Daya tahan otot - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. MUSCULAR ENDURANCE (Daya tahan otot)
Kemampuan otot merupakan penentu kesehatan dan penyakit. Daya tahan otot
(Muscular endurance), kekuatan (strength), kelelahan ditentukan oleh berbagai factor,
termasuk transportasi substrat untuk produksi ATP, kemampuan mitokondria terhadap
pembakaran nutrien dan komposisi penyebab kontraktilitas. Walaupun faktor genetik juga
menentukan fenotip otot, faktor fisiologi seperti; aktivitas fisik dan olahraga juga berkontribusi
selama periode postnatal yang berdampak pada komposisi tipe serabut otot, biogenesis
mitokondria dan jalur metabolik energi (Gan et al, 2013).
Muscular endurance adalah kemampuan otot untuk melakukan atau mempertahankan
kontraksi secara berulang dalam waktu tertentu. Muscular endurance berhubungan erat dengan
kekuatan otot (Prentice, 2012). Muscular endurance akan mengalami penurunan jika dalam
waktu dua minggu tidak melakukan aktivitas. Pada saat ini belum ada penelitian yang
menyatakan apakah penurunan performa ini disebabkan oleh perubahan pada otot atau
perubahan kemampuan kardiovaskuler. Adaptasi otot lokal terjadi selama periode tidak
beraktivitas. Kita ketahui pada kasus postoperasi setelah satu atau dua minggu mengalami
immobilisasi, aktivitas enzim oksidatif, seperti; succinate dehydrogenase (SDH) dan
cytochrome oxidase menurun 40% hingga 60%. Penurunan aktivitas enzim oksidatif
seharusnya diharapkan untuk memperbaiki Muscular endurance, dan hal ini sebagian besar
berhubungan dengan kemampuan enduransi submaksimal dibandingkan dengan kemampuan
maksimal aerobik atau VO2max.
Pada saat atlit berhenti latihan, enzim glikolitik otot, seperti phosphorylase dan
phosphofructokinase mengalami perubahan sedikit hingga total yang berlangsung selama 4
minggu. Perubahan lain pada otot selama tidak latihan adalah kandungan glikogen. Otot
enduransi cenderung meningkatkan penyimpanan glikogen. Tetapi tidak latihan selama 4
minggu menyebabkan penurunan glikogen otot 40%.
Muscular endurance ditentukan oleh berbagai faktor, termasuk diantaranya adalah
kemamampuan oksidasi mitokondria, sintesis ATP, tipe serabut otot dan vaskularisasi (Yan et
al, 2011; Gan et al, 2013). Serabut otot tipe I (slow-twich) kaya akan mitokondria sehingga
5
Universitas Sumatera Utara
lebih dominan oksidasi asam lemak pada mitokondria untuk produksi ATP. Sedangkan serabut
otot tipe II (fast-twich) lebih dominan pada glukosa sebagai substrat energi dan disubklasifikasi
menjadi tipe IIa, IIx atau IIb pada hewan didasarkan pada tipe isoform myosin heavy chain
(MHC). Sensitifitas insulin dan transportasi glukosa oleh insulin berhubungan positif dengan
proporsi serabut otot tipe I. Training enduransi meningkatkan proporsi serabut oksidatif secara
parallel dengan respon biogenik mitokondria berhubungan dengan peningkatan latihan fisik,
oksidasi asam lemak dan glukosa dan pemakaian energi (Gan et al, 2013)
Permainan sepak bola merupakan salah satu permainan yang membutuhkan daya
tahan dalam jangka waktu yang cukup lama. Daya tahan penting dalam permainan sepak bola
sebab dalam jangka waktu 90 menit bahkan lebih, seorang pemain melakukan kegiatan fisik
yang terus menerus dengan berbagai bentuk gerakan seperti berlari, melompat, meluncur
(sliding), body charge dan sebagainya yang jelas memerlukan daya tahan yang tinggi.
2.1.1. Tipe serabut otot
Tidak semua serabut otot sama. Suatu otot skeletal terdiri dari serabut serabut yang
berbeda kecepatan memendeknya dan kemampuan untuk menghasilkan kekuatan maksimal;
serabut tipe I (slow-twich) dan serabut tipe II (fast-twich). Serabut tipe I kira-kira 110 ms untuk
mencapai puncak tegangan ketika dirangsang. Serabut tipe II dapat mencapai puncak tegangan
sekitar 50 ms. Walaupun hanya satu bentuk serabut tipe I yang telah diidentifikasi, serabut tipe
II dapat diklasifikasikan lagi. Pada manusia, terdapat dua bentuk utama serabut tipe II yaitu
fast-twich tipe a (tipe IIa) dan fast-twich type x (tipe IIx). Serabut tipe IIx Serabut tipe I
bernoktah hitam; serabut tipe IIa tidak bernoktah dan tampak putih dan serabut tipe IIx tampak
abu-abu (gray) (Kenny et al,2012).
2.1.2. Karakteristik serabut otot tipe I dan tipe II
a. ATPase
Serabut tipe I dan tipe II berbeda kecepatan kontraksinya. Perbedaan ini
disebabkan bentuk myosin ATPase. Myosin ATPase merupakan enzim pengurai
ATP untuk melepaskan energi yang digunakan untuk berkontraksi. Serabut tipe I
memiliki bentuk myosin ATPase yang lambat (slow), sedangkan serabut tipe II
memiliki yang lebih cepat. Sebagai respon terhadap rangsangan neural, ATP
diuraikan lebih cepat pada serabut otot tipe II dibandingkan pada serabut tipe I.
sehingga cross-bridge cycle lebih cepat pada serabut tipe II.
6
Universitas Sumatera Utara
b. Reticulum sarkoplasmik
Serabut tipe II memiliki perkembangan reticulum sarcoplasmic yang lebih
tinggi dibandingkan dengan serabut tipe I. Serabut tipe II lebih cepat mengirimkan
kalsium kedalam sel otot yang dirangsang. Kemampuan ini menyebabkan
kecepatan kontraksi (Vo) lebih cepat pada serabut tipe II. Secara rata-rata, serabut
tipe II pada manusia memiliki Vo 5-6 kali lebih cepat dibandingkan pada serabut
tipe I. Walaupun jumlah kekuatan (Po) yang dihasilkan oleh serabut tipe II dan
serabut tipe I dengan diameter yang sama adalah sama, jumlah tenaga yang
dihasilkan serabut tipe II adalah tiga sampai lima kali lebih besar dibandingkan
serabut tipe I karena kecepatan pemendekan yang lebih cepat. Hai ini menjelaskan
mengapa seseorang dengan serabut tipe II lebih dominan terdapat pada otot kaki
cenderung sprinter lebih baik dibandingkan seseorang dengan persentase serabut
tipe I.
c. Unit motor
Motor unit disusun oleh single α-motor neuron dan innervasi serabut otot.
Single α-motor neuron menentukan apakah serabut tipe I atau serabut tipe II.
Single α-motor neuron pada motor unit tipe I memiliki lebih kecil sel bodi dan
secara khusus diinervasi ≤300 serabut otot. Sementara α-motor neuron pada motor
unit tipe II memiliki sel bodi lebih besar dan diinervasi ≥300 serabut otot.
Perbedaan ukuran unit motor menyatakan bahwa single tipe I α-motor neuron
perangsangan serabut, jauh lebih sedikit serabut otot berkontraksi dibandingkan
single tipe II α-motor neuron merangsang serabutnya. Sehingga, serabut tipe II
untuk mencapai tegangan puncak lebih cepat dan secara kolektif menghasilkan
tenaga yang lebih dibandingkan serabut tipe I.
2.1.3. Distribusi serabut otot
Persentase serabut tipe I dan tipe II tidak sama diseluruh otot tubuh. Umumnya, otot
pada lengan dan kaki memiliki serabut hampir sama komposisinya pada setiap orang. Pada atlit
enduransi terdapat dominan serabut tipe I pada otot kaki dan juga dengan persentase yang
tinggi pada otot lengannya. Hubungan yang mirip juga terdapat pada serabut tipe II. Tetapi
terdapat beberapa pengecualian, otot soleus (dibawah otot gastrocnemius di betis), terdapat
persentase serabut tipe I yang cukup tinggi pada setiap orang.
7
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Serabut otot dan latihan fisik
Karena terdapat perbedaan serabut tipe I dan tipe II, juga terdapat fungsi yang berbeda
pada tipe serabut otot ketika seseorang beraktivitas fisik secara aktif.
a. Serabut tipe I
Umumnya, serabut tipe I berhubungan dengan tingginya kemampuan aerobic
enduransi. Aerobic berarti “tersedianya oksigen” sehingga oksidasi adalah proses
aerobic. Serabut tipe I sangat efisien dalam memproduksi ATP berasal dari
oksidasi karbohidrat dan lemak.
ATP dibutuhkan untuk menyediakan energi yang dibutuhkan serabut otot
berkontraksi dan relaksasi. Pada saat oksidasi berlangsung, serabut tipe I secara
terus menerus memproduksi ATP, menyebabkan serabut tetap aktif. Kemampuan
untuk mempertahankan aktivitas muscular berlangsung dalam waktu yang lebih
lama yang disebut muscular endurance, sehingga serabut tipe I memiliki
enduransi aerobic lebih tinggi. Akibat kondisi tersebut, mereka sering direkrut
selama pertandingan endurasi dengan intensitas rendah (seperti; marathon) dan
pada saat aktivitas harian yang membutuhkan kekuatan otot yang rendah (seperti;
berjalan)
b. Serabut tipe II
Serabut tipe II memliki enduransi aerobic yang sangat kurang dibandingkan
serabut tipe I. Tipe serabut tersebut terjadi secara anaerobik (tanpa oksigen). Hal
ini berarti tidak tersedianya oksigen, ATP dihasilkan melalui jalur anaerobik.
Motor unit tipe IIa menghasilkan tenaga lebih besar dibandingkan motor unit tipe
I, tetapi motor unit tipe IIa juga mengalami kelelahan lebih mudah karena
keterbatasan enduransi. Sehingga serabut tipe IIa secara primer digunakan dalam
waktu singkat, pertandingan enduransi dengan intensitas lebih tinggi, seperti lari
atau renang 400 m. (Katch et al, 2011)
2.1.5. Metabolisme pada otot
Energi dilepaskan ketika elemen ikatan kimia secara bersama-sama membentuk
molekul diuraikan. Substrat secara utama disusun oleh karbon, hydrogen, oksigen dan pada
protein nitrogen. Ikatan molecular sebagai tempat elemen secara relative lemah dan selanjutnya
menghasilkan sedikit energi ketika diuraikan. Akibatnya, nutrient tidak digunakan secara
langsung untuk aktivitas selluler. Energi pada ikatan molecular nutrient secara kimia
8
Universitas Sumatera Utara
dilepaskan didalam sel dan kemudian disimpan dalam bentuk komponen energi tingkat tinggi
yang disebut Adenosine triphosphate (ATP).
Pada saat istirahat tubuh membutuhkan perolehan yang dari pemecahan karbohidrat
dan lemak. Protein memiliki fungsi yang sangat penting sebagai enzim yang membantu reaksi
kimia dan sebagai pembangun struktur tetapi biasanya menghasilkan energy yang sedikit dari
metabolisme. Selama kondisi berat, kontraksi otot dalam waktu singkat, karbohidrat lebih
digunakan dengan lebih sedikit menggunakan lemak untuk menghasilkan ATP. Dalam waktu
yang lama, latihan fisik intensitas rendah menggunakan karbohidrat dan lemak untuk
mempertahankan produksi energi.
a. Karbohidrat
Jumlah karbohidrat yang digunakan dalam aktivitas fisik dihubungkan
dengan ketersediaan karbohidrat dan metabolisme karbohidrat pada otot.
Karbohidrat secara utama diubah menjadi enam karbon gula sederhana, glucosa,
sebuah monosaccharide (satu unit gula) dan ditransportasikan kedalam darah
menuju seluruh jaringan tubuh. Saat kondisi istirahat, karbohidrat yang dimakan
disimpan didalam otot dan hati dalam bentuk yang lebih kompleks yaitu
polysaccharide (molekul gula kompleks), glycogen. Glycogen disimpan didalam
sitoplasma sel otot hingga sel menggunakan untuk membentuk ATP. Glycogen
juga disimpan di hati dan diubah kembali menjadi glukosa jika dibutuhkan dan
kemudian ditransportasikan oleh darah menuju jaringan yang aktif untuk
dimetabolisme.
Hati dan otot menyimpan glycogen secara terbatas dan dapat habis dalam
waktu yang berkepanjangan, latihan fisik berat, khususnya jika diet jumlah
karbohidrat tidak mencukupi. Selanjutnya akan diharapkan sangat besar pada
sumber diet karbohidrat dan gula untuk selanjutnya mengisi tempat cadangan
karbohidrat. Tanpa pasokan karbohidrat yang cukup, otot dapat mengalami
kehilangan sumber energi utama. Selanjutnya, karbohidrat adalah hanya sumber
energi yang digunakan oleh jaringan otak, sehingga penurunan karbohidrat
menyebabkan dampak negative pada kognitif.
9
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Metabolisme Seluler
b. Lemak
Lemak menghasilkan sangat besar energi yang digunakan pada saat latihan
fisik intensitas lama dan rendah. Tubuh menyimpan potensial energi dalam bentuk
lemak dengan substansial lebih besar dibandingkan cadangan karbohidrat. Pada
usia dewasa pertengahan dengan lemak tubuh yang lebih (jaringan adiposa),
penyimpanan lemak dua kali lebih besar dibandingkan dengan karbohidrat. Tetapi
penggunaan lemak untuk metabolisme lebih sedikit karena harus terlebih dahulu
dirubah bentuknya kompleksnya, triglyceride, menjadi komponen dasarnya yaitu
glycerol dan asam lemak bebas (FFAs). Hanya FFAs yang digunakan untuk
membentuk ATP
Pada hakekatnya energi yang dihasilkan dari pemecahan satu gram lemak
(9.4 kcal/g) dibandingkan dengan jumlah karbohidrat satu gram (4.1 kcal/g).
Meskipun demikian jumlah energi yang dihasilkan dari lemak lebih lambat untuk
memenuhi kebutuhan energi pada aktivitas otot berat.
Jenis lemak lainnya ditemukan pada tubuh yang berfungsi sebagai nonenergi. Phospholipids adalah komponen struktur pada membrane sel dan
melindungi lapisan pada beberapa sel saraf besar. Steroid terdapat pada membrane
sel dan berfungsi sebagai hormone atau sebagai pembangun hormone seperti
estrogen dan testosterone.
10
Universitas Sumatera Utara
2.1.6. Sistem dasar energi
Sel dapat menyimpan sangat terbatas jumlah ATP dan secara tetap menghasilkan ATP
baru untuk menyediakan kebutuhan energi pada semua metabolisme sellular termasuk
kontraksi otot. Sel menghasilkan ATP melalui salah satu atau kombinasi dari tiga jalur
metabolik.
a. Sistem ATP-PCr
Sistem energi yang paling dasar adalah sistem ATP-PCr. Untuk menyimpan
energi dalam jumlah sangat sedikit, sel harus terdapat molekul fosfat energi
tingkat tinggi yang disebut phosphocreatine atau PCr (Creatine phosphate). Jalur
sederhana ini melibatkan donasi Pi dari PCr ke ADP untuk membentuk ATP.
Tidak sama dengan ATP bebas yang terbatas pada sel, energi dilepaskan melalui
pemecahan pada PCr yang tidak secara langsung digunakan untuk aktivitas
selular.
Malahan,
proses
tersebut
membentuk
kembali
ATP
untuk
mempertahankan secara relative konstan suplai pada kondisi istirahat.
Energi yang dilepaskan dari PCr dikatalisasi oleh enzim creatine kinase, yang
bekerja pada PCr untuk menguraikan Pi dari creatine. Energi yang dilepaskan
dapat digunakan untuk menambah sebuah molekul Pi menjadi sebuah molekul
ADP, membentuk ATP. Sebagai energi yang dilepaskan dari ATP melalui
pemecahan sekelompok fosfat, sel dapat mencegah penurunan ATP melalui
pemecahan PCr, menghasilkan energi dan Pi untuk membentuk kembali ATP dari
ADP.
Berdasarkan pada prinsip mekanisme umpan balik negative (negative
feedback) dan terbatasnya jumlah enzim, aktivitas creatine kinase meningkat pada
saat konsentrasi ADP atau Pi meningkat. Pada saat latihan fisik berat, jumlah ATP
yang sedikit pada otot diuraikan dengan segera untuk persediaan energi, hasil yang
diproduksi adalah ADP dan Pi. Peningkatan konsentrasi ADP meningkatkan
aktivitas creatine kinase dan PCr dikatabolisme untuk membentuk ATP tambahan.
Pada saat latihan fisik berlangsung dan ATP tambahan dihasilkan melalui dua
sisyem energi, yaitu; sistem glikolitik dan sistem oxidative, sehingga aktivitas
creatine kinase dihambat.
Proses pemecahan PCr menyebabkan pembentukan ATP secara cepat dan
dapat berhasil tanpa disetiap struktur didalam sel. Sistem ATP-PCr
diklasifikasikan sebagai tingkat metabolisme substrat. Walaupun dapat terjadi
dengan adanya oksigen, prosesnya tidak membutuhkan oksigen. Pada kondisi
11
Universitas Sumatera Utara
kelelahan, kadar ATP dan PCr adalah rendah dan tidak dapat menghasilkan energi
untuk lebih lanjut kontraksi dan relaksasi otot. Selanjutnya kemampuan untuk
mempertahankan level ATP dengan energi dari PCr menjadi terbatas. Kombinasi
penyimpanan ATP dan PCr dapat mempertahankan kebutuhan energi otot hanya
selama 3-15 detik selama sprint. Pada saat itu, otot harus bergantung pada proses
lainnya untuk pembentukan ATP, yaitu jalur glikolitik dan jalur oxidative.
Gambar 2.2 Sistem ATP-PCr
b. Sistem Glikolitik
Sistem ATP-PCr memiliki keterbatasan untuk menghasilkan ATP bagi
energi., hanya berlangsung beberapa detik. Metode kedua produksi ATP
melibatkan pelepasan energi melalui pemecahan (lysis) pada glukosa. Sistem ini
disebut sistem glikolitik karena memerlukan glikolisis, pemecahan glukosa
melalui jalur yang melibatkan sekuensi enzim glikolitik. Glikolisis merupakan
jalur yang lebih kompleks dibandingkan sistem ATP-PCr.
Jumlah glukosa sekita 99% dari total gula bersirkulasi didalam darah.
Glukosa darah berasal dari digesti karbohidrat dan pemecahan glikogen hati.
Glikogen disintesis dari glukosa melalui proses disebut glycogenesis dan disimpan
didalam hati atau didalam otot hingga dibutuhkan. Pada suatu saat, glikogen
dipecah menjadi glucose-1-phosphate, kemudian memasuki jalur glikolisis,
proses ini disebut glycogenolysis.
12
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Produksi energi pada proses Glikolisis
Sebelum glukosa atau glikogen digunakan untuk menghasilkan energi,
terlebih dahulu dirubah menjadi komponen yang disebut glucose-6-phosphate.
Tujuan proses glikolisis adalah untuk melepaskan ATP, konversi sebuah molekul
glukosa menjadi glucose-6-phosphate membutuhkan pasokan satu molekul ATP.
Pada konversi glikogen, glucose-6-phosphate dibentuk dari glucose-1-phosphate
tanpa membutuhkan energi. Proses glikolisis secara teknis dimulai pada saat
glucose-6-phosphate dibentuk.Glikolisis membutuhkan 10-12 reaksi enzimatik
untuk memecah glikogen menjadi asam piruvat, yang selanjutnya dikonversi
13
Universitas Sumatera Utara
menjadi asam laktat. Pada semua langkah didalam jalur nya dan semua enzim
dilibatkan operasinya didalam sitoplasma sel. Hasil bersih yang diperoleh dari
proses ini adalah 3 mole (mol) ATP yang dibentuk dari setiap mole glikogen yang
dipecah. Jika glukosa digunakan berasal dari glikogen, hasil bersih hanya 2 mol
ATP karena I mol digunakan untuk konversi glukosa menjadi glucose-6phosphate.
Sistem energi seyogianya tidak menghasilkan jumlah besar ATP. Meskipun
keterbatasan ini, kombinasi aksi pada ATP-PCr dan sistem glikolisis menyediakan
bagi otot tenaga ketika suplai oksigen terbatas. Kedua sistem ini dominan terjadi
selama menit-menit awal latihan fisik tinggi.
Keterbatasan utama lainnya pada glikolisis anaerobic adalah disebabkan
akumulasi asam laktat pada otot dan cairan tubuh. Glikolisis menghasilkan asam
piruvat. Proses ini tidak membutuhkan oksigen, tetapi adanya oksigen
menentukan nasib asam piruvat. Tanpa adanya oksigen, asam piruvat dikonvensi
secara langsung menjadi asam laktat, asam dengan formula kimia C 3H6O3.
Glikolisis anaerobic menyebabkan asam laktat, tetapi secara cepat disosiasi dan
laktat dibentuk.
Pada pertandingan sprint sekitar 1 atau 2 menit, kebutuhan akan sistem
glikolitik adalah tinggi, konsentrasi asam laktat dapat meningkat mulai dari
kondisi istirahat sekita 1 mmol/kg pada otot menjadi lebih dari 25 mmol/kg.
kondisi keasaman pada serabut otot menghambat pemecahan glikogen karena
menganggung fungsi enzim glikolitik. Dampak lainnya adalah, asam menurunkan
kemampuan ikatan serabut dengan kalsium dan mengakibatkan gangguan
kontraksi otot.
Terbatasnya enzim pada jalur glikolitik yaitu phosphofructokinase atau PFK,
sama seperti sebagian besar keterbatasan enzim. PFK mengkatalis pada langkah
awal jalur, konversi fructose-6-phosphate menjadi fructose-1,6-biphosphate.
Peningkatan konsentrasi ADP dan Pi meningkatkan aktivitas PFK dan selanjutnya
mempercepat glikolisis, saat konsentrasi ATP meningkat memperlambat glikolisis
melalui penghambatan PFK. Pada situasi selanjutnya, jalur glikolisis akan
memasuki siklus Krebs untuk menambah produksi energi ketika tersedia oksigen,
produk siklus Krebs, khususnya adalah sitrat dan ion hydrogen, sepertinya
menyebabkan penghambatan PFK.
14
Universitas Sumatera Utara
Jumlah penggunaan energi pada serabut otot pada saat latihan fisik dapat
mencapai 200 kali lebih besar dibandingkan pada saat istirahat. Sistem ATP-PCr
dan sistem glikolitik secara tersendiri tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan
energi. Lebih lanjutnya, kedua sisten tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan
energi untuk seluruh aktivitas kurang dari 2 menit. Latihan fisik yang berlangsung
lama membutuhkan sistem energi yang ketiga, sistem oxidatif.
c. Sistem Oxidatif
Sistem akhir pada produksi energi seluler adalah sistem oxidative. Proses ini
paling kompleks dari ketiga sisyem energi. Proses ini melalui pemecahan substrat
dengan menambahkan oksigen untuk menghasilkan energi yang disebut Cellular
respiration. Karena oksigen dibutuhkan, proses ini disebut proses aerobic. Tidak
seperti kondisi anaerobic dalam memproduksi ATP yang terjadi didalam
sitoplasma sel, oksidasi produksi ATP terjadi didalam organel sel khusus, yaitu
mitochondria. Didalam otot, berbatasan dengan myofibril dan juga banyak
terdapat pada sarkoplasma.
Otot membutuhkan suplai energi yang tetap untuk menghasilkan tenaga
selama aktivitas berlangsung lama. Tidak seperti kondisi anaerobik dalam
produksi ATP, sistem oksidatif lambat turun; tetapi memiliki kemampuan
memproduksi energi dalam jumlah besar, sehingga metabolisme aerobik
merupakan metode utama produksi energi selama aktivitas enduransi. Kondisi ini
sangat bergantung kepada sistem kardiovaskuler dan sistem respirasi untuk
mengirimkan oksigen ke otot yang aktif. Produksi energi secara oksidatif berasal
dari karbohidrat (dimulai dengan glikolisis) atau lemak.
1. Oksidasi karbohidrat
Produksi ATP pada oksidasi dari karbohidrat nelibatkan tiga proses, yaitu:
a) Glikolisis
Pada metabolisme karbohidrat, glikolisis berperan pada
produksi ATP secara aerobik dan anaerobik. Proses glikolisis
adalah tanpa menghiraukan apakah oksigen tersedia. Tersedianya
oksigen menentukan nasib akhir produk, asam piruvat. Glikolisis
anaerobik menghasilkan asam laktat dan hanya 3 mol ATP per mol
glikogen, atau 2 mol ATP per mol glukosa. Tersedianya oksigen,
15
Universitas Sumatera Utara
asam piruvat dirubah menjadi sebuah senyawa, disebut acetyl
coenzyme A (acetyl CoA)
Gambar 2.4 Produksi energi pada sistem metabolik
b) Siklus Krebs
Setelah dibentuk, acetyl CoA memasuki siklus Krebs (siklus
asam sitrat atau siklus asam trisiklik), sebuah rangkaian kompleks
pada reaksi kimia yang menyebabkan oksidasi komplit acetyl CoA.
Setiap molekul glukosa memasuki jalur glikolitik, dua molekul
asam piruvat akan dibentuk. Selanjutnya setiap molekul glukosa
akam mulai proses produksi energi dengan tersedianya oksigen
pada siklus Krebs.
Konversi succinyl CoA menjadi succinate pada siklus Krebs
menyebabkan pembentukan guanosine triphosphate atau GTP,
senyawa energi tingkat tinggi mirip dengan ATP. GTP kemudian
transfer sebuah Pi menjadi ADP untuk membentuk ATP.
Dihasilkannya dua ATP (per molekul glukosa) dibentuk oleh level
substrat posforilasi. Pada akhir siklus Krebs, tambahan dua mol
ATP dihasilkan secara langsung, dan karbohidrat telah dipecah
menjadi karbondioksida dan hydrogen.
16
Universitas Sumatera Utara
Seperti jalur metabolic lainnya melibatkan metabolisme
energi, enzim siklus Krebs diatur oleh umpan balik negative
(Negative Feedback) pada beberapa langkah didalam siklus. Enzim
pada siklus Krebs yang membatasi jumlahnya adalah isocitrate
dehydrogenase, seperti PFK, yang dihambat oleh ATP dan
diaktifkan oleh ADP dan Pi, sebagai rantai transport electron.
Karena kontraksi otot bergantung kepada ketersediaan kalsium
didalam sel, kalsium yang berlebihan juga merangsang enzim
isocitrate dehydrogenase.
Gambar 2.5 Siklus Kreb’s
c) Rantai Transport Elektron (ETC)
Selama glikolisis, ion hydrogen dilepaskan ketika glukosa
dimetabolisme menjadi asam piruvat. Ion hydrogen juga
dilepaskan sebagai konversi dari piruvat menjadi acetyl CoA dan
pada beberapa langkah didalam silkus Krebs. Jika ion hydrogen
17
Universitas Sumatera Utara
tetap berada didalam sistem, didalam sel akan menjadi sangat
asam.
Siklus Krebs merupakan pasangan rangkaian reaksi yang
dikenal dengan rantai transport electron. Ion hydrogen dilepaskan
selama glikolisis, selama konversi asam piruvat menjadi acetyl
CoA, dan selama siklus Kreb’s berkombinasi dengan dua koenzim;
nicotinamide adenine dinucleotide (NAD) dan Flavin adenine
dinucleotide (FAD), mengkonversi untuk mengurangi bentuk
(NADH dan FADH2, sebaliknya). Selama siklus Krebs, tiga
molekul NADH dan satu molekul FADH2 dihasilkan. Selanjutnya
membawa atom hydrogen (electron) ke rantai transport electron,
sebuah kelompok kompleks protein mitokondria terdapat didalam
membrane mitokondria. Kompleks protein tersebut terdiri dari
rangkaian enzim dan protein yang mengandug zat besi yang
disebut cytochromes. Sebagai electron energi tingkat tinggi
melewati dari kompleks menuju kompleks disepanjang rantai
tersebut, beberapa energi dilepaskan melalui reaksi tersebut yang
menggunakan pompa H+ dari matriks mitokondria menuju
komparmen luar mitokondria. Setelah ion hydrogen berpindah
kembali melewati membrane bagian bawah konsentrasinya
menjadi tinggi, energi ditransfer menjadi ADP, dan ATP dibentuk.
Langkah akhir membutuhkan enzim yaitu ATP synthase.
Gambar 2.6 Rantai Transport Elektron
Pada akhir rantai, H+ berkombinasi dengan oksigen untuk
membentuk air, selanjutnya mencegah keasaman pada sel. Karena
18
Universitas Sumatera Utara
oksigen sebagai aseptor akhir electron dan H+ disebut sebagai
oxidative phosphorylation.
Untuk setiap pasang electron ditransportasikan ke rantai
transport electron oleh NADH, tiga molekul ATP dihasilkan, saat
electron melewati rantai transport electron FADH hanya dua
molekul ATP dihasilkan. Tetapi, karena NADH dan FADH berada
diluar membrane mitokondria, H+ dipompa keluar membrane,
membutuhkan energi untuk penggunaannya. Sehingga secara
realita, energi yang dihasilkan hanya 2.5 ATP per NADH dan 1.5
ATP per FADH. Oksidasi komplit glukosa dapat menghasilkan 32
molekul ATP, saat 33 ATP dihasilkan dari satu molekul glikogen
otot. Produksi bersih ATP dari level substrat posforilasi pada jalur
glikolitik hingga siklus Krebs hanya dua ATP (atau tiga dari
glikogen). Total 10 molekul NADH hingga ke rantai transport
electron – dua pada glikolisis, dua pada konversi asam piruvat
menjadi acetyl CoA dan enam pada siklus Kreb’s – hasilnya 25
molekul ATP. Ketika 30 ATP secara actual dihasilkan, energi
digunakan untuk transportasi melewati membrane menggunakan
lima ATP. Dua molekul FAD pada siklus Krebs dilibatkan pada
transport electron menghasilkan tiga tambahan ATP. Pada
akhirnya, level substrat posforilasi didalam siklus Krebs
melibatkan molekul GTP menambah dua molekul ATP.
Jumlah energi yang digunakan untuk memompa electron
melewati membrane mitokondria merupakan konsep baru pada
pfisiologi olahraga, dna banyak teksbook tetap menyatakan
produksi energi yang dihasilkan sekitar 36-39 ATP per molekul
glukosa.
2. Oksidasi lemak
Lemak juga berkontribusi penting untuk kebutuhan energi otot.
Penyimpanan glikogen otot dan hati dapat memberikan sekitar 2.500 kcal
energi, tetapi lemak yang disimpan didalam serabut otot dan lemak
didalam sel dapat mensuplai sedikitnya 70.000 hingga 75.000 kcal pada
dewasa. Walaupun berbagai rangkaian kimia (seperti; trigliserida,
19
Universitas Sumatera Utara
posfolipid, dan kolesterol) diklasifikasikan sebagai lemak, hanya
trigliserida sebagai sumber utama energi. Trigliserida disimpan didalam
sel lemak dan diantara dan didalam serabut otot. Untuk menjadi sumber
energi, trigliserida harus dipecah menjadi unit dasar; satu molekul gliserol
dan tiga molekul asam lemak bebas. Proses ini disebut lipolysis, dan
dibawa oleh enzim yaitu lipase.
Asam lemak bebas merupakan sumber energi utama untuk
metabolisme lemak. Setelah bebas dari gliserol, asam lemak memasuki
darah dan ditransportkan keseluruh tubuh, masuk ke serabut otot
bergantung pada konsentrasi gradien. Peningkatan konsentrasi asam lemak
bebas didalam darah meningkatkan jumlah ditransportasikan kedalam
serabut otot.
a) Beta oksidasi (β-Oxidation)
Lemak disimpan didalam tubuh pada dua tempat, didalam
serabut otot dan didalam sel jaringan adiposa disebut adiposit.
Bentuk simpanan lemak adalah trigliserida, dipecah menjadi asam
lemak bebas dan gliserol untuk metabolisme energi. Sebelum asam
lemak bebas digunakan untuk produksi energi, asam lemak bebas
harus dikonversi menjadi acetyl CoA didalam mitokondria, proses
ini disebut β-Oxidation. Acetyl CoA dengan segera memasuki
siklus Kreb’s untuk metabolisme oksidasi.
β-Oxidation adalah rangkaian langkah dua unit karbon acyl
dipotong pada rantai karobon asam lemak bebas. Sejumlah langkah
bergantung pada jumlah karbon didalam asam lemak bebas,
biasanya antara 12 dan 24 karbon. Sebagai contoh, jika sebuah
asam lemak bebas mulanya terdiri dari 16 rantai karbon, βOxidation menghasilkan delapan molekul acetyl CoA. Unit acyl
menjadi acetyl CoA, sehingga memasuki siklus Kreb’s untuk
pembentukan ATP.
Setelah memasuki serabut otot, asam lemak bebas diaktivasi
secara enzimatik menggunakan energi berasal dari ATP,
menyebabkan katabolisme (pemecahan) didalam mitokondria.
Seperti glikolisis, β-Oxidation membutuhkan pasokan energi dua
20
Universitas Sumatera Utara
ATP untuk aktivasi, tetapi tidak seperti glikolisis, tidak
menghasilkan ATP secara langsung.
b) Siklus Kreb’s dan Rantai Transport Elektron
Setelah β-Oxidation, metabolisme lemak mengikuti jalur yang
sama dengan metabolisme karbohidrat oksidatif. Acetyl CoA
dibentuk dari β-Oxidation memasuki siklus Kreb’s. siklus Kreb’s
menghasilkan hydrogen, selanjutnya ditransportasikan ke rantai
transport electron selama electron dihasilkan oleh β-Oxidation
untuk mengalami posforilasi oksidatif. Sama seperti metabolisme
glukosa, melalui produk oksidasi asam lemak bebas adalah ATP,
H2O, CO2. Tetapi, pembakaran sempurna molekul asam lemak
bebas membutuhkan oksigen lebih banyak karena molekul asam
lemak bebas mengandung lebih banyak karbon dibandingkan
molekul glukosa.
Gambar 2.7 Produksi energi pada otot skeletal
Karbon yang lebih banyak karbon pada asam lemak bebas
dibandingkan pada glukosa menyebabkan lebih banyak acetyl CoA
yang dibentuk dari metabolisme yang dihasilkan dari asam lemak,
sehingga lebih banyak acetyl CoA yang memasuki siklus Kreb’s
dan lebih banyak electron yang dikirim ke rantai transport electron
21
Universitas Sumatera Utara
sehingga metabolisme lemak dapat menghasilkan lebih banyak
energi dibandingkan metabolisme glukosa. Tidak seperti glukosa
atau glikogen, asam lemak adalah heterogen dan jumlah ATP yang
dihasilkan bergantung kepada oksidasi lemak yang spesifik.
Berdasarkan contoh pada asam palmitate, sebuah asam lemak
dengan lebih banyak dari 16 karbon. Kombinasi reaksi oksidasi,
siklus Kreb’s dan rantai transport electron menghasilkan 129
molekul ATP dari satu molekul asam palmitate, dibandingkan
dengan hanya 32 molekul ATP dari satu glukosa dan 33 dari
glikogen. (Kenney et al, 2012)
2.1.7. Kontraksi otot skeletal
Otot merupakan jaringan dengan kemampuan untuk berkontraksi. Terdapat 3 jenis
utama otot; otot skeletal, otot jantung dan otot polos. Pada ketiga jenis otot tersebut, sebagian
besar energy yang diproduksi digunakan untuk kebutuhan kontraksi otot yang digunakan oleh
molekul aktin pada filament myosin.
Gambar 2.8 Kontraksi otot
Energi juga digunakan untuk pemompaan Ca 2+ dari sarkoplasma ke reticulum
sarkoplasmik setelah otot berkontraksi. Pemompaan ion sodium dan potassium melalui
membrane otot untuk mempertahankan gradien ionic yang juga membutuhkan energi. Energi
kaya akan komponen adenosine triphosphate (ATP) sebagai bahan bakar di dalam otot. Tetapi
suplai ATP otot dapat bertahan sekitar 1-2 detik. Creatine phosphate (CP), yang terdiri dari
22
Universitas Sumatera Utara
ikatan posfat energi tingkat tinggi merupakan sumber energy cepat untuk pembentukan ATP.
Penyimpanan CP juga terbatas dan mampu memberikan energi untuk kontraksi otot selama 58 detik. Sumber utama energi pada otot berasal dari glukosa dan asam lemak, konsumsi
bergantung kepada beban dan latihan subjek dan juga ketersediaan oksigen. Produksi ATP
berasal dari glikolisis sitosolik, oksidasi asam lemak beta oksidasi dan siklus asam sitrat yang
diatur secara ketat dan berespon cepat terhadap kebutuhan otot untuk memperoleh ATP. Ketika
kebutuhan energi melebihi kemampuan otot skeletal menyediakan ATP melalui siklus asam
sitrat pada kondisi oksidatif, glikolisis akan dirangsang dan asam laktat diproduksi,
menyebabkan ATP secara anaerobik yaitu tanpa menggunakan oksigen.
Gambar 2.9 Mekanisme Kontraksi-Relaksasi otot
Pada otot skeletal, kontraksi terjadi secara normal pada saat depolarisasi pada plasma
membrane, yang didahului oleh pelepasan ion calsium dari penyimpanan di intraselluler
didalam reticulum sarkoplasmik. Ion kalsium berikatan dengan troponin C, pengatur protein
berhubungan dengan filament tipis, menyebabkan perubahan bentuk protein.
Perubahan bentuk tersebut ditransmisikan ke komponen filament tipis lainnya
(Troponin T, Troponin I, Tropomyosin dan Actin) sehingga subunit actin pada filament tipis
dapat berinteraksi dengan molekul myosin yang terdapat filament tebal. Kontraksi berhenti
23
Universitas Sumatera Utara
ketika ion kalsium diambil oleh reticulum sarkoplasmik melalui kerja ATP-driven pump (Ca2+
ATPase).
2.1.8. Pemeriksaan tes muscular endurance (daya tahan otot)
Daya tahan otot (muscular endurance) adalah kemampuan sistem neuro-muskular
melakukan satu atau dua jenis aksi; (1) kontraksi berulang selama periode waktu hingga
terjadinya kelelahan dengan latihan fisik dinamik dan (2) mempertahankan persentase spesifik
sebuah kontraksi volunteer maksimal selama periode waktu dengan latihan fisik static.
Umumnya daya tahan otot dipresentasikan melalui total jumlah pengulangan yang dapat
dilakukan atlit/ non-atlit dengan persentase pada 1RM (One-Repetition Maximum). Metode
untuk mengevaluasi daya tahan atlit/ non-atlit termasuk YMCA (Young Men’s Christian
Association) bench press test, push-up test dan curl-up test.
a. YMCA Bench Press Protocol
YMCA bench press test merupakan protocol klasik pengukuran daya tahan otot. Tes
ini mengkaji daya tahan otot pada bagian tubuh atas, khususnya otot pektoralis mayor,
anterior deltoid dan trisep. Tes ini secara luas digunakan mengkaji daya tahan otot
membutuhkan sandaran pada punggung dan mendorong beban secara tetap pada irama
30 repetisi permenit hingga mengalami kelelahan atau tidak mampu mengikuti irama
yang diinstruksikan. Kim et al melaporkan YMCA bench press dapat juga digunakan
untuk memperkirakan kekuatan maximal bench press dengan prediksi penjumlahan;
Pria 1RM (kg) = 1.55 x (repetisi yang dilakukan pada 30 reps.min-1) + 37.9
Perempuan 1RM (kg) = 0.31 x (repetisi yang dilakukan pada 30 reps.min -1) + 19.2
Hanya jumlah maksimum repetisi yang akan ditentukan, kemudian kita
membandingkan data dengan hasil normal pada table untuk mengklasifikasikan daya
tahan otot bagian atas tubuh (Haff et al, 2012)
Tabel 2.1 Nilai Normal daya tahan otot untuk Bench press
Usia
18-25
26-35
36-45
46-55
56-65
>65
(Thn)
%
M
F
M
F
M
F
M
F
M
F
M
F
rank
90
49
49
48
46
41
41
33
33
28
29
22
22
80
34
30
30
29
26
26
21
20
17
17
12
12
70
26
21
22
21
20
17
13
12
10
9
8
6
24
Universitas Sumatera Utara
60
17
13
16
16
12
10
8
6
4
4
3
2
50
5
2
4
2
2
2
1
0
0
0
0
0
Skor didasarkan pada jumlah repetisi komplit dalam 1 menit dengan 80 lb (36.3 kg) pada laki-laki dan
35 lb (15.9 kg) pada perempuan. M = male dan F = female
Diambil dari V. Heyward,2010, Advanced fitness assessment and exercise prescription, 6th ed.
b. Tes Push-up
Tes daya tahan otot pada bagian dada dan lengan atas (pektoralis mayor, anterior
deltoid dan trisep), tidak ada batas waktu dan membutuhkan sedikit peralatan. Tes ini
dilakukan secara berkelanjutan dan membutuhkan atlit untuk mempertahankan
punggung yang sejajar setiap waktu. Tes dihentikan ketika teknik yang tepat tidak
dapat dilakukan selama dua kali pengulangan berturutan. Jumlah total repetisi
(pengulangan) kemudian digunakan untuk mengtabulasi skor, dibandingkan dengan
data sesuai usia dan jenis kelamin pada table normal (Haff et al, 2012).
Tabel 2.2 Nilai normal tes Push-up berdasarkan usia dan jenis kelamin
Usia (Thn)
Klasifikasi
15-19
20-29
30-39
40-49
50-59
60-69
M
F
M
F
M
F
M
F
M
F
M
F
≥39
≥33
≥36
≥30
≥30
≥27
≥25
≥24
≥21
≥21
≥18
≥17
Baik
29-38
25-32
29-35
21-29
22-29
20-26
17-24
15-23
12-20
11-20
11-17
12-16
Cukup
23-28
18-24
22-28
15-20
17-21
13-19
13-16
11-14
10-12
7-10
8-10
5-11
Kurang
18-22
12-17
17-21
10-14
12-16
8-12
10-12
5-10
7-9
2-6
5-7
2-4
Sangat
≤17
≤11
≤16
≤9
≤11
≤7
≤9
≤4
≤6
≤1
≤4
≤1
Sangat Baik
Kurang
Sumber: the Canadian Physical Activity, Fitness & Approach:CSEP-Health & Fitness program’s Health-Related
Appraisal and Counselling Strategy, 3rd Edition © 2003.
c. Tes Curl-up
Tes ini mengkaji daya tahan otot abdominal, umunya berhubungan dengan
laboratorium fisiologi olahraga (exercise physiology). Beberapa variasi jarak durasi dari 60 –
120 detik dan membutuhkan sebuah irama pada 20-25 rep.min-1. ACSM merekomendasikan
menggunakan waktu 1 menit tes curl-up dengan irama 25 rep.min-1. Repetisi curl-up dihitung
hanya jika teknik yang tepat dilakukan, dan jumlah komplit repetisi digunakan untuk skor tes.
Hasilnya kemudian dibandingkan dengan table normal berdasarkan usia dan jenis kelamin..
(Haff et al, 2012).
25
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Nilai normal tes Curl-up berdasarkan usia dan jenis kelamin
Persentil
90
80
70
60
50
40
30
20
10
6
23
20
15
12
10
9
8
7
5
7
27
23
20
16
13
12
10
9
7
8
31
27
25
20
17
15
13
11
9
9
41
33
27
23
20
18
15
14
11
10
38
35
29
27
24
20
19
14
10
Usia (Tahun)
11
12
49
100
40
58
35
48
29
36
26
32
22
31
21
27
18
24
13
18
13
60
55
48
42
39
35
31
30
21
14
77
58
52
48
40
33
30
28
24
15
100
70
60
50
45
40
32
29
22
16
79
61
48
40
37
34
30
28
23
17+
82
63
50
47
42
39
31
28
24
Sumber: Adapted by permission from Presidents Council for Physical Fitness, Presidents Challenge
Normative Data Spreadsheet (Online). Availabel: www.presidentschallenge.org
2.2. MUSCULAR POWER (DAYA LEDAK OTOT)
Salah satu komponen yang menunjang dalam pelaksanaan aktivitas olahraga adalah
daya ledak (power). Daya ledak adalah kemampuan mengatasi hambatan dalam kecepatan
kontraksi otot yang tinggi (Harre,2008). Daya ledak otot (power) merupakan bagian penting
pada kemampuan muscular dan diukur dalam satuan watts. Walaupun terdapat hubungan yang
erat antara kekuatan (strength) dan kecepatan (velocity) yang menyebabkan pertambahan
kekuatan, kemampuan menghasilkan kekuatan pada kecepatan pergerakan yang cepat menjadi
karakteristik pada atlit elit pada berbagai cabang olahraga. Kekuatan dihasilkan selama latihan
fisik yang sangat bergantung kepada jenis latihan fisik yang digunakan. Pelari jarak jauh
menghasilkan hanya 50 W pada setiap siklus langkah selama lari jarak jauh. Secara jelas, atlit
angkat beban (atlit angkat besi) menghasilkan 7.000 W pada fase kedua “pull” selama “clean”
dan “jerk” (Garhammer,1993; Kraemer dan Loney,2012). Berdasarkan kondisi fisiologi,
kekuatan berperan penting dalam membantu tenaga dan kondisi khusus begaimana
pertambahan kekuatan.
Berdasarkan spesifikasinya, daya ledak dibagi menjadi empat, yaitu; daya ledak
eksplosif (explosive power), daya ledak cepat (speed power), daya ledak kuat (strength power)
dan daya ledak tahan lama (endurance power) (Nala, 2011). Daya ledak juga merupakan
ukuran dari kemampuan otot, yang berkaitan dengan kekuatan dan kecepatan gerak dan dapat
didefenisikan sebagai kerja per unit waktu (gaya x jarak/waktu). Gaya dikali kecepatan gerak
adalah defenisi yang ekuivalen. Bertambahnya ukuran otot saat berkontraksi dan
berkembangnya gaya pada seluruh ROM serta hubungannya dengan kecepatan dan gaya
merupakan factor-faktor yang mempengaruhi daya ledak. Gerakan dari daya ledak otot dapat
26
Universitas Sumatera Utara
dilihat pada gerakan vertical jump, long jump, angkat besi dan gerakan lain yang melibatkan
kontraksi otot.
2.2.1. Komposisi tipe serabut otot
Daya ledak otot dihasilkan akibat pemendekan pada sebuah otot hanya sekitar 1% dari
panjangnya waktu istirahat, kondisi ini terjadi berkelanjutan setiap waktu pada otot yang
berkontraksi. Untuk menhasilkan kekuatan dari area yang aktif, kepala myosin harus berikatan
dengan sebuah molekul ATP. Myosin ATPase, sebuah enzim penyusun utama pada kepala
myosin, menghindrolisis molekul ATP menjadi ADP dan Pi, selanjutnya kepala myosin akan
kembali ke posisi awalnya posisi istirahat. Sumber awal kontraksi pada semua otot adalah
adanya ATP yang bebas didalam serabut otot (Brooks et al, 1996; Kraemer et al, 2012). Tetapi
penyimpanan ATP pada intramuscular terbatas dan harus diisi ulang melalui satu atau lebih
sistem energi tubuh. Daya ledak maksimal bergantung terhadap ketersediaan segera ATP dan
sumber energi utama yang diperoleh dari ATP-PCr system yang terdiri dari ATP dan
phosphocreatine (PCr) yang tersimpan didalam otot dan reaksi kimia untuk menghasilkan ATP.
Walaupun ketersediaan ATP berperan terhadap pencegahan kelelahan, yaitu jumlah
myosin ATPase yang memecah ATP membatasi komponen kecepatan kontraksi (Kamen et al,
2000: Kraemer et al, 2012). Hai ini berarti walaupun ketidakadekuatan ATP dapat menghalangi
kemampuan, jumlah ATP yang berlebihan tidak menyebabkan manfaat secara fisiologis
terhadap keluaran kekuatan. Myosin ATPase yang ada bervariasi jumlahnya atau isoform nya,
memiliki karakteristik fungsional yang berbeda. Perbedaan isoform pada myosin ATPase
memecah ATP berbeda jumlahnya dan dampaknya pada kecepatan kontraksi dan daya ledak
yang dihasilkan. Jumlah myosin ATPase pada tipe serabut otot yang memecah ATP secara
terbalik proporsionalnya dengan kemampuan oksidatifnya (Kraemer et al, 2012). Hal ini berarti
walaupun serabut otot tipe II menyebabkan output daya ledak lebih besar potensialnnya, lebih
mudah mengalami kelelahan dan kemampuannya lebih rendah menetralkan kondisi asam
disekitar intraselluler. Tetapi, serabut otot tipe II menyebabkan penyimpanan ATP dan PCr
lebih besar dan meningkatkan aktivitas enzim glikolitik, segingga menyebabkan kemampuan
lebih baik pada latihan fisik dengan intensitas tinggi dalam waktu yang singkat.
Persentase tipe serabut membentuk unit fungsional pada setiap unit motor bervariasi
melalui peran sebuah otot pada pergerakan manusia. Sebagai contoh, sebuah otot pada area
abdominal terlibat secara utama mendukung postur yang dibentuk secara utama oleh serabut
tipe I, berperan utama pada pergerakan otot atau pada otot lokomotif, seperti vastus lateralis
yang salah satu tipe serabut otot khusus sekitar 40-60% tipe II ke tipe II (Staron et al, 2000;
27
Universitas Sumatera Utara
Kraemer et al, 2012). Pada atlit elit lari marathon memiliki 80-90% serabut otot tipe I, hal ini
akan menyebabkan kemampuan berlari sub-2:10.00 maraton. Pad kebutuhan diatas 80% di unit
motornya, persentasi tinggi pada serabut otot tipe II akan metabolik dan secara mekanik tidak
akan efisien sehingga menyebabkan lebih cepat merasa kelelahan, misalnya pada lari jarak
jauh. Sebaliknya, tingkat kekuatan yang tinggi tidak dapat dihasilkan, kecuali seorang atlit
serabut otot tipe II pada unit motor persentasenya lebih tinggi, misalnya persentase ekstrim tipe
II serabut otot (>70%).
Walaupun persentase serabut otot pada laki-laki dan perempuan mirip, area crosssectional pada serabut otot pada laki-laki secara khusus lebih besar dibandingkan perempuan.
Serabut otot tipe II paling banyak pada laki-laki dan lebih dominan setelah melakukan program
latihan. Pada perempuan yang tidak terlatih, menariknya, serabut otot tipe I lebih banyak
dibandingkan serabut otot tipe II tetapi setelah latihan yang dikaitkan dengan hasil investigasi
perubahan yang sama pada laki-laki.
2.2.2. ATP-PCr System (Sistem ATP-PCr)
Kontraksi otot yang sangat kuat terjadi dalam waktu yang singkat, jumlah ATP yang
dihasilkan tinggi, isi ulang harus dengan segera. Walaupun ATP dapat diperoleh dari
pemecahan glukosa secara anaerobik (anaerobic glycolysis) dan jalur aerobik (Kreb’s Cycle),
hal ini tidak dapat mengatasi tingginya kebutuhan aksi daya ledak pada latihan fisik. Akibatnya,
ATP disediakan oleh penyimpanan PCr didalam serabut otot itu sendiri melalui sistem ATPPCr.
Pada sistem ATP-PCr, ADP dihasilkan selama kontraksi otot yang dapat diubah
kembali menjadi ATP melalui enzim creatine kinase karena menyebabkan reaksi didalam PCr
intramuscular. Proses ini berperan untuk menghasilkan ATP yang akan digunakan selama
latihan fisik sedikitnya 2 sampai 10 detik. Walaupun efektif dalam waktu yang terbatas,
penyimpanan PCr sangat cepat habis selama 10 detik pertama pada latihan fisik maksimal.
Pada otot tertentu, PCr yang disimpan secara total dapat habis dalam waktu kira-kira 4 detik.
Secara umum, PCr yang disimpan didalam otot adalah 50% diisi ulang dari total yang habis
setelah 1 menit istirahat dan penuh selama 5-6 detik saat istirahat. Pada kondisi tersebut
penambahan creatine terlibat pada daya ledak dan enduransi daya ledak meningkat melalui
pengumpulan creatine pada intramuscular. (Kraemer et al,2012).
28
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Pemeriksaan daya ledak otot (muscular power)
a. Standing Broad Jump
Merupakan jenis pemeriksaan daya ledak otot pada tungkai yang mudah dinstruksikan
dan dilakukan. Standing broad jump sering digunakan selain vertical jump untuk mengukur
daya ledak otot tungkai. Subjek melakukan lompatan kedepan sejauh mungkin dengan kedua
kaki melompat dan mendarat secara bersamaan. Jauh lompatan diukur menggunakan pita
pengukur dari garis start sampai ke titik pendaratan tumit. Sama dengan vertical jump,
kemampuan lompatan paling jauh dicatat dan bergantung pada protocol. Nilai jauh lompatan
terbaik dua atau tiga kali dicatat. Hubungan signifikan antara standing broad jump dengan
pemeriksaan daya ledak (r = 0.61) juga dilaporkan sebagai hasil penelitian. Penelitian yang
dilakukan oleh Larson menyatakan standing broad jump dan vertical jump memiliki korelasi
sangat tinggi (r = 0.79) dengan pengukuran daya ledak otot. Pengukuran standing broad jump
dapat dilakukan pada anak perempuan dan anak laki-laki minimal berusia 6 tahun. (Amstrong
dan Mechelen, 2008)
Tabel 2.3 Nilai Normal Standing Broad Jump test berdasarkan usia
Persentil
99
95
90
80
75
70
60
50
40
30
25
20
10
5
1
Mean
7
169
157
149
140
137
134
128
123
118
112
109
105
96
88
74
123
8
176
162
155
145
142
139
134
128
123
118
115
111
102
85
81
128
9
184
170
162
153
149
146
141
135
130
125
121
118
109
102
88
139
Anak laki-laki Usia (tahun)
10
11
12
13
14
15
195 208 221 235 248 258
180 191 204 217 230 240
171 183 195 208 220 231
162 173 185 197 209 220
158 169 181 193 205 215
155 165 177 189 201 211
149 159 171 182 194 204
144 154 165 176 187 197
139 148 159 170 181 191
133 142 153 163 174 183
130 139 149 159 170 179
126 135 145 155 165 175
117 126 135 144 154 163
110 118 127 135 144 153
95 103 119 118 126 134
144 154 165 176 187 197
16
266
249
239
228
224
220
213
206
200
192
188
184
171
161
142
206
17
272
255
246
235
231
227
220
213
207
200
196
191
179
170
150
213
18
277
260
250
240
236
232
225
219
213
206
202
198
187
178
158
219
b. Vertical Jump
Kemampuan Vertical power atau jumping merupakan salah satu tes popular yang
digunakan untuk mengkaji daya ledak anaerobik pada populasi atlit. Kemampuan untuk
29
Universitas Sumatera Utara
mengekspresikan tingginya output vertical power atau tinggi lompatan berhubungan dengan
berbagai aktivitas olahraga, termasuk kompetisi angkat beban (angkat besi), balap sepeda,
kemampuan berlari. Kemampuan melompat juga menunjukkan perbedaan diantara tingkat
permainan dan kemampuan bermain pada sepakbola Amerika dan sepakbola
Terdapat berbagai macam tes daya ledak,salah satunya adalah vertical jump test..
Vertical jump test dikenal juga dengan nama sarget test. Tes ini dikembangkan oleh Dr.Dudley
Allen Sargent yang bertujuan untuk mengukur daya ledak (power) otot-otot tungkai dengan
menggunakan dinding berskala centimetre (Quinn, 2013). Vertical jump test didukung oleh
peran utama dari otot penggerak tubuh, yaitu kelompok otot quadriceps femoris. Karena itu
peningkatan vertical jump harus bertahap dan diperlukan adaptasi dari otot quadriceps femoris
sebagai penggerak utama.
Dalam meningkatkan kekuatan otot apabila serabut otot banyak, maka kekuatan otot
akan besar sehingga kekuatan otot yang besar akan mendukung terciptanya vertical jump test
yang baik. Loncat tegak (vertical jump) adalah suatu gerakan mengangkat tubuh dari suatu titik
ke titik yang lebih jauh atau lebih tinggi dengan ancang-ancang lari cepat atau lambut dengan
menumpu dua kaki dan mendarat dengan kaki atau anggota tubuh lainnya dengan
keseimbangan yang baik. Loncat adalah suatu menolak tubuh atau melompat ke atas dalam
upaya membawa titik berat badan selama mungkin di udara (melayang di uadara) yang
dilakukan dengan cepat dengan jalan melakukan tolakan pada dua kaki untuk menolak tubuh
setinggi mungkin. Loncat adalah lompat dengan kedua atau keempat kaki secara bersamasama. Pada pengukuran yang pertama dan kedua menggunakan vertical jump test. Tes ini
dilakukan sebanyak tiga kali, dan hasil atau pencapaian terbaik akan dimasukkan kedalam data.
Tabel 2.5 Nilai normal Vertical Jump test berdasarkan usia dan jenis kelamin
Usia/ klasifikasi
Sangat baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat Kurang
15-19 tahun
M
F
≥56 cm
≥40 cm
51-55 cm
36-39 cm
46-50 cm
32-35 cm
42-45 cm
28-31 cm
≤41 cm
≤27 cm
Sumber: the Canadian Physical Activity, Fitness & Approach:CSEP-Health & Fitness program’s Health-Related
Appraisal and Counselling Strategy, 3rd Edition © 2003.
Selanjutnya kita dapat memprediksi atau menghitung jumlah peak anaerobic power
output dari sistem energi dalam satuan watt (PAPw) dari tinggi vertical jump dalam satuan
30
Universitas Sumatera Utara
sentimeter (VJcm) dan berat badan dalam satuan kilogram (BWkg). Penghitungan dapat
digunakan pada laki-laki maupun perempuan:
PAPw = (60.7 x VJcm) + (45.3 x BWkg) – 2055
Contoh: seorang laki-laki berusia 21 tahun dengan berat badan 78 kg, catatan vertical
jump 43 cm ( tinggi jangkauan saat berdiri = 85 cm; tinggi vertical jump = 228), maka prediksi
peak anaerobic dalam satuan watt :
PAPw = (60.7 x VJcm) + (45.3 x BWkg) – 2055
= (60.7 x 43 cm) + (45.3 x 78 kg)
= 4088.5 W
Selanjutnya hasil perhitungan bandingkan dengan tabel normal peak anaerobic power
berdasarkan usia dan jenis kelamin.
Tabel 2.6 Nilai normal peak anaerobic power output berdasarkan usia dan jenis kelamin
Usia/ klasifikasi
Sangat baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat Kurang
15-19 tahun
M
≥4,644 W
4,185-4,643 W
3,858-4,643 W
3,323-3,857 W
≤3,322 W
F
≥3,167 W
2,795-3,166 W
2,399-2,794 W
2,156-2,398 W
≤2,155 W
Sumber: the Canadian Physical Activity, Fitness & Approach:CSEP-Health & Fitness program’s
Health-Related Appraisal and Counselling Strategy, 3rd Edition © 2003.
2.3. GEN PEROXISOME PROLIFERATOR-ACTIVATOR RECEPTOR ALPHA
(PPARα)
Metabolisme nutrient dan homeostasis energi diatur oleh endokrin, parakrin dan signal
autokrin yang mengontrol ekspresi dan aktivitas enzim metabolik dan mentransport protein
melalui mekanisme transkripsional dan posttranskripsional. Mediator lipid mempunyai peran
penting pada pengontrolan metabolik. PPARs (NR1Cs/ Nuclear Receptor subfamily 1, group
C, members) merupakan sebuah kelas ligand-activated transcription factor, berperan sebagai
pengatur transkripsional metabolisme lipid dan karbohidrat. Lipid jenuh dan lipid tidak jenuh
dan derivative eicosanoid nya merupakan aktivator alami pada subkelas nuclear receptors
tersebut. Peningkatan peran PPARs pada pengaturan metabolik disebabkan oleh adanya fibrate
hipolipidemia dan thiazolidinediones-sensitizer insulin yang mengsintesis ligand PPARα
31
Universitas Sumatera Utara
(NR1C1) dan PPARγ (NR1C3), PPARδ atau yang lebih dikenal PPARβ yang merupakan
isotipe PPAR (Lefebvre et al, 2006).
PRARs merupakan nuclear reseptor pengaturan asam lemak membentuk pasangan
heterodimer dengan RXRs (retinoid X recerptors) dan berikatan dengan peroxisome
prolifetaror regulatory elements (PPREs) pada promotor yang memberi respon pada gen.
semua sub tipe PPAR (⍺, β/δ,γ1 dan γ2) mengikat asam lemak (Xu et al, 1999; Jump; et al,
2006); ikatan asam lemak menstimulasi rekrutmen coactivator dan transkripsi gen. PPARs
merupakan sensor lipid intraseluler, level intraseluler non-esterified fatty acid (NEFA) pada
hepatosit tikus sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil penelitian menyatakan bagaimana asam
lemak mengontol fungsi PPAR⍺. Pertama, level NEFA intraseluler dipertahankan pada level
sangat rendah dengan hasil <0.1% dari total lipid didalam sel. Kedua, perubahan pada sel
terkait asam lemak, menyebabkan perubahan signifikan pada NEFA intraseluler dan
menunjukkan respon yang kuat pada target gen PPAR⍺, seperti cytochrome P450-4A (CYP4A)
dan cytosolic thioesterase (CTE-1). Ketiga, dampak asam lemak pada signalling PPAR⍺ adalah
cepat, tetapi bersifat sementara. Pada dasarnya asam lemak merubah target gen PPAR⍺ secara
parallel merubah NEFA intraseluler. Seperti pada konsep penelitian bahwa PPARs memonitor
komposisi NEFA intraseluler dan berespon secara sesuai dengan jalur metabolic yang
dirangsang untuk meminimalkan kerusakan akibat NEFA intraseluler yang berlebihan (Pawar
et al, 2003; Jump et al, 2006).
PPARα sebagian besar diekspresikan di hati, tetapi juga ditemukan pada myocite
jantung, proximal tubular sel epitel ginjal, otot skeletal, epitel usus besar, endothelium dan sel
otot polos dan juga pada sel kekebalan termasuk makrofag, limfosit dan granulosit (Kliewer et
al.,1994; Varga et al., 2011). PPARα merupakan kunci pengaturan peroksisome dan β-oksidasi
mitokondria asam lemak, sintesis badan-badan keton dan metabolisme sistemik lipid. Oksidasi
lipid secara utama terjadi didalam hati dan untuk mencegah steatopsis (penumpukan lemah di
hati). Selama pasokan asam lemak, merangsang transkripsi PPARα untuk mengatur gen dan
sistem oksidasi (sistem oksidasi microsomal omega dan beta oksidasi mitokondrial dan beta
oksidasi peroksisomal) diaktivasi. Aktivasi dan peningkatan sensitivitas didalam hati
menyebabkan peningkatan pembakaran energi dan menurunkan penyimpanan lemak. Fungsi
PPARα sebagai sonsoring lipd dan mengontrol pembarakan energi. Juga memiliki peran dalam
pathogenesis fatty liver disease (FLD) dan ligan pada reseptor mungkin efektif didalam
penurunan staetosis melalui meningkatkan penggunaan energi (Grygiel dan Górniak, 2014).
32
Universitas Sumatera Utara
PPARα dapat diaktivasi oleh ligand secara natural ataupun sintetik, seperti
Polyunsaturated Fatty Acid, eicosanoid dan obat-obatan hipolipidemik (fibrates) dan mengatur
transkripsi DNA dengan cara berikatan dengan sekuensi nukleotida yang spesifik berlokasi
pada region pengaturan pada target gen, seperti; peroxisome proliferator responsive elements
(PPRES). Ikatan Ligand dengan DNA membutuhkan heterodimer, yaitu PPARα dan Retinoic
X receptor ⍺ yang berinteraksi dengan PPRE yaitu konsensus sekuensi (AGGTCA N
AGGTCA) terdiri dari 2 pengulangan dipisahkan oleh 1 nukleotida. Ketika ligand berikatan
dengan PPARα, terjadi perubahan bentuk pada PPARα-retinoic X receptors sehingga
mengaktivasi kompleks transkripsional untuk berpasangan dengan protein coactivator, salah
satunya secara sekuensi atau menjadi pasangan modul subkomplek. Selanjutnya kompleks
coactivator acetylate (steroid receptors coactivators,p300) meremodeling kromatin nukleosom
dan komponen mediator PPARα untuk memfasilitasi perekrutan pada bagian transkripsi basal
dengan RNA polymerase II untuk transkripsi pada target gen spesifik (Contreas, et al.,2012).
Gambar 2.10 Peran PPARα Hepatik pada PUFA
2.3.1. Struktur dan fungsi PPARα
Struktur 3 dimensi PPARs terdiri dari DNA binding domain pada N-terminus dan
sebuah ligand binding domain (LBD) pada C-terminus. Setelah interaksi dengan agonis,
PPARs ditranslokasikan ke nucleus dan heterodimerisasi dengan nuclear receptor lain, yaitu
retinoid X receptor (RXR). RXR membentuk sebuah heterodimer dengan sejumlah reseptor
lain (misalnya; vitamin D atau hormone tiroid). Area spesifik DNA sebagai target area yang
telah berikatan dengan PPARs disebut Peroxisome proliferator hormone response elements
(PPREs). PPREs ditemukan pada promotor gen respon PPAR, seperti fatty acid-binding
protein (aP2). Pada sebagian besar kasus, proses ini mengaktivasi transkripsi pada berbagai
gen melibatkan berbagai proses fisiologi dan patofisiologi.
33
Universitas Sumatera Utara
Fungsi PPARs dimodifikasi oleh sejumlah coactivator dan core processor, dengan
cara menstimulasi atau menghambat fungsi reseptor, atau sebaliknya. Ligand mengaktivasi
PPARγ-RXR, sehingga menyebabkan pertukaran co-repressor menjadi co-activator. Pada sel
manusia terdapat berbagai cofactor bergantung kepada jenis sel dan hubungan cofactor secara
khusus dengan gen lainnya. Peroxisome proliferator-activated receptor dibagi menjadi 3
isoform; PPARα, PPARβ/δ dan PPARγ. Setiap isoform berbeda pendistribusiannya, spesifikasi
litgand dan peran fisiologisnya. Setiap isoform berfungsi untuk mengaktivasi atau menghambat
gen yang berbeda. Semua isoform berperan pada homeostasis lipid dan pengaturan glukosa
(keseimbangan energi) dan kerjanya secara terbatas pada jenis jaringan tertentu.
Gambar 2.11 target gen PPARα dan mekanisme transkripsi
PPARα secara mayoritas diekspresikan pada jaringan dengan metabolik aktif, seperti
hati, jantung, otot skeletal, mukosa intestinal dan jaringan adiposa cokelat. Reseptor ini
berimplikasi pada metabolisme lipid dan aktif jika kadar lipid rendah.
34
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Aktivasi transkripsional oleh PPARα
Pengaturan transkripsional pada gen metabolik pada otot dimulai dengan signal
ekstriksik dari jaringan, seperti; peptida, hormone steroid dan katekolamin dan juga signal
intriksik dari jaringan, seperti; peregangan mekanik, kalsium intraselluler dan ketersediaan
nutrien. Myocyte enhancer factor 2 (MEFC2) merupakan mediator awal berbagai signal dan
berperan penting pada metabolisme otot melalui perangsangan aktivitas transkripsi pada dua
pengatur metabolik; peroxisome proliferator-activated receptor alpha (PPARα) dan
peroxisome proliferator-activated receptor gamma coactivator 1 alpha (PGC1α) (Czubryt et al,
2003; Baskin et al, 2015).
Selama latihan fisik, berbagai jalur signalling diaktifkan sehingga menyebabkan
perubahan transkripsional pada otot. Sebagai contoh, peningkatan kalsium intraselluler
mengaktivasi calcium/calmodulin-dependent protein kinase II (CaMKII), peregangan mekanik
mengaktivasi mitogen-activated protein (MAP) dan c-Jun N-terminal kinase dan perubahan
rasio NAD/NADH dan AMP/ATP mengaktivasi sirtuin dan AMP-activated protein kinase
(AMPK) (Egan dan Zierath, 2013; Baskin et al, 2015). Sehingga aktivitas transkripsional
PPARα dan PGC1α meningkat, menstimulasi biogenesis mitokondrial dan oksidasi asam
lemak meningkat. Pengaturan transkripsional pada gen metabolic merupakan hal penting
terhadap otot lurik terkait dengan perubahan fisiologis dan secara utama diatur oleh Nuclear
Receptors (NRs). Proses transaktivasi Nuclear Receptors (NRs) melalui 5 langkah utama;
ikatan dengan ligand; ikatan yang stabil ligand NRs dengan DNA; pelepasan coreprosesor dan
pengikatan coactivator; aktivasi transkripsi; dan disosiasi transkripsional kompleks; disertai
dengan salah satunya shut-down atau reinisiasi transkripsi. Penelitian secara kristalografi
menyatakan bahwa ikatan ligand dengan PPARα menyebabkan stabilisasi global pada bentuk
reseptor (Xu et al, 2002), tanpa pengaturan kembali struktural, tidak seperti reseptor LBD
prototipe Retinoic acid mengalami transisi struktural utama pada ikatan.
Gambar 2.12 Mekanisme transkripsi gen oleh PPARs
35
Universitas Sumatera Utara
Hal ini menyebabkan kestabilan ligand PPARα dikenal sebagai struktur yang dapat
digunakan protein-protein berinteraksi dengan coaktivator (agonist-bound PPARα) atau
coreprosessor (antagonist-bound PPARα) (Xu et al, 2002). Situasi ini umum terjadi pada
PPARα, PPARγ dan PPARδ. Selanjutnya kompleks coactivator dan coreprossessor berfungsi
sebagai enzimatik (misalnya; acetylase, deacetylase, methylase, demethylase dan
kinase)dengan target kromatin, komponen pada dasar tempat transkripsional dan coactivator
dan coreprosessor lainnya. Pelepasan coaktivator dan coreprosessor menyebabkan pembukaan
kromatin dan preinisiasi kompleks pasangan pada promotor.
DNA-binding domain (DBD) menyebabkan PPARα dapat berikatan dengan PPAR
response element (PPREs) pada promotor target gen sebagai heterodimer dengan isotipe (Wan
et al, 2003; Lefebvre et al, 2006 Retinoid E receptors (RXR). PPERs secara khusus di atur
langsung secara berulang pada sekuensi inti nya AGGTCA yang dipisahkan oleh 1 atau 2
nukleotida (DR1 dan DR2), diapit kebagian awal oleh sekuensi A/T yang banyak. Ketika
geometri PPERs dipastikan untuk heterodimer PPAR/RXR, DR1 dan DR2, PPERs juga
dikenali oleh heterodimers PPERs, sehingga mendukung cross-talk dengan RARs dan RXrs
yang dapat mempengaruhi pengontrolan metabolik. C-terminus pada PPARα, dimana struktur
3D telah di uraikan, yang terdiri dari ligand-regulated E domain atau AF-2 atau ligand-binding
domain (LBD), sebagai tempat utama T-shaped ligand-binding pocket untuk sintesis ligand
(Cronet et al, 2001; Ijpenberg et al, 2004; Lefebvre et al, 2006).
Gambar 2.13 Mekanisme molekular aksi PPARα
36
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Polimorfisme gen PPARα
PPAR⍺ berlokasi pada kromosom 22q13.3 dan terdiri dari delapan ekson. Single
nucleotide polymorphisms (SNPs) pada gen tersebut menunjukkan hubungan dengan
dislipidemia, resistensi insulin, diabetesdan cardiovascular disease (Yong et al,2008; Chen et
al, 2010). L162V polymorphisms (rs1800206) menunjukkan substitusi “C” menjadi “G”
menyebabkan asam amino leucine menjadi valine, pertukaran pada kodon 162 (Flavel et al,
2000; Sapone et al, 2000; Chen et al, 2010). Polimorfisme gen ini juga berhubungan dengan
variasi pada konsentrasi plasma total kolesterol, LDL, HDL, TG, APOB dan APOA1, tetapi
hubungannya masih kontroversi (Yong et al,2008; Chen et al, 2010). Polimorfisme intron 7
G>C polymorphisms menyebabkan substitusi “G” menjadi “C” pada intron 7 (rs4253778).
Hubungan antara SNP ini dengan rendahnya nilai TG diobservasi pada pasien diabetik.
Sebaliknya, alel “C” pada intron 7 G>C berhubungan dengan progress aterosklerosis (Flavel
et al, 2002; Chen et al, 2010) dan perkembangan ventrikel kiri akibat olahraga (exercise)
(Jamshidi et al, 2002; Chen et al, 2010).
Gen PPAR⍺ sangat penting dalam metabolisme glukosa dan lipid (Roth et al, 2007;
Baar et al, 2004; Liang et al, 2006; Russel et al, 2003; Ginevičinė et al, 2010) dan sering
diekspresikan didalam serabut otot tipe I (slow-twich) dibandingkan dengan serabut otot tipe
II (fast-twich) (Ahmetov II et al, 2009; Russel et al, 2003; Ahmetov II et al, 2006; Ginevičinė
et al, 2010). PPAR⍺ alel G diasumsikan sebagai alel enduransi dan alel C sebagai alel
kecepatan (speed)/ tenaga (power) (Bray et al, 2009; Ahmetov II et al, 2009; Ahmetov II et al,
2006; Ginevičinė et al, 2010). Hasil penelitian menyatakan bahwa PPAR⍺ alel C lebih banyak
ditemukan kelompok atlit dibandingkan pada populasi umum Lituania. PPAR⍺ genotip GG
lebih banyak ditemukan pada atlitenduransi dan tim olahraga dibandingkan pada kecepatan/
tenaga dan olahraga campuran. Pria dengan kategori olahraga yang mengutamakan kecepatan/
tenaga memiliki nilai single muscular contraction power (SMCP) dan anaerobic alactic
muscular power (AAMP) yang tinggi sehingga mendukung alel C menentukan kecepatan dan
tenaga (Ginevičinė et al, 2010).
Beberapa hasil penelitian juga menyatakan dampak PPAR⍺ pada kemampuan atletik.
Ahmetov et al menyatakan bahwa alel G secara signifikan lebih tinggi pada atlit Rusia yang
berorientasi pada enduransi (80.3%) dibandingkan dengan atlit yang berorientasi pada power
(50.6%) karena alel C memberikan manfaat terhadap aktivitas tipe power tenaga (power).
Ahmetov juga menyatakan homozigot GG secara signifikan persentasenya lebih tinggi pada
serabut otot tipe I (55.5%±2.0% versus 38.5%±2.3%) dibandingkan homozigot CC.
37
Universitas Sumatera Utara
polimorfisme PPAR⍺ intron 7 G/C berhubungan dengan kemampuan fisik atlit Rusia dan
hubungan antara genotip PPAR⍺ dengan komposisi serabut otot. Hasil penelitian lainnya
menyatakan secara signifikan ditemukan alel G lebih dominan pada pemain sepakbola Italia
(80% dibandingkan dengan 70% pada subjek control) (Proia et al, 2014). Polimorfisme PPAR⍺
alel G berhubungan dengan peningkatan oksidasi asam lemak pada otot skeletal dan
peningkatan proporsi serabut otot tipe I (slow twich) (Ahmetov II et al, 2006), karena serabut
otot tersebut lebih efisien menggunakan oksigen selama berlangsung kontraksi (Lopez-Leon et
al, 2016).
Hasil observasi penelitian menyatakan alel C pada polimorfisme PPAR⍺ intron 7
G/C berhubungan dengan penurunan transkripsi mRNA PPAR⍺ sehingga kadar PPAR⍺ lebih
rendah yang berdampak pada aktivasi transkripsional PPAR⍺ pada target gen dan
menyebabkan penurunan oksidasi asam lemak. Mekanisme proses ini masih kurang jelas
diketahui. Beberapa peneliti mengasumsikan bahwa alel C intron 7 mungkin dihubungkan
dengan ketidakseimbangan varian yang belum diketahui pada area pengaturan pada gen
PPAR⍺ yang merubah kadar protein PPAR⍺ dan dampaknya adalah perubahan pada proses
transkripsional pada target gen PPAR⍺ (Ahmetov II et al, 2006; Maciejewska-Karlowska,
2013), yaitu penurunan oksidasi asam lemak dan tingkat metabolisme oksidasi pada otot
skeletal. Hasil temuan Ahmetov II et al mengasumsikan variasi pada intron 7 gen PPAR⍺
dihubungkan dengan fenotip performa. Hasil temuan, yaitu; homozigot GG lebih dominan
ditemukan pada kelompok atlit yang berorientasi pada enduransi dan hasil observasi alel C
lebih dominan ditemukan pada kelompok kemampuan fisik aerobic. Hasil penelitian tersebut
mungkin menjelaskan hubungan antara genotip PPAR⍺ dengan komposisi serabut otot. Atlit
yang berorientasi pada tenaga (power) dikarakteristikkan dengan frekuensi alel C yang lebih
besar, yaitu otot skeletal cenderung hipertrofi dan merubah substrat energy menyebabkan
penurunan oksidasi asam lemak sebagai respon terhadap latihan fisik anaerobic. Secara jelas,
frekuensi genotip pada atlit enduransi mungkin dihubungkan dengan peningkatan oksidasi
asam lemak didalam otot skeletal dna peningkatan proporsi serabut otot tipe I (slow-twich)
pada individu dengan genotip GG.
Hasil tim penelitian pada polimorfisme intron 7 G/C gen PPAR⍺ pada atlit Polandia
menyatakan distribusi genotip GG dan alel G lebih tinggi pada kelompok atlit dayung
dibandingkan dengan kelompok kontrol tidak terlatih. Hal ini didasarkan pada penelitian
sebelumnya terkait intron 7 alel G berhubungan dengan kemampuan enduransi, sehingga
diasumsikan alel G berhubungan dengan ekspresi normal gen PPAR⍺ dan mempertahankan
38
Universitas Sumatera Utara
level normal protein PPAR⍺ sebagai komponen penting terhadap respon adaptasi terhadap
latihan enduransi. Kemungkinan pada subjek sehat, ketika plasma lipid dalam rentang normal,
aktivitas PPAR⍺ tidak sebagai factor penghambat dan selanjutnya (seperti, variasi pada intron
7 G/C) yang diasumsikan menyebabkan perubahan fungsi yang sedikit, tetapi tidak
menunjukkan pengaruh. Tetapi pada atlit enduransi yang melakukan latihan jangka lama,
plasma lipid sering menjadi melebihi normal yaitu merangsang cadangan lemak yang akan
mengaktivasi PPAR⍺, meningkatkan fungsi yang berbeda yang menjelaskan relevansi alel G
pada intron 7 pada atlit enduransi (Maciejewska-Karlowska, 2013).
2.4. Asas Hardy-Weinberg Equilibrium
Asas Hardy-Weinberg menyatakan bahwa frekuensi alel dan frekuensi genotipe dalam
suatu populasi akan tetap konstan, yakni berada dalam kesetimbangan dari satu generasi ke
generasi lainnya kecuali apabila terdapat pengaruh-pengaruh tertentu yang mengganggu
kesetimbangan tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut meliputi perkawinan tak acak, mutasi,
seleksi, ukuran populasi terbatas, hanyutan genetik, dan aliran gen. Kesetimbangan genetik
adalah suatu keadaan ideal yang dapat dijadikan sebagai garis dasar untuk mengukur perubahan
genetik. Frekuensi alel yang statis dalam suatu populasi dari generasi ke generasi
mengasumsikan adanya perkawinan acak, tidak adanya mutasi, tidak adanya migrasi ataupun
emigrasi, populasi yang besarnya tak terhingga, dan ketiadaan tekanan seleksi terhadap sifatsifat tertentu.
39
Universitas Sumatera Utara
Download