hegemoni dari atas panggung seni tradisi

advertisement
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI
Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Oleh:
Vini Oktaviani Hendayani
116322013
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN JUDUL
HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI
Tesis
Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh:
Vini Oktaviani Hendayani
116322013
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2016
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
•
PERSETUJUAN
Ii
Ii."
Tesis
/
,
HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI
Oleh:
26 Februari 2016
II
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PENGESAHAN
Tesis
HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI
Oleh:
Vini Oktaviani Hendayani
NIM: 116322013
·'
Ketua
Sekretaris
Anggota
karta,
III
.#...E~~n.....2016
•
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
•
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang Bertanda tangan di bawah ini,
Nama
NIM
Program
Universitas
I'
: Vini Oktaviani Hendayani
: 116322013
: Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
: Sanata Dharma
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis:
Iudul
: HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI
Pembimbing
: Dr. Katrin Bandel
Tanggal diuji
: 26 Ianuari 2016
"
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam tesis/karya tulis/makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan
orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam rangkaian kalimat atau simbol
yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis
aslinya.
Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain
seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Program Pascasarjana
Ilmu Religi dan Budaya Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta,
termasuk pencabutan gelar Master Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.
Yogyakarta, 26 Februari 2016
Vini Oktaviani Hendayani
111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
•
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLlKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Sanata Dharma
Nama
: Vini Oktaviani Hendayani
NIM
: 116322013
Program
: Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Demi
keperluan
pengembangan
ilmu
pengetahuan,
saya
memberikan
kepada
perpustakaan
Universitas Sanata Dharma Y ogyakarya karya ilmiah yang berjudul:
HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI:
"
Beserta
perangkat
yang
diperlukan
(bila
ada),
Dengan
demikian
saya
memberikan
kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media
lain,
mengelolanya
mempublikasikannya
dalam
bentuk
pangkalan
data,
mendistribusikan
secara
terbatas,
dan
di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta
izin kepada saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Dibuat di
: Yogyakarta
Tanggal
: 26 Februari 2016
Vini Oktaviani Hendayani
IV
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Setelah selesainya penulisan tesis ini, ada perasaan lega sekaligus sedih,
yang muncul secara bersamaan dalam diri saya. Lahirnya tesis ini selayaknya
lahirnya anak yang selama ini saya idamkan. Janin tesis ini, berkali-kali gugur,
karena ketidaksiapan saya sebagai seorang ibu, yang tidak jua belum mampu
memenuhi diri dengan berbagai vitamin berupa asupan keilmuan yang cukup.
Setelah sekian lama berproses, pada akhirnya tesis ini selesai juga dituliskan. Saya
harus mengakui bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan, terutama di
wilayah analisis. Namun secara sadar pula saya merasa memiliki kewajiban pada
diri sendiri, untuk tidak menghentikan proses belajar saya hanya sampai di atas
meja ujian saja.
Bukan hal yang mudah memang membicarakan kethoprak dari sisi sosial
politik. Walaupun, masyarakat umum sudah mafhum mengenai tema-tema cerita
kethoprak, yang tidak pernah jauh dari semesta pembicaraan mengenai kekuasaan
dan masyarakat. Terlebih lagi, menarik pembicaraan mengenai kethoprak dalam
konteks sosial politik di wilayah Yogyakarta pada khususnya. Berbekal kacamata
yang dipinjam dari Antonio Gramsci, tesis ini mencoba menghadirkan kethoprak
melalui sudut pandang yang berbeda. Tidak lagi terpaku pada pembicaraan
mengenai muatan estetika semata. Namun juga membahas mengenai praktek tarik
menarik kepentingan politis yang hadir secara estetis di muka khalayak
penontonnya.
Untuk kesemua proses yang luar biasa ini, saya tidak dapat menahan diri
untuk mengucapkan kata terima kasih pada mbak Katrin Bandel. Beliau dengan
sabar membantu dan memberikan saya kebebasan untuk menentukan arah
penulisan tesis dengan menyenangkan. Terima kasih juga pada bapak ST. Sunardi,
yang mendorong rasa penasaran saya untuk datang dan belajar di IRB. Beliau
banyak membantu saya untuk lebih melek wacana dan fenomena, bukan sekedar
paham, namun juga menggelisahkannya. Terima kasih pada Romo G. Budi
Subanar, beliau selayaknya ayah yang baik, yang selalu mendukung dan
mengayomi kami dengan segala kebaikannya. Terima kasih pada Romo Benny
Hari Juliawan, yang pada awal penulisan tesis, selalu memberikan masukan yang
asyik dan amat berarti. Terima kasih pada bapak Prof. A. Supratiknya, untuk
semua keramahan dan dukungan selama masa belajar saya di Pascasarjana ini.
Selanjutnya, terima kasih banyak untuk mbak Desy. Tanpa campur tangan beliau,
semua proses pembelajaran saya selama di IRB, tidak akan sebaik dan selancar
ini. Terima kasih pada mbak Dita, karena telah mendukung dan memberi
kesempatan saya untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan di Pascasarjana. Saya juga
berterima kasih pada mas Mulyadi. Sosok yang selalu dapat menularkan
semangat, melalui sapaan dan laku kerjanya.
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lantas saya merasa wajib mengucapkan terima kasih secara khusus pada
saudara-saudara yang saya dapatkan di IRB. Salah satu alasan saya menyelesaikan
tesis ini adalah karena mereka. Mereka lah yang telah membuat saya kembali
tegak berdiri, setelah keterpurukan yang panjang, karena dilempari masalah yang
bertubi-tubi selama penulisan tesis ini berlangsung. Terima kasih pada Wahmuji,
manusia dengan kesabaran, pengertian dan kebaikan luar biasa. Siuss, terima
kasih untuk selalu dapat menampung keluh kesah yang berkepanjangan dengan
cara yang berbeda. Zuhdi dan mbak Laksmi, terima kasih telah menjadi kakak
yang terus menyemangati adiknya ini. Lisis, terima kasih untuk empati dan
dukungannya yang menyentuh. Anto, terima kasih bro untuk semangat dan
dukungannya. Fafa, terima kasih untuk obrolan-obrolan yang menyenangkan
selama ini. Mbak Ekaningrum, terima kasih atas suntikan semangat yang tidak
pernah putus. Mbak Puji dan mas Harry, terima kasih yang terdalam atas rasa
sayang dan perhatian kalian. Pak Eko, terima kasih atas dukungan yang khas
darimu. Vidya, terima kasih untuk terus menjagaku dengan caramu. Sugi, terima
kasih atas doa khusus yang selalu dikirimkan dari jauh. Terima kasih untuk
kawan-kawan di Prodi Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma,
Lembaga Anak Wayang Indonesia, Kelompok Pencinta Sains dan Ilmu
Pengetahuan (KLETHING), Filsafat UGM angkatan 1998 dan banyak kawan lain
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Terima kasih untuk simbahku terkasih, Kapsah. Terima kasih karena tetap
menerima si pemberontak ini dengan baik. Terima kasih kepada Alm Bapak dan
Alm Ibu, saya sangat tahu bahwa njenengan berdua selalu menemani dalam diam.
Beristirahatlah dengan tenang. Terima kasih kepada kakak dan adikku tercinta,
Yosep dan Ratna. Kita akan selalu saling menjaga. Terima kasih juga pada para
ipar, mbak Novi dan Gagat, atas segala doanya. Terima kasih pada krucil-krucilku
tercinta: Nanda, Aisha, Prabu, Hafidz dan Malika. Kalian sumber semangat tante.
Dan untuk Arham Rahman, lelaki istimewa, yang bersamanya saya belajar banyak
hal. Terutama untuk mengenali siapa sesungguhnya saya ini. Terima kasih telah
menemani sejauh ini. Mari terus belajar.
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK
Gelombang kapitalisme yang masuk melalui globalisasi di setiap negara,
berimbas pula pada Indonesia. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara pelaku
ekonomi dunia, mau tidak mau mengikutsertakan hampir sebagian besar asetnya,
ke dalam pertaruhan ekonomi global. Dengan dicanangkannya Program seperti
Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebagai
program pembangunan ekonomi nasional, pada akhirnya “mewajibkan” semua
pihak di tingkat lokal untuk ikut nyukseskannya. MP3EI sebagai program
berskala global-nasional, amat berpengaruh pada kondisi sosial, politik dan
ekonomi di tingkat lokal. Seperti halnya di Yogyakarta. Setelah pengesahan
Undang-undang Keistimewaan pada tahun 2012, Kasultanan/ Pakualaman
menyandang status Badan Hukum Warisan Budaya yang bersifat swasta. Status
tersebut, menjadikan keduanya dapat ikut serta dalam lintas ekonomi nasionalglobal. Hal tersebut berdampak pada kondisi wilayah dan masyarakatnya.
Globalisasi dan kapitalisme tidak hanya melakukan ekspansi ke ruang
sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Akan tetapi juga merambah ruang
lainnya. Tidak terkecuali kebudayaan, khususnya pada ruang kesenian. Sastra,
teater, dan juga kesenian tradisional, seperti kethoprak mendapatkan banyak
peluang, sekaligus tantangan dari globalisasi. Tantangan dan peluang yang hadir
tidak selalu sama, namun masuk dalam bentuk kepentingan yang berbeda. Lakon
Magersari dan Ledhek Bariyem sebagai 2 (dua) dari sekian banyak kesenian
tradional, pada penelitian ini diselidiki hubungannya dengan kepentingan global.
Untuk melihat mekanisme penetrasi global di ranah lokal, khususnya melalui
kedua lakon tersebut, digunakanlah teori hegemoni dari Antonio Gramsci. Teori
ini digunakan sebagai kacamata analisis guna mencari tahu mengenai konteks
yang melatarbelakangi kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, serta
melihat sejauh mana hegemoni bekerja dari atas panggung pertunjukan kedua
lakon itu.
Pada tahap selanjutnya, penelitian ini menemukan adanya peristiwa tarik
menarik menarik antara kepentingan global-lokal, melalui lakon-lakon tersebut.
Semisal pada lakon Magersari, yang menjadi bagian dari gerakan perjuangan
keistimewaan Yogyakarta. Polemik muncul seiring dengan penetapan status
keistimewaan Yogyakarta. Terutama kala Kasultanan dan Pakualaman
mengaktifkan kembali Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918. Sedangkan pada
lakon Ledhek Bariyem, nada kritis terhadap moral dari sosok pemimpin, masih
kental didapatkan dari lakon ini. Ledhek Bariyem belum menyentuh permasalahan
mendasar mengenai sistem pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan
rakyat. Dalam penelitian ini, didapati bahwa, kepentingan global, secara taktis
masuk dalam kerangka gerakan kesenian tradisional. Hegemoni dominan hadir
dari atas panggung pertunjukan. Para inteletual tradisional bekerja membentuk
blok hitoris, kesadaran dan konsensus, melalui pertunjukan lakon Magersari dan
Ledhek Bariyem. Pemberlakuan program ekonomi dan sistem pemerintahan tidak
lagi dijadikan fokus kritik. Alih-alih mendukung untuk memperjuangkan kondisi
sosial masyarakatnya, keduanya terkesan lebih fokus pada masalah moral-parsial,
yang pada titik selanjutnya lebih mengarah pada keuntungan pihak-pihak di
tingkat global.
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT
The growth of capitalism that goes through globalization in each country
has affected Indonesia as well. The position of Indonesia as a world scale
economic actor has inevitably to put its asset to the stake of global economy. With
the introduction of programs such as the Master Plan for the Acceleration and
Expansion of Indonesian Economic Growth (MP3EI), a program of national
economic development that has in turn obliged all parties at the local level to
participate in succeeding the program. MP3EI as global - scale national program,
is very influential on the social, political and even to the local economic level. As
we can see in Yogyakarta, after the legalization of the law on Yogyakarta’s
special status in 2012, the Sultanate/Pakualaman has got the status of Cultural
Heritage Law Firm which mean private. This status has put both institutions into
national-global economy. It has affected the condition of space and its people.
Globalization and capitalism have expanded into many spaces, not only
limited to social, political and economic space. They have also expanded into the
space of culture, mainly on art, such as visual art, literature, theatre and even to
the traditional art, such as Ketoprak, that has its threat and chance from
globalization. The Magersari and the Ledhek Bariyem play are two out of many
created traditional art. This research investigates the relation of the two plays with
the global interest. In order to see the mechanism of global penetration in the local
scale, especially through the two plays, I employ Gramsci’s theory of Hegemony.
This theory is used as an analysis tool to investigate the context, the background
of Magersari and the Ledhek Bariyem play. It is also used to see the mechanism
of Hegemony operated on stage of the two plays.
On the next step, this research has discovered that on the characterization
of the characters of the plays, the power of global and local has pulled it each
other. It, for instance, can be found on a character, in Magersari, who struggle for
the legalization of the law on Yogyakarta’s special status. The dynamics is
affected by the polemic, mainly when Sultanate and Pakualaman have reactivated
Rijskblad No. 16 and No. 18/ 1918. While on the Ledhek Bariyem, critical
statement is addressed to the figure of moralistic leader. Ledhek Bariyem hasn’t
reached the basic problem of the government system and its relation to the interest
of the people. The research has found that global interests have tactically
penetrated to the frame of traditional art movement. The dominant hegemony has
existed on stage. The traditional intellectual has worked to build their historical
bloc, awareness and consensus through the plays, Magersari and Ledhek Bariyem.
The implementation of economic program and certain government system is no
longer the target of criticism. Instead of supporting the social condition of the
people, both of the plays tend to focus on moral-partial matter, which on the next
step tend to be on the benefit of the global interest.
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
Contents
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i
PERSETUJUAN................................................................................................................. ii
PENGESAHAN.................................................................................................................iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS................................................................................ iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS .......................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vi
ABSTRAK.......................................................................................................................viii
ABSTRACT....................................................................................................................... ix
DAFTAR ISI....................................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 1
A.
Kethoprak: Lakon yang di-lakon-kan di ruang pe-lakon-an. .................................. 1
B.
Tema ..................................................................................................................... 11
C.
Rumusan masalah ................................................................................................. 11
D.
Tujuan penelitian .................................................................................................. 11
E.
Pentingnya Penelitian............................................................................................ 12
F.
Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teoritis .............................................................. 12
F.1. Tinjauan Pustaka................................................................................................ 12
F.2. Kerangka Teoretis.............................................................................................. 18
G.
Metode Penelitian ................................................................................................. 36
G.1.
Lokasi penelitian........................................................................................... 36
G.2. Kelompok Sasaran ............................................................................................ 37
G.3. Jumlah yang akan diteliti .................................................................................. 37
G.4. Sumber Data...................................................................................................... 37
G.5. Teknik Pengumpulan Data................................................................................ 38
H. Skema Penulisan ...................................................................................................... 39
Bab II SENI PASCA-REFORMASI, SENI YANG MENCARI POSISI........................ 41
A.
Pengantar............................................................................................................... 41
B. Reformasi: Musuh bersama, Ke mana Perginya?..................................................... 45
C. Sastra Geliat yang Tak Berkesudahan...................................................................... 52
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C.1. Era Baru, Harapan Baru?................................................................................... 52
C. 2. Identitas dalam Pasar........................................................................................ 55
C. 3. Perlawanan terhadap Pusat Sastra .................................................................... 59
D. Memanggungkan Peristiwa dalam Teater................................................................ 63
D. 1. Pasca Reformasi, Teater yang terus Mencari ................................................... 63
D.2. Representasi isu dalam Teater Lokal ................................................................ 65
E. Kethoprak, dari Hiburan ke Gerakan yang Berserak................................................ 70
E. 1. Kethoprak Bukan Sekedar Klangenan.............................................................. 70
E. 2. Kethoprak, antara Bertahan dan Melawan........................................................ 75
F. Kesimpulan............................................................................................................... 82
BAB III KETHOPRAK YANG BERBICARA (BUKAN) DI PANGGUNG POLITIK. 86
A.
Pengantar............................................................................................................... 86
B.
Negosiasi Kethoprak Garapan .............................................................................. 87
C.
Mari Menonton melalui Lakon ............................................................................. 97
C.1. Magersari: Tanah, Rakyat dan Politik Kekuasaan............................................ 98
C.2. Ledhek Bariyem: Mencecap Seram dalam Konflik Kekuasaan....................... 109
D.
Lakon Kethoprak di Mata Mereka ...................................................................... 126
D.1. Guyub Rukun Paseduluran ............................................................................. 129
D.2. Politik Kekuasaan dalam Kethoprak............................................................... 134
D.3. Imaji Pemimpin Idaman.................................................................................. 139
D.4. Nguri-uri Kabudayan di antara Riuhnya Globalisasi...................................... 144
D.5. Dilema Pergerakan dalam Seni Tradisi........................................................... 149
E.
Kesimpulan ..................................................................................................... 157
BAB IV Hegemoni Di Ranah Seni Tradisi..................................................................... 161
A.
Pengantar............................................................................................................. 161
B.
Seni Kethoprak sebagai Laku Politik.................................................................. 162
C.
Pembentukan Blok Historis di Atas Panggung ................................................... 166
C.1. Guyub Rukun Demi Siapa?............................................................................. 168
C.2. Moral Pemimpin Sebagai Fokus Pembicaraan................................................ 175
C.3. Magersari, Kepentingan Global dalam Artikulasi Lokal ................................ 180
D.
Intelektual Tradisional dari Ranah Tradisional................................................... 190
E.
Konsensus Hegemoni di Ruang Seni Tradisi...................................................... 195
F.
Hegemoni Tandingan: (Potensi) Bangkit dari Keterjerembaban ........................ 205
BAB V KESIMPULAN................................................................................................. 213
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 217
Lampiran 1 .......................................................................................................................xiii
M a g e r s a r i .................................................................................................................xiii
Lampiran 2 .................................................................................................................... xxxii
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Kethoprak: Lakon yang di-lakon-kan di ruang pe-lakon-an.
Ruang yang berukuran hampir seluas lapangan bola itu disesaki oleh
banyak orang. Ruang pertunjukan yang biasanya hanya terisi setengahnya, kali itu
dipenuhi sesak. Semua bangku sudah terpakai. Sisa penonton lainnya, yang tetap
berkeinginan untuk menonton, harus rela duduk melantai
tepat di depan
panggung, ataupun duduk di tangga, di antara kursi-kursi yang telah terisi. Jujur
saja, saya belum pernah melihat antusiasme setinggi ini, terutama untuk tontonan
berformat seni tradisi. Saya tidak bermaksud mengecilkan seni tradisi, akan tetapi
sepanjang pengalaman saya menonton pertunjukan seni, terutama seni tradisi,
baru malam itu saya menemui peristiwa semacam itu. Peristiwa yang melahirkan
keheranan. Keheranan yang menyenangkan tentunya. Antusiasme saya malam itu,
mungkin dirasakan juga oleh penonton lainnya, antusiasme terhadap kerinduan
terhadap pertunjukan yang lahir dari masa lalu. Sebuah romatisme pada
pertunjukan kethoprak.
Kethoprak. Bukan kata yang asing bagi telinga orang Jawa (yang
dimaksud- etnis Jawa). Ya. Untuk orang Jawa. Mengapa? Karena kethoprak yang
merupakan salah satu seni pertunjukan itu memang lahir dari rahim tradisi Jawa.
Secara personal, persentuhan saya dengan kethoprak dapat dikatakan sangat dini.
Sebagai seorang anak yang juga lahir dari seorang ibu dari suku Jawa, dan pernah
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tinggal (walau sebentar) di salah satu wilayah di Jawa Tengah, saya sempat
menikmati beberapa jenis kesenian masyarakat Jawa.
Jagat ingatan kanak-kanak saya menyimpan beberapa hal itu secara kuat
dan apik, namun kadang juga samar. Dulu semasa saya kecil, saya sempat tinggal
di rumah simbah. Selama tinggal bersama simbah, saya memiliki kebiasaan yang
terjadwal, yaitu selalu menunggu malam minggu datang dan menonton acara
televisi yang cukup digandrungi di masa itu. Acara televisi “Kethoprak
Sayembara”, yang rutin ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI)
Semarang. Dapat dikatakan acara itu adalah acara favorit saya. Bagaimana tidak?
Pada malam hari (saat kethoprak sayembara tayang) biasanya saya sudah jatuh
tertidur, karena kelelahan setelah seharian bermain. Akan tetapi, saya selalu
wanti-wanti (berpesan) pada simbah atau pun ibu, untuk membangunkan saya,
bila acara tersebut sudah mulai tayang. Dengan rasa kantuk yang amat sangat, dan
kelopak mata yang terasa berat untuk dibuka, saya akan memaksakan diri untuk
tetap duduk di depan layar televisi, agar episode pada kali itu tidak terlewati
begitu saja.
Kegandrungan saya terhadap kethoprak bukan tanpa alasan. Bahkan saya
yakin, kegandrungan ini tidak hanya menjangkiti diri saya sendiri, akan tetapi juga
terjadi pada banyak orang. Sebagai satu-satunya stasiun televisi yang tayang pada
masa itu (pertengahan tahun 1980an), TVRI menjadi patron tontonan bagi
masyarakat Indonesia. Begitu pun dengan masyarakat di daerah-daerah tertentu.
TVRI pusat yang kemudian direlay melalui TVRI daerah, menghadirkan tontonan
khas
daerahnya masing-masing. Seperti
2
halnya
TVRI Semarang
yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menayangkan acara “Kethoprak Sayembara” pada setiap Sabtu malam. Selain
belum ada pilihan tontonan lain, sebagai orang Jawa, saya memang menyukai
keseruan ceritanya.
Pada saat menonton, saya dapat terpaku dan terkagum-kagum pada para
tokoh utama yang (biasanya digambarkan) berwatak baik dan ksatria. Begitu pula
sebaliknya, saya bisa begitu benci dan geram, terhadap kelakukan para penjahat
atau pengkhianat yang lihai dan lancar melakukan aksinya. Saya sering dibuat
berdebar-debar, saat melihat para telik sandi beraksi secara cerdas namun
tersembunyi, agar keberadaanya tidak diketahui oleh pihak lawan. Di saat lainnya,
saya dapat ber-euforia terhadap kemenangan para pahlawan yang berjaya setelah
melawan segala bentuk kejahatan, konflik dan intrik yang ditemuinya. Impresi itu
melekat begitu kuat dalam ingatan visual saya terhadap kethoprak. Memang harus
diakui bahwa pada saat itu, saya belum sepenuhnya paham mengenai pokok
masalah yang dibicarakan dalam pertunjukan kethoprak tersebut. Saya hanya
menikmati keseruannya di tiap adegannya, tidak lebih. Semua bersifat parsial,
bukan pemahaman yang menyeluruh.
Semakin dewasa, pengalaman saya dalam menonton kethoprak semakin
bertambah. Pemaknaan yang saya dapatkan pun semakin bertumbuh. Tidak lagi
sebatas menikmati sensasi yang parsial. Saya menikmatinya beriringan dengan
munculnya pertanyaan-pertanyaan mengenai apa-apa saja yang disajikan di dalam
tontonan. Pertanyaan-pertanyaan yang menyeruak dan sedikit menganggu.
Pertanyan-pertanyaan itu tidak muncul secara tiba-tiba, akan tetapi jelas dipantik
oleh tema yang diusung secara baik dalam pertunjukan kethoprak. Tema di
3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seputaran permasalahan konflik, intrik dan kontestasi politik dan kekuasaan,
sangat kental hadir dan tersaji dalam dialog maupun adegan dalam kethoprak.
Politik dan kekuasaan, memang bukan tema usang yang terus menerus hadir,
hampir sama dengan realitas yang hidup di dalam masyarakat kita. Kita bahkan
dapat mengatakan bahwa para seniman kethoprak selalu berusaha memotret
kondisi nyata masyarakat, bahkan juga negara, lantas kemudian diwujudkan
kembali dalam bentuk yang khas kethoprak. Kethoprak hadir tidak hanya sebagai
tontonan biasa, dan menghasilkan pengalaman menonton yang juga tidak biasa.
Perjumpaan dengan tontonan semacam kethoprak membawa pengalaman
khusus bagi saya, juga bagi masyarakat Jawa pada umumnya. Kethoprak bukan
sekedar tontonan, akan tetapi juga tuntunan dalam praktek hidup masyarakat
Jawa. Pelajaran mengenai nilai moral tidak hanya disebarkan melalui tata aturan
dalam lisan maupun tulisan, akan tetapi juga dihidupkan melalui lakon-lakon yang
di-lakon-kan dalam pertunjukan kesenian, salah satunya kethoprak. Mengutip
Budi Susanto SJ, yang mengatakan bahwa kethoprak tidaklah sekedar membantu
rakyat untuk “membaca” kata-kata yang terlihat (melalui dialog yang dituturkan),
akan tetapi juga mengajak mereka untuk ikut “menuliskan” bahasa-atau lebih
tepatnya budi bahasa, sebagai mekanisme untuk berkomunikasi tentang beberapa
kebenaran dari dunia ini; adalah lebih baik untuk memperhatikan bahasa sebagai
yang memudahkan, mencontohkan atau menyinggung sesuatu yang sesungguhnya
tidak mudah untuk dijelaskan.1
Kethoprak menjadi media untuk mentransfer
1
Budi Susanto SJ, Kethoprak: Politik Masa lalu untuk Masyarakat Jawa Masa Kini, Kanisiuslembaga Studi Realino, Yogyakarta, 1997, hal. 53
4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
substansi mengenai sesuatu, kemudian dikemas dalam format kultural yang
estetis.
Pada masa lalu, masyarakat nusantara (Indonesia) adalah masyarakat
dengan budaya bertutur yang kuat, sehingga pertunjukan yang dilakonkan lebih
menekankan pada cara-cara penyampaian lisan. Sri Paduka Mangkunegara VII
dari Surakarta menyebut pertunjukan yang dilakonkan ini sebagai sandiwara.
Sandiwara merupakan gabungan kata dari sandi dan wara. Sandi berarti bahasa
rahasia yang menggunakan lambang tertentu, sedangkan wara memiliki arti
pengajaran. Melalui sandi atau bahasa perlambanglah pengajaran disampaikan.2
Pengajaran mengenai kehidupan, berupa moral, budi pekerti dan hal-hal penting
lainnya. Ada anjuran atau sesuatu yang disampaikan melalui pertunjukan. Bukan
sekedar tontonan atau hiburan.
Di dalam sandiwara tradisional ini, unsur kebersamaan, terutama antara
penonton dan pemain jauh lebih diutamakan. Tiada sekat di antara mereka.
Misalnya saja, pada masa dulu belum dikenal adanya konsep panggung. Penonton
biasanya duduk melingkari tempat pertunjukan, atau bahkan tempat pertunjukan
adalah juga tempat dimana para penonton berada. Tidak ada area khusus. Para
pemain duduk menyebar. Begitu pula posisi penonton. Interaksi antara penonton
dan pemain sangat cair. Penonoton bisa dapat ikut berdialog dengan para pemain.
Tidak ada batas, namun tetap tertib. Semua mengetahui aturan, tanpa ada
peraturan ketat yang tertulis. Konsep semacam ini dikenal dengan Desa-KalaPatra, yaitu penyelarasan diri dengan tempat, waktu dan juga keadaan.
2
Harymawan, 1988,Dramaturgi, Bandung: Rosda, hal. 2-3
5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Seni pertunjukan ini, oleh sebagian orang digolongkan ke dalam seni
tradisi, dan sebagian lainnya memasukannya dalam kelompok seni rakyat. Belum
ada kesepakatan yang pasti mengenai golongan yang (semestinya) dimasuki oleh
kethoprak. Namun tidak ada yang mempermasalahkannya, bila kethoprak
dimasukan dalam kedua golongan itu. Karena kethoprak memang lahir dari tradisi
dan kehidupan rakyat Jawa sehari-hari. Kethoprak mempertontonkan kehidupan
yang tak berbeda jauh dari kehidupan para penontonnya. Tiada sekat pemahaman
antara penonton dan yang ditonton dalam kethoprak. Kethoprak adalah potret
sejarah dan kondisi kekinian rakyat. Semuanya hadir selayaknya peristiwa yang
terjadi di ruang tamu, di dapur, di gang depan rumah atau tempat-tempat publik
yang kita kenal dengan baik. Kondisi masyarakat diperlihatkan secara sederhana
melalui pertunjukan ini.
Kethoprak lahir sekitar akhir tahun 1920-an, dipengaruhi oleh popularitas
seni drama Barat (tonil), dan banyak meminjam unsur-unsur wayang demi tujuan
dan kepentingannya sendiri.3 Kesenian ini hadir dengan cerita keseharian yang
sederhana. Belum dipertujukan secara serius di depan khalayak ramai. Kethoprak
pada awalnya menggunakan lesung, yang biasa digunakan oleh para wanita untuk
menumbuk padi. Bila bulan purnama datang, semua orang orang akan sangat
gembira menyambutnya. Itulah saat di mana semua orang akan keluar dari rumah,
berkumpul di tempat yang lapang, bertemu, berbincang, menikmati cahaya bulan
dan menikmati hiburan khas kampung mereka. Kesenian ini mampu
mengumpulkan banyak orang di satu tempat dan waktu tertentu. Acara tabuh
3
Budi Susanto SJ, 1997, hal. 11
6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lesung biasanya menjadi ajang kumpul rutin para penduduk desa, terutama pada
saat bulan purnama.
Persoalan- persoalan hidup dari yang serius, hingga yang ringan hadir
berjejal secara mulus dalam pertunjukan ini. Masyarakat Jawa pada khususnya,
membicarakan anyak hal yang mereka hadapi, salah satunya melalui kesenian
kethoprak. Kegelisahan yang hadir sebagai keseharian, diarahka menjadi proses
refleksi, pembelajaran, atau bahkan hanya jadi sekedar bahan tertawaan. Misalnya
saja menertawankan kekuasaan. Menertawakan kekuasaan dalam “pakaian” seni
pertunjukan kethoprak memang bukan hal baru. Para seniman kethoprak, sesekali
berupaya untuk menciptakan ruang pementasan kesenian ini sebagai ruang publik.
Ruang publik yang memungkinkan rakyat untuk ikut mengkritik dengan sajian
estetika tertentu. Kritik disampaikan memalui sentilan-sentilan genit, obrolan
selayaknya bersama. Kritik atas kegelisahan terhadap hubungan kekuasaan yang
hadir dalam kehidupan sehari-hari, mengantarkan kethoprak masuk dalam ranah
pembahasan yang jauh lebih politis. 4
Beberapa pertunjukan kethoprak, memang sarat pesan politis. Cerita-cerita
sejarah kerajaan, kepahlawanan dan cerita yang diangkat berdasar isu yang
kontekstual pun, memuat pesan-pesan politik tertentu. Pada jaman pendudukan
Jepang misalnya. Pada tahun 1942-1945, kethoprak digunakan sebagai salah satu
alat propaganda militer. Dalam bukunya yang berjudul Kethoprak: Politik Masa
lalu untuk Masyarakat Jawa Masa Kini, Budi Susanto SJ menyinggung soal
keberadaan kethoprak di jaman pendudukan Jepang. Ia menjelaskan bahwa
4
G. Subanar SJ, dalam makalah yang berjudul Sebuah Geliat dalam Dunia Ketoprak Jaman ini:
Makna Simbol dan Fungsi Seni Pertunjukan di Tengah Perubahan Jaman.
7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pasukan bangsa Jepang yang saat itu datang sebagai saudara tua bagi rakyat
Indonesia, ingin memperoleh kepercayaan rakyat Indonesia, melalui berbagai
mekanisme. Salah satunya melalui kethoprak. Dari tontonan inilah, nasionalisme
rakyat Indonesia dibangkitkan. Guna melawan Sekutu dan para elite Priyayi Jawa
yang mendukung serta pernah menjadi perpanjangan tangan Kolonial Belanda. 5
Tidak hanya sebatas pada jaman penjajahan Jepang dan Belanda, bahkan
pada masa setelah kemerdekaan negara ini, kethoprak masih selalu ambil bagian
dalam pembicaraan seputaran politik dan kekuasaan. Kethoprak selalu hidup di
tiap zamannya, dan terus menerus mereproduksi pandangan politiknya. Menilik
hal tersebut, saya ingin sekali melakukan penelitian lebih mendalam, mengenai
muatan politik yang dibawa dalam pertunjukan kethoprak. Muatan yang kadang
secara eksplisit ditampilkan, atau kadang juga sebaliknya. Terutama kethoprak
yang hadir dengan masalah politik kekuasaan di wilayah Yogyakarta.
Sekian banyak jejak pengalaman kesenian dalam ranah sosial, terekam
dalam berbagai literatur. Sedari dulu kita bisa melihat bahwa kesenian selalu
mengambil peran di dalam banyak sektor kehidupan manusia. Begitupun
kethoprak. Kethoprak mengambil peranan penting dalam lingkup kehidupan
negeri ini. Pada awal kehadirannya, kethoprak tidak nampak sebagai bagian dari
perlawanan terhadap penjajah pada masa kolonial. Namun secara perlahan dan
pasti, kethoprak hadir untuk melakukan fungsi untuk mengorbarkan semangat
perlawanan, melalui cerita-cerita kepahlawanan masyarakat Jawa di masa lalu.
5
Budi Susanto SJ, 1997, hal. 31
8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pada masa kemerdekaan hingga Orde Baru, saat kesenian seperti sastra,
musik, tari dan teater mulai menemukan ruang berekspresi yang lebih leluasa,
kethoprak juga aktif untuk mengambil posisi. Namun di kala cabang-cabang
kesenian tadi hadir dengan kritik sosial, maka mereka akan berhadapan dengan
represi politik dan militer (pada masa Orde Lama dan Orde Baru). Berbeda
dengan yang dihadapi para seniman kethoprak. Mereka seakan tidak masuk dalam
radar pengawasan yang terlampau ketat dari penguasa. Mengapa? karena
kethoprak sebagai salah satu kesenian tradisi yang akrab dengan masyarakat
(khususnya etnis Jawa), kerap dipentaskan sebagai agenda penyebaran doktrin
rejim penguasa. Lantas bagaimana dengan kethoprak selepas bebas dari jeratan
Orde Baru?
Pada titik inilah, kethoprak menjadi sangat menarik untuk diteliti. Bila
sedarai dulu kita mendapati bahwa kethoprak menggunakan dirinya sebagai
senjata sosial rakyat, apakah itu juga berlaku pada hari ini? untuk melihat hal
tersebut, saya hendak menyoroti 2 produksi kethoprak, yang dipentaskan pada
pasca reformasi. Pertama, kethoprak dengan judul Magersari. Sedangkan
kethoprak yang kedua, berjudul Ledhek Bariyem.
Ke-hampir-samaan kedua pertunjukan itu adalah respon terhadap peristiwa
penting dalam kontelasi politik di kota Yogyakarta dan Indonesia. Kethoprak
Magersari misalnya, pertunjukan ini berusaha merespon peristiwa Pemilihan
Kepala Daerah kota Yogyakarta (Pilkada), tepatnya pemilihan walikota
Yogyakarta pada tahun 2011. Sedangkan kethoprak Ledhek Bariyem dipentaskan
9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tepat sebelum peristiwa Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014 terjadi, khususnya
pemilihan presiden Republik Indonesia.
Walau lahir dan dipentaskan pada momen politik kekuasaan yang hampir
mirip, kedua pertunjukan kethoprak itu tidak melulu bicara mengenai politik
kekuasaan secara gamblang, seperti halnya para politisi di arena kampanye,
maupun ruang-ruang politik lainnya. Namun keduanya bertutur dengan kesan
mlipir namun sarat kritik terhadap peristiwa politik tersebut. Kethoprak dianggap
dapat menjadi salah satu corong untuk menyuarakan aspirasi politik. Budi Susanto
SJ, bahkan menyebutkan bahwa kethoprak memiliki fungsi sebagai sarana untuk
menciptakan kesadaran bersama massa rakyat, yang memiliki kesulitan untuk
mengakses jalan ke bentuk-bentuk birokrasi ataupaun lembaga lainnya dari
sebuah kekuatan politik6.
Lantas suara politik semacam apa yang hendak disampaikan dari atas
panggung pertunjukan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem? Apakah memang
kethoprak telah memberikan ruang pemikiran dan kegelisahan sosial politik
masyarakat, khususnya masyarakat Jawa? Apakah kegelisahan itu bersifat
mendidik atau menggiring pendapat politik masyarakat? Bagaimana sikap
seniman yang diejawantahkan melalui lakon Magersari dan Ledhek Bariyem
sebagai kesenian tradisi, dalam menghadapi globalisasi sebagai sebuah skenario
besar yang tak terhindarkan? Sepertinya akan ada banyak pertanyaan berkaitan
dengan (seniman dan komunitas) kethoprak. Terutama yang berkaitan dengan
6
Budi Susanto SJ, 2012,“Me(meper)mainkan Sandi Wara Rakyat: Ketoprak Eksel, dalam Jurnal
Retorik Vol.3- No.1, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta
10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
posisi politik para seniman dan komunitas, bila dikaitkan dengan isu yang dibawa
dan dipertunjukannya di atas panggung kesenian tradisi.
B. Tema
HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI
C. Rumusan masalah
Titik berangkat penelitian hadir melalui pertanyaan-pertanyaan kunci.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan rumusan masalah, yang menjadi
pijakan analisisnya. Pertanyaan-pertanyaan kunci tersebut antara lain:
1.
Bagaimana peran kethoprak dan bidang kesenian lainnya, dalam merespon
kondisi sosial-politik masyarakat pasca reformasi?
2.
Apa konteks yang melatarbelakangi, dan bagaimana cara dihadirkannya
dalam kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem?
3.
Bagaimana hegemoni bekerja dari atas panggung kethoprak lakon
Magersari dan Ledhek Bariyem?
D. Tujuan penelitian
1. Menggali peran kethoprak dalam gerakan kritik politik masyarakat terhadap
kekuasaan.
2. Mencari tahu format hegemoni semacam apa yang dihadirkan dalam lakon
kethoprak di masyarakat.
11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
E. Pentingnya Penelitian
Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat berarti penting bagi:
1. Ilmu sosial, khususnya Kajian Budaya. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pikiran khususnya tentang kesenian kethoprak, yang
berusaha meningkatkan pemahaman dan perubahan sosial-politik di masyarakat.
2. Para aktivis kebudayaan dan politik. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
referensi penting dalam melakukan gerakan-gerakan kebudayaan dan politik, yang
berorientasi pada perubahan dan peningkatan posisi serta daya tawar masyarakat
terhadap kekuasaan lokal, nasional dan global.
3. Mahasiswa
(peneliti)
agar
dapat
mengembangkan
pengetahuan
dan
kemampuan profesionalnya dibidang kajian budaya, terutama yang berkaitan
dengan gerakan politik dalam kethoprak.
4. Peneliti lain, agar hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam proses
penelitian sejenis.
F. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teoritis
F.1. Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka ini lebih menitikberatkan pada pembahasan mengenai
penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, terutama penelitian yang memiliki
fokus objek material dan objek formal yang hampir sama. Penelitian pertama
dilakukan oleh Afendy Widayat pada tahun 1997, mengangkat judul Kethoprak:
12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural. Pada
penelitiannya, Afendy Widayat menyoroti kedudukan kethoprak sebagai hasil seni
tradisional Jawa. Menurutnya, kesenian mampu mengikuti perubahan di dalam
masyarakat. Kemampuan mengikuti perubahan atau kemampuan beradaptasi ini
ditarik masuk dalam konteks multikultural. Sebagai sebuah kesenian yang lahir
dari tradisi masyarakat Jawa, kethoprak bersifat sangat luwes. Penilaian
konvensional yang melekat pada kethoprak tidak lantas membuatnya menjadi
kaku. Afendy Widayat menyatakan bahwa sejak awal pertumbuhnnya, kethoprak
memang penuh dengan inovasi-inovasi yang baru sama sekali, maupun yang
dicangkokan dari cabang-cabang seni lainnya. Sehingga sah-sah saja mengikuti
perkembangan masyarakat dan keilmuan yang relevan. Agar dapat dihasilkan
bentuk yang paling pas dan dapat diterima oleh masyarakat luas.
Lanjutnya, kethoprak harus mampu membongkar dan menata kembali
bentuknya, agar keberadaannya dapat terus bertahan, terutama dalam pergaulan
multikultural. Melalui pergaulan tersebut, kethoprak semestinya dapat membawa
nilai-nilai filosofi Jawa, yang serupa dengan sebagian besar kesenian dari daerah
lain di nusantara. Sehingga keberadaan kethoprak tetap dapat mengakomodir
kepentingan dari kesenian-kesenian tradisi di nusantara, tanpa menghilangkan
misi utamanya, yaitu penanaman nilai moral kemanusiaan yang bersifat universal.
Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian yang dilakukan oleh Annisa
Sukada menggunakan pemaparan kronologi kesejarahan kethoprak, dan lebih
menitikberatkan permasalahan kethoprak yang diperhadapkan dengan globalisasi.
Menurutnya dari jalan sejarah yang telah dilalui kethoprak, telah membuktikan
13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahwa kesenian tersebut dapat terus hidup dan mengikuti perubahan jaman.
Perubahan yang dialami kethoprak, tidak lantas membuatnya meninggalkan akar
tradisi.
Pada penelitian yang diselesaikannya bulan Juni 2008, sebagai hasil dari
proses program Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies
(ACICIS) Angkatan IIVI, Sukada menjelaskan bahwa kebutuhan untuk
beradaptasi dan memodifikasi sesungguhnya dipicu oleh globalisasi. Semua aspek
yang mengglobal dan modern, telah menyediakan begitu banyak pilihan hiburan
bagi masyarakat. Sehingga bentuk hiburan atau media kritik semacam kethoprak,
pasti menemukan tantangannya. Bila kethoprak hadir dengan format lama, sudah
pasti kethoprak akan ditinggalkan oleh para penontonnya. Di sini Sukada terus
menerus menekankan bahwa kethoprak haruslah ikut merubah dirinya. Para
seniman tidak hanya dituntut untuk sekedar mengikuti kondisi global, akan tetapi
juga harus merasa bahwa perubahan adalah kebutuhannya. Tanpa meninggalkan
pakem tradisi yang menjadi kekhasannya. Globalisasi bisa disiasati dengan
mengikuti perubahan jaman, melalui strategi adaptasi dan modifikasi.
Bila penelitian di atas sedikit banyak menggunakan pendekatan sejarah,
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Retnowati, pada tahun 2009.
Dalam disertasinya, Retnowati menggunakan perspektif antropologi. Penelitian
tersebut berjudul Kesenian Kethoprak sebagai Identitas: Suatu Kajian Kelompok
Kesenian Kethoprak Arum Budoyo di Juwana- Pati, Jawa Tengah. Retnowati
menemukan bahwa kethoprak adalah salah satu ekspresi identitas yang lahir dari
kondisi sosial-budaya (yang dihadapi oleh) kelompok tersebut.
14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Menurutnya, komunitas kethoprak yang ditelitinya, yaitu komunitas
kethoprak pesisiran di daerah Pati Jawa Tengah, telah melakukan mekanisme
dekonstruksi terhadap modernisasi dan globalisasi. Kethoprak telah bisa
menciptakan solidaritas sosial, bahasa bersama dan nasionalisme. Di sini
kethoprak mengambil peranan penting, yaitu posisi (dalam bahasa yang
disampaikan oleh) orang-orang yang terpinggirkan, di sebuah wilayah di pesisiran
utara Jawa Tengah.
Barbara Hatley (2008) dalam bukunya yang berjudul Javanese
Performance on an Indonesian Stage: Contesting Culture, Embracing Change,
banyak mengulas mengenai teater dan kethoprak. Pada bukunya ini, Hatley jauh
lebih lengkap memaparkan mengenai kedua hal itu, dalam kaitannya dengan
perubahan kondisi di Indonesia. Buku yang ditulis berdasarkan penelitiannya itu,
melihat bahwa pada awalnya kethoprak merupakan pertunjukkan yang dilakukan
dan diperuntukan bagi masyarakat “kelas bawah”, di kampung-kampung. Hingga
pada perkembangannya, bentuk awal dari kethoprak berubah setelah beberapa
bagian dari teater barat mulai diadopsi di dalam pertunjukan (kethoprak).
Titik penting yang dikemukakan Hatley dalam buku tersebut, adalah
pemaparannya mengenai andil penting dari pertunjukan teater maupun kethoprak
di dalam peristiwa politik di negeri ini. Menurutnya, kethoprak berperan dalam
upaya menyatuan visi dan pengumpulan massa, untuk melawan rejim kekuasaan
Soeharto pada masa orde baru. Perlawanan terhadap kekuasaan yang ada di pusat
(pemerintahan), diperhadapkan dengan kekuasaan yang ada di daerah, dalam
kasus ini pemerintahan daerah istimewa Yogyakarta. Perlawanan ini kemudian
15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menjadi isu yang berbau kedaerahan. Identitas kejawaan dan pengagungan
terhadap Sultan sebagai simbol pemimpin Jawa (Yogyakarta), menjadi ciri khas
yang nampak dalam gerakan tersebut. Hatley tidak melihat teater dan kethoprak
hanya sebagai dua bentuk pertunjukan yang menghibur. Akan tetapi juga melihat
keduanya sebagai bagian dari gerakan yang melibatkan banyak orang, sebagai
agen dari gerakan politik.
Penelitian-penelitian yang saya ajukan di atas, merupakan hasil temuan
yang menampilkan ketoprak sebagai salah satu bentuk kesenian pertunjukan Jawa,
yang bersifat multidimensional. Pada penelitian pertama yang dilakukan oleh
Afendy Widayat, Ia melihat bahwa kethoprak dapat mengakomodir kepentingan
untuk menanamkan nilai moral kemanusiaan yang bersifat universal. Kethoprak
menjadi semacam agen pendidikan dan penanaman nilai moral ideal dalam
masyarakat. Ketoprak memikul tanggungjawab dalam proses transformasi nilai.
Penelitian ini melihat bahwa seperti di banyak format seni pertunjukan tradisi,
etika dan nilai moral kemanusiaan adalah poin penting yang harus disampaikan
dan dipelihara di setiap generasi dalam masyarakat.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Annisa Sukada, lebih
menekankan pada titik perubahan yang harus dilakukan oleh para seniman
kesenian kethoprak. Perubahan ditujukan agar dapat bisa bertahan dan bersaing
dalam era globalisasi sekarang ini. Sesungguhnya penelitian ini dapat dikatakan
sebagai lagu lama dalam penelitian-penelitian terhadap tradisi yang hidup di
dalam masyarakat. Tradisi yang merupakan hasil budaya masyarakat baik material
maupun non material, dan di wariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya,
16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
harus dapat menyesuaikan diri dengan laju modernisasi, dan pastinya juga
globalisasi. Hampir sama dengan penelitian Sukada, penelitian yang dilakukan
oleh Retnowati, sedikit banyak juga berbicara tentang usaha kethoprak agar bisa
tetap eksis dan survive di era sekarang ini. Penelitian ini memaparkan bahwa
kethoprak telah dapat menciptakan solidaritas sosial, bahasa bersama dan
nasionalisme. Dalam upaya penciptaannya itu, kethoprak harus melalui proses
mimikri dengan ke-modern-an dan globalisasi. Daya juang yang tidak setengahsetengah, agar dapat tetap hidup dalam pikiran dan kebutuhan akan hiburan di
masyarakat.
Lain halnya dengan peneliti asal Australia yang cukup fokus mengulik
mengenai kethoprak, Barbara Hatley. Ia banyak menjelaskan bahwa melalui
kethopraklah, representasi kondisi sosial politik negeri ini dapat dilihat. Misal
pada peristiwa menumbangan rejim Orde baru. Upaya untuk mengkritik
pemerintah yang berkuasa pada masa itu, telah melahirkan karya-karya yang
berorientasi pada penggalangan kesadaran masyarakat untuk lebih berani
mengkritik penguasanya, dan menyentil pemerintah dalam penerapan sistemnya
yang represif. Kethoprak tidak lagi berdiri sebagai alat hiburan, akan tetapi juga
menjadi alat politik rakyat.
Harus diakui, mungkin penelitian yang saya lakukan cukup berbeda
dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yang mengetengahkan kethoprak
sebagai objek materialnya. Kethoprak yang merupakan seni pertunjukan rakyat,
merupakan magnet yang luar biasa untuk ditonton, sekaligus untuk dianalisa lebih
dalam. Yang membedakan penelitian ini adalah karena tidak lagi melulu
17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
meneropong kethoprak dari kacamata estetika, pendidikan (transformasi nilai),
ataupun dalam posisi sosialnya. Penelitian ini akan membawa kethoprak dalam
pembicaraan di ranah politik. Penelitian ini hendak melihat potensi kethoprak
sebagai kesenian sangat ketal dengan aktivitas kritik politik, terutama pada masa
pasca reformasi.
F.2. Kerangka Teoretis
Perspektif politik, adalah pilihan objek formal dari penelitian ini.
Kethoprak akan dilihat sebagai aksi politis masyarakat, dalam menyikapi kondisi
politik negaranya. Kethoprak tidak hanya dijadikan sumber hiburan yang
menyenangkan. Akan tetapi, kethoprak juga akan dilihat sebagai sebuah formula
serius dalam ranah pembicaraan politik masyarakat. Melalui kacamata teori
hegemoni yang diusung oleh Antonio Gramsci, sekelumit mengenai teori globalisi
(terutama yang berkaitan dengan budaya), kethoprak akan didedah lebih spesifik.
pemikir tersebut, akan membantu kita membaca kethoprak dengan cara baca yang
berbeda.
F.2.1. Mengkritik Determinisme Ekonomi
Di mulai sub-sub bab ini hingga seterusnya, saya hendak membicarakan
peta teori Gramsci, terutama pembahasannya mengenai hegemoni. Peta teori ini,
berdasar pada apa yang ia kritisi atau ia kembangkan dari pokok pikiran
Marxisme awal. Melalui pijakan teori Marx, Gramsci mencoba untuk
menyandingkan dengan kumpulan pengalaman yang didapatinya selama menjadi
aktivis gerakan kiri, baik di partai sosialis, maupun patai komunis. Buah pikiran
18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang menjadi pintu baru bagi semesta pemahaman mengenai aliran Marxis. Saya
mengetengahkan alur peta ini, sebagai acuan untuk membaca objek material
penelitian saya, yaitu gerakan politik dari kethoprak lakon Magersari dan Ledhek
Bariyem.
Posisi Gramsci dalam peta aliran pemikiran Marxis, diletakkan pada
kelompok Neo-Marxis, terutama pada Marxisme Hegelian. Posisi tersebut
dijelaskan dalam buku George Ritzer dan Douglas J. Goodman yang berjudul
Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxis.7 Bukan tanpa alasan
Gramsci di tempatkan pada posisi tersebut. Gramsci melakukan transisi penting
mengenai
konsep determinisme ekonomi
Marx.
Ia mengkritik konsep
determinisme ekonomi yang bersifat fatalistik. Dalam pemikiran Marx, segala
sesuatu sudah ditentukan oleh capital. Positivisme Marxisme ortodoks cenderung
menggiring pada determinisme dan materialis objektif sejarah. 8 Determinisme
ekonomi semacam inilah yang coba digugat oleh Gramsci.
Gramsci menggugat determinisme secama itu, stelah ia melihat kondisi
kelas pekerja, kala ia menjabat sebagai pimpinan PCI. Ia skeptis terhadap doktrin
sosialis Internasional kedua dan ketiga, karena telah digerogoti oleh ‘scientisme
kasar’ (crude scientism) dan ‘ekonomisme primitif’. Scientime kasar adalah
keyakinan bahwa selalu ada kontradiksi inheren dalam moda produksi kapitalisme
yang dapat dianalisis, diprediksi dan dikuantifikasi oleh hukum kapital Marx.
Scientime kasar menghasilkan kekeliruan yang bernama “ekonomisme”. Dimana
elemen semacam politik, budaya dan ideologi, terpisah dari elemen moda
7
George Ritzer dan Douglas J Goodman, (2004), Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori NeoMarxian, Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal. 99
8
Mengutip penyataan Femia, dalam Muhadi Sugiono, 2006, hal. 20
19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ekonomi produksi. Dengan kata lain, pada tingkatan base, terdapat segala hal yan
berkaitan dengan uang, material, dan segala hal yang berkaitan dengan moda
produksi. Lantas pada tingkatan super structure, terbangun institusi yang
berkaitan dengan hal yang bersifat non material, baik itu yang bersifat sosial,
politik, budaya dan lain sebagainya. Materlisme historis berisikan pendapat bahwa
sejarah dapat dapat direduksi hanya sebagai menifestasi moda produksi, dan
hanya dapat dianalisis sebagai proses objektif evolusi.9
Hal tersebutlah yang dikritisi Gramsci. Menurutnya, hal tersebut
mengabaikan keberadaan manusia/ masyarakat sebagai agen yang aktif dan sadar.
Manusia buka semata-mata menerahkan diri pada dunia alamiah, namun aktf
dengan berbagai mekanisme kerja dan tekniknya.10 Manusia diposisikan sebagai
agen sejarah, yang mampu melakukan perubahan sejarah. Karena sangat tidak
mungkin bila hanya mengandalkan krisis ekonomi, untuk menghadapi
kapitalisme. Meskipun ia mengakui bahwa ada sejumlah keteraturan dalam
sejarah, ia menolak gagasan perkembangan sejarah yang otomatis dan tak
terhindarkan. Maka pada titik ini, masyarakat haruslah dapat bertindak untuk
mewujudkan revolusi sosial. Namun sebelumnya melakukan tindakan tersebut,
masyarakat harus sadar terlebih dahulu mengenai situasi, hakikat serta sistem
yang sedang dijalaninya.11
masyarakat
paham
pada
Dalam menjalani revolusi sosial semacam itu,
apa
yang
diperjuangkannya.
melakukannya secara buta.
9
Muhadi Sugiono, 2006, hal. 21-23
Muhadi Sugiono, 2006, hal. 24
11
George Ritzer dan Douglas J Goodman, 2004, hal. 99
10
20
Bukan
sekedar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
F.2.2. Pengembangan Konsep Pertentangan Kelas
Pada kala Gramsci memegang jabatan sebagai sekjen PCI, aroma
subordinasi terasa sangat kencang berhembus di ranah kapitalisme Italia,
khususnya di Turin. Dengan tingginya permintaan pasar terhadap produk dari
pabrik mobil FIAT (Fabrica Italiana Automobilii Torino), para pemilik modal
berfikir untuk menggejot produktivitas buruhnya. Para buruh terkesan hanya
selayaknya menjalankan ban berjalan, yang terus menerus tiada henti. Karena bila
mereka berhenti, maka keuntungan akan pabrik berkurang. Federich Taylor dalam
bukunya The Principles as Scientific Management (1911) yang melihat manusia
sebagai “mesin” istimewa, yang dapat disesuaikan untuk kebutuhan industri
modern. Pemikiran Taylor, ditentang oleh Gramsci. Ia melihat bahwa Taylorisme
dapat mematikan sikap kritis para buruh, juga memelihara penindasan terhadap
mereka. rasionalisasi pekerjaan hanya akan menumbuhsuburkan penindasan dan
memperbesar keuntungan para pemilik modal. Taylorisme pada akhirnya akan
membunuh kemampuan kritis kelas pekerja, serta membunuh tendensi alamiah
mereka untuk mewujudkan organisasi-organisasi kolektif.12
Jauh sebelum menuliskan penentangannya terhadap Taylorisme maupun
Fordisme, Gramsci berhadapan dengan kondisi saat seusai perang dunia ke-2, pola
industri Amerika, khususnya Ford banyak diadopsi di wilayah Eropa. Tak
terkecuali di Italia. FIAT mengambil beberapa mekanisme “pengelolaan buruh”,
sama seperti yang dilakukan oleh Ford di Amerika. Maka untuk menghalau
pengaruh ini, Gramsci dan kawan-kawannya membentuk dewan buruh.
Kekhawatiran meraka cukup beralasan, karena dengan penerapan Taylorisme
12
Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 129-130
21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang didaku oleh Ford, akan berbengaruh pada buruh dari FIAT. Pemikiran
bahwa kelas pekerja atau buruh adalah mesin, yang mampu mendukung kenaikan
jumlah produksi, sehingga membuka ruang para pemilik modal untuk mengurusi
masalah di luar proses produksi. Agar proses produksi tidak terganggu, maka para
pemilik modal mulai masuk dan ikut mengatur ruang-ruang privat, seperti
permasalahan seksual. Melihat realita semacam itu, Gramsci menyimpulkan
bahwa hegemoni lahir di pabrik atau perusahaan.13
Pada titik ini konsep pertentangan kelas yang diperkenalkan oleh Marx,
hadir dan berkembang dalam pemikiran Gramsci. Bila dalam Marx, ide dari para
pemilik modal diformulasikan agar dapat mengontrol para kelas pekerja,
mekanisme untuk mengamankan posisi pemilik modal sebagai kelas yang
berkuasa. Marx meletakkan kedinamisan dalam pertentangan kelas, melalui
revolusi. Kelas pekerja dapat memproduksi ide mereka sendiri, baik dalam ranah
industri maupun organisasi politik. Pandangan inilah yang menjadi modal bagi
gerakan yang dilakukan oleh Gramsci dan kawan-kawannya. Terutama dalam
merespon Amerikanisme dan Fordisme. Hal tersebut memantik kegusaran para
pemilik modal. Mereka kemudian meminjam tangan negara untuk menekan laju
perlawanan buruh, dengan cara kekerasan.
Negara, berfungsi sebagai pelindungan bagi kepentingan para pemilik
modal (masyarakat kapitalis).
Mekanisme itu dilaksanakan melalui jalur
kekerasan (coercion) yang dilakukan oleh tangan-tangan penegak disiplin negara,
serta melalui bantuan para intelektual tradisional, agar terbangun ‘persetujuan’,
13
Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 131
22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang hadir melalui ideologi sebagai bentuk hegemoni. Hegemoni yang dihayati,
amini sebagai sebuah kebutuhan, tanpa perlu difikirkan kembali. Bila negara
(dalam hal ini penguasa) dapat menyingkirkan oposisi, serta mendapatkan
kepatuhan dan persetujuan dari kawan sekutunya, maka di pada tahap inilah
hegemoni dominan dapat dikatakan mencapai keberhasilannya.
Gramsci
memaknai pertentangan kelas adalah aksi yang harus dilakukan oleh kelas
pekerja. Melalui aksi federasi buruh, dan juga tani, bahaya yang dihadirkan oleh
masyarakat kapitalis dapat ditangkal. Kedua kelompok itu adalah ujung tombak
perubahan.
Meskipun Gramsci mengakui arti penting dari faktor struktural, namun
faktor tersebut tidaklah mampu untuk menggiring kelas tersubordinasi dapat
melawan kelas yang berkuasa. Ia menekankan arti penting pembangunan ideologi
revolusioner yang dikembangkan oleh masyarakat. Gagasan mengenai hal ini
dikembangkan oleh para inteletual, yang kemudian akan disebarkan pada
masyarakat. Masyarakat tidak dapat secara mandiri menghasilkan pemikiran
semacam ini, sehingga fungsi intelektual sangatlah diperlukan. Kala masyarakat
telah mampu memahaminya, pada tahap kemudian akan dapat didorong
adanyanya revolusi sosial.
F.2.3. Konsesus Sebagai Orientasi Hegemoni
Gramsci’s main concern became why men were committed to certain
beliefs and to a certain system and what was need to make the accept a
new system of values. Here he lighted on the notion of hegemony, which
he maintained was implicit in the ideas of Lenin. (…) hegemony was what
was secured through the “spontaneous consensus” which the mass of
populace gave to the mode of life impressed on society by the dominant
group, a consensus given because of the prestige and trust the dominant
group enjoy due to its position. (Alastair Davidson, 1968: 32-33).
23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gramsci, sebagai salah satu tokoh penting Marxisme, banyak memberikan
sumbangan dan pengembangan penting bagi aliran Marxisme tradisional.
Terutama dalam dengan mengangkat hegemoni dominan sebagai titik penting
pembicaraan dalam pemikirannya. Mesti dicatat, bahwa Gramsci memang tidak
menuliskan teorinya secara lengkap dan final. Muhadi Sugiono mengatakan
bahwa pemikiran Gramsci lebih bersifat sementara, karena diperoleh dari catatan
yang berserak, terfragmentasi dan tidak lengkap, sehingga wajar bila melahirkan
banyak interpretasi. Terlepas dari kenyataan itu, namun tema tunggal yang
diusungnya adalah hegemoni.14 Baginya, konsep hegemoni benar terjadi terutama
di kalangan kelas pekerja di Italia. Ia melihat bahwa kelas pekerj) dengan suka
rela menerima nilai yang ditanamkan oleh kelas penguasa atau kelas yang
mendominasi. Hegemoni dominan bekerja guna memperoleh kepatuhan, dan
dipercayai sebagai sesuatu yang dibutuhkan. Konsep ini, seringkali dikaitkan
dengan konsep kesadaran palsu yang dimaksudkan oleh Karl Marx. Keduanya
berhubungan sangat erat.
Kelas penguasa mendapatkan kepatuhan dari kelompok yang didominasi
melalui 2 (dua) cara, yaitu melalui jalan kekerasan (coersi) dan jalan konsensus
(consent). Cara kekerasan sringkali dianggap sebagai cara lama dan kuno, namun
cukup efektif dan cenderung dapat dengan cepat mendapatkan kepatuhan dari
kelas yang didominasi. Karena kelas penguasa (yang mendominasi) kerap
menggandeng negara beserta aparatnya. Sedangkan pada cara kedua, yaitu
konsensus (consent), kelas penguasa akan mengupayakan kepatuhan dari kelas
1414
Muhadi Sugiono, 2006, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hal. 18-19
24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang didominasi dengan cara yang cenderung halus. Kelas penguasa menanamkan
doktrin melalui sistem-sistem yang dipercayai oleh kelas yang didominasi.
Disinilah hegemoni dominan bekerja. Hegemoni dominan bekerja secara cerdas,
dengan bentuk kepemimpin budaya yang dijalankan oleh kelas yang berkuasa.
Menurut Ritzer, hegemoni dominan mempertentangkan cara-cara dengan
kekerasan (coersi) yang dijalankan oleh kekuasaan legislatif atau eksekutif, atau
diekspresikan melalui campur tangan kekerasan dari aparat negara. 15 Hegemoni
merupakan rantai kemenangan yang diperoleh dari mekanisme konsensus, bukan
melalui kekerasan dan terhadap kelas yang didominasi. Hegemoni tidak lain
adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika
sosial dalam kerangkan yang ditentukan oleh kelas penguasa. 16 Hegemoni
dominan merupakan sebuah sarana budaya dan ideologi, dimana kelompok kelas
penguasa, mempertahankan dominasi mereka dengan mengamankan kepatuhan
dari kelompok yang didominasi. Hal ini dicapai dengan pembangunan negosiasi
dari konsensus politik dan ideologi yang menggabungkan kedua kelompok
dominan dan mendominasi. Budaya yang dibentuk merupakan penjelmaan dari
hegemoni dominan.
Gramsci melihat bahwa kelompok yang berkuasa akan selalu berusaha
untuk melanggengkan dominasi dan kekuasaannya, melalui berbagai kontrol
sosial. Baginya kontrol melalui cara kekerasaan (coersi), bukanlah cara kerja
hegemoni dominan. Hegemoni dominan dikatakan dapat bekerja, bila kelompok
yang didominasi, atau masyarakat kebanyakan dapat secara suka rela memeluk
15
16
George Ritzer dan Douglas J Goodman, 2000, hal. 100
Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 120-121
25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan menyakini apa yang ditanamkan oleh kelompok penguasa. Hegemoni
dominan dapat sukses diraih, apabila mencapai konsensus (consent). Hegemoni
dominan adalah suatu organisasi konsensus. Menurut Dominic Strinati, hal
tersebut berarti bahwa kelompok yang didominasi menjalani penerimaan
konsensual. Dimana kelompok yang didominasi menerima ide, nilai dan
kepemimpinan dari kelompok penguasa atau dominan. Gramsci sendiri lagi-lagi
menegaskan bahwa hegemoni dominan semacam ini tidak didapatkan melalui
jalan kekerasan ataupun mekanisme indoktrinasi ideologi, akan tetapi karena
keinginan mereka sendiri.17
Hegemoni dominan memiliki tingkatan sesuai penguasaan kepatuhan pada
kelas yang didominasi. Gramsci, seperti yang dikutip dari Femia, membagi
hegemoni dominan menjadi 3 (tiga) tingkatan. Tingkat pertama adalah hegemoni
integral. Hegemoni ini ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas.
Ada persatuan moral dan intelektual yang kokoh, dan memiliki hubungan yang
organis antara kelompok yang menguasai dan yang didominasi. Selain itu, tidak
ada hubungan antagonis sama sekali di antara keduanya. Kedua, hegemoni
decadent atau merosot. Hegemoni ini menunjukkan bahwa upaya penanaman
hegemoni sudah dilakukan, dan semua nampak dikuasai, namun tetap menyisakan
celah dan masalah. Bila pada permukaan semua terlihat sudah bersatu, baik
kelompok yang menguasasi dengan kelompok yang didominasi, pada kenyataan
tetap hadir potensi disintegrasi. Potensi itu dapat sewaktu-waktu membuncah.
Sedangkan yang ketiga, adalah hegemoni yang minimum. Hegemoni ini
17
Dominic Strinati, 1995, An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London, hal.
154
26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menduduki tingkat yang paling rendah. Hegemoni ini bersandar pada pada
kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politik dan intelektual. Pada saat yang
bersamaan masyarakat pun enggan ikut campur tangan dalam merumuskan
kehidupan bersama. Hingga pada akhirnya, semua arah hegemoni ditentukan oleh
kelompok penguasa. 18
Berdasar pada pengalamannya, Gramsci mencontohkan bahwa kekuatan
kelompok penguasa pada umumnya berasal dari kelas pemilik modal, berupaya
membentuk konsesinya, atas latar ekonomi. Untuk memperoleh konsensus, maka
kelas yang didominasi (pada kasus ini adalah kelas pekerja), diajak untuk
memikirkan persoalan mereka, berupa kesejahteraan dan upah yang layak. Bukan
tanpa alasan para pemilik modal mengajak para pekerja untuk membahas hal
tersebut. persoalan semacam itu merupakan kunci masuk agar dominasi yang
dimiliki oleh para pemilik modal dapat tetap aman. Dengan masuknya pemikiran
para pemilik modal dalam pembicaraan mengenai kesejahteraan para pekerjanya,
maka mereka dapat melanggengkan dengan mudah kepatuhan dan nilai-nilai
subordinasinya. Ide-ide mereka diakui, sebagai sebuah hegemoni.
Kelompok yang didominasi kehilangan kesadaran, terutama kesadaran
kelas dari sejarahnya. Kehilangan kesadaran ini tidak hanya melalui jalan
kekerasan, akan tetapi juga melalui jalan konsensus dalam moral dan intelektual.
Konsensus harus disertai kesepakatan dari aliansi, tahap inilah yang disebut
sebagai blok historis. Menurut Nezar dan Andi, blok historis ini terbentuk apabila
kelas
18
penguasa
berhasil
memunculkan
Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 125-126
27
keseimbangan
dalam
menjaga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hegemoninya, melalui kepemimpinan dan dominasi. Blok ini ini mewakili tatanan
sosial tertentu. Karena di sinilah hegemoni dominan direproduksi ke dalam
lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi, salah satunya pendidikan.19
Peran inteletual amat diperlukan di sini. Terutama sebagai agen dalam
pembentukan blok historis. Gramsci membagi kelompok intelektual menjadi 2
(dua), yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Kelas penguasa
membutuhkan para agen untuk menanamkan “kesadaran baru”. Di sinilah peran
para intelektual tradisional dianggap sangat penting. Intelektual ini hadir untuk
bekerja demi kepentingan kelas penguasa, atau dari kelas selain dari kelas
penguasa, namun dirinya terpisah dari kelas asal. Berbeda dengan intelektual
tradisional, intelektual organik merupakan intelektual yang lahir setiap kelas,
yang berpikir untuk bergabung dan mengorganisir kelas yang didominasi.
Intelektual organik dapat saja berasal dari intelektual tradisional, yang secara
sadar menginggalkan posisi mereka sebelumnya. Demi memperjuangkan
kepentingan kelas yang didominasi.
Pada Marxisme, salah satu konsep kunci lainnya adalah adanya
pertentangan kelas. Bila pada Marxisme tradisional, yang saling bertentang adalah
kelas kapitalis (pemilik modal) dengan kelas pekerja (buruh). Namun pada proses
hegemoni, Gramsci mengatakan bahwa pertentangan kelas seringkali terbentur
dengan upaya netralisasi oleh kelompok penguasa. Mereka melemahkan melalui
mekanisme pengawasan dan iming-iming kenaikan upah yang jauh lebih baik
(pada kasus kelas pemilik modak dan buruh). Hingga pertentangan kelas, menjadi
19
Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 127
28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebuah ilusi. Kelas pekerja (buruh) menginternalisasi pengawasan dan imingiming tersebut sebagai sesuatu yang memang dibutuhkannya. Mereka menjadikan
hal tersebut sebagai konsensus dan meligitimasinya sebagai budaya.
Konsensus terselubung semacam ini semakin memperkuat hegemoni
dominan kelompok penguasa. Konsesus masuk dalam gejala integrasi budaya.
Integrasi juga masuk melalui pendidikan dan mekanisme kelembagaan. Menurut
Gramsci, pendidikan tidak lagi mengusung semangat awalnya, yaitu membangun
pola berpikir yang kritis dan sistematis dari kelompok buruh yang didominasi.
Sedangkan keberadaan lembaga semacam lembaga keagamaan, sekolah, media
massa dll, pun turut dalam penyebaran ideologi kelompok penguasa. Konsesus
dibentuk guna melemahkan pertentangan kelas, kelompok yang didominasi
ditundukkan melalui instrumen budaya, yaitu bahasa. Bahasa yang disampaikan
merupakan bahasa pelayanan bagi kelompok penguasa.
Konsensus yang
merupakan kesadaran palsu itu, diyakini oleh kelas yang didominasi sebagai
kepentingan mereka.
Akan tetapi, Gramsci memandang bahwa kelas yang didominasi, tidak
sepenuhnya berada di bawah pengaruh kesadaran palsu. Menurutnya, kelas yang
didominasi dapat membangun kesadaran dan konsep hegemoninya tersendiri,
sebagai mekanisme untuk melawan hegemoni dominan dari kelas penguasa. Blok
historis yang dibentuk oleh hegemoni dominan (dari kelas peguasa) dibuat absen.
Hegemoni tandingan (counter hegemony) dibentuk oleh kelas yang didominasi .
Mereka membentuk blok historis baru. Mereka menyatakan kesejarahannya
29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagai kesadaran baru, yang berasal dari kondisi nyata yang dihadapinya. Blok
historis ini pun kepentingan kolektif dari aliansinya.
Gramsci
berpendapat
bahwa
jikalau
kelas
yang
didominasi
menggabungkan seluruh sektornya, maka mereka akan dapat memecahkan
permasalahan pokok masyarakat. Dalam hal ini, nilai, ideologi dan praktek dapat
dirajut dalam blok historis baru, dan pada tahap selanjutnya dapat disebarluarkan
pada masyarakat. Dalam upayanya mengontrol penguasa, kelompok yang semula
didominasi, harus melibatkan kelompok atau pihak lainnya. Guna menghimpun
kekuatan sosial bersama. Dari kelompok-kelompok kecil yang merasakan
ketertindasan yang sama, mereka berangkat untuk saling menyatu, namun tetap
menghormati perbedaan masing-masing, dalam sebuah payung bersama. Sebagai
bentuk perlawanan terhadap kapitalisme. Selain itu, mereka mempersiapkan diri
untuk memperkuat gerakan sebagai sebuah kombinasi dan aliansi strategis.
Aliansi strategis ini akan menyatukan misi mereka guna melawan kelompok
penguasa. Misi yang dihasilkan pada akhirnya akan menghadirkan jaringan kerja
dan identitas kolektif. 20
Gramsci meletakkan perang posisi dengan basis gagasan untuk
mengepung apparatus negara dengan suatu counter hegemony. Hegemoni ini
diciptakan oleh organisasi massa kelas yang didominasi dan dengan membangun
lembaga-lembaga serta mengembangkan budaya dari kelas yang sebelumnya
didominasi. Melalui perang posisi dalam hegemoni tandingan ini, Gramsci
berharap agar kaum buruh dan petani dapat diorganisir, agar mampu membangun
20
Daniel Hutagalung, Januari-Februari 2006, Laclau-Mouffe Tentang Gerakan Sosial, Majalah
Basis No.01-02, Tahun LV.
30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pondasi baru. Hegemoni tandingan ini memberikan kesempatan bagi masyarakat
untuk mewujudkan pondasi baru, yang terdiri dari budaya, kosmologi, maupun
budaya alternatif, yang berasal dari kondisi dan kebutuhan mereka sendiri.21
Pondasi baru ini menjadi gagasan yang mendorong kelas yang didominasi untuk
melawan hegemoni dominan (dari kelas penguasa).
F.2.4. Globalisasi yang Membuka Batas
Membaca kethoprak, khususnya lakon Magersari dan Ledhek Bariyem,
sepertinya akan jauh lebih lengkap bila menyertakan globalisasi sebagai pisau
analisis sekunder. Terlebih lagi, seniman dari kesenian ini banyak mengambil
fokus pada upaya untuk membendung dampak (buruk) yang dibawa oleh
globalisasi. Sehingga teori globalisasi, khususnya yang berkaitan dengan budaya,
dipakai untuk memindai kedua lakon tersebut.
Globalization does not simply refer to the objectivness of increasing
interconnectedness. It also refers to cultural and subjective matters [namely,
the scope and depth of conciousness of the world as a single place].
(Roland Robertson 1992)22
Globalisasi menurut Jan Aart Scholte, dapat diartikan sebagai suatu proses
sosial yang didapatkan dari mekanisme penghapusan kualitas jarak dan batas.
Sehingga setiap manusia dapat dengan bebas memperlakukan dunia sebagai satu
kesatuan tempat.
23
Hingga kini tidak ada yang dapat dengan yakin menyebutkan
waktu kelahiran globalisasi. Ada banyak versi mengenai hal tersebut. Namun
banyak ahli menyebutkan bahwa globalisasi lahir tidak kurang dari 1980an.
21
Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 172-173
Jan Aart Scholte, John Baylis and Steve Smith (Eds), 1999, The Globalization of World Politics;
An Inroducction to International Relations, Oxford University Press
23
John Baylis dan Steve Smith (eds), 1997, The Globalization of World Politics, Oxford, hal. 14
22
31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Awalnya dimulai dengan segala bentuk kemudahan di bidang transportasi dan
komunikasi. Dunia tidak lagi terpisah, semua terhubung dan saling mempengaruhi
satu dengan lainnya, terutama di bidang ekonomi. Pada era itu, globalisasi kian
intensif bergerak. Globalisasi sering identik dengan hubungan ekonomi yang tak
bersekat oleh jarak atau pun batas wilayah.
Profesor Joseph E Stilitz, peraih Nobel Ekonomi, berpendapat bahwa
globalisasi dipahami sebagai aliran gagasan dan pengetahuan secara internasional,
pemahaman budaya, munculnya kelompok masyarakat dunia, maupun pergerakan
masalah lingkungan secara global. Lebih lanjut, ia mengatakan dengan bahasa
yang sederhana, bahwa pada globalisasi sesungguhnya dititipkan harapan yang
sangat besar. Harapan akan adanya peningkatan taraf hidup seluruh masyrakat
dunia. Dengan cara memberikan akses bagi negara-negara miskin terhadap pasar
di luar negeri, sehingga mereka dapat menjual barang-barang mereka.
Mempermudah masuknya investasi asing, agar mereka mampu memproduksi
barang-barang baru dengan harga lebih murah. Serta membuka batasan-batasn
agar masyrakat dapat melakukan perjalanan ke luar negeri untuk menuntut ilmu,
bekerja, mengirim dana untuk keluarga, juga membiayai usaha mereka.24
Melihat harapan besar yang diemban oleh globalisasi, sepertinya gagasan
ini adalah sesuatu yang cukup menjanjikan, khususnya bagi kesejahteraan
masyarakat dunia. Tetapi pada kenyataannya, globalisasi menghasilkan kondisi
yang jauh dari kata sejahtera, terutama bagi negara-negara miskin di dunia. Pro
kontra mengenai globalisasi mulai mengemuka di banyak negara. Pengelolaan
globalisasi yang diatur oleh (mayoritas) negara-negara maju, cenderung
24
Joseph E Stiglitz, 2007, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang
Lebih Adil, Mizan, Bandung, hal. 50
32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ditunggangi oleh kepentingan tertentu dari negara-negara tersebut. tidak ada
upaya membuat aturan yang berimbang, sehingga denderung menghambat
kemajuan dari negara berkembang dan negara miskin.25
Komisi Dunia tentang Dimensi Sosial Globalisasi26 melakukan suvei di 73
negara di seluruh dunia. Di seluruh dunia, kecuali Asia selatan, Amerika Serikat
dan uni Eropa angka pengangguran meningkat dalam kurun waktu 1990-2001.
Pengangguran pada saat itu mencapai angka 185,9 juta jiwa. 59 % dari mereka
tinggal di negara dengan tingkat kesenjangan yang meningkat, dan ada 5 % yang
tinggal di negara dengan tingkat kesenjangan menurun. Singkat kata, globalisasi
mungkin dapat membantu beberapa negara, katakanlah, untuk meningkatkan
PDB27 (produk domestik bruto) , yaitu jumlah produksi barang dan jasa. Namun,
hal itu bukan berarti dapat meningkatkan taraf hidup seluruh masyarakatnya.
Justru timbul kekhawatiran bahwa globalisasi akan menciptakan negara-negara
kaya dengan masyrakat miskin di dalamnya.28 Negara-negara berkembang yang
membuka diri bagi dunia luar tidak langsung meraup manisnya keuntungan dari
globalisasi. Bahka jika terjadi kenaikan PDB, pertumbuhan yang terjadi mungkin
tidak berkesinambungan. Dan, jika pertumbuhan itu berkesinambungan, sebagian
penduduknya tidak merasakan dampaknya, atau merugi. 29
Globalisasi, mengadopsi sistem liberalisme klasik, yaitu meniadakan peran
negara dalam urusan ekonomi internalnya. Lembaga ekonomi dan korporasikorporasi, selaku pelaku para pasar bergerak ekspansif ke seluruh dunia,
25
Joseph E Stiglitz, 2007, hal. 51
Komisi ini didirikan pada tahun 2001 oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO)
27
PBD adalah alat untuk mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara.
28
Joseph E Stiglitz, 2007, hal .55-56
29
Joseph E Stiglitz, 2007, hal 79
26
33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
khususnya negara dunia ketiga untuk melebarkan ekspansi perekonomian, dengan
iming-iming untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui langkah
‘penyesuaian struktural’ di segala bidang. Keuntungan yang dijanjikan oleh sistem
ini berupa peningkatan tingkat ekonomi. Karena terbukanya sekat dan cairnya
aturan perekonomian di tiap negara, sistem ini banyak disambut oleh para pelaku
pasar untuk dapat memperluas cakupan ruang gerak ekonominya. Namun
ketiadaan atau minimnya peran negara dalam regulasi perekonomian berimbas
pada kondisi tidak terlindunginya rakyat dari ekploitasi besar-besaran yang
dilakukan oleh para pelaku pasar, dalam mekanisme globalisasi
Globalisasi tidak semata hanya di bidang ekonomi. Semua bidang juga
mengalami penetrasi globalisasi. Tak terkecuali juga bidang politik, sosial,
maupun kebudayaan. Globalisasi menjadi semacam pembuka kran lalu lintas
kebudayaan. Dengan demikian maka tidak ada lagi sekat geografis maupun
geopolitik. Peluang dan ancaman globalisasi dijelaskan dalam buku Lambert
Ziudervaart, yang
globalisasi.
mempresentasikan buah pikir Joost Smiers, mengenai
Menurut
Smiers,
globalisasi
ekonomi
sangat
mengancam
keberagaman kebudayaan banyak negara di dunia, terutama di ranah seni.
Sebelumnya, komunikasi terekspresikan dalam bentuk pertentangan nan
emosional, konflik-konflik sosial dan pertanyaan-pertanyaan mengenai status
yang saling berbentrokan satu sama lain. Komunikasi, konflik dan pertanyaan
dalam seni yang dinamis dan terus membangun diri. Namun dalam kacamata
globalisasi, seni yang sedemikian itu harus “ditertibkan”.30 Globalisasi menitipkan
tugas penertiban melalui konsep masyarakat demokrasi. Masyarakat demokrasi
30
Joost Smiers, Lambert Ziudervaart (ed), 2011, Art in Public; Politics, Economics, and a
Democratic Culture, Cambridge University Press
34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dipahami sebagai ruang yang terbuka untuk banyak pertukaran ide dan
perdebatan. Oleh karena, seni dan budaya menjadi hal yang amat penting bagi
perdebatan demokrasi.
Namun pada kenyataannya, kemampuan negara-negara berkembang untuk
menyuarakan pendapatnya, justru terkikis oleh kendala baru dari luar. Sebagian
besara dikarenakan lemahnya daya tawar yang diakibatkan oleh globalisasi.
Misalnya saja, adanya syarat yang harus dijalani oleh negara berkembang, atas
bantuan dana yang diberikan kepadanya (oleh negara maju). Persyaratan itu
seringkali melemahkan instiusi negara berkembang. Masyarakat cenderung
melihat bahwa demokrasi telah dilecehkan. Meski globalisasi lah yang membantu
penyebaran ideologi demokrasi, namun dalam pakteknya, justru melalui
globalisasi proses demokrasi suatu negara dilemahkan.31
Pisau analisis yang dipaparkan diatas, dirasa tepat untuk mengupas
gerakan politik, yang diartikulasikan di dalam kethoprak. Kethoprak, khususnya
lakon Magersari dan Ledhek Bariyem memiliki konteks yang harus dibaca
pemaknaannya. Terutama dalam narasi politik di Indonesia. Pertunjukan
kethoprak yang direpresentasikan dalam kedua lakon tersebut, berupaya untuk
bersuara dalam wilayah politik, melalui jalur kebudayaan, terutama melalui
tangan kesenian. Cukup pas dengan apa yang disinggung Gramsci dalam teorinya,
mengenai mekanisme hegemoni yang dilakukan melalui tangan kebudayaan. Serta
dalam lanskap teori globalisasi yang berkaitan dengan budaya.
31
Joseph E Stiglitz, 2007, hal. 60
35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
G. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field work) yang berbasis
pada proses pengumpulan data yang terkait dengan kesenian kethoprak,
khususnya
kethoprak
Magersari
dan
Ledhek
Bariyem.
Penelitian
ini
menitikberatkan pada metode kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan lebih
memfokuskan diri pada permasalahan kethoprak sebagai salah satu bentuk
gerakan sosial (politik) masyarakat.
Data dikumpulkan melalui wawancara, catatan lapangan, dokumen
pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. Tujuan dari penelitian
kualitatif ini adalah untuk memperoleh gambaran dari pengalaman nyata dari
setiap responden,
pengalaan menoton kedua lakon tersebut, dan mengkaji
dokumen yang terkait secara mendalam.
Penelitian ini akan mengkaji pengalaman langsung, dari para responden:
pelaku pertujukan seni kethoprak yang dimaksud (lived experience). Metode ini
dipilih untuk dapat menghimpun keterangan detil dari pengalaman para pelaku
kethoprak. Sehingga akan didapatkan gambaran mengenai hal-hal yang
melatarbelakangi, proses, dan masalah yang mereka temui selama aktif dalam
proses produksi kethoprak Magersari dan Ledhek Bariyem.
Secara khusus, penelitian akan dilakukan berdasarkan:
G.1.
Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pertimbangan pemilihan lokasi tersebut adalah karena pertunjukan kedua lakon
kethoprak yang diteliti dilakukan di wilayah ini. selain itu, kedua lakon kethoprak
36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iru merupakan hasil produksi dari dua (2) komunitas kethoprak yang ada dan
berkegiatan secara aktif di wilayah Yogyakarta. Selain itu, konteks dari kethoprak
yang dipertontonkan memang sengaja ditujukan untuk masyarakat Yogyakarta,
dan memfokuskan pada permasalahan peristiwa politik di wilayah ini.
G.2. Kelompok Sasaran
Kelompok sasaran dari penelitian ini adalah para seniman kethoprak yang
tergabung dalam komunitas Genitama dan Pastika, yang secara khusus terlibat
dalam proses produksi kethoprak Magersari dan Ledhek Bariyem.
G.3. Jumlah yang akan diteliti
Penelitian ini akan mewawancarai perwakilan dari komunitas-komunitas.
Perwakilan komunitas itu terdiri dari 4 (empat) orang penggiat kethoprak, dari
komunitas Genitama dan Pastika sebagai sumber kunci.
G.4. Sumber Data
G.4.1. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari
lapangan. Data primer penelitian berupa rekaman pertunjukan, naskah, hasil
wawancara dan observasi yang dilakukan dalam rentang waktu semenjak bulan
Mei 2015 hingga Oktober 2015. Data-data tersebut diperoleh langsung dari para
seniman dan penggiat kethoprak (khususnya untuk produksi kethoprak Magersari
dan Ledhek Bariyem).
37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
G.4.2. Data sekunder
Data sekunder penelitian ini adalah data-data yang didapat dari berbagai
sumber tertulis dan rekaman. Data-data itu terdiri dari buku, jurnal, tesis, disertasi,
hasil penelitian, catatan komunitas, majalah, buletin dan rekaman video
pertujukan kethoprak.
G.5. Teknik Pengumpulan Data
G.5.1. Pengumpulan Naskah
Naskah merupakan data penting yang akan dianalisa dalam penelitian ini.
Sehingga pengumpulan naskah dari dua (2) produksi kethoprak: Magersari dan
Ledhek Bariyem adalah mekanisme yang wajib dilakukan dalam proses penelitian.
G.5. 2. Wawancara yang mendalam
Wawancara mendalam (in-depth interview) yang bersifat lama, terbuka
dan terarah (open-ended interview), dilakukan untuk menangkap pandangan dan
pemikiran responden. Sehingga dapat terhindarkan hasil jawaban wawancara yang
bersifat tertutup. Wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
informasi
yang
sebanyak-banyaknya
dan
sedalam-dalamnya
dari
para
responden/pelaku. Teknik wawancara mendalam ini dilakukan dengan cara
melakukan tanya jawab, antara peneliti dengan responden, dengan bantuan
interview guide (panduan wawancara).
G. 5. 3. Observasi Langsung
Observasi langsung dilakukan dengan menonton pertujukan, mendatangi,
berinteraksi dan melihat cara kerja dari tiap komunitas. Tujuan dari metode ini
38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
adalah untuk menghimpun catatan atas pengamatan langsung, mengenai berbagai
hal yang berkaitan dilakukan oleh komunitas tersebut.
G.5.4. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan upaya untuk melakukan pengumpulan data yang
terekam dalam dalam berbagai media. Dokumen-dokumen tersebut dapat berupa
data-data yang sebelumnya sudah ada, dan juga yang yang dibuat pada saat proses
penelitian terjadi.
H. Skema Penulisan
Skema Penulisan Penelitian ini adalah:
Bab I Pendahuluan
Bab ini merupakan bab pengantar yang berisi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, pentingnya penelitian, tinjuan dan
kerangka teoritis, metode penelitian, pengolahan data, dan skema penulisan.
Bab II Kesenian dalam Gerakan Politik Pasca Reformasi
Pasca reformasi, sistem dan kondisi politik di Indonesia telah mengalami
banyak perubahan, dan melibatkan banyak pihak dari sektor-sektor yang berbeda.
Salah satunya kesenian. Pada bab ini, akan dipaparkan mengenai keterlibatan
kesenian dalam ranah politik, terutama dalam upayanya melakukan kritik terhadap
kondisi sosil politik di Indonesia. Sejauhmana kesenian melakukan gerakan
politiknya.
39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bab III Kethoprak yang Berbicara di Panggung (Politik)
Lebih lanjut, bab ini akan menelusuri seluk beluk permasalahanpermasalahan yang dihadirkan di atas panggung pertunjukan kethoprak lakon
Magersari dan Ledhek Bariyem. Kedua lakon kethoprak tersebut sengaja dibuat
dan dibuat dengan latar peristiwa politik tertentu. Sehingga pada bab ini, akan
dipaparkan data dan temuan yang didapatkan dari pertunjukan dan juga hasil
proses wawancara dengan para responden.
Bab IV Hegemoni Di Ranah Seni Tradisi
Pada bab ini, kethoprak akan dianalisa menggunakan teori hegemoni yang
diperkenalkan oleh Antoni Gramsci, serta teori sekunder mengenai globalisasi.
Kethoprak akan diperiksa, dengan menggunakan alat baca hegemoni dan
globalisasi.
Tahapan untuk mencari siapa pemengang posisi intelektua,
bagaimana blok historis dibangun dan konsesus semacam apa yang hendak
ditanamkan, adalah agenda kerja pada bab IV.
Bab V Kesimpulan
Bab ini berisi pemaparan kesimpulan hasil penelitian mengenai
pembacaan mengenai hegemoni dan globalisasi, yang disampaikan melalui
pertunjukan dan konteks dari kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem.
40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bab II
SENI PASCA-REFORMASI, SENI YANG MENCARI POSISI
A. Pengantar
Dalam sebuah diskusi, Michael Bodden32 mempresentasikan hasil
penelitiannya mengenai kelompok-kelompok teater di Indonesia.33 Bodden
banyak membahas mengenai orientasi perlawan dari kelompok-kelompok teater di
masa Orde Baru, dan juga reformasi. Bodden menjelaskan, pada masa Orde Baru
yang represif, banyak kelompok teater yang lahir dari kelompok rakyat tertentu.
Misalnya saja komunitas buruh, komunitas marjinal ataupun institusi keagamaan
seperti pesantren. Kelompok-kelompok itu seringkali mementaskan teater dengan
tema perlawanan terhadap rejim Soeharto, sebagai sesuatu yang makro.
Sedangkan pada masa reformasi, seiring perubahan di level kekuasaan,
tema-tema yang diusung oleh kelompok-kelompok itu pun berubah. Mereka lebih
fokus membincangkan permasalahan mengenai trauma di masa lalu (orde baru),
perempuan dan gender, identitas, serta permasalahan-permasalahan masyarakat
perkotaan. Karena keterbatasan waktu, dan juga semenjak tahun 2005 Bodden
32
Michael Boden merupakan seorang professor dari University of Victoria Kanada. Ia telah
melakukan beberapa penelitian mengenai gerakan teater dan drama di Indonesia. Ia juga telah
beberapa kali menerjemahkan karya-karya para penulis dan sastrawan Indonesia untuk
dipublikasikan dalam bahasa Inggris.
33
Sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni
Rupa (PSPSR) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan mengusung judul Teater dan Negara:
Orde Baru, Reformasi dan Masa Kini.
41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tidak lagi dapat melanjutkan penelitiannya di Indonesia, maka pembahasan
mengenai teater di masa kini, tidak banyak disinggungnya. Sayang sekali.
Pada sesi tanya-jawab, saya sempat melontarkan pertanyaan mengenai
perubahan orientasi perlawanan dari kelompok-kelompok teater. Pertanyaan saya:
Jika pada Orde Baru, banyak kelompok teater (hampir) kompak melawan rejim
Soeharto sebagai sesuatu yang dianggap makro, dan ketika reformasi terjadi,
orientasi perlawananan itu berubah pada yang jauh lebih spesifik. Misalnya
permasalahan mengenai identitas, perempuan-gender dan lain sebagainya. Lantas
apakah pada masa setelah reformasi, tidak ada lagi keinginan untuk melakukan
perlawanan terhadap yang makro (salah satunya direpresentasikan oleh kekuasaan
negara)?
Bodden memberikan jawaban yang cukup panjang, namun sederhananya
adalah: orientasi perlawanan dari kelompok-kelompok teater itu memang sudah
berubah. Mereka tidak lagi membicarakan soal perlawanan terhadap yang yang
makro seperti kekuasaan negara. Mereka mulai mencari hal baru untuk diangkat
dalam pementasannya. Bila pada Orde Baru, banyak suara (pedapat) yang tidak
bisa muncul (ke publik), misalnya di media massa, maka suara itu akan
dimunculkan dalam pementasan teater. Berbeda dengan saat ini, kebebasan pers
sudah begitu baik, bahkan orang sudah dapat dengan bebas bicara di media sosial,
maka hal-hal yang makro tidak perlu lagi dibicarakan di teater. Kelompok teater
sudah sangat lelah untuk membicarakannya di kala Orde Baru. Itu pekerjaan yang
besar. Seperti menapaki gunung yang besar.
42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Yusril Katil34 yang kebetulan juga hadir dalam diskusi tersebut, ikut
menanggapi pertanyaan saya. Di sini saya mencoba memparafrasekan pernyataan
seniman senior tersebut, namun esensinya tidak jauh dari apa yang
disampaikannya. Ia mengatakan bahwa pada masa sekarang, seniman teater
memang sudah mengganti orientasinya. Seniman teater masa kini sudah lebih
berorientasi pada kerja-kerja kolaboratif. Terutama kolaborasi dengan seniman
dari luar negeri. Hal itu juga dikarenakan adanya pengaruh dari para penyandang
dana, terutama yang berasal dari luar negeri, misalnya saja Hivos. Orientasi teater
tidak lagi seperti dulu. Tidak lagi melawan negara. Karena lebih fokus untuk
membangun diri (seniman), dan membicarakan masalah-masalah lain, selain
negara. Menurutnya, seniman sudah tidak perlu lagi mengurusi negara. Mereka
sekarang sudah tidak peduli pada negara.
Pernyataan sang seniman, kemudian memicu pertanyaan baru dibenak
saya. Apakah memang seniman teater di masa sekarang ini, benar-benar sudah
tidak peduli pada permasalahan politik (dalam hal ini kekuasaan negara)? Apakah
gerakan yang mempertanyakan (alih-alih melawan) sistem yang represif sudah
dianggap usai? Pernyataan yang disampaikan sang seniman mungkin bisa jadi
adalah penyataan personal. Namun bisa jadi juga merupakan representasi
pernyataan sebagian besar seniman, yang sudah enggan untuk membicarakan
perlawanan di level makro, sehingga merasa perlu untuk mencari format
perlawanan baru, yang melibatkan kerja-kerja seni global. Tidak lagi nasional
ataupun lokal. Namun sebelum kita terburu-buru menyamakan para seniman itu
pada kotak yang sama, kita mungkin harus lebih berhati-hati untuk melihatnya,
34
Yusril Katil merupakan seniman teater, staf pengajar di STSI Padang Panjang. Beliau merupakan
pendiri komunitas Seni Hitam Putih yang berasal dari padang Panjang Sumatera Barat.
43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mungkin saja ada yang terserak. Mungkin saja masih ada kelompok atau seniman
secara personal, yang masih bersuara dan mengkritik kinerja yang makro, yang
direpresentasikan oleh kekuasaan negara. Mungkin saja.
Untuk mencoba membuktikan, apakah memang pembicaraan mengenai
kekuasaan telah absen setelah rejim Soeharto tumbang, saya ingin membuka
penelitian ini dengan melihat kondisi politik Indonesia di masa kini. Terutama
dalam kaitannya dengan respon bidang kesenian terhadap kondisi politiknya.
Perubahan kondisi politik Indonesia dari Masa Orde Baru ke Reformasi dan
setelahnya, mampu mengantarkan kita pada gambaran mengenai perubahan
kondisi kehidupan kesenian di Indonesia. Perubahan haluan kesenian, terutama
dalam perbincangan politik di negara ini, akan dilihat melalui penjabaran yang
alurnya maju (walau sesekali akan melihat kondisi di masa lalu, sebagai
perbandingan).
Fokus bab ini adalah melakukan pembacaan mengenai posisi dari beberapa
bidang kesenian dalam merespon kondisi sosial politik di Indonesia, terutama
pasca reformasi. Saya hendak mengantarkan sekelumit cerita mengenai
bagaimana bidang kesenian seperti sastra dan juga teater berjibaku dengan kondisi
sosial, politik bahkan juga ekonomi di setiap jamannya. Terutama semenjak
reformasi diraih. Saya hendak memaparkan 3 (tiga) bidang kesenian dari sekian
banyak bidang kesenian yang ada. Bukan tanpa alasan saya memilih ketiga bidang
tersebut. Ketiganya dirasa mampu mengartikulasikan respon mereka terhadap
kondisi sosial-politik di masanya. Penelitian ini tidak bermaksud untuk
meniadakan keberadaan bidang lainnya, hanya saja ketiganya dirasa dapat
mewakili bidang seni yang lain.
44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pada bab ini saya ingin menghadirkan gambaran mengenai gerakan yang
dilakukan oleh para seniman dari tiap bidang kesenian. Terutama peran mereka
dalam memaknai dan menghadapi kondisi sosial-politik di Indonesia, dalam
lingkup pasca reformasi. Walau titik waktu yang dipancangkan adalah masa
setelah reformasi, tapi beberapa kali saya tetap memasukan pembicaraan
mengenai kehidupan kesenian tersebut sebelum masa reformasi. Hal tersebut saya
lakukan, untuk melihat sejauh mana kesenian-kesenian di tiap jamannya, berusaha
menghadapi perilaku penguasa atau kekuasaan di negaranya. Semangat dalam
menghadapi pergolakan itulah yang akan dicatat sebagai benang merah antara satu
bidang kesenian dengan bidang kesenian yang lain, tidak terkecuali kethoprak.
Dengan melihat kecenderungan perubahan dan perkembangan setiap bidang seni
pasca reformasi, kita diajak untuk mencermati tiap gerakan yang dilakukan oleh
para seniman. Seniman-seniman yang mengekspresikan daya kritisnya melalui
media karyanya masing-masing.
B. Reformasi: Musuh bersama, Ke mana Perginya?
Apakah bola perjuangan reformasi telah berhenti bergulir semenjak
pencapaiannya? Secara normatif, mungkin kita (dan akan diamini oleh banyak
orang) akan menjawab tidak. Cita-cita untuk membangun Indonesia menjadi lebih
baik, melalui perjuangan yang memakan waktu panjang itu tidak mungkin
berhenti, dan tidak mungkin hilang begitu saja. Menumbangkan rejim Orde Baru
bukanlah perkara mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Ini hal yang terlalu
rumit dan terlalu sulit. Rejim yang berkuasa selama 32 tahun itu, sudah
mencengkram terlalu dalam. Menang harus diakui bahwa reformasi yang telah
45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dirayakan sebegitu rupa, nyatanya masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah
yang amat banyak. Pembenahan di banyak sektor bukanlah pekerjaan sederhana
yang dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Banyak doktrin Orde Baru yang
masih tersisa dan kuat mengendap dalam pola pikir dan pola perilaku pemerintah
dan rakyat Indonesia. Ya walau reformasi sudah dilalui, namun doktrin mengenai
ideologi yang lama (Orde Baru) belumlah bisa diganti begitu saja.
Terus terang, saya merupakan seorang anak yang tumbuh di kala Soeharto
menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini. Saya juga merupakan murid yang
hampir di setiap harinya dicekoki doktrin mengenai keunggulan pemerintahan di
kala ini. Sebutan “Bapak Pembangunan” yang dilekatkan pada Soeharto, adalah
citra yang ditanamkan di dalam kepala setiap orang. Bahwa Soeharto lah kunci
pembangunan dan keberhasilan bangsa ini. Doktrin yang selalu digaungkan di
hampir seluruh mata pelajaran di sekolah, mengatakan bahwa Orde Lama
merupakan masa suram yang penuh penderitaan dan catatan hitam. Sosok yang
telah mengangkat rakyat Indonesia dari penderitaan di masa Orde Lama adalah
Soeharto. Soeharto menjadi pahlawan yang membawa era baru bagi Indonesia, era
kemajuan pembangunan yang serba modern. Pada masa itu, kita dicekoki
keyakinan bahwa sejauh kita memandang, pembangunan gedung, jalan, dan
fasilitas umum lainnya, adalah keberhasilan Soeharto. Padi hijau menghampar,
yang mampu mengantarkan Indonesia untuk dapat berswasembada pangan, adalah
keberhasilan Soeharto. Keamanan dan Ke-Bhineka Tunggal Ika-an seluruh rakyat
46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Indonesia di 27 Provinsi35, adalah keberhasilan Soeharto. Kebudayaan dan
kesenian Indonesia maju dan terkenal secara global, adalah keberhasilan Soeharto.
Ya. Apapun keberhasilan yang nampak pada masa itu, itu adalah berkat
sang bapak pembangunan. Puja dan puji terhadap Soeharto dikumandangkan di
seluruh pelosok negeri. Entah puja dan puji yang murni mengagumi sosok
tersebut, atau bisa jadi puja dan puji yang dipajatkan dibawah represi. Seringkali
terlalu sulit untuk membedakannya. Pada masa itu Soeharto digambarkan sebagai
seorang tokoh negarawan yang menawan. Bagaimana tidak? Di TVRI, yang
merupakan satu-satunya stasiun televisi pada masa itu, yang notabene adalah
stasiun televisi milik pemerintah, sosok Soeharto dicitrakan sebegitu luar biasa.
Kita dibombardir dengan propaganda yang tiada hentinya. Terlebih lagi bagi saya
yang merupakan anak dari seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), pastinya
diharamkan untuk membenci sosok tersebut. Terbukti dengan pertama kalinya
saya mengikuti pemilu pada tahun 1997, ayah mengharuskan saya untuk memilih
nomer 2 (dua) yaitu partai Golkar, sebagai salah satu upaya dari instansi
pemerintahan (tempat ayah saya bekerja), untuk mengukuhkan pemerintahan
Soeharto sebagai penguasa. Walau dalam hitungan tahun, kekuasaan itu tidak lagi
kuat menahan perlawanan rakyatnya.
Saya harus akui bahwa mekanisme pencitraan yang dilakukan pada masa
Orde Baru sangat berhasil mempengaruhi banyak orang. Pencitraan merupakan
mekanisme penaklukan di ruang publik yang dilakukan oleh oleh rejim pada masa
itu. Pada kenyataannya, represi terjadi di sana sini. Rejim mendominasi di segala
35
Pada masa Orde Baru, Wilayah Indonesia dibagi dalam 27 Provinsi. Pembagian itu kemudian
berubah pada tahun 1999, setelah masa reformasi. Setelah masa reformasi, terjadi program
pemekaran, dengan membagi wilayah yang luas menjadi beberapa provinsi. Pemekeran itu
ditujukan untuk efisiensi dan pemerataan pembangunan.
47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bidang kehidupan rakyatnya. Rakyat seakan tak punya pilihan selain tunduk dan
menurut pada rejim yang dicitrakan baik hati ini. Pelanggaran kemanusiaan bukan
hal baru dalam pelaksanaan pemerintahan di dalam rejim. Mekanisme
penundukan rakyat, dilakukan secara sistematis. Tidak hanya melalui mekanisme
teror, baik itu melalui berbagai kebijakan pemerinatahan dan militer, akan tetapi
juga melalui pendisplinan serta pengawasan yang ketat terhadap rakyat, melalui
agen-agennya (baik resmi maupun tidak resmi). Rejim mengklaim bahwa
mekanisme semacam itu diadakan demi keamanan dan ketertiban masyarakat.
Doktrin yang ditanamkan melalui berbagai mekanisme tersebut, tidak
hanya melalui jalur penertiban yang keras, akan tetapi juga masuk dalam sela-sela
laku hidup masyarakat. Kesenian salah satunya. Rejim Orde Baru, selayaknya
rejim-rejim yang berkuasa di negara lain, juga menggunakan perangkat kesenian
sebagai senjata untuk mendoktrin rakyat. Walau sesungguhnya tidak semua
seniman setuju untuk ikut menguatkan kekuasaan rejim. Tarik menarik dan
bahkan pertentangan antara seniman yang melawan rejim, dengan seniman yang
mengafirmasi rejim jelas tidak bisa dihindari. Nalar untuk melawan selalu timbul
di kala seseorang dihadapkan pada sebuah represi dan dominasi, akan tetapi
perlawanan tersebut ada kalanya mengalami titik ketidakberdayaan atas represi
dan dominasi yang sedemikian kerasnya. Demikian juga dengan kondisi para
seniman yang berhadapan dengan rejim penguasa.
Saya ingin mengajukan satu contoh menarik untuk menggambarkan
kondisi tersebut. Sebuah contoh yang mungkin terlalu jauh jaraknya dari sini,
namun kondisinya agak mirip. Mengenai Alexander Pushkin, seorang penulis era
romantik dan juga pendiri mahzab kesusastraan modern Rusia. Pushkin
48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
merupakan sastarawan yang memiliki kerinduan pada perlawanan. Ia begitu
lantang menyuarakan ketidaksukaannya terhadap Alexander I selaku penguasa,
melalui puisi-puisi yang dibuatnya. Ia mengajak rakyat untuk tidak tunduk dan
tidak pasrah pada cambuk, penjara bawah tanah serta kursi penyiksaan. Namun,
sikap kerasnya berubah secara drastis, manakala pemerintahan Rusia berganti
dipegang oleh Nikolas I. Pushkin berubah menjadi seorang seniman yang apatis
terhadap perlawanan melalui seni. Sikapnya dipengaruhi oleh peristiwa 14
Desember 1825. Ia dan banyak kaum terpelajar di masa itu, telah dilumpuhkan
secara paksa oleh Nikolas I dan tangan kanannya, Benkendorf. Mereka berusaha
untuk meluruskan pena Pushkin untuk menjadi agen moral konvensional. Pushkin
muak pada “kebesaran moral” itu. Ia lebih muak pada seni yang menjadi alat yang
mendatangkan keuntungan bagi penguasa pada saat itu.36 Alasan itulah yang
membuatnya ingin menaruh seni sebagai seni, tidak lagi sebagai sesuatu yang
dapat ditunggangi (oleh penguasa).
Melihat Pushkin, lantas apalah bedanya dengan kondisi yang dihadapi para
seniman di Indonesia, pada masa Orde Baru? Mungkin jawabnya tidak jauh
berbeda. Pada jaman Orde Baru, sedikit banyak kondisi tersebut dapat ditemukan
juga. Tarik menarik kepentingan dalam kesenian tidak pernah sepi. Dalam
upayanya menenggelamkan sisa-sisa gambaran Orde Lama, penguasa Orde Baru
menggunakan lini kesenian untuk menyebarkan doktrin kebencian dan ketakutan
pada “hantu komunis” dari masa lalu. Bagi anak yang lahir pada tahun 70-80an,
mungkin pernah sekali atau bahkan berkali-kali menonton film
berjudul
Pengkhianatan G 30 S/ PKI, besutan Arifin C. Noer. Film tersebut merupakan
36
G.V. Plekhanov, 1957, hal. 4-5
49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
salah satu upaya propaganda menabur ketakutan terhadap komunisme. Dalam
film yang berdurasi lebih dari 4 jam itu, Soeharto dicitrakan sebagai sosok
pahlawan, sang penyelamat Indonesia dari rencana kudeta PKI. Dibalik semua
propaganda yang dilakukan melalui pita seluloid itu, banyak dari anak-anak yang
setiap tahunnya dicekoki ketakutan terhadap PKI, tidak mengetahui bahwa ada
ribuan rakyat ditangkapi, ditahan dan dibantai, demi menguatkan legitimasi
kekuasaan Orde Baru. Genosida yang belum ditemukan secara tertulis di dalam
buku pelajaran sejarah di sekolah.
Tidak hanya melalui film, beberapa lini kesenian juga digunakan untuk
menanamkan doktrin, dan menuai kepatuhan dari rakyat. Penguasa Orde baru
sangat sadar atas kekuatan yang terkandung dalam gerakan seni. Melalui kesenian
yang digandrungi rakyatlah, kekuasaan Orde Baru mendekati dan menundukan
mereka. Kesenian dengan corak “penyuluhan” akan sangat mudah kita dapati
dalam karya-karya beberapa seniman dan kelompok seni di masa itu. Lesenian
semacam ini dipelihara oleh negara. Sedangkan di sisi yang bersebrangan, kondisi
semacam itu menghadirkan kegelisahan yang berkepanjangan. Seni dalam
kacamata para seniman tersebut adalah media untuk menyuarakan hati dan
kemanusiaan. Seniman di sisi ini berkarya dan bergerak untuk mengkritisi rejim.
Gerakan semacam itu berhasil membuat Soeharto dan para pengikutnya
gerah. Rejim mempersempit ruang bagi kesenian semacam itu. Tidak ada ruang
bagi perlawanan, walaupun dibungkus melalui lidah kesenian. Pada masa tersebut,
sosok Soeharto hadir sebagai musuh bersama. Sejumlah seniman aktif berbicara
politik dan mengkritik rejim. Bersama para aktivis, mereka berupaya menggempur
50
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ke atas, dan menggalang kekuatan di bawah. Gerakan menuju titik puncak
reformasi.
Perjalanan panjang mencapai reformasi berbuah manis. Terbukti pada
tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan dirinya lengser dari tampuk
kekuasaannya, sebagai respon dari gerakan rakyat di seluruh negeri. Selepas titik
puncak reformasi, secara kasat mata kita melihat ada banyak perubahan yang
terjadi. Perjuangan politik masyarakat berangsur-angsur berubah. Reformasi
sebagai sebuah fase yang dituju, ditunggu dan diperjuangkan dalam waktu
panjang, telah sukses diwujudkan. Rejim Soeharto berhasil digulingkan, sosok
yang menjadi musuh bersama telah berhasil dilengserkan. Pada awal reformasi,
gegap gempita perubahan muncul di sana-sini. Kran-kran yang sebelumnya
dimampatkan atau ditutup oleh kekuatan kekuasaan, akhirnya dapat dibuka
dengan volume yang sangat besar. Berbagai hal yang sebelumnya direpresi,
akhirnya bebas menentukan nasibnya sendiri-sendiri. Begitu pun dengan kesenian.
Di sini era baru dimulai. Era yang menjanjikan kemerdekaan berekspresi.
Era kemerdekaan berekspresi dan juga bereksistensi ini, tidak kemudian
diikuti dengan kesiapan untuk mengawal orientasi yang semula dituju. Bila
mengibaratkan pencapaian reformasi sebagai proses dari sebuah eskalasi konflik,
pada saat titik puncak telah dilampaui, maka akan ditemu juga ada fase
menurunnya. Walau sesungguhnya fase menurun dalam konteks ini, tidak bisa
serta merta dikatakan sebagai sesuatu yang negatif. Menurun di sini dapat
diartikan sebagai penurunan tegangan perjuangan. Perjuangan ini tidak sepanas
sebelumnya, tidak semassif sebelumnya dan tidak seberdarah sebelumnya. Setelah
tumbangnya rejim Soeharto, pada awal tahun 2000-an, banyak seniman dan
51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
komunitas-komunitas seni yang mengalami kebingungan. Kebingungan akibat
dari hilangnya sosok musuh bersama. Seniman dan komunitas-komunitas seni
kemudian mencari format baru. Format diri dan format musuh yang hendak
dikritisi dan dilawan. Bila pada masa yang lalu, sosok musuh terlihat nyata dan
tungggal, Soeharto, maka pada masa setelah rejim itu tumbang, sosok musuh
menjadi tak terlihat. Di titik inilah kemudian kesenian mulai mengidentifikasi
musuhnya masing-masing, berdasar dari pengalaman yang ditemukannya selama
bersinggungan dengan kondisi sosial, politik dan juga ekonomi rakyat.
C. Sastra Geliat yang Tak Berkesudahan
C.1. Era Baru, Harapan Baru?
Kebenaran dalam kesusastraan adalah sebuah perlawanan, sejarah yang
hanya diciptakan bagi pembenaran kekuasaan. Kebenaran di dalam
kesusastraan sama sekali tidak tergantung pada tanah dan kertas (keduanya
alat tulis Jawa kuno) maupun komputer, melainkan oleh visi dalam kepala
yang dengan sendirinya antikompromi terhadap pemalsuan sejarah.
Perangkat sastra seperti kertas dan disket bisa terpendam, dilupakan, dan
dimusnahkan, tapi kesusastraan akan tetap hadir sebagai pembenaran dan
pojok bisu mana pun, karena kehidupan sastra berada dalam pikiran.37
Hendak mencari tahu sejarah suatu bangsa di suatu masa? Maka lihatlah
karya sastranya. Tidak ada yang bisa menyangkal, atau pun tidak mengindahkan
posisi sastra dalam pergulatan politik suatu bangsa. Kita bisa meminjam catatan
sastra sebagai bagian dari catatan sejarah. Ya walaupun, memang kita harus jauh
lebih jeli membacanya, karena karya sastra pun adalah sebuah karya seni, yang
tidak lepas dari kemungkinan penambahan dan pengurangan di sana-sini, demi
37
Seno Gumira Ajidarma, 2005, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Bentang
Pustaka Yogyakarta, hal. 8
52
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tujuan estetis. Namun lagi-lagi, kita akan selalu dapat melihat karya sastra sebagai
salah satu rujukan untuk dapat mengenal, memahami dan bahkan memikirkan
jauh lebih dalam, mengenai kondisi suatu masyarakat, di suatu wilayah dan di
suatu masa. Gambaran tersebut bisa saja kita dapatkan secara detil dari hasil karya
para sastrawannya.
Sedikit mundur kebelakang, untuk melihat sedikit gambaran ranah sastra
di masa Orde baru, dimana mekanisme deideologi sastra lahir dan berkembang.
Afrizal Malna, pada bukunya yang berjudul Sesuatu Indonesia, menyebutkan pada
kala itu amat terasa campur tangan pemerintah dalam dunia kesusastraan. Salah
satu contoh yang diangkatnya adalah keputusan yang diterapkan di Taman Ismail
Marzuki, terkait masalah pencekalan terhadap Rendra dan Emha Ainun Najib.
Mengenai hal ini, Goenawan Muhammad mengatakan bahwa kebebasan
sesungguhnya adalah milik kekuasaan, dan bukan semacam hak yang bisa dipakai
siapapun, terutama seniman. Deideologi sastra juga hadir dalam kedekatan
sastrawan dengan pemerintahan atau partai politik tertentu. Sehinga kekritisan
sastrawan menjadi lebih lemah.
38
Deideologi pada masa Orde Baru terbukti
ampuh membungkam sebagian sastrawan, untuk diam dan tidak melawan.
Kala Reformasi mencapai puncaknya, yang ditandai oleh lengsernya
Soeharto pada tahun 1998, menjadi momen yang menjanjikan kemerdekaan baru
di ranah sastra. Era penyensoran, pelarangan terbit atau pun pelarangan edar sudah
usai. Berbagai isu yang semula dilarang, setelah reformasi dibicarakan secara
bebas. Selayaknya sebuah era yang baru, sastra dan sastrawannya juga menapaki
tantangan yang baru.
38
Afrizal Malna, 2000, Sesuatu Indonesia, Bentang, Yogyakarta, hal. 478
53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Era reformasi, nampaknya tidak akan menjamin kehidupan sastra
Indonesia lebih baik, kalau sastrawannya sendiri tidak bangkit. Sastrawan
sendiri harus mereformasi posisi dan perilakunya sebagai sastrawan. Tidak
cukup dengan cara menuding, mengelak, memasang label reformasi di
kepalanya atau bersilat argumentasi, tetapi dengan karya-karya. Dan itu
mutlak memerlukan kerja.39
Tidak salah kiranya pernyataan Putu Wijaya di atas. Ia menampar cukup
keras pipi para sastrawan di era reformasi. Mungkin ada benarnya, jika para
sastrawan mulai memikirkan dengan serius agenda kerja mereka, ketimbang larut
terus menerus dalam euphoria kemenangan atas pencapaian reformasi. Tugas
sastrawan tidak selesai setelah rejim Orde baru runtuh, masih ada banyak
pekerjaan rumah
yang harus dilakukan, yaitu mereformasi kerja-kerja
kesusastraan mereka. Mereka pun harus mencoba merespon kebebasan yang telah
diperolehnya sebagai agenda menghadapi reformasi.
Pembenahan ranah sastra di masa reformasi, dianggap tidak cukup hanya
dilakukan dengan melakukan penggolongan sastrawan menurut titik waktu tahun
2000 saja. Dalam perdebatan para sastrawan dan pegiat sastra, pembenahan yang
dimaksud adalah juga mengenai proses eksplorasi dan pembangunan paradigma
baru dalam dunia sastra. Membangun paradigma baru ini, merupakan fundamen
penting bagi proses berkarya yang akan terus bertumbuh secara dinamis dan
berani. Kebebasan atas represi menjadi kunci untuk menciptakan karya yang
bertujuan untuk mengartikulasikan diri secara terbuka dan merdeka. Tema-tema
karya sastra menjadi melesat dengan isu-isu baru.
Gegar dunia sastra seakan mampu menularkan semangat pembebasan yang
dihadirkan oleh reformasi. Pada masa ini, sastra kehilangan musuh bersama.
39
Putu Wijaya dalam tulisannya pada https://putuwijaya.wordpress.com/2007/11/04/sastrareformasi/ (diunduh: 15 Agustus 2015)
54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Orientasi pembicaraan dan penciptaan sastra tidak lagi menujuk pada satu arah
lagi.
Namun
menyebar,
sesuai
dengan
pencariannya.
Sebagian
masih
membicarakan rasa traumatik dari masa lalu, sebagian lagi membuka
perbincangan identitas. Isu mengenai perjuangan identitas menjadi gelombang
besar sastra di masa kini. Baik identitas etnisitas, keagamaan, gender maupun
seksualitas.
C. 2. Identitas dalam Pasar
Selepas reformasi, gerakan untuk membicarakan isu-isu global seperti isu
identitas, makin kuat berkembang. Berbekal standar isu kemanusiaan global,
pembicaraan mengenai isu ini masuk keruang-ruang penciptaan karya sastra lokal.
Salah satunya pembicaraan mengenai pelanggarakan kemanusiaan yang terjadi
pada masa pra reformasi. Reformasi tahun 1998, yang dirayakan sebagai titik
puncak pencapaian dari keterkekangan rejim Orde Baru, menyisakan banyak
catatan hitam. Salahsatunya kasus pelanggaran HAM terhadap masyrakat etnis
Cina. Beberapa sastrawan membicarakan perihal itu di dalam karya-karyanya.
Salah satunya dalam novel berjudul Putri Cina yang ditulis oleh Shindunata.
Novel tersebut membicarakan posisi masyarakat enis Cina di Indonesia.
Bagaimana pun kuatnya ikatan hidup mereka dengan Jawa (dikisahkan kedua
tokoh tersebut hidup di tengah masyarakat Jawa), mereka tetap menjadi liyan.
Bila boleh meminjam istilah dari tulisan Aprinus Salam, sastra semacam
ini merupakan salah satu bentuk sastra traumatik. Pada masa pasca reformasi,
karya sastra seperti ini hadir untuk menjadi mekanisme penyembuhan bagi lukaluka sosial-politik di masa lalu. Pasca Orde Baru, sastra traumatik juga kerap
mengangkat permasalahan politik di tahun 1965. Walaupun tema ini muncul,
55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
namun tidak terlalu populer dibanding tema lainnya. Hal tersebut disoroti Aprinus
sebagai dampak dari kekecewaan sastrawan terhadap rejim Orde Baru yang
represif. Tema-tema yang tampil yaitu seputar kebobrokan negara, korupsi,
nepotisme, kolusi, demonstrasi menentang ketidakadilan aparatus negara,
kebusukan politik (nasional atau aparat pemerintah), dan sebagainya. 40 Tematema tersebut masih hidup, guna membicarakan dampak berkepanjangan dari
kekuasaan rejim. Sastra traumatik semacam ini muncul, namun belum mampu
menandingi beberapa tema lainnya, yang jauh lebih populer pada masa pasca
reformasi. Salah satunya sastra yang mengangkat tema religiusitas.
Habiburrahman El Shirazy, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadya dan Pipit
Senja yang tergabung dalam kelompok Forum Lingkar Pena (FLP), menjadi
deretan nama dengan magnet yang besar dalam dunia kesusastraan Indonesia.
Novel-novel yang ditulis oleh mereka sangat kental dengan identitas ke-Islamannya. Hampir di seluruh novel yang mereka buat, kental dengan nuansa religius.
Para sastrawan yang bergiat di wilayah ini, ingin menjadikan karya sastra sebagai
bagian dari dakwah atau syiar agama. Sastra religius semacam ini meraih
kepopuleran yang cukup tinggi, dengan jumlah permintaan pasar yang tinggi pula.
Lantas adapula karya yang mulai berjejal, dan dengan cepat bermunculan
di era ini. Karya-karya dengan tema seksualitas. Pada era Orde Baru, sebagian
dari kita mungkin sudah mengenal penulis seperti Motinggo Busye, Fredy S
ataupun Abdulah Harahap. Mereka bukan orang baru dalam wilayah penulisan
novel dengan tema erotis di Indonesia. Selepas reformasi, arus tema penulisan
semacam itu bangkit kembali sebagai karya sastra. Sederet penulis perempuan
40
Aprinus Salam, NOVEL INDONESIA SETELAH 1998:dari Sastra Traumatik ke Sastra Heroik, hal.7
56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ambil bagian dalam wilayah ini. Sebutlah salah satunya Ayu Utami, dengan
karyanya yang berjudul Saman. Ia mengejutkan banyak orang dengan
menghadirkan tokoh-tokoh yang tidak lagi malu-malu berbicara mengenai
kehidupan, maupun impian seksual mereka. Masih mengangkat tema yang sama,
Ayu menghasilkan karya lain seperti Larung, Bilangan Fu dan Si Parasit Lajang.
Lantas ada Jenar Maesa Ayu, anak dari sineas Syuman Jaya, yang menulis
Mereka Panggil Aku Monyet dan Jangan Main-main dengan Kelaminmu. Tidak
hanya mereka berdua, ada banyak nama penulis perempuan lainnya, yang
mengangkat isu yang sama.
Isu-isu global yang hadir dalam artikulasi kesusastraan pada kenyataannya
menjadi bagian penting dari kekuatan komoditi dalam pasar. Novel Saman pernah
menjadi Best Seller, dengan jumlah penjualan yang menyentuh angka lebih dari
55.000 eksemplar.41Jumlah yang sangat banyak, terlebih lagi bila memikirkan
berapa jumlah keuntungan yang didapatkan melalui penerbitan dan penjualan
novel tersebut.
Semestra pembicaraan mengenai sastra, pada akhirnya
mengantarkan kita pada pembicaraan mengenai keuntungan dari komoditi
tersebut. Wahmuji dalam tesisnya menyinggung hal tersebut. Ia menuliskan
bahwa menguatnya komodifikasi apapun dalam sistem neoliberal, berimbas pula
pada semakin kuatnya pengaruh sistem tersebut di medan produksi kultural,
seperti sastra, kritik sastra, dan kritik artistik. Wahmuji melihat bahwa praktek
kritik sastra dan artistikpun hadir untuk melayani kepentingan penerbit, demi
41
www.kompasiana.com/aziz.abdul.ngashim/ayu-utami-jogja-dan-selembar-kisah-yangtersisa_54ff329ca33311b44550fb5d
57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
meraup keuntungan yang lebih besar. Ia mencontohkan keberadaan blurb sebagai
upaya penting untuk mengangkat nilai buku tersebut.42
Karya sastra pada titik ini mengalami kehilangan ke-diri-annya. Wahmuji
menyebutkan sebagai kondisi hilangnya medan otonom karya sastra. Hal tersebut
dikarenakan kuatnya komersialisasi di wilayah ini.43Seperti yang dicontohkan di
atas, kala novel Saman menjadi best seller, ia telah menjadi produk yang tren
dengan penulis yang terkenal. Karya sastra tidak lagi dilihat dalam kapasitas
karyanya, namun seberapa kuat idiom pendukung promosi yang hadir
bersamanya.
Sehingga
pada
akhirnya,
karya
sastra
masuk
dalam
ruang
penggolongannya masing-masing. Kecenderung penerbit sebagai pelaku pasar,
lebih melihat fiksi populer sebagai komoditi yang jauh lebih menjanjikan
keuntungan, ketimbangan karya sastra serius. Wahmuji melihat bahwa sastra
direpresentasikan sebagai sebuah medan yang relatif otonom dari kekuasaan
(ekonomi) sedangkan fiksi populer justru menghamba pada pasar. Sastra memiliki
otonomi relatif, yang memungkinkannya untuk lebih kritis pada kekuasaan.44Hal
tersebut tidak didapati dalam sastra (fiksi) populer, yang selalu berusaha untuk
memenuhi keinginan pasar, sebagai pusat produksi dan distribusi.
Peran pasar nasional dengan berdasar pada isu yang berkembang secara
global, nyatanya mampu mendongkrak posisi ekonomi dari sastra popouler.
Khalayak pembaca digiring para selera yang dibentuk oleh kepentingan
42
Wahmuji, Heteronomisasi Medan Sastra di Bawah Neo-liberalisme: Analisis Modal Kultural
Mengenai Sastra dan Fiksi Populer, Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakata,
2015, hal. 42
43
Wahmuji, 2015, hal.43
44
Wahmuji, 2015, hal. 5
58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kapitalisme, bukan kepentingan sastra itu sendiri. Strategi blurb misalnya, jauh
lebih penting untuk membentuk minat pembaca pada sebuah karya sastra. Pasar
global pun, hadir dan berperan penting dalam popularitas beberapa karya sastra
yang berhasil dialihbahasakan ke bahasa lainnya. Kekuataan kalimat “berhasil
terbit dan menjadi best seller” di negara lain, dapat menjadi magnet bagi minat
pasar (baca:pembaca) lokal-nasional untuk memburu karya tersebut. Sehingga
pada masa sekarang ini, ketertarikan khalayak pembaca pada karya sastra, tidak
selalu terletak pada kualitasnya saja. Akan tetapi juga dapat dibentuk oleh isu,
maupun strategi pasar yang diterapkan para pelaku ekonomi di dunia sastra.
C. 3. Perlawanan terhadap Pusat Sastra
Meneruskan pebicaraan mengenai salah satu karya sastra yang cukup
fenomenal pada masa pasca reformasi, mungkin kita tidak akan mungkin
mengabaikan karya Ayu Utami, yaitu Saman. Karya ini mendapat sambutan yang
cukup baik, dari pembaca nasional maupun internasional. Karya yang lahir dari
ajang penulisan sastra yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta ini,
juga membuahkan penghargaan dari negara lain. Hal tersebut menjadi sebuah
catatan baru bagi dunia kesusastraan Indonesia. Novel Saman dianggap
mendobrak ranah kesusastraan Indonesia pada awal kemunculannya, tidak lain
dan tidak bukan adalah karena isu yang diusungnya. Isu seksualitas. Meski bukan
sebuah isu yang baru, namun Saman terbukti mampu menarik perhatian banyak
orang, untuk membaca dan dan membincangkannya.
Kehadiran Saman
perdebatan yang seru di antara para sastrawan dan pegiat sasta, karena novel ini
dianggap sebagai representasi dari Komunitas Utan Kayu (KUK).
59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KUK harus diakui kerap dijadikan sebagai standar dan kiblat kesusastraan
dan kesenian di Indonesia. Letak komunitas yang berada di ibu kota Jakarta,
kedekatannya dengan pemerintah (dalam hal ini Dewan Kesenian Jakarta),
penguasaan media dan kekuatan pendanaan menjadi pendukung keberhasilan
komunitas ini, dalam membangun dirinya. Lambat laun tokoh-tokoh KUK seperti
Goenawan Muhammad, Sitok Srengenge, Ayu Utami, dan lain sebagainya,
menjadi patron bagi para seniman dan sastrawan di wilayah lainnya.
Patronase ini diperkuat dengan dukungan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
sebagai salah satu jaringannya. Keberadaan KUK, pada perkembangan sastra dan
seni di Indonesia tidak selalu mendapatkan respon positif. Adanya banyak
perdebatan dan polemik yang hadir seiring dengan eksistensi mereka yang
dianggap sebagai pusat dan standar sastra dan seni Indonesia. Gugatan mulai
bermunculan dari komunitas, sastrawan, seniman dan pegiat sastra serta seni,
terhadap “pemusatan” pada KUK.
Dengan beragamnya kekhasan dan
kepentingan dari sastra dan seni di Indonesia, sepertinya muskil bila
perkembangan sastra pada akhirnya mengikuti jejak KUK.
Standarisasi dan
pemusatan sastra yang terletak pada KUK, melahirkan kondisi yang tidak sehat
dalam dunia sastra. Tanggapan terhadap KUK sendiri sangat beragam. Dari
merayakan, menyambut gembira, hingga melawannya karena dinilai sebagai pusat
sastra.
Gerakan perlawanan terhadap pemusatan sastra Komunitas Utan Kayu
(KUK), banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas sastra di daerah-daerah.
Komunitas-komunitas ini hadir sebagai tandingan, dan menyatakan sikap menolak
keberadaan hegemoni sastra yang terpusat. Jurnal Boemipoetra yang digawangi
60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
beberapa sastrawan dan pegiat sastra di daerah, menjadi ikon gerakan tersebut.
Babat Hutan Kayu45, menuliskan essai mengenai apa yang sesungguhnya mereka
kritisi dari KUK. Keberadaan komunitas sastra daerah sebagai oposisi dari KUK,
dipetakan melalui beberapa perbedaan yang singnifikan di antara keduanya.
Perbedaan permasalahan antara komunitas sastra daerah dan KUK, adalah satu:
pendanaan komunitas biasanya didapatkan dari kantong para anggotanya
(patungan), sedangkan KUK mendapatkan dana dari donor asing. Kedua:
komunitas sastra berorientasi pada permasalahan kerakyatan dan membumi.
Ketiga: KUK melalui sepakterjangnya, melegitimasi diri sebagai pusat sastra,
sedangkan komunitas sastra mementahkannya dengan slogan “Sastra Tanpa Pusat
Sastra”. Keempat: identitas komunitas sastra berorientasi pada lokalitas dan
nasional, lain halnya dengan KUK yang berorientasi pada kapitalisme dan
seksualitas. 46
Gerakan melawan KUK, melahirkan maklumat, yang dikenal sebagai
pernyataan sikap Sastrawan Ode Kampung, yang dilaksanakan pada tanggal 20-22
Juli 2007, di daerah Serang Banten. Isi dari maklumat tersebut yaitu:
1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas
yang lainnya.
2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika.
3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan
kita.
Pernyataan sikap tersebut ditandatangani oleh 138 orang sastrawan dan para
penggiat komunitas-komunitas sastra dari seluruh Indonesia.
Keberadaan Joernal Boemipoetra sendiri cukup menarik perhatian banyak
pihak. Tulisan-tulisan yang terdapat dalam journal ini sering dipandang urakan
45
Nama pena dari Wowok Hesti Prabowo
Essei dari Babat Hutan Kayu, 2007, Sastra Tanpa Pusat Sastra, Jurnal Sastra Boemipoetra, Edisi
Pertama hal.2
46
61
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan liar. Terutama saat menyampaikan kritik-kritiknya terhadap KUK. Muhidin M
Dahlan dalam esseinya yang berjudul Jurnalisme Pamflet mengatakan bahwa
bentuk jurnalisme Boemipoetra hampir sama dengan jurnal Doenia Bergerak.
Jurnal yang dibentuk oleh Mas Marco Kartodikromo. Jurnal tersebut dibuat
karena alasan ketidakpuasannya terhadap sikap Tjokroaminoto yang dianggap
lembek terhadap pemerintah pada saat itu. Muhidin melihat kesamaan diksi-diksi
yang dimunculkan dalam dari kedua jurnal, yang rentang tahunnya sangat jauh itu.
Bila banyak pihak yang melihat keduanya sebagai sederetan tulisan liar, penuh
kemarahan, dan jauh dari tata kesopanan, Muhidin memandang dengan cara yang
berbeda. Ia menyatakan bahwa sesungguhnya kedua karya jurnalistik tersebut
lebih seperti cambuk api di tengah kelesuan dunia kesusastraan yang mengarah
pada monolitisme. Seperti jargon mereka: boekan milik antek imperialis. Mereka
melawan keras pada dominator, manipulatif, agen liberalisme di lapangan
kebudayaan, dengan jurus jurnalisme pamflet.47
Perlawanan terhadap pusat sastra melalu junalisme pamflet, adalah upaya
untuk mengkonter pembangunan paradigma tunggal dalam sastra. Pencarian
paradigma baru dalam sastra Indonesia, mau tidak mau pasti menghasilkan
polemik tersendiri. Pembangunan paradigma baru, yang dilakukan oleh
Goenawan Muhammad dan
KUK, dianggap tidak mampu mewakili
permasalahan masyarakat secara utuh. Selain itu, efek globalisasi yang masuk
dalam bentuk dukungan dana internasional, dinilai sebagai bentuk lain
imperialisme model baru. Mahdiduri dalam essei yang dituliskan pada Joernal
Boemipoetra menyatakan bahwa semenjak kebijakan penanaman modal asing
47
http://radiobuku.com/2013/01/jurnalisme-pamflet (diunduh: 26 Oktober 2015)
62
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ditetapkan pada tahun 1967, segala sendi kehidupan berbangsa menjadi incaran
penjajahan mereka, tak terkecuali kebudayaan. Ketidakmungkinan melakukan
invansi melalui jalan militeristik, melahirkan strategi untuk menguasai melalui
kebudayaan. Mahdiduri menuliskannya: Jika kebudayaannya dapat dirubah, maka
berubahlah jiwa bangsa itu. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti menguasai
segala-galanya dari bangsa itu.
48
Globalisasi kebudayaan semacam ini lah yang
dikhawatirkan oleh banyak pihak, terutama oleh komunitas-komunitas sastra di
daerah.
D. Memanggungkan Peristiwa dalam Teater
D. 1. Pasca Reformasi, Teater yang terus Mencari
Kebodohan umum saat itu merajalela di masyarakat. Koran-koran
mengungkapkan pernyataan-pernyataan para pemimpin yang picik dan
menderita erosi mental. Saya tidak tahu apa-apa tentang politik, tapi saya
merasa tidak bisa membiarkan erosi mental kolektif itu dibiarkan tanpa
dilawan. Sebab, sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. Tapi saya juga
tidak tahu ABC perlawanan terhadap teror politik semacam itu. Semakin
prihatin saya dengan keadaan, semakin saya bingung. Saya kira waktu itu
saya pun akhirnya juga sakit mental: saya frustasi. Itu gawat. Seorang
seniman tidak boleh frustasi. 49
Tulisan di atas dibuat oleh WS Rendra pada tahun1987. Bukan tanpa
alasan ia menuliskannya. Pada tahun tersebut, Rendra secara pribadi maupun
berkelompok (Bengkel Teater) mengalami masa-masa yang sulit. Dari peristiwa
pencekalan beberapa pementasan kelompoknya, hingga penahanannya atas
48
Essei dari Mahdiduri, 2007, Sastra Indonesia dalam Skenarion Imperialisme, djoernal sastra
Boemipoetra, edisi kedua, hal.7
49
WS Rendra, dalam TEMPO, 6 Juni 1987
63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
beberapa aksi seni yang dicap membahayakan oleh organ militer pendukung rejim
Soeharto di masa Orde Baru. Sepanjang pengalamannya menjadi seniman teater,
atau pun sastrawan, ia memiliki catatan yang tidak menyenangkan saat
diperhadapkan dengan sistem dan organ kekuasaan kala itu. Bahkan Bengkel
Teater beberapa kali mengalami pencekalan, karena dianggap dapat mengancam
stabilitas dan keamanan nasional. Pemetasan mereka dinilai sarat dengan kritik
politik dan cenderung subversif.
Rendra dan Bengkel Teater hanya sebagian dari sekian banyak seniman
dan komunitas teater yang aktif membicarakan politik di atas panggung.
Pembicaraan mereka hampir seragam, mengkritik rejim Orde Baru. Selepas
runtuhnya Orde mereka tiba-tiba disadarkan akan hilangnya musuh bersama. Di
tengah kegamangan masa transisi politik di negeri ini, para seniman dan
komunitas teater mereka mulai bergegas untuk mencari orientasi, di antara sisasisa “pekerjaan rumah” yang ditinggalkan oleh penguasa di masa lalu.
Bukan hal yang mengejutkan bila kita mendapati isu-isu yang berkembang
selepas reformasi, terkesan mirip antara satu bidang kesenian dengan bidang
kesenian yang lain. Lihatlah bidang sastra. Bidang ini masih membicarakan kritik
pada praktek politik negeri ini, walau fase reformasi telah dilampaui. Namun tidak
lagi menunjuk Soeharto sebagai target kritik. Target kritik menjadi lebih
menyebar. Terutama pada praktek pemerintahan yang belumlah beres, meskipun
reformasi sudah tercapai. Para seniman dan kelompok teater, yang dulu kerap
membawakan permasalahan politik ke atas panggung di kisaran tahun 80-an dan
90-an, mulai melihat kondisi sosial-politik kontemporer masyarakatnya. Sebutlah
teater Gandrik yang mementaskan Sidang Susila berisi kritik terhadap undang-
64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
undang anti-pornografi pada tahun 2008, juga pementasan mengenai korupsi yang
berjudul Tangis pada tahun 2014. Ada pula Teater Gapit atau yang kini lebih
dikenal sebagai Lungid, masih setia mementaskan cerita-cerita mengenai
masyarakat kelas masyarakat pinggiran, atau kelas bawah yang dikorbankan demi
program-program pembangunan pemerintahnya.50
Mengenai perubahan ini, Barbara Hatley seorang peneliti dari Australia
mendapati bahwa sesungguhnya jalinan ‘organik’ antara kelompok teater dengan
kondisi
kontemporer,
ataupun
dengan
berlawanan, sudah tidak nampak lagi.
51
kelompok-kelompok
sosial
yang
Mereka terlalu sibuk untuk mengambil
alih kembali hak mereka di ruang publik, terutama untuk bercerita dan
mendengarkan cerita-cerita tentang mereka sendiri dan membangun identitas
sendiri.52 Hal tersebut cukup lumrah, karena memang sejak kemerdekaan, seni
pertunjukan Indonesia selalu saja mengalami proses perubahan, meliputi berbagai
rekayasa, penemuan kembali, aktualisasi kembali, penciptaan kembali, dan rekacipta (karya) kesenian. 53
D.2. Representasi isu dalam Teater Lokal
Dalam proses penciptaan kembali, termasuk proses mencari musuh baru,
seni pertunjukan terutama teater berusaha untuk melakukan kerja-kerja kolaboratif
dengan masyarakat di tingkat akar rumput. Tujuannya tidak hanya bermain di
lapangan kesenian, akan tetapi juga masuk kedalam rumah-rumah persoalan
50
Barbara Hatley, 2014, Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma,
Yogyakarta, hal. 28
51
Barbara Hatley, 2014, hal. 29
52
Barbara Hatley, 2014, hal. 36
53
Julianti L Parani, 2011, hal. 7
65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
masyarakat. Berbasis pada apa yang masyarakat hadapi itulah, maka mereka
berupaya mengidentifikasi musuh baru yang hendak mereka kritisi, serta gerak
perjuangan semacam apa yang paling pantas untuk disuarakan di atas panggung.
Dalam sebuah workshop yang diadakan Universitas Sanata Dharma pada tahun
2010, pembicaraan mengenai orientasi seni pertunjukan dibicarakan secara
khusus. Para peserta workshop beranjak dari ekplorasi identitas dan pemasalahan
lokal masing-masing terlebih dahulu.
Hampir semua peserta, yang terdiri dari para seniman dan pegiat seni
pertunjukan, khususnya teater memindai gerak kesenian komunitasnya masingmasing,
dan
membicarakannya
pada
forum.
Kebanyakan
karya
yang
dipresentasikan bersumber dari kegelisahan atas kondisi yang terjadi pada
masyarakatnya. Mereka merespon kondisi masyarakat melalui proses berkarya
yang serius. Kita bisa mendapati bahwa di Aceh, karya yang dihasilkan
merupakan tanggapan atas peristiwa konflik dan tsunami yang sempat melanda
mereka. Adapula karya dari komunitas pertunjukan di Bali, dan Yogyakarta, yang
masing-masing menghaturkan temuan dan tanggapannya melalui karya-karya
teater yang sangat khas dengan budaya mereka masing-masing.
Untuk memberi gambaran yang mendekati utuh, ada baiknya kita
membahas beberapa kecenderungan karya yang diciptakan oleh para seniman dan
komunitasnya, sebagai bagian dari respon terhadap kondisi masyrakatnya. Di
Aceh, teater menjadi salah satu mekanisme pemulihan trauma. Salah satu
komunitas teater yang fokus memperhatian permasalahan semacam itu di Aceh,
adalah Komunitas Tikar Pandan. Komunitas ini menginisasi lokakarya teater
partisipatif yang melibatkan para korban konflik (GAM dan TNI) dan Tsunami
66
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Aceh.
54
Lokakarya pada tahun 2007, yang diselenggarakan oleh komunitas
tersebut itu menghasilkan sebuah produksi teater yang bertujuan untuk
memulihkan masyarakat dari trauma, dan juga membuka pintu lebar-lebar bagi
rekonsiliasi antar pihak yang berkonflik.
Sedangkan di Bali, fokus seusai masa Orde Baru adalah kearifan lokal,
adat daerah dan industri pariwisata. Bagi masyarakat Bali, seni pertunjukan tidak
bisa dijauhkan dari laku hidup sehari-hari. Terlebih lagi, karena Bali adalah tujuan
wisata dunia, maka Bali dirasa tidak akan pernah kekurangan ide maupun pelaku
seni pertunjukan. Pasca reformasi, permasalahan yang dihadapi adalah makin
massifnya budaya luar yang semakin lama diadopsi oleh masyarakat Bali sendiri.
Sebuah resiko yang harus dihadapi, kala Bali membuka diri terhadap datangnya
wisatawan yang juga dibarengi datangnya budaya mereka ke Bali. Maka
muncullah Ajeg Bali yang mengajak masyarakat Bali untuk kembali pada inti
nilai-nilai kebudayaannya.55 Selain itu, dunia seni pertunjukan Bali semakin
berani mengajak para seniman untuk menyatakan sikap politik meraka, dalam
setiap karya yang dibuatnya.
Lantas di Yogyakarta, sebagai salah satu wilayah yang dinamika gerakan
keseniannya cukup dinamis, di sana lahir karya-karya yang terbuka dan berani
melakukan eksplorasi pada medium baru. Teater Garasi salah satunya. Mereka
sudah meninggalkan format teater konvesional, dengan format yang lebih baru,
dengan memadukan unsur-unsur seni instalasi di dalamnya. Secara gagasan,
54
Reza Idria, 2014, Dua Panggung Pertunjukan di Aceh: Dari Konflik Negara ke Konflik Syariat,
dalam Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta, hal
.206
55
Brett Hough, 2014,Komunitas dan Kancah Budaya di Bali, dalam Seni Pertunjukan Indonesia
Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta, hal. 147
67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mereka tetap setia pada pembahasan mengenai Indonesia, Jawa dan konsepkonsep rumit di dalamnya. Pasca reformasi, mendorong teater Garasi untuk
mengekplorasi tema mengenai krisis Identitas Jawa, yang terjadi setelah
runtuhnya rezim dominasi Jawa a la Soeharto. Mereka mementaskannya dalam
Waktu Batu yang diproduksi pada tahun 2002, 2003 dan 2005. Serta Je.Ja.l.an,
yang dipanggungkan pada tahun 2008 dan 2009. Banyaknya hal yang muncul dan
bercampur dalam produksi Waktu Batu, dikatakan oleh Yudi Ahmad Tajudin
sebagai mekanisme mengamini hadirnya hibriditas yang terus berlangsung pada
identitas Jawa. Menurutnya, kejawaan bukanlah suatu identitas murni namun
sebuah campuran yang dinamis dan kreatif.
56
Sedangkan pada Je.Ja.l.an mereka
mencoba untuk membangun kesadaran mengenai perbenturan identitas yang
saling bertemu di jalanan, yang masing-masing terancam dihimpit oleh globalisasi
dan jeratan penafsiran identitas yang sempit. 57
Kekhasan dari tiap waliyah muncul sebagai bagian dari kegelisahan yang
berbeda satu dengan lainnya. Tidak seperti pada masa Orde Baru, masa pasca
reformasi telah mengembalikan gerak para seniman dan komunitas teater pada
wilayah sosial-politiknya masing-masing. Gerak perubahan dunia teater
Indonesia, terutama teater di masa pasca reformasi, dilihat oleh Barbara Hatley
sebagai sebuah perubahan yang signifikan. Jika pada masa Orde baru, para
seniman teater berusaha menyejajarkan dirinya untuk melakukan upaya politis
dalam gerakan-gerakan perlawanan dengan basis yang lebih luas, maka kini
setelah tumbangnya musuh bersama, membuat para seniman teater lokal sibuk
56
Barbara Hatley, 2014, dalam Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata
Dharma, Yogyakarta, hal. 43
57
Barbara Hatley, 2014, hal. 44
68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membicarakan mengenai permasalahan masyarakatnya. Mereka berlomba-lomba
mengkritik masalah kekuasaan politik (lokal), beserta aneka ragam identitas
sosial, yang didasarkan sifat etnis, agama, kedaerahan maupun orientasi seksual,
yang dirayakan dan saling bersaing.58
Hatley menegaskan bahwa perayaan identitas sesungguhnya adalah juga
bagian dari pementasan teater pada masa Orde Baru, yang diejawantahkan dalam
sebuah perlawanan politik bersama. Walaupun perlawanan itu terkadang kurang
jelas dasarnya. Melihat konteks identitas lokal yang beragam dan tersebar, Hatley
melihat adanya bahaya dari seni pertunjukan yang terjebak pada perayaan dangkal
atas yang lokal yang terfokus pada kepentingan sendiri. Melalui parade-parade
dengan dukungan pemerintah, para seniman dianggapnya mengambil resiko,
karena mau menjadi bagian dari representasi satu daerah yang memitoskan dirinya
sendiri. 59
Kekhawatiran Hatley ada benarnya. Akan tetapi kekhawatiran semacam
ini juga tidak melulu dapat diterima secara utuh. Bila menelusuri isu yang dibawa
dalam pementasan teater di hampir seluruh wilayah Indonesia, hampir semua
memang berbicara tentang identitas. Baik identitas gender, agama, suku bahkan
juga seksualitas. Berkembangnya isu yang hadir di atas panggung pertunjukan
teater juga melalui proses pembacaan wacana besar yang saat ini sedang marak
dibicarakan secara global. Hadirnya organisasi-organisasi penyandang dana
internasional, yang mendukung produksi teater Indonesia, dapat dilihat sebagai
bagian dari pementasan isu titipan global, yang disampaikan melalui seni lokal.
58
59
Barbara Hatley, 2014, hal. 6
Barbara Hatley, 2014, hal. 38
69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sebagai sebuah negara yang baru bangkit dari keterpurukan akibat dari
rejimnya, kesenian dianggap sebagai media strategis untuk melakukan
pemberdayaan bagi masyarakatnya. Teater pun melakukan fungsi semacam itu.
Banyaknya bantuan organisasi internasional untuk komunitas teater, terutama
yang ditujukan untuk melakukan kampanye dan pendidikan melalui seni,
ditenggarai sebagai bentuk penanaman nilai universal yang tidak selalu sesuai
dengan nilai lokal. Membicarakan permasalahan global dengan isu yang universal
di ranah teater terasa menggiurkan, karena dapat menjadi pembuka gerbang untuk
mengaktualisasikan kesenian teater yang serius di muka internasional. Namun
kesempatan menggiurkan itu akan sangat membahayakan nilai lokal, terlebih lagi
bila nilai universal diamini sebagai acuan kebenaran.
E. Kethoprak, dari Hiburan ke Gerakan yang Berserak
E. 1. Kethoprak Bukan Sekedar Klangenan
Semasa kecil, saya sangat suka menonton pertunjukan kuda lumping yang
disebut Ebeg60. Selepas saya tinggal di Yogyakarta, kesenian semacam itu
memiliki
nama
lain,
yaitu
Jathilan.
Namun
esensinya
tetap
sama,
mempertontonkan para penari, lengkap dengan kuda dari kulit bambunya. Pada
pertunjukan tersebut, ada satu ritual yang sangat menarik. Yaitu ritual pemangilan
roh, yang akan dengan sengaja memasuki tubuh para penari. Terus terang, dari
semua alur pertunjukan jathilan, atau ebeg, bagian yang paling saya tunggu adalah
bagian ini. Pada saat para penari mengalami trans, karena proses bersatunya
60
Sebutan pertunjukan kuda lumping dari daerah Banyumas , Jawa Tengah.
70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mereka dengan roh yang dipanggil, menjadi puncak tontonan yang mendebarkan.
Para penari biasanya akan menggila dan hilang kendali. Terlepas apakah yang
mereka lakukan karena pengaruh keadaan trans yang dialami atau karena trik-trik
tertentu, bagi saya tontonan semacam itu sukses membuat saya berdecak kagum.
Sungguh liar dan seru.
Namun keliaran dan keseruan semacam itu tidak saya dapatkan lagi pada
beberapa tahun belakangan ini. Saya teringat pernyataan yang disampaikan oleh
Sutanto yang lebih dikenal sebagai Tanto Mendut, pada sebuah diskusi yang
membahas mengenai fenomena trans dalam kesenian jathilan.61 Beliau
menyatakan bahwa kesenian kita memang sudah mengalami pemotongan alias
sensor di sana-sini. Hal tersebut merupakan warisan Orde baru. Pada masa itu,
semua tontonan yang dirasa “tidak pantas” akan mengalami penyensoran. Jathilan
telah masuk dalam jajaran kesenian yang layak dipromosikan di ranah pariwisata
Indonesia, sebuah kesenian layak jual yang menarik bagi wisatawan. Maka
jathilan sudah semestinya dapat memenuhi standar kelayakan sebagai sebuah
tontonan yang sopan. Fase trans yang seringkali tidak liar dan tidak layak tonton,
pada akhirnya mengalami penyensoran, demi kepantasan.62
Warisan peraturan yang dikembangkan pada era Orde Baru masih
diteruskan hingga kini. Jathilan dipertontonkan pada publik, khususnya
wisatawan, sebagai pertunjukan seni tradisi yang eksotik. Achmad Kasim
menekankan mengenai kelebihan kesenian tradisional yang terletak pada
pengolahan nilai kehidupan tradisi, pandangan hidup, pendekatan falsafah, rasa
61
Dalam tulisan ini saya ingin membahasakan kembali pernyataan beliau, tanpa menghilangkan
substansinya.
62
Pernyataan ini saya tulis dengan menggunakan bahasa saya sendiri, namun berdasar pada inti
pernyataan dari bapak Sutanto.
71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
etis, estetis, serta budaya lingkungan. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima
sebagai tradisi, pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan
yang lebih muda.63 Hampir sebagian besar seni tradisi memikul tanggungjawab
yang sama. Kethoprak pun mengalami nasib yang sama. Menjadi kesenian
klangenan yang mesti dilestarikan.
Kethoprak sebagai klangenan, terutama pada tahun 2000-an ini
menunjukan bahwa masa kelangkaan pertunjukan seni tradisi, khususnya
kethoprak telah usai.64 Semuanya ditenggarai karena maraknya pertunjukan
kethoprak dengan format yang lebih modern, lebih menarik dan lebih didukung
oleh teknologi yang jauh lebih cangggih. Kesenian ini semakin terbuka pada
idiom-idiom baru. Misalnya dengan pengadopsian format panggung teater pada
pertunjukan kethoprak, menjadi salah satu hal yang membuat kesenian ini jauh
lebih diterima oleh masyrakat penontonnya. Selain itu semakin besarnya
dukungan pemerintah daerah, membuka kesempatan seluas-luasnya bagi kesenian
ini untuk jauh lebih berkembang ketimbang di masa sebelumnya. Program dan
kegiatan kethoprak berjalan dengan lebih berkembang.65 Kita akan dengan mudah
mendapati festival kethoprak, dari tingkat kecamatan, hingga tingkat kabupaten/
kota yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya. Lantas ada pula pertujukkan
kethoprak Mataram yang dilaksanakan setiap bulannya di Auditorium RRI
Gejayan. Belum lagi pentas-pentas kethoprak non regular yang diselenggarakan
oleh komunitas-komunitas kethoprak yang menyebar di seluruh wilayah
Yogyakarta. Sungguh fase “sepi” kethoprak sudah terlewati.
63
Achmad Kasim, seperti yang dikutip oleh Afendy Widayat, 1997, dalam Kethoprak: Seni
Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural, hal. 2
64
Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015.
65
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Semangat untuk menghidupkan kembali kethoprak sebagai kekayaan
tradisi rakyat Jawa, sangat terasa di seluruh wilayah Yogyakarta. Penonton dari
berbagai generasi menyambut gembira, dengan hadirnya tontonannya yang
dikemas sesuai dengan minat mereka. Generasi tua, yang akrab dengan jenis
pertujukan kethoprak model lama, akan lebih memilih pertunjukan kethoprak
konvensional. Sedangkan generasi muda terlihat jauh lebih berminat pada
kethoprak garapan yang lebih mirip dengan pertujukan teater.66 Semua
dimanjakan dengan variasi jenis kethoprak yang dihadirkan ke hadapan mereka.
Kethoprak seringkali dipandang sebagai romatisme pada kenangan masa lalu, baik
oleh generasi tua maupun muda.
Akan tetapi keberadaan kethoprak tidaklah sebatas romantisme atau
kelangenan pada seni dari masa lalu. Kethoprak punya nilai lebih dari itu.
Menanggung beban sebagai seni yang mewariskan nilai tradisi, dan sebagai
mekanisme penanaman nilai. Menilik kesejarahannya, kethoprak yang lahir dan
hidup pada masa penjajahan Belanda, secara luwes berusaha menyelipkan
dorongan perlawanan, melalui cerita-cerita yang dipentaskannya. Kesenian ini
menjadi penggalang dukungan dan pembangun kekuatan politik rakyat yang
cukup strategis. Karena dianggap membahayakan posisi penjajah, pihak Belanda
melarang pementasan kethoprak, serta membubarkan komunitas-komunitas
kethoprak rakyat. Dalam waktu yang cukup lama, kethoprak mengalami mati suri.
Hingga tiba pada era penjajahan Jepang, kethoprak dihidupkan lagi. Bukan
sekedar untuk fungsi hiburan, akan tetapi untuk kepentingan politik penjajah.
Pihak Jepang sangat sadar bahwa posisi kethoprak amat vital bagi kehidupan
66
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
masyarakat Jawa. Kethoprak dilirik menjadi salah satu alat propaganda Jepang.
Dalam bukunya yang berjudul Kethoprak: Politik Masa lalu untuk Masyarakat
Jawa Masa Kini, Budi Susanto SJ menyinggung soal pasukan bangsa Jepang yang
saat itu datang sebagai saudara tua bagi rakyat Indonesia. Mereka hendak
memperoleh kepercayaan rakyat Indonesia, melalui berbagai mekanisme. Salah
satunya melalui kethoprak. Dari tontonan inilah, nasionalisme rakyat Indonesia
dibangkitkan. Guna melawan sekutu dan para elite priyayi Jawa yang menjadi
perpanjangan tangan penjajah Belanda. Pihak Jepang berupaya memukul pihak
priyayi pendukung Belanda, dan menggalang dukungan bagi pihaknya.
Dari kedua masa penjajahan tersebut, kethoprak diombang-ambingkan
kepentingan, baik kepentingan rakyat Indonesia, maupun penjajahnya. Baik
penjajah Belanda, maupun Jepang sangat sadar akan potensi strategis politis
kesenian ini. Dengan menekan geliat kethoprak yang dirasakan membahayakan,
penjajah Belanda berharap dapat menekan pula geliat perlawanan yang
dikobarkan melalui kethoprak. Lain halnya dengan pihak Jepang, terutama di kala
mereka masuk ke Indonesia dan mengklaim diri sebagai saudara tua dari timur
jauh. Pihak Jepang secara asertif berusaha menghilangkan pengaruh Belanda di
Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Guna melunturkan pengaruh Belanda, pihak
Jepang memfungsikan kethoprak untuk mengadu rakyat kalangan bawah, dengan
para priyayinya. Hingga pada saat Jepang secara jelas menjajah Indonesia,
kethoprak mengalami nasib seperti pada masa penjajahan Belanda. Kethoprak
kembali dilarang karena membahayakan posisi penjajah Jepang. Kethoprak
kembali mati.
74
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
E. 2. Kethoprak, antara Bertahan dan Melawan
Setelah Indonesia merdeka, semua hal yang sebelumnya telah mengalami
kematian, dibangkitkan kembali. Tak terkecuali kethoprak. Penataan negara
dilakukan bersama-sama dengan penataan kebudayaan dan keseniannya. Di
bawah kepemimpinan Soekarno, dimana politik ditempatkan sebagai panglima,
kerja-kerja kebudayaan pun berada dalam satu komando yang sama. Pada kisaran
tahun 1955 hingga tahun 1965 kelompok kethoprak yang jumlahnya cukup
banyak, mulai menggabungkan diri pada 2 (dua) partai politik yang kuat pada
masa itu. Partai Nasional Indonesia(PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Keduanya berdiri sebagai partai politik yang berafiliasi dengan lembaga
kebudayaan yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat, salah satunya
kethoprak. PNI berafiliasi dengan Lembaga Ketoprak Nasional, sedangkan PKI
berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Badan Kontak
Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia (BAKOKSI) pada tahun 1964 telah
menaungi 371 paguyuban kethoprak.67 Pada masa itu kethoprak lebih banyak
digunakan sebagai sarana pendidikan politik rakyat, yang menekankan pada
penanaman sikap egaliter dan anti-feodal.
68
mekanisme pendidikan politik rakyat
melalui kethoprak sebagai kesenian, dirasa sangat efektif. Sehingga pergerakan
seni ini semakin lama semakin berkembang, atas dukungan lembaga kebudayaan
dan pemerintah di masa tersebut.
Setelah kemenangan Orde Baru, hal-hal yang berbau komunisme serta
berdekatan dengan PKI, dihapuskan. Tak terkecuali kethoprak. Dengan
67
Mahandis Y. Thamrin/NGI http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/ketoprak-jawapernah-dibunuh-dua-kali (diunduh:27 Agustus 2015)
68
Barbara Hatley, 2008, Javanese performances on an Indonesian stage; Contesting culture,
embracing change, KITLV Press Leiden
75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dibubarkannya LEKRA, maka hal tersebut menjadi titik balik bagi kondisi
kesenian kethoprak. Tidak sedikit para seniman kethoprak, yang ditahan, dibuang,
atau bahkan dibantai atas dasar kegiatan keseniannya, yang berafiliasi dengan
PKI dan LEKRA. Militer pada masa itu kemudian mengambilalih kesenian.
Kethoprak dijadikan senjata kebudayaan yang melayani kepentingan Orde Baru,
alih-alih membersihkan kesenian itu dari semua unsur ideologi komunisme.
Misalnya saja pada Pada bulan September 1971, Kodam VII/Diponegoro
menyenponsori pendirian group Kethoprak "Sapta Mandala". Selain itu, ada pula
"Wringin Mataram" yang dikendalikan oleh Korem 0357.69 Anggota kedua
kelompok kethoprak bentukan militer tersebut, sebagian besar diisi oleh para
seniman kethoprak yang berasal dari kelompok “Budi Rahayu” dan “Dahono
Mataram”. Keduanya merupakan kelompok kethoprak yang lolos dari proses
“pembersihan” Orde Baru. Keberadaan kelompok kethoprak di masa Orde Baru,
mengalami pengawasan yang sangat ketat. Bukan hanya karena kesenian ini
sangat dekat dengan sejarah komunisme di negara ini, akan tetapi karena
kethoprak disadari dapat menjadi mesin politik yang sangat dekat dengan rakyat.
Program pemerintahan Orde Baru, khususnya yang berkaitan dengan
kesenian, diarahkan untuk mendukung ketertiban dan pembangunan nasional.
Maka pada masa itu kita tidak asing dengan program pembinaan kesenian.
Kethoprak pada Orde baru juga hadir sebagai media pendidikan dan kampanye
dari beberapa lembaga pemerintah, salah satunya di bawah naungan Departemen
69
http://www.kompasiana.com/isharyanto/sapta-mandala-dalamkenangan_552befb16ea83486688b45aa (diakses: 27 Agustus 2015)
76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Penerangan.70 Seniman dan kelompok kethoprak tersebut mendapat perlakukan
khusus dari militer dan instansi yang menaunginya. Karena mereka ikut andil
dalam penyebarluasan program pemerintah dikala itu. Semisal kampanye hidup
sehat, program keluarga berencana, penataran Pancasila, hingga perayaan harihari besar nasional.71
Menurut Barbara Hatley, pemerintah Orde Baru pada masa itu lebih fokus
pada kerja-kerja untuk penyediaan fasilitas, dana dan penyelenggaraan
pertunjukan-pertunjukan besar. Namun hanya pertunjukan tertentu lah yang dapat
dipentaskan, yaitu jenis pertunjukan resmi, berbau seni tradisi dan bermuatan
nilai-nilai yang mendukung program pembangunan pemerintah. Sedangkan unsurunsur yang danggap liar, kasar, ataupun berpotensi mengkritik kebijakan
pemerintahan akan disingkirkan ataupun disensor dengan ketat.72 Hampir mirip
nasibnya dengan jathilan atau kuda lumping.
Pada masa Orde Baru, Budi Susanto SJ menuliskan bahwa sesungguhnya
kajian mengenai kesenian tradisi di Indonesia menanggung beban ganda. Pertama,
karena para elit pejabat pemerintah menganggap bahwa kesenian tersebut sama
sekali tidak mencerminkan keagungan negara di masa lalu. Kedua, karena
kesenian itu dianggap sebagai pertunjukan yang tidak halus, sehingga dinilai tidak
dapat memberi sumbangan yang efektif bagi program modernisasi pembangunan
yang digalakkan oleh pemerintah.73 Jadi tidak mengherankan bila jathilan,
kethoprak atau kesenian tradisi lainnya, mengalami transformasi yang berbeda
70
Dr. I Made Bandem dan Sal Murgiyanto, 1996, Teater Daerah Indonesia, Kanisius, Yogyakarta,
hal. 32
71
Mahandis Y. Thamrin/NGI http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/ketoprak-jawapernah-dibunuh-dua-kali (diunduh: 27 Agustus 2015)
72
Barbara Hatley, 2014, Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma,
Yogyakarta, hal .4
73
Budi Susanto, (1997), Ketoprak: The Politics of The Past in the Present- Day Java, hal. 11
77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dari bentuk sebelumnya. Demi memenuhi standar kehalusan, ketertiban dan fungsi
sebagai perpanjangan tangan rejim.
Tekanan yang dialami oleh komunitas-komunitas kesenian kethoprak,
telah memampatkan
fungsi
pendidikan politik
yang sebelumnya
telah
diembannya. Di bawah pengawasan yang ketat dari militer dan institusi
pemerintahan di masa itu, komunitas-komunitas tersebut tidak dapat bergerak
secara bebas untuk melakukan kritik politik. Selain itu, dengan diposisikannya
kethoprak sebagai media penanam doktrin, menjauhkannya dari benturanbenturan kepentingan politik. Disadari atau tidak, kesenian kethoprak pada saat itu
telah didepolitisasi oleh rejim Orde Baru. Posisi politisnya dibunuh, karena
kekuatan dan afiliasinya di masa lalu.
Tarikan paling jelas mengenai penggambaran kontestasi politik dalam
pementasan kethoprak adalah dalam pelakonan naskah tokoh Ki Ageng Mangir.
Tokoh Ki Ageng Mangir pada masa Orde Lama seringkali dipentaskan dan
menjadi sosok pahlawan. Sosok Ki Ageng Mangir digambarkan berani melawan
kekuasaan sang raja Mataram, Panembahan Senopati. Sedangkan pada masa Orde
Baru, sudut pandang
itu dibalik. Bila sebelumnya tokoh Ki Ageng Mangir
dijadikah tokoh pahlawan, tidak berlaku pada mas Orde Lama. Ki Ageng Mangir
berubah menjadi tokoh jahat karena pemberontakannya. Sedangkan sang raja
Mataram Panembahan Senopati, berganti menjadi sosok pahlawan.
Ilustrasi
implisit tersebut mewakili kondisi perubahan ideologi politik dan penguasa
Indonesia pada kedua masa itu.74
74
www.nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/ketoprak-jawa-pernah-dibunuh-dua-kali
(diakses:27 Agustus 2015)
78
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lantas kala reformasi telah direngkuh, posisi kethoprak sempat mengalami
kondisi sepi. Sepinya pementasan kethoprak tidak hanya dikarenakan perubahan
iklim politik di Indonesia. Akan tetapi juga karena dampak modernitas di
kalangan masyarakat, khusunya masyarakat Jawa. Munculnya alternatif hiburan
melalui radio, televisi dan internet, ternyata dapat menggilas minat masyarakat
untuk menonton pertunjukan kethoprak secara langsung. Beberapa komunitas
kethoprak terpaksa menghentikan pertunjukan regularnya, karena tidak lagi
mampu untuk membiayai produksi yang jumlahnya tidak sedikit.
Dengan kondisi yang tidak terlalu stabil untuk terus berkesenian, beberapa
komunitas kethoprak hanya mengandalkan undangan untuk acara-acara tertentu.
Dengan catatan, para seniman kethoprak tidak sepenuhnya menggantungkan
hidupnya padanya. Tapi nyatanya kethoprak masih tetap memiliki nafas panjang.
Ada saja cara kethoprak untuk dapat bisa bertahan dan hidup lama. Seperti
ilustrasi awal yang sempat saya berikan pada sub bab ini, pada kisaran tahun
2000an, kethoprak mulai menunjukan geliatnya lagi. Atas semangat pelestarian
kesenian tradisi, beberapa instansi dan organisasi terkait, kembali membangkitkan
kethoprak dari kematiannya yang kesekian kali. Seniman kethoprak pun kian
membenahi diri dengan format kethoprak yang makin mutakhir, mereka memutar
otak agar pengalaman di masa lalu tidak terulang kembali. Perbaikan semua
elemen penetasan di lakukan, promosi gencar dilakukan dan regenasi terus
digalakkan.75
Kini kita dengan mudahnya menonton kethoprak Mataram konvensional,
yang rutin dipentaskan di auditorium RRI, yang terletak di jalan Gejayan
75
Berdasar hasil wawancara dengan Bondan Nusantara, Ari Purnomo dan Herwiyanto.
79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Yogyakarta. Tujuan pementasan tersebut adalah untuk melestarikan dan
mengembangkan budaya Jawa. Pementasan di RRI Yogyakarta ini sesungguhnya
sudah ada semenjak tahun 1930-an, di kala stasuin radio itu masih bernama
MAVRO.76 Walau sempat mengalami kematian, program ini lantas dihidupkan
kebali oleh para seniman kethoprak Yogyakarta. Tidak hanya RRI Yogyakarta,
TVRI Yogyakarta pun melakukan hal yang sama. Program acara Kethoprak
Sanepa masih setia tayang setiap sabtu malam. Dengan format kethoprak
sayembara, kethoprak Sanepa mampu memikat para penonton setianya. Selain itu,
beberapa radio lokal Yogyakarta pun ikut menyiarkan kethoprak sebagai salah
satu programnya. 77
Selain pementasan atau pun program siar kethoprak di panggung dan
media elektronik, ada pula kegiatan rutin yang diadakan oleh instansi
pemerintahan daerah. Dinas Kebudayaan Provinsi Yogyakarta secara regular
melaksanakan program Festival Kethoprak antar Kabupaten. Festival tersebut
memiliki turunan berupa Festival Kethoprak di tingkat (antar) kota/ kabupaten,
yang diikuti oleh kontingen dari tiap kecamatan. Setiap tahunnya, festival tidak
pernah sepi dari keikutsertaan perwakilan dari tiap daerah.78 Percaya bahwa
kethoprak masih terus bisa hidup dan dihidupkan oleh antusiasme penontonnya,
maka semangat untuk membangkitkan seni kethoprak tidak lagi hanya didukung
oleh institusi pemerintahan. Sektor swasta dan lembaga non pemerintah79 pun
melihat potensi ini. Maka tidak mengherankan bila dalam sebulan, kita bisa
76
Darmanto,1999, Sejarah Penyelenggaraan Siaran Kethoprak Mataram RRI Yogyakarta, 19351995, Jurusan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta, hal. 6
77
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
78
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
79
Lembaga non pemerintah dapat terdiri dari lembaga nirlaba, pendidikan, kesenian dan
sebagainya.
80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mendapati adanya beberapa pementasan kethoprak yang tersebar di beberapa titik
di wilayah Yogyakarta.
Seperti halnya di masa lalu, kethoprak hadir sebagai hiburan, akan tetapi
tidak pernah meninggalkan semangat utamanya, yaitu melakukan pendidikan bagi
masyarakat luas. Pada masa pasca reformasi pun kethoprak (khususnya di daerah
Yogyakarta) semakin aktif untuk mencari posisi yang tepat, terlebih lagi pada
ranah politik di Indonesia. Setelah masa Orde baru yang menggunakan kethoprak
untuk kepentingan kekuasaan, maka pada pasca reformasi kelompok kethoprak
mulai mencari alur dan format keseniannya lagi.
Pada masa ini, kethoprak secara aktif kembali terlibat dalam pembicaraan
politik di panggung-panggung pementasan. Bila pada masa Orde Baru, kethoprak
seringkali hadir sebagai alat bagi kekuasaan, kini para seniman kethoprak lebih
berani untuk membicarakan kondisi politik kontemporer Indonesia, melalui sudut
pandang mereka sendiri. Kritik sosial-politik kerap kali menjadi tema utama yang
diusung dalam pementasan.
Beberapa kali saya temukan lakon kethoprak yang di pentaskan tampil
untuk mengkritik politik kekuasaan negeri ini. Baik yang sampaikan melalui
tokoh pahlawan di masa lalu atau atau tokoh-tokoh ciptaan yang sengaja
dihadirkan dalam cerita-cerita konflik kerajaan Jawa. Beberapa pementasan
kethoprak, merespon peristiwa politik seperti pemilu, pilkada atau peristiwa
tahun 1965. Satu hal yang mesti dicatat dari kesenian ini, adalah menjadikan
politik kekuasaan sebagai tema sentralnya. Ganjil rasanya bila kita tidak
mendapati
konflik kepentingan
kekuasaan
81
di
dalam
lakon-lakon
yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dipentaskannya. Pembicaraan mengenai konflik kekuasaan tidak lagi di dominasi
dari dalam dinding istana, namun terus berkembang ke wilayah masyarakat biasa.
Hakikat pentas kethoprak dikembalikan pada proses kreasi, negosiasi dan
kontestasi. Hal-hal semacam itulah yang kemudian menjadi tuntunan atau
pedoman dasar bagi kelompok kethoprak untuk mementaskan lakonnya di atas
panggung.80 Kethoprak terus mengkreasikan lakon-lakonnya kedalam sebuah
karya estetis, namun proses negosiasi dengan kondisi sosial politik masyarakatlah,
yang membuat karya itu dapat menjadi utuh. Di tahap selanjutnya, kethoprak tidak
ketinggalan untuk berkontestasi dengan kesenian lainnya. Ia masih berjuang untuk
mencari posisi yang paling tepat.
F. Kesimpulan
Setiap ranah seni memiliki agendanya sendiri-sendiri. Terlebih lagi karena
cabang dan aliran yang mereka (seniman) jalani pun berbeda. Namun ada kalanya
fokus isu dapat mempertemukan mereka. Seadainya pun tidak bertemu, ada garis
yang saling memotong, sehingga terdapat ruang yang sama dalam membahas isu
dalam proses berkaryanya. Pada bagian ini, saya hendak memaparkan
perkembangan dan juga perubahan yang terjadi di beberapa ranah seni di
Indonesia, khususnya pada masa setelah reformasi terjadi.
Pada bab ini, beberapa bidang seni: sastra dan teater menunjukan adanya
perkembangan orientasi perlawanannya. Jika pada masa Orde Baru mereka
80
Budi Susanto, 2012, “Me(meper)mainkan Sandi Wara Rakyat: Ketoprak Eksel, dalam Jurnal
Retorik Vol.3- No.1, Program Mgister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
82
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bersepakat menunjuk rejim Soeharto sebagai biang dari segala bentuk represi,
maka berbeda dengan kondisi pada masa pasca reformasi. Musuh bersama telah
berhasil dilengserkan dan puncak telah ditapaki. Lantas apalagi atau siapa lagi
yang hendak dilawan dan dikritisi? Hingga pada titik ini, orientasi dari tiap ranah
seni mulai dievaluasi. Setiap seniman yang berada di dalam bidangnya, mulai
mencari muara gerakannya masing-masing.
Dunia kesusastraan menuturkan kegelisahannya melalui novel, puisi,
maupun kritik sastra. Daya kritis para sastrawan tidak lantas meredup seiring
berlalunya hiruk pikuk reformasi. Sastra hidup dari kondisi sosial politik
masyarakatnya, sehingga walaupun Orde Baru sudah digantikan oleh masa yang
baru, masalah-masalah kemanusiaan tetap ada dan tetap menjadi pokok
pembicaraan dalam karya sastra. Isu yang berkembang selepas reformasi, banyak
berkaitan dengan identitas, baik suku, agama, maupun seksual. Isu-isu ini sedikit
banyak diinisiasi dari isu global-universal, yang banyak mengangkat permsalahan
kemanusiaan.
Isu –isu semacam itu sedikit banyak menimbulkan banyak polemik.
Polemik tersebut muncul dan mengambil porsi yang cukup dominan, dibanding
isu mengenai politik, kekerasan, bahkan juga kemanusiaan. Terlebih lagi karena
isu dominan dilahirkan dari komunitas (yang dianggap sebagai) pusat sastra.
Gerakan melawan klaim pusat sastra muncul di beberapa daerah di Indonesia.
Salah satu bentuk gerakan yang muncul adalah lahirnya komunitas dan media
jurnalistik tandingan, untuk mengkonter pengaruh dari pusat sastra. Komunitas
sastra di daerah sadar bahwa selain aliran isu global yang masuk melalui karyakarya dari pusat, aliran dana dari penyandang dana internasional pun memiliki
83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
andil dalam hal ini. Efek globalisasi sastra tidak hanya mengabilalih isu, akan
tetapi juga pasar dengan pembentukanminat khalayak pembaca sastra.
Tidak berbeda dengan bidang kesenian yang lain, teater pun mengalami
perkembangan orientasi isu. Masa ini seakan membuka peluang selebar-lebarnya
bagi para seniman teater untuk membicarakan identitas mereka secara jujur. Tidak
hanya membicarakannya, akan tetapi sekaligus mempertanyakannya di atas
panggung. Namun seperti halnya kesenian lainnya, pembicaraan mengenai
identitas, tidak selalu lahir dari kondisi masyarakat lokal. Apa yang diusung
dalam sebuah pementasan, seringkali merupakan representasi kepentingan global.
Nilai-nilai universal yang diusung dan dijadikan standar bagi semesta
pembicaraan seni teater, menjadi masalah serius untuk menentukan apa dan
bagaimana identitas kita. Sehingga apa yang dipanggung, tidak selalu
mencerminkan apa yang terjadi di masyarakat kita.
Lantas pada sub bab mengenai kethoprak, saya memaparkan sedikit
sejarah mengenai kesenian ini. Sebagai salah satu bagian dari seni pertunjukan,
kethoprak memiliki corak yang hampir mirip dengan teater. Walau mengadopsi
banyak hal dari teater, kethoprak sebagai kesenian rakyat tidak pernah
meninggalkan sisi tradisi yang diusungnya sejak dulu. Hal yang menarik dari
kethoprak adalah di kala hampir semua bidang kesenian, mulai beranjak untuk
tidak lagi berbicara di wilayah politik kekuasaan, kethoprak tetap melakukannya.
Diverfisikasi isu yang diusung oleh banyak bidang kesenian yang lain, juga
dialami oleh kethoprak.
Pasca reformasi, di kala Indonesia merayakan kebebasan barunya,
perhatian dunia internasional pada negara berkembang, tumbuh semakin besar.
84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Perhatian semacam itu diiringi masuknya banyak bantuan, untuk memperbaiki
cara pandang warga negaranya. Salah satunya masuk dalam wilayah seni, baik
sastra, teater maupun kesenian lainnya. Isu yang dimaksudkan guna meningkatkan
wacana pun masuk dengan sama derasnya. Hal tersebut mempengaruhi perubahan
arah isu yang dibicarakan pada ranah ini. Isu- isu global seperti identitas,
multikulturalisme, gender dan seksualitas, serta lain sebagainya, mulai masuk dan
berkembang. Masa ini melahirkan diversifikasi isu kesenian Indonesia. Sekaligus
keagenan seni modern atas kepentingan global.
Lantas bagaimana dengan kethoprak? Isu-isu global memang tidak benarbenar bersih dari kesenian ini. Kita kadang kala masih juga mendapati beberapa
pertunjukan kethoprak yang juga ikut membicarakan wacana global di dalam
lakon-lakonnya. Namun dari kesemuanya, ada beberapa yang mengklaim diri
masih mengangkat konteks permasalahan lokal masyarakat. Seperti yang diajukan
dalam lakon Magersari dan Ledhek Bariyem. Namun sejauh mana mereka
memanggungkannya, apa saja yang hendak mereka suarakan, serta bagaimana
lakon-lakon tersebut dibaca baik oleh para seniman dan penontonnya, akan saya
paparkan pada bab selanjutnya.
85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III
KETHOPRAK YANG BERBICARA (BUKAN) DI PANGGUNG
POLITIK
A. Pengantar
Membicarakan mengenai kemungkinan adanya bidang, kelompok atau
pelaku seni yang masih membahas mengenai kekuasaan sebagai salah satu fokus
karyanya, maka kita dapat memasukkan kethoprak sebagai salah satu bidang yang
dimaksud. Untuk sekedar mengingatkan, pada bab II dijelaskan bahwa di kala
beberapa bidang kesenian melakukan diversifikasi orientasi isu, dan beranjak dari
pembicaraan mengenai kekuasaan negara, di sisi lain kethoprak acapkali masih
membicarakannya. Kekuasaan masih menjadi unsur intrinsik dalam kethoprak
yang belum dapat ditinggalkan begitu saja. Untuk itu, saya kira akan jauh lebih
baik mencermati langsung konteks tersebut dalam lakon-lakon kethoprak.
Struktur penulisan bab ini: saya mulai dengan menulis gambaran
mengenai pengenalan kethoprak garapan, sebagai format dari kedua lakon yang
diteliti. Bagian kedua merupakan ilustrasi dari pementasan lakon Magersari dan
Ledhek Bariyem, yang saya ambil dari proses menonton langsung, rekaman video
dan naskah kedua lakon tersebut. Kemudian pada bagian ketiga, saya akan
memaparkan hasil wawancara saya dengan 2 (dua) orang tokoh penting dibalik
lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, yaitu Bondan Nusantara dan Ari Purnomo.
Dari kedua tokoh tersebut, saya mencoba mencari tahu mengenai konteks
semacam apa yang melatarbelakangi kedua lakon kethoprak tersebut.
86
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selain mewawancari kedua tokoh dibalik kedua lakon kethoprak tersebut,
saya juga mewawancarai 2 (dua) orang pemain dari kedua lakon tersebut. Sebagai
sumber data sekunder, saya ingin melihat sampai sejauh mana para pemain, yang
terdiri dari: Baso Rangga (Magersari) dan Herwiyanto (Ledhek Bariyem)
memaknai lakon yang dimainkannya. Pada penelitian ini, saya juga menyertakan
penonton, untuk mencari tahu mengenai apa yang sesungguhnya ditangkapnya
dari peristiwa menonton lakon tersebut. Kesemua hasil wawancara tersebut, akan
diperlakukan selayaknya pertunjukan kethoprak dan diklasifikasikan menurut
topik yang ditanyakan, maupun ditemukan selama proses pengambilan data.
Segala hal yang menjadi temuan penting selama proses wawancara, akan
dijelaskan secara detil.
B. Negosiasi Kethoprak Garapan
Lakon Magersari dan Ledhek Bariyem merupakan 2 (dua) di antara
banyak lakon kethoprak garapan. Mungkin belum banyak yang tahu bahwa
kethoprak sebagai sebuah seni pertunjukan tradisi, memiliki 2 (dua) format yang
berbeda: kethoprak konvensional dan kethoprak garapan. Baik kethoprak
konvensional, maupun kethoprak garapan, masih tetap dipentaskan hingga saat
ini. Keduanya memiliki pemain dan penggemar setianya masing-masing.
Mari kita mengenal terlebih dahulu mengenai kethoprak konvensional.
Kethoprak konvensional sendiri, berarti kethoprak yang masih memelihara pakem
asli kethoprak lama. Kata konvensi sendiri berarti permufakatan atau kesepakatan
(terutama mengenai adat, tradisi, dan sebagainya). Kethoprak, pada masa lalu
menjadi sarana untuk baku kumpul dan berinteraksi antara tetangga. Pada saat
87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bulan bersinar terang, mereka biasanya akan datang beramai-ramai ke tempat
dimana pertunjukan akan dilangsungkan.
Memandang jauh ke belakang, konsep tentang pertunjukan berawal dari
tuturan lisan. Masyarakat nusantara (Indonesia) semenjak dulu adalah masyarakat
yang sangat kuat budaya bertuturnya. Semenjak masyarakat nusantara masih
menganut kepercayaan dinamisme dan animisme, mereka mempraktekkan ritual
kesehariannya dengan mengidungkan mantra dan pujian. Kidung dimaksudkan
untuk memuja leluhur atau makhluk tertentu, meminta kesembuhan penyakit,
memohon kesuburan untuk tanaman dan lain sebagainya. Ritual-ritual dilakukan
dengan pelafalan mantra, gerakan-gerakan yang menyerupai makhluk tertentu,
dan penggunaan kekuatan magis. Kekuatan magis digunakan sebagai syarat untuk
mewujudkan kenginan sang pemohon. Kekuatan magis tidak hanya bergerak di
luar pelaku ritual, akan tetapi juga dapat menggerakkan orang dari dalam, melalui
unsur in trance atau kerasukan. Roh-roh atau mahkluk tidak kasat mata diundang
untuk hadir, ikut ambil bagian, merestui serta melindungi masyarakat. Ritual ini
diperlihatkan, dan dinikmati sebagai sebuah tonton. Dari situlah konsep
pertunjukan mulai terbangun.
Awalnya ritual yang dipertontonkan, dan menjadi hiburan bagi masyarakat
yang melihatnya, fungsi pertunjukan semakin lama semakin berkembang. Dari
fungsi ritual, menjadi fungsi hiburan. Sebagai hiburan, pertunjukan kesenian
adalah magnet yang mampu mendatangkan banyak orang. Pada kethoprak, format
pertunjukan hiburan, awalnya ditampilkan dalam format yang sangat sederhana.
Isi cerita bisanya seputaran permasalahan kehidupan masyarakat desa, dan konflik
seputaran kehidupan istana. Alur cerita maju, ataupun sebaliknya. Tidak ada
88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
durasi waktu yang pasti. Penonton bisa saja disajikan pertunjukan yang dapat
berlangsung hingga 6 (enam) jam lamanya. Cerita yang dibuat seringkali mengalir
begitu aja, sangat mengandalkan improvisasi dari para pemainnya. Pada
pertunjukan
kethoprak
semacam
ini,
tidak
ada
tempat
khusus
untuk
mempertunjukannya. Panggung dapat berada dimana saja. Tidak jarang juga
berada di antara tempat duduk para penontonnya. Pertunjukan ini menjadi sangat
cair, karena penonton dapat berinteraksi langsung dengan para pemainnya.
Kethoprak dapat menampilkan paket lengkap yang menarik. Tidak hanya
karena ada faktor cerita yang disampaikan, akan tetapi juga ada tembang, musik
dan sesekali didapati juga tampilan joget atau tarian. Alat musik yang dipakai
untuk mengiringi sandiwara tersebut menggunakan lesung, kenthongan dan
keprak. Alat musik yang akrab dengan kehidupan rakyat desa dan sangat mudah
untuk dibuat oleh mereka sendiri. Dan alat musik kepraklah yang kemudian
menjadikan nama pertunjukan ini bernama kethoprak. Alat ini sangat penting
dalam kethoprak, karena berlaku sebagai pemenggalan babak adegan dalam
pertunjukan. Keprak seringkali dipahami sebagai sutradara dalam pertunjukan.
Bondan Nusantara menceritakan bahwa di zaman dahulu, peran sutradara bukan
dipegang oleh seseorang, akan tetapi berada pada keprak. Bila pemainnya akan
beradegan di atas panggung, keprak akan berbunyi, setelah itu akan diikuti bunyi
gamelan. Jikalau ada adegan yang cukup dramatis, misalnya saja ada pemain yang
beradegan tiba-tiba meninggal, maka keprak akan berbunyi dengan ritme yang
cepat dengan diikuti bunyi gamelan. Keprak menjadi pertanda pergantian adegan
atau eskalasi cerita. Penyusunan cerita biasanya runtut dari A sampai Z.
89
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Setelah cukup lama hidup dan bertahan dalam format pertunjukan di
tempat terbuka (semenjak tahun 1887-1908), pertunjukan ini kemudian mulai
dilirik sebagai pertunjukan yang potensial untuk dikembangkan. R.M.T.
Wreksadiningrat
lah
yang memiliki
ketertarikan untuk
membawa dan
mempertunjukan kethoprak ini secara serius di halaman rumahnya. Pada tahun
1908, Wreksadiningrat bersama dengan Ki Wisangkara dan Mbok Gendra,
membuat pertunjukan kethoprak yang dapat ditonton oleh siapa saja, tanpa
dipungut biaya.
Sepeninggal Wreksadiningrat, Ki Wisangkara lah yang
melanjutkan Kethoprak Wreksatama. Selain Wreksatama, muncul pula kelompok
kethoprak Krida Madya Utama pada tahun 1925. Ki Jagatrunarsa merupakan
tokoh di balik kelompok itu. Ia mengemas pertunjukan kethoprak dengan lebih
serius. Ki Jagatrunarsa mementaskannya di gedung pertunjukan, dari pasar malam
di daerah Klaten, ke Prambanan, dan selanjutnya ke Yogyakarta.81
Dengan masuknya kethoprak Krida Madya Utama ke Yogyakarta, maka
dimulailah era baru bagi kethoprak yang tumbuh di Yogyakarta, yaitu kethoprak
Mataram. Kethoprak ini kembali melakukan pertunjukannya di halaman rumah
para bangsawan, seperti pada masa Wreksadiningrat. Pada masa Ki Jagatrunarsa,
kethoprak tidak hanya diiringi oleh alunan irama dari lesung, akan tetapi sudah
mendapatkan tambahan alat musik gamelan, berupa saron, kempul dan gong.
Bahkan alat musik yang dikenalkan oleh bangsa Belanda, semacam biola,
mandolin dan gitar pun mulai digunakan dalam pertunjukan ini. Pada masa
ketoprak Mataraman, lelaguan atau tembang yang sebelumnya sudah ada,
dikembangkan lagi. Meskipun sudah mulai ditambahi dengan beberapa alat musik
81
Herry Lisbijanto, Kethoprak, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 5-9
90
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang diperkenalkan oleh bangsa Belanda, namun keberadaan alat musik gamelan,
adalah keharusan bagi pertunjukan kethoprak.
Kethoprak konvesional dari waktu ke waktu mengalami perubahan, karena
kethoprak sendiri sangat terbuka pada hal-hal baru, meski masih memegang erat
prinsip tradisi. Bila pada masa penjajahan Belanda, kethoprak sudah mengecap
alat musik lainnya sebagai pengiring, namun pada masa kini, format tersebut tetap
masuk dalam jenis kethoprak konvensional. Cirinya pun mulai sedikit bergeser.
Bondan Nusantara, mengutarakan bahwa pada masa kini yang disebut sebagai
kethoprak konvensional, memiliki ciri : a) Tidak menggunakan skenario atau
naskah penuh, b) Dramatika lakon mengacu pada wayang kulit purwa, c) Dialog
bersifat improvisasi, d) Akting dan bloking bersifat intuitif, e) Tata busana dan
tata rias realis, f) Musik pengiring: gamelan Jawa (slendro dan pelog), g)
Menggunakan keprak dan tembang, h) Lama pertunjukan sekitar 6 jam atau lebih,
dan i) Tema cerita dan pengaluran bersifat lentur. 82
Seiring
berjalannya
waktu,
ada
kebutuhan
untuk
menyesuaikan
pertunjukan kethoprak dengan perkembangan jaman. Pertimbangan mengenai
mempertahankan format kethoprak dengan format awal, atau mengembangkannya
sesuai dengan tuntutan jaman, menjadi perdebatan yang cukup alot. Sehingga
lahirlah format kethoprak garapan, sebagai pengembangan dari kethoprak
konvensional yang sudah ada sebelumnya. Bondan Nusantara menceritakan ihwal
pencetusan awal keberadaan kethoprak garapan. Seingatnya, keputusan untuk
mengembangkan kethoprak garapan terjadi dalam sebuah lokakarya kethoprak
pada tahun 1974. Ia sangat ingat betapa sulitnya mengajak para seniman
82
Bondan Nusantara, seperti dikutip oleh AfendyWidayat, 1997, dalam Kethoprak: Seni
Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural, hal. 3
91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kethoprak konvensional, untuk mau mengembangkan kesenian itu ke bentuk yang
lebih baru. 83
Lokakarya tersebut diisi dengan perdebatan yang cukup sengit antara kubu
yang menolak dan kubu yang mendukungnya. Pada saat itu, para seniman
dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan Semacam: “apakah kethoprak harus
stagnan, dengan gaya konvensionalnya? Atau dapat lebih luwes agar dapat
mengikuti perkembangan jaman?”. Bondan mengatakan “saya berpihak pada yang
kedua, maka muncul istilah kethoprak garapan. Yaitu kethoprak yang terbuka
pada idiom-idiom baru, artinya pakai keprak boleh, tidak pakai keprak juga boleh.
Silahkan saja kalau ingin memakai musik modern. Karena bila kethoprak
konvensional hanya bisa memakai gamelan. Sedangkan kethoprak garapan boleh
melakukan percampuran (alat musik) pentatonis-diatonis. Bahasa yang dipakai
juga boleh bahasa serampangan. Sedangkan kethoprak konvensional harus
memakai bahasa Jawa yang baik dan benar”.84
Jikalau kita menelusuri lagi, kethoprak sendiri dari semenjak awal hingga
prosesnya saat ini, selalu mengalami perubahan. Selalu mencari bentuk baru yang
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakatnya. Iswantoro melihat fenomena
itu secara lebih lunak. Ia mengatakan bahwa kethoprak dalam perkembangannya,
pasti terus mengalami pemberontakan. Bahkan menurutnya, kethoprak semenjak
kelahirannya, bersifat terbuka. Sehinggga dapat menerima pengaruh dari berbagi
cabang seni pertunjukan atau cabang seni manapun.85 Pengaruh yang nyata terjadi
dalam kethoprak garapan adalah adanya perpaduan dengan aspek-aspek kesenian
83
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
85
AfendyWidayat, 1997, dalam Kethoprak: Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju
Konteks Multikultural, hal. 3
84
92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lain. Aspek seperti bahasa, musik pengiring, setting, lakon, serta berbagai tradisi
yang lazim hadir dalam pertujukan seni lainnya.86
Mengenai aspek bahasa yang digunakan dalam kethoprak garapan, Bondan
nggarisbawahinya. Bila dalam kethoprak konvensional, bahasa Jawa baku lah
yang mesti digunakan, lain halnya dengan kethoprak garapan. Agar dapat
menjangkau penonton dari berbagai kalangan, maka aspek ini harus
dipertimbangkan dengan lebih bijak. Misalnya saja, bila ternyata penontonnya
mayoritas bukan orang Jawa, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa
Indonesia. Hal tersebut sah dilakukan dalam kethoprak garapan. Meskipun
penggunaan bahasa Jawa jauh lebih diprioritaskan prosentasenya. Pada
prinsipnya, bahasa merupakan media berkomunikasi dengan penonton. Sebaik
apapun kita membuat sebuah lakon, akan tetapi bila tidak komunikatif terhadap
penonton, semua menjadi percuma tandasnya. Pesan yang ingin disampaikan
menjadi sia-sia. Dari kesemuanya, yang paling penting adalah bagaimana sebuah
pesan dapat tersampaikan kepada penonton. Bondan menekankan bahwa ketoprak
merupakan media penyadaran, tidak sekedar asal main. Walaupun disampaikan
dengan cara yang santai dan penuh guyon, tapi pesan harus kemas secara serius.
Bagi kethoprak, pesan dan bahasa adalah senjatanya.87
Baso Rangga, salah satu pegiat kesenian ini menerangkan bahwa naskah
kethoprak garapan dibuat jauh lebih ringan ketimbang kethoprak konvensional.
Hal tersebut ditujukan agar pesan yang dibawa dapat diterima dengan baik oleh
penontonnya. Terlihat perbedaan yang cukup mencolok, antara format kethoprak
86
Bondan Nusantara, seperti dikutip oleh AfendyWidayat, 1997, dalam Kethoprak: Seni
Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural, hal. 5
87
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
garapan, dengan format kethoprak konvensional. Menurutnya, format naskah
untuk kethoprak konvensional
harus memperhatikan
tata bahasa
yang
dipergunakan. Misalnya saja harus taat pada unggah-ungguh yang ada dalam
budaya Jawa. Tingkatan dalam bahasa harus sangat jelas, contohnya interaksi
bahasa antara Raja dengan Patih, bahasa yang digunakan Raja kepada Patih
biasanya Ngoko, namun Patih harus menjawab dengan bahasa Kromo. Berbeda
dengan kethoprak garapan, yang menitikberatkan pada misi tertentu, dengan
pertimbangan pesan yang dibawa harus dapat jelas dipahami penonton, maka
format pertunjukan semestinya tidak menghadirkan cerita yang berat, namun tetap
menghadirkan ketegangan. Menurutnya, format pertunjukan harus ringan,
menghibur dan informatif.88
Meski mengalami perkembangan dalam format pertunjukannya, kesenian
ini tetap mempertahankan kekhasannya. Bondan Nusantara menyatakan bahwa
dari segi kuantitas, ia lebih banyak terlibat dalam karya-karya kethoprak garapan.
Sejak tahun 1991, ia konsisten untuk terus mengembangkan kethoprak garapan.
Melalui kethoprak format ini, ia menjadi lebih leluasa untuk membicarakan halhal kontekstual, tanpa harus merasa menabrak aturan (tidak dapat dilakukan dalam
kethoprak konvensional). Keleluasaan semacam ini juga jauh lebih mudah
diterima serta dipahami oleh penonton dari berbagai kalangan, sehingga pesan
dari kethoprak yang dipentaskan, dapat tersampaikan dengan baik.
Dalam kethoprak garapan, kelompok usia penonton adalah pertimbangan
penting. Menyadari pada masa lalu, minat penonton kethoprak sempat mengalami
penurunan, maka strategi dengan memunculkan kethoprak format garapan
88
Wawancara dengan Baso Rangga, dilakukan bulan Mei 2014.
94
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dianggap sebagai jawaban jitu. Kethoprak garapan dianggap sebagai kethoprak
gaya baru, yang mampu mengakomodir minat banyak kalangan, terutama kaum
muda. Bila generasi muda lebih berminat pada kethoprak garapan, maka generasi
tua lebih banyak yang tetap mencintai kethoprak konvensional sebagai bentuk
romantisme pada masa lalu. Walau pun sesungguhnya, generasi tua sudah sangat
terbuka dan dapat menikmati kethoprak garapan dengan gaya baru. Ari Purnomo
menggambarkan hal tersebut sebagai sebuah tantangan yang semestinya dijawab
oleh para seniman kethoprak.89
Kembali pada pembicaraan mengenai kethoprak garapan, kelebihan
kethoprak semacam ini terletak dari sikap adaptifnya. Bondan memberikan alasan
mengapa ia lebih condong memilih format kethoprak garapan ketimbang
kethoprak konvensional. Menurutnya, kethoprak ini mampu mengakomodir halhal tertentu, yang hendak disampaikan dan disebarkan kepada penonton. Bondan
mengakui bahwa banyak isu sosial-politik kontemporer yang dapat diwadahi
melalui kethoprak garapan. Kethoprak dapat menjadi media bagi perjuangan
dengan misi dan isu tertentu. Misalnya saja isu kebencanaan, dimana ia
menggunakan kethoprak sebagai media penyembuhan trauma bagi para korban
bencana gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 2006. Ia juga pernah
membicarakan isu sosial-politik melalui kethoprak bersama organisasi Syarikat.
Organisasi yang dibentuk untuk membicarakan masalah para mantan tahanan
politik tahun 1965. Kethoprak yang merupakan bagian dari upaya mendukung
pelaksanaannya terjadinya rekonsiliasi. Lantas ada pula pementasan Magersari
89
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang dibuatnya, untuk membicarakan beberapa isu sekaligus, antara lain:
keberagaman, kekuasaan dan ke-Jawa-an.
Lakon Magersari dan Ledhek Bariyem merupakan 2 (dua) dari sekian
banyak
kethoprak
garapan
yang
secara
khusus,
membahas
mengenai
permasalahan sosial politik di Indonesia. Terutama pada masa pasca reformasi.
Bukan tanpa alasan format ini dipilih. Seperti yang dijelaskan secara panjang
lebar pada paragraf-paragraf sebelumnya, kethoprak garapan memiliki format
bahasa yang komunikatif, ia tidak terikat pada bahasa Jawa baku, sehingga
penonton yang dicakupnya akan jauh lebih banyak. Karena dapat menyentuh
berbagai macam latar belakang usia, tingkat pendidikan dan juga suku (karena
terkadang
kethoprak
pertunjukan yang
garapan
menggunakan
bahasa
Indonesia).
Format
ringan dan menghibur, mampu menjaring minat banyak
penonton. Dengan banyak hal yang menarik dan mudahnya mengunyah informasi
yang disampaikan melalui kethoprak format ini, maka akan semakin mudah pula
isu sosial-politik kontemporer yang dapat diwadahi melalui kethoprak garapan.
Keberadaan kethoprak garapan dianggap jauh lebih cepat dan tanggap
dalam merespon permasalahan yang terjadi di masyarakat. Karena format yang
sedikit lebih modern dan tidak sepenuhnya patuh terhadap aturan-aturan tata
krama dan tata bahasa Jawa yang kaku. Sehingga kethoprak ini dianggap dapat
mewakili kondisi dan tuntutan masyarakat di jaman sekarang ini. Meski kethoprak
garapan seringkali digunakan sebagai media kritik, namun kita tidak dapat
semena-mena menilai bahwa semua kethoprak dengan format ini, pastilah
kesenian yang kritis. Setiap lakon kethoprak, memiliki kadar kritisnya masingmasing. Namun untuk melihat sejauh mana kadar kritis yang dimiliki oleh sebuah
96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lakon kethoprak, adalah dengan melihat, apa dan bagaimana cara penyampaian
pengetahuan yang dibawanya, terhadap penonton lakon tersebut. Untuk
mengetahui sejauh mana kekritisan kedua lakon tersebut, dan memahami apa saja
yang menjadi kritik dan kegelisahan yang disampaian secara estetis itu, ada
baiknya kita melanjutkan pembicaraan ini pada sub bab berikutnya.
C. Mari Menonton melalui Lakon
Pada sub bab ini, lakon Magersari dan Ledhek Bariyem masing-masing
akan didedah. Sumber data yang saya dapatkan dari pengalaman menonton dan
dibantu oleh data yang dituliskan dalam naskah. Saya tetap mencoba konsisten
untuk menuliskan apa yang terjadi di atas panggung. Sehingga kita beberapa kali
akan menemukan adanya ketidasesuaian, antara apa yang didialogkan di atas
panggung, dengan naskah yang diberikan oleh para penulisnya. Perbedaan itu
sudah saya konfirmasi pada para penulis. Mereka mengatakan bahwa sangat wajar
bahwa bila apa yang ditulis dalam naskah, seringkali berbeda dengan apa
ditampilkan selama pementasan. Hal tersebut dikarenakan adanya pengembangan
selama proses latihan.
Selain ilustrasi mengenai apa yang di yang terjadi di atas panggung. Pada
sub bab lainnya, saya memaparkan bagaimana isu-isu tersebut bekerja melalui
kethoprak garapan. Kedua lakon yang diangkat menjadi objek material dalam
penelitian ini, hendak saya bahas melalui garis besar topiknya masing-masing.
Bila Bondan Nusantara mengatakan bahwa isu yang dibawa oleh Magersari
adalah isu keberagaman, kekuasaan dan ke-jawa-an, maka kita akan menonton
lakon kethoprak garapan tersebut, melalui pemaparan di bawah ini. Pun dengan
97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kethoprak Ledhek Bariyem yang dibuat oleh Ari Purnomo, kita akan mencoba
membaca konteks yang diungkapkannya, mellaui lakon tersebut.
C.1. Magersari: Tanah, Rakyat dan Politik Kekuasaan
Magersari. Bukan sebuah istilah baru, namun tidak semua orang
mengetahui arti dari istilah tersebut. Istilah ini bisa jadi cukup dikenal oleh
masyarakat Indonesia, salah satunya masyarakat di wilayah Yogyakarta. Bila kita
merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Magersari memiliki 2
(dua) definisi yang berbeda. Definisi pertama merujuk pada pengertian mengenai
orang yang rumahnya menumpang di pekarangan orang lain, atau orang yang
tinggal di tanah milik negara dan sekaligus mengerjakan tanah itu. Sedangkan
definisi kedua adalah pembantu orang yang bertransmigrasi.90
Dalam konteks Yogyakarta, Magersari merupakan orang yang tinggal di
wilayah atau tanah yang dimiliki keraton Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat
(Sultan Ground). Sultan Ground tidak hanya dipergunakan untuk keperluan
keraton semata, akan tetapi juga dimanfaatkan untuk berbagai macam
kepentingan. Misalnya saja untuk kepentingan pendidikan, seperti pada
penggunaan kompleks kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), ataupun kantorkantor pemerintahan provinsi, kota dan kabupaten di wilayah DIY. Selain untuk
kedua fungsi tersebut, Sultan Ground juga diperbolehkan untuk digunakan oleh
pihak lain. Biasanya dipergunakan untuk tempat tinggal dan lahan untuk mencari
nafkah mereka. Tanah ini lah yang kerap disebut sebagai Magersari. Pada
90
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Departemen Pendidikan Nasional,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 854
98
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
awalnya, Magersari merupakan tanah yang dipinjamkan oleh Sultan kepada para
abdi dalem, sebagai bentuk balas jasa atas pengabdian mereka pada keraton.
Namun seiring berjalannya waktu, penggunaan Magersari tidak terbatas hanya
oleh para abdi dalem, namun juga oleh masyarakat luas.
Status penggunaan Magersari awalnya hanya sebagai tanah dengan hak
pinjam pakai. Masyarakat yang menggunakan hak (Magersari) tersebut harus
memegang serat kekancingan, atas pengesahan dari kepala Panitikismo. Para
Magersari berkewajiban membayar pisungsung setiap tahunnya. Dalam jangka
waktu yang lama, para Magersari dapat meningkatkan status penggunaan tanah,
menjadi pemilik tanah, melalui mekanisme jual-beli yang disesuai dengan aturan
keraton. Pada awalnya tanah yang dimiliki keraton itu memiliki luas sekitar 60%
dari keseluruhan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Namun seiring
berjalannya waktu, luas tanah Magersari semakin menurun. Melihat kenyataan
menurunnya jumlah luas tanah tersebut, pada tahun 2000 Sultan Hamengku
Buwono X mengeluarkan peraturan baru, untuk tidak lagi menjual tanah
Magersari.
Keberadaan tanah dan para penghuninya ini, telah mengispirasi terciptanya
lakon Magersari. Seperti pada kenyataannya, lakon ini pun bercerita tentang tanah
yang dimiliki keraton, dan dimanfaatkan
oleh rakyat. Namun lakon ini tidak melulu
bicara mengenai masalah tanah. Akan
tetapi juga banyak berbicara mengenai
hiruk pikuk kepentingan, baik kepentingan
rakyat, penguasa serta para pejabat yang
99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menjadi perpanjangan tangan dari penguasa. Kehirukpikukan ini menimbulkan
banyak masalah, tidak hanya masalah kesejahteraan rakyat yang semestinya
dipenuhi melalui penyediaan tanah, akan tetapi juga hiruk pikuk penyelewengan
mandat yang dilakukan oleh tokoh pejabat.
Lakon Kethoprak Magersari merupakan kethoprak yang lahir dari tangan
dingin Bondan Nusantara. Ketoprak ini dipentaskan di 3 (tiga) wilayah
Yogyakarta. Pementasan pertama diselenggarakan di kelurahan Gedongkiwo,
tepatnya di nDalem Cokro Mantrijeron pada tanggal 14 Oktober 2011.
Pementasan kedua di Balai Kelurahan Kricak, pada tanggal 15 Oktober 2011.
Sedangkan pementasan terakhir dilaksanakan di Balai Keluarahan Jetis, pada
tanggal 20 Oktober 2011. Pementasan kethoprak yang dilaksanakan secara
marathon ini, mengusung tema Kethoprak Guyub Kampung. Rangkaian
pementasan di beberapa titik kota Yogyakarta, sebagai bagian dari kampanye
politik damai. Peristiwa politik yang pada saat itu akan berlangsung adalah
Pemilihan Kepala Daerah Kota Yogyakarta.
Konsep pementasan lakon kethoprak yang dilakukan di beberapa tempat
dan dalam jangka waktu tertentu, bukan lah hal yang biasa. Biasanya bila sebuah
lakon dipentaskan di beberapa tempat, akan dilakukan oleh komunitas atau
paguyuban yang berbeda, untuk kepentingan yang berbeda, dan mengalami
penerapan estetik yang berbeda dalam pementasannya. Namun berbeda dengan
pementasan lakon ini. Mereka membawakan satu lakon dengan barisan pemain
yang sama, format pementasan yang sama dan dilakukan di beberapa titik (lokasi)
yang berbeda. Waroeng Raminten (Mirota) sebagai mitra pendukungnya,
pementasan ini mengusung Guyub Kampung sebagai temanya. Rangkaian
100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pementasan tersebut digarap oleh komunitas Gerakan Seni Taruna Mataram
(Genitama) yang bekerjasama dengan Paguyuban Seni Tradisi Kota (Pastika).
Pementasan lakon Magersari lakon
diawali dengan penggambaran
ekspresi bingung tokoh Jaya Kentus yang berdiri sendirian di sebuah plataran.
Kenthus kemudian berteriak-teriak memanggil Ponija, salah satu warga. Kenthus
memerintahkan Ponija untuk memanggil seluruh warga Magersari. Dengan
ekspresi yang lucu, Ponija kemudian mengeluarkan sempritan atau semacam
peluit, untuk memanggil warga. Serentak kemudian, panggung yang semula
sunyi, langsung terdengar gaduh. Ada banyak orang yang hadir di plataran.
Ponija kemudian memerintahkan mereka semua untuk duduk. Namun ada 1 (satu)
orang yang tidak jua mau duduk. Melihat hal tersebut, Kenthus marah. Ia
memerintahkan Ponija untuk memaksa Gembyang (orang yang tidak mau duduk)
untuk duduk seperti warga lainnya. Saat Ponija memaksa Gembyang untuk duduk,
Gembyang mengutarakan alasannya: ia sedang menderita bisul, dan bisul itu tepat
berada di pantatnya. Namun Ponija terus saja memaksanya, karena ia sangat takut
bila Jaya Kentus marah. Maka dengan terpaksa Gembyang menurutinya. Dengan
gerakan yang amat pelan, Gembyang berusaha untuk duduk. Namun sepelan
apapun, pada akhirnya bisulnya pecah juga. Adegan tersebut sontak membuat
pecah tawa para penonton.
Adegan
kemudian
dilanjutkan dengan dialog antara
Kenthus dengan
Magersari,
beberapa warga
terutama
warga
perempuan. Dari adegan tersebut,
101
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tertangkap kesan bahwa Kenthus adalah lelaki genit yang suka menggoda
perempuan. Nio Cik Hwa, yang gerah melihat kegenitan Kenthus menanyakan
maksud dari pengumpulan warga Magersari, ia tidak ingin membuang waktu
hanya melihat Kenthus merayu para perempuan. Kenthus kemudian mengatakan
“Ngene lho. Kowe kabeh ki Magersariku. Manggon lan gawe omah neng
lemahku. Mula sak iki tak kandhani. Nek wiwit
sasi ngarep sewane lemah
mundhak tikel loro”. (begini lho. Kalian semua ini Magersariku. Tinggal dan
membangun rumah di tanahku. Sekarang akan aku beritahu. Bahwa mulai bulan
depan, sewa tanah naik dua kali lipat). Pemberitahuan tersebut mengejutkan
warga Magersari. Keputusan tuan tanah jelas meresahkan mereka. Kegaduhan
kemudian terjadi.
Ponija mengatakan bahwa bila warga tidak mau menerima kenaikan harga
sewa, maka mereka harus pergi dari tanah sang tuan. Ponija dengan percaya diri
mengatakan bahwa dirinya tidak akan terkena imbas kenaikan tersebut karena ia
adalah batur atau pelayan dari Kentus. Ia terkesan mencari posisi aman. Namun
Kenthus menjawab “batur ya batur!
Kowe tau tau krungu,... nek batur ki
sedulure dhuwit” (pelayan ya pelayan! Apakah kamu pernah mendengar…bahwa
pelayan itu saudaranya uang). Intinya Kenthus tetap menaikan uang sewa Ponija,
dengan diikuti ekspresi kekecewaan dari Ponija. Tak lama kemudian pemeran
Konyil masuk sambil berteriak-teriak. Ia mengatakan bahwa rumah Kenthus
terbakar. Kenthus panik dan memerintahkan Ponija, serta para warga Magersari
untuk memadamkan api. Namun Ponija menjawab “Batur nggih batur, Ning nek
perkara dhuwit beda ah! Napa njenengan tau krungu nek batur niku sudulure
dhuwit?” (pelayan ya pelayan, tapi bila perkara uang beda ah! Apakah anda
102
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pernah mendengar bila pelayan itu saudaranya uang?). Ponija berusaha
membalikan kata-kata Kenthus, dan diamini oleh para warga. Kenthus yang
bingung berupaya meminta pertolongan pada mereka. Melihat kesempatan
tersebut, Ponija dan warga memberi syarat: mereka akan ikut memadamkan api,
apabila Kenthus tidak jadi menaikan harga sewa tanah. Kenthus yang saat itu
dalam keadaan bingung, kemudian menyanggupinya.
Adegan selanjutnya diperlihatkan setting di dalam sebuah rumah. Terlihat
2 (dua) orang perempuan sedang berbincang sambil melipati pakaian, yaitu Ndari
dan Kitri. Lalu muncul seorang perempuan paruh baya, wajahnya terlihat kesal.
Mbok Karto, perempuan tersebut kemudian menayakan pada kedua putrinya
mengenai keberadaan sang suami, Karto Bendho. Keduanya mengatakan tidak
mengetahuinya. Mbok Karto mengatakan bahwa suaminya sedari pagi pamit pergi
ke rumah saudaranya di daerah Pakualaman. Namun hingga malam hari, Karto
Bendho belum jua pulang. Mbok Karto curiga, jangan-jangan suaminya memiliki
perempuan (simpanan) lain. Selain itu, Mbok Karto juga khawatir jikalau
suaminya kembali menjalani profesi lamanya, sebagai seorang preman, seorang
bajingan. Ndari dan Kitri berusaha menenangkan sang ibu, dan berkata agar Mbok
Karto tidak lagi terlalu curiga
pada suaminya.
Tiba-tiba
Bendho
saja
Karto
Ia
lantas
datang.
menyuruh kedua putrinya pergi
ke
dapur.
Ia
sengaja
memerintahkan kedua putrinya
103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
untuk pergi, karena ada hal yang ingin dikatakan pada mbok Karto. Ruparupanya, pembicaraan Mbok Karto dengan putri-putrinya, sempat didengar oleh
Karto Bendho. Karto Bendho tersinggung dengan kecurigaan sang istri. Suami
istri itu kemudian terlibat pertikaian yang sedikit sengit. Di tengah-tengah dialog
di antara keduanya, Gembyang datang dengan tergopoh-gopoh. Ia datang dengan
kain yang basah air kencing karena ia merasa sangat takut. Dengan wajah panik,
ia mengatakan bahwa ada 2 (dua) kelompok pemuda yang sedang dikuasai
amarah, dan berencana hendak saling serang. Kedua kelompok itu berasal dari
wilayah Wetan ndalem dan Kulon ndalem. Maka dari itu, dengan terburu-buru ia
mencari Karto Bendho untuk mencegah perkelahian antar warga. Mendengar hal
itu, Karto Bendho lantas pergi menyusul para warga itu.
Di tengah jalan, Karto Bendho bertemu 2 (dua) kelompok pemuda dari
Wetang ndalem dan Kulon Ndalem. Dira, Sapar, Panut, Patra, Kirja dan Giman
tengah terlibat adu mulut. Baku lempar kesalahan. Karto Bendho berupaya
melerai mereka. Dira mengatakan, alasan kemarahan kelompoknya adalah tentang
sumur air yang berada di antara
kedua wilayah tersebut. Sumber
air
yang
dipakai
bersama-sama
sudah
dipagari
itu,
oleh
secara
tiba-tiba
warga
Wetan ndalem. Tanpa melalui
proses
obrolan apapun. Hal
tersebut jelas telah membuat
warga Kulon ndalem merasa susah. Kirja dari Wetan ndalem tidak mau kalah. Ia
104
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengatakan bahwa warga Kulon ndalem sangat menyusahkan, karena bila
membuang sampah, selalu di wilayah Wetan ndalem. Hal itu membuat kotor
wilayahnya. Patra dengan emosi menambahkan bahwa warga Wetan ndalem juga
salah. Karena menurutnya, pohon mangga yang ditanam oleh warga Kulon
ndalem, terus-menerus diambil oleh warga Wetan ndalem. Mendengar pernyataan
Patra, Panut pun menyahut. Ia mengatakan bahwa pohon mangga itu tumbuh
doyong atau miring ke arah wilayah Wetan, maka warga mereka berhak
mengambil buahnya. Saling salah-menyalahkan, dan sahut-menyahut membuat
suasana semakin panas, mereka terdorong untuk baku pukul.
Karto Bendho kemudian secara cepat menghentikan pertikaian antara 2
(dua) kelompok itu. Dengan suara yang menggelegar, Karto berteriak dan berkata
pada para warga “Meneng !!!!!..... Mingkem!!! Dha isa mingkem ora ???! .....Cah
enom, ...anake wong nggenah, ....mangan sekolahan,.... lha kok cupet
pikire!...Kowe ki dha ngerti ora,
nek urip tunggal sak kampung kuwi kudu
guyup? Kudu ngerti tepa selira, ajen ingajenan, ora mbedak-mbedakke sing
mlarat karo sing sugih, sing elek karo sing apik, sing cacad karo sing ora
cacad!....Ngerti ora????” (Diam !!!!....Tutup mulut kalian!!! Bisa diam atau
tidak???! … Anak muda,…anak orang baik,… orang yang berpendidikan,… lha
kok pikirannya sempit!... kamu
semua paham atau tidak, bila
hidup
bersama
dalam
satu
kampong itu harus rukun? Harus
paham tepa selira , hormat
menghormati,
105
tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membedakan antara yang miskin dan yang kaya, anatara yang jelek dan yang
bagus, antara yang cacat dan yang tidak cacat…paham atau tidak????). Lantas
diikuti jawaban paham dari kedua pihak yang bertikai tadi. Karto Bendo meminta
agar pagar di dekat sumur segera dibongkar, panen mangga dibagi menjadi 2
(dua), dan keputusan lainnya yang terasa adil bagi kedua kelompok warga itu.
Setelah mencapai kata sepakat, Karto lalu membubarkan keramaian warga.
Setelah adegan yang memperlihatkan eskalasi konflik antara kedua
kelompok warga, penonton kemudian diajak untuk santai sebentar dengan adegan
guyon. Menceritakan salah satu keluarga dari Magersari. Adegan tersebut
melibatkan Raminten dan sang suami Pur Bonsai, serta pelayan mereka yang
bernama Kenyung. Adengan dari ketiga pemain ini terasa sangat sengaja dibuat
untuk membuat tontonan menjadi lebik menarik dan lucu. Beberapa dialog,
adengan slapstik terus menerus dihadirkan. Tidak hanya itu, peran tokoh
Raminten yang diperankan oleh Hamzah, pemilik Waroeng Raminten (Mirota),
dan tokoh Kenyung diperankan oleh laki-laki yang berpakaian berperilaku
selayaknya perempuan. Tokoh Pur Bonsai yang bertubuh mini pun, sepertinya
sengaja ditampilkan untuk mengocok perut penonton.
106
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sesudah tawa penonton mereda, adegan selanjutnya langsung dilanjutkan
pada pertemuan para warga Magersari. Semua warga datang atas undangan
langsung dari Jaya Kenthus. Kenthus membacakan semacam maklumat, yang
berisi tentang kenaikan uang
sewa tanah Magersari sebesar
300% (tiga ratus persen). Seperti
sebelumnya,
hal
itu
menimbulkan reaksi keras dari
para
warga
Magersari.
Keputusan itu di gugat oleh
Karto Bendho. Jaya Kentus jelas sangat murka, atas sikap kekurangajaran Karto
Bendho. Ia lantas menuduh Karto hendak membuat ulah, selayaknya bajingan.
Menanggapi tuduhan itu, Karto Bendo membuka suara “Mboten!! Nggen kula
wani mbatalke putusan sampeyan merga kula ngerti urik sampeyan! Ngerti pokil
sampeyan! ...Sakniki, empun wancine wadi niki kula bukak! Nek sejatine lemah
sing dinggoni para Magersari niku dede lemah sampeyan!” (Tidak!! Saya berani
untuk membatalkan keputusan anda, karena saya tahu anda curang! Saya tahu
kekikiran anda!... sekarang, sudah waktunya persoalan ini saya buka!bahwa
sesungguhnya tanah yang didiami oleh para Magersari itu, bukanlah tanah anda!).
Pada saat Kenthus menantang Kerto Bendho untuk membuktikan kata-katanya,
bahwa bukan dialah pemilik sah tanah itu, maka muncullah sosok Pangeran
Surya.
Pangeran Surya dengan gemas mengatakan “Beine Kenthus. Nggonmu tak
percaya ngrumat lemah sing dinggoni para Magersari iki, jebul ming kok anggo
107
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
piranti nggonmu arep kemaki lan sewenang-wenang! Mangka kowe ngerti. Lemah
iki paring ndalem Ingkang Sinuwun marang aku. Lan kowe sing tak percaya
ngrumat. Ning kena apa kok salah gunakke dinggo numpuk kesugihan? Apa kowe
lali nek Ingkang Sinuwun ora tau gawe cilaka lan sengsarane kawula? ...Coba
etungen. Pira akehe siti kagungan ndalem sing dililakke dinggo kawigatene
kawula? Pira akehe sekolahan,
rumah sakit, pasar lan papan
liyane sing dibangun neng sak
ndhuwure siti kagungan ndalem
Ingkang
Sinuwun?”
(Bei
Kenthus. Kau aku percayakan
untuk
merawat
tanah
yang
didiami oleh para Magersari ini,
tapi ternyata hanya kau pakai untuk alat kesombongan dan kesewenangwenangan! Kau tahu. Tanah ini diberikan oleh Ingkang Sinuwun padaku. Dan kau
lah yang aku percaya untuk merawatnya. Namun mengapa kau salahgunakan
untuk menumpuk kekayaan? Apakah kau lupa bila sesungguhnya Ingkang
Sinuwun tidak pernah ingin membuat celaka dan sengsara rakyatnya? Coba
hitunglah. Berapa banyak tanah milik ndalem yang direlakan untuk kepentingan
rakyat? Berapa banyak sekolah, rumah sakit, pasar dan bangunan lainnya yang
dibangun di atas tanah milik ndalem Ingkang Sinuwun?)
Kenthus tidak bisa menyangkal. Ia mengakui kesalahannya selama ini.
Kesalahan dalam menyelewengkan mandat yang dianugerahkan kepadanya.
Pangeran Surya kemudian menutup pembicaraannya dengan memberikan petuah
108
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pada seluruh warga Magersari “Manggon onten kampung niku kudu nganggo
landhesan werna telu. Siji, guyup rukun. Loro, ajen ingajenan. Dene sing kaping
telu, nganggo tepa selira.... Kabeh niku mengku teges ”ora kena mbedakmbedakke siji lan liyane.” ...Embuh sampeyan Jawa, Sunda, Cina, Arab napa
Batak, Kabeh duwe hak padha ing bab napa mawon. .... Mulane, rehne lelakon
niki pun rampung, mangga sami
memuji.
Mugi-mugi,
Kampung
niki
dadi
Guyub
srana
manunggale kabeh warga sing
mapan onten kampung niki”.
(tinggal
di
kampung
harus
berdasar pada 3 (tiga) landasan.
Pertama, guyub rukun. Dua,
hormat menghormati. Dan yang ketiga, toleransi….semua itu artinya “tidak boleh
membedakan satu dengan lainnya.” …Entah kamu orang Jawa, Sunda, Cina, Arab
ataupun Batak, semua mempunyai hak yang sama pada hal apapun… Oleh karena
itu, masalah ini telah sudah selesai, silahkan saling menghargai. Semoga, guyub
kampung ini menjadi sarana persatuan seluruh warga yang bermukim di kampong
ini). Pertunjukan ditutup dengan jawaban “Sendika!!!” dari seluruh warga
Magersari.
C.2. Ledhek Bariyem: Mencecap Seram dalam Konflik Kekuasaan
Sebelum hadir di ruang pertunjukan gedung Societed Militer Yogyakarta
pada tanggal 18 Juni 2014 , sesungguhnya saya sedikit menyiapkan diri dengan
109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pertunjukan kethoprak yang tidak biasa. Ketidakbiasaan di sini dalam arti yang
sesungguhnya. Terus terang kali itu adalah pengalaman pertama saya menonton
kethoprak dengan gaya yang cukup berbeda. Baru kali itu saya menonton
kethoprak dengan genre horror. Awalnya saya memang agak terprovokasi oleh
poster dari lakon tersebut. Bila melihat posternya, saya teringat penampilan hantu
sundel bolong yang dimainkan oleh Suzanna pada kisaran tahun 1980-an. Hantuhantu dengan wajah seram nan suram, berambut panjang berantakan dan baju
putih yang melambai panjang. Melalui poster itu, citra lakon Ledhek Bariyem
dibentuk. Poster yang berlatar warna hitam-merah dan menampilkan gambar
sosok hantu, kiranya mampu membangkitkan rasa penasaran dari publik.
Pada malam itu saya datang lebih awal, dengan maksud agar saya dapat
memilih posisi tempat duduk yang paling strategis dan nyaman. Namun apa mau
dikata, setibanya saya di gedung pertunjukan, sudah banyak orang yang hadir di
sana. Mungkin mereka memiliki niatan yang sama dengan saya, mendapatkan
tempat yang nyaman untuk menikmati pertunjukan. Begitu giliran saya dan
kawan-kawan masuk ke ruang pertunjukan, yang kami dapati adalah ruangan yang
sudah disesaki oleh banyak orang. Pada akhirnya, kami harus menerima
kenyataan bahwa kami tidak akan mendapatkan posisi tempat duduk yang kami
inginkan. Yang lebih tidak mengenakkan, saya dan kawan-kawan harus duduk
terpencar. Karena tempat duduk yang tersisa tidak memungkin kami untuk dapat
duduk bersama dalam satu barisan. Setelah mencari-cari, sayan mendapatkan
tempat duduk di sayap selatan, dekat dengan pintu keluar. Ya, walaupun posisi
tempat duduk saya agak jauh dari panggung. Saya cukup bersyukur karena saya
mendapat tempat duduk yang cukup nyaman. Karena setelah itu, penonton yang
110
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
datang
terlambat,
terpaksa
menerima
kenyataan untuk duduk di tangga, ataupun
lantai ruang pertunjukan.
Terus terang saya cukup takjub
melihat fenoma tersebut. Bagaimana tidak?
Baru kali itu saya melihat antusiame yang
sangat besar pada pertunjukan kethoprak.
Usut punya usut, setelah bertanya pada
beberapa penonton yang pada saat itu hadir, mengenai apa yang mendorong minat
mereka untuk datang dan melihat pertunjukan itu, jawaban yang hampir sama
saya dapatkan dari mereka: mereka penasaran. Rasa penasaran mereka sama
dengan saya, yaitu penasaran pada genre horror yang ditawarkan pada pertunjukan
tersebut. Di samping itu, ada juga yang didorong oleh keinginan untuk menonton
beberapa kawan mereka, yang ikut bermain dalam lakon Ledhek Bariyem.
Mungkin ada beragam motivasi lain yang mendorong para penonton untuk datang
pada malam itu, sayangnya saya tidak bisa mencari tahu lebih lanjut, karena
pertunjukan sudah akan dimulai.
Pementasan diawali dengan terbukanya tirai penutup panggung. Setting
memperlihatkan sebuah kompleks pekuburan yang amat sepi. Efek pencahayaan
lampu dengan warna merah di tengah kegelapan, semakin mendukung suasana
yang
mencekam
di
lokasi
tersebut. Sebuah gambar bulan
yang besar dan penuh mencuri
perhatian
dari
keseluruhan
111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tampilan visual di atas panggung. Kepulan asap keluar dari arah belakang dan
samping. Cahaya yang menembus asap yang mengepul menghadirkan efek dari
penggambaran yang menyeramkan. Pada saat selanjutnya, penonton dibuat
terkejut oleh suara ledakan yang lumayan besar. Rupa-rupanya suara tersebut
berasal dari petasan yang diledakan. Sungguh pengalih suasana yang tidak biasa.
Dari suasana yang yang mencekam ke suasana yang ramai dan riuh rendah.
Setelah lampu panggung mati sesaat, lamat-lamat suara pesinden melagukan
tembang yang diiringi suara gamelan yang rancak. muncullah para pemain yang
cukup banyak jumlahnya. Di atas panggung terlihat adanya keriaan. Di tengahtengah banyak orang, terdapat 3 (tiga) orang penari ledhek perempuan, melenggak
lenggok dengan genitnya. Mereka menjadi pusat perhatian dan hiburan di tengah
keriaan itu.
Beberapa detik kemudian muncul tokoh Lurah Sarjana, kepala desa
Klampis Ngasem. Kehadirannya langsung disambut dengan hormat oleh Marji,
Giman dan segenap warga desa yang sedang menikmati pertunjukan ledhek. Baik
Lurah maupun warganya terlihat senang dan larut dalam kegembiraan malam itu.
Dialog antara Lurah Sarjana, Marji dan Giman dimulai dengan pertanyaan sang
lurah, mengenai apakah mereka senang dengan hiburan yang diberikannya.
Segenap warga pun menjawab “Leres!!!”, yang berarti iya. Lurah Sarjana dengan
wajah sumringah menghaturkan janji pada warganya, bahwa jikalau ia kembali
terpilih menjadi kepala desa Klampis Ngasem, ia akan lebih sering mengadakan
acara semacam itu, dan yang paling penting adalah menjamin kesejahteraan bagi
seluruh warga desa.
112
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selepas menebar janji pada warganya, Lurah Sarjana kemudian
memanggil Bariyem, salah satu penari ledhek. Bariyem datang menghampiri sang
lurah diikuti dengan tundukan menghormat. Lurah Sarjana menyampaikan rasa
terima kasihnya pada Bariyem, karena telah dapat memberikan kegembiraaan
pada warganya. Bariyem pun berterima kasih karena ia dan kawan-kawannya
telah mendapat kesempatan untuk dapat menghibur. Lurah Sarjana lantas
mengatakan pada seluruh warga yang hadir di sana, untuk segera menghentikan
keramaian di malam itu. Agar esok hari dapat kembali mengerjakan pekerjaan
serta kewajibannya masing-masing dengan baik. Sebelum warga membubarkan
diri, Lurah Sarjana menitipkan pesan pada mereka “Ning aja pada lali yo….sesuk
milih aku...!!!” (tapi jangan lupa ya… besok milih aku!!!). Serentak warga
menjawab “Njih ..Pak Lurah !!!” (baik…pak Lurah).
Kumpulan manusia yang memenuhi lapangan, satu persatu pergi. Marji
menghampiri
Bariyem
yang
sedang
membereskan
peralatannya.
Marji
menawarkan diri untuk mengantar Bariyem pulang. Namun Bariyem menolaknya.
Ia sudah terlanjur janji dengan Sutrisna, untuk mengantarkannya pulang. Giman
memperingatkan Bariyem bahwa harus ada yang mengantarkannya pulang, karena
kondisi desa sedang mengkhawatirkan, dikarenakan akan adanya pemilihan
kepala desa di wilayah mereka. Bariyem meyakinkan keduanya, bahwa Sutrisna
akan datang untuk menjemputnya. Lurah Sarjana pun mengatakan agar Bariyem
berhati-hati, dan diiyakan oleh Bariyem. Perempuan itu lantas pamit pada
beberapa orang yang masih tersisa di lapangan.
Adegan selanjutnya terlihat seorang lelaki muda dengan ekspresi cemas
berjalan bolak-balik. Sepertinya Sutrisna, lelaki itu sedang menanti seseorang.
113
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tiba-tiba seorang perempuan muda datang menghampirinya. Mirah, perempuan
itu mengatakan pada Sutrisna bahwa ia baru saja pulang dari rumah Ndari, saking
serunya berbincang, ia lupa waktu. Mirah merupakan anak dari Pak Warjudi,
salah satu calon kepala desa Klampis Ngasem. Ia sadar bahwa masa pemilihan
kepala desa adalah masa yang tidak aman bagi bagi kampungnya, terlebih di
waktu malam. Oleh sebab itu, ia meminta pertolongan Sutrisna untuk dapat
menemaninya pulang ke rumah. Menghadapi permintaan semacam itu, Sutrisna
bimbang. Ia sudah terlanjur janji pada Bariyem untuk mengantarkannya pulang.
Namun Mirah pun memohon pertolongannya untuk dinatarkan pulang. Apabila ia
menanti Bariyem dan membiarkan Mirah pulang sendiri, ia tidak tega. Terlebih
lagi Mirah marah, karena Sutrisna terkesan jauh lebih memperhatikan Bariyem
ketimbang dirinya.
Sutrisna pun pada akhirnya mengakui bahwa hatinya memang condong
pada Bariyem. Karena ia menyukai perempuan itu. Keterusterangan Sutrisna
membangkitkan amarah Mirah, karena sesungguhnya ia sendiri menyimpan rasa
suka pada Sutrisna. Semenjak mereka kecil, Sutrisna, Bariyem dan Mirah selalu
bersama. Mirah sudah memiliki rasa suka pada Sutrisna semenjak dulu, namun
Sutrisna jauh lebih memilih Bariyem untuk dicintai. Kemarahan Mirah tersebut,
sedikit menganggangu Sutrisna, hingga kemudian ia untuk membayar rasa tidak
enaknya, Sutrisna bersedia mengantarkan Mirah, dan beriat akan kembali ke
tempat itu untuk menjemput Bariyem.
Sepeninggal
Sutrisna
dan Mirah. Bariyem sampai di
tempat
114
dimana
semestinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sutrisna menantinya. Namun tiada didapatinya seorang pun di sana. Bariyem tibatiba dilanda rasa cemas, karena dipikirnya Sutrisna lupa pada janjinya. Tak berapa
lama kemudian, datanglah sekelompok orang, datang dengan sikap berangasan.
Mereka memakai topeng. Mereka mempunyai niat jahat pada Bariyem, mereka
bermaksud memperkosanya. Dalam perlawanannya, Bariyem dapat membuka
topeng dari salah satu penjahat. Alangkah terkejutnya Bariyem saat didapati
bahwa orang yang hendak berbuat jahat padanya adalah orang yang dikenalnya,
“Lho kowe Kang Brawa ??!!Kowe pendereke Pak Warjudi !!!!” (Lho kamu kang
Brawa??!! Kamu pengikut Pak Warjudi!!!). Brawa yang telah diketahui
identitasnya oleh Bariyem, sontak panik. Ia dan kawan-kawannya kemudian
memutuskan untuk menghabisi perempuan itu. Setelah memastikan kematian
Bariyem, Brawa membuang jasad Bariyem. Gambar bulan yang berada di latar
panggung, divisualisasikan berlumuran darah. Bulan yang semula putih berubah
menjadi berwana merah darah. Suasana mencekam.
Pecah tangis mbok Minten merobek kesunyian panggung. Adegan pada
babak itu memperlihatkan kesibukan, sekaligus kesedihan. Mbok Minten terus
menerus menangis meratapi tubuh kaku Bariyem. Ia mempertanyakan mengapa
nasib malang itu menimpa anak gadisnya. Sedangkan Sutrisna menyesal karena
bila saja malam itu ia menepati janjinya untuk mengantarkan Bariyem, maka hal
buruk tidak akan terjadi pada gadis yang dikasihinya itu. Selain penyesalan,
Sutrisna merasakan kemarahan yang amat sangat. Ia bertekad mencari orang yang
membunuh Bariyem, ia ingin membalaskan dendam. Mendengar hal itu, Lurah
Sarjana berusaha menenangkan keduanya. Pada Mbok Minten, ia menyampaikan
belasungkawa serta berusaha membesarkan hati perempuan tua itu. Pada Sutrisna,
115
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ia mengingatkan bahwa harus ada bukti dan saksi, untuk mengetahui siapa pelaku
kejahatan tersebut. Sutrisna tidak boleh melakukan cara yang ngawur, hal itu
dapat mengakibatkan dirinya celaka. Namun Sutrina tetap kukuh pada
pendiriannya. Ia bermaksud balas dendam. Di tengah perdebatan antara Lurah
Sarjana dan Sutrisna, datanglah pak Warjudi sambil berkata “Aku sing bakal melu
nggoleki lan nemokake pawongan kui. Kowe lan Mbok Minten ora perlu kuatir”
(Aku yang akan ikut mencari dan menemukan orang tersebut. Kamu dan mbok
Minten tidak perlu khawatir).
Lurah Sarjana terlihat kurang suka dengan kedatangan saingannya. Ia
menanggapi perkataan Pak Warjudi “Aku neda nrima dene sampeyan kepengin
melu nggoleki sapa sing wis tegel marang Bariyem” (Aku sangat berterima kasih
bila kamu berkeinginan untuk ikut mencari siapa yang telah tega terhadap
Bariyem). Pak Warjudi menjawab “Sampeyan ora perlu neda nrima kang... Apa
sing tak tindakke iki merga aku uga warga Klampis Ngasem kene, aku duwe
kuwajiban melu njaga katentreman”(Anda tidak perlu berterima kasih kang… apa
yang aku lakukan ini karena aku juga warga Klampis Ngasem, aku punya
kewajiban untuk ikut menjaga ketentraman). Lurah Sarjana lantas menimpalinya
dengan sengit “Rasa bela kuwi, kala mangsa tekane pancen sok kaseb...”
(penyesalan itu, kadang kala datang terlambat). Pak Warjudi terusik dengan katakata Lurah Sarjana, “Apa karep sampeyan kok kandha kaya ngono..??” (Apa
maksudmu, kok bicara seperti itu?”. Lurah Sarjana menjawab dengan nada sengit
“Aku ming arep kanda nek pati ne Bariyem kudu ne isa di singkiri menawa
sampeyan isa ngatur wong - wong sampeyan” (Aku hanya hendak mengatakan
bahwa kematian Bariyem tidak akan terjadi, bila kamu dapat mengatur orang-
116
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
orangmu). Pak Warjudi semakin terusik dan terlihat marah. Dengan nada tinggi ia
berkata “Sampeyan ngarani, nek kabeh iki sing tumindak wong - wong kula..
Ngaten..??”
(menurutmu,
semua
ini
yang
melakukan
adalah
orang-
orangku…begitu..??). Lurah Sarjana menjawab “Aku ora perlu kanda kaya
ngono, nanging kahanan sing ngandakake...” (aku tidak perlu mengatakannya,
akan tetapi keadaan lah yang mengatakannya…).
Semakin gusar lah Pak Warjudi, ia kemudian menanyakan bukti dari
tuduhan itu. Suasana semakin memanas, kedua calon lurah itu saling berhadapan.
Lurah Sarjana menekankan bahwa bukti akan didapatkan pada waktu yang tepat.
Pak Warjudi sangat marah dan tidak terima dengan tuduhan yang dituduhkan
padanya, dengan membalikkan kata-kata bahwa Lurah Sarjana ada “maling yang
berteriak maling” padanya. Keduanya berdebat dengan sengit. Sutrisna kemudian
melerai, dan memberitahu bahwa bila keduanya ingin ikut melakukan perawatan
terakhir pada jenazah Bariyem, mereka dipersilakan untuk ikut. Adegan ditutup
dengan teriakan histeris mbok Minten.
Di
tempat
lain,
sepulangnya pak Warjudi dari
rumah
mbok
Minten,
ia
mengumpulkan para pengikutnya.
Pak Warjudi murka luar biasa
terhadap Brawa dan kawan-kawannya, karena bertindak gegabah, tanpa
perhitungan.
Ia hanya
memerintahkan untuk menakut-nakuti, bukannya
membunuh. Brawa jelas ketakutan, ia mengatakan bahwa hal tersebut terjadi
begitu saja, sama sekali tidak disengaja. Karena Bariyem terlanjur mengetahui
117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahwa pelakunya adalah Brawa dan kawan-kawan. Mau tidak mau mereka harus
membunuhnya, untuk menghilangkan jejak. Brawa, Bagong, Si Dul dan Kunthing
meyakinkan pak Warjudi bahwa sesungguhnya tiada bukti yang akan mengarah
pada beliau (Warjudi). Pak Warjudi lantas berkata pada Brawa “Aku isih percaya
kowe sak kanca, wa... Ning yo kuwi.. Nek nganti sesuk ana seksi utawa bukti sing
tumuju marang tumindakmu, tak jaluk kowe kabeh aja nganti ngembet jeneng ku..
Ngerti..??”(aku masih percaya kalian…tapi ya …bila suatu hari ada saksi atau
pun bukti yang mengarah pada tindakanmu, aku meminta pada kalian semua
untuk jangan sampai menyebut namaku…mengerti..??”).
Brawa
dan
kawan-kawannya
menyepakati
hal
tersebut.
Setelah
pembicaraan mereka yang panjang, Brawa dan kawan-kawannya pamit undur diri.
Bu Warjudi kemudian masuk. Ia sesungguhnya diam-diam mencuri dengar
pembicaraan suami dan anak buahnya. Ia curiga Pak Warjudi terlibat dengan
peristiwa
pembunuhan
Bariyem.
Dengan
sangat
hati-hati
dan
masih
memperlihatkan kesopanan dan rasa hormat pada sang suami, bu Warjudi
meminta sang suaminya untuk tidak menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan
oleh Brawa dan kawan-kawanannya. Mendengar pernyataan istrinya, Pak Warjudi
menyangkal hal itu. Ia tidak terima bila sang istri mengguruinya. Ia menghardik
Bu Warjudi dan mengatakan pada istrinya itu untuk tidak perlu ikut campur,
apalagi cerewet.
Di waktu lain, di suatu
malam dan di sebuah cakruk
ronda. Suta dan Wadi, dua lelaki
dengan perawakan tambun dan
118
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lucu sedang duduk dan berbincang. Keduanya bertugas menjaga keamanan
kampung pada malam itu. Wadi dan Suta sedang sangat asyik membicarakan
tentang cara terbaik memainkan kenthongan. Keduanya saling memukul
kethongan dan mencari nada yang paling enak didengar. Suasana dibuat agak
santai dengan permainan kethongan mereka, yang semakin lama semakin selaras.
Pada beberapa menit kemudian permainan berhenti, diikuti dengan tingkah Wadi
yang sedikit takut dan merasakan sesuatu yang ganjil pada malam itu.
Suta setengah menghardik Wadi dan mengatakan bahwa kawannya itu
hanya mengada-ada saja. Menurutnya, Wadi mengatakannya hanya karena malas
untuk ikut berjaga malam. Wadi meyakinkan Suta bahwa malam itu terasa lain
dari malam-malam sebelumnya, terlebih lagi setelah kematian Bariyem yang tidak
wajar. Ia yakin bahwa arwah Bariyem tidaklah tenang. Bariyem pasti akan muncul
untuk mencari orang yang telah membunuhnya. Di kala Wadi serius menjelaskan
mengapa malam itu terasa menyeramkan, tiba-tiba muncul penampakan muncul
hantu Bariyem di belakangnya. Suta yang saat itu duduk berhadapan dengan
Wadi, sontak saja terkejut. Suta dengan terbata-bata bertanya mengenai
bagaimana penampakan Bariyem jika menjadi hantu. Wadi menjawab dengan
biasa saja, namun lama kelamaan, karena melihat ekspresi Suta, Wadi sadar
bahwa hantu Bariyem ada di belakangnya. Keduanya kemudian makin jelas
melihat penampakan tersebut. Keduanya tak sanggup berlari, keduanya pingsan.
Di tempat lain, di sebuah warung tuak yang ramai. Nampak Brawa dan
kawan-kawannya, mabuk bersama. Di selingi tawa dan obrolan yang tidak jelas
arahnya. Penjual tuak kemudian mendekati Brawa, ia menyampaikan berita yang
sedang hangat dibicarakan masyarakat desa Klempis Ngasem, kasak-kusuk yang
119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
beredar mengatakan bahwa hantu Briyem telah muncul. Hantu itu sedang mencari
orang yang telah membunuhnya, dan hendak menuntut balas. Sontak Brawa dan
kawan-kawannya terkejut. Mereka tiba-tiba disergap rasa was-was. Karena
bagaimana pun juga, merekalah yang telah menghabisi Bariyem. Walau mereka
berusaha untuk meyakinkan diri bahwa hantu Bariyem itu tidak ada, namun di
jauh di dalam hati, mereka disergap kekhawatiran yang hebat. Untuk menyudahi
obrolan itu, Brawa kemudian pamit terlebih dahulu, ia berniat pergi ke desa
sebelah, guna menemui kekasih barunya. Ia pergi seorang diri, meninggalkan
kawan-kawannya di warung tuak. Sepeninggal Brawa, kawan-kawnnya seperti Si
Dul, Kunthing dan lainnya pergi. Tinggalah Bagong seorang diri, masih
menikmati minumannya hingga mabuk. Tanpa disadarinya penampakan hantu
muncul di belakangnnya. Sontak Bagong terkaget dan jatuh pingsan.
Seusainya siuman, Bagong pergi menuju keramaian. Ia mengatakan pada
Sutisna dan yang lainnya, bahwa ia baru saja bertemu dengan hantu Bariyem.
Sutisna tentu mencium gelagat
ada
ketidakberesan
dengan
kemunculan hantu tersebut. Di
lain
tempat,
dalam
perjalanannya sampailah Brawa
di tempat dulu dirinya dan kawan-kawan menghabisi Bariyem. Ia sendiri bingung,
mengapa ia bisa sampai di sana. Pada saat ia berpikir demikian, sekelebat muncul
penampakan hantu Bariyem. Nasib naas menimpa Brawa. Melalui pergumulan
seru di antara keduanya, Hantu Bariyem pada akhirnya dapat membunuh Brawa.
Sutrisna, Karta, Marji dan penduduk desa datang terlambat ke lokasi tersebut.
120
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Mereka mendapati Brawa telah terbujur kaku menjadi mayat. Tanpa menunggu
waktu lama, Sutrisna dan penduduk desa kemudian bergegas pergi menuju rumah
pak Warjudi.
Mendengar bahwa pengikutnya mati di tangan hantu Bariyem, pak
Warjudi merasa luar biasa gelisah. Melihat suaminya gelisah, bu Warjudi
menganjurkan pak Warjudi untuk mengakui perbuatannya. Pak Warjudi
mengatakan pada istrinya, ia memang memerintahkan para Brawa dan kawankawan untuk menakut-nakuti Bariyem yang jelas-jelas lebih mendukung Lurah
Sarjana. Namun ia tidak memerintahkan mereka untuk membunuh gadis itu.
Mendengar pengakuan suaminya bu Warjudi menasehati suaminya, agar
menempuh cara yang jujur dan benar, bila ingin menjadi lurah. Bukan dengan
cara membuat penduduk takut. Agar penduduk lebih hormat dan meneladaninya.
Pak Warjudi membalas kata-kata istrinya “Benere wong liya, durung mesti bener
kanggoku, semana uga kosok baline. Saben uwong kuwi duwe wenang kanggo
nggayuh apa sing dadi panjangkan e nganggo carane dewe – dewe” (benarnya
orang lain, belum tentu benar buatku, begitu pula sebaliknya. Setiap orang
memiliki
kewenangan
untuk
mencapai
apai
yang
diidamkan,
dengan
menggunakan caranya masing-masing). Bu Warjudi prihatin terhadap pandangan
suaminya “Nek ngaten... sampeyan pun klentu nggon e negesi kamukten lan
panguasa”(jikalau begitu…bapak sudah salah dalam mengartikan kejayaan dan
kekuasaan).
Pak Warjudi naik pitam ia merasa digurui oleh istrinya yang dirasanya sok
pintar. Lagi-lagi Bu Warjudi menjawab dengan sabar “Menika dede perkawis
pinter utawi bodho,nanging perkawis luput lan bener. Kamukten niku mboten
121
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kudu dipetung kanthi bandha. Semanten ugi panguwasa... nek tiyang pun nyepeng
penguwasa ,mboten teges saged kangge nguwasani tiyang sanes. Nanging kados
pundi panguwasa niku saged damel tentrem lan migunani kangge tiyang sanes”
(ini bukan perkara pintar atau
bodoh. Akan tetapi perkara
salah dan benar. Kejayaan itu
tidak harus diukur dengan
uang atau kekayaan. Begitu
pun
kekuasaan.
Bila
seseorang sudah memegang kekuasaan, tidak boleh untuk menguasai orang lain.
Namun lebih pada bagaimana penguasa tersebut dapat mempuat ketentraman dan
berguna bagi orang lain). Pak Warjudi semakin marah “Cukup..!!! Nek aku mulya
,tundone kowe uga bakal nemani mulya. Apa kang tak tindakake saiki ora liya yo
mung kanggo awake dewe !!” (Cukup!!! Bila aku sejahtera, kamu juga akan
sejahtera. Apapun yang aku lakukan tidak lain untuk kepentingan kita juga!!).
Setelah mengingatkan suaminya, Bu Warjudi beranjak masuk ke dalam
rumah. Saat pak Warjudi seorang diri, muncul lah hantu Bariyem. Sama seperti
pada Brawa, hantu Bariyem pun berniat membunuh pak Warjudi. Pak Warjudi
mati di tangan hantu Bariyem, sang hantu terlihat senang dengan meneriakan
kemenangan. Saat sosok itu hendak pergi meninggalkan mayat pak Warjudi,
Sutrisna dan kawan-kawannya muncul. Ia tidak percaya jikalau Bariyem yang
telah meninggal dapat membunuh orang. Orang yang berlagak sebagai hantu
Bariyem pun ditangkap. Mereka amat terkejut saat mendapati Giman lah yang
berpura-pura sebagai hantu Bariyem. Giman, anak buah Lurah Sarjana.
122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sedangkan di rumahnya, Lurah Sarjana terlihat duduk dengan nyaman,
sambil sesekali menghisap rokok yang dipegangnya. Ia tertawa begitu gembira
sambil berkata “Nek Giman ,wis bisa mateni Warjudi sak kanca...bisa tak
pestekake menawa aku mesti kelakon dadi lurah meneh. Yo nganggo sarana
pati ne Bariyem ngene iki aku bisa ngresiki wong - wong sing kepingin dadi
lurah,sisan sak pengombyong e..... Ning wes nganti yah mene kok yo Giman
durung menehi kabar aku yo....???” (bila Giman sudah dapat membunuh Warjudi
dan pengikutnya…sudah dapat aku pastikan, kalau aku lah yang akan menjadi
lurah lagi. Dengan menggunakan kematian Bariyem, aku bisa menyingkirkan
orang-orang yang berkeinginan untuk menjadi lurah, sekaligus dengan para
pengikut mereka… tapi mengapa sampai saat ini Giman belum juga mengabariku
ya…???).
“Giman mboten saged paring atur malih.!!!” (Giman tidak akan datang
kemari lagi!!!) dengan suara menahan amarah mbok Minten masuk ke dalam
rumah Lurah Sarjana. Sang Lurah sangat tidak menduga dengan kehadiran
perempuan tua itu. Lurah Sarjana berusaha membelokan maksud pertanyaannya,
dengan mengatakan bahwa ia menanti Giman untuk mengetahui siapakah
sesungguhnya orang yang telah tega membunuh Bariyem. Mbok Minten
menjawab bahwa ia sudah tahu bahwa Brawa dan kawan-kawannya, yang
merupakan pengikut pak Warjudi lah yang membunuh Bariyem. Mendengar itu
Lurah Sarjana menimpali dengan kata syukur dan berlagak lega. Namun mbok
Minten tidak diam begitu saja. Ia mengatakan bahwa Brawa dan kawan-kawannya
memang kejam, akan tetapi Lurah Sarjana jauh lebih kejam. Lurah Sarjana telah
menggunakan sosok Bariyem yang telah tenang di alam keabadian, untuk difitnah
123
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan dikambinghitamkan atas kematian pak Warjudi, Brawa dan kawan-kawannya.
Lurah Sarjana mengelak, ia tidak terima tuduhan dari mbok Minten.
Kemarahan mbok Minten
tak terbendung “Sak limpatlimpat e kidang ingkang saget
uwal
macan,
saking
pangoyakipun
wonten
kala
mangsanipun kidang badhe lena sak temah saged pun mangsa dening macan
menika...Tumindak sampeyan ingkang sampun ngginakaken pejah e Bariyem,
sampun mitenah Bariyem kangge nggayuh kekarepan sampeyan.... Sampun
dumugi titi wancinipun tumindak sampeyan kewiyak..!!” (selincah-lincahnya
kijang yang dapat terlepas dari kejaran macan, ada saatnya kijang akan lengah dan
dapat dimangsa oleh macan tersebut. Karena anda yang telah menggunakan
kematian Bariyem untuk mewujudkan keinginan anda… sudah saatnya kini anda
mempertanggungjawabkannya).
Mbok Minten meneruskan “Menapa tiyang ingkang sampun pejah, tetep
mboten gadhah wenang kangge manggihi katentreman ...?? Sampeyan jejering
pengayom sing kudu ne saged ngayomi, nanging sampeyan malah tegel mitenah
tiyang ingkang sampun pejah...?? Lajeng
kados pundi tumindak sampeyan
dhateng tiyang gesang..??”(Mengapa orang yang sudah meninggal, tidak jua
dapat merasakan ketentraman…?? Anda sebagai pengayom yang semestinya
mampu mengayomi, namun mengapa anda malah tega memfitnah orang yang
telah meninggal..?? lantas apa yang akan anda lakukan terhadap orang yang masih
hidup…??).
124
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lurah Sarjana tidak terima dengan tuduhan itu, tiada bukti ataupun saksi
yang dapat memberatkannya. Mbok Minten mengajukan nama Giman sebagai
bukti sekaligus saksi yang diperintah Lurah Sarja untuk berpura-pura menjadi
hantu Bariyem. Lurah Sarjana terkejut dengan pernyataan yang diucapkan oleh
mbok Minten. Namun karena dia merasa perempuan tua itu tiada memiliki bukti,
ia mencoba menguasai situasi. Dengan nada mengintimidasi, sang Lurah
mengakui bahwa dia memang melakukannya, namun tidak ada satu pun orang
yang dapat membuktikannya. Sehingga bagaimana pun juga, posisi mbok Minten
akan kalah jika menghadapinya. Tiba-tiba muncul suara riuh dari penduduk desa
yang mengepung kediaman pak lurah. Ia tidak menyangka bila penduduk
kampong telah mengetahui kebenarannya secepat itu. Mendengar suara di luar
rumah yang semakin lama semakin gaduh, Lurah Sarjana pun semakin bingung, ia
kemudian melarikan diri.
Lurah Sarjana yang lari
dari kejaran penduduk, nampak
berantakan
Melihat
dan
kepayahan.
penampilannya,
ia
layaknya orang yang kehilangan
kewarasan. Sang Lurah terus
berbicara dengan dirinya sendiri. Ia menghaturkan permintaan maaf. Kalimat itu
yang terus-menerus diulanginya. Hingga pada kondisi diantara sadar dan tidak
sadar, ia mendapati sosok Bariyem sedang menari ledhek seorang diri. Dalam
posisi menyembah, Lurah Sarjana masih saja berteriak “Tak akoni aku luput…aku
njaluk pangapuro…aku njaluk pangapuro” (aku akui bahwa aku bersalah…aku
125
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
minta maaf…aku minta maaf). Sedangkan sosok Bariyem terlihat terus menari,
dan terus menghantui.
D. Lakon Kethoprak di Mata Mereka
Pada bagian ini saya sangat ingin menampilkan hasil wawancara dengan 2
(dua) orang tokoh penting dibalik lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, yaitu
Bondan Nusantara dan Ari Purnomo. Dari kedua tokoh tersebut, saya mencoba
mencari tahu mengenai konteks semacam apa yang melatarbelakangi kedua lakon
itu. Selain mewawancari kedua tokoh tersebut, saya juga mewawancarai 2 (dua)
orang pemain dari kedua lakon tersebut. Sebagai sumber data sekunder, saya ingin
melihat sampai sejauh mana para pemain, yang terdiri dari: Baso Rangga
(Magersari) dan Herwiyanto (Ledhek Bariyem) memaknai lakon yang
dimainkannya. Pada penelitian ini, saya juga menyertakan Rinal Khaidar Ali yang
merupakan salah seorang orang penonton dari lakon Magersari.
Bondan Nusantara. Lelaki ini lahir di Yogyakarta, pada tanggal 6 Oktober
1952. Bukan tanpa alasan Bondan Nusantara memutuskan untuk terjun sebagai
seniman kethoprak. Di dalam nadinya mengalir darah seniman kethoprak.
Theresia Khadariah dan Suyatin adalah seniman kethoprak yang cukup dikenal di
masanya. Pada era rejim Orde Baru, sang ibu dipenjara karena dianggap sebagai
bagian dari gerakan komunis. Pada masa itu, banyak seniman yang bernaung di
bawah payung kesenian Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA), mengalami
penangkapan. Sebagian dari mereka dipenjara tanpa proses pengadilan, bahkan
banyak juga yang dieksekusi (dibunuh) secara massal. Entah dapat dikatakan
126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
beruntung atau tidak, Theresia Khadariah lolos dari pembataian, ia dipenjara dan
bebas pada tahun1980-an.
Bondan menceritakan bahwa dirinya lahir di dalam penjara, saat ibunya
menjalani masa tahanannya. Selepas keluar dari penjara, sang ibu tidak surut
keinginan untuk kembali menggeluti dunia kethoprak. Theresia Khadariah
kemudian ikut bergabung dalam kelompok kethoprak “Sapta Mandala” yang
berada dibawah pembinaan Kodam VII/ Diponegoro
Ia tidak hanya berlaku
sebagai pemain, akan tetapi juga dijadikan guru bagi para pemain muda dalam
kelompok tersebut, termasuk Bondan Nusantara.
Pengalaman berkesenian Bondan Nusantara, khususnya dalam dunia
kethoprak, dimulainya sejak ia masih sangat muda. Inspirasi yang didapatkan dari
orang tuanya, diteruskannya hingga kini. Sehari-hari selain sebagai seniman
kethoprak, Bondan Nusantara berprofesi sebagai wartawan senior dan
pendamping mahasiswa di Media Swara Kampus, yang terbit setiap hari selasa di
Harian lokal Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat. Beliau juga aktif di dalam
organisasi Syarikat Indonesia, yaitu organisasi yang berfokus pada upaya
pengembalian hak bagi para korban rejim Orde Baru, yang pernah menjadi
tahanan politik di masa itu. Beliau juga aktif menjadi bagian dari America Friends
Service Committee (AFSC) Yogyakarta, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak
alam bidang promosi dan pendidikan perdamaian di Indonesia. Dalam organisasi
tersebut, Bondan Nusantara banyak mengembangkan kegiatan untuk program
multikulturalisme.
Setelah melakukan wawancara dengan Bondan Nusantara, saya kemudian
menemui tokoh lainnya di ranah yang sama, Ari Purnomo. Ari Purnomo, yang
127
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lahir di Solo pada tanggal 3 Agustus 1973 ini, merupakan penulis naskah,
sekaligus sutradara lakon Ledhek Bariyem. Ari Purnomo terlahir dari sepasang
suami istri bintang kethoprak tobong yang pernah berjaya. Semenjak kecil, Ari
sudah sangat akrab dengan dunia panggung, terutama kethoprak. Proses
berkeseniannya sempat putus pada kisaran tahun 1989- 1992, karena ia bersekolah
di Surabaya. Pada tahun 1992, Sekembalinya ke Yogyakarta, ia menekuni
kethoprak sebagai profesinya hingga saat ini. Ari Purnomo merupakan salah satu
pendiri Genitama dan Pastika. Ia juga merupakan salah satu pembawa acara
“Angkringan” di Stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) Yogyakarta.
Tidak hanya penulis naskah dan sutradara yang saya wawancarai. Untuk
menghimpun data yang jauh lebih banyak detil, maka saya juga melibatkan para
pemain dari kedua lakon tersebut. Pemain pertama yang saya temui adalah Baso
Rangga. Lelaki ini yang lahir pada tanggal 15 Agustus 1976 ini merupakan salah
satu dari sekian banyak pendukung pementasan lakon Magersari. Lelaki yang
tinggal di daerah kelurahan Cokrodiningratan Kecamatan Jetis ini juga yang
menjadi penghubung antara komunitas kethopraknya, dengan masyarakat
wilayahnya, kala wilayah itu dijadikan salah satu tempat pementasan Magersari.
Ia merupakan salah satu dari sekian banyak anggota Paguyuban Seniman Tradisi
Kota Yogyakata (PASTIKA), yang bergerak dalam gerakan pelestarian kesenian
tradisional, khususnya kesenian Jawa.
Dalam Lakon Kethoprak Ladhek Bariyem, ada sosok tokoh yang cukup
memiliki peranan penting. Adalah Browo, sosok yang menjadi otak pembunuhan
Bariyem, yang juga anak buah dari pak Warjudi. Tokoh Browo dimainkan oleh
Herwiyanto, sesorang pemain kethoprak yang berasal dari daerah Bantul. Lelaki
128
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang lahir pada tanggal 3 Juni 1985 ini sudah menggeluti dunia kethoprak
semenjak tahun 2005. Semenjak kecil ia sudah diperkenalkan dengan kesenian
tradisional Jawa. Terutama kesian wayang kulit. Sang ayah berprofesi sebagai
dalang, sedangkan ibunya seorang sinden. Sehingga kesenian taradisional Jawa,
bukan
ha
lasing
bagi
dirinya.
Pada
awalnya
sang
ayah
lah
yang
memperkenalkannya pada dunia pedalangan dan karawitan. Lakon pertama yang
dimainkan adalah Legowo Lesmoyo, sebuah lakon yang diadaptasi dari cerita
daerah Jawa Timur. Selain mencari tahu mengenai pemahaman para pemain dari
tiap lakon, saya juga mencari tahu mengai apa yang ditangkap oleh penonton dari
lakon tersebut. Rinal Khaidar Ali, merupakan satu di antara sekian banyak
penonton pementasan lakon Magersari di wilayah Jetis, Yogyakarta.
D.1. Guyub Rukun Paseduluran
Dari kedua lakon yang telah dipaparkan sebelumnya, adalah representasi
dari sekian banyak lakon kethoprak garapan. Selayaknya sebuah seni tradisi,
kethoprak ikut andil dalam menurunkan ajaran-ajaran pokok tradisi Jawa. Salah
satunya ajaran yang mengatur tata hubungan atau interaksi antar anggota
masyarakat. Frans Magnis-Suseno melihat bahwa masyarakat Jawa mengatur
interaksi-interaksinya melalui 2 (dua) prinsip: kerukunan dan hormat. Sehingga
semua bentuk konflik terbuka harus dicegah, melalui sikap hormat yang tepat.91
Bondan Nusantara, salah satu dari tokoh kethoprak di Yogyakarta,
menceritakan latar belakang penciptaan Lakon Magersari. Dengan nada suara
yang meyakinkan, ia mengatakan bahwa lakon tersebut dipersembahkan sebagai
91
Ign Gatut Saksono-Djoko Dwiyanto, 2012, Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa, Ampera
Utama, Yogyakarta, hal. 41
129
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bagian dari laku kehidupan sosialnya. Kehidupan sosial yang dimaksudkannya
adalah proses belajar bersama mengenai tatanan hidup bermasyarakat. Ia berusaha
untuk mengingatkan masyarakat bahwa hidup bersama di kampung semestinya:
jangan sampai kehilangan tenggang rasa, jangan kehilangan gotong royong,
jangan kehilangan pluralitas dan janganlah sampai berkonflik. Bondan, yang pagi
itu diwawancari di teras rumahnya, menerangkan lebih lanjut.
92
Menurutnya,
sebab terjadinya konflik biasanya karena adanya perbedaan. Dalam lakon
Magersari ikon perbedaan diwakilkan dalam penggambaran karakter tokohtokohnya. Misal ada tokoh beretnis Cina, etnis Jawa, karakter waria dan lain
sebagainya. Karakter-karakter yang jarang dipertemukan dalam satu lakon
kethoprak. Para seniman kethoprak biasanya menghindari pertemuan karakter
seperti itu. Lazimnya bila mementaskan lakon kethoprak Cina 93, maka akan
khusus menampilkan tokoh-tokoh Cina, cerita yang berasal dari Cina, dan
bersetting layaknya di daerah Cina. Bila ceritanya bukan tentang Cina, maka tidak
akan ada pemeran ataupun cerita tentang orang Cina yang akan dimunculkan.
Semua serba terpisah. 94
Hal tersebut tidak berlaku dalam lakon Magersari. Semua dipertemukan,
dan berinteraksi dengan sangat baik. Melalui lakon Magersari, Bondan ingin
menunjukan fakta bahwa di sebuah kampung, ada banyak macam etnis dan
karakter. Ada beragam manusia yang hidup bersama. Ada Cina, Jawa dan juga
etnis lainnya. Walau sejarah telah memperlihatkan adanya catatan hitam mengenai
benturan atau konflik antara etnis Cina dan etnis lainnya (Jawa misalnya). Di
92
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
Lakon kethoprak yang bercerita mengenai legenda, masyarakat atau budaya Cina.
94
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
93
130
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
situlah letak keistimewaan kesenian. Melalui kesenian, khususnya kethoprak,
Bondan menggambarkan bahwa baik antara Cina dan Jawa, memiliki hubungan
yang sangat baik. Bahkan faktanya hingga saat ini, etnis Cina dan Jawa dapat
terus berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik dan lancar. Mereka terbukti
mampu membangun paseduluran.95
Pernyataan Bondan, diamini oleh Baso Rangga, salah seorang pemain
pendukung dari lakon tersebut. Rangga melihat lakon Magersari pun sebagai
lakon yang membicarakan mengenai perbedaan. Lakon yang dimaksudkan untuk
mengajak masyarakat untuk dapat urip guyub rukun. “Tidak peduli kamu tuh
kaya, miskin, kamu dari mana, agamamu apa, kamu tidak boleh membedabedakan sifat, pribadi, agama, suku, ras dan lain sebagainya”. Sebagai seorang
pemain, ia sangat berharap bahwa melalui pementasan Magersari yang dilakukan
di 3 (tiga) wilayah, dapat membantu masyarakat untuk memperdalam
wawasannya mengenai nilai-nilai kerukunan. Ia kadang masih melihat ada
sebagian orang yang berkata “ nek agamamu kuwi, ya kumpul karo wong
agamamu wae” (kalau agamamu itu, ya berkumpulah dengan orang seagamamu
saja). Hal tersebut berpotensi membangun sekat yang tebal antara satu dengan
lainnya, sehingga konflik berdasar perbedaan dapat dengan mudah terjadi.96
Bondan mengatakan bahwa seringkali, bila perbedaan itu ditunggangi
kepentingan politik dari pihak-pihak tertentu. Sangat mudah kiranya, perbedaan
menjadi alasan terjadinya perpecahan. Ia mengakui bahwa pementasan Magersari,
diawali dengan itikad meminimalisir kemungkinan konflik pasca Pemilihan
Pemerintah Daerah (pilkada) Kota Yogyakarta. Ia berkata “saya dan beberapa
95
96
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
Wawancara dengan Baso Rangga, dilakukan bulan Mei 2014.
131
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kawan-kawan, kok punya pikiran bahwa jangan-jangan pilkada di kota
Yogyakarta sama dengan pilkada di tempat lain. Bila sudah selesai, maka di
tempat itu akan terjadi konflik. Bila berbeda pilihan politiknya, akan jadi
persoalan. Hal itu bisa berakibat pada munculnya dendam. Kemudian terjadi
saling tidak menghargai dan tenggang rasanya hilang. Lantas kami membutuhkan
satu cerita yang memang konteksnya kota Jogja. kota Jogja itu (terdiri dari)
kampung-kampung, dan kita mengambil beberapa kasus untuk diangkat dalam
Magersari.” Magersari memang sengaja ditujukan dengan misi menghidupi
pluralisme. Ia dan kawan-kawannya mengajak masyarakat Yogyakarta untuk
kembali menekuni nilai-nilai tradisi Jawa, yang diterapkan dalam setiap laku
hidup sehari-hari.97
D.2. Tatanan dan Tuntunan ala Orang Jawa
Masyarakat etnis Jawa, seperti etnis lainnya, memiliki nilai dan tradisi
yang diturunkan sari setiap generasi ke generasi. Upaya untuk menjaga nilai dan
tradisi itu masih dilakukan hingga detik ini, karena keduanya dipercaya sebagai
pedoan hidup untuk menjadi manusia secara personal, maupun sosial. Pada tataran
sosial, aturan bermasyrakat yang sesuai dengan nilai dan tradisi, kerap dipahami
sebagai tatanan dan tuntunan ala orang Jawa.
Bagi Erwin salah seorang pemain lakon Ledhek Bariyem, kethoprak penuh
dengan petunjuk untuk tatanan, terutama nilai-nilai dan tata cara budaya Jawa,
yang penuh kesopanan. Ia mengatakan bahwa lakon Ledhek Bariyem selayaknya
lakon-lakon kethoprak lainnya, sarat dengan tata aturan dan unggah-ungguh. Lihat
97
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
132
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
saja dari cara bertutur istri pak Warjudi, meskipun ia marah, tidak setuju dengan
apa yang dilakukan suaminya, ia tidak menanggalkan kesopanan dan rasa hormat
pada sang suami. Sebagai istri ia tetap memiliki hak untuk mengingatkan sang
suami, di kala suaminya bersalah. Dia tidak hanya diam. Menurut Erwin, bu
Warjudi tidak lantas menyampaikannya dengan kasar dan kurang ajar. Laku inilah
yang dinamakan laku orang Jawa.
Selain bicara mengenai tingkah laku sopan yang berasal dari aturan tradisi
Jawa, Erwin juga melihat bahwa Ledhek Bariyem memiliki agenda lain. Agenda
yang dimaksudnya adalah usaha untuk mengajak masyarakat Jawa dapat berfikir
secara rasional. Ia mencontohkan berdasar cerita dari lakon yang dimainkannya.
Pada lakon Ledhek Bariyem, masyarakat yang ada dalam lakon sangat percaya
bahwa hanyu Bariyem dapat hidup kembali dan menuntut balas kematiannya.
Menurutnya, hal tersebut tidaklah dapat diterima oleh akal sehat. Sehingga upaya
untuk mengajak berfikir rasional adalah agenda penting lainnya dari lakon ini.
Tuntunan yang hendak disampaikan adalah anjuran agar masyarakat Jawa tidak
perlu lagi percaya pada ha-hal mitos dan seperti soal hantu. Karena kepercayaan
semacam itu selain menyesatkan, juga memberikan peluang bagi orang-orang
yang hendak memanfaat kesempatan itu untuk kepentingan pribadi mereka
(seperti yang dilakukan oleh tokoh Lurah Sarjana).98
Sejauh pengalaman menonton kethoprak, walau melalui proses merabaraba, Rinal Khaidar Ali yang merupakan salah satu penonton pementasan lakon
Magersari di wilayah Jetis, sangat yakin bila semua pementasan kethoprak pasti
membawa misi tertentu. Ada semacam misi pendidikan yang diembannya.
98
Wawancara dengan Herwiyanto, dilakukan bulan Oktober 2015.
133
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kethoprak adalah media yang paling baik untuk pendidikan semacam itu.
Masyarakat jauh lebih menyukainya. Demi tetap menanamkan tuntunan dan
tatanan yang termaktub dalam prinsip tersebut, kethoprak melaksanakan tugasnya
sebagai pendidikan bagi masyarakat Jawa.99
D.2. Politik Kekuasaan dalam Kethoprak
Mencermati lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, kita akan dengan
mudah mendapatkan adegan-adegan konflik yang disebabkan oleh kekuasaan.
Tema kekuasaaan bukan hal baru dalam kethoprak, tema ini biasa menjadi sentral
dari sebagian besar lakon kethoprak. Bukan tanpa alasan bila tema tersebut selalu
hadir di atas panggung kethoprak. Semenjak abad ke-4, yaitu di masa saat
Hinduisme berkembang, seni pelakonan bergerak sesuai dengan konsep
kekuasaan yang ada pada saat itu. Patronase antara rakyat dan rajanya, banyak
diilustrasikan dalam pertunjukan yang dibuat pada masa tersebut. Sebagai sebuah
seni lakon, kethoprak mewarisi konsep patronase sebagai semesta pembicaraan
dalam kethoprak.
Herwiyanto, yang kerap dipanggil Erwin, pemain kethoprak asal Bantul
Yogyakarta, ikut berbicara mengenai topik ini. Menurutnya, topik pembicaraan
dalam kethoprak sangat kompleks. Namun tidak dapat dijauhkan dari
pembicaraan mengenai permasalahan seputar istana dan strata kehidupan
masyarakat. Erwin berargumen “karena problem itu sangat mudah untuk dikemas
dalam pertunjukan kethoprak. Sesungguhnya kethoprak memotret realita, dan
kemudian mempertunjukannya kepada penonton. Problem-problem dalam
99
Wawancara dengan Rinal Khaidar Ali, dilakukan bulan Mei 2014.
134
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kethoprak itu ada (dalam kehidupan nyata), dan saya tidak mengada-ada. Dalam
kethoprak pembicaraan tentang kekuasaan selalu ada. (kekuasaan) Selalu menjadi
sumber konflik dan menjadi benang merah untuk mengikat suatu pertunjukan.
Pada akhirnya, konflik selalu saja tentang harta, tahta dan wanita. Semua
berkaitan dengan kekuasaan”.100
Sejurus dengan Erwin, Ari Purnomo sang penulis naskah, sekaligus
sutradara lakon Ledhek Bariyem, mengatakan bahwa masalah yang berkaitan
dengan harta, tahta dan wanita pasti selalu muncul dalam setiap lakon kethoprak.
Konflik kekuasaan merupakan peristiwa yang sering didapati dalam setiap
pementasan kethoprak. Misalnya saja seperti yang diilustrasikan dalam lakon
Ledhek Bariyem, yang mengisahkan isu pemilihan lurah di suatu wilayah. Dalam
pertarungan kekuatan antar calon lurah yang diikuti oleh Pak Warjudi dan Lurah
Sarjana, nyatanya telah menyeret masyarakat sebagai korbannya. Ia memunculkan
peristiwa politik yang biasanya melibatkan konflik 2 (dua) kekuatan besar
kekuasaan, dan biasanya rakyat kecillah yang sering menjadi korban. 101
Mengenai lakon Ledhek Bariyem, Ari mengungkapkan “pada awalnya,
saya menuliskan kegelisahan saya secara pribadi. Saya ingin menyampaikan
semacam pelajaran politik (dalam lakon Ledhek Bariyem) yaitu, saat bila ada 2
(dua) kekuatan besar beradu, imbasnya pasti pada masyarakat. Baik langsung
maupun tidak langsung.
Sebenarnya (pada sosok) seorang pemimpin, secara
pribadi kok saya belum melihat (adanya) sebuah kepentingan yang murni. Kalau
pun dia punya tujuan yang benar, kadang-kadang ditunggangi. Ini yang kadang
membelokkannya (dari tujuan awal). Sehingga (hal) ini yang membuat saya
100
101
Wawancara dengan Herwiyanto, dilakukan bulan Oktober 2015.
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
135
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengambil cerita Ledhek Bariyem. Dimana ternyata kedua pemimpin yang
diharapkan salah satunya baik, ternyata tidak ada yang baik (sama sekali). Saat
tujuan yang baik itu ditunggangi oleh kepentingan yang tidak baik, pada akhirnya
pasti akan mengorbankan masyarakat kecil.”102
Lakon Ledhek Bariyem dikategorikan sebagai kethoprak garapan, karena
sudah banyak mengadopsi unsur-unsur dari kesenian yang lain. Selain itu isu yang
dibawakannya pun adalah isu yang sangat kontekstual. Sesuai dengan kondisi
sosial politik Indonesia di saat ini. Melihat waktu pementasan, Lakon Ledhek
Bariyem dipentaskan
tepat sebelum peristiwa Pemilihan Umum (pemilu)
berlangsung. Namun sesungguhnya, Ari Purnomo sudah lama menyelesaikan
tulisan mengani lakon tersebut. Pada sekitar 2 (dua) atau 3 (tiga) tahun yang lalu,
jauh sebelum ada isu pemilihan presiden pada tahun 2014. Pada momen dan
kesempatan yang tepat, yaitu pada tahun 2014 lakon tersebut akhirnya dapat
diproduksi. Terlebih lagi, Ari melihat bahwa kala itu sedang terjadi iklim politik
di Indonesia. Sehingga menurutnya, hal tersebut menjadi momen yang sangat
menarik untuk dihadirkan ke atas panggung pertunjukan. Ari mengatakan bahwa
ia belajar dari “politik terkini” . Diakui atau tidak, menurutnya negara kita adalah
negara yang besar, negara yang kaya. Mengapa kita belum jua dapat
menyejahterakan masyarakatnya? Kegelisahan semacam itulah yang menginisiasi
dibuatnya lakon kethoprak, sebagai respon terhadap kondisi politik yang sedang
berlangsung di Indonesia. 103
Tidak berbeda jauh dengan Ari, Bondan Nusantara membuat naskah
Magersari sebagai respon terhadap peristiwa politik pada tahun 2012, di kota
102
103
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
136
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Yogyakarta. Yogyakarta pada kala itu sedang menghadapi peristiwa pemilihan
kepala daerah (pilkada), khususnya pemilihan walikota. Lelaki ini berpandangan
bahwa peristiwa pilkada kota Yogyakata harus ditanggapi lebih serius, pada jalur
kesenian. Tidak hanya untuk golongan seniman saja, akan tetapi lebih ditujukan
pada masyarakat kota Yogyakarta. Ia dan kawan-kawan dari komunitas Genitama
dan Pastika bersama-sama menggalang dukungan masyarakat, agar tercipta iklim
politik yang kondusif ditengah masyarakat, demi mendapatkan sosok pemimpin
yang tepat.104
Walau naskah Magersari dibuat dan dipentaskan dalam rangka merespon
peristiwa Pilkada, namun lakon tersebut tidak secara eksplisit membicarakan
peristiwa politik tersebut. Bondan menegaskan bahwa mereka hanya mengambil
satu kasus tertentu. Pesan yang ingin disampaikan melalui Magersari adalah
bahwa “Jogja itu satu”. Perbedaan yang begitu beragam, termasuk perbedaan
pilihan politik, tidak boleh mencerai beraikan masyarakat Jogja. Semangat
menghargai keberagaman itulah yang hendak disebarkannya. Selain itu, ia
berkeinginan agar masyarakat jauh lebih kritis dalam menyikapi perbedaan, dan
tidak melulu mau dibodohi penguasa.
Ada banyak peran yang dihadirkan dalam Magersari. Salah satunya tokoh
preman, bernama Karta Bendho. Ia tidak menempatkan tokoh preman sebagai
sumber masalah dalam lakonnya. Ia berkata “saya justru mengambil tokoh
premannya sebagai tokoh yang protagonis. Justru dia yang menyelesaikan
persoalan. karena saya selama ini melihat stigma (terhadap) preman, kan kasihan
juga. (Mereka) selalu dipojokan, nah pada lakon ini, tokoh utamanya justru
104
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
137
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
preman, (atau lebih tepatnya) mantan preman”. Mantan preman itulah yang
berusaha menjadi penengah serta pengingat, agar masyarakat dapat menerima
perbedaan, dan berani melawan penguasa yang melenceng dari amanatnya.105
Selaras dengan judul yang diusung, lebih jauh Bondan juga menyinggung
sikapnya dalam memperjuangkan keistimewaan pada kala itu. Ia mengatakan
“jangan lupa pada waktu itu juga kita sedang memperjuangkan tentang
keistimewaan. (Hal) itu kita masukan dalam satu dialog khusus pada saat tokoh
terakhir muncul, tokoh pangeran, bahwa jogja ini milik raja, tanahnya milik
keraton. (Bila) bahwa ada yang tidak sependapat, ya silahkan, Tapi faktanya kan
begitu. Kalau tidak ada keraton Jogja, maka tidak akan ada kampung-kampung itu
juga. secara halus bahwa (tanah) ini bukan milik kalian, tapi milik Sultan. Sultan
menghendaki ini (agar) tidak diperebutkan, sebagai alat untuk menguasai. Tapi
tidak secara 100% (lakon) ini mengatakan bahwa ini keistimewaan. tidak.”
Baik lakon Magersari maupun Ledhek Bariyem, senyatanya menonjolkan
permasalahan politik kekuasaan sebagai isu utama yang dipermainkan di atas
panggung. Politik kekuasaan kiranya menjadi isu intrinsik yang mendarah daging
dalam penceritaan lakon-lakon kethoprak. Bukan tanpa tujuan, seperti sempat
disinggung sebelumnya, kethoprak memiliki fungsi vital lainnya, yaitu fungsi
sebagai pendidikan politik bagi rakyat, khususnya rakyat Jawa. Mengenai
pendidikan politik bagi penonton atau masyarakat, Ari Purnomo menegaskan
bahwa semenjak dulu Kethoprak sudah melaksanakan fungsi itu. Tidak pernah
berubah.106
105
106
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
138
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Seperti Ari, Rinal sebagai penikmat kethoprak melihat potensi tersebut. Ia
berpendapat bahwa kethoprak memiliki fungsi pendidikan, salah satunya
pendidikan politik. Hal tersebut didapatnya dari cerita-cerita yang ditampilkan
dalam kethoprak, selalu membicarakan mengenai konflik kekuasaan, dan selalu
berikatan dengan permasalahan keraton dan para pejabatnya. Misi pendidikan
yang dibawa kethoprak, menjadi semacam penyadaran bagi masyarakat untuk
dapat lebih kritis terhadap kondisinya sendiri, juga kritis terhadap para pejabat
yang berkuasa. 107
D.3. Imaji Pemimpin Idaman
Dalam faham kekuasaan Jawa, apapun yang dikatakan raja adalah berlaku
semacam “undang-undang”. Keputusan raja adalah mutlak dan tidak boleh
dibantah oleh rakyatnya, termasuk oleh forum masyarakat desa. Bila raja tidak
dapat langsung ikut campur tangan, maka mekanisme pengambilan keputusan
dengan musyawarah lah jalan keluarnya, sejauh tidak bertabrakan dengan
kepentingan raja dan kerajaan108. Pada masyarakat modern seperti sekarang ini,
terlebih sistem politik kenegaraan demokrasi, rakyat tidak lagi menyerahkan
keputusan negara pada kekuasaan mutlak sang raja. Setiap warga negara berhak
ikut dalam menentukan arah kehidupan bernegara mereka. Maka musyawarah,
ataupun pemungutan suara adalah mekanisme yang diterapkan dalam praktek
politik bernegara sekarang ini.
107
Wawancara dengan Rinal Khaidar Ali, dilakukan bulan Mei 2014.
Ign Gatut Saksono-Djoko Dwiyanto, 2012, Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa, Ampera
Utama, Yogyakarta, hal. 42
108
139
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Meskipun mekanisme musyawarah dan pemungutan suara, yang berarti
telah memindahkan kekuasaan negara ke tangan rakyat, tidak serta merta
melunturkan sikap hormat rakyat Jawa terhadap rajanya. Raja masih ditempat
sebegitu tinggi, sebagai pemimpin yang mengayomi rakyatnya. Selain itu raja
masih diposisikan sebagai sosok panutan yang selalu diikuti laku dan perkataanya.
Hal tersebut masih tercermin dalam penggambaran sosok raja dalam kesenian
tradisi seperti kethoprak. Meskipun seorang raja atau pemimpin memiliki posisi
yang begitu dihormati, namun masyarakat Jawa sedari dulu sangat sadar bahwa
pemimpin pun adalah manusia. Sering dibuktikan dalam sejarah, bahwa para
pemimpin
sering
kali
tergelincir
dalam
kesalahan-kesalahan
yang
menyengsarakan rakyatnya.
Menilik hal tersebut, kethoprak sebagai kesenian dan ekspresi yang lahir
dari luar tembok kerajaan, menjadi penyalur suara dari rakyat kepada para
pemimpinnya. DIsetiap jaman, para seniman kethoprak acapkali meyisipkan kritik
terhadap para pemimpin melalui kethoprak. Ari Purnomo menyatakan bahwa
kethoprak itu unik. Kethoprak selalu punya cara untuk mengkritik. Kritik yang
dikatakan ala Jawa. Ari berkata “orang Jawa kan suka sekali memberi kritik atau
masukan dengan perumpamaan-perumpamaan dan cara yang halus, sehingga yang
dikritik tidak akan merasa sakit hati. Nek neng Jowo ki yo, oleh nabok neng ojo
loro” (Bila dalam istilah Jawa, boleh memukul namun jangan sampai sakit).109
Kembali fokus pada pembicaraan mengenai pemimpin, masyarakat pada
umumnya selalu memiliki dan memelihara imaji mengenai pemimpin idamannya.
Imaji semacam itulah, yang digunakan sebagai mekanisme menilai para
109
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
140
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pemimpinnya. Seperti yang disampaikan oleh Ari Purnomo “kita memimpikan
pemimpin yang hebat, pemimpin yang adil poro marto”. Ari lantas mencontohkan
Panembahan Senopati sebagai salah satu sosok pemimpin yang ideal dari masa
lalu. Pada pandangannya, Panembahan Senopati merupakan pemimpin yang
memiliki sikap tegas. Serta mampu membuktikan bahwa dirinya dapat mendorong
masyarakat Jawa untuk betul-betul mengerti jati mereka.110
Kompleksitas pembicaraan dan permasalahan mengenai kekuasaan dalam
kepemimpan, adalah hal yang seringkali hadir sebagai pokok bahasan dalam lakon
kethoprak. Dalam Ledhek Bariyem misalnya, Ari Purnomo sengaja membuat
naskah lakon ini menjadi semacam tanggapan terhadap kondisi politik negeri,
yang dibuat runyam oleh praktek politik, berupa pemilihan pemimpin, baik di
pusat maupun di daerah.111 Erwin yang berperan sebagai Browo dalam Lakon
Kethoprak Ladhek Bariyem pun menguatkan pernyataan Ari. Di matanya, lakon
Ledhek Bariyem bercerita mengenai 2 (dua) kubu yang saling bertarung
memperebutkan posisi. Mereka baku adu strategi politik, demi mendapatkan
kepercayaan warga kampung Klempis Ngasem. Pak Warjudi, bermaksud
menakuti warga, namun tanpa diduga anak buahnya membuat kesalahan fatal.
Mereka membunuh Bariyem. Pak Lurah Sarjana memanfaatkan peristiwa
kematian Bariyem. Demi menyingkirkan saingannya. Ia menyuruh anak buahnya
untuk menyaru sebagai hantu Bariyem, dan memberikan teror pada warga dan pak
pihak pak Warjudi. Lurah Saranta, sosok yang dianggap sebagai pemimpin yang
baik, dan ideal, ternyata bersifat sebaliknya.112 Di sinilah sisi menarik dari lakon
110
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
112
Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015.
111
141
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ledhek Bariyem. Konflik dan intrik politik dibuat sedikit rumit, dan tidak mudah
untuk ditebak.
Sempat disinggung sebelumnya, Herwiyanto menyatakan bahwa lakon
Ledhek Bariyem memberikan semacam ajakan bagi masyarakat Jawa untuk tidak
mudah percaya mitos. Ia mengatakan bahwa “itulah contoh yang ingin
diperlihatkan, bahwa orang yang mudah percaya hal mistis, akan mudah tertipu.
Padahal sesungguhnya, isu itu merupakan strategi dari pak Lurah Sarjana. Pak
Lurah hendak memanfaatkan kisruhnya kondisi di masyarakat. Ia yang selama ini
dianggap sebagai lurah yang baik, bijaksana, bahkan dermawan di mata warga,
ternyata lebih busuk dibadingkan pak Warjudi. Pak Warjudi memang dikenal
sebagai seorang jutawan yang menilai apapun dari segi uang, dan dianggap
sebagai orang yang tidak baik. Namun ternyata Pak Lurah Sarjana lebih kejam.
Bahkan menggunakan sosok Bariyem yang sudah meninggal, untuk alat
kampanye. Orang yang membunuh itu kejam, tapi lebih kejam lagi orang yang
menggunakan sosok yang sudah meninggal dan menjadikan(nya) alat untuk
mencapai kekuasaan”.113
Selanjutnya, Erwin melihat lakon tersebut juga difungsikan untuk
memperlihatkan realita politik saat ini: seseorang akan menggunakan berbagai
cara, untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Kasus seperti itu ada di
kehidupan nyata. Dimana setiap calon pemimpin berlomba-lomba mencari
simpatisan dengan cara kampanye atau mengintervensi pilihan orang lain.
113
Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015.
142
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Mekanisme kampanye dan intervensi, jauh lebih mulus jalannya dengan dukungan
kekuatan mitos, kekuasaan dan uang.114
Kekecewaan rakyat tidak hanya berada pada awal proses pemilihan
pemimpin, akan tetapi juga pada saat para pemimpin itu telah memegang
tanggungjawab sebagai penguasa. Kala rakyat menitipkan mandatnya pada para
pemimpin, dengan harapan dapat memberikan kesejahteraan yang adil dan merata.
Tidak jarang, pelaksanaan mandat oleh pemimpin tidak sesuai dengan harapan,
terpeleset pada penyelewengan. Mengenai hal ini Ari menangggapinya dengan
mengatakan: bahwa belum ada pemimpin Indonesia yang benar-benar
memikirkan rakyatnya. Meskipun tujuan sang pemimpin adalah tujuan yang baik,
namun bila ditumpangi oleh kepentingan yang merugikan, akan dapat berakibat
buruk pada rakyatnya. Ia mengatakan “ibaratnya njenengan punya baju kotor,
pingin dikumbahke nangin le ngumbah nganggo banyu peceren, yo dadine tetep
kotor” (Ibaratnya kalau anda mempunyai baju kotor, akan tetapi hendak dicuci
menggunakan air selokan, maka akan tetapi kotor). Menurutnya, niatan untuk
memperbaiki kondisi masyarakat di negeri ini pasti ada, namun seringkali pilihan
cara memperbaikinya yang salah. 115
Bila pada Ledhek Bariyem, ada tokoh Lurah Sarjana yang menipu
masyarakat dengan menggunakan sosok hantu Bariyem, guna mendapatkan suara
di pemilihan lurah. Maka di Magersari terdapat tokoh Den Bei Kenthus. Baso
Rangga menggambarkan Den Bei Kenthus sebagai orang kaya yang mendominasi
kepemilikan tanah di kampungnya. Ia yang sesungguhnya hanyalah pengurus
tanah, telah mengaku-aku tanah istana sebagai tanahnya, ia menarik uang sewa
114
115
Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015.
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
143
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tanah dengan jumlah yang tinggi. Rangga menegaskan “Nek wong sugih koyo Den
Bei Kenthus ki iso semeno-meno, dan wewenang yang dilakukannya jadi
berlebihan”.116
Orang
yang
dianggap
dapat
dipercaya,
ternyata
malah
membohongi masyarakat kampung, untuk kepentingan pribadinya.
Dari sekian lakon kethoprak yang mengulik permasalahan politik dan
kekuasaan, harapan akan adanya pemimpin yang akan membawa pada
kesejahteraan adalah mimpi yang masih dipelihara. Namun kadang kala kenyataan
tidak berbanding lurus dengan impian. Pemimpin yang digadang-gadang akan
menjadi pengayom rakyat, nyatanya meninggalkan dan mengorbankan mereka
untuk kepentingan pribadinya (pemimpin).
Ari Purnomo mengungkapkannya secara jujur “terkadang mimpi itu dapat
menimbulkan efek kekecewaan bagi kita. Saat kita berharap lebih pada seorang
pemimpin, dan impian itu tidak berhasil, kita cenderung menyalahkan
pemimpinnya. Ketimbang kita terus menyalahkan, semestinya kita lah yang
mengintropeksi diri, mengapa hanya mengantungkan impian pada sosok
pemimpin yang ideal? sedangkan “aku dewe iso nggawe sesuatu” (aku sendiri
dapat membuat sesuatu). Berdasar kekecewaannya pada impian, ia menyatakan:
“bermimpilah kira-kira sesuatu yang bisa kita raih”.117
D.4. Nguri-uri Kabudayan di antara Riuhnya Globalisasi
Sepanjang pertemuan dan proses wawancara saya dengan beberapa
responden, baik itu para penulis naskah, sutradara, pemain maupun penonton
lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, ada hal menarik yang selalu muncul dari
116
117
Wawancara dengan Baso Rangga, dilakukan bulan Mei 2014.
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
144
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pernyataan mereka. Pernyataan mengenai bagaimana mereka begitu bersemangat
untuk menghidupkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai tradisi Jawa
melalui kethoprak. Meski pada awalnya bukan hal ini yang saya tanyakan, namun
pernyataan-pernyataan sejenis selalu muncul dari tiap responden. Sehingga saya
pikir poin ini tidak mungkin bisa saya abaikan.
Pada sub bab mengenai tatanan dan tuntunan ala orang Jawa, saya sempat
menyinggung mengenai adanya semangat untuk menanamkan prinsip-prinsip
hidup ala Jawa. Sejurus dengan itu, dari data yang diperoleh melalui proses
wawancara, para seniman kethoprak(juga dirasakan oleh penonton) merasakan
kegaluan. Di era yang serba modern, dimana hal-hal yang berbau tradisi semakin
lama semakin dilupakan. Rinal mengakui, sepanjang pengalaman menonton
kethoprak ia merasa bahwa orientasi pertunjukan kethoprak, salah satunya
mengarah pada tuntunan hidup orang Jawa. Selain semangat untuk menularkan
emahaman mengenai tuntunan, ia juga menangkap adanya kegelisahan
masyarakat Jawa, yang diekspresikan melalui pesan-pesan dalam lakon kethoprak.
Kegelisahan akan hilangnyanya jati diri manusia Jawa pada masa kini. 118
Selain kekhawatiran lunturnya identitas ke-Jawa-an dari masyarakat Jawa,
para seniman secara ekplisit, mengkhawatirkan hilangnya minat masyarakat Jawa
terhadap kesenian kethoprak. Sepanjang karirnya sebagai seniman kethoprak, Ari
Purnomo bercerita bahwa ia pernah merasakan gelombang naik turun yang
dialami kethoprak di beberapa masa. Menurutnya, pada masa sekitaran tahun
1980-an pekerjaan sebagai seniman kethoprak adalah sebuah profesi yang cukup
menjanjikan. Dahulu kethoprak adalah tontonan yang selalu dinantikan oleh
118
Wawancara dengan Rinal Khaidar Ali, dilakukan bulan Mei 2014.
145
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
banyak orang. Pengalaman memperlihatkan bahwa pemain kethoprak yang
berpredikat sebagai bintang panggung, otomatis akan dipuja layaknya pesohor di
masa sekarang ini. Pada kisaran tahun 70-80an hiburan rakyat masih sangat
terbatas. Tidak semua orang dapat memiliki televisi, atau pun radio. Karena
masyarakat membutuhkan hiburan, maka pilihan mereka jatuh pada pertunjukanpertunjukan yang dipentaskan secara langsung, salah satunya kethoprak. 119
Seiring berkembangnya media informasi dan elektronik, radio mengambil
posisi penting dalam kehidupan masyarakat pada masa itu. Begitu kethoprak
masuk radio, penggemarnya bertambah semakin banyak. Perkembangan teknologi
yang diiringi kemampuan masyarakat untuk membeli atau mengaksesnya, jelas
berdampak pada kelangsungan pertunjukan panggung seperti kethoprak. Jumlah
penonton kethoprak panggung berkurang. Ari mengatakan “Wong ngruke radio ae
iso ngrasake kethoprak, ngopo kudu ndelok (mendengarkan dari radion saja bisa,
mengapa harus menonong langsung). Kemudian masuk era televisi, kethoprak
disebarluaskan melalui media ini. Bertambahlah sumber hiburan. Kethoprak
panggung semakin terdesak. Media semacam radio dan televisi pada masa itu
mengajukan dua sisi mata uang. Pada satu sisi, media tersebut memberikan
keuntungan dengan menyebarluaskan kethoprak secara massif, ke dalam ruangruang privat masyrakat. Namun di sisi lain, media semacam ini juga mematikan
kethoprak yang melakukan pertunjukan secara langsung di atas panggung dan
ruang publik. 120
Pada kisaran waktu antara pertengahan tahun1990-an hingga awal tahun
2000-an, kethoprak panggung dan juga kethoprak tobong yang dulu sempat
119
120
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
146
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berjaya, mengalami masa sulit. Masyarakat Jawa yang dibombardir berbagai jenis
hiburan melalui media canggih, telah kehilangan minat pada tontonan ala
kethoprak. Jumlah penonton menurun dengan pesat, berimbas pada jumlah
pendapatan para senimannya. Para seniman yang semula menggantungkan
hidupnya pada kelompok kethopraknya, harus memutar otak untuk dapat
menyambung hidup. Pada akhirnya, satu persatu seniman, mundur dari kelompok
tobongnya, mereka beralih profesi. Para bintang kethoprak sesekali masih
manggung pada acara-acara tertentu. Namun sangat sulit untuk memprediksi
kapan akan ada tanggapan dari para pemesan pementasan. Namun mereka tetap
harus memiliki pekerjaan pokok lainnya untuk dapat bertahan hidup.
Pada masa itu lahan kethoprak mengalami fase sepi produksi. Erwin
sempat merasakan kondisi tersebut. Lelaki yang lebih suka disebut sebagai
pejuang kethoprak, ketimbang disebut sebagai seniman kethoprak ini menjelaskan
bahwa hal tersebut dikarenakan banyak faktor. Antara lain: biaya produksi
kethoprak yang sangat mahal, proses produksi yang memakan waktu lama, dan
kalah bersaing dengan kesenian-kesenian yang formatnya lebih baru serta lebih
praktis. Diakuinya, posisi kethoprak tergeser dengan adanya pilihan seni
pertunjukan lainnya121. Hingga pada kisaran tahun 2000an, terjadi masa
kebangkitan kethoprak. Kebijakan daerah, yang merupakan implikasi dari status
keistimewaan Yogyakarta, menjadi salah satu jalan keluarnya.
Permasalahan yang membelit kelangsungan hidup kesenian ini, seperti
minimnya alokasi dana dan langkanya jumlah pementasan kethoprak, telah
terpecahkan. Pendanaan ini merupakan dukungan penting dari pemerintah daerah,
121
Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015.
147
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam upayanya melestarikan budaya Jawa. Lanjut Erwin, pada sekitar 3-4 tahun
belakangan ini, masyarakat Yogyakarta sedang mendem kethoprak. Maka
kehadiran lakon-lakon kethoprak dengan format yang lebih segar, menambah
variasi tontonan untuk mereka. Ledhek Bariyem contohnya. Keberhasilan lakon
ini, adalah juga karena dukungan pendanaan yang terbilang cukup, proses
produksi yang baik, promosi yang gencar dan penentuan segmentasi penonton
yang tepat. Kethoprak semacam ini menyasar segman penonton anak muda.
Terutama karena format yang ditampilkan adalah format kethoprak garapan, yang
sangat disukai oleh penonton tingkatan usia itu. 122
Selain kekhawatiran hilangnya minat masyrakat terhadap seni tradisi
seperti kethoprak, dari beberap responden yang diwawacarai, didapti pula
kekhawatiran hilangnya ke-Jawa-an dari orang Jawa. Globalisasi yang dengan
mudahnya
menghadirkan
budaya-budaya
kemampuannya, dalam menyingkirkan
global,
telah
membuktikan
nilai dan prinsip hidup orang lokal.
Kegelisahan tersebut ditangapi Ari Purnomo sebagai bentuk kegamangan orang
Jawa terhadap budayanya sendiri. Ia menandaskan bahwa kegamangan itu
muncul, karena orang Jawa belum mempunyai landasan yang kuat tentang cara
memahami jati dirinya.
Pernyataan menarik yang diangkapkannya adalah “Kalau saya boleh
berbicara agak sombong. Mengapa kita tidak bisa memahami jati diri sebagai
masyarakat Jawa? Padahal Jawa kan sangat lengkap. Kalau kita sudah ngomong
tentang (Jawa) itu wong Jowo kuwi ora ono kurange, kurange Jawa ki kur ra iso
dadi agama (Jawa itu kurangnya apa, kurangnya Jawa hanya tidak bisa menjadi
122
Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015.
148
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
agama). Betul tho? Kalau Jowo punya nabi, Jowo sudah jadi agama. Dalam
perjalanannya kegelisahan itu menumpuk, dan tanpa disadari (telah) mengarahkan
pada pola pemikiran dalam bentuk penulisan (naskah Ledhek Bariyem). Ya harus
diakui kalau saya bangga sebagai orang Jawa. Jawa itu lengkap sekali, apa-apa
ada. Kadang-kadang ada hal yang tidak bisa terungkap, tapi (sesungguhnya) bisa
dirasakan. Pada saat saya menulis, saya seperti menganalisa perasaan dan
peristiwa-peristiwa, dan akhirnya mencerminkan apa yang menjadi kegelisahan
saya. Saya merasa kegelisahan itu terakumulasi di alam bawah sadar”.
123
Kegelisahan yang mengendap dan muncul sebagai harapan, dalam bentuk naskah
dan pementasan lakon kethoprak.
Bondan Nusantara, Ari Purnmo, Baso Rangga dan Herwiyanto, secara
terpisah menyatakan hal yang hampir sama. Mereka merasa bahwa laku kethoprak
yang dijalaninya selama ini adalah bagian dari nguri-uri kabudayan. Sebagai
masyrakat Jawa yang sadar akan kekayaan budayanya, mereka merasa bahwa
pengaruh dari luar (modernitas dan globalisasi), membuat masyarakat Jawa “jauh”
dari
budaya
tradisinya.
Kethoprak
menjadi
media
yang
tepat
untuk
menghubungkan keduanya.
D.5. Dilema Pergerakan dalam Seni Tradisi
Bila pada masa sebelumnya, kethoprak sempat mengalami jumlah
pertunjukan, namun pada awal tahun 2000-an ada perubahan yang cukup
signifikan. Kesenian ini mulai menggeliat dan bergerak secara massif untuk
mementaskan lakon-laonnya, baik di dalam gedung-gedung pertunjukan, maupun
123
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
149
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
di ruang publik lainnya. Bahkan seperti halnya di masa lalu, beberapa seniman
mulai memasukkan kethoprak sebagai kerangka kerja politik dalam dunia
kesenian. Kita tidak akan asing melihat pertunjukan lakon kethoprak yang kental
dengan nuansa politik. Karena bila kita kembali pada pemaparan mengenai
kesenian ini di bab yang lalu, kita juga sangat mudah mendapti kethoprak yang
berkubang dengan pembicaraan politik.
Beberapa seniman mengartikan produksi kethoprak yang semacam itu
sebagai kerja idealis, terutama yang berkaitan dengan penyebaran kesadaran
politik masyarakat. Ari urun bicara mengenai hal ini. Ia mengatakan ada saatnya
seorang seniman harus memiliki kerja-kerja idealis. Kerja idealis yang
dimaksudkannya dalam arti harus mampu mengenyampingkan tujuan yang melulu
berorientasi pada materi. Ia menceritakan “Jujur saja (pertunjukan) Ledhek
Bariyem itu low budget. Saya memberikan pemahaman bahwa (pertunjukan) ini
adalah kerja idealis, temen-temen punya tanggungjawab. Artinya saya tidak ingin
mengikat (mereka). Kalau mereka keberatan dengan proses tersebut, karena tidak
akan mendapatkan sesuatu, ya monggo saja (tidak ikut). Tapi bila sudah
berkomitmen, ya mari kita lanjutkan sampai selesai”. Sebagai pemain kethoprak,
Ari tidak memungkiri bila sebagian dari kerja-kerja yang dilakukannya adalah
kerja pesanan, sehingga seringkali ia harus mengorbankan idealismenya. Namun
bila ia melulu bicara idealisme, ia tidak akan dapat menghidupi dirinya sendiri.
Sehingga perlu ada 2 (dua) hal yang berjalan secara bersamaan.124
Dalam proses pementasan lakon Ledhek Bariyem, Ari Purnomo
melibatkan banyak pemain dari generasi muda. Hampir 95%-nya berusia di bawah
124
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
150
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40 tahun. Alasan Ari mengajak mereka adalah untuk menciptakan ruang
berekspresi bagi para pemain muda, yang dirasa masih minim. Ari tidak
menyangkal bahwa jika saja naskah itu dibawakan oleh para pemain dari generasi
tua, hasilnya akan jauh lebih bagus. Akan tetapi hal tersebut tidak akan
memberikan efek apa pun pada pemainnya. Jikalau ia mengajak para pemain
generasi muda, kesempatan itu akan memberikan mereka bekal pengalaman,
untuk pementasan-pementasan selanjutnya. Ia berharap dapat memberikan
pengalaman dan ruang yang baik untuk para pemain muda. 125
Melalui kethoprak pula, minat para pemain muda dapat ditampung.
Mereka sangat terbuka pada penyampaian misi tertentu. Mereka sangat menikmati
berbagai proses eksplorasi dan improvisasi. Rata-rata mereka sangat bersemangat
untuk ikut mengembangkan kesenian ini. Pemain dari generasi ini, sangat penuh
idelisme untuk melakukan perubahan. Antusiame Bondan terhadap pemain
generasi muda pun dinyatakan dengan gamblang “saya selalu percaya pada anakanak muda, bahwa mereka punya bayangan sendiri, punya kreasi sendiri, punya
hak sendiri untuk menentukan inti pesan sebuah lakon”. 126
Rangga menambahkan, pelibatan generasi muda dalam kethoprak. Tidak
lain adalah untuk memperjuangkan kethoprak agar dapat tetap hidup dan diterima
oleh masyarakat. Generasi muda banyak membuat terobosan baru. Mereka
terbuka untuk mencoba hal baru, akan tetapi dengan catatan tetap menjaga prinsip
pokok dalam pertunjukan kethoprak. Bila Ari, Bondan dan Rangga melihat
generasi muda sebagai pemain potensial di masa kini dan mendatang. Maka Erwin
memandang generasi muda penonton yang menerima pesan dan pengetahuan
125
126
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
151
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
melalui medium kethoprak. Menurutnya, generasi muda merupakan bagian dari
masyarakatnya, mereka adalah kelompok yang paling berdaya untuk melakukan
perubahan. Untuk itu, transfer pengetahuan perlu dilakukan melalui kethoprak.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai media transfer pengetahuan, kethoprak
tidak hanya berlaku sebagai tontonan, akan tetapi juga menjadi tuntunan dan
tatanan bagi masyarakat, khususnya generasi muda.127
Generasi inilah dianggap sebagai generasi produktif, yang mampu
membawa perubahan bagi kondisi sosial-politik di masyarakat. Mereka diajak
untuk dapat kritis terhadap kondisi masyarakat dan negaranya. Bondan Nusantra
menyatakan bahwa ia beserta kawan-kawan seniman kethoprak, selalu berupaya
mengkritik permasalahan kontekstual negara, dalam kethoprak yang menjelma
sebagai sebuah gerakan. Bagi Bondan, kethoprak diposisikan sebagai senjata
untuk nurani masing-masing penontonnya. 128
Perihal posisi kethoprak sebagai media penyebaran semangat dan kritik
sosial-politik bagi masyarakat, Ari mengatakan bahwa dalam skala yang lebih
besar, pasti ada kadar pembicaraan sosial-politik di kethoprak, kesenian ini
menjadi semacam pendidikan sosial-politik, yang hadir dengan bahasa yang
sederhana, tanpa kerumitan yang mengada-ada.129 Dengan formulasi yang tidak
rumit serta dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari, memudahkan masyarakat
untuk mencerna pesan yang disampaikan. Mendukung pernyataan itu, Rangga
127
Wawancara dengan Baso Rangga, dilakukan bulan Mei 2014.
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
129
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
128
152
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
merasa bahwa kethoprak dapat menjadi gerakan yang disukai oleh masyarakat.
Baginya masyarakat masih agak sulit bila didekati secara formal.130
Bondan sendiri menyatakan bahwa ia menyengaja menjadikan kethoprak
sebagai media menyampaikan pesan. “kalau saya membuat kethoprak, pasti ada
sesuatu yang ingin saya sampaikan di luar konteks cerita. Misalnya saat kami
membuat lakon Lebak (Saijah Adinda), fokus dari pesan kami adalah mengenai
(anti) korupsi. Bila seniman lain hanya ingin menggarap cerita kethoprak menjadi
bagus (tanpa pesan tertentu). Saya tidak begitu. Saya selalu menggarap cerita
kethoprak sebagai sarana untuk menyampaikan apa yang sedang kita gelisahkan
bersama. Termasuk kegelisah di bidang politik”.131
Sejarah pernah mencatat bahawa ibu dari Bondan Nusantara, yaitu
Theresia Khadariah mengalami masa penahanan di penjara dan bebas pada
tahun1980-an. Selepas keluar dari penjara, sang bunda kembali menggeluti dunia
kesnian kethoprak. Theresia Khadariah ikut bergabung dalam kelompok
kethoprak “Sapta Mandala” di bawah naungan Kodam VII/Diponegoro. Ia tidak
hanya berlaku sebagai pemain, akan tetapi juga dijadikan guru bagi para pemain
muda dalam kelompok tersebut, termasuk Bondan Nusantara.
Pengalaman Bondan menjadi anak dari mantan tahanan politik (tapol),
menyatukannya dengan keluarga dari mantan tapol lainnya. Hingga pada tahun
2000, ia dan beberapa kawan yang memiliki bermacam latarbelakang profesi,
beraliansi untuk melakukan gerakan rekonsiliasi bagi para mantan tahanan politik,
dengan semua pihak yang berkaitan dengan kasus tahun 1965. Aliansi itu
130
131
Wawancara dengan Baso Rangga, dilakukan bulan Mei 2014.
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
153
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengusung nama Syarikat,132 mereka bergerak hingga tahun 2010. Gerakan yang
dilakukan oleh aliansi tersebut bukan tanpa hambatan. Stigma PKI, komunis,
penjahat dan sederet stigma hitam lainnya, meneror gerakan mereka. Masyarakat
luas belum sepenuhnya dapat menerima, sehingga masih menyisakan sikap waswas bagi terhadap para mantan tapol, yang sesungguhnya hampir semuanya sudah
sepuh atau berusia lanjut. Namun berkat kerjasama dengan organisasi pemuda
Nahdhatul Ulama, kekhawatiran itu sedikit dapat diredam. Mereka (para pemuda
NU) juga bagian dari representasi kelompok yang berrekonsiliasi. Sejarah
mencatat bahwa pada masa 1965 kelompok NU juga berada di dalam pusaran
peristiwa. 133
Bondan lantas menjelaskan, hal tersebut bukan lah kesalahan pihak NU
semata. Pihak penguasa rejimlah yang bersalah. Mereka (rejim) mengatur secara
sistematis konflik di kalangan rakyat. Bondan secara gamblang mengatakan “nah
awal tujuannya adalah memberi penyadaran pada NU terutama bahwa
bagaimanapun juga mereka pernah melakukan kesalahan dengan membantai
banyak orang yang dituduh PKI. Tapi sesungguhnya, NU pun korban dari
kekuasaan (Orde Baru) yang arogan, yang berkeinginan membasmi PKI, PKI juga
korban dari kekuasaan yang ingin menghapuskan komunisme, jadi muaranya
terdapat di kekuasaan. Masyarakat dibuat saling berkonflik, konflik horisontal”.134
Setelah bergerak selama 10 tahun di hampir seluruh wilayah Jawa
(khususnya wilayah DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur), mereka memutuskan
132
Organisasi yang terdiri dari para aktivis, mantan tapol dan keluarga keluarga mantan tapol,
yang berusaha untuk melakukan rekonsiliasi dan rehabilitasi bagi para mantan tapol dan
keluarga, agar mendapatkan kembali hak mereka.
133
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
134
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
154
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
untuk berhenti. Mereka melihat adanya perubahan yang signifikan. Seperti
berkurangnya kebencian terhadap para mantan tapol kasus 1965. Walau terasa
adanya sikap yang sedikit berubah, namun mereka sadar bahwa belum
sepenuhnya masyarakat kita dapat berdamai dengan stigma dan segala tuduhan
dari masa lalu. Hal tersebut memerlukan komitmen bersama dan proses gerakan
yang amat panjang.
Mengenai komitmen dan proses, Bondan merasa pada titik itulah
sepertinya kethoprak belum dapat konsisten, selayaknya gerakan berbasis
organisasi. Dalam pandangannya, kesenian dapat disikapi sebagai sebuah gerakan,
asal bukan dibuat hanya menjadi sekedar event saja. Gerakan semestinya memiliki
konsistensi, kontinuitas, serta program yang terpola. Bondan mengakui “ itulah
kelemahan kami. Para seniman Jogja, meskipun punya pemikiran seperti itu
(membuat perubahan), mereka jarang mau membuat program jangka panjang, dan
(memikirkan) bagaimana (cara) menggunakan kesenian sebagai alat penyadaran.
Paling (rutin) setahun 2 (dua) kali, setelah itu selesai. Maka dari itu kami
mengambil kesimpulan, yo raiso nek ngerubah, sejauh tidak ada program yang
rinci, rigid, dan matang (perencanaannya) sampe ke depan.”135
Namun dari semua pernyataan dan gegap semangat menggerakan, yang
mereka bawa dalam lakon yang dipentaskan, di sisi lain masih terasa kegamangan
atas semangat tersebut. Kita mungkin dapat melihat kilas balik dari sub bab
mengenai imaji pemimpin idaman, dimana Ari Purnomo menyatakan kekecewaan
dan tidak lagi dapat memancangkan harapan pada pemimpin. Sehingga ia lebih
percaya pada kemampuan rakyat untuk mengatasi masalahnya sendiri, tidak lagi
135
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
155
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengharap pada pemimpinnya.136 Aroma kegamangan tidak hanya pada tataran
harapan terhadap pemimpin atau penguasa. Akan tetapi juga pada tataran gerakan.
Bukan pada kegamangan atas ketidakmampuan untuk menggerakan dan
menyadarkan masyarakat. Namun pada tataran keyakinan bahwa kesenian ini
dapat membuat perubahan di wilayah praksis sosial-politik Indonesia.
Bondan Nusantara meyakini kesenian sebagai alat penyadaran hati nurani,
yang dapat menggerakan masyarakat. Namun baginya, kethoprak tidak dapat
ditempatkan sebagai alat untuk merubah jaman. Bondan sadar bahwa sehebat
apapun kesenian mengkritik, atau sekeras apapun mekanisme penyampaiannya,
kesenian tidak akan bisa merubah kondisi masyarakat secara langung. Melalui
kethoprak, kesadaran sosial-politik masyarakatlah yang digugah, dan masyarakat
pula lah yang akan melakukan perubahan. Bondan menjelaskan “(bahwa) yang
bisa kami lakukan ya sudah (kami lakukan), silahkan anda lihat dan anda tonton,
kalau tidak bermanfaat ya anggap saja sebagai hiburan, ya terima kasih”. Bondan
berkeyakinan bahwa yang sesungguhnya dapat merubah kondisi semacam itu
hanyalah politik. Bukan kebudayaan, hanya politik. Menurutnya, kita bisa melihat
Rian Tiarno, Remmy Silado atau pun WS Rendra yang beraksi keras terhadap
politik kekuasaan. Namun mereka tidak bisa langsung menghancurkan rejim
Soeharto dengan tangan kesenian.137
Di balik segala kegamangan terhadap perubahan yang mungkin bisa
dilakukan langsung oleh kethoprak, Bondan tetap optimis pada kethoprak sebagai
penggerak dan pembangun kesadaran masyarakat. Menurutnya, masyarakat Jawa
sangatlah dinamis. Mereka selalu memiliki kebutuhan untuk mendialogkan
136
137
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
156
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kegelisahannya melalui media yang disukainya. Salah satunya kethoprak. Mereka
tidak dapat terus ditekan selayaknya pada tahun 50-an atau 60-an. Oleh karena itu,
eksistensi kethoprak harus tetap hidup, melalui geraknya yang lentur. Kethoprak
terus dihidupi oleh konteks masalah sosial-politik yang dibicarakannya. Di
panggung kethoprak lah rakyat membicarakan masalah mereka, dengan sesama
mereka dan untuk mereka. Tuturan kethoprak menjelma menjadi bagian dari kritik
politik rakyat. Bondan menutup sesi wawancara itu dengan mengatakan
“pokoknya kalau kami mengalami sesuatu yang tidak adil, ya akan kami
sampaikan. Kami tidak berpihak pada siapapun. Kalau penguasanya baik, ya kita
katakan baik. kalau penguasanya jelek, ya kita katakan jelek dan kita kritik. Itu
saja.”138
E. Kesimpulan
Di tengah tarik menarik sikap optimisme dan pesismisme terhadap gerakan
yang dilakukan oleh para seniman dari tiap lini kesenian, para seniman kethoprak
pun ikut ambil bagian. Penelitian ini hendak menelisik hal tersebut dalam 2 (dua)
lakon kethoprak, yaitu Magersari dan Ledhek Bariyem. Pada awalan pemaparan
data, saya menuliskan pengalaman menonton, yang sesekali saya padukan dengan
cuplikan-cuplikan dialog dari kedua lakon tersebut. Selain mengandalkan ingatan
pada saat saya menonton langsung, saya juga menggunakan naskah dari kedua
lakon tersebut, untuk melengkapi penggambaran dari pementasan tersebut. Isi
naskah yang saya dapatkan langsung dari para penulisnya, tidak selalu sama
dengan isi dialog atau alur yang dipentaskan di atas panggung. Menurut Ari
138
Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014.
157
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Purnomo, selaku penulis naskah Ledhek Bariyem, hal tersebut sangat lumrah,
karena naskah pasti akan mengalami pengembangan dan penyesuaian selama
proses latihan. Bila dirasa ada hal yang kurang tepat, mereka akan
mendiskusikannya, dan mengubah sesuai dengan kebutuhan dari pementasan.
Selain sebagai penulis naskah, baik Bondan Nusantara dan Ari Purnomo
juga mengambil peran sebagai sutradara. Keduanya memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam proses produksi lakon-lakon tersebut. Pemikiran yang mereka
tuangkan dalam bentuk naskah, tidak sepenuhnya dihasilkan oleh mereka seorang
diri. Dari hasil wawancara, ditemukan pula adanya proses diskusi mengenai
konteks permasalahan yang ingin diangkat sebagai isu yang dibicarakan dalam
lakon. Sehingga baik penulis naskah, sutradara, pemain maupaun para pendukung
lainnya, memiliki andil untuk memberikan masukan yang berguna bagi lakon
yang dibuat.
Keterlibatan pemain tidak melulu hanya pada tataran pendalaman peran
saja. Akan tetapi juga dalam proses penentuan misi atau pesan yang hendak
disampaikan dalam pementasan sebuah lakon kethoprak. Mereka tidak sekedar
mendapatkan naskah dan memerankannya di atas panggung, akan tetapi mereka
juga memiliki tanggungjawab untuk dapat memahami isi pesan, dan
menyampaikannya kepada penonton. Sedangkan di tataran penonton, saya
mencoba menggali informasi mengenai apa yang dipahami oleh penonton, setelah
melihat pementasan tersebut. Sejauh mana penonton dapat menangkap pesan yang
disajikan di depan mata mereka.
Lakon Magersari menceritakan kehidupan warga penghuni Sultan Gound,
di wilayah Yogyakarta. Kethoprak yang ditulis oleh Bondan Nusantara ini
158
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengusung misi Guyub Rukun. Lakon kethoprak tersebut dibuatnya untuk
merespon peristiwa politik yang hendak terjadi di kota Yogyakarta. Berangkat
dari kegelisahan dan kekhawatiran akan terjadinya kerusuhan seperti yang terjadi
di wilayah lain, Bondan membuat lakon Magersari untuk dapat mencegah
terjadinya konflik untuk kepentingan politik di wilayah kota Yogyakarta. Dalam
lakon ini dipertunjukan bahwa potensi konflik atau perpecahan masyarakat,
biasanya dipicu oleh adanya perbedaan. Selain itu, lakon ini juga berusaha
memperlihatkan adanya fenomena penyelewengan mandat yang seringkali
dilakukan oleh para pejabat atau pemimpin. Lakon ini mencoba mengkritik
penyalahgunaan kepercayaan semacam itu.
Sedangkan lakon Ledhek Bariyem yang bergenre horror-humor, adalah
lakon kethoprak yang cukup rumit. Bila dibandingkan dengan cerita dari lakonlakon kethoprak yang lain, Ledhek Bariyem merupakan lakon yang tidak mudah
untuk ditebak alurnya. Dua tokoh yang saling memperebutkan posisi lurah: pak
Lurah Sarjana dan pak Warjudi, sama-sama melancarkan taktik politiknya
masing-masing. Lakon ini memperlihatkan adanya kepentingan-kepentingan
politik para pemimpin, yang seringkali menjadikan rakyat sebagai korbannya.
Tidak seperti lakon kethoprak lainnya, yang menggiring para penontonnya untuk
langsung mengerti maksud dari lakon yang dilihatnya, pertunjukan ini mengajak
penonton untuk mencermati alur, memahami dan mengambil pelajaran secara
mandiri.
Dari proses observasi, pembacaan naskah dan wawancara, didapati bahwa
pembicaraan mengenai kekuasaan, tuntunan serta tatanan bermasyarakat, imaji
pemimpin yang ideal, permasalahan ke-Jawa-an yang mulai tergerus globalisasi,
159
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hingga pemahaman mengenai kethoprak sebagai gerakan, menghiasi seluruh
pembahasan bab ini. Kesemuanya hadir dari kegelisahan para seniman, mengenai
konteks sosial-politik masyarat. Seniman mengartikulasikan permasalahan sosialpolitik masyarakat, melalui kethoprak. Masyarakat bebas menerimanya, baik
sebagai bagian dari dialog konteks permasalahannya, atau hanya sekedar hiburan
semata.
160
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
Hegemoni Di Ranah Seni Tradisi
A. Pengantar
Sesuai dengan sistematika penulisan tesis ini, pada bab II saya
memaparkan posisi bidang kesenian seperti sastra dan teater, dalam upayanya
membicarakan dan mengkritik kondisi sosial-politik di Indonesia. Selain bidangbidang tersebut, pada bab yang sama, kethoprak hadir sebagai pokok bahasan
dalam tesis ini. Setelah membicarakan mengenai beberapa bidang kesenian, serta
menjelaskan posisi kethoprak di dalamnya, maka pada bab selanjutnya saya
membahas secara khusus objek material penelitian tesis ini. Pada bab III, saya
memaparkan data-data yang terkait dengan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem.
Pemaparan mengenai apa yang terjadi di atas panggung pertunjukan serta
apa yang disampaikan oleh para responden, menjadi sederet data yang terlihat
pada lapis pertama dari lakon Magersari dan Ledhek Bariyem. Tidak bijak
rasanya bila hanya berpijak pada apa yang nampak. Maka pada bab IV ini, kedua
lakon tersebut akan dilihat lebih dalam pada lapisan selanjutnya, yaitu inti analisa
berdasar pada teori hegemoni yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci, serta
globalisasi sebagai teori sekunder. Beberapa kata kunci dan langkah pembacaan
teoritis Gramsci, akan dipergunakan untuk melihat sejauh mana teori hegemoni
bekerja dalam kedua lakon itu.
161
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
B. Seni Kethoprak sebagai Laku Politik
Dalam tulisannya, Julianti L Parani mengungkapkan bahwa pada awal mula
peradaban, seni berfungsi sebagai bagian dari suatu ritual keagamaan atau
kepercayaan. Seiring dengan praktek kolonial bangsa Eropa, bermulalah
bermacam penetrasi bidang kehidupan, tak terkecuali kepercayaan. Dalam
konteks seni di Indonesia, nilai-nilai sakral tersebut mulai mengalami proses
transformasi, walaupun keterikatan dengan akar di masa lalu masih dipertahankan
oleh beberapa etnis di Indonesia. Yang lebih jamak, fungsi ritual suatu seni telah
banyak beralih menjadi sesuatu yang bersifat hiburan belaka, tidak ada lagi jejakjejak fungsi komunikatif yang purba itu. Kandungan spiritualnya telah
dicampuradukkan dengan aspek kebudayaan yang non-artistik/non-seni, seperti
politik, bisnis, hingga kepentingan ambivalen.139
Pendapat yang diajukan oleh Julianti di atas tidak salah, terutama perihal
beralihfungsinya kesenian ke arah aspek kebudayaan non-artistik ataupun nonseni. Seiring perkembangan zaman, fungsi seni berkembang untuk memenuhi
beragam kebutuhan masyarakat. Seni pada awalnya hadir sebagai bentuk
pemujaan, diletakkan sebagai sesuatu yang otentik, satu dan tak terganti. Namun
bersama berjalannya waktu, mekanisme produksi secara teknis telah melahirkan
kemampuan untuk mereplikasi. Maka karya seni kemudian lahir secara massif dan
kehilangan fungsi ritualnya. Karya seni pada masa kini hanya hadir sebagai
bentuk komunikasi profan. Ia tidak lagi berperan sebagai objek pemujaan agama.
Nilai kultus beralih menjadi nilai estetis (khususnya dalam seni yang
dipertunjukan). Eksistensi karya seni hadir antara dirinya dan penontonnya
139
Julianti L Parani, 2011, hal.4
162
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(penikmat karya seni). Hal tersebutlah yang
kemudian membuka ruang bagi
‘fungsi politis’ dari karya seni.140
Pada momen itu, semboyan l’art pour l’art dilihat oleh Walter Benjamin
sebagai teologi negatif. Kemampuan mereproduksi secara teknis dan massif telah
menempatkan seni tidak lagi berada pada posisi yang netral, tanpa kepentingan
apapun (kecuali kepentingan pemujaan). Seni yang murni telah runtuh.
Tergantikan oleh seni yang melangkah dengan fungsi politis. Hal tersebut jelas
mengejutkan. Namun itulah kenyataannya. Seni tidak lagi hadir hanya sebagai
dirinya, namun juga berbicara untuk hal di luar dirinya. Tarik menarik menyoal
perdebatan seni yang politis, ataupun seni yang non-politis, tidak pernah sepi
hingga saat ini. Bahkan pertanyaan mengenai keterkaitan antara seni dan politik,
bisa kita dapati dalam pengalaman sehari-hari. Misalnya saja, dalam sebuah
pembicaraan dengan seorang kawan, selepas menonton sebuah pertunjukan seni,
saya menyatakan bahwa pertunjukan tersebut merupakan sebuah karya seni yang
sangat politis. Kawan saya kemudian bertanya “memangnya ada karya seni yang
tidak politis?” Pertanyaan itu cukup mengganggu pikiran saya. Apakah memang
sebuah karya seni acapkali sengaja diciptakan dengan agenda politik tertentu?
Apa tidak mungkin sebuah penciptakaan sebuah karya hanya memang hanya
dimaksudkan sebagai “seni untuk seni”?
Perihal “eni untuk seni”, dalam bukunya yang berjudul seni dan kehidupan
sosial, G.V. Plekhanov mengutip sebuah artikel kritis dari Nikolay Gavrilovich
Chernyshevsky,
seorang
tokoh
demokrasi
revolusioner
Rusia,
perihal
permasalahan tersebut. Gavrilovich mengatakan bahwa ide seni untuk seni sama
140
Khudori Husnan, Merosot Aura Kebangkitan Seni Politik: Sketsa Falsafat Walter Benjamin,
Jurnal Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013
163
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
asingnya, dengan ungkapan seperti kekayaan untuk kekayaan, ilmu untuk ilmu,
dan sejenisnya. Menurutnya, semua kegiatan manusia mesti mengabdi pada
kemanusiaan. Semua itu bertujuan agar apapun yang dilakukan oleh manusia tidak
akan berakhir menjadi pekerjaan yang sia-sia dan keisengan belaka. Ia
menjelaskan lebih lanjut bahwa sesungguhnya kekayaan itu ada, agar manusia
dapat menarik keuntungan darinya. Ilmu itu ada agar menjadi pedoman bagi
kehidupan manusia, dan seni itu ada untuk mengabdi pada tujuan yang lebih
berguna. Bukannya hanya menjadi kesenangan yang tiada manfaatnya.141
Sama halnya dengan seni, yang kini menjelma sebagai laku kerja dengan
tujuan yang jauh lebih luas, dan lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia. Salah
satunya tujuan politik. Tidak dipungkiri, selalu ada upaya menempatkan seni
sebagai upaya yang lebih dari sekedar seni. Seperti halnya fungsi seni dalam
kethoprak, yang memuat permasalahan sosial politik masyarakatnya. Contohnya
saja pada masa rejim Orde Baru, kethoprak sempat digunakan sebagai
penyambung lidah kekuasaan. Pada kala rejim itu tumbang, hampir semua insan
seni berbondong-bondong mengusung tema reformasi di segala lini, begitu pun
kelompok-kelompok kethoprak. Pasca reformasi, Indonesia dibanjiri oleh karya
seni yang berbau politis. Melihat fenomena semacam itu, Lono Simatupang
berpendapat bahwa setiap aktivitas seni itu sendiri pada dasarnya merupakan
aktivitas politis. Bukan dua hal yang terpisah. Pada titik ini, politik tidak
dimengerti sebatas ideologi tertentu. Politik dipahami sebagai praktik relasi kuasa
yang berlangsung dalam pembentukan makna, nilai dan tindakan yang
mengikutinya. Ia menambahkan, bahwa hal tersebut terjadi karena peristiwa seni
141
G.V. Plekhanov, 1957, Seni dan Kehidupan Sosial, Foreign Languages Publishing House.
Moscow, hal.1
164
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
senantiasa mengarahkan pemaknaan, penilaian, dan menuntun perlakuan tertentu
demi menanggapi suatu gejala atau pun ide. Pengarahannya disampaikan melalui
berbagai teknik dan teknologi. Baginya, seni adalah kata kerja, bukan kata
benda.142 Sehingga seni itu selalu bermakna. Seni bukanlah sesuatu yang begitu
saja mati setelah diproduksi. Seni sendiri adalah kerja tiada henti, menuju titik
tertentu sebagai orientasi.
Tidak ada seni yang tanpa makna (nonsense)! Pendapat itu rasanya tidak
berlebihan. Albert Camus, dalam tulisannya yang berjudul
Seni dan
pemberontakan, berpendapat bahwa mungkin saja kita dapat mengutuk
ketidakadilan, dan menuntut suatu keadilan total, melalui perlawanan atau
pemberontakan. Kala seni menuntut keadilan, tidak lantas membuat kita menilai
bahwa dunia telah menjadi buruk secara total. Sama halnya pada saat seni
mempertanyakan tentang kenyataan (ketidakadilan), tidak lantas membuat seni
menjauhi kenyataan tersebut.143 Seni yang tidak menjauhi kenyataan dan
mempertanyakan
ketidakadilan,
melahirkan
pemberontakan.
Seni
selalu
menghadirkan gairah untuk melawan dan memberontak. Karena sesungguhnya
sebagian urgensi pemberontakan itu bersifat estetik.144
Pemberontakan yang estetis. Sepertinya kita akan susah-susah gampang
mendapatinya di wilayah kesenian. Pada bab II sempat disebutkan bahwa hampir
semua lini kesenian memunculkan
seniman yang lantang membicarakan
pemberontakan melalui karya yang diciptakannya. Namun terlalu dini kiranya bila
142
tulisan ini dipresentasikan Lono Simatupang dalam peluncuran buku Seni Pertunjukan
Indonesia Pasca Orde Baru, dengan judul “kajian (tentang) Seni Pertunjukan Indonesia, di
Kampus II Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 5 Desember 2014.
143
Albert Camus, 1998, Seni- Politik dan Pemberontakan, Bentang Budaya, Yogyakarta, hal. 9
144
Albert Camus, 1998, hal 4-5
165
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kita menyatakan bahwa semua karya seni memilik karakter yang sama. Sehingga
ada baiknya bila kita menunda barang sebentar, untuk membuat kesimpulan
prematur tentang hal tersebut. Pada proses penundaan tadi, kita coba melihat pada
lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, dan memeriksa kembali, apakah ada unsur
pemberontakan di dalamnya.
C. Pembentukan Blok Historis di Atas Panggung
Mangersari dan Ledhek Bariyem, di dalam keduanya, sekilas kita seakan
mendapati lakon kethoprak yang sama dengan lakon-lakon lainnya. Standar
estetiknya tidak terlalu berbeda dengan lakon lainnya. Walau ada pengembangan,
dengan memasukkan unsur teknologi dan dramaturgi yang biasa digunakan dalam
pertunjukan teater modern. Selain menjadi salah pentunjukan yang menghibur
dengan pengembangan di beberapa titik, baik Magersari maupun Ledhek
Bariyem, dipandang memiliki misi lain yang jauh lebih serius. Pandangan tersebut
kiranya tidak meleset, karena keduanya memang dipentaskan dalam kaitannya
dengan peristiwa politik baik di kota Yogyakarta pada khususnya, dan di
Indonesia pada umumnya.
Berkaitan dengan peristiwa politiknya masing-masing, kedua lakon
tersebut berupanya mengajukan kritik politiknya secara khas. Kritik yang jauh
lebih muah diakomodir dalam kethoprak garapan. Seperti yang diungkapkan
dalam wawancara dengan Bondan Nusantara, menurutnya kethoprak format ini
jauh lebih fleksibel dalam membahas isu-isu tertentu, agak berbeda dengan
kethoprak format konvensional. Ia mengakui bahwa kecenderungannya memilih
format kethoprak ini, adalah karena adanya misi dan pesan tertentu yang hendak
166
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
disampaikannya kepada penonton. Menurutnya, banyak isu sosial-politik
kontemporer yang dapat diwadahi melalui kethoprak garapan.
Kemampuan para seniman mengungkapkan kritik, gugatan atau pesan
politiknya melalui kethoprak, menunjukkan bahwa kesenian berperan penting
dalam pembentukan pemahaman khalayak penontonnya. Magersari dan Ledhek
Bariyem, sebagai 2 (dua) dari sekian banyak lakon kethoprak, dalam
pementasannya memasukkan beberapa konsep tentang apa yang ideal, yang dianut
oleh mereka seniman) maupun oleh masyarakat luas. Konsep-konsep semacam
itu ditanamkan secara terus-menerus baik pada saat itu, maupun pada masa
sebelumnya, atas nama tradisi.
Bila kembali melihat kembali pada istilah blok historis yang diperkenalkan
oleh Gramsci, kita akan dapat melihat adanya kesamaan cara kerja dari kesenian
ini, dengan hegemoni. Gramsci melihat bahwa hegemoni cenderung masuk pada
ruas-ruas kehidupan masyarakat, hingga membentuk kesadaran (palsu), yang
diyakini sebagai sebuah kebenaran. Kesadaran semacam menginternalisasi
ideologi kelas penguasa melalui jalur adalah agama, kebudayaan, dan pendidikan.
Internalisasi yang bersifat terus menerus pada akhirnya akan mengambil
persetujuan dan kepatuhan masyarakat. Di sini, rakyat mengamini ideologi,
sebagai sebuah kebenaran. Blok historis membentuk suatu kesatuan tujuan atau
keinginan, yang diusung oleh kepemimpinan intelektual dan moral, dalam konteks
hegemoni politik dan budaya.145 Dalam pandangan Marxisme klasik, kesadaran
palsu semacam itu dianggap sebagai segala hal yang menghalangi yang
145
Daniel Hutagalung, 2008, hal. xxv
167
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
didominasi146, dalam upayanya menemukan kebenaran, terutama kebenaran dalam
situasi hidup mereka. Kesadaran palsu ini, memblokir pengetahuan mereka
tentang fakta bahwa mereka ditindas.147 Pertanyaan yng kemudian muncul: apakah
benar lakon Magersari dan Ledhek Bariyem memang secara aktif membentuk
blok historis kepada khalayak penontonnya? Lantas bagaimana dengan nilai ideal
yang mereka usung untuk mendidik masyarakat, melalui pertunjukannya? Ada
baiknya kita sisir satu persatu nilai ideal yang muncul di panggung dan yang
dituturkan oleh para responden dari penelitian ini.
C.1. Guyub Rukun Demi Siapa?
Kita mulai dari nilai Guyub Rukun, yang secara eksplisit diangkat sebagai
konsep acara pementasan kethoprak lakon Magersari. Lakon yang dipentaskan di
beberapa kampung di wilayah kota Yogyakarta ini, menurut Bondan Nusantara
adalah salah satu upaya meredam kemungkinan pecahnya konflik antar kelompok
masyarakat, pasca momen pemilihan walikota Yogyakarta di tahun 2007. Pada
kenyataannya, setelah peristiwa politik itu terlewati, tidak didapati konflik yang
berarti antara kelompok masyarakat. Kondisi aman tersebut, ebelum dapat
dipastikan apakah karena efek dari pementasan lakon Magersari atau bukan.
Bondan Nusantara, selaku penulis naskah dan sutradara Magersari,
mengatakan bahwa ia mengangkat kerukunan sebagai tema sentral dalam
lakonnya. Tema tersebut masuk dalam beberapa dialog di dalam lakon. Misalnya
146
147
Daniel menggunakan kata kelas pekerja pada tulisannya.
Daniel Hutagalung, 2008, hal. xx
168
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dialog yang diungkapkan oleh Karto Bendho, kala melerai 2 (dua) kelompok anak
muda yang sedang bertikai. Berikut petikan dialognya:
“Meneng !!!!!..... Mingkem!!! Dha isa mingkem ora ???! .....Cah
enom, ...anake wong nggenah, ....mangan sekolahan,.... lha kok cupet
pikire!...Kowe ki dha ngerti ora, nek urip tunggal sak kampung kuwi
kudu guyup? Kudu ngerti tepa selira, ajen ingajenan, ora mbedakmbedakke sing mlarat karo sing sugih, sing elek karo sing apik, sing
cacad karo sing ora cacad!....Ngerti ora????”
(Diam !!!!....Tutup mulut kalian!!! Bisa diam atau tidak???! … Anak
muda,…anak orang baik,… orang yang berpendidikan,… lha kok
pikirannya sempit!... kamu semua paham atau tidak, bila hidup
bersama dalam satu kampong itu harus rukun? Harus paham tepa
selira, hormat menghormati, tidak membedakan antara yang miskin
dan yang kaya, antara yang jelek dan yang bagus, antara yang cacat
dan yang tidak cacat…paham atau tidak????).
Dalam wawancaranya, Bondan mengatakan bahwa proses pembuatan
naskah, termasuk peletakan ide mengenai tema dan mekanisme pementasan,
dilakukannya bersama beberapa kawan di Genitama. Ia mengatakan bahwa nilai
yang diangkat, yaitu kerukunan dalam keberagaman adalah nilai dasar
masyarakat Jawa, yang seringkali terabaikan oleh karena kepentingan politik dari
kelompok tertentu. Seperti yang sempat saya tuliskan pada bab III, Bondan
maupun Baso Rangga (salah seorang pemain lakon Magersari), menyatakan
bahwa pementasan tersebut merupakan bagian dari usaha mereka sebagai
seniman, untuk mengingatkan masyarakat mengenai pentingnya tenggang rasa
dalam perbedaan. Karena sumber konflik antar kelompok masyarakat sedianya
dikarenakan oleh perbedaan. Pada Magersari, Bondan ingin menunjukan bahwa
ada banyak ragam manusia yang hidup bersama, dan mampu membangun
paseduluran.
Tidak jauh berbeda dengan Magersari, Ledhek Bariyem pun, menyentuh
isu mengenai kerukunan. Walau bukan sebagai tema sentral, namun kita dapat
169
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menangkap dengan mudah, bahwa pembicaraan mengenai hal itu hadir di dalam
pementasan. Cerita pertikaian antar calon lurah yang berupaya mengambil
kepercayaan dari masyarakatnya pun, menyinggung permasalahan kerukunan
dan toleransi dalam menentukan orientasi politik mereka. Keduanya sama-sama
mengarahkan khalayak penontonnya untuk tidak mengabaikan vitalnya kondisi
aman, damai dan harmonis dalam masyarakat, terutama dalam kaitannya dengan
peristiwa politik pada saat itu. Hal tersebut hampir sama dengan filosofi Jawa
yang tercermin dalam ungkapan hamemayu hayuning bawono. Secara harfiah,
arti hamemayu hayuning bawono adalah membuat dunia menjadi hayu (indah)
dan rahayu (selamat dan lestari). Makna yang lebih dalam dari ungkapan ini
adalah sikap dan perilaku manusia yang selalu mengutamakan harmoni,
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam
lingkungannya. Muara dari sikap hamemayu hayuning bawono ini adalah
terwujudnya masyarakat yang tata, tentrem, kerta raharja.148
Sekilas tidak ada yang salah dengan nilai guyub rukun. Guyub rukun
sebagai prinsip dasar hidup bermasyarakat orang Jawa, tidak bisa dibantah sebagai
sebuah prinsip yang positif. Bagaimana tidak? Siapa yang akan menyangkal
bahwa bila nilai kerukunan, kebersamaan dan keharmonisan antar anggota
masyarakat adalah nilai yang baik dan patut dipertahankan dan dipelihara. Dengan
memelihara nilai-nilai tersebut, hubungan antar anggota masyarakat, mampu
menghasilkan sesuatu yang jauh lebih produktif. Karena masyarakat dapat dengan
damai menjalankan hajat hidupnya, tanpa adanya konflik yang mengganggu
148
Imam Subkhan, 2007, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya, Impluse-Kanisius, Yogyakarta,
hal. 60
170
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mereka. Namun pada kali ini, kesadaran yang ditanamkan melalui kedua lakon
tersebut, harus dilihat dalam frame yang berbeda. Seperti yang dikatakan oleh
Franz Magniz Suseno, bahwa jikalau tatanan dilanggar, yang salah satunya adalah
hidup rukun, maka kondisi masyarakat akan khaos. Akan tetapi kondisi rukun dan
harmonis, tidak dapat menjauhkan manusia dari kondisi dasarnya, yaitu berbeda.
Perbedaan acapkali menjadi titik awal dari konflik.
Dalam
buku kumpulan tulisan yang berjudul Religious and Ethnics
Conflicts in Indonesia: Analysis and Resolution, Kris Herawan Timotius mengutip
pernyataan dari Dr. Rudolf Ficker, perwakilan dari OSW/ EED Jerman, mengenai
pentingnya posisi konflik dalam kehidupan manusia.
“ (...) Conflicts belong to human life, there is no society without
conflict, even within societies wich are religiously and ethnically more
or less homogeneous one can find conflicts. To assume that there is life
without conflict would be unrealistic. But this is exactly the reason
why procedures for dealing with conflicts must be developed....”149
Menurut S.N Kartikasari, konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak
terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat
tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan
tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian
besar atau semua pihak yang terlibat. Karena itu konflik tetap berguna, apalagi
karena memang merupakan bagian dari keberadaan kita. Dari tingkat mikro,
antarpribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat, dan negara, semua
bentuk hubungan manusia- sosial, ekonomi dan kekuasaan- mengalami
149
Kris Herawan Timotius, 2005, Religious and Etnichs Conflicts in Indonesia: Analysis and
Resolution, Satya Wacana Cristian University, Salatiga, hal. 10
171
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pertumbuhan, perubahan dan konflik.
150
pada fase ini, konflik menjadi amat
berguna bagi pola hubungan antar manusia, khususnya dalam kehidupan
bermasyarakat. Konflik berguna untuk menstimulasi hubungan menjadi jauh lebih
produktif dan kreatif. Namun selain sisi positif itu, pada sisi yang berbeda konflik
dapat bersifat destruktif, terutama bila disertai aksi kekerasan.
Harus
digarisbawahi bahwa konflik tidak selalu berbanding lurus dengan hadirnya
kekerasan.
Lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, diarahkan untuk menanamkan
kesadaran semacam itu. Keduanya mengajak khalayak penontonnya, untuk
mengamini bahwa hidup damai tanpa konflik adalah konsensus bersama. Seperti
yang diungkapkan oleh Raden Surya, dalam lakon Magersari di bawah ini:
“Manggon onten kampung niku kudu nganggo landhesan werna telu.
Siji, guyup rukun. Loro, ajen ingajenan. Dene sing kaping telu,
nganggo tepa selira.... Kabeh niku mengku teges ”ora kena mbedakmbedakke siji lan liyane.” ...Embuh sampeyan Jawa, Sunda, Cina,
Arab napa Batak, Kabeh duwe hak padha ing bab napa mawon. ....
Mulane, rehne lelakon niki pun rampung, mangga sami memuji.
Mugi-mugi, Guyub Kampung niki dadi srana manunggale kabeh
warga sing mapan onten kampung niki”.
(tinggal di kampung harus berdasar pada 3 (tiga) landasan. Pertama,
guyub rukun. Dua, hormat menghormati. Dan yang ketiga,
toleransi….semua itu artinya “tidak boleh membedakan satu dengan
lainnya.” …Entah kamu orang Jawa, Sunda, Cina, Arab ataupun
Batak, semua mempunyai hak yang sama pada hal apapun… Oleh
karena itu, masalah ini telah sudah selesai, silahkan saling
menghargai. Semoga, guyub kampung ini menjadi sarana persatuan
seluruh warga yang bermukim di kampung ini).
Kondisi damai tanpa konflik jelas impian banyak orang. Saat semua orang
menginginkan damai, kondisi damai semacam apa yang hadir di antara mereka?
apakah mereka benar-benar dapat terbebas dari konflik? Ingat! Kondisi konflik
150
S.N Kartikasari, 2000, Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, The
British Council Indonesia, Jakarta, hal. 4
172
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
selalu dibutuhkan dalam masyarakat, untuk meningkatkan eskalasi sikap kritis.
Menurut Novri Susan, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sosiologi Konflik
dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, konflik terbuka dan tanpa kekerasan, selalu
menghasilkan masyarakat yang kreatif dan produktif. Upaya-upaya menciptakan
kondisi konflik yang absen di masyarakat, akan mengarah pada
status quo
perdamaian. Kondisi semacam ini dapat berbahaya, terutama jika masyarakat
sudah enggan untuk menghasilkan konflik yang produktif, semata demi menjaga
guyub rukun yang ditanamkan sebagai tradisi.
Merunut pada pertnyataan Novri Susan di atas, konflik diperlukan sebagai
mekanisme sehat dalam bermasyarakat. Namun lagi-lagi ditekankan sejauh
konflik tersebut tidak menggunakan kekerasan. Pada fase ini, kita dapat kembali
menggunakan frame pembentukan blok historis. Dimana kedua lakon bekerja
dengan memberi pemahaman bahwa tidak ada jalan lain dalam bermasyarakat,
selain mngusung semangat guyub rukun. Pengetahuan mengenai konflik di dalam
masyarakat yang kritis dan sehat, dibuat absen. Masyarakat menjadi apatis dan
takut terhadap konflik. Pada kondisi selanjutnya, masyarakat cenderung menjadi
tidak berani mengajukan keberatan pada perbedaan-perbedaan di antara mereka.
Hanya karena takut dicap sebagai pihak yang melanggar toleransi dan prinsip
kerukunan di dalam masyarakat. Alih-alih menghormati keberagaman, ajakan
guyub rukun berpotensi menjadi sikap yang menyeragamkan. Guna meredam
gejolak penolakan terhadap perbedaan.
Keguyuban sebagai konsep ideal yang diajukan dalam kedua lakon, harus
dilihat dari sudut kepentingan yang menyuarakannya. Kita tidak dapat melepaskan
diri dari latar penutur konsep, maupun kepentingan yang melatarbelakanginya.
173
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kita ambil contoh pada masa Orde Baru, keguyuban, kerukunan dan toleransi
acapkali digunakan untuk memperoleh kepatuhan masyarakat, demi menjaga
keamanan dan ketertiban di antara mereka. Alih-alih menjaga kondisi di
masyarakat, rejim menggunakan kepatuhan masyarakat guna menjaga stabilitas
kekuasaannya.
Konsep keguyuban digunakan sebagai mekanisme untuk menekan
kemungkinan adanya perbedaan pendapat, atau ketidaksetujuan atas hegemoni
dominan. Pada masa pasca reformasi, cara-cara penundukan semacam itu tidak
benar-benar ditinggalkan. Nilai positif dari keguyuban, menjadi negatif bila
digunakan untuk menghilangkan perbedaan pendapat, atau ketidaksetujuan pada
keputusan kelas penguasa. Pada masa pementasan Magersari yaitu tahun 2011,
adalah tahun dimana penguasa daerah dan masyarakat Yogyakarta sedang
menunggu kepastian dari penetapan status keistimewaan wilayah ini. Ada banyak
kelompok yang mendukung, namun tidak sedikit pula yang kontra. Suara
masyarakat terpecah. Mereka memiliki argumentasinya masing-masing. Kondisi
ini yang kiranya dilihat sebagai salah satu potensi perpecahan dan konflik di
masyarakat. Hingga didoronglah upaya-upaya untuk mencegah konflik, tanpa
harus melalui gejolak pertentangan pendapat antar masyarakat Yogyakarta. Dalam
Magersari misalnya, khlayak penonton digiring untuk menerima keistimewaan
beserta pemimpinnya sebagai sesuatu yang diperjuangkan, tanpa diikuti pemikiran
mengenai konsekuensi dari pilihan itu.
Keadaadn itu mengingatkan kita pada ajaran sikap hidup nrimo ing pandum.
Ajaran ini mengajurkan manusia untuk bersikap menyerah terhadap nasibnya,
karena segala sesuatu telah ditentukan oleh nasib. Manusia sebaiknya
174
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mempercayai bahwa segala macam persoalan sudah diatur oleh kekuatan gaib,
yang bersifat selaras dan abadi. Seperti pada siklis auto cakra manggilingan. Oleh
karena itu segala perbuatan dan tingkah laku manusia sebaiknya diselaraskan
dengan tatanan alam. Karena sikap yang selaras dengan tatanan alam akan dinilai
baik dan jujur.151 Sikap positif ini, menjadi alat budaya untuk menyeragamkan
pendapat yang yang beragam, menjadi sikap yang menyerahkan pada nasib, dan
titah pemimpin atau penguasa.
C.2. Moral Pemimpin Sebagai Fokus Pembicaraan
Baik dalam lakon Magersari, maupun Ledhek Bariyem, keduanya
menyinggung permasalahan kepemimpinan. Tidak mengherankan, karena keduaduanya, baik secara disengaja atau pun tidak, dipentaskan pada pada masa
sebelum peristiwa politik berlangsung. Pemilihan walikota Yogyakarta pada tahun
2012, dan Pemilihan presiden Republik Indonesia pada tahun 2014.
Meski
dimaksudkan menjadi bentuk kampanye damai sebelum masuk pilkada,
Magersari tidak terlalu banyak menyentuh permasalahan mengenai kekuasaan.
Kecuali pada cerita mengenai Jaya Kenthus, yang menjabat sebagai pengelola
tanah Magersari, ternyata melenceng dari amanat jabatannya. Lakon ini sekiranya
hendak memotret, persoalan yang biasa kita temui pada perilaku para penguasa
atau pemimpin. Jaya Kenthus berlaku sewenang-wenang pada masyarakat
Magersari. Kita dapat melihatnya pada dialog yang disampaikan Raden Surya,
pada Jaya Kenthus:
151
Rachmat Susatyo, 2008, hal 50-51
175
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“Beine Kenthus. Nggonmu tak percaya ngrumat lemah sing
dinggoni para Magersari iki, jebul ming kok anggo piranti
nggonmu arep kemaki lan sewenang-wenang! Mangka kowe
ngerti. Lemah iki paring ndalem Ingkang Sinuwun marang aku.
Lan kowe sing tak percaya ngrumat. Ning kena apa kok salah
gunakke dinggo numpuk kesugihan? Apa kowe lali nek Ingkang
Sinuwun ora tau gawe cilaka lan sengsarane kawula?”
(Bei Kenthus. Kau aku percayakan untuk merawat tanah yang
didiami oleh para Magersari ini, tapi ternyata hanya kau pakai
untuk alat kesombongan dan kesewenang-wenangan! Kau tau.
Tanah ini diberikan oleh Ingkang Sinuwun padaku. Dan kau lah
yang aku percaya untuk merawatnya. Namun mengapa kau
salahgunakan untuk menumpuk kekayaan? Apakah kau lupa bila
sesungguhnya Ingkang Sinuwun tidak pernah ingin membuat
celaka dan sengsara rakyatnya?
Lain halnya dengan lakon Ledhek Bariyem. Dalam lakon ini, Ari Purnomo
menyengaja untuk membicarakan soal perebutan dominasi kekuasaan antara para
calon pemimpin di wilayah Klempis Ngasem. Pertarungan antara dua kubu,
mengantarkan Bariyem, yang merepresentasikan sosok rakyat, dikorbankan dan
diombang-ambing oleh kepentingan para calon pemimpinnya. Erwin, salah satu
pemain dalam lakon Ledhek Bariyem, memandang bahwa pertarungan
kepentingan antara tokoh pak Lurah Sarjana dan tokoh Pak Warjudi lebih
memperlihatkan realita politik saat ini. Seseorang akan melakukan apapun, untuk
mendapatkan simpati dari masyarakat. Seperti kala para (calon) pemimpin
berjibaku menjaring dukungan, melalui jalan kampanye dan/atau mengintervensi
pilihan orang lain. Baik melalui jalan yang sesuai dengan aturannya, atau bahkan
yang melenceng jauh dari jalurnya. Terbukti proses perebutan kekuasaan para
pemimpin di desa Klempis Ngasem telah mengorbankan Bariyem. Mengutip
kembali ujaran Ari Purnomo “ketika dua kekuatan besar beradu, maka rakyat
kecillah yang akan menjadi korbannya”. Ajaran RM Pandji Sosrokartono
mengenai Digdaya tanpa aji lan menang tanpa ngasorake, yang berarti sakti
176
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tanpa ajian/ilmu kesaktian dan menang tanpa merendahkan orang lain, seakan
hanya menjadi sekedar jargon dari masa lalu. Apalagi bila dikontekskan dengan
gambaran dari lakon tersebut.
Membicarakan tentang politik kepemimpian negeri ini, kita tidak dapat
melepaskan diri dari pembahasan mengenai sistem politiknya. Rentang waktu
selama 70 tahun, setelah Indonesia merdeka, bukan waktu yang sebentar, namun
juga belum dapat dikategorikan lama sebagai sebuah negara. Jatuh bangun
pencarian bentuk yang paling ideal sebagai sebuah negara, merupakan tujuan
jangka panjang yang tak berkesudahan. Menjadi sebuah negara, jelas menjadikan
Indonesia sebagai mangkuk yang mewadahi banyak kepentingan. Dengan
meletakkan suara tiap warga negara atau rakyat sebagai satu dari sebagian
kesatuan penting dalam negara. Semangat untuk mendengarkan dan melibatkan
seluruh rakyat dalam menentukan nasib negaranya, diusung kala Indonesia lahir
pada tahun 1945. Pada tahun tersebut, dibangun sistem yang wajib
mengikutsertakan setiap warga negara untuk ikut menentukan dan mengupayakan
kebaikan bersama. Selepas Indonesia merdeka, negara ini menetapkan diri untuk
menganut sistem politik demokrasi liberal. Sistem ini dianggap sebagai salah satu
pilihan baik, dari sekian banyak jumlah sistem politik yang dianut oleh banyak
negara di dunia.
Semangat demokrasi tersebut termaktub dalam Maklumat Pemerintah
yang keluar pada tanggal 3 November 1945. Pada maklumat disebutkan bahwa
rakyat Indonesia sebagai
warga negara, diberi peluang seluas-luasnya untuk
berserikat dan berkumpul, dan ikut aktif dalam kehidupan berpolitik. Hingga pada
tanggal 5 Juli 1945, keluar Dekrit Presiden yang merubah demokrasi liberal
177
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berganti menjadi Demokrasi terpimpin. Demokrasi ini bermuara pada keputusankeputusan Soekarno selaku presiden.
Setelah tapuk kepimpinanan Indonesia
beralih dari Soekarno kepada Soeharto. Demokrasi yang tadinya merupakan
demokrasi terpimpin, beralih sistem menjadi demokrasi pancasila dan berlaku
hingga sekarang ini.
Setelah reformasi, terhitung semenjak tahun 1999, Indonesia yang masih
memeluk demokrasi pancasila sebagai sistem politiknya, mulai merubah tata
pelaksanaan pemilunya. Tahun 2002 merupakan pijakan politik paling berarti bagi
Indonesia. Pengesahan amandemen keempat UUD 1945, berlanjut dengan
perubahan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden. Rakyat pada
akhirnya dapat memilih langsung pemimpin negara mereka. Pemilu, terutama
untuk melaksanakan pemilihan presiden dan wakilnya, diadakan pertama kali
pada Pemilu 2004. Diikuti dengan penetapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007 mengenai
pemilihan kepala daerah dan wakilnya (pilkada), yang juga
melibatkan rakyat secara langsung dalam prosesi pemilihannya.
Pesta demokrasi, baik itu yang bersifat lokal seperti pilkada, maupun
nasional seperti pemilu, setiap rakyat sebagai warga negara ikut ambil bagian.
Pada kesempatan itulah, setiap orang dianggap punya suara dan andil penting
dalam menentukan arah langkah bangsa ini. Keikutsertaan setiap orang untuk
memilih adalah bagian dari aktualisasi kepentingan. Kepentingan di sini jelas
merupakan kepentingan politik, yang berpengaruh pada kondisi ekonomi, sosial,
budaya dan lain sebagainya.
Lakon Magesari dan Ledhek Bariyem sama-sama hadir dalam konteks
pesta demokrasi. Keduanya (baik dalam pernyataan wawancara, mupun
178
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pertunjukan) berorientasi untuk mendapatkan pemimpin dan masyarakat yang
demokratis. Terutama pada Ledhek Bariyem, penonton diajak untuk jauh lebih jeli
dalam memilih pemimpin mereka. Pertunjukan yang mengarahkan khalayak
penontonnya, pada pola politik demokrasi. Demokrasi menaruh posisi partisipasi
masyarakat sebagai hal yang vital. Terutama dengan upaya melibatkan setiap
orang pada usaha-usaha untuk menentukan kebaikan bersama. Demokrasi menjadi
kawan dalam perjalanan revolusi masyarakat, yang mengusung dan menjunjung
tinggi nilai kebebasan (freedom) dan persamaan (equality). Keduanya merupakan
nilai yang berarti bagi hubungan sosial yang jauh lebih luas lagi. 152
Namun Alih-alih mengarahkan pada pola pikir kritis guna mencapai
kebaikan bersama melalui sistem demokrasi, kedua lakon kethoprak tersebut jauh
lebih sibuk mengurusi moral pemimpin yang dicitrakan melalui pertunjukannya.
Masyarakat dijauhkan dari pembicaraan mengenai sistem politik, yang semakin
dijauhkan dari praktik politiknya. Pembahasan moral pemimpin, dianggap jauh
lebih penting, ketimbang sistem politik yang semestinya menjadi acuan bagi
pelaksanaan kepemimpin politik.
Perdebatan mengenai citra pemimpin, mengarahkan pada konsensus
mengenai sekedar pembahasan pemimpin yang baik, dalam standar moral tertentu.
Sehingga menutup kemungkinan munculnya pemimpinan yang sesuai dengan
semangat demokrasi, namun tidak sesuai dengan standar moral yang dibangun
melalui konsensus. Konsensus di sini dapat dipandang melalui skema hegemoni
Gramsci, dimana kemungkinan (pemimpin) yang hadir secara berbeda (dari
standar moral) akan dieksklusikan melalui pembangunan blok historis. Hal
152
Agus Wahyudi, 2015, Radikalisasi Demokrasi: Arah Gerakan LGBT?, hal.5
179
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tersebut
menjadi
gambaran
pengkhianatan
terhadap
politik
demokratik.
Sepertinya, pernyataan Chantal Mouffe mengenai politik demokratik jauh lebih
masuk akal melihat kondisi tersebut. Menurutnya, politik demokratik semestinya
bukan hanya sebagai perkara menegosiasikan kompromi dan persetujuan di antara
kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Namun bertujuan untuk
mencapai konsensus rasional yang sepenuhnya inklusif tanpa eksklusi atau
pengecualian.153
Politik demokratik semestinya dapat memberi ruang yang luas pada hal
yang dianggap berbeda. Politik demokratik memberikan ruang agar semua orang
dapat turut serta membangun potensinya, tanpa terkecuali. Sistem ini bernilai
bukan karena sistem pengambilan keputusannya yang lebih baik dibandingkan
sistem lain154, akan tetapi lebih menitikberatkan pada nilai-nilai yang terkandung
dalam proses demokrasi tersebut.155
C.3. Magersari, Kepentingan Global dalam Artikulasi Lokal
Bagai disambar petir di siang bolong, Budiono, warga Prawirodirjan,
Yogyakarta, terdiam ketika surat gugatan Rp 1,12 miliar diberikan
padanya oleh petugas Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta, 20
Agustus 2015 silam.
Dibacanya berulang-ulang surat itu. Pria 58 tahun itu terus
meyakinkan diri jika surat itu salah alamat. Tapi tidak, surat itu
benar-benar ditujukan untuknya.
“Saya enggak pernah menyangka bakal begini,” ujar laki-laki yang
sehari-hari bekerja sebagai tukang duplikat kunci di pinggir Jalan
Brigjen Katamso, Gondomanan, Yogyakarta.156
153
Agus Wahyudi, 2015, Radikalisasi Demokrasi: Arah Gerakan LGBT?, hal. 5
Sistem pengambilan keputusan keputusan dalam sistem politik demokrasi diharuskan
melihatkan setiap warga negara, baik melalui mekanisme pengambilan keputusan langsung,
maupun perwakilan.
155
Agus Wahyudi, 2015, Radikalisasi Demokrasi: Arah Gerakan LGBT?, hal. 3
156
http://www.rappler.com/indonesia/105809-pengusaha-tuntut-pkl-yogyakarta-1-miliar
(diakses: 28 Maret 2016)
154
180
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Petikan berita yang diambil dari situs berita online rappler.com itu cukup
menarik perhatian banyak orang. Bukan hanya Budiono dan 4 (empat) orang
lainnya yang merasa bagai disambar petir, sebagian masyarakat Yogyakarta yang
pun merasakan keterkejutan itu. Bagaimana tidak? Budiono yang berprofesi
sebagai tukang kunci duplikat, mana mungkin dapat membayar sejumlah uang
yang dituntutkan kepadanya. Budiono, Agung, Sugiyadi dan Suwarni, Eka
Aryawan karena dituding telah menempati lahan yang digunakan untuk usaha
mereka tanpa izin. Pengusaha itu mengklaim tanah tersebut sebagai tanah
Magersari yang disewanya semenjak tahun 2011. Dengan berbekal serat
kekancingan pada tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Keraton Yogyakarta, Eka
menuntut kelima pedagang itu untuk pindah dari tanah yang diklaimnya. Hal
tersebut mengejutkan Budiono dan kawan-kawannya. Padahal mereka sudah
menempati tanah itu semenjak tahun 1960. Bahkan setelah diusut, dengan
melakukan pengukuran tanah oleh pihak kecamatan, tanah Budiono dan yang
lainnya tidaklah termasuk dalam luas tanah yang diklaim oleh Eka. Pada tahun
2013, kedua belah pihak sepakat dengan hasil pengukuran itu.
Namun alangkah terkejutnya Budiono, ketika hampir 2 (dua) tahun berlalu
dari kesepakatan itu, ia mendapat surat gugatan sebesar Rp 1,12 miliar. Pada
akhirnya putusan sidang meminta Budiono dan yang lainnya untuk keluar dari
tanah yang disengketakan. Kasus Budiono adalah satu dari sekian kasus yang
terkait dengan permasalahan tanah Magersari, baik yang termasuk Sultan Ground,
maupun Pakualaman Ground. Semenjak pengesahan UU No 13 Tahun 2012
tentang Keistimewaan DIY (UUK), muncul permasalahan mengenai penguasaan
181
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tanah di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Lantas apa hubungannya
dengan lakon Magersari yang sedang diteliti ini?
“Mboten!! Nggen kula wani mbatalke putusan sampeyan merga kula
ngerti urik sampeyan! Ngerti pokil sampeyan! ...Sakniki, empun
wancine wadi niki kula bukak! Nek sejatine lemah sing dinggoni para
Magersari niku dede lemah sampeyan!” (Tidak!! Saya berani untuk
membatalkan keputusan anda, karena saya tahu anda curang! Saya
tahu kekikiran anda!... sekarang, sudah waktunya persoalan ini saya
buka!bahwa sesungguhnya tanah yang didiami oleh para Magersari
itu, bukanlah tanah anda!)
Cuplikan dialog di atas, dituturkan oleh pemeran Karto Bendho. Seorang
mantan bajingan atau mantan preman yang menentang diberlakukannya keputusan
Jaya Kenthus, mengenai kenaikan uang sewa tanah Magersari sebesar 300% (tiga
ratus persen).
Merunut pada masa pementasannya (tahun 2011), semestinya
penyataan Karto Bendho juga hadir dalam ruang persidangan yang memposisikan
Budiono, Agung, Sutinah, Suwarni, dan Sugiadi sebagai pesakitan. Bila dalam
lakon Magersari, pernyataan Karto Bendho dibenarkan dan dimenangkan oleh
Raden Surya, selaku bangsawan atasan dari Jaya Kenthus, namun pada
kenyataannya, Budiono dibela oleh pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Yogyakarta. Tidak dibela, apalagi dimenangkan oleh pemilik tanah, yaitu pihak
Keraton. Hingga pada akhirnya Budiono dan kawan-kawannya harus menerima pil
pahit, menghadapi keputusan pengadilan pada tanggal 11 Februari 2016, yang
mengharuskan mereka keluar dari tanah yang ditempatinya.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Bondan mengarahkan lakon Magersari
pada ranah pembahasan mengenai peristiwa politik di tahun 2011. Dimana
masyarakat kota Yogyakarta tengah bergiat memilih calon pemimpinnya. Bondan
khawatir bila masyarakat kota Yogyakarta akan mengalami kekisruhan pasca
182
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
peristiwa politik tersebut. Oleh karenanya, ia bersama kawan-kawan dari
Genitama bersepakat untuk membuat pementasan kethoprak keliling, dengan misi
guyub rukun. Magersari sebagai judul dan tema cerita lakon, terkesan tidak
mengemuka sebagai fokus utama dari keseluruhan tema pementasan keliling
tersebut. Fokus dari pertunjukan ini terkesan pecah. Antara membicarakan isu
(tanah) Magersari dan isu keberagaman (untuk meredam potensi konflik). Kedua
hal itu, silih berganti muncul dalam adegan dan dialog yang dipertunjukan ke
hadapan penonton.
Merunut dari waktu pementasan lakon Magersari yang tidak hanya
berdekatan dengan peristiwa politik pemilihan kepala daerah. Pada saat yang sama
kondisi provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta juga sedang ramai membahas pro
kontra posisi keistimewaan wilayah ini. Sehingga mungkin kita bisa menarik lakon
ini dalam sekian banyaknya perdebatan mengenai keistimewaan Yogyakarta.
Melihat dari sisi judul, lakon ini memang sengaja mengusung satu tema khusus
yang berhubungan dengan status kepemilikan tanah keraton. Meski menyentil
permasalahan kerukunan, lakon ini tidak beranjak menjauh dari pembahasan
pokok mengenai tanah. Kaitan tema Magersari dengan status keistimewaan
Yogyakarta, diungkapkan oleh Bondan Nusantara selaku penulis naskah dan
sutradara. Ia mengatakan:
“Jangan lupa pada waktu itu juga kita sedang memperjuangkan
tentang keistimewaan. (Hal) itu kita masukan dalam satu dialog
khusus pada saat tokoh terakhir muncul, tokoh pangeran, bahwa
Jogja ini milik raja, tanahnya milik keraton. (Bila) bahwa ada yang
tidak sependapat, ya silahkan, Tapi faktanya kan begitu. Kalau tidak
ada keraton Jogja, maka tidak akan ada kampung-kampung itu juga.
secara halus bahwa (tanah) ini bukan milik kalian, tapi milik sultan.
Sultan menghendaki ini (agar) tidak diperebutkan, sebagai alat untuk
183
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menguasai. Tapi tidak secara 100% (lakon) ini mengatakan bahwa ini
keistimewaan. tidak.”157
Pernyataan Bondan menyiratkan bahwa permasalahan Magersari dilihat
sebagai bagian dari kepentingan untuk mengukuhkan posisi keistimewaan dan
titah Raja. Ia menyatakan bahwa keistimewaan adalah hal pokok yang mesti
diamini dalam konteks permasalahan pemerintahan wilayah Yogyakarta.
Sehingga siapapun yang tidak setuju dengan keputusan semacam itu, harus rela
untuk angkat kaki dari wilayah ini. Mendengar pernyataan tersebut, sepertinya
kita tidak bisa hanya mengamini posisi lakon Magersari hanya membawa agenda
untuk meredam konflik saja. Akan tetapi juga dalam kerangka keistimewaan.
Magersari sendiri, sebagai bentuk pengelolaan tanah milik Sultan maupun
Pakualam Yogyakarta, melibatkan banyak pihak dan kepentingan.
Tercatat semenjak berlakunya UU No 13 Tahun 2012 mengenai Undang
Undang Keistimewaan Yogyakarta (UUK), terjadi perubahan yang sangat
signifikan dalam hal penguasaan tanah di wilayah ini. Konsekuensi UUK tersebut
adalah dinyatakannya Kasultanan/Pakualaman menjadi badan hukum khusus
sehingga dapat memiliki tanah. Badan hukum ini bernama Badan Hukum Warisan
Budaya dan bersifat swasta. Sejak saat itu, pihak keraton Yogyakarta mulai
menginventarisir kepemilikannya atas tanah yang didasarkan pada Rijksblad No
16 dan No 18 tahun 1918. Rijksblad itu berbunyi: “Sakabehing bumi kang ora ana
tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi
kagungane keraton ingsun”, artinya, “semua tanah yang tidak ada bukti
kepemilikan menurut hak eigendom (hak milik, menurut UU Agraria 1870), maka
tanah itu adalah milik kerajaanku”. Sesungguhnya, kedua Rijksblad itu sudah
157
Terdapat pada Bab III, hal. 155
184
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dihapus oleh Sri Sultan HB IX bersama DPRD melalui Perda DIY No 3 Tahun
1984 sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan Diktum IV
UU No 5 Tahun 1960 (UUPA). Namun dengan legalitas yang dimiliki keraton
dan disahkan dalam UUK, maka kedua
Rijksblad (yang sebelumnya sudah
dihapus oleh Sri Sultan HB IX) dihidupkan kembali.158
Dampak yang ditimbulkan dari pengaktifan kembali Rijksblad tersebut
adalah mekanisme pengambilalihan kepemilikan tanah hutan, pantai, wedi
kengser, tanah desa, bahkan tanah yang ditempati oleh masyarakat. Untuk tanah
yang ditempati oleh masyarakat, bila hasil pemeriksaan menunjukan bahwa tanah
tersebut tidak bersertifikat, maka kepemilikannya akan beralih menjadi milik
Kasultanan/Pakualaman. Gerakan penertiban” tanah di Yogyakarta ini, sontak
menimbulkan banyak konflik. Kasus Budiono, kasus tanah di wilayah
Suryowijayan, sengketa lahan pertanian di Kulon Progo, penataan pantai
Parangtritis, dan penyediaan lahan bagi pembangunan bandara di Kulon Progo,
adalah sederet dari beberapa kasus lainnya. Pengaktifkan kembali Rijksblad oleh
pihak Kasultanan/ Pakualaman, bagi sebagian pihak dianggap telah menjadikan
Yogyakarta berada pada kondisi darurat agraria. Tarik menarik kepentingan antara
Badan hukum dari Kasultanan/Pakualaman yang telah disahkan oleh Negara,
dengan masyarakat pun tidak dapat terhindarkan. UUK dianggap menjadi
semacam imunitas, hukum khusus yang memberikan kewenangan dalam
pengaturan masalah tanah. Sehingga mulai tahun 2012, permasalahan tanah di
Yogyakarta, telah diatur dalam peraturannya sendiri. Tidak mengikuti hukum
158
Gerakan Masyarakat Penerus Amanat Sultan HB IX, UU KEISTIMEWAAN DIY DAN HAK RAKYAT
ATAS TANAH YANG DIJAMIN UUPA, http://selamatkanbumi.com/darurat-agraria-yogyakartatinjauan-hukum-atas-situasi-terkini (diakses: 28 Maret 2016)
185
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
positif, yang diatur dalam Undang-udang Agraria yang berlaku secara nasional.
Bahkan keputusan serta eksekusi tanah di wilayah ini pun, melibatkan pihak
Badan Pertanahan Negara (BPN) Yogyakarta.
Bagi masyarakat yang langsung terlibat dengan permasalahan agraria
(pertanahan) dengan pihak Badan Hukum Warisan Budaya, mereka tahu dampak
lain dari status keistimewaan Yogyakarta. Lantas bagaimana dengan masyarakat
umum lainnya? Di sini lah letak kesenian, semacam lakon Magersari bekerja.
Dengan memberi pemahaman bahwa status tanah dari keraton adalah sepenuhnya
milik Raja, lakon ini membentuk blok historis pada khalayak penontonnya.
Masyarakat (khususnya penonton) diberi wejangan mengenai status tanah
Magersari yang menjadi bagian dari milik keraton, sebagai tanah yang
difungsikan bagi kemaslahatan masyarakat. Pesan khusus mengenai hal itu bisa
didapati pada cuplikan dialog yang dituturkan oleh tokoh Raden Surya, terutama
kala ia mendapati Jaya Kenthus hendak menaikan uang sewa Magersari.
Demikian dibawah ini cuplikannya:
Beine Kenthus. Nggonmu tak percaya ngrumat lemah sing dinggoni
para Magersari iki, jebul ming kok anggo piranti nggonmu arep
kemaki lan sewenang-wenang! Mangka kowe ngerti. Lemah iki
paring ndalem Ingkang Sinuwun marang aku. Lan kowe sing tak
percaya ngrumat. Ning kena apa kok salah gunakke dinggo numpuk
kesugihan? Apa kowe lali nek Ingkang Sinuwun ora tau gawe cilaka
lan sengsarane kawula? ...Coba etungen. Pira akehe siti kagungan
ndalem sing dililakke dinggo kawigatene kawula? Pira akehe
sekolahan, rumah sakit, pasar lan papan liyane sing dibangun neng
sak ndhuwure siti kagungan ndalem Ingkang Sinuwun?”
(Bei Kenthus. Kau aku percayakan untuk merawat tanah yang
didiami oleh para Magersari ini, tapi ternyata hanya kau pakai untuk
alat kesombongan dan kesewenang-wenangan! Kau tahu. Tanah ini
diberikan oleh Ingkang Sinuwun padaku. Dan kau lah yang aku
percaya untuk merawatnya. Namun mengapa kau salahgunakan
untuk menumpuk kekayaan? Apakah kau lupa bila sesungguhnya
Ingkang Sinuwun tidak pernah ingin membuat celaka dan sengsara
rakyatnya? Coba hitunglah. Berapa banyak tanah milik ndalem yang
186
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
direlakan untuk kepentingan rakyat? Berapa banyak sekolah, rumah
sakit, pasar dan bangunan lainnya yang dibangun di atas tanah milik
ndalem Ingkang Sinuwun?)
Kalimat Raden Surya mengenai penggunaan tanah yang dipergunakan
untuk sekolah, rumah sakit, pasar dan banyak bangunan fasilitas umum lainnya,
memang tidak dapat dibantah. Namun kita tidak dapat menutup mata bahwa
Badan hukum Warisan Budaya yang bersifat swasta, mengambil peran untuk
mengelola tanah bagi kepentingan ekonomi, dari skala kecil hingga skala besar.
Kepentingan ekonomi skala besar yang melibatkan provinsi Yogyakarta, salah
satunya adalah pemberlakukan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI). MP3EI yang pada pokoknya bertumpu pada upaya untuk
melakukan reorganisasi ruang dalam rangka memperlancar interaksi dan aliran
kapital, barang dan tenaga kerja untuk aktivitas produksi-konsumsi.159 Masuknya
Yogyakarta dalam skema MP3EI yang berskala nasional, mau tidak mau membuat
wilayah ini menyiapkan segala sesuatu yang mendukungnya. Upaya untuk
menyediakan “lahan” adalah salah satunya. Sebagian dari lahan ini adalah lahan
yang disengketakan, misalnya lahan tambang, lahan ruang distribusi dan
transportasi (salah satunya bandara), lahan perhotelan dll.
Kehadiran MP3EI mempertegas pola pembangunan ekonomi dan
industri Indonesia yang semakin berjalan ke arah melayani korporasi
raksasa dan memfasilitasi pasar bekerja. MP3EI dan
mendayagunakan struktur birokrasi pemerintah menjadi panitia
pelaksana di tingkat nasional, propinsi, hingga kabuapten. Dalam
kasus pembangunan infrastruktur, semakin terlihat bahwa
infrastruktur memang telah bergeser fungsi, oleh siapa dia dilakukan,
dan untuk apa dia dibuat. Jika dulu diasumsikan bahwa infratsruktur
merupakan barang publik yang wajib disediakan oleh pemerintah
159
Noer Fauzi Rachman dan Dian Yanuardy, 2014, Dapatkah Indonesia Bebas dari Kutukan
Kolonial? (Refleksi Kritis atas MP3EI) Working Paper Sajogyo Institute No. 16, Sajogyo Institute,
Bogor, hal. 3
187
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
untuk keselamatan dan kesejahteraan rakyat, maka kini infrastruktur
adalah barang publik yang disediakan oleh negara maupun korporasi
dan digunakan utamanya untuk kepentingan industri. Apalagi,
pembangunan infrastruktur dilakukan dengan cara memangkas
subsidi rakyat dan menambah hutang di satu sisi, dan memberi
berbagai macam fasilitas dan insentif kepada para pengusaha di sisi
lain.160
Latar belakang penyusunan MP3EI, dimulai dengan adanya kebijakan
Asean China Fair Trade Area (ACFTA). Pada kebijakan ini,
diberlakukan
pembebasan 8626 pos tarif perdagangan antara Indonesia, China, dan 5 negara
ASEAN lainnya di tahun 2004, kemudian secara bertahap terus dilakukan hingga
puncaknya bertambah sebanyak 1696 pos tarif di tahun 2010. Di pasar industri,
Indonesia kalah menghadapi hasil industri China. Di sinilah Indonesia mengalami
kerugian berupa deindustrialisasi. Respon pemerintah terhadap kondisi itu, adalah
dengan mencari jalan lain, demi menaikan posisi ekonominya. Maka disusunlah
MP3EI. MP3EI disusun berdasarkan optimisme pemerintah dalam melihat posisi
Indonesia di mata internasional. Diharapkan keberadaan masterplan ini
mendorong visi Indonesia menjadi 10 negara terbesar dunia di tahun 2025.
Program ini memetakan dan menciptakan Koridor Ekonomi Indonesia, yang
terdiri dari 6 (enam) pusat ekonomi di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku-Papua, Bali-Nusa Tenggara. Visi yang diusung adalah Locally Integrated
Globally Connected. Strategi yang diterapkan adalah menghubungkan antar pusat
ekonomi (termasuk daerah terpencil), agar terbangun hubungan ekonomi yang
efektif. Mengusung keterhubungan secara global, MP3EI memberi peluang yang
besar kepada investasi asing. Dalam MP3EI, fokus pembangunan infrastruktur
berorientasi kepada sektor besar, BUMN, BUMD dan swasta besar. Di antaranya
160
Noer Fauzi Rachman dan Dian Yanuardy, 2014, hal.3-4
188
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengenai kebijakan pro-liberalisasi, karena kebutuhan dana yang mencapai 4000
T sampai tahun 2004. 161
Permasalahan tanah di wilayah Yogyakarta, salah satunya Magersari,
masuk dalam skema pembahasan kepentingan yang jauh lebih besar, dari sekedar
isu lokal. Penerapan program dari MP3EI, mau tidak mau menjadikan isu lokal ke
dalam skenario kepentingan global. Masuknya investasi asing, atas nama program
percepatan pembangunan nasional, mendorong para pemilik asset lokal untuk
menyediakan diri dalam roda kerja global. Lakon Magersari, memang tidak
langsung menyasar pada pembicaraan mengenai program ekonomi nasional atau
menyentuh tataran perbincangan mengenai kepentingan pasar global. Namun
melalui bahasa dan seni lokal, (pendukung) lakon ini ikut andil untuk membentuk
konsensus yang diamini dan dianggap sebagai kebutuhan oleh masyarakat.
Lakon ini hadir pada masa Undang-undang keistimewaan sedang panas
dibicarakan oleh banyak orang. Kita tidak bisa untuk tidak menghubungkannya
dengan permasalahan ini. Terlebih lagi judul dan tema yang diangkat ke atas
panggung pertunjukan, sangat bertautan dengan apa yang terjadi di Yogyakarta
pada kala itu. Kita tidak bisa menutup mata, melihat bahwa lakon ini ada “dalam
rangka”
status
keistimewaan
Yogyakarta.
Bondan
Nusantara
sendiri
mengakuinya. Sehingga dalam kaca mata hegemoni, lakon ini ikut dalam
mekanisme blok historis: melalui jalan kesenian, masyarakat )khususnya khalayak
penonton) diajak untuk membangun kesadaran, sekaligus konsesus bersama.
Pembangunan konsensus berupa: mengakui bahwa titah raja mengenai
pemberlakuan Riksblad, pengambilalihan tanah dan kebijakan yang berkaitan
161
Sumber: KASTRAT, http://km.itb.ac.id/site/kajian-pro-kontra-mp3ei-bagi-pembangunanindustri-nasional (diakses: 28 Maret 2016)
189
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan kepentingan ekonomi global adalah keputusan berorientasi pada
kemaslahatan masyarakat Yogyakarta secara umum.
D. Intelektual Tradisional dari Ranah Tradisional
Membicarakan secara panjang lebar mengenai kethoprak, khususnya lakon
Magersari dan Ledhek Bariyem, terus terang membuat saya terseret pada semesta
pertanyaan mengenai apa yang diimpikan manusia Jawa pada masa lalu, dan tetap
dihidupkan dimasa sekarang ini. Pertanyaan selanjutnya yang muncul dalam
benak saya adalah: masih relevankan kah? Terlebih lagi bila semangat kethoprak,
baik yang dipentaskan di atas panggung pertunjukan maupun melalui tutur para
seniman yang terlibat di dalamnya, terkesan masih berupaya kritis terhadap
permasalahan sosial politik pada masa sekarang ini.
Sejarah kethoprak memperlihatkan, betapa kesenian ini tidak pernah lepas
dari konteks sosial politik yang terjadi di masyarakat, di setiap jaman. Dimulai
dari masa penjajahan Belanda, kesenian dicurigai sebagai bagian dari gerakan
subversif. Hingga sempat mengalami pelarangan pertunjukan. Lantas pada masa
penjajahan Jepang, kethoprak dipakai sebagai alat propaganda “saudara tua”, guna
mengajak rakyat Indonesia untuk memusuhi para bangsawan yang pro penjajah
Belanda. Konflik horizontal diciptakan melalui kethoprak. Masuk pada masa Orde
Lama, saat Soekarno menduduki jabatan presiden, lanskap kesenian terbagi dalam
2 (dua) kelompok besar, yaitu: Lembaga Ketoprak Nasional yang berafiliasi
dengan PNI, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang berafiliasi dengan
PKI. Di masa itu, kethoprak menjadi salah satu kesenian penting yang digunakan
190
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagai ala pendidikan politik dan budaya rakyat. Hingga pada tahun 1965,
seniman dan komunitas kethoprak yang berada dalam naungan LEKRA menerima
dampak dari peristiwa besar di tahun tersebut. Mendadak kondisi politik itu,
memaksa para seniman kethoprak untuk absen sementara waktu.
Lantas kepemimpinan berganti, rejim Orde Baru menerapkan gaya politik
budaya yang berbeda. Hampir semua wilayah kehidupan, tak terkecuali kesenian,
diawasi secara ketat. Tidak boleh ada ruang bagi ideologi “terlarang” yang masuk
dalam
ranah
kesenian.
Kethoprak
menjelma
menjadi
alat
propaganda
pembangunan Orde Baru. Terbukti dengan berkembangnya 2 (dua) kelompok
kethoprak yang dihidupkan dan dibesarkan oleh organ-organ militer penguasa.
Pesan dan laku lakon yang dipentaskan harus sesuai misi kekuasaan. Ketika rejim
Orde Baru tumbang, dan Soeharto lengser ke prabon, momen ini dirasa menjadi
angin segar. Kethoprak perlahan mulai mencari format yang sesuai dengan
masyarakat dan masanya. Dinamika perjalanan kesenian ini, seperti yang sudah
dipaparkan sebelumnya, mengalami proses yang naik-turun serta lancar-tersendat.
Akan tetapi dari kesemuannya, kethoprak hampir selalu memasukkan isu
kehidupan masyarakatnya, salah satunya politik.
Menilik kembali sejarah kethoprak, dari semenjak penjajahan Belanda,
hingga seterusnya, peran seniman, sama pentingnya dengan peran-peran para guru
di setiap masanya. Kethoprak pada masa sebelum Orde Baru khususnya,
mengambil posisi penting dalam transformasi pengetahuan. Baik sosial, politik
maupun budaya. Khusus bagi masyarakat penutur bahasa Jawa. Seniman sebagai
salah satu corong kesenian, mengambil posisi sebagai pendidik dan pengemban
191
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
amanat untuk menyebarluaskan wacana, baik yang dipikirkannya secara mandiri,
maupun yang dihasilkan dari buah pikir pihak lain.
Mengenai penyebarluasan buah pikir yang dihasilkan oleh pihak lain,
kethoprak tidak bisa menghindarinya. Sebagai kesenian yang dekat dengan rakyat,
kethoprak acapkali diposisikan sebagai media untuk menyebarluarkan pandanganpandangan tertentu. Tidak hanya pandangan yang berasal dari kearifan ajaran
budaya Jawa. Pada pembahasan mengenai seniman ini, ada baiknya kita menunda
untuk melihat kedua lakon yang menjadi titik sentral dalam penelitian ini. saya
ingin mengajak untuk melihat porsi seniman dalam gerak kesenian mereka, dan
sejauh mana posisi mereka dapat mempengaruhi pola pikir maupun pola perilaku
khalayak penontonnya.
Apalah artinya kesenian bila sekedar menghadirkan diri, untuk kesenian
semata? Pernyataan itulah yang dimaksud Chernyshevsky. Ada dampak lebih
besar, yang disasar oleh kesenian. Baik untuk tujuan ideal semacam pengabdian
pada kemanusiaan, perubahan kondisi sosial politik yang lebih baik, maupun
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam proses penciptaan karya,
seniman kethoprak tidak bisa lepas dari iklim sosial politik masyarakatnya.
Perjumpaan-perjumpaan dengan realitas yang dihadapi sehari-hari akan berakhir
di ruang-ruang pertunjukan ataupun lembar-lembar kesaksian yang diungkapkan
melalui kata dan naskah kethoprak. Realitas yang dihadapi masyarakat tidak akan
diabaikan hanya untuk nilai murni seni semata.
Peran seniman kethoprak sangat penting pada proses penyebaran pesan.
Pesan-pesan tersebut, disampaikan berdasar kesadaran bahwa jalan afeksi yang
paling strategis adalah melalui seni. Ari Purnomo, penulis naskah dan sutradara
192
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ledhek Bariyem mengatakan bahwa kethoprak semenjak dahulu sudah menjadi
salah satu media pendidikan politik. Pendidikan politik yang disampaikan dalam
lakon-lakon kethoprak berkisar pada pembicaraan mengenai konflik kekuasaan
dan kemasyarakatan. Kethoprak, menjadi media kritik yang tepat bagi
masyarakatnya. Selanjutnya, ia mengatakan “orang Jawa kan suka sekali memberi
kritik atau masukan dengan perumpamaan-perumpamaan dan cara yang halus,
sehingga yang dikritik tidak akan merasa sakit hati. Nek neng Jowo ki yo, oleh
nabok neng ojo loro” (Dalam Jawa, boleh memukul namun jangan sampai
sakit).162
Ari yakin, bahwa masyarakat Jawa (seperti halnya masyarakat etnis
lannya) memiliki mekanismenya sendiri untuk melakukan kritik dan membangun
pemahaman antar mereka. Sedangkan Bondan Nusantara menyatakan bahwa
pementasan lakon Magersari adalah media yang strategis untuk menyampaikan
pesan tertentu kepada masyarakat (penontonnya). Bagaimana tidak? Kethoprak
memiliki tempat yang istimewa di hati penggemarnya. Sehingga tidaklah sulit
bagi para seniman dan pegiat kesenian ini untuk menyampaikan pesan melalui
pertunjukan mereka. Mekanisme transfer ini jelas lebih disukai karena format
hiburan dari kethoprak. Bondan menegaskan bahwa ketik mementaskan
kethoprak, “pasti ada sesuatu yang ingin saya sampaikan di luar konteks cerita.
Bila seniman lain hanya ingin menggarap cerita kethoprak menjadi bagus (tanpa
pesan tertentu). Saya tidak begitu. Saya selalu menggarap cerita kethoprak sebagai
sarana untuk menyampaikan apa yang sedang kita gelisahkan”.163
162
163
Terdapat pada Bab III, hal. 157
Terdapat pada Bab III, hal. 170
193
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Seperti pernyataan Chernyshevsky, perihal kegunaan seni untuk seni,
Bondan pun seturut dengannya. Seniman tersebut mengatakan bahwa dirinya
tidak melulu menaruh kesenian hanya sebagai kesenian, akan tetapi kesenian
ditempatkan sebagai senjata untuk mendidik rakyat, melalui bahasa mereka
sendiri. Mendidik rakyat melalui bahasanya sendiri, menjadi kata kunci dari peran
para seniman dari kedua lakon itu. Bahasa adalah senjata. Bahasa inilah yang
disampaikan dari atas panggung pertunjukan kepada khalayak penontonnya.
Seperti yang sudah dinyatakan berkali-kali dalam sub bab ini. Pesan dengan
bahasa tertentulah yang disampaian dan diharapkan dapat ditanggapi, sesuai
dengan konsep para pemberi pesan. Dalam hal ini seniman. Seniman menjadi
agen penting dalam penyampaian pesan tertentu. Melalui mereka lah,
pembangunan pemahaman berupa blok historis dalam kerangka kerja hegemoni
dapat terwujud.
Pada konsep hegemoni Gramsci, para intelektual tradisionallah yang
berperan menjadi agen membawa ideologi. Para inteletual ini bekerja secara
kolektif di dalam sistem dan lembaga kerja keagamaan, pendidikan ataupun
kebudayaan. Dalam penelitian ini, kethoprak menjadi salah satu lembaga kerja
kebudayaan. Mekanisme kerja hegemoknik dimulai dengan blok historis yang
dibentuk oleh seniman maupun komunitas. Di sini diciptakan bangunan sejarah,
yang memblok pengetahuan lainnya, yang diasa mengganggu kerja hegemoni.
Ideologi disebarkan melalui seni. Seni dan seniman menanamkan doktrin dari
kelas penguasa melalui karyanya.
Kita ambil contoh kasus Tolstoy seorang sastrawan dari Rusia. Pada suatu
waktu Tolstoy diminta untuk menaikkan citra Stalin melalui naskah dramanya.
194
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Karena Stalin sadar bahwa dirinya tidak akan bisa mengenyampingkan seni
sebagai alat penggerak yang massif. Ia menggunakan seni sebagai alat untuk
meraih simpati dan menggalang kekuasaannya. Ia menerapkan hegemoni dominan
melalui tangan seniman dan kesenian. Seni tidak dipandang sebagai hiburan
semata, akan tetapi juga sebagai sebuah kebutuhan, layaknya ideologi. Ideologi
akan dipercayai, dipegang dan dijalankan, baik secara sadar maupun tidak.
Dalam konteks lakon Magersari maupun Ledhek Bariyem, secara sadar
para seniman (walau tidak bisa dipastikan bahwa semuanya) posisi mereka
sebagai penyebar pesan. Bila Gramsci mengkategorikan mereka sebagai para
inteletual, maka dalam skema hegemoni, khususnya hegemoni dominan, para
seniman kethoprak yang mendukung kedua lakon ini, masuk dalam kategori
inteletual tradisional. Mereka hadir untuk mengukuhkan doktrin dan dominasi dari
kelas penguasa, terhadap kelas yang didominasi. Blok historis dikawal sedemikian
rupa, untuk menghambat pengetahuan lainnya, selain doktrin tadi. melalui pesan
yang dipertunjukan di atas panggung, kesadaran khalayak penoton dibentuk,
untuk mencapai consensus, yang mengakomodir kepentingan kelas penguasa.
Seperti yang disebuatkan sebelumnya, interletual tradisional ini, bergerak di
dalam institusi keagamaan pendidikan hingga kebudayaan. Maka tidak
mengherankan bila dalam kethoprak yang merupakan bagian dari kebudayaan
masyarakat Jawa, lahirlah intelektual tradisonal. Intelektual tradisional dari ranah
kesenian tradisional.
E. Konsensus Hegemoni di Ruang Seni Tradisi
195
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hubungan lokal dengan global sepertinya mustahil untuk dipisahkan.
Seperti yang sudah saya paparkan pada bab II, kesenian yang lahir di wilayah
lokal semacam sastra dan teater dikategorikan pun tidak dapat menghindarkan diri
dari untuk menjadi bagian dari seni dunia. Perkembangan setiap ranah kesenian
tersebut tidak lepas dari kecenderungan fenomena dan tren global. Pada ranah
sastra, semangat untuk membicarakan identitas menjadi sebuah oase bagi semesta
pembahasan kesenian ini. Pada masa Orde Baru tema tertentu tidak memperoleh
kesempatan untuk muncul. Alasannya karena kesenian ini acapkali melancarkan
kritik tajam terhadap rejim. Lantas pada pasca reformasi, para sastrawan sangat
memanfaatkan
kebebasannya.
Mereka
tal
lagi
takut
bergiat
untuk
merepresentasikan identitas dan persoalan sosial-politik-budaya. Tak terkecuali
permasalahan global dalam bentuk karya sastra dengan isu ‘universal’. Isu-isu
seputar sastra poluler yang bertema religi, atau pun sastra serius yang bertema
seksualitas, mendesak masuk dan saling berbaur tanpa batas yang jelas selain itu,
karya berlatar ruang global, berupaya memanjakan mimpi khlayak pembacanya,
mengenai kehidupan tanpa batas di ruang-ruang global.
Pada kesenian teater, didapati kondisi yang hampir mirip dengan kesenian
lainnya. Pada masa Orde Baru, kesenian ini sama berjuang dan mengkritik keras
ulah rejim pada negara dan rakyatnya. Pada masa reformasi, orientasi pun mulai
berubah. Tidak lagi mengutuki musuh bersama, namun mulai mencari arah
pembicaraan yang berangkat dari konteks masyarakatnya. Konteks masyarakat di
sini tidak melulu lahir dari wilayah lokal, namun juga mengusung isu global.
Derasnya bantuan dana dari lembaga-lembaga pendanaan internasional, memberi
peluang bagi seniman dan komunitas kesenian ini untuk perdebatkan
196
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
permasalahan universal mengenai kemanusiaan, baik di ruang lokal maupun
global.
Langkah menuju global, baik secara geografis maupun wacana, dalam
wilayah kesenian modern menjadi sebuah hal yang wajar. Kala gerak globalisasi
masuk ke wilayah ekonomi, sosial, politik, budaya dan bahkan kesenian,
perubahan dalam proses berkarya, maupun hasil karya seni pun akan sangat
lumrah terjadi. Globalisasi sendiri, tidak dapat terlepas dari mekanisme pasar
dunia. Kebijakan di banyak negara tidak sepenuhnya dapat lepas dari pusaran
kepentingan pasar global. Globalisasi sebagai sebuah mekanisme yang
mengandalkan keterhubungan ekonomi, politik, maupun budaya, banyak
menerima gugatan, oleh karena dampak buruk yang diakibatkan olehnya.
Globalisasi sering dipersalahkan karena dianggap mengkhianati demokrasi,
menaikan
tingkat
kemiskinan,
menurunkan
tingkat
kesejahteraan,
juga
melunturkan nilai tradisi etnis tertentu.
Mengenai lunturnya nilai tradisi bangsa, pembangunan (modernisasi)
dianggap
menjadi
kontra-produktif.
Globalisasi
yang
bergerak
melalui
pembangunan dan modernisasi dianggap sebagai perusak sejarah dan tradisi, serta
mendistorsi normativitas etnis. Modernisasi menyaratkan homogenisasi untuk
menjalankan dan memudahkan jalannya pembangunan. Apa yang menyangkut
etnisitas disingkirkannya, tradisi yang dianggap kuno, tidak efisien, bahasa yang
tidak mampu menyerap manfaat pembangunan dan menyebarkannya, sehingga
197
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
orang etnis dipaksa memahami bahasa modern yang dengan sendirinya mengikis
bahasa ibunya.164
Dalam gelombang besar globalisasi, tidak ada lagi batas geografis antara
satu wilayah dengan wilayah lainnya. Gerak ekonomi, sosial, politik dan budaya
dapat masuk dan menyebar dengan mudahnya, melalui mekanisme globalisasi.
Penetrasi nilai-nilai global hadir pada ruang-ruang budaya lokal. Globalisasi pada
tingkat lanjut kemudian menciptakan deteritori kebudayaan. Budaya global
memberikan pilihan yang jauh lebih beragam dan menggiurkan dibandingkan
budaya lokal. Hal tersebut jelas mengancam kebudayaan lokal. Sehingga pada
tahap selanjutnya, keluaran yang dihasilkan adalah kearifan yang mengarah pada
kearifan global, bukan kearifan lokal lagi. Irwan Abdullah melihatnya sebagai
potensi masalah yang timbulkan globalisasi, yaitu kala kebudayaan tradisi atau
daerah harus mengalami akibat-akibat sampingan dari adanya gerakan
modernisasi yang dibawa oleh negara dan pasar. Kebudayaan harus menerima
akibat dari proses perubahan sistem politik dan ekonomi yang berlangsung begitu
cepat. 165
Di sisi lain, posisi biner antara yang tradisi dan modern, serta yang lokal
dan global, dikritik oleh Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A. Menurutnya,
pembangunan dan kemodernan acapkali dipahami sebagai sesuatu yang datang
dari luar, sedangkan “tradisi, nilai, norma, agama dan hasil budaya lokal masingmasing” sebagai sesuatu yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia sebagai 2 (dua)
hal yang saling bertentangan. Keadaan “mempertahankan tradisi dan budaya
164
Ubed Abdillah, 2002, Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Indonesia Tera,
Magelang, hal. 81
165
Irwan Abdullah, (2015),hal.
198
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lokal” selalu ditempatkan sebagai sesuatu yang harus dipaksakan ada ketika
masyarakat akan “mengikuti arus modernisasi”, bukan sebagai salah satu kesatuan
dari proses modernisasi itu sendiri.166
Kegelisahan mengenai tergerusnya posisi kesenian lokal, seperti
kethoprak, beserta nilai-nilai tradisinya, banyak diungkapkan oleh Bondan
Nusantara, Ari Purnomo, Baso Rangga dan Herwiyanto. Maka upaya-upaya
mereka sebagai seniman kethoprak, acapkali dimotivasi untuk nguri-uri
kabudayan. Kekhawatiran akan hilangnya minat, baik dari seniman maupun
penonton terhadap kethoprak, sepertinya cukup beralasan. Seperti yang
diceritakan Ari Purnomo mengenai gelombang naik turun kethoprak di beberapa
masa, memicu kegelisahan mereka (seniman). Ada berbagai macam cara bertahan
yang dilakukan, demi tetap hidup (di) dan menghidupkan kethoprak. Biaya
produksi kethoprak yang sangat mahal, proses produksi yang memakan waktu
lama, dan persaingan dengan kesenian-kesenian modern lainnya, adalah sederet
masalah yang harus diselesaikan. Hingga pada kisaran tahun 2000an, terjadi masa
“pencerahan” bagi kethoprak, khususnya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Implikasi dari pengesahan status keistimewaan Yogyakarta, memberi peluang
yang cukup baik pada pendanaan kegiatan kebudayaan (kesenian). Hal tersebut
dianggap sebagai jawaban atas permasalahan (pendanaan), bagi sektor kesenian di
DIY, tak terkecuali kethoprak.
Permasalahan yang membelit kelangsungan hidup kesenian ini, sedikit
banyak, telah terpecahkan. Pendanaan merupakan dukungan penting dari
166
Prof, Dr. Bambang Purwanto, M.A, dalam Seminar nasional “Pembangunan Dalam Perspektif
Kebudayaan” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta 6-8 Desember 2015.
199
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pemerintah daerah. Herwiyanto menyatakan bahwa sekitar 3-4 tahun belakangan
ini, masyarakat Yogyakarta sedang mendem sekaligus dimanjakan dengan
pertunjukan kethoprak. Lantas dengan arus pendanaan dari pemerintah daerah,
apakah seniman dan komunitas kethoprak dapat memelihara kemandirian dan
kekritisannya? Belajar dari pengalaman di masa lalu, kala rejim Orde Baru
menghidupkan kembali kethoprak dari mati surinya selepas peristiwa 1965,
kethoprak kehilangan independensi atas tema, pesan dan bentuk pertunjukan.
Sebagian komunitas kethoprak yang dilindungi oleh militer dan instansi
pemerintahan Orde Baru, bergerak sebagai perpanjangan tangan kekuasaan,
atasnama kampanye program pembangunan.
Lantas bagaimana dengan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem? Meski
berjejal dengan kritik sosial politik, keduanya tidak dapat melepaskan diri dari
kerangka kerja kekuasaan. Bukan lagi kekuasaan pusat, namun kekuasaan daerah.
Pada sub-bab mengenai tema Magersari, saya sudah memaparkan sedikit, dari
banyak temuan mengenai konteks sosial politik yang sedang terjadi pada masa itu.
Tercatat pada tahun 2011, kala Magersari dipentaskan, Yogyakarta sedang
menjadi wilayah yang cukup disoroti. Status keistimewaan Yogyakarta sedang
dipertaruhkan. Tidak hanya status yang dipertaruhkan, juga segala bentuk
kekayaan bendawi dan non-bendawi di wilayah ini.
Sebagian komunitas di Yogyakarta, ikut ambil sikap dan ambil bagian
untuk memperjuangkan keistimewaan ini. Mereka menggelar berbagai macam
acara dan kegiatan, untuk menjaring dukungan masyarakat terhadap penetapan
keistimewaan Yogyakarta. Tak terkecuali para seniman kethoprak dan komunitas
mereka. Dengan mengusung tema guyub rukun, dan membahas permasalahan
200
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Magersari, sepertinya kita tidak dapat menyanggah bila produk kesenian ini juga
ikut dalam konstelasi politik keistimewaan di Yogyakarta. Melalui lakon tersebut,
masyarakat diajak untuk tetap berada pada kondisi tenang dan damai. Tidak ikut
terlibat dalam konflik, baik konflik politik kepentingan pra/pasca pilkada, maupun
konflik yang berkaitan keistimewaan Yogyakarta. Masyarakat diberikan
pemahaman bahwa pemimpin, semestinya didengarkan dan dipatuhi. Pemimpin
menjadi ikon penting, yang menjadi panutan bagi seluruh rakyatnya. Sehingga
pemimpin yang ideallah yang semestinya menjadi pilihan (seperti dalam lakon
Ledhek Bariyem).
Maka semenjak Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta disahkan pada
tahun 2012, banyak pihak merayakannya. Keriaan ini nyatanya tidak dapat
dinikmati oleh sebagian orang. Dampak dari pengesahan ini, mulai mengena pada
banyak pihak. Dampak yang nampak adalah meningkatnya jumlah konflik tanah
di provinsi ini. Pemberlakuan kembali Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918,
mau tidak mau membuat beberapa pihak harus merelakan tanah beralih
kepemilikan atau penggunaan. Lahan hutan, pantai, wedi kengser, tanah desa
bahkan tanah tanpa sertifikat, akan beralih kepemilikan menjadi Hak Milik
Kasultanan/Pakualaman.
Peralihan kepemilikan tanah pada Kasultanan/Pakualaman yang berbadan
hukum khusus, dengan nama Badan Hukum Warisan Budaya, dikelola secara
swasta. Tanah atau lahan yang dimiliki pun, dikelola untuk kepentingan swasta.
Beberapa lahan itu diarahkan untuk penyediaan kegiatan ekonomi. Salah satunya
untuk mendukung program pemerintah pusat, yaitu Master Plan Percepatan
Pembangunan Indonesia (MP3EI). Seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya,
201
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
program ini merupakan bagian dari kerangka kerja global yang diikuti oleh
pemerintah Indonesia. Dengan membuka diri pada penanaman modal asing, dan
menyediakan kebutuhan negara lain melalui program ini, otomatis program adalah
salah satu bentuk globalisasi.
Melalui MP3EI, globalisasi mengantarkan pasar untuk mendapatkan
legitimasi dari kekuasaaan (negara) untuk memperlancar praktek kapitalismenya.
Cara pengelolaan globalisasi semacam ini telah mencabut sebagian besar
kedaulatan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Termasuk kemampuan
untuk membuat keputusan di bidang penting mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Hal tersebut tentu saja memperlemah demokrasi. 167 Budi Winarno,
dalam bukunya yang berjudul Globalisasi: Peluang dan Ancaman bagi Indonesia
mengatakan bahwa ketika perekonomian nasional suatu negara telah terintegarasi
pada pasar global, maka perekonomian ini tidak lagi dapat terbebas dari pengaruh
kekuatan politik dan ekonomi eksternal.168 Karena begitu pemerintah sebuah
negara memutuskan ikut dalam penerapan kebijakan pasar bebas (pasar global)
demi merebut peluang datangnya investasi dari luar, maka negara tersebut telah
memberikan kesempatan pada dirinya untuk bisa dipengaruhi oleh kekuatan dari
luar.
Lakon Magersari, dalam upayanya mendukung keistimewaan yang
bersifat lokal, pada kasus ini, telah ikut membuka pintu bagi pasar global. Isu dan
pesan yang dibawa, baik oleh Magersari: mengenai guyub rukun dan
keistimewaan, serta Ledhek Bariyem: mengenai kepemimpinan dan politik, sedikit
banyak menjalankan kerangka kerja hegemoni dominan. Semenjak pembentukan
167
168
Joseph E Stiglitz, 2007, hal. 56
Budi Winarno, 2008, Globalisasi: Peluang dan Ancaman bagi Indonesia, Erlangga, Jakarta
202
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
blok historis, dimana masyarakat diperkenalkan dengan blok pengetahuan (sesuai
misi dari seniman dan komunitas), hingga pengumpulan konsensus, berupa
produksi pemahaman yang diamini dan klaim sebagai kesadaran kolektif. Pada
poin ini, kesenian kethoprak menjadi alat bagi kelas penguasa. Kethoprak baik
disadari ataupun tidak, pendukung agenda kapitalisme global. Dukungan ini
menjadi bagian dari hegemoni dominan dari atas panggung seni tradisi. Dimana
mereka ikut serta dalam mendokrtin masyarakat melalui ideologi, sehingga pada
tahap selanjutnya, doktrin tersebut menjadi keinginan kolektif.
Tod Jones seorang ahli Antropologi asal Belanda, berpendapat
kecenderungan penggunaan produk budaya seperti kesenian, tidak lantas absen di
masa pasca reformasi. Selepas reformasi, terjadi proses desentralisasi politik dan
melemahnya pengaruh pemerintah pusat. Hal tersebut menciptakan peluang
adanya persaingan untuk merebut dominasi. Kesenian-kesenian daerah sedang
dihidupkan kembali melalui pertautannya dengan negara. Akan tetapi pada masa
sekarang ini, dukungan negara diberikan melalui unit baru yang lebih rendah,
terkait dengan etnis tertentu. Tidak lagi melalui pemerintah pusat seperti di Orde
Baru. Pada masa pasca reformasi, pemerintah telah mengurangi kontrol nya. Ada
banyak kesempatan bagi pihak non-elite untuk menggunakan budaya atau
kesenian sebagai alat untuk mempengaruhi keputusan politik dan sipil. 169
Dalam hal ini, melalui kedua lakon tersebut, kelas penguasa menggunakan
citra etnis Jawa, sebagai identitas bersama. Politik budaya seringkali dimainkan
oleh negara atau agen lainnya yang memiliki kekuasaan, guna memanipulasi
simbol-simbol etnisitas. Dalam penelitian yang berjudul Konstruksi Citra dalam
169
Tod Jones, 2015, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad Ke20 hingga Era Reformasi, KITLV-Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia-Jakarta, hal. 231
203
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Identitas Etnis, penggunaan simbol-simbol ini yang dikatakan oleh Waskito,
sebagai siasat budaya etnis.
170
Budaya etnis Jawa yang mengejawantah dalan
lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, dirasa bukan hal asing bagi masyarakatnya.
Pesan yang dibawa menjadi jauh lebih akrab dan mudah untuk dicerna karena
dekat dengan keseharian mereka. Melalui proses menonton, keterikatan identitas
etnis menjadi lebih mudah diciptakan, dibandingkan tidak melakukannya sama
sekali. Budaya yang sama, unggah-ungguh yang sama, bahkan bahasa yang sama
merupakan penghantar hegemoni dominan yang stategis.
Hegemoni dominan yang masuk melalui kepemimpinan budaya, telah
dinyatakan oleh Gramsci. Sepertinya memang sudah tidak jamannya lagi, untuk
memperoleh kepatuhan, persetujuan dan dukungan dari kelas yang didominasi
melalui cara koersi. Koersi selalu dianggap cara kuno, karena masih
mengandalkan kekerasan sebagai ujung tombak penaklukan. Terlebih pada masa
dimana perdamaian dikampanyekan untuk menjadi basis bagi tatanan kehidupan
bermasyarakat. Pelaku kekerasan akan dihujat dan dianggap sebagai pelanggar
kemanusiaan. Namun apakah setelah mekanisme koersi tidak berjalan, maka misi
penaklukan selesai? Sepertinya tidak. Gramsci mengatakan: akan selalu ada kelas
yang mendominiasi (kelas penguasa) dan kelas yang didominasi. Kelas yang
mendominasi memperoleh kepatuhan dari kelas yang didominasi dengan jalan
hegemoni dominan. Hegemoni dominan akan sangat berbahaya, apabila ideologi
kelas penguasa menjadi sesuatu yang “alamiah”, tanpa perlu dipertanyakan lagi.
Dalam kategori hegemoni dominan Gramsci, hegemoni semacam itu
masuk dalam kategori hegemoni minimum. Hegemoni ini bersandar pada
170
Waskito, 2003 , Konstruksi Citra dalam Identitas Etnis, Jurnal Sejarah Tahun Kesembilan
Nomer 1, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang , Malang
204
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kesatuan ideologis para elit ekonomis, politik dan intelektual semata. Masyarakat
(kelas yang didominasi) telah bersikap apatis, untuk ikut campur tangan dalam
merumuskan kehidupan bersama. Hingga pada akhirnya, semua arah hegemoni
ditentukan mutlak oleh kelompok penguasa. Sejauh ini, sebagian masyarakat
Yogyakarta nampaknya tidak benar-benar berada dalam kategori hegemoni
minimum. Mereka dengan kritis menolak untuk sepenuhnya patuh pada
keputusan-keputusan yang merugikannya. Hal itu diperlihatkan munculnya
inisiatif gerakan-gerakan masyarakat, terutama masyarakat yang terdampak
hegemoni dominan, salah satunya melalui kebijakan pembangunan.
F. Hegemoni Tandingan: (Potensi) Bangkit dari
Keterjerembaban
Bila pada proses pencetusan ide, niatan lakon Magersari dan Ledhek
Bariyem terkesan beroposisi dengan kekuasaan dan segala pengaruh globalisasi,
namun temuan pada penelitian ini berbicara beda. Beberapa responden, seperti Ari
Purnomo, Herwiyanto serta Baso Rangga secara lantang menyatakan bahwa
kethoprak hadir untuk menjadi anomali di antara sekian banyak seni modern yang
membawa pengaruh global, dan mengganggu tatanan kesenian lokal, seperti salah
satunya kethoprak. Namun kenyataannya, keinginan untuk meng-konter
pengaruh-pengaruh tersebut, tidak secara konsisten dapat diwujudkan. Diakui atau
pun tidak, mereka belum benar-benar dapat berhasil menjadikan kethoprak,
terutama yang direpresentasikan melalui lakon Magersari dan Ledhek Bariyem,
205
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
untuk kembali sebagai kesenian mainstream dan menjadikannya kiblat hiburan
dan pendidikan rakyat. Alih-alih melawan, keduanya pada titik tertentu
mengadopsi nilai-nilai yang ditawarkan oleh pihak kelas penguasa. Pada titik ini,
kedua lakon tersebut, belum dapat untuk mencapai posisi (belum bisa dikatakan
gagal) sebagai hegemoni tandingan, dari globalisasi dan kekuasaan. Keduanya
terjerembab dalam pola-pola lama. Yaitu menjadi salah satu kesenian yang
mendukung kelas penguasa.
Lakon Magersari, maupun Ledhek Bariyem, belum benar-benar mampu
keluar dari lubang dominasi kekuasaan. Kethoprak berupaya keras untuk menjadi
kesenian yang kritis, namun masih juga kesulitan mengatasi dan melepaskan diri
dari meknisme media penyampai kepentingan tertentu. Kethoprak belum mampu
melepaskan diri dari kepentingan kekuasaan yang masih sering menggunakan
mereka, (kethoprak dan senimannya) sebagai inteletual tradisional. Alih-alih
melakukan
perlawanan,
kesenian
acapkali
terjerembab
dalam
upaya
mengukuhkan hegemoni dominan. Baik yang dibawa oleh penguasa maupun
kepentingan pasar dalam globalisasi.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab I, Femia membagi hegemoni
dominan menjadi 3 (tiga) tingkatan, berupa Hegemoni integral, decadent, dan
minimum. Pada hegemoni integral,
terdapat afiliasi massa yang mendekati
totalitas. Dimana terdapat persatuan moral dan intelektual yang kokoh, dan
organis antara kelas penguasa dan kelas yang didominasi. Tidak ada hubungan
antagonis di antara keduanya. Pada hegemoni decadent, terdapat penanaman
hegemoni, ternyata masih menyisakan celah dan masalah. Hegemoni ini
berpotensi disintegrasi. Sedangkan hegemoni minimum adalah terdapat kondisi
206
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politik dan intelektual. Kelas yang
didominasi mengabaikan pernnya dalam urusan kehidupan bersama. Semua arah
hegemoni ditentukan oleh kelompok penguasa.
Pembagian hegemoni dominan tersebut berdasar pada tanggapan kelas
yang didominasi (masyarakat). Hegemoni dominan dapat saja dikatakan berhasil,
namun dengan tingkatan yang berbeda-beda. Pada hegemoni integral, tidak
didapatkan masalah yang berarti pada mekanisme penanaman doktrin dari kelas
penguasa. Hegemoni lahir karena kebutuhan keduanya, dan bergerak secara
organis. Pada hegemoni decadent, kondisi hegemoni terlihat baik-baik saja.
Namun sebagian dari kelas yang didominasi mulai merasakan represi, dan
berpontesi terjadinya sikap melawan pada hegemoni. Lain lagi dengan hegemoni
minimum, hegemoni ini adalah tingkat hegemoni ideal yang diingin oleh kelas
penguasa. Pada hegemoni ini, kelas yang didominasi menyerahkan segala
keputusan pada kelas penguasa. Kelas yang didominasi tidak lagi berkeinginan
memikirkan berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka.
Tingkatan paling penting yang menjadi pokok pemikiran Gramsci adalah
hegemoni decadent. Tingkat dimana kelas yang didominasi mengalami
kegelisahan atas hegemoni yang dilakukan oleh kelas penguasa. Pada hegemoni
ini, kelas yang didominasi berpeluang melakukan pemberontakan atau tandingan.
Konsep penting ini dipikirkan Gramsci sebagai dasar perlawanan masyarakat yang
tertindas atau kelas yang didominasi. Hegemoni tandingan (counter hegemony)
adalah jalan keluar, bagi kondisi yang sebelumnya telah dianggap lumrah. Pada
titik ini, kelas yang didominasi mulai menyusun kesejarahan atas perlawanannya.
207
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kelas yang didominasi berupaya untuk merebut kembali dominasi atas diri
mereka. Mereka harus berpolitik.
The politic, menurut Chantal Mouffe dalam bukunya yang berjudul On
Political, dipahami sebagai segala hal yang terkait dengan praktek pertarungan
memperebutkan posisi dominasi, yang diperoleh melalui hegemoni kekuatan ide
atau pun gagasan, yang kemudian ditantangkan oleh gagasan lainnya dari
hegemoni tandingan (counter hegemony).171 Tidak ada pertarungan politik yang
tidak melibatkan pertarungan gagasan atau ide. Keberadaan politik menjadi sah
karena ide-ide atau gagasan-gagasan yang saling berebut dominasi dan berusaha
menghegemoni masyarakatnya. Zizek mengatakan bahwa tidak ada politik,
dengan catatan bila tidak ada pertarungan politik. Pertarungan politik di sini
berarti juga pertarungan ide atau gagasan tadi. The Essense Politics tidak hanya
sekedar pertarungan kekuasaan (will to power), akan tetapi juga perjuangan
gagasan, ide, keyakinan dan nilai-nilai. Inilah yang disebut sebagai pertarungan
ideologi. 172
Kethoprak sebagai
sebuah gerakan yang diinisiasi oleh masyarakat,
berpotensi untuk melakukannya. Apakah benar kesenian berpotensi melakukan
politik melalui hegemoni tandingan? Pertarungan politik dalam bentuk hegemoni
tandingan, sepertinya tidak mustahil dilakukannya di dalam kethoprak.
Berdasarkan atas kebutuhan untuk mengkritik hegemoni dominan, selalu
melahirkan kebutuhan berpolitik untuk melakukan gerakan dari bawah, guna
merubah yang ada di atas (kekuasaan). Dimana ada tekanan (represi), di sana ada
171
Disampaikan oleh Yasraf Amir Piliang dalam kuliah berjudul “Transpolitika” (diakses 3
November 2015).
172
Disampaikan oleh yasraf Amir Piliang dalam kuliah berjudul “Transpolitika”, (diakses 3
November 2015).
208
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perlawanan. Kondisi Hegemoni, seberapa pun kokohnya, pasti selalu menyisakan
celah untuk ruang-ruang pemberontakan. Kita dapat menyebutnya sebagai sebuah
gerakan resistensi masyarakat terhadap keberadaan hegemoni dominan.
Berdasar sejarah yang pernah dijalani oleh kesenian ini, kethoprak
menunjukkan 2 (dua) wajah yang berlainan. Pada momen tertentu, mengambil
laku politis untuk ikut dalam upaya menghegemoni rakyat, di momen yang lain ia
memperlihatkan sikap melawan represi. Kethoprak sepanjang perjalanan
berkeseniannya, juga pernah mengambil posisi biner kekuasaan. Meski berkalikali jatuh sebagai bagian dari media hegemoni dominan, kethoprak kerap
dijadikan media untuk mengungkapkan kritik dan kegelisahan rakyat. Tidak selalu
menjadi corong bagi kepentingan kelas penguasa.
Dalam kapasitasnya sebagai kesenian rakyat, harus diakui bila kethoprak
berpotensi menjadi titik resistensi terhadap globalisasi. Bila produksi hegemoni
(dominan) dapat lahir pada ruang seni pertujukan seperti kethoprak, maka
hegemoni tandingan pun memiliki peluang yang sama. Kesenian ini dapat
mengambil posisi sebagai tandingan dari kebijakan-kebijakan global, yang
berpengaruh pada kebijakan-kebijakan di tingkat nasional (salah satu contohnya
MP3EI). Berbekal kesadaran akan adanya represi, yang mengatasnamakan
pembangunan,
masyarakat
(kelas
yang
didominasi)
dapat
menginisiasi
gerakannya. Kesadaran adalah fase lepas atau celah yang disisakan hegemoni
dominan dalam mempengaruhi kelas yang didominasi. Organ dalam kelas yang
didominasi mencari jalan untuk mengatasi kesadaran palsu dan konsensus yang
telah ditanamkan melalui budaya. Organ-organ ini membentuk diri dalam sebuah
aliansi gerakan rakyat (kelas yang didominasi).
209
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kethoprak dapat menjadi gerakan politik rakyat, yang menyebar tanpa
berpusat pada satu titik tertentu. Karena bagaimana pun kesenian ini terus
dihidupi oleh konteks masalah sosial-politik masyarakatnya. Kesadaran yang
tumbuh sebagai tradisi masyarakat Jawa dan
secara metaforis mampu
mempengaruhi masyarakat dari atas panggung pertunjukan. Di dalam kesenian
ini, seniman bersama-sama dengan pihak yang lain, berpotensi membangun
kesadaran baru mengenai hegemoni tandingan. Gramsci menggambarkan
kebutuhan itu dengan
kalimat
“menghancurkan sebuah hegemoni
dan
menggantikannya dengan hegemoni yang lain”.173 Bila hegemoni dominan
menggunakan kethoprak sebagai media hegemoniknya, maka besar peluang bagi
hegemoni tandingan untuk menggunakannya juga. Hegemoni tandingan adalah
taktik politik resistesi, guna merubah opini dan pola pikir masyarakat. Kethoprak
dalam skema hegemoni tandingan menargetkan perubahan di tataran strategi dan
kebijakan pemerintahan. Seperti yang sempat dipaparkan sebelumnya, hegemoni
bekerja dalam kerangka kerja kebudayaan. Sehingga akan sangat tepat bila
hegemoni tandingan pun mobilisasi kekuatannya melalui pertunjukan. Mekanise
ini merupakan taktik untuk menghadirkan kebudayaan sebagai sebuah pernyataan
yang langka sekaligus berharga.174
Seniman kethoprak yang berintegrasi ke dalam gerakan hegemoni
tandingan, menjadi bagian dari representasi gerakan kolektif melawan kelas
penguasa. Identitas yang direpresentasikan menjadi negativitas dari totalitas
hegemoni dominan. Arti negativitas di sini adalah batas beda dengan totalitas dari
173
Muhadi Sugiono, 2006, hal.46
Hans Hang dan Hsu Mng-Chu, Kuan-Hsing Chen and Hsiu-Ling Kuo (eds), 1998, Trajectories
(Inter Asia Cultural Studies), Routledge, London- Newyork, hal. 299-300
174
210
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hegemoni dominan. Seniman kethoprak mengartikulasikan diri secara hegemonik
melalui gugatan atau tuntutannya. Di sini, para intelektual organik yang berasal
dari seniman kethoprak tergabung dalam satu blok historis yang sama. Benedict
Anderson dalam imagined community-nya, mengibaratkan posisi tersebut sebagai
sekumpulan intelektual organis dengan blok historisnya nampak sebagai
komunitas terbayang yang lahir dari wong cilik (masyarakat kecil).
Mendukung pernyataan itu, Retnowati dalam penelitiannya, mengatakan
bahwa kethoprak dapat saja menawarkan sebuah perayaan sosial-budaya sebagai
identitas bersama wong cilik. Kesemuanya itu berguna untuk merefleksikan
perubahan-perubahan yang terjadi di wilayah sosial, politik dan kebudayaan
mereka.
Kethoprak
menjadi
sarana
yang
tepat
untuk
mengungkapkan
perkembangan gagasan, keinginan, permintaan, keraguan dan harapan dari warga
imagined community tersebut.175 Persis sama dengan tujuan hegemoni tandingan
yang dimaksudkan di atas. Bahwa representasi ini menjadi garis batas dalam
pertarungan politik, yaitu pertarungan antara gagasan hegemoni tandingan
(seniman kethoprak) dengan totalitas hegemonik yang dominan (hegemoni yang
dilawan).
Seniman kethoprak dapat mengambil peran sebagai pengkritik sistem,
pemberdaya masyarakat, atau pun agen-agen pembangkit semangat perlawanan
terhadap kekuasaan yang represif. Mereka juga dapat berevolusi menjadi
penggerak perlawanan terhadap penguasa. Hal semacam itu sempat dilakukan
Bondan Nusantara, kala ia masih bergabung dengan Syarikat. Bondan sebagai
anak dari mantan tahanan politik (tapol), ia sadar bahwa rejim Orde Baru
175
Retnowati, 2009, hal 150-151
211
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengatur secara sistematis konflik di kalangan masyarakat. Bersama Syarikat, ia
mengupayakan rekonsiliasi mantan tapol dengan pihak yang berkonflik di masa
lalu, dan juga dengan masyarakat tentunya. Meski akhirnya aliansi itu berakhir,
namun setidaknya ia dapat melihat adanya perubahan yang sikap masyarakat
terhadap mantan tapol.
Melalui contoh kasus tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
kesenian ini terbukti mampu menjadi representasi gaerakan masyarakatnya. Karya
seni semacam ini membidik 2 (dua) target, yaitu penguasa dan rakyat. Bagi
negara, tujuan penting yang ingin disampaikan adalah adanya perubahan di
tingkat sistem dan pelaksanaan kekuasaan, yang merepresi rakyat dengan
kebijakannya. Sedangkan bagi rakyat, kethoprak menyuntikkan “gangguan” untuk
membangun kesadaran baru, akan pentingnya hegemoni tandingan yang digerakan
oleh kehendak kolektif. Kehendak kolektif yang dimaksudkan di sini adalah
keinginan bersama yang menyatukan setiap anggota kelompok ke dalam satu
gerakan politik yang sama. Kehendak kolektif ini tidak lagi hadir untuk
merepresentasikan satu kelompok saja. Akan tetapi, menjadi identitas bagi aliansi
dari beberapa kelompok yang berbeda. Hegemoni tandingan harus berdasar dari
kondisi dan kebutuhan mereka. Gerakan rakyat
harus memikirkan dan
memperjuangkan perubahan, ketimbang hanya menunggu, menerima kondisi
sebagai kelas yang didominasi.
Sepertinya, kita masih dapat menggantungkan harapan kesenian tradisi
seperti kethoprak, untuk mengambil sikap menjadi gerakan hegemoni tandingan.
Dengan syarat mereka yang berada dalam kolektif ini, memiliki komitmen kuat
untuk melawan hegemoni dominan. Kesadaran baru akan adanya hegemoni
212
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dominan, dapat menjadi pijakan awal bagi para seniman di ranah seni tradisi
untuk membentuk blok historis baru. Mereka membangun kesejarahannya
berdasar pada keinginan untuk keluar dari hegemoni dominan yang diberlakukan
oleh kelas penguasa. Dengan menggalang kekuatan bersama dengan seniman atau
komunitas lain, mereka dapat menciptakan kesadaran baru untuk memaknai, apa
yang sesungguhnya mereka perjuangkan. Hegemoni tandingan adalah sebuah
langkah politik kebudayaan, disengaja lahir dari kegelisahan dan kesadaran rakyat
(kelas yang didominasi). Seperti dalam catatan pengantar Daniel Hutagalung,
dalam buku Hegemoni dan Strategi Sosialis: “[h]al terpenting dalam gerakan kiri
adalah kapasitas, kualitas dan kemampuan untuk menguasai keadaan situatif dari
hubungan-hubungan kekuasaan, dan dinamika-dinamika dalam kepolitikan: Back
to the hegemonic struggle”.176 Hegemoni yang mengatasi hegemoni.
BAB V
KESIMPULAN
Lakon Magersari dan Ledhek Bariyem adalah 2 (dua) dari sekian banyak
lakon-lakon kethoprak yang diproduksi dan dipentaskan pada masa pasca
Reformasi. Keduanya memiliki kesamaan, walaupun dipentaskan dalam rentang
waktu yang cukup lama. Lakon-lakon tersebut dipentaskan di waktu yang
berdekatan dengan peristiwa politik: pemilihan kepala daerah dan pemilihan
umum. Selain itu, keduanya juga sama-sama membicarakan mengenai isu politik.
176
Daniel Hutagalung, dalam Laclau- Mouffe, 2008, hal. xvi
213
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Walau salah satunya tidak secara eksplisit menunjukkannya. Baik lakon
Magersari maupun Ledhek Bariyem, keduanya masuk dalam kethoprak garapan
yang menggunakan idiom-idiom seni pertunjukan modern, seperti teater.
Perpaduan inilah yang menjadikan kethoprak semakin unik, karena sebagai
kesenian tradisional, ia memiliki kekhasan nilai dan prinsip Jawa dalam setiap
pertunjukannya.
Pada penelitian ini, kethoprak disandingkan dengan beberapa ranah
kesenian lain, khususnya seni modern. Sastra dan teater dilihat jejak
perkembangannya, pada masa pasca reformasi. Kesemuanya menunjukkan
perkembangan yang luar biasa, terutama dalam hubungannya dengan gerakan
global, baik dari segi isu maupun pasar ekonomi. Gelombang kapitalisme yang
masuk melalui globalisasi di setiap negara, berimbas pula pada Indonesia. Baik
pada wilayah sosial, politik, ekonomi dan kebudyaannya. Dengan dibukanya sekat
pembatas antar negara, mengakibatkan lalu lintas orang dan barang dapat terjadi
dengan sangat cepat.
Globalisasi pada kenyataannya menjauhkan kebijakan
ekonomi, jauh dari intervensi negara. Demi kepentingan pasar global. Meskipun
globalisasi lebih menitikberatkan perhatiannya pada permasalahan ekonomi,
namun tidak dapat dinafikan jika ekonomi pun berjalin dengan sangat rumit
dengan bidang yang lain. Salah satu jalinan itu tergambar pada keterkaitannya
dengan program MP3EI.
Program seperti Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
(MP3EI), sebagai program berskala global-nasional, sangat mempengaruhi
kondisi ditingkat lokal. Setelah pengesahan Undang-undang Keistimewaan
Yogyakarta pada tahun 2012, kekuatan Kasultanan/ Pakualaman menguat di
214
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
banyak hal, tak terkecuali di bidang agraria. Kasultanan/ Pakualaman menyandang
status Badan Hukum Warisan Budaya yang bersifat swasta. Badan hukum
tersebut berimbas pada status kepemilikan dan pengeloaan asset-asetnya, salah
satunya lahan/tanah. Berbekal kekuatan hukum khusus, kedua pihak tadi juga
memiliki otoritas khusus, untuk “menertibkan” tanah/ lahan yang dikemudian
akan dialihkan kepemilikannya pada Kasultanan/ Pakualaman. Rijksblad No 16
dan No 18 tahun 1918 dihidupkan kembali, padahal sebelumnya telah di dihapus
oleh Sri Sultan HB IX bersama DPRD melalui Perda DIY No 3 Tahun 1984
sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan Diktum IV UU
No 5 Tahun 1960 (UUPA). Semenjak saat itu, banyak kasus konflik tanah yang
terjadi di Yogyakarta. Sebagian masyarakat merasa dirugikan oleh pemberlakukan
kembali Rijksblad, karena mereka kehilangan tanah yang ditempati atau
digarapnya.
Menilik dari tahun pementasan dan judul lakon kehoprak, Magersari pada
saat itu menjadi bagian dari gerakan yang memperjuangkan keistimewaan
Yogyakarta. Isu tanah, keistimewaan dan kepeminpinan yang dibawakannya,
menjadi bukan lagi hal baru yang diperdebatkan kala status keistimewaan telah
disahkan. Lantas pada lakon Ledhek Bariyem, yang kental membicarakan
permasalahan kekuasaan dan kepemimpinan, cenderung lebih menempatkan
wilayah pembicaraannya pada semesta pembicaraan mengenai moral pemimpin
yang dipilih. Bukan pada sistem politik an pemerintahan yang semestinya menjadi
acuan dalam praktek kepemimpinan. Menilik pada kedua lakon tadi, pada
akhirnya mengarah pada temuan penelitian: bahwa sikap kritis yang dipentaskan
dan disampaikan pada khalayak penonton ternyata lebih diarahkan pada
215
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mekanisme
pembentukan
blok
historis.
Kesejarahan
dibentuk
berdasar
“kesadaran” yang ditanamkan guna mengukuhkan konsensus. Konsensus
mengenai penguasa yang ideal dan kebijakan-kebijakannya (baik politik, sosial
dan ekonomi), yang cenderung diamini dan dianggap benar.
Globalisasi tidak hanya masuk pada ruang-ruang seni modern, nyatanya ia
juga masuk pada seni trasdisi seperti kethoprak. Perjumpaan globalisasi dengan
seni tradisi tidak muncul dengan sendirinya, dan tidak hadir secara terangterangan. Pada kasus wilayah Yogyakarta misalnya. Program MP3EI, status
keistimewaan Yogyakarta, kasus konflik agraria dan sederet hal lainnya, adalah
kesalingsengakarutan yang tidak bisa dibaca secara sederhana. Campur tangan
kesenian dalam membentuk blok historis, hingga pada konsensus yang diamini
banyak orang, pada akhirnya membentuk diri menjadi sebuah hegemoni dominan.
Merujuk pada pernyataan Gramsci, hegemoni diperoleh melalui konsesus.
konsensus ini disepakati oleh banyak orang, terutama oleh kelompok yang
didominasi sebagai sebuah kebenaran, kewajaran, dan alami keberadaannya.
Sehingga tidak perlu ada bentuk gugatan apapun terhadapnya. Konsensus tidak
memerlukan kekerasan dalam menanamkan pemahamannya. Konsensus dapat
hadir melalui tangan kesenian.
Pada titik ini hegemoni global dimulai dari gerakan lokal tradisional.
Lakon Magersari, terjerembab dalam skema hegemoni dominan, khususnya kala
ia berbicara mengenai keistimewaan Yogyakarta, titah raja, dan guyub rukun.
Sedangkan Lakon Ledhek Bariyem, masih belum menampakan sikap jelas tentang
sistem kepemimpinan demoktratis. Pembicaraan mengenai kepemimpinan masih
terbatas pada pemahaman moral pemimpin yang baik, namun belum sampai pada
216
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tataran sistem dan sikap politik yang tepat, dalam menyikapi kepentingan global
di masyarakatnya. Sikap lakon ini masih dirasa abu-abu untuk membicarakan itu.
Arah pembicaraan kedua lakon tersebut, pada awalnya seakan berada pada ranah
hegemoni tandingan, namun masih terjebak dalam skema kerja hegemoni
dominan.
Akan tetapi dari kesemuanya, ada sedikit harapan bahwa format kesenian
tradisi seperti kethoprak, dapat menjadi gerakan hegemoni tandingan. Dengan
syarat mereka yang berada dalam sebuah gerakan koletif, dan memiliki komitmen
kuat untuk melawan hegemoni dominan. Dengan menggalang kekuatan bersama
dengan seniman atau komunitas lain, mereka dapat menciptakan kesadaran baru
untuk memaknai, apa yang sesungguhnya mereka perjuangkan. Kethoprak
berpotensi hadir dan mengganggu kestabilan hegemoni dominan. Mereka dapat
mengambil posisi sebagai representasi dari hegemoni di wilayah lokal, yang
saling berhadapan dan berebut posisi, dengan hegemoni dominan dari wilayah
global.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Artikel dalam Buku:
Abdillah, Ubed, (2002), Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa
Identitas, Indonesia Tera, Magelang
Ajidarma, Seno Gumira, (2005), Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus
Bicara, Bentang Pustaka Yogyakarta
Anshari, Irham N, (2015), Politik yang “Go Internasional”, Jurnal Skripta
Volume 02/semester/2015
217
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Arvon, Henri, (2010), Estetika Marxis, Resist Book, Yogyakarta
Bandem, I Made & Murgiyanto, Sal, (1996), Teater Daerah Indonesia, Kanisius,
Yogyakarta
Baylis, John, Steve Smith (Eds), (1999), The Globalization of World Politics; An
Inroducction to International Relations, Oxford University Press
Brandon, James R, (1993), The Cambridge Guide To Asian Theatre, Cambridge
University Press, USA
Camus, Albert, (1998), Seni- Politik dan Pemberontakan, Bentang Budaya,
Yogyakarta
Darmanto, Antonius, (1999), Sejarah Penyelenggaraan Siaran Kethoprak
Mataram
RRI
Yogyakarta
1935-1995,
Jurusan
Pendidikan
Ilmu
Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta
Davidson, Alastair, (1968), Antonio Gramsci: The man, His Idea, Australian Left
review Publication, Australia
Duncombe, Stephen, (2007), Dream: Re-imagining Progressive Politics in an Age
of Fantasy, the United States by The New Press, New York
Firat, Begum Ozden& Kuryel, Aylin (eds.)- Gavin Grindon, (2010), The Notion of
Irony in Cultural Activism,Thamyris Intersecting N. 21 - Cultural Activism
Practices, Dilemmas, Possibilities-Rodopi.
Genosko, Gary (ed), (1996), Pierre-Felix Guattari: The Guattari Reader,
Blackwell Publishers Ltd, UK & USA
Gramsci, Antonio, (1986), Selections From Prison Notebooks of Antonio
Gramsci, Lawrence & Wishart, London
Grindon, Gavin, Begum Ozden Firat, Aylin Kuryel (eds.), (2010) , The Notion of
Irony in Cultural Activism,Thamyris Intersecting N. 21 - Cultural Activism
Practices, Dilemmas, Possibilities-Rodopi.
218
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hang, Hans, Hsu Mng-Chu, Kuan-Hsing Chen and Hsiu-Ling Kuo (eds), (1998),
Trajectories (Inter Asia Cultural Studies), Routledge, London- Newyork
Haryono, Edi (penyusun), (2005), Menonton Bengkel Teater Rendra, Kepel Press,
Jakarta
Hatley, Barbara, G Subanar, Yustina Devi Ardhiani (eds), (2014), Seni
Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma,
Yogyakarta
Hatley, Barbara, (2008), Javanese performances on an Indonesian stage;
Contesting culture, embracing change, KITLV Press Leiden
Hsing Chen, Kuan & Ling, Hsiu & Hang, Hans & chu, Hsu Ming- (eds)- (1998,)
Muecke Stepen, Cultural Activism: Indidigenous Australia 1972-1992,
Routledge London & New York.
Husnan, Khudori, (2013), Merosot Aura Kebangkitan Seni Politik: Sketsa
Falsafat Walter Benjamin, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6,
Juli 2013
Hutagalung, Daniel, (2008), dalam pendahuluan Laclau- Mouffe, Hegemoni dan
Strategi Sosialis: Postmarxisme + Gerakan Sosial Baru, Resist Book,
Yogyakarta
_________________(2006), Laclau-Mouffe Tentang Gerakan Sosial, Majalah
Basis No.01-02, Tahun LV, Januari-Februari 2006
Hutan Kayu, Babat, (2007), Sastra Tanpa Pusat Sastra, Jurnal Sastra
Boemipoetra, Edisi Pertama
Jones, Tod, (2015), Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya
Selama Abad Ke-20 hingga Era Reformasi, KITLV-Jakarta, Yayasan
Pustaka Obor Indonesia-Jakarta, hal. 231
Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (2008), Departemen
Pendidikan Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
219
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kartikasari, S.N, (2000), Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk
Bertindak, The British Council Indonesia, Jakarta
Kaufman, Eleanor, (1998), Deleuze & Guattari: New Mappings in Politics,
Philosophy, and Culture, University of Minnesota Press
Lisbijanto, Herry, (2013), Ketoprak, Graha Ilmu Yogyakarta
Mahdiduri, (2007), Sastra Indonesia dalam Skenarion Imperialisme, djoernal
sastra Boemipoetra, edisi kedua,
Malna, Afrizal, (2000), Sesuatu Indonesia, Bentang, Yogyakarta,
Miettinen, Jukka O, (1992), Classical Dance and Theatre in South- East Asia,
Singapore: Oxford University Press
Mouffe, Chantal, (2015), On Political, Routledge, London and New York
Mulder, Niels, (1996), Pribadi dan Masyarakat di Jawa: Penjelajahan Mengenai
Hubungannya Yogyakarta 1970-1980, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Parani, Julianti L, (2011), Seni Pertunjukan Indonesia: Suatu Politik Budaya,
Nalar, Jakarta
Patria, Nezar, Andi Arief, (2003), Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Plekhanov, G.V, (1957), Seni dan Kehidupan Sosial, Foreign Languages
Publishing House. Moscow,
Rachmat Susatyo, (2008), Seni dan Budaya Politik
Jawa, Koperasi Ilmu
Pengetahuan Sosial
Retnowati, (2009), Kesenian Kethoprak sebagai Identitas: Suatu Kajian
Kelompok Kesenian Kethoprak Arum Budoyo di Juwana- Pati, Jawa
Tengah, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Jakarta,
Ritzer, George, Douglas J Goodman, (2004), Teori Marxis dan Berbagai Ragam
Teori Neo-Marxian, Kreasi Wacana, Yogyakarta
220
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Saksono, Ign Gatut, Djoko Dwiyanto, (2012), Faham Keselamatan dalam Budaya
Jawa, Ampera Utama, Yogyakarta
Simatupang, Lono, (2013), Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni Budaya,
Bentang, Yogyakarta
Situmorang, Saut, (2009), Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia, dalam Politik
Sastra, [Sic], Yogyakarta
Strinati, Dominic, (1995), An Introduction to Theories of Popular Culture,
Routledge, London.
Subkhan, Imam, (2007), Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya, ImpluseKanisuis, Yogyakarta
Sudyarsan, Kus Handung, (1990), Unggah-Ungguhing Basa Ing Kethoprak, Lan
Kethoprak –ing TV, Taman Budaya Yogyakarta
Sunardi, ST, (2012), Logika Demokrasi Plural-Radikal, Jurnal Retorik Vol.3No.1, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta
Susan, Novri, (2010), Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik
Kontemporer, Kencana Predana Media Group, Jakarta.
Susanto, Budi, (1997), Ketoprak: Politik Masa Lalu untuk Masyarakat Jawa
Masa Kini, Kanisius- lembaga Studi Realino, Yogyakarta
-------------------, (2012), Me(mper)mainkan Sandi Wara Rakyat: Ketoprak Eksel,
dalam Jurnal Retorik Vol.3- No.1, Program Magister Ilmu Religi dan
Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Susatyo, Rachmat, (2008), Seni dan budaya Politik
Jawa, Koperasi Ilmu
Pengetahuan Sosial
Stiglitz, Joseph E, (2007), Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi
Menuju Dunia yang Lebih Adil, Mizan, Bandung
221
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Swastika, Alia, (2015), Memanggungkan (Seni) Indonesia dalam Lingkup
Internasional, Jurnal Skripta Volume 02/semester/2015
Taylor, Ronald, (1977), Aesthetics and PoIitics, Verso Editions, London
Trotsky, Leon, (1998), Seni dan Politik (Surat kepada dewan redaksi Partisan
Review), dalam buku Seni- Politik dan Pemberontakan, Bentang Budaya,
Yogyakarta
Tim Penyunting, (---), Tuntunan Seni Kethoprak, Pengembangan Kesenian
Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Timotius, Kris Herawan, (2005), Religious and Etnichs Conflicts in Indonesia:
Analysis and Resolution, Satya Wacana Cristian University, Salatiga.
Turner, Caroline, (2005), Indonesia: Art, Freedom, Human Rights and
engagement with the West, Art and Social Change: Contemporary Art in
Asia and the Pacific, Pandanus Books, Canberra – Australia
Wahayati, Lucia Yunita, (2004), Sejarah Seni Pertunjukan Kethoprak Mataram
RRI Yogyakarta Tahun 1980-2002, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Wahmuji, (2015), Heteronomisasi Medan Sastra di Bawah Neo-liberalisme:
Analisis Modal Kultural Mengenai Sastra dan Fiksi Populer, Ilmu Religi
dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakata
Waskito, (2003), Konstruksi Citra dalam Identitas Etnis, Jurnal Sejarah Tahun
Kesembilan Nomer 1, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang , Malang.
222
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
West, Richard, Lynn H Turner, (2008), Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan
Aplikasi, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta
Widayat, Afendy, (1997), Kethoprak: Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya,
Media Menuju Konteks Multikultural
Ziudervaart, Lambert (ed), (2011), Art in Public; Politics, Economics, and a
Democratic Culture, Cambridge University Press
Makalah:
Abdullah, Irwan, (2015), Kecerdasan Lokal: Pendekatan Baudaya bagi
Pembangunan yang Berdaulat dan Bermartabat, disampaikan dalam
Seminar Nasional Pembangunan Nasional Dalam Perspektif Kebudayaan,
Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.
Busser, Michael & Bonura, Carlo & Fannin, Maria & Boyer, Kate, (2012),
Cultural Activism and The Politics of Place-Making, presented at 2012
Conference in Interpretative Policy Analysis in Tilburg, Netherlands &
2012 UK Ireland Planning Research Conference in Brighton
Hatley, Barbara, (2008), Javanese Performance on an Indonesian Stage:
Contesting Culture, Embracing Change, Honolulu Universityof Hawai’I
Press, Hawai
Hughes-Freeland, Felicia, (1997), Art and Politics: From Javanese Court Dance
to Indonesian Art, The Journal of the Royal Antropological Institute, Vol.3,
No. 3
Marianti, Maria Merry, (-----), Kekuasaan dan Taktik Mempengaruhi Orang Lain
Dalam Organisasi, Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi,
Universitas Katolik Parahyangan
223
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Purwanto, Bambang, (2015), Sejarah Kebijakan Pembangunan di Indinesia:
Implikasi dalam Pembangunan Saat ini dan Masa Depan, disampaikan
dalam Seminar Nasional Pembangunan Nasional Dalam Perspektif
Kebudayaan, Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.
Rachman, Noer Fauzi, Dian Yanuardy, (2014), Dapatkah Indonesia Bebas dari
Kutukan Kolonial? (Refleksi Kritis atas MP3EI), Working Paper Sajogyo
Institute No. 16, Sajogyo Institute, Bogor
Salam, Aprinus, Novel Indonesia Setelah 1998: dari Sastra Traumatik ke Sastra
Heroik
Salam, Aprianus, (2015), Seni dan Karnavalisasi Kebudayaan, disampaikan
dalam Seminar Nasional Pembangunan Nasional Dalam Perspektif
Kebudayaan, Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.
Simatupang, Lono, (2014), Kajian (tentang) Seni Pertunjukan Indonesia,
disampaiakan dalam peluncuran buku Seni Pertunjukan Indonesia Pasca
Orde Baru, di Kampus II Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Subanar, G. Budi, (2006), Sebuah Geliat dalam Dunia Ketoprak Jaman Ini:
Makna Simbol dan Fungsi Seni Pertunjukan di Tengah Perubahan Jaman,
disampaikan dalam Diskusi Sejarah Seni Pertunjukan , Balai Kajian Sejarah
Dan Nilai Tradisional Yogyakarta
Sukada, Annisa, (2008), Ketoprak: Menjaga Budaya dengan Perubahan, Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik-Universitas Muhammadiyah Malang.
Wahyudi, Agus, (2015), Radikalisasi Demokrasi: Arah Gerakan LGBT?, dalam
kuliah umum Minggu #1 di Suara Kita Jakarta
Waskito, (2003) , Konstruksi Citra dalam Identitas Etnis, Jurnal Sejarah Tahun
Kesembilan Nomer 1, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang , Malang
Situs:
224
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
www.kompasiana.com/isharyanto/sapta-mandala-dalamkenangan_552befb16ea83486688b45aa (diakses: 27 Agustus 2015)
www.oxforddictionaries.com/definition/english/cultural-activism
(diakses:
4
Januari 2015)
www.tempo.co/read/news/2015/03/26/219653233/Seniman-Ai-Weiwei-RaihPenghargaan-Amnesty-Internasional (diakses:27 Agustus 2015)
www.theory.org.uk/ctr-gram.htm (diakses: 12 Januari 2016)
www.nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/ketoprak-jawa-pernah-dibunuhdua-kali (diakses:27 Agustus 2015)
www.youtube.com/watch?v=atEc0EE4WMg, Yasraf Amir Piliang, dalam kuliah
berjudul “Transpolitika”, (diakses tanggal 3 November 2015).
Surat Kabar:
Harian republika, Tiga Perupa Indonesia akan Pameran di AS, terbit pada Jum’at,
13 Agustus 1999
225
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lampiran 1
Magersari
Tulisan: Bondan Nusantara
Para paraga:
01.Den Bei Kenthus
-
02.Ponija
-
03.Gembyang
-
04.Kenyung
-
05.Karta Bendho
-
06.Png. Surya
-
07.Cik Hwa
-
08.Mbok Karto
-
09.Dira
-
10.Sapar
-
11.Kirja
-
12.Panut
-
13.Patra
-
14.Giman
-
15.Dhenok
-
16.Tinah
-
17.Ginah
-
18.Giyem
-
19.Konyil
-
20.Ranti
-
21.Mirah (bisu)
-
22.Kitri
-
23.Ndari
-
24. Wong kampung
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BABAK
: I PLATARAN
Paraga
: 1.Wong-wong wadon ndesa. 2. Jaya Bendho. 4, Jaya Kenthus.
Gendhing
: Gagah - rep
Katrangan
: Jaya Kenthus metu
01.KENTHUS : (KEMAKI) Elhoo...piye ta ki? Kok isih sepi? Karepe ki dha piye je? Wis dikon
nglumpuk kok dha ra teka. Mangka gamelane ya wis gumyak, gayeng, ning kok sing metu ming aku
ijen ? Edan ane ! (SERO) Ja…. !!! Ponoja !!!!
02.PONIJA
: (SAKA KADOHAN) Kula!!!
03.KENTHUS : (SERO – MANGKEL) Rene!!!
04.PONIJA
: (MARA) Onten napa Den Bei ?
05. KENTHUS : (MANGKEL) Kowe ki piye ta? Pethuk pa piye? Mau ki tak kon apa?
06.PONIJA
: Ken ngundang para Magersari?.. ..Lha pripun ta?
07.KENTHUS : (KEMAKI) Lha aku wis ”njingik” neng kene kok sing diundangi rung teka? Kowe
ki saben sasi tak bayar lho Ja! Ming kon ngundangi Magersari we kok ora pecus!
08.PONIJA
: Mangke riyin, ampun nesu riyin Den Bei. Sing salah niku njenengan?
09.KENTHUS : Kok aku?
10.PONIJA
: Wau njenengan dhawuh napa? (NIROKKE) ”Ja... Magersari dikumpulke neng
mburi. Enggih ta?”.... Lha sak niki nggih pun nglumpuk teng rika kabeh. Lha kok njenengan teng
riki!.....Salah ta niku?
11.KENTHUS : Salah-salah .... conthongmu kuwi! Wis kana, saiki kon rene kabeh!
12.PONIJA
: (MANTEB) Nggih,.... (NGUNEKKE SEMPRITAN)
PARA MAGERSARI TEKA
13. WONG-WONG: Ayo ayo ayo,.... kumpul yo!! Kene-kene lingguh kene!
14.PONIJA
: (SRO) Ayo kabeh lingguh!.... Ndhak didukani Den Bei Jaya Kenthus!
15.WONG-WONG: Nggiiiih......!! (LUNGGUH)
16.KENTHUS : (KEMAKI) Kuwi kok ana sing ngadeg kuwi sapa Ja? ....Ayo kon lingguh!
17.PONIJA
: Mbyang,... lungguh. Ndhak dukani Den Bei.
18.GEMBYANG: (WEDI) Anu je Kang,.... aku ki, anu...
19.KENTHUS : (NYAUT- KEMAKI) Ponijaaaaa.....!
20.PONIJA
: Kula Ndara.
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21.KENTHUS : (KEMAKI) Kowe ki piye ta?.. Wedokane kae dikandhani! Neng sowan neng
ngarepe Den Bei Jaya Kenthus ora kena nganyur!.... Ayo kon lungguh!
22.PONIJA
: Nggih. ...(MARANG GEMBYANG) Mbyang, gek lingguha. Aku sing dukani.
23.GEMBYANG: (WEDI) Ha ning bokongku ki lagi wudunen. Engko nek lingguh njur mecah, piye?
24.KENTHUS : (NYAUT) Ponijaaaa.....!!
25.PONIJA
: Kula Ndara?
26.KENTHUS : (NESU) Wedokane dikon lingguh! ..Gelis!!
27.PONIJA
: (WEDI) Nggih! ... Wis ta Mbyang,... lingguha! Nek kowe ra lingguh aku cilaka!
28.GEMBYANG: (INGAH-INGIH) Yoh,.... (LUNGGUH ALON-ALON – MBENGOK) Lhaaaa,...
tenan ta!!!!!.... Wudunku mecah tenan! (NANGIS) Huuu... huuu.......
11.PONIJA
: (PANIK) Wis, wis,... aja nangis! Aku ndak dukani! Meneng ya Mbyang! Menenga!
12.GEMBYANG: (NANGIS KARO NESU) Meneng...meneng,....... matamu kuwi!
13.KENTHUS : (NYAUT –KEMAKI) E, e, e,e…! Kok omong kasar? Neng ngersane Den Bei Jaya
Kenthus je omong kasar. Ora pareng! …Wis, sak iki meneng. Tak nyacahke sing dha sowan. ... Siji,
loro, papat, wolu, sanga, sewelas. (nyawang Ranti) Sik-sik- sik,.....aku kok rada pangling ta?.... Kowe
ki sapa ta?
14.PONIJA
: Lho, pangling ta?.... Kula niki Ponija!
15.KENTHUS : (MANGKEL) Aku ra takon kowe!.... Sing tak takoniki sing neng ngarepmu kuwi!...
Bedhes ki!... Kene Nok,....maju kene.
16.RANTI
: Nggih... (MAJU) Onten napa Den Bei?
17.KENTHUS : Kowe kok ketok rada melek? ... Sapa kowe Nok?
18.RANTI
: Nami kula Ranti Den Bei.
19.KENTTHUS: (SERO) ) Ranti??? ...(SOK TAHU) Owalaaah,.... pangling aku! Jebul kowe ki Ranti
anake bakule ghedheg ta!
20.RANTI
: (SERO) Woooo, dede Den! Kula niki Ranti anake pak Wirya Gareng!
21.KENTHUS : (SOK TAHU) Walaaaah,.... gene ki anake Wirya Gareng. ...Piye? Bapakmu isih
dodol tela neng pasar Kranggan?
22.RANTI
: (MANTEB) Wiii,... ngawur! Bapak kula niku mboten dodol iwak! Mboten Den!
23.KENTHUS : Lha dodol apa?
24.RANTI
: (YAKIN – SERO) Tongseng asu!
23.KENTHUS : Woooo...... ya, ya,... wis dhong aku….Ning suk Bapakmu kandhani. Nek ngladeni
aku sing bener! Mosok njaluk tongseng kok dimasakke sirah sak congore! Bareng arep tak pangan
njur mringis karo melet!
24.RANTI
:Njur mboten sida di pangan?
25.KENTHUS : (MANTEB) Ora sida piye, .....ha gusis!
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26.TOMBLOK : (NYAUT – KEMAYU) Om Kenthus! (NGADEG) Kersane niku pripun ta?
Ngundang Magersari semene okehe kok malah ngrembug aneh-aneh! Mbok empun, gek ngendika
mawon Om,... ben kula sak kanca njur ngerti... Iya ora Cah?
27.WONG-WONG: (SAUR MANUK) Hiya Yu, bener kowe Yu!
27.KENTHUS : (SERO)Sik – sik sik,... sareh sik! ..Aku kok lali. Kowe ki sapa ta?
28.DENOK
: (KEMAYU) Halaaahh,... Lik Kenthus ki pangling ta? (NYABLEK) Kula Dhenok,
Lik. Bakule wedang Pasar Pingit! Lik Kenthus ki lali apa nglali hayooo?...(NYABLEK MANEH)
Wong saben bengi mampir neng warung karo randhane kulon kali,,, kok sak iki lali!
29.WONG-WONG: (BARENG) Wooo,....
30.KENTHUS : (NYEDHAK – LIRIH – CETHA ) Aja sero-sero! Krungu wong okeh!
31.DENOK
: (KEMAYU) Tenang mawon Lik! Kula mboten ajeng mbukak wadi! Wong wingi ta,
bojo sampeyan teng warung kula,.... takon. (NIROKKE) Nok, Nok,…. apa bener bapakne sok mapir
rene karo randhane kulon kali?”
32.KENTHUS : (NYELANI) terus.....???
33.DHENOK
: (MANTEB) Lha nggih terus kula wangsuli. (KEMAYU) ”mboten kok Bu....”
34.KENTHUS : Mboten piye?
35.DENOK
: (KEMAYU) Mboten tau prei....!
32.KENTHUS : (MANGKEL) Oooo,.... bedhes ki! Ngalih kana!.... Kemayu!
33.DHENOK
: (KEMAYU) Karang wedok je Om..... (MARANG CIK HWA) Iya ora Cik.
34.CIK HWA : (MANTEB) Ya jelas! Sing namane perempuan itu kemayu yo ndak popo, nek lakilaki yo mbagusi. Contone ya Si Om ini. Nek liak wanita cantik dha ngarep omahe,....matane
langsung ijo!
35.KENTHUS : Sik-sik sik,.. tak urus sik iki!....Kowe ki Cina, jenengmu Nio Cik Hwa. Ning kok
kulitmu ireng?
36.CIK HWA : (MANTEB) Ya ireng, wong laire dha Arab..... Lagi pula, saya ngerti sik Om matane
ijo itu kan mergane saya habis pigi ke rumahe situ! Nek situ ora ngandel tanyao sik Mirah, Magersari
sing baru manggon dha sini.
38.KENTHUS : (NYAWANG MIRAH) Waah, nek sisji iki jos gandhos, lidhuk- liyer! Bocahe cilik,
kulite resik, mangka ya ayu. ..(NGGUYU) .Rene-rene Nok, maju kene! ...Ingsun arep mundhut priksa.
39. MIRAH
: (NGADEG - SAJAK ISIN – NYEDHAK)
40.KENTHUS : (SENENG) Bener, jenengmu Mirah?
41.MIRAH
: (ISIN – DOLANAN PUCUK KLAMBI)
42.KENTHUS : (SENENG) Ediaan tenan!.. Durung omong we marahi mak ...”prindiiing..”” Aja
meneh nek wangsulan! …. (NGRAYU) Kowe wis duwe pacar durung Nok?
43.MIRAH
: (GEDHEG – ISIN)
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44.KENTHUS : (SENENG - MANTEB) Modiaaar!!!!.... Digedhegi pisan we dhadhaku kaya arep
jebol. Apameneh nek gelem ngekeki nomer HP,…. Langsung tak jak karaokenan!...(NGRAYU) Piye
Nok, kowe gelem karaokenan?
45.MIRAH
: Ba ba bu bu bu..bi bi bi…. baaaa (KAYA WONG BISU)
46.KENTHUS : Woooo,..... bedhes ki! Jebul bisu ta!... Kana mundur kana! Mirang-mirangke!
47.MIRAH
: (NESU – NGONEK-ONEKKE KENTHUS)
48.KENTHUS : (SERO) Ponijaaaaaa.......!!!
49.PONIJA
: Kula Den?
50.KENTHUS : (NESU) Piye ta? Ndarane dionek-onekke uwong kok meneng wae! Ayo, bocah iki
digawa ngalih!
51.CIK HWA : (SERO) Ponija!....Situ jangan mau diprentah! Sing salah itu ndarane situ! Apa situ
dak liak kalau Ndarane situ mau kurang ajar? Sudah sana, situ yang ngalih. Mirah ini urusane saya. ...
(ALON) Ayo Rah, lingguh dekete Gembyang sana wae.
52.MIRAH
: (NGGAMBARKE WONG MUTAH) Hoeeeek.....!!!
53.CIK HWA : (WANI) Dah, sekarang sik Om-e mau ngomong opo? Ngomonga. Aku selak
ditunggu Engkohe dha toko!
54.WONG-WONG: (SAUR MANUK) Bener kuwi Cik Hwa! Den Beine gek kon omong!
55.KENTHUS : Sik –sik – sik,..... ora ting craek! Aku tak omong sak iki!
56.WONG-WONG: (BARENG) Haaaa ...mbok ngono!!
57.KENTHUS : Ngene lho. Kowe kabeh ki Magersariku. Manggon lan gawe omah neng lemahku.
Mula sak iki tak kandhani. Nek wiwit sasi ngarep sewane lemah mundhak tikel loro.
58.WONG-WONG: (BARENG) Waaaa,.... kok ngono?
59.KENTHUS : (MANTEB) Hiya kudu ngono wong apa-apa ya mundhak. Nek aku ora ngundhakke
sewan, rugi aku. Mosok, sing duwe lemah aku,...sing penak kowe. Mula, tak baleni pisan meneh,….
Wiwit sasi ngarep sewane lemah mudhak tikel loro!
60.PONIJA
: (SERO) Naaa, kuwi! Dha krungu ora? Wiwit sasi ngarep sewane lemah mundhak.
Sing ora ming nggonku!.... Rak enggih ta Den?
61.KENTHUS : Sing kandha sapa?.... Nggonmu ki ya mundhak Ja!
62.PONIJA
: Lha ning kula niki rak batur sampeyan ta Den?
63.KENTHUS : (SANTAI – KEMAKI) Ning nek perkara dhuwit beda ah!. Dhuwit dhuwit,.. batur
ya batur! Kowe tau tau krungu,... nek batur ki sedulure dhuwit?
64.WONG-WONG: (BARENG) Modar ora kowe Ja....!!!!
KONYIL MBENGOK SEKA KADOHAN
65.KONYIL
: Den Kenthus,… cilaka !!!... Cilaka Den!!!
GAMELAN SESEG – KONYIL TEKA SAJAK GUGUP
xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66. KONYIL : (GUGUP) Den Kenthus,... cilaka Den! Cilaka tenan niki!! Nek mboten kepeneran,
sampeyan ajeng dadi kere Den! .... Dadi kere tenan!
67.PONIJA
: Nyil! Aja gawe kaget ta! Dukani Den Bei Kenthus, kapok kowe!
68.KONYIL
: (NYAUT) Ning iki tenan Ja! Nek ora cekat-ceket Den Kenthus isa dadi kere tenan!
69.PONIJA
: Dadi kere piye?
70. KONYIL : Walaah,.... kowe ki piye ta? Delengen kae, kebule muleg-muleg! Kae ki asale seka
kamare Den Kenthus!.
71.KENTHUS : (KAGET)Kamarku kobongan?????
72.KONYIL
: Enggih Den!
73.KENTHUS : (BINGUNG) Wadhuuh,.... piye iki?? Piye Ja?? Kamarku kae kebak dhuwit! Aku isa
dadi kere tenan Ja!!! ... Wis sak iki kowe tak prentah mimpin para para Magersari ,... nyirep geni sing
ngobong kamarku!
74.PONIJA
: (KEMAKI) Ha mboten saged.
75.KENTHUS : Kok ora isa piye ta Ja? ...Kowe ki baturku lho!
76.PONIJA
: (NIROKKE KENTHUS) Batur nggih batur, Ning nek perkara dhuwit beda ah! Napa
njenengan tau krungu nek batur niku sudlure dhuwit?
77.WONG WONG: (BARENG) Haaaa,... bener kowe Ja! Setuju!!!
78.KENTHUS : Lha terus piye???.... Piye iki??? Nek aku dadi kere terus piye???
79.GEMBYANG: (NGADEG) Tenang,...tenang Den. Nek sampeyan nggugu kula, sakniki barter
mawon, alias ”wind-wind solution.”....Sewan lemah mboten sida mundhak, urusan geni dadi tanggung
jawabe kanca—kanca. Setuju ora Ca???
80.WONG-WONG: Setujuuu.....
81.GEMBYANG: Pripun?.... Nek mboten setuju, mboten masalah. Kula sak kanca tak bali.
(MARANG WONG-WONG) Yo Ca yo,..bali yooo..
82.WONG-WONG: (BARENG) Yooo......
83.KENTHUS : (MBINGUNGI) E, e, e,e.... aja!! Aja bali sik!! … Genine kae diurusi sik!
84.GEMBYANG: Diurusi nggih diurusi,.... ning .......
85.WONG-WONG: (BARENG) Sewan lemah ora mundhak!!!!
86.KENTHUS : Kok ra mundhak piye ta? ..Ya tetep mundhak!!!
86.GEMBYANG: Pun, tetep mundhak? Mangga! Ning wong sak kampung wegah melu nyirep geni!
Setuju ora Ca???
89.WONG-WONG: (BARENG) Setujuuu...!!!
90.KENTHUS :Yoh wis,.... ra sida mundhak! Ning kamarku kae dislametkke
KABEH LUNGA – BABAK I RAMPUNG
xviii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BABAK
: II PLATARAN
Paraga
: 1, Mbok Karto. 2, Ndari.. 3, Kitri. 4, Karto Bendho 5. Gembyang
Swasana
: - tentrem
Gendhing
: Ketawang – rep
Katrangan
: Ndari karo Kitri metu, nggawa klambi lan jarik.
01.NDARI
: Kabeh wis kok gawa mrene pa Tri?
02.KITRI
: Iki lagi separo. Sing separo isih neng njaba, durung tak entasi.
03.NDARI
: (NYAWANG) Iki kathoke sapa Tri?
04.KITRI
: Kathoke Giyono. Wingi nunut dikon ngumbahke sisan.
05.NDARI
: Woo,.....
MBOK KARTO TEKA TANPA GAMELAN
06.MBOK KARTO: (MANGKEL) Bapamu ki nengendi ta?! Lunga wit esuk kon tekan sak iki rung
mulih! Kowe ngerti ora Tri?
04.KITRI
:(KARO NGLEMPITI) Haiya ora ngerti wong ra dipamiti.
05.NDARI
: (KARO LEMPIT-LEMPIT) Lha mau esuk pamit Simbok ora?
MBOK KARTA TEKA TAMPA GAMELAN
05.MBOK KARTO: Nek pamite arep neng Pakualaman, tilik sedulur. Ning kok tekan wengi? .. Ajaaja, Bapakmuki duwe simpenan anyar ya Ri?
06.NDARI
: Halaaah, Simbok ki! Wis tuwa kok sujanan. Saru Mbok!
07.KITRI
: Karo meneh, Bapak ki rak ora tau nyekel dhuwita ta! Kok dikuwatirke?
08.MBOK KARTO: Weeee,... wong lanang sak iki je Tri! Ketoke muni ora ndhe dhitt. Ning jebul
meneng-meneng ndhelikke. Contone Lik Bagong kae. Karo sing wedok muni ora ndhe dhit, bareng
digledhah, jebul didhelikke njeron kupluk!
09.NDARI
: Kuwi rak Lik Bagong. Nek Bapak apa ya ngono?
10.MBOK KARTO: (MANTEB) Wee,...isa wae!... Wong lanang je! Neng ngomah ketok kuthuk.
Sregep. Manutan. Bareng metu ngomah,.. ta cenanangan! .... Karo meneh, Simbok ki kuwatir nek
Bapakmu mbaleni gaweyan lawas.
11.KITRI
: Lha ngapa ta?
12.MBOK KARTO: Lho piye ta? Kowe ki lali pa nek Bapakmu kae mbiyen gentho. Bajingan.
13.NDARI
: Ning sak iki rak wis mertobat ta Mbok?
14.MBOK KARTO: Sapa ngerti sak iki kumat meneh!
xix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KARTO BENDHO TEKA – NYAUT REMBUG
15.KARTO BENDHO: (MARANG ANAKE) Ndari, Kitri,... neng mburi gawe wedang!.
16.NDARI
: Lha pripun ta Pak?
17.KARTO BENDHO: (CETHA) Bajingane ngelak!
18.NDARI & KITRI: Nggih.
NDARI & KITRI LUNGA
19.MBOK KARTO: Sampeyan niku saking pundi?
20.KARTO BENDHO: (CETHA) Niliki ponakanmu!
21.MBOK KARTO: Kok tekan wengi?
22.KARTO BENDHO: (CETHA) Haiya! Wong bar seka Pakualaman njur pethuk Mbah Gendra,...
dijak mampir neng Sarkem.
23.MBOK KARTO: (MANGKEL – NGUKUTI KLAMBI) Dhasar wong lanang! (AREP LUNGA)
24.KARTO BENDHO: (SENGOL) He ,...he,…he! Kowe ki arep neng ndi?
25.MBOK KARTO: (MANGKEL) Ajeng teng Malioboro golek lanangan!
26.KARTO BENDHO: Cang...kem...me!.... Rene!.... Lingguh!
27. MBOK KARTO: (MANGKEL) Onten napa????!!
28.KARTO BENDHO: (MANTEB) Aku neng Sarkem ki ora ngapa-ngapa! Ha mbok sumpah!
29.MBOK KARTO: Ning rika niku nggene cah nakal-nakal Pak!
30.KARTO BENDHO: (CETHA) Cah nakal apa ora kuwi ya tetep uwong! Padha-padha titahe Gusti
Allah!... Tegese ya padha karo awake dhewe!... ..Wong upama isa milih,… bocah-bocah kae sengara
golek pangan neng kana.
31.MBOK KARTO: Ning napa salah nek kula kuwatir?... Kula niki bojo sampeyan! Nek nganti
tangga teparo ngerti sampeyan blusukan mrika napa kula ora melu isin?
32.KARTO BENDHO: Nek kowe wedi dirasani tangga, gampang. Suk tilik Mbah Gendra bareng
aku!
33.MBOK KARTO: Aaaa,... wegaah! (MLAKU LUNGA)
34. KARTO BANDHO: Lha ngapa ta?
35.MBOK KARTO: (SERO CETHA) Ndhak dinyang!
MBOK KARTO LUNGA
36.KARTO BENDHO: Oooo,....wong wedok! Nek nyuwara sengak!
GEMBYANG MBENGOK SEKA KADOHAN
37.GEMBYANG: (SAKA NJABA) Lik Karto!!! ….. Cilaka Lik!!
GAMELAN SANTAK – GEMBYANG TEKA
xx
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38.GEMBYANG: (GUGUP – CETHA) Wadhuh Lik,… cilaka!! Geger tenan iki Lik!! Kampunge
dhewe isa geger tenan!
39.KARTO BENDHO: (NGGETAK) Kowe ngapa??? Mbanyaki kaya menthok arep ngedhog!
40.GEMBYANG: (GUGUP) Owalaah Lik! Kowe ki piye??? Ngerti ora nek kampunge dhewe arep
geger! Wong-wong dha kancingan lawang saking wedine! Aku dhewe ya melu kancilen! Nek ra
ngandel, gilo,... delengen,....jarikku teles kebes merga kepuyuh!
41.KARTO BENDHO: Woooo,... kenthir!
42.GEMBYANG: Iki tenan! Nek Lik Karto ra ngandel, diambu pa piye?
43.KARTO BENDHO: Ora sudi!!!
44.GEMBYANG: (MANTEB) Pokoke ya Lik, kampunge dhewe arep geger! Wong-wong wetan
ndalem arep gelut karo kulon Ndalem!
45.KARTO BENDHO: Lha perkarane apa???
46.GEMBYANG: (MANTEB) Haaa..... kuwi! Ya nggonn kuwi sing aku ora dhong! Rehne sing
diwedeni cah kampung iki kowe, mulaaku njur mrene iki Lik.
47.KARTO BENDHO: Ya wis, sak iki kowe mulih. Bocah-bocah tak paranane.
48.GEMBYANG: Yoh. ”Thengkyu” ya Lik.
KABEH LUNGA - BABAK II RAMPUNG
BABAK
: III TENGAH DALAN
Paraga
: 1, Dira. 2, Sapar. 3, Panut. 4, Patra 5, Kirja. 6, Giman.
Gendhing
: Srepeg.
Katrangan
: Dira, Sapar Panut kepethuk Patra, Kirja lan Giman.
01.KIRJA
nengendi?
: (MANTEB) Sareh! Sareh dhisik Ra! Kowe, Sapar karo Giman iki arep dha
02.DIRA
: (MANTEB) Aja tambuh kowe Ja! Picak-a kowe weruh - budhega kowe krungu!
Para Magersari wetan ndalem saya suwe saya kurangajar! Dumeh luwih suwe le manggon neng kene
terus arep tumindak sewenang-wenang!
03.SAPAR
: (NYAUT) Apa rumangsane sing wani gelut ki ming wong-wong wetan ndalem?
Aku sak kanca iki ya lanang Ja! Ora bakal mundur ngadhepi kowe!
04.PATRA
: (MANTEB) Semono uga aku Kirja karo Giman! Nek wong-wong kulon ndalem
arep semangkeyan, ...mesthi tak rampungi! Iya ora Man?
05.GIMAN
: (MANTEB) Bener kowe Tra! Ora mbiyen ora sak iki, wong-wong kulon ndalem ki
senengane gawe perkara! Mula ya kudu dikapokke!
06. PANUT
: (SERO) Man! Kowe aja waton nyuwara! Sing seneng gawe perkara kuwi dudu para
Magersari kulon ndalem! Ning kowe sak kanca! Ngerti???
xxi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
07. KIRJA
: (NYAUT) Kuwi rak pendakwamu!... Pendakwa sing landhesan dhemen sengite
dhewe! Ora landhesan kasunyatan! Merga kasunyatane, sing bener kowi para Magersari kulon
ndalem!
08.DIRA
: (MANTEB) Ja! Kowe aja ming waton muni bener! Sing jenenge bener kuwi ora
gawe cilakane wong okeh!... Eling Ja! Tumindak bener kuwi beda karo nekad! Merga nekad kuwi
mengku teges kelangan nalar!
09.SAPAR
: (MANTEB) Cukup! Kowe kabeh ora perlu kojah neng ngarepklu! Nek kowe ora
butuh sulaya, …semingkir! Ning nek kowe ora gelem semingkir, mesthi tak rampungi!
10. GIMAN
: Lho, ... kowe nantang aku ta Par???!!
11.SAPAR
: (NYAUT-MANTEB) Sak karepmu olehe negsi!
12.KIRJA
: O, klakon tak ajar kowe!
PARA NOM-NOMAN PERANG. KARTO BENDHO TEKA.
13.KARTO BENDHO: (SERO) Leren! … Ayo leren! Gelem leren ora?! (MARANG DIRA
SAKANCA) Ayo mundur! ….(MARANG PATRA SAKANCA) Kabeh mundur!
NOM-NOMAN PADHA MUNDUR
14.KARTO BENDHO: (SERENG) Karepmu ki piye? Piye????. Arep njago? Arep “menthol?”
Hiya????
15.KABEH
: (WEDI) Mboten kok Lik!
16.KARTO BENDHO: (NYAUT MENCERENG) Lha ngapa??? (NGGETAK) Ngapa???
17.DIRA
: Ngeten lho Lik. Sumur mburi ndalem nika rak dinggo wong okeh. Lha kok sakniki
dipageri wong wetan ndalem. Napa kula sak kanca mboten entuk muring?
18.KIRJA
: (NYAUT) Ha ning wong-wong kulon ndalem nggih kurangajar kok Lik.
19.KARTO BENDHO: Kurangajar piye??
20.KIRJA
: (MANTEB) Saben-saben mbuwang uwuh mesthi teng wetan ndalem! Mboten
gelem tenggene dhewe!
21.PATRA
: (NYAUT) Nek dipikir ngono wetan ndalem ya kleru! Sing nandur pelem wong
kulon ndalem, kok sing njupuki wong wetan ndalem!
22.PANUT
: (NYAUT – MANTEB) Kuwi rak merga wite dhoyong ngeten! Mula peleme ya
dadi hake wetan!
23.DIRA CS
: (NYAUT) Ora isa!
23.KIRJA CS : (NYAUT) Isa wae!
24.DIRA CS
: (BARENG) Ora isa !!!
25.KIRJA CS : (BARENG) Isaaa… !!
26.KARTA BENDHO: (SERO) Meneng !!!!!..... Mingkem!!! Dha isa mingkem ora ???! .....Cah
enom, ...anake wong nggenah, ....mangan sekolahan,.... lha kok cupet pikire!...Kowe ki dha ngerti ora,
xxii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
nek urip tunggal sak kampung kuwi kudu guyup? Kudu ngerti tepa selira, ajen ingajenan, ora mbedakmbedakke sing mlarat karo sing sugih, sing elek karo sing apik, sing cacad karo sing ora
cacad!....Ngerti ora????
27.KABEH
: (WEDI) Ngertos Lik.
28.KARTA BENDHO: (MANTEB) Wis, pagere sumur sak iki dibongkar! Nek ngundhuh pelem kudu
bareng-bareng terus dibagi sing adil! ...Isa ora?
29.KABEH
:(MENENG KABEH)
30.KARTA BENDHO: (NGGETAK) Kok dha meneng wae??? Diwangsuli!!! ….Isa apa ora?????
31.KABEH
: Saged Lik.
32.KARTA BENDHO: Wis kana,..... minggat!
33.KABEH
: Nggih.
DIRA CS LUNGA – GEMBYANG TEKA
34.GEMBYANG: (SENENG) Waaah,...elok! Elok tenan! Kowe jan top tenan! Upama dudu kowe
sing misah, apa rampung perkarane. Sengara ta Lik?
35.KARTO BENDHO: Orak. Kowe kok ora mulih ning malah mrene ki genahe ngapa?
36.GEMBYANG: (MANTEB) Anu, arep njaluk tulung kowe ngandhani bojoku.
37.KARTO BENDHO: Lha ngapa?
38.GEMBYANG: (MANTEB) Welhaa, piye ta? Wis sesasi iki lho Lik, bojoku ra gelem nyambut
gawe! Janji tak kon mangkat alesane weran-werna. Endi sing sambat kesel, mumet, lara, isin,.....aku
rak judheg ta ? Wong sing golek pangan kana!
39.KARTA BENDHO: Terus aku kon ngandhani bojomu?
40.GEMBYANG: Ora ming ngandhani. Ning bojoku supaya mangkat nyambut gawe meneh!
41.KARTA BENDHO: Lha bojomu ki nyambut gawe apa ta Mbyang?
42.GEMBYANG: Ngemis.
43.KARTO BENDHO: Kowe ki kenthir pa piye Mbyang? Bojomu kae rak isih enom ta? Kok malah
kon ngemis! Kleru kuwi!
44.GEMBYANG: Ning nek sasi ngene iki rame je Lik?
45.KARTO BENDHO: Aesss, embuh! Ora sudi aku! (LUNGA)
46.GEMBYANG: (GELA) Waaaa,.... kok malah tinggal lunga. Gagal ”misiku.”
GEMBYANG LUNGA – BABAK III RAMPUNG
BABAK
: IV PENDHAPA
Paraga
: 1, Raminten. 2.Pur Bonsai. 3. Kenyung. 5. Ginah. 6, Giyem.
Gendhing
: Gagah
xxiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Katrangan
: Raminten metu. Ngundang Kenyung.
01.RAMINTEN: (GRENENGAN) Wong ki neng ndi ta ya? Digoleki wit mau kok ra ketemu!
(SERO) Nyung!... Kenyung!......Neng ngendi kowe? ..(SAYA SERO) Kenyuuung....!!!!
02.KENYUNG: (ANA MBURINE) Onten napa Den Nganten?
03.RAMINTEN: Kowe ki neng ndi?.... Dibengoki bola-bali kok ra mara!
04.KENYUNG: Lha kula seg nanggung je Den Nganten.
05.RAMINTEN: Nanggung ngapa?
06.KENYUNG: (SANTAI – SERO) Nguyuh!
07.RAMINTEN: Mesthi ora kok siram ketara ambune tekan kene.
08.KENYUNG: Empun kok.
09.RAMINTEN: Kok isih mamu pesing.
10/KENYUNG: Lha mboten ngerti. Wong bar kula wau sing mlebu kulah Pur Bonsai.
11.RAMINTEN: Orak,... tak takon. Karepmu ki jane piye ta Nyung. Njangan sak manci gedhe kok
isine ming duduh thok. Ampase ming thokolan rong iji.
12.KENYUNG: Lho, kula rak manut njenengan ta? ... Wau esuk njenengan prentah. ”Nyung, kana
blanja neng pasar. Aku gawekna jangan bening.” .... Rak nggih pun kula gawekke ta? Duduhe sak
manci kebak, isine thokolan loro. Napa tesih kurang bening? ... Nek kurang, thokolane kula buwange
sak niki.
13.RAMINTEN: Kowe ki pancen kenthir kok.
14.KENYUNG: Lha pripun ta?
15.RAMINTEN: Sing diarani jangan bening ki ya nganggo dikeki bayem, tomat karo wortel! Ora kok
ming duduh thok terus dikeki thokolan rong iji..... Karo meneh, wis bola-bali lho, kowe ki janji tak
kongkon mesthi slenco.
16.KENYUNG :(KEMAKI) Ahh, mosok.
17. RAMINTEN: Hiya wae!.... Wingi kowe tak kongkon tuku apa, hayo?
18.KENYUNG: Diken tumbas sepatu sandhal.
19.RAMINTEN: Lha kok barange durung dikek-ke aku?
20.KENYUNG: (YAKIN) Pun kula simpen teng lemarine Den Nganten. Nek mboten ngandel kula
jupuke. (LUNGA – BALI NGGAWA BUNTELAN) Niki barange. Bungkuse mon apik ta? Wong
sing milih kula dhewe. ..(DIULUNGKE) Mangga!
21.RAMINTEN: (MBUKAK – MANGKEL) Elhooo,... piye ta iki? Kok dadi aku entuk abrak kaya
ngene ki piye? Njur lehku nganggop we piye?
22.KENYUNG: Ha nggih biasa mawon.Sing kiwa dinggo kiwa sing tengen dinggo tengen. Beres ta?
21.RAMINTEN: (NYAUT) Beres gundhulmu kuwi.
xxiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23.KENYUNG: Lhooo, rak malah nesu. Njenengan wingi ngendika pripun. ”Nyung iki dhuwit
patangpuluh ewu. Aku tukokna sepatu sandhal ukuran 38. Neng loakan wae sing murah” ... Ngoten
ta?
24.RAMINTEN: (NYAUT) Haiya.
25.KENYUNG: Cobi sak niki dipriksani sing tenan. .... (NJUPUK BARANGE) Niki jenenge napa?
26.RAMINTEN: (NYAUT) Haiya sepatu.
27.KENYUNG: Sing niki....???
28.RAMINTEN: (NYAUT) Genah sandhal ngono kok!
29.KENYUNG: Nek loro kabeh niki,......
30.RAMINTEN: (NYAUT) Sepatu sandhal!
31.KENYUNG: (SENENG) Haaaaa,... bener kula ta?
32.RAMINTEN: (NYAUT) Bener - bener gundhulmu kuwi! Sing tak karepke sepatu sandhal ki ora
ngono kuwi. Kene nyedhak rene, aku arep ana perlu karo kowe.
RAMINTEN SUSAH PERKARA OLEHE DURUNG DUWE ANAK. KENYUNG NGLIPUR.
RAMINTEN NANGIS.. PUR BONSAI TEKA. MANGKEL.
33.PUR BONSAI: (MANGKEL) Wooo, jebul tenan ta! Bojoku wis ora setia karo aku!....Ditinggal
lunga dhilit we jebul glenak glenik karo Kenyung! (NYEDHAK - NESU) Iki dha ngapa iki??? Mesthi
arep dha slingkuh!!!
34.KENYUNG: Ampu sero-sero! …Bojo sampeyan lagi susah!
35.PUR BONSAI: (SERO) Ora isa?!!!.... Warok Bonsai ki nek omong kudu sero!!!
36.KENYUNG: (NYAUT) Walaaah,… ngeyel!... Ngga, teng njawi sik! (NJUNJUNG PUR BONSAI
DIGAWA LUNGA – BALI MENEH)
37.KENYUNG: Mboten sah nangis. Kabeh niku pun dadi kersane Sing Kuwasa. Den nganten mboten
perlu susah.
38.PUR BONSAI: (NESU) Kurangajar!!!..Kowe wani nyemplungke aku neng pawuhan???
Hiyaa???!!
39.KENYUNG: Walaah,…mrene meneh! …(NJUNJUNG PUR BONSAI –LUNGA– BALI
MENEH)
Sakniki, penggalihe ditata. Kabeh niku rak isa dirembug. Saged ditata.
40.PUR BONSAI: (NESU – SERO) Batur ora tata!! …batur kurangajar!!!
41.KENYUNG: (NGGETAK LUWIH SERO) Hee!!! … Sampeyan ki dikandhani kena ora??? ..Nek
omong ora sero- sero! Ndara dikandhani batur kok ngeyel! …. Ayo manut!! ..Nek omong ora serosero!!!
42.PUR BONSAI: (NYEDHAK – LIRIH - CETHA) Ba..tur...ku..rang....ajar.
43.KENYUNG: (LIRIH – CETHA) Sing..kan..dha...sin..ten?
44.PUR BONSAI: (LIRIH – CETHA) Sing... kan...dha ...a...aku.
xxv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45.KENYUNG: (LIRIH –CETHA) Ni..ku..o..ra...be..ner.
46.PUR BONSAI: (LIRIH – CETHA) Ya…...U…wis.
47.RAMINTEN: (NYEDHAK – LIRIH CETHA) I…ki…dha..nga..pa?
48.KENYUNG: (SERO) Piye ta iki ??? ..Kethoprak kok le omong ting klesik! Teneh pentontone ora
krungu! ... Pun sak niki ngendika sing cetha Den Nganten.
49.RAMINTEN: Ngene lho Mas. Aku ki ora slingkuh karo Kenyung. Ora Mas. Iki mau, aku lagi
sambat Kenyung. .Atase awake dhewe le bebojoan wis puluhan taun kok ora duwe anak. Rak susah ta
aku? Mangka aku pengin banget duwe anak.
50.PUR BONSAI: (MANTEB) Haiya ra ”mungkin!” ... Wong aku lanang kowe ya lanang! Nek kowe
butuh anak,... teka neng panti asuhan! Golek anak angkat!
51.KENYUNG : Ngangkat anak kula mawon napa?
52.PUR BONSAI: Gah!!..... Rupamu kaya tekek mules kok kon ngepek anak!
GIYEM KARO GINAH TEKA
53.GINAH & GIYEM: (BARENG) Kula nuwun!
54.PUR BONSAI: (GEMAGAH) Sapa iiii? Ana cewek cakep-cakep tekan kene? (MARANG
KENYUNG) Nyung, cewek-cewek kuwi mesthi arep nggoleki aku. Omonga. Den Baguse Por Bonsai
lagi sibuk. Sedhela meneh arep mangkat golep.
55.KENYUNG: Walaaah,.... gawe alesan kok ra masuk akal. Tamune sengara percaya!
56.PUR BONSAI: Kok ra percaya??
57.KENYUNG: Ha nggih ora percaya! Wong sampeyan karo setike dawa setike kok muni arep
mangkat golep! ...Pun, kula takonane. .. Kowe rene arep ngapa Nah?
58.GINAH
: (SERO) Kok ndadak takon? Haiya ketemu Den Nganten Raminten ta. Wong ana
perlu sing kudu diomongke.... Nek ra ngandel takon Giyem iki!
59.GIYEM
: Iya lho Kang! Iki mau ta, aku karo Ginah lagi umbah-umbah. Eee,..lha kok Den Bei
Kenthus ki teka! Aku durung nganti takon, dhek-e omong karo methentheng! (NIROKKE) Ginah,
Giyem! Le ngumbahi leren! Layang iki digawa,... dikekke Raminten!” ... Ngono kuwi Kang!
60.GINAH
: (NYAUT) Jane aku karo Giyem ki ya emoh wong agek ngumbahi! Ning ya kuwi,
kowe ngerti dhewe watake Den Bei Kenthus ta?...Dumeh aku karo Giyem ki Magersari terus le
ngongkon sak gelem dhewe! (NIROKKE) ”Wis kana gek mangkat! Nek ra gelem mangkat tak
tundhung minggat! Ora kena dadi Magersari neng kene!”
61.GIYEM
: (NYAUT) Bar ngono kuwi ta Kang, .......
62.KENYUNG : (MEDHOT) Wis,…uwis! Cukup!,..Kowe ki arep ngekeke layang apa arep
ndongeng!... Kene layange! Tak aturne Den Nganten Raminten!
63.GINAH
: (NYAUT) Ha ning ngene lho Kang,....
64.KENYUNG : Uwis ta...ah! ... Ora sah epyek! Endi layange!
64.GIYEM
: Nah, layange gek dikekke Kang Kenyung. Mau sing nggawa kowe ta?
xxvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65.GINAH
: Wiii,... ora wae! Wong sak ngertiku mau sing nampani kowe kok!
66.GINAH
: Kowe ah.
67.GIYEM
: Kowe.
68.KENYUNG : (MEDHOT) Ora sah rame! Layange neng njeron kotangmu! (MARANG GINAH)
69.GINAH
: Wooo, hiya. (NGROGOH KOTANG-NGULUNGKE LAYANG ) Nya.
70.KENYUNG : (NAMPA LAYANG – DIBUKAK) Tenggat waktu 30 oktober….. (MANTEB)
Woo…asem ki! … Iki ki layang gadhen!
71.GIYEM
: Wooo,… nek ngono sing neng kotangku iki Kang.(NGROGOH LAYANG) Nya.
72.KENYUNG : (NAMPANI LAYANG – DIWENEHKE PUR BONSAI) Ngga. Diwaca.
73.PUR BONSAI: (KAGET) Lhoooo?????!! ….Kok dadi ngene karepe Kenthus!!! ....Kurangajar!!!
Ngece aku!!!.... Lha kok dadi aku ora isa maca???... (MARANG RAMINTEN) Wacakke Bu.
74.RAMINTEN: (MACA SEDHELA) Iki ngene lho, isine.Sesuk kuwi, para Magersari dikon
nglumpuk neng ndaleme Den Bei Kenthus. Ning rehne sedhela meneh aku karo Bapakne mangkat
neng Jakarta, mula sesuk ben diwakili Kenthus.
75.KENTHUS : Pun, beres! Kula sing makili!
76.RAMINTEN: Yo pak yo,... tata-tata. Ndhak ketinggalan sepur.
77.PUR BONSAI: Woookeeee…..!!! Wis ya Nyung! … (MARANG GINAH & GIYEM) Daaaah....!!
RAMINTEN & PUR BONSAI LUNGA.
78.GINAH
: Aku karo Giyem pamit ya Kang.
BABAK IV RAMPUNG
BABAK
: V PENDHAPA
Paraga
: Kabeh Pemain.
Gendhing
: Lancaran
Katrangan
: Kabeh pemain teka. Ponija teka keri.
01.PONIJA
: Iki wis dha teka kabeh apa durung?
02.WONG-WONG: (BARENG) Uwis Kang!
03.DHENOK
: (NYAUT) Ora dhing Kang!.... Ana sing durung teka!
04.PONIJA
: Lha sapa sing durung teka?
05.DHENOK
: Sik Gembyang karo Kenyung!
06.PONIJA
: Ana sing dipamiti ora?
07.WONG-WONG: Oraaa Kang!
xxvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
GEMBYANG TEKA. IRUNG * CANGKEME DITUTUPI
08.GEMBYANG: Kula nuwun!
09.WONG-WONG: (BARENG) Lhaaa iki wonge teka!
10.PONIJA
:Orak. Raimu kok dikrukub slendhang ki ngapa je Mbyang.
11.GEMBYANG: Owalaah Kang,... ora ngrasakke. Gilo ,...pipiku wudunen! (MBUKAK
SLENDHANG – PIPINE DIPERBAN LAN DIPLESTER)
12.CIK HWA : (NYAUT) Mbyang! Situ rak wis bola-bali tak kasih tau to? Mbok pigi dha tempate
Koh Mbing. Mintak,... ben ndhak kena wudhun terus. Dha sana itu ongkose murah kok Mbyang.
13.DHENOK : Ning nek Gembyang kuwi ora isa mari Cik. Wong mangane rusuh, nek sore ra tau
adus! Ambune nganti leteng kaya wdhus.
KENYUNG TEKA.MACAK TUMENGGUNG. NGANGGO KACAMATA IRENG
14.KENYUNG : Permisiiii....
15.WONG-WONG: (TING CLINGUK) Sapa kuwi? ..Sapa ta?
16.KENYUNG : (KAYA ROL KETOPRAK) Sira ora padha bingung –ora sah padha wedi.
Ditepungake wae, ingsun iki wakile Raden Nganten Raminten. Nek sira arep ngerti jenengingsun,
mara sawangen ingkang permati. ..Ingsun iki kancanira ..Kenyung. (MBUKAK KACA MATA)
17.WONG-WONG: (BARENG) Woooo,...Kenyung ta!
18.GEMBYANG: Orak Nyung. Kok kowe nganggo sandhangan apik ki le entuk ngendi?
19.KENYUNG : (UMUK) Lho! Nggone Den Nganten Raminten. Wonge rak lagi lunga.
Sandhangane tak silih.
DEN BEI KENTHUS TEKA
20.PONIJA
: (GEMBIRA) Waaah,..mangga –mangga, ..mangga Den Bei.
21.KENTHUS : (NYAWANG KENYUNG) Lho, iki kok ana Temunggung kessasar mrene?
22.KENYUNG : (INGAH-INGIH) Kula Kenyung Den Bei.
23.KENTHUS : (KEMAKI) Ooo,.... (NGECE) bature Raminten?
24.KENYUNG : Enggih Den!
25.KENTHUS :(KEMAKI) Ayo,…klambine copot! Ming batur kok le macak ngungkuli sing duwe
lemah!..Ngono ki rak jenenge ngejori aku ta?
26.KENYUNG : Nggih. (NYOPOT KLAMBI)
27..KENTHUS : (KEMAKI) Sak iki kabeh mingkem. Aku arep maca layang keputusan.
28.WONG-WONG: Nggih.
29. KENTHUS : (NGETOKAKE LAYANG – DIWACA) Sakwise weruh, nimbang lan nggatekake.
Den Bei Kenthus mutusake!.... Sepisan, para Magersari kudu manut sak reh prentahe Den Bei
Kenthus. …Kapindhone, wiwit sasi ngarep, sewan lemah sing dinggoni para Magersari, mundhak
telungatus persen!
xxviii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30.WONG-WONG: (BARENG) Waaaaahh……..
30A.WONG LANANG-LANANG: Kula protes!!... Kula nggih protes! Protes keras!!!
31.KENTHUS : (NGGETAK) Meneng!....Rungokke sik! Lehku maca durng rampung! ...(MACA
LAYANG MANEH) Katelune, keputusane Den Bei Kenthus asipat mutak, ora kena diprotes,
diganggu gugat lan diowahi!... Titik!
KARTO BENDHO TEKA – NYAUT REMBUG
32.KARTO BENDHO: (MANTEB) Kudu diowahi! Kudu Diganggu guat!!!
33.KENTHUS : Karta Bendho! Lho, kowe ki ngapa ta?... Teka mak bedhengus njur nyaru wuwus!
Tugasmu rak wis cetha ta! Rehne kowe tilas bajiongan mula tak bayar, tak kon jaga keamanan! Ora
tak kon macahi aku!
34.KARTO BENDHO: (MANTEB) Kula akoni. Kula pancen tilas bajingan! Ning kula ora isa
meneng wae weruh sampeyan sewenang-wenang kalih para Magersari! Lan kula isa mbatalke
keputusan sampeyan!
35.KENTHUS :(KEMAKI) Ooo,.ngerti aku! Kowe mesthi arep nggunake cara ”preman” dinggo
mbatalke keputusanku!... Hiya?!
36.KARTA BENDHO: (MANTEB) Mboten!! Nggen kula wani mbatalke putusan sampeyan merga
kula ngerti urik sampeyan! Ngerti pokil sampeyan! ...Sakniki, empun wancine wadi niki kula bukak!
Nek sejatine lemah sing dinggoni para pagersari niku dede lemah sampeyan!
37. KENTHUS : (NESU) Kowe aja waton omong! Apa? Apa buktine???Sapa seksine nek sing duwe
lemah kene iki dudu aku???
PNG. SURYA TEKA – NYAUT REMBUG
38.SURYA
: (MANTEB) Bukti lan seksine,....aku!
39.KENTHUS : (KAGET) Ndara Pengeran Surya????...Penjenengan....penjenengan...
40.SURYA
: (WIBAWA) Beine Kenthus. Nggonmu tak percaya ngrumat lemah sing dinggoni
para Magersari iki, jebul ming kok anggo piranti nggonmu arep kemaki lan sewenang-wenang!
Mangka kowe ngerti. Lemah iki paring ndalem Ingkang Sinuwun marang aku. Lan kowe sing tak
percaya ngrumat. Ning kena apa kok salah gunakke dinggo numpuk kesugihan? Apa kowe lali nek
Ingkang Sinuwun ora tau gawe cilaka lan sengsarane kawula? ...Coba etungen. Pira akehe siti
kagungan ndalem sing dililakke dinggo kawigatene kawula? Pira akehe sekolahan, rumah sakit, pasar
lan papan liyane sing dibangun neng sak ndhuwure siti kagungan ndalem Ingkang Sinuwun?
41.KENTHUS : (WEDI) Njih, ..kula,.... kula lepat Njeng Pengeran.
42.SURYA
: (WIBAWA) Ngakoni luput kuwi kena. Jalaran wani ngaku luput kuwi ateges isih
duwe watak satriya! Semonoa, ngakoni luput kudu sinartan janji, ora bakal mbaleni tumindak kleru!
43.KENTHUS : (WEDI) Injih,.... sendika Njeng Pengeran.
44.SURYA
: (WIBAWA) Para Magersari kabeh mawon.
45.KABEH
: (BARENG) Kula njeng Pengeran.
46.SURYA
: Manggon onten kampung niku kudu nganggo landhesan werna telu. Siji, guyup
rukun. Loro, ajen ingajenan. Dene sing kaping telu, nganggo tepa selira.... Kabeh niku mengku teges
”ora kena mbedak-mbedakke siji lan liyane.” ...Embuh sampeyan Jawa, Sunda, Cina, Arab napa
Batak, Kabeh duwe hak padha ing bab napa mawon. .... Mulane, rehne lelakon niki pun rampung,
xxix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mangga sami memuji. Mugi-mugi, Guyup Kampung niki dadi srana manunggale kabeh warga sing
mapan onten kampung niki.
47.WONG-WONG: (BARENG) Sendika!!!
GENDHING PANUTUP – BABAK V RAMPUNG
T a m a
t
xxx
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xxxi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lampiran 2
LEDHEK BARIYEM
Penulis : Ari Purnomo
OPENING
# Nggambaraken swasana kuburan ing wanci dalu. Lighting lan setting kedah mendukung swasana
menika.
Sak westawis wekdal, kuburan Bariyem ngedalaken kebul lajeng njebluk….
“ Mak Doooooooooooooooorrrrrrrrrrr !!!!!!! (muga-muga kabeh kaget)
ADEGAN 1 : PLATARAN DESA KLAMPIS NGASEM
Swasanan
: Seneng
Paraga : Lurah Sarjana, Marji, Bariyem, Warga
Keterangan : Layar di buka, para warga saweg tayuban, sakwetawis wekdal Lurah Sarjana rawuh
1. Marji
: Oh…mangga..mangga Pak Lurah…
2.Lurah Sarjana : Hiya..hiya…Marji..kepiye? Apa kowe kabeh pada ngrasakake isa seneng -seneng
ing wengi iki ?
3. Giman
: Wah..nek ndalu niki jiaaaan katok tenan sing sami remen -remen. Para warga ugi
ngraosaken, Pak Lurah!!...Rak yo ngono to Caa ???
4. Warga
: Leres !!!!
5. Lurah Sarjana: Nek pancen para warga ing Klampis Ngasem kene pada seneng, aku uga melu
seneng. Lan perkara ragad tayuban iki, kowe kabeh ora perlu melu mikir, merga aku kang bakal
nanggung.
6. Warga
: Cocok....!!!
7.Marji
: Pak Lurah Sarjana mila loma sanget. Mboten klentu menawi mbenjang nalika
pilihan Lurah, para warga desa sami milih Pak Lurah Sarjana malih!! Ho’o ra Caaa ???!!!
8.Warga
: Leres…leres Pak Lurah !!!!
9. Lurah Sarjana: Yooo….yooo…aku neda nrima banget, nek pancen warga Klampis Ngasem kene
isih mercaya aku. Aku wani janji, menawa mbesuk aku kelakon dadi Lurah meneh…aku bakal
nganakake tayuban sing luwih gayeng tinimbang wengi iki !!!!
10. Warga
: Cocok …!!!
11. Lurah Sarjana: Ora mug kuwi, nanging aku uga janji menawa desa Klampis Ngasem kene Bakal
tak gawe luwih raharja lan temata….
12. Giman
: Kula sarujuk Pak Lurah…sampun ngantos desa mriki kawon menawi ditandingaken
kaliyan dusun sanesipun…
13. Warga
: Sarujuk !!!!
xxxii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14. Lurah Sarjana: Yoooh…yooh!!! Bariyem…..
15. Bariyem
: Kula Pak Lurah…
16.Lurah Sarjana: Aku maturnuwun banget marang kowe sak kanca, merga kowe wis isa gawe
regenging swasana ing wengi iki
17. Bariyem
: Injih Pak Lurah…kula sak kanca menika namung sak dermi ngayahi kuwajiban
ingkang sampun di dhawuhaken…. Kula sak kanca ugi matur nuwun, amargi pun ditimbali lan saget
nayub ten mriki.
18. Lurah Sarjana: Yo..yo…tiba pada - pada. Rehne saiki wis wengi, mula le pada tayuban di lereni
ndisik, supaya mbesuk tetep pada isa ngayahi kuwajibane dewe -dewe. Sing kudu neng sawah yo iso
menyang sawah.... semana uga sing pada laku dagang, muga-muga le bakulan laris kabeh.
19. Warga
: Aamiin…aamiin…nggih Pak Lurah!!
20. Lurah Sarjana: Ning aja pada lali yo….sesuk milih aku...!!!
21. Warga
: Njih ..Pak Lurah !!!
22. Marji
: Bariyem…. nek kowe arep mulih tak terke wae yo…
23. Bariyem
: Ora sah Kang…aku wis kangsen karo kang Sutrisna neng pojok ndesa kok…
24. Giman
: Tenane lho, Yem ?? Aja nganti kowe mulih dewe, wong kahanane saiki lagi
ndrawasi merga pilihan Lurah iki…
25. Bariyem
: Tenan kang…aku wis dienteni neng pojok ndesa kok...
26. Lurah Sarjana: Yowis…sing baku kowe le mulih kudu ngati-ati.
27. Bariyem
: Nggeh Pak….maturnuwun…..Sampun, kula nyuwun pamit…pareng pak Lurah
Bariyem lajeng kesah. Warga sami bidal. Lampu black out, adegan 1 rampung
ADEGAN II : DALAN
Swasanan
Paraga
Katarangan
: Sepi
: Sutrisna, Mirah, Bariyem, Brawa sakkanca
: Sutrisna ngenteni Bariyem, nanging dumadakan Mirah teka ing papan kana.
1. Sutrisna
: Wis yah mene.. kok yo Bariyem durung tekan kene to yo?!! Kamangka wingi le
kandha aku kudu ngenteni
2. Mirah
: Kang...kakang Sutrisna..!!!
3. Sutrisna
: Lho Mirah...kok kowe dadi tekan papan kene?
4. Mirah
: Ho’o Kang...iki mau aku seka nggone nDari, bareng le gojeg gayeng, aku dadi ra
ngerti wayah. Arep nginep neng kana, wedi ndak diseneni bapak, mula njur aku kudu mulih.
5. Sutirsno
: Kok yo ora ono sing ngeterke to Rah....?? Wong Pak Saranta yo bapakmu kae rak
njago Lurah to, mestine ana sing iso ngetutake lakumu
xxxiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6. Mirah
: Iyo kang...ning aku luwih seneng nek lunga dewe kok..
7. Sutrisna
: Arepa kaya ngono, ning rak yo aja njur sak karepmu dewe..
8. Mirah
nanging....
: Aku yo ngerti... mulane arepa kaya ngapa kahanane, aku yo tetep kudu mulih,
9. Sutrisna
: Nanging kepiye Mirah ...??
10. Mirah
: Mbok aku njaluk tulung... Kakang Sutrisna gelem ngeterke aku mulih ..blaka wae
yo kang...sakjane aku mulihdewe ngene iki yo wedi...
11. Sutrisna
: Ngene yo Rah...aku ora kabotan ngeterake kowe mulih, ning kowe kudu ngerti, nek
tekaku neng kene iki pancen tak jarak, merga aku wis duwe kangsenan karo wong liya.
12. Mirah
: Wong liya sapa..?? Wong nyatane neng papan kene ora ono wong liya kejaba aku
lan kowe to Kang..?? Apa pancen kowe ora gelem ngeterake aku mulih??
13. Sutrisna
: Lho..lho..lho...kok malah tekan kana to, lehmu mikir..??
14. Mirah
: Aku pancen kudu mikir tekan kono Kang, merga sapa wae wis ngerti nek kowe kui
uwonge Pak Lurah Sarjana, dadi ora mokal nek kowe ora sarujuk karo bapakku.
15. Sutrisna
: (ngguyu lirih) Iki ora ana sambung rapet e karo pilihan Lurah, ning pancen aku ki
wis duwe kangsen ana ing papan kene tenan.
16. Mirah
: (mikir) Karo Bariyem.... ???
17. Sutrisna
: (mesem)
18. Mirah
: (mrengut) Tenan to ??? Mesti kangsenan karo Bariyem....
19. Sutrisna
: Iya...ora tak selaki, aku pancen wis kangsen karo Bariyem ketemu neng kene.
20. Mirah
: (Mlaku ngadoh) Wiwit awake dewe cilik mbiyen, kowe, aku lan Bariyem neng
ngendi-ngendi tansah bareng. Ora awan, ora sore...awake dewe wong telu ora tau pisah. Nalika kui
atiku kebak pengarep-arep kang endah. Dina gumanti minggu, minggu gumanti sasi nganti tahun.
Saya suwe aku ngrasakake nek kowe luwih nggatekake Bariyem tinimbang aku. Saben-saben mung
Bariyem kang tansah kok kandakake.
21. Sutrisna
: Kowe ojo kleru panampa ngono kui Rah.... Aku ora tau mbedak-mbedakake ing
antarane kowe lan Bariyem. Kowe kabeh kui wis tak anggep kaya adiku dewe.
22. Mirah
: Tembung pancen bisa kok gawe, nanging soroting mripat lan tumindakmu ,wis
kanda sing saknyatane. Menawa sejati ne kowe tresna marang Bariyem.
23. Sutrisna
: Apa luput nek aku tresna marang Bariyem ???
24.Mirah
: Ora ana tembung luput sakjroning rasa tresna. Merga tresna kui berkah dalem saka
Gusti. Mung emane, kala mangsa menungsa kang kurang trep anggone negesi lan nibakake marang
sapa, rasa tresna kui bakal tumiba.
25. Sutrisno
: Trep kanggomu,durung mesti trep kangone wong liya. Merga tresna kui bisa tiba lan
di tibakake marang sapa wae.
26. Mirah
: Kui jenenge kowe ora bisa ngendalekake playuning atimu. Manungsa di titahake
kanggo ngendaleni rasa tresna ,dudu tiba kosok baline ...( mesem ) Nanging kabeh wes dumadi ,banyu
udan kang wis tumetes saka nduwur ora bakal bisa bali munggah meneh .
xxxiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27. Sutrisna
: Iki mau mung perkara ngeterke mulih, nanging sing dirembug kok dadi tekan
panguneg - uneging ati, to..???
28. Mirah
: Lha jeneh, kowe yo nganyelake kok…(mrengut) Mung dijaluki tulung wae kok ora
gelem..mbok ayo to, kang!! Mengko rak yo Bariyem ana sing ngeterake mulih…
29. Sutrisna
: Wah, ..piye yo??
30. Mirah
: Yo rasah piye - piye, angger njur mangkat rak yo uwis to ??
31. Sutrisna
: Yo wis ayo…ning sing mlaku rada cepet yo. Perlune bar ngeterake kowe, aku yo
gek tak methuk Bariyem.
32. Mirah
: Yo…ayo !!!
Mirah lan Sutrisna lajeng kesah saking papan mriku, mboten dangu Bariyem lajeng dumugi
33. Bariyem
: Lho ….kakang Sutrisna ki piye to??? Apa lali nek uwis kangsen karo aku neng kene
??Wis yah mene kok durung teka???
Dumadakan wonten sak gerombolan tiyang ingkang mawi topeng…lan kepengin mrawasa Bariyem .
Nanging Bariyem mboten kendel kemawon, salah satunggalipun Brandal saged dipun bikak
topengipun.
34. Bariyem
: Lho kowe Kang Brawa ??!!Kowe pendereke Pak Saranta !!!!
Ajrih amargi sampun kedenengan, Brawa sak kanca lajeng mejahi Bariyem. Jisimipun Bariyem dipun
tilar wonten papan mriku. Lampu black out adegan 2 rampung
ADEGAN III: OMAH DESA
Swasanan
:
Paraga : Mbok Minten, Sutrisna, Lurah Sarjana, warga
Katarangan
: layar dibuka, jisine Bariyem wis dilayati dening warga.
1. Mbok Minten: (nangis)Bariyem..... nduk..... kok dadi kaya ngene lelakonmu..??? Ora ngira babar
pisan nek kowe nemoni kahanan kaya ngene. Njur sapa sing tegel marang kowe ?? Bariyeemm....
2. Sutrisna
: Aku njaluk ngapura, mbok...Nek mau bengi aku ngenteni Bariyem, tak kira ora
bakal ana lelakon kaya ngene…. Iki salahku mbok…
3. Mbok Minten : (nangis) Kabeh wes kelakon, le.. Sing aku ora bisa nampa, njur sapa sing wis tega
marang Bariyem?? Wiwit cilik Bariyem ora tau nglarani liyan, srawunge uga jembar.....Sapa sing wis
digawe lara dening Bariyem, dene pawongan kui nganti tegel kaya ngene ..??
4. Sutrisna
: Aku janji bakal nggoleki pawongan sing wis tumindhak iki !!!
5. Lurah Sarjana: Mbok Minten, lan kowe Sutrisna… Aku bisa ngrasakke sedihing atimu. Sapa wonge
sing ora kelangan nek ditinggal anak, kamangka kanthi nemoni lelakon sing ora sak mestine. Aku
melu bela sungkawa....
6. Mbok Minten: Injih Pak Lurah, matur nuwun sanget…
7. Sutrisna
: Kanthi cara menapa kemawon, kula kedah manggihaken sinten ingkang sampun
tumindhak tega marang Bariyem, Pak Lurah..!!
xxxv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8. Lurah Sarjana: Kowe kudu eling, Sutrisna… Nek kowe tumindhak nganggo caramu dewe, kowe
uga bakal dianggep luput, merga saiki awake dewe ora duwe bukti lan seksi sapa sing wis tumindak
kejem marang Bariyem.
9. Sutrisna
: Kula mboten perduli Pak Lurah..!!
10. Lurah Sarjana: Kuwi jenenge kowe tumindak ngawur. Tanpa bukti lan seksi...kaya dene wong
wuta sing lagi mlaku ing sak tengahing gumuk pasir.
11. Sutrisna
: Menawi sanes kula, lajeng sinten ingkang badhe tumindak ??
Pak Saranta teka ing papan kono, Brawa sak kanca uga melu
12. Pak Saranta : Aku sing bakal melu nggoleki lan nemokake pawongan kui. Kowe lan Mbok Minten
ora perlu kuatir.
`13.Lurah Sarjana: Ooo... Sampeyan to Di..
14. Pak Saranta: Nggih kang... Aku melu bela sungkawa yo, Yu Minten...
15. Mbok. Minten: Injih… matur nuwun sanget Pak.
16. Lurah Sarjana: Aku neda nrima dene sampeyan kepengin melu nggoleki sapa sing wis tegel
marang Bariyem
17. Pak Saranta: Sampeyan ora perlu neda nrima kang... Apa sing tak tindakke iki merga aku uga
warga Klampis Ngasem kene, aku duwe kuwajiban melu njaga katentreman.
18. Lurah Sarjana: Rasa bela kuwi, kala mangsa tekane pancen sok kaseb...
19. Pak Saranta: Apa karep sampeyan kok kandha kaya ngono..??
20. Lurah Sarjana: Aku ming arep kanda nek pati ne Bariyem kudu ne isa di singkiri menawa
sampeyan isa ngatur wong - wong sampeyan.
21. Pak Saranta:Sampeyan ngarani, nek kabeh iki sing tumindak wong - wong kula.. Ngaten..??
22. Lurah Sarjana: Aku ora perlu kanda kaya ngono, nanging kahanan sing ngandakake...
23. Pak Saranta : Napa buktine nek tiyang kula sing pun tumindak..??
24. Lurah Sarjana: Bukti lan seksi ngono ming perangan kanggo nibakakae dakwa. Sing luwih wigati
sejatine mung ati lan rasa kamanungsan konggo ne uwong sing wis tumindak. Lan aku percaya nek
bukti lan seksi bakal tak temokake menawa wis tekan titi wanci ne...
25. Pak Saranta : Sakdereng e seksi lan bukti teng tangan sampeyan, kudune sampeyan aja ming
waton ngucap, merga sampeyan isa kadakwa mitenah liyan..... Ana maling kok alok maling
26. Sutrisna
: Nuwun sewu pak Lurah lan Pak Saranta... Kula kinten kirang prayogi menawi
penjenengan kekalih sami regejegan ing papan mriki.
27. Pak Saranta : Teka ku iki ora arep regejegan.... Mungsuh ora tak golekki, ning nek ana sing gawe
dadakan perkara, sak jangkah wae aku ora bakal mundur.
28. Lurah Sarjana: Bola - bali nek uwong sing isa ne ming nggunakake okol....
29. Sutrisna
: Nuwun sewu Pak Lurah.... Kula suwun sampun pun lajengaken malih. Langkung
prayogi menawi sakmenika enggal - enggal ngrukti Bariyem kemawon. Mangga.....!!
xxxvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30. Mbok Minten: Bariyeeemmm...!!!!
lampu black out... Adegan III rampung.
ADEGAN IV
: OMAH PAK SARANTA
SWASANA
: KENCENG
PARAGA
: Pak Saranta, Brawa, Kunthing, Bagong, Si Dul, Bu Saranta
KETERANGAN
: Pak Saranta saweg duka kaliyan Brawa sak kanca
1. Pak Saranta : Ngandel ora…. Bola bali nek rembugan karo wong – wong cubluk.. nyambut gawe
do srogal – srogol tanpa petung..!!
2. Brawa
: Nggih pak…. Kula nyuwun ngapunten. Kedadosan menika mboten dijarag sakestu.
3. Pak Saranta : Piye..??? Njaluk ngapura..?? Mbok wingi sak durunge tumindak kuwi utek e do di
nggo… Bareng saiki ana kedadean kaya ngene, kok njur penak banget kowe njaluk ngapura.
4. Bagong
: Ngandel ra kang…. Aku wis krasa kok, nek pak Saranta ora bakal paring pangapura,
merga dosa ne awake dewe kuwi wis gede tenan, kang.
5. Pak Saranta : Wong aku kuwi ming kongkonan do tak kon meden – medeni wae… Kok yo njur
nganti ana raja pati kuwi piye..??
6. Brawa
: Kawontenan e mila mboten saged disingkiri malih pak. Bariyem ngonangi, menawi
kula sak kanca tiyangipun pak Saranta.
7. Kunthing
: Nggih pak… Kula sak kanca dados bingung sakestu, awit sami kuwatos menawi
asma penjenengan ingkang dados totohanipun.
8. Si Dul
: Dados mboten wonten niat sakestu bade mejahi Bariyem.. ho o to kang..??
9. Brawa
: Leres pak… Kula sak kanca mboten niat mejahi sakestu..
10. Bagong
kang…???
: Kanca – kanca niku niat e ming do kepengin mrawasa Bariyem kok pak.. Ho o to
11. Pak Saranta : Piye…??? Dadi pancen kowe do duwe karep kepengin mrawasa Bariyem to…??
Aku rak ming kongkonan kon meden – medeni wae to…!! Kok kowe malah do duwe karep dewe dewe kui piye…?? Bola bali nek menungsa urakan, nggragas kok yo ora mari – mari lho…!! Sodron
tenan kok pancene kowe kabeh kuwi…!!
12. Brawa
: Cangkem e Bagong kuwi pancen ora isa di tata tenan kok..
13. Bagong
: Lha kok ndadak nganggo di tata ki apa cangkem ku mawut po, kang..??
14. Brawa
: Prek gong...!!
15. Pak Saranta : Nek ana kedadean ngene iki njur kudu piye coba..??? Lurah e Sarjana wis wiwit
cubriya marang aku... Kamangka nek kahanan iki di neng ke wae, bakal ngganggu anggonku
kepengin maju dadi lurah.
16. Brawa
: Pak Saranta mboten sisah bingung perkawis menika....
xxxvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17. Pak Saranta : Kok kowe isa kanda kaya ngono..??
18. Brawa
buktinipun.
: Napa ingkang sampun kula sak kanca tindakaken menika mboten wonten seksi lan
19. Kunthing
kewiyak.
: Lan sak umpami wonten bukti utawi seksi mesti wiwit wonten layatan wau, sampun
20. Si Dul
: Nanging nyata ne... Wau ugi mboten wonten ingkang wantun dados seksi
21. Brawa
menika
: Menika saged dados bukti, menawi pak Saranta mboten badhe kembet perkawis
22. Bagong
: Waahh... Kowe kabeh do salah anggone maca kahanan, kang. Lha wong cetha apa
sing di tindakake awake dewe kuwi ana seksi ne, yo kuwi Gusti Allah... Leres to pak..??
23. Brawa
: Cangkemu isa meneng ra to, gong...??
24. Bagong
: Kok rumangsaku, nek aku ngomong kuwi ra tau pener to...??
25. Pak Saranta : Nek di pikir tenan... Omonganmu kuwi pancen ana bener e, wa... Lan tak kira apa
sing di kandakake Lurah e Sarjana kae mau mung pawadan kanggo meden - medeni aku wae.... Nek
aku ketok wedi, Lurah e Sarjana malah saya bisa mojokake aku. Ning tenan to... Apa kang kok
tindakake kuwi ra ana seksine...???
26. Bagong
: Wonten pak.... Gusti allah seksine...
27. Pak Saranta : Isa meneng ra kowe, gong...??? Aku isih percaya kowe sak kanca, wa... Ning yo
kuwi.. Nek nganti sesuk ana seksi utawa bukti sing tumuju marang tumindakmu, tak jaluk kowe
kabeh aja nganti ngembet jeneng ku.. Ngerti..??
28. Brawa
: Pak Saranta pitados mawon kaliyan kula sak kanca...
29. Pak Saranta : Yo wis.... Nek ngono, kowe kabeh apik e gek sumingkir wae seka papan kene,
mengko ndak malah ana sing ngonangi njur tundone gawe dadakan perkara meneh.... Nyoh... Iki
duwit nggo seneng - seneng...
30. Brawa
: Njih pak... Matur nuwun
Brawa sak kanca lajeng kesah, bu Saranta mlebet kanthi nyangking unjukan
31. Bu Saranta: Niki unjuka ne pak... Gek di unjuk riyin mumpung taksih anget
32. Pak Saranta : Seleh na kono disik....
33. Bu Saranta : Nuwun sewu pak.... Saking wingking wau kula lamat - lamat krungu rembagan e
Brawa sak kanca... Napa sing mejahi Bariyem niku Brawa sakestu napa...??
34. Pak Saranta : Kowe kuwi ngomong apa to...?? Mbok nek ora ngerti selehing perkara, aja waton
muni...
35. Bu Saranta : Mula ne kula takon niku merga kula ora ngerti dodok selehing perkara... Nek pancen
Brawa sak kanca sing pun tumindak, nggih mboten sah di belani, napa malih kok njur melu nutup nutupi.... Salah - salah, sampeyan mangke isa di anggep melu tanggung jawab.
36. Pak Saranta : Karepmu...???
37. Bu Saranta : Sak primpen - primpen e tiyang niku nyimpen bathang, nek wis tekan titi wancine
bathang niku mesti bakal mambu..
xxxviii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38. Pak Saranta : Aesh... Crigis... Malah ngrembug tekan bathang barang... Marai ra sida ngelak...
Pak Saranta lajeng kesah, lampu black out adegan IV rampung
ADEGAN V : CAKRUK RONDA
Swasanan
: Nglangut
Paraga : Suta, Wadi, memedi Bariyem
Katarangan
kenthongan.
: Suta lan Wadi lagi pada njaga katentreman ing desa ( Ronda kanthi) dolanan
1. Suta
nyuwara…
:Nek arep nuthuk kenthongan ki, yo kudu nganggo irama, Di…ora mung waton
2. Wadi
: Karepku ki yo ngono kui, ning kok ndilalah kenthongane ki malah blero…
3. Suta
: Yo ora ana, kenthongan kok nganggo blero, nek kui dasare lehmu nuthuk ming
waton sero….
4. Wadi
: Kamangka rumangsaku le nuthuk kui yowis nganggo wirasa,wiraga lan wirama
je,…ning kok yo ra tau kok anggep pener to?? Aja-aja ngko malah kupingmu sing lagi lara??
5. Suta
: Wong kowe ki ra pener sing nuthuk kok malah ngarani kupinge sing
ngrungokake…
6. Wadi
: Yo wis…aku tak manut kowe wae…ndak ngko nek aku ra manut ming mbok
klerokake terus…
7. Suta
: Yo digawe kepiye supaya bisa ngasilake swara kenthongan sing mranani..
Loro karone banjur pada nuthuk kenthongankanthi irama kang penak.
8. Wadi
: Ta,Suta….kowe ngrasakake nek wengi iki ora kaya wengi -wengi adate ora??
9. Suta
: Nek rumangsaku kok ora ana bedane…
10. Wadi
kae lho…
:Ning wengi iki, rasane beda tenan Ta….rasa adem e kekes banget, gek kaya nglangut
11. Suta
: Haaeeessssh!!!....kui mung pawadanmu wae. Padune kowe ming arep endo seka
tanggung jawab mu to??? Mangka wengi iki wis dadi jatah e awak e dewe lho..
12. Wadi
: Hmmm…mbok saiki awake dewe bali wae yo… Aku ngrasakke pating prinding je..
13. Suta
: Kebelet po kowe,kok pating prinding kui ??
14. Wadi
:Ora yoo..tenan nek iki Taaa….
15. Suta
: Halaaaaaah !! Ngomong wae nek kowe ki dienteni bojomu..kok ndadak ngrasakake
pating prinding barang….
16. Wadi
: Kowe lali po…nek Bariyem nggone nemoni pepati kuwi ora sak mestine, gek nganti
tekan saiki ora ana sing ngerti sapa sing wis tega mateni .
xxxix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17. Suta
: Nek dipikir tekan kana, pancen kowe bener Di…. Ning apa yo ana sambung e,
suasana ing wengi iki karo pati ne Bariyem????
18. Wadi
: Iso lho…Bariyem nglambrang, merga kepingin nggoleki sapa sing mateni….
19. Suta
: Mbok kowe ora meden - medeni ngono kui, Di….
20. Wadi
wae yo...
: Aku ki ora meden - medeni, ming mbok menawa ngono kui kok…wis to saiki bali
21. Suta
: Wah..!!ngko nek awake dewe mulih njur sapa sing arep njaga neng kene?? Nek
nganti ana apa - apa njur piye ????
22. Wadi
: Ning nek awake dewe tetep neng kene, nek njur Bariyem teka mrene piye ??
Bariyem teka ing papan kono, kanthi wewujudan sing nggegirisi
23. Suta
: (weruh luwih disik ) Nek…nek…Bariyem nganti mrene…messs…messti wujude
nggegirisi yo ???
24. Wadi
: Ha…iyo..
24. Suta
: Ram…rambute…mesti…mesti..aawuul…awulan..yo???
25. Wadi
: Ha..iyo...
26. Suta
: San….san…sandangane..mees…messtii…sarwo..rusak..yo ???
27. Wadi
: Ha..iyo...
28. Suta
: Tur…tur..mesti….mam…mambu….wangi..wangi….pengar kae yo??
29. Wadi
: Ha..iyo..
30. Suta
: Ning…suwe..suwe…dadi…mambu…kaaa….kaayaaa bathang kae ??
31.Wadi
: Haa iyo... (lagi sadar)…Nek kowe iso kanda ngana,tegese Bariyem mesti wis neng
mburiku yoo..???!!!
Wadi alon - alon mengo…..
32. Wadi & Suta: Whhhuaaaaaaaaaaaaaaaaa !!!!!!!!!!!!!!!
Wadi lan Suta banjur ambruk... Semaput.. Klenger... Lampu black out, adegan V rampung
ADEGAN VI : WARUNG TUAK
Swasanan
: Gumyak
Paraga : Bakul Tuak, Brawa, Brandal-brandal, Memedi Bariyem
Keterangan : Brawa sak kanca saweg ndem - ndeman ing warung tuak
1. Brawa
: Ayo…!!! Kabeh kudu mendem..!!!! Aja sumelang...mengko aku sing
mbayari……ha ha ha...
2. Bagong
: ( wis mendem ) Waaaah…nek iki…puenaaaak…tenan!!!...Rasane awak ku enteng,
kaya nunggang kupu…mak pleper…pleperrrr...
xl
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Bakul Tuak : Ning iki mengko do dibayar tenan lho, Wa….
4. Kunthing
:Rasah sumelang…ora-ora nek kang Brawa kok ora mbayar…
5. Bakul Tuak : Adate nek wis do mendem ngono kuwi, njur do minggat dewe-dewe je...
6. Brawa
: Kowe ra ngandel nek aku isih kuat mbayar, ngono po piye?? Bagong, Kunthing,
karo Si Dul kon ngombe satutugke…mengko aku sing mbayari….!!!!
7. Si Dul
: Ho’oh…aja lali utangku sing wingi dibayar sisan..Kabeh di etung, mengko ben
dibayari karo kang Brawa…mumpung kang Brawa bar nampa duwit seka Pak Saranta….Ho’o to
kang ???!!!
8. Brawa
: Haiyooo….!! Neng nek utangmu, yo bayaren dewe Dul !!!
9. Bakul Tuak : Nahhhh….rak tenan, wiiiss.... ngalamat ora kebayar meneh iki..!!!
10. Si Dul
: Wis to..rasah sumelang, sing bakul kowe ming gari ngladeni kanca - kanca iki
!!..Ning yo kui…tuakke aja sing pengar…!!! Gek winginanae aku ngombe tuakmu sing pengar njur
rong ndina murus wae je….
11. Bagong
: Nek leh mu murus kae ora merga ngombe tuak…ning pancen rong ndina kae,kowe
ming disambel ke thok karo bojomu, ora dilawuhi.. merga kowe ora mblanja….Ho’o ra???? ( ngguyu
lakak-lakak )
12. Kunthing : Bener..bener kowe Gong… Mangka nek si Dul arep ora mangan neng omah, iso
malah dikrawu sambel raine… Mula gelem ra gelem yo kudu mangan neng omah nganggo sambel
thok…Hahahahaha !!!
13. Si Dul
: (rada mangkel) Matamu!!!!!
14. Brawa
: Wis….rasah do crigis wae!!!...nek arep mendem gek do mendem!!!
15. Bakul Tuak : (marang Brawa ) Hee…Wa !!! kowe wis krungu kabar durung ??
16. Brawa
: Kabar apa to yu..??!!
17. Bakul Tuak : Aku krungu seka wong - wong pasar, nek jarene saiki Bariyem
urip meneh….
Kabeh kaget nggrungokake kabar kui, nanging banjur pada nylamur-nylamur
18. Brawa
: Heee ??...Urip meneh?? Ora sida mati ngono po piye?
19. Bagong
: Gek - gek ngko nyawane Bariyem kui serep ???
20. Bakul Tuak : Ora….dudu ngono kui.. Saiki kuwi Bariyem nglambrang!!Dadi memedi !! Wis
bola-bali ngetok - ngetoki kok… Malah wingenane kae jare ndhodogi omahe kang Woto,…nganti
kang Woto ki klenger ngenggon lho..!!!
21. Kunthing
: Kowe ora dleweran lho yu…ora meden - medeni!!
22. Bakul Tuak : Nggo ngapa aku meden - medeni kowe kabeh…arep a tak wedeni kae, kowe kui rak
sengara do wedi to???
xli
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23. Si Dul
dhemit…
: Heee ??!!...Wooo…Haaa…haaaiyooo!!! Nek aku sak kanca ki sengara wedi karo
24. Brawa
: Apa kowe yo tau krungu, nek dhemite Bariyem kui, nggoleki sapa yu????
25. Bakul Tuak : Wah…nek kui aku ora ngerti Wa,..ning mbok menawa Bariyem kui durung trima,
merga nganti saiki sapa sing mateni dheweke durung konangan…
26. Brawa
: Arep maleske lara atine, ngono po ??
27. Bakul Tuak : Yo mbok menawa…saiki sapa wonge sing ora lara ati coba…wong Bariyem kae
rumangsaku ora tau natoni ati ne wong liya…kok yo ana sing tumindak tegel. Nek aku..mbok wis
ben nek Bariyem kui arep maleske lara atine. Ben sing wis do tegel mateni, do ditekak !!!
28. Bagong
: Cangkemmmmmu !!!!
29. Brawa
: Wis..wis..saiki rasah ngrembuk Bariyem meneh, wong sing wis mati kui ora bakal
urip meneh. Apa meneh kok nganti nglambrang…
30. Bakul Tuak : Hmmm.... nek do ra ngandel yowis…
31. Brawa
: Nyooooh..iki duwit dinggo mendem sak tutuge. Aku tak lunga disik..
32. Bagong
: ( wedi ) Kowe arep neng ndi kang.. Aku tak melu kowe wae yooo…???
33. Brawa
: Haeeeesssh!!! Ra sudi aku kok eloni…aku wis duwe kangsen dewe karo rondo
anyar wetan ndesa kae…teneh mengko kowe ming ngganggu lehku arep seneng-seneng!!!!
34. Bagong
: Aku tak ngenteni neng njaba wae wis…
35. Brawa
: Hussh!!..Wegah !! Janji kowe ngeyel malah tak penthungi dewe !!! Wis aku tak
pamit disik !!!
Brawa banjur lunga seka papan kana..ora suwe swasana dadi beda..Bariyem kanthi wewujudan kang
nggegirisi teka neng kana lan malesake lara atine marang Bagong, Kunthing, lan Si Dul. Bakul Tuak
sing dadi seksi malah semaput. Sutrisna lan warga teka ing papan kono. Lampu black out adegan VI
rampung.
ADEGAN VII : DALAN
Swasanan
:
Pemain : Brawa, Bariyem,Sutrisna,Wong-Wong Desa
Katarangan
bariyem
:Brawa lagi mlaku ijen ,ora krasa jebul deweke liwat ing ndalan sing kanggo mateni
1. Brawa
: Aku kok dadi liwat dalan kene to..?! kamangka neng papan kene iki,aku mateni
Bariyem ...wah...nek ati lagi ora jenjem ngene iki lakuning sikil dadi ora pener. Ning apa sing
dikandake bakule tuak mau tenan po yo..??Mokal...mokal nek ana wong sing wis mati isa urip
meneh... Kok iki hawane rumangsa ku beda karo adat sabene yo..?!Aeasshh...iki mung merga atiku
sing lagi ora jenjem wae...
Nalika Brawa arep nerusake laku,deweke dipethuke karo wujude Bariyem kang ngegirisi ,banjur
kedadosan pancakara, Brawa bisa dikalahake lan dipateni. Sutrisna lan wong-wong ndesa teka ing
papan kono.
xlii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Sutrisno
: Kanca-kanca ....wis saya cetha lelakon e nek sing mateni Bariyem,mesti Brawa sak
kanca ...Nyatan e.. Yo ming Brawa sak kanca sing dipateni dening Bariyem
3. Karta
lelakon iki.
: Nek ngono ora jeneng tembung aneh, menawa pak Saranta kang dadi dalang e
4. Marji
: Kowe bener kang Karta..merga wong - wong desa kene wes ngerti nek pak Saranta
kuwi kepingin njago lurah . Mula...sapa wae sing ngombyongi pak lurah Sarjana, mesti bakal di
pilara kaya dene Bariyem kui....
5. Sutrisna
: Nek petung ku ora kleru.. saiki Bariyem mesti tumuju neng ngomahe pak Saranta
,mula ayo ..awake dewe nututi playune Bariyem.
6. Kabeh
: Ayo...ayo..!!!!!
Kabeh banjur budal, lampu black out adegan VII rampung
ADEGAN VIII : OMAHE PAK SARANTA
Swasanan
:
Pemain : Pak Saranta, Bu Saranta, Bariyem,Sutrisna,Wong-wong desa
Katarangan
: Pak Saranta ketok lagi bingung ,merga ngerti kahanan sing ora tentrem
1. Bu Saranta : Pak .....niki pun tekan titi wancine , sampeyan kedah ngakeni menapa ingkang
sampun di lampahi
2. Saranta
: Kok kowe isa kanda kaya ngono..???
3. Bu Saranta
ati.
: Kahanan sak niki pun mboten tentrem malih, merga Bariyem kepingin males lara
4. Saranta
: Tak akoni..aku pancen perintah marang Brawa sak kanca supaya nyikara
Bariyem..nanging karepku aja nganti tumekaning pati, perlune wong-wong sing nyengkuyung Lurah
Sarjana pada wedi lan tundhone banjur malik nyengkuyung aku.
5. Bu Saranta : Menika teges e sampeyan kepingin dadi lurah,ning nganggo cara sing kleru.
Sampeyan mung gawe warga ajrih, nanging mboten gawe warga kurmat kalih sampeyan. Lurah niku
kudune isa disuyuti dening wargane .
6. Saranta
: Nek kanggoku, sing jenenge panguasa lan kamukten kuwi dadi wenang e saben
uwong. Sok sapa a di wenangke nggayuh kamukten lan panguasa.
7. Bu Saranta
: Nggayuh nanging nganggo cara sing bener.
8. Saranta
: Benere wong liya, durung mesti bener kanggoku, semana uga kosok baline. Saben
uwong kuwi duwe wenang kanggo nggayuh apa sing dadi panjangkan e nganggo carane dewe - dewe
9. Bu Saranta
: Nek ngaten... sampeyan pun klentu nggon e negesi kamukten lan panguasa.
10. Saranta
: Kok kowe dadi mulang aku, apa rumangsa mu luwih pinter kowe tinimbang
aku,ngono...??
11. Bu Saranta : Menika dede perkawis pinter utawi bodho,nanging perkawis luput lan bener.
Kamukten niku mboten kudu di petung kanthi bandha. Semanten ugi panguwasa... nek tiyang pun
xliii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
nyepeng penguwasa ,mboten teges saged kangge nguwasani tiyang sanes. Nanging kados pundi
panguwasa niku saged damel tentrem lan migunani kangge tiyang sanes.
12. Saranta
: Cukup..!!! Nek aku mulya ,tundone kowe uga bakal nemani mulya. Apa kang tak
tindakake saiki ora liya yo mung kanggo awake dewe !!
13. Bu Saranta : Nyuwun ngapunten pak ....kula mung kepingin ngemutake mawon.
14. Saranta
: Wis.. Wis...aku ora sah di elingke, aku ora lali.Wong wedok kok rumangsaku
kakean penemu. Wis kana neng mburi wae.
Sakwetawis wekdal, Bariyem kang wujudipun ngegirisi dugi ing papan miru lan mejahi pak Saranta.
Sakderengipun Bareiyem kesah, Sutrisna sakkanca sampun ngupeng Bariyem.
15. Sutrisna
: Kecandak kowe saiki..!!! wiwit sepisan aku ora ngandel nek kowe kuwi Bariyem.
Merga mokal nek ora wong sing wis mati kok isoh nglambrang !!
Bariyem dipun tingkes lajeng topengipun dipun bikak
16. Giman
dawuhi.
: Ampun...ampun kang.!!! Kula ampun di pilara malih, kula niki mung sak dermi di
17. Sutrrisna
: Lho....kowe iki rak Giman to...?? Kowe wong e pak Lurah Sarjana.
18. Giman
: Ho oh.....aku pancen di prentah dening pak Lurah Sarjana .
19. Sutrisna
: Wis saiki ngene wae....aku tak nusul mbok Minten terus tak ketemu Lurahe Sarjana
,kowe kabeh nggawa Giman iki neng ngomahe Jagabaya njur do nusul a neng ngomahe pak Lurah.
20. Kabeh
: Yo kang...!!!
Sedaya lajeng bidal, lampu black out adegan VIII rampung.
ADEGAN IX : OMAH PAK LURAH
Swasanan
:
Pemain : Lurah Sarjana,Mbok Minten,Sutrisna,Warga
Keterangan
: Lurah Sarjana Saweg Ngantu-Ngantu Tekane Giman
1. Sarjana
: Nek Giman ,wis bisa mateni Saranta sak kanca...bisa tak pestekake menawa aku
mesti kelakon dadi lurah meneh. Yo nganggo sarana pati ne Bariyem ngene iki aku bisa ngresiki
wong - wong sing kepingin dadi lurah,sisan sak pengombyong e..... Ning wes nganti yah mene kok yo
Giman durung menehi kabar aku yo....???
Mbok Minten dumugi ing mriku
2. Mbok Minten: Giman mboten saged paring atur malih.!!!
3. Sarjana
: Lho....Mbok Minten ... Apa karep mu ngomong kaya ngono kuwi..?? Sing tak
karepke kuwi Giman kok durung menehi kabar sapa sing wis mateni anak mu.
4. Minten
: Sinten ingkang mejahi anak kula sampun kecepeng. Mboten wonten sanes inggih
Brawa sak kanca...abdi nipun Pak Saranta.
5. Sarjana
: Yo sokur...sokur nek pancen kaya ngono.
xliv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6. Minten
: Naning sak menika..jebul kula mangihi piyambak ,wonten tiyang ingkang langkung
kejem tinimbang Brawa sak kanca.
7. Sarjana
: Karepmu...??
8. Minten
: Brawa pancen sampun mejahi anak kula. Piyambakipun sampun ngrampas
gesangipun Bariyem, nanging sampeyan tumindak langkung kejem.. sampeyan sampun ngrampas
ketentremanipun Bariyem ing alam kelanggengan .
9. Sarjana
: (KAGET ) Aku kok durung isa nampa karepmu..??
10. Minten
: Menapa lepatipun anak kula.?? Menapa lepatipun tiyang ingkang sampun pejah...??
Napa tiyang ingkang sampun pejah tasih saged damel kapitunangin liyan..?? Sampeyan sampun tegel
mitenah Bariyem. Anak kula kedahipun sampun tentrem ing alam kelanggengan, nanging sak menika
piyambakipun kedah nanggel tumindak ingkang boten dipun lampahi.
11. Sarjana
: Kowe aja waton ngucap kaya ngono kuwi Mbok Minten...
12. Minten
: Sak limpat-limpat e kidang ingkang saget uwal saking pangoyakipun macan, wonten
kala mangsanipun kidang badhe lena sak temah saged pun mangsa dening macan menika...Tumindak
sampeyan ingkang sampun ngginakaken pejah e Bariyem, sampun mitenah Bariyem kangge nggayuh
kekarepan sampeyan.... Sampun dumugi titi wancinipun tumindak sampeyan kewiyak..!!
13. Sarjana
: ( Meneng )
14. Minten
: Menapa tiyang ingkang sampun pejah, tetep mboten gadhah wenang kangge
manggihi katentreman ...?? Sampeyan jejering pengayom sing kudu ne saged ngayomi, nanging
sampeyan malah tegel mitenah tiyang ingkang sampun pejah...?? Lajeng kados pundi tumindak
sampeyan dhateng tiyang gesang..??
15. Sarjana
: Ngarani tanpa bukti lan seksi kuwi uga bisa di arani mitenah..!!
16. Sutrisna
: Seksine kulo lan buktinipun sampun cetha, bilih sampeyan perentah Giman supaya
memba - memba dadi Bariyem.
Sutrisna lan para warga desa sami nglempak ing papan mriku.
17. Surtisna
: Pak lurah kedah tanggel jawab marang sedaya ingkang sampun di tindakaken,
kalebet kedah tanggel jawab marang pejahipun Brawa sak kanca. Ukum kedah lumampah... Ingkang
leres sampun ngantos dipun anggep lepat, lan ingkang lepat sampun ngantos dipun anggep leres..!!
Ing pojok panggung ,wujuding Bariyem sing sarwa pucet jumedul...
18. Bariyem
: Simboook !!!
19. Minten
: Bariyeeemm...!!!!
RAMPUNG
xlv
Download