PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI Tesis Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Oleh: Vini Oktaviani Hendayani 116322013 Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2016 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI HALAMAN JUDUL HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI Tesis Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Oleh: Vini Oktaviani Hendayani 116322013 Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2016 i PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI • PERSETUJUAN Ii Ii." Tesis / , HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI Oleh: 26 Februari 2016 II PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PENGESAHAN Tesis HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI Oleh: Vini Oktaviani Hendayani NIM: 116322013 ·' Ketua Sekretaris Anggota karta, III .#...E~~n.....2016 • PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI • PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Yang Bertanda tangan di bawah ini, Nama NIM Program Universitas I' : Vini Oktaviani Hendayani : 116322013 : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya : Sanata Dharma Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis: Iudul : HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI Pembimbing : Dr. Katrin Bandel Tanggal diuji : 26 Ianuari 2016 " Adalah benar-benar hasil karya saya. Di dalam tesis/karya tulis/makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya. Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Master Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh. Yogyakarta, 26 Februari 2016 Vini Oktaviani Hendayani 111 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI • PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLlKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Sanata Dharma Nama : Vini Oktaviani Hendayani NIM : 116322013 Program : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Y ogyakarya karya ilmiah yang berjudul: HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI: " Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada), Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya mempublikasikannya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin kepada saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Dibuat di : Yogyakarta Tanggal : 26 Februari 2016 Vini Oktaviani Hendayani IV PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KATA PENGANTAR Setelah selesainya penulisan tesis ini, ada perasaan lega sekaligus sedih, yang muncul secara bersamaan dalam diri saya. Lahirnya tesis ini selayaknya lahirnya anak yang selama ini saya idamkan. Janin tesis ini, berkali-kali gugur, karena ketidaksiapan saya sebagai seorang ibu, yang tidak jua belum mampu memenuhi diri dengan berbagai vitamin berupa asupan keilmuan yang cukup. Setelah sekian lama berproses, pada akhirnya tesis ini selesai juga dituliskan. Saya harus mengakui bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan, terutama di wilayah analisis. Namun secara sadar pula saya merasa memiliki kewajiban pada diri sendiri, untuk tidak menghentikan proses belajar saya hanya sampai di atas meja ujian saja. Bukan hal yang mudah memang membicarakan kethoprak dari sisi sosial politik. Walaupun, masyarakat umum sudah mafhum mengenai tema-tema cerita kethoprak, yang tidak pernah jauh dari semesta pembicaraan mengenai kekuasaan dan masyarakat. Terlebih lagi, menarik pembicaraan mengenai kethoprak dalam konteks sosial politik di wilayah Yogyakarta pada khususnya. Berbekal kacamata yang dipinjam dari Antonio Gramsci, tesis ini mencoba menghadirkan kethoprak melalui sudut pandang yang berbeda. Tidak lagi terpaku pada pembicaraan mengenai muatan estetika semata. Namun juga membahas mengenai praktek tarik menarik kepentingan politis yang hadir secara estetis di muka khalayak penontonnya. Untuk kesemua proses yang luar biasa ini, saya tidak dapat menahan diri untuk mengucapkan kata terima kasih pada mbak Katrin Bandel. Beliau dengan sabar membantu dan memberikan saya kebebasan untuk menentukan arah penulisan tesis dengan menyenangkan. Terima kasih juga pada bapak ST. Sunardi, yang mendorong rasa penasaran saya untuk datang dan belajar di IRB. Beliau banyak membantu saya untuk lebih melek wacana dan fenomena, bukan sekedar paham, namun juga menggelisahkannya. Terima kasih pada Romo G. Budi Subanar, beliau selayaknya ayah yang baik, yang selalu mendukung dan mengayomi kami dengan segala kebaikannya. Terima kasih pada Romo Benny Hari Juliawan, yang pada awal penulisan tesis, selalu memberikan masukan yang asyik dan amat berarti. Terima kasih pada bapak Prof. A. Supratiknya, untuk semua keramahan dan dukungan selama masa belajar saya di Pascasarjana ini. Selanjutnya, terima kasih banyak untuk mbak Desy. Tanpa campur tangan beliau, semua proses pembelajaran saya selama di IRB, tidak akan sebaik dan selancar ini. Terima kasih pada mbak Dita, karena telah mendukung dan memberi kesempatan saya untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan di Pascasarjana. Saya juga berterima kasih pada mas Mulyadi. Sosok yang selalu dapat menularkan semangat, melalui sapaan dan laku kerjanya. vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Lantas saya merasa wajib mengucapkan terima kasih secara khusus pada saudara-saudara yang saya dapatkan di IRB. Salah satu alasan saya menyelesaikan tesis ini adalah karena mereka. Mereka lah yang telah membuat saya kembali tegak berdiri, setelah keterpurukan yang panjang, karena dilempari masalah yang bertubi-tubi selama penulisan tesis ini berlangsung. Terima kasih pada Wahmuji, manusia dengan kesabaran, pengertian dan kebaikan luar biasa. Siuss, terima kasih untuk selalu dapat menampung keluh kesah yang berkepanjangan dengan cara yang berbeda. Zuhdi dan mbak Laksmi, terima kasih telah menjadi kakak yang terus menyemangati adiknya ini. Lisis, terima kasih untuk empati dan dukungannya yang menyentuh. Anto, terima kasih bro untuk semangat dan dukungannya. Fafa, terima kasih untuk obrolan-obrolan yang menyenangkan selama ini. Mbak Ekaningrum, terima kasih atas suntikan semangat yang tidak pernah putus. Mbak Puji dan mas Harry, terima kasih yang terdalam atas rasa sayang dan perhatian kalian. Pak Eko, terima kasih atas dukungan yang khas darimu. Vidya, terima kasih untuk terus menjagaku dengan caramu. Sugi, terima kasih atas doa khusus yang selalu dikirimkan dari jauh. Terima kasih untuk kawan-kawan di Prodi Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Lembaga Anak Wayang Indonesia, Kelompok Pencinta Sains dan Ilmu Pengetahuan (KLETHING), Filsafat UGM angkatan 1998 dan banyak kawan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih untuk simbahku terkasih, Kapsah. Terima kasih karena tetap menerima si pemberontak ini dengan baik. Terima kasih kepada Alm Bapak dan Alm Ibu, saya sangat tahu bahwa njenengan berdua selalu menemani dalam diam. Beristirahatlah dengan tenang. Terima kasih kepada kakak dan adikku tercinta, Yosep dan Ratna. Kita akan selalu saling menjaga. Terima kasih juga pada para ipar, mbak Novi dan Gagat, atas segala doanya. Terima kasih pada krucil-krucilku tercinta: Nanda, Aisha, Prabu, Hafidz dan Malika. Kalian sumber semangat tante. Dan untuk Arham Rahman, lelaki istimewa, yang bersamanya saya belajar banyak hal. Terutama untuk mengenali siapa sesungguhnya saya ini. Terima kasih telah menemani sejauh ini. Mari terus belajar. vii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRAK Gelombang kapitalisme yang masuk melalui globalisasi di setiap negara, berimbas pula pada Indonesia. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara pelaku ekonomi dunia, mau tidak mau mengikutsertakan hampir sebagian besar asetnya, ke dalam pertaruhan ekonomi global. Dengan dicanangkannya Program seperti Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebagai program pembangunan ekonomi nasional, pada akhirnya “mewajibkan” semua pihak di tingkat lokal untuk ikut nyukseskannya. MP3EI sebagai program berskala global-nasional, amat berpengaruh pada kondisi sosial, politik dan ekonomi di tingkat lokal. Seperti halnya di Yogyakarta. Setelah pengesahan Undang-undang Keistimewaan pada tahun 2012, Kasultanan/ Pakualaman menyandang status Badan Hukum Warisan Budaya yang bersifat swasta. Status tersebut, menjadikan keduanya dapat ikut serta dalam lintas ekonomi nasionalglobal. Hal tersebut berdampak pada kondisi wilayah dan masyarakatnya. Globalisasi dan kapitalisme tidak hanya melakukan ekspansi ke ruang sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Akan tetapi juga merambah ruang lainnya. Tidak terkecuali kebudayaan, khususnya pada ruang kesenian. Sastra, teater, dan juga kesenian tradisional, seperti kethoprak mendapatkan banyak peluang, sekaligus tantangan dari globalisasi. Tantangan dan peluang yang hadir tidak selalu sama, namun masuk dalam bentuk kepentingan yang berbeda. Lakon Magersari dan Ledhek Bariyem sebagai 2 (dua) dari sekian banyak kesenian tradional, pada penelitian ini diselidiki hubungannya dengan kepentingan global. Untuk melihat mekanisme penetrasi global di ranah lokal, khususnya melalui kedua lakon tersebut, digunakanlah teori hegemoni dari Antonio Gramsci. Teori ini digunakan sebagai kacamata analisis guna mencari tahu mengenai konteks yang melatarbelakangi kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, serta melihat sejauh mana hegemoni bekerja dari atas panggung pertunjukan kedua lakon itu. Pada tahap selanjutnya, penelitian ini menemukan adanya peristiwa tarik menarik menarik antara kepentingan global-lokal, melalui lakon-lakon tersebut. Semisal pada lakon Magersari, yang menjadi bagian dari gerakan perjuangan keistimewaan Yogyakarta. Polemik muncul seiring dengan penetapan status keistimewaan Yogyakarta. Terutama kala Kasultanan dan Pakualaman mengaktifkan kembali Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918. Sedangkan pada lakon Ledhek Bariyem, nada kritis terhadap moral dari sosok pemimpin, masih kental didapatkan dari lakon ini. Ledhek Bariyem belum menyentuh permasalahan mendasar mengenai sistem pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Dalam penelitian ini, didapati bahwa, kepentingan global, secara taktis masuk dalam kerangka gerakan kesenian tradisional. Hegemoni dominan hadir dari atas panggung pertunjukan. Para inteletual tradisional bekerja membentuk blok hitoris, kesadaran dan konsensus, melalui pertunjukan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem. Pemberlakuan program ekonomi dan sistem pemerintahan tidak lagi dijadikan fokus kritik. Alih-alih mendukung untuk memperjuangkan kondisi sosial masyarakatnya, keduanya terkesan lebih fokus pada masalah moral-parsial, yang pada titik selanjutnya lebih mengarah pada keuntungan pihak-pihak di tingkat global. viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRACT The growth of capitalism that goes through globalization in each country has affected Indonesia as well. The position of Indonesia as a world scale economic actor has inevitably to put its asset to the stake of global economy. With the introduction of programs such as the Master Plan for the Acceleration and Expansion of Indonesian Economic Growth (MP3EI), a program of national economic development that has in turn obliged all parties at the local level to participate in succeeding the program. MP3EI as global - scale national program, is very influential on the social, political and even to the local economic level. As we can see in Yogyakarta, after the legalization of the law on Yogyakarta’s special status in 2012, the Sultanate/Pakualaman has got the status of Cultural Heritage Law Firm which mean private. This status has put both institutions into national-global economy. It has affected the condition of space and its people. Globalization and capitalism have expanded into many spaces, not only limited to social, political and economic space. They have also expanded into the space of culture, mainly on art, such as visual art, literature, theatre and even to the traditional art, such as Ketoprak, that has its threat and chance from globalization. The Magersari and the Ledhek Bariyem play are two out of many created traditional art. This research investigates the relation of the two plays with the global interest. In order to see the mechanism of global penetration in the local scale, especially through the two plays, I employ Gramsci’s theory of Hegemony. This theory is used as an analysis tool to investigate the context, the background of Magersari and the Ledhek Bariyem play. It is also used to see the mechanism of Hegemony operated on stage of the two plays. On the next step, this research has discovered that on the characterization of the characters of the plays, the power of global and local has pulled it each other. It, for instance, can be found on a character, in Magersari, who struggle for the legalization of the law on Yogyakarta’s special status. The dynamics is affected by the polemic, mainly when Sultanate and Pakualaman have reactivated Rijskblad No. 16 and No. 18/ 1918. While on the Ledhek Bariyem, critical statement is addressed to the figure of moralistic leader. Ledhek Bariyem hasn’t reached the basic problem of the government system and its relation to the interest of the people. The research has found that global interests have tactically penetrated to the frame of traditional art movement. The dominant hegemony has existed on stage. The traditional intellectual has worked to build their historical bloc, awareness and consensus through the plays, Magersari and Ledhek Bariyem. The implementation of economic program and certain government system is no longer the target of criticism. Instead of supporting the social condition of the people, both of the plays tend to focus on moral-partial matter, which on the next step tend to be on the benefit of the global interest. ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR ISI Contents HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i PERSETUJUAN................................................................................................................. ii PENGESAHAN.................................................................................................................iii PERNYATAAN KEASLIAN TESIS................................................................................ iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .......................................................................................... v KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vi ABSTRAK.......................................................................................................................viii ABSTRACT....................................................................................................................... ix DAFTAR ISI....................................................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 1 A. Kethoprak: Lakon yang di-lakon-kan di ruang pe-lakon-an. .................................. 1 B. Tema ..................................................................................................................... 11 C. Rumusan masalah ................................................................................................. 11 D. Tujuan penelitian .................................................................................................. 11 E. Pentingnya Penelitian............................................................................................ 12 F. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teoritis .............................................................. 12 F.1. Tinjauan Pustaka................................................................................................ 12 F.2. Kerangka Teoretis.............................................................................................. 18 G. Metode Penelitian ................................................................................................. 36 G.1. Lokasi penelitian........................................................................................... 36 G.2. Kelompok Sasaran ............................................................................................ 37 G.3. Jumlah yang akan diteliti .................................................................................. 37 G.4. Sumber Data...................................................................................................... 37 G.5. Teknik Pengumpulan Data................................................................................ 38 H. Skema Penulisan ...................................................................................................... 39 Bab II SENI PASCA-REFORMASI, SENI YANG MENCARI POSISI........................ 41 A. Pengantar............................................................................................................... 41 B. Reformasi: Musuh bersama, Ke mana Perginya?..................................................... 45 C. Sastra Geliat yang Tak Berkesudahan...................................................................... 52 x PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI C.1. Era Baru, Harapan Baru?................................................................................... 52 C. 2. Identitas dalam Pasar........................................................................................ 55 C. 3. Perlawanan terhadap Pusat Sastra .................................................................... 59 D. Memanggungkan Peristiwa dalam Teater................................................................ 63 D. 1. Pasca Reformasi, Teater yang terus Mencari ................................................... 63 D.2. Representasi isu dalam Teater Lokal ................................................................ 65 E. Kethoprak, dari Hiburan ke Gerakan yang Berserak................................................ 70 E. 1. Kethoprak Bukan Sekedar Klangenan.............................................................. 70 E. 2. Kethoprak, antara Bertahan dan Melawan........................................................ 75 F. Kesimpulan............................................................................................................... 82 BAB III KETHOPRAK YANG BERBICARA (BUKAN) DI PANGGUNG POLITIK. 86 A. Pengantar............................................................................................................... 86 B. Negosiasi Kethoprak Garapan .............................................................................. 87 C. Mari Menonton melalui Lakon ............................................................................. 97 C.1. Magersari: Tanah, Rakyat dan Politik Kekuasaan............................................ 98 C.2. Ledhek Bariyem: Mencecap Seram dalam Konflik Kekuasaan....................... 109 D. Lakon Kethoprak di Mata Mereka ...................................................................... 126 D.1. Guyub Rukun Paseduluran ............................................................................. 129 D.2. Politik Kekuasaan dalam Kethoprak............................................................... 134 D.3. Imaji Pemimpin Idaman.................................................................................. 139 D.4. Nguri-uri Kabudayan di antara Riuhnya Globalisasi...................................... 144 D.5. Dilema Pergerakan dalam Seni Tradisi........................................................... 149 E. Kesimpulan ..................................................................................................... 157 BAB IV Hegemoni Di Ranah Seni Tradisi..................................................................... 161 A. Pengantar............................................................................................................. 161 B. Seni Kethoprak sebagai Laku Politik.................................................................. 162 C. Pembentukan Blok Historis di Atas Panggung ................................................... 166 C.1. Guyub Rukun Demi Siapa?............................................................................. 168 C.2. Moral Pemimpin Sebagai Fokus Pembicaraan................................................ 175 C.3. Magersari, Kepentingan Global dalam Artikulasi Lokal ................................ 180 D. Intelektual Tradisional dari Ranah Tradisional................................................... 190 E. Konsensus Hegemoni di Ruang Seni Tradisi...................................................... 195 F. Hegemoni Tandingan: (Potensi) Bangkit dari Keterjerembaban ........................ 205 BAB V KESIMPULAN................................................................................................. 213 xi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 217 Lampiran 1 .......................................................................................................................xiii M a g e r s a r i .................................................................................................................xiii Lampiran 2 .................................................................................................................... xxxii xii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB I PENDAHULUAN A. Kethoprak: Lakon yang di-lakon-kan di ruang pe-lakon-an. Ruang yang berukuran hampir seluas lapangan bola itu disesaki oleh banyak orang. Ruang pertunjukan yang biasanya hanya terisi setengahnya, kali itu dipenuhi sesak. Semua bangku sudah terpakai. Sisa penonton lainnya, yang tetap berkeinginan untuk menonton, harus rela duduk melantai tepat di depan panggung, ataupun duduk di tangga, di antara kursi-kursi yang telah terisi. Jujur saja, saya belum pernah melihat antusiasme setinggi ini, terutama untuk tontonan berformat seni tradisi. Saya tidak bermaksud mengecilkan seni tradisi, akan tetapi sepanjang pengalaman saya menonton pertunjukan seni, terutama seni tradisi, baru malam itu saya menemui peristiwa semacam itu. Peristiwa yang melahirkan keheranan. Keheranan yang menyenangkan tentunya. Antusiasme saya malam itu, mungkin dirasakan juga oleh penonton lainnya, antusiasme terhadap kerinduan terhadap pertunjukan yang lahir dari masa lalu. Sebuah romatisme pada pertunjukan kethoprak. Kethoprak. Bukan kata yang asing bagi telinga orang Jawa (yang dimaksud- etnis Jawa). Ya. Untuk orang Jawa. Mengapa? Karena kethoprak yang merupakan salah satu seni pertunjukan itu memang lahir dari rahim tradisi Jawa. Secara personal, persentuhan saya dengan kethoprak dapat dikatakan sangat dini. Sebagai seorang anak yang juga lahir dari seorang ibu dari suku Jawa, dan pernah 1 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tinggal (walau sebentar) di salah satu wilayah di Jawa Tengah, saya sempat menikmati beberapa jenis kesenian masyarakat Jawa. Jagat ingatan kanak-kanak saya menyimpan beberapa hal itu secara kuat dan apik, namun kadang juga samar. Dulu semasa saya kecil, saya sempat tinggal di rumah simbah. Selama tinggal bersama simbah, saya memiliki kebiasaan yang terjadwal, yaitu selalu menunggu malam minggu datang dan menonton acara televisi yang cukup digandrungi di masa itu. Acara televisi “Kethoprak Sayembara”, yang rutin ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI) Semarang. Dapat dikatakan acara itu adalah acara favorit saya. Bagaimana tidak? Pada malam hari (saat kethoprak sayembara tayang) biasanya saya sudah jatuh tertidur, karena kelelahan setelah seharian bermain. Akan tetapi, saya selalu wanti-wanti (berpesan) pada simbah atau pun ibu, untuk membangunkan saya, bila acara tersebut sudah mulai tayang. Dengan rasa kantuk yang amat sangat, dan kelopak mata yang terasa berat untuk dibuka, saya akan memaksakan diri untuk tetap duduk di depan layar televisi, agar episode pada kali itu tidak terlewati begitu saja. Kegandrungan saya terhadap kethoprak bukan tanpa alasan. Bahkan saya yakin, kegandrungan ini tidak hanya menjangkiti diri saya sendiri, akan tetapi juga terjadi pada banyak orang. Sebagai satu-satunya stasiun televisi yang tayang pada masa itu (pertengahan tahun 1980an), TVRI menjadi patron tontonan bagi masyarakat Indonesia. Begitu pun dengan masyarakat di daerah-daerah tertentu. TVRI pusat yang kemudian direlay melalui TVRI daerah, menghadirkan tontonan khas daerahnya masing-masing. Seperti 2 halnya TVRI Semarang yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menayangkan acara “Kethoprak Sayembara” pada setiap Sabtu malam. Selain belum ada pilihan tontonan lain, sebagai orang Jawa, saya memang menyukai keseruan ceritanya. Pada saat menonton, saya dapat terpaku dan terkagum-kagum pada para tokoh utama yang (biasanya digambarkan) berwatak baik dan ksatria. Begitu pula sebaliknya, saya bisa begitu benci dan geram, terhadap kelakukan para penjahat atau pengkhianat yang lihai dan lancar melakukan aksinya. Saya sering dibuat berdebar-debar, saat melihat para telik sandi beraksi secara cerdas namun tersembunyi, agar keberadaanya tidak diketahui oleh pihak lawan. Di saat lainnya, saya dapat ber-euforia terhadap kemenangan para pahlawan yang berjaya setelah melawan segala bentuk kejahatan, konflik dan intrik yang ditemuinya. Impresi itu melekat begitu kuat dalam ingatan visual saya terhadap kethoprak. Memang harus diakui bahwa pada saat itu, saya belum sepenuhnya paham mengenai pokok masalah yang dibicarakan dalam pertunjukan kethoprak tersebut. Saya hanya menikmati keseruannya di tiap adegannya, tidak lebih. Semua bersifat parsial, bukan pemahaman yang menyeluruh. Semakin dewasa, pengalaman saya dalam menonton kethoprak semakin bertambah. Pemaknaan yang saya dapatkan pun semakin bertumbuh. Tidak lagi sebatas menikmati sensasi yang parsial. Saya menikmatinya beriringan dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan mengenai apa-apa saja yang disajikan di dalam tontonan. Pertanyaan-pertanyaan yang menyeruak dan sedikit menganggu. Pertanyan-pertanyaan itu tidak muncul secara tiba-tiba, akan tetapi jelas dipantik oleh tema yang diusung secara baik dalam pertunjukan kethoprak. Tema di 3 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI seputaran permasalahan konflik, intrik dan kontestasi politik dan kekuasaan, sangat kental hadir dan tersaji dalam dialog maupun adegan dalam kethoprak. Politik dan kekuasaan, memang bukan tema usang yang terus menerus hadir, hampir sama dengan realitas yang hidup di dalam masyarakat kita. Kita bahkan dapat mengatakan bahwa para seniman kethoprak selalu berusaha memotret kondisi nyata masyarakat, bahkan juga negara, lantas kemudian diwujudkan kembali dalam bentuk yang khas kethoprak. Kethoprak hadir tidak hanya sebagai tontonan biasa, dan menghasilkan pengalaman menonton yang juga tidak biasa. Perjumpaan dengan tontonan semacam kethoprak membawa pengalaman khusus bagi saya, juga bagi masyarakat Jawa pada umumnya. Kethoprak bukan sekedar tontonan, akan tetapi juga tuntunan dalam praktek hidup masyarakat Jawa. Pelajaran mengenai nilai moral tidak hanya disebarkan melalui tata aturan dalam lisan maupun tulisan, akan tetapi juga dihidupkan melalui lakon-lakon yang di-lakon-kan dalam pertunjukan kesenian, salah satunya kethoprak. Mengutip Budi Susanto SJ, yang mengatakan bahwa kethoprak tidaklah sekedar membantu rakyat untuk “membaca” kata-kata yang terlihat (melalui dialog yang dituturkan), akan tetapi juga mengajak mereka untuk ikut “menuliskan” bahasa-atau lebih tepatnya budi bahasa, sebagai mekanisme untuk berkomunikasi tentang beberapa kebenaran dari dunia ini; adalah lebih baik untuk memperhatikan bahasa sebagai yang memudahkan, mencontohkan atau menyinggung sesuatu yang sesungguhnya tidak mudah untuk dijelaskan.1 Kethoprak menjadi media untuk mentransfer 1 Budi Susanto SJ, Kethoprak: Politik Masa lalu untuk Masyarakat Jawa Masa Kini, Kanisiuslembaga Studi Realino, Yogyakarta, 1997, hal. 53 4 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI substansi mengenai sesuatu, kemudian dikemas dalam format kultural yang estetis. Pada masa lalu, masyarakat nusantara (Indonesia) adalah masyarakat dengan budaya bertutur yang kuat, sehingga pertunjukan yang dilakonkan lebih menekankan pada cara-cara penyampaian lisan. Sri Paduka Mangkunegara VII dari Surakarta menyebut pertunjukan yang dilakonkan ini sebagai sandiwara. Sandiwara merupakan gabungan kata dari sandi dan wara. Sandi berarti bahasa rahasia yang menggunakan lambang tertentu, sedangkan wara memiliki arti pengajaran. Melalui sandi atau bahasa perlambanglah pengajaran disampaikan.2 Pengajaran mengenai kehidupan, berupa moral, budi pekerti dan hal-hal penting lainnya. Ada anjuran atau sesuatu yang disampaikan melalui pertunjukan. Bukan sekedar tontonan atau hiburan. Di dalam sandiwara tradisional ini, unsur kebersamaan, terutama antara penonton dan pemain jauh lebih diutamakan. Tiada sekat di antara mereka. Misalnya saja, pada masa dulu belum dikenal adanya konsep panggung. Penonton biasanya duduk melingkari tempat pertunjukan, atau bahkan tempat pertunjukan adalah juga tempat dimana para penonton berada. Tidak ada area khusus. Para pemain duduk menyebar. Begitu pula posisi penonton. Interaksi antara penonton dan pemain sangat cair. Penonoton bisa dapat ikut berdialog dengan para pemain. Tidak ada batas, namun tetap tertib. Semua mengetahui aturan, tanpa ada peraturan ketat yang tertulis. Konsep semacam ini dikenal dengan Desa-KalaPatra, yaitu penyelarasan diri dengan tempat, waktu dan juga keadaan. 2 Harymawan, 1988,Dramaturgi, Bandung: Rosda, hal. 2-3 5 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Seni pertunjukan ini, oleh sebagian orang digolongkan ke dalam seni tradisi, dan sebagian lainnya memasukannya dalam kelompok seni rakyat. Belum ada kesepakatan yang pasti mengenai golongan yang (semestinya) dimasuki oleh kethoprak. Namun tidak ada yang mempermasalahkannya, bila kethoprak dimasukan dalam kedua golongan itu. Karena kethoprak memang lahir dari tradisi dan kehidupan rakyat Jawa sehari-hari. Kethoprak mempertontonkan kehidupan yang tak berbeda jauh dari kehidupan para penontonnya. Tiada sekat pemahaman antara penonton dan yang ditonton dalam kethoprak. Kethoprak adalah potret sejarah dan kondisi kekinian rakyat. Semuanya hadir selayaknya peristiwa yang terjadi di ruang tamu, di dapur, di gang depan rumah atau tempat-tempat publik yang kita kenal dengan baik. Kondisi masyarakat diperlihatkan secara sederhana melalui pertunjukan ini. Kethoprak lahir sekitar akhir tahun 1920-an, dipengaruhi oleh popularitas seni drama Barat (tonil), dan banyak meminjam unsur-unsur wayang demi tujuan dan kepentingannya sendiri.3 Kesenian ini hadir dengan cerita keseharian yang sederhana. Belum dipertujukan secara serius di depan khalayak ramai. Kethoprak pada awalnya menggunakan lesung, yang biasa digunakan oleh para wanita untuk menumbuk padi. Bila bulan purnama datang, semua orang orang akan sangat gembira menyambutnya. Itulah saat di mana semua orang akan keluar dari rumah, berkumpul di tempat yang lapang, bertemu, berbincang, menikmati cahaya bulan dan menikmati hiburan khas kampung mereka. Kesenian ini mampu mengumpulkan banyak orang di satu tempat dan waktu tertentu. Acara tabuh 3 Budi Susanto SJ, 1997, hal. 11 6 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI lesung biasanya menjadi ajang kumpul rutin para penduduk desa, terutama pada saat bulan purnama. Persoalan- persoalan hidup dari yang serius, hingga yang ringan hadir berjejal secara mulus dalam pertunjukan ini. Masyarakat Jawa pada khususnya, membicarakan anyak hal yang mereka hadapi, salah satunya melalui kesenian kethoprak. Kegelisahan yang hadir sebagai keseharian, diarahka menjadi proses refleksi, pembelajaran, atau bahkan hanya jadi sekedar bahan tertawaan. Misalnya saja menertawankan kekuasaan. Menertawakan kekuasaan dalam “pakaian” seni pertunjukan kethoprak memang bukan hal baru. Para seniman kethoprak, sesekali berupaya untuk menciptakan ruang pementasan kesenian ini sebagai ruang publik. Ruang publik yang memungkinkan rakyat untuk ikut mengkritik dengan sajian estetika tertentu. Kritik disampaikan memalui sentilan-sentilan genit, obrolan selayaknya bersama. Kritik atas kegelisahan terhadap hubungan kekuasaan yang hadir dalam kehidupan sehari-hari, mengantarkan kethoprak masuk dalam ranah pembahasan yang jauh lebih politis. 4 Beberapa pertunjukan kethoprak, memang sarat pesan politis. Cerita-cerita sejarah kerajaan, kepahlawanan dan cerita yang diangkat berdasar isu yang kontekstual pun, memuat pesan-pesan politik tertentu. Pada jaman pendudukan Jepang misalnya. Pada tahun 1942-1945, kethoprak digunakan sebagai salah satu alat propaganda militer. Dalam bukunya yang berjudul Kethoprak: Politik Masa lalu untuk Masyarakat Jawa Masa Kini, Budi Susanto SJ menyinggung soal keberadaan kethoprak di jaman pendudukan Jepang. Ia menjelaskan bahwa 4 G. Subanar SJ, dalam makalah yang berjudul Sebuah Geliat dalam Dunia Ketoprak Jaman ini: Makna Simbol dan Fungsi Seni Pertunjukan di Tengah Perubahan Jaman. 7 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pasukan bangsa Jepang yang saat itu datang sebagai saudara tua bagi rakyat Indonesia, ingin memperoleh kepercayaan rakyat Indonesia, melalui berbagai mekanisme. Salah satunya melalui kethoprak. Dari tontonan inilah, nasionalisme rakyat Indonesia dibangkitkan. Guna melawan Sekutu dan para elite Priyayi Jawa yang mendukung serta pernah menjadi perpanjangan tangan Kolonial Belanda. 5 Tidak hanya sebatas pada jaman penjajahan Jepang dan Belanda, bahkan pada masa setelah kemerdekaan negara ini, kethoprak masih selalu ambil bagian dalam pembicaraan seputaran politik dan kekuasaan. Kethoprak selalu hidup di tiap zamannya, dan terus menerus mereproduksi pandangan politiknya. Menilik hal tersebut, saya ingin sekali melakukan penelitian lebih mendalam, mengenai muatan politik yang dibawa dalam pertunjukan kethoprak. Muatan yang kadang secara eksplisit ditampilkan, atau kadang juga sebaliknya. Terutama kethoprak yang hadir dengan masalah politik kekuasaan di wilayah Yogyakarta. Sekian banyak jejak pengalaman kesenian dalam ranah sosial, terekam dalam berbagai literatur. Sedari dulu kita bisa melihat bahwa kesenian selalu mengambil peran di dalam banyak sektor kehidupan manusia. Begitupun kethoprak. Kethoprak mengambil peranan penting dalam lingkup kehidupan negeri ini. Pada awal kehadirannya, kethoprak tidak nampak sebagai bagian dari perlawanan terhadap penjajah pada masa kolonial. Namun secara perlahan dan pasti, kethoprak hadir untuk melakukan fungsi untuk mengorbarkan semangat perlawanan, melalui cerita-cerita kepahlawanan masyarakat Jawa di masa lalu. 5 Budi Susanto SJ, 1997, hal. 31 8 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pada masa kemerdekaan hingga Orde Baru, saat kesenian seperti sastra, musik, tari dan teater mulai menemukan ruang berekspresi yang lebih leluasa, kethoprak juga aktif untuk mengambil posisi. Namun di kala cabang-cabang kesenian tadi hadir dengan kritik sosial, maka mereka akan berhadapan dengan represi politik dan militer (pada masa Orde Lama dan Orde Baru). Berbeda dengan yang dihadapi para seniman kethoprak. Mereka seakan tidak masuk dalam radar pengawasan yang terlampau ketat dari penguasa. Mengapa? karena kethoprak sebagai salah satu kesenian tradisi yang akrab dengan masyarakat (khususnya etnis Jawa), kerap dipentaskan sebagai agenda penyebaran doktrin rejim penguasa. Lantas bagaimana dengan kethoprak selepas bebas dari jeratan Orde Baru? Pada titik inilah, kethoprak menjadi sangat menarik untuk diteliti. Bila sedarai dulu kita mendapati bahwa kethoprak menggunakan dirinya sebagai senjata sosial rakyat, apakah itu juga berlaku pada hari ini? untuk melihat hal tersebut, saya hendak menyoroti 2 produksi kethoprak, yang dipentaskan pada pasca reformasi. Pertama, kethoprak dengan judul Magersari. Sedangkan kethoprak yang kedua, berjudul Ledhek Bariyem. Ke-hampir-samaan kedua pertunjukan itu adalah respon terhadap peristiwa penting dalam kontelasi politik di kota Yogyakarta dan Indonesia. Kethoprak Magersari misalnya, pertunjukan ini berusaha merespon peristiwa Pemilihan Kepala Daerah kota Yogyakarta (Pilkada), tepatnya pemilihan walikota Yogyakarta pada tahun 2011. Sedangkan kethoprak Ledhek Bariyem dipentaskan 9 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tepat sebelum peristiwa Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014 terjadi, khususnya pemilihan presiden Republik Indonesia. Walau lahir dan dipentaskan pada momen politik kekuasaan yang hampir mirip, kedua pertunjukan kethoprak itu tidak melulu bicara mengenai politik kekuasaan secara gamblang, seperti halnya para politisi di arena kampanye, maupun ruang-ruang politik lainnya. Namun keduanya bertutur dengan kesan mlipir namun sarat kritik terhadap peristiwa politik tersebut. Kethoprak dianggap dapat menjadi salah satu corong untuk menyuarakan aspirasi politik. Budi Susanto SJ, bahkan menyebutkan bahwa kethoprak memiliki fungsi sebagai sarana untuk menciptakan kesadaran bersama massa rakyat, yang memiliki kesulitan untuk mengakses jalan ke bentuk-bentuk birokrasi ataupaun lembaga lainnya dari sebuah kekuatan politik6. Lantas suara politik semacam apa yang hendak disampaikan dari atas panggung pertunjukan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem? Apakah memang kethoprak telah memberikan ruang pemikiran dan kegelisahan sosial politik masyarakat, khususnya masyarakat Jawa? Apakah kegelisahan itu bersifat mendidik atau menggiring pendapat politik masyarakat? Bagaimana sikap seniman yang diejawantahkan melalui lakon Magersari dan Ledhek Bariyem sebagai kesenian tradisi, dalam menghadapi globalisasi sebagai sebuah skenario besar yang tak terhindarkan? Sepertinya akan ada banyak pertanyaan berkaitan dengan (seniman dan komunitas) kethoprak. Terutama yang berkaitan dengan 6 Budi Susanto SJ, 2012,“Me(meper)mainkan Sandi Wara Rakyat: Ketoprak Eksel, dalam Jurnal Retorik Vol.3- No.1, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 10 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI posisi politik para seniman dan komunitas, bila dikaitkan dengan isu yang dibawa dan dipertunjukannya di atas panggung kesenian tradisi. B. Tema HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI C. Rumusan masalah Titik berangkat penelitian hadir melalui pertanyaan-pertanyaan kunci. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan rumusan masalah, yang menjadi pijakan analisisnya. Pertanyaan-pertanyaan kunci tersebut antara lain: 1. Bagaimana peran kethoprak dan bidang kesenian lainnya, dalam merespon kondisi sosial-politik masyarakat pasca reformasi? 2. Apa konteks yang melatarbelakangi, dan bagaimana cara dihadirkannya dalam kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem? 3. Bagaimana hegemoni bekerja dari atas panggung kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem? D. Tujuan penelitian 1. Menggali peran kethoprak dalam gerakan kritik politik masyarakat terhadap kekuasaan. 2. Mencari tahu format hegemoni semacam apa yang dihadirkan dalam lakon kethoprak di masyarakat. 11 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI E. Pentingnya Penelitian Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat berarti penting bagi: 1. Ilmu sosial, khususnya Kajian Budaya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran khususnya tentang kesenian kethoprak, yang berusaha meningkatkan pemahaman dan perubahan sosial-politik di masyarakat. 2. Para aktivis kebudayaan dan politik. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi penting dalam melakukan gerakan-gerakan kebudayaan dan politik, yang berorientasi pada perubahan dan peningkatan posisi serta daya tawar masyarakat terhadap kekuasaan lokal, nasional dan global. 3. Mahasiswa (peneliti) agar dapat mengembangkan pengetahuan dan kemampuan profesionalnya dibidang kajian budaya, terutama yang berkaitan dengan gerakan politik dalam kethoprak. 4. Peneliti lain, agar hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam proses penelitian sejenis. F. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teoritis F.1. Tinjauan Pustaka Tinjauan Pustaka ini lebih menitikberatkan pada pembahasan mengenai penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, terutama penelitian yang memiliki fokus objek material dan objek formal yang hampir sama. Penelitian pertama dilakukan oleh Afendy Widayat pada tahun 1997, mengangkat judul Kethoprak: 12 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural. Pada penelitiannya, Afendy Widayat menyoroti kedudukan kethoprak sebagai hasil seni tradisional Jawa. Menurutnya, kesenian mampu mengikuti perubahan di dalam masyarakat. Kemampuan mengikuti perubahan atau kemampuan beradaptasi ini ditarik masuk dalam konteks multikultural. Sebagai sebuah kesenian yang lahir dari tradisi masyarakat Jawa, kethoprak bersifat sangat luwes. Penilaian konvensional yang melekat pada kethoprak tidak lantas membuatnya menjadi kaku. Afendy Widayat menyatakan bahwa sejak awal pertumbuhnnya, kethoprak memang penuh dengan inovasi-inovasi yang baru sama sekali, maupun yang dicangkokan dari cabang-cabang seni lainnya. Sehingga sah-sah saja mengikuti perkembangan masyarakat dan keilmuan yang relevan. Agar dapat dihasilkan bentuk yang paling pas dan dapat diterima oleh masyarakat luas. Lanjutnya, kethoprak harus mampu membongkar dan menata kembali bentuknya, agar keberadaannya dapat terus bertahan, terutama dalam pergaulan multikultural. Melalui pergaulan tersebut, kethoprak semestinya dapat membawa nilai-nilai filosofi Jawa, yang serupa dengan sebagian besar kesenian dari daerah lain di nusantara. Sehingga keberadaan kethoprak tetap dapat mengakomodir kepentingan dari kesenian-kesenian tradisi di nusantara, tanpa menghilangkan misi utamanya, yaitu penanaman nilai moral kemanusiaan yang bersifat universal. Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian yang dilakukan oleh Annisa Sukada menggunakan pemaparan kronologi kesejarahan kethoprak, dan lebih menitikberatkan permasalahan kethoprak yang diperhadapkan dengan globalisasi. Menurutnya dari jalan sejarah yang telah dilalui kethoprak, telah membuktikan 13 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bahwa kesenian tersebut dapat terus hidup dan mengikuti perubahan jaman. Perubahan yang dialami kethoprak, tidak lantas membuatnya meninggalkan akar tradisi. Pada penelitian yang diselesaikannya bulan Juni 2008, sebagai hasil dari proses program Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS) Angkatan IIVI, Sukada menjelaskan bahwa kebutuhan untuk beradaptasi dan memodifikasi sesungguhnya dipicu oleh globalisasi. Semua aspek yang mengglobal dan modern, telah menyediakan begitu banyak pilihan hiburan bagi masyarakat. Sehingga bentuk hiburan atau media kritik semacam kethoprak, pasti menemukan tantangannya. Bila kethoprak hadir dengan format lama, sudah pasti kethoprak akan ditinggalkan oleh para penontonnya. Di sini Sukada terus menerus menekankan bahwa kethoprak haruslah ikut merubah dirinya. Para seniman tidak hanya dituntut untuk sekedar mengikuti kondisi global, akan tetapi juga harus merasa bahwa perubahan adalah kebutuhannya. Tanpa meninggalkan pakem tradisi yang menjadi kekhasannya. Globalisasi bisa disiasati dengan mengikuti perubahan jaman, melalui strategi adaptasi dan modifikasi. Bila penelitian di atas sedikit banyak menggunakan pendekatan sejarah, berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Retnowati, pada tahun 2009. Dalam disertasinya, Retnowati menggunakan perspektif antropologi. Penelitian tersebut berjudul Kesenian Kethoprak sebagai Identitas: Suatu Kajian Kelompok Kesenian Kethoprak Arum Budoyo di Juwana- Pati, Jawa Tengah. Retnowati menemukan bahwa kethoprak adalah salah satu ekspresi identitas yang lahir dari kondisi sosial-budaya (yang dihadapi oleh) kelompok tersebut. 14 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Menurutnya, komunitas kethoprak yang ditelitinya, yaitu komunitas kethoprak pesisiran di daerah Pati Jawa Tengah, telah melakukan mekanisme dekonstruksi terhadap modernisasi dan globalisasi. Kethoprak telah bisa menciptakan solidaritas sosial, bahasa bersama dan nasionalisme. Di sini kethoprak mengambil peranan penting, yaitu posisi (dalam bahasa yang disampaikan oleh) orang-orang yang terpinggirkan, di sebuah wilayah di pesisiran utara Jawa Tengah. Barbara Hatley (2008) dalam bukunya yang berjudul Javanese Performance on an Indonesian Stage: Contesting Culture, Embracing Change, banyak mengulas mengenai teater dan kethoprak. Pada bukunya ini, Hatley jauh lebih lengkap memaparkan mengenai kedua hal itu, dalam kaitannya dengan perubahan kondisi di Indonesia. Buku yang ditulis berdasarkan penelitiannya itu, melihat bahwa pada awalnya kethoprak merupakan pertunjukkan yang dilakukan dan diperuntukan bagi masyarakat “kelas bawah”, di kampung-kampung. Hingga pada perkembangannya, bentuk awal dari kethoprak berubah setelah beberapa bagian dari teater barat mulai diadopsi di dalam pertunjukan (kethoprak). Titik penting yang dikemukakan Hatley dalam buku tersebut, adalah pemaparannya mengenai andil penting dari pertunjukan teater maupun kethoprak di dalam peristiwa politik di negeri ini. Menurutnya, kethoprak berperan dalam upaya menyatuan visi dan pengumpulan massa, untuk melawan rejim kekuasaan Soeharto pada masa orde baru. Perlawanan terhadap kekuasaan yang ada di pusat (pemerintahan), diperhadapkan dengan kekuasaan yang ada di daerah, dalam kasus ini pemerintahan daerah istimewa Yogyakarta. Perlawanan ini kemudian 15 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menjadi isu yang berbau kedaerahan. Identitas kejawaan dan pengagungan terhadap Sultan sebagai simbol pemimpin Jawa (Yogyakarta), menjadi ciri khas yang nampak dalam gerakan tersebut. Hatley tidak melihat teater dan kethoprak hanya sebagai dua bentuk pertunjukan yang menghibur. Akan tetapi juga melihat keduanya sebagai bagian dari gerakan yang melibatkan banyak orang, sebagai agen dari gerakan politik. Penelitian-penelitian yang saya ajukan di atas, merupakan hasil temuan yang menampilkan ketoprak sebagai salah satu bentuk kesenian pertunjukan Jawa, yang bersifat multidimensional. Pada penelitian pertama yang dilakukan oleh Afendy Widayat, Ia melihat bahwa kethoprak dapat mengakomodir kepentingan untuk menanamkan nilai moral kemanusiaan yang bersifat universal. Kethoprak menjadi semacam agen pendidikan dan penanaman nilai moral ideal dalam masyarakat. Ketoprak memikul tanggungjawab dalam proses transformasi nilai. Penelitian ini melihat bahwa seperti di banyak format seni pertunjukan tradisi, etika dan nilai moral kemanusiaan adalah poin penting yang harus disampaikan dan dipelihara di setiap generasi dalam masyarakat. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Annisa Sukada, lebih menekankan pada titik perubahan yang harus dilakukan oleh para seniman kesenian kethoprak. Perubahan ditujukan agar dapat bisa bertahan dan bersaing dalam era globalisasi sekarang ini. Sesungguhnya penelitian ini dapat dikatakan sebagai lagu lama dalam penelitian-penelitian terhadap tradisi yang hidup di dalam masyarakat. Tradisi yang merupakan hasil budaya masyarakat baik material maupun non material, dan di wariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, 16 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI harus dapat menyesuaikan diri dengan laju modernisasi, dan pastinya juga globalisasi. Hampir sama dengan penelitian Sukada, penelitian yang dilakukan oleh Retnowati, sedikit banyak juga berbicara tentang usaha kethoprak agar bisa tetap eksis dan survive di era sekarang ini. Penelitian ini memaparkan bahwa kethoprak telah dapat menciptakan solidaritas sosial, bahasa bersama dan nasionalisme. Dalam upaya penciptaannya itu, kethoprak harus melalui proses mimikri dengan ke-modern-an dan globalisasi. Daya juang yang tidak setengahsetengah, agar dapat tetap hidup dalam pikiran dan kebutuhan akan hiburan di masyarakat. Lain halnya dengan peneliti asal Australia yang cukup fokus mengulik mengenai kethoprak, Barbara Hatley. Ia banyak menjelaskan bahwa melalui kethopraklah, representasi kondisi sosial politik negeri ini dapat dilihat. Misal pada peristiwa menumbangan rejim Orde baru. Upaya untuk mengkritik pemerintah yang berkuasa pada masa itu, telah melahirkan karya-karya yang berorientasi pada penggalangan kesadaran masyarakat untuk lebih berani mengkritik penguasanya, dan menyentil pemerintah dalam penerapan sistemnya yang represif. Kethoprak tidak lagi berdiri sebagai alat hiburan, akan tetapi juga menjadi alat politik rakyat. Harus diakui, mungkin penelitian yang saya lakukan cukup berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yang mengetengahkan kethoprak sebagai objek materialnya. Kethoprak yang merupakan seni pertunjukan rakyat, merupakan magnet yang luar biasa untuk ditonton, sekaligus untuk dianalisa lebih dalam. Yang membedakan penelitian ini adalah karena tidak lagi melulu 17 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI meneropong kethoprak dari kacamata estetika, pendidikan (transformasi nilai), ataupun dalam posisi sosialnya. Penelitian ini akan membawa kethoprak dalam pembicaraan di ranah politik. Penelitian ini hendak melihat potensi kethoprak sebagai kesenian sangat ketal dengan aktivitas kritik politik, terutama pada masa pasca reformasi. F.2. Kerangka Teoretis Perspektif politik, adalah pilihan objek formal dari penelitian ini. Kethoprak akan dilihat sebagai aksi politis masyarakat, dalam menyikapi kondisi politik negaranya. Kethoprak tidak hanya dijadikan sumber hiburan yang menyenangkan. Akan tetapi, kethoprak juga akan dilihat sebagai sebuah formula serius dalam ranah pembicaraan politik masyarakat. Melalui kacamata teori hegemoni yang diusung oleh Antonio Gramsci, sekelumit mengenai teori globalisi (terutama yang berkaitan dengan budaya), kethoprak akan didedah lebih spesifik. pemikir tersebut, akan membantu kita membaca kethoprak dengan cara baca yang berbeda. F.2.1. Mengkritik Determinisme Ekonomi Di mulai sub-sub bab ini hingga seterusnya, saya hendak membicarakan peta teori Gramsci, terutama pembahasannya mengenai hegemoni. Peta teori ini, berdasar pada apa yang ia kritisi atau ia kembangkan dari pokok pikiran Marxisme awal. Melalui pijakan teori Marx, Gramsci mencoba untuk menyandingkan dengan kumpulan pengalaman yang didapatinya selama menjadi aktivis gerakan kiri, baik di partai sosialis, maupun patai komunis. Buah pikiran 18 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang menjadi pintu baru bagi semesta pemahaman mengenai aliran Marxis. Saya mengetengahkan alur peta ini, sebagai acuan untuk membaca objek material penelitian saya, yaitu gerakan politik dari kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem. Posisi Gramsci dalam peta aliran pemikiran Marxis, diletakkan pada kelompok Neo-Marxis, terutama pada Marxisme Hegelian. Posisi tersebut dijelaskan dalam buku George Ritzer dan Douglas J. Goodman yang berjudul Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxis.7 Bukan tanpa alasan Gramsci di tempatkan pada posisi tersebut. Gramsci melakukan transisi penting mengenai konsep determinisme ekonomi Marx. Ia mengkritik konsep determinisme ekonomi yang bersifat fatalistik. Dalam pemikiran Marx, segala sesuatu sudah ditentukan oleh capital. Positivisme Marxisme ortodoks cenderung menggiring pada determinisme dan materialis objektif sejarah. 8 Determinisme ekonomi semacam inilah yang coba digugat oleh Gramsci. Gramsci menggugat determinisme secama itu, stelah ia melihat kondisi kelas pekerja, kala ia menjabat sebagai pimpinan PCI. Ia skeptis terhadap doktrin sosialis Internasional kedua dan ketiga, karena telah digerogoti oleh ‘scientisme kasar’ (crude scientism) dan ‘ekonomisme primitif’. Scientime kasar adalah keyakinan bahwa selalu ada kontradiksi inheren dalam moda produksi kapitalisme yang dapat dianalisis, diprediksi dan dikuantifikasi oleh hukum kapital Marx. Scientime kasar menghasilkan kekeliruan yang bernama “ekonomisme”. Dimana elemen semacam politik, budaya dan ideologi, terpisah dari elemen moda 7 George Ritzer dan Douglas J Goodman, (2004), Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori NeoMarxian, Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal. 99 8 Mengutip penyataan Femia, dalam Muhadi Sugiono, 2006, hal. 20 19 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ekonomi produksi. Dengan kata lain, pada tingkatan base, terdapat segala hal yan berkaitan dengan uang, material, dan segala hal yang berkaitan dengan moda produksi. Lantas pada tingkatan super structure, terbangun institusi yang berkaitan dengan hal yang bersifat non material, baik itu yang bersifat sosial, politik, budaya dan lain sebagainya. Materlisme historis berisikan pendapat bahwa sejarah dapat dapat direduksi hanya sebagai menifestasi moda produksi, dan hanya dapat dianalisis sebagai proses objektif evolusi.9 Hal tersebutlah yang dikritisi Gramsci. Menurutnya, hal tersebut mengabaikan keberadaan manusia/ masyarakat sebagai agen yang aktif dan sadar. Manusia buka semata-mata menerahkan diri pada dunia alamiah, namun aktf dengan berbagai mekanisme kerja dan tekniknya.10 Manusia diposisikan sebagai agen sejarah, yang mampu melakukan perubahan sejarah. Karena sangat tidak mungkin bila hanya mengandalkan krisis ekonomi, untuk menghadapi kapitalisme. Meskipun ia mengakui bahwa ada sejumlah keteraturan dalam sejarah, ia menolak gagasan perkembangan sejarah yang otomatis dan tak terhindarkan. Maka pada titik ini, masyarakat haruslah dapat bertindak untuk mewujudkan revolusi sosial. Namun sebelumnya melakukan tindakan tersebut, masyarakat harus sadar terlebih dahulu mengenai situasi, hakikat serta sistem yang sedang dijalaninya.11 masyarakat paham pada Dalam menjalani revolusi sosial semacam itu, apa yang diperjuangkannya. melakukannya secara buta. 9 Muhadi Sugiono, 2006, hal. 21-23 Muhadi Sugiono, 2006, hal. 24 11 George Ritzer dan Douglas J Goodman, 2004, hal. 99 10 20 Bukan sekedar PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI F.2.2. Pengembangan Konsep Pertentangan Kelas Pada kala Gramsci memegang jabatan sebagai sekjen PCI, aroma subordinasi terasa sangat kencang berhembus di ranah kapitalisme Italia, khususnya di Turin. Dengan tingginya permintaan pasar terhadap produk dari pabrik mobil FIAT (Fabrica Italiana Automobilii Torino), para pemilik modal berfikir untuk menggejot produktivitas buruhnya. Para buruh terkesan hanya selayaknya menjalankan ban berjalan, yang terus menerus tiada henti. Karena bila mereka berhenti, maka keuntungan akan pabrik berkurang. Federich Taylor dalam bukunya The Principles as Scientific Management (1911) yang melihat manusia sebagai “mesin” istimewa, yang dapat disesuaikan untuk kebutuhan industri modern. Pemikiran Taylor, ditentang oleh Gramsci. Ia melihat bahwa Taylorisme dapat mematikan sikap kritis para buruh, juga memelihara penindasan terhadap mereka. rasionalisasi pekerjaan hanya akan menumbuhsuburkan penindasan dan memperbesar keuntungan para pemilik modal. Taylorisme pada akhirnya akan membunuh kemampuan kritis kelas pekerja, serta membunuh tendensi alamiah mereka untuk mewujudkan organisasi-organisasi kolektif.12 Jauh sebelum menuliskan penentangannya terhadap Taylorisme maupun Fordisme, Gramsci berhadapan dengan kondisi saat seusai perang dunia ke-2, pola industri Amerika, khususnya Ford banyak diadopsi di wilayah Eropa. Tak terkecuali di Italia. FIAT mengambil beberapa mekanisme “pengelolaan buruh”, sama seperti yang dilakukan oleh Ford di Amerika. Maka untuk menghalau pengaruh ini, Gramsci dan kawan-kawannya membentuk dewan buruh. Kekhawatiran meraka cukup beralasan, karena dengan penerapan Taylorisme 12 Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 129-130 21 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang didaku oleh Ford, akan berbengaruh pada buruh dari FIAT. Pemikiran bahwa kelas pekerja atau buruh adalah mesin, yang mampu mendukung kenaikan jumlah produksi, sehingga membuka ruang para pemilik modal untuk mengurusi masalah di luar proses produksi. Agar proses produksi tidak terganggu, maka para pemilik modal mulai masuk dan ikut mengatur ruang-ruang privat, seperti permasalahan seksual. Melihat realita semacam itu, Gramsci menyimpulkan bahwa hegemoni lahir di pabrik atau perusahaan.13 Pada titik ini konsep pertentangan kelas yang diperkenalkan oleh Marx, hadir dan berkembang dalam pemikiran Gramsci. Bila dalam Marx, ide dari para pemilik modal diformulasikan agar dapat mengontrol para kelas pekerja, mekanisme untuk mengamankan posisi pemilik modal sebagai kelas yang berkuasa. Marx meletakkan kedinamisan dalam pertentangan kelas, melalui revolusi. Kelas pekerja dapat memproduksi ide mereka sendiri, baik dalam ranah industri maupun organisasi politik. Pandangan inilah yang menjadi modal bagi gerakan yang dilakukan oleh Gramsci dan kawan-kawannya. Terutama dalam merespon Amerikanisme dan Fordisme. Hal tersebut memantik kegusaran para pemilik modal. Mereka kemudian meminjam tangan negara untuk menekan laju perlawanan buruh, dengan cara kekerasan. Negara, berfungsi sebagai pelindungan bagi kepentingan para pemilik modal (masyarakat kapitalis). Mekanisme itu dilaksanakan melalui jalur kekerasan (coercion) yang dilakukan oleh tangan-tangan penegak disiplin negara, serta melalui bantuan para intelektual tradisional, agar terbangun ‘persetujuan’, 13 Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 131 22 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang hadir melalui ideologi sebagai bentuk hegemoni. Hegemoni yang dihayati, amini sebagai sebuah kebutuhan, tanpa perlu difikirkan kembali. Bila negara (dalam hal ini penguasa) dapat menyingkirkan oposisi, serta mendapatkan kepatuhan dan persetujuan dari kawan sekutunya, maka di pada tahap inilah hegemoni dominan dapat dikatakan mencapai keberhasilannya. Gramsci memaknai pertentangan kelas adalah aksi yang harus dilakukan oleh kelas pekerja. Melalui aksi federasi buruh, dan juga tani, bahaya yang dihadirkan oleh masyarakat kapitalis dapat ditangkal. Kedua kelompok itu adalah ujung tombak perubahan. Meskipun Gramsci mengakui arti penting dari faktor struktural, namun faktor tersebut tidaklah mampu untuk menggiring kelas tersubordinasi dapat melawan kelas yang berkuasa. Ia menekankan arti penting pembangunan ideologi revolusioner yang dikembangkan oleh masyarakat. Gagasan mengenai hal ini dikembangkan oleh para inteletual, yang kemudian akan disebarkan pada masyarakat. Masyarakat tidak dapat secara mandiri menghasilkan pemikiran semacam ini, sehingga fungsi intelektual sangatlah diperlukan. Kala masyarakat telah mampu memahaminya, pada tahap kemudian akan dapat didorong adanyanya revolusi sosial. F.2.3. Konsesus Sebagai Orientasi Hegemoni Gramsci’s main concern became why men were committed to certain beliefs and to a certain system and what was need to make the accept a new system of values. Here he lighted on the notion of hegemony, which he maintained was implicit in the ideas of Lenin. (…) hegemony was what was secured through the “spontaneous consensus” which the mass of populace gave to the mode of life impressed on society by the dominant group, a consensus given because of the prestige and trust the dominant group enjoy due to its position. (Alastair Davidson, 1968: 32-33). 23 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Gramsci, sebagai salah satu tokoh penting Marxisme, banyak memberikan sumbangan dan pengembangan penting bagi aliran Marxisme tradisional. Terutama dalam dengan mengangkat hegemoni dominan sebagai titik penting pembicaraan dalam pemikirannya. Mesti dicatat, bahwa Gramsci memang tidak menuliskan teorinya secara lengkap dan final. Muhadi Sugiono mengatakan bahwa pemikiran Gramsci lebih bersifat sementara, karena diperoleh dari catatan yang berserak, terfragmentasi dan tidak lengkap, sehingga wajar bila melahirkan banyak interpretasi. Terlepas dari kenyataan itu, namun tema tunggal yang diusungnya adalah hegemoni.14 Baginya, konsep hegemoni benar terjadi terutama di kalangan kelas pekerja di Italia. Ia melihat bahwa kelas pekerj) dengan suka rela menerima nilai yang ditanamkan oleh kelas penguasa atau kelas yang mendominasi. Hegemoni dominan bekerja guna memperoleh kepatuhan, dan dipercayai sebagai sesuatu yang dibutuhkan. Konsep ini, seringkali dikaitkan dengan konsep kesadaran palsu yang dimaksudkan oleh Karl Marx. Keduanya berhubungan sangat erat. Kelas penguasa mendapatkan kepatuhan dari kelompok yang didominasi melalui 2 (dua) cara, yaitu melalui jalan kekerasan (coersi) dan jalan konsensus (consent). Cara kekerasan sringkali dianggap sebagai cara lama dan kuno, namun cukup efektif dan cenderung dapat dengan cepat mendapatkan kepatuhan dari kelas yang didominasi. Karena kelas penguasa (yang mendominasi) kerap menggandeng negara beserta aparatnya. Sedangkan pada cara kedua, yaitu konsensus (consent), kelas penguasa akan mengupayakan kepatuhan dari kelas 1414 Muhadi Sugiono, 2006, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 18-19 24 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang didominasi dengan cara yang cenderung halus. Kelas penguasa menanamkan doktrin melalui sistem-sistem yang dipercayai oleh kelas yang didominasi. Disinilah hegemoni dominan bekerja. Hegemoni dominan bekerja secara cerdas, dengan bentuk kepemimpin budaya yang dijalankan oleh kelas yang berkuasa. Menurut Ritzer, hegemoni dominan mempertentangkan cara-cara dengan kekerasan (coersi) yang dijalankan oleh kekuasaan legislatif atau eksekutif, atau diekspresikan melalui campur tangan kekerasan dari aparat negara. 15 Hegemoni merupakan rantai kemenangan yang diperoleh dari mekanisme konsensus, bukan melalui kekerasan dan terhadap kelas yang didominasi. Hegemoni tidak lain adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangkan yang ditentukan oleh kelas penguasa. 16 Hegemoni dominan merupakan sebuah sarana budaya dan ideologi, dimana kelompok kelas penguasa, mempertahankan dominasi mereka dengan mengamankan kepatuhan dari kelompok yang didominasi. Hal ini dicapai dengan pembangunan negosiasi dari konsensus politik dan ideologi yang menggabungkan kedua kelompok dominan dan mendominasi. Budaya yang dibentuk merupakan penjelmaan dari hegemoni dominan. Gramsci melihat bahwa kelompok yang berkuasa akan selalu berusaha untuk melanggengkan dominasi dan kekuasaannya, melalui berbagai kontrol sosial. Baginya kontrol melalui cara kekerasaan (coersi), bukanlah cara kerja hegemoni dominan. Hegemoni dominan dikatakan dapat bekerja, bila kelompok yang didominasi, atau masyarakat kebanyakan dapat secara suka rela memeluk 15 16 George Ritzer dan Douglas J Goodman, 2000, hal. 100 Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 120-121 25 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dan menyakini apa yang ditanamkan oleh kelompok penguasa. Hegemoni dominan dapat sukses diraih, apabila mencapai konsensus (consent). Hegemoni dominan adalah suatu organisasi konsensus. Menurut Dominic Strinati, hal tersebut berarti bahwa kelompok yang didominasi menjalani penerimaan konsensual. Dimana kelompok yang didominasi menerima ide, nilai dan kepemimpinan dari kelompok penguasa atau dominan. Gramsci sendiri lagi-lagi menegaskan bahwa hegemoni dominan semacam ini tidak didapatkan melalui jalan kekerasan ataupun mekanisme indoktrinasi ideologi, akan tetapi karena keinginan mereka sendiri.17 Hegemoni dominan memiliki tingkatan sesuai penguasaan kepatuhan pada kelas yang didominasi. Gramsci, seperti yang dikutip dari Femia, membagi hegemoni dominan menjadi 3 (tiga) tingkatan. Tingkat pertama adalah hegemoni integral. Hegemoni ini ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Ada persatuan moral dan intelektual yang kokoh, dan memiliki hubungan yang organis antara kelompok yang menguasai dan yang didominasi. Selain itu, tidak ada hubungan antagonis sama sekali di antara keduanya. Kedua, hegemoni decadent atau merosot. Hegemoni ini menunjukkan bahwa upaya penanaman hegemoni sudah dilakukan, dan semua nampak dikuasai, namun tetap menyisakan celah dan masalah. Bila pada permukaan semua terlihat sudah bersatu, baik kelompok yang menguasasi dengan kelompok yang didominasi, pada kenyataan tetap hadir potensi disintegrasi. Potensi itu dapat sewaktu-waktu membuncah. Sedangkan yang ketiga, adalah hegemoni yang minimum. Hegemoni ini 17 Dominic Strinati, 1995, An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London, hal. 154 26 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menduduki tingkat yang paling rendah. Hegemoni ini bersandar pada pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politik dan intelektual. Pada saat yang bersamaan masyarakat pun enggan ikut campur tangan dalam merumuskan kehidupan bersama. Hingga pada akhirnya, semua arah hegemoni ditentukan oleh kelompok penguasa. 18 Berdasar pada pengalamannya, Gramsci mencontohkan bahwa kekuatan kelompok penguasa pada umumnya berasal dari kelas pemilik modal, berupaya membentuk konsesinya, atas latar ekonomi. Untuk memperoleh konsensus, maka kelas yang didominasi (pada kasus ini adalah kelas pekerja), diajak untuk memikirkan persoalan mereka, berupa kesejahteraan dan upah yang layak. Bukan tanpa alasan para pemilik modal mengajak para pekerja untuk membahas hal tersebut. persoalan semacam itu merupakan kunci masuk agar dominasi yang dimiliki oleh para pemilik modal dapat tetap aman. Dengan masuknya pemikiran para pemilik modal dalam pembicaraan mengenai kesejahteraan para pekerjanya, maka mereka dapat melanggengkan dengan mudah kepatuhan dan nilai-nilai subordinasinya. Ide-ide mereka diakui, sebagai sebuah hegemoni. Kelompok yang didominasi kehilangan kesadaran, terutama kesadaran kelas dari sejarahnya. Kehilangan kesadaran ini tidak hanya melalui jalan kekerasan, akan tetapi juga melalui jalan konsensus dalam moral dan intelektual. Konsensus harus disertai kesepakatan dari aliansi, tahap inilah yang disebut sebagai blok historis. Menurut Nezar dan Andi, blok historis ini terbentuk apabila kelas 18 penguasa berhasil memunculkan Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 125-126 27 keseimbangan dalam menjaga PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI hegemoninya, melalui kepemimpinan dan dominasi. Blok ini ini mewakili tatanan sosial tertentu. Karena di sinilah hegemoni dominan direproduksi ke dalam lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi, salah satunya pendidikan.19 Peran inteletual amat diperlukan di sini. Terutama sebagai agen dalam pembentukan blok historis. Gramsci membagi kelompok intelektual menjadi 2 (dua), yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Kelas penguasa membutuhkan para agen untuk menanamkan “kesadaran baru”. Di sinilah peran para intelektual tradisional dianggap sangat penting. Intelektual ini hadir untuk bekerja demi kepentingan kelas penguasa, atau dari kelas selain dari kelas penguasa, namun dirinya terpisah dari kelas asal. Berbeda dengan intelektual tradisional, intelektual organik merupakan intelektual yang lahir setiap kelas, yang berpikir untuk bergabung dan mengorganisir kelas yang didominasi. Intelektual organik dapat saja berasal dari intelektual tradisional, yang secara sadar menginggalkan posisi mereka sebelumnya. Demi memperjuangkan kepentingan kelas yang didominasi. Pada Marxisme, salah satu konsep kunci lainnya adalah adanya pertentangan kelas. Bila pada Marxisme tradisional, yang saling bertentang adalah kelas kapitalis (pemilik modal) dengan kelas pekerja (buruh). Namun pada proses hegemoni, Gramsci mengatakan bahwa pertentangan kelas seringkali terbentur dengan upaya netralisasi oleh kelompok penguasa. Mereka melemahkan melalui mekanisme pengawasan dan iming-iming kenaikan upah yang jauh lebih baik (pada kasus kelas pemilik modak dan buruh). Hingga pertentangan kelas, menjadi 19 Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 127 28 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sebuah ilusi. Kelas pekerja (buruh) menginternalisasi pengawasan dan imingiming tersebut sebagai sesuatu yang memang dibutuhkannya. Mereka menjadikan hal tersebut sebagai konsensus dan meligitimasinya sebagai budaya. Konsensus terselubung semacam ini semakin memperkuat hegemoni dominan kelompok penguasa. Konsesus masuk dalam gejala integrasi budaya. Integrasi juga masuk melalui pendidikan dan mekanisme kelembagaan. Menurut Gramsci, pendidikan tidak lagi mengusung semangat awalnya, yaitu membangun pola berpikir yang kritis dan sistematis dari kelompok buruh yang didominasi. Sedangkan keberadaan lembaga semacam lembaga keagamaan, sekolah, media massa dll, pun turut dalam penyebaran ideologi kelompok penguasa. Konsesus dibentuk guna melemahkan pertentangan kelas, kelompok yang didominasi ditundukkan melalui instrumen budaya, yaitu bahasa. Bahasa yang disampaikan merupakan bahasa pelayanan bagi kelompok penguasa. Konsensus yang merupakan kesadaran palsu itu, diyakini oleh kelas yang didominasi sebagai kepentingan mereka. Akan tetapi, Gramsci memandang bahwa kelas yang didominasi, tidak sepenuhnya berada di bawah pengaruh kesadaran palsu. Menurutnya, kelas yang didominasi dapat membangun kesadaran dan konsep hegemoninya tersendiri, sebagai mekanisme untuk melawan hegemoni dominan dari kelas penguasa. Blok historis yang dibentuk oleh hegemoni dominan (dari kelas peguasa) dibuat absen. Hegemoni tandingan (counter hegemony) dibentuk oleh kelas yang didominasi . Mereka membentuk blok historis baru. Mereka menyatakan kesejarahannya 29 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sebagai kesadaran baru, yang berasal dari kondisi nyata yang dihadapinya. Blok historis ini pun kepentingan kolektif dari aliansinya. Gramsci berpendapat bahwa jikalau kelas yang didominasi menggabungkan seluruh sektornya, maka mereka akan dapat memecahkan permasalahan pokok masyarakat. Dalam hal ini, nilai, ideologi dan praktek dapat dirajut dalam blok historis baru, dan pada tahap selanjutnya dapat disebarluarkan pada masyarakat. Dalam upayanya mengontrol penguasa, kelompok yang semula didominasi, harus melibatkan kelompok atau pihak lainnya. Guna menghimpun kekuatan sosial bersama. Dari kelompok-kelompok kecil yang merasakan ketertindasan yang sama, mereka berangkat untuk saling menyatu, namun tetap menghormati perbedaan masing-masing, dalam sebuah payung bersama. Sebagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme. Selain itu, mereka mempersiapkan diri untuk memperkuat gerakan sebagai sebuah kombinasi dan aliansi strategis. Aliansi strategis ini akan menyatukan misi mereka guna melawan kelompok penguasa. Misi yang dihasilkan pada akhirnya akan menghadirkan jaringan kerja dan identitas kolektif. 20 Gramsci meletakkan perang posisi dengan basis gagasan untuk mengepung apparatus negara dengan suatu counter hegemony. Hegemoni ini diciptakan oleh organisasi massa kelas yang didominasi dan dengan membangun lembaga-lembaga serta mengembangkan budaya dari kelas yang sebelumnya didominasi. Melalui perang posisi dalam hegemoni tandingan ini, Gramsci berharap agar kaum buruh dan petani dapat diorganisir, agar mampu membangun 20 Daniel Hutagalung, Januari-Februari 2006, Laclau-Mouffe Tentang Gerakan Sosial, Majalah Basis No.01-02, Tahun LV. 30 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pondasi baru. Hegemoni tandingan ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mewujudkan pondasi baru, yang terdiri dari budaya, kosmologi, maupun budaya alternatif, yang berasal dari kondisi dan kebutuhan mereka sendiri.21 Pondasi baru ini menjadi gagasan yang mendorong kelas yang didominasi untuk melawan hegemoni dominan (dari kelas penguasa). F.2.4. Globalisasi yang Membuka Batas Membaca kethoprak, khususnya lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, sepertinya akan jauh lebih lengkap bila menyertakan globalisasi sebagai pisau analisis sekunder. Terlebih lagi, seniman dari kesenian ini banyak mengambil fokus pada upaya untuk membendung dampak (buruk) yang dibawa oleh globalisasi. Sehingga teori globalisasi, khususnya yang berkaitan dengan budaya, dipakai untuk memindai kedua lakon tersebut. Globalization does not simply refer to the objectivness of increasing interconnectedness. It also refers to cultural and subjective matters [namely, the scope and depth of conciousness of the world as a single place]. (Roland Robertson 1992)22 Globalisasi menurut Jan Aart Scholte, dapat diartikan sebagai suatu proses sosial yang didapatkan dari mekanisme penghapusan kualitas jarak dan batas. Sehingga setiap manusia dapat dengan bebas memperlakukan dunia sebagai satu kesatuan tempat. 23 Hingga kini tidak ada yang dapat dengan yakin menyebutkan waktu kelahiran globalisasi. Ada banyak versi mengenai hal tersebut. Namun banyak ahli menyebutkan bahwa globalisasi lahir tidak kurang dari 1980an. 21 Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 172-173 Jan Aart Scholte, John Baylis and Steve Smith (Eds), 1999, The Globalization of World Politics; An Inroducction to International Relations, Oxford University Press 23 John Baylis dan Steve Smith (eds), 1997, The Globalization of World Politics, Oxford, hal. 14 22 31 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Awalnya dimulai dengan segala bentuk kemudahan di bidang transportasi dan komunikasi. Dunia tidak lagi terpisah, semua terhubung dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya, terutama di bidang ekonomi. Pada era itu, globalisasi kian intensif bergerak. Globalisasi sering identik dengan hubungan ekonomi yang tak bersekat oleh jarak atau pun batas wilayah. Profesor Joseph E Stilitz, peraih Nobel Ekonomi, berpendapat bahwa globalisasi dipahami sebagai aliran gagasan dan pengetahuan secara internasional, pemahaman budaya, munculnya kelompok masyarakat dunia, maupun pergerakan masalah lingkungan secara global. Lebih lanjut, ia mengatakan dengan bahasa yang sederhana, bahwa pada globalisasi sesungguhnya dititipkan harapan yang sangat besar. Harapan akan adanya peningkatan taraf hidup seluruh masyrakat dunia. Dengan cara memberikan akses bagi negara-negara miskin terhadap pasar di luar negeri, sehingga mereka dapat menjual barang-barang mereka. Mempermudah masuknya investasi asing, agar mereka mampu memproduksi barang-barang baru dengan harga lebih murah. Serta membuka batasan-batasn agar masyrakat dapat melakukan perjalanan ke luar negeri untuk menuntut ilmu, bekerja, mengirim dana untuk keluarga, juga membiayai usaha mereka.24 Melihat harapan besar yang diemban oleh globalisasi, sepertinya gagasan ini adalah sesuatu yang cukup menjanjikan, khususnya bagi kesejahteraan masyarakat dunia. Tetapi pada kenyataannya, globalisasi menghasilkan kondisi yang jauh dari kata sejahtera, terutama bagi negara-negara miskin di dunia. Pro kontra mengenai globalisasi mulai mengemuka di banyak negara. Pengelolaan globalisasi yang diatur oleh (mayoritas) negara-negara maju, cenderung 24 Joseph E Stiglitz, 2007, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil, Mizan, Bandung, hal. 50 32 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ditunggangi oleh kepentingan tertentu dari negara-negara tersebut. tidak ada upaya membuat aturan yang berimbang, sehingga denderung menghambat kemajuan dari negara berkembang dan negara miskin.25 Komisi Dunia tentang Dimensi Sosial Globalisasi26 melakukan suvei di 73 negara di seluruh dunia. Di seluruh dunia, kecuali Asia selatan, Amerika Serikat dan uni Eropa angka pengangguran meningkat dalam kurun waktu 1990-2001. Pengangguran pada saat itu mencapai angka 185,9 juta jiwa. 59 % dari mereka tinggal di negara dengan tingkat kesenjangan yang meningkat, dan ada 5 % yang tinggal di negara dengan tingkat kesenjangan menurun. Singkat kata, globalisasi mungkin dapat membantu beberapa negara, katakanlah, untuk meningkatkan PDB27 (produk domestik bruto) , yaitu jumlah produksi barang dan jasa. Namun, hal itu bukan berarti dapat meningkatkan taraf hidup seluruh masyarakatnya. Justru timbul kekhawatiran bahwa globalisasi akan menciptakan negara-negara kaya dengan masyrakat miskin di dalamnya.28 Negara-negara berkembang yang membuka diri bagi dunia luar tidak langsung meraup manisnya keuntungan dari globalisasi. Bahka jika terjadi kenaikan PDB, pertumbuhan yang terjadi mungkin tidak berkesinambungan. Dan, jika pertumbuhan itu berkesinambungan, sebagian penduduknya tidak merasakan dampaknya, atau merugi. 29 Globalisasi, mengadopsi sistem liberalisme klasik, yaitu meniadakan peran negara dalam urusan ekonomi internalnya. Lembaga ekonomi dan korporasikorporasi, selaku pelaku para pasar bergerak ekspansif ke seluruh dunia, 25 Joseph E Stiglitz, 2007, hal. 51 Komisi ini didirikan pada tahun 2001 oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) 27 PBD adalah alat untuk mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara. 28 Joseph E Stiglitz, 2007, hal .55-56 29 Joseph E Stiglitz, 2007, hal 79 26 33 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI khususnya negara dunia ketiga untuk melebarkan ekspansi perekonomian, dengan iming-iming untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui langkah ‘penyesuaian struktural’ di segala bidang. Keuntungan yang dijanjikan oleh sistem ini berupa peningkatan tingkat ekonomi. Karena terbukanya sekat dan cairnya aturan perekonomian di tiap negara, sistem ini banyak disambut oleh para pelaku pasar untuk dapat memperluas cakupan ruang gerak ekonominya. Namun ketiadaan atau minimnya peran negara dalam regulasi perekonomian berimbas pada kondisi tidak terlindunginya rakyat dari ekploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh para pelaku pasar, dalam mekanisme globalisasi Globalisasi tidak semata hanya di bidang ekonomi. Semua bidang juga mengalami penetrasi globalisasi. Tak terkecuali juga bidang politik, sosial, maupun kebudayaan. Globalisasi menjadi semacam pembuka kran lalu lintas kebudayaan. Dengan demikian maka tidak ada lagi sekat geografis maupun geopolitik. Peluang dan ancaman globalisasi dijelaskan dalam buku Lambert Ziudervaart, yang globalisasi. mempresentasikan buah pikir Joost Smiers, mengenai Menurut Smiers, globalisasi ekonomi sangat mengancam keberagaman kebudayaan banyak negara di dunia, terutama di ranah seni. Sebelumnya, komunikasi terekspresikan dalam bentuk pertentangan nan emosional, konflik-konflik sosial dan pertanyaan-pertanyaan mengenai status yang saling berbentrokan satu sama lain. Komunikasi, konflik dan pertanyaan dalam seni yang dinamis dan terus membangun diri. Namun dalam kacamata globalisasi, seni yang sedemikian itu harus “ditertibkan”.30 Globalisasi menitipkan tugas penertiban melalui konsep masyarakat demokrasi. Masyarakat demokrasi 30 Joost Smiers, Lambert Ziudervaart (ed), 2011, Art in Public; Politics, Economics, and a Democratic Culture, Cambridge University Press 34 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dipahami sebagai ruang yang terbuka untuk banyak pertukaran ide dan perdebatan. Oleh karena, seni dan budaya menjadi hal yang amat penting bagi perdebatan demokrasi. Namun pada kenyataannya, kemampuan negara-negara berkembang untuk menyuarakan pendapatnya, justru terkikis oleh kendala baru dari luar. Sebagian besara dikarenakan lemahnya daya tawar yang diakibatkan oleh globalisasi. Misalnya saja, adanya syarat yang harus dijalani oleh negara berkembang, atas bantuan dana yang diberikan kepadanya (oleh negara maju). Persyaratan itu seringkali melemahkan instiusi negara berkembang. Masyarakat cenderung melihat bahwa demokrasi telah dilecehkan. Meski globalisasi lah yang membantu penyebaran ideologi demokrasi, namun dalam pakteknya, justru melalui globalisasi proses demokrasi suatu negara dilemahkan.31 Pisau analisis yang dipaparkan diatas, dirasa tepat untuk mengupas gerakan politik, yang diartikulasikan di dalam kethoprak. Kethoprak, khususnya lakon Magersari dan Ledhek Bariyem memiliki konteks yang harus dibaca pemaknaannya. Terutama dalam narasi politik di Indonesia. Pertunjukan kethoprak yang direpresentasikan dalam kedua lakon tersebut, berupaya untuk bersuara dalam wilayah politik, melalui jalur kebudayaan, terutama melalui tangan kesenian. Cukup pas dengan apa yang disinggung Gramsci dalam teorinya, mengenai mekanisme hegemoni yang dilakukan melalui tangan kebudayaan. Serta dalam lanskap teori globalisasi yang berkaitan dengan budaya. 31 Joseph E Stiglitz, 2007, hal. 60 35 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI G. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field work) yang berbasis pada proses pengumpulan data yang terkait dengan kesenian kethoprak, khususnya kethoprak Magersari dan Ledhek Bariyem. Penelitian ini menitikberatkan pada metode kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan lebih memfokuskan diri pada permasalahan kethoprak sebagai salah satu bentuk gerakan sosial (politik) masyarakat. Data dikumpulkan melalui wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. Tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah untuk memperoleh gambaran dari pengalaman nyata dari setiap responden, pengalaan menoton kedua lakon tersebut, dan mengkaji dokumen yang terkait secara mendalam. Penelitian ini akan mengkaji pengalaman langsung, dari para responden: pelaku pertujukan seni kethoprak yang dimaksud (lived experience). Metode ini dipilih untuk dapat menghimpun keterangan detil dari pengalaman para pelaku kethoprak. Sehingga akan didapatkan gambaran mengenai hal-hal yang melatarbelakangi, proses, dan masalah yang mereka temui selama aktif dalam proses produksi kethoprak Magersari dan Ledhek Bariyem. Secara khusus, penelitian akan dilakukan berdasarkan: G.1. Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pertimbangan pemilihan lokasi tersebut adalah karena pertunjukan kedua lakon kethoprak yang diteliti dilakukan di wilayah ini. selain itu, kedua lakon kethoprak 36 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI iru merupakan hasil produksi dari dua (2) komunitas kethoprak yang ada dan berkegiatan secara aktif di wilayah Yogyakarta. Selain itu, konteks dari kethoprak yang dipertontonkan memang sengaja ditujukan untuk masyarakat Yogyakarta, dan memfokuskan pada permasalahan peristiwa politik di wilayah ini. G.2. Kelompok Sasaran Kelompok sasaran dari penelitian ini adalah para seniman kethoprak yang tergabung dalam komunitas Genitama dan Pastika, yang secara khusus terlibat dalam proses produksi kethoprak Magersari dan Ledhek Bariyem. G.3. Jumlah yang akan diteliti Penelitian ini akan mewawancarai perwakilan dari komunitas-komunitas. Perwakilan komunitas itu terdiri dari 4 (empat) orang penggiat kethoprak, dari komunitas Genitama dan Pastika sebagai sumber kunci. G.4. Sumber Data G.4.1. Data Primer Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan. Data primer penelitian berupa rekaman pertunjukan, naskah, hasil wawancara dan observasi yang dilakukan dalam rentang waktu semenjak bulan Mei 2015 hingga Oktober 2015. Data-data tersebut diperoleh langsung dari para seniman dan penggiat kethoprak (khususnya untuk produksi kethoprak Magersari dan Ledhek Bariyem). 37 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI G.4.2. Data sekunder Data sekunder penelitian ini adalah data-data yang didapat dari berbagai sumber tertulis dan rekaman. Data-data itu terdiri dari buku, jurnal, tesis, disertasi, hasil penelitian, catatan komunitas, majalah, buletin dan rekaman video pertujukan kethoprak. G.5. Teknik Pengumpulan Data G.5.1. Pengumpulan Naskah Naskah merupakan data penting yang akan dianalisa dalam penelitian ini. Sehingga pengumpulan naskah dari dua (2) produksi kethoprak: Magersari dan Ledhek Bariyem adalah mekanisme yang wajib dilakukan dalam proses penelitian. G.5. 2. Wawancara yang mendalam Wawancara mendalam (in-depth interview) yang bersifat lama, terbuka dan terarah (open-ended interview), dilakukan untuk menangkap pandangan dan pemikiran responden. Sehingga dapat terhindarkan hasil jawaban wawancara yang bersifat tertutup. Wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi yang sebanyak-banyaknya dan sedalam-dalamnya dari para responden/pelaku. Teknik wawancara mendalam ini dilakukan dengan cara melakukan tanya jawab, antara peneliti dengan responden, dengan bantuan interview guide (panduan wawancara). G. 5. 3. Observasi Langsung Observasi langsung dilakukan dengan menonton pertujukan, mendatangi, berinteraksi dan melihat cara kerja dari tiap komunitas. Tujuan dari metode ini 38 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI adalah untuk menghimpun catatan atas pengamatan langsung, mengenai berbagai hal yang berkaitan dilakukan oleh komunitas tersebut. G.5.4. Dokumentasi Dokumentasi merupakan upaya untuk melakukan pengumpulan data yang terekam dalam dalam berbagai media. Dokumen-dokumen tersebut dapat berupa data-data yang sebelumnya sudah ada, dan juga yang yang dibuat pada saat proses penelitian terjadi. H. Skema Penulisan Skema Penulisan Penelitian ini adalah: Bab I Pendahuluan Bab ini merupakan bab pengantar yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, pentingnya penelitian, tinjuan dan kerangka teoritis, metode penelitian, pengolahan data, dan skema penulisan. Bab II Kesenian dalam Gerakan Politik Pasca Reformasi Pasca reformasi, sistem dan kondisi politik di Indonesia telah mengalami banyak perubahan, dan melibatkan banyak pihak dari sektor-sektor yang berbeda. Salah satunya kesenian. Pada bab ini, akan dipaparkan mengenai keterlibatan kesenian dalam ranah politik, terutama dalam upayanya melakukan kritik terhadap kondisi sosil politik di Indonesia. Sejauhmana kesenian melakukan gerakan politiknya. 39 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Bab III Kethoprak yang Berbicara di Panggung (Politik) Lebih lanjut, bab ini akan menelusuri seluk beluk permasalahanpermasalahan yang dihadirkan di atas panggung pertunjukan kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem. Kedua lakon kethoprak tersebut sengaja dibuat dan dibuat dengan latar peristiwa politik tertentu. Sehingga pada bab ini, akan dipaparkan data dan temuan yang didapatkan dari pertunjukan dan juga hasil proses wawancara dengan para responden. Bab IV Hegemoni Di Ranah Seni Tradisi Pada bab ini, kethoprak akan dianalisa menggunakan teori hegemoni yang diperkenalkan oleh Antoni Gramsci, serta teori sekunder mengenai globalisasi. Kethoprak akan diperiksa, dengan menggunakan alat baca hegemoni dan globalisasi. Tahapan untuk mencari siapa pemengang posisi intelektua, bagaimana blok historis dibangun dan konsesus semacam apa yang hendak ditanamkan, adalah agenda kerja pada bab IV. Bab V Kesimpulan Bab ini berisi pemaparan kesimpulan hasil penelitian mengenai pembacaan mengenai hegemoni dan globalisasi, yang disampaikan melalui pertunjukan dan konteks dari kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem. 40 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Bab II SENI PASCA-REFORMASI, SENI YANG MENCARI POSISI A. Pengantar Dalam sebuah diskusi, Michael Bodden32 mempresentasikan hasil penelitiannya mengenai kelompok-kelompok teater di Indonesia.33 Bodden banyak membahas mengenai orientasi perlawan dari kelompok-kelompok teater di masa Orde Baru, dan juga reformasi. Bodden menjelaskan, pada masa Orde Baru yang represif, banyak kelompok teater yang lahir dari kelompok rakyat tertentu. Misalnya saja komunitas buruh, komunitas marjinal ataupun institusi keagamaan seperti pesantren. Kelompok-kelompok itu seringkali mementaskan teater dengan tema perlawanan terhadap rejim Soeharto, sebagai sesuatu yang makro. Sedangkan pada masa reformasi, seiring perubahan di level kekuasaan, tema-tema yang diusung oleh kelompok-kelompok itu pun berubah. Mereka lebih fokus membincangkan permasalahan mengenai trauma di masa lalu (orde baru), perempuan dan gender, identitas, serta permasalahan-permasalahan masyarakat perkotaan. Karena keterbatasan waktu, dan juga semenjak tahun 2005 Bodden 32 Michael Boden merupakan seorang professor dari University of Victoria Kanada. Ia telah melakukan beberapa penelitian mengenai gerakan teater dan drama di Indonesia. Ia juga telah beberapa kali menerjemahkan karya-karya para penulis dan sastrawan Indonesia untuk dipublikasikan dalam bahasa Inggris. 33 Sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPSR) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan mengusung judul Teater dan Negara: Orde Baru, Reformasi dan Masa Kini. 41 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tidak lagi dapat melanjutkan penelitiannya di Indonesia, maka pembahasan mengenai teater di masa kini, tidak banyak disinggungnya. Sayang sekali. Pada sesi tanya-jawab, saya sempat melontarkan pertanyaan mengenai perubahan orientasi perlawanan dari kelompok-kelompok teater. Pertanyaan saya: Jika pada Orde Baru, banyak kelompok teater (hampir) kompak melawan rejim Soeharto sebagai sesuatu yang dianggap makro, dan ketika reformasi terjadi, orientasi perlawananan itu berubah pada yang jauh lebih spesifik. Misalnya permasalahan mengenai identitas, perempuan-gender dan lain sebagainya. Lantas apakah pada masa setelah reformasi, tidak ada lagi keinginan untuk melakukan perlawanan terhadap yang makro (salah satunya direpresentasikan oleh kekuasaan negara)? Bodden memberikan jawaban yang cukup panjang, namun sederhananya adalah: orientasi perlawanan dari kelompok-kelompok teater itu memang sudah berubah. Mereka tidak lagi membicarakan soal perlawanan terhadap yang yang makro seperti kekuasaan negara. Mereka mulai mencari hal baru untuk diangkat dalam pementasannya. Bila pada Orde Baru, banyak suara (pedapat) yang tidak bisa muncul (ke publik), misalnya di media massa, maka suara itu akan dimunculkan dalam pementasan teater. Berbeda dengan saat ini, kebebasan pers sudah begitu baik, bahkan orang sudah dapat dengan bebas bicara di media sosial, maka hal-hal yang makro tidak perlu lagi dibicarakan di teater. Kelompok teater sudah sangat lelah untuk membicarakannya di kala Orde Baru. Itu pekerjaan yang besar. Seperti menapaki gunung yang besar. 42 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Yusril Katil34 yang kebetulan juga hadir dalam diskusi tersebut, ikut menanggapi pertanyaan saya. Di sini saya mencoba memparafrasekan pernyataan seniman senior tersebut, namun esensinya tidak jauh dari apa yang disampaikannya. Ia mengatakan bahwa pada masa sekarang, seniman teater memang sudah mengganti orientasinya. Seniman teater masa kini sudah lebih berorientasi pada kerja-kerja kolaboratif. Terutama kolaborasi dengan seniman dari luar negeri. Hal itu juga dikarenakan adanya pengaruh dari para penyandang dana, terutama yang berasal dari luar negeri, misalnya saja Hivos. Orientasi teater tidak lagi seperti dulu. Tidak lagi melawan negara. Karena lebih fokus untuk membangun diri (seniman), dan membicarakan masalah-masalah lain, selain negara. Menurutnya, seniman sudah tidak perlu lagi mengurusi negara. Mereka sekarang sudah tidak peduli pada negara. Pernyataan sang seniman, kemudian memicu pertanyaan baru dibenak saya. Apakah memang seniman teater di masa sekarang ini, benar-benar sudah tidak peduli pada permasalahan politik (dalam hal ini kekuasaan negara)? Apakah gerakan yang mempertanyakan (alih-alih melawan) sistem yang represif sudah dianggap usai? Pernyataan yang disampaikan sang seniman mungkin bisa jadi adalah penyataan personal. Namun bisa jadi juga merupakan representasi pernyataan sebagian besar seniman, yang sudah enggan untuk membicarakan perlawanan di level makro, sehingga merasa perlu untuk mencari format perlawanan baru, yang melibatkan kerja-kerja seni global. Tidak lagi nasional ataupun lokal. Namun sebelum kita terburu-buru menyamakan para seniman itu pada kotak yang sama, kita mungkin harus lebih berhati-hati untuk melihatnya, 34 Yusril Katil merupakan seniman teater, staf pengajar di STSI Padang Panjang. Beliau merupakan pendiri komunitas Seni Hitam Putih yang berasal dari padang Panjang Sumatera Barat. 43 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mungkin saja ada yang terserak. Mungkin saja masih ada kelompok atau seniman secara personal, yang masih bersuara dan mengkritik kinerja yang makro, yang direpresentasikan oleh kekuasaan negara. Mungkin saja. Untuk mencoba membuktikan, apakah memang pembicaraan mengenai kekuasaan telah absen setelah rejim Soeharto tumbang, saya ingin membuka penelitian ini dengan melihat kondisi politik Indonesia di masa kini. Terutama dalam kaitannya dengan respon bidang kesenian terhadap kondisi politiknya. Perubahan kondisi politik Indonesia dari Masa Orde Baru ke Reformasi dan setelahnya, mampu mengantarkan kita pada gambaran mengenai perubahan kondisi kehidupan kesenian di Indonesia. Perubahan haluan kesenian, terutama dalam perbincangan politik di negara ini, akan dilihat melalui penjabaran yang alurnya maju (walau sesekali akan melihat kondisi di masa lalu, sebagai perbandingan). Fokus bab ini adalah melakukan pembacaan mengenai posisi dari beberapa bidang kesenian dalam merespon kondisi sosial politik di Indonesia, terutama pasca reformasi. Saya hendak mengantarkan sekelumit cerita mengenai bagaimana bidang kesenian seperti sastra dan juga teater berjibaku dengan kondisi sosial, politik bahkan juga ekonomi di setiap jamannya. Terutama semenjak reformasi diraih. Saya hendak memaparkan 3 (tiga) bidang kesenian dari sekian banyak bidang kesenian yang ada. Bukan tanpa alasan saya memilih ketiga bidang tersebut. Ketiganya dirasa mampu mengartikulasikan respon mereka terhadap kondisi sosial-politik di masanya. Penelitian ini tidak bermaksud untuk meniadakan keberadaan bidang lainnya, hanya saja ketiganya dirasa dapat mewakili bidang seni yang lain. 44 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pada bab ini saya ingin menghadirkan gambaran mengenai gerakan yang dilakukan oleh para seniman dari tiap bidang kesenian. Terutama peran mereka dalam memaknai dan menghadapi kondisi sosial-politik di Indonesia, dalam lingkup pasca reformasi. Walau titik waktu yang dipancangkan adalah masa setelah reformasi, tapi beberapa kali saya tetap memasukan pembicaraan mengenai kehidupan kesenian tersebut sebelum masa reformasi. Hal tersebut saya lakukan, untuk melihat sejauh mana kesenian-kesenian di tiap jamannya, berusaha menghadapi perilaku penguasa atau kekuasaan di negaranya. Semangat dalam menghadapi pergolakan itulah yang akan dicatat sebagai benang merah antara satu bidang kesenian dengan bidang kesenian yang lain, tidak terkecuali kethoprak. Dengan melihat kecenderungan perubahan dan perkembangan setiap bidang seni pasca reformasi, kita diajak untuk mencermati tiap gerakan yang dilakukan oleh para seniman. Seniman-seniman yang mengekspresikan daya kritisnya melalui media karyanya masing-masing. B. Reformasi: Musuh bersama, Ke mana Perginya? Apakah bola perjuangan reformasi telah berhenti bergulir semenjak pencapaiannya? Secara normatif, mungkin kita (dan akan diamini oleh banyak orang) akan menjawab tidak. Cita-cita untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik, melalui perjuangan yang memakan waktu panjang itu tidak mungkin berhenti, dan tidak mungkin hilang begitu saja. Menumbangkan rejim Orde Baru bukanlah perkara mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Ini hal yang terlalu rumit dan terlalu sulit. Rejim yang berkuasa selama 32 tahun itu, sudah mencengkram terlalu dalam. Menang harus diakui bahwa reformasi yang telah 45 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dirayakan sebegitu rupa, nyatanya masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah yang amat banyak. Pembenahan di banyak sektor bukanlah pekerjaan sederhana yang dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Banyak doktrin Orde Baru yang masih tersisa dan kuat mengendap dalam pola pikir dan pola perilaku pemerintah dan rakyat Indonesia. Ya walau reformasi sudah dilalui, namun doktrin mengenai ideologi yang lama (Orde Baru) belumlah bisa diganti begitu saja. Terus terang, saya merupakan seorang anak yang tumbuh di kala Soeharto menjadi pemimpin tertinggi di negeri ini. Saya juga merupakan murid yang hampir di setiap harinya dicekoki doktrin mengenai keunggulan pemerintahan di kala ini. Sebutan “Bapak Pembangunan” yang dilekatkan pada Soeharto, adalah citra yang ditanamkan di dalam kepala setiap orang. Bahwa Soeharto lah kunci pembangunan dan keberhasilan bangsa ini. Doktrin yang selalu digaungkan di hampir seluruh mata pelajaran di sekolah, mengatakan bahwa Orde Lama merupakan masa suram yang penuh penderitaan dan catatan hitam. Sosok yang telah mengangkat rakyat Indonesia dari penderitaan di masa Orde Lama adalah Soeharto. Soeharto menjadi pahlawan yang membawa era baru bagi Indonesia, era kemajuan pembangunan yang serba modern. Pada masa itu, kita dicekoki keyakinan bahwa sejauh kita memandang, pembangunan gedung, jalan, dan fasilitas umum lainnya, adalah keberhasilan Soeharto. Padi hijau menghampar, yang mampu mengantarkan Indonesia untuk dapat berswasembada pangan, adalah keberhasilan Soeharto. Keamanan dan Ke-Bhineka Tunggal Ika-an seluruh rakyat 46 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Indonesia di 27 Provinsi35, adalah keberhasilan Soeharto. Kebudayaan dan kesenian Indonesia maju dan terkenal secara global, adalah keberhasilan Soeharto. Ya. Apapun keberhasilan yang nampak pada masa itu, itu adalah berkat sang bapak pembangunan. Puja dan puji terhadap Soeharto dikumandangkan di seluruh pelosok negeri. Entah puja dan puji yang murni mengagumi sosok tersebut, atau bisa jadi puja dan puji yang dipajatkan dibawah represi. Seringkali terlalu sulit untuk membedakannya. Pada masa itu Soeharto digambarkan sebagai seorang tokoh negarawan yang menawan. Bagaimana tidak? Di TVRI, yang merupakan satu-satunya stasiun televisi pada masa itu, yang notabene adalah stasiun televisi milik pemerintah, sosok Soeharto dicitrakan sebegitu luar biasa. Kita dibombardir dengan propaganda yang tiada hentinya. Terlebih lagi bagi saya yang merupakan anak dari seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), pastinya diharamkan untuk membenci sosok tersebut. Terbukti dengan pertama kalinya saya mengikuti pemilu pada tahun 1997, ayah mengharuskan saya untuk memilih nomer 2 (dua) yaitu partai Golkar, sebagai salah satu upaya dari instansi pemerintahan (tempat ayah saya bekerja), untuk mengukuhkan pemerintahan Soeharto sebagai penguasa. Walau dalam hitungan tahun, kekuasaan itu tidak lagi kuat menahan perlawanan rakyatnya. Saya harus akui bahwa mekanisme pencitraan yang dilakukan pada masa Orde Baru sangat berhasil mempengaruhi banyak orang. Pencitraan merupakan mekanisme penaklukan di ruang publik yang dilakukan oleh oleh rejim pada masa itu. Pada kenyataannya, represi terjadi di sana sini. Rejim mendominasi di segala 35 Pada masa Orde Baru, Wilayah Indonesia dibagi dalam 27 Provinsi. Pembagian itu kemudian berubah pada tahun 1999, setelah masa reformasi. Setelah masa reformasi, terjadi program pemekaran, dengan membagi wilayah yang luas menjadi beberapa provinsi. Pemekeran itu ditujukan untuk efisiensi dan pemerataan pembangunan. 47 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bidang kehidupan rakyatnya. Rakyat seakan tak punya pilihan selain tunduk dan menurut pada rejim yang dicitrakan baik hati ini. Pelanggaran kemanusiaan bukan hal baru dalam pelaksanaan pemerintahan di dalam rejim. Mekanisme penundukan rakyat, dilakukan secara sistematis. Tidak hanya melalui mekanisme teror, baik itu melalui berbagai kebijakan pemerinatahan dan militer, akan tetapi juga melalui pendisplinan serta pengawasan yang ketat terhadap rakyat, melalui agen-agennya (baik resmi maupun tidak resmi). Rejim mengklaim bahwa mekanisme semacam itu diadakan demi keamanan dan ketertiban masyarakat. Doktrin yang ditanamkan melalui berbagai mekanisme tersebut, tidak hanya melalui jalur penertiban yang keras, akan tetapi juga masuk dalam sela-sela laku hidup masyarakat. Kesenian salah satunya. Rejim Orde Baru, selayaknya rejim-rejim yang berkuasa di negara lain, juga menggunakan perangkat kesenian sebagai senjata untuk mendoktrin rakyat. Walau sesungguhnya tidak semua seniman setuju untuk ikut menguatkan kekuasaan rejim. Tarik menarik dan bahkan pertentangan antara seniman yang melawan rejim, dengan seniman yang mengafirmasi rejim jelas tidak bisa dihindari. Nalar untuk melawan selalu timbul di kala seseorang dihadapkan pada sebuah represi dan dominasi, akan tetapi perlawanan tersebut ada kalanya mengalami titik ketidakberdayaan atas represi dan dominasi yang sedemikian kerasnya. Demikian juga dengan kondisi para seniman yang berhadapan dengan rejim penguasa. Saya ingin mengajukan satu contoh menarik untuk menggambarkan kondisi tersebut. Sebuah contoh yang mungkin terlalu jauh jaraknya dari sini, namun kondisinya agak mirip. Mengenai Alexander Pushkin, seorang penulis era romantik dan juga pendiri mahzab kesusastraan modern Rusia. Pushkin 48 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI merupakan sastarawan yang memiliki kerinduan pada perlawanan. Ia begitu lantang menyuarakan ketidaksukaannya terhadap Alexander I selaku penguasa, melalui puisi-puisi yang dibuatnya. Ia mengajak rakyat untuk tidak tunduk dan tidak pasrah pada cambuk, penjara bawah tanah serta kursi penyiksaan. Namun, sikap kerasnya berubah secara drastis, manakala pemerintahan Rusia berganti dipegang oleh Nikolas I. Pushkin berubah menjadi seorang seniman yang apatis terhadap perlawanan melalui seni. Sikapnya dipengaruhi oleh peristiwa 14 Desember 1825. Ia dan banyak kaum terpelajar di masa itu, telah dilumpuhkan secara paksa oleh Nikolas I dan tangan kanannya, Benkendorf. Mereka berusaha untuk meluruskan pena Pushkin untuk menjadi agen moral konvensional. Pushkin muak pada “kebesaran moral” itu. Ia lebih muak pada seni yang menjadi alat yang mendatangkan keuntungan bagi penguasa pada saat itu.36 Alasan itulah yang membuatnya ingin menaruh seni sebagai seni, tidak lagi sebagai sesuatu yang dapat ditunggangi (oleh penguasa). Melihat Pushkin, lantas apalah bedanya dengan kondisi yang dihadapi para seniman di Indonesia, pada masa Orde Baru? Mungkin jawabnya tidak jauh berbeda. Pada jaman Orde Baru, sedikit banyak kondisi tersebut dapat ditemukan juga. Tarik menarik kepentingan dalam kesenian tidak pernah sepi. Dalam upayanya menenggelamkan sisa-sisa gambaran Orde Lama, penguasa Orde Baru menggunakan lini kesenian untuk menyebarkan doktrin kebencian dan ketakutan pada “hantu komunis” dari masa lalu. Bagi anak yang lahir pada tahun 70-80an, mungkin pernah sekali atau bahkan berkali-kali menonton film berjudul Pengkhianatan G 30 S/ PKI, besutan Arifin C. Noer. Film tersebut merupakan 36 G.V. Plekhanov, 1957, hal. 4-5 49 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI salah satu upaya propaganda menabur ketakutan terhadap komunisme. Dalam film yang berdurasi lebih dari 4 jam itu, Soeharto dicitrakan sebagai sosok pahlawan, sang penyelamat Indonesia dari rencana kudeta PKI. Dibalik semua propaganda yang dilakukan melalui pita seluloid itu, banyak dari anak-anak yang setiap tahunnya dicekoki ketakutan terhadap PKI, tidak mengetahui bahwa ada ribuan rakyat ditangkapi, ditahan dan dibantai, demi menguatkan legitimasi kekuasaan Orde Baru. Genosida yang belum ditemukan secara tertulis di dalam buku pelajaran sejarah di sekolah. Tidak hanya melalui film, beberapa lini kesenian juga digunakan untuk menanamkan doktrin, dan menuai kepatuhan dari rakyat. Penguasa Orde baru sangat sadar atas kekuatan yang terkandung dalam gerakan seni. Melalui kesenian yang digandrungi rakyatlah, kekuasaan Orde Baru mendekati dan menundukan mereka. Kesenian dengan corak “penyuluhan” akan sangat mudah kita dapati dalam karya-karya beberapa seniman dan kelompok seni di masa itu. Lesenian semacam ini dipelihara oleh negara. Sedangkan di sisi yang bersebrangan, kondisi semacam itu menghadirkan kegelisahan yang berkepanjangan. Seni dalam kacamata para seniman tersebut adalah media untuk menyuarakan hati dan kemanusiaan. Seniman di sisi ini berkarya dan bergerak untuk mengkritisi rejim. Gerakan semacam itu berhasil membuat Soeharto dan para pengikutnya gerah. Rejim mempersempit ruang bagi kesenian semacam itu. Tidak ada ruang bagi perlawanan, walaupun dibungkus melalui lidah kesenian. Pada masa tersebut, sosok Soeharto hadir sebagai musuh bersama. Sejumlah seniman aktif berbicara politik dan mengkritik rejim. Bersama para aktivis, mereka berupaya menggempur 50 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ke atas, dan menggalang kekuatan di bawah. Gerakan menuju titik puncak reformasi. Perjalanan panjang mencapai reformasi berbuah manis. Terbukti pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan dirinya lengser dari tampuk kekuasaannya, sebagai respon dari gerakan rakyat di seluruh negeri. Selepas titik puncak reformasi, secara kasat mata kita melihat ada banyak perubahan yang terjadi. Perjuangan politik masyarakat berangsur-angsur berubah. Reformasi sebagai sebuah fase yang dituju, ditunggu dan diperjuangkan dalam waktu panjang, telah sukses diwujudkan. Rejim Soeharto berhasil digulingkan, sosok yang menjadi musuh bersama telah berhasil dilengserkan. Pada awal reformasi, gegap gempita perubahan muncul di sana-sini. Kran-kran yang sebelumnya dimampatkan atau ditutup oleh kekuatan kekuasaan, akhirnya dapat dibuka dengan volume yang sangat besar. Berbagai hal yang sebelumnya direpresi, akhirnya bebas menentukan nasibnya sendiri-sendiri. Begitu pun dengan kesenian. Di sini era baru dimulai. Era yang menjanjikan kemerdekaan berekspresi. Era kemerdekaan berekspresi dan juga bereksistensi ini, tidak kemudian diikuti dengan kesiapan untuk mengawal orientasi yang semula dituju. Bila mengibaratkan pencapaian reformasi sebagai proses dari sebuah eskalasi konflik, pada saat titik puncak telah dilampaui, maka akan ditemu juga ada fase menurunnya. Walau sesungguhnya fase menurun dalam konteks ini, tidak bisa serta merta dikatakan sebagai sesuatu yang negatif. Menurun di sini dapat diartikan sebagai penurunan tegangan perjuangan. Perjuangan ini tidak sepanas sebelumnya, tidak semassif sebelumnya dan tidak seberdarah sebelumnya. Setelah tumbangnya rejim Soeharto, pada awal tahun 2000-an, banyak seniman dan 51 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI komunitas-komunitas seni yang mengalami kebingungan. Kebingungan akibat dari hilangnya sosok musuh bersama. Seniman dan komunitas-komunitas seni kemudian mencari format baru. Format diri dan format musuh yang hendak dikritisi dan dilawan. Bila pada masa yang lalu, sosok musuh terlihat nyata dan tungggal, Soeharto, maka pada masa setelah rejim itu tumbang, sosok musuh menjadi tak terlihat. Di titik inilah kemudian kesenian mulai mengidentifikasi musuhnya masing-masing, berdasar dari pengalaman yang ditemukannya selama bersinggungan dengan kondisi sosial, politik dan juga ekonomi rakyat. C. Sastra Geliat yang Tak Berkesudahan C.1. Era Baru, Harapan Baru? Kebenaran dalam kesusastraan adalah sebuah perlawanan, sejarah yang hanya diciptakan bagi pembenaran kekuasaan. Kebenaran di dalam kesusastraan sama sekali tidak tergantung pada tanah dan kertas (keduanya alat tulis Jawa kuno) maupun komputer, melainkan oleh visi dalam kepala yang dengan sendirinya antikompromi terhadap pemalsuan sejarah. Perangkat sastra seperti kertas dan disket bisa terpendam, dilupakan, dan dimusnahkan, tapi kesusastraan akan tetap hadir sebagai pembenaran dan pojok bisu mana pun, karena kehidupan sastra berada dalam pikiran.37 Hendak mencari tahu sejarah suatu bangsa di suatu masa? Maka lihatlah karya sastranya. Tidak ada yang bisa menyangkal, atau pun tidak mengindahkan posisi sastra dalam pergulatan politik suatu bangsa. Kita bisa meminjam catatan sastra sebagai bagian dari catatan sejarah. Ya walaupun, memang kita harus jauh lebih jeli membacanya, karena karya sastra pun adalah sebuah karya seni, yang tidak lepas dari kemungkinan penambahan dan pengurangan di sana-sini, demi 37 Seno Gumira Ajidarma, 2005, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Bentang Pustaka Yogyakarta, hal. 8 52 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tujuan estetis. Namun lagi-lagi, kita akan selalu dapat melihat karya sastra sebagai salah satu rujukan untuk dapat mengenal, memahami dan bahkan memikirkan jauh lebih dalam, mengenai kondisi suatu masyarakat, di suatu wilayah dan di suatu masa. Gambaran tersebut bisa saja kita dapatkan secara detil dari hasil karya para sastrawannya. Sedikit mundur kebelakang, untuk melihat sedikit gambaran ranah sastra di masa Orde baru, dimana mekanisme deideologi sastra lahir dan berkembang. Afrizal Malna, pada bukunya yang berjudul Sesuatu Indonesia, menyebutkan pada kala itu amat terasa campur tangan pemerintah dalam dunia kesusastraan. Salah satu contoh yang diangkatnya adalah keputusan yang diterapkan di Taman Ismail Marzuki, terkait masalah pencekalan terhadap Rendra dan Emha Ainun Najib. Mengenai hal ini, Goenawan Muhammad mengatakan bahwa kebebasan sesungguhnya adalah milik kekuasaan, dan bukan semacam hak yang bisa dipakai siapapun, terutama seniman. Deideologi sastra juga hadir dalam kedekatan sastrawan dengan pemerintahan atau partai politik tertentu. Sehinga kekritisan sastrawan menjadi lebih lemah. 38 Deideologi pada masa Orde Baru terbukti ampuh membungkam sebagian sastrawan, untuk diam dan tidak melawan. Kala Reformasi mencapai puncaknya, yang ditandai oleh lengsernya Soeharto pada tahun 1998, menjadi momen yang menjanjikan kemerdekaan baru di ranah sastra. Era penyensoran, pelarangan terbit atau pun pelarangan edar sudah usai. Berbagai isu yang semula dilarang, setelah reformasi dibicarakan secara bebas. Selayaknya sebuah era yang baru, sastra dan sastrawannya juga menapaki tantangan yang baru. 38 Afrizal Malna, 2000, Sesuatu Indonesia, Bentang, Yogyakarta, hal. 478 53 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Era reformasi, nampaknya tidak akan menjamin kehidupan sastra Indonesia lebih baik, kalau sastrawannya sendiri tidak bangkit. Sastrawan sendiri harus mereformasi posisi dan perilakunya sebagai sastrawan. Tidak cukup dengan cara menuding, mengelak, memasang label reformasi di kepalanya atau bersilat argumentasi, tetapi dengan karya-karya. Dan itu mutlak memerlukan kerja.39 Tidak salah kiranya pernyataan Putu Wijaya di atas. Ia menampar cukup keras pipi para sastrawan di era reformasi. Mungkin ada benarnya, jika para sastrawan mulai memikirkan dengan serius agenda kerja mereka, ketimbang larut terus menerus dalam euphoria kemenangan atas pencapaian reformasi. Tugas sastrawan tidak selesai setelah rejim Orde baru runtuh, masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan, yaitu mereformasi kerja-kerja kesusastraan mereka. Mereka pun harus mencoba merespon kebebasan yang telah diperolehnya sebagai agenda menghadapi reformasi. Pembenahan ranah sastra di masa reformasi, dianggap tidak cukup hanya dilakukan dengan melakukan penggolongan sastrawan menurut titik waktu tahun 2000 saja. Dalam perdebatan para sastrawan dan pegiat sastra, pembenahan yang dimaksud adalah juga mengenai proses eksplorasi dan pembangunan paradigma baru dalam dunia sastra. Membangun paradigma baru ini, merupakan fundamen penting bagi proses berkarya yang akan terus bertumbuh secara dinamis dan berani. Kebebasan atas represi menjadi kunci untuk menciptakan karya yang bertujuan untuk mengartikulasikan diri secara terbuka dan merdeka. Tema-tema karya sastra menjadi melesat dengan isu-isu baru. Gegar dunia sastra seakan mampu menularkan semangat pembebasan yang dihadirkan oleh reformasi. Pada masa ini, sastra kehilangan musuh bersama. 39 Putu Wijaya dalam tulisannya pada https://putuwijaya.wordpress.com/2007/11/04/sastrareformasi/ (diunduh: 15 Agustus 2015) 54 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Orientasi pembicaraan dan penciptaan sastra tidak lagi menujuk pada satu arah lagi. Namun menyebar, sesuai dengan pencariannya. Sebagian masih membicarakan rasa traumatik dari masa lalu, sebagian lagi membuka perbincangan identitas. Isu mengenai perjuangan identitas menjadi gelombang besar sastra di masa kini. Baik identitas etnisitas, keagamaan, gender maupun seksualitas. C. 2. Identitas dalam Pasar Selepas reformasi, gerakan untuk membicarakan isu-isu global seperti isu identitas, makin kuat berkembang. Berbekal standar isu kemanusiaan global, pembicaraan mengenai isu ini masuk keruang-ruang penciptaan karya sastra lokal. Salah satunya pembicaraan mengenai pelanggarakan kemanusiaan yang terjadi pada masa pra reformasi. Reformasi tahun 1998, yang dirayakan sebagai titik puncak pencapaian dari keterkekangan rejim Orde Baru, menyisakan banyak catatan hitam. Salahsatunya kasus pelanggaran HAM terhadap masyrakat etnis Cina. Beberapa sastrawan membicarakan perihal itu di dalam karya-karyanya. Salah satunya dalam novel berjudul Putri Cina yang ditulis oleh Shindunata. Novel tersebut membicarakan posisi masyarakat enis Cina di Indonesia. Bagaimana pun kuatnya ikatan hidup mereka dengan Jawa (dikisahkan kedua tokoh tersebut hidup di tengah masyarakat Jawa), mereka tetap menjadi liyan. Bila boleh meminjam istilah dari tulisan Aprinus Salam, sastra semacam ini merupakan salah satu bentuk sastra traumatik. Pada masa pasca reformasi, karya sastra seperti ini hadir untuk menjadi mekanisme penyembuhan bagi lukaluka sosial-politik di masa lalu. Pasca Orde Baru, sastra traumatik juga kerap mengangkat permasalahan politik di tahun 1965. Walaupun tema ini muncul, 55 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI namun tidak terlalu populer dibanding tema lainnya. Hal tersebut disoroti Aprinus sebagai dampak dari kekecewaan sastrawan terhadap rejim Orde Baru yang represif. Tema-tema yang tampil yaitu seputar kebobrokan negara, korupsi, nepotisme, kolusi, demonstrasi menentang ketidakadilan aparatus negara, kebusukan politik (nasional atau aparat pemerintah), dan sebagainya. 40 Tematema tersebut masih hidup, guna membicarakan dampak berkepanjangan dari kekuasaan rejim. Sastra traumatik semacam ini muncul, namun belum mampu menandingi beberapa tema lainnya, yang jauh lebih populer pada masa pasca reformasi. Salah satunya sastra yang mengangkat tema religiusitas. Habiburrahman El Shirazy, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadya dan Pipit Senja yang tergabung dalam kelompok Forum Lingkar Pena (FLP), menjadi deretan nama dengan magnet yang besar dalam dunia kesusastraan Indonesia. Novel-novel yang ditulis oleh mereka sangat kental dengan identitas ke-Islamannya. Hampir di seluruh novel yang mereka buat, kental dengan nuansa religius. Para sastrawan yang bergiat di wilayah ini, ingin menjadikan karya sastra sebagai bagian dari dakwah atau syiar agama. Sastra religius semacam ini meraih kepopuleran yang cukup tinggi, dengan jumlah permintaan pasar yang tinggi pula. Lantas adapula karya yang mulai berjejal, dan dengan cepat bermunculan di era ini. Karya-karya dengan tema seksualitas. Pada era Orde Baru, sebagian dari kita mungkin sudah mengenal penulis seperti Motinggo Busye, Fredy S ataupun Abdulah Harahap. Mereka bukan orang baru dalam wilayah penulisan novel dengan tema erotis di Indonesia. Selepas reformasi, arus tema penulisan semacam itu bangkit kembali sebagai karya sastra. Sederet penulis perempuan 40 Aprinus Salam, NOVEL INDONESIA SETELAH 1998:dari Sastra Traumatik ke Sastra Heroik, hal.7 56 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ambil bagian dalam wilayah ini. Sebutlah salah satunya Ayu Utami, dengan karyanya yang berjudul Saman. Ia mengejutkan banyak orang dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang tidak lagi malu-malu berbicara mengenai kehidupan, maupun impian seksual mereka. Masih mengangkat tema yang sama, Ayu menghasilkan karya lain seperti Larung, Bilangan Fu dan Si Parasit Lajang. Lantas ada Jenar Maesa Ayu, anak dari sineas Syuman Jaya, yang menulis Mereka Panggil Aku Monyet dan Jangan Main-main dengan Kelaminmu. Tidak hanya mereka berdua, ada banyak nama penulis perempuan lainnya, yang mengangkat isu yang sama. Isu-isu global yang hadir dalam artikulasi kesusastraan pada kenyataannya menjadi bagian penting dari kekuatan komoditi dalam pasar. Novel Saman pernah menjadi Best Seller, dengan jumlah penjualan yang menyentuh angka lebih dari 55.000 eksemplar.41Jumlah yang sangat banyak, terlebih lagi bila memikirkan berapa jumlah keuntungan yang didapatkan melalui penerbitan dan penjualan novel tersebut. Semestra pembicaraan mengenai sastra, pada akhirnya mengantarkan kita pada pembicaraan mengenai keuntungan dari komoditi tersebut. Wahmuji dalam tesisnya menyinggung hal tersebut. Ia menuliskan bahwa menguatnya komodifikasi apapun dalam sistem neoliberal, berimbas pula pada semakin kuatnya pengaruh sistem tersebut di medan produksi kultural, seperti sastra, kritik sastra, dan kritik artistik. Wahmuji melihat bahwa praktek kritik sastra dan artistikpun hadir untuk melayani kepentingan penerbit, demi 41 www.kompasiana.com/aziz.abdul.ngashim/ayu-utami-jogja-dan-selembar-kisah-yangtersisa_54ff329ca33311b44550fb5d 57 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI meraup keuntungan yang lebih besar. Ia mencontohkan keberadaan blurb sebagai upaya penting untuk mengangkat nilai buku tersebut.42 Karya sastra pada titik ini mengalami kehilangan ke-diri-annya. Wahmuji menyebutkan sebagai kondisi hilangnya medan otonom karya sastra. Hal tersebut dikarenakan kuatnya komersialisasi di wilayah ini.43Seperti yang dicontohkan di atas, kala novel Saman menjadi best seller, ia telah menjadi produk yang tren dengan penulis yang terkenal. Karya sastra tidak lagi dilihat dalam kapasitas karyanya, namun seberapa kuat idiom pendukung promosi yang hadir bersamanya. Sehingga pada akhirnya, karya sastra masuk dalam ruang penggolongannya masing-masing. Kecenderung penerbit sebagai pelaku pasar, lebih melihat fiksi populer sebagai komoditi yang jauh lebih menjanjikan keuntungan, ketimbangan karya sastra serius. Wahmuji melihat bahwa sastra direpresentasikan sebagai sebuah medan yang relatif otonom dari kekuasaan (ekonomi) sedangkan fiksi populer justru menghamba pada pasar. Sastra memiliki otonomi relatif, yang memungkinkannya untuk lebih kritis pada kekuasaan.44Hal tersebut tidak didapati dalam sastra (fiksi) populer, yang selalu berusaha untuk memenuhi keinginan pasar, sebagai pusat produksi dan distribusi. Peran pasar nasional dengan berdasar pada isu yang berkembang secara global, nyatanya mampu mendongkrak posisi ekonomi dari sastra popouler. Khalayak pembaca digiring para selera yang dibentuk oleh kepentingan 42 Wahmuji, Heteronomisasi Medan Sastra di Bawah Neo-liberalisme: Analisis Modal Kultural Mengenai Sastra dan Fiksi Populer, Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakata, 2015, hal. 42 43 Wahmuji, 2015, hal.43 44 Wahmuji, 2015, hal. 5 58 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kapitalisme, bukan kepentingan sastra itu sendiri. Strategi blurb misalnya, jauh lebih penting untuk membentuk minat pembaca pada sebuah karya sastra. Pasar global pun, hadir dan berperan penting dalam popularitas beberapa karya sastra yang berhasil dialihbahasakan ke bahasa lainnya. Kekuataan kalimat “berhasil terbit dan menjadi best seller” di negara lain, dapat menjadi magnet bagi minat pasar (baca:pembaca) lokal-nasional untuk memburu karya tersebut. Sehingga pada masa sekarang ini, ketertarikan khalayak pembaca pada karya sastra, tidak selalu terletak pada kualitasnya saja. Akan tetapi juga dapat dibentuk oleh isu, maupun strategi pasar yang diterapkan para pelaku ekonomi di dunia sastra. C. 3. Perlawanan terhadap Pusat Sastra Meneruskan pebicaraan mengenai salah satu karya sastra yang cukup fenomenal pada masa pasca reformasi, mungkin kita tidak akan mungkin mengabaikan karya Ayu Utami, yaitu Saman. Karya ini mendapat sambutan yang cukup baik, dari pembaca nasional maupun internasional. Karya yang lahir dari ajang penulisan sastra yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta ini, juga membuahkan penghargaan dari negara lain. Hal tersebut menjadi sebuah catatan baru bagi dunia kesusastraan Indonesia. Novel Saman dianggap mendobrak ranah kesusastraan Indonesia pada awal kemunculannya, tidak lain dan tidak bukan adalah karena isu yang diusungnya. Isu seksualitas. Meski bukan sebuah isu yang baru, namun Saman terbukti mampu menarik perhatian banyak orang, untuk membaca dan dan membincangkannya. Kehadiran Saman perdebatan yang seru di antara para sastrawan dan pegiat sasta, karena novel ini dianggap sebagai representasi dari Komunitas Utan Kayu (KUK). 59 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KUK harus diakui kerap dijadikan sebagai standar dan kiblat kesusastraan dan kesenian di Indonesia. Letak komunitas yang berada di ibu kota Jakarta, kedekatannya dengan pemerintah (dalam hal ini Dewan Kesenian Jakarta), penguasaan media dan kekuatan pendanaan menjadi pendukung keberhasilan komunitas ini, dalam membangun dirinya. Lambat laun tokoh-tokoh KUK seperti Goenawan Muhammad, Sitok Srengenge, Ayu Utami, dan lain sebagainya, menjadi patron bagi para seniman dan sastrawan di wilayah lainnya. Patronase ini diperkuat dengan dukungan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai salah satu jaringannya. Keberadaan KUK, pada perkembangan sastra dan seni di Indonesia tidak selalu mendapatkan respon positif. Adanya banyak perdebatan dan polemik yang hadir seiring dengan eksistensi mereka yang dianggap sebagai pusat dan standar sastra dan seni Indonesia. Gugatan mulai bermunculan dari komunitas, sastrawan, seniman dan pegiat sastra serta seni, terhadap “pemusatan” pada KUK. Dengan beragamnya kekhasan dan kepentingan dari sastra dan seni di Indonesia, sepertinya muskil bila perkembangan sastra pada akhirnya mengikuti jejak KUK. Standarisasi dan pemusatan sastra yang terletak pada KUK, melahirkan kondisi yang tidak sehat dalam dunia sastra. Tanggapan terhadap KUK sendiri sangat beragam. Dari merayakan, menyambut gembira, hingga melawannya karena dinilai sebagai pusat sastra. Gerakan perlawanan terhadap pemusatan sastra Komunitas Utan Kayu (KUK), banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas sastra di daerah-daerah. Komunitas-komunitas ini hadir sebagai tandingan, dan menyatakan sikap menolak keberadaan hegemoni sastra yang terpusat. Jurnal Boemipoetra yang digawangi 60 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI beberapa sastrawan dan pegiat sastra di daerah, menjadi ikon gerakan tersebut. Babat Hutan Kayu45, menuliskan essai mengenai apa yang sesungguhnya mereka kritisi dari KUK. Keberadaan komunitas sastra daerah sebagai oposisi dari KUK, dipetakan melalui beberapa perbedaan yang singnifikan di antara keduanya. Perbedaan permasalahan antara komunitas sastra daerah dan KUK, adalah satu: pendanaan komunitas biasanya didapatkan dari kantong para anggotanya (patungan), sedangkan KUK mendapatkan dana dari donor asing. Kedua: komunitas sastra berorientasi pada permasalahan kerakyatan dan membumi. Ketiga: KUK melalui sepakterjangnya, melegitimasi diri sebagai pusat sastra, sedangkan komunitas sastra mementahkannya dengan slogan “Sastra Tanpa Pusat Sastra”. Keempat: identitas komunitas sastra berorientasi pada lokalitas dan nasional, lain halnya dengan KUK yang berorientasi pada kapitalisme dan seksualitas. 46 Gerakan melawan KUK, melahirkan maklumat, yang dikenal sebagai pernyataan sikap Sastrawan Ode Kampung, yang dilaksanakan pada tanggal 20-22 Juli 2007, di daerah Serang Banten. Isi dari maklumat tersebut yaitu: 1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas yang lainnya. 2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika. 3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan kita. Pernyataan sikap tersebut ditandatangani oleh 138 orang sastrawan dan para penggiat komunitas-komunitas sastra dari seluruh Indonesia. Keberadaan Joernal Boemipoetra sendiri cukup menarik perhatian banyak pihak. Tulisan-tulisan yang terdapat dalam journal ini sering dipandang urakan 45 Nama pena dari Wowok Hesti Prabowo Essei dari Babat Hutan Kayu, 2007, Sastra Tanpa Pusat Sastra, Jurnal Sastra Boemipoetra, Edisi Pertama hal.2 46 61 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dan liar. Terutama saat menyampaikan kritik-kritiknya terhadap KUK. Muhidin M Dahlan dalam esseinya yang berjudul Jurnalisme Pamflet mengatakan bahwa bentuk jurnalisme Boemipoetra hampir sama dengan jurnal Doenia Bergerak. Jurnal yang dibentuk oleh Mas Marco Kartodikromo. Jurnal tersebut dibuat karena alasan ketidakpuasannya terhadap sikap Tjokroaminoto yang dianggap lembek terhadap pemerintah pada saat itu. Muhidin melihat kesamaan diksi-diksi yang dimunculkan dalam dari kedua jurnal, yang rentang tahunnya sangat jauh itu. Bila banyak pihak yang melihat keduanya sebagai sederetan tulisan liar, penuh kemarahan, dan jauh dari tata kesopanan, Muhidin memandang dengan cara yang berbeda. Ia menyatakan bahwa sesungguhnya kedua karya jurnalistik tersebut lebih seperti cambuk api di tengah kelesuan dunia kesusastraan yang mengarah pada monolitisme. Seperti jargon mereka: boekan milik antek imperialis. Mereka melawan keras pada dominator, manipulatif, agen liberalisme di lapangan kebudayaan, dengan jurus jurnalisme pamflet.47 Perlawanan terhadap pusat sastra melalu junalisme pamflet, adalah upaya untuk mengkonter pembangunan paradigma tunggal dalam sastra. Pencarian paradigma baru dalam sastra Indonesia, mau tidak mau pasti menghasilkan polemik tersendiri. Pembangunan paradigma baru, yang dilakukan oleh Goenawan Muhammad dan KUK, dianggap tidak mampu mewakili permasalahan masyarakat secara utuh. Selain itu, efek globalisasi yang masuk dalam bentuk dukungan dana internasional, dinilai sebagai bentuk lain imperialisme model baru. Mahdiduri dalam essei yang dituliskan pada Joernal Boemipoetra menyatakan bahwa semenjak kebijakan penanaman modal asing 47 http://radiobuku.com/2013/01/jurnalisme-pamflet (diunduh: 26 Oktober 2015) 62 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ditetapkan pada tahun 1967, segala sendi kehidupan berbangsa menjadi incaran penjajahan mereka, tak terkecuali kebudayaan. Ketidakmungkinan melakukan invansi melalui jalan militeristik, melahirkan strategi untuk menguasai melalui kebudayaan. Mahdiduri menuliskannya: Jika kebudayaannya dapat dirubah, maka berubahlah jiwa bangsa itu. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti menguasai segala-galanya dari bangsa itu. 48 Globalisasi kebudayaan semacam ini lah yang dikhawatirkan oleh banyak pihak, terutama oleh komunitas-komunitas sastra di daerah. D. Memanggungkan Peristiwa dalam Teater D. 1. Pasca Reformasi, Teater yang terus Mencari Kebodohan umum saat itu merajalela di masyarakat. Koran-koran mengungkapkan pernyataan-pernyataan para pemimpin yang picik dan menderita erosi mental. Saya tidak tahu apa-apa tentang politik, tapi saya merasa tidak bisa membiarkan erosi mental kolektif itu dibiarkan tanpa dilawan. Sebab, sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. Tapi saya juga tidak tahu ABC perlawanan terhadap teror politik semacam itu. Semakin prihatin saya dengan keadaan, semakin saya bingung. Saya kira waktu itu saya pun akhirnya juga sakit mental: saya frustasi. Itu gawat. Seorang seniman tidak boleh frustasi. 49 Tulisan di atas dibuat oleh WS Rendra pada tahun1987. Bukan tanpa alasan ia menuliskannya. Pada tahun tersebut, Rendra secara pribadi maupun berkelompok (Bengkel Teater) mengalami masa-masa yang sulit. Dari peristiwa pencekalan beberapa pementasan kelompoknya, hingga penahanannya atas 48 Essei dari Mahdiduri, 2007, Sastra Indonesia dalam Skenarion Imperialisme, djoernal sastra Boemipoetra, edisi kedua, hal.7 49 WS Rendra, dalam TEMPO, 6 Juni 1987 63 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI beberapa aksi seni yang dicap membahayakan oleh organ militer pendukung rejim Soeharto di masa Orde Baru. Sepanjang pengalamannya menjadi seniman teater, atau pun sastrawan, ia memiliki catatan yang tidak menyenangkan saat diperhadapkan dengan sistem dan organ kekuasaan kala itu. Bahkan Bengkel Teater beberapa kali mengalami pencekalan, karena dianggap dapat mengancam stabilitas dan keamanan nasional. Pemetasan mereka dinilai sarat dengan kritik politik dan cenderung subversif. Rendra dan Bengkel Teater hanya sebagian dari sekian banyak seniman dan komunitas teater yang aktif membicarakan politik di atas panggung. Pembicaraan mereka hampir seragam, mengkritik rejim Orde Baru. Selepas runtuhnya Orde mereka tiba-tiba disadarkan akan hilangnya musuh bersama. Di tengah kegamangan masa transisi politik di negeri ini, para seniman dan komunitas teater mereka mulai bergegas untuk mencari orientasi, di antara sisasisa “pekerjaan rumah” yang ditinggalkan oleh penguasa di masa lalu. Bukan hal yang mengejutkan bila kita mendapati isu-isu yang berkembang selepas reformasi, terkesan mirip antara satu bidang kesenian dengan bidang kesenian yang lain. Lihatlah bidang sastra. Bidang ini masih membicarakan kritik pada praktek politik negeri ini, walau fase reformasi telah dilampaui. Namun tidak lagi menunjuk Soeharto sebagai target kritik. Target kritik menjadi lebih menyebar. Terutama pada praktek pemerintahan yang belumlah beres, meskipun reformasi sudah tercapai. Para seniman dan kelompok teater, yang dulu kerap membawakan permasalahan politik ke atas panggung di kisaran tahun 80-an dan 90-an, mulai melihat kondisi sosial-politik kontemporer masyarakatnya. Sebutlah teater Gandrik yang mementaskan Sidang Susila berisi kritik terhadap undang- 64 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI undang anti-pornografi pada tahun 2008, juga pementasan mengenai korupsi yang berjudul Tangis pada tahun 2014. Ada pula Teater Gapit atau yang kini lebih dikenal sebagai Lungid, masih setia mementaskan cerita-cerita mengenai masyarakat kelas masyarakat pinggiran, atau kelas bawah yang dikorbankan demi program-program pembangunan pemerintahnya.50 Mengenai perubahan ini, Barbara Hatley seorang peneliti dari Australia mendapati bahwa sesungguhnya jalinan ‘organik’ antara kelompok teater dengan kondisi kontemporer, ataupun dengan berlawanan, sudah tidak nampak lagi. 51 kelompok-kelompok sosial yang Mereka terlalu sibuk untuk mengambil alih kembali hak mereka di ruang publik, terutama untuk bercerita dan mendengarkan cerita-cerita tentang mereka sendiri dan membangun identitas sendiri.52 Hal tersebut cukup lumrah, karena memang sejak kemerdekaan, seni pertunjukan Indonesia selalu saja mengalami proses perubahan, meliputi berbagai rekayasa, penemuan kembali, aktualisasi kembali, penciptaan kembali, dan rekacipta (karya) kesenian. 53 D.2. Representasi isu dalam Teater Lokal Dalam proses penciptaan kembali, termasuk proses mencari musuh baru, seni pertunjukan terutama teater berusaha untuk melakukan kerja-kerja kolaboratif dengan masyarakat di tingkat akar rumput. Tujuannya tidak hanya bermain di lapangan kesenian, akan tetapi juga masuk kedalam rumah-rumah persoalan 50 Barbara Hatley, 2014, Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta, hal. 28 51 Barbara Hatley, 2014, hal. 29 52 Barbara Hatley, 2014, hal. 36 53 Julianti L Parani, 2011, hal. 7 65 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI masyarakat. Berbasis pada apa yang masyarakat hadapi itulah, maka mereka berupaya mengidentifikasi musuh baru yang hendak mereka kritisi, serta gerak perjuangan semacam apa yang paling pantas untuk disuarakan di atas panggung. Dalam sebuah workshop yang diadakan Universitas Sanata Dharma pada tahun 2010, pembicaraan mengenai orientasi seni pertunjukan dibicarakan secara khusus. Para peserta workshop beranjak dari ekplorasi identitas dan pemasalahan lokal masing-masing terlebih dahulu. Hampir semua peserta, yang terdiri dari para seniman dan pegiat seni pertunjukan, khususnya teater memindai gerak kesenian komunitasnya masingmasing, dan membicarakannya pada forum. Kebanyakan karya yang dipresentasikan bersumber dari kegelisahan atas kondisi yang terjadi pada masyarakatnya. Mereka merespon kondisi masyarakat melalui proses berkarya yang serius. Kita bisa mendapati bahwa di Aceh, karya yang dihasilkan merupakan tanggapan atas peristiwa konflik dan tsunami yang sempat melanda mereka. Adapula karya dari komunitas pertunjukan di Bali, dan Yogyakarta, yang masing-masing menghaturkan temuan dan tanggapannya melalui karya-karya teater yang sangat khas dengan budaya mereka masing-masing. Untuk memberi gambaran yang mendekati utuh, ada baiknya kita membahas beberapa kecenderungan karya yang diciptakan oleh para seniman dan komunitasnya, sebagai bagian dari respon terhadap kondisi masyrakatnya. Di Aceh, teater menjadi salah satu mekanisme pemulihan trauma. Salah satu komunitas teater yang fokus memperhatian permasalahan semacam itu di Aceh, adalah Komunitas Tikar Pandan. Komunitas ini menginisasi lokakarya teater partisipatif yang melibatkan para korban konflik (GAM dan TNI) dan Tsunami 66 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Aceh. 54 Lokakarya pada tahun 2007, yang diselenggarakan oleh komunitas tersebut itu menghasilkan sebuah produksi teater yang bertujuan untuk memulihkan masyarakat dari trauma, dan juga membuka pintu lebar-lebar bagi rekonsiliasi antar pihak yang berkonflik. Sedangkan di Bali, fokus seusai masa Orde Baru adalah kearifan lokal, adat daerah dan industri pariwisata. Bagi masyarakat Bali, seni pertunjukan tidak bisa dijauhkan dari laku hidup sehari-hari. Terlebih lagi, karena Bali adalah tujuan wisata dunia, maka Bali dirasa tidak akan pernah kekurangan ide maupun pelaku seni pertunjukan. Pasca reformasi, permasalahan yang dihadapi adalah makin massifnya budaya luar yang semakin lama diadopsi oleh masyarakat Bali sendiri. Sebuah resiko yang harus dihadapi, kala Bali membuka diri terhadap datangnya wisatawan yang juga dibarengi datangnya budaya mereka ke Bali. Maka muncullah Ajeg Bali yang mengajak masyarakat Bali untuk kembali pada inti nilai-nilai kebudayaannya.55 Selain itu, dunia seni pertunjukan Bali semakin berani mengajak para seniman untuk menyatakan sikap politik meraka, dalam setiap karya yang dibuatnya. Lantas di Yogyakarta, sebagai salah satu wilayah yang dinamika gerakan keseniannya cukup dinamis, di sana lahir karya-karya yang terbuka dan berani melakukan eksplorasi pada medium baru. Teater Garasi salah satunya. Mereka sudah meninggalkan format teater konvesional, dengan format yang lebih baru, dengan memadukan unsur-unsur seni instalasi di dalamnya. Secara gagasan, 54 Reza Idria, 2014, Dua Panggung Pertunjukan di Aceh: Dari Konflik Negara ke Konflik Syariat, dalam Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta, hal .206 55 Brett Hough, 2014,Komunitas dan Kancah Budaya di Bali, dalam Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta, hal. 147 67 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mereka tetap setia pada pembahasan mengenai Indonesia, Jawa dan konsepkonsep rumit di dalamnya. Pasca reformasi, mendorong teater Garasi untuk mengekplorasi tema mengenai krisis Identitas Jawa, yang terjadi setelah runtuhnya rezim dominasi Jawa a la Soeharto. Mereka mementaskannya dalam Waktu Batu yang diproduksi pada tahun 2002, 2003 dan 2005. Serta Je.Ja.l.an, yang dipanggungkan pada tahun 2008 dan 2009. Banyaknya hal yang muncul dan bercampur dalam produksi Waktu Batu, dikatakan oleh Yudi Ahmad Tajudin sebagai mekanisme mengamini hadirnya hibriditas yang terus berlangsung pada identitas Jawa. Menurutnya, kejawaan bukanlah suatu identitas murni namun sebuah campuran yang dinamis dan kreatif. 56 Sedangkan pada Je.Ja.l.an mereka mencoba untuk membangun kesadaran mengenai perbenturan identitas yang saling bertemu di jalanan, yang masing-masing terancam dihimpit oleh globalisasi dan jeratan penafsiran identitas yang sempit. 57 Kekhasan dari tiap waliyah muncul sebagai bagian dari kegelisahan yang berbeda satu dengan lainnya. Tidak seperti pada masa Orde Baru, masa pasca reformasi telah mengembalikan gerak para seniman dan komunitas teater pada wilayah sosial-politiknya masing-masing. Gerak perubahan dunia teater Indonesia, terutama teater di masa pasca reformasi, dilihat oleh Barbara Hatley sebagai sebuah perubahan yang signifikan. Jika pada masa Orde baru, para seniman teater berusaha menyejajarkan dirinya untuk melakukan upaya politis dalam gerakan-gerakan perlawanan dengan basis yang lebih luas, maka kini setelah tumbangnya musuh bersama, membuat para seniman teater lokal sibuk 56 Barbara Hatley, 2014, dalam Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta, hal. 43 57 Barbara Hatley, 2014, hal. 44 68 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI membicarakan mengenai permasalahan masyarakatnya. Mereka berlomba-lomba mengkritik masalah kekuasaan politik (lokal), beserta aneka ragam identitas sosial, yang didasarkan sifat etnis, agama, kedaerahan maupun orientasi seksual, yang dirayakan dan saling bersaing.58 Hatley menegaskan bahwa perayaan identitas sesungguhnya adalah juga bagian dari pementasan teater pada masa Orde Baru, yang diejawantahkan dalam sebuah perlawanan politik bersama. Walaupun perlawanan itu terkadang kurang jelas dasarnya. Melihat konteks identitas lokal yang beragam dan tersebar, Hatley melihat adanya bahaya dari seni pertunjukan yang terjebak pada perayaan dangkal atas yang lokal yang terfokus pada kepentingan sendiri. Melalui parade-parade dengan dukungan pemerintah, para seniman dianggapnya mengambil resiko, karena mau menjadi bagian dari representasi satu daerah yang memitoskan dirinya sendiri. 59 Kekhawatiran Hatley ada benarnya. Akan tetapi kekhawatiran semacam ini juga tidak melulu dapat diterima secara utuh. Bila menelusuri isu yang dibawa dalam pementasan teater di hampir seluruh wilayah Indonesia, hampir semua memang berbicara tentang identitas. Baik identitas gender, agama, suku bahkan juga seksualitas. Berkembangnya isu yang hadir di atas panggung pertunjukan teater juga melalui proses pembacaan wacana besar yang saat ini sedang marak dibicarakan secara global. Hadirnya organisasi-organisasi penyandang dana internasional, yang mendukung produksi teater Indonesia, dapat dilihat sebagai bagian dari pementasan isu titipan global, yang disampaikan melalui seni lokal. 58 59 Barbara Hatley, 2014, hal. 6 Barbara Hatley, 2014, hal. 38 69 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Sebagai sebuah negara yang baru bangkit dari keterpurukan akibat dari rejimnya, kesenian dianggap sebagai media strategis untuk melakukan pemberdayaan bagi masyarakatnya. Teater pun melakukan fungsi semacam itu. Banyaknya bantuan organisasi internasional untuk komunitas teater, terutama yang ditujukan untuk melakukan kampanye dan pendidikan melalui seni, ditenggarai sebagai bentuk penanaman nilai universal yang tidak selalu sesuai dengan nilai lokal. Membicarakan permasalahan global dengan isu yang universal di ranah teater terasa menggiurkan, karena dapat menjadi pembuka gerbang untuk mengaktualisasikan kesenian teater yang serius di muka internasional. Namun kesempatan menggiurkan itu akan sangat membahayakan nilai lokal, terlebih lagi bila nilai universal diamini sebagai acuan kebenaran. E. Kethoprak, dari Hiburan ke Gerakan yang Berserak E. 1. Kethoprak Bukan Sekedar Klangenan Semasa kecil, saya sangat suka menonton pertunjukan kuda lumping yang disebut Ebeg60. Selepas saya tinggal di Yogyakarta, kesenian semacam itu memiliki nama lain, yaitu Jathilan. Namun esensinya tetap sama, mempertontonkan para penari, lengkap dengan kuda dari kulit bambunya. Pada pertunjukan tersebut, ada satu ritual yang sangat menarik. Yaitu ritual pemangilan roh, yang akan dengan sengaja memasuki tubuh para penari. Terus terang, dari semua alur pertunjukan jathilan, atau ebeg, bagian yang paling saya tunggu adalah bagian ini. Pada saat para penari mengalami trans, karena proses bersatunya 60 Sebutan pertunjukan kuda lumping dari daerah Banyumas , Jawa Tengah. 70 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mereka dengan roh yang dipanggil, menjadi puncak tontonan yang mendebarkan. Para penari biasanya akan menggila dan hilang kendali. Terlepas apakah yang mereka lakukan karena pengaruh keadaan trans yang dialami atau karena trik-trik tertentu, bagi saya tontonan semacam itu sukses membuat saya berdecak kagum. Sungguh liar dan seru. Namun keliaran dan keseruan semacam itu tidak saya dapatkan lagi pada beberapa tahun belakangan ini. Saya teringat pernyataan yang disampaikan oleh Sutanto yang lebih dikenal sebagai Tanto Mendut, pada sebuah diskusi yang membahas mengenai fenomena trans dalam kesenian jathilan.61 Beliau menyatakan bahwa kesenian kita memang sudah mengalami pemotongan alias sensor di sana-sini. Hal tersebut merupakan warisan Orde baru. Pada masa itu, semua tontonan yang dirasa “tidak pantas” akan mengalami penyensoran. Jathilan telah masuk dalam jajaran kesenian yang layak dipromosikan di ranah pariwisata Indonesia, sebuah kesenian layak jual yang menarik bagi wisatawan. Maka jathilan sudah semestinya dapat memenuhi standar kelayakan sebagai sebuah tontonan yang sopan. Fase trans yang seringkali tidak liar dan tidak layak tonton, pada akhirnya mengalami penyensoran, demi kepantasan.62 Warisan peraturan yang dikembangkan pada era Orde Baru masih diteruskan hingga kini. Jathilan dipertontonkan pada publik, khususnya wisatawan, sebagai pertunjukan seni tradisi yang eksotik. Achmad Kasim menekankan mengenai kelebihan kesenian tradisional yang terletak pada pengolahan nilai kehidupan tradisi, pandangan hidup, pendekatan falsafah, rasa 61 Dalam tulisan ini saya ingin membahasakan kembali pernyataan beliau, tanpa menghilangkan substansinya. 62 Pernyataan ini saya tulis dengan menggunakan bahasa saya sendiri, namun berdasar pada inti pernyataan dari bapak Sutanto. 71 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI etis, estetis, serta budaya lingkungan. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi, pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan yang lebih muda.63 Hampir sebagian besar seni tradisi memikul tanggungjawab yang sama. Kethoprak pun mengalami nasib yang sama. Menjadi kesenian klangenan yang mesti dilestarikan. Kethoprak sebagai klangenan, terutama pada tahun 2000-an ini menunjukan bahwa masa kelangkaan pertunjukan seni tradisi, khususnya kethoprak telah usai.64 Semuanya ditenggarai karena maraknya pertunjukan kethoprak dengan format yang lebih modern, lebih menarik dan lebih didukung oleh teknologi yang jauh lebih cangggih. Kesenian ini semakin terbuka pada idiom-idiom baru. Misalnya dengan pengadopsian format panggung teater pada pertunjukan kethoprak, menjadi salah satu hal yang membuat kesenian ini jauh lebih diterima oleh masyrakat penontonnya. Selain itu semakin besarnya dukungan pemerintah daerah, membuka kesempatan seluas-luasnya bagi kesenian ini untuk jauh lebih berkembang ketimbang di masa sebelumnya. Program dan kegiatan kethoprak berjalan dengan lebih berkembang.65 Kita akan dengan mudah mendapati festival kethoprak, dari tingkat kecamatan, hingga tingkat kabupaten/ kota yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya. Lantas ada pula pertujukkan kethoprak Mataram yang dilaksanakan setiap bulannya di Auditorium RRI Gejayan. Belum lagi pentas-pentas kethoprak non regular yang diselenggarakan oleh komunitas-komunitas kethoprak yang menyebar di seluruh wilayah Yogyakarta. Sungguh fase “sepi” kethoprak sudah terlewati. 63 Achmad Kasim, seperti yang dikutip oleh Afendy Widayat, 1997, dalam Kethoprak: Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural, hal. 2 64 Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015. 65 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 72 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Semangat untuk menghidupkan kembali kethoprak sebagai kekayaan tradisi rakyat Jawa, sangat terasa di seluruh wilayah Yogyakarta. Penonton dari berbagai generasi menyambut gembira, dengan hadirnya tontonannya yang dikemas sesuai dengan minat mereka. Generasi tua, yang akrab dengan jenis pertujukan kethoprak model lama, akan lebih memilih pertunjukan kethoprak konvensional. Sedangkan generasi muda terlihat jauh lebih berminat pada kethoprak garapan yang lebih mirip dengan pertujukan teater.66 Semua dimanjakan dengan variasi jenis kethoprak yang dihadirkan ke hadapan mereka. Kethoprak seringkali dipandang sebagai romatisme pada kenangan masa lalu, baik oleh generasi tua maupun muda. Akan tetapi keberadaan kethoprak tidaklah sebatas romantisme atau kelangenan pada seni dari masa lalu. Kethoprak punya nilai lebih dari itu. Menanggung beban sebagai seni yang mewariskan nilai tradisi, dan sebagai mekanisme penanaman nilai. Menilik kesejarahannya, kethoprak yang lahir dan hidup pada masa penjajahan Belanda, secara luwes berusaha menyelipkan dorongan perlawanan, melalui cerita-cerita yang dipentaskannya. Kesenian ini menjadi penggalang dukungan dan pembangun kekuatan politik rakyat yang cukup strategis. Karena dianggap membahayakan posisi penjajah, pihak Belanda melarang pementasan kethoprak, serta membubarkan komunitas-komunitas kethoprak rakyat. Dalam waktu yang cukup lama, kethoprak mengalami mati suri. Hingga tiba pada era penjajahan Jepang, kethoprak dihidupkan lagi. Bukan sekedar untuk fungsi hiburan, akan tetapi untuk kepentingan politik penjajah. Pihak Jepang sangat sadar bahwa posisi kethoprak amat vital bagi kehidupan 66 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 73 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI masyarakat Jawa. Kethoprak dilirik menjadi salah satu alat propaganda Jepang. Dalam bukunya yang berjudul Kethoprak: Politik Masa lalu untuk Masyarakat Jawa Masa Kini, Budi Susanto SJ menyinggung soal pasukan bangsa Jepang yang saat itu datang sebagai saudara tua bagi rakyat Indonesia. Mereka hendak memperoleh kepercayaan rakyat Indonesia, melalui berbagai mekanisme. Salah satunya melalui kethoprak. Dari tontonan inilah, nasionalisme rakyat Indonesia dibangkitkan. Guna melawan sekutu dan para elite priyayi Jawa yang menjadi perpanjangan tangan penjajah Belanda. Pihak Jepang berupaya memukul pihak priyayi pendukung Belanda, dan menggalang dukungan bagi pihaknya. Dari kedua masa penjajahan tersebut, kethoprak diombang-ambingkan kepentingan, baik kepentingan rakyat Indonesia, maupun penjajahnya. Baik penjajah Belanda, maupun Jepang sangat sadar akan potensi strategis politis kesenian ini. Dengan menekan geliat kethoprak yang dirasakan membahayakan, penjajah Belanda berharap dapat menekan pula geliat perlawanan yang dikobarkan melalui kethoprak. Lain halnya dengan pihak Jepang, terutama di kala mereka masuk ke Indonesia dan mengklaim diri sebagai saudara tua dari timur jauh. Pihak Jepang secara asertif berusaha menghilangkan pengaruh Belanda di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Guna melunturkan pengaruh Belanda, pihak Jepang memfungsikan kethoprak untuk mengadu rakyat kalangan bawah, dengan para priyayinya. Hingga pada saat Jepang secara jelas menjajah Indonesia, kethoprak mengalami nasib seperti pada masa penjajahan Belanda. Kethoprak kembali dilarang karena membahayakan posisi penjajah Jepang. Kethoprak kembali mati. 74 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI E. 2. Kethoprak, antara Bertahan dan Melawan Setelah Indonesia merdeka, semua hal yang sebelumnya telah mengalami kematian, dibangkitkan kembali. Tak terkecuali kethoprak. Penataan negara dilakukan bersama-sama dengan penataan kebudayaan dan keseniannya. Di bawah kepemimpinan Soekarno, dimana politik ditempatkan sebagai panglima, kerja-kerja kebudayaan pun berada dalam satu komando yang sama. Pada kisaran tahun 1955 hingga tahun 1965 kelompok kethoprak yang jumlahnya cukup banyak, mulai menggabungkan diri pada 2 (dua) partai politik yang kuat pada masa itu. Partai Nasional Indonesia(PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keduanya berdiri sebagai partai politik yang berafiliasi dengan lembaga kebudayaan yang hidup dan berkembang di kalangan masyarakat, salah satunya kethoprak. PNI berafiliasi dengan Lembaga Ketoprak Nasional, sedangkan PKI berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Badan Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia (BAKOKSI) pada tahun 1964 telah menaungi 371 paguyuban kethoprak.67 Pada masa itu kethoprak lebih banyak digunakan sebagai sarana pendidikan politik rakyat, yang menekankan pada penanaman sikap egaliter dan anti-feodal. 68 mekanisme pendidikan politik rakyat melalui kethoprak sebagai kesenian, dirasa sangat efektif. Sehingga pergerakan seni ini semakin lama semakin berkembang, atas dukungan lembaga kebudayaan dan pemerintah di masa tersebut. Setelah kemenangan Orde Baru, hal-hal yang berbau komunisme serta berdekatan dengan PKI, dihapuskan. Tak terkecuali kethoprak. Dengan 67 Mahandis Y. Thamrin/NGI http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/ketoprak-jawapernah-dibunuh-dua-kali (diunduh:27 Agustus 2015) 68 Barbara Hatley, 2008, Javanese performances on an Indonesian stage; Contesting culture, embracing change, KITLV Press Leiden 75 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dibubarkannya LEKRA, maka hal tersebut menjadi titik balik bagi kondisi kesenian kethoprak. Tidak sedikit para seniman kethoprak, yang ditahan, dibuang, atau bahkan dibantai atas dasar kegiatan keseniannya, yang berafiliasi dengan PKI dan LEKRA. Militer pada masa itu kemudian mengambilalih kesenian. Kethoprak dijadikan senjata kebudayaan yang melayani kepentingan Orde Baru, alih-alih membersihkan kesenian itu dari semua unsur ideologi komunisme. Misalnya saja pada Pada bulan September 1971, Kodam VII/Diponegoro menyenponsori pendirian group Kethoprak "Sapta Mandala". Selain itu, ada pula "Wringin Mataram" yang dikendalikan oleh Korem 0357.69 Anggota kedua kelompok kethoprak bentukan militer tersebut, sebagian besar diisi oleh para seniman kethoprak yang berasal dari kelompok “Budi Rahayu” dan “Dahono Mataram”. Keduanya merupakan kelompok kethoprak yang lolos dari proses “pembersihan” Orde Baru. Keberadaan kelompok kethoprak di masa Orde Baru, mengalami pengawasan yang sangat ketat. Bukan hanya karena kesenian ini sangat dekat dengan sejarah komunisme di negara ini, akan tetapi karena kethoprak disadari dapat menjadi mesin politik yang sangat dekat dengan rakyat. Program pemerintahan Orde Baru, khususnya yang berkaitan dengan kesenian, diarahkan untuk mendukung ketertiban dan pembangunan nasional. Maka pada masa itu kita tidak asing dengan program pembinaan kesenian. Kethoprak pada Orde baru juga hadir sebagai media pendidikan dan kampanye dari beberapa lembaga pemerintah, salah satunya di bawah naungan Departemen 69 http://www.kompasiana.com/isharyanto/sapta-mandala-dalamkenangan_552befb16ea83486688b45aa (diakses: 27 Agustus 2015) 76 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Penerangan.70 Seniman dan kelompok kethoprak tersebut mendapat perlakukan khusus dari militer dan instansi yang menaunginya. Karena mereka ikut andil dalam penyebarluasan program pemerintah dikala itu. Semisal kampanye hidup sehat, program keluarga berencana, penataran Pancasila, hingga perayaan harihari besar nasional.71 Menurut Barbara Hatley, pemerintah Orde Baru pada masa itu lebih fokus pada kerja-kerja untuk penyediaan fasilitas, dana dan penyelenggaraan pertunjukan-pertunjukan besar. Namun hanya pertunjukan tertentu lah yang dapat dipentaskan, yaitu jenis pertunjukan resmi, berbau seni tradisi dan bermuatan nilai-nilai yang mendukung program pembangunan pemerintah. Sedangkan unsurunsur yang danggap liar, kasar, ataupun berpotensi mengkritik kebijakan pemerintahan akan disingkirkan ataupun disensor dengan ketat.72 Hampir mirip nasibnya dengan jathilan atau kuda lumping. Pada masa Orde Baru, Budi Susanto SJ menuliskan bahwa sesungguhnya kajian mengenai kesenian tradisi di Indonesia menanggung beban ganda. Pertama, karena para elit pejabat pemerintah menganggap bahwa kesenian tersebut sama sekali tidak mencerminkan keagungan negara di masa lalu. Kedua, karena kesenian itu dianggap sebagai pertunjukan yang tidak halus, sehingga dinilai tidak dapat memberi sumbangan yang efektif bagi program modernisasi pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah.73 Jadi tidak mengherankan bila jathilan, kethoprak atau kesenian tradisi lainnya, mengalami transformasi yang berbeda 70 Dr. I Made Bandem dan Sal Murgiyanto, 1996, Teater Daerah Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, hal. 32 71 Mahandis Y. Thamrin/NGI http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/ketoprak-jawapernah-dibunuh-dua-kali (diunduh: 27 Agustus 2015) 72 Barbara Hatley, 2014, Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta, hal .4 73 Budi Susanto, (1997), Ketoprak: The Politics of The Past in the Present- Day Java, hal. 11 77 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dari bentuk sebelumnya. Demi memenuhi standar kehalusan, ketertiban dan fungsi sebagai perpanjangan tangan rejim. Tekanan yang dialami oleh komunitas-komunitas kesenian kethoprak, telah memampatkan fungsi pendidikan politik yang sebelumnya telah diembannya. Di bawah pengawasan yang ketat dari militer dan institusi pemerintahan di masa itu, komunitas-komunitas tersebut tidak dapat bergerak secara bebas untuk melakukan kritik politik. Selain itu, dengan diposisikannya kethoprak sebagai media penanam doktrin, menjauhkannya dari benturanbenturan kepentingan politik. Disadari atau tidak, kesenian kethoprak pada saat itu telah didepolitisasi oleh rejim Orde Baru. Posisi politisnya dibunuh, karena kekuatan dan afiliasinya di masa lalu. Tarikan paling jelas mengenai penggambaran kontestasi politik dalam pementasan kethoprak adalah dalam pelakonan naskah tokoh Ki Ageng Mangir. Tokoh Ki Ageng Mangir pada masa Orde Lama seringkali dipentaskan dan menjadi sosok pahlawan. Sosok Ki Ageng Mangir digambarkan berani melawan kekuasaan sang raja Mataram, Panembahan Senopati. Sedangkan pada masa Orde Baru, sudut pandang itu dibalik. Bila sebelumnya tokoh Ki Ageng Mangir dijadikah tokoh pahlawan, tidak berlaku pada mas Orde Lama. Ki Ageng Mangir berubah menjadi tokoh jahat karena pemberontakannya. Sedangkan sang raja Mataram Panembahan Senopati, berganti menjadi sosok pahlawan. Ilustrasi implisit tersebut mewakili kondisi perubahan ideologi politik dan penguasa Indonesia pada kedua masa itu.74 74 www.nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/ketoprak-jawa-pernah-dibunuh-dua-kali (diakses:27 Agustus 2015) 78 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Lantas kala reformasi telah direngkuh, posisi kethoprak sempat mengalami kondisi sepi. Sepinya pementasan kethoprak tidak hanya dikarenakan perubahan iklim politik di Indonesia. Akan tetapi juga karena dampak modernitas di kalangan masyarakat, khusunya masyarakat Jawa. Munculnya alternatif hiburan melalui radio, televisi dan internet, ternyata dapat menggilas minat masyarakat untuk menonton pertunjukan kethoprak secara langsung. Beberapa komunitas kethoprak terpaksa menghentikan pertunjukan regularnya, karena tidak lagi mampu untuk membiayai produksi yang jumlahnya tidak sedikit. Dengan kondisi yang tidak terlalu stabil untuk terus berkesenian, beberapa komunitas kethoprak hanya mengandalkan undangan untuk acara-acara tertentu. Dengan catatan, para seniman kethoprak tidak sepenuhnya menggantungkan hidupnya padanya. Tapi nyatanya kethoprak masih tetap memiliki nafas panjang. Ada saja cara kethoprak untuk dapat bisa bertahan dan hidup lama. Seperti ilustrasi awal yang sempat saya berikan pada sub bab ini, pada kisaran tahun 2000an, kethoprak mulai menunjukan geliatnya lagi. Atas semangat pelestarian kesenian tradisi, beberapa instansi dan organisasi terkait, kembali membangkitkan kethoprak dari kematiannya yang kesekian kali. Seniman kethoprak pun kian membenahi diri dengan format kethoprak yang makin mutakhir, mereka memutar otak agar pengalaman di masa lalu tidak terulang kembali. Perbaikan semua elemen penetasan di lakukan, promosi gencar dilakukan dan regenasi terus digalakkan.75 Kini kita dengan mudahnya menonton kethoprak Mataram konvensional, yang rutin dipentaskan di auditorium RRI, yang terletak di jalan Gejayan 75 Berdasar hasil wawancara dengan Bondan Nusantara, Ari Purnomo dan Herwiyanto. 79 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Yogyakarta. Tujuan pementasan tersebut adalah untuk melestarikan dan mengembangkan budaya Jawa. Pementasan di RRI Yogyakarta ini sesungguhnya sudah ada semenjak tahun 1930-an, di kala stasuin radio itu masih bernama MAVRO.76 Walau sempat mengalami kematian, program ini lantas dihidupkan kebali oleh para seniman kethoprak Yogyakarta. Tidak hanya RRI Yogyakarta, TVRI Yogyakarta pun melakukan hal yang sama. Program acara Kethoprak Sanepa masih setia tayang setiap sabtu malam. Dengan format kethoprak sayembara, kethoprak Sanepa mampu memikat para penonton setianya. Selain itu, beberapa radio lokal Yogyakarta pun ikut menyiarkan kethoprak sebagai salah satu programnya. 77 Selain pementasan atau pun program siar kethoprak di panggung dan media elektronik, ada pula kegiatan rutin yang diadakan oleh instansi pemerintahan daerah. Dinas Kebudayaan Provinsi Yogyakarta secara regular melaksanakan program Festival Kethoprak antar Kabupaten. Festival tersebut memiliki turunan berupa Festival Kethoprak di tingkat (antar) kota/ kabupaten, yang diikuti oleh kontingen dari tiap kecamatan. Setiap tahunnya, festival tidak pernah sepi dari keikutsertaan perwakilan dari tiap daerah.78 Percaya bahwa kethoprak masih terus bisa hidup dan dihidupkan oleh antusiasme penontonnya, maka semangat untuk membangkitkan seni kethoprak tidak lagi hanya didukung oleh institusi pemerintahan. Sektor swasta dan lembaga non pemerintah79 pun melihat potensi ini. Maka tidak mengherankan bila dalam sebulan, kita bisa 76 Darmanto,1999, Sejarah Penyelenggaraan Siaran Kethoprak Mataram RRI Yogyakarta, 19351995, Jurusan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, hal. 6 77 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 78 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 79 Lembaga non pemerintah dapat terdiri dari lembaga nirlaba, pendidikan, kesenian dan sebagainya. 80 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mendapati adanya beberapa pementasan kethoprak yang tersebar di beberapa titik di wilayah Yogyakarta. Seperti halnya di masa lalu, kethoprak hadir sebagai hiburan, akan tetapi tidak pernah meninggalkan semangat utamanya, yaitu melakukan pendidikan bagi masyarakat luas. Pada masa pasca reformasi pun kethoprak (khususnya di daerah Yogyakarta) semakin aktif untuk mencari posisi yang tepat, terlebih lagi pada ranah politik di Indonesia. Setelah masa Orde baru yang menggunakan kethoprak untuk kepentingan kekuasaan, maka pada pasca reformasi kelompok kethoprak mulai mencari alur dan format keseniannya lagi. Pada masa ini, kethoprak secara aktif kembali terlibat dalam pembicaraan politik di panggung-panggung pementasan. Bila pada masa Orde Baru, kethoprak seringkali hadir sebagai alat bagi kekuasaan, kini para seniman kethoprak lebih berani untuk membicarakan kondisi politik kontemporer Indonesia, melalui sudut pandang mereka sendiri. Kritik sosial-politik kerap kali menjadi tema utama yang diusung dalam pementasan. Beberapa kali saya temukan lakon kethoprak yang di pentaskan tampil untuk mengkritik politik kekuasaan negeri ini. Baik yang sampaikan melalui tokoh pahlawan di masa lalu atau atau tokoh-tokoh ciptaan yang sengaja dihadirkan dalam cerita-cerita konflik kerajaan Jawa. Beberapa pementasan kethoprak, merespon peristiwa politik seperti pemilu, pilkada atau peristiwa tahun 1965. Satu hal yang mesti dicatat dari kesenian ini, adalah menjadikan politik kekuasaan sebagai tema sentralnya. Ganjil rasanya bila kita tidak mendapati konflik kepentingan kekuasaan 81 di dalam lakon-lakon yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dipentaskannya. Pembicaraan mengenai konflik kekuasaan tidak lagi di dominasi dari dalam dinding istana, namun terus berkembang ke wilayah masyarakat biasa. Hakikat pentas kethoprak dikembalikan pada proses kreasi, negosiasi dan kontestasi. Hal-hal semacam itulah yang kemudian menjadi tuntunan atau pedoman dasar bagi kelompok kethoprak untuk mementaskan lakonnya di atas panggung.80 Kethoprak terus mengkreasikan lakon-lakonnya kedalam sebuah karya estetis, namun proses negosiasi dengan kondisi sosial politik masyarakatlah, yang membuat karya itu dapat menjadi utuh. Di tahap selanjutnya, kethoprak tidak ketinggalan untuk berkontestasi dengan kesenian lainnya. Ia masih berjuang untuk mencari posisi yang paling tepat. F. Kesimpulan Setiap ranah seni memiliki agendanya sendiri-sendiri. Terlebih lagi karena cabang dan aliran yang mereka (seniman) jalani pun berbeda. Namun ada kalanya fokus isu dapat mempertemukan mereka. Seadainya pun tidak bertemu, ada garis yang saling memotong, sehingga terdapat ruang yang sama dalam membahas isu dalam proses berkaryanya. Pada bagian ini, saya hendak memaparkan perkembangan dan juga perubahan yang terjadi di beberapa ranah seni di Indonesia, khususnya pada masa setelah reformasi terjadi. Pada bab ini, beberapa bidang seni: sastra dan teater menunjukan adanya perkembangan orientasi perlawanannya. Jika pada masa Orde Baru mereka 80 Budi Susanto, 2012, “Me(meper)mainkan Sandi Wara Rakyat: Ketoprak Eksel, dalam Jurnal Retorik Vol.3- No.1, Program Mgister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. 82 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bersepakat menunjuk rejim Soeharto sebagai biang dari segala bentuk represi, maka berbeda dengan kondisi pada masa pasca reformasi. Musuh bersama telah berhasil dilengserkan dan puncak telah ditapaki. Lantas apalagi atau siapa lagi yang hendak dilawan dan dikritisi? Hingga pada titik ini, orientasi dari tiap ranah seni mulai dievaluasi. Setiap seniman yang berada di dalam bidangnya, mulai mencari muara gerakannya masing-masing. Dunia kesusastraan menuturkan kegelisahannya melalui novel, puisi, maupun kritik sastra. Daya kritis para sastrawan tidak lantas meredup seiring berlalunya hiruk pikuk reformasi. Sastra hidup dari kondisi sosial politik masyarakatnya, sehingga walaupun Orde Baru sudah digantikan oleh masa yang baru, masalah-masalah kemanusiaan tetap ada dan tetap menjadi pokok pembicaraan dalam karya sastra. Isu yang berkembang selepas reformasi, banyak berkaitan dengan identitas, baik suku, agama, maupun seksual. Isu-isu ini sedikit banyak diinisiasi dari isu global-universal, yang banyak mengangkat permsalahan kemanusiaan. Isu –isu semacam itu sedikit banyak menimbulkan banyak polemik. Polemik tersebut muncul dan mengambil porsi yang cukup dominan, dibanding isu mengenai politik, kekerasan, bahkan juga kemanusiaan. Terlebih lagi karena isu dominan dilahirkan dari komunitas (yang dianggap sebagai) pusat sastra. Gerakan melawan klaim pusat sastra muncul di beberapa daerah di Indonesia. Salah satu bentuk gerakan yang muncul adalah lahirnya komunitas dan media jurnalistik tandingan, untuk mengkonter pengaruh dari pusat sastra. Komunitas sastra di daerah sadar bahwa selain aliran isu global yang masuk melalui karyakarya dari pusat, aliran dana dari penyandang dana internasional pun memiliki 83 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI andil dalam hal ini. Efek globalisasi sastra tidak hanya mengabilalih isu, akan tetapi juga pasar dengan pembentukanminat khalayak pembaca sastra. Tidak berbeda dengan bidang kesenian yang lain, teater pun mengalami perkembangan orientasi isu. Masa ini seakan membuka peluang selebar-lebarnya bagi para seniman teater untuk membicarakan identitas mereka secara jujur. Tidak hanya membicarakannya, akan tetapi sekaligus mempertanyakannya di atas panggung. Namun seperti halnya kesenian lainnya, pembicaraan mengenai identitas, tidak selalu lahir dari kondisi masyarakat lokal. Apa yang diusung dalam sebuah pementasan, seringkali merupakan representasi kepentingan global. Nilai-nilai universal yang diusung dan dijadikan standar bagi semesta pembicaraan seni teater, menjadi masalah serius untuk menentukan apa dan bagaimana identitas kita. Sehingga apa yang dipanggung, tidak selalu mencerminkan apa yang terjadi di masyarakat kita. Lantas pada sub bab mengenai kethoprak, saya memaparkan sedikit sejarah mengenai kesenian ini. Sebagai salah satu bagian dari seni pertunjukan, kethoprak memiliki corak yang hampir mirip dengan teater. Walau mengadopsi banyak hal dari teater, kethoprak sebagai kesenian rakyat tidak pernah meninggalkan sisi tradisi yang diusungnya sejak dulu. Hal yang menarik dari kethoprak adalah di kala hampir semua bidang kesenian, mulai beranjak untuk tidak lagi berbicara di wilayah politik kekuasaan, kethoprak tetap melakukannya. Diverfisikasi isu yang diusung oleh banyak bidang kesenian yang lain, juga dialami oleh kethoprak. Pasca reformasi, di kala Indonesia merayakan kebebasan barunya, perhatian dunia internasional pada negara berkembang, tumbuh semakin besar. 84 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Perhatian semacam itu diiringi masuknya banyak bantuan, untuk memperbaiki cara pandang warga negaranya. Salah satunya masuk dalam wilayah seni, baik sastra, teater maupun kesenian lainnya. Isu yang dimaksudkan guna meningkatkan wacana pun masuk dengan sama derasnya. Hal tersebut mempengaruhi perubahan arah isu yang dibicarakan pada ranah ini. Isu- isu global seperti identitas, multikulturalisme, gender dan seksualitas, serta lain sebagainya, mulai masuk dan berkembang. Masa ini melahirkan diversifikasi isu kesenian Indonesia. Sekaligus keagenan seni modern atas kepentingan global. Lantas bagaimana dengan kethoprak? Isu-isu global memang tidak benarbenar bersih dari kesenian ini. Kita kadang kala masih juga mendapati beberapa pertunjukan kethoprak yang juga ikut membicarakan wacana global di dalam lakon-lakonnya. Namun dari kesemuanya, ada beberapa yang mengklaim diri masih mengangkat konteks permasalahan lokal masyarakat. Seperti yang diajukan dalam lakon Magersari dan Ledhek Bariyem. Namun sejauh mana mereka memanggungkannya, apa saja yang hendak mereka suarakan, serta bagaimana lakon-lakon tersebut dibaca baik oleh para seniman dan penontonnya, akan saya paparkan pada bab selanjutnya. 85 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB III KETHOPRAK YANG BERBICARA (BUKAN) DI PANGGUNG POLITIK A. Pengantar Membicarakan mengenai kemungkinan adanya bidang, kelompok atau pelaku seni yang masih membahas mengenai kekuasaan sebagai salah satu fokus karyanya, maka kita dapat memasukkan kethoprak sebagai salah satu bidang yang dimaksud. Untuk sekedar mengingatkan, pada bab II dijelaskan bahwa di kala beberapa bidang kesenian melakukan diversifikasi orientasi isu, dan beranjak dari pembicaraan mengenai kekuasaan negara, di sisi lain kethoprak acapkali masih membicarakannya. Kekuasaan masih menjadi unsur intrinsik dalam kethoprak yang belum dapat ditinggalkan begitu saja. Untuk itu, saya kira akan jauh lebih baik mencermati langsung konteks tersebut dalam lakon-lakon kethoprak. Struktur penulisan bab ini: saya mulai dengan menulis gambaran mengenai pengenalan kethoprak garapan, sebagai format dari kedua lakon yang diteliti. Bagian kedua merupakan ilustrasi dari pementasan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, yang saya ambil dari proses menonton langsung, rekaman video dan naskah kedua lakon tersebut. Kemudian pada bagian ketiga, saya akan memaparkan hasil wawancara saya dengan 2 (dua) orang tokoh penting dibalik lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, yaitu Bondan Nusantara dan Ari Purnomo. Dari kedua tokoh tersebut, saya mencoba mencari tahu mengenai konteks semacam apa yang melatarbelakangi kedua lakon kethoprak tersebut. 86 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Selain mewawancari kedua tokoh dibalik kedua lakon kethoprak tersebut, saya juga mewawancarai 2 (dua) orang pemain dari kedua lakon tersebut. Sebagai sumber data sekunder, saya ingin melihat sampai sejauh mana para pemain, yang terdiri dari: Baso Rangga (Magersari) dan Herwiyanto (Ledhek Bariyem) memaknai lakon yang dimainkannya. Pada penelitian ini, saya juga menyertakan penonton, untuk mencari tahu mengenai apa yang sesungguhnya ditangkapnya dari peristiwa menonton lakon tersebut. Kesemua hasil wawancara tersebut, akan diperlakukan selayaknya pertunjukan kethoprak dan diklasifikasikan menurut topik yang ditanyakan, maupun ditemukan selama proses pengambilan data. Segala hal yang menjadi temuan penting selama proses wawancara, akan dijelaskan secara detil. B. Negosiasi Kethoprak Garapan Lakon Magersari dan Ledhek Bariyem merupakan 2 (dua) di antara banyak lakon kethoprak garapan. Mungkin belum banyak yang tahu bahwa kethoprak sebagai sebuah seni pertunjukan tradisi, memiliki 2 (dua) format yang berbeda: kethoprak konvensional dan kethoprak garapan. Baik kethoprak konvensional, maupun kethoprak garapan, masih tetap dipentaskan hingga saat ini. Keduanya memiliki pemain dan penggemar setianya masing-masing. Mari kita mengenal terlebih dahulu mengenai kethoprak konvensional. Kethoprak konvensional sendiri, berarti kethoprak yang masih memelihara pakem asli kethoprak lama. Kata konvensi sendiri berarti permufakatan atau kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi, dan sebagainya). Kethoprak, pada masa lalu menjadi sarana untuk baku kumpul dan berinteraksi antara tetangga. Pada saat 87 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bulan bersinar terang, mereka biasanya akan datang beramai-ramai ke tempat dimana pertunjukan akan dilangsungkan. Memandang jauh ke belakang, konsep tentang pertunjukan berawal dari tuturan lisan. Masyarakat nusantara (Indonesia) semenjak dulu adalah masyarakat yang sangat kuat budaya bertuturnya. Semenjak masyarakat nusantara masih menganut kepercayaan dinamisme dan animisme, mereka mempraktekkan ritual kesehariannya dengan mengidungkan mantra dan pujian. Kidung dimaksudkan untuk memuja leluhur atau makhluk tertentu, meminta kesembuhan penyakit, memohon kesuburan untuk tanaman dan lain sebagainya. Ritual-ritual dilakukan dengan pelafalan mantra, gerakan-gerakan yang menyerupai makhluk tertentu, dan penggunaan kekuatan magis. Kekuatan magis digunakan sebagai syarat untuk mewujudkan kenginan sang pemohon. Kekuatan magis tidak hanya bergerak di luar pelaku ritual, akan tetapi juga dapat menggerakkan orang dari dalam, melalui unsur in trance atau kerasukan. Roh-roh atau mahkluk tidak kasat mata diundang untuk hadir, ikut ambil bagian, merestui serta melindungi masyarakat. Ritual ini diperlihatkan, dan dinikmati sebagai sebuah tonton. Dari situlah konsep pertunjukan mulai terbangun. Awalnya ritual yang dipertontonkan, dan menjadi hiburan bagi masyarakat yang melihatnya, fungsi pertunjukan semakin lama semakin berkembang. Dari fungsi ritual, menjadi fungsi hiburan. Sebagai hiburan, pertunjukan kesenian adalah magnet yang mampu mendatangkan banyak orang. Pada kethoprak, format pertunjukan hiburan, awalnya ditampilkan dalam format yang sangat sederhana. Isi cerita bisanya seputaran permasalahan kehidupan masyarakat desa, dan konflik seputaran kehidupan istana. Alur cerita maju, ataupun sebaliknya. Tidak ada 88 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI durasi waktu yang pasti. Penonton bisa saja disajikan pertunjukan yang dapat berlangsung hingga 6 (enam) jam lamanya. Cerita yang dibuat seringkali mengalir begitu aja, sangat mengandalkan improvisasi dari para pemainnya. Pada pertunjukan kethoprak semacam ini, tidak ada tempat khusus untuk mempertunjukannya. Panggung dapat berada dimana saja. Tidak jarang juga berada di antara tempat duduk para penontonnya. Pertunjukan ini menjadi sangat cair, karena penonton dapat berinteraksi langsung dengan para pemainnya. Kethoprak dapat menampilkan paket lengkap yang menarik. Tidak hanya karena ada faktor cerita yang disampaikan, akan tetapi juga ada tembang, musik dan sesekali didapati juga tampilan joget atau tarian. Alat musik yang dipakai untuk mengiringi sandiwara tersebut menggunakan lesung, kenthongan dan keprak. Alat musik yang akrab dengan kehidupan rakyat desa dan sangat mudah untuk dibuat oleh mereka sendiri. Dan alat musik kepraklah yang kemudian menjadikan nama pertunjukan ini bernama kethoprak. Alat ini sangat penting dalam kethoprak, karena berlaku sebagai pemenggalan babak adegan dalam pertunjukan. Keprak seringkali dipahami sebagai sutradara dalam pertunjukan. Bondan Nusantara menceritakan bahwa di zaman dahulu, peran sutradara bukan dipegang oleh seseorang, akan tetapi berada pada keprak. Bila pemainnya akan beradegan di atas panggung, keprak akan berbunyi, setelah itu akan diikuti bunyi gamelan. Jikalau ada adegan yang cukup dramatis, misalnya saja ada pemain yang beradegan tiba-tiba meninggal, maka keprak akan berbunyi dengan ritme yang cepat dengan diikuti bunyi gamelan. Keprak menjadi pertanda pergantian adegan atau eskalasi cerita. Penyusunan cerita biasanya runtut dari A sampai Z. 89 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Setelah cukup lama hidup dan bertahan dalam format pertunjukan di tempat terbuka (semenjak tahun 1887-1908), pertunjukan ini kemudian mulai dilirik sebagai pertunjukan yang potensial untuk dikembangkan. R.M.T. Wreksadiningrat lah yang memiliki ketertarikan untuk membawa dan mempertunjukan kethoprak ini secara serius di halaman rumahnya. Pada tahun 1908, Wreksadiningrat bersama dengan Ki Wisangkara dan Mbok Gendra, membuat pertunjukan kethoprak yang dapat ditonton oleh siapa saja, tanpa dipungut biaya. Sepeninggal Wreksadiningrat, Ki Wisangkara lah yang melanjutkan Kethoprak Wreksatama. Selain Wreksatama, muncul pula kelompok kethoprak Krida Madya Utama pada tahun 1925. Ki Jagatrunarsa merupakan tokoh di balik kelompok itu. Ia mengemas pertunjukan kethoprak dengan lebih serius. Ki Jagatrunarsa mementaskannya di gedung pertunjukan, dari pasar malam di daerah Klaten, ke Prambanan, dan selanjutnya ke Yogyakarta.81 Dengan masuknya kethoprak Krida Madya Utama ke Yogyakarta, maka dimulailah era baru bagi kethoprak yang tumbuh di Yogyakarta, yaitu kethoprak Mataram. Kethoprak ini kembali melakukan pertunjukannya di halaman rumah para bangsawan, seperti pada masa Wreksadiningrat. Pada masa Ki Jagatrunarsa, kethoprak tidak hanya diiringi oleh alunan irama dari lesung, akan tetapi sudah mendapatkan tambahan alat musik gamelan, berupa saron, kempul dan gong. Bahkan alat musik yang dikenalkan oleh bangsa Belanda, semacam biola, mandolin dan gitar pun mulai digunakan dalam pertunjukan ini. Pada masa ketoprak Mataraman, lelaguan atau tembang yang sebelumnya sudah ada, dikembangkan lagi. Meskipun sudah mulai ditambahi dengan beberapa alat musik 81 Herry Lisbijanto, Kethoprak, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 5-9 90 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang diperkenalkan oleh bangsa Belanda, namun keberadaan alat musik gamelan, adalah keharusan bagi pertunjukan kethoprak. Kethoprak konvesional dari waktu ke waktu mengalami perubahan, karena kethoprak sendiri sangat terbuka pada hal-hal baru, meski masih memegang erat prinsip tradisi. Bila pada masa penjajahan Belanda, kethoprak sudah mengecap alat musik lainnya sebagai pengiring, namun pada masa kini, format tersebut tetap masuk dalam jenis kethoprak konvensional. Cirinya pun mulai sedikit bergeser. Bondan Nusantara, mengutarakan bahwa pada masa kini yang disebut sebagai kethoprak konvensional, memiliki ciri : a) Tidak menggunakan skenario atau naskah penuh, b) Dramatika lakon mengacu pada wayang kulit purwa, c) Dialog bersifat improvisasi, d) Akting dan bloking bersifat intuitif, e) Tata busana dan tata rias realis, f) Musik pengiring: gamelan Jawa (slendro dan pelog), g) Menggunakan keprak dan tembang, h) Lama pertunjukan sekitar 6 jam atau lebih, dan i) Tema cerita dan pengaluran bersifat lentur. 82 Seiring berjalannya waktu, ada kebutuhan untuk menyesuaikan pertunjukan kethoprak dengan perkembangan jaman. Pertimbangan mengenai mempertahankan format kethoprak dengan format awal, atau mengembangkannya sesuai dengan tuntutan jaman, menjadi perdebatan yang cukup alot. Sehingga lahirlah format kethoprak garapan, sebagai pengembangan dari kethoprak konvensional yang sudah ada sebelumnya. Bondan Nusantara menceritakan ihwal pencetusan awal keberadaan kethoprak garapan. Seingatnya, keputusan untuk mengembangkan kethoprak garapan terjadi dalam sebuah lokakarya kethoprak pada tahun 1974. Ia sangat ingat betapa sulitnya mengajak para seniman 82 Bondan Nusantara, seperti dikutip oleh AfendyWidayat, 1997, dalam Kethoprak: Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural, hal. 3 91 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kethoprak konvensional, untuk mau mengembangkan kesenian itu ke bentuk yang lebih baru. 83 Lokakarya tersebut diisi dengan perdebatan yang cukup sengit antara kubu yang menolak dan kubu yang mendukungnya. Pada saat itu, para seniman dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan Semacam: “apakah kethoprak harus stagnan, dengan gaya konvensionalnya? Atau dapat lebih luwes agar dapat mengikuti perkembangan jaman?”. Bondan mengatakan “saya berpihak pada yang kedua, maka muncul istilah kethoprak garapan. Yaitu kethoprak yang terbuka pada idiom-idiom baru, artinya pakai keprak boleh, tidak pakai keprak juga boleh. Silahkan saja kalau ingin memakai musik modern. Karena bila kethoprak konvensional hanya bisa memakai gamelan. Sedangkan kethoprak garapan boleh melakukan percampuran (alat musik) pentatonis-diatonis. Bahasa yang dipakai juga boleh bahasa serampangan. Sedangkan kethoprak konvensional harus memakai bahasa Jawa yang baik dan benar”.84 Jikalau kita menelusuri lagi, kethoprak sendiri dari semenjak awal hingga prosesnya saat ini, selalu mengalami perubahan. Selalu mencari bentuk baru yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakatnya. Iswantoro melihat fenomena itu secara lebih lunak. Ia mengatakan bahwa kethoprak dalam perkembangannya, pasti terus mengalami pemberontakan. Bahkan menurutnya, kethoprak semenjak kelahirannya, bersifat terbuka. Sehinggga dapat menerima pengaruh dari berbagi cabang seni pertunjukan atau cabang seni manapun.85 Pengaruh yang nyata terjadi dalam kethoprak garapan adalah adanya perpaduan dengan aspek-aspek kesenian 83 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 85 AfendyWidayat, 1997, dalam Kethoprak: Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural, hal. 3 84 92 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI lain. Aspek seperti bahasa, musik pengiring, setting, lakon, serta berbagai tradisi yang lazim hadir dalam pertujukan seni lainnya.86 Mengenai aspek bahasa yang digunakan dalam kethoprak garapan, Bondan nggarisbawahinya. Bila dalam kethoprak konvensional, bahasa Jawa baku lah yang mesti digunakan, lain halnya dengan kethoprak garapan. Agar dapat menjangkau penonton dari berbagai kalangan, maka aspek ini harus dipertimbangkan dengan lebih bijak. Misalnya saja, bila ternyata penontonnya mayoritas bukan orang Jawa, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Hal tersebut sah dilakukan dalam kethoprak garapan. Meskipun penggunaan bahasa Jawa jauh lebih diprioritaskan prosentasenya. Pada prinsipnya, bahasa merupakan media berkomunikasi dengan penonton. Sebaik apapun kita membuat sebuah lakon, akan tetapi bila tidak komunikatif terhadap penonton, semua menjadi percuma tandasnya. Pesan yang ingin disampaikan menjadi sia-sia. Dari kesemuanya, yang paling penting adalah bagaimana sebuah pesan dapat tersampaikan kepada penonton. Bondan menekankan bahwa ketoprak merupakan media penyadaran, tidak sekedar asal main. Walaupun disampaikan dengan cara yang santai dan penuh guyon, tapi pesan harus kemas secara serius. Bagi kethoprak, pesan dan bahasa adalah senjatanya.87 Baso Rangga, salah satu pegiat kesenian ini menerangkan bahwa naskah kethoprak garapan dibuat jauh lebih ringan ketimbang kethoprak konvensional. Hal tersebut ditujukan agar pesan yang dibawa dapat diterima dengan baik oleh penontonnya. Terlihat perbedaan yang cukup mencolok, antara format kethoprak 86 Bondan Nusantara, seperti dikutip oleh AfendyWidayat, 1997, dalam Kethoprak: Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural, hal. 5 87 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 93 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI garapan, dengan format kethoprak konvensional. Menurutnya, format naskah untuk kethoprak konvensional harus memperhatikan tata bahasa yang dipergunakan. Misalnya saja harus taat pada unggah-ungguh yang ada dalam budaya Jawa. Tingkatan dalam bahasa harus sangat jelas, contohnya interaksi bahasa antara Raja dengan Patih, bahasa yang digunakan Raja kepada Patih biasanya Ngoko, namun Patih harus menjawab dengan bahasa Kromo. Berbeda dengan kethoprak garapan, yang menitikberatkan pada misi tertentu, dengan pertimbangan pesan yang dibawa harus dapat jelas dipahami penonton, maka format pertunjukan semestinya tidak menghadirkan cerita yang berat, namun tetap menghadirkan ketegangan. Menurutnya, format pertunjukan harus ringan, menghibur dan informatif.88 Meski mengalami perkembangan dalam format pertunjukannya, kesenian ini tetap mempertahankan kekhasannya. Bondan Nusantara menyatakan bahwa dari segi kuantitas, ia lebih banyak terlibat dalam karya-karya kethoprak garapan. Sejak tahun 1991, ia konsisten untuk terus mengembangkan kethoprak garapan. Melalui kethoprak format ini, ia menjadi lebih leluasa untuk membicarakan halhal kontekstual, tanpa harus merasa menabrak aturan (tidak dapat dilakukan dalam kethoprak konvensional). Keleluasaan semacam ini juga jauh lebih mudah diterima serta dipahami oleh penonton dari berbagai kalangan, sehingga pesan dari kethoprak yang dipentaskan, dapat tersampaikan dengan baik. Dalam kethoprak garapan, kelompok usia penonton adalah pertimbangan penting. Menyadari pada masa lalu, minat penonton kethoprak sempat mengalami penurunan, maka strategi dengan memunculkan kethoprak format garapan 88 Wawancara dengan Baso Rangga, dilakukan bulan Mei 2014. 94 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dianggap sebagai jawaban jitu. Kethoprak garapan dianggap sebagai kethoprak gaya baru, yang mampu mengakomodir minat banyak kalangan, terutama kaum muda. Bila generasi muda lebih berminat pada kethoprak garapan, maka generasi tua lebih banyak yang tetap mencintai kethoprak konvensional sebagai bentuk romantisme pada masa lalu. Walau pun sesungguhnya, generasi tua sudah sangat terbuka dan dapat menikmati kethoprak garapan dengan gaya baru. Ari Purnomo menggambarkan hal tersebut sebagai sebuah tantangan yang semestinya dijawab oleh para seniman kethoprak.89 Kembali pada pembicaraan mengenai kethoprak garapan, kelebihan kethoprak semacam ini terletak dari sikap adaptifnya. Bondan memberikan alasan mengapa ia lebih condong memilih format kethoprak garapan ketimbang kethoprak konvensional. Menurutnya, kethoprak ini mampu mengakomodir halhal tertentu, yang hendak disampaikan dan disebarkan kepada penonton. Bondan mengakui bahwa banyak isu sosial-politik kontemporer yang dapat diwadahi melalui kethoprak garapan. Kethoprak dapat menjadi media bagi perjuangan dengan misi dan isu tertentu. Misalnya saja isu kebencanaan, dimana ia menggunakan kethoprak sebagai media penyembuhan trauma bagi para korban bencana gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 2006. Ia juga pernah membicarakan isu sosial-politik melalui kethoprak bersama organisasi Syarikat. Organisasi yang dibentuk untuk membicarakan masalah para mantan tahanan politik tahun 1965. Kethoprak yang merupakan bagian dari upaya mendukung pelaksanaannya terjadinya rekonsiliasi. Lantas ada pula pementasan Magersari 89 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 95 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang dibuatnya, untuk membicarakan beberapa isu sekaligus, antara lain: keberagaman, kekuasaan dan ke-Jawa-an. Lakon Magersari dan Ledhek Bariyem merupakan 2 (dua) dari sekian banyak kethoprak garapan yang secara khusus, membahas mengenai permasalahan sosial politik di Indonesia. Terutama pada masa pasca reformasi. Bukan tanpa alasan format ini dipilih. Seperti yang dijelaskan secara panjang lebar pada paragraf-paragraf sebelumnya, kethoprak garapan memiliki format bahasa yang komunikatif, ia tidak terikat pada bahasa Jawa baku, sehingga penonton yang dicakupnya akan jauh lebih banyak. Karena dapat menyentuh berbagai macam latar belakang usia, tingkat pendidikan dan juga suku (karena terkadang kethoprak pertunjukan yang garapan menggunakan bahasa Indonesia). Format ringan dan menghibur, mampu menjaring minat banyak penonton. Dengan banyak hal yang menarik dan mudahnya mengunyah informasi yang disampaikan melalui kethoprak format ini, maka akan semakin mudah pula isu sosial-politik kontemporer yang dapat diwadahi melalui kethoprak garapan. Keberadaan kethoprak garapan dianggap jauh lebih cepat dan tanggap dalam merespon permasalahan yang terjadi di masyarakat. Karena format yang sedikit lebih modern dan tidak sepenuhnya patuh terhadap aturan-aturan tata krama dan tata bahasa Jawa yang kaku. Sehingga kethoprak ini dianggap dapat mewakili kondisi dan tuntutan masyarakat di jaman sekarang ini. Meski kethoprak garapan seringkali digunakan sebagai media kritik, namun kita tidak dapat semena-mena menilai bahwa semua kethoprak dengan format ini, pastilah kesenian yang kritis. Setiap lakon kethoprak, memiliki kadar kritisnya masingmasing. Namun untuk melihat sejauh mana kadar kritis yang dimiliki oleh sebuah 96 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI lakon kethoprak, adalah dengan melihat, apa dan bagaimana cara penyampaian pengetahuan yang dibawanya, terhadap penonton lakon tersebut. Untuk mengetahui sejauh mana kekritisan kedua lakon tersebut, dan memahami apa saja yang menjadi kritik dan kegelisahan yang disampaian secara estetis itu, ada baiknya kita melanjutkan pembicaraan ini pada sub bab berikutnya. C. Mari Menonton melalui Lakon Pada sub bab ini, lakon Magersari dan Ledhek Bariyem masing-masing akan didedah. Sumber data yang saya dapatkan dari pengalaman menonton dan dibantu oleh data yang dituliskan dalam naskah. Saya tetap mencoba konsisten untuk menuliskan apa yang terjadi di atas panggung. Sehingga kita beberapa kali akan menemukan adanya ketidasesuaian, antara apa yang didialogkan di atas panggung, dengan naskah yang diberikan oleh para penulisnya. Perbedaan itu sudah saya konfirmasi pada para penulis. Mereka mengatakan bahwa sangat wajar bahwa bila apa yang ditulis dalam naskah, seringkali berbeda dengan apa ditampilkan selama pementasan. Hal tersebut dikarenakan adanya pengembangan selama proses latihan. Selain ilustrasi mengenai apa yang di yang terjadi di atas panggung. Pada sub bab lainnya, saya memaparkan bagaimana isu-isu tersebut bekerja melalui kethoprak garapan. Kedua lakon yang diangkat menjadi objek material dalam penelitian ini, hendak saya bahas melalui garis besar topiknya masing-masing. Bila Bondan Nusantara mengatakan bahwa isu yang dibawa oleh Magersari adalah isu keberagaman, kekuasaan dan ke-jawa-an, maka kita akan menonton lakon kethoprak garapan tersebut, melalui pemaparan di bawah ini. Pun dengan 97 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kethoprak Ledhek Bariyem yang dibuat oleh Ari Purnomo, kita akan mencoba membaca konteks yang diungkapkannya, mellaui lakon tersebut. C.1. Magersari: Tanah, Rakyat dan Politik Kekuasaan Magersari. Bukan sebuah istilah baru, namun tidak semua orang mengetahui arti dari istilah tersebut. Istilah ini bisa jadi cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia, salah satunya masyarakat di wilayah Yogyakarta. Bila kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Magersari memiliki 2 (dua) definisi yang berbeda. Definisi pertama merujuk pada pengertian mengenai orang yang rumahnya menumpang di pekarangan orang lain, atau orang yang tinggal di tanah milik negara dan sekaligus mengerjakan tanah itu. Sedangkan definisi kedua adalah pembantu orang yang bertransmigrasi.90 Dalam konteks Yogyakarta, Magersari merupakan orang yang tinggal di wilayah atau tanah yang dimiliki keraton Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat (Sultan Ground). Sultan Ground tidak hanya dipergunakan untuk keperluan keraton semata, akan tetapi juga dimanfaatkan untuk berbagai macam kepentingan. Misalnya saja untuk kepentingan pendidikan, seperti pada penggunaan kompleks kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), ataupun kantorkantor pemerintahan provinsi, kota dan kabupaten di wilayah DIY. Selain untuk kedua fungsi tersebut, Sultan Ground juga diperbolehkan untuk digunakan oleh pihak lain. Biasanya dipergunakan untuk tempat tinggal dan lahan untuk mencari nafkah mereka. Tanah ini lah yang kerap disebut sebagai Magersari. Pada 90 Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Departemen Pendidikan Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 854 98 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI awalnya, Magersari merupakan tanah yang dipinjamkan oleh Sultan kepada para abdi dalem, sebagai bentuk balas jasa atas pengabdian mereka pada keraton. Namun seiring berjalannya waktu, penggunaan Magersari tidak terbatas hanya oleh para abdi dalem, namun juga oleh masyarakat luas. Status penggunaan Magersari awalnya hanya sebagai tanah dengan hak pinjam pakai. Masyarakat yang menggunakan hak (Magersari) tersebut harus memegang serat kekancingan, atas pengesahan dari kepala Panitikismo. Para Magersari berkewajiban membayar pisungsung setiap tahunnya. Dalam jangka waktu yang lama, para Magersari dapat meningkatkan status penggunaan tanah, menjadi pemilik tanah, melalui mekanisme jual-beli yang disesuai dengan aturan keraton. Pada awalnya tanah yang dimiliki keraton itu memiliki luas sekitar 60% dari keseluruhan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Namun seiring berjalannya waktu, luas tanah Magersari semakin menurun. Melihat kenyataan menurunnya jumlah luas tanah tersebut, pada tahun 2000 Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan peraturan baru, untuk tidak lagi menjual tanah Magersari. Keberadaan tanah dan para penghuninya ini, telah mengispirasi terciptanya lakon Magersari. Seperti pada kenyataannya, lakon ini pun bercerita tentang tanah yang dimiliki keraton, dan dimanfaatkan oleh rakyat. Namun lakon ini tidak melulu bicara mengenai masalah tanah. Akan tetapi juga banyak berbicara mengenai hiruk pikuk kepentingan, baik kepentingan rakyat, penguasa serta para pejabat yang 99 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menjadi perpanjangan tangan dari penguasa. Kehirukpikukan ini menimbulkan banyak masalah, tidak hanya masalah kesejahteraan rakyat yang semestinya dipenuhi melalui penyediaan tanah, akan tetapi juga hiruk pikuk penyelewengan mandat yang dilakukan oleh tokoh pejabat. Lakon Kethoprak Magersari merupakan kethoprak yang lahir dari tangan dingin Bondan Nusantara. Ketoprak ini dipentaskan di 3 (tiga) wilayah Yogyakarta. Pementasan pertama diselenggarakan di kelurahan Gedongkiwo, tepatnya di nDalem Cokro Mantrijeron pada tanggal 14 Oktober 2011. Pementasan kedua di Balai Kelurahan Kricak, pada tanggal 15 Oktober 2011. Sedangkan pementasan terakhir dilaksanakan di Balai Keluarahan Jetis, pada tanggal 20 Oktober 2011. Pementasan kethoprak yang dilaksanakan secara marathon ini, mengusung tema Kethoprak Guyub Kampung. Rangkaian pementasan di beberapa titik kota Yogyakarta, sebagai bagian dari kampanye politik damai. Peristiwa politik yang pada saat itu akan berlangsung adalah Pemilihan Kepala Daerah Kota Yogyakarta. Konsep pementasan lakon kethoprak yang dilakukan di beberapa tempat dan dalam jangka waktu tertentu, bukan lah hal yang biasa. Biasanya bila sebuah lakon dipentaskan di beberapa tempat, akan dilakukan oleh komunitas atau paguyuban yang berbeda, untuk kepentingan yang berbeda, dan mengalami penerapan estetik yang berbeda dalam pementasannya. Namun berbeda dengan pementasan lakon ini. Mereka membawakan satu lakon dengan barisan pemain yang sama, format pementasan yang sama dan dilakukan di beberapa titik (lokasi) yang berbeda. Waroeng Raminten (Mirota) sebagai mitra pendukungnya, pementasan ini mengusung Guyub Kampung sebagai temanya. Rangkaian 100 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pementasan tersebut digarap oleh komunitas Gerakan Seni Taruna Mataram (Genitama) yang bekerjasama dengan Paguyuban Seni Tradisi Kota (Pastika). Pementasan lakon Magersari lakon diawali dengan penggambaran ekspresi bingung tokoh Jaya Kentus yang berdiri sendirian di sebuah plataran. Kenthus kemudian berteriak-teriak memanggil Ponija, salah satu warga. Kenthus memerintahkan Ponija untuk memanggil seluruh warga Magersari. Dengan ekspresi yang lucu, Ponija kemudian mengeluarkan sempritan atau semacam peluit, untuk memanggil warga. Serentak kemudian, panggung yang semula sunyi, langsung terdengar gaduh. Ada banyak orang yang hadir di plataran. Ponija kemudian memerintahkan mereka semua untuk duduk. Namun ada 1 (satu) orang yang tidak jua mau duduk. Melihat hal tersebut, Kenthus marah. Ia memerintahkan Ponija untuk memaksa Gembyang (orang yang tidak mau duduk) untuk duduk seperti warga lainnya. Saat Ponija memaksa Gembyang untuk duduk, Gembyang mengutarakan alasannya: ia sedang menderita bisul, dan bisul itu tepat berada di pantatnya. Namun Ponija terus saja memaksanya, karena ia sangat takut bila Jaya Kentus marah. Maka dengan terpaksa Gembyang menurutinya. Dengan gerakan yang amat pelan, Gembyang berusaha untuk duduk. Namun sepelan apapun, pada akhirnya bisulnya pecah juga. Adegan tersebut sontak membuat pecah tawa para penonton. Adegan kemudian dilanjutkan dengan dialog antara Kenthus dengan Magersari, beberapa warga terutama warga perempuan. Dari adegan tersebut, 101 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tertangkap kesan bahwa Kenthus adalah lelaki genit yang suka menggoda perempuan. Nio Cik Hwa, yang gerah melihat kegenitan Kenthus menanyakan maksud dari pengumpulan warga Magersari, ia tidak ingin membuang waktu hanya melihat Kenthus merayu para perempuan. Kenthus kemudian mengatakan “Ngene lho. Kowe kabeh ki Magersariku. Manggon lan gawe omah neng lemahku. Mula sak iki tak kandhani. Nek wiwit sasi ngarep sewane lemah mundhak tikel loro”. (begini lho. Kalian semua ini Magersariku. Tinggal dan membangun rumah di tanahku. Sekarang akan aku beritahu. Bahwa mulai bulan depan, sewa tanah naik dua kali lipat). Pemberitahuan tersebut mengejutkan warga Magersari. Keputusan tuan tanah jelas meresahkan mereka. Kegaduhan kemudian terjadi. Ponija mengatakan bahwa bila warga tidak mau menerima kenaikan harga sewa, maka mereka harus pergi dari tanah sang tuan. Ponija dengan percaya diri mengatakan bahwa dirinya tidak akan terkena imbas kenaikan tersebut karena ia adalah batur atau pelayan dari Kentus. Ia terkesan mencari posisi aman. Namun Kenthus menjawab “batur ya batur! Kowe tau tau krungu,... nek batur ki sedulure dhuwit” (pelayan ya pelayan! Apakah kamu pernah mendengar…bahwa pelayan itu saudaranya uang). Intinya Kenthus tetap menaikan uang sewa Ponija, dengan diikuti ekspresi kekecewaan dari Ponija. Tak lama kemudian pemeran Konyil masuk sambil berteriak-teriak. Ia mengatakan bahwa rumah Kenthus terbakar. Kenthus panik dan memerintahkan Ponija, serta para warga Magersari untuk memadamkan api. Namun Ponija menjawab “Batur nggih batur, Ning nek perkara dhuwit beda ah! Napa njenengan tau krungu nek batur niku sudulure dhuwit?” (pelayan ya pelayan, tapi bila perkara uang beda ah! Apakah anda 102 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pernah mendengar bila pelayan itu saudaranya uang?). Ponija berusaha membalikan kata-kata Kenthus, dan diamini oleh para warga. Kenthus yang bingung berupaya meminta pertolongan pada mereka. Melihat kesempatan tersebut, Ponija dan warga memberi syarat: mereka akan ikut memadamkan api, apabila Kenthus tidak jadi menaikan harga sewa tanah. Kenthus yang saat itu dalam keadaan bingung, kemudian menyanggupinya. Adegan selanjutnya diperlihatkan setting di dalam sebuah rumah. Terlihat 2 (dua) orang perempuan sedang berbincang sambil melipati pakaian, yaitu Ndari dan Kitri. Lalu muncul seorang perempuan paruh baya, wajahnya terlihat kesal. Mbok Karto, perempuan tersebut kemudian menayakan pada kedua putrinya mengenai keberadaan sang suami, Karto Bendho. Keduanya mengatakan tidak mengetahuinya. Mbok Karto mengatakan bahwa suaminya sedari pagi pamit pergi ke rumah saudaranya di daerah Pakualaman. Namun hingga malam hari, Karto Bendho belum jua pulang. Mbok Karto curiga, jangan-jangan suaminya memiliki perempuan (simpanan) lain. Selain itu, Mbok Karto juga khawatir jikalau suaminya kembali menjalani profesi lamanya, sebagai seorang preman, seorang bajingan. Ndari dan Kitri berusaha menenangkan sang ibu, dan berkata agar Mbok Karto tidak lagi terlalu curiga pada suaminya. Tiba-tiba Bendho saja Karto Ia lantas datang. menyuruh kedua putrinya pergi ke dapur. Ia sengaja memerintahkan kedua putrinya 103 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI untuk pergi, karena ada hal yang ingin dikatakan pada mbok Karto. Ruparupanya, pembicaraan Mbok Karto dengan putri-putrinya, sempat didengar oleh Karto Bendho. Karto Bendho tersinggung dengan kecurigaan sang istri. Suami istri itu kemudian terlibat pertikaian yang sedikit sengit. Di tengah-tengah dialog di antara keduanya, Gembyang datang dengan tergopoh-gopoh. Ia datang dengan kain yang basah air kencing karena ia merasa sangat takut. Dengan wajah panik, ia mengatakan bahwa ada 2 (dua) kelompok pemuda yang sedang dikuasai amarah, dan berencana hendak saling serang. Kedua kelompok itu berasal dari wilayah Wetan ndalem dan Kulon ndalem. Maka dari itu, dengan terburu-buru ia mencari Karto Bendho untuk mencegah perkelahian antar warga. Mendengar hal itu, Karto Bendho lantas pergi menyusul para warga itu. Di tengah jalan, Karto Bendho bertemu 2 (dua) kelompok pemuda dari Wetang ndalem dan Kulon Ndalem. Dira, Sapar, Panut, Patra, Kirja dan Giman tengah terlibat adu mulut. Baku lempar kesalahan. Karto Bendho berupaya melerai mereka. Dira mengatakan, alasan kemarahan kelompoknya adalah tentang sumur air yang berada di antara kedua wilayah tersebut. Sumber air yang dipakai bersama-sama sudah dipagari itu, oleh secara tiba-tiba warga Wetan ndalem. Tanpa melalui proses obrolan apapun. Hal tersebut jelas telah membuat warga Kulon ndalem merasa susah. Kirja dari Wetan ndalem tidak mau kalah. Ia 104 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mengatakan bahwa warga Kulon ndalem sangat menyusahkan, karena bila membuang sampah, selalu di wilayah Wetan ndalem. Hal itu membuat kotor wilayahnya. Patra dengan emosi menambahkan bahwa warga Wetan ndalem juga salah. Karena menurutnya, pohon mangga yang ditanam oleh warga Kulon ndalem, terus-menerus diambil oleh warga Wetan ndalem. Mendengar pernyataan Patra, Panut pun menyahut. Ia mengatakan bahwa pohon mangga itu tumbuh doyong atau miring ke arah wilayah Wetan, maka warga mereka berhak mengambil buahnya. Saling salah-menyalahkan, dan sahut-menyahut membuat suasana semakin panas, mereka terdorong untuk baku pukul. Karto Bendho kemudian secara cepat menghentikan pertikaian antara 2 (dua) kelompok itu. Dengan suara yang menggelegar, Karto berteriak dan berkata pada para warga “Meneng !!!!!..... Mingkem!!! Dha isa mingkem ora ???! .....Cah enom, ...anake wong nggenah, ....mangan sekolahan,.... lha kok cupet pikire!...Kowe ki dha ngerti ora, nek urip tunggal sak kampung kuwi kudu guyup? Kudu ngerti tepa selira, ajen ingajenan, ora mbedak-mbedakke sing mlarat karo sing sugih, sing elek karo sing apik, sing cacad karo sing ora cacad!....Ngerti ora????” (Diam !!!!....Tutup mulut kalian!!! Bisa diam atau tidak???! … Anak muda,…anak orang baik,… orang yang berpendidikan,… lha kok pikirannya sempit!... kamu semua paham atau tidak, bila hidup bersama dalam satu kampong itu harus rukun? Harus paham tepa selira , hormat menghormati, 105 tidak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI membedakan antara yang miskin dan yang kaya, anatara yang jelek dan yang bagus, antara yang cacat dan yang tidak cacat…paham atau tidak????). Lantas diikuti jawaban paham dari kedua pihak yang bertikai tadi. Karto Bendo meminta agar pagar di dekat sumur segera dibongkar, panen mangga dibagi menjadi 2 (dua), dan keputusan lainnya yang terasa adil bagi kedua kelompok warga itu. Setelah mencapai kata sepakat, Karto lalu membubarkan keramaian warga. Setelah adegan yang memperlihatkan eskalasi konflik antara kedua kelompok warga, penonton kemudian diajak untuk santai sebentar dengan adegan guyon. Menceritakan salah satu keluarga dari Magersari. Adegan tersebut melibatkan Raminten dan sang suami Pur Bonsai, serta pelayan mereka yang bernama Kenyung. Adengan dari ketiga pemain ini terasa sangat sengaja dibuat untuk membuat tontonan menjadi lebik menarik dan lucu. Beberapa dialog, adengan slapstik terus menerus dihadirkan. Tidak hanya itu, peran tokoh Raminten yang diperankan oleh Hamzah, pemilik Waroeng Raminten (Mirota), dan tokoh Kenyung diperankan oleh laki-laki yang berpakaian berperilaku selayaknya perempuan. Tokoh Pur Bonsai yang bertubuh mini pun, sepertinya sengaja ditampilkan untuk mengocok perut penonton. 106 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Sesudah tawa penonton mereda, adegan selanjutnya langsung dilanjutkan pada pertemuan para warga Magersari. Semua warga datang atas undangan langsung dari Jaya Kenthus. Kenthus membacakan semacam maklumat, yang berisi tentang kenaikan uang sewa tanah Magersari sebesar 300% (tiga ratus persen). Seperti sebelumnya, hal itu menimbulkan reaksi keras dari para warga Magersari. Keputusan itu di gugat oleh Karto Bendho. Jaya Kentus jelas sangat murka, atas sikap kekurangajaran Karto Bendho. Ia lantas menuduh Karto hendak membuat ulah, selayaknya bajingan. Menanggapi tuduhan itu, Karto Bendo membuka suara “Mboten!! Nggen kula wani mbatalke putusan sampeyan merga kula ngerti urik sampeyan! Ngerti pokil sampeyan! ...Sakniki, empun wancine wadi niki kula bukak! Nek sejatine lemah sing dinggoni para Magersari niku dede lemah sampeyan!” (Tidak!! Saya berani untuk membatalkan keputusan anda, karena saya tahu anda curang! Saya tahu kekikiran anda!... sekarang, sudah waktunya persoalan ini saya buka!bahwa sesungguhnya tanah yang didiami oleh para Magersari itu, bukanlah tanah anda!). Pada saat Kenthus menantang Kerto Bendho untuk membuktikan kata-katanya, bahwa bukan dialah pemilik sah tanah itu, maka muncullah sosok Pangeran Surya. Pangeran Surya dengan gemas mengatakan “Beine Kenthus. Nggonmu tak percaya ngrumat lemah sing dinggoni para Magersari iki, jebul ming kok anggo 107 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI piranti nggonmu arep kemaki lan sewenang-wenang! Mangka kowe ngerti. Lemah iki paring ndalem Ingkang Sinuwun marang aku. Lan kowe sing tak percaya ngrumat. Ning kena apa kok salah gunakke dinggo numpuk kesugihan? Apa kowe lali nek Ingkang Sinuwun ora tau gawe cilaka lan sengsarane kawula? ...Coba etungen. Pira akehe siti kagungan ndalem sing dililakke dinggo kawigatene kawula? Pira akehe sekolahan, rumah sakit, pasar lan papan liyane sing dibangun neng sak ndhuwure siti kagungan ndalem Ingkang Sinuwun?” (Bei Kenthus. Kau aku percayakan untuk merawat tanah yang didiami oleh para Magersari ini, tapi ternyata hanya kau pakai untuk alat kesombongan dan kesewenangwenangan! Kau tahu. Tanah ini diberikan oleh Ingkang Sinuwun padaku. Dan kau lah yang aku percaya untuk merawatnya. Namun mengapa kau salahgunakan untuk menumpuk kekayaan? Apakah kau lupa bila sesungguhnya Ingkang Sinuwun tidak pernah ingin membuat celaka dan sengsara rakyatnya? Coba hitunglah. Berapa banyak tanah milik ndalem yang direlakan untuk kepentingan rakyat? Berapa banyak sekolah, rumah sakit, pasar dan bangunan lainnya yang dibangun di atas tanah milik ndalem Ingkang Sinuwun?) Kenthus tidak bisa menyangkal. Ia mengakui kesalahannya selama ini. Kesalahan dalam menyelewengkan mandat yang dianugerahkan kepadanya. Pangeran Surya kemudian menutup pembicaraannya dengan memberikan petuah 108 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pada seluruh warga Magersari “Manggon onten kampung niku kudu nganggo landhesan werna telu. Siji, guyup rukun. Loro, ajen ingajenan. Dene sing kaping telu, nganggo tepa selira.... Kabeh niku mengku teges ”ora kena mbedakmbedakke siji lan liyane.” ...Embuh sampeyan Jawa, Sunda, Cina, Arab napa Batak, Kabeh duwe hak padha ing bab napa mawon. .... Mulane, rehne lelakon niki pun rampung, mangga sami memuji. Mugi-mugi, Kampung niki dadi Guyub srana manunggale kabeh warga sing mapan onten kampung niki”. (tinggal di kampung harus berdasar pada 3 (tiga) landasan. Pertama, guyub rukun. Dua, hormat menghormati. Dan yang ketiga, toleransi….semua itu artinya “tidak boleh membedakan satu dengan lainnya.” …Entah kamu orang Jawa, Sunda, Cina, Arab ataupun Batak, semua mempunyai hak yang sama pada hal apapun… Oleh karena itu, masalah ini telah sudah selesai, silahkan saling menghargai. Semoga, guyub kampung ini menjadi sarana persatuan seluruh warga yang bermukim di kampong ini). Pertunjukan ditutup dengan jawaban “Sendika!!!” dari seluruh warga Magersari. C.2. Ledhek Bariyem: Mencecap Seram dalam Konflik Kekuasaan Sebelum hadir di ruang pertunjukan gedung Societed Militer Yogyakarta pada tanggal 18 Juni 2014 , sesungguhnya saya sedikit menyiapkan diri dengan 109 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pertunjukan kethoprak yang tidak biasa. Ketidakbiasaan di sini dalam arti yang sesungguhnya. Terus terang kali itu adalah pengalaman pertama saya menonton kethoprak dengan gaya yang cukup berbeda. Baru kali itu saya menonton kethoprak dengan genre horror. Awalnya saya memang agak terprovokasi oleh poster dari lakon tersebut. Bila melihat posternya, saya teringat penampilan hantu sundel bolong yang dimainkan oleh Suzanna pada kisaran tahun 1980-an. Hantuhantu dengan wajah seram nan suram, berambut panjang berantakan dan baju putih yang melambai panjang. Melalui poster itu, citra lakon Ledhek Bariyem dibentuk. Poster yang berlatar warna hitam-merah dan menampilkan gambar sosok hantu, kiranya mampu membangkitkan rasa penasaran dari publik. Pada malam itu saya datang lebih awal, dengan maksud agar saya dapat memilih posisi tempat duduk yang paling strategis dan nyaman. Namun apa mau dikata, setibanya saya di gedung pertunjukan, sudah banyak orang yang hadir di sana. Mungkin mereka memiliki niatan yang sama dengan saya, mendapatkan tempat yang nyaman untuk menikmati pertunjukan. Begitu giliran saya dan kawan-kawan masuk ke ruang pertunjukan, yang kami dapati adalah ruangan yang sudah disesaki oleh banyak orang. Pada akhirnya, kami harus menerima kenyataan bahwa kami tidak akan mendapatkan posisi tempat duduk yang kami inginkan. Yang lebih tidak mengenakkan, saya dan kawan-kawan harus duduk terpencar. Karena tempat duduk yang tersisa tidak memungkin kami untuk dapat duduk bersama dalam satu barisan. Setelah mencari-cari, sayan mendapatkan tempat duduk di sayap selatan, dekat dengan pintu keluar. Ya, walaupun posisi tempat duduk saya agak jauh dari panggung. Saya cukup bersyukur karena saya mendapat tempat duduk yang cukup nyaman. Karena setelah itu, penonton yang 110 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI datang terlambat, terpaksa menerima kenyataan untuk duduk di tangga, ataupun lantai ruang pertunjukan. Terus terang saya cukup takjub melihat fenoma tersebut. Bagaimana tidak? Baru kali itu saya melihat antusiame yang sangat besar pada pertunjukan kethoprak. Usut punya usut, setelah bertanya pada beberapa penonton yang pada saat itu hadir, mengenai apa yang mendorong minat mereka untuk datang dan melihat pertunjukan itu, jawaban yang hampir sama saya dapatkan dari mereka: mereka penasaran. Rasa penasaran mereka sama dengan saya, yaitu penasaran pada genre horror yang ditawarkan pada pertunjukan tersebut. Di samping itu, ada juga yang didorong oleh keinginan untuk menonton beberapa kawan mereka, yang ikut bermain dalam lakon Ledhek Bariyem. Mungkin ada beragam motivasi lain yang mendorong para penonton untuk datang pada malam itu, sayangnya saya tidak bisa mencari tahu lebih lanjut, karena pertunjukan sudah akan dimulai. Pementasan diawali dengan terbukanya tirai penutup panggung. Setting memperlihatkan sebuah kompleks pekuburan yang amat sepi. Efek pencahayaan lampu dengan warna merah di tengah kegelapan, semakin mendukung suasana yang mencekam di lokasi tersebut. Sebuah gambar bulan yang besar dan penuh mencuri perhatian dari keseluruhan 111 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tampilan visual di atas panggung. Kepulan asap keluar dari arah belakang dan samping. Cahaya yang menembus asap yang mengepul menghadirkan efek dari penggambaran yang menyeramkan. Pada saat selanjutnya, penonton dibuat terkejut oleh suara ledakan yang lumayan besar. Rupa-rupanya suara tersebut berasal dari petasan yang diledakan. Sungguh pengalih suasana yang tidak biasa. Dari suasana yang yang mencekam ke suasana yang ramai dan riuh rendah. Setelah lampu panggung mati sesaat, lamat-lamat suara pesinden melagukan tembang yang diiringi suara gamelan yang rancak. muncullah para pemain yang cukup banyak jumlahnya. Di atas panggung terlihat adanya keriaan. Di tengahtengah banyak orang, terdapat 3 (tiga) orang penari ledhek perempuan, melenggak lenggok dengan genitnya. Mereka menjadi pusat perhatian dan hiburan di tengah keriaan itu. Beberapa detik kemudian muncul tokoh Lurah Sarjana, kepala desa Klampis Ngasem. Kehadirannya langsung disambut dengan hormat oleh Marji, Giman dan segenap warga desa yang sedang menikmati pertunjukan ledhek. Baik Lurah maupun warganya terlihat senang dan larut dalam kegembiraan malam itu. Dialog antara Lurah Sarjana, Marji dan Giman dimulai dengan pertanyaan sang lurah, mengenai apakah mereka senang dengan hiburan yang diberikannya. Segenap warga pun menjawab “Leres!!!”, yang berarti iya. Lurah Sarjana dengan wajah sumringah menghaturkan janji pada warganya, bahwa jikalau ia kembali terpilih menjadi kepala desa Klampis Ngasem, ia akan lebih sering mengadakan acara semacam itu, dan yang paling penting adalah menjamin kesejahteraan bagi seluruh warga desa. 112 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Selepas menebar janji pada warganya, Lurah Sarjana kemudian memanggil Bariyem, salah satu penari ledhek. Bariyem datang menghampiri sang lurah diikuti dengan tundukan menghormat. Lurah Sarjana menyampaikan rasa terima kasihnya pada Bariyem, karena telah dapat memberikan kegembiraaan pada warganya. Bariyem pun berterima kasih karena ia dan kawan-kawannya telah mendapat kesempatan untuk dapat menghibur. Lurah Sarjana lantas mengatakan pada seluruh warga yang hadir di sana, untuk segera menghentikan keramaian di malam itu. Agar esok hari dapat kembali mengerjakan pekerjaan serta kewajibannya masing-masing dengan baik. Sebelum warga membubarkan diri, Lurah Sarjana menitipkan pesan pada mereka “Ning aja pada lali yo….sesuk milih aku...!!!” (tapi jangan lupa ya… besok milih aku!!!). Serentak warga menjawab “Njih ..Pak Lurah !!!” (baik…pak Lurah). Kumpulan manusia yang memenuhi lapangan, satu persatu pergi. Marji menghampiri Bariyem yang sedang membereskan peralatannya. Marji menawarkan diri untuk mengantar Bariyem pulang. Namun Bariyem menolaknya. Ia sudah terlanjur janji dengan Sutrisna, untuk mengantarkannya pulang. Giman memperingatkan Bariyem bahwa harus ada yang mengantarkannya pulang, karena kondisi desa sedang mengkhawatirkan, dikarenakan akan adanya pemilihan kepala desa di wilayah mereka. Bariyem meyakinkan keduanya, bahwa Sutrisna akan datang untuk menjemputnya. Lurah Sarjana pun mengatakan agar Bariyem berhati-hati, dan diiyakan oleh Bariyem. Perempuan itu lantas pamit pada beberapa orang yang masih tersisa di lapangan. Adegan selanjutnya terlihat seorang lelaki muda dengan ekspresi cemas berjalan bolak-balik. Sepertinya Sutrisna, lelaki itu sedang menanti seseorang. 113 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Tiba-tiba seorang perempuan muda datang menghampirinya. Mirah, perempuan itu mengatakan pada Sutrisna bahwa ia baru saja pulang dari rumah Ndari, saking serunya berbincang, ia lupa waktu. Mirah merupakan anak dari Pak Warjudi, salah satu calon kepala desa Klampis Ngasem. Ia sadar bahwa masa pemilihan kepala desa adalah masa yang tidak aman bagi bagi kampungnya, terlebih di waktu malam. Oleh sebab itu, ia meminta pertolongan Sutrisna untuk dapat menemaninya pulang ke rumah. Menghadapi permintaan semacam itu, Sutrisna bimbang. Ia sudah terlanjur janji pada Bariyem untuk mengantarkannya pulang. Namun Mirah pun memohon pertolongannya untuk dinatarkan pulang. Apabila ia menanti Bariyem dan membiarkan Mirah pulang sendiri, ia tidak tega. Terlebih lagi Mirah marah, karena Sutrisna terkesan jauh lebih memperhatikan Bariyem ketimbang dirinya. Sutrisna pun pada akhirnya mengakui bahwa hatinya memang condong pada Bariyem. Karena ia menyukai perempuan itu. Keterusterangan Sutrisna membangkitkan amarah Mirah, karena sesungguhnya ia sendiri menyimpan rasa suka pada Sutrisna. Semenjak mereka kecil, Sutrisna, Bariyem dan Mirah selalu bersama. Mirah sudah memiliki rasa suka pada Sutrisna semenjak dulu, namun Sutrisna jauh lebih memilih Bariyem untuk dicintai. Kemarahan Mirah tersebut, sedikit menganggangu Sutrisna, hingga kemudian ia untuk membayar rasa tidak enaknya, Sutrisna bersedia mengantarkan Mirah, dan beriat akan kembali ke tempat itu untuk menjemput Bariyem. Sepeninggal Sutrisna dan Mirah. Bariyem sampai di tempat 114 dimana semestinya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Sutrisna menantinya. Namun tiada didapatinya seorang pun di sana. Bariyem tibatiba dilanda rasa cemas, karena dipikirnya Sutrisna lupa pada janjinya. Tak berapa lama kemudian, datanglah sekelompok orang, datang dengan sikap berangasan. Mereka memakai topeng. Mereka mempunyai niat jahat pada Bariyem, mereka bermaksud memperkosanya. Dalam perlawanannya, Bariyem dapat membuka topeng dari salah satu penjahat. Alangkah terkejutnya Bariyem saat didapati bahwa orang yang hendak berbuat jahat padanya adalah orang yang dikenalnya, “Lho kowe Kang Brawa ??!!Kowe pendereke Pak Warjudi !!!!” (Lho kamu kang Brawa??!! Kamu pengikut Pak Warjudi!!!). Brawa yang telah diketahui identitasnya oleh Bariyem, sontak panik. Ia dan kawan-kawannya kemudian memutuskan untuk menghabisi perempuan itu. Setelah memastikan kematian Bariyem, Brawa membuang jasad Bariyem. Gambar bulan yang berada di latar panggung, divisualisasikan berlumuran darah. Bulan yang semula putih berubah menjadi berwana merah darah. Suasana mencekam. Pecah tangis mbok Minten merobek kesunyian panggung. Adegan pada babak itu memperlihatkan kesibukan, sekaligus kesedihan. Mbok Minten terus menerus menangis meratapi tubuh kaku Bariyem. Ia mempertanyakan mengapa nasib malang itu menimpa anak gadisnya. Sedangkan Sutrisna menyesal karena bila saja malam itu ia menepati janjinya untuk mengantarkan Bariyem, maka hal buruk tidak akan terjadi pada gadis yang dikasihinya itu. Selain penyesalan, Sutrisna merasakan kemarahan yang amat sangat. Ia bertekad mencari orang yang membunuh Bariyem, ia ingin membalaskan dendam. Mendengar hal itu, Lurah Sarjana berusaha menenangkan keduanya. Pada Mbok Minten, ia menyampaikan belasungkawa serta berusaha membesarkan hati perempuan tua itu. Pada Sutrisna, 115 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ia mengingatkan bahwa harus ada bukti dan saksi, untuk mengetahui siapa pelaku kejahatan tersebut. Sutrisna tidak boleh melakukan cara yang ngawur, hal itu dapat mengakibatkan dirinya celaka. Namun Sutrina tetap kukuh pada pendiriannya. Ia bermaksud balas dendam. Di tengah perdebatan antara Lurah Sarjana dan Sutrisna, datanglah pak Warjudi sambil berkata “Aku sing bakal melu nggoleki lan nemokake pawongan kui. Kowe lan Mbok Minten ora perlu kuatir” (Aku yang akan ikut mencari dan menemukan orang tersebut. Kamu dan mbok Minten tidak perlu khawatir). Lurah Sarjana terlihat kurang suka dengan kedatangan saingannya. Ia menanggapi perkataan Pak Warjudi “Aku neda nrima dene sampeyan kepengin melu nggoleki sapa sing wis tegel marang Bariyem” (Aku sangat berterima kasih bila kamu berkeinginan untuk ikut mencari siapa yang telah tega terhadap Bariyem). Pak Warjudi menjawab “Sampeyan ora perlu neda nrima kang... Apa sing tak tindakke iki merga aku uga warga Klampis Ngasem kene, aku duwe kuwajiban melu njaga katentreman”(Anda tidak perlu berterima kasih kang… apa yang aku lakukan ini karena aku juga warga Klampis Ngasem, aku punya kewajiban untuk ikut menjaga ketentraman). Lurah Sarjana lantas menimpalinya dengan sengit “Rasa bela kuwi, kala mangsa tekane pancen sok kaseb...” (penyesalan itu, kadang kala datang terlambat). Pak Warjudi terusik dengan katakata Lurah Sarjana, “Apa karep sampeyan kok kandha kaya ngono..??” (Apa maksudmu, kok bicara seperti itu?”. Lurah Sarjana menjawab dengan nada sengit “Aku ming arep kanda nek pati ne Bariyem kudu ne isa di singkiri menawa sampeyan isa ngatur wong - wong sampeyan” (Aku hanya hendak mengatakan bahwa kematian Bariyem tidak akan terjadi, bila kamu dapat mengatur orang- 116 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI orangmu). Pak Warjudi semakin terusik dan terlihat marah. Dengan nada tinggi ia berkata “Sampeyan ngarani, nek kabeh iki sing tumindak wong - wong kula.. Ngaten..??” (menurutmu, semua ini yang melakukan adalah orang- orangku…begitu..??). Lurah Sarjana menjawab “Aku ora perlu kanda kaya ngono, nanging kahanan sing ngandakake...” (aku tidak perlu mengatakannya, akan tetapi keadaan lah yang mengatakannya…). Semakin gusar lah Pak Warjudi, ia kemudian menanyakan bukti dari tuduhan itu. Suasana semakin memanas, kedua calon lurah itu saling berhadapan. Lurah Sarjana menekankan bahwa bukti akan didapatkan pada waktu yang tepat. Pak Warjudi sangat marah dan tidak terima dengan tuduhan yang dituduhkan padanya, dengan membalikkan kata-kata bahwa Lurah Sarjana ada “maling yang berteriak maling” padanya. Keduanya berdebat dengan sengit. Sutrisna kemudian melerai, dan memberitahu bahwa bila keduanya ingin ikut melakukan perawatan terakhir pada jenazah Bariyem, mereka dipersilakan untuk ikut. Adegan ditutup dengan teriakan histeris mbok Minten. Di tempat lain, sepulangnya pak Warjudi dari rumah mbok Minten, ia mengumpulkan para pengikutnya. Pak Warjudi murka luar biasa terhadap Brawa dan kawan-kawannya, karena bertindak gegabah, tanpa perhitungan. Ia hanya memerintahkan untuk menakut-nakuti, bukannya membunuh. Brawa jelas ketakutan, ia mengatakan bahwa hal tersebut terjadi begitu saja, sama sekali tidak disengaja. Karena Bariyem terlanjur mengetahui 117 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bahwa pelakunya adalah Brawa dan kawan-kawan. Mau tidak mau mereka harus membunuhnya, untuk menghilangkan jejak. Brawa, Bagong, Si Dul dan Kunthing meyakinkan pak Warjudi bahwa sesungguhnya tiada bukti yang akan mengarah pada beliau (Warjudi). Pak Warjudi lantas berkata pada Brawa “Aku isih percaya kowe sak kanca, wa... Ning yo kuwi.. Nek nganti sesuk ana seksi utawa bukti sing tumuju marang tumindakmu, tak jaluk kowe kabeh aja nganti ngembet jeneng ku.. Ngerti..??”(aku masih percaya kalian…tapi ya …bila suatu hari ada saksi atau pun bukti yang mengarah pada tindakanmu, aku meminta pada kalian semua untuk jangan sampai menyebut namaku…mengerti..??”). Brawa dan kawan-kawannya menyepakati hal tersebut. Setelah pembicaraan mereka yang panjang, Brawa dan kawan-kawannya pamit undur diri. Bu Warjudi kemudian masuk. Ia sesungguhnya diam-diam mencuri dengar pembicaraan suami dan anak buahnya. Ia curiga Pak Warjudi terlibat dengan peristiwa pembunuhan Bariyem. Dengan sangat hati-hati dan masih memperlihatkan kesopanan dan rasa hormat pada sang suami, bu Warjudi meminta sang suaminya untuk tidak menutup-nutupi kejahatan yang dilakukan oleh Brawa dan kawan-kawanannya. Mendengar pernyataan istrinya, Pak Warjudi menyangkal hal itu. Ia tidak terima bila sang istri mengguruinya. Ia menghardik Bu Warjudi dan mengatakan pada istrinya itu untuk tidak perlu ikut campur, apalagi cerewet. Di waktu lain, di suatu malam dan di sebuah cakruk ronda. Suta dan Wadi, dua lelaki dengan perawakan tambun dan 118 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI lucu sedang duduk dan berbincang. Keduanya bertugas menjaga keamanan kampung pada malam itu. Wadi dan Suta sedang sangat asyik membicarakan tentang cara terbaik memainkan kenthongan. Keduanya saling memukul kethongan dan mencari nada yang paling enak didengar. Suasana dibuat agak santai dengan permainan kethongan mereka, yang semakin lama semakin selaras. Pada beberapa menit kemudian permainan berhenti, diikuti dengan tingkah Wadi yang sedikit takut dan merasakan sesuatu yang ganjil pada malam itu. Suta setengah menghardik Wadi dan mengatakan bahwa kawannya itu hanya mengada-ada saja. Menurutnya, Wadi mengatakannya hanya karena malas untuk ikut berjaga malam. Wadi meyakinkan Suta bahwa malam itu terasa lain dari malam-malam sebelumnya, terlebih lagi setelah kematian Bariyem yang tidak wajar. Ia yakin bahwa arwah Bariyem tidaklah tenang. Bariyem pasti akan muncul untuk mencari orang yang telah membunuhnya. Di kala Wadi serius menjelaskan mengapa malam itu terasa menyeramkan, tiba-tiba muncul penampakan muncul hantu Bariyem di belakangnya. Suta yang saat itu duduk berhadapan dengan Wadi, sontak saja terkejut. Suta dengan terbata-bata bertanya mengenai bagaimana penampakan Bariyem jika menjadi hantu. Wadi menjawab dengan biasa saja, namun lama kelamaan, karena melihat ekspresi Suta, Wadi sadar bahwa hantu Bariyem ada di belakangnya. Keduanya kemudian makin jelas melihat penampakan tersebut. Keduanya tak sanggup berlari, keduanya pingsan. Di tempat lain, di sebuah warung tuak yang ramai. Nampak Brawa dan kawan-kawannya, mabuk bersama. Di selingi tawa dan obrolan yang tidak jelas arahnya. Penjual tuak kemudian mendekati Brawa, ia menyampaikan berita yang sedang hangat dibicarakan masyarakat desa Klempis Ngasem, kasak-kusuk yang 119 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI beredar mengatakan bahwa hantu Briyem telah muncul. Hantu itu sedang mencari orang yang telah membunuhnya, dan hendak menuntut balas. Sontak Brawa dan kawan-kawannya terkejut. Mereka tiba-tiba disergap rasa was-was. Karena bagaimana pun juga, merekalah yang telah menghabisi Bariyem. Walau mereka berusaha untuk meyakinkan diri bahwa hantu Bariyem itu tidak ada, namun di jauh di dalam hati, mereka disergap kekhawatiran yang hebat. Untuk menyudahi obrolan itu, Brawa kemudian pamit terlebih dahulu, ia berniat pergi ke desa sebelah, guna menemui kekasih barunya. Ia pergi seorang diri, meninggalkan kawan-kawannya di warung tuak. Sepeninggal Brawa, kawan-kawnnya seperti Si Dul, Kunthing dan lainnya pergi. Tinggalah Bagong seorang diri, masih menikmati minumannya hingga mabuk. Tanpa disadarinya penampakan hantu muncul di belakangnnya. Sontak Bagong terkaget dan jatuh pingsan. Seusainya siuman, Bagong pergi menuju keramaian. Ia mengatakan pada Sutisna dan yang lainnya, bahwa ia baru saja bertemu dengan hantu Bariyem. Sutisna tentu mencium gelagat ada ketidakberesan dengan kemunculan hantu tersebut. Di lain tempat, dalam perjalanannya sampailah Brawa di tempat dulu dirinya dan kawan-kawan menghabisi Bariyem. Ia sendiri bingung, mengapa ia bisa sampai di sana. Pada saat ia berpikir demikian, sekelebat muncul penampakan hantu Bariyem. Nasib naas menimpa Brawa. Melalui pergumulan seru di antara keduanya, Hantu Bariyem pada akhirnya dapat membunuh Brawa. Sutrisna, Karta, Marji dan penduduk desa datang terlambat ke lokasi tersebut. 120 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Mereka mendapati Brawa telah terbujur kaku menjadi mayat. Tanpa menunggu waktu lama, Sutrisna dan penduduk desa kemudian bergegas pergi menuju rumah pak Warjudi. Mendengar bahwa pengikutnya mati di tangan hantu Bariyem, pak Warjudi merasa luar biasa gelisah. Melihat suaminya gelisah, bu Warjudi menganjurkan pak Warjudi untuk mengakui perbuatannya. Pak Warjudi mengatakan pada istrinya, ia memang memerintahkan para Brawa dan kawankawan untuk menakut-nakuti Bariyem yang jelas-jelas lebih mendukung Lurah Sarjana. Namun ia tidak memerintahkan mereka untuk membunuh gadis itu. Mendengar pengakuan suaminya bu Warjudi menasehati suaminya, agar menempuh cara yang jujur dan benar, bila ingin menjadi lurah. Bukan dengan cara membuat penduduk takut. Agar penduduk lebih hormat dan meneladaninya. Pak Warjudi membalas kata-kata istrinya “Benere wong liya, durung mesti bener kanggoku, semana uga kosok baline. Saben uwong kuwi duwe wenang kanggo nggayuh apa sing dadi panjangkan e nganggo carane dewe – dewe” (benarnya orang lain, belum tentu benar buatku, begitu pula sebaliknya. Setiap orang memiliki kewenangan untuk mencapai apai yang diidamkan, dengan menggunakan caranya masing-masing). Bu Warjudi prihatin terhadap pandangan suaminya “Nek ngaten... sampeyan pun klentu nggon e negesi kamukten lan panguasa”(jikalau begitu…bapak sudah salah dalam mengartikan kejayaan dan kekuasaan). Pak Warjudi naik pitam ia merasa digurui oleh istrinya yang dirasanya sok pintar. Lagi-lagi Bu Warjudi menjawab dengan sabar “Menika dede perkawis pinter utawi bodho,nanging perkawis luput lan bener. Kamukten niku mboten 121 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kudu dipetung kanthi bandha. Semanten ugi panguwasa... nek tiyang pun nyepeng penguwasa ,mboten teges saged kangge nguwasani tiyang sanes. Nanging kados pundi panguwasa niku saged damel tentrem lan migunani kangge tiyang sanes” (ini bukan perkara pintar atau bodoh. Akan tetapi perkara salah dan benar. Kejayaan itu tidak harus diukur dengan uang atau kekayaan. Begitu pun kekuasaan. Bila seseorang sudah memegang kekuasaan, tidak boleh untuk menguasai orang lain. Namun lebih pada bagaimana penguasa tersebut dapat mempuat ketentraman dan berguna bagi orang lain). Pak Warjudi semakin marah “Cukup..!!! Nek aku mulya ,tundone kowe uga bakal nemani mulya. Apa kang tak tindakake saiki ora liya yo mung kanggo awake dewe !!” (Cukup!!! Bila aku sejahtera, kamu juga akan sejahtera. Apapun yang aku lakukan tidak lain untuk kepentingan kita juga!!). Setelah mengingatkan suaminya, Bu Warjudi beranjak masuk ke dalam rumah. Saat pak Warjudi seorang diri, muncul lah hantu Bariyem. Sama seperti pada Brawa, hantu Bariyem pun berniat membunuh pak Warjudi. Pak Warjudi mati di tangan hantu Bariyem, sang hantu terlihat senang dengan meneriakan kemenangan. Saat sosok itu hendak pergi meninggalkan mayat pak Warjudi, Sutrisna dan kawan-kawannya muncul. Ia tidak percaya jikalau Bariyem yang telah meninggal dapat membunuh orang. Orang yang berlagak sebagai hantu Bariyem pun ditangkap. Mereka amat terkejut saat mendapati Giman lah yang berpura-pura sebagai hantu Bariyem. Giman, anak buah Lurah Sarjana. 122 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Sedangkan di rumahnya, Lurah Sarjana terlihat duduk dengan nyaman, sambil sesekali menghisap rokok yang dipegangnya. Ia tertawa begitu gembira sambil berkata “Nek Giman ,wis bisa mateni Warjudi sak kanca...bisa tak pestekake menawa aku mesti kelakon dadi lurah meneh. Yo nganggo sarana pati ne Bariyem ngene iki aku bisa ngresiki wong - wong sing kepingin dadi lurah,sisan sak pengombyong e..... Ning wes nganti yah mene kok yo Giman durung menehi kabar aku yo....???” (bila Giman sudah dapat membunuh Warjudi dan pengikutnya…sudah dapat aku pastikan, kalau aku lah yang akan menjadi lurah lagi. Dengan menggunakan kematian Bariyem, aku bisa menyingkirkan orang-orang yang berkeinginan untuk menjadi lurah, sekaligus dengan para pengikut mereka… tapi mengapa sampai saat ini Giman belum juga mengabariku ya…???). “Giman mboten saged paring atur malih.!!!” (Giman tidak akan datang kemari lagi!!!) dengan suara menahan amarah mbok Minten masuk ke dalam rumah Lurah Sarjana. Sang Lurah sangat tidak menduga dengan kehadiran perempuan tua itu. Lurah Sarjana berusaha membelokan maksud pertanyaannya, dengan mengatakan bahwa ia menanti Giman untuk mengetahui siapakah sesungguhnya orang yang telah tega membunuh Bariyem. Mbok Minten menjawab bahwa ia sudah tahu bahwa Brawa dan kawan-kawannya, yang merupakan pengikut pak Warjudi lah yang membunuh Bariyem. Mendengar itu Lurah Sarjana menimpali dengan kata syukur dan berlagak lega. Namun mbok Minten tidak diam begitu saja. Ia mengatakan bahwa Brawa dan kawan-kawannya memang kejam, akan tetapi Lurah Sarjana jauh lebih kejam. Lurah Sarjana telah menggunakan sosok Bariyem yang telah tenang di alam keabadian, untuk difitnah 123 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dan dikambinghitamkan atas kematian pak Warjudi, Brawa dan kawan-kawannya. Lurah Sarjana mengelak, ia tidak terima tuduhan dari mbok Minten. Kemarahan mbok Minten tak terbendung “Sak limpatlimpat e kidang ingkang saget uwal macan, saking pangoyakipun wonten kala mangsanipun kidang badhe lena sak temah saged pun mangsa dening macan menika...Tumindak sampeyan ingkang sampun ngginakaken pejah e Bariyem, sampun mitenah Bariyem kangge nggayuh kekarepan sampeyan.... Sampun dumugi titi wancinipun tumindak sampeyan kewiyak..!!” (selincah-lincahnya kijang yang dapat terlepas dari kejaran macan, ada saatnya kijang akan lengah dan dapat dimangsa oleh macan tersebut. Karena anda yang telah menggunakan kematian Bariyem untuk mewujudkan keinginan anda… sudah saatnya kini anda mempertanggungjawabkannya). Mbok Minten meneruskan “Menapa tiyang ingkang sampun pejah, tetep mboten gadhah wenang kangge manggihi katentreman ...?? Sampeyan jejering pengayom sing kudu ne saged ngayomi, nanging sampeyan malah tegel mitenah tiyang ingkang sampun pejah...?? Lajeng kados pundi tumindak sampeyan dhateng tiyang gesang..??”(Mengapa orang yang sudah meninggal, tidak jua dapat merasakan ketentraman…?? Anda sebagai pengayom yang semestinya mampu mengayomi, namun mengapa anda malah tega memfitnah orang yang telah meninggal..?? lantas apa yang akan anda lakukan terhadap orang yang masih hidup…??). 124 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Lurah Sarjana tidak terima dengan tuduhan itu, tiada bukti ataupun saksi yang dapat memberatkannya. Mbok Minten mengajukan nama Giman sebagai bukti sekaligus saksi yang diperintah Lurah Sarja untuk berpura-pura menjadi hantu Bariyem. Lurah Sarjana terkejut dengan pernyataan yang diucapkan oleh mbok Minten. Namun karena dia merasa perempuan tua itu tiada memiliki bukti, ia mencoba menguasai situasi. Dengan nada mengintimidasi, sang Lurah mengakui bahwa dia memang melakukannya, namun tidak ada satu pun orang yang dapat membuktikannya. Sehingga bagaimana pun juga, posisi mbok Minten akan kalah jika menghadapinya. Tiba-tiba muncul suara riuh dari penduduk desa yang mengepung kediaman pak lurah. Ia tidak menyangka bila penduduk kampong telah mengetahui kebenarannya secepat itu. Mendengar suara di luar rumah yang semakin lama semakin gaduh, Lurah Sarjana pun semakin bingung, ia kemudian melarikan diri. Lurah Sarjana yang lari dari kejaran penduduk, nampak berantakan Melihat dan kepayahan. penampilannya, ia layaknya orang yang kehilangan kewarasan. Sang Lurah terus berbicara dengan dirinya sendiri. Ia menghaturkan permintaan maaf. Kalimat itu yang terus-menerus diulanginya. Hingga pada kondisi diantara sadar dan tidak sadar, ia mendapati sosok Bariyem sedang menari ledhek seorang diri. Dalam posisi menyembah, Lurah Sarjana masih saja berteriak “Tak akoni aku luput…aku njaluk pangapuro…aku njaluk pangapuro” (aku akui bahwa aku bersalah…aku 125 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI minta maaf…aku minta maaf). Sedangkan sosok Bariyem terlihat terus menari, dan terus menghantui. D. Lakon Kethoprak di Mata Mereka Pada bagian ini saya sangat ingin menampilkan hasil wawancara dengan 2 (dua) orang tokoh penting dibalik lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, yaitu Bondan Nusantara dan Ari Purnomo. Dari kedua tokoh tersebut, saya mencoba mencari tahu mengenai konteks semacam apa yang melatarbelakangi kedua lakon itu. Selain mewawancari kedua tokoh tersebut, saya juga mewawancarai 2 (dua) orang pemain dari kedua lakon tersebut. Sebagai sumber data sekunder, saya ingin melihat sampai sejauh mana para pemain, yang terdiri dari: Baso Rangga (Magersari) dan Herwiyanto (Ledhek Bariyem) memaknai lakon yang dimainkannya. Pada penelitian ini, saya juga menyertakan Rinal Khaidar Ali yang merupakan salah seorang orang penonton dari lakon Magersari. Bondan Nusantara. Lelaki ini lahir di Yogyakarta, pada tanggal 6 Oktober 1952. Bukan tanpa alasan Bondan Nusantara memutuskan untuk terjun sebagai seniman kethoprak. Di dalam nadinya mengalir darah seniman kethoprak. Theresia Khadariah dan Suyatin adalah seniman kethoprak yang cukup dikenal di masanya. Pada era rejim Orde Baru, sang ibu dipenjara karena dianggap sebagai bagian dari gerakan komunis. Pada masa itu, banyak seniman yang bernaung di bawah payung kesenian Lembaga Kesenian Rakyat (LEKRA), mengalami penangkapan. Sebagian dari mereka dipenjara tanpa proses pengadilan, bahkan banyak juga yang dieksekusi (dibunuh) secara massal. Entah dapat dikatakan 126 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI beruntung atau tidak, Theresia Khadariah lolos dari pembataian, ia dipenjara dan bebas pada tahun1980-an. Bondan menceritakan bahwa dirinya lahir di dalam penjara, saat ibunya menjalani masa tahanannya. Selepas keluar dari penjara, sang ibu tidak surut keinginan untuk kembali menggeluti dunia kethoprak. Theresia Khadariah kemudian ikut bergabung dalam kelompok kethoprak “Sapta Mandala” yang berada dibawah pembinaan Kodam VII/ Diponegoro Ia tidak hanya berlaku sebagai pemain, akan tetapi juga dijadikan guru bagi para pemain muda dalam kelompok tersebut, termasuk Bondan Nusantara. Pengalaman berkesenian Bondan Nusantara, khususnya dalam dunia kethoprak, dimulainya sejak ia masih sangat muda. Inspirasi yang didapatkan dari orang tuanya, diteruskannya hingga kini. Sehari-hari selain sebagai seniman kethoprak, Bondan Nusantara berprofesi sebagai wartawan senior dan pendamping mahasiswa di Media Swara Kampus, yang terbit setiap hari selasa di Harian lokal Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat. Beliau juga aktif di dalam organisasi Syarikat Indonesia, yaitu organisasi yang berfokus pada upaya pengembalian hak bagi para korban rejim Orde Baru, yang pernah menjadi tahanan politik di masa itu. Beliau juga aktif menjadi bagian dari America Friends Service Committee (AFSC) Yogyakarta, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak alam bidang promosi dan pendidikan perdamaian di Indonesia. Dalam organisasi tersebut, Bondan Nusantara banyak mengembangkan kegiatan untuk program multikulturalisme. Setelah melakukan wawancara dengan Bondan Nusantara, saya kemudian menemui tokoh lainnya di ranah yang sama, Ari Purnomo. Ari Purnomo, yang 127 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI lahir di Solo pada tanggal 3 Agustus 1973 ini, merupakan penulis naskah, sekaligus sutradara lakon Ledhek Bariyem. Ari Purnomo terlahir dari sepasang suami istri bintang kethoprak tobong yang pernah berjaya. Semenjak kecil, Ari sudah sangat akrab dengan dunia panggung, terutama kethoprak. Proses berkeseniannya sempat putus pada kisaran tahun 1989- 1992, karena ia bersekolah di Surabaya. Pada tahun 1992, Sekembalinya ke Yogyakarta, ia menekuni kethoprak sebagai profesinya hingga saat ini. Ari Purnomo merupakan salah satu pendiri Genitama dan Pastika. Ia juga merupakan salah satu pembawa acara “Angkringan” di Stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) Yogyakarta. Tidak hanya penulis naskah dan sutradara yang saya wawancarai. Untuk menghimpun data yang jauh lebih banyak detil, maka saya juga melibatkan para pemain dari kedua lakon tersebut. Pemain pertama yang saya temui adalah Baso Rangga. Lelaki ini yang lahir pada tanggal 15 Agustus 1976 ini merupakan salah satu dari sekian banyak pendukung pementasan lakon Magersari. Lelaki yang tinggal di daerah kelurahan Cokrodiningratan Kecamatan Jetis ini juga yang menjadi penghubung antara komunitas kethopraknya, dengan masyarakat wilayahnya, kala wilayah itu dijadikan salah satu tempat pementasan Magersari. Ia merupakan salah satu dari sekian banyak anggota Paguyuban Seniman Tradisi Kota Yogyakata (PASTIKA), yang bergerak dalam gerakan pelestarian kesenian tradisional, khususnya kesenian Jawa. Dalam Lakon Kethoprak Ladhek Bariyem, ada sosok tokoh yang cukup memiliki peranan penting. Adalah Browo, sosok yang menjadi otak pembunuhan Bariyem, yang juga anak buah dari pak Warjudi. Tokoh Browo dimainkan oleh Herwiyanto, sesorang pemain kethoprak yang berasal dari daerah Bantul. Lelaki 128 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yang lahir pada tanggal 3 Juni 1985 ini sudah menggeluti dunia kethoprak semenjak tahun 2005. Semenjak kecil ia sudah diperkenalkan dengan kesenian tradisional Jawa. Terutama kesian wayang kulit. Sang ayah berprofesi sebagai dalang, sedangkan ibunya seorang sinden. Sehingga kesenian taradisional Jawa, bukan ha lasing bagi dirinya. Pada awalnya sang ayah lah yang memperkenalkannya pada dunia pedalangan dan karawitan. Lakon pertama yang dimainkan adalah Legowo Lesmoyo, sebuah lakon yang diadaptasi dari cerita daerah Jawa Timur. Selain mencari tahu mengenai pemahaman para pemain dari tiap lakon, saya juga mencari tahu mengai apa yang ditangkap oleh penonton dari lakon tersebut. Rinal Khaidar Ali, merupakan satu di antara sekian banyak penonton pementasan lakon Magersari di wilayah Jetis, Yogyakarta. D.1. Guyub Rukun Paseduluran Dari kedua lakon yang telah dipaparkan sebelumnya, adalah representasi dari sekian banyak lakon kethoprak garapan. Selayaknya sebuah seni tradisi, kethoprak ikut andil dalam menurunkan ajaran-ajaran pokok tradisi Jawa. Salah satunya ajaran yang mengatur tata hubungan atau interaksi antar anggota masyarakat. Frans Magnis-Suseno melihat bahwa masyarakat Jawa mengatur interaksi-interaksinya melalui 2 (dua) prinsip: kerukunan dan hormat. Sehingga semua bentuk konflik terbuka harus dicegah, melalui sikap hormat yang tepat.91 Bondan Nusantara, salah satu dari tokoh kethoprak di Yogyakarta, menceritakan latar belakang penciptaan Lakon Magersari. Dengan nada suara yang meyakinkan, ia mengatakan bahwa lakon tersebut dipersembahkan sebagai 91 Ign Gatut Saksono-Djoko Dwiyanto, 2012, Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa, Ampera Utama, Yogyakarta, hal. 41 129 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI bagian dari laku kehidupan sosialnya. Kehidupan sosial yang dimaksudkannya adalah proses belajar bersama mengenai tatanan hidup bermasyarakat. Ia berusaha untuk mengingatkan masyarakat bahwa hidup bersama di kampung semestinya: jangan sampai kehilangan tenggang rasa, jangan kehilangan gotong royong, jangan kehilangan pluralitas dan janganlah sampai berkonflik. Bondan, yang pagi itu diwawancari di teras rumahnya, menerangkan lebih lanjut. 92 Menurutnya, sebab terjadinya konflik biasanya karena adanya perbedaan. Dalam lakon Magersari ikon perbedaan diwakilkan dalam penggambaran karakter tokohtokohnya. Misal ada tokoh beretnis Cina, etnis Jawa, karakter waria dan lain sebagainya. Karakter-karakter yang jarang dipertemukan dalam satu lakon kethoprak. Para seniman kethoprak biasanya menghindari pertemuan karakter seperti itu. Lazimnya bila mementaskan lakon kethoprak Cina 93, maka akan khusus menampilkan tokoh-tokoh Cina, cerita yang berasal dari Cina, dan bersetting layaknya di daerah Cina. Bila ceritanya bukan tentang Cina, maka tidak akan ada pemeran ataupun cerita tentang orang Cina yang akan dimunculkan. Semua serba terpisah. 94 Hal tersebut tidak berlaku dalam lakon Magersari. Semua dipertemukan, dan berinteraksi dengan sangat baik. Melalui lakon Magersari, Bondan ingin menunjukan fakta bahwa di sebuah kampung, ada banyak macam etnis dan karakter. Ada beragam manusia yang hidup bersama. Ada Cina, Jawa dan juga etnis lainnya. Walau sejarah telah memperlihatkan adanya catatan hitam mengenai benturan atau konflik antara etnis Cina dan etnis lainnya (Jawa misalnya). Di 92 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. Lakon kethoprak yang bercerita mengenai legenda, masyarakat atau budaya Cina. 94 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 93 130 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI situlah letak keistimewaan kesenian. Melalui kesenian, khususnya kethoprak, Bondan menggambarkan bahwa baik antara Cina dan Jawa, memiliki hubungan yang sangat baik. Bahkan faktanya hingga saat ini, etnis Cina dan Jawa dapat terus berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik dan lancar. Mereka terbukti mampu membangun paseduluran.95 Pernyataan Bondan, diamini oleh Baso Rangga, salah seorang pemain pendukung dari lakon tersebut. Rangga melihat lakon Magersari pun sebagai lakon yang membicarakan mengenai perbedaan. Lakon yang dimaksudkan untuk mengajak masyarakat untuk dapat urip guyub rukun. “Tidak peduli kamu tuh kaya, miskin, kamu dari mana, agamamu apa, kamu tidak boleh membedabedakan sifat, pribadi, agama, suku, ras dan lain sebagainya”. Sebagai seorang pemain, ia sangat berharap bahwa melalui pementasan Magersari yang dilakukan di 3 (tiga) wilayah, dapat membantu masyarakat untuk memperdalam wawasannya mengenai nilai-nilai kerukunan. Ia kadang masih melihat ada sebagian orang yang berkata “ nek agamamu kuwi, ya kumpul karo wong agamamu wae” (kalau agamamu itu, ya berkumpulah dengan orang seagamamu saja). Hal tersebut berpotensi membangun sekat yang tebal antara satu dengan lainnya, sehingga konflik berdasar perbedaan dapat dengan mudah terjadi.96 Bondan mengatakan bahwa seringkali, bila perbedaan itu ditunggangi kepentingan politik dari pihak-pihak tertentu. Sangat mudah kiranya, perbedaan menjadi alasan terjadinya perpecahan. Ia mengakui bahwa pementasan Magersari, diawali dengan itikad meminimalisir kemungkinan konflik pasca Pemilihan Pemerintah Daerah (pilkada) Kota Yogyakarta. Ia berkata “saya dan beberapa 95 96 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. Wawancara dengan Baso Rangga, dilakukan bulan Mei 2014. 131 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kawan-kawan, kok punya pikiran bahwa jangan-jangan pilkada di kota Yogyakarta sama dengan pilkada di tempat lain. Bila sudah selesai, maka di tempat itu akan terjadi konflik. Bila berbeda pilihan politiknya, akan jadi persoalan. Hal itu bisa berakibat pada munculnya dendam. Kemudian terjadi saling tidak menghargai dan tenggang rasanya hilang. Lantas kami membutuhkan satu cerita yang memang konteksnya kota Jogja. kota Jogja itu (terdiri dari) kampung-kampung, dan kita mengambil beberapa kasus untuk diangkat dalam Magersari.” Magersari memang sengaja ditujukan dengan misi menghidupi pluralisme. Ia dan kawan-kawannya mengajak masyarakat Yogyakarta untuk kembali menekuni nilai-nilai tradisi Jawa, yang diterapkan dalam setiap laku hidup sehari-hari.97 D.2. Tatanan dan Tuntunan ala Orang Jawa Masyarakat etnis Jawa, seperti etnis lainnya, memiliki nilai dan tradisi yang diturunkan sari setiap generasi ke generasi. Upaya untuk menjaga nilai dan tradisi itu masih dilakukan hingga detik ini, karena keduanya dipercaya sebagai pedoan hidup untuk menjadi manusia secara personal, maupun sosial. Pada tataran sosial, aturan bermasyrakat yang sesuai dengan nilai dan tradisi, kerap dipahami sebagai tatanan dan tuntunan ala orang Jawa. Bagi Erwin salah seorang pemain lakon Ledhek Bariyem, kethoprak penuh dengan petunjuk untuk tatanan, terutama nilai-nilai dan tata cara budaya Jawa, yang penuh kesopanan. Ia mengatakan bahwa lakon Ledhek Bariyem selayaknya lakon-lakon kethoprak lainnya, sarat dengan tata aturan dan unggah-ungguh. Lihat 97 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 132 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI saja dari cara bertutur istri pak Warjudi, meskipun ia marah, tidak setuju dengan apa yang dilakukan suaminya, ia tidak menanggalkan kesopanan dan rasa hormat pada sang suami. Sebagai istri ia tetap memiliki hak untuk mengingatkan sang suami, di kala suaminya bersalah. Dia tidak hanya diam. Menurut Erwin, bu Warjudi tidak lantas menyampaikannya dengan kasar dan kurang ajar. Laku inilah yang dinamakan laku orang Jawa. Selain bicara mengenai tingkah laku sopan yang berasal dari aturan tradisi Jawa, Erwin juga melihat bahwa Ledhek Bariyem memiliki agenda lain. Agenda yang dimaksudnya adalah usaha untuk mengajak masyarakat Jawa dapat berfikir secara rasional. Ia mencontohkan berdasar cerita dari lakon yang dimainkannya. Pada lakon Ledhek Bariyem, masyarakat yang ada dalam lakon sangat percaya bahwa hanyu Bariyem dapat hidup kembali dan menuntut balas kematiannya. Menurutnya, hal tersebut tidaklah dapat diterima oleh akal sehat. Sehingga upaya untuk mengajak berfikir rasional adalah agenda penting lainnya dari lakon ini. Tuntunan yang hendak disampaikan adalah anjuran agar masyarakat Jawa tidak perlu lagi percaya pada ha-hal mitos dan seperti soal hantu. Karena kepercayaan semacam itu selain menyesatkan, juga memberikan peluang bagi orang-orang yang hendak memanfaat kesempatan itu untuk kepentingan pribadi mereka (seperti yang dilakukan oleh tokoh Lurah Sarjana).98 Sejauh pengalaman menonton kethoprak, walau melalui proses merabaraba, Rinal Khaidar Ali yang merupakan salah satu penonton pementasan lakon Magersari di wilayah Jetis, sangat yakin bila semua pementasan kethoprak pasti membawa misi tertentu. Ada semacam misi pendidikan yang diembannya. 98 Wawancara dengan Herwiyanto, dilakukan bulan Oktober 2015. 133 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kethoprak adalah media yang paling baik untuk pendidikan semacam itu. Masyarakat jauh lebih menyukainya. Demi tetap menanamkan tuntunan dan tatanan yang termaktub dalam prinsip tersebut, kethoprak melaksanakan tugasnya sebagai pendidikan bagi masyarakat Jawa.99 D.2. Politik Kekuasaan dalam Kethoprak Mencermati lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, kita akan dengan mudah mendapatkan adegan-adegan konflik yang disebabkan oleh kekuasaan. Tema kekuasaaan bukan hal baru dalam kethoprak, tema ini biasa menjadi sentral dari sebagian besar lakon kethoprak. Bukan tanpa alasan bila tema tersebut selalu hadir di atas panggung kethoprak. Semenjak abad ke-4, yaitu di masa saat Hinduisme berkembang, seni pelakonan bergerak sesuai dengan konsep kekuasaan yang ada pada saat itu. Patronase antara rakyat dan rajanya, banyak diilustrasikan dalam pertunjukan yang dibuat pada masa tersebut. Sebagai sebuah seni lakon, kethoprak mewarisi konsep patronase sebagai semesta pembicaraan dalam kethoprak. Herwiyanto, yang kerap dipanggil Erwin, pemain kethoprak asal Bantul Yogyakarta, ikut berbicara mengenai topik ini. Menurutnya, topik pembicaraan dalam kethoprak sangat kompleks. Namun tidak dapat dijauhkan dari pembicaraan mengenai permasalahan seputar istana dan strata kehidupan masyarakat. Erwin berargumen “karena problem itu sangat mudah untuk dikemas dalam pertunjukan kethoprak. Sesungguhnya kethoprak memotret realita, dan kemudian mempertunjukannya kepada penonton. Problem-problem dalam 99 Wawancara dengan Rinal Khaidar Ali, dilakukan bulan Mei 2014. 134 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kethoprak itu ada (dalam kehidupan nyata), dan saya tidak mengada-ada. Dalam kethoprak pembicaraan tentang kekuasaan selalu ada. (kekuasaan) Selalu menjadi sumber konflik dan menjadi benang merah untuk mengikat suatu pertunjukan. Pada akhirnya, konflik selalu saja tentang harta, tahta dan wanita. Semua berkaitan dengan kekuasaan”.100 Sejurus dengan Erwin, Ari Purnomo sang penulis naskah, sekaligus sutradara lakon Ledhek Bariyem, mengatakan bahwa masalah yang berkaitan dengan harta, tahta dan wanita pasti selalu muncul dalam setiap lakon kethoprak. Konflik kekuasaan merupakan peristiwa yang sering didapati dalam setiap pementasan kethoprak. Misalnya saja seperti yang diilustrasikan dalam lakon Ledhek Bariyem, yang mengisahkan isu pemilihan lurah di suatu wilayah. Dalam pertarungan kekuatan antar calon lurah yang diikuti oleh Pak Warjudi dan Lurah Sarjana, nyatanya telah menyeret masyarakat sebagai korbannya. Ia memunculkan peristiwa politik yang biasanya melibatkan konflik 2 (dua) kekuatan besar kekuasaan, dan biasanya rakyat kecillah yang sering menjadi korban. 101 Mengenai lakon Ledhek Bariyem, Ari mengungkapkan “pada awalnya, saya menuliskan kegelisahan saya secara pribadi. Saya ingin menyampaikan semacam pelajaran politik (dalam lakon Ledhek Bariyem) yaitu, saat bila ada 2 (dua) kekuatan besar beradu, imbasnya pasti pada masyarakat. Baik langsung maupun tidak langsung. Sebenarnya (pada sosok) seorang pemimpin, secara pribadi kok saya belum melihat (adanya) sebuah kepentingan yang murni. Kalau pun dia punya tujuan yang benar, kadang-kadang ditunggangi. Ini yang kadang membelokkannya (dari tujuan awal). Sehingga (hal) ini yang membuat saya 100 101 Wawancara dengan Herwiyanto, dilakukan bulan Oktober 2015. Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 135 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mengambil cerita Ledhek Bariyem. Dimana ternyata kedua pemimpin yang diharapkan salah satunya baik, ternyata tidak ada yang baik (sama sekali). Saat tujuan yang baik itu ditunggangi oleh kepentingan yang tidak baik, pada akhirnya pasti akan mengorbankan masyarakat kecil.”102 Lakon Ledhek Bariyem dikategorikan sebagai kethoprak garapan, karena sudah banyak mengadopsi unsur-unsur dari kesenian yang lain. Selain itu isu yang dibawakannya pun adalah isu yang sangat kontekstual. Sesuai dengan kondisi sosial politik Indonesia di saat ini. Melihat waktu pementasan, Lakon Ledhek Bariyem dipentaskan tepat sebelum peristiwa Pemilihan Umum (pemilu) berlangsung. Namun sesungguhnya, Ari Purnomo sudah lama menyelesaikan tulisan mengani lakon tersebut. Pada sekitar 2 (dua) atau 3 (tiga) tahun yang lalu, jauh sebelum ada isu pemilihan presiden pada tahun 2014. Pada momen dan kesempatan yang tepat, yaitu pada tahun 2014 lakon tersebut akhirnya dapat diproduksi. Terlebih lagi, Ari melihat bahwa kala itu sedang terjadi iklim politik di Indonesia. Sehingga menurutnya, hal tersebut menjadi momen yang sangat menarik untuk dihadirkan ke atas panggung pertunjukan. Ari mengatakan bahwa ia belajar dari “politik terkini” . Diakui atau tidak, menurutnya negara kita adalah negara yang besar, negara yang kaya. Mengapa kita belum jua dapat menyejahterakan masyarakatnya? Kegelisahan semacam itulah yang menginisiasi dibuatnya lakon kethoprak, sebagai respon terhadap kondisi politik yang sedang berlangsung di Indonesia. 103 Tidak berbeda jauh dengan Ari, Bondan Nusantara membuat naskah Magersari sebagai respon terhadap peristiwa politik pada tahun 2012, di kota 102 103 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 136 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Yogyakarta. Yogyakarta pada kala itu sedang menghadapi peristiwa pemilihan kepala daerah (pilkada), khususnya pemilihan walikota. Lelaki ini berpandangan bahwa peristiwa pilkada kota Yogyakata harus ditanggapi lebih serius, pada jalur kesenian. Tidak hanya untuk golongan seniman saja, akan tetapi lebih ditujukan pada masyarakat kota Yogyakarta. Ia dan kawan-kawan dari komunitas Genitama dan Pastika bersama-sama menggalang dukungan masyarakat, agar tercipta iklim politik yang kondusif ditengah masyarakat, demi mendapatkan sosok pemimpin yang tepat.104 Walau naskah Magersari dibuat dan dipentaskan dalam rangka merespon peristiwa Pilkada, namun lakon tersebut tidak secara eksplisit membicarakan peristiwa politik tersebut. Bondan menegaskan bahwa mereka hanya mengambil satu kasus tertentu. Pesan yang ingin disampaikan melalui Magersari adalah bahwa “Jogja itu satu”. Perbedaan yang begitu beragam, termasuk perbedaan pilihan politik, tidak boleh mencerai beraikan masyarakat Jogja. Semangat menghargai keberagaman itulah yang hendak disebarkannya. Selain itu, ia berkeinginan agar masyarakat jauh lebih kritis dalam menyikapi perbedaan, dan tidak melulu mau dibodohi penguasa. Ada banyak peran yang dihadirkan dalam Magersari. Salah satunya tokoh preman, bernama Karta Bendho. Ia tidak menempatkan tokoh preman sebagai sumber masalah dalam lakonnya. Ia berkata “saya justru mengambil tokoh premannya sebagai tokoh yang protagonis. Justru dia yang menyelesaikan persoalan. karena saya selama ini melihat stigma (terhadap) preman, kan kasihan juga. (Mereka) selalu dipojokan, nah pada lakon ini, tokoh utamanya justru 104 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 137 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI preman, (atau lebih tepatnya) mantan preman”. Mantan preman itulah yang berusaha menjadi penengah serta pengingat, agar masyarakat dapat menerima perbedaan, dan berani melawan penguasa yang melenceng dari amanatnya.105 Selaras dengan judul yang diusung, lebih jauh Bondan juga menyinggung sikapnya dalam memperjuangkan keistimewaan pada kala itu. Ia mengatakan “jangan lupa pada waktu itu juga kita sedang memperjuangkan tentang keistimewaan. (Hal) itu kita masukan dalam satu dialog khusus pada saat tokoh terakhir muncul, tokoh pangeran, bahwa jogja ini milik raja, tanahnya milik keraton. (Bila) bahwa ada yang tidak sependapat, ya silahkan, Tapi faktanya kan begitu. Kalau tidak ada keraton Jogja, maka tidak akan ada kampung-kampung itu juga. secara halus bahwa (tanah) ini bukan milik kalian, tapi milik Sultan. Sultan menghendaki ini (agar) tidak diperebutkan, sebagai alat untuk menguasai. Tapi tidak secara 100% (lakon) ini mengatakan bahwa ini keistimewaan. tidak.” Baik lakon Magersari maupun Ledhek Bariyem, senyatanya menonjolkan permasalahan politik kekuasaan sebagai isu utama yang dipermainkan di atas panggung. Politik kekuasaan kiranya menjadi isu intrinsik yang mendarah daging dalam penceritaan lakon-lakon kethoprak. Bukan tanpa tujuan, seperti sempat disinggung sebelumnya, kethoprak memiliki fungsi vital lainnya, yaitu fungsi sebagai pendidikan politik bagi rakyat, khususnya rakyat Jawa. Mengenai pendidikan politik bagi penonton atau masyarakat, Ari Purnomo menegaskan bahwa semenjak dulu Kethoprak sudah melaksanakan fungsi itu. Tidak pernah berubah.106 105 106 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 138 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Seperti Ari, Rinal sebagai penikmat kethoprak melihat potensi tersebut. Ia berpendapat bahwa kethoprak memiliki fungsi pendidikan, salah satunya pendidikan politik. Hal tersebut didapatnya dari cerita-cerita yang ditampilkan dalam kethoprak, selalu membicarakan mengenai konflik kekuasaan, dan selalu berikatan dengan permasalahan keraton dan para pejabatnya. Misi pendidikan yang dibawa kethoprak, menjadi semacam penyadaran bagi masyarakat untuk dapat lebih kritis terhadap kondisinya sendiri, juga kritis terhadap para pejabat yang berkuasa. 107 D.3. Imaji Pemimpin Idaman Dalam faham kekuasaan Jawa, apapun yang dikatakan raja adalah berlaku semacam “undang-undang”. Keputusan raja adalah mutlak dan tidak boleh dibantah oleh rakyatnya, termasuk oleh forum masyarakat desa. Bila raja tidak dapat langsung ikut campur tangan, maka mekanisme pengambilan keputusan dengan musyawarah lah jalan keluarnya, sejauh tidak bertabrakan dengan kepentingan raja dan kerajaan108. Pada masyarakat modern seperti sekarang ini, terlebih sistem politik kenegaraan demokrasi, rakyat tidak lagi menyerahkan keputusan negara pada kekuasaan mutlak sang raja. Setiap warga negara berhak ikut dalam menentukan arah kehidupan bernegara mereka. Maka musyawarah, ataupun pemungutan suara adalah mekanisme yang diterapkan dalam praktek politik bernegara sekarang ini. 107 Wawancara dengan Rinal Khaidar Ali, dilakukan bulan Mei 2014. Ign Gatut Saksono-Djoko Dwiyanto, 2012, Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa, Ampera Utama, Yogyakarta, hal. 42 108 139 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Meskipun mekanisme musyawarah dan pemungutan suara, yang berarti telah memindahkan kekuasaan negara ke tangan rakyat, tidak serta merta melunturkan sikap hormat rakyat Jawa terhadap rajanya. Raja masih ditempat sebegitu tinggi, sebagai pemimpin yang mengayomi rakyatnya. Selain itu raja masih diposisikan sebagai sosok panutan yang selalu diikuti laku dan perkataanya. Hal tersebut masih tercermin dalam penggambaran sosok raja dalam kesenian tradisi seperti kethoprak. Meskipun seorang raja atau pemimpin memiliki posisi yang begitu dihormati, namun masyarakat Jawa sedari dulu sangat sadar bahwa pemimpin pun adalah manusia. Sering dibuktikan dalam sejarah, bahwa para pemimpin sering kali tergelincir dalam kesalahan-kesalahan yang menyengsarakan rakyatnya. Menilik hal tersebut, kethoprak sebagai kesenian dan ekspresi yang lahir dari luar tembok kerajaan, menjadi penyalur suara dari rakyat kepada para pemimpinnya. DIsetiap jaman, para seniman kethoprak acapkali meyisipkan kritik terhadap para pemimpin melalui kethoprak. Ari Purnomo menyatakan bahwa kethoprak itu unik. Kethoprak selalu punya cara untuk mengkritik. Kritik yang dikatakan ala Jawa. Ari berkata “orang Jawa kan suka sekali memberi kritik atau masukan dengan perumpamaan-perumpamaan dan cara yang halus, sehingga yang dikritik tidak akan merasa sakit hati. Nek neng Jowo ki yo, oleh nabok neng ojo loro” (Bila dalam istilah Jawa, boleh memukul namun jangan sampai sakit).109 Kembali fokus pada pembicaraan mengenai pemimpin, masyarakat pada umumnya selalu memiliki dan memelihara imaji mengenai pemimpin idamannya. Imaji semacam itulah, yang digunakan sebagai mekanisme menilai para 109 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 140 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pemimpinnya. Seperti yang disampaikan oleh Ari Purnomo “kita memimpikan pemimpin yang hebat, pemimpin yang adil poro marto”. Ari lantas mencontohkan Panembahan Senopati sebagai salah satu sosok pemimpin yang ideal dari masa lalu. Pada pandangannya, Panembahan Senopati merupakan pemimpin yang memiliki sikap tegas. Serta mampu membuktikan bahwa dirinya dapat mendorong masyarakat Jawa untuk betul-betul mengerti jati mereka.110 Kompleksitas pembicaraan dan permasalahan mengenai kekuasaan dalam kepemimpan, adalah hal yang seringkali hadir sebagai pokok bahasan dalam lakon kethoprak. Dalam Ledhek Bariyem misalnya, Ari Purnomo sengaja membuat naskah lakon ini menjadi semacam tanggapan terhadap kondisi politik negeri, yang dibuat runyam oleh praktek politik, berupa pemilihan pemimpin, baik di pusat maupun di daerah.111 Erwin yang berperan sebagai Browo dalam Lakon Kethoprak Ladhek Bariyem pun menguatkan pernyataan Ari. Di matanya, lakon Ledhek Bariyem bercerita mengenai 2 (dua) kubu yang saling bertarung memperebutkan posisi. Mereka baku adu strategi politik, demi mendapatkan kepercayaan warga kampung Klempis Ngasem. Pak Warjudi, bermaksud menakuti warga, namun tanpa diduga anak buahnya membuat kesalahan fatal. Mereka membunuh Bariyem. Pak Lurah Sarjana memanfaatkan peristiwa kematian Bariyem. Demi menyingkirkan saingannya. Ia menyuruh anak buahnya untuk menyaru sebagai hantu Bariyem, dan memberikan teror pada warga dan pak pihak pak Warjudi. Lurah Saranta, sosok yang dianggap sebagai pemimpin yang baik, dan ideal, ternyata bersifat sebaliknya.112 Di sinilah sisi menarik dari lakon 110 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 112 Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015. 111 141 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Ledhek Bariyem. Konflik dan intrik politik dibuat sedikit rumit, dan tidak mudah untuk ditebak. Sempat disinggung sebelumnya, Herwiyanto menyatakan bahwa lakon Ledhek Bariyem memberikan semacam ajakan bagi masyarakat Jawa untuk tidak mudah percaya mitos. Ia mengatakan bahwa “itulah contoh yang ingin diperlihatkan, bahwa orang yang mudah percaya hal mistis, akan mudah tertipu. Padahal sesungguhnya, isu itu merupakan strategi dari pak Lurah Sarjana. Pak Lurah hendak memanfaatkan kisruhnya kondisi di masyarakat. Ia yang selama ini dianggap sebagai lurah yang baik, bijaksana, bahkan dermawan di mata warga, ternyata lebih busuk dibadingkan pak Warjudi. Pak Warjudi memang dikenal sebagai seorang jutawan yang menilai apapun dari segi uang, dan dianggap sebagai orang yang tidak baik. Namun ternyata Pak Lurah Sarjana lebih kejam. Bahkan menggunakan sosok Bariyem yang sudah meninggal, untuk alat kampanye. Orang yang membunuh itu kejam, tapi lebih kejam lagi orang yang menggunakan sosok yang sudah meninggal dan menjadikan(nya) alat untuk mencapai kekuasaan”.113 Selanjutnya, Erwin melihat lakon tersebut juga difungsikan untuk memperlihatkan realita politik saat ini: seseorang akan menggunakan berbagai cara, untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Kasus seperti itu ada di kehidupan nyata. Dimana setiap calon pemimpin berlomba-lomba mencari simpatisan dengan cara kampanye atau mengintervensi pilihan orang lain. 113 Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015. 142 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Mekanisme kampanye dan intervensi, jauh lebih mulus jalannya dengan dukungan kekuatan mitos, kekuasaan dan uang.114 Kekecewaan rakyat tidak hanya berada pada awal proses pemilihan pemimpin, akan tetapi juga pada saat para pemimpin itu telah memegang tanggungjawab sebagai penguasa. Kala rakyat menitipkan mandatnya pada para pemimpin, dengan harapan dapat memberikan kesejahteraan yang adil dan merata. Tidak jarang, pelaksanaan mandat oleh pemimpin tidak sesuai dengan harapan, terpeleset pada penyelewengan. Mengenai hal ini Ari menangggapinya dengan mengatakan: bahwa belum ada pemimpin Indonesia yang benar-benar memikirkan rakyatnya. Meskipun tujuan sang pemimpin adalah tujuan yang baik, namun bila ditumpangi oleh kepentingan yang merugikan, akan dapat berakibat buruk pada rakyatnya. Ia mengatakan “ibaratnya njenengan punya baju kotor, pingin dikumbahke nangin le ngumbah nganggo banyu peceren, yo dadine tetep kotor” (Ibaratnya kalau anda mempunyai baju kotor, akan tetapi hendak dicuci menggunakan air selokan, maka akan tetapi kotor). Menurutnya, niatan untuk memperbaiki kondisi masyarakat di negeri ini pasti ada, namun seringkali pilihan cara memperbaikinya yang salah. 115 Bila pada Ledhek Bariyem, ada tokoh Lurah Sarjana yang menipu masyarakat dengan menggunakan sosok hantu Bariyem, guna mendapatkan suara di pemilihan lurah. Maka di Magersari terdapat tokoh Den Bei Kenthus. Baso Rangga menggambarkan Den Bei Kenthus sebagai orang kaya yang mendominasi kepemilikan tanah di kampungnya. Ia yang sesungguhnya hanyalah pengurus tanah, telah mengaku-aku tanah istana sebagai tanahnya, ia menarik uang sewa 114 115 Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015. Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 143 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tanah dengan jumlah yang tinggi. Rangga menegaskan “Nek wong sugih koyo Den Bei Kenthus ki iso semeno-meno, dan wewenang yang dilakukannya jadi berlebihan”.116 Orang yang dianggap dapat dipercaya, ternyata malah membohongi masyarakat kampung, untuk kepentingan pribadinya. Dari sekian lakon kethoprak yang mengulik permasalahan politik dan kekuasaan, harapan akan adanya pemimpin yang akan membawa pada kesejahteraan adalah mimpi yang masih dipelihara. Namun kadang kala kenyataan tidak berbanding lurus dengan impian. Pemimpin yang digadang-gadang akan menjadi pengayom rakyat, nyatanya meninggalkan dan mengorbankan mereka untuk kepentingan pribadinya (pemimpin). Ari Purnomo mengungkapkannya secara jujur “terkadang mimpi itu dapat menimbulkan efek kekecewaan bagi kita. Saat kita berharap lebih pada seorang pemimpin, dan impian itu tidak berhasil, kita cenderung menyalahkan pemimpinnya. Ketimbang kita terus menyalahkan, semestinya kita lah yang mengintropeksi diri, mengapa hanya mengantungkan impian pada sosok pemimpin yang ideal? sedangkan “aku dewe iso nggawe sesuatu” (aku sendiri dapat membuat sesuatu). Berdasar kekecewaannya pada impian, ia menyatakan: “bermimpilah kira-kira sesuatu yang bisa kita raih”.117 D.4. Nguri-uri Kabudayan di antara Riuhnya Globalisasi Sepanjang pertemuan dan proses wawancara saya dengan beberapa responden, baik itu para penulis naskah, sutradara, pemain maupun penonton lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, ada hal menarik yang selalu muncul dari 116 117 Wawancara dengan Baso Rangga, dilakukan bulan Mei 2014. Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 144 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pernyataan mereka. Pernyataan mengenai bagaimana mereka begitu bersemangat untuk menghidupkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai tradisi Jawa melalui kethoprak. Meski pada awalnya bukan hal ini yang saya tanyakan, namun pernyataan-pernyataan sejenis selalu muncul dari tiap responden. Sehingga saya pikir poin ini tidak mungkin bisa saya abaikan. Pada sub bab mengenai tatanan dan tuntunan ala orang Jawa, saya sempat menyinggung mengenai adanya semangat untuk menanamkan prinsip-prinsip hidup ala Jawa. Sejurus dengan itu, dari data yang diperoleh melalui proses wawancara, para seniman kethoprak(juga dirasakan oleh penonton) merasakan kegaluan. Di era yang serba modern, dimana hal-hal yang berbau tradisi semakin lama semakin dilupakan. Rinal mengakui, sepanjang pengalaman menonton kethoprak ia merasa bahwa orientasi pertunjukan kethoprak, salah satunya mengarah pada tuntunan hidup orang Jawa. Selain semangat untuk menularkan emahaman mengenai tuntunan, ia juga menangkap adanya kegelisahan masyarakat Jawa, yang diekspresikan melalui pesan-pesan dalam lakon kethoprak. Kegelisahan akan hilangnyanya jati diri manusia Jawa pada masa kini. 118 Selain kekhawatiran lunturnya identitas ke-Jawa-an dari masyarakat Jawa, para seniman secara ekplisit, mengkhawatirkan hilangnya minat masyarakat Jawa terhadap kesenian kethoprak. Sepanjang karirnya sebagai seniman kethoprak, Ari Purnomo bercerita bahwa ia pernah merasakan gelombang naik turun yang dialami kethoprak di beberapa masa. Menurutnya, pada masa sekitaran tahun 1980-an pekerjaan sebagai seniman kethoprak adalah sebuah profesi yang cukup menjanjikan. Dahulu kethoprak adalah tontonan yang selalu dinantikan oleh 118 Wawancara dengan Rinal Khaidar Ali, dilakukan bulan Mei 2014. 145 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI banyak orang. Pengalaman memperlihatkan bahwa pemain kethoprak yang berpredikat sebagai bintang panggung, otomatis akan dipuja layaknya pesohor di masa sekarang ini. Pada kisaran tahun 70-80an hiburan rakyat masih sangat terbatas. Tidak semua orang dapat memiliki televisi, atau pun radio. Karena masyarakat membutuhkan hiburan, maka pilihan mereka jatuh pada pertunjukanpertunjukan yang dipentaskan secara langsung, salah satunya kethoprak. 119 Seiring berkembangnya media informasi dan elektronik, radio mengambil posisi penting dalam kehidupan masyarakat pada masa itu. Begitu kethoprak masuk radio, penggemarnya bertambah semakin banyak. Perkembangan teknologi yang diiringi kemampuan masyarakat untuk membeli atau mengaksesnya, jelas berdampak pada kelangsungan pertunjukan panggung seperti kethoprak. Jumlah penonton kethoprak panggung berkurang. Ari mengatakan “Wong ngruke radio ae iso ngrasake kethoprak, ngopo kudu ndelok (mendengarkan dari radion saja bisa, mengapa harus menonong langsung). Kemudian masuk era televisi, kethoprak disebarluaskan melalui media ini. Bertambahlah sumber hiburan. Kethoprak panggung semakin terdesak. Media semacam radio dan televisi pada masa itu mengajukan dua sisi mata uang. Pada satu sisi, media tersebut memberikan keuntungan dengan menyebarluaskan kethoprak secara massif, ke dalam ruangruang privat masyrakat. Namun di sisi lain, media semacam ini juga mematikan kethoprak yang melakukan pertunjukan secara langsung di atas panggung dan ruang publik. 120 Pada kisaran waktu antara pertengahan tahun1990-an hingga awal tahun 2000-an, kethoprak panggung dan juga kethoprak tobong yang dulu sempat 119 120 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 146 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI berjaya, mengalami masa sulit. Masyarakat Jawa yang dibombardir berbagai jenis hiburan melalui media canggih, telah kehilangan minat pada tontonan ala kethoprak. Jumlah penonton menurun dengan pesat, berimbas pada jumlah pendapatan para senimannya. Para seniman yang semula menggantungkan hidupnya pada kelompok kethopraknya, harus memutar otak untuk dapat menyambung hidup. Pada akhirnya, satu persatu seniman, mundur dari kelompok tobongnya, mereka beralih profesi. Para bintang kethoprak sesekali masih manggung pada acara-acara tertentu. Namun sangat sulit untuk memprediksi kapan akan ada tanggapan dari para pemesan pementasan. Namun mereka tetap harus memiliki pekerjaan pokok lainnya untuk dapat bertahan hidup. Pada masa itu lahan kethoprak mengalami fase sepi produksi. Erwin sempat merasakan kondisi tersebut. Lelaki yang lebih suka disebut sebagai pejuang kethoprak, ketimbang disebut sebagai seniman kethoprak ini menjelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan banyak faktor. Antara lain: biaya produksi kethoprak yang sangat mahal, proses produksi yang memakan waktu lama, dan kalah bersaing dengan kesenian-kesenian yang formatnya lebih baru serta lebih praktis. Diakuinya, posisi kethoprak tergeser dengan adanya pilihan seni pertunjukan lainnya121. Hingga pada kisaran tahun 2000an, terjadi masa kebangkitan kethoprak. Kebijakan daerah, yang merupakan implikasi dari status keistimewaan Yogyakarta, menjadi salah satu jalan keluarnya. Permasalahan yang membelit kelangsungan hidup kesenian ini, seperti minimnya alokasi dana dan langkanya jumlah pementasan kethoprak, telah terpecahkan. Pendanaan ini merupakan dukungan penting dari pemerintah daerah, 121 Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015. 147 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dalam upayanya melestarikan budaya Jawa. Lanjut Erwin, pada sekitar 3-4 tahun belakangan ini, masyarakat Yogyakarta sedang mendem kethoprak. Maka kehadiran lakon-lakon kethoprak dengan format yang lebih segar, menambah variasi tontonan untuk mereka. Ledhek Bariyem contohnya. Keberhasilan lakon ini, adalah juga karena dukungan pendanaan yang terbilang cukup, proses produksi yang baik, promosi yang gencar dan penentuan segmentasi penonton yang tepat. Kethoprak semacam ini menyasar segman penonton anak muda. Terutama karena format yang ditampilkan adalah format kethoprak garapan, yang sangat disukai oleh penonton tingkatan usia itu. 122 Selain kekhawatiran hilangnya minat masyrakat terhadap seni tradisi seperti kethoprak, dari beberap responden yang diwawacarai, didapti pula kekhawatiran hilangnya ke-Jawa-an dari orang Jawa. Globalisasi yang dengan mudahnya menghadirkan budaya-budaya kemampuannya, dalam menyingkirkan global, telah membuktikan nilai dan prinsip hidup orang lokal. Kegelisahan tersebut ditangapi Ari Purnomo sebagai bentuk kegamangan orang Jawa terhadap budayanya sendiri. Ia menandaskan bahwa kegamangan itu muncul, karena orang Jawa belum mempunyai landasan yang kuat tentang cara memahami jati dirinya. Pernyataan menarik yang diangkapkannya adalah “Kalau saya boleh berbicara agak sombong. Mengapa kita tidak bisa memahami jati diri sebagai masyarakat Jawa? Padahal Jawa kan sangat lengkap. Kalau kita sudah ngomong tentang (Jawa) itu wong Jowo kuwi ora ono kurange, kurange Jawa ki kur ra iso dadi agama (Jawa itu kurangnya apa, kurangnya Jawa hanya tidak bisa menjadi 122 Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015. 148 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI agama). Betul tho? Kalau Jowo punya nabi, Jowo sudah jadi agama. Dalam perjalanannya kegelisahan itu menumpuk, dan tanpa disadari (telah) mengarahkan pada pola pemikiran dalam bentuk penulisan (naskah Ledhek Bariyem). Ya harus diakui kalau saya bangga sebagai orang Jawa. Jawa itu lengkap sekali, apa-apa ada. Kadang-kadang ada hal yang tidak bisa terungkap, tapi (sesungguhnya) bisa dirasakan. Pada saat saya menulis, saya seperti menganalisa perasaan dan peristiwa-peristiwa, dan akhirnya mencerminkan apa yang menjadi kegelisahan saya. Saya merasa kegelisahan itu terakumulasi di alam bawah sadar”. 123 Kegelisahan yang mengendap dan muncul sebagai harapan, dalam bentuk naskah dan pementasan lakon kethoprak. Bondan Nusantara, Ari Purnmo, Baso Rangga dan Herwiyanto, secara terpisah menyatakan hal yang hampir sama. Mereka merasa bahwa laku kethoprak yang dijalaninya selama ini adalah bagian dari nguri-uri kabudayan. Sebagai masyrakat Jawa yang sadar akan kekayaan budayanya, mereka merasa bahwa pengaruh dari luar (modernitas dan globalisasi), membuat masyarakat Jawa “jauh” dari budaya tradisinya. Kethoprak menjadi media yang tepat untuk menghubungkan keduanya. D.5. Dilema Pergerakan dalam Seni Tradisi Bila pada masa sebelumnya, kethoprak sempat mengalami jumlah pertunjukan, namun pada awal tahun 2000-an ada perubahan yang cukup signifikan. Kesenian ini mulai menggeliat dan bergerak secara massif untuk mementaskan lakon-laonnya, baik di dalam gedung-gedung pertunjukan, maupun 123 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 149 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI di ruang publik lainnya. Bahkan seperti halnya di masa lalu, beberapa seniman mulai memasukkan kethoprak sebagai kerangka kerja politik dalam dunia kesenian. Kita tidak akan asing melihat pertunjukan lakon kethoprak yang kental dengan nuansa politik. Karena bila kita kembali pada pemaparan mengenai kesenian ini di bab yang lalu, kita juga sangat mudah mendapti kethoprak yang berkubang dengan pembicaraan politik. Beberapa seniman mengartikan produksi kethoprak yang semacam itu sebagai kerja idealis, terutama yang berkaitan dengan penyebaran kesadaran politik masyarakat. Ari urun bicara mengenai hal ini. Ia mengatakan ada saatnya seorang seniman harus memiliki kerja-kerja idealis. Kerja idealis yang dimaksudkannya dalam arti harus mampu mengenyampingkan tujuan yang melulu berorientasi pada materi. Ia menceritakan “Jujur saja (pertunjukan) Ledhek Bariyem itu low budget. Saya memberikan pemahaman bahwa (pertunjukan) ini adalah kerja idealis, temen-temen punya tanggungjawab. Artinya saya tidak ingin mengikat (mereka). Kalau mereka keberatan dengan proses tersebut, karena tidak akan mendapatkan sesuatu, ya monggo saja (tidak ikut). Tapi bila sudah berkomitmen, ya mari kita lanjutkan sampai selesai”. Sebagai pemain kethoprak, Ari tidak memungkiri bila sebagian dari kerja-kerja yang dilakukannya adalah kerja pesanan, sehingga seringkali ia harus mengorbankan idealismenya. Namun bila ia melulu bicara idealisme, ia tidak akan dapat menghidupi dirinya sendiri. Sehingga perlu ada 2 (dua) hal yang berjalan secara bersamaan.124 Dalam proses pementasan lakon Ledhek Bariyem, Ari Purnomo melibatkan banyak pemain dari generasi muda. Hampir 95%-nya berusia di bawah 124 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 150 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 40 tahun. Alasan Ari mengajak mereka adalah untuk menciptakan ruang berekspresi bagi para pemain muda, yang dirasa masih minim. Ari tidak menyangkal bahwa jika saja naskah itu dibawakan oleh para pemain dari generasi tua, hasilnya akan jauh lebih bagus. Akan tetapi hal tersebut tidak akan memberikan efek apa pun pada pemainnya. Jikalau ia mengajak para pemain generasi muda, kesempatan itu akan memberikan mereka bekal pengalaman, untuk pementasan-pementasan selanjutnya. Ia berharap dapat memberikan pengalaman dan ruang yang baik untuk para pemain muda. 125 Melalui kethoprak pula, minat para pemain muda dapat ditampung. Mereka sangat terbuka pada penyampaian misi tertentu. Mereka sangat menikmati berbagai proses eksplorasi dan improvisasi. Rata-rata mereka sangat bersemangat untuk ikut mengembangkan kesenian ini. Pemain dari generasi ini, sangat penuh idelisme untuk melakukan perubahan. Antusiame Bondan terhadap pemain generasi muda pun dinyatakan dengan gamblang “saya selalu percaya pada anakanak muda, bahwa mereka punya bayangan sendiri, punya kreasi sendiri, punya hak sendiri untuk menentukan inti pesan sebuah lakon”. 126 Rangga menambahkan, pelibatan generasi muda dalam kethoprak. Tidak lain adalah untuk memperjuangkan kethoprak agar dapat tetap hidup dan diterima oleh masyarakat. Generasi muda banyak membuat terobosan baru. Mereka terbuka untuk mencoba hal baru, akan tetapi dengan catatan tetap menjaga prinsip pokok dalam pertunjukan kethoprak. Bila Ari, Bondan dan Rangga melihat generasi muda sebagai pemain potensial di masa kini dan mendatang. Maka Erwin memandang generasi muda penonton yang menerima pesan dan pengetahuan 125 126 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 151 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI melalui medium kethoprak. Menurutnya, generasi muda merupakan bagian dari masyarakatnya, mereka adalah kelompok yang paling berdaya untuk melakukan perubahan. Untuk itu, transfer pengetahuan perlu dilakukan melalui kethoprak. Dalam menjalankan fungsinya sebagai media transfer pengetahuan, kethoprak tidak hanya berlaku sebagai tontonan, akan tetapi juga menjadi tuntunan dan tatanan bagi masyarakat, khususnya generasi muda.127 Generasi inilah dianggap sebagai generasi produktif, yang mampu membawa perubahan bagi kondisi sosial-politik di masyarakat. Mereka diajak untuk dapat kritis terhadap kondisi masyarakat dan negaranya. Bondan Nusantra menyatakan bahwa ia beserta kawan-kawan seniman kethoprak, selalu berupaya mengkritik permasalahan kontekstual negara, dalam kethoprak yang menjelma sebagai sebuah gerakan. Bagi Bondan, kethoprak diposisikan sebagai senjata untuk nurani masing-masing penontonnya. 128 Perihal posisi kethoprak sebagai media penyebaran semangat dan kritik sosial-politik bagi masyarakat, Ari mengatakan bahwa dalam skala yang lebih besar, pasti ada kadar pembicaraan sosial-politik di kethoprak, kesenian ini menjadi semacam pendidikan sosial-politik, yang hadir dengan bahasa yang sederhana, tanpa kerumitan yang mengada-ada.129 Dengan formulasi yang tidak rumit serta dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari, memudahkan masyarakat untuk mencerna pesan yang disampaikan. Mendukung pernyataan itu, Rangga 127 Wawancara dengan Baso Rangga, dilakukan bulan Mei 2014. Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 129 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 128 152 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI merasa bahwa kethoprak dapat menjadi gerakan yang disukai oleh masyarakat. Baginya masyarakat masih agak sulit bila didekati secara formal.130 Bondan sendiri menyatakan bahwa ia menyengaja menjadikan kethoprak sebagai media menyampaikan pesan. “kalau saya membuat kethoprak, pasti ada sesuatu yang ingin saya sampaikan di luar konteks cerita. Misalnya saat kami membuat lakon Lebak (Saijah Adinda), fokus dari pesan kami adalah mengenai (anti) korupsi. Bila seniman lain hanya ingin menggarap cerita kethoprak menjadi bagus (tanpa pesan tertentu). Saya tidak begitu. Saya selalu menggarap cerita kethoprak sebagai sarana untuk menyampaikan apa yang sedang kita gelisahkan bersama. Termasuk kegelisah di bidang politik”.131 Sejarah pernah mencatat bahawa ibu dari Bondan Nusantara, yaitu Theresia Khadariah mengalami masa penahanan di penjara dan bebas pada tahun1980-an. Selepas keluar dari penjara, sang bunda kembali menggeluti dunia kesnian kethoprak. Theresia Khadariah ikut bergabung dalam kelompok kethoprak “Sapta Mandala” di bawah naungan Kodam VII/Diponegoro. Ia tidak hanya berlaku sebagai pemain, akan tetapi juga dijadikan guru bagi para pemain muda dalam kelompok tersebut, termasuk Bondan Nusantara. Pengalaman Bondan menjadi anak dari mantan tahanan politik (tapol), menyatukannya dengan keluarga dari mantan tapol lainnya. Hingga pada tahun 2000, ia dan beberapa kawan yang memiliki bermacam latarbelakang profesi, beraliansi untuk melakukan gerakan rekonsiliasi bagi para mantan tahanan politik, dengan semua pihak yang berkaitan dengan kasus tahun 1965. Aliansi itu 130 131 Wawancara dengan Baso Rangga, dilakukan bulan Mei 2014. Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 153 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mengusung nama Syarikat,132 mereka bergerak hingga tahun 2010. Gerakan yang dilakukan oleh aliansi tersebut bukan tanpa hambatan. Stigma PKI, komunis, penjahat dan sederet stigma hitam lainnya, meneror gerakan mereka. Masyarakat luas belum sepenuhnya dapat menerima, sehingga masih menyisakan sikap waswas bagi terhadap para mantan tapol, yang sesungguhnya hampir semuanya sudah sepuh atau berusia lanjut. Namun berkat kerjasama dengan organisasi pemuda Nahdhatul Ulama, kekhawatiran itu sedikit dapat diredam. Mereka (para pemuda NU) juga bagian dari representasi kelompok yang berrekonsiliasi. Sejarah mencatat bahwa pada masa 1965 kelompok NU juga berada di dalam pusaran peristiwa. 133 Bondan lantas menjelaskan, hal tersebut bukan lah kesalahan pihak NU semata. Pihak penguasa rejimlah yang bersalah. Mereka (rejim) mengatur secara sistematis konflik di kalangan rakyat. Bondan secara gamblang mengatakan “nah awal tujuannya adalah memberi penyadaran pada NU terutama bahwa bagaimanapun juga mereka pernah melakukan kesalahan dengan membantai banyak orang yang dituduh PKI. Tapi sesungguhnya, NU pun korban dari kekuasaan (Orde Baru) yang arogan, yang berkeinginan membasmi PKI, PKI juga korban dari kekuasaan yang ingin menghapuskan komunisme, jadi muaranya terdapat di kekuasaan. Masyarakat dibuat saling berkonflik, konflik horisontal”.134 Setelah bergerak selama 10 tahun di hampir seluruh wilayah Jawa (khususnya wilayah DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur), mereka memutuskan 132 Organisasi yang terdiri dari para aktivis, mantan tapol dan keluarga keluarga mantan tapol, yang berusaha untuk melakukan rekonsiliasi dan rehabilitasi bagi para mantan tapol dan keluarga, agar mendapatkan kembali hak mereka. 133 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 134 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 154 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI untuk berhenti. Mereka melihat adanya perubahan yang signifikan. Seperti berkurangnya kebencian terhadap para mantan tapol kasus 1965. Walau terasa adanya sikap yang sedikit berubah, namun mereka sadar bahwa belum sepenuhnya masyarakat kita dapat berdamai dengan stigma dan segala tuduhan dari masa lalu. Hal tersebut memerlukan komitmen bersama dan proses gerakan yang amat panjang. Mengenai komitmen dan proses, Bondan merasa pada titik itulah sepertinya kethoprak belum dapat konsisten, selayaknya gerakan berbasis organisasi. Dalam pandangannya, kesenian dapat disikapi sebagai sebuah gerakan, asal bukan dibuat hanya menjadi sekedar event saja. Gerakan semestinya memiliki konsistensi, kontinuitas, serta program yang terpola. Bondan mengakui “ itulah kelemahan kami. Para seniman Jogja, meskipun punya pemikiran seperti itu (membuat perubahan), mereka jarang mau membuat program jangka panjang, dan (memikirkan) bagaimana (cara) menggunakan kesenian sebagai alat penyadaran. Paling (rutin) setahun 2 (dua) kali, setelah itu selesai. Maka dari itu kami mengambil kesimpulan, yo raiso nek ngerubah, sejauh tidak ada program yang rinci, rigid, dan matang (perencanaannya) sampe ke depan.”135 Namun dari semua pernyataan dan gegap semangat menggerakan, yang mereka bawa dalam lakon yang dipentaskan, di sisi lain masih terasa kegamangan atas semangat tersebut. Kita mungkin dapat melihat kilas balik dari sub bab mengenai imaji pemimpin idaman, dimana Ari Purnomo menyatakan kekecewaan dan tidak lagi dapat memancangkan harapan pada pemimpin. Sehingga ia lebih percaya pada kemampuan rakyat untuk mengatasi masalahnya sendiri, tidak lagi 135 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 155 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mengharap pada pemimpinnya.136 Aroma kegamangan tidak hanya pada tataran harapan terhadap pemimpin atau penguasa. Akan tetapi juga pada tataran gerakan. Bukan pada kegamangan atas ketidakmampuan untuk menggerakan dan menyadarkan masyarakat. Namun pada tataran keyakinan bahwa kesenian ini dapat membuat perubahan di wilayah praksis sosial-politik Indonesia. Bondan Nusantara meyakini kesenian sebagai alat penyadaran hati nurani, yang dapat menggerakan masyarakat. Namun baginya, kethoprak tidak dapat ditempatkan sebagai alat untuk merubah jaman. Bondan sadar bahwa sehebat apapun kesenian mengkritik, atau sekeras apapun mekanisme penyampaiannya, kesenian tidak akan bisa merubah kondisi masyarakat secara langung. Melalui kethoprak, kesadaran sosial-politik masyarakatlah yang digugah, dan masyarakat pula lah yang akan melakukan perubahan. Bondan menjelaskan “(bahwa) yang bisa kami lakukan ya sudah (kami lakukan), silahkan anda lihat dan anda tonton, kalau tidak bermanfaat ya anggap saja sebagai hiburan, ya terima kasih”. Bondan berkeyakinan bahwa yang sesungguhnya dapat merubah kondisi semacam itu hanyalah politik. Bukan kebudayaan, hanya politik. Menurutnya, kita bisa melihat Rian Tiarno, Remmy Silado atau pun WS Rendra yang beraksi keras terhadap politik kekuasaan. Namun mereka tidak bisa langsung menghancurkan rejim Soeharto dengan tangan kesenian.137 Di balik segala kegamangan terhadap perubahan yang mungkin bisa dilakukan langsung oleh kethoprak, Bondan tetap optimis pada kethoprak sebagai penggerak dan pembangun kesadaran masyarakat. Menurutnya, masyarakat Jawa sangatlah dinamis. Mereka selalu memiliki kebutuhan untuk mendialogkan 136 137 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 156 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kegelisahannya melalui media yang disukainya. Salah satunya kethoprak. Mereka tidak dapat terus ditekan selayaknya pada tahun 50-an atau 60-an. Oleh karena itu, eksistensi kethoprak harus tetap hidup, melalui geraknya yang lentur. Kethoprak terus dihidupi oleh konteks masalah sosial-politik yang dibicarakannya. Di panggung kethoprak lah rakyat membicarakan masalah mereka, dengan sesama mereka dan untuk mereka. Tuturan kethoprak menjelma menjadi bagian dari kritik politik rakyat. Bondan menutup sesi wawancara itu dengan mengatakan “pokoknya kalau kami mengalami sesuatu yang tidak adil, ya akan kami sampaikan. Kami tidak berpihak pada siapapun. Kalau penguasanya baik, ya kita katakan baik. kalau penguasanya jelek, ya kita katakan jelek dan kita kritik. Itu saja.”138 E. Kesimpulan Di tengah tarik menarik sikap optimisme dan pesismisme terhadap gerakan yang dilakukan oleh para seniman dari tiap lini kesenian, para seniman kethoprak pun ikut ambil bagian. Penelitian ini hendak menelisik hal tersebut dalam 2 (dua) lakon kethoprak, yaitu Magersari dan Ledhek Bariyem. Pada awalan pemaparan data, saya menuliskan pengalaman menonton, yang sesekali saya padukan dengan cuplikan-cuplikan dialog dari kedua lakon tersebut. Selain mengandalkan ingatan pada saat saya menonton langsung, saya juga menggunakan naskah dari kedua lakon tersebut, untuk melengkapi penggambaran dari pementasan tersebut. Isi naskah yang saya dapatkan langsung dari para penulisnya, tidak selalu sama dengan isi dialog atau alur yang dipentaskan di atas panggung. Menurut Ari 138 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 157 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Purnomo, selaku penulis naskah Ledhek Bariyem, hal tersebut sangat lumrah, karena naskah pasti akan mengalami pengembangan dan penyesuaian selama proses latihan. Bila dirasa ada hal yang kurang tepat, mereka akan mendiskusikannya, dan mengubah sesuai dengan kebutuhan dari pementasan. Selain sebagai penulis naskah, baik Bondan Nusantara dan Ari Purnomo juga mengambil peran sebagai sutradara. Keduanya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses produksi lakon-lakon tersebut. Pemikiran yang mereka tuangkan dalam bentuk naskah, tidak sepenuhnya dihasilkan oleh mereka seorang diri. Dari hasil wawancara, ditemukan pula adanya proses diskusi mengenai konteks permasalahan yang ingin diangkat sebagai isu yang dibicarakan dalam lakon. Sehingga baik penulis naskah, sutradara, pemain maupaun para pendukung lainnya, memiliki andil untuk memberikan masukan yang berguna bagi lakon yang dibuat. Keterlibatan pemain tidak melulu hanya pada tataran pendalaman peran saja. Akan tetapi juga dalam proses penentuan misi atau pesan yang hendak disampaikan dalam pementasan sebuah lakon kethoprak. Mereka tidak sekedar mendapatkan naskah dan memerankannya di atas panggung, akan tetapi mereka juga memiliki tanggungjawab untuk dapat memahami isi pesan, dan menyampaikannya kepada penonton. Sedangkan di tataran penonton, saya mencoba menggali informasi mengenai apa yang dipahami oleh penonton, setelah melihat pementasan tersebut. Sejauh mana penonton dapat menangkap pesan yang disajikan di depan mata mereka. Lakon Magersari menceritakan kehidupan warga penghuni Sultan Gound, di wilayah Yogyakarta. Kethoprak yang ditulis oleh Bondan Nusantara ini 158 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mengusung misi Guyub Rukun. Lakon kethoprak tersebut dibuatnya untuk merespon peristiwa politik yang hendak terjadi di kota Yogyakarta. Berangkat dari kegelisahan dan kekhawatiran akan terjadinya kerusuhan seperti yang terjadi di wilayah lain, Bondan membuat lakon Magersari untuk dapat mencegah terjadinya konflik untuk kepentingan politik di wilayah kota Yogyakarta. Dalam lakon ini dipertunjukan bahwa potensi konflik atau perpecahan masyarakat, biasanya dipicu oleh adanya perbedaan. Selain itu, lakon ini juga berusaha memperlihatkan adanya fenomena penyelewengan mandat yang seringkali dilakukan oleh para pejabat atau pemimpin. Lakon ini mencoba mengkritik penyalahgunaan kepercayaan semacam itu. Sedangkan lakon Ledhek Bariyem yang bergenre horror-humor, adalah lakon kethoprak yang cukup rumit. Bila dibandingkan dengan cerita dari lakonlakon kethoprak yang lain, Ledhek Bariyem merupakan lakon yang tidak mudah untuk ditebak alurnya. Dua tokoh yang saling memperebutkan posisi lurah: pak Lurah Sarjana dan pak Warjudi, sama-sama melancarkan taktik politiknya masing-masing. Lakon ini memperlihatkan adanya kepentingan-kepentingan politik para pemimpin, yang seringkali menjadikan rakyat sebagai korbannya. Tidak seperti lakon kethoprak lainnya, yang menggiring para penontonnya untuk langsung mengerti maksud dari lakon yang dilihatnya, pertunjukan ini mengajak penonton untuk mencermati alur, memahami dan mengambil pelajaran secara mandiri. Dari proses observasi, pembacaan naskah dan wawancara, didapati bahwa pembicaraan mengenai kekuasaan, tuntunan serta tatanan bermasyarakat, imaji pemimpin yang ideal, permasalahan ke-Jawa-an yang mulai tergerus globalisasi, 159 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI hingga pemahaman mengenai kethoprak sebagai gerakan, menghiasi seluruh pembahasan bab ini. Kesemuanya hadir dari kegelisahan para seniman, mengenai konteks sosial-politik masyarat. Seniman mengartikulasikan permasalahan sosialpolitik masyarakat, melalui kethoprak. Masyarakat bebas menerimanya, baik sebagai bagian dari dialog konteks permasalahannya, atau hanya sekedar hiburan semata. 160 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB IV Hegemoni Di Ranah Seni Tradisi A. Pengantar Sesuai dengan sistematika penulisan tesis ini, pada bab II saya memaparkan posisi bidang kesenian seperti sastra dan teater, dalam upayanya membicarakan dan mengkritik kondisi sosial-politik di Indonesia. Selain bidangbidang tersebut, pada bab yang sama, kethoprak hadir sebagai pokok bahasan dalam tesis ini. Setelah membicarakan mengenai beberapa bidang kesenian, serta menjelaskan posisi kethoprak di dalamnya, maka pada bab selanjutnya saya membahas secara khusus objek material penelitian tesis ini. Pada bab III, saya memaparkan data-data yang terkait dengan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem. Pemaparan mengenai apa yang terjadi di atas panggung pertunjukan serta apa yang disampaikan oleh para responden, menjadi sederet data yang terlihat pada lapis pertama dari lakon Magersari dan Ledhek Bariyem. Tidak bijak rasanya bila hanya berpijak pada apa yang nampak. Maka pada bab IV ini, kedua lakon tersebut akan dilihat lebih dalam pada lapisan selanjutnya, yaitu inti analisa berdasar pada teori hegemoni yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci, serta globalisasi sebagai teori sekunder. Beberapa kata kunci dan langkah pembacaan teoritis Gramsci, akan dipergunakan untuk melihat sejauh mana teori hegemoni bekerja dalam kedua lakon itu. 161 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI B. Seni Kethoprak sebagai Laku Politik Dalam tulisannya, Julianti L Parani mengungkapkan bahwa pada awal mula peradaban, seni berfungsi sebagai bagian dari suatu ritual keagamaan atau kepercayaan. Seiring dengan praktek kolonial bangsa Eropa, bermulalah bermacam penetrasi bidang kehidupan, tak terkecuali kepercayaan. Dalam konteks seni di Indonesia, nilai-nilai sakral tersebut mulai mengalami proses transformasi, walaupun keterikatan dengan akar di masa lalu masih dipertahankan oleh beberapa etnis di Indonesia. Yang lebih jamak, fungsi ritual suatu seni telah banyak beralih menjadi sesuatu yang bersifat hiburan belaka, tidak ada lagi jejakjejak fungsi komunikatif yang purba itu. Kandungan spiritualnya telah dicampuradukkan dengan aspek kebudayaan yang non-artistik/non-seni, seperti politik, bisnis, hingga kepentingan ambivalen.139 Pendapat yang diajukan oleh Julianti di atas tidak salah, terutama perihal beralihfungsinya kesenian ke arah aspek kebudayaan non-artistik ataupun nonseni. Seiring perkembangan zaman, fungsi seni berkembang untuk memenuhi beragam kebutuhan masyarakat. Seni pada awalnya hadir sebagai bentuk pemujaan, diletakkan sebagai sesuatu yang otentik, satu dan tak terganti. Namun bersama berjalannya waktu, mekanisme produksi secara teknis telah melahirkan kemampuan untuk mereplikasi. Maka karya seni kemudian lahir secara massif dan kehilangan fungsi ritualnya. Karya seni pada masa kini hanya hadir sebagai bentuk komunikasi profan. Ia tidak lagi berperan sebagai objek pemujaan agama. Nilai kultus beralih menjadi nilai estetis (khususnya dalam seni yang dipertunjukan). Eksistensi karya seni hadir antara dirinya dan penontonnya 139 Julianti L Parani, 2011, hal.4 162 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (penikmat karya seni). Hal tersebutlah yang kemudian membuka ruang bagi ‘fungsi politis’ dari karya seni.140 Pada momen itu, semboyan l’art pour l’art dilihat oleh Walter Benjamin sebagai teologi negatif. Kemampuan mereproduksi secara teknis dan massif telah menempatkan seni tidak lagi berada pada posisi yang netral, tanpa kepentingan apapun (kecuali kepentingan pemujaan). Seni yang murni telah runtuh. Tergantikan oleh seni yang melangkah dengan fungsi politis. Hal tersebut jelas mengejutkan. Namun itulah kenyataannya. Seni tidak lagi hadir hanya sebagai dirinya, namun juga berbicara untuk hal di luar dirinya. Tarik menarik menyoal perdebatan seni yang politis, ataupun seni yang non-politis, tidak pernah sepi hingga saat ini. Bahkan pertanyaan mengenai keterkaitan antara seni dan politik, bisa kita dapati dalam pengalaman sehari-hari. Misalnya saja, dalam sebuah pembicaraan dengan seorang kawan, selepas menonton sebuah pertunjukan seni, saya menyatakan bahwa pertunjukan tersebut merupakan sebuah karya seni yang sangat politis. Kawan saya kemudian bertanya “memangnya ada karya seni yang tidak politis?” Pertanyaan itu cukup mengganggu pikiran saya. Apakah memang sebuah karya seni acapkali sengaja diciptakan dengan agenda politik tertentu? Apa tidak mungkin sebuah penciptakaan sebuah karya hanya memang hanya dimaksudkan sebagai “seni untuk seni”? Perihal “eni untuk seni”, dalam bukunya yang berjudul seni dan kehidupan sosial, G.V. Plekhanov mengutip sebuah artikel kritis dari Nikolay Gavrilovich Chernyshevsky, seorang tokoh demokrasi revolusioner Rusia, perihal permasalahan tersebut. Gavrilovich mengatakan bahwa ide seni untuk seni sama 140 Khudori Husnan, Merosot Aura Kebangkitan Seni Politik: Sketsa Falsafat Walter Benjamin, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013 163 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI asingnya, dengan ungkapan seperti kekayaan untuk kekayaan, ilmu untuk ilmu, dan sejenisnya. Menurutnya, semua kegiatan manusia mesti mengabdi pada kemanusiaan. Semua itu bertujuan agar apapun yang dilakukan oleh manusia tidak akan berakhir menjadi pekerjaan yang sia-sia dan keisengan belaka. Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa sesungguhnya kekayaan itu ada, agar manusia dapat menarik keuntungan darinya. Ilmu itu ada agar menjadi pedoman bagi kehidupan manusia, dan seni itu ada untuk mengabdi pada tujuan yang lebih berguna. Bukannya hanya menjadi kesenangan yang tiada manfaatnya.141 Sama halnya dengan seni, yang kini menjelma sebagai laku kerja dengan tujuan yang jauh lebih luas, dan lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia. Salah satunya tujuan politik. Tidak dipungkiri, selalu ada upaya menempatkan seni sebagai upaya yang lebih dari sekedar seni. Seperti halnya fungsi seni dalam kethoprak, yang memuat permasalahan sosial politik masyarakatnya. Contohnya saja pada masa rejim Orde Baru, kethoprak sempat digunakan sebagai penyambung lidah kekuasaan. Pada kala rejim itu tumbang, hampir semua insan seni berbondong-bondong mengusung tema reformasi di segala lini, begitu pun kelompok-kelompok kethoprak. Pasca reformasi, Indonesia dibanjiri oleh karya seni yang berbau politis. Melihat fenomena semacam itu, Lono Simatupang berpendapat bahwa setiap aktivitas seni itu sendiri pada dasarnya merupakan aktivitas politis. Bukan dua hal yang terpisah. Pada titik ini, politik tidak dimengerti sebatas ideologi tertentu. Politik dipahami sebagai praktik relasi kuasa yang berlangsung dalam pembentukan makna, nilai dan tindakan yang mengikutinya. Ia menambahkan, bahwa hal tersebut terjadi karena peristiwa seni 141 G.V. Plekhanov, 1957, Seni dan Kehidupan Sosial, Foreign Languages Publishing House. Moscow, hal.1 164 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI senantiasa mengarahkan pemaknaan, penilaian, dan menuntun perlakuan tertentu demi menanggapi suatu gejala atau pun ide. Pengarahannya disampaikan melalui berbagai teknik dan teknologi. Baginya, seni adalah kata kerja, bukan kata benda.142 Sehingga seni itu selalu bermakna. Seni bukanlah sesuatu yang begitu saja mati setelah diproduksi. Seni sendiri adalah kerja tiada henti, menuju titik tertentu sebagai orientasi. Tidak ada seni yang tanpa makna (nonsense)! Pendapat itu rasanya tidak berlebihan. Albert Camus, dalam tulisannya yang berjudul Seni dan pemberontakan, berpendapat bahwa mungkin saja kita dapat mengutuk ketidakadilan, dan menuntut suatu keadilan total, melalui perlawanan atau pemberontakan. Kala seni menuntut keadilan, tidak lantas membuat kita menilai bahwa dunia telah menjadi buruk secara total. Sama halnya pada saat seni mempertanyakan tentang kenyataan (ketidakadilan), tidak lantas membuat seni menjauhi kenyataan tersebut.143 Seni yang tidak menjauhi kenyataan dan mempertanyakan ketidakadilan, melahirkan pemberontakan. Seni selalu menghadirkan gairah untuk melawan dan memberontak. Karena sesungguhnya sebagian urgensi pemberontakan itu bersifat estetik.144 Pemberontakan yang estetis. Sepertinya kita akan susah-susah gampang mendapatinya di wilayah kesenian. Pada bab II sempat disebutkan bahwa hampir semua lini kesenian memunculkan seniman yang lantang membicarakan pemberontakan melalui karya yang diciptakannya. Namun terlalu dini kiranya bila 142 tulisan ini dipresentasikan Lono Simatupang dalam peluncuran buku Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, dengan judul “kajian (tentang) Seni Pertunjukan Indonesia, di Kampus II Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 5 Desember 2014. 143 Albert Camus, 1998, Seni- Politik dan Pemberontakan, Bentang Budaya, Yogyakarta, hal. 9 144 Albert Camus, 1998, hal 4-5 165 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kita menyatakan bahwa semua karya seni memilik karakter yang sama. Sehingga ada baiknya bila kita menunda barang sebentar, untuk membuat kesimpulan prematur tentang hal tersebut. Pada proses penundaan tadi, kita coba melihat pada lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, dan memeriksa kembali, apakah ada unsur pemberontakan di dalamnya. C. Pembentukan Blok Historis di Atas Panggung Mangersari dan Ledhek Bariyem, di dalam keduanya, sekilas kita seakan mendapati lakon kethoprak yang sama dengan lakon-lakon lainnya. Standar estetiknya tidak terlalu berbeda dengan lakon lainnya. Walau ada pengembangan, dengan memasukkan unsur teknologi dan dramaturgi yang biasa digunakan dalam pertunjukan teater modern. Selain menjadi salah pentunjukan yang menghibur dengan pengembangan di beberapa titik, baik Magersari maupun Ledhek Bariyem, dipandang memiliki misi lain yang jauh lebih serius. Pandangan tersebut kiranya tidak meleset, karena keduanya memang dipentaskan dalam kaitannya dengan peristiwa politik baik di kota Yogyakarta pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya. Berkaitan dengan peristiwa politiknya masing-masing, kedua lakon tersebut berupanya mengajukan kritik politiknya secara khas. Kritik yang jauh lebih muah diakomodir dalam kethoprak garapan. Seperti yang diungkapkan dalam wawancara dengan Bondan Nusantara, menurutnya kethoprak format ini jauh lebih fleksibel dalam membahas isu-isu tertentu, agak berbeda dengan kethoprak format konvensional. Ia mengakui bahwa kecenderungannya memilih format kethoprak ini, adalah karena adanya misi dan pesan tertentu yang hendak 166 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI disampaikannya kepada penonton. Menurutnya, banyak isu sosial-politik kontemporer yang dapat diwadahi melalui kethoprak garapan. Kemampuan para seniman mengungkapkan kritik, gugatan atau pesan politiknya melalui kethoprak, menunjukkan bahwa kesenian berperan penting dalam pembentukan pemahaman khalayak penontonnya. Magersari dan Ledhek Bariyem, sebagai 2 (dua) dari sekian banyak lakon kethoprak, dalam pementasannya memasukkan beberapa konsep tentang apa yang ideal, yang dianut oleh mereka seniman) maupun oleh masyarakat luas. Konsep-konsep semacam itu ditanamkan secara terus-menerus baik pada saat itu, maupun pada masa sebelumnya, atas nama tradisi. Bila kembali melihat kembali pada istilah blok historis yang diperkenalkan oleh Gramsci, kita akan dapat melihat adanya kesamaan cara kerja dari kesenian ini, dengan hegemoni. Gramsci melihat bahwa hegemoni cenderung masuk pada ruas-ruas kehidupan masyarakat, hingga membentuk kesadaran (palsu), yang diyakini sebagai sebuah kebenaran. Kesadaran semacam menginternalisasi ideologi kelas penguasa melalui jalur adalah agama, kebudayaan, dan pendidikan. Internalisasi yang bersifat terus menerus pada akhirnya akan mengambil persetujuan dan kepatuhan masyarakat. Di sini, rakyat mengamini ideologi, sebagai sebuah kebenaran. Blok historis membentuk suatu kesatuan tujuan atau keinginan, yang diusung oleh kepemimpinan intelektual dan moral, dalam konteks hegemoni politik dan budaya.145 Dalam pandangan Marxisme klasik, kesadaran palsu semacam itu dianggap sebagai segala hal yang menghalangi yang 145 Daniel Hutagalung, 2008, hal. xxv 167 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI didominasi146, dalam upayanya menemukan kebenaran, terutama kebenaran dalam situasi hidup mereka. Kesadaran palsu ini, memblokir pengetahuan mereka tentang fakta bahwa mereka ditindas.147 Pertanyaan yng kemudian muncul: apakah benar lakon Magersari dan Ledhek Bariyem memang secara aktif membentuk blok historis kepada khalayak penontonnya? Lantas bagaimana dengan nilai ideal yang mereka usung untuk mendidik masyarakat, melalui pertunjukannya? Ada baiknya kita sisir satu persatu nilai ideal yang muncul di panggung dan yang dituturkan oleh para responden dari penelitian ini. C.1. Guyub Rukun Demi Siapa? Kita mulai dari nilai Guyub Rukun, yang secara eksplisit diangkat sebagai konsep acara pementasan kethoprak lakon Magersari. Lakon yang dipentaskan di beberapa kampung di wilayah kota Yogyakarta ini, menurut Bondan Nusantara adalah salah satu upaya meredam kemungkinan pecahnya konflik antar kelompok masyarakat, pasca momen pemilihan walikota Yogyakarta di tahun 2007. Pada kenyataannya, setelah peristiwa politik itu terlewati, tidak didapati konflik yang berarti antara kelompok masyarakat. Kondisi aman tersebut, ebelum dapat dipastikan apakah karena efek dari pementasan lakon Magersari atau bukan. Bondan Nusantara, selaku penulis naskah dan sutradara Magersari, mengatakan bahwa ia mengangkat kerukunan sebagai tema sentral dalam lakonnya. Tema tersebut masuk dalam beberapa dialog di dalam lakon. Misalnya 146 147 Daniel menggunakan kata kelas pekerja pada tulisannya. Daniel Hutagalung, 2008, hal. xx 168 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dialog yang diungkapkan oleh Karto Bendho, kala melerai 2 (dua) kelompok anak muda yang sedang bertikai. Berikut petikan dialognya: “Meneng !!!!!..... Mingkem!!! Dha isa mingkem ora ???! .....Cah enom, ...anake wong nggenah, ....mangan sekolahan,.... lha kok cupet pikire!...Kowe ki dha ngerti ora, nek urip tunggal sak kampung kuwi kudu guyup? Kudu ngerti tepa selira, ajen ingajenan, ora mbedakmbedakke sing mlarat karo sing sugih, sing elek karo sing apik, sing cacad karo sing ora cacad!....Ngerti ora????” (Diam !!!!....Tutup mulut kalian!!! Bisa diam atau tidak???! … Anak muda,…anak orang baik,… orang yang berpendidikan,… lha kok pikirannya sempit!... kamu semua paham atau tidak, bila hidup bersama dalam satu kampong itu harus rukun? Harus paham tepa selira, hormat menghormati, tidak membedakan antara yang miskin dan yang kaya, antara yang jelek dan yang bagus, antara yang cacat dan yang tidak cacat…paham atau tidak????). Dalam wawancaranya, Bondan mengatakan bahwa proses pembuatan naskah, termasuk peletakan ide mengenai tema dan mekanisme pementasan, dilakukannya bersama beberapa kawan di Genitama. Ia mengatakan bahwa nilai yang diangkat, yaitu kerukunan dalam keberagaman adalah nilai dasar masyarakat Jawa, yang seringkali terabaikan oleh karena kepentingan politik dari kelompok tertentu. Seperti yang sempat saya tuliskan pada bab III, Bondan maupun Baso Rangga (salah seorang pemain lakon Magersari), menyatakan bahwa pementasan tersebut merupakan bagian dari usaha mereka sebagai seniman, untuk mengingatkan masyarakat mengenai pentingnya tenggang rasa dalam perbedaan. Karena sumber konflik antar kelompok masyarakat sedianya dikarenakan oleh perbedaan. Pada Magersari, Bondan ingin menunjukan bahwa ada banyak ragam manusia yang hidup bersama, dan mampu membangun paseduluran. Tidak jauh berbeda dengan Magersari, Ledhek Bariyem pun, menyentuh isu mengenai kerukunan. Walau bukan sebagai tema sentral, namun kita dapat 169 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menangkap dengan mudah, bahwa pembicaraan mengenai hal itu hadir di dalam pementasan. Cerita pertikaian antar calon lurah yang berupaya mengambil kepercayaan dari masyarakatnya pun, menyinggung permasalahan kerukunan dan toleransi dalam menentukan orientasi politik mereka. Keduanya sama-sama mengarahkan khalayak penontonnya untuk tidak mengabaikan vitalnya kondisi aman, damai dan harmonis dalam masyarakat, terutama dalam kaitannya dengan peristiwa politik pada saat itu. Hal tersebut hampir sama dengan filosofi Jawa yang tercermin dalam ungkapan hamemayu hayuning bawono. Secara harfiah, arti hamemayu hayuning bawono adalah membuat dunia menjadi hayu (indah) dan rahayu (selamat dan lestari). Makna yang lebih dalam dari ungkapan ini adalah sikap dan perilaku manusia yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian, dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam lingkungannya. Muara dari sikap hamemayu hayuning bawono ini adalah terwujudnya masyarakat yang tata, tentrem, kerta raharja.148 Sekilas tidak ada yang salah dengan nilai guyub rukun. Guyub rukun sebagai prinsip dasar hidup bermasyarakat orang Jawa, tidak bisa dibantah sebagai sebuah prinsip yang positif. Bagaimana tidak? Siapa yang akan menyangkal bahwa bila nilai kerukunan, kebersamaan dan keharmonisan antar anggota masyarakat adalah nilai yang baik dan patut dipertahankan dan dipelihara. Dengan memelihara nilai-nilai tersebut, hubungan antar anggota masyarakat, mampu menghasilkan sesuatu yang jauh lebih produktif. Karena masyarakat dapat dengan damai menjalankan hajat hidupnya, tanpa adanya konflik yang mengganggu 148 Imam Subkhan, 2007, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya, Impluse-Kanisius, Yogyakarta, hal. 60 170 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mereka. Namun pada kali ini, kesadaran yang ditanamkan melalui kedua lakon tersebut, harus dilihat dalam frame yang berbeda. Seperti yang dikatakan oleh Franz Magniz Suseno, bahwa jikalau tatanan dilanggar, yang salah satunya adalah hidup rukun, maka kondisi masyarakat akan khaos. Akan tetapi kondisi rukun dan harmonis, tidak dapat menjauhkan manusia dari kondisi dasarnya, yaitu berbeda. Perbedaan acapkali menjadi titik awal dari konflik. Dalam buku kumpulan tulisan yang berjudul Religious and Ethnics Conflicts in Indonesia: Analysis and Resolution, Kris Herawan Timotius mengutip pernyataan dari Dr. Rudolf Ficker, perwakilan dari OSW/ EED Jerman, mengenai pentingnya posisi konflik dalam kehidupan manusia. “ (...) Conflicts belong to human life, there is no society without conflict, even within societies wich are religiously and ethnically more or less homogeneous one can find conflicts. To assume that there is life without conflict would be unrealistic. But this is exactly the reason why procedures for dealing with conflicts must be developed....”149 Menurut S.N Kartikasari, konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Karena itu konflik tetap berguna, apalagi karena memang merupakan bagian dari keberadaan kita. Dari tingkat mikro, antarpribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat, dan negara, semua bentuk hubungan manusia- sosial, ekonomi dan kekuasaan- mengalami 149 Kris Herawan Timotius, 2005, Religious and Etnichs Conflicts in Indonesia: Analysis and Resolution, Satya Wacana Cristian University, Salatiga, hal. 10 171 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pertumbuhan, perubahan dan konflik. 150 pada fase ini, konflik menjadi amat berguna bagi pola hubungan antar manusia, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat. Konflik berguna untuk menstimulasi hubungan menjadi jauh lebih produktif dan kreatif. Namun selain sisi positif itu, pada sisi yang berbeda konflik dapat bersifat destruktif, terutama bila disertai aksi kekerasan. Harus digarisbawahi bahwa konflik tidak selalu berbanding lurus dengan hadirnya kekerasan. Lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, diarahkan untuk menanamkan kesadaran semacam itu. Keduanya mengajak khalayak penontonnya, untuk mengamini bahwa hidup damai tanpa konflik adalah konsensus bersama. Seperti yang diungkapkan oleh Raden Surya, dalam lakon Magersari di bawah ini: “Manggon onten kampung niku kudu nganggo landhesan werna telu. Siji, guyup rukun. Loro, ajen ingajenan. Dene sing kaping telu, nganggo tepa selira.... Kabeh niku mengku teges ”ora kena mbedakmbedakke siji lan liyane.” ...Embuh sampeyan Jawa, Sunda, Cina, Arab napa Batak, Kabeh duwe hak padha ing bab napa mawon. .... Mulane, rehne lelakon niki pun rampung, mangga sami memuji. Mugi-mugi, Guyub Kampung niki dadi srana manunggale kabeh warga sing mapan onten kampung niki”. (tinggal di kampung harus berdasar pada 3 (tiga) landasan. Pertama, guyub rukun. Dua, hormat menghormati. Dan yang ketiga, toleransi….semua itu artinya “tidak boleh membedakan satu dengan lainnya.” …Entah kamu orang Jawa, Sunda, Cina, Arab ataupun Batak, semua mempunyai hak yang sama pada hal apapun… Oleh karena itu, masalah ini telah sudah selesai, silahkan saling menghargai. Semoga, guyub kampung ini menjadi sarana persatuan seluruh warga yang bermukim di kampung ini). Kondisi damai tanpa konflik jelas impian banyak orang. Saat semua orang menginginkan damai, kondisi damai semacam apa yang hadir di antara mereka? apakah mereka benar-benar dapat terbebas dari konflik? Ingat! Kondisi konflik 150 S.N Kartikasari, 2000, Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, The British Council Indonesia, Jakarta, hal. 4 172 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI selalu dibutuhkan dalam masyarakat, untuk meningkatkan eskalasi sikap kritis. Menurut Novri Susan, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, konflik terbuka dan tanpa kekerasan, selalu menghasilkan masyarakat yang kreatif dan produktif. Upaya-upaya menciptakan kondisi konflik yang absen di masyarakat, akan mengarah pada status quo perdamaian. Kondisi semacam ini dapat berbahaya, terutama jika masyarakat sudah enggan untuk menghasilkan konflik yang produktif, semata demi menjaga guyub rukun yang ditanamkan sebagai tradisi. Merunut pada pertnyataan Novri Susan di atas, konflik diperlukan sebagai mekanisme sehat dalam bermasyarakat. Namun lagi-lagi ditekankan sejauh konflik tersebut tidak menggunakan kekerasan. Pada fase ini, kita dapat kembali menggunakan frame pembentukan blok historis. Dimana kedua lakon bekerja dengan memberi pemahaman bahwa tidak ada jalan lain dalam bermasyarakat, selain mngusung semangat guyub rukun. Pengetahuan mengenai konflik di dalam masyarakat yang kritis dan sehat, dibuat absen. Masyarakat menjadi apatis dan takut terhadap konflik. Pada kondisi selanjutnya, masyarakat cenderung menjadi tidak berani mengajukan keberatan pada perbedaan-perbedaan di antara mereka. Hanya karena takut dicap sebagai pihak yang melanggar toleransi dan prinsip kerukunan di dalam masyarakat. Alih-alih menghormati keberagaman, ajakan guyub rukun berpotensi menjadi sikap yang menyeragamkan. Guna meredam gejolak penolakan terhadap perbedaan. Keguyuban sebagai konsep ideal yang diajukan dalam kedua lakon, harus dilihat dari sudut kepentingan yang menyuarakannya. Kita tidak dapat melepaskan diri dari latar penutur konsep, maupun kepentingan yang melatarbelakanginya. 173 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kita ambil contoh pada masa Orde Baru, keguyuban, kerukunan dan toleransi acapkali digunakan untuk memperoleh kepatuhan masyarakat, demi menjaga keamanan dan ketertiban di antara mereka. Alih-alih menjaga kondisi di masyarakat, rejim menggunakan kepatuhan masyarakat guna menjaga stabilitas kekuasaannya. Konsep keguyuban digunakan sebagai mekanisme untuk menekan kemungkinan adanya perbedaan pendapat, atau ketidaksetujuan atas hegemoni dominan. Pada masa pasca reformasi, cara-cara penundukan semacam itu tidak benar-benar ditinggalkan. Nilai positif dari keguyuban, menjadi negatif bila digunakan untuk menghilangkan perbedaan pendapat, atau ketidaksetujuan pada keputusan kelas penguasa. Pada masa pementasan Magersari yaitu tahun 2011, adalah tahun dimana penguasa daerah dan masyarakat Yogyakarta sedang menunggu kepastian dari penetapan status keistimewaan wilayah ini. Ada banyak kelompok yang mendukung, namun tidak sedikit pula yang kontra. Suara masyarakat terpecah. Mereka memiliki argumentasinya masing-masing. Kondisi ini yang kiranya dilihat sebagai salah satu potensi perpecahan dan konflik di masyarakat. Hingga didoronglah upaya-upaya untuk mencegah konflik, tanpa harus melalui gejolak pertentangan pendapat antar masyarakat Yogyakarta. Dalam Magersari misalnya, khlayak penonton digiring untuk menerima keistimewaan beserta pemimpinnya sebagai sesuatu yang diperjuangkan, tanpa diikuti pemikiran mengenai konsekuensi dari pilihan itu. Keadaadn itu mengingatkan kita pada ajaran sikap hidup nrimo ing pandum. Ajaran ini mengajurkan manusia untuk bersikap menyerah terhadap nasibnya, karena segala sesuatu telah ditentukan oleh nasib. Manusia sebaiknya 174 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mempercayai bahwa segala macam persoalan sudah diatur oleh kekuatan gaib, yang bersifat selaras dan abadi. Seperti pada siklis auto cakra manggilingan. Oleh karena itu segala perbuatan dan tingkah laku manusia sebaiknya diselaraskan dengan tatanan alam. Karena sikap yang selaras dengan tatanan alam akan dinilai baik dan jujur.151 Sikap positif ini, menjadi alat budaya untuk menyeragamkan pendapat yang yang beragam, menjadi sikap yang menyerahkan pada nasib, dan titah pemimpin atau penguasa. C.2. Moral Pemimpin Sebagai Fokus Pembicaraan Baik dalam lakon Magersari, maupun Ledhek Bariyem, keduanya menyinggung permasalahan kepemimpinan. Tidak mengherankan, karena keduaduanya, baik secara disengaja atau pun tidak, dipentaskan pada pada masa sebelum peristiwa politik berlangsung. Pemilihan walikota Yogyakarta pada tahun 2012, dan Pemilihan presiden Republik Indonesia pada tahun 2014. Meski dimaksudkan menjadi bentuk kampanye damai sebelum masuk pilkada, Magersari tidak terlalu banyak menyentuh permasalahan mengenai kekuasaan. Kecuali pada cerita mengenai Jaya Kenthus, yang menjabat sebagai pengelola tanah Magersari, ternyata melenceng dari amanat jabatannya. Lakon ini sekiranya hendak memotret, persoalan yang biasa kita temui pada perilaku para penguasa atau pemimpin. Jaya Kenthus berlaku sewenang-wenang pada masyarakat Magersari. Kita dapat melihatnya pada dialog yang disampaikan Raden Surya, pada Jaya Kenthus: 151 Rachmat Susatyo, 2008, hal 50-51 175 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI “Beine Kenthus. Nggonmu tak percaya ngrumat lemah sing dinggoni para Magersari iki, jebul ming kok anggo piranti nggonmu arep kemaki lan sewenang-wenang! Mangka kowe ngerti. Lemah iki paring ndalem Ingkang Sinuwun marang aku. Lan kowe sing tak percaya ngrumat. Ning kena apa kok salah gunakke dinggo numpuk kesugihan? Apa kowe lali nek Ingkang Sinuwun ora tau gawe cilaka lan sengsarane kawula?” (Bei Kenthus. Kau aku percayakan untuk merawat tanah yang didiami oleh para Magersari ini, tapi ternyata hanya kau pakai untuk alat kesombongan dan kesewenang-wenangan! Kau tau. Tanah ini diberikan oleh Ingkang Sinuwun padaku. Dan kau lah yang aku percaya untuk merawatnya. Namun mengapa kau salahgunakan untuk menumpuk kekayaan? Apakah kau lupa bila sesungguhnya Ingkang Sinuwun tidak pernah ingin membuat celaka dan sengsara rakyatnya? Lain halnya dengan lakon Ledhek Bariyem. Dalam lakon ini, Ari Purnomo menyengaja untuk membicarakan soal perebutan dominasi kekuasaan antara para calon pemimpin di wilayah Klempis Ngasem. Pertarungan antara dua kubu, mengantarkan Bariyem, yang merepresentasikan sosok rakyat, dikorbankan dan diombang-ambing oleh kepentingan para calon pemimpinnya. Erwin, salah satu pemain dalam lakon Ledhek Bariyem, memandang bahwa pertarungan kepentingan antara tokoh pak Lurah Sarjana dan tokoh Pak Warjudi lebih memperlihatkan realita politik saat ini. Seseorang akan melakukan apapun, untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Seperti kala para (calon) pemimpin berjibaku menjaring dukungan, melalui jalan kampanye dan/atau mengintervensi pilihan orang lain. Baik melalui jalan yang sesuai dengan aturannya, atau bahkan yang melenceng jauh dari jalurnya. Terbukti proses perebutan kekuasaan para pemimpin di desa Klempis Ngasem telah mengorbankan Bariyem. Mengutip kembali ujaran Ari Purnomo “ketika dua kekuatan besar beradu, maka rakyat kecillah yang akan menjadi korbannya”. Ajaran RM Pandji Sosrokartono mengenai Digdaya tanpa aji lan menang tanpa ngasorake, yang berarti sakti 176 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tanpa ajian/ilmu kesaktian dan menang tanpa merendahkan orang lain, seakan hanya menjadi sekedar jargon dari masa lalu. Apalagi bila dikontekskan dengan gambaran dari lakon tersebut. Membicarakan tentang politik kepemimpian negeri ini, kita tidak dapat melepaskan diri dari pembahasan mengenai sistem politiknya. Rentang waktu selama 70 tahun, setelah Indonesia merdeka, bukan waktu yang sebentar, namun juga belum dapat dikategorikan lama sebagai sebuah negara. Jatuh bangun pencarian bentuk yang paling ideal sebagai sebuah negara, merupakan tujuan jangka panjang yang tak berkesudahan. Menjadi sebuah negara, jelas menjadikan Indonesia sebagai mangkuk yang mewadahi banyak kepentingan. Dengan meletakkan suara tiap warga negara atau rakyat sebagai satu dari sebagian kesatuan penting dalam negara. Semangat untuk mendengarkan dan melibatkan seluruh rakyat dalam menentukan nasib negaranya, diusung kala Indonesia lahir pada tahun 1945. Pada tahun tersebut, dibangun sistem yang wajib mengikutsertakan setiap warga negara untuk ikut menentukan dan mengupayakan kebaikan bersama. Selepas Indonesia merdeka, negara ini menetapkan diri untuk menganut sistem politik demokrasi liberal. Sistem ini dianggap sebagai salah satu pilihan baik, dari sekian banyak jumlah sistem politik yang dianut oleh banyak negara di dunia. Semangat demokrasi tersebut termaktub dalam Maklumat Pemerintah yang keluar pada tanggal 3 November 1945. Pada maklumat disebutkan bahwa rakyat Indonesia sebagai warga negara, diberi peluang seluas-luasnya untuk berserikat dan berkumpul, dan ikut aktif dalam kehidupan berpolitik. Hingga pada tanggal 5 Juli 1945, keluar Dekrit Presiden yang merubah demokrasi liberal 177 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI berganti menjadi Demokrasi terpimpin. Demokrasi ini bermuara pada keputusankeputusan Soekarno selaku presiden. Setelah tapuk kepimpinanan Indonesia beralih dari Soekarno kepada Soeharto. Demokrasi yang tadinya merupakan demokrasi terpimpin, beralih sistem menjadi demokrasi pancasila dan berlaku hingga sekarang ini. Setelah reformasi, terhitung semenjak tahun 1999, Indonesia yang masih memeluk demokrasi pancasila sebagai sistem politiknya, mulai merubah tata pelaksanaan pemilunya. Tahun 2002 merupakan pijakan politik paling berarti bagi Indonesia. Pengesahan amandemen keempat UUD 1945, berlanjut dengan perubahan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden. Rakyat pada akhirnya dapat memilih langsung pemimpin negara mereka. Pemilu, terutama untuk melaksanakan pemilihan presiden dan wakilnya, diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Diikuti dengan penetapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 mengenai pemilihan kepala daerah dan wakilnya (pilkada), yang juga melibatkan rakyat secara langsung dalam prosesi pemilihannya. Pesta demokrasi, baik itu yang bersifat lokal seperti pilkada, maupun nasional seperti pemilu, setiap rakyat sebagai warga negara ikut ambil bagian. Pada kesempatan itulah, setiap orang dianggap punya suara dan andil penting dalam menentukan arah langkah bangsa ini. Keikutsertaan setiap orang untuk memilih adalah bagian dari aktualisasi kepentingan. Kepentingan di sini jelas merupakan kepentingan politik, yang berpengaruh pada kondisi ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya. Lakon Magesari dan Ledhek Bariyem sama-sama hadir dalam konteks pesta demokrasi. Keduanya (baik dalam pernyataan wawancara, mupun 178 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pertunjukan) berorientasi untuk mendapatkan pemimpin dan masyarakat yang demokratis. Terutama pada Ledhek Bariyem, penonton diajak untuk jauh lebih jeli dalam memilih pemimpin mereka. Pertunjukan yang mengarahkan khalayak penontonnya, pada pola politik demokrasi. Demokrasi menaruh posisi partisipasi masyarakat sebagai hal yang vital. Terutama dengan upaya melibatkan setiap orang pada usaha-usaha untuk menentukan kebaikan bersama. Demokrasi menjadi kawan dalam perjalanan revolusi masyarakat, yang mengusung dan menjunjung tinggi nilai kebebasan (freedom) dan persamaan (equality). Keduanya merupakan nilai yang berarti bagi hubungan sosial yang jauh lebih luas lagi. 152 Namun Alih-alih mengarahkan pada pola pikir kritis guna mencapai kebaikan bersama melalui sistem demokrasi, kedua lakon kethoprak tersebut jauh lebih sibuk mengurusi moral pemimpin yang dicitrakan melalui pertunjukannya. Masyarakat dijauhkan dari pembicaraan mengenai sistem politik, yang semakin dijauhkan dari praktik politiknya. Pembahasan moral pemimpin, dianggap jauh lebih penting, ketimbang sistem politik yang semestinya menjadi acuan bagi pelaksanaan kepemimpin politik. Perdebatan mengenai citra pemimpin, mengarahkan pada konsensus mengenai sekedar pembahasan pemimpin yang baik, dalam standar moral tertentu. Sehingga menutup kemungkinan munculnya pemimpinan yang sesuai dengan semangat demokrasi, namun tidak sesuai dengan standar moral yang dibangun melalui konsensus. Konsensus di sini dapat dipandang melalui skema hegemoni Gramsci, dimana kemungkinan (pemimpin) yang hadir secara berbeda (dari standar moral) akan dieksklusikan melalui pembangunan blok historis. Hal 152 Agus Wahyudi, 2015, Radikalisasi Demokrasi: Arah Gerakan LGBT?, hal.5 179 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tersebut menjadi gambaran pengkhianatan terhadap politik demokratik. Sepertinya, pernyataan Chantal Mouffe mengenai politik demokratik jauh lebih masuk akal melihat kondisi tersebut. Menurutnya, politik demokratik semestinya bukan hanya sebagai perkara menegosiasikan kompromi dan persetujuan di antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Namun bertujuan untuk mencapai konsensus rasional yang sepenuhnya inklusif tanpa eksklusi atau pengecualian.153 Politik demokratik semestinya dapat memberi ruang yang luas pada hal yang dianggap berbeda. Politik demokratik memberikan ruang agar semua orang dapat turut serta membangun potensinya, tanpa terkecuali. Sistem ini bernilai bukan karena sistem pengambilan keputusannya yang lebih baik dibandingkan sistem lain154, akan tetapi lebih menitikberatkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam proses demokrasi tersebut.155 C.3. Magersari, Kepentingan Global dalam Artikulasi Lokal Bagai disambar petir di siang bolong, Budiono, warga Prawirodirjan, Yogyakarta, terdiam ketika surat gugatan Rp 1,12 miliar diberikan padanya oleh petugas Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta, 20 Agustus 2015 silam. Dibacanya berulang-ulang surat itu. Pria 58 tahun itu terus meyakinkan diri jika surat itu salah alamat. Tapi tidak, surat itu benar-benar ditujukan untuknya. “Saya enggak pernah menyangka bakal begini,” ujar laki-laki yang sehari-hari bekerja sebagai tukang duplikat kunci di pinggir Jalan Brigjen Katamso, Gondomanan, Yogyakarta.156 153 Agus Wahyudi, 2015, Radikalisasi Demokrasi: Arah Gerakan LGBT?, hal. 5 Sistem pengambilan keputusan keputusan dalam sistem politik demokrasi diharuskan melihatkan setiap warga negara, baik melalui mekanisme pengambilan keputusan langsung, maupun perwakilan. 155 Agus Wahyudi, 2015, Radikalisasi Demokrasi: Arah Gerakan LGBT?, hal. 3 156 http://www.rappler.com/indonesia/105809-pengusaha-tuntut-pkl-yogyakarta-1-miliar (diakses: 28 Maret 2016) 154 180 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Petikan berita yang diambil dari situs berita online rappler.com itu cukup menarik perhatian banyak orang. Bukan hanya Budiono dan 4 (empat) orang lainnya yang merasa bagai disambar petir, sebagian masyarakat Yogyakarta yang pun merasakan keterkejutan itu. Bagaimana tidak? Budiono yang berprofesi sebagai tukang kunci duplikat, mana mungkin dapat membayar sejumlah uang yang dituntutkan kepadanya. Budiono, Agung, Sugiyadi dan Suwarni, Eka Aryawan karena dituding telah menempati lahan yang digunakan untuk usaha mereka tanpa izin. Pengusaha itu mengklaim tanah tersebut sebagai tanah Magersari yang disewanya semenjak tahun 2011. Dengan berbekal serat kekancingan pada tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Keraton Yogyakarta, Eka menuntut kelima pedagang itu untuk pindah dari tanah yang diklaimnya. Hal tersebut mengejutkan Budiono dan kawan-kawannya. Padahal mereka sudah menempati tanah itu semenjak tahun 1960. Bahkan setelah diusut, dengan melakukan pengukuran tanah oleh pihak kecamatan, tanah Budiono dan yang lainnya tidaklah termasuk dalam luas tanah yang diklaim oleh Eka. Pada tahun 2013, kedua belah pihak sepakat dengan hasil pengukuran itu. Namun alangkah terkejutnya Budiono, ketika hampir 2 (dua) tahun berlalu dari kesepakatan itu, ia mendapat surat gugatan sebesar Rp 1,12 miliar. Pada akhirnya putusan sidang meminta Budiono dan yang lainnya untuk keluar dari tanah yang disengketakan. Kasus Budiono adalah satu dari sekian kasus yang terkait dengan permasalahan tanah Magersari, baik yang termasuk Sultan Ground, maupun Pakualaman Ground. Semenjak pengesahan UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK), muncul permasalahan mengenai penguasaan 181 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tanah di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Lantas apa hubungannya dengan lakon Magersari yang sedang diteliti ini? “Mboten!! Nggen kula wani mbatalke putusan sampeyan merga kula ngerti urik sampeyan! Ngerti pokil sampeyan! ...Sakniki, empun wancine wadi niki kula bukak! Nek sejatine lemah sing dinggoni para Magersari niku dede lemah sampeyan!” (Tidak!! Saya berani untuk membatalkan keputusan anda, karena saya tahu anda curang! Saya tahu kekikiran anda!... sekarang, sudah waktunya persoalan ini saya buka!bahwa sesungguhnya tanah yang didiami oleh para Magersari itu, bukanlah tanah anda!) Cuplikan dialog di atas, dituturkan oleh pemeran Karto Bendho. Seorang mantan bajingan atau mantan preman yang menentang diberlakukannya keputusan Jaya Kenthus, mengenai kenaikan uang sewa tanah Magersari sebesar 300% (tiga ratus persen). Merunut pada masa pementasannya (tahun 2011), semestinya penyataan Karto Bendho juga hadir dalam ruang persidangan yang memposisikan Budiono, Agung, Sutinah, Suwarni, dan Sugiadi sebagai pesakitan. Bila dalam lakon Magersari, pernyataan Karto Bendho dibenarkan dan dimenangkan oleh Raden Surya, selaku bangsawan atasan dari Jaya Kenthus, namun pada kenyataannya, Budiono dibela oleh pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Tidak dibela, apalagi dimenangkan oleh pemilik tanah, yaitu pihak Keraton. Hingga pada akhirnya Budiono dan kawan-kawannya harus menerima pil pahit, menghadapi keputusan pengadilan pada tanggal 11 Februari 2016, yang mengharuskan mereka keluar dari tanah yang ditempatinya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Bondan mengarahkan lakon Magersari pada ranah pembahasan mengenai peristiwa politik di tahun 2011. Dimana masyarakat kota Yogyakarta tengah bergiat memilih calon pemimpinnya. Bondan khawatir bila masyarakat kota Yogyakarta akan mengalami kekisruhan pasca 182 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI peristiwa politik tersebut. Oleh karenanya, ia bersama kawan-kawan dari Genitama bersepakat untuk membuat pementasan kethoprak keliling, dengan misi guyub rukun. Magersari sebagai judul dan tema cerita lakon, terkesan tidak mengemuka sebagai fokus utama dari keseluruhan tema pementasan keliling tersebut. Fokus dari pertunjukan ini terkesan pecah. Antara membicarakan isu (tanah) Magersari dan isu keberagaman (untuk meredam potensi konflik). Kedua hal itu, silih berganti muncul dalam adegan dan dialog yang dipertunjukan ke hadapan penonton. Merunut dari waktu pementasan lakon Magersari yang tidak hanya berdekatan dengan peristiwa politik pemilihan kepala daerah. Pada saat yang sama kondisi provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta juga sedang ramai membahas pro kontra posisi keistimewaan wilayah ini. Sehingga mungkin kita bisa menarik lakon ini dalam sekian banyaknya perdebatan mengenai keistimewaan Yogyakarta. Melihat dari sisi judul, lakon ini memang sengaja mengusung satu tema khusus yang berhubungan dengan status kepemilikan tanah keraton. Meski menyentil permasalahan kerukunan, lakon ini tidak beranjak menjauh dari pembahasan pokok mengenai tanah. Kaitan tema Magersari dengan status keistimewaan Yogyakarta, diungkapkan oleh Bondan Nusantara selaku penulis naskah dan sutradara. Ia mengatakan: “Jangan lupa pada waktu itu juga kita sedang memperjuangkan tentang keistimewaan. (Hal) itu kita masukan dalam satu dialog khusus pada saat tokoh terakhir muncul, tokoh pangeran, bahwa Jogja ini milik raja, tanahnya milik keraton. (Bila) bahwa ada yang tidak sependapat, ya silahkan, Tapi faktanya kan begitu. Kalau tidak ada keraton Jogja, maka tidak akan ada kampung-kampung itu juga. secara halus bahwa (tanah) ini bukan milik kalian, tapi milik sultan. Sultan menghendaki ini (agar) tidak diperebutkan, sebagai alat untuk 183 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menguasai. Tapi tidak secara 100% (lakon) ini mengatakan bahwa ini keistimewaan. tidak.”157 Pernyataan Bondan menyiratkan bahwa permasalahan Magersari dilihat sebagai bagian dari kepentingan untuk mengukuhkan posisi keistimewaan dan titah Raja. Ia menyatakan bahwa keistimewaan adalah hal pokok yang mesti diamini dalam konteks permasalahan pemerintahan wilayah Yogyakarta. Sehingga siapapun yang tidak setuju dengan keputusan semacam itu, harus rela untuk angkat kaki dari wilayah ini. Mendengar pernyataan tersebut, sepertinya kita tidak bisa hanya mengamini posisi lakon Magersari hanya membawa agenda untuk meredam konflik saja. Akan tetapi juga dalam kerangka keistimewaan. Magersari sendiri, sebagai bentuk pengelolaan tanah milik Sultan maupun Pakualam Yogyakarta, melibatkan banyak pihak dan kepentingan. Tercatat semenjak berlakunya UU No 13 Tahun 2012 mengenai Undang Undang Keistimewaan Yogyakarta (UUK), terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam hal penguasaan tanah di wilayah ini. Konsekuensi UUK tersebut adalah dinyatakannya Kasultanan/Pakualaman menjadi badan hukum khusus sehingga dapat memiliki tanah. Badan hukum ini bernama Badan Hukum Warisan Budaya dan bersifat swasta. Sejak saat itu, pihak keraton Yogyakarta mulai menginventarisir kepemilikannya atas tanah yang didasarkan pada Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918. Rijksblad itu berbunyi: “Sakabehing bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun”, artinya, “semua tanah yang tidak ada bukti kepemilikan menurut hak eigendom (hak milik, menurut UU Agraria 1870), maka tanah itu adalah milik kerajaanku”. Sesungguhnya, kedua Rijksblad itu sudah 157 Terdapat pada Bab III, hal. 155 184 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dihapus oleh Sri Sultan HB IX bersama DPRD melalui Perda DIY No 3 Tahun 1984 sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan Diktum IV UU No 5 Tahun 1960 (UUPA). Namun dengan legalitas yang dimiliki keraton dan disahkan dalam UUK, maka kedua Rijksblad (yang sebelumnya sudah dihapus oleh Sri Sultan HB IX) dihidupkan kembali.158 Dampak yang ditimbulkan dari pengaktifan kembali Rijksblad tersebut adalah mekanisme pengambilalihan kepemilikan tanah hutan, pantai, wedi kengser, tanah desa, bahkan tanah yang ditempati oleh masyarakat. Untuk tanah yang ditempati oleh masyarakat, bila hasil pemeriksaan menunjukan bahwa tanah tersebut tidak bersertifikat, maka kepemilikannya akan beralih menjadi milik Kasultanan/Pakualaman. Gerakan penertiban” tanah di Yogyakarta ini, sontak menimbulkan banyak konflik. Kasus Budiono, kasus tanah di wilayah Suryowijayan, sengketa lahan pertanian di Kulon Progo, penataan pantai Parangtritis, dan penyediaan lahan bagi pembangunan bandara di Kulon Progo, adalah sederet dari beberapa kasus lainnya. Pengaktifkan kembali Rijksblad oleh pihak Kasultanan/ Pakualaman, bagi sebagian pihak dianggap telah menjadikan Yogyakarta berada pada kondisi darurat agraria. Tarik menarik kepentingan antara Badan hukum dari Kasultanan/Pakualaman yang telah disahkan oleh Negara, dengan masyarakat pun tidak dapat terhindarkan. UUK dianggap menjadi semacam imunitas, hukum khusus yang memberikan kewenangan dalam pengaturan masalah tanah. Sehingga mulai tahun 2012, permasalahan tanah di Yogyakarta, telah diatur dalam peraturannya sendiri. Tidak mengikuti hukum 158 Gerakan Masyarakat Penerus Amanat Sultan HB IX, UU KEISTIMEWAAN DIY DAN HAK RAKYAT ATAS TANAH YANG DIJAMIN UUPA, http://selamatkanbumi.com/darurat-agraria-yogyakartatinjauan-hukum-atas-situasi-terkini (diakses: 28 Maret 2016) 185 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI positif, yang diatur dalam Undang-udang Agraria yang berlaku secara nasional. Bahkan keputusan serta eksekusi tanah di wilayah ini pun, melibatkan pihak Badan Pertanahan Negara (BPN) Yogyakarta. Bagi masyarakat yang langsung terlibat dengan permasalahan agraria (pertanahan) dengan pihak Badan Hukum Warisan Budaya, mereka tahu dampak lain dari status keistimewaan Yogyakarta. Lantas bagaimana dengan masyarakat umum lainnya? Di sini lah letak kesenian, semacam lakon Magersari bekerja. Dengan memberi pemahaman bahwa status tanah dari keraton adalah sepenuhnya milik Raja, lakon ini membentuk blok historis pada khalayak penontonnya. Masyarakat (khususnya penonton) diberi wejangan mengenai status tanah Magersari yang menjadi bagian dari milik keraton, sebagai tanah yang difungsikan bagi kemaslahatan masyarakat. Pesan khusus mengenai hal itu bisa didapati pada cuplikan dialog yang dituturkan oleh tokoh Raden Surya, terutama kala ia mendapati Jaya Kenthus hendak menaikan uang sewa Magersari. Demikian dibawah ini cuplikannya: Beine Kenthus. Nggonmu tak percaya ngrumat lemah sing dinggoni para Magersari iki, jebul ming kok anggo piranti nggonmu arep kemaki lan sewenang-wenang! Mangka kowe ngerti. Lemah iki paring ndalem Ingkang Sinuwun marang aku. Lan kowe sing tak percaya ngrumat. Ning kena apa kok salah gunakke dinggo numpuk kesugihan? Apa kowe lali nek Ingkang Sinuwun ora tau gawe cilaka lan sengsarane kawula? ...Coba etungen. Pira akehe siti kagungan ndalem sing dililakke dinggo kawigatene kawula? Pira akehe sekolahan, rumah sakit, pasar lan papan liyane sing dibangun neng sak ndhuwure siti kagungan ndalem Ingkang Sinuwun?” (Bei Kenthus. Kau aku percayakan untuk merawat tanah yang didiami oleh para Magersari ini, tapi ternyata hanya kau pakai untuk alat kesombongan dan kesewenang-wenangan! Kau tahu. Tanah ini diberikan oleh Ingkang Sinuwun padaku. Dan kau lah yang aku percaya untuk merawatnya. Namun mengapa kau salahgunakan untuk menumpuk kekayaan? Apakah kau lupa bila sesungguhnya Ingkang Sinuwun tidak pernah ingin membuat celaka dan sengsara rakyatnya? Coba hitunglah. Berapa banyak tanah milik ndalem yang 186 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI direlakan untuk kepentingan rakyat? Berapa banyak sekolah, rumah sakit, pasar dan bangunan lainnya yang dibangun di atas tanah milik ndalem Ingkang Sinuwun?) Kalimat Raden Surya mengenai penggunaan tanah yang dipergunakan untuk sekolah, rumah sakit, pasar dan banyak bangunan fasilitas umum lainnya, memang tidak dapat dibantah. Namun kita tidak dapat menutup mata bahwa Badan hukum Warisan Budaya yang bersifat swasta, mengambil peran untuk mengelola tanah bagi kepentingan ekonomi, dari skala kecil hingga skala besar. Kepentingan ekonomi skala besar yang melibatkan provinsi Yogyakarta, salah satunya adalah pemberlakukan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI yang pada pokoknya bertumpu pada upaya untuk melakukan reorganisasi ruang dalam rangka memperlancar interaksi dan aliran kapital, barang dan tenaga kerja untuk aktivitas produksi-konsumsi.159 Masuknya Yogyakarta dalam skema MP3EI yang berskala nasional, mau tidak mau membuat wilayah ini menyiapkan segala sesuatu yang mendukungnya. Upaya untuk menyediakan “lahan” adalah salah satunya. Sebagian dari lahan ini adalah lahan yang disengketakan, misalnya lahan tambang, lahan ruang distribusi dan transportasi (salah satunya bandara), lahan perhotelan dll. Kehadiran MP3EI mempertegas pola pembangunan ekonomi dan industri Indonesia yang semakin berjalan ke arah melayani korporasi raksasa dan memfasilitasi pasar bekerja. MP3EI dan mendayagunakan struktur birokrasi pemerintah menjadi panitia pelaksana di tingkat nasional, propinsi, hingga kabuapten. Dalam kasus pembangunan infrastruktur, semakin terlihat bahwa infrastruktur memang telah bergeser fungsi, oleh siapa dia dilakukan, dan untuk apa dia dibuat. Jika dulu diasumsikan bahwa infratsruktur merupakan barang publik yang wajib disediakan oleh pemerintah 159 Noer Fauzi Rachman dan Dian Yanuardy, 2014, Dapatkah Indonesia Bebas dari Kutukan Kolonial? (Refleksi Kritis atas MP3EI) Working Paper Sajogyo Institute No. 16, Sajogyo Institute, Bogor, hal. 3 187 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI untuk keselamatan dan kesejahteraan rakyat, maka kini infrastruktur adalah barang publik yang disediakan oleh negara maupun korporasi dan digunakan utamanya untuk kepentingan industri. Apalagi, pembangunan infrastruktur dilakukan dengan cara memangkas subsidi rakyat dan menambah hutang di satu sisi, dan memberi berbagai macam fasilitas dan insentif kepada para pengusaha di sisi lain.160 Latar belakang penyusunan MP3EI, dimulai dengan adanya kebijakan Asean China Fair Trade Area (ACFTA). Pada kebijakan ini, diberlakukan pembebasan 8626 pos tarif perdagangan antara Indonesia, China, dan 5 negara ASEAN lainnya di tahun 2004, kemudian secara bertahap terus dilakukan hingga puncaknya bertambah sebanyak 1696 pos tarif di tahun 2010. Di pasar industri, Indonesia kalah menghadapi hasil industri China. Di sinilah Indonesia mengalami kerugian berupa deindustrialisasi. Respon pemerintah terhadap kondisi itu, adalah dengan mencari jalan lain, demi menaikan posisi ekonominya. Maka disusunlah MP3EI. MP3EI disusun berdasarkan optimisme pemerintah dalam melihat posisi Indonesia di mata internasional. Diharapkan keberadaan masterplan ini mendorong visi Indonesia menjadi 10 negara terbesar dunia di tahun 2025. Program ini memetakan dan menciptakan Koridor Ekonomi Indonesia, yang terdiri dari 6 (enam) pusat ekonomi di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku-Papua, Bali-Nusa Tenggara. Visi yang diusung adalah Locally Integrated Globally Connected. Strategi yang diterapkan adalah menghubungkan antar pusat ekonomi (termasuk daerah terpencil), agar terbangun hubungan ekonomi yang efektif. Mengusung keterhubungan secara global, MP3EI memberi peluang yang besar kepada investasi asing. Dalam MP3EI, fokus pembangunan infrastruktur berorientasi kepada sektor besar, BUMN, BUMD dan swasta besar. Di antaranya 160 Noer Fauzi Rachman dan Dian Yanuardy, 2014, hal.3-4 188 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mengenai kebijakan pro-liberalisasi, karena kebutuhan dana yang mencapai 4000 T sampai tahun 2004. 161 Permasalahan tanah di wilayah Yogyakarta, salah satunya Magersari, masuk dalam skema pembahasan kepentingan yang jauh lebih besar, dari sekedar isu lokal. Penerapan program dari MP3EI, mau tidak mau menjadikan isu lokal ke dalam skenario kepentingan global. Masuknya investasi asing, atas nama program percepatan pembangunan nasional, mendorong para pemilik asset lokal untuk menyediakan diri dalam roda kerja global. Lakon Magersari, memang tidak langsung menyasar pada pembicaraan mengenai program ekonomi nasional atau menyentuh tataran perbincangan mengenai kepentingan pasar global. Namun melalui bahasa dan seni lokal, (pendukung) lakon ini ikut andil untuk membentuk konsensus yang diamini dan dianggap sebagai kebutuhan oleh masyarakat. Lakon ini hadir pada masa Undang-undang keistimewaan sedang panas dibicarakan oleh banyak orang. Kita tidak bisa untuk tidak menghubungkannya dengan permasalahan ini. Terlebih lagi judul dan tema yang diangkat ke atas panggung pertunjukan, sangat bertautan dengan apa yang terjadi di Yogyakarta pada kala itu. Kita tidak bisa menutup mata, melihat bahwa lakon ini ada “dalam rangka” status keistimewaan Yogyakarta. Bondan Nusantara sendiri mengakuinya. Sehingga dalam kaca mata hegemoni, lakon ini ikut dalam mekanisme blok historis: melalui jalan kesenian, masyarakat )khususnya khalayak penonton) diajak untuk membangun kesadaran, sekaligus konsesus bersama. Pembangunan konsensus berupa: mengakui bahwa titah raja mengenai pemberlakuan Riksblad, pengambilalihan tanah dan kebijakan yang berkaitan 161 Sumber: KASTRAT, http://km.itb.ac.id/site/kajian-pro-kontra-mp3ei-bagi-pembangunanindustri-nasional (diakses: 28 Maret 2016) 189 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dengan kepentingan ekonomi global adalah keputusan berorientasi pada kemaslahatan masyarakat Yogyakarta secara umum. D. Intelektual Tradisional dari Ranah Tradisional Membicarakan secara panjang lebar mengenai kethoprak, khususnya lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, terus terang membuat saya terseret pada semesta pertanyaan mengenai apa yang diimpikan manusia Jawa pada masa lalu, dan tetap dihidupkan dimasa sekarang ini. Pertanyaan selanjutnya yang muncul dalam benak saya adalah: masih relevankan kah? Terlebih lagi bila semangat kethoprak, baik yang dipentaskan di atas panggung pertunjukan maupun melalui tutur para seniman yang terlibat di dalamnya, terkesan masih berupaya kritis terhadap permasalahan sosial politik pada masa sekarang ini. Sejarah kethoprak memperlihatkan, betapa kesenian ini tidak pernah lepas dari konteks sosial politik yang terjadi di masyarakat, di setiap jaman. Dimulai dari masa penjajahan Belanda, kesenian dicurigai sebagai bagian dari gerakan subversif. Hingga sempat mengalami pelarangan pertunjukan. Lantas pada masa penjajahan Jepang, kethoprak dipakai sebagai alat propaganda “saudara tua”, guna mengajak rakyat Indonesia untuk memusuhi para bangsawan yang pro penjajah Belanda. Konflik horizontal diciptakan melalui kethoprak. Masuk pada masa Orde Lama, saat Soekarno menduduki jabatan presiden, lanskap kesenian terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu: Lembaga Ketoprak Nasional yang berafiliasi dengan PNI, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang berafiliasi dengan PKI. Di masa itu, kethoprak menjadi salah satu kesenian penting yang digunakan 190 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sebagai ala pendidikan politik dan budaya rakyat. Hingga pada tahun 1965, seniman dan komunitas kethoprak yang berada dalam naungan LEKRA menerima dampak dari peristiwa besar di tahun tersebut. Mendadak kondisi politik itu, memaksa para seniman kethoprak untuk absen sementara waktu. Lantas kepemimpinan berganti, rejim Orde Baru menerapkan gaya politik budaya yang berbeda. Hampir semua wilayah kehidupan, tak terkecuali kesenian, diawasi secara ketat. Tidak boleh ada ruang bagi ideologi “terlarang” yang masuk dalam ranah kesenian. Kethoprak menjelma menjadi alat propaganda pembangunan Orde Baru. Terbukti dengan berkembangnya 2 (dua) kelompok kethoprak yang dihidupkan dan dibesarkan oleh organ-organ militer penguasa. Pesan dan laku lakon yang dipentaskan harus sesuai misi kekuasaan. Ketika rejim Orde Baru tumbang, dan Soeharto lengser ke prabon, momen ini dirasa menjadi angin segar. Kethoprak perlahan mulai mencari format yang sesuai dengan masyarakat dan masanya. Dinamika perjalanan kesenian ini, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, mengalami proses yang naik-turun serta lancar-tersendat. Akan tetapi dari kesemuannya, kethoprak hampir selalu memasukkan isu kehidupan masyarakatnya, salah satunya politik. Menilik kembali sejarah kethoprak, dari semenjak penjajahan Belanda, hingga seterusnya, peran seniman, sama pentingnya dengan peran-peran para guru di setiap masanya. Kethoprak pada masa sebelum Orde Baru khususnya, mengambil posisi penting dalam transformasi pengetahuan. Baik sosial, politik maupun budaya. Khusus bagi masyarakat penutur bahasa Jawa. Seniman sebagai salah satu corong kesenian, mengambil posisi sebagai pendidik dan pengemban 191 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI amanat untuk menyebarluaskan wacana, baik yang dipikirkannya secara mandiri, maupun yang dihasilkan dari buah pikir pihak lain. Mengenai penyebarluasan buah pikir yang dihasilkan oleh pihak lain, kethoprak tidak bisa menghindarinya. Sebagai kesenian yang dekat dengan rakyat, kethoprak acapkali diposisikan sebagai media untuk menyebarluarkan pandanganpandangan tertentu. Tidak hanya pandangan yang berasal dari kearifan ajaran budaya Jawa. Pada pembahasan mengenai seniman ini, ada baiknya kita menunda untuk melihat kedua lakon yang menjadi titik sentral dalam penelitian ini. saya ingin mengajak untuk melihat porsi seniman dalam gerak kesenian mereka, dan sejauh mana posisi mereka dapat mempengaruhi pola pikir maupun pola perilaku khalayak penontonnya. Apalah artinya kesenian bila sekedar menghadirkan diri, untuk kesenian semata? Pernyataan itulah yang dimaksud Chernyshevsky. Ada dampak lebih besar, yang disasar oleh kesenian. Baik untuk tujuan ideal semacam pengabdian pada kemanusiaan, perubahan kondisi sosial politik yang lebih baik, maupun untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam proses penciptaan karya, seniman kethoprak tidak bisa lepas dari iklim sosial politik masyarakatnya. Perjumpaan-perjumpaan dengan realitas yang dihadapi sehari-hari akan berakhir di ruang-ruang pertunjukan ataupun lembar-lembar kesaksian yang diungkapkan melalui kata dan naskah kethoprak. Realitas yang dihadapi masyarakat tidak akan diabaikan hanya untuk nilai murni seni semata. Peran seniman kethoprak sangat penting pada proses penyebaran pesan. Pesan-pesan tersebut, disampaikan berdasar kesadaran bahwa jalan afeksi yang paling strategis adalah melalui seni. Ari Purnomo, penulis naskah dan sutradara 192 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Ledhek Bariyem mengatakan bahwa kethoprak semenjak dahulu sudah menjadi salah satu media pendidikan politik. Pendidikan politik yang disampaikan dalam lakon-lakon kethoprak berkisar pada pembicaraan mengenai konflik kekuasaan dan kemasyarakatan. Kethoprak, menjadi media kritik yang tepat bagi masyarakatnya. Selanjutnya, ia mengatakan “orang Jawa kan suka sekali memberi kritik atau masukan dengan perumpamaan-perumpamaan dan cara yang halus, sehingga yang dikritik tidak akan merasa sakit hati. Nek neng Jowo ki yo, oleh nabok neng ojo loro” (Dalam Jawa, boleh memukul namun jangan sampai sakit).162 Ari yakin, bahwa masyarakat Jawa (seperti halnya masyarakat etnis lannya) memiliki mekanismenya sendiri untuk melakukan kritik dan membangun pemahaman antar mereka. Sedangkan Bondan Nusantara menyatakan bahwa pementasan lakon Magersari adalah media yang strategis untuk menyampaikan pesan tertentu kepada masyarakat (penontonnya). Bagaimana tidak? Kethoprak memiliki tempat yang istimewa di hati penggemarnya. Sehingga tidaklah sulit bagi para seniman dan pegiat kesenian ini untuk menyampaikan pesan melalui pertunjukan mereka. Mekanisme transfer ini jelas lebih disukai karena format hiburan dari kethoprak. Bondan menegaskan bahwa ketik mementaskan kethoprak, “pasti ada sesuatu yang ingin saya sampaikan di luar konteks cerita. Bila seniman lain hanya ingin menggarap cerita kethoprak menjadi bagus (tanpa pesan tertentu). Saya tidak begitu. Saya selalu menggarap cerita kethoprak sebagai sarana untuk menyampaikan apa yang sedang kita gelisahkan”.163 162 163 Terdapat pada Bab III, hal. 157 Terdapat pada Bab III, hal. 170 193 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Seperti pernyataan Chernyshevsky, perihal kegunaan seni untuk seni, Bondan pun seturut dengannya. Seniman tersebut mengatakan bahwa dirinya tidak melulu menaruh kesenian hanya sebagai kesenian, akan tetapi kesenian ditempatkan sebagai senjata untuk mendidik rakyat, melalui bahasa mereka sendiri. Mendidik rakyat melalui bahasanya sendiri, menjadi kata kunci dari peran para seniman dari kedua lakon itu. Bahasa adalah senjata. Bahasa inilah yang disampaikan dari atas panggung pertunjukan kepada khalayak penontonnya. Seperti yang sudah dinyatakan berkali-kali dalam sub bab ini. Pesan dengan bahasa tertentulah yang disampaian dan diharapkan dapat ditanggapi, sesuai dengan konsep para pemberi pesan. Dalam hal ini seniman. Seniman menjadi agen penting dalam penyampaian pesan tertentu. Melalui mereka lah, pembangunan pemahaman berupa blok historis dalam kerangka kerja hegemoni dapat terwujud. Pada konsep hegemoni Gramsci, para intelektual tradisionallah yang berperan menjadi agen membawa ideologi. Para inteletual ini bekerja secara kolektif di dalam sistem dan lembaga kerja keagamaan, pendidikan ataupun kebudayaan. Dalam penelitian ini, kethoprak menjadi salah satu lembaga kerja kebudayaan. Mekanisme kerja hegemoknik dimulai dengan blok historis yang dibentuk oleh seniman maupun komunitas. Di sini diciptakan bangunan sejarah, yang memblok pengetahuan lainnya, yang diasa mengganggu kerja hegemoni. Ideologi disebarkan melalui seni. Seni dan seniman menanamkan doktrin dari kelas penguasa melalui karyanya. Kita ambil contoh kasus Tolstoy seorang sastrawan dari Rusia. Pada suatu waktu Tolstoy diminta untuk menaikkan citra Stalin melalui naskah dramanya. 194 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Karena Stalin sadar bahwa dirinya tidak akan bisa mengenyampingkan seni sebagai alat penggerak yang massif. Ia menggunakan seni sebagai alat untuk meraih simpati dan menggalang kekuasaannya. Ia menerapkan hegemoni dominan melalui tangan seniman dan kesenian. Seni tidak dipandang sebagai hiburan semata, akan tetapi juga sebagai sebuah kebutuhan, layaknya ideologi. Ideologi akan dipercayai, dipegang dan dijalankan, baik secara sadar maupun tidak. Dalam konteks lakon Magersari maupun Ledhek Bariyem, secara sadar para seniman (walau tidak bisa dipastikan bahwa semuanya) posisi mereka sebagai penyebar pesan. Bila Gramsci mengkategorikan mereka sebagai para inteletual, maka dalam skema hegemoni, khususnya hegemoni dominan, para seniman kethoprak yang mendukung kedua lakon ini, masuk dalam kategori inteletual tradisional. Mereka hadir untuk mengukuhkan doktrin dan dominasi dari kelas penguasa, terhadap kelas yang didominasi. Blok historis dikawal sedemikian rupa, untuk menghambat pengetahuan lainnya, selain doktrin tadi. melalui pesan yang dipertunjukan di atas panggung, kesadaran khalayak penoton dibentuk, untuk mencapai consensus, yang mengakomodir kepentingan kelas penguasa. Seperti yang disebuatkan sebelumnya, interletual tradisional ini, bergerak di dalam institusi keagamaan pendidikan hingga kebudayaan. Maka tidak mengherankan bila dalam kethoprak yang merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Jawa, lahirlah intelektual tradisonal. Intelektual tradisional dari ranah kesenian tradisional. E. Konsensus Hegemoni di Ruang Seni Tradisi 195 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Hubungan lokal dengan global sepertinya mustahil untuk dipisahkan. Seperti yang sudah saya paparkan pada bab II, kesenian yang lahir di wilayah lokal semacam sastra dan teater dikategorikan pun tidak dapat menghindarkan diri dari untuk menjadi bagian dari seni dunia. Perkembangan setiap ranah kesenian tersebut tidak lepas dari kecenderungan fenomena dan tren global. Pada ranah sastra, semangat untuk membicarakan identitas menjadi sebuah oase bagi semesta pembahasan kesenian ini. Pada masa Orde Baru tema tertentu tidak memperoleh kesempatan untuk muncul. Alasannya karena kesenian ini acapkali melancarkan kritik tajam terhadap rejim. Lantas pada pasca reformasi, para sastrawan sangat memanfaatkan kebebasannya. Mereka tal lagi takut bergiat untuk merepresentasikan identitas dan persoalan sosial-politik-budaya. Tak terkecuali permasalahan global dalam bentuk karya sastra dengan isu ‘universal’. Isu-isu seputar sastra poluler yang bertema religi, atau pun sastra serius yang bertema seksualitas, mendesak masuk dan saling berbaur tanpa batas yang jelas selain itu, karya berlatar ruang global, berupaya memanjakan mimpi khlayak pembacanya, mengenai kehidupan tanpa batas di ruang-ruang global. Pada kesenian teater, didapati kondisi yang hampir mirip dengan kesenian lainnya. Pada masa Orde Baru, kesenian ini sama berjuang dan mengkritik keras ulah rejim pada negara dan rakyatnya. Pada masa reformasi, orientasi pun mulai berubah. Tidak lagi mengutuki musuh bersama, namun mulai mencari arah pembicaraan yang berangkat dari konteks masyarakatnya. Konteks masyarakat di sini tidak melulu lahir dari wilayah lokal, namun juga mengusung isu global. Derasnya bantuan dana dari lembaga-lembaga pendanaan internasional, memberi peluang bagi seniman dan komunitas kesenian ini untuk perdebatkan 196 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI permasalahan universal mengenai kemanusiaan, baik di ruang lokal maupun global. Langkah menuju global, baik secara geografis maupun wacana, dalam wilayah kesenian modern menjadi sebuah hal yang wajar. Kala gerak globalisasi masuk ke wilayah ekonomi, sosial, politik, budaya dan bahkan kesenian, perubahan dalam proses berkarya, maupun hasil karya seni pun akan sangat lumrah terjadi. Globalisasi sendiri, tidak dapat terlepas dari mekanisme pasar dunia. Kebijakan di banyak negara tidak sepenuhnya dapat lepas dari pusaran kepentingan pasar global. Globalisasi sebagai sebuah mekanisme yang mengandalkan keterhubungan ekonomi, politik, maupun budaya, banyak menerima gugatan, oleh karena dampak buruk yang diakibatkan olehnya. Globalisasi sering dipersalahkan karena dianggap mengkhianati demokrasi, menaikan tingkat kemiskinan, menurunkan tingkat kesejahteraan, juga melunturkan nilai tradisi etnis tertentu. Mengenai lunturnya nilai tradisi bangsa, pembangunan (modernisasi) dianggap menjadi kontra-produktif. Globalisasi yang bergerak melalui pembangunan dan modernisasi dianggap sebagai perusak sejarah dan tradisi, serta mendistorsi normativitas etnis. Modernisasi menyaratkan homogenisasi untuk menjalankan dan memudahkan jalannya pembangunan. Apa yang menyangkut etnisitas disingkirkannya, tradisi yang dianggap kuno, tidak efisien, bahasa yang tidak mampu menyerap manfaat pembangunan dan menyebarkannya, sehingga 197 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI orang etnis dipaksa memahami bahasa modern yang dengan sendirinya mengikis bahasa ibunya.164 Dalam gelombang besar globalisasi, tidak ada lagi batas geografis antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Gerak ekonomi, sosial, politik dan budaya dapat masuk dan menyebar dengan mudahnya, melalui mekanisme globalisasi. Penetrasi nilai-nilai global hadir pada ruang-ruang budaya lokal. Globalisasi pada tingkat lanjut kemudian menciptakan deteritori kebudayaan. Budaya global memberikan pilihan yang jauh lebih beragam dan menggiurkan dibandingkan budaya lokal. Hal tersebut jelas mengancam kebudayaan lokal. Sehingga pada tahap selanjutnya, keluaran yang dihasilkan adalah kearifan yang mengarah pada kearifan global, bukan kearifan lokal lagi. Irwan Abdullah melihatnya sebagai potensi masalah yang timbulkan globalisasi, yaitu kala kebudayaan tradisi atau daerah harus mengalami akibat-akibat sampingan dari adanya gerakan modernisasi yang dibawa oleh negara dan pasar. Kebudayaan harus menerima akibat dari proses perubahan sistem politik dan ekonomi yang berlangsung begitu cepat. 165 Di sisi lain, posisi biner antara yang tradisi dan modern, serta yang lokal dan global, dikritik oleh Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A. Menurutnya, pembangunan dan kemodernan acapkali dipahami sebagai sesuatu yang datang dari luar, sedangkan “tradisi, nilai, norma, agama dan hasil budaya lokal masingmasing” sebagai sesuatu yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia sebagai 2 (dua) hal yang saling bertentangan. Keadaan “mempertahankan tradisi dan budaya 164 Ubed Abdillah, 2002, Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Indonesia Tera, Magelang, hal. 81 165 Irwan Abdullah, (2015),hal. 198 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI lokal” selalu ditempatkan sebagai sesuatu yang harus dipaksakan ada ketika masyarakat akan “mengikuti arus modernisasi”, bukan sebagai salah satu kesatuan dari proses modernisasi itu sendiri.166 Kegelisahan mengenai tergerusnya posisi kesenian lokal, seperti kethoprak, beserta nilai-nilai tradisinya, banyak diungkapkan oleh Bondan Nusantara, Ari Purnomo, Baso Rangga dan Herwiyanto. Maka upaya-upaya mereka sebagai seniman kethoprak, acapkali dimotivasi untuk nguri-uri kabudayan. Kekhawatiran akan hilangnya minat, baik dari seniman maupun penonton terhadap kethoprak, sepertinya cukup beralasan. Seperti yang diceritakan Ari Purnomo mengenai gelombang naik turun kethoprak di beberapa masa, memicu kegelisahan mereka (seniman). Ada berbagai macam cara bertahan yang dilakukan, demi tetap hidup (di) dan menghidupkan kethoprak. Biaya produksi kethoprak yang sangat mahal, proses produksi yang memakan waktu lama, dan persaingan dengan kesenian-kesenian modern lainnya, adalah sederet masalah yang harus diselesaikan. Hingga pada kisaran tahun 2000an, terjadi masa “pencerahan” bagi kethoprak, khususnya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Implikasi dari pengesahan status keistimewaan Yogyakarta, memberi peluang yang cukup baik pada pendanaan kegiatan kebudayaan (kesenian). Hal tersebut dianggap sebagai jawaban atas permasalahan (pendanaan), bagi sektor kesenian di DIY, tak terkecuali kethoprak. Permasalahan yang membelit kelangsungan hidup kesenian ini, sedikit banyak, telah terpecahkan. Pendanaan merupakan dukungan penting dari 166 Prof, Dr. Bambang Purwanto, M.A, dalam Seminar nasional “Pembangunan Dalam Perspektif Kebudayaan” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 6-8 Desember 2015. 199 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI pemerintah daerah. Herwiyanto menyatakan bahwa sekitar 3-4 tahun belakangan ini, masyarakat Yogyakarta sedang mendem sekaligus dimanjakan dengan pertunjukan kethoprak. Lantas dengan arus pendanaan dari pemerintah daerah, apakah seniman dan komunitas kethoprak dapat memelihara kemandirian dan kekritisannya? Belajar dari pengalaman di masa lalu, kala rejim Orde Baru menghidupkan kembali kethoprak dari mati surinya selepas peristiwa 1965, kethoprak kehilangan independensi atas tema, pesan dan bentuk pertunjukan. Sebagian komunitas kethoprak yang dilindungi oleh militer dan instansi pemerintahan Orde Baru, bergerak sebagai perpanjangan tangan kekuasaan, atasnama kampanye program pembangunan. Lantas bagaimana dengan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem? Meski berjejal dengan kritik sosial politik, keduanya tidak dapat melepaskan diri dari kerangka kerja kekuasaan. Bukan lagi kekuasaan pusat, namun kekuasaan daerah. Pada sub-bab mengenai tema Magersari, saya sudah memaparkan sedikit, dari banyak temuan mengenai konteks sosial politik yang sedang terjadi pada masa itu. Tercatat pada tahun 2011, kala Magersari dipentaskan, Yogyakarta sedang menjadi wilayah yang cukup disoroti. Status keistimewaan Yogyakarta sedang dipertaruhkan. Tidak hanya status yang dipertaruhkan, juga segala bentuk kekayaan bendawi dan non-bendawi di wilayah ini. Sebagian komunitas di Yogyakarta, ikut ambil sikap dan ambil bagian untuk memperjuangkan keistimewaan ini. Mereka menggelar berbagai macam acara dan kegiatan, untuk menjaring dukungan masyarakat terhadap penetapan keistimewaan Yogyakarta. Tak terkecuali para seniman kethoprak dan komunitas mereka. Dengan mengusung tema guyub rukun, dan membahas permasalahan 200 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Magersari, sepertinya kita tidak dapat menyanggah bila produk kesenian ini juga ikut dalam konstelasi politik keistimewaan di Yogyakarta. Melalui lakon tersebut, masyarakat diajak untuk tetap berada pada kondisi tenang dan damai. Tidak ikut terlibat dalam konflik, baik konflik politik kepentingan pra/pasca pilkada, maupun konflik yang berkaitan keistimewaan Yogyakarta. Masyarakat diberikan pemahaman bahwa pemimpin, semestinya didengarkan dan dipatuhi. Pemimpin menjadi ikon penting, yang menjadi panutan bagi seluruh rakyatnya. Sehingga pemimpin yang ideallah yang semestinya menjadi pilihan (seperti dalam lakon Ledhek Bariyem). Maka semenjak Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta disahkan pada tahun 2012, banyak pihak merayakannya. Keriaan ini nyatanya tidak dapat dinikmati oleh sebagian orang. Dampak dari pengesahan ini, mulai mengena pada banyak pihak. Dampak yang nampak adalah meningkatnya jumlah konflik tanah di provinsi ini. Pemberlakuan kembali Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918, mau tidak mau membuat beberapa pihak harus merelakan tanah beralih kepemilikan atau penggunaan. Lahan hutan, pantai, wedi kengser, tanah desa bahkan tanah tanpa sertifikat, akan beralih kepemilikan menjadi Hak Milik Kasultanan/Pakualaman. Peralihan kepemilikan tanah pada Kasultanan/Pakualaman yang berbadan hukum khusus, dengan nama Badan Hukum Warisan Budaya, dikelola secara swasta. Tanah atau lahan yang dimiliki pun, dikelola untuk kepentingan swasta. Beberapa lahan itu diarahkan untuk penyediaan kegiatan ekonomi. Salah satunya untuk mendukung program pemerintah pusat, yaitu Master Plan Percepatan Pembangunan Indonesia (MP3EI). Seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, 201 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI program ini merupakan bagian dari kerangka kerja global yang diikuti oleh pemerintah Indonesia. Dengan membuka diri pada penanaman modal asing, dan menyediakan kebutuhan negara lain melalui program ini, otomatis program adalah salah satu bentuk globalisasi. Melalui MP3EI, globalisasi mengantarkan pasar untuk mendapatkan legitimasi dari kekuasaaan (negara) untuk memperlancar praktek kapitalismenya. Cara pengelolaan globalisasi semacam ini telah mencabut sebagian besar kedaulatan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Termasuk kemampuan untuk membuat keputusan di bidang penting mempengaruhi kehidupan masyarakat. Hal tersebut tentu saja memperlemah demokrasi. 167 Budi Winarno, dalam bukunya yang berjudul Globalisasi: Peluang dan Ancaman bagi Indonesia mengatakan bahwa ketika perekonomian nasional suatu negara telah terintegarasi pada pasar global, maka perekonomian ini tidak lagi dapat terbebas dari pengaruh kekuatan politik dan ekonomi eksternal.168 Karena begitu pemerintah sebuah negara memutuskan ikut dalam penerapan kebijakan pasar bebas (pasar global) demi merebut peluang datangnya investasi dari luar, maka negara tersebut telah memberikan kesempatan pada dirinya untuk bisa dipengaruhi oleh kekuatan dari luar. Lakon Magersari, dalam upayanya mendukung keistimewaan yang bersifat lokal, pada kasus ini, telah ikut membuka pintu bagi pasar global. Isu dan pesan yang dibawa, baik oleh Magersari: mengenai guyub rukun dan keistimewaan, serta Ledhek Bariyem: mengenai kepemimpinan dan politik, sedikit banyak menjalankan kerangka kerja hegemoni dominan. Semenjak pembentukan 167 168 Joseph E Stiglitz, 2007, hal. 56 Budi Winarno, 2008, Globalisasi: Peluang dan Ancaman bagi Indonesia, Erlangga, Jakarta 202 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI blok historis, dimana masyarakat diperkenalkan dengan blok pengetahuan (sesuai misi dari seniman dan komunitas), hingga pengumpulan konsensus, berupa produksi pemahaman yang diamini dan klaim sebagai kesadaran kolektif. Pada poin ini, kesenian kethoprak menjadi alat bagi kelas penguasa. Kethoprak baik disadari ataupun tidak, pendukung agenda kapitalisme global. Dukungan ini menjadi bagian dari hegemoni dominan dari atas panggung seni tradisi. Dimana mereka ikut serta dalam mendokrtin masyarakat melalui ideologi, sehingga pada tahap selanjutnya, doktrin tersebut menjadi keinginan kolektif. Tod Jones seorang ahli Antropologi asal Belanda, berpendapat kecenderungan penggunaan produk budaya seperti kesenian, tidak lantas absen di masa pasca reformasi. Selepas reformasi, terjadi proses desentralisasi politik dan melemahnya pengaruh pemerintah pusat. Hal tersebut menciptakan peluang adanya persaingan untuk merebut dominasi. Kesenian-kesenian daerah sedang dihidupkan kembali melalui pertautannya dengan negara. Akan tetapi pada masa sekarang ini, dukungan negara diberikan melalui unit baru yang lebih rendah, terkait dengan etnis tertentu. Tidak lagi melalui pemerintah pusat seperti di Orde Baru. Pada masa pasca reformasi, pemerintah telah mengurangi kontrol nya. Ada banyak kesempatan bagi pihak non-elite untuk menggunakan budaya atau kesenian sebagai alat untuk mempengaruhi keputusan politik dan sipil. 169 Dalam hal ini, melalui kedua lakon tersebut, kelas penguasa menggunakan citra etnis Jawa, sebagai identitas bersama. Politik budaya seringkali dimainkan oleh negara atau agen lainnya yang memiliki kekuasaan, guna memanipulasi simbol-simbol etnisitas. Dalam penelitian yang berjudul Konstruksi Citra dalam 169 Tod Jones, 2015, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad Ke20 hingga Era Reformasi, KITLV-Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia-Jakarta, hal. 231 203 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Identitas Etnis, penggunaan simbol-simbol ini yang dikatakan oleh Waskito, sebagai siasat budaya etnis. 170 Budaya etnis Jawa yang mengejawantah dalan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, dirasa bukan hal asing bagi masyarakatnya. Pesan yang dibawa menjadi jauh lebih akrab dan mudah untuk dicerna karena dekat dengan keseharian mereka. Melalui proses menonton, keterikatan identitas etnis menjadi lebih mudah diciptakan, dibandingkan tidak melakukannya sama sekali. Budaya yang sama, unggah-ungguh yang sama, bahkan bahasa yang sama merupakan penghantar hegemoni dominan yang stategis. Hegemoni dominan yang masuk melalui kepemimpinan budaya, telah dinyatakan oleh Gramsci. Sepertinya memang sudah tidak jamannya lagi, untuk memperoleh kepatuhan, persetujuan dan dukungan dari kelas yang didominasi melalui cara koersi. Koersi selalu dianggap cara kuno, karena masih mengandalkan kekerasan sebagai ujung tombak penaklukan. Terlebih pada masa dimana perdamaian dikampanyekan untuk menjadi basis bagi tatanan kehidupan bermasyarakat. Pelaku kekerasan akan dihujat dan dianggap sebagai pelanggar kemanusiaan. Namun apakah setelah mekanisme koersi tidak berjalan, maka misi penaklukan selesai? Sepertinya tidak. Gramsci mengatakan: akan selalu ada kelas yang mendominiasi (kelas penguasa) dan kelas yang didominasi. Kelas yang mendominasi memperoleh kepatuhan dari kelas yang didominasi dengan jalan hegemoni dominan. Hegemoni dominan akan sangat berbahaya, apabila ideologi kelas penguasa menjadi sesuatu yang “alamiah”, tanpa perlu dipertanyakan lagi. Dalam kategori hegemoni dominan Gramsci, hegemoni semacam itu masuk dalam kategori hegemoni minimum. Hegemoni ini bersandar pada 170 Waskito, 2003 , Konstruksi Citra dalam Identitas Etnis, Jurnal Sejarah Tahun Kesembilan Nomer 1, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang , Malang 204 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kesatuan ideologis para elit ekonomis, politik dan intelektual semata. Masyarakat (kelas yang didominasi) telah bersikap apatis, untuk ikut campur tangan dalam merumuskan kehidupan bersama. Hingga pada akhirnya, semua arah hegemoni ditentukan mutlak oleh kelompok penguasa. Sejauh ini, sebagian masyarakat Yogyakarta nampaknya tidak benar-benar berada dalam kategori hegemoni minimum. Mereka dengan kritis menolak untuk sepenuhnya patuh pada keputusan-keputusan yang merugikannya. Hal itu diperlihatkan munculnya inisiatif gerakan-gerakan masyarakat, terutama masyarakat yang terdampak hegemoni dominan, salah satunya melalui kebijakan pembangunan. F. Hegemoni Tandingan: (Potensi) Bangkit dari Keterjerembaban Bila pada proses pencetusan ide, niatan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem terkesan beroposisi dengan kekuasaan dan segala pengaruh globalisasi, namun temuan pada penelitian ini berbicara beda. Beberapa responden, seperti Ari Purnomo, Herwiyanto serta Baso Rangga secara lantang menyatakan bahwa kethoprak hadir untuk menjadi anomali di antara sekian banyak seni modern yang membawa pengaruh global, dan mengganggu tatanan kesenian lokal, seperti salah satunya kethoprak. Namun kenyataannya, keinginan untuk meng-konter pengaruh-pengaruh tersebut, tidak secara konsisten dapat diwujudkan. Diakui atau pun tidak, mereka belum benar-benar dapat berhasil menjadikan kethoprak, terutama yang direpresentasikan melalui lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, 205 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI untuk kembali sebagai kesenian mainstream dan menjadikannya kiblat hiburan dan pendidikan rakyat. Alih-alih melawan, keduanya pada titik tertentu mengadopsi nilai-nilai yang ditawarkan oleh pihak kelas penguasa. Pada titik ini, kedua lakon tersebut, belum dapat untuk mencapai posisi (belum bisa dikatakan gagal) sebagai hegemoni tandingan, dari globalisasi dan kekuasaan. Keduanya terjerembab dalam pola-pola lama. Yaitu menjadi salah satu kesenian yang mendukung kelas penguasa. Lakon Magersari, maupun Ledhek Bariyem, belum benar-benar mampu keluar dari lubang dominasi kekuasaan. Kethoprak berupaya keras untuk menjadi kesenian yang kritis, namun masih juga kesulitan mengatasi dan melepaskan diri dari meknisme media penyampai kepentingan tertentu. Kethoprak belum mampu melepaskan diri dari kepentingan kekuasaan yang masih sering menggunakan mereka, (kethoprak dan senimannya) sebagai inteletual tradisional. Alih-alih melakukan perlawanan, kesenian acapkali terjerembab dalam upaya mengukuhkan hegemoni dominan. Baik yang dibawa oleh penguasa maupun kepentingan pasar dalam globalisasi. Seperti yang telah dijelaskan pada bab I, Femia membagi hegemoni dominan menjadi 3 (tiga) tingkatan, berupa Hegemoni integral, decadent, dan minimum. Pada hegemoni integral, terdapat afiliasi massa yang mendekati totalitas. Dimana terdapat persatuan moral dan intelektual yang kokoh, dan organis antara kelas penguasa dan kelas yang didominasi. Tidak ada hubungan antagonis di antara keduanya. Pada hegemoni decadent, terdapat penanaman hegemoni, ternyata masih menyisakan celah dan masalah. Hegemoni ini berpotensi disintegrasi. Sedangkan hegemoni minimum adalah terdapat kondisi 206 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politik dan intelektual. Kelas yang didominasi mengabaikan pernnya dalam urusan kehidupan bersama. Semua arah hegemoni ditentukan oleh kelompok penguasa. Pembagian hegemoni dominan tersebut berdasar pada tanggapan kelas yang didominasi (masyarakat). Hegemoni dominan dapat saja dikatakan berhasil, namun dengan tingkatan yang berbeda-beda. Pada hegemoni integral, tidak didapatkan masalah yang berarti pada mekanisme penanaman doktrin dari kelas penguasa. Hegemoni lahir karena kebutuhan keduanya, dan bergerak secara organis. Pada hegemoni decadent, kondisi hegemoni terlihat baik-baik saja. Namun sebagian dari kelas yang didominasi mulai merasakan represi, dan berpontesi terjadinya sikap melawan pada hegemoni. Lain lagi dengan hegemoni minimum, hegemoni ini adalah tingkat hegemoni ideal yang diingin oleh kelas penguasa. Pada hegemoni ini, kelas yang didominasi menyerahkan segala keputusan pada kelas penguasa. Kelas yang didominasi tidak lagi berkeinginan memikirkan berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Tingkatan paling penting yang menjadi pokok pemikiran Gramsci adalah hegemoni decadent. Tingkat dimana kelas yang didominasi mengalami kegelisahan atas hegemoni yang dilakukan oleh kelas penguasa. Pada hegemoni ini, kelas yang didominasi berpeluang melakukan pemberontakan atau tandingan. Konsep penting ini dipikirkan Gramsci sebagai dasar perlawanan masyarakat yang tertindas atau kelas yang didominasi. Hegemoni tandingan (counter hegemony) adalah jalan keluar, bagi kondisi yang sebelumnya telah dianggap lumrah. Pada titik ini, kelas yang didominasi mulai menyusun kesejarahan atas perlawanannya. 207 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kelas yang didominasi berupaya untuk merebut kembali dominasi atas diri mereka. Mereka harus berpolitik. The politic, menurut Chantal Mouffe dalam bukunya yang berjudul On Political, dipahami sebagai segala hal yang terkait dengan praktek pertarungan memperebutkan posisi dominasi, yang diperoleh melalui hegemoni kekuatan ide atau pun gagasan, yang kemudian ditantangkan oleh gagasan lainnya dari hegemoni tandingan (counter hegemony).171 Tidak ada pertarungan politik yang tidak melibatkan pertarungan gagasan atau ide. Keberadaan politik menjadi sah karena ide-ide atau gagasan-gagasan yang saling berebut dominasi dan berusaha menghegemoni masyarakatnya. Zizek mengatakan bahwa tidak ada politik, dengan catatan bila tidak ada pertarungan politik. Pertarungan politik di sini berarti juga pertarungan ide atau gagasan tadi. The Essense Politics tidak hanya sekedar pertarungan kekuasaan (will to power), akan tetapi juga perjuangan gagasan, ide, keyakinan dan nilai-nilai. Inilah yang disebut sebagai pertarungan ideologi. 172 Kethoprak sebagai sebuah gerakan yang diinisiasi oleh masyarakat, berpotensi untuk melakukannya. Apakah benar kesenian berpotensi melakukan politik melalui hegemoni tandingan? Pertarungan politik dalam bentuk hegemoni tandingan, sepertinya tidak mustahil dilakukannya di dalam kethoprak. Berdasarkan atas kebutuhan untuk mengkritik hegemoni dominan, selalu melahirkan kebutuhan berpolitik untuk melakukan gerakan dari bawah, guna merubah yang ada di atas (kekuasaan). Dimana ada tekanan (represi), di sana ada 171 Disampaikan oleh Yasraf Amir Piliang dalam kuliah berjudul “Transpolitika” (diakses 3 November 2015). 172 Disampaikan oleh yasraf Amir Piliang dalam kuliah berjudul “Transpolitika”, (diakses 3 November 2015). 208 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI perlawanan. Kondisi Hegemoni, seberapa pun kokohnya, pasti selalu menyisakan celah untuk ruang-ruang pemberontakan. Kita dapat menyebutnya sebagai sebuah gerakan resistensi masyarakat terhadap keberadaan hegemoni dominan. Berdasar sejarah yang pernah dijalani oleh kesenian ini, kethoprak menunjukkan 2 (dua) wajah yang berlainan. Pada momen tertentu, mengambil laku politis untuk ikut dalam upaya menghegemoni rakyat, di momen yang lain ia memperlihatkan sikap melawan represi. Kethoprak sepanjang perjalanan berkeseniannya, juga pernah mengambil posisi biner kekuasaan. Meski berkalikali jatuh sebagai bagian dari media hegemoni dominan, kethoprak kerap dijadikan media untuk mengungkapkan kritik dan kegelisahan rakyat. Tidak selalu menjadi corong bagi kepentingan kelas penguasa. Dalam kapasitasnya sebagai kesenian rakyat, harus diakui bila kethoprak berpotensi menjadi titik resistensi terhadap globalisasi. Bila produksi hegemoni (dominan) dapat lahir pada ruang seni pertujukan seperti kethoprak, maka hegemoni tandingan pun memiliki peluang yang sama. Kesenian ini dapat mengambil posisi sebagai tandingan dari kebijakan-kebijakan global, yang berpengaruh pada kebijakan-kebijakan di tingkat nasional (salah satu contohnya MP3EI). Berbekal kesadaran akan adanya represi, yang mengatasnamakan pembangunan, masyarakat (kelas yang didominasi) dapat menginisiasi gerakannya. Kesadaran adalah fase lepas atau celah yang disisakan hegemoni dominan dalam mempengaruhi kelas yang didominasi. Organ dalam kelas yang didominasi mencari jalan untuk mengatasi kesadaran palsu dan konsensus yang telah ditanamkan melalui budaya. Organ-organ ini membentuk diri dalam sebuah aliansi gerakan rakyat (kelas yang didominasi). 209 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kethoprak dapat menjadi gerakan politik rakyat, yang menyebar tanpa berpusat pada satu titik tertentu. Karena bagaimana pun kesenian ini terus dihidupi oleh konteks masalah sosial-politik masyarakatnya. Kesadaran yang tumbuh sebagai tradisi masyarakat Jawa dan secara metaforis mampu mempengaruhi masyarakat dari atas panggung pertunjukan. Di dalam kesenian ini, seniman bersama-sama dengan pihak yang lain, berpotensi membangun kesadaran baru mengenai hegemoni tandingan. Gramsci menggambarkan kebutuhan itu dengan kalimat “menghancurkan sebuah hegemoni dan menggantikannya dengan hegemoni yang lain”.173 Bila hegemoni dominan menggunakan kethoprak sebagai media hegemoniknya, maka besar peluang bagi hegemoni tandingan untuk menggunakannya juga. Hegemoni tandingan adalah taktik politik resistesi, guna merubah opini dan pola pikir masyarakat. Kethoprak dalam skema hegemoni tandingan menargetkan perubahan di tataran strategi dan kebijakan pemerintahan. Seperti yang sempat dipaparkan sebelumnya, hegemoni bekerja dalam kerangka kerja kebudayaan. Sehingga akan sangat tepat bila hegemoni tandingan pun mobilisasi kekuatannya melalui pertunjukan. Mekanise ini merupakan taktik untuk menghadirkan kebudayaan sebagai sebuah pernyataan yang langka sekaligus berharga.174 Seniman kethoprak yang berintegrasi ke dalam gerakan hegemoni tandingan, menjadi bagian dari representasi gerakan kolektif melawan kelas penguasa. Identitas yang direpresentasikan menjadi negativitas dari totalitas hegemoni dominan. Arti negativitas di sini adalah batas beda dengan totalitas dari 173 Muhadi Sugiono, 2006, hal.46 Hans Hang dan Hsu Mng-Chu, Kuan-Hsing Chen and Hsiu-Ling Kuo (eds), 1998, Trajectories (Inter Asia Cultural Studies), Routledge, London- Newyork, hal. 299-300 174 210 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI hegemoni dominan. Seniman kethoprak mengartikulasikan diri secara hegemonik melalui gugatan atau tuntutannya. Di sini, para intelektual organik yang berasal dari seniman kethoprak tergabung dalam satu blok historis yang sama. Benedict Anderson dalam imagined community-nya, mengibaratkan posisi tersebut sebagai sekumpulan intelektual organis dengan blok historisnya nampak sebagai komunitas terbayang yang lahir dari wong cilik (masyarakat kecil). Mendukung pernyataan itu, Retnowati dalam penelitiannya, mengatakan bahwa kethoprak dapat saja menawarkan sebuah perayaan sosial-budaya sebagai identitas bersama wong cilik. Kesemuanya itu berguna untuk merefleksikan perubahan-perubahan yang terjadi di wilayah sosial, politik dan kebudayaan mereka. Kethoprak menjadi sarana yang tepat untuk mengungkapkan perkembangan gagasan, keinginan, permintaan, keraguan dan harapan dari warga imagined community tersebut.175 Persis sama dengan tujuan hegemoni tandingan yang dimaksudkan di atas. Bahwa representasi ini menjadi garis batas dalam pertarungan politik, yaitu pertarungan antara gagasan hegemoni tandingan (seniman kethoprak) dengan totalitas hegemonik yang dominan (hegemoni yang dilawan). Seniman kethoprak dapat mengambil peran sebagai pengkritik sistem, pemberdaya masyarakat, atau pun agen-agen pembangkit semangat perlawanan terhadap kekuasaan yang represif. Mereka juga dapat berevolusi menjadi penggerak perlawanan terhadap penguasa. Hal semacam itu sempat dilakukan Bondan Nusantara, kala ia masih bergabung dengan Syarikat. Bondan sebagai anak dari mantan tahanan politik (tapol), ia sadar bahwa rejim Orde Baru 175 Retnowati, 2009, hal 150-151 211 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mengatur secara sistematis konflik di kalangan masyarakat. Bersama Syarikat, ia mengupayakan rekonsiliasi mantan tapol dengan pihak yang berkonflik di masa lalu, dan juga dengan masyarakat tentunya. Meski akhirnya aliansi itu berakhir, namun setidaknya ia dapat melihat adanya perubahan yang sikap masyarakat terhadap mantan tapol. Melalui contoh kasus tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kesenian ini terbukti mampu menjadi representasi gaerakan masyarakatnya. Karya seni semacam ini membidik 2 (dua) target, yaitu penguasa dan rakyat. Bagi negara, tujuan penting yang ingin disampaikan adalah adanya perubahan di tingkat sistem dan pelaksanaan kekuasaan, yang merepresi rakyat dengan kebijakannya. Sedangkan bagi rakyat, kethoprak menyuntikkan “gangguan” untuk membangun kesadaran baru, akan pentingnya hegemoni tandingan yang digerakan oleh kehendak kolektif. Kehendak kolektif yang dimaksudkan di sini adalah keinginan bersama yang menyatukan setiap anggota kelompok ke dalam satu gerakan politik yang sama. Kehendak kolektif ini tidak lagi hadir untuk merepresentasikan satu kelompok saja. Akan tetapi, menjadi identitas bagi aliansi dari beberapa kelompok yang berbeda. Hegemoni tandingan harus berdasar dari kondisi dan kebutuhan mereka. Gerakan rakyat harus memikirkan dan memperjuangkan perubahan, ketimbang hanya menunggu, menerima kondisi sebagai kelas yang didominasi. Sepertinya, kita masih dapat menggantungkan harapan kesenian tradisi seperti kethoprak, untuk mengambil sikap menjadi gerakan hegemoni tandingan. Dengan syarat mereka yang berada dalam kolektif ini, memiliki komitmen kuat untuk melawan hegemoni dominan. Kesadaran baru akan adanya hegemoni 212 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dominan, dapat menjadi pijakan awal bagi para seniman di ranah seni tradisi untuk membentuk blok historis baru. Mereka membangun kesejarahannya berdasar pada keinginan untuk keluar dari hegemoni dominan yang diberlakukan oleh kelas penguasa. Dengan menggalang kekuatan bersama dengan seniman atau komunitas lain, mereka dapat menciptakan kesadaran baru untuk memaknai, apa yang sesungguhnya mereka perjuangkan. Hegemoni tandingan adalah sebuah langkah politik kebudayaan, disengaja lahir dari kegelisahan dan kesadaran rakyat (kelas yang didominasi). Seperti dalam catatan pengantar Daniel Hutagalung, dalam buku Hegemoni dan Strategi Sosialis: “[h]al terpenting dalam gerakan kiri adalah kapasitas, kualitas dan kemampuan untuk menguasai keadaan situatif dari hubungan-hubungan kekuasaan, dan dinamika-dinamika dalam kepolitikan: Back to the hegemonic struggle”.176 Hegemoni yang mengatasi hegemoni. BAB V KESIMPULAN Lakon Magersari dan Ledhek Bariyem adalah 2 (dua) dari sekian banyak lakon-lakon kethoprak yang diproduksi dan dipentaskan pada masa pasca Reformasi. Keduanya memiliki kesamaan, walaupun dipentaskan dalam rentang waktu yang cukup lama. Lakon-lakon tersebut dipentaskan di waktu yang berdekatan dengan peristiwa politik: pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum. Selain itu, keduanya juga sama-sama membicarakan mengenai isu politik. 176 Daniel Hutagalung, dalam Laclau- Mouffe, 2008, hal. xvi 213 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Walau salah satunya tidak secara eksplisit menunjukkannya. Baik lakon Magersari maupun Ledhek Bariyem, keduanya masuk dalam kethoprak garapan yang menggunakan idiom-idiom seni pertunjukan modern, seperti teater. Perpaduan inilah yang menjadikan kethoprak semakin unik, karena sebagai kesenian tradisional, ia memiliki kekhasan nilai dan prinsip Jawa dalam setiap pertunjukannya. Pada penelitian ini, kethoprak disandingkan dengan beberapa ranah kesenian lain, khususnya seni modern. Sastra dan teater dilihat jejak perkembangannya, pada masa pasca reformasi. Kesemuanya menunjukkan perkembangan yang luar biasa, terutama dalam hubungannya dengan gerakan global, baik dari segi isu maupun pasar ekonomi. Gelombang kapitalisme yang masuk melalui globalisasi di setiap negara, berimbas pula pada Indonesia. Baik pada wilayah sosial, politik, ekonomi dan kebudyaannya. Dengan dibukanya sekat pembatas antar negara, mengakibatkan lalu lintas orang dan barang dapat terjadi dengan sangat cepat. Globalisasi pada kenyataannya menjauhkan kebijakan ekonomi, jauh dari intervensi negara. Demi kepentingan pasar global. Meskipun globalisasi lebih menitikberatkan perhatiannya pada permasalahan ekonomi, namun tidak dapat dinafikan jika ekonomi pun berjalin dengan sangat rumit dengan bidang yang lain. Salah satu jalinan itu tergambar pada keterkaitannya dengan program MP3EI. Program seperti Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebagai program berskala global-nasional, sangat mempengaruhi kondisi ditingkat lokal. Setelah pengesahan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta pada tahun 2012, kekuatan Kasultanan/ Pakualaman menguat di 214 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI banyak hal, tak terkecuali di bidang agraria. Kasultanan/ Pakualaman menyandang status Badan Hukum Warisan Budaya yang bersifat swasta. Badan hukum tersebut berimbas pada status kepemilikan dan pengeloaan asset-asetnya, salah satunya lahan/tanah. Berbekal kekuatan hukum khusus, kedua pihak tadi juga memiliki otoritas khusus, untuk “menertibkan” tanah/ lahan yang dikemudian akan dialihkan kepemilikannya pada Kasultanan/ Pakualaman. Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918 dihidupkan kembali, padahal sebelumnya telah di dihapus oleh Sri Sultan HB IX bersama DPRD melalui Perda DIY No 3 Tahun 1984 sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan Diktum IV UU No 5 Tahun 1960 (UUPA). Semenjak saat itu, banyak kasus konflik tanah yang terjadi di Yogyakarta. Sebagian masyarakat merasa dirugikan oleh pemberlakukan kembali Rijksblad, karena mereka kehilangan tanah yang ditempati atau digarapnya. Menilik dari tahun pementasan dan judul lakon kehoprak, Magersari pada saat itu menjadi bagian dari gerakan yang memperjuangkan keistimewaan Yogyakarta. Isu tanah, keistimewaan dan kepeminpinan yang dibawakannya, menjadi bukan lagi hal baru yang diperdebatkan kala status keistimewaan telah disahkan. Lantas pada lakon Ledhek Bariyem, yang kental membicarakan permasalahan kekuasaan dan kepemimpinan, cenderung lebih menempatkan wilayah pembicaraannya pada semesta pembicaraan mengenai moral pemimpin yang dipilih. Bukan pada sistem politik an pemerintahan yang semestinya menjadi acuan dalam praktek kepemimpinan. Menilik pada kedua lakon tadi, pada akhirnya mengarah pada temuan penelitian: bahwa sikap kritis yang dipentaskan dan disampaikan pada khalayak penonton ternyata lebih diarahkan pada 215 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mekanisme pembentukan blok historis. Kesejarahan dibentuk berdasar “kesadaran” yang ditanamkan guna mengukuhkan konsensus. Konsensus mengenai penguasa yang ideal dan kebijakan-kebijakannya (baik politik, sosial dan ekonomi), yang cenderung diamini dan dianggap benar. Globalisasi tidak hanya masuk pada ruang-ruang seni modern, nyatanya ia juga masuk pada seni trasdisi seperti kethoprak. Perjumpaan globalisasi dengan seni tradisi tidak muncul dengan sendirinya, dan tidak hadir secara terangterangan. Pada kasus wilayah Yogyakarta misalnya. Program MP3EI, status keistimewaan Yogyakarta, kasus konflik agraria dan sederet hal lainnya, adalah kesalingsengakarutan yang tidak bisa dibaca secara sederhana. Campur tangan kesenian dalam membentuk blok historis, hingga pada konsensus yang diamini banyak orang, pada akhirnya membentuk diri menjadi sebuah hegemoni dominan. Merujuk pada pernyataan Gramsci, hegemoni diperoleh melalui konsesus. konsensus ini disepakati oleh banyak orang, terutama oleh kelompok yang didominasi sebagai sebuah kebenaran, kewajaran, dan alami keberadaannya. Sehingga tidak perlu ada bentuk gugatan apapun terhadapnya. Konsensus tidak memerlukan kekerasan dalam menanamkan pemahamannya. Konsensus dapat hadir melalui tangan kesenian. Pada titik ini hegemoni global dimulai dari gerakan lokal tradisional. Lakon Magersari, terjerembab dalam skema hegemoni dominan, khususnya kala ia berbicara mengenai keistimewaan Yogyakarta, titah raja, dan guyub rukun. Sedangkan Lakon Ledhek Bariyem, masih belum menampakan sikap jelas tentang sistem kepemimpinan demoktratis. Pembicaraan mengenai kepemimpinan masih terbatas pada pemahaman moral pemimpin yang baik, namun belum sampai pada 216 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI tataran sistem dan sikap politik yang tepat, dalam menyikapi kepentingan global di masyarakatnya. Sikap lakon ini masih dirasa abu-abu untuk membicarakan itu. Arah pembicaraan kedua lakon tersebut, pada awalnya seakan berada pada ranah hegemoni tandingan, namun masih terjebak dalam skema kerja hegemoni dominan. Akan tetapi dari kesemuanya, ada sedikit harapan bahwa format kesenian tradisi seperti kethoprak, dapat menjadi gerakan hegemoni tandingan. Dengan syarat mereka yang berada dalam sebuah gerakan koletif, dan memiliki komitmen kuat untuk melawan hegemoni dominan. Dengan menggalang kekuatan bersama dengan seniman atau komunitas lain, mereka dapat menciptakan kesadaran baru untuk memaknai, apa yang sesungguhnya mereka perjuangkan. Kethoprak berpotensi hadir dan mengganggu kestabilan hegemoni dominan. Mereka dapat mengambil posisi sebagai representasi dari hegemoni di wilayah lokal, yang saling berhadapan dan berebut posisi, dengan hegemoni dominan dari wilayah global. DAFTAR PUSTAKA Buku dan Artikel dalam Buku: Abdillah, Ubed, (2002), Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Indonesia Tera, Magelang Ajidarma, Seno Gumira, (2005), Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Bentang Pustaka Yogyakarta Anshari, Irham N, (2015), Politik yang “Go Internasional”, Jurnal Skripta Volume 02/semester/2015 217 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Arvon, Henri, (2010), Estetika Marxis, Resist Book, Yogyakarta Bandem, I Made & Murgiyanto, Sal, (1996), Teater Daerah Indonesia, Kanisius, Yogyakarta Baylis, John, Steve Smith (Eds), (1999), The Globalization of World Politics; An Inroducction to International Relations, Oxford University Press Brandon, James R, (1993), The Cambridge Guide To Asian Theatre, Cambridge University Press, USA Camus, Albert, (1998), Seni- Politik dan Pemberontakan, Bentang Budaya, Yogyakarta Darmanto, Antonius, (1999), Sejarah Penyelenggaraan Siaran Kethoprak Mataram RRI Yogyakarta 1935-1995, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Davidson, Alastair, (1968), Antonio Gramsci: The man, His Idea, Australian Left review Publication, Australia Duncombe, Stephen, (2007), Dream: Re-imagining Progressive Politics in an Age of Fantasy, the United States by The New Press, New York Firat, Begum Ozden& Kuryel, Aylin (eds.)- Gavin Grindon, (2010), The Notion of Irony in Cultural Activism,Thamyris Intersecting N. 21 - Cultural Activism Practices, Dilemmas, Possibilities-Rodopi. Genosko, Gary (ed), (1996), Pierre-Felix Guattari: The Guattari Reader, Blackwell Publishers Ltd, UK & USA Gramsci, Antonio, (1986), Selections From Prison Notebooks of Antonio Gramsci, Lawrence & Wishart, London Grindon, Gavin, Begum Ozden Firat, Aylin Kuryel (eds.), (2010) , The Notion of Irony in Cultural Activism,Thamyris Intersecting N. 21 - Cultural Activism Practices, Dilemmas, Possibilities-Rodopi. 218 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Hang, Hans, Hsu Mng-Chu, Kuan-Hsing Chen and Hsiu-Ling Kuo (eds), (1998), Trajectories (Inter Asia Cultural Studies), Routledge, London- Newyork Haryono, Edi (penyusun), (2005), Menonton Bengkel Teater Rendra, Kepel Press, Jakarta Hatley, Barbara, G Subanar, Yustina Devi Ardhiani (eds), (2014), Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta Hatley, Barbara, (2008), Javanese performances on an Indonesian stage; Contesting culture, embracing change, KITLV Press Leiden Hsing Chen, Kuan & Ling, Hsiu & Hang, Hans & chu, Hsu Ming- (eds)- (1998,) Muecke Stepen, Cultural Activism: Indidigenous Australia 1972-1992, Routledge London & New York. Husnan, Khudori, (2013), Merosot Aura Kebangkitan Seni Politik: Sketsa Falsafat Walter Benjamin, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 6, Juli 2013 Hutagalung, Daniel, (2008), dalam pendahuluan Laclau- Mouffe, Hegemoni dan Strategi Sosialis: Postmarxisme + Gerakan Sosial Baru, Resist Book, Yogyakarta _________________(2006), Laclau-Mouffe Tentang Gerakan Sosial, Majalah Basis No.01-02, Tahun LV, Januari-Februari 2006 Hutan Kayu, Babat, (2007), Sastra Tanpa Pusat Sastra, Jurnal Sastra Boemipoetra, Edisi Pertama Jones, Tod, (2015), Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad Ke-20 hingga Era Reformasi, KITLV-Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia-Jakarta, hal. 231 Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (2008), Departemen Pendidikan Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 219 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Kartikasari, S.N, (2000), Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, The British Council Indonesia, Jakarta Kaufman, Eleanor, (1998), Deleuze & Guattari: New Mappings in Politics, Philosophy, and Culture, University of Minnesota Press Lisbijanto, Herry, (2013), Ketoprak, Graha Ilmu Yogyakarta Mahdiduri, (2007), Sastra Indonesia dalam Skenarion Imperialisme, djoernal sastra Boemipoetra, edisi kedua, Malna, Afrizal, (2000), Sesuatu Indonesia, Bentang, Yogyakarta, Miettinen, Jukka O, (1992), Classical Dance and Theatre in South- East Asia, Singapore: Oxford University Press Mouffe, Chantal, (2015), On Political, Routledge, London and New York Mulder, Niels, (1996), Pribadi dan Masyarakat di Jawa: Penjelajahan Mengenai Hubungannya Yogyakarta 1970-1980, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Parani, Julianti L, (2011), Seni Pertunjukan Indonesia: Suatu Politik Budaya, Nalar, Jakarta Patria, Nezar, Andi Arief, (2003), Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Plekhanov, G.V, (1957), Seni dan Kehidupan Sosial, Foreign Languages Publishing House. Moscow, Rachmat Susatyo, (2008), Seni dan Budaya Politik Jawa, Koperasi Ilmu Pengetahuan Sosial Retnowati, (2009), Kesenian Kethoprak sebagai Identitas: Suatu Kajian Kelompok Kesenian Kethoprak Arum Budoyo di Juwana- Pati, Jawa Tengah, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Jakarta, Ritzer, George, Douglas J Goodman, (2004), Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian, Kreasi Wacana, Yogyakarta 220 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Saksono, Ign Gatut, Djoko Dwiyanto, (2012), Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa, Ampera Utama, Yogyakarta Simatupang, Lono, (2013), Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni Budaya, Bentang, Yogyakarta Situmorang, Saut, (2009), Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia, dalam Politik Sastra, [Sic], Yogyakarta Strinati, Dominic, (1995), An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London. Subkhan, Imam, (2007), Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya, ImpluseKanisuis, Yogyakarta Sudyarsan, Kus Handung, (1990), Unggah-Ungguhing Basa Ing Kethoprak, Lan Kethoprak –ing TV, Taman Budaya Yogyakarta Sunardi, ST, (2012), Logika Demokrasi Plural-Radikal, Jurnal Retorik Vol.3No.1, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Susan, Novri, (2010), Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, Kencana Predana Media Group, Jakarta. Susanto, Budi, (1997), Ketoprak: Politik Masa Lalu untuk Masyarakat Jawa Masa Kini, Kanisius- lembaga Studi Realino, Yogyakarta -------------------, (2012), Me(mper)mainkan Sandi Wara Rakyat: Ketoprak Eksel, dalam Jurnal Retorik Vol.3- No.1, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Susatyo, Rachmat, (2008), Seni dan budaya Politik Jawa, Koperasi Ilmu Pengetahuan Sosial Stiglitz, Joseph E, (2007), Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil, Mizan, Bandung 221 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Swastika, Alia, (2015), Memanggungkan (Seni) Indonesia dalam Lingkup Internasional, Jurnal Skripta Volume 02/semester/2015 Taylor, Ronald, (1977), Aesthetics and PoIitics, Verso Editions, London Trotsky, Leon, (1998), Seni dan Politik (Surat kepada dewan redaksi Partisan Review), dalam buku Seni- Politik dan Pemberontakan, Bentang Budaya, Yogyakarta Tim Penyunting, (---), Tuntunan Seni Kethoprak, Pengembangan Kesenian Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Timotius, Kris Herawan, (2005), Religious and Etnichs Conflicts in Indonesia: Analysis and Resolution, Satya Wacana Cristian University, Salatiga. Turner, Caroline, (2005), Indonesia: Art, Freedom, Human Rights and engagement with the West, Art and Social Change: Contemporary Art in Asia and the Pacific, Pandanus Books, Canberra – Australia Wahayati, Lucia Yunita, (2004), Sejarah Seni Pertunjukan Kethoprak Mataram RRI Yogyakarta Tahun 1980-2002, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Wahmuji, (2015), Heteronomisasi Medan Sastra di Bawah Neo-liberalisme: Analisis Modal Kultural Mengenai Sastra dan Fiksi Populer, Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakata Waskito, (2003), Konstruksi Citra dalam Identitas Etnis, Jurnal Sejarah Tahun Kesembilan Nomer 1, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang , Malang. 222 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI West, Richard, Lynn H Turner, (2008), Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta Widayat, Afendy, (1997), Kethoprak: Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural Ziudervaart, Lambert (ed), (2011), Art in Public; Politics, Economics, and a Democratic Culture, Cambridge University Press Makalah: Abdullah, Irwan, (2015), Kecerdasan Lokal: Pendekatan Baudaya bagi Pembangunan yang Berdaulat dan Bermartabat, disampaikan dalam Seminar Nasional Pembangunan Nasional Dalam Perspektif Kebudayaan, Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada. Busser, Michael & Bonura, Carlo & Fannin, Maria & Boyer, Kate, (2012), Cultural Activism and The Politics of Place-Making, presented at 2012 Conference in Interpretative Policy Analysis in Tilburg, Netherlands & 2012 UK Ireland Planning Research Conference in Brighton Hatley, Barbara, (2008), Javanese Performance on an Indonesian Stage: Contesting Culture, Embracing Change, Honolulu Universityof Hawai’I Press, Hawai Hughes-Freeland, Felicia, (1997), Art and Politics: From Javanese Court Dance to Indonesian Art, The Journal of the Royal Antropological Institute, Vol.3, No. 3 Marianti, Maria Merry, (-----), Kekuasaan dan Taktik Mempengaruhi Orang Lain Dalam Organisasi, Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Katolik Parahyangan 223 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Purwanto, Bambang, (2015), Sejarah Kebijakan Pembangunan di Indinesia: Implikasi dalam Pembangunan Saat ini dan Masa Depan, disampaikan dalam Seminar Nasional Pembangunan Nasional Dalam Perspektif Kebudayaan, Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada. Rachman, Noer Fauzi, Dian Yanuardy, (2014), Dapatkah Indonesia Bebas dari Kutukan Kolonial? (Refleksi Kritis atas MP3EI), Working Paper Sajogyo Institute No. 16, Sajogyo Institute, Bogor Salam, Aprinus, Novel Indonesia Setelah 1998: dari Sastra Traumatik ke Sastra Heroik Salam, Aprianus, (2015), Seni dan Karnavalisasi Kebudayaan, disampaikan dalam Seminar Nasional Pembangunan Nasional Dalam Perspektif Kebudayaan, Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada. Simatupang, Lono, (2014), Kajian (tentang) Seni Pertunjukan Indonesia, disampaiakan dalam peluncuran buku Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, di Kampus II Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Subanar, G. Budi, (2006), Sebuah Geliat dalam Dunia Ketoprak Jaman Ini: Makna Simbol dan Fungsi Seni Pertunjukan di Tengah Perubahan Jaman, disampaikan dalam Diskusi Sejarah Seni Pertunjukan , Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Yogyakarta Sukada, Annisa, (2008), Ketoprak: Menjaga Budaya dengan Perubahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik-Universitas Muhammadiyah Malang. Wahyudi, Agus, (2015), Radikalisasi Demokrasi: Arah Gerakan LGBT?, dalam kuliah umum Minggu #1 di Suara Kita Jakarta Waskito, (2003) , Konstruksi Citra dalam Identitas Etnis, Jurnal Sejarah Tahun Kesembilan Nomer 1, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang , Malang Situs: 224 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI www.kompasiana.com/isharyanto/sapta-mandala-dalamkenangan_552befb16ea83486688b45aa (diakses: 27 Agustus 2015) www.oxforddictionaries.com/definition/english/cultural-activism (diakses: 4 Januari 2015) www.tempo.co/read/news/2015/03/26/219653233/Seniman-Ai-Weiwei-RaihPenghargaan-Amnesty-Internasional (diakses:27 Agustus 2015) www.theory.org.uk/ctr-gram.htm (diakses: 12 Januari 2016) www.nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/ketoprak-jawa-pernah-dibunuhdua-kali (diakses:27 Agustus 2015) www.youtube.com/watch?v=atEc0EE4WMg, Yasraf Amir Piliang, dalam kuliah berjudul “Transpolitika”, (diakses tanggal 3 November 2015). Surat Kabar: Harian republika, Tiga Perupa Indonesia akan Pameran di AS, terbit pada Jum’at, 13 Agustus 1999 225 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Lampiran 1 Magersari Tulisan: Bondan Nusantara Para paraga: 01.Den Bei Kenthus - 02.Ponija - 03.Gembyang - 04.Kenyung - 05.Karta Bendho - 06.Png. Surya - 07.Cik Hwa - 08.Mbok Karto - 09.Dira - 10.Sapar - 11.Kirja - 12.Panut - 13.Patra - 14.Giman - 15.Dhenok - 16.Tinah - 17.Ginah - 18.Giyem - 19.Konyil - 20.Ranti - 21.Mirah (bisu) - 22.Kitri - 23.Ndari - 24. Wong kampung xiii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BABAK : I PLATARAN Paraga : 1.Wong-wong wadon ndesa. 2. Jaya Bendho. 4, Jaya Kenthus. Gendhing : Gagah - rep Katrangan : Jaya Kenthus metu 01.KENTHUS : (KEMAKI) Elhoo...piye ta ki? Kok isih sepi? Karepe ki dha piye je? Wis dikon nglumpuk kok dha ra teka. Mangka gamelane ya wis gumyak, gayeng, ning kok sing metu ming aku ijen ? Edan ane ! (SERO) Ja…. !!! Ponoja !!!! 02.PONIJA : (SAKA KADOHAN) Kula!!! 03.KENTHUS : (SERO – MANGKEL) Rene!!! 04.PONIJA : (MARA) Onten napa Den Bei ? 05. KENTHUS : (MANGKEL) Kowe ki piye ta? Pethuk pa piye? Mau ki tak kon apa? 06.PONIJA : Ken ngundang para Magersari?.. ..Lha pripun ta? 07.KENTHUS : (KEMAKI) Lha aku wis ”njingik” neng kene kok sing diundangi rung teka? Kowe ki saben sasi tak bayar lho Ja! Ming kon ngundangi Magersari we kok ora pecus! 08.PONIJA : Mangke riyin, ampun nesu riyin Den Bei. Sing salah niku njenengan? 09.KENTHUS : Kok aku? 10.PONIJA : Wau njenengan dhawuh napa? (NIROKKE) ”Ja... Magersari dikumpulke neng mburi. Enggih ta?”.... Lha sak niki nggih pun nglumpuk teng rika kabeh. Lha kok njenengan teng riki!.....Salah ta niku? 11.KENTHUS : Salah-salah .... conthongmu kuwi! Wis kana, saiki kon rene kabeh! 12.PONIJA : (MANTEB) Nggih,.... (NGUNEKKE SEMPRITAN) PARA MAGERSARI TEKA 13. WONG-WONG: Ayo ayo ayo,.... kumpul yo!! Kene-kene lingguh kene! 14.PONIJA : (SRO) Ayo kabeh lingguh!.... Ndhak didukani Den Bei Jaya Kenthus! 15.WONG-WONG: Nggiiiih......!! (LUNGGUH) 16.KENTHUS : (KEMAKI) Kuwi kok ana sing ngadeg kuwi sapa Ja? ....Ayo kon lingguh! 17.PONIJA : Mbyang,... lungguh. Ndhak dukani Den Bei. 18.GEMBYANG: (WEDI) Anu je Kang,.... aku ki, anu... 19.KENTHUS : (NYAUT- KEMAKI) Ponijaaaaa.....! 20.PONIJA : Kula Ndara. xiv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21.KENTHUS : (KEMAKI) Kowe ki piye ta?.. Wedokane kae dikandhani! Neng sowan neng ngarepe Den Bei Jaya Kenthus ora kena nganyur!.... Ayo kon lungguh! 22.PONIJA : Nggih. ...(MARANG GEMBYANG) Mbyang, gek lingguha. Aku sing dukani. 23.GEMBYANG: (WEDI) Ha ning bokongku ki lagi wudunen. Engko nek lingguh njur mecah, piye? 24.KENTHUS : (NYAUT) Ponijaaaa.....!! 25.PONIJA : Kula Ndara? 26.KENTHUS : (NESU) Wedokane dikon lingguh! ..Gelis!! 27.PONIJA : (WEDI) Nggih! ... Wis ta Mbyang,... lingguha! Nek kowe ra lingguh aku cilaka! 28.GEMBYANG: (INGAH-INGIH) Yoh,.... (LUNGGUH ALON-ALON – MBENGOK) Lhaaaa,... tenan ta!!!!!.... Wudunku mecah tenan! (NANGIS) Huuu... huuu....... 11.PONIJA : (PANIK) Wis, wis,... aja nangis! Aku ndak dukani! Meneng ya Mbyang! Menenga! 12.GEMBYANG: (NANGIS KARO NESU) Meneng...meneng,....... matamu kuwi! 13.KENTHUS : (NYAUT –KEMAKI) E, e, e,e…! Kok omong kasar? Neng ngersane Den Bei Jaya Kenthus je omong kasar. Ora pareng! …Wis, sak iki meneng. Tak nyacahke sing dha sowan. ... Siji, loro, papat, wolu, sanga, sewelas. (nyawang Ranti) Sik-sik- sik,.....aku kok rada pangling ta?.... Kowe ki sapa ta? 14.PONIJA : Lho, pangling ta?.... Kula niki Ponija! 15.KENTHUS : (MANGKEL) Aku ra takon kowe!.... Sing tak takoniki sing neng ngarepmu kuwi!... Bedhes ki!... Kene Nok,....maju kene. 16.RANTI : Nggih... (MAJU) Onten napa Den Bei? 17.KENTHUS : Kowe kok ketok rada melek? ... Sapa kowe Nok? 18.RANTI : Nami kula Ranti Den Bei. 19.KENTTHUS: (SERO) ) Ranti??? ...(SOK TAHU) Owalaaah,.... pangling aku! Jebul kowe ki Ranti anake bakule ghedheg ta! 20.RANTI : (SERO) Woooo, dede Den! Kula niki Ranti anake pak Wirya Gareng! 21.KENTHUS : (SOK TAHU) Walaaaah,.... gene ki anake Wirya Gareng. ...Piye? Bapakmu isih dodol tela neng pasar Kranggan? 22.RANTI : (MANTEB) Wiii,... ngawur! Bapak kula niku mboten dodol iwak! Mboten Den! 23.KENTHUS : Lha dodol apa? 24.RANTI : (YAKIN – SERO) Tongseng asu! 23.KENTHUS : Woooo...... ya, ya,... wis dhong aku….Ning suk Bapakmu kandhani. Nek ngladeni aku sing bener! Mosok njaluk tongseng kok dimasakke sirah sak congore! Bareng arep tak pangan njur mringis karo melet! 24.RANTI :Njur mboten sida di pangan? 25.KENTHUS : (MANTEB) Ora sida piye, .....ha gusis! xv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26.TOMBLOK : (NYAUT – KEMAYU) Om Kenthus! (NGADEG) Kersane niku pripun ta? Ngundang Magersari semene okehe kok malah ngrembug aneh-aneh! Mbok empun, gek ngendika mawon Om,... ben kula sak kanca njur ngerti... Iya ora Cah? 27.WONG-WONG: (SAUR MANUK) Hiya Yu, bener kowe Yu! 27.KENTHUS : (SERO)Sik – sik sik,... sareh sik! ..Aku kok lali. Kowe ki sapa ta? 28.DENOK : (KEMAYU) Halaaahh,... Lik Kenthus ki pangling ta? (NYABLEK) Kula Dhenok, Lik. Bakule wedang Pasar Pingit! Lik Kenthus ki lali apa nglali hayooo?...(NYABLEK MANEH) Wong saben bengi mampir neng warung karo randhane kulon kali,,, kok sak iki lali! 29.WONG-WONG: (BARENG) Wooo,.... 30.KENTHUS : (NYEDHAK – LIRIH – CETHA ) Aja sero-sero! Krungu wong okeh! 31.DENOK : (KEMAYU) Tenang mawon Lik! Kula mboten ajeng mbukak wadi! Wong wingi ta, bojo sampeyan teng warung kula,.... takon. (NIROKKE) Nok, Nok,…. apa bener bapakne sok mapir rene karo randhane kulon kali?” 32.KENTHUS : (NYELANI) terus.....??? 33.DHENOK : (MANTEB) Lha nggih terus kula wangsuli. (KEMAYU) ”mboten kok Bu....” 34.KENTHUS : Mboten piye? 35.DENOK : (KEMAYU) Mboten tau prei....! 32.KENTHUS : (MANGKEL) Oooo,.... bedhes ki! Ngalih kana!.... Kemayu! 33.DHENOK : (KEMAYU) Karang wedok je Om..... (MARANG CIK HWA) Iya ora Cik. 34.CIK HWA : (MANTEB) Ya jelas! Sing namane perempuan itu kemayu yo ndak popo, nek lakilaki yo mbagusi. Contone ya Si Om ini. Nek liak wanita cantik dha ngarep omahe,....matane langsung ijo! 35.KENTHUS : Sik-sik sik,.. tak urus sik iki!....Kowe ki Cina, jenengmu Nio Cik Hwa. Ning kok kulitmu ireng? 36.CIK HWA : (MANTEB) Ya ireng, wong laire dha Arab..... Lagi pula, saya ngerti sik Om matane ijo itu kan mergane saya habis pigi ke rumahe situ! Nek situ ora ngandel tanyao sik Mirah, Magersari sing baru manggon dha sini. 38.KENTHUS : (NYAWANG MIRAH) Waah, nek sisji iki jos gandhos, lidhuk- liyer! Bocahe cilik, kulite resik, mangka ya ayu. ..(NGGUYU) .Rene-rene Nok, maju kene! ...Ingsun arep mundhut priksa. 39. MIRAH : (NGADEG - SAJAK ISIN – NYEDHAK) 40.KENTHUS : (SENENG) Bener, jenengmu Mirah? 41.MIRAH : (ISIN – DOLANAN PUCUK KLAMBI) 42.KENTHUS : (SENENG) Ediaan tenan!.. Durung omong we marahi mak ...”prindiiing..”” Aja meneh nek wangsulan! …. (NGRAYU) Kowe wis duwe pacar durung Nok? 43.MIRAH : (GEDHEG – ISIN) xvi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 44.KENTHUS : (SENENG - MANTEB) Modiaaar!!!!.... Digedhegi pisan we dhadhaku kaya arep jebol. Apameneh nek gelem ngekeki nomer HP,…. Langsung tak jak karaokenan!...(NGRAYU) Piye Nok, kowe gelem karaokenan? 45.MIRAH : Ba ba bu bu bu..bi bi bi…. baaaa (KAYA WONG BISU) 46.KENTHUS : Woooo,..... bedhes ki! Jebul bisu ta!... Kana mundur kana! Mirang-mirangke! 47.MIRAH : (NESU – NGONEK-ONEKKE KENTHUS) 48.KENTHUS : (SERO) Ponijaaaaaa.......!!! 49.PONIJA : Kula Den? 50.KENTHUS : (NESU) Piye ta? Ndarane dionek-onekke uwong kok meneng wae! Ayo, bocah iki digawa ngalih! 51.CIK HWA : (SERO) Ponija!....Situ jangan mau diprentah! Sing salah itu ndarane situ! Apa situ dak liak kalau Ndarane situ mau kurang ajar? Sudah sana, situ yang ngalih. Mirah ini urusane saya. ... (ALON) Ayo Rah, lingguh dekete Gembyang sana wae. 52.MIRAH : (NGGAMBARKE WONG MUTAH) Hoeeeek.....!!! 53.CIK HWA : (WANI) Dah, sekarang sik Om-e mau ngomong opo? Ngomonga. Aku selak ditunggu Engkohe dha toko! 54.WONG-WONG: (SAUR MANUK) Bener kuwi Cik Hwa! Den Beine gek kon omong! 55.KENTHUS : Sik –sik – sik,..... ora ting craek! Aku tak omong sak iki! 56.WONG-WONG: (BARENG) Haaaa ...mbok ngono!! 57.KENTHUS : Ngene lho. Kowe kabeh ki Magersariku. Manggon lan gawe omah neng lemahku. Mula sak iki tak kandhani. Nek wiwit sasi ngarep sewane lemah mundhak tikel loro. 58.WONG-WONG: (BARENG) Waaaa,.... kok ngono? 59.KENTHUS : (MANTEB) Hiya kudu ngono wong apa-apa ya mundhak. Nek aku ora ngundhakke sewan, rugi aku. Mosok, sing duwe lemah aku,...sing penak kowe. Mula, tak baleni pisan meneh,…. Wiwit sasi ngarep sewane lemah mudhak tikel loro! 60.PONIJA : (SERO) Naaa, kuwi! Dha krungu ora? Wiwit sasi ngarep sewane lemah mundhak. Sing ora ming nggonku!.... Rak enggih ta Den? 61.KENTHUS : Sing kandha sapa?.... Nggonmu ki ya mundhak Ja! 62.PONIJA : Lha ning kula niki rak batur sampeyan ta Den? 63.KENTHUS : (SANTAI – KEMAKI) Ning nek perkara dhuwit beda ah!. Dhuwit dhuwit,.. batur ya batur! Kowe tau tau krungu,... nek batur ki sedulure dhuwit? 64.WONG-WONG: (BARENG) Modar ora kowe Ja....!!!! KONYIL MBENGOK SEKA KADOHAN 65.KONYIL : Den Kenthus,… cilaka !!!... Cilaka Den!!! GAMELAN SESEG – KONYIL TEKA SAJAK GUGUP xvii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 66. KONYIL : (GUGUP) Den Kenthus,... cilaka Den! Cilaka tenan niki!! Nek mboten kepeneran, sampeyan ajeng dadi kere Den! .... Dadi kere tenan! 67.PONIJA : Nyil! Aja gawe kaget ta! Dukani Den Bei Kenthus, kapok kowe! 68.KONYIL : (NYAUT) Ning iki tenan Ja! Nek ora cekat-ceket Den Kenthus isa dadi kere tenan! 69.PONIJA : Dadi kere piye? 70. KONYIL : Walaah,.... kowe ki piye ta? Delengen kae, kebule muleg-muleg! Kae ki asale seka kamare Den Kenthus!. 71.KENTHUS : (KAGET)Kamarku kobongan????? 72.KONYIL : Enggih Den! 73.KENTHUS : (BINGUNG) Wadhuuh,.... piye iki?? Piye Ja?? Kamarku kae kebak dhuwit! Aku isa dadi kere tenan Ja!!! ... Wis sak iki kowe tak prentah mimpin para para Magersari ,... nyirep geni sing ngobong kamarku! 74.PONIJA : (KEMAKI) Ha mboten saged. 75.KENTHUS : Kok ora isa piye ta Ja? ...Kowe ki baturku lho! 76.PONIJA : (NIROKKE KENTHUS) Batur nggih batur, Ning nek perkara dhuwit beda ah! Napa njenengan tau krungu nek batur niku sudlure dhuwit? 77.WONG WONG: (BARENG) Haaaa,... bener kowe Ja! Setuju!!! 78.KENTHUS : Lha terus piye???.... Piye iki??? Nek aku dadi kere terus piye??? 79.GEMBYANG: (NGADEG) Tenang,...tenang Den. Nek sampeyan nggugu kula, sakniki barter mawon, alias ”wind-wind solution.”....Sewan lemah mboten sida mundhak, urusan geni dadi tanggung jawabe kanca—kanca. Setuju ora Ca??? 80.WONG-WONG: Setujuuu..... 81.GEMBYANG: Pripun?.... Nek mboten setuju, mboten masalah. Kula sak kanca tak bali. (MARANG WONG-WONG) Yo Ca yo,..bali yooo.. 82.WONG-WONG: (BARENG) Yooo...... 83.KENTHUS : (MBINGUNGI) E, e, e,e.... aja!! Aja bali sik!! … Genine kae diurusi sik! 84.GEMBYANG: Diurusi nggih diurusi,.... ning ....... 85.WONG-WONG: (BARENG) Sewan lemah ora mundhak!!!! 86.KENTHUS : Kok ra mundhak piye ta? ..Ya tetep mundhak!!! 86.GEMBYANG: Pun, tetep mundhak? Mangga! Ning wong sak kampung wegah melu nyirep geni! Setuju ora Ca??? 89.WONG-WONG: (BARENG) Setujuuu...!!! 90.KENTHUS :Yoh wis,.... ra sida mundhak! Ning kamarku kae dislametkke KABEH LUNGA – BABAK I RAMPUNG xviii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BABAK : II PLATARAN Paraga : 1, Mbok Karto. 2, Ndari.. 3, Kitri. 4, Karto Bendho 5. Gembyang Swasana : - tentrem Gendhing : Ketawang – rep Katrangan : Ndari karo Kitri metu, nggawa klambi lan jarik. 01.NDARI : Kabeh wis kok gawa mrene pa Tri? 02.KITRI : Iki lagi separo. Sing separo isih neng njaba, durung tak entasi. 03.NDARI : (NYAWANG) Iki kathoke sapa Tri? 04.KITRI : Kathoke Giyono. Wingi nunut dikon ngumbahke sisan. 05.NDARI : Woo,..... MBOK KARTO TEKA TANPA GAMELAN 06.MBOK KARTO: (MANGKEL) Bapamu ki nengendi ta?! Lunga wit esuk kon tekan sak iki rung mulih! Kowe ngerti ora Tri? 04.KITRI :(KARO NGLEMPITI) Haiya ora ngerti wong ra dipamiti. 05.NDARI : (KARO LEMPIT-LEMPIT) Lha mau esuk pamit Simbok ora? MBOK KARTA TEKA TAMPA GAMELAN 05.MBOK KARTO: Nek pamite arep neng Pakualaman, tilik sedulur. Ning kok tekan wengi? .. Ajaaja, Bapakmuki duwe simpenan anyar ya Ri? 06.NDARI : Halaaah, Simbok ki! Wis tuwa kok sujanan. Saru Mbok! 07.KITRI : Karo meneh, Bapak ki rak ora tau nyekel dhuwita ta! Kok dikuwatirke? 08.MBOK KARTO: Weeee,... wong lanang sak iki je Tri! Ketoke muni ora ndhe dhitt. Ning jebul meneng-meneng ndhelikke. Contone Lik Bagong kae. Karo sing wedok muni ora ndhe dhit, bareng digledhah, jebul didhelikke njeron kupluk! 09.NDARI : Kuwi rak Lik Bagong. Nek Bapak apa ya ngono? 10.MBOK KARTO: (MANTEB) Wee,...isa wae!... Wong lanang je! Neng ngomah ketok kuthuk. Sregep. Manutan. Bareng metu ngomah,.. ta cenanangan! .... Karo meneh, Simbok ki kuwatir nek Bapakmu mbaleni gaweyan lawas. 11.KITRI : Lha ngapa ta? 12.MBOK KARTO: Lho piye ta? Kowe ki lali pa nek Bapakmu kae mbiyen gentho. Bajingan. 13.NDARI : Ning sak iki rak wis mertobat ta Mbok? 14.MBOK KARTO: Sapa ngerti sak iki kumat meneh! xix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KARTO BENDHO TEKA – NYAUT REMBUG 15.KARTO BENDHO: (MARANG ANAKE) Ndari, Kitri,... neng mburi gawe wedang!. 16.NDARI : Lha pripun ta Pak? 17.KARTO BENDHO: (CETHA) Bajingane ngelak! 18.NDARI & KITRI: Nggih. NDARI & KITRI LUNGA 19.MBOK KARTO: Sampeyan niku saking pundi? 20.KARTO BENDHO: (CETHA) Niliki ponakanmu! 21.MBOK KARTO: Kok tekan wengi? 22.KARTO BENDHO: (CETHA) Haiya! Wong bar seka Pakualaman njur pethuk Mbah Gendra,... dijak mampir neng Sarkem. 23.MBOK KARTO: (MANGKEL – NGUKUTI KLAMBI) Dhasar wong lanang! (AREP LUNGA) 24.KARTO BENDHO: (SENGOL) He ,...he,…he! Kowe ki arep neng ndi? 25.MBOK KARTO: (MANGKEL) Ajeng teng Malioboro golek lanangan! 26.KARTO BENDHO: Cang...kem...me!.... Rene!.... Lingguh! 27. MBOK KARTO: (MANGKEL) Onten napa????!! 28.KARTO BENDHO: (MANTEB) Aku neng Sarkem ki ora ngapa-ngapa! Ha mbok sumpah! 29.MBOK KARTO: Ning rika niku nggene cah nakal-nakal Pak! 30.KARTO BENDHO: (CETHA) Cah nakal apa ora kuwi ya tetep uwong! Padha-padha titahe Gusti Allah!... Tegese ya padha karo awake dhewe!... ..Wong upama isa milih,… bocah-bocah kae sengara golek pangan neng kana. 31.MBOK KARTO: Ning napa salah nek kula kuwatir?... Kula niki bojo sampeyan! Nek nganti tangga teparo ngerti sampeyan blusukan mrika napa kula ora melu isin? 32.KARTO BENDHO: Nek kowe wedi dirasani tangga, gampang. Suk tilik Mbah Gendra bareng aku! 33.MBOK KARTO: Aaaa,... wegaah! (MLAKU LUNGA) 34. KARTO BANDHO: Lha ngapa ta? 35.MBOK KARTO: (SERO CETHA) Ndhak dinyang! MBOK KARTO LUNGA 36.KARTO BENDHO: Oooo,....wong wedok! Nek nyuwara sengak! GEMBYANG MBENGOK SEKA KADOHAN 37.GEMBYANG: (SAKA NJABA) Lik Karto!!! ….. Cilaka Lik!! GAMELAN SANTAK – GEMBYANG TEKA xx PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38.GEMBYANG: (GUGUP – CETHA) Wadhuh Lik,… cilaka!! Geger tenan iki Lik!! Kampunge dhewe isa geger tenan! 39.KARTO BENDHO: (NGGETAK) Kowe ngapa??? Mbanyaki kaya menthok arep ngedhog! 40.GEMBYANG: (GUGUP) Owalaah Lik! Kowe ki piye??? Ngerti ora nek kampunge dhewe arep geger! Wong-wong dha kancingan lawang saking wedine! Aku dhewe ya melu kancilen! Nek ra ngandel, gilo,... delengen,....jarikku teles kebes merga kepuyuh! 41.KARTO BENDHO: Woooo,... kenthir! 42.GEMBYANG: Iki tenan! Nek Lik Karto ra ngandel, diambu pa piye? 43.KARTO BENDHO: Ora sudi!!! 44.GEMBYANG: (MANTEB) Pokoke ya Lik, kampunge dhewe arep geger! Wong-wong wetan ndalem arep gelut karo kulon Ndalem! 45.KARTO BENDHO: Lha perkarane apa??? 46.GEMBYANG: (MANTEB) Haaa..... kuwi! Ya nggonn kuwi sing aku ora dhong! Rehne sing diwedeni cah kampung iki kowe, mulaaku njur mrene iki Lik. 47.KARTO BENDHO: Ya wis, sak iki kowe mulih. Bocah-bocah tak paranane. 48.GEMBYANG: Yoh. ”Thengkyu” ya Lik. KABEH LUNGA - BABAK II RAMPUNG BABAK : III TENGAH DALAN Paraga : 1, Dira. 2, Sapar. 3, Panut. 4, Patra 5, Kirja. 6, Giman. Gendhing : Srepeg. Katrangan : Dira, Sapar Panut kepethuk Patra, Kirja lan Giman. 01.KIRJA nengendi? : (MANTEB) Sareh! Sareh dhisik Ra! Kowe, Sapar karo Giman iki arep dha 02.DIRA : (MANTEB) Aja tambuh kowe Ja! Picak-a kowe weruh - budhega kowe krungu! Para Magersari wetan ndalem saya suwe saya kurangajar! Dumeh luwih suwe le manggon neng kene terus arep tumindak sewenang-wenang! 03.SAPAR : (NYAUT) Apa rumangsane sing wani gelut ki ming wong-wong wetan ndalem? Aku sak kanca iki ya lanang Ja! Ora bakal mundur ngadhepi kowe! 04.PATRA : (MANTEB) Semono uga aku Kirja karo Giman! Nek wong-wong kulon ndalem arep semangkeyan, ...mesthi tak rampungi! Iya ora Man? 05.GIMAN : (MANTEB) Bener kowe Tra! Ora mbiyen ora sak iki, wong-wong kulon ndalem ki senengane gawe perkara! Mula ya kudu dikapokke! 06. PANUT : (SERO) Man! Kowe aja waton nyuwara! Sing seneng gawe perkara kuwi dudu para Magersari kulon ndalem! Ning kowe sak kanca! Ngerti??? xxi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 07. KIRJA : (NYAUT) Kuwi rak pendakwamu!... Pendakwa sing landhesan dhemen sengite dhewe! Ora landhesan kasunyatan! Merga kasunyatane, sing bener kowi para Magersari kulon ndalem! 08.DIRA : (MANTEB) Ja! Kowe aja ming waton muni bener! Sing jenenge bener kuwi ora gawe cilakane wong okeh!... Eling Ja! Tumindak bener kuwi beda karo nekad! Merga nekad kuwi mengku teges kelangan nalar! 09.SAPAR : (MANTEB) Cukup! Kowe kabeh ora perlu kojah neng ngarepklu! Nek kowe ora butuh sulaya, …semingkir! Ning nek kowe ora gelem semingkir, mesthi tak rampungi! 10. GIMAN : Lho, ... kowe nantang aku ta Par???!! 11.SAPAR : (NYAUT-MANTEB) Sak karepmu olehe negsi! 12.KIRJA : O, klakon tak ajar kowe! PARA NOM-NOMAN PERANG. KARTO BENDHO TEKA. 13.KARTO BENDHO: (SERO) Leren! … Ayo leren! Gelem leren ora?! (MARANG DIRA SAKANCA) Ayo mundur! ….(MARANG PATRA SAKANCA) Kabeh mundur! NOM-NOMAN PADHA MUNDUR 14.KARTO BENDHO: (SERENG) Karepmu ki piye? Piye????. Arep njago? Arep “menthol?” Hiya???? 15.KABEH : (WEDI) Mboten kok Lik! 16.KARTO BENDHO: (NYAUT MENCERENG) Lha ngapa??? (NGGETAK) Ngapa??? 17.DIRA : Ngeten lho Lik. Sumur mburi ndalem nika rak dinggo wong okeh. Lha kok sakniki dipageri wong wetan ndalem. Napa kula sak kanca mboten entuk muring? 18.KIRJA : (NYAUT) Ha ning wong-wong kulon ndalem nggih kurangajar kok Lik. 19.KARTO BENDHO: Kurangajar piye?? 20.KIRJA : (MANTEB) Saben-saben mbuwang uwuh mesthi teng wetan ndalem! Mboten gelem tenggene dhewe! 21.PATRA : (NYAUT) Nek dipikir ngono wetan ndalem ya kleru! Sing nandur pelem wong kulon ndalem, kok sing njupuki wong wetan ndalem! 22.PANUT : (NYAUT – MANTEB) Kuwi rak merga wite dhoyong ngeten! Mula peleme ya dadi hake wetan! 23.DIRA CS : (NYAUT) Ora isa! 23.KIRJA CS : (NYAUT) Isa wae! 24.DIRA CS : (BARENG) Ora isa !!! 25.KIRJA CS : (BARENG) Isaaa… !! 26.KARTA BENDHO: (SERO) Meneng !!!!!..... Mingkem!!! Dha isa mingkem ora ???! .....Cah enom, ...anake wong nggenah, ....mangan sekolahan,.... lha kok cupet pikire!...Kowe ki dha ngerti ora, xxii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI nek urip tunggal sak kampung kuwi kudu guyup? Kudu ngerti tepa selira, ajen ingajenan, ora mbedakmbedakke sing mlarat karo sing sugih, sing elek karo sing apik, sing cacad karo sing ora cacad!....Ngerti ora???? 27.KABEH : (WEDI) Ngertos Lik. 28.KARTA BENDHO: (MANTEB) Wis, pagere sumur sak iki dibongkar! Nek ngundhuh pelem kudu bareng-bareng terus dibagi sing adil! ...Isa ora? 29.KABEH :(MENENG KABEH) 30.KARTA BENDHO: (NGGETAK) Kok dha meneng wae??? Diwangsuli!!! ….Isa apa ora????? 31.KABEH : Saged Lik. 32.KARTA BENDHO: Wis kana,..... minggat! 33.KABEH : Nggih. DIRA CS LUNGA – GEMBYANG TEKA 34.GEMBYANG: (SENENG) Waaah,...elok! Elok tenan! Kowe jan top tenan! Upama dudu kowe sing misah, apa rampung perkarane. Sengara ta Lik? 35.KARTO BENDHO: Orak. Kowe kok ora mulih ning malah mrene ki genahe ngapa? 36.GEMBYANG: (MANTEB) Anu, arep njaluk tulung kowe ngandhani bojoku. 37.KARTO BENDHO: Lha ngapa? 38.GEMBYANG: (MANTEB) Welhaa, piye ta? Wis sesasi iki lho Lik, bojoku ra gelem nyambut gawe! Janji tak kon mangkat alesane weran-werna. Endi sing sambat kesel, mumet, lara, isin,.....aku rak judheg ta ? Wong sing golek pangan kana! 39.KARTA BENDHO: Terus aku kon ngandhani bojomu? 40.GEMBYANG: Ora ming ngandhani. Ning bojoku supaya mangkat nyambut gawe meneh! 41.KARTA BENDHO: Lha bojomu ki nyambut gawe apa ta Mbyang? 42.GEMBYANG: Ngemis. 43.KARTO BENDHO: Kowe ki kenthir pa piye Mbyang? Bojomu kae rak isih enom ta? Kok malah kon ngemis! Kleru kuwi! 44.GEMBYANG: Ning nek sasi ngene iki rame je Lik? 45.KARTO BENDHO: Aesss, embuh! Ora sudi aku! (LUNGA) 46.GEMBYANG: (GELA) Waaaa,.... kok malah tinggal lunga. Gagal ”misiku.” GEMBYANG LUNGA – BABAK III RAMPUNG BABAK : IV PENDHAPA Paraga : 1, Raminten. 2.Pur Bonsai. 3. Kenyung. 5. Ginah. 6, Giyem. Gendhing : Gagah xxiii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Katrangan : Raminten metu. Ngundang Kenyung. 01.RAMINTEN: (GRENENGAN) Wong ki neng ndi ta ya? Digoleki wit mau kok ra ketemu! (SERO) Nyung!... Kenyung!......Neng ngendi kowe? ..(SAYA SERO) Kenyuuung....!!!! 02.KENYUNG: (ANA MBURINE) Onten napa Den Nganten? 03.RAMINTEN: Kowe ki neng ndi?.... Dibengoki bola-bali kok ra mara! 04.KENYUNG: Lha kula seg nanggung je Den Nganten. 05.RAMINTEN: Nanggung ngapa? 06.KENYUNG: (SANTAI – SERO) Nguyuh! 07.RAMINTEN: Mesthi ora kok siram ketara ambune tekan kene. 08.KENYUNG: Empun kok. 09.RAMINTEN: Kok isih mamu pesing. 10/KENYUNG: Lha mboten ngerti. Wong bar kula wau sing mlebu kulah Pur Bonsai. 11.RAMINTEN: Orak,... tak takon. Karepmu ki jane piye ta Nyung. Njangan sak manci gedhe kok isine ming duduh thok. Ampase ming thokolan rong iji. 12.KENYUNG: Lho, kula rak manut njenengan ta? ... Wau esuk njenengan prentah. ”Nyung, kana blanja neng pasar. Aku gawekna jangan bening.” .... Rak nggih pun kula gawekke ta? Duduhe sak manci kebak, isine thokolan loro. Napa tesih kurang bening? ... Nek kurang, thokolane kula buwange sak niki. 13.RAMINTEN: Kowe ki pancen kenthir kok. 14.KENYUNG: Lha pripun ta? 15.RAMINTEN: Sing diarani jangan bening ki ya nganggo dikeki bayem, tomat karo wortel! Ora kok ming duduh thok terus dikeki thokolan rong iji..... Karo meneh, wis bola-bali lho, kowe ki janji tak kongkon mesthi slenco. 16.KENYUNG :(KEMAKI) Ahh, mosok. 17. RAMINTEN: Hiya wae!.... Wingi kowe tak kongkon tuku apa, hayo? 18.KENYUNG: Diken tumbas sepatu sandhal. 19.RAMINTEN: Lha kok barange durung dikek-ke aku? 20.KENYUNG: (YAKIN) Pun kula simpen teng lemarine Den Nganten. Nek mboten ngandel kula jupuke. (LUNGA – BALI NGGAWA BUNTELAN) Niki barange. Bungkuse mon apik ta? Wong sing milih kula dhewe. ..(DIULUNGKE) Mangga! 21.RAMINTEN: (MBUKAK – MANGKEL) Elhooo,... piye ta iki? Kok dadi aku entuk abrak kaya ngene ki piye? Njur lehku nganggop we piye? 22.KENYUNG: Ha nggih biasa mawon.Sing kiwa dinggo kiwa sing tengen dinggo tengen. Beres ta? 21.RAMINTEN: (NYAUT) Beres gundhulmu kuwi. xxiv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23.KENYUNG: Lhooo, rak malah nesu. Njenengan wingi ngendika pripun. ”Nyung iki dhuwit patangpuluh ewu. Aku tukokna sepatu sandhal ukuran 38. Neng loakan wae sing murah” ... Ngoten ta? 24.RAMINTEN: (NYAUT) Haiya. 25.KENYUNG: Cobi sak niki dipriksani sing tenan. .... (NJUPUK BARANGE) Niki jenenge napa? 26.RAMINTEN: (NYAUT) Haiya sepatu. 27.KENYUNG: Sing niki....??? 28.RAMINTEN: (NYAUT) Genah sandhal ngono kok! 29.KENYUNG: Nek loro kabeh niki,...... 30.RAMINTEN: (NYAUT) Sepatu sandhal! 31.KENYUNG: (SENENG) Haaaaa,... bener kula ta? 32.RAMINTEN: (NYAUT) Bener - bener gundhulmu kuwi! Sing tak karepke sepatu sandhal ki ora ngono kuwi. Kene nyedhak rene, aku arep ana perlu karo kowe. RAMINTEN SUSAH PERKARA OLEHE DURUNG DUWE ANAK. KENYUNG NGLIPUR. RAMINTEN NANGIS.. PUR BONSAI TEKA. MANGKEL. 33.PUR BONSAI: (MANGKEL) Wooo, jebul tenan ta! Bojoku wis ora setia karo aku!....Ditinggal lunga dhilit we jebul glenak glenik karo Kenyung! (NYEDHAK - NESU) Iki dha ngapa iki??? Mesthi arep dha slingkuh!!! 34.KENYUNG: Ampu sero-sero! …Bojo sampeyan lagi susah! 35.PUR BONSAI: (SERO) Ora isa?!!!.... Warok Bonsai ki nek omong kudu sero!!! 36.KENYUNG: (NYAUT) Walaaah,… ngeyel!... Ngga, teng njawi sik! (NJUNJUNG PUR BONSAI DIGAWA LUNGA – BALI MENEH) 37.KENYUNG: Mboten sah nangis. Kabeh niku pun dadi kersane Sing Kuwasa. Den nganten mboten perlu susah. 38.PUR BONSAI: (NESU) Kurangajar!!!..Kowe wani nyemplungke aku neng pawuhan??? Hiyaa???!! 39.KENYUNG: Walaah,…mrene meneh! …(NJUNJUNG PUR BONSAI –LUNGA– BALI MENEH) Sakniki, penggalihe ditata. Kabeh niku rak isa dirembug. Saged ditata. 40.PUR BONSAI: (NESU – SERO) Batur ora tata!! …batur kurangajar!!! 41.KENYUNG: (NGGETAK LUWIH SERO) Hee!!! … Sampeyan ki dikandhani kena ora??? ..Nek omong ora sero- sero! Ndara dikandhani batur kok ngeyel! …. Ayo manut!! ..Nek omong ora serosero!!! 42.PUR BONSAI: (NYEDHAK – LIRIH - CETHA) Ba..tur...ku..rang....ajar. 43.KENYUNG: (LIRIH – CETHA) Sing..kan..dha...sin..ten? 44.PUR BONSAI: (LIRIH – CETHA) Sing... kan...dha ...a...aku. xxv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 45.KENYUNG: (LIRIH –CETHA) Ni..ku..o..ra...be..ner. 46.PUR BONSAI: (LIRIH – CETHA) Ya…...U…wis. 47.RAMINTEN: (NYEDHAK – LIRIH CETHA) I…ki…dha..nga..pa? 48.KENYUNG: (SERO) Piye ta iki ??? ..Kethoprak kok le omong ting klesik! Teneh pentontone ora krungu! ... Pun sak niki ngendika sing cetha Den Nganten. 49.RAMINTEN: Ngene lho Mas. Aku ki ora slingkuh karo Kenyung. Ora Mas. Iki mau, aku lagi sambat Kenyung. .Atase awake dhewe le bebojoan wis puluhan taun kok ora duwe anak. Rak susah ta aku? Mangka aku pengin banget duwe anak. 50.PUR BONSAI: (MANTEB) Haiya ra ”mungkin!” ... Wong aku lanang kowe ya lanang! Nek kowe butuh anak,... teka neng panti asuhan! Golek anak angkat! 51.KENYUNG : Ngangkat anak kula mawon napa? 52.PUR BONSAI: Gah!!..... Rupamu kaya tekek mules kok kon ngepek anak! GIYEM KARO GINAH TEKA 53.GINAH & GIYEM: (BARENG) Kula nuwun! 54.PUR BONSAI: (GEMAGAH) Sapa iiii? Ana cewek cakep-cakep tekan kene? (MARANG KENYUNG) Nyung, cewek-cewek kuwi mesthi arep nggoleki aku. Omonga. Den Baguse Por Bonsai lagi sibuk. Sedhela meneh arep mangkat golep. 55.KENYUNG: Walaaah,.... gawe alesan kok ra masuk akal. Tamune sengara percaya! 56.PUR BONSAI: Kok ra percaya?? 57.KENYUNG: Ha nggih ora percaya! Wong sampeyan karo setike dawa setike kok muni arep mangkat golep! ...Pun, kula takonane. .. Kowe rene arep ngapa Nah? 58.GINAH : (SERO) Kok ndadak takon? Haiya ketemu Den Nganten Raminten ta. Wong ana perlu sing kudu diomongke.... Nek ra ngandel takon Giyem iki! 59.GIYEM : Iya lho Kang! Iki mau ta, aku karo Ginah lagi umbah-umbah. Eee,..lha kok Den Bei Kenthus ki teka! Aku durung nganti takon, dhek-e omong karo methentheng! (NIROKKE) Ginah, Giyem! Le ngumbahi leren! Layang iki digawa,... dikekke Raminten!” ... Ngono kuwi Kang! 60.GINAH : (NYAUT) Jane aku karo Giyem ki ya emoh wong agek ngumbahi! Ning ya kuwi, kowe ngerti dhewe watake Den Bei Kenthus ta?...Dumeh aku karo Giyem ki Magersari terus le ngongkon sak gelem dhewe! (NIROKKE) ”Wis kana gek mangkat! Nek ra gelem mangkat tak tundhung minggat! Ora kena dadi Magersari neng kene!” 61.GIYEM : (NYAUT) Bar ngono kuwi ta Kang, ....... 62.KENYUNG : (MEDHOT) Wis,…uwis! Cukup!,..Kowe ki arep ngekeke layang apa arep ndongeng!... Kene layange! Tak aturne Den Nganten Raminten! 63.GINAH : (NYAUT) Ha ning ngene lho Kang,.... 64.KENYUNG : Uwis ta...ah! ... Ora sah epyek! Endi layange! 64.GIYEM : Nah, layange gek dikekke Kang Kenyung. Mau sing nggawa kowe ta? xxvi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 65.GINAH : Wiii,... ora wae! Wong sak ngertiku mau sing nampani kowe kok! 66.GINAH : Kowe ah. 67.GIYEM : Kowe. 68.KENYUNG : (MEDHOT) Ora sah rame! Layange neng njeron kotangmu! (MARANG GINAH) 69.GINAH : Wooo, hiya. (NGROGOH KOTANG-NGULUNGKE LAYANG ) Nya. 70.KENYUNG : (NAMPA LAYANG – DIBUKAK) Tenggat waktu 30 oktober….. (MANTEB) Woo…asem ki! … Iki ki layang gadhen! 71.GIYEM : Wooo,… nek ngono sing neng kotangku iki Kang.(NGROGOH LAYANG) Nya. 72.KENYUNG : (NAMPANI LAYANG – DIWENEHKE PUR BONSAI) Ngga. Diwaca. 73.PUR BONSAI: (KAGET) Lhoooo?????!! ….Kok dadi ngene karepe Kenthus!!! ....Kurangajar!!! Ngece aku!!!.... Lha kok dadi aku ora isa maca???... (MARANG RAMINTEN) Wacakke Bu. 74.RAMINTEN: (MACA SEDHELA) Iki ngene lho, isine.Sesuk kuwi, para Magersari dikon nglumpuk neng ndaleme Den Bei Kenthus. Ning rehne sedhela meneh aku karo Bapakne mangkat neng Jakarta, mula sesuk ben diwakili Kenthus. 75.KENTHUS : Pun, beres! Kula sing makili! 76.RAMINTEN: Yo pak yo,... tata-tata. Ndhak ketinggalan sepur. 77.PUR BONSAI: Woookeeee…..!!! Wis ya Nyung! … (MARANG GINAH & GIYEM) Daaaah....!! RAMINTEN & PUR BONSAI LUNGA. 78.GINAH : Aku karo Giyem pamit ya Kang. BABAK IV RAMPUNG BABAK : V PENDHAPA Paraga : Kabeh Pemain. Gendhing : Lancaran Katrangan : Kabeh pemain teka. Ponija teka keri. 01.PONIJA : Iki wis dha teka kabeh apa durung? 02.WONG-WONG: (BARENG) Uwis Kang! 03.DHENOK : (NYAUT) Ora dhing Kang!.... Ana sing durung teka! 04.PONIJA : Lha sapa sing durung teka? 05.DHENOK : Sik Gembyang karo Kenyung! 06.PONIJA : Ana sing dipamiti ora? 07.WONG-WONG: Oraaa Kang! xxvii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI GEMBYANG TEKA. IRUNG * CANGKEME DITUTUPI 08.GEMBYANG: Kula nuwun! 09.WONG-WONG: (BARENG) Lhaaa iki wonge teka! 10.PONIJA :Orak. Raimu kok dikrukub slendhang ki ngapa je Mbyang. 11.GEMBYANG: Owalaah Kang,... ora ngrasakke. Gilo ,...pipiku wudunen! (MBUKAK SLENDHANG – PIPINE DIPERBAN LAN DIPLESTER) 12.CIK HWA : (NYAUT) Mbyang! Situ rak wis bola-bali tak kasih tau to? Mbok pigi dha tempate Koh Mbing. Mintak,... ben ndhak kena wudhun terus. Dha sana itu ongkose murah kok Mbyang. 13.DHENOK : Ning nek Gembyang kuwi ora isa mari Cik. Wong mangane rusuh, nek sore ra tau adus! Ambune nganti leteng kaya wdhus. KENYUNG TEKA.MACAK TUMENGGUNG. NGANGGO KACAMATA IRENG 14.KENYUNG : Permisiiii.... 15.WONG-WONG: (TING CLINGUK) Sapa kuwi? ..Sapa ta? 16.KENYUNG : (KAYA ROL KETOPRAK) Sira ora padha bingung –ora sah padha wedi. Ditepungake wae, ingsun iki wakile Raden Nganten Raminten. Nek sira arep ngerti jenengingsun, mara sawangen ingkang permati. ..Ingsun iki kancanira ..Kenyung. (MBUKAK KACA MATA) 17.WONG-WONG: (BARENG) Woooo,...Kenyung ta! 18.GEMBYANG: Orak Nyung. Kok kowe nganggo sandhangan apik ki le entuk ngendi? 19.KENYUNG : (UMUK) Lho! Nggone Den Nganten Raminten. Wonge rak lagi lunga. Sandhangane tak silih. DEN BEI KENTHUS TEKA 20.PONIJA : (GEMBIRA) Waaah,..mangga –mangga, ..mangga Den Bei. 21.KENTHUS : (NYAWANG KENYUNG) Lho, iki kok ana Temunggung kessasar mrene? 22.KENYUNG : (INGAH-INGIH) Kula Kenyung Den Bei. 23.KENTHUS : (KEMAKI) Ooo,.... (NGECE) bature Raminten? 24.KENYUNG : Enggih Den! 25.KENTHUS :(KEMAKI) Ayo,…klambine copot! Ming batur kok le macak ngungkuli sing duwe lemah!..Ngono ki rak jenenge ngejori aku ta? 26.KENYUNG : Nggih. (NYOPOT KLAMBI) 27..KENTHUS : (KEMAKI) Sak iki kabeh mingkem. Aku arep maca layang keputusan. 28.WONG-WONG: Nggih. 29. KENTHUS : (NGETOKAKE LAYANG – DIWACA) Sakwise weruh, nimbang lan nggatekake. Den Bei Kenthus mutusake!.... Sepisan, para Magersari kudu manut sak reh prentahe Den Bei Kenthus. …Kapindhone, wiwit sasi ngarep, sewan lemah sing dinggoni para Magersari, mundhak telungatus persen! xxviii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30.WONG-WONG: (BARENG) Waaaaahh…….. 30A.WONG LANANG-LANANG: Kula protes!!... Kula nggih protes! Protes keras!!! 31.KENTHUS : (NGGETAK) Meneng!....Rungokke sik! Lehku maca durng rampung! ...(MACA LAYANG MANEH) Katelune, keputusane Den Bei Kenthus asipat mutak, ora kena diprotes, diganggu gugat lan diowahi!... Titik! KARTO BENDHO TEKA – NYAUT REMBUG 32.KARTO BENDHO: (MANTEB) Kudu diowahi! Kudu Diganggu guat!!! 33.KENTHUS : Karta Bendho! Lho, kowe ki ngapa ta?... Teka mak bedhengus njur nyaru wuwus! Tugasmu rak wis cetha ta! Rehne kowe tilas bajiongan mula tak bayar, tak kon jaga keamanan! Ora tak kon macahi aku! 34.KARTO BENDHO: (MANTEB) Kula akoni. Kula pancen tilas bajingan! Ning kula ora isa meneng wae weruh sampeyan sewenang-wenang kalih para Magersari! Lan kula isa mbatalke keputusan sampeyan! 35.KENTHUS :(KEMAKI) Ooo,.ngerti aku! Kowe mesthi arep nggunake cara ”preman” dinggo mbatalke keputusanku!... Hiya?! 36.KARTA BENDHO: (MANTEB) Mboten!! Nggen kula wani mbatalke putusan sampeyan merga kula ngerti urik sampeyan! Ngerti pokil sampeyan! ...Sakniki, empun wancine wadi niki kula bukak! Nek sejatine lemah sing dinggoni para pagersari niku dede lemah sampeyan! 37. KENTHUS : (NESU) Kowe aja waton omong! Apa? Apa buktine???Sapa seksine nek sing duwe lemah kene iki dudu aku??? PNG. SURYA TEKA – NYAUT REMBUG 38.SURYA : (MANTEB) Bukti lan seksine,....aku! 39.KENTHUS : (KAGET) Ndara Pengeran Surya????...Penjenengan....penjenengan... 40.SURYA : (WIBAWA) Beine Kenthus. Nggonmu tak percaya ngrumat lemah sing dinggoni para Magersari iki, jebul ming kok anggo piranti nggonmu arep kemaki lan sewenang-wenang! Mangka kowe ngerti. Lemah iki paring ndalem Ingkang Sinuwun marang aku. Lan kowe sing tak percaya ngrumat. Ning kena apa kok salah gunakke dinggo numpuk kesugihan? Apa kowe lali nek Ingkang Sinuwun ora tau gawe cilaka lan sengsarane kawula? ...Coba etungen. Pira akehe siti kagungan ndalem sing dililakke dinggo kawigatene kawula? Pira akehe sekolahan, rumah sakit, pasar lan papan liyane sing dibangun neng sak ndhuwure siti kagungan ndalem Ingkang Sinuwun? 41.KENTHUS : (WEDI) Njih, ..kula,.... kula lepat Njeng Pengeran. 42.SURYA : (WIBAWA) Ngakoni luput kuwi kena. Jalaran wani ngaku luput kuwi ateges isih duwe watak satriya! Semonoa, ngakoni luput kudu sinartan janji, ora bakal mbaleni tumindak kleru! 43.KENTHUS : (WEDI) Injih,.... sendika Njeng Pengeran. 44.SURYA : (WIBAWA) Para Magersari kabeh mawon. 45.KABEH : (BARENG) Kula njeng Pengeran. 46.SURYA : Manggon onten kampung niku kudu nganggo landhesan werna telu. Siji, guyup rukun. Loro, ajen ingajenan. Dene sing kaping telu, nganggo tepa selira.... Kabeh niku mengku teges ”ora kena mbedak-mbedakke siji lan liyane.” ...Embuh sampeyan Jawa, Sunda, Cina, Arab napa Batak, Kabeh duwe hak padha ing bab napa mawon. .... Mulane, rehne lelakon niki pun rampung, xxix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mangga sami memuji. Mugi-mugi, Guyup Kampung niki dadi srana manunggale kabeh warga sing mapan onten kampung niki. 47.WONG-WONG: (BARENG) Sendika!!! GENDHING PANUTUP – BABAK V RAMPUNG T a m a t xxx PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI xxxi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Lampiran 2 LEDHEK BARIYEM Penulis : Ari Purnomo OPENING # Nggambaraken swasana kuburan ing wanci dalu. Lighting lan setting kedah mendukung swasana menika. Sak westawis wekdal, kuburan Bariyem ngedalaken kebul lajeng njebluk…. “ Mak Doooooooooooooooorrrrrrrrrrr !!!!!!! (muga-muga kabeh kaget) ADEGAN 1 : PLATARAN DESA KLAMPIS NGASEM Swasanan : Seneng Paraga : Lurah Sarjana, Marji, Bariyem, Warga Keterangan : Layar di buka, para warga saweg tayuban, sakwetawis wekdal Lurah Sarjana rawuh 1. Marji : Oh…mangga..mangga Pak Lurah… 2.Lurah Sarjana : Hiya..hiya…Marji..kepiye? Apa kowe kabeh pada ngrasakake isa seneng -seneng ing wengi iki ? 3. Giman : Wah..nek ndalu niki jiaaaan katok tenan sing sami remen -remen. Para warga ugi ngraosaken, Pak Lurah!!...Rak yo ngono to Caa ??? 4. Warga : Leres !!!! 5. Lurah Sarjana: Nek pancen para warga ing Klampis Ngasem kene pada seneng, aku uga melu seneng. Lan perkara ragad tayuban iki, kowe kabeh ora perlu melu mikir, merga aku kang bakal nanggung. 6. Warga : Cocok....!!! 7.Marji : Pak Lurah Sarjana mila loma sanget. Mboten klentu menawi mbenjang nalika pilihan Lurah, para warga desa sami milih Pak Lurah Sarjana malih!! Ho’o ra Caaa ???!!! 8.Warga : Leres…leres Pak Lurah !!!! 9. Lurah Sarjana: Yooo….yooo…aku neda nrima banget, nek pancen warga Klampis Ngasem kene isih mercaya aku. Aku wani janji, menawa mbesuk aku kelakon dadi Lurah meneh…aku bakal nganakake tayuban sing luwih gayeng tinimbang wengi iki !!!! 10. Warga : Cocok …!!! 11. Lurah Sarjana: Ora mug kuwi, nanging aku uga janji menawa desa Klampis Ngasem kene Bakal tak gawe luwih raharja lan temata…. 12. Giman : Kula sarujuk Pak Lurah…sampun ngantos desa mriki kawon menawi ditandingaken kaliyan dusun sanesipun… 13. Warga : Sarujuk !!!! xxxii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14. Lurah Sarjana: Yoooh…yooh!!! Bariyem….. 15. Bariyem : Kula Pak Lurah… 16.Lurah Sarjana: Aku maturnuwun banget marang kowe sak kanca, merga kowe wis isa gawe regenging swasana ing wengi iki 17. Bariyem : Injih Pak Lurah…kula sak kanca menika namung sak dermi ngayahi kuwajiban ingkang sampun di dhawuhaken…. Kula sak kanca ugi matur nuwun, amargi pun ditimbali lan saget nayub ten mriki. 18. Lurah Sarjana: Yo..yo…tiba pada - pada. Rehne saiki wis wengi, mula le pada tayuban di lereni ndisik, supaya mbesuk tetep pada isa ngayahi kuwajibane dewe -dewe. Sing kudu neng sawah yo iso menyang sawah.... semana uga sing pada laku dagang, muga-muga le bakulan laris kabeh. 19. Warga : Aamiin…aamiin…nggih Pak Lurah!! 20. Lurah Sarjana: Ning aja pada lali yo….sesuk milih aku...!!! 21. Warga : Njih ..Pak Lurah !!! 22. Marji : Bariyem…. nek kowe arep mulih tak terke wae yo… 23. Bariyem : Ora sah Kang…aku wis kangsen karo kang Sutrisna neng pojok ndesa kok… 24. Giman : Tenane lho, Yem ?? Aja nganti kowe mulih dewe, wong kahanane saiki lagi ndrawasi merga pilihan Lurah iki… 25. Bariyem : Tenan kang…aku wis dienteni neng pojok ndesa kok... 26. Lurah Sarjana: Yowis…sing baku kowe le mulih kudu ngati-ati. 27. Bariyem : Nggeh Pak….maturnuwun…..Sampun, kula nyuwun pamit…pareng pak Lurah Bariyem lajeng kesah. Warga sami bidal. Lampu black out, adegan 1 rampung ADEGAN II : DALAN Swasanan Paraga Katarangan : Sepi : Sutrisna, Mirah, Bariyem, Brawa sakkanca : Sutrisna ngenteni Bariyem, nanging dumadakan Mirah teka ing papan kana. 1. Sutrisna : Wis yah mene.. kok yo Bariyem durung tekan kene to yo?!! Kamangka wingi le kandha aku kudu ngenteni 2. Mirah : Kang...kakang Sutrisna..!!! 3. Sutrisna : Lho Mirah...kok kowe dadi tekan papan kene? 4. Mirah : Ho’o Kang...iki mau aku seka nggone nDari, bareng le gojeg gayeng, aku dadi ra ngerti wayah. Arep nginep neng kana, wedi ndak diseneni bapak, mula njur aku kudu mulih. 5. Sutirsno : Kok yo ora ono sing ngeterke to Rah....?? Wong Pak Saranta yo bapakmu kae rak njago Lurah to, mestine ana sing iso ngetutake lakumu xxxiii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6. Mirah : Iyo kang...ning aku luwih seneng nek lunga dewe kok.. 7. Sutrisna : Arepa kaya ngono, ning rak yo aja njur sak karepmu dewe.. 8. Mirah nanging.... : Aku yo ngerti... mulane arepa kaya ngapa kahanane, aku yo tetep kudu mulih, 9. Sutrisna : Nanging kepiye Mirah ...?? 10. Mirah : Mbok aku njaluk tulung... Kakang Sutrisna gelem ngeterke aku mulih ..blaka wae yo kang...sakjane aku mulihdewe ngene iki yo wedi... 11. Sutrisna : Ngene yo Rah...aku ora kabotan ngeterake kowe mulih, ning kowe kudu ngerti, nek tekaku neng kene iki pancen tak jarak, merga aku wis duwe kangsenan karo wong liya. 12. Mirah : Wong liya sapa..?? Wong nyatane neng papan kene ora ono wong liya kejaba aku lan kowe to Kang..?? Apa pancen kowe ora gelem ngeterake aku mulih?? 13. Sutrisna : Lho..lho..lho...kok malah tekan kana to, lehmu mikir..?? 14. Mirah : Aku pancen kudu mikir tekan kono Kang, merga sapa wae wis ngerti nek kowe kui uwonge Pak Lurah Sarjana, dadi ora mokal nek kowe ora sarujuk karo bapakku. 15. Sutrisna : (ngguyu lirih) Iki ora ana sambung rapet e karo pilihan Lurah, ning pancen aku ki wis duwe kangsen ana ing papan kene tenan. 16. Mirah : (mikir) Karo Bariyem.... ??? 17. Sutrisna : (mesem) 18. Mirah : (mrengut) Tenan to ??? Mesti kangsenan karo Bariyem.... 19. Sutrisna : Iya...ora tak selaki, aku pancen wis kangsen karo Bariyem ketemu neng kene. 20. Mirah : (Mlaku ngadoh) Wiwit awake dewe cilik mbiyen, kowe, aku lan Bariyem neng ngendi-ngendi tansah bareng. Ora awan, ora sore...awake dewe wong telu ora tau pisah. Nalika kui atiku kebak pengarep-arep kang endah. Dina gumanti minggu, minggu gumanti sasi nganti tahun. Saya suwe aku ngrasakake nek kowe luwih nggatekake Bariyem tinimbang aku. Saben-saben mung Bariyem kang tansah kok kandakake. 21. Sutrisna : Kowe ojo kleru panampa ngono kui Rah.... Aku ora tau mbedak-mbedakake ing antarane kowe lan Bariyem. Kowe kabeh kui wis tak anggep kaya adiku dewe. 22. Mirah : Tembung pancen bisa kok gawe, nanging soroting mripat lan tumindakmu ,wis kanda sing saknyatane. Menawa sejati ne kowe tresna marang Bariyem. 23. Sutrisna : Apa luput nek aku tresna marang Bariyem ??? 24.Mirah : Ora ana tembung luput sakjroning rasa tresna. Merga tresna kui berkah dalem saka Gusti. Mung emane, kala mangsa menungsa kang kurang trep anggone negesi lan nibakake marang sapa, rasa tresna kui bakal tumiba. 25. Sutrisno : Trep kanggomu,durung mesti trep kangone wong liya. Merga tresna kui bisa tiba lan di tibakake marang sapa wae. 26. Mirah : Kui jenenge kowe ora bisa ngendalekake playuning atimu. Manungsa di titahake kanggo ngendaleni rasa tresna ,dudu tiba kosok baline ...( mesem ) Nanging kabeh wes dumadi ,banyu udan kang wis tumetes saka nduwur ora bakal bisa bali munggah meneh . xxxiv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27. Sutrisna : Iki mau mung perkara ngeterke mulih, nanging sing dirembug kok dadi tekan panguneg - uneging ati, to..??? 28. Mirah : Lha jeneh, kowe yo nganyelake kok…(mrengut) Mung dijaluki tulung wae kok ora gelem..mbok ayo to, kang!! Mengko rak yo Bariyem ana sing ngeterake mulih… 29. Sutrisna : Wah, ..piye yo?? 30. Mirah : Yo rasah piye - piye, angger njur mangkat rak yo uwis to ?? 31. Sutrisna : Yo wis ayo…ning sing mlaku rada cepet yo. Perlune bar ngeterake kowe, aku yo gek tak methuk Bariyem. 32. Mirah : Yo…ayo !!! Mirah lan Sutrisna lajeng kesah saking papan mriku, mboten dangu Bariyem lajeng dumugi 33. Bariyem : Lho ….kakang Sutrisna ki piye to??? Apa lali nek uwis kangsen karo aku neng kene ??Wis yah mene kok durung teka??? Dumadakan wonten sak gerombolan tiyang ingkang mawi topeng…lan kepengin mrawasa Bariyem . Nanging Bariyem mboten kendel kemawon, salah satunggalipun Brandal saged dipun bikak topengipun. 34. Bariyem : Lho kowe Kang Brawa ??!!Kowe pendereke Pak Saranta !!!! Ajrih amargi sampun kedenengan, Brawa sak kanca lajeng mejahi Bariyem. Jisimipun Bariyem dipun tilar wonten papan mriku. Lampu black out adegan 2 rampung ADEGAN III: OMAH DESA Swasanan : Paraga : Mbok Minten, Sutrisna, Lurah Sarjana, warga Katarangan : layar dibuka, jisine Bariyem wis dilayati dening warga. 1. Mbok Minten: (nangis)Bariyem..... nduk..... kok dadi kaya ngene lelakonmu..??? Ora ngira babar pisan nek kowe nemoni kahanan kaya ngene. Njur sapa sing tegel marang kowe ?? Bariyeemm.... 2. Sutrisna : Aku njaluk ngapura, mbok...Nek mau bengi aku ngenteni Bariyem, tak kira ora bakal ana lelakon kaya ngene…. Iki salahku mbok… 3. Mbok Minten : (nangis) Kabeh wes kelakon, le.. Sing aku ora bisa nampa, njur sapa sing wis tega marang Bariyem?? Wiwit cilik Bariyem ora tau nglarani liyan, srawunge uga jembar.....Sapa sing wis digawe lara dening Bariyem, dene pawongan kui nganti tegel kaya ngene ..?? 4. Sutrisna : Aku janji bakal nggoleki pawongan sing wis tumindhak iki !!! 5. Lurah Sarjana: Mbok Minten, lan kowe Sutrisna… Aku bisa ngrasakke sedihing atimu. Sapa wonge sing ora kelangan nek ditinggal anak, kamangka kanthi nemoni lelakon sing ora sak mestine. Aku melu bela sungkawa.... 6. Mbok Minten: Injih Pak Lurah, matur nuwun sanget… 7. Sutrisna : Kanthi cara menapa kemawon, kula kedah manggihaken sinten ingkang sampun tumindhak tega marang Bariyem, Pak Lurah..!! xxxv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8. Lurah Sarjana: Kowe kudu eling, Sutrisna… Nek kowe tumindhak nganggo caramu dewe, kowe uga bakal dianggep luput, merga saiki awake dewe ora duwe bukti lan seksi sapa sing wis tumindak kejem marang Bariyem. 9. Sutrisna : Kula mboten perduli Pak Lurah..!! 10. Lurah Sarjana: Kuwi jenenge kowe tumindak ngawur. Tanpa bukti lan seksi...kaya dene wong wuta sing lagi mlaku ing sak tengahing gumuk pasir. 11. Sutrisna : Menawi sanes kula, lajeng sinten ingkang badhe tumindak ?? Pak Saranta teka ing papan kono, Brawa sak kanca uga melu 12. Pak Saranta : Aku sing bakal melu nggoleki lan nemokake pawongan kui. Kowe lan Mbok Minten ora perlu kuatir. `13.Lurah Sarjana: Ooo... Sampeyan to Di.. 14. Pak Saranta: Nggih kang... Aku melu bela sungkawa yo, Yu Minten... 15. Mbok. Minten: Injih… matur nuwun sanget Pak. 16. Lurah Sarjana: Aku neda nrima dene sampeyan kepengin melu nggoleki sapa sing wis tegel marang Bariyem 17. Pak Saranta: Sampeyan ora perlu neda nrima kang... Apa sing tak tindakke iki merga aku uga warga Klampis Ngasem kene, aku duwe kuwajiban melu njaga katentreman. 18. Lurah Sarjana: Rasa bela kuwi, kala mangsa tekane pancen sok kaseb... 19. Pak Saranta: Apa karep sampeyan kok kandha kaya ngono..?? 20. Lurah Sarjana: Aku ming arep kanda nek pati ne Bariyem kudu ne isa di singkiri menawa sampeyan isa ngatur wong - wong sampeyan. 21. Pak Saranta:Sampeyan ngarani, nek kabeh iki sing tumindak wong - wong kula.. Ngaten..?? 22. Lurah Sarjana: Aku ora perlu kanda kaya ngono, nanging kahanan sing ngandakake... 23. Pak Saranta : Napa buktine nek tiyang kula sing pun tumindak..?? 24. Lurah Sarjana: Bukti lan seksi ngono ming perangan kanggo nibakakae dakwa. Sing luwih wigati sejatine mung ati lan rasa kamanungsan konggo ne uwong sing wis tumindak. Lan aku percaya nek bukti lan seksi bakal tak temokake menawa wis tekan titi wanci ne... 25. Pak Saranta : Sakdereng e seksi lan bukti teng tangan sampeyan, kudune sampeyan aja ming waton ngucap, merga sampeyan isa kadakwa mitenah liyan..... Ana maling kok alok maling 26. Sutrisna : Nuwun sewu pak Lurah lan Pak Saranta... Kula kinten kirang prayogi menawi penjenengan kekalih sami regejegan ing papan mriki. 27. Pak Saranta : Teka ku iki ora arep regejegan.... Mungsuh ora tak golekki, ning nek ana sing gawe dadakan perkara, sak jangkah wae aku ora bakal mundur. 28. Lurah Sarjana: Bola - bali nek uwong sing isa ne ming nggunakake okol.... 29. Sutrisna : Nuwun sewu Pak Lurah.... Kula suwun sampun pun lajengaken malih. Langkung prayogi menawi sakmenika enggal - enggal ngrukti Bariyem kemawon. Mangga.....!! xxxvi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30. Mbok Minten: Bariyeeemmm...!!!! lampu black out... Adegan III rampung. ADEGAN IV : OMAH PAK SARANTA SWASANA : KENCENG PARAGA : Pak Saranta, Brawa, Kunthing, Bagong, Si Dul, Bu Saranta KETERANGAN : Pak Saranta saweg duka kaliyan Brawa sak kanca 1. Pak Saranta : Ngandel ora…. Bola bali nek rembugan karo wong – wong cubluk.. nyambut gawe do srogal – srogol tanpa petung..!! 2. Brawa : Nggih pak…. Kula nyuwun ngapunten. Kedadosan menika mboten dijarag sakestu. 3. Pak Saranta : Piye..??? Njaluk ngapura..?? Mbok wingi sak durunge tumindak kuwi utek e do di nggo… Bareng saiki ana kedadean kaya ngene, kok njur penak banget kowe njaluk ngapura. 4. Bagong : Ngandel ra kang…. Aku wis krasa kok, nek pak Saranta ora bakal paring pangapura, merga dosa ne awake dewe kuwi wis gede tenan, kang. 5. Pak Saranta : Wong aku kuwi ming kongkonan do tak kon meden – medeni wae… Kok yo njur nganti ana raja pati kuwi piye..?? 6. Brawa : Kawontenan e mila mboten saged disingkiri malih pak. Bariyem ngonangi, menawi kula sak kanca tiyangipun pak Saranta. 7. Kunthing : Nggih pak… Kula sak kanca dados bingung sakestu, awit sami kuwatos menawi asma penjenengan ingkang dados totohanipun. 8. Si Dul : Dados mboten wonten niat sakestu bade mejahi Bariyem.. ho o to kang..?? 9. Brawa : Leres pak… Kula sak kanca mboten niat mejahi sakestu.. 10. Bagong kang…??? : Kanca – kanca niku niat e ming do kepengin mrawasa Bariyem kok pak.. Ho o to 11. Pak Saranta : Piye…??? Dadi pancen kowe do duwe karep kepengin mrawasa Bariyem to…?? Aku rak ming kongkonan kon meden – medeni wae to…!! Kok kowe malah do duwe karep dewe dewe kui piye…?? Bola bali nek menungsa urakan, nggragas kok yo ora mari – mari lho…!! Sodron tenan kok pancene kowe kabeh kuwi…!! 12. Brawa : Cangkem e Bagong kuwi pancen ora isa di tata tenan kok.. 13. Bagong : Lha kok ndadak nganggo di tata ki apa cangkem ku mawut po, kang..?? 14. Brawa : Prek gong...!! 15. Pak Saranta : Nek ana kedadean ngene iki njur kudu piye coba..??? Lurah e Sarjana wis wiwit cubriya marang aku... Kamangka nek kahanan iki di neng ke wae, bakal ngganggu anggonku kepengin maju dadi lurah. 16. Brawa : Pak Saranta mboten sisah bingung perkawis menika.... xxxvii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17. Pak Saranta : Kok kowe isa kanda kaya ngono..?? 18. Brawa buktinipun. : Napa ingkang sampun kula sak kanca tindakaken menika mboten wonten seksi lan 19. Kunthing kewiyak. : Lan sak umpami wonten bukti utawi seksi mesti wiwit wonten layatan wau, sampun 20. Si Dul : Nanging nyata ne... Wau ugi mboten wonten ingkang wantun dados seksi 21. Brawa menika : Menika saged dados bukti, menawi pak Saranta mboten badhe kembet perkawis 22. Bagong : Waahh... Kowe kabeh do salah anggone maca kahanan, kang. Lha wong cetha apa sing di tindakake awake dewe kuwi ana seksi ne, yo kuwi Gusti Allah... Leres to pak..?? 23. Brawa : Cangkemu isa meneng ra to, gong...?? 24. Bagong : Kok rumangsaku, nek aku ngomong kuwi ra tau pener to...?? 25. Pak Saranta : Nek di pikir tenan... Omonganmu kuwi pancen ana bener e, wa... Lan tak kira apa sing di kandakake Lurah e Sarjana kae mau mung pawadan kanggo meden - medeni aku wae.... Nek aku ketok wedi, Lurah e Sarjana malah saya bisa mojokake aku. Ning tenan to... Apa kang kok tindakake kuwi ra ana seksine...??? 26. Bagong : Wonten pak.... Gusti allah seksine... 27. Pak Saranta : Isa meneng ra kowe, gong...??? Aku isih percaya kowe sak kanca, wa... Ning yo kuwi.. Nek nganti sesuk ana seksi utawa bukti sing tumuju marang tumindakmu, tak jaluk kowe kabeh aja nganti ngembet jeneng ku.. Ngerti..?? 28. Brawa : Pak Saranta pitados mawon kaliyan kula sak kanca... 29. Pak Saranta : Yo wis.... Nek ngono, kowe kabeh apik e gek sumingkir wae seka papan kene, mengko ndak malah ana sing ngonangi njur tundone gawe dadakan perkara meneh.... Nyoh... Iki duwit nggo seneng - seneng... 30. Brawa : Njih pak... Matur nuwun Brawa sak kanca lajeng kesah, bu Saranta mlebet kanthi nyangking unjukan 31. Bu Saranta: Niki unjuka ne pak... Gek di unjuk riyin mumpung taksih anget 32. Pak Saranta : Seleh na kono disik.... 33. Bu Saranta : Nuwun sewu pak.... Saking wingking wau kula lamat - lamat krungu rembagan e Brawa sak kanca... Napa sing mejahi Bariyem niku Brawa sakestu napa...?? 34. Pak Saranta : Kowe kuwi ngomong apa to...?? Mbok nek ora ngerti selehing perkara, aja waton muni... 35. Bu Saranta : Mula ne kula takon niku merga kula ora ngerti dodok selehing perkara... Nek pancen Brawa sak kanca sing pun tumindak, nggih mboten sah di belani, napa malih kok njur melu nutup nutupi.... Salah - salah, sampeyan mangke isa di anggep melu tanggung jawab. 36. Pak Saranta : Karepmu...??? 37. Bu Saranta : Sak primpen - primpen e tiyang niku nyimpen bathang, nek wis tekan titi wancine bathang niku mesti bakal mambu.. xxxviii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38. Pak Saranta : Aesh... Crigis... Malah ngrembug tekan bathang barang... Marai ra sida ngelak... Pak Saranta lajeng kesah, lampu black out adegan IV rampung ADEGAN V : CAKRUK RONDA Swasanan : Nglangut Paraga : Suta, Wadi, memedi Bariyem Katarangan kenthongan. : Suta lan Wadi lagi pada njaga katentreman ing desa ( Ronda kanthi) dolanan 1. Suta nyuwara… :Nek arep nuthuk kenthongan ki, yo kudu nganggo irama, Di…ora mung waton 2. Wadi : Karepku ki yo ngono kui, ning kok ndilalah kenthongane ki malah blero… 3. Suta : Yo ora ana, kenthongan kok nganggo blero, nek kui dasare lehmu nuthuk ming waton sero…. 4. Wadi : Kamangka rumangsaku le nuthuk kui yowis nganggo wirasa,wiraga lan wirama je,…ning kok yo ra tau kok anggep pener to?? Aja-aja ngko malah kupingmu sing lagi lara?? 5. Suta : Wong kowe ki ra pener sing nuthuk kok malah ngarani kupinge sing ngrungokake… 6. Wadi : Yo wis…aku tak manut kowe wae…ndak ngko nek aku ra manut ming mbok klerokake terus… 7. Suta : Yo digawe kepiye supaya bisa ngasilake swara kenthongan sing mranani.. Loro karone banjur pada nuthuk kenthongankanthi irama kang penak. 8. Wadi : Ta,Suta….kowe ngrasakake nek wengi iki ora kaya wengi -wengi adate ora?? 9. Suta : Nek rumangsaku kok ora ana bedane… 10. Wadi kae lho… :Ning wengi iki, rasane beda tenan Ta….rasa adem e kekes banget, gek kaya nglangut 11. Suta : Haaeeessssh!!!....kui mung pawadanmu wae. Padune kowe ming arep endo seka tanggung jawab mu to??? Mangka wengi iki wis dadi jatah e awak e dewe lho.. 12. Wadi : Hmmm…mbok saiki awake dewe bali wae yo… Aku ngrasakke pating prinding je.. 13. Suta : Kebelet po kowe,kok pating prinding kui ?? 14. Wadi :Ora yoo..tenan nek iki Taaa…. 15. Suta : Halaaaaaah !! Ngomong wae nek kowe ki dienteni bojomu..kok ndadak ngrasakake pating prinding barang…. 16. Wadi : Kowe lali po…nek Bariyem nggone nemoni pepati kuwi ora sak mestine, gek nganti tekan saiki ora ana sing ngerti sapa sing wis tega mateni . xxxix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17. Suta : Nek dipikir tekan kana, pancen kowe bener Di…. Ning apa yo ana sambung e, suasana ing wengi iki karo pati ne Bariyem???? 18. Wadi : Iso lho…Bariyem nglambrang, merga kepingin nggoleki sapa sing mateni…. 19. Suta : Mbok kowe ora meden - medeni ngono kui, Di…. 20. Wadi wae yo... : Aku ki ora meden - medeni, ming mbok menawa ngono kui kok…wis to saiki bali 21. Suta : Wah..!!ngko nek awake dewe mulih njur sapa sing arep njaga neng kene?? Nek nganti ana apa - apa njur piye ???? 22. Wadi : Ning nek awake dewe tetep neng kene, nek njur Bariyem teka mrene piye ?? Bariyem teka ing papan kono, kanthi wewujudan sing nggegirisi 23. Suta : (weruh luwih disik ) Nek…nek…Bariyem nganti mrene…messs…messti wujude nggegirisi yo ??? 24. Wadi : Ha…iyo.. 24. Suta : Ram…rambute…mesti…mesti..aawuul…awulan..yo??? 25. Wadi : Ha..iyo... 26. Suta : San….san…sandangane..mees…messtii…sarwo..rusak..yo ??? 27. Wadi : Ha..iyo... 28. Suta : Tur…tur..mesti….mam…mambu….wangi..wangi….pengar kae yo?? 29. Wadi : Ha..iyo.. 30. Suta : Ning…suwe..suwe…dadi…mambu…kaaa….kaayaaa bathang kae ?? 31.Wadi : Haa iyo... (lagi sadar)…Nek kowe iso kanda ngana,tegese Bariyem mesti wis neng mburiku yoo..???!!! Wadi alon - alon mengo….. 32. Wadi & Suta: Whhhuaaaaaaaaaaaaaaaaa !!!!!!!!!!!!!!! Wadi lan Suta banjur ambruk... Semaput.. Klenger... Lampu black out, adegan V rampung ADEGAN VI : WARUNG TUAK Swasanan : Gumyak Paraga : Bakul Tuak, Brawa, Brandal-brandal, Memedi Bariyem Keterangan : Brawa sak kanca saweg ndem - ndeman ing warung tuak 1. Brawa : Ayo…!!! Kabeh kudu mendem..!!!! Aja sumelang...mengko aku sing mbayari……ha ha ha... 2. Bagong : ( wis mendem ) Waaaah…nek iki…puenaaaak…tenan!!!...Rasane awak ku enteng, kaya nunggang kupu…mak pleper…pleperrrr... xl PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3. Bakul Tuak : Ning iki mengko do dibayar tenan lho, Wa…. 4. Kunthing :Rasah sumelang…ora-ora nek kang Brawa kok ora mbayar… 5. Bakul Tuak : Adate nek wis do mendem ngono kuwi, njur do minggat dewe-dewe je... 6. Brawa : Kowe ra ngandel nek aku isih kuat mbayar, ngono po piye?? Bagong, Kunthing, karo Si Dul kon ngombe satutugke…mengko aku sing mbayari….!!!! 7. Si Dul : Ho’oh…aja lali utangku sing wingi dibayar sisan..Kabeh di etung, mengko ben dibayari karo kang Brawa…mumpung kang Brawa bar nampa duwit seka Pak Saranta….Ho’o to kang ???!!! 8. Brawa : Haiyooo….!! Neng nek utangmu, yo bayaren dewe Dul !!! 9. Bakul Tuak : Nahhhh….rak tenan, wiiiss.... ngalamat ora kebayar meneh iki..!!! 10. Si Dul : Wis to..rasah sumelang, sing bakul kowe ming gari ngladeni kanca - kanca iki !!..Ning yo kui…tuakke aja sing pengar…!!! Gek winginanae aku ngombe tuakmu sing pengar njur rong ndina murus wae je…. 11. Bagong : Nek leh mu murus kae ora merga ngombe tuak…ning pancen rong ndina kae,kowe ming disambel ke thok karo bojomu, ora dilawuhi.. merga kowe ora mblanja….Ho’o ra???? ( ngguyu lakak-lakak ) 12. Kunthing : Bener..bener kowe Gong… Mangka nek si Dul arep ora mangan neng omah, iso malah dikrawu sambel raine… Mula gelem ra gelem yo kudu mangan neng omah nganggo sambel thok…Hahahahaha !!! 13. Si Dul : (rada mangkel) Matamu!!!!! 14. Brawa : Wis….rasah do crigis wae!!!...nek arep mendem gek do mendem!!! 15. Bakul Tuak : (marang Brawa ) Hee…Wa !!! kowe wis krungu kabar durung ?? 16. Brawa : Kabar apa to yu..??!! 17. Bakul Tuak : Aku krungu seka wong - wong pasar, nek jarene saiki Bariyem urip meneh…. Kabeh kaget nggrungokake kabar kui, nanging banjur pada nylamur-nylamur 18. Brawa : Heee ??...Urip meneh?? Ora sida mati ngono po piye? 19. Bagong : Gek - gek ngko nyawane Bariyem kui serep ??? 20. Bakul Tuak : Ora….dudu ngono kui.. Saiki kuwi Bariyem nglambrang!!Dadi memedi !! Wis bola-bali ngetok - ngetoki kok… Malah wingenane kae jare ndhodogi omahe kang Woto,…nganti kang Woto ki klenger ngenggon lho..!!! 21. Kunthing : Kowe ora dleweran lho yu…ora meden - medeni!! 22. Bakul Tuak : Nggo ngapa aku meden - medeni kowe kabeh…arep a tak wedeni kae, kowe kui rak sengara do wedi to??? xli PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23. Si Dul dhemit… : Heee ??!!...Wooo…Haaa…haaaiyooo!!! Nek aku sak kanca ki sengara wedi karo 24. Brawa : Apa kowe yo tau krungu, nek dhemite Bariyem kui, nggoleki sapa yu???? 25. Bakul Tuak : Wah…nek kui aku ora ngerti Wa,..ning mbok menawa Bariyem kui durung trima, merga nganti saiki sapa sing mateni dheweke durung konangan… 26. Brawa : Arep maleske lara atine, ngono po ?? 27. Bakul Tuak : Yo mbok menawa…saiki sapa wonge sing ora lara ati coba…wong Bariyem kae rumangsaku ora tau natoni ati ne wong liya…kok yo ana sing tumindak tegel. Nek aku..mbok wis ben nek Bariyem kui arep maleske lara atine. Ben sing wis do tegel mateni, do ditekak !!! 28. Bagong : Cangkemmmmmu !!!! 29. Brawa : Wis..wis..saiki rasah ngrembuk Bariyem meneh, wong sing wis mati kui ora bakal urip meneh. Apa meneh kok nganti nglambrang… 30. Bakul Tuak : Hmmm.... nek do ra ngandel yowis… 31. Brawa : Nyooooh..iki duwit dinggo mendem sak tutuge. Aku tak lunga disik.. 32. Bagong : ( wedi ) Kowe arep neng ndi kang.. Aku tak melu kowe wae yooo…??? 33. Brawa : Haeeeesssh!!! Ra sudi aku kok eloni…aku wis duwe kangsen dewe karo rondo anyar wetan ndesa kae…teneh mengko kowe ming ngganggu lehku arep seneng-seneng!!!! 34. Bagong : Aku tak ngenteni neng njaba wae wis… 35. Brawa : Hussh!!..Wegah !! Janji kowe ngeyel malah tak penthungi dewe !!! Wis aku tak pamit disik !!! Brawa banjur lunga seka papan kana..ora suwe swasana dadi beda..Bariyem kanthi wewujudan kang nggegirisi teka neng kana lan malesake lara atine marang Bagong, Kunthing, lan Si Dul. Bakul Tuak sing dadi seksi malah semaput. Sutrisna lan warga teka ing papan kono. Lampu black out adegan VI rampung. ADEGAN VII : DALAN Swasanan : Pemain : Brawa, Bariyem,Sutrisna,Wong-Wong Desa Katarangan bariyem :Brawa lagi mlaku ijen ,ora krasa jebul deweke liwat ing ndalan sing kanggo mateni 1. Brawa : Aku kok dadi liwat dalan kene to..?! kamangka neng papan kene iki,aku mateni Bariyem ...wah...nek ati lagi ora jenjem ngene iki lakuning sikil dadi ora pener. Ning apa sing dikandake bakule tuak mau tenan po yo..??Mokal...mokal nek ana wong sing wis mati isa urip meneh... Kok iki hawane rumangsa ku beda karo adat sabene yo..?!Aeasshh...iki mung merga atiku sing lagi ora jenjem wae... Nalika Brawa arep nerusake laku,deweke dipethuke karo wujude Bariyem kang ngegirisi ,banjur kedadosan pancakara, Brawa bisa dikalahake lan dipateni. Sutrisna lan wong-wong ndesa teka ing papan kono. xlii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2. Sutrisno : Kanca-kanca ....wis saya cetha lelakon e nek sing mateni Bariyem,mesti Brawa sak kanca ...Nyatan e.. Yo ming Brawa sak kanca sing dipateni dening Bariyem 3. Karta lelakon iki. : Nek ngono ora jeneng tembung aneh, menawa pak Saranta kang dadi dalang e 4. Marji : Kowe bener kang Karta..merga wong - wong desa kene wes ngerti nek pak Saranta kuwi kepingin njago lurah . Mula...sapa wae sing ngombyongi pak lurah Sarjana, mesti bakal di pilara kaya dene Bariyem kui.... 5. Sutrisna : Nek petung ku ora kleru.. saiki Bariyem mesti tumuju neng ngomahe pak Saranta ,mula ayo ..awake dewe nututi playune Bariyem. 6. Kabeh : Ayo...ayo..!!!!! Kabeh banjur budal, lampu black out adegan VII rampung ADEGAN VIII : OMAHE PAK SARANTA Swasanan : Pemain : Pak Saranta, Bu Saranta, Bariyem,Sutrisna,Wong-wong desa Katarangan : Pak Saranta ketok lagi bingung ,merga ngerti kahanan sing ora tentrem 1. Bu Saranta : Pak .....niki pun tekan titi wancine , sampeyan kedah ngakeni menapa ingkang sampun di lampahi 2. Saranta : Kok kowe isa kanda kaya ngono..??? 3. Bu Saranta ati. : Kahanan sak niki pun mboten tentrem malih, merga Bariyem kepingin males lara 4. Saranta : Tak akoni..aku pancen perintah marang Brawa sak kanca supaya nyikara Bariyem..nanging karepku aja nganti tumekaning pati, perlune wong-wong sing nyengkuyung Lurah Sarjana pada wedi lan tundhone banjur malik nyengkuyung aku. 5. Bu Saranta : Menika teges e sampeyan kepingin dadi lurah,ning nganggo cara sing kleru. Sampeyan mung gawe warga ajrih, nanging mboten gawe warga kurmat kalih sampeyan. Lurah niku kudune isa disuyuti dening wargane . 6. Saranta : Nek kanggoku, sing jenenge panguasa lan kamukten kuwi dadi wenang e saben uwong. Sok sapa a di wenangke nggayuh kamukten lan panguasa. 7. Bu Saranta : Nggayuh nanging nganggo cara sing bener. 8. Saranta : Benere wong liya, durung mesti bener kanggoku, semana uga kosok baline. Saben uwong kuwi duwe wenang kanggo nggayuh apa sing dadi panjangkan e nganggo carane dewe - dewe 9. Bu Saranta : Nek ngaten... sampeyan pun klentu nggon e negesi kamukten lan panguasa. 10. Saranta : Kok kowe dadi mulang aku, apa rumangsa mu luwih pinter kowe tinimbang aku,ngono...?? 11. Bu Saranta : Menika dede perkawis pinter utawi bodho,nanging perkawis luput lan bener. Kamukten niku mboten kudu di petung kanthi bandha. Semanten ugi panguwasa... nek tiyang pun xliii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI nyepeng penguwasa ,mboten teges saged kangge nguwasani tiyang sanes. Nanging kados pundi panguwasa niku saged damel tentrem lan migunani kangge tiyang sanes. 12. Saranta : Cukup..!!! Nek aku mulya ,tundone kowe uga bakal nemani mulya. Apa kang tak tindakake saiki ora liya yo mung kanggo awake dewe !! 13. Bu Saranta : Nyuwun ngapunten pak ....kula mung kepingin ngemutake mawon. 14. Saranta : Wis.. Wis...aku ora sah di elingke, aku ora lali.Wong wedok kok rumangsaku kakean penemu. Wis kana neng mburi wae. Sakwetawis wekdal, Bariyem kang wujudipun ngegirisi dugi ing papan miru lan mejahi pak Saranta. Sakderengipun Bareiyem kesah, Sutrisna sakkanca sampun ngupeng Bariyem. 15. Sutrisna : Kecandak kowe saiki..!!! wiwit sepisan aku ora ngandel nek kowe kuwi Bariyem. Merga mokal nek ora wong sing wis mati kok isoh nglambrang !! Bariyem dipun tingkes lajeng topengipun dipun bikak 16. Giman dawuhi. : Ampun...ampun kang.!!! Kula ampun di pilara malih, kula niki mung sak dermi di 17. Sutrrisna : Lho....kowe iki rak Giman to...?? Kowe wong e pak Lurah Sarjana. 18. Giman : Ho oh.....aku pancen di prentah dening pak Lurah Sarjana . 19. Sutrisna : Wis saiki ngene wae....aku tak nusul mbok Minten terus tak ketemu Lurahe Sarjana ,kowe kabeh nggawa Giman iki neng ngomahe Jagabaya njur do nusul a neng ngomahe pak Lurah. 20. Kabeh : Yo kang...!!! Sedaya lajeng bidal, lampu black out adegan VIII rampung. ADEGAN IX : OMAH PAK LURAH Swasanan : Pemain : Lurah Sarjana,Mbok Minten,Sutrisna,Warga Keterangan : Lurah Sarjana Saweg Ngantu-Ngantu Tekane Giman 1. Sarjana : Nek Giman ,wis bisa mateni Saranta sak kanca...bisa tak pestekake menawa aku mesti kelakon dadi lurah meneh. Yo nganggo sarana pati ne Bariyem ngene iki aku bisa ngresiki wong - wong sing kepingin dadi lurah,sisan sak pengombyong e..... Ning wes nganti yah mene kok yo Giman durung menehi kabar aku yo....??? Mbok Minten dumugi ing mriku 2. Mbok Minten: Giman mboten saged paring atur malih.!!! 3. Sarjana : Lho....Mbok Minten ... Apa karep mu ngomong kaya ngono kuwi..?? Sing tak karepke kuwi Giman kok durung menehi kabar sapa sing wis mateni anak mu. 4. Minten : Sinten ingkang mejahi anak kula sampun kecepeng. Mboten wonten sanes inggih Brawa sak kanca...abdi nipun Pak Saranta. 5. Sarjana : Yo sokur...sokur nek pancen kaya ngono. xliv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6. Minten : Naning sak menika..jebul kula mangihi piyambak ,wonten tiyang ingkang langkung kejem tinimbang Brawa sak kanca. 7. Sarjana : Karepmu...?? 8. Minten : Brawa pancen sampun mejahi anak kula. Piyambakipun sampun ngrampas gesangipun Bariyem, nanging sampeyan tumindak langkung kejem.. sampeyan sampun ngrampas ketentremanipun Bariyem ing alam kelanggengan . 9. Sarjana : (KAGET ) Aku kok durung isa nampa karepmu..?? 10. Minten : Menapa lepatipun anak kula.?? Menapa lepatipun tiyang ingkang sampun pejah...?? Napa tiyang ingkang sampun pejah tasih saged damel kapitunangin liyan..?? Sampeyan sampun tegel mitenah Bariyem. Anak kula kedahipun sampun tentrem ing alam kelanggengan, nanging sak menika piyambakipun kedah nanggel tumindak ingkang boten dipun lampahi. 11. Sarjana : Kowe aja waton ngucap kaya ngono kuwi Mbok Minten... 12. Minten : Sak limpat-limpat e kidang ingkang saget uwal saking pangoyakipun macan, wonten kala mangsanipun kidang badhe lena sak temah saged pun mangsa dening macan menika...Tumindak sampeyan ingkang sampun ngginakaken pejah e Bariyem, sampun mitenah Bariyem kangge nggayuh kekarepan sampeyan.... Sampun dumugi titi wancinipun tumindak sampeyan kewiyak..!! 13. Sarjana : ( Meneng ) 14. Minten : Menapa tiyang ingkang sampun pejah, tetep mboten gadhah wenang kangge manggihi katentreman ...?? Sampeyan jejering pengayom sing kudu ne saged ngayomi, nanging sampeyan malah tegel mitenah tiyang ingkang sampun pejah...?? Lajeng kados pundi tumindak sampeyan dhateng tiyang gesang..?? 15. Sarjana : Ngarani tanpa bukti lan seksi kuwi uga bisa di arani mitenah..!! 16. Sutrisna : Seksine kulo lan buktinipun sampun cetha, bilih sampeyan perentah Giman supaya memba - memba dadi Bariyem. Sutrisna lan para warga desa sami nglempak ing papan mriku. 17. Surtisna : Pak lurah kedah tanggel jawab marang sedaya ingkang sampun di tindakaken, kalebet kedah tanggel jawab marang pejahipun Brawa sak kanca. Ukum kedah lumampah... Ingkang leres sampun ngantos dipun anggep lepat, lan ingkang lepat sampun ngantos dipun anggep leres..!! Ing pojok panggung ,wujuding Bariyem sing sarwa pucet jumedul... 18. Bariyem : Simboook !!! 19. Minten : Bariyeeemm...!!!! RAMPUNG xlv