BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. SIKAP 1. Definisi Sikap Sikap (attitude) adalah evaluasi terhadap objek psikologis terhadap dimensi atribut seperti baik-buruk, berbahaya-menguntungkan menyenangkantidak menyenangkan, dan disukai atau tidak disukai (Ajzen & Fishbein 2000, Eagly & Chaiken tahun 1993, Petty et al 1997). Sikap mengacu pada evaluasi seseorang terhadap berbagai aspek dunia sosial (Olson& Maio, 2003; Petty, Wheeler & Tormala, 2003 dalam Baron 2002). Seseorang bisa memiliki reaksi yang mendukung atau tidak mendukung isu, ide, individu tertentu, kelompok sosial dan objek tertentu. Menurut Ajzen (2005), sikap adalah disposisi untuk berespon secara favorable atau unfavorable terhadap benda, orang, institusi, atau kejadian. Psikolog Sosial menyetujui bahwa sikap adalah evaluasi berupa pernyataan setuju, tidak setuju, suka tidak suka (Edwards 1957; Osgood et al 1957; Bern 1970; Fishbein dan Ajzen 1975; Bukit 1981; Oskamp 1991; Eagly dan Chaiken 1993). Ajzen (1988) mendefinisikan sikap sebagai predisposisi yang dipelajari individu untuk memberikan respon suka atau tidak suka secara konsisten terhadap objek sikap. Respon suka atau tidak suka itu adalah hasil proses evaluasi terhadap keyakinan-keyakinan (beliefs) individu terhadap objek sikap (Fishbein & Ajzen, 1975). 11 Universitas Sumatera Utara 12 Allport (dalam Hogg, 2002) mendefinisikan sikap sebagai sebuah kecenderungan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu dalam situasi sosial. Hogg (2002) mendefiniskan sikap sebagai suatu respon evaluatif individu yang sebenarnya terhadap aspek dunia sosial. Individu akan menunjukkan respon suka atau tidak suka terhadap suatu isu, ide, individu tertentu, kelompok sosial maupun objek tertentu. Evaluasi yang dilakukan bisa positif dan negatif terhadap seseorang, objek, ataupun isu tertentu. Sikap seseorang terhadap terhadap subatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tertentu (Berkowitz, 1972). Sementara Second & Backman dalam Azwar (2010) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek lingkungan sekitar. Robbins (2008) mendefinisikan sikap sebagai pernyataan evaluatif baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek, orang, atau peristiwa. Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi seseorang untuk bereaksi secara positif maupun negatif seperti baik-buruk, berbahaya-menguntungkan menyenangkan-tidak menyenangkan, dan disukai atau tidak disukai terhadap objek tertentu yang dibentuk dari interaksi antara komponen kognitif, afektif, dan konatif / perilaku. Universitas Sumatera Utara 13 2. Komponen sikap Sikap dapat disimpulkan dari respon kognitif, afektif, dan konatif terhadap objek sikap. Hal ini mengasumsikan bahwa setiap kategori respon mencerminkan komponen teoritis dari sikap (Smith 1947; Katz dan Stotland 1959; McGuire 1985; Eagly dan Chaiken 1998). Dalam pandangan ini, sikap adalah multidimensi yang terdiri dari kognisi, afeksi, dan konasi. Respon Kognitif adalah tanggapan yang mencerminkan persepsi, dan pikiran tentang objek sikap. Respon afektif adalah tanggapan dari yang sikap dapat disimpulkan memiliki hubungan dengan evaluasi dan perasaan terhadap objek sikap. Respon konatif adalah tanggapan yang bersifat konatif adalah kecenderungan perilaku, niat, komitmen, dan tindakan sehubungan dengan objek sikap atau menunjukkan bagaimana seseorang tidak atau akan bertindak sehubungan dengan objek. Hal yang sama mengenai komponen sikap diungkaapkan oleh Mcquire dalam Hogg (2002) yang didasarkan pada Three-component attitude model.yang menyatakan bahwa sikap (attitude) terdiri dari komponen kognitif, afektif, dan komponen perilaku. Hal ini sesuai dengan pendapat Travers (1977); Gagne (1977) dan Cronbach (1977); Allport dalam Mar’at (2006); Ahmadi, (2009) yang menyatakan bahwa sikap terdiri dari 3 komponen yang saling berhubungan yaitu: a. Komponen kognitif yaitu berupa pengetahuan, kepercayaan atau pikiran yang didasarkan pada informasi yang dimiliki yang berhubungan dengan objek. Aspek kognitif adalah aspek yang berhubungan dengan gejala mengenal pikiran yaitu pengolahan, pengalaman, dan keyakinan serta Universitas Sumatera Utara 14 harapan-harapan individu tentang objek atau kelompok obejk tertentu. Pemikiran seseorang tentang objek tertentu seperti fakta, pengetahuan, dan keyakinan (Ahmadi, 2009). Komponen kognitif merupakan komponen yang berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap b. Komponen afektif yaitu perujuk pada dimensi emosional yaitu emosi yang berhubungan dengan objek yaitu dapat berupa perasaan senang atau tidak senang. Emosi dan perasaan seseorang terhadap stimulus, khusunya evaluasi positif dan negatif (Ahmadi, 2009) c. Komponen perilaku yaitu melibatkan salah satu predisposisi untuk bertindak terhadap objek. Komponen ini berhubungan dengan tendensi/kecenderungan untuk berbuat sesuatu terhadap objek atau disebut dengan action tendency. Menurut Ahmadi (2009), sikap dapat dibedakan menjadi 2 antara lain: 1. Sikap positif Sikap positif adalah sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima, mengakui, menyetujui serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu berada. Apabila individu memiliki sikap yang positif maka ia akan siap membantu, memperhatikan, berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi objek tertentu. Universitas Sumatera Utara 15 2. Sikap negatif Sikap negatif adalah sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau tidak menyetujui norma-norma yang berlaku dimana individu berada. Apabila individu memiliki sikap yang negatif terhadap suatu objek, maka ia akan mencela, menyerang bahkan menghilangkan objek tersebut. Psikolog sosial memandang sikap sebagai hal yang penting bukan hanya karena sikap itu sulit untuk diubah, tetapi karena sikap sangat mempengaruhi pemikiran sosial individu meskipun sikap tidak selalu direfleksikan dalam tingkah laku yang tampak dan juga karena sikap seringkali mempengaruhi tingkah laku individu terutama terjadi saat sikap yang dimiliki kuat dan mantap (Baron, 2002). 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap, antara lain: 1. Pengalaman pribadi. Sikap seseorang adalah hasil dari pengalaman langsung dengan objek sikap. Orang yang menemukan sebuah objek sikap dan memiliki pengalaman positif atau negatif akan membentuk sikap mereka terhadap objek itu. Fishbein dan Azjen (1975) mengatakan bahwa pengalaman langsung dapat mempengaruhi sikap terhadap suatu objek dengan menyediakan informasi tentang atribut dari objek sikap tertentu. Sikap juga akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Tanggapan akan menjadi salah-satu dasar terbentuknya sikap. Middlebrook dalam Universitas Sumatera Utara 16 Azwar (2012) mengatakan “bahwa tidak adanya pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dengan suatu objek psikologis, cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. 2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting Sikap seseorang dipengaruhi oleh pengaruh orang lain. Individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Seseorang yang kita anggap penting, seseorang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah dan pendapat kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan, atau seseorang yang berarti khusus bagi kita (significant others), akan banyak mempengaruhi pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. 3. Pengaruh kebudayaan Kebudayaan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan pribadi seseorang. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individuindividu masyarakat asuhannya. Kebudayaan lah yang menanamkan garis pengarah sikap individu terhadap berbagai masalah. 4. Media massa Berbagai bentuk media massa seperti radio, televisi, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan pengetahuan baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal Universitas Sumatera Utara 17 tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu. 5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. 6. Pengaruh faktor emosional Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang, akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama. B. DALIHAN NA TOLU 1. Definisi Dalihan na tolu Orang Batak Toba salah satu sub suku Batak, memiliki perangkat struktur dan sistem sosial yang merupakan warisan nenek moyang. Struktur dan sistem sosial tersebut mengatur hubungan sesama anggota masyarakat, baik yang merupakan kerabat dekat, kerabat luas, saudara semarga maupun beda marga serta masyarakat umum. Struktur sosial yang dimiliki pada hakikatnya berdasarkan sistem sosial marga. Suku Batak memperthitungkan hubungan keturunan secara Universitas Sumatera Utara 18 patrilineal dalam kelompok kekerabatan. Kelompok kekerabatan yang besar pada suku Batak Toba adalah marga. Dengan demikian struktur sosial orang Batak yang didasarkan pada pada garis keturunan dan sistem perkawinan dikenal dengan sebutan Dalihan na tolu (Simanjuntak,2002). Secara harafiah, arti kata Dalihan na tolu “tungku nan tiga” yang merupakan lambang yang diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang mempunyai tiang penopang, yaitu hula-hula, dongan sabutuha, boru (Siahaan, 1982). Ketiga kata tersebut secara berturut memiliki arti yaitu pihak yang semarga; pihak yang menerima isteri (wife receiving party); pihak yang memberi isteri (wife giving party). Tungku itu diibaratkan sebagai orang Batak secara keseluruhan, sedangkan tiga pilar itu adalah tiga golongan dari masyarakat Batak yang sejajar dan menyokong berdirinya tungku (Simanjuntak, 2006). Dalihan na tolu merupakan tiang utama penyangga kehidupan seluruh tatanan kebudayaan Batak yang terdiri dari hula-hula, dongan sabutuha , dan boru. Di atas ketiga kaki tungku inilah seluruh tatanan sosio kultural disandarkan (Harahap, 1987). Dalihan na tolu dapat dianalogikan dengan tiga kaki tungkumasak di dapur tempat menjajakan periuk yang terdiri dari unsur pihak semarga, pihak yang menerima isteri dan pihak yang memberi isteri (Siahaan, 1982). Dari pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Dalihan na tolu adalah suatu bentuk kebudayaan berupa sistem kekerabatan yang mengatur hubungan antar orang Batak yang merupakan nilai utama dari inti budaya Batak yang terdiri dari tiga unsur yaitu dongan sabutuha, hula-hula, dan boru. Universitas Sumatera Utara 19 Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut Dalihan na tolu . Dalihan na tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut ada saatnya menjadi hula-hula, ada saatnya menempati posisi dongan tubu dan ada saatnya menjadi boru. Dengan dalihan na tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu, masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan masyarakat jawa. Sehingga Dalihan na tolu ini menjadi pedoman hidup orang Batak dalam kehidupan bermasyarakat (Sinaga, 2013). 2. Unsur-unsur Dalihan Na Tolu Unsur-unsur dalihan na tolu dapat dijelaskan sebagai berikut (Vergouwen 1986; Sinaga 2013; Siahaan 1982) a. Dongan tubu atau dongan sabutuha Secara harafiah teman yang berasal dari kandungan yang sama (sabutuha atai sekandungan) atau dalam arti luas disebut sebagai teman semarga. Dongan tubu adalah sebutan pada yang semarga dan masih dekat pertalian darah (Siahaan, 1982). Dongan sabutuha juga merupakan satuan kelompok yang berasal dari jalur keturunan yang sama yang berasal dari keturunan pihak ayah, hal tersebut dikarenakan sistem kekerabatan orang Batak adalah patrilineal dimana laki-laki Universitas Sumatera Utara 20 membentuk kelompok kekerabatan dan perempuan menciptakan hubungan besan dengan pihak yang lain (Vergouwen, 1986). Ungkapan budaya yang mengukuhkan hubungan bersaudara semarga berbunyi manat mardongan tubu. Artinya hati-hati dan bijaksana terhadap saudara semarga, teliti, hati-hati, bertenggang rasa dan sabar. Sikap dan perilaku ini mutlak di perlukan dalam pergaulan sehari-hari. Ungkapan ini menekankan pada garis kebijaksanaan dalam hubungan sosial dengan semarga. Karakter dongan tubu selalu menunjukkan diri sebagai penanggungjawab atas terlaksananya suatu kegiatan adat. Dalam pelaksanaan adat dan relasi kultural sehari-hari ia selalu bersikap akomodatif karena sebagai subjek dalam hubungannya dengan sesama dongan tubu. Selain itu dongan tubu sebagai pemberi nasihat, nasihat atau saran dan pendamping dalam pelaksanaan adat. b. Hula-hula Secara harafiah adalah pihak pemberi isteri. Hula-hula yaitu kelompok orang-orang yang posisinya "di atas". Hula-hula merupakan sapaan terhadap saudara laki-laki istri kita, saudara laki-laki ibu yang melahirkan kita, saudara laki-laki ibu yang melahirkan ayah kita, saudara laki-laki ibu yang melahirkan kakek kita. Selain itu saudara laki-laki ibu yang melahirkan istri kita, orangtua dari istri anak kita juga sebagai hula-hula. Prinsip yang dipegang teguh masyarakat Batak ialah keluarga pria yang menerima seorang wanita menjadi anggotanya karena menikah dengan putera dari keluarga tersebut maka keluarga pria sangat berhutang budi kepada keluarga yang Universitas Sumatera Utara 21 memberikan wanita tersebut. Sang wanita dan klen suaminya harus tetap hormat menyembah hula-hula seolah-olah sebagai sumber berkat. Salah satu ungkapan budaya yang melegalisasi sikap sosial kepada hulahula berbunyi somba marhula-hula, artinya sembah sujud kepada hula-hula. Sembah sujud disini berada dalam konteks tingkah laku, sikap pandang, pemberian pelayanan sosial, dan adat. Somba marhula-hula artinya seorang pria harus menghormati keluarga pihak istrinya. Hal ini dikarenakan pihak keluarga istri telah memberikan anak perempuannya dan memberikan restu atas hubungan kekeluargaan kedua keluarga. Karakter hula-hula adalah orang yang harus dihormati, yang selalu ditempatkan dalam posisi yang diutamakan, baik melalui ucapan, sapaan maupun melalui perbuatan. Oleh karena itu sebutan lain untuk hula-hula adalah raja. Posisi hula-hula sebagai raja adalah sebagai pengayom, penasehat bahkan pemberi perintah. Namun harus pula dicatat, bahwa pemahaman raja dalam relasi kultural Batak tidak sama dengan pemahaman raja yang berkonotasi kepada kekuasaan, hierarkhi jabatan dan wilayah kedudukan. Kedudukan sosial hula-hula lebih tinggi dan istimewa oleh karena sistem sosial yang dianut dikukuhkan oleh budayanya. Wujud lebih tingginya kedudukan sosial hula-hula dibuktikan bahwa kelompok ini diapandang sebagai sumber restu yang bernilai kepercayaan. Restu yang diberikan dapat berupa jasmani, rohani dan materi. Restu akan berdampak pada masa kini maupun masa depan. Hula-hula dalam kehidupan sosial dihormati, tidak diremehkan (Simanjuntak, 2002). Universitas Sumatera Utara 22 c. Boru Boru adalah kelompok orang orang yang posisinya "di bawah", yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Ungkapan budaya terhadap boru adalah elek marboru, artinya harus dapat merangkul boru, pandai mengambil hati, agar yang diambil hatinya senantiasa baik. Hal ini penting karena anak boru adalah tulang punggung bagi segala kegiatan /prosesi adat. Hal ini melambangkan kedudukan seorang wanita didalam lingkungan marganya. Karakter boru adalah pelaksana dan pemberi tenaga agar pelaksanaan adat dari pihak hula-hula berjalan dengan lancar dan baik. Apabila dongan tubu adalah pelaksana prinsip, hula-hula sebagai penasehat, maka boru adalah pelaksana teknis. Namun hal itu tidak pernah dipahami sebagai perendahan status sosial atau harkat dan martabat kemanusiaan, tetapi justru suatu kelayakan sesuai dengan posisinya sebagai boru. Ketiga unsur dalam Dalihan Na Tolu tersebut saling berhubungan satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut karena setiap orang dapat menjadi hula-hula, boru dan dongan sabutuha maupun bagi individu yang lainnya. Dalam konsep Dalihan na tolu hubungan antar unsur berlangsung atas dasar keseimbangan dan keserasian terutama menyangkut hak dan kewajiban. Dengan sistem demikian, maka setiap orang Batak yang sudah menikah akan dengan sendirinya memiliki peran sebagai hula-hula, dongan tubu dan boru sesuai dengan posisi dan kedudukannya pada suatu kegiatan pelaksanaan adat Universitas Sumatera Utara 23 budaya Batak atau di tengah keluarganya. Artinya, apabila yang melaksanakan adat itu adalah semarganya, maka psosisi dan peranannya adalah sebagai dongan tubu. Apabila yang melaksanakan adat itu adalah dari pihak marga isterinya, maka posisi dan peranannya adalah sebagai boru. Apabila yang melaksanakan adat itu adalah keluarga yang mengambil istri dari marganya maka posisi dan peranannya adalah sebagai hula-hula. Dengan demikian peranan setiap orang Batak dapat sebagai hula-hula, dongan tubu, dan boru, sesuai dengan posisinya dalam keluarga dan adat. Situasi demikian masih ditemukan terutama didaerah pedesaan tanah Batak hingga kini. Diperkotaan juga demikian, akan tetapi polanya sudah agak lain dan tidak seintensif di pedesaan. Prinsip Dalihan na tolu dijadikan konsep dasar kebudayaan Batak baik di kampung halaman atau desa maupun tanah perantauan (Harahap, 1987). Selain itu prinsip tersebut digunakan dalam setiap upacara adat yang mencakup upacara adat perkawinan, kematian, dan lain-lain. Apabila tidak berdasarkan pada adat Dalihan Na Tolu maka tidak dapat dikatakan sebagai upacara adat Batak (Siahaan, 1982). Upacara adat dikatakan berdasarkan adat Dalihan Na Tolu apabila ia mengundang dongan sabutuha, hula-hula, dan boru serta melakukan berbagai prosesi berdasarkan ketentuan adat. 3. Masyarakat dan budaya Batak Toba Suku Batak Toba merupakan sebuah suku yang menempati suatu wilayah yang luas di Tanah Batak yaitu Provinsi Sumatera Utara. Penduduk tanah Batak Universitas Sumatera Utara 24 adalah suku Batak yang terbagi-bagi dalam berbagai subsuku. Subsuku tersebut antara lain Batak Karo, di bagian utara Danau Toba; Pakpak dibagian Barat Tapanuli; Simalungun di bagian Timur Danau Toba; Angkola di Angkola, Sipirok; Mandailing di Mandailing. a. Nilai budaya Batak Menurut Harahap dan Siahaan (1987), suku Batak memiliki 9 nilai budaya antara lain nilai kekerabatan, religi, hagabeon, hasangapon, hamoraon, hamajuon, hukum, pengayoman dan konflik. Kekerabatan mencakup hubungan primordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan darah, kerukunan unsur-unsur Dalihan na tolu (hula-hula, dongan tubu, dan boru), serta segala yang ada kaitannya dengan hubungan kekerabatan karena pernikahan, solidaritas marga dan lain-lain. Pada suku Batak Toba kedudukan nilai yang paling tinggi adalah nilai kekerabatan. Nilai lain yaitu religi mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya. Hagabeon mencakup banyak keturunan dan panjang umur. Hasangapon mencakup kemuliaan, kewibawaan, dan kharisma yang merupakan suatu nilai utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Hamoraon (kaya raya) merupakan salah satu nilai budaya yang mendasari dan mendorong orang Batak, khususnya orang Toba, untuk mencari harta benda yang banyak. Hamajuon mencakup kemajuan yang diraih melalui merantau dan menuntut ilmu. Universitas Sumatera Utara 25 Nilai budaya hamajuon ini sangat mendorong orang Batak bermigrasi keseluruh pelosok tanah air. Hukum mencakup patik dohot uhum (aturan dan hukum). Nilai patik dohot uhum merupakan nilai yang kuat disosialisasikan oleh orang Batak. Nilai ini mungkin lahir dari tingginya frekuensi pelanggaran hak asasi dalam perjalanan hidup orang Batak sejak jaman purba, sehingga mereka mahir dalam berbicara dan berjuang memperjuangkan hak-hak asasi. Pengayoman yaitu kehidupan sosio-kultural orang Batak kurang kuat dibandingkan dengan nilai-nilai yang disebutkan terdahulu. Hal ini mungkin disebabkan kemandirian yang berkadar tinggi. Kehadiran pengayom, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak. Sumber konflik pada orang Batak Toba tidak hanya kehidupan kekerabatan melainkan lebih luas lagi karena menyangkut perjuangan meraih hasil nilai budaya lainnya, antara lain hamoraon yang mau tidak mau merupakan sumber konflik yang abadi bagi orang Toba. 4. Partuturan Kata partuturan dalam bahasa Batak tidaklah sama dengan kekerabatan dalam bahasa Indonesia. Sebab partuturan adalah juga kekerabatan, namun karena ada kaitannya dengan marga, maka partuturan lebih khas. Partuturan erat kaitannya dengan marga sekaligus dengan tarombo (silsilah), sebab melalui marga dan silsilah dapat ditarik hubungan kekerabatan yang berlaku. Universitas Sumatera Utara 26 Dasar fundamental hubungan sosial orang Batak Toba adalah marga. Didalam hubungan sosial, marga adalah unsur dasar yang menentukan hubungan sosial partuturan. Setelah saling memberitahukan marga, masing-masing mengingat latarbelakang silsilah. Latarbelakang silsilah antara lain tingkatan kedudukan dalam silsilah. Dengan cara ini dapat ditentukan referensi panggilan. Dengan mengetahui silsilah dari marga maka mudah untuk menyatakan bentuk hubungan dan terminologi panggilan satu sama lain. Demikian seterusnya sampai dapat menempatkan diri pada struktur Dalihan na tolu, sebagai hula-hula, boru, dongan tubu (Sinaga, 2013). Partuturan dalam adat Batak dapat dibagi tiga. Pertama adalah mardongan tubu yaitu hubungan antara sesama marga. Kedua disebut marboru yaitu hubungan kekerabatan terhadap marga yang mengawini wanita yang semarga dengan kita atau marga yang lahir dari wanita yang semarga degan kita. Ketiga adalah marhula-hula yaitu hubungan kekerabatan terhadap marga ibu kita, istri kita, marga ibu yang melahirkan ayah kita, dan marga ibu yang melahirkan kakek kita. 5. Martarombo Martarombo adalah mencari atau menentukan titik pertalian darah yang terdekat dalam rangka menentukan hubungan kekerabatan. Martarombo adalah salah satu komunikasi yang efisien dalam menjalin kekerabatan pada orang Batak. Martarombo dan martutur adalah sebagai dasar penentu posisi pada marga lain atau marga yang sama dan boleh dikatakan menjadi suatu tolak ukur bagi prinsip Universitas Sumatera Utara 27 Dalihan na tolu, karena martarombo adalah saling menanyai marga, Bila orang Batak berkenalan sesama orang Batak pertama kali, biasanya mereka saling tanya marga dan martarombo. Dengan Tarombo atau martutur suatu nilai budaya yang sangat mendasar dalam melestarikan tradisi, adat dan kekarabatan, berbicara dengan tarombo maka berbicara tentang Marga (Sinaga, 2013). Dengan mengetahui hubungan kekerabatan, maka dengan sendirinya dapat ditentukan kata sapaan yang akan digunakan. Sapaan yang digunakan bukan sapaan sehari-hari, melainkan berdasarkan dalam suasana ke-Batakan. Tarombo Batak adalah silsilah garis keturunan secara patrilineal dalam suku Batak. Sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat suku bangsa Batak untuk mengetahui silsilahnya agar mengetahui letak hubungan kekerabatan terkhusus dalam falsafah Dalihan na tolu. Kata sapaan atau panggilan kekerabatan berperan dalam menunjukkan hubungan kekerabatan. Salah atau sembarangan menggunakan sapaan dapat digolongkan sebagai orang yang tidak beradat dan dapat menimbulkan rasa antipasti terhadap dirinya. Sapaan sementara sebelum mengetahui hubungan kekerabatan antara dua orang adalah amang, inang, lae, eda, ito, dan ampara. 1. Sapaan terhadap sesama dongan tubu a. Amang adalah ayah kita, disapa dengan amang Inang adalah ibu kita, disapa dengan inang b. Amangtua adalah abang ayah kita, disapa amangtua Inangtua adalah istri abang ayah kita, disapa inangtua c. Amanguda adalah adik ayah kita, disapa amanguda Universitas Sumatera Utara 28 Inanguda adalah istri adik ayah kita, disapa inanguda d. Ampara adalah seseorang yang semarga dengan kita yang belum jelas hubungan sebagai abang, adik atau anak, maka disapa dengan sebutan ampara. 2. Sapaan terhadap kelompok boru a. Ito adalah saudara kita perempuan, anak perempuan dari namboru kita, ibu dari amangboru b. Namboru adalah saudara perempuan ayah kita, disapa namboru c. Amangboru adalah suami dari saudara perempuan ayah d. Bere adalah anak laki-laki dari saudara perempuan kita e. Ibebere adalah anak perempuan dan suami dari saudara kita perempuan. 3. Sapaan terhadap kelompok hula-hula a. Tulang adalah saudara laki-laki ibu kita Nantulang merupakan sebutan untuk istri tulang b. Eda adalah sapaan sesama perempuan, yaitu sapaan saudara perempuan kita terhadap isteri, dan sebaliknya. c. Ompung adalah orangtua ibu, yang disapa dengan ompung Universitas Sumatera Utara 29 C. MAHASISWA 1. Definisi Mahasiswa Secara harfiah, mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut, maupun akademi. Definisi mahasiswa menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia bahwa mahasiswa merupakan individu yang belajar di perguruan tinggi. Mahasiswa dalam perkembangannya berada pada kategori remaja akhir yang berada dalam rentang usia 18-21 tahun (Monks dkk, 2001). 2. Definisi mahasiswa Batak toba Mahasiswa batak toba adalah individu yang belajar di Perguruan tinggi baik di Universitas, Institut, maupun Akademi yang berada pada rentang usia 1821 yang bersuku Batak Toba serta kedua orangtuanya juga bersuku Batak Toba. Universitas Sumatera Utara 30 D. GAMBARAN SIKAP MAHASISWA BATAK TOBA TERHADAP DALIHAN NA TOLU Perkembangan globalisasi menyebabkan perubahan baik segi perekonomian, sosial dan juga budaya. Salah satu perubahan tersebut adalah pada kebudayaan. Ketidakmampuan mempertahankan budaya dasar membuat kaum muda mengadopsi kebudayaan lain (Novianto, 2008). Hal ini yang mungkin terjadi pada kaum muda Batak, karena perubahan tersebut bisa menyebabkan kaum muda tidak mengetahui konsep budaya asalnya. Konsep budaya asal dapat berupa sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan berfungsi untuk membangun ikatan antar individu. Dalam budaya Batak sistem kekerabatan ini dinamakan Dalihan na tolu. Dalihan na tolu merupakan sistem kekerabatan yang menggambarkan konsep kebudayaan Batak Toba yang terdiri dari 3 unsur yaitu hula-hula, boru dan dongan tubu (Siahaan, 1982). Dalihan na tolu yang merupakan salah satu contoh kearifan lokal yang memiliki sifat relatif dan bisa berubah, maka hal ini menyebabkan diperlukannya informasi untuk mengetahui penilaian, pemaknaan mengenai Dalihan na tolu oleh kaum muda Batak Toba agar perubahan tersebut tidak diarahkan pada perubahan negatif dan tetap dijadikan pegangan dalam mengatur kehidupan masyarakat Batak (Damanik, 2006). Perilaku mahasiswa yang tidak menggunakan bahasa Batak, martutur, martarombo dipengaruhi oleh berbagai hal. Psikolog sosial menyatakan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh sikap. Dari segi psikologis dikatakan bahwa tingkah laku seseorang merupakan fungsi dari cara dia memandang. Sehingga Universitas Sumatera Utara 31 dengan mengetahui gambaran sikap dapat diketahui bagaimana seseorang memandang Dalihan na tolu. Dengan mengetahui bagaimana seseorang memandang Dalihan na tolu, maka diketahui mengapa dia berperilaku demikian. Sikap (attitude) adalah suatu bentuk evaluasi seseorang untuk bereaksi secara positif maupun negatif terhadap objek tertentu yang dibentuk dari interaksi antara komponen kognitif, afektif, dan konatif / perilaku. sikap terdiri dari 3 komponen yaitu komponen kognitif, afektif dan juga konatif. Komponen kognitif didasarkan pada pengalaman sebelumnya mengenai Dalihan na tolu, sedangkan afektif lebih kepada ekspresi emosi/perasaan terhadap Dalihan na tolu kompoen konatif yaitu kecenderungan untuk bertindak. Ketika individu memiliki evaluasi negatif yang ditunjukkan dengan penilaian yang negatif yang ditunjukkan dengan ketidaktahuan dan tidak ada pengalaman terhadap Dalihan na tolu dan sebaliknya, sedangkan individu dikatakan memiliki persepsi positif ketika adanya evaluasi yang positif berdasarkan pengetahuan individu, serta adanya pengalaman individu terhadap Dalihan na tolu. Universitas Sumatera Utara 32 Kerangka Berpikir Globalisasi Budaya Dalihan Na Tolu Local Wisdom Mahasiswa tidak bisa berbahasa Batak Mahasiswa tidak mengetahui partuturan Mahasiswa tidak mengetahui silsilah/tarombo MEMUDAR/BAHKAN HILANG Sikap terhadap Dalihan na tolu Universitas Sumatera Utara