RESILIENSI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA PASCA KECELAKAAN Rahayu Rezki Anggraeni Dosen Pembimbing Ibu Ni Made Taganing, Spsi., MPsi. Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma, 2008 ABSTRAK Kecacatan akibat kecelakaan merupakan suatu hal yang sulit diterima oleh mereka yang mengalaminya sehingga tidak mengherankan jika penyandangnya memperlihatkan gejolak emosi terhadap kecacatan yang dialaminya dan cenderung tidak dapat menerima keadaan dirinya. Walau begitu, keadaan cacat tidak dengan sendirinya berarti juga keadaan tidak bahagia. Ada juga yang dapat bangkit dan menerima keadaan dirinya dan dapat menjalankan kehidupannya dengan baik. Orang-orang yang seperti inilah yang disebut sebagai individu yang resilien. Resiliensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan, proses tetap berjuang untuk bangkit kembali dari tekanan hidup, serta belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya meskipun didapatkan melalui resiko-resiko yang berat. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran proses resiliensi pada penyandang tuna daksa serta faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi. Setelah dilakukan penelitian maka dapat disimpulkan bahwa secara umum kedua subjek tersebut mengalami resiliensi dalam hidupnya setelah peristiwa kecelakan yang menyebabkan salah satu bagian tubuhnya, yaitu kaki harus diamputasi. Kedua subjek memenuhi kriteria resiliensi yang ditandai oleh insight, kemandirian, hubungan, inisiatif, kreativitas, humor, dan moralitas. Kedua subjek dapat mencapai resiliensi disebabkan oleh faktor I have (Aku punya), I Am (Aku ini), dan I Can (Aku dapat). Kata Kunci : resiliensi, penyandang tuna daksa I. PENDAHULUAN Hampir semua orang pernah merasakan kesedihan, kekecewaan, kegagalan karena kehidupan yang dijalaninya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan atau harapan yang telah diperoleh tiba-tiba sirna karena kejadian yang tidak terduga. Seperti seseorang yang mengalami kecelakaan, memperoleh penyakit, dan lainlain yang dapat menimbulkan luka sehingga merusak kesempurnaan tubuh yang dimiliki. Pada kenyataannya peristiwa yang tidak diinginkan ini menimbulkan reaksi yang berbeda-beda bagi setiap orang. Ada orang-orang yang tidak dapat menerima, tetapi ada juga orang-orang yang justru bangkit dan bahkan mendapatkan hal-hal yang luar biasa ditengah-tengah kekecewaan yang dialaminya. Erikson (dalam Papalia, 1998) mengungkapkan istilah non normatif untuk kejadian yang datangnya tidak terduga dan tidak diharapkan. Salah satu kejadian non normatif adalah kecelakaan atau juga sakit yang mengakibatkan kecacatan dan membuat anggota tubuh menjadi kehilangan fungsinya. Individu yang mengalami hal tersebut biasanya dikenal dengan sebutan penyandang tuna daksa. Menurut Mangunsong (1998) tuna daksa diartikan sebagai ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal. Termasuk dalam hal ini adalah cacat fisik bawaan seperti anggota tubuh yang tidak lengkap, anak yang kehilangan anggota badan karena amputasi, anak dengan gangguan neuromuscular seperti cerebral palsy, anak dengan gangguan sensomotorik (alat penginderaan) dan anak-anak yang menderita penyakit kronis. Kecacatan akibat kecelakaan atau sakit merupakan suatu hal yang sulit diterima oleh mereka yang mengalaminya sehingga tidak mengherankan jika penyandangnya memperlihatkan gejolak emosi terhadap kecacatan yang dialaminya dan cenderung tidak dapat menerima keadaan dirinya. Keadaan tubuh mereka yang cacat ini dapat mengakibatkan perasaan rendah diri, frustrasi, menarik diri dari lingkungannya, merasa diri tidak berguna, dan sebagainya yang pada gilirannya akan dapat mempengaruhi sejauh mana ia mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Walau begitu, keadaan cacat tidak dengan sendirinya berarti juga keadaan tidak bahagia. Ada juga yang dapat bangkit dan menerima keadaan dirinya dan dapat menjalankan kehidupannya dengan baik. Bahkan beberapa orang cacat ternyata mampu mengembangkan kemampuan-kemampuan yang ada padanya, mendapatkan penerimaan dan kasih sayang dari lingkungan dan mengecap kebahagiaan dalam hidupnya. Bobey (1999) mengatakan bahwa orang-orang yang seperti inilah yang disebut sebagai individu yang resilien, yaitu mereka yang dapat bangkit, berdiri di atas penderitaan, dan memperbaiki kekecewaan yang dihadapinya. Benard (2004) menjelaskan lebih jauh bahwa kapasitas resiliensi ini ada pada setiap orang. Artinya, kita semua lahir dengan kemampuan untuk dapat bertahan dari penderitaan, kekecewaan, atau tantangan (Bobey, 1999). Bagi mereka yang resilien, resiliensi membuat hidupnya menjadi lebih kuat. Artinya, resiliensi akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, perkembangan sosial, akademis, dan bahkan dengan tekanan hebat yang melekat dalam dunia sekarang sekalipun (Desmita, 2005). Wolin & Wolin (1999) menemukan ada beberapa karakteristik yang ditemukan dalam orang-orang yang resilien dalam dirinya. Karakteristikkarakteristik tersebut adalah insight, kemandirian, kreativitas, humor, inisiatif, hubungan, dan moralitas. Seperti yang sudah diungkapkan di atas bahwa setiap orang memiliki kapasitas resiliensi dalam dirinya. Tetapi, resiliensi dapat terlihat dengan jelas apabila seseorang berada pada tantangan atau masalah. Semakin seseorang berhadapan dengan banyak tantangan dan hambatan, maka akan semakin terlihat apakah ia telah berhasil mengembangkan karakteristik resiliensi dalam dirinya atau tidak (Bobey, 1999). Penyandang cacat fisik memiliki banyak masalah yang berhubungan dengan kecacatannya. Dengan kata lain, ia terpapar bermacam-macam sumber stres yang membuat ia digolongkan kepada individu yang memiliki faktor resiko yang sangat tinggi atau high risk (Benard, 1991). Greenspan (dalam Kauffman & Hallahan, 2006) mengatakan bahwa penyandang cacat fisik sangat peduli pada body image, penerimaan dari teman-temannya, kebebasan dari orang tua, penerimaan diri sendiri dan pencapaian prestasi. Akibatnya, mereka sangat mudah marah kepada orang tua, teman-teman dan kepada dirinya sendiri karena keadaannya, terserang depresi, melakukan tindakan kekerasan dan bertindak sewenang-wenang akibat perasaan yang mereka miliki. Upaya mengatasi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan tersebut dan mengembangkan resilency, sangat tergantung pada pemberdayaan tiga faktor dalam diri individu, yang oleh Grotberg (1994) disebut sebagai tiga sumber dari resiliensi (three sources of resilience), yaitu I have (Aku punya) termasuk didalamnya hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, dorongan untuk mandiri (otonomi); I am (Aku ini) termasuk didalamnya disayang dan disukai oleh banyak orang, bangga dengan dirinya sendiri, mencintai, empati, dan kepedulian pada orang lain; I can (Aku dapat) termasuk didalamnya berkomunikasi, memecahkan masalah, menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai. Ketiga faktor tersebut dapat juga mempengaruhi lamanya proses resiliensi seseorang. Dengan masalah-masalah yang dihadapi, penyandang tuna daksa bisa saja menjadi individu yang bangkit dari masalah kecacatannya bahkan mungkin melampaui prediksi kegagalan jika individu penyandang cacat itu adalah orang yang resilien, yaitu jika karakteristik resiliensi telah berkembang di dalam dirinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran proses resiliensi pada penyandang tuna daksa dan faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi. II. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif sedangkan ada individu lain yang gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan, kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade & Fredrickson, 2004). Werner & Smith (dalam Isaacson, 2002) mendefinisikan resiliensi sebagai kapasitas untuk secara efektif menghadapi stres internal berupa kelemahankelemahan, maupun stres eksternal, misalnya penyakit, kehilangan, atau masalah dengan keluarga. Karakteristik Resiliensi menurut Wolin & Wolin (1999) adalah sebagai berikut : A. Insight Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi. Insight adalah kemampuan yang paling mempengaruhi resiliensi. B. Kemandirian Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain. C. Hubungan Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan atau memiliki role model yang sehat. D. Inisiatif Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien bersikap proaktif, bukan reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang tidak dapat diubah. E. Kreativitas Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif, sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan. F. Humor Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Individu yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa humor membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan. G. Moralitas Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan. Menurut Grotberg (1994) ada tiga faktor sumber pembentukan resiliensi, yaitu : A. I have (Aku punya) Memiliki beberapa kualitas yang memberikan sumbangan bagi pembentukan resiliensi, yaitu : 1. Hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh. 2. Struktur dan peraturan di rumah. 3. Model-model peran. 4. Dorongan untuk mandiri (otonomi). 5. Akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan kesejahteraan. B. I am (Aku ini) Beberapa kualitas pribadi yang mempengaruhi I am ini adalah : 1. Disayang dan disukai oleh banyak orang. 2. Mencintai, empati, dan kepedulian pada orang lain. 3. Bangga dengan dirinya sendiri. 4. Bertanggung jawab terhadap perilaku sendiri konsekuensinya. 5. Percaya diri, optimistik, dan penuh harap. C. I can (Aku dapat). 1. Berkomunikasi. 2. Memecahkan masalah. 3. Mengelola perasaan dan impuls-impuls. 4. Mengukur temperamen sendiri dan orang lain. 5. Menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai. dan menerima Apabila karakteristik resiliensi telah berkembang, maka penyandang cacat tersebut dapat menjadi pribadi yang dapat beradaptasi dengan baik pada saat ia dihadapkan pada masalah sehingga dapat melampaui kemungkinan kegagalan dan akhirnya mampu melanjutkan kehidupannya dengan baik. Mungkin masih ada kekecewaan dan halangan yang ia hadapi, tetapi ia akan menjadi pribadi yang tangguh danselalu bangkit kembali dari masalah yang dihadapi. III. METODOLOGI Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif yaitu suatu proses penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lainlain secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2005). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode wawancara dan observasi dengan subjek dan significant other. Untuk membantu proses pengumpulan data, maka peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara dan alat perekam. Karakteristik subjek penelitian yaitu penyandang tuna daksa dapatan, dimana subjek kehilangan salah satu anggota tubuhnya yang diakibatkan karena kecelakaan yang berusia 20-30 tahun dan mengalami kecacatan selama 1-5 tahun. Jumlah dalam penelitian ini adalah 2 orang pria. IV. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Gambaran resiliensi pada penyandang tuna daksa pasca kecelakaan dari aspek insight yang dapat dilihat bahwa kedua subjek tersebut sama-sama memiliki kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan menjawab dengan jujur juga dapat memahami diri sendiri dan orang lain. Dari aspek kemandirian kedua subjek tersebut sama-sama memiliki kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup. Dari asperk hubungan kedua subjek tersebut sama-sama dapat mengembangkan hubungan yang jujur dan saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan. Dari aspek inisiatif kedua subjek tersebut sama-sama melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi dan selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah. Dari aspek kreativitas kedua subjek tersebut sama-sama memiliki kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup juga melibatkan daya imajinasi yang dimiliki masing-masing. Dari aspek humor kedua subjek tersebut sama-sama dapat menertawakan diri sendiri dan membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan. Dari aspek moralitas kedua subjek tersebut sama-sama memiliki keinginan untuk hidup secara baik dan produktif juga dapat mengevaluasi berbagai hal. Tabel Perbandingan karakteristik Insight pada subjek I, II. Gambaran Resiliensi pada Subjek I Subjek II Penyandang Tuna Daksa - Dapat bertanya pada - Dapat bertanya pada diri Insight diri sendiri menjawab dan dengan jujur. sendiri dan menjawab dengan jujur. - Dapat - Dapat memahami diri sendiri. memahami diri sendiri. - Dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi. Tabel Perbandingan karakteristik Kreativitas pada subjek I, II. Gambaran Resiliensi pada Subjek I Subjek II Penyandang Tuna Daksa Kreativitas - Kemampuan memikirkan - Kemampuan berbagai pilihan, memikirkan berbagai konsekuensi dan pilihan, konsekuansi alternatif dalam dan alternatif dalam menghadapi tantangan menghadapi tantangan hidup. - Melibatkan daya hidup. - Memiliki daya imajinasi untuk imajinasi yang menghibur diri sendiri digunakan untuk saat menghadapi mengekpresikan diri kesulitan. dalam seni. Sedangkan dari aspek I Have kedua subjek tersebut sama-sama memiliki hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh, memiliki struktur dan peraturan di rumah, dan memiliki dorongan untuk mandiri. Dari aspek I Am kedua subjek tersebut sama-sama disayang dan disukai banyak orang; mencintai, empati dan kepedulian pada orang lain; bangga dengan dirinya sendiri; dan percaya diri, optimistik dan penuh harap. Dari aspek I Can kedua subjek tersebut sama-sama dapat berkomunikasi, memecahkan masalah dan mengelola perasaan dan impulsimpuls. Tabel Perbandingan faktor I have pada subjek I, II. Subjek I Faktor yang Subjek II Mempengaruhi Pencapaian Resiliensi I Have (Aku - Hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh. Punya) - Struktur dan peraturan di rumah - Dorongan untuk mandiri. V. - Hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh. - Struktur dan peraturan di rumah. - Dorongan untuk mandiri. KESIMPULAN Setelah dilakukan penelitian maka dapat disimpulkan bahwa secara umum kedua subjek tersebut mengalami resiliensi dalam hidupnya setelah peristiwa kecelakan yang menyebabkan salah satu bagian tubuhnya, yaitu kaki harus diamputasi. Kedua subjek memenuhi kriteria resiliensi yang ditandai oleh insight, kemandirian, hubungan, inisiatif, kreativitas, humor, dan moralitas. Kedua subjek dapat mencapai resiliensi disebabkan oleh faktor I have (Aku punya), I Am (Aku ini), dan I Can (Aku dapat). VI. DAFTAR PUSTAKA Benard, B. (1991). Fostering Resiliency in Kids: Protective Factors in the Family, School, and Community. San Fancisco : Far West Laboratory for Educational Research and Development. Bobey, Mary. (1999). Resilience : The ability to Bounce Back from Adversity. American Academy of Pediatric. Available http://www.crha- health.ab.ca/clin/wowen102_MarApr.htm. Grotberg. (1994). A guide to Promoting Resilience in Children : Strengthening the Human Spirit. Denhaag. Isacsoon, Boonie. (2002). Characteristic and enhancement of resiliency in young children (pdf version). Iniversity of Winconsin-Stout. Tugade, M. M & Fredrickson, B. L. (2004). Resilient Individuals Use Positive Emotions to Bounce Back From Negative Emotional Experiences. Journal of Personality ang Social Psycgology, 86. 320-333. Werner, E. & Smith, R. (1992). Overcoming the Odds : High-Risk Children from Birth to Adulthood. New York : Cornell University Press. Wolin, Sybil & Wolin, Steven. (1999). Project Resilience. Available http://www.projectresilience.com/resasbehavior.htm.