga masa semakin leluasa melakukan tindak kekerasan”.22
Ketiga, Peran Warga Negara. Yang mengkhawatirkan bagi perjalanan bangsa ke depan adalah ditemukan indikasi‐indikasi bahwa pewacanaan sesat, penistaan agama, kekerasan, dan pemidanaan kasus penodaan agama telah menjadi pola umum di masyarakat untuk menyelesaikan konflik internal umat beragama terhadap paham‐
paham yang tumbuh berbeda. Situasi ini cukup mengkhawatirkan karena warga kehilangan mekanisme lain untuk mengelola kohesi sosialnya. Instrument hukum pidana penodaan agama memiliki kontribusi yang besar terhadap bangunan pola‐pola hubungan yang tidak kondusif untuk persatuan Indonesia. Semua warga negara dan para penanggungjawab pendidikan di tanah air memang perlu melihat ulang dan serius bagaimana sesungguhnyha praktek dan proses Nation Building di tanah air. Lebih pokok lagi adalah kesediaan untuk meninjau kembali bagaimana hubungan antara praktik pendidikan kewargaan (Nation Building) dan pendidikan agama (Character Building) di lakukan di tanah air? Apakah ada pertentangan diantara keduanya? Hasil beberapa penelitian menunjukkan ketidak paralelan dan ketidak sinkronan anatara keduanya. Adakah semuanya ini terkait dengan pemahaman kesejahteraan jasmani, rohani, sosial (kohesi sosial), ekonomi yang tidak utuh? Yang jelas tampak belum duduk salah satunya adalah pemahaman yang masih jumbuh, tumpang tindih, tidak jelas benar bagaimana warga negara memahami peran negara dalam sistem kenegaraan dan tata pemerintahan negara‐bangsa (Nation‐States) dalam menjaga dan melindungi Hak Kebebasan Bergama atau Berkeyakinan semua warga negaranya.23 Salah satu asas utama negara‐bangsa, yaitu Equal citizenship, kurang dipahami dengan baik. Equal citizinship ‐ dalam arti bahwa aparatur dan pejabat negara diharuskan oleh Undang‐Undang untuk melayani dan memperlakukan secara SAMA semua warga negara dihadapan hukum ‐ di kaburkan (atau lebih tepat diplesetkan) dengan pemahaman teologis (Kalam atau Aqidah) bahwa .... o, kalau begitu, semua agama‐agama sama (tingkat kebenarannya). Sebuah kejumbuhan dan kekaburan yang tidak pada tempatnya, ketika semua warga negara , penganut agama‐agama dunia, sudah berada di bawah payung besar negara‐bangsa (nation‐
states). Ketidakjelasan ini hanya dapat diperbaiki lewat jalur pendidikan (Nation Building dan Character Building) yang kompak dan saling terkait dan mengisi. Jika tidak, maka undang‐undang selengkap apapun dan aparat penegak hukum yang sekuat apapun , akan 22Terkait Ahmadiyah, Komnas HAM Temukan Indikasi Awal Pelanggaran Ham Berat, 26 Januari 2007. Lebih lanjut Nicola Colbran, Ibid., h.719. Cetak tebal dari saya. 23Masih dalam konteks kewargaan dalam payung besar Negara‐Bangsa, Komnas HAM pernah menyatakan dengan tegas bahwa MUI berperan langsung dalam membentuk sikap intoleran dan kebencian. Lihat, MUI tak ingin Fatwanya Disalahgunakan, 26 Oktober 2007, http://www.hukumonline.com/ detail.asp?id=17866cl= Berita. Ketua Bidang Fatwa MUI keberatan atas laporan Komnas HAM dan menganggap wajar ada reaksi keras dari umat Muslim terhadap Ahmadiyah. Lebih Lanjut Nicola Colbran, Op. cit. 19
lumpuh dihadapan warga negara yang belum begitu paham bahwa mereka sekarang hidup ditengah tatanan dan tata kelola negara bangsa (Nation States). Dalam situasi demikian, rakyat kebanyakan tetap masih berharap peran negara untuk melindungi, menjaga dan memelihara Hak‐hak fundamental Beragama atau Berkeyakinan diegakkan. Aparat negara, sebagai penegak hukum dituntut untuk bekerja lebih keras lagi. Karena maksud pendirian negara adalah memang untuk menjaga, melindungi, mengayomi warga negaranya, termasuk dalam menjalankan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, tanpa harus dilihat agama mayoritas atau minoritas. Jika aparatur negara gagal dalam melaksanakan tugas primer nya, dikawatirkan akan menjadi negara yang gagal (fail state). Khatimah Masih panjang jalan menuju ke arah memiliki Undang‐Undang yang lebih kuat,24 aparatur negara yang berwibawa dan lebih‐lebih kesejahteraan rakyat yang lebih utuh. Lebih‐lebih kalau mengikuti definisi sejahtera menurut World Health Organization (WHO) yang menyebutkan bahwa sejahtera adalah sejahtera secara jasmani dan rohani serta sosial‐ekonomi. Kesejahteraan rohani termasuk di dalamnya adalah pemenuhan Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, tanpa syarat dan embel‐embel apapun, selama tidak mengganggu ketertiban dan keamanan umum, kesehatan dan moralitas masyarakat. Sedang kesejahteraan sosial‐ekonomi sangat penting, tapi diluar cakupan tulisan ini. Jalan yang ditempuh kearah itu perlu dilakukan secara simultan. Langkah‐langkah yang menjadi skala prioritas yang perlu dilakukan oleh bangsa ini antara lain, 1) Rencana Undang‐undang Kehidupan dan Kerukunan Umat Beragama segera diajukan oleh pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai pengganti SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri, supaya dapat dipedomani oleh para penegak hukum dan warga negara. 2) Para penegak hukum (Polisi, Hakim, Jaksa, Pemda) perlu ditingkatkan kemampuan pemahamannya tentang Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan. Begitu juga aparat negara yang lain, termasuk anggota DPR pusat dan daerah. 3) Guru‐guru di sekolah dan dosen perguruan tinggi di up grade dan di up date pemahaman dan keahliannya dalam memahami Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dalam payung UUD l945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila, Bhinneka Tunggal Eka. 4) Para pimpinan masyarakat, elit agama, pemuda dan influence leaders yang lain perlu mempunyai kemahiran dan keahlian sosial (social skill) yang terbaharui sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat lokal, regional, nasional maupun internasional. Rakyat dan bangsa Indonesia belum selesai dalam proses membentuk negara dan memaknai arti warga negara dalam negara bangsa (Nation States). Perlu keseimbangan 24Pada tahun 2009, telah dilakukan oleh tujuh pemohon badan hukum privat untuk melakukan Yudicial Review terhadap PNPS No. 1/1965. Para pemohon memberikan kuasa kepada 50 kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama. Mahkamah Konstitusi belum mengabulkan isi permohonan tersebut. Artinya, masih ada persoalan yang belum selesai dalam hidup berbangsa dan bernegara di negara Republik Indonesia .Lihat Suhadi Cholil dkk, ibid., h. 51‐52. 20
antara hak dan kewajiban. Semua kita masih dalam proses berkelanjutan menegara dan membangsa. Tidak ada titik final. Proses denunsiasi (evaluasi dan kritik pada kenyataan yang sedang berjalan sekarang) dan anunsiasi ( merumuskan cita‐cita menuju yang ideal) perlu terus dilakukan tanpa mengenal lelah. Banyak negara gagal menempuh perjalanan panjang ini, seperti Uni Sovyet dan bekas Yugoslavia. Bagaimana Indonesia ke depan? Kita semua harus mampu mengoreksi diri. Koreksi ulang terhadap cara kita berbangsa dan bernegara, bagaimana berpartai politik, bagaimana mengajarkan cita‐cita sosial‐agama dalam era negara bangsa (nation state). Jangan‐jangan apa yang dilakukan selama ini memang belum, bahkan tidak sejalan dengan spirit dan jiwa Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan. Akhirnya, diatas semuanya kembali kepada basis nalar etis‐filosofis : Hormatilah manusia sebagai manusia. Kategori imperatif ini harus masuk dalam nalar dunia pendidikan dan relung jiwa manusia Indonesia, lebih‐lebih dalam ranah pendidikan secara umum dan lebih khusus dunia pendidikan keagamaan. Jika tidak, corak keberagamaan manusia Indonesia masih bercorak primordial, pra keindonesiaan, pra Pancasila dan belum siap sebagai warga negara (Nation state) dan warga dunia (world citizenship) yang saling menghormati satu sama lain, tanpa syarat apapun. Sumber Rujukan Abdullah, M. Amin, The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali & Kant, Ankara: Tukiye Diyanet Vakfi, 1992. El‐Ansary, Waleed, et. al (Ed.), Muslim and Christian Understanding: Theory and Application of “ A common Word”, New York: Palgrave Macmillan, 2010. Auda, Jasser, Maqasid al‐Syariah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, London: The International Institute of Islamic Thought, 2008. Baderin, Mashood, A., International Human Rights and Islamic Law, Oxford: Oxford University Press, 2003. Boullata, Issa. J (Ed.), An Anthology of Islamic Studies, Montreal: McGill Indonesia IAIN Developmnet Project, 1992. Cholil, Suhadi dkk., Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009, Yogyakarta: Center for Religious and Cross Cultural Studies, Universitas Gajahmada, 2010. Ess, Josep, van, “The Logical Structure of Islamic Theology”, dalam Issa J. Boullata (Ed.), An Anthology of Islamic Studies, Montreal: McGill Indonesia IAIN Development Project, 1992. Evans, Malcom D., “Analisis Historis Terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan Sebagai Cara Menyelesaikan Konflik”, dalam Tore Lindholm dkk. (Eds.), Kebebasan 21
Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?: Sebuah Referensi tentang Prinsip‐prinsip dan Praktek, Yogyakarta: Kanisius, 2010. Frreman, Michael, Human Rights, Cambridge: Polity Press, 2002. Ghanea, Nazila dan Neni Indriati Wetlesen dkk, “Pengantar”, dalam Tore Lindholm dkk. (Ed.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?: Sebuah Referensi tentang Prinsip‐Prinsip dan Praktek, Yogyakarta: Kanisius, 2010. Hashmi, Sohail H. (Ed.), Islamic Political Ethics: Civil Society, Pluralism, and Conflict, Princeton: Princeton University Press, 2002. Kant, Immanuel, Critique of Practical Reason, New York: Macmillan Publishing Company, 1985. Lindholm, Tore dkk. (Ed.), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook,Leiden: Martinus Hijhoff Publishers, 2004; juga versi (sebagian) terjemahan bahasa Indonesianya, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?: Sebuah Referensi tentang Prinsip‐Prinsip dan Praktek, Yogyakarta: Kanisius, 2010. Magnis, Frans‐Suseno, “Kekerasan di Negara Pancasila”, Kompas, h. 7, 1 Juni 2011. An‐Na’im, Abdullahi Ahmed, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law, New York: Syracuse University Press, 1990. Nusantara, Abdul Hakim Garuda, “Margin Apresiasi HAM”, Kompas, h. 7, 8 Maret 2011, Nyang, Sulayman, “Religion and the Maintenance of Boundaries: An Islamic View, dalam Sohail H. Hashmi (Ed.), Islamic Political Ethics: Civil Society, Pluralism, and Conflict, Princeton: Princeton University Press, 2002. Paton, H.J., The Categorical Imperative: A Study of Kant’s Moral Philosophy, New York: Harper Torchbooks, 1967. Saeed, Abdullah, Interpreting the Qur’an: Towards a contemporary approach, New York, Routledge, 2006. Yogyakarta, 5 Juni 2011 22
KEBEBASAN BERAGAMA ATAU
BERKEYAKINAN
dalam Perspektif KEMANUSIAAN UNIVERSAL,
AGAMA
-AGAMA DAN KEINDONESIAAN
AGAMA-AGAMA
M. Amin Abdullah
☯
Pelatihan Lanjut Hak Asasi Manusia bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM
PUSHAM
PUSHAM UII
UII Yogyakarta
Yogyakarta bekerjasama
bekerjasama dengan
dengan
Norwegian
Norwegian Centre
Centre for
for Human
Human Rights
Rights (NCHR)
(NCHR)
University
University of
of Oslo
Oslo Norway
Norway
Jogjakarta
Jogjakarta Plaza
Plaza Hotel,
Hotel, 10
10 Juni
Juni 2011
2011
POKOK BAHASAN
Basis Nalar Etis-Filosofis dari Hak Asasi
Manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia
Pokok-pokok Hak Kebebasan Beragama
atau Berkeyakinan
Hak Kebebasan Beragama atau Keyakinan
dalam Agama-agama
Indonesia, Pancasila dan Hak Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan paska
Reformasi
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
2
ABSTRAK
Manusia sbg
MANUSIA
Deklarasi PBB
ttg HAM & Hak Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan
yg berlaku internasional
Manusia sbg
WARGA NEGARA
June 28, 2011
Manusia sbg
PEMELUK AGAMA
M. Amin Abdullah
3
MAKSUD TULISAN INI:
hendak menjelaskan dinamika pemikiran dan dialektika
kesinambungan dan perubahan antar ketiganya
dalam sejarah peradaban modern umat manusia,
khususnya paska dideklarasikan Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights)
FOKUS TELAAH:
basis nalar etis-filosofis dideklarasikannya Hak Kebebasan
Beragama atau Berkeyakinan dan tanggapan agama-agama
dan kewajiban negara-bangsa (nation state)
untuk menjamin, menjaga, melindungi, memajukan
Hak-hak tersebut.
Mengapa Perserikatan Bangsa-Bangsa mendeklarasikannya
dan bagaimana agama-agama menanggapinya?
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
4
Basis Nalar Etis
-Filosofis
Etis-Filosofis
dari Hak Asasi Manusia
dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia
Hak kebebasan beragama sesungguhnya
bukanlah hal baru dalam sejarah manusia.
Yang baru dari Abad XX adalah:
Dideklarasikannya Hak Kebebasan
Beragama bersama hak-hak lain
pada 1948.
Dideklarasikan oleh banyak negara
anggota PBB secara bersama.
Deklarasi ini sifatnya mengikat dibuktikan dengan
perlunya meratifikasi hak-hak tersebut lewat DPR
atau pemerintah tiap-tiap negara.
Kantor pusat PBB membentuk Dewan Pengawas,
bahkan ada peradilan internasional HAM.
Di masing-masing negara anggota PBB, dibentuk
Komisi Khusus HAM.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
6
Kebiadaban dan tindakan kekerasan
selama Perang Dunia I & II
mengilhami dan menyadarkan para
ilmuan, intelektual, dan para
pemimpin dunia untuk memikirkan
kembali hakekat keberadaan
manusia di muka bumi
yang membedakannya dari binatang,
tumbuh-tumbuhan dan alam semesta
yang lain.
Perang, konflik dan tindakan
kekerasan yang berkepanjangan
antar manusia menimbulkan rasa iba
kemanusiaan: rasa iba secara
psikologis maupun secara sosial dan
ekonomis.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
7
Pembunuhan Berskala Raksasa yang Terjadi Setelah
Disahkannya HAM Secara Internasional
No
Negara
Waktu
Jml Korban
1
China
Masa Mao Zedong
k.l. 30 Juta
2
Kamboja
Masa Polpot
k.l. 2 Juta dari 9 Juta Penduduk
3
Rwanda
4
Indonesia
Okt. 1965 – Jan. 1966 k.l. ½ Juta
5
Indonesia:
Timor Timur
1976 – 1980
800.000 Warga Tutsi & Hutu
k.l. 150.000 dari 650.000
Warga
Belum lagi kekerasan dan ethnic cleansing di bekas negara
Yugoslavia (Serbia, Bosnia, Montenegro, dan lain-lain), Srilangka,
Somalia, Ethiopia dan kejadian pergolakan politik di Timur Tengah
yang sekarang ini sedang berlangsung.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
8
Realitas dan fakta kehidupan yang pahit dan
memilukan seperti itulah yang mendorong
semua para pemimpin bangsa-bangsa dunia
untuk menggunakan nalar, mengkritik
setajam-tajamnya praktik hidup berbangsa,
bernegara dan juga beragama yang telah
berjalan selama ini (proses denunsiasi) dan
memikirkan ulang tata tertib dunia dan tata
kelola politik dunia yang lebih kondusif untuk
mensejahterakan hidup rakyat banyak pada
bangsa-bangsa dan warga dunia pada
umumnya (proses anunsiasi).
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
9
Muncullah Gagasan:
Bagaimana caranya membantu para pemimpin dan elit politik dunia
dan elit pemimpin agama untuk dapat sedapat mungkin menghindari
atau memperkecil ruang kemungkinan terjadinya konflik dan perang?
Bagaimana membantu para pemimpin politik dunia dapat terlepas
dari godaan untuk melakukan tindakan otoriter, sewenang-wenang
terhadap manusia dan kelompok lain, hanya semata-mata untuk
menjaga kepentingannya sendiri dan kelompoknya?
Bagaimana membantu para pemimpin agama-agama dunia untuk
menyebarkan gagasan perdamaian, hidup berdampingan secara
damai antara berbagai pengikut dan pemeluk agama-agama lain di
dunia?
Bagaimana seluruh lapisan pimpinan pemerintahan di negara-negara
di bawah payung PBB, dapat menghormati hak-hak dasar dan
fundamental rakyatnya, tanpa membedakan-bedakan asal-usul suku,
ras, etnis, agama, organisasi, partai politik, demi untuk mencapai
kesejahteraan manusia secara bersama-sama?
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
10
Olah pikir, refleksi, kritik dan diskusi panjang yang
berkesinambungan antar berbagai pimpinan elit
bangsa-bangsa di dunia termasuk cerdik pandai,
budayawan dan agamawan tentang masalah
akut yang dihadapi umat manusia, menghasilkan
kesepakatan bahwa manusia memerlukan
kemampuan dasar dan keahlian pokok dalam
berhubungan secara sosial
(social skill) antar sesama
umat manusia di muka bumi.
Diperlukan patokan nalar dan
hukum etika universal yang dapat
membimbing perilaku manusia untuk dapat dan
mampu menghormati, peduli, menjaga,
melindungi dan melakukan kerjasama dengan
sesamanya.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
11
Menghormati atau hormatilah manusia sebagai manusia.
Bukan menghormati manusia karena alasan atau pamrih
tertentu, baik karena kekayaan, agama, suku, etnis, peran,
jabatan atau status sosialnya. (Immanuel Kant)
Manusia dihormati, dipedulikan dan dijunjung tinggi
martabatnya tanpa syarat apapun.Tanpa syarat atau
embel-embel gelar, kekayaan, keahlian, agama, status
sosial, keanggotaan partai, organisasi keagamaan yang
dimilikinya.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
12
Cara berpikir etis-filosofis yang mendasar
seperti inilah yang sedikit banyak mengilhami,
menyumbang konsep dan melatarbelakangi
munculnya konsep Hak Asasi Manusia modern
di era abad ke 20, yang kemudian diambil alih
dan dikembangkan lebih lanjut oleh PBB.
Dengan sangat kuat, tampak bahwa ide
kemanusiaan universal dengan basis etisfilosofis inilah yang melatarbelakanginya.
Di kemudian hari, metode dan cara berpikir ini
lebih dikenal dengan istilah HUMAN DIGNITY
(harkat dan martabat manusia) sebagaimana
yang tercantum dalam deklarasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights)
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
13
“Human rights are thus claims,
which are invariably supported by ethics and
which should be supported by law,
made on society, especially on its official
managers, by individuals or groups
on the basis of their humanity.
They apply regardless of race, colour, sex, or
other distinction and may not be withdrawn or
denied by governments, people or
individuals”.
Umozurike, U.O, The African Charter on Human and Peoples’ Rights, 1997, h. 5,
sebagaimana dikutip oleh Mashood A. Baderin, International Human Rights and
Islamic Law, Oxford: Oxford University Press, 2003, h. 16-17 .
Cetak miring dan cetak tebal tambahan pemakalah.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
14
Degradasi dan erosi nilai kemanusiaan
pada era globalisasi bersumber dari hilang
atau memudarnya nalar etis-filosofis
yang mendasari cara berpikir sosial,
agama, budaya dan politik.
Pemerintah Indonesia, khususnya
Kementerian Pendidikan Nasional dan
Kementerian Agama sedang sekarang ini
baru mengeluh tentang kualitas pendidikan
karakter serta hasilnya di tanah air.
Keduanya sedang berpikir keras lewat tim
ahlinya untuk mencari solusi yang tepat
dan jitu untuk mengatasi dan mengobati
keadaan.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
15
Pokok-pokok
Hak Kebebasan Beragama
atau Berkeyakinan
8 Elemen Inti Normatif
dari Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kebebasan Internal
Kebebasan eksternal
Tanpa dipaksa
Tanpa diskriminasi
Hak orang tua dan wali
Kebebasan korporat dan kedudukan hukum
Pembatasan yang diperbolehkan terhadap
kebebasan eksternal
Tidak dapat dikurangi
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
17
Secara normatif-ideologis, hak kebebasan beragama
dan berkeyakinan memang telah dirumuskan bersama
pada forum PBB dan karenanya telah diratifikasi oleh
sejumlah besar negara-negara anggota PBB.
Namun, dalam dataran praxis-intrumental di alam
nyata di lapangan, tetap saja kesulitan masih melilit
manusia di mana pun mereka berada.
Realitas manusia sejatinya tidak seperti yang
digambarkan oleh Immanuel Kant. Manusia dan
budayanya jauh lebih kompleks. Immanuel Kant
sendiri, bukannya tidak tahu hal itu.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
18
Determinasi sosial, politik, kultural, agama dan ekonomi jauh
lebih berat dihadapi di lapangan dari pada anjuran moral yang
bercorak normatif. Lantaran sulitnya persoalan yang dihadapi di
lapangan, maka peran negara amat lah sangat penting.
Negara sebagai administrator, legislator, eksekutor, yudikator,
fasilitator, bahkan mediator sangat lah penting. Lebih-lebih lagi,
PBB juga memang mengamanatkan kepada negara (states)
untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran HAM. Bukan
kepada badan organisasi lain, seperti organisasi non-pemerintah
atau non-governmental organization (NGO).
Semua elemen dalam masyarakat secara bersama-sama
menjamin, memelihara, menjaga, menghargai, memajukan hakhak fundamental kebebasan beragama atau berkeyakinan. Peran
NGO bersama-sama masyarakat luas yang lain sangat berperan
untuk mengawasi pelaksanaan HAM di lapangan.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
19
Hak Kebebasan Beragama
atau Keyakinan
dalam Agama-agama
Tidak semua hak asasi manusia, lebih-lebih hak
kebebasan beragama atau berkeyakinan yang
dideklarasikan PBB diterima secara mulus oleh para
pemimpin elit agama-agama dunia.
Terkait dengan upaya untuk mengurangi konflik dan
memperbaiki hubungan antara pengikut agama Islam
dan Kristen di seluruh dunia,
pada tahun 2007, para intelektual
Muslim juga mengambil inisiatif untuk
menandatangani nota kesepakatan
A Common Word between You and Us
yang ditandatangani oleh 139 intelektual,
imam dan ulama Muslim di dunia.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
21
Ketika Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
dideklarasikan dan sebagian besar negara-negara
anggota PBB meratifikasinya, maka problem yang
menjadi perdebatan hangat adalah arti dan makna
keuniversalan Hak Asasi Manusia, termasuk Hak
Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan. Bagaimana
hubungan yang sesungguhnya antara apa yang disebut
“universal” dan “particular” ?
Pemangku kepentingan agama, tradisi, dan budaya
tidak begitu saja menerima ide universalitas,
tetapi mereka mengakui bahwa dunia
telah berubah, khususnya tata kelola
pemerintahan telah berubah setelah
munculnya apa yang disebut
negara-bangsa atau nation-state.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
22
Dalam pemikiran dan studi Islam ada beberapa pemikir dan
peneliti kontemporer yang meneliti bagaimana Islam
(ulama, tradisi, umat, lembaga) menanggapi Deklarasi Hak
Asasi Manusia pada umumnya dan Hak Kebebasan
Beragama atau Berkeyakinan khususnya.
Di antaranya: Abdullahi Ahmed an-Naim, Mashood A.
Baderin, dan Jasser Auda.
Ketiganya pun mempunyai cara pandang dan pendekatan
yang berbeda meskipun dapat dikatakan saling
melengkapi.
Masih ada peneliti-peneliti lain seperti Fathi Osman, Abdul
Karim Soroush, A.E. Mayer, Monshipouri, Halliday dan yang
lain-lain masih banyak lagi.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
23
5 Varian Pendapat di Kalangan Ulama &
Cendekiawan Muslim
1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) memang sejalan
dengan ajaran Islam. Orang Islam tidak perlu meragukannya dan
tinggal melaksanakannya.
2) Hak Asasi Manusia bisa dilaksanakan di lapangan asal dibawah
payung hukum Syari’at Islam. Kalau tidak, tidak mungkin dapat
dilaksanakan.
3) Deklarasi Hak Asasi Manusia yang berlaku secara internasional adalah
agenda imperialis Barat Modern yang ingin memojokkan Islam.
4) Hak Asasi Manusia Universal memang benar-benar tidak sejalan
(incompatible) dengan Islam. Maka, harus ditentang dan tidak perlu
dilaksanakan.
5) Deklarasi Hak Asasi Manusia yang berlaku secara internasional
memiliki agenda tersembunyi, yaitu anti agama (anti-religious agenda).
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
24
Menurut Abdullahi Ahmed an-Na’im, tradisi Islam
mengalami kesulitan dalam 3 hal menyangkut
diundangkannya Hak Asasi Manusia pada
umumnya dan Hak Kebebasan Beragama atau
Berkeyakinan khususnya.
1) Pandangan Islam tentang perbudakan (slavery)
2) Hak-hak wanita
3) Hak-hak non-Muslim di negara-negara Islam.
Beberapa negara Islam menyatakan
ketidaksepakatan terhadap Hak Kebebasan
Beragama atau Berkeyakinan karena terhalang oleh
konsep fikih tradisional Islam, yang ia sebut
sebagai Syari’ah historis.
An-Na’im mengajukan prinsip timbal balik
(reciprocity) dan prinsip non-diskriminatif.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
25
Mashood A. Baderin mencoba memaparkan
program rekonsiliasi antara Hak Asasi
manusia Internasional dan Hukum Islam.
Dia menyebut pendekatan dialogis untuk
mencapai a common understanding.
Dia mempersyaratkan konsep Maslahah
yang ada dalam Usul al-Fiqh perlu
diprioritaskan. Prinsip ini ia gayutkan dan
pertautkan dengan prinsip “the Margin of
Appreciation” yang disetujui oleh Sidang
komisi Hak Asasi Manusia wilayah Eropa di
Strassbourg, 1993.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
26
Dia kutip hasil kesepakatan Strasbourg 1993:
“We must go back to listening. More thought and effort
must be given to enriching the human rights discourse
by explicit reference to other non-Western religions
and cultural traditions. By tracing the linkages between
constitutional values on the one hand and the
concepts, ideas and institutions which are central to
Islam or the Hindu-Buddhist tradition or other
traditions, the base of support for fundamental rights
can be expanded and the claim to universality
vindicated. The Western World has no monopoly or
patent on basic human rights. We must embrace
cultural diversity but not at the expense of universal
minimum standards”
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
27
Adapun Jasser Auda, setelah mempelajari
keduanya, dia mempunyai pendekatan
dan
pendapat yang berbeda. Kesejajaran atau ketidak
sejajaran antara hukum Islam dan Hak Asasi
Manusia Internasional tidak lah begitu penting. Yang
lebih penting adalah melihat bagaimana melihat
capaian tingkat kesejahteraan masyarakat Muslim di
dunia.
Dengan
menggunakan
dan
mencangkokkan
Pendekatan System dalam Usul fiqh dan hukum
Islam, lewat 6 fitur alat analisis yang ditawarkan,
akhirnya
dia
berpendapat
bahwa
konsep
Dharuriyyah al-Khams dalam tradisi Hukum Islam
perlu dikembangkan dan diperluas sehingga dapat
menjangkau, selaras dan mencakup wilayah kerja
yang diprioritaskan oleh Hak Asasi Manusia
Internasional era modern.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
28
Pada intinya, para pemikir dan peneliti Muslim
kontemporer berupaya keras menjelaskan bahwa
tradisi spiritualitas Islam masih relevan untuk
menjawab tantangan jaman yang mengitarinya,
meskipun perlu dilakukan upaya pembaharuan
pemikiran dan penafsiran ulang terhadap pemahaman
dan penafsiran lama yang cukup signifikan.
Para intelektual Muslim era sekarang perlu dan harus
memiliki kemampuan penguasaan tradisi intelektual
Islam (penguasaan literatur Islam dalam bahasa Arab
dengan baik) dan tradisi intelektual Barat
(penguasaan literatur bahasa–bahasa Barat,
khususnya Inggris dengan baik) sekaligus dengan
baik, dalam satu keutuhan berpikir
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
29
Indonesia, Pancasila
dan Hak Kebebasan Beragama
dan Berkeyakinan
Paska Reformasi
Pilihan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
merepresentasikan semangat jaman pada paroh pertama abad ke 20.
Rumusan Pancasila adalah cermin pergolakan batin, pergumulan
pemikiran, tantangan sejarah dan kemanusiaan saat itu. Setelah PBB
mendeklarasikan Hak Asasi Manusia, maka Indonesia pun segera
meratifikasinya.
OTORITAS NEGARA diwajibkan memenuhi kewajibannya di bawah
berbagai konvenan internasional yang telah diratifikasi oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Beberapa konvenan yang telah diratifikasi antara lain:
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (l948)
Deklarasi tantang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan
Diskrimasi Berdasarkan Agama atau Keyakinan (1981)
Konvenan internasional hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
Konvenan internasional hak-hak sipil dan politik.
Selain itu, otoritas negara diwajibkan pula menjamin, menjaga,
melindungi dan memajukan dan HAM sebagaimana yang tertuang
dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
31
Bagaimana gambar wajah penegakan
Hak Asasi Manusia dan Hak
Kebebasan Beragama atau
Berkeyakinan di tanah air? Khususnya
paska era Reformasi, tahun 1998?
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
32
3 Sumber Kerumitan
Pelaksanaan Hak Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan
Permasalahan perundang-undangan
Peran aparat negara dalam penegakan
hukum
Pemahaman tentang negara-bangsa
(nation-states) oleh masyarakat atau
warga negara penganut agama-agama,
pemangku adat dan anggota ras atau
etnis.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
33
1. Permasalahan
Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965
tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama
Surat Keputusan Bersama 3 Menteri:
Kementrian Agama, Kementrian
Dalam Negeri, dan Kementrian
Hukum dan HAM.
Bola liar wacana sesat dan
penodaan agama.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
34
2. Permasalahan
Penegakan Hukum
Ketika terjadi kekerasan terhadap
anggota atau pengikut golongan
minoritas (baik ekstern maupun
intern umat beragama),
dimanakah keberadaan negara?
Masyarakat merindukan
keberadaan negara.
Para pengamat , baik di media masa
maupun elektronik, melihat seolah-olah
ada politik pembiaran oleh negara.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
35
3. Permasalahan Peran Warga Negara &
Pemahaman tentang Negara-Bangsa
(Nation-States)
Yang mengkhawatirkan bagi perjalanan bangsa
ke depan adalah ditemukan indikasi-indikasi
bahwa pewacanaan sesat, penistaan agama,
kekerasan, dan pemidanaan kasus
penodaan agama telah menjadi pola umum
di masyarakat untuk menyelesaikan konflik
internal umat beragama terhadap pahampaham yang tumbuh berbeda.
Semua warga negara dan para penanggungjawab pendidikan di
tanah air memang perlu melihat ulang dan serius bagaimana
sesungguhnya praktek dan proses Nation Building di tanah air.
Lebih pokok lagi adalah kesediaan untuk meninjau kembali
bagaimana hubungan antara praktik pendidikan kewargaan (Nation
Building) dan pendidikan agama (Character Building) di lakukan di
tanah air? Apakah ada pertentangan diantara keduanya?
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
36
KHATIMAH
Langkah-langkah Prioritas:
1) RUU Kehidupan dan Kerukunan Umat Beragama
segera diajukan oleh pemerintah ke Dewan
Perwakilan Rakyat, sebagai pengganti SKB (Surat
Keputusan Bersama) Menteri, supaya dapat
dipedomani oleh para penegak hukum dan warga
negara.
2) Para penegak hukum (Polisi, Hakim, Jaksa, Pemda)
perlu ditingkatkan kemampuan pemahamannya
tentang Hak Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan.
Begitu juga aparat negara yang lain, termasuk
anggota DPR pusat dan daerah.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
37
3) Guru-guru di sekolah dan dosen perguruan tinggi
di-upgrade dan di-update pemahaman dan keahliannya
dalam memahami Hak Kebebasan Beragama atau
Berkeyakinan dalam payung UUD l945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila,
Bhinneka Tunggal Eka.
4) Para pimpinan masyarakat, elit agama, pemuda dan
influence leaders yang lain perlu mempunyai kemahiran
dan keahlian sosial (social skill) yang terbaharui sesuai
dengan tingkat perkembangan masyarakat lokal,
regional, nasional maupun internasional.
June 28, 2011
M. Amin Abdullah
38
Download