BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Swamedikasi merupakan salah satu elemen penting dalam usaha peningkatan kesehatan masyarakat. Definisi swamedikasi menurut Departemen Kesehatan (Depkes) (1993) adalah upaya seseorang dalam mengobati gejala penyakit tanpa konsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan keterjangkauan pengobatan, dan biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhankeluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, cacingan, diare, penyakit kulit, dan lain-lain (Muchid dkk., 2006). Swamedikasi yang baik dan bertanggungjawab dapat memberikan banyak manfaat bagi pasien. Selain dari efek produk obat yang digunakan pasien, pasien akan mendapatkan ketersediaan obat dan perawatan kesehatan yang lebih luas. Peran aktif pasien dalam perawatan kesehatannya sendiri juga akan meningkat. Secara ekonomi, petunjuk atau guideline dari World Health Organization (WHO) tahun 2000 menyatakan bahwa swamedikasi juga memberikan manfaat, karena dapat mengurangi biaya konsultasi medis pasien. Maka dari itu, biaya medis pasien dapat lebih difokuskan kepada produk farmasi yang digunakan untuk merawat kesehatannya. Pasar produk farmasi secara keseluruhan merupakan salah satu pasar yang cukup besar. Total pasar farmasi di Indonesia mencapai 7,6 miliar dolar 1 2 AS (Pharma Boardroom, 2013). Tingginya angka ini merupakan indikator bahwa bisnis farmasi merupakan salah satu bidang yang cukup tinggi aktivitasnya. Tiga puluh delapan persen dari pasar tersebut merupakan produk obat bebas atau Over-The-Counter (OTC) (World Bank, 2009). Banyak sekali variasi produk obat bebas yang dapat ditemukan di Indonesia, mulai dari suplemen makanan hingga obat untuk gejala-gejala penyakit ringan. Salah satu praktek swamedikasi yang biasa dilakukan masyarakat Indonesia adalah swamedikasi untuk pengobatan gejala flu atau pilek. Flu adalah suatu infeksi saluran pernafasan atas oleh virus seperti virus influenza atau rhinovirus (Muchid dkk., 2006). Influenza dan pilek biasa atau common cold disebabkan oleh virus yang berbeda, namun gejala yang ditimbulkan oleh kedua penyakit ini kurang lebih sama, contohnya demam, batuk, hidung berair atau tersumbat, atau sakit kepala, karena sebenarnya gejala-gejala ini sebagian besar diakibatkan oleh respon imun tubuh terhadap infeksi virus tadi (Eccles, 2005). Orang dengan daya tahan tubuh yang tinggi biasanya sembuh sendiri tanpa obat, tetapi jika keluhan dari penyakit tersebut berlangsung lama atau mengganggu aktivitas sehari-hari, maka masyarakat dapat mengonsumsi obatobat flu untuk mengurangi gejala/keluhan tersebut (Muchid dkk., 2006). Terdapat banyak sekali pilihan obat flu yang dijual secara bebas di toko dan apotek di Indonesia. Menurut data dari MIMS (2013), terdapat 316 merek obat yang diklasifikasikan sebagai Cough and Cold Preparations atau obat untuk batuk dan pilek yang tersedia di pasaran Indonesia. Market size dari obat flu dan batuk mencapai 700 miliar rupiah per tahunnya (Surabaya Pagi, 2012), 3 sehingga obat flu merupakan salah satu pasar produk farmasi yang besar. Obatobat tersebut tersedia dalam berbagai bentuk sediaan, seperti tablet, kapsul, atau sirup. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi sektor industri farmasi, karena kompetisi yang dihadapi sangat banyak hanya untuk pasar obat flu ini. Semua kompetitor dalam industri farmasi dapat memproduksi obat dengan kandungan dan efek yang sama, dimana perbedaannya hanya terletak pada merek yang digunakan saja (Kartajaya dkk., 2011). Untuk menghadapi kompetisi ini, diperlukan terobosan dalam hal pengembangan jenis obat-obatan baru atau dalam hal pemasaran obat-obat yang sudah ada. Terobosan yang dilakukan produsen produk obat flu antara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pemasaran produk mereka. Untuk meningkatkan kualitas pemasaran tersebut, produsen produk obat akan mengembangkan suatu rumusan strategi pemasaran yang disebut dengan marketing mix atau bauran pemasaran. Bauran pemasaran ini tentunya dirumuskan oleh masing-masing produsen sesuai dengan kemampuannya untuk mencapai target penjualan produk. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui korelasi antara bauran pemasaran obat flu dengan pemilihan produk yang dilakukan oleh konsumen. Kecamatan Mlati, Ngaglik, dan Depok merupakan kecamatan yang berada di Kabupaten Sleman. Jumlah penduduk yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut berjumlah 242.056 jiwa yang merupakan 28 % dari total penduduk Kabupaten Sleman, dengan pembagian di Kecamatan Mlati sebanyak 67.037 jiwa, Kecamatan Ngaglik 65.927 jiwa, dan Kecamatan Depok 4 109.092 jiwa (Pemkab Sleman, 2013). Selain itu, menurut data dari situs resmi Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman yang diakses tanggal 4 Januari 2014, terdapat lebih dari 80 apotek yang beroperasi di kecamatan tersebut, yang merupakan 34 % dari total semua apotek yang beroperasi di Kabupaten Sleman. Adanya penelitian di ketiga kecamatan ini diharapkan dapat memberikan gambaran awal mengenai pemasaran obat flu OTC di Kabupaten Sleman. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah merek produk obat flu OTC yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Kecamatan Mlati, Ngaglik, dan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ? 2. Bagaimana bauran pemasaran produk obat flu OTC yang menjadi pilihan masyarakat Kecamatan Mlati, Ngaglik, dan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta ? 3. Apakah ada keterkaitan antara bauran pemasaran dengan pemilihan merek produk obat flu OTC ? C. Batasan Masalah Untuk lebih memfokuskan pembahasan dan kejelasan data yang akan dibahas dan dikumpulkan, maka penulis mengkhususkan penelitian dalam halhal sebagai berikut : 1. Pemilihan merek produk obat flu OTC oleh masyarakat. 5 2. Bauran pemasaran obat flu OTC tersebut, yang terdiri dari 4 P : Product, Place, Promotion, dan Price. 3. Keterkaitan bauran pemasaran dengan pemilihan merek produk obat OTC oleh masyarakat. D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui merek produk obat flu OTC yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Kecamatan Mlati, Ngaglik, dan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui bauran pemasaran produk obat flu OTC yang menjadi pilihan masyarakat Kecamatan Mlati, Ngaglik, dan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Untuk mengetahui keterkaitan bauran pemasaran dengan pemilihan merek produk obat flu OTC. E. Manfaat Penelitian Saat ini banyak sekali merek obat yang tersedia di pasaran dengan komposisi bahan aktif yang sama. Untuk memastikan bahwa produk obat dapat didistribusikan kepada pasien / konsumen produk obat, produsen farmasi harus memiliki faktor pembeda yang membuatnya unggul dibandingkan dengan produk lain yang sejenis. Perbedaan-perbedaan yang dapat diimplementasikan pada produk-produk tersebut terletak pada berbagai hal, mulai dari kadar zat aktif, kemasan, promosi dan iklan, nama merek produk, atau harga dari produk tersebut. Adanya penelitian ini diharapkan akan menemukan suatu faktor yang paling diperhatikan para konsumen dalam memilih produk obat yang akan 6 mereka gunakan, sehingga para pengusaha farmasi dapat memberi perhatian khusus kepada faktor tersebut untuk dimaksimalkan dalam pemasaran. Bagi penulis, penelitian ini merupakan kesempatan yang baik untuk mengetahui berbagai macam pendapat mengenai obat-obat bebas yang digunakan oleh masyarakat. Latar belakang masyarakat yang berbeda-beda akan menambah wawasan dari penulis untuk lebih mendalami peran produk obat di kehidupan masyarakat. Bagi pihak lain, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi pembaca dan dapat memberikan informasi bagi penelitian lain yang berkaitan dengan bidang pemasaran obat OTC. F. Tinjauan Pustaka 1. Swamedikasi Swamedikasi adalah upaya seseorang dalam mengobati gejala penyakit tanpa konsultasi dengan dokter terlebih dahulu (Depkes, 1993), sehingga seseorang tersebut, dalam hal ini adalah pasien penyakit, menggunakan obat yang dibeli tanpa menggunakan resep dokter. Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, cacingan, diare, penyakit kulit, dan lainnya (Muchid dkk., 2006). Swamedikasi memiliki posisi penting dalam usaha peningkatan kesehatan masyarakat. Diperlukan adanya peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan untuk pengobatan sendiri, sehingga nantinya kemampuan 7 masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya dapat ditingkatkan. Swamedikasi dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan atau medication error karena keterbatasan pengetahuan masyarakat akan obat dan penggunaannya, maka dari itu apoteker dituntut untuk dapat memberi informasi yang tepat kepada masyarakat guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti penyalahgunaan obat (Muchid dkk., 2006). Menurut Permenkes Nomor 919 Tahun 1993, kriteria obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter adalah sebagai berikut : a. tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun, b. pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit, c. penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan, d. penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia, dan e. obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri. Melihat kriteria tersebut, golongan obat yang dapat digunakan dalam proses swamedikasi adalah obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek, obat tradisional, dan suplemen makanan. 8 2. Bauran Pemasaran Bauran pemasaran, atau marketing mix, adalah variabel-variabel yang dapat dikendalikan oleh suatu perusahaan untuk memuaskan kelompok konsumen yang menjadi pasar target (Perreault dan McCarthy, 2002). Istilah bauran pemasaran itu sendiri pada awalnya disinggung oleh Profesor James Culliton pada tahun 1948 yang menggambarkan seorang eksekutif bisnis sebagai pengambil keputusan, seniman, serta ‘peracik bumbu’ yang secara kontinyu terlibat dalam usaha pengembangan prosedur dan kebijakan pemasaran (Borden, 1964). Istilah marketing mix ini selanjutnya diberikan untuk mendefinisikan elemen-elemen dari program pemasaran (perencanaan produk, pengaturan harga, merek/branding, kanal distribusi, personal selling, periklanan, promosi, pengemasan, jasa, perawatan fisik dari barang, dan pencarian fakta/fact-finding) dan hal-hal yang mempengaruhi program tersebut, seperti sikap konsumen, persaingan, dan peraturan pemerintah (Borden, 1953). Konsep ini dikembangkan lebih jauh oleh McCarthy pada tahun 1960 dengan mempresentasikan konsep 4 P, yaitu Product, Place, Promotion, dan Price (Silverman, 1995). Empat elemen tersebut merupakan faktor terkendali yang harus diatur dan dikendalikan dalam lingkungan yang diisi oleh faktor-faktor yang tidak terkendali (McCarthy, 1960). Konsep bauran pemasaran sudah banyak dikembangkan dan saat ini memiliki banyak sekali versi menurut jenis usaha serta produk yang dipasarkan (Goi, 2009). Beberapa kritik yang ditujukan kepada konsep 4P 9 dari McCarthy antara lain menunjukkan bahwa konsep tersebut terlalu berorientasi pada produsen dan tidak berorientasi pada konsumen (Popovic, 2006). Konsep 4P tetap dianggap relevan untuk pemasaran pada tingkat awal (introductory marketing) serta consumer marketing meskipun konsep tersebut memiliki kelemahan dalam orientasinya (Rafiq dan Ahmed, 1995). Gambar 1. Konsep 4P dari McCarthy (1960) Product merupakan variabel yang menyangkut tentang barang atau jasa yang tepat untuk pasar target (Perreault dan McCarthy, 2008). Selain barang fisik dari produk itu sendiri, banyak elemen dari produk yang mungkin akan menarik perhatian dari konsumen, seperti kemasan, fitur, variasi pilihan produk, garansi, serta nama merek (Ehmke dkk., 2005). Place merupakan variabel yang menyangkut tentang hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan tempat distribusi produk (Perreault dan McCarthy, 2008). Produk dapat didistribusikan secara intensif, selektif, atau eksklusif, tergantung dari karakteristik produk yang akan didistribusikan (Ehmke dkk., 2005). Sebuah produk tidak dapat dikatakan baik apabila produk tersebut tidak tersedia pada waktu atau lokasi yang tepat (Perreault dan McCarthy, 2008). Bahasan Place akan banyak membahas mengenai kanal distribusi, yaitu individu atau perusahaan yang 10 berpartisipasi dalam penyaluran produk dari produsen hingga sampai pada konsumen. P yang ketiga, Promotion, merupakan variabel yang menyangkut usaha untuk menyebarkan informasi pada pasar target mengenai produk yang ditawarkan (Perreault dan McCarthy, 2008). Tujuan dari aktivitas promosi adalah untuk memberitahu konsumen apa produk yang dipasarkan, apa yang bisa dilakukan dengan produk tersebut, dan mengapa konsumen harus menggunakannya (Ehmke dkk., 2005). Komponen Promotion meliputi hal-hal seperti periklanan, hubungan masyarakat (public relations), personal selling, dan mass selling. Variabel terakhir dalam konsep 4 P pada bauran pemasaran adalah Price atau harga. Selain mengembangkan produk, lokasi dan waktu, dan promosi yang tepat, diperlukan pertimbangan tersendiri untuk menentukan harga yang tepat. Pengaturan harga harus mempertimbangkan kompetisi pada pasar target dan juga biaya dari semua bauran pemasaran yang sudah dilakukan (Perreault dan McCarthy, 2008). Harga suatu produk seharusnya menggambarkan posisi yang tepat produk tersebut di pasar dan juga dapat menutupi biaya tiap unit barang serta keuntungan yang diharapkan (Ehmke dkk., 2005). 11 Berikut beberapa contoh dari pertimbangan bauran pemasaran : Tabel I : Komponen Bauran Pemasaran 4 P dan Contoh Bahasannya Product Barang fisik Jasa Fitur Keuntungan/ Benefit Tingkat kualitas Aksesoris Instalasi Garansi Kemasan Branding Place Promotion Jenis penyaluran Salespeople Market exposure - Jenis Jenis distributor - Jumlah Jenis/lokasi toko - Pemilihan Transportasi - Pelatihan Tingkat jasa Periklanan Penyimpanan - Sasaran - Jenis - Media Price Fleksibilitas Siklus produk Faktor geografis Diskon Bonus Nilai produk Sumber : Perreault dan McCarthy, 2008 Masing-masing komponen bauran pemasaran adalah variabel yang dapat dikendalikan oleh produsen untuk mendapatkan pelanggan untuk bisnis produsen tersebut. Bauran pemasaran yang berbeda dengan yang lain (distinctive) merupakan indikator nilai produk tersebut di pasar (Boulding dan Lee, 1992), sehingga tentunya semua produsen harus mencoba untuk melakukan bauran pemasaran yang berbeda untuk memperoleh keunggulan dari produsen produk lain. 3. Obat Over-The-Counter (OTC) Menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Obat dapat dibagi menjadi 4 golongan (IAI, 2010) : 1. Obat Bebas 2. Obat Bebas Terbatas 12 3. Obat Keras dan Psikotropika 4. Obat Narkotika Pembahasan kali ini difokuskan pada golongan pertama dan kedua. Obat Bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter, yang ditandai khusus dengan lingkaran hijau bergaris tepi hitam pada kemasan dan etiket obatnya. Obat Bebas Terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan dan ditandai lingkaran biru bergaris tepi hitam (Muchid dkk., 2006). Obat Over-The-Counter atau OTC adalah obat selain obat keras yang dapat diperoleh di apotek-apotek atau toko obat tanpa resep dokter, sehingga menurut definisi ini, yang dapat digolongkan sebagai obat OTC adalah golongan Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Obat-obat seperti ini dapat diserahkan kepada masyarakat tanpa resep dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat tersebut dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan (Depkes, 1993). Obat OTC pada umumnya ditujukan untuk mengatasi gejala penyakit yang ringan, contohnya untuk menurunkan panas karena demam, meredakan batuk, atau meredakan hidung tersumbat. Peringatan tetap ada pada golongan obat bebas terbatas walaupun obat tersebut aman digunakan untuk pengobatan sendiri, karena keamanan obat tersebut tergantung dari takaran spesifik yang sudah ditentukan. 13 4. Flu Flu adalah suatu infeksi saluran pernafasan atas. Flu ditandai dengan demam, sakit kepala, nyeri otot, mata atau hidung berair, batuk, bersin, dan sakit tenggorokan (Muchid dkk., 2006). Pengertian flu sering digunakan untuk 2 jenis penyakit : selesma atau common cold, dan influenza, karena gejala yang disebabkan keduanya hampir sama. Flu disebabkan oleh infeksi virus Rhinovirus, Coronavirus, dan virus Influenza (Eccles, 2005). Flu yang disebabkan oleh virus Influenza menyebabkan kombinasi gejala batukbatuk dan demam, yang membedakannya dengan penyakit flu lainnya. Gambar 2. Virus Influenza Flu disebabkan oleh virus, sehingga tidak bisa disembuhkan dengan obat-obat antibiotik (Simasek dan Blandino, 2007). Penyebab dari penyakit itu sendiri tidak bisa diobati secara langsung, maka dari itu fokus pengobatan flu adalah untuk meredakan gejalanya, seperti batuk dan hidung tersumbat (Simasek dan Blandino, 2007). Gejala yang dialami oleh penderita flu pada awalnya disebabkan oleh virus yang menyerang jaringan di saluran pernafasan seperti hidung dan tenggorokan. Adanya organisme asing dalam jaringan tubuh manusia akan direspon oleh tubuh dengan mengaktifkan berbagai sistem imun yang 14 ada, salah satunya adalah dengan inflamasi atau peradangan. Inflamasi pada saluran pernafasan ini akan menyebabkan peningkatan aliran darah ke lokasi serangan organisme, yang menghasilkan pembengkakan dan produksi mukus. Gejala-gejala flu seperti hidung tersumbat dan batuk terjadi karena mukus ini menghalangi aliran udara di saluran pernafasan. Selain pembengkakan, inflamasi juga akan meningkatkan suhu tubuh sehingga menyebabkan demam (Derrer, 2013). Obat-obat yang dapat digunakan untuk mengatasi gejala tersebut antara lain obat antihistamin, tetes hidung, dekongestan oral, antitusif/ekspektoran, dan antipiretik/analgesik (Muchid dkk., 2006). Obat dekongestan bekerja dengan mengurangi pembengkakan yang terjadi di saluran pernafasan, yang nantinya akan membantu melancarkan pernafasan (Ratini, 2012). Obat batuk antitusif bekerja dengan mengurangi frekuensi batuk, sedangkan obat batuk ekspektoran bekerja dengan membantu mengeluarkan mukus penyebab batuk (Muchid dkk., 2006). Obat antipiretik/analgesik digunakan untuk meredakan sakit kepala serta demam yang mungkin juga terjadi pada penderita flu (Muchid dkk., 2006). Obat antihistamin tidak diketahui mekanisme pastinya dalam mengobati gejala flu (Ratini, 2012), tetapi efek sedatif yang dimiliki beberapa obat antihistamin dapat membantu penderita flu untuk beristirahat. Selain dengan mengonsumsi obat flu, hal-hal yang dapat dilakukan pasien untuk mempercepat penyembuhan adalah dengan istirahat yang cukup, meningkatkan gizi makanan, minum air yang banyak, dan makan 15 buah segar yang mengandung vitamin (Muchid dkk., 2006), karena infeksi flu bersifat self-limiting disease, yang berarti penyakit tersebut dapat sembuh dengan sendirinya (Arroll, 2011). G. Landasan Teori dan Hipotesis 1. Landasan Teori Bauran pemasaran merupakan alat utama pihak produsen untuk mendapatkan posisi yang kuat dalam pasar sasaran (Kotler dan Armstrong, 2008), sehingga hal ini akan menjadi fokus produsen dalam memasarkan produknya. Penelitian Prasad dan Ring (1976) mengenai pengaruh variabel promosi dan harga pada bauran pemasaran produk TV membuktikan bahwa penetapan harga mempengaruhi penjualan. Bauran pemasaran yang berbeda dengan produk lain yang sejenis (distinctive) juga dapat digunakan sebagai indikator nilai produk di pasar (Boulding dan Lee, 1992). Produk obat flu OTC yang banyak dipilih masyarakat tentu akan memiliki bauran pemasaran yang berbeda dibandingkan dengan produk lain, baik dalam hal produk itu sendiri, tempat distribusi, promosi yang dilakukan, atau harga yang ditetapkan. 2. Kerangka Pemikiran Bauran Pemasaran Produk Tempat Promosi Pemilihan Produk Harga Gambar 3. Kerangka Pemikiran 16 3. Hipotesis Hipotesis yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah bahwa bauran pemasaran yang dimiliki oleh obat flu OTC pilihan masyarakat Kec. Mlati, Ngaglik, dan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki keterkaitan atau korelasi dengan pemilihan merek produk obat flu tersebut. Keterangan empirik yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah gambaran mengenai apa saja merek produk obat flu OTC yang menjadi pilihan masyarakat serta bauran pemasaran yang dilakukan dalam pemasaran produk obat flu OTC tersebut. .