BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA A. Pembantuan Dalam Aturan Hukum Pidana 1. Doktrin Pembantuan dalam Hukum Pidana Dalam pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang di dalam suatu tindak pidana. Ada orang yang melakukan tindak pidana yakni pelaku tindak pidana itu dan ada orang lain yang lagi membantu terlaksananya tindak pidana itu40. Menurut Eddy O,S. Hiarief dalam bukunya Prinsip-prinsip Hukum Pidana” yakni bahwa pembantuan haruslah dilakukan dengan suatu kesengajaan. Kendatipun demikian tidak berarti bahwa pembantuan hanya dapat dilakukan terhadap delik-delik yang mempunyai bentuk kesalahan berupa kesengajaan semata, namun juga dapat dilakukan terhadap delik-delik yang mempunyai bentuk kesalahan berupa kealpaan. Terkait pembantuan sebagai suatu kesengajaan, Simons berpendapat sebagai berikut, kesengajaan seorang pembantu harus ditujukan kepada semua unsur perbuatan pidana tersebut, bahkan juga terhadap unsur-unsur yang oleh undang-undang tidak disyaratkan bahwa kesengajaan pelaku itu harus pula ditujukan kepada unsur-unsur delik. Hal ini berbeda dengan Van Bemmelem dan Van Hattum yang menyatakan bahwa jika suatu delik mensyaratkan kesengajaan, maka pembantuan harus dilakukan dengan sengaja. Namun, jika suatu rumusan 40 H.Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, (Jakarta : Universitas Tarumanegara UPT Penerbitan, 1995), hal. 59. Universitas Sumatera Utara delik dapat dilakukan karena kealpaan, maka adanya kealpaan dalam pembantuan sudah cukup untuk memenuhi unsur delik.41 Pendapat Simons lainnya adalah bahwa pembantuan hanya dapat dilakukan terhadap delik-delik yang menghendaki adanya kesengajaan dan tidak mungkin terjadi pada delik-delik yang cukup mensyaratkan kealpaan . secara tegas dinyatakan oleh Simons yakni pembantuan untuk melakukan suatu kejahatan culpa sangat jarang terjadi. Bahkan merupakan suatu yang tidak mungkin seperti halnya menggerakkan untuk melakukan suatu yang tidak mungkin seperti halnya menggerakkan untuk melakukan suatu kejahatan culpa.42 Ciri-ciri dari masing-maing jenis pembantuan adalah sebagai berikut: Jenis pertama (pasal 56 ke-1): a. Bantuan diberikan berbarengan atau pada saat kejahatan dilakukan; b. Daya upaya yang merupakan bantuan tidak dibatasi, (dapat berupa apa saja, berwujud ataupun tidak). Jenis kedua (pasal 56 ke-2): a. Bantuan diberikan sebelum kejahatan dilakukan ; b. Daya upaya (yang merupakan bantuan) dibatasi atau tertentu, yaitu kesempatan , sarana atau keterangan. Pada masing-masing jenis pembantuan disyaratkan: a. Pembantu harus mengetahui macam kejahatan yang dikehendaki oleh petindak (pelaku utama); 41 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi,(Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka, 2016), hal.379 - 380 42 Ibid,hal.381 Universitas Sumatera Utara b. Bantuan yang diberikan oleh pembantu adalah untuk membantu petindak untuk mewujudkan kejahatan tersebut. Bukan untuk mewujudkan kejahatan lain. c. Kesengajaan membantu ditujukan untuk memudahkan atau memperlancar petindak melakukan kejahatan yang dikehendaki petindak. Dengan perkataan lain kesengajaan pembantu bukan merupakan unsur dari kejahatan tersebut.43 2. Pertanggungjawaban Pembantuan Dalam Aturan Hukum Pidana Dilihat dari sudut ajaran bentuk pertanggungjawaban peserta mandiri dan peserta terkait, pembantu (sebagai peserta dalam arti luas/deelnemen) termasuk dalam bentuk pertanggungjawaban peserta terkait. Artinya pertanggungjawaban pembantu terkait / tergantung kepada pertanggungjawaban petindak / pelaku utama. Apabila misalnya petindak benar-benar, melakukan kejahatan yang dikehendakinya itu, maka tanggungjawab pembantu adalah sebagai pembantu pada petindak yang ancaman pidananya ditentukan pada pasal 57 ayat 1, 2 dan 3. Pada dasarnya maksimum dikurangi dengan sepertiga dari maksimum yang diancamkan untuk kejahatan tersebut. Apabila petindak hanya sampai pada percobaan saja, maka pembantu adalah merupakan pembantu bagi petindak untuk percobaan melakukan kejahatan. Apabila petindak tidak jadi melakukan kejahatan, atau baru saja pada persiapan melaksanakan yang tidak diancam dengan pidana, atau apa yang dilakukan oleh petindak bukanlah suatu kejahatan, 43 E.Y.Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika 2012), hal.373 Universitas Sumatera Utara bahkan apabila pelaku dibebaskan dari tuduhan atau dilepaskan dari penuntutan, maka terhadap pembantu tiada persoalan pemidanaan.44 Tentang pertanggungjawaban pembantu termasuk ancaman pidananya termuat dalam pasal 57 KUHP yang berbunyi: 1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga. 2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri. 4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkna hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya. Pertanggungjawaban pembantu dibatasi hanya terhadap tindak pidana yang dibantunya saja. Apabila dalam suatu peristiwa ternyata terjadi tindak pidana yang berlebih, maka tindak pidana yang lebih tersebut bukan merupakan tanggungjawab pembantu. Kecuali tindak pidana yang timbul tersebut merupakan akibat logis dari perbuatan yang dibantunya. 45 B. Aborsi Menurut KUHP Kejahatan adalah perbuatan yang melanggar atau bertentangan, dengan hukum, yang terhadap perbuatan ini bisa dikenakan pidana. Hukum Pidana Indonesia memandang tindakan aborsi tidak selalu merupakan perbuatan jahat atau merupakan tindak pidana, hanya abortus provocatus criminalis saja yang dikategorikan sebagai suatu perbuatan tindak pidana, adapun aborsi yang lainnya 44 Ibid. hal.375 https://hegarsandro.wordpress.com/2010/12/07/teori-penyertaan-tindak-pidana-proflobby-luqman/ , 10 Juli 2017, 21: 16 WIB 45 Universitas Sumatera Utara terutama yang bersifat spontan dan medicalis, bukan merupakan suatu tindak pidana.46 Aborsi juga disebut terminasi kehamilan, yang mempunyai dua macam yaitu: a. Bersifat Legal Aborsi legal dilakukan oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang berkompeten berdasarkan indikasi medis, dengan persetujuan ibu yang hamil dan suami.Aborsi legal sering juga disebut aborsi buatan atau pengguguran dengan indikasi medis. Meskipun demikian, tidak setiap tindakan aborsi yang sudah mempunyai indikasi medis ini dapat dilakukan aborsi buatan. Persyaratan lain yang harus dipenuhi dalam tindakan aborsi adalah : 1. Aborsi hanya dilakukan sebagai tindakan terapeutik. 2. Disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang berkompetensi 3. Dilakukan ditempat pelayanan kesehatan b. Bersifat Ilegal Aborsi illegal oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang tidak berkompeten, melalui cara-cara diluar medis (pijat,jamu, atau ramu-ramuan), dengan atau tanpa persetujuan ibu hamil dan suami. Aborsi illegal sering juga dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten, tetapi tidak mempunyai indikasi medis.47 46 Rukmini, M, Penelitian tentang aspek hukum pelaksanaan aborsi akibat perkosaan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Ham RI, 2004, hal.30-31 47 Notoadmojo, Etika dan Hukum Kesehatan(Jakarta:PT. Rineka Cipta, 2010), hal.136 Universitas Sumatera Utara Soal Aborsi telah diatur dalam beberapa undang-undang, antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan (UUK) kemudian diganti dengan UU no. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah lainnya (misalnya Sumpah dan Kode Etik Kedokteran Indonesia).48 Kata “Pengguguran Kandungan” adalah terjemahan dari kata “abortus Provocatus” yang dalam kamus kedokteran diterjemahkan dengan kata “membuat keguguran”. Pengguguran dalam KUHP diatur oleh pasal-pasal 299, 346,347,34 dan 349. Pasal-pasal tersebut terdapat 3 unsur atau faktor pada kasus pengguguran, yaitu janin, ibu yang mengandung, dan orang ketiga yang terlibat pada pengguguran tersebut. Pengaturan KUHP mengenai “Pengguguran Kandungan” adalah : 1) Pasal 299 KUHP menyatakan: a. Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh seorang wanita supaya diobati dengan memberitahu atau menerbitkan pengharapan bahwa oleh karena pengobatan itu dapat gugur kandungannya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak empat puluh lima ribu rupiah. b. Kalau yang bersalah berbuat karena mencari keuntungan, atau melakukan kejahatan itu sebagai mata pencaharian atau kebiasaan atau ia seorang Dokter, Bidan atau Juru obat, pidana dapat ditambah sepertiganya. c. Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapat dicabut haknya melakukan pekerjaan itu.49 2). Pasal 346 KUHP menyatakan : Seorang perempuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyeluruh orang lain untuk itu maka diancam dengan hukuman penjara paling lama 4 (empat) tahun. 48 49 Chrisdiono, Dinamika Etikan & Hukum Kedokteran, (Jakarta: EGC, 2007), hal.138 Leden Marpaung, Kejahatan dan masalah Prevensinya, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004. hal.75 Universitas Sumatera Utara Penjelasannya adalah : a. Perempuan yang sengaja menggugurkan atau membunuh kandungannya atau suruhan orang lain untuk itu, dikenakan pasal ini.Orang dengan sengaja menggugurkan atau membunuh kandungan seorang perempuan dengan tidak izin perempuan itu dihukum menurut pasal 347, apabila dilakukan dengan seijin perempuan itu, dikenakan pasal 348. b. Cara membunuh atau menggugurkan kandungan itu, baik dengan obat yang diminum, maupun dengan alat-alat yang dimasukkan melalui anggota kemaluan. Menggugurkan kandungan yang sudah mati, tidak dihukum, demikian pula tidak dihukum orang yang membatasi kelahiran anak mencegah terjadinya hamil, c. Jika seorang tabib, bidan atau ahli obat membantu kejahatan dalam Pasal 346, berbuat atau membantu salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka bagi mereka hukumannya ditambah dengan sepertiganya dan dapat dipecat dari jabatannya. 3). Pasal 347 KUHP menyatakan : a. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seseorang perempuan tanpa persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. b. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut maka diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. 4). Pasal 348 KUHP menyatakan : a. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seseorang perempuan dengan persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan. b. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut maka diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. 5). Pasal 349 KUHP menyatakan : Jika seorang tabib, dukun beranak atau tukang obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterapkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambahkan dengan sepertiga dan dapat ia dipecat dari jabatannya yang digunakan untuk melakukan kejahatan itu.50 50 R. Soesilo, KUHP, (Bogor,Politeia,1995), hal. 243-244 Universitas Sumatera Utara Berdasarkan rumusan pasal 299 KUHP, pasal 346 KUHP, pasal 347 KUHP, pasal 348 KUHP dan pasal 349 tersebut di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa : a) Seorang perempuan hamil yang dengan sengaja melakukan aborsi atau ia menyuruh orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara. b) Seseorang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12 tahun, & jika ibu hamil tersebut mati, diancam penjara 15 tahun penjara. c) Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara & bila ibu hamil tersebut mati diancam hukuman 7 tahun penjara. d) Jika yang melakukan & atau membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat ancaman hukumannya ditambah sepertiganya & hak untuk berpraktik dapat dicabut. e) Setiap janin yang dikandung sampai akhirnya nanti dilahirkan berhak untuk hidup serta mempertahankan hidupnya C. Aborsi Menurut UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Leenen mengemukakan bahwa peraturan perundang-undangan yang secara spesifik diterapkan dalam pelayan kesehatan mempunyai landasan yang bersifat teori sendiri, khususnya yang menyangkut “:hak dasar”, yaitu: hak atas pelayanan kesehatan dan hak manusia untuk menentukan nasibnya sendiri. Diakuinya hukum kesehatan sebagai “kesatuhan normative yang didasarkan pada Universitas Sumatera Utara tiang-tiang konstitusi telah berpengaruh sekali terutama dalam pembentukan apa yang dikenal dengan hak-hak pasien.51 UU Kesehatan No.36 tahun 2009, memberikan payung hukum bagi pelaksanaan abortus provokatus pada kehamilan akibat perkosaan yang mengalami trauma psikologi, sehingga pelaksanaan abortus provokatus pada kehamilan akibat perkosaan bisa dilakukan secara aman, akan tetapi undangundang ini juga memberikan syarat, bahwa abortus hanya boleh dilakukan sebelum kehamilan berumur enam minggu yang dihitung dari haid pertama haid terakhir. Adapun pasal yang berkaitan dengan aborsi adalah: 1. Pasal 75 a. Setiap orang dilarang melakukan aborsi b. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan : 1) Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan. 2) Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. c. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat b hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. d. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat b dan c diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Pasal 76 51 Tengker.F. Hukum kesehatan kini dan disini, (Bandung: CV Mandar Maju, 2010) hal . 51 Universitas Sumatera Utara Aborsi sebagaimana dimaksud pada pasal 75 hanya dapat dilakukan : a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari haid pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis. b. Dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri. c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan d. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan. e. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.52 3. Pasal 77 Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. D. Aborsi Menurut PP No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi Pemerintah dalam rangka memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum, serta menata konsep-konsep yang berhubungan dengan hukum yang mengatur penyelenggaraan reproduksi dengan bantuan, aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi, pelayanan kesehatan ibu serta penyelenggaraan kehamilan diluar cara alamiah agar berjalan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat Indonesia yang berkeTuhanan Yang Maha Esa baik dari segi agama, moral, etika, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu mengatur penyelenggaraan Kesehatan Reproduksi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi sebagai peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 52 UU. No.36 tahun 2009. Diakses dari (http:/www.portallhr.com/wp contents/uploads/dara/pdju/pdfperaturan /1204001310.pdf, 20 Mei 2017, 22:15 WIB Universitas Sumatera Utara Peraturan Pemerintah (yang selanjutnya akan ditulis PP) Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, secara khusus mengatur mengenai Aborsi yaitu pada Bab IV dengan judul Indikasi Kedaruratan Medis Dan Perkosaan Sebagai Pengecualian Atas Larangan Aborsi. Bab ini terdiri dari 4 Bagian dan dibagi lagi kedalam sub-sub bahasan, dimulai dari Pasal 31 sampai Pasal 39. Pasal 31 PP ini mengatakan bahwa salah satu pengecualian untuk dapat dilakukannya aborsi adalah terhadap kehamilan akibat perkosaan. Tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Jika melihat kembali aturan yang dirumuskan didalam UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, salah satu syarat dalam pelaksanaan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan dalam UU tersebut yaitu bahwa aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. Yang dimaksud dengan 6 (enam) minggu sama hal nya dengan 42 (empat puluh dua) hari. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan yang jauh apabila membandingkan rumusan aturan mengenai aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan ini dalam UU Kesehatan dengan PP Kesehatan Reproduksi. Salah satu sub bahasan yang dirumuskan dalam PP ini adalah mengenai Indikasi Perkosaan. Pasal 34 : (1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan : Universitas Sumatera Utara a. Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan b. Keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan. Peraturan Pemerintah ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan perkosaan adalah hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam ayat ini yaitu pada frasa : “hubungan seksual tanpa persetujuan dari perempuan”, dan frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Frasa “hubungan seksual tanpa persetujuan pihak perempuan” tidak dibatasi lebih lanjut dalam peraturan pemerintah ini. Hal ini berarti bahwa selain perkosaan yang di atur secara umum dalam Pasal 299, 346, 347, 348, dan 349 KUHP, maka hubungan seksual dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya (kekerasan seksual dalam rumah tangga) juga termasuk dalam pengertian ayat ini yaitu merujuk kepada UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada Pasal 8 dan Pasal 46. Frasa selanjutnya yaitu frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, hal ini setiap berarti merujuk kepada setiap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana hubungan seksual tanpa persetujuan pihak perempuan itu sendiri. Pasal 34 ayat 2 (dua) menyatakan bahwa kehamilan tersebut dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter dan keterangan dari penyidik, psikolog dan atau ahli lain. Ahli lain yang dimaksud antara lain dokter spesialis psikiatri, dokter spesialis forensik, dan pekerja sosial. Wewenang masing-masing profesi dalam ayat ini berbeda. Dokter yang dimaksud pada huruf a, berwenang mengeluarkan Universitas Sumatera Utara surat keterangan mengenai usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan. Yang dimaksud dalam huruf b yaitu penyidik, psikolog dan atau ahli lain, berwenang memberikan keterangan mengenai adanya dugaan perkosaan. Tidak dijelaskan lebih rinci dalam ayat ini apakah dokter wajib mensyaratkan korban membuat laporan pengaduan pidana telah benar terjadi perkosaan terlebih dahulu baru dapat mengeluarkan visum et repertum, atau hal tersebut dapat dilakukan secara seiring sejalan, atau bahkan visum et repertum dapat dikeluarkan terlebih dahulu baru kemudian laporan pengaduan pidana menyusul. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam ayat ini adalah kata “dan” yang artinya bahwa baik surat keterangan dari dokter maupun keterangan dari penyidik, psikolog dan atau ahli lain, keduanya wajib ada dan tidak dipilih salah satu. Berdasarkan hal tersebut tampak koneksitas antara penegak hukum dengan tenaga medis. Keakuratan hasil pemeriksaan oleh tenaga medis sangat dibutuhkan dalam hal ini. Pasal 35 : (1) Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab. (2) Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar; b. dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri; c. atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; e. tidak diskriminatif; dan f. tidak mengutamakan imbalan materi. (3) Dalam hal perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak dapat memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat diberikan oleh keluarga yang bersangkutan. (4) Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diberikan oleh keluarga yang bersangkutan. Universitas Sumatera Utara Pasal 36 : (1) Dokter yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a harus mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi. (2) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan anggota tim kelayakan aborsi atau dokter yang memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat perkosaan. (3) Dalam hal di daerah tertentu jumlah dokter tidak mencukupi, dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari anggota tim kelayakan aborsi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur dengan Peraturan Menteri. Pasal 35 berlaku tidak hanya bagi aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan tetapi juga terhadap indikasi medis. Peraturan Pemerintah ini tidak menjabarkan lebih lanjut defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan pelaksanaan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggungjawab melainkan mencantumkan beberapa hal yang meliputi pelaksanaan aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggungjawab tersebut. Penjelasan Pasal 35 menyebutkan, yang dimaksud dengan “tidak mengutamakan imbalan materi” dalam Pasal 35 ayat (2) huruf f adalah biaya pelayanan sesuai dengan perhitungan unit cost. Pasal 36 ayat (1) menyatakan yang dimaksud dengan dokter dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a adalah dokter yang telah mengikuti pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi. Penjelasan Pasal 36 menyebutkan, yang dimaksud dengan “pelatihan” adalah pelatihan yang diselenggarakan oleh penyelenggara terakreditasi dan dibuktikan dengan sertifikat. Dokter yang dimaksud bukan merupakan anggota tim kelayakan aborsi atau dokter yang memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat perkosaan, hal ini dimaksudkan agar menghindari konflik kepentingan. Aturan tersebut dapat Universitas Sumatera Utara dikecualikan bagi daerah yang tidak memiliki dokter yang jumlahnya mencukupi sehingga dapat dilakukan oleh dokter yang sama. Pasal 37 mengatakan bahwa tindakan aborsi terhadap kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling. Konseling yang dimaksud adalah meliputi konseling pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor. Konselor adalah setiap orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan. Konseling pra tindakan antara lain untuk menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi, untuk mengetahui aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang, untuk menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dankemungkinan efek samping atau komplikasinya, untuk membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi, dan untuk menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi. Konseling pasca tindakan antara lain untuk mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi, untuk membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi, untuk menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan rujukan bila diperlukan, dan untuk menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan. Pasal 38 ayat (1) menyebutkan, apabila setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf d atau Universitas Sumatera Utara karena tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukan tindakan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi, maka korban perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan. Pendampingan yang dilakukan dapat berupa pendampingan psikologis, pendampingan sosiologis, dan pendampingan medis. Pasal 38 ayat (2) menambahkan bahwa anak yang dilahirkan dari ibu korban perkosaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 38 ayat (1) dapat diasuh oleh keluarga. Keluarga yang dimaksud adalah orang tua kandung atau anggota keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. Apabila keluarga menolak untuk mengasuh anak yang dilahirkan dari korban perkosaan, anak tersebut menjadi anak asuh yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan karena keluarganya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar. Pasal 39 menegaskan bahwa setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepala dinas kesehatan provinsi yang dilakukan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan. Universitas Sumatera Utara