BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan pemerintah Australia dalam mengatasi masuknya pengungsi secara ilegal melalui jalur laut adalah dengan mengusir perahu sebelum memasuki teritori laut Australia. Melalui kebijakan turn back boat, diharapkan pemerintah Australia dapat lebih mudah mengatur masuknya imigran ke wilayah Australia. Kebijakan ini pertama kali diperkenalkan di masa pemerintahan John Howard. Pada 3 September 2001 Operation Relex resmi diberlakukan, angkatan laut (AL) Australia diperintahkan untuk menahan dan memutarbalikkan perahu yang berisi Suspected Illegal entry Vessels (SIEVs) – orang yang dicurigai datang secara ilegal. Perahu yang dicurigai tersebut dikembalikan ke tepi teritori laut Indonesia. Operasi ini berlanjut hingga 16 Juli 2006 meskipun pada 13 Maret 2002 sempat diberhentikan karena terdapat penyelidikan terhadap kecelakaan maritim yang diakibatkan oleh operasi relex.1 Di masa pemerintahan Tonny Abbot turn back boat policy kembali diberlakukan melalui Operation Sovereign Borders. Operasi ini dimulai pada 5 Januari 2014 dimana perahu yang datang dari Indonesia dicegat dan dipindahkan ke dalam perahu penyelamat sekali pakai yang diseret kembali ke tepi teritori laut Indonesia. Hingga Mei 2015 lebih dari 20 perahu dicegat oleh AL Australia. Pengungsi datang dari Sri Lanka, Vietnam dan India yang berusaha mencari suaka. Sebagian besar dari mereka dipulangkan kembali ke negara asal mereka atau ditahan di pusat penahanan (detention) di Nauru dan Papua Nugini (PNG) untuk menunggu proses suaka selanjutnya.2 Pusat penahanan yang telah disiapkan oleh pemerintah Australia tidak cukup untuk menampung pengungsi yang ditahan 1 Senate Select Committee, Inquiry into a Certain Maritime Incident: Report, 23 Oktober 2002, <www.aph.gov.au/Parliamentary_Business/Committees?url=maritime_incident_ctte/report.pdf> , diakses pada 18 Agustus 2015. 2 Minister for Immigration and Border Protection, 28 Januari 2015, ‘Operation Sovereign Borders, High Court Decision, Manus Island Situation’ (Press Conference, Joint Agency Taskforce Operation Sovereign Borders), <http://www.minister.immi.gov.au/media/pd/2015/pd221087.htm>, diakses pada 18 Agustus 2015 1 disana. Ketidaklayakan pusat penahanan tersebut mengganggu keberlangsungan hidup para pengungsi, terutama ketika proses penindaklanjutan suaka dapat berlangsung hingga beberapa tahun. Akses para pengungsi akan makanan, air, sinar matahari hingga kebebasan dalam bergerak sangat terbatas. Seringkali para pengungsi dalam pusat penahanan terpisah dari anggota keluarga mereka dan mengalami berbagai macam kekerasan – kekerasan fisik, verbal, dan seksual. Aksi pemulangan pengungsi melalui kapal yang dilakukan pemerintahan Australia dianggap tidak aman. Terdapat probabilitas bahwa perahu yang mengangkut pengungsi secara ilegal tersebut penuh dengan manusia. Rata-rata terdapat 65-85 orang dalam satu perahu. Kondisi tersebut tidak aman terlebih lagi ketika pemerintah Australia memulangkan perahu tersebut ke tepi teritori Indonesia. Terdapat pula situasi dimana perahu yang berhasil dicegat Australia menjadi berbahaya ketika para pengungsi memilih untuk melompat ke dalam air dan menghancurkan perahu sebelum diputarbalikkan. Pengungsi menjadi perhatian dunia terutama ketika berkaitan dalam konflik maupun perang saudara. Oleh karena itu terdapat hukum internasional yang mengatur masalah pengungsi dan hak asasi manusia (HAM) seperti Refugee Convention, the International Covenant on Civil and Political Rights, dan the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punisment. Terdapat pula peraturan yang mengatur permasalahan di laut seperti UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), the International Convention for the Safety of Life at Sea, dan the International convention on Maritime Search and Rescue.3 Australia termasuk kedalam negara yang menandatangani dan meratifikasi traktat-traktat tersebut sehingga memiliki kewajiban untuk menerima dan membantu pengungsi yang datang ke teritori mereka baik dari jalur udara, darat, dan laut. Berkaitan dengan turn back boat policy, Australia terancam melanggar traktat yang telah disepakati apabila memutarbalikkan perahu tanpa menyelidiki terlebih dahulu status para pendatang sebagai pengungsi atau bukan terutama ketika perahu yang digunakan tidak aman. Secara hukum pengungsi tersebut menjadi 3 Kaldor Centre, 4 Augustus 2014, ‘Turning Back Boats’ (online), <www.kaldorcentre.unsw.edu.au/publication/’turning-back-boats’>, diakses pada 18 Agustus 2015. 2 tanggung jawab Australia ketika otoritas Australia memutarbalikkan perahu di perairan internasional dan situasi tersebut menyebabkan terancamnya keselamatan para pengungsi. Opini masyarakat internasional cenderung melihat turn back boat policy sebagai upaya Australia tanpa melihat akibat jangka panjang dari aksi memutarbalikkan secara paksa perahu dari perairan Australia. Tindakan Australia tersebut secara norma sudah melanggar peraturan internasional yang telah dibuat untuk melindungi dan mengatur masalah pengungsi. Meski demikian Australia diperkenankan untuk menjalankan berbagai bentuk kontrol apabila diperlukan untuk mencegah pelanggaran terhadap peraturan imigrasi. Australia juga dianggap telah lepas tangan dalam menyelesaikan masalah pengungsi dari laut ketika mereka memutarbalikkan perahu sehingga menaruh beban masalah pengungsi terhadap negara transit seperti Indonesia, Malaysia, Nauru, dan Papua Nugini. Penempatan pusat penahanan pun lebih banyak berada di negara tetangga seperti Nauru dan PNG daripada teritori Australia sendiri – seperti Pulau Christmas. Dana yang dijanjikan pemerintah Australia terhadap negara transit sebagai timbal balik dari kesediaan negara tetangga untuk menampung para pengungsi tidak cukup untuk mengatur dan memberikan kehidupan layak bagi para pengungsi di tempat penampungan. Indonesia menjadi negara yang sering menjadi tempat transit para pengungsi dan merupakan negara yang tidak memiliki kewajiban untuk mengurus pengungsi selain mendeportasi mereka ke negara asal. Pengungsi yang berada di Indonesia diatur dan diurus oleh UNHCR. Pemerintah Indonesia mengecam kebijakan Abbott dalam turn back boat policy karena membebankan Indonesia dan melihat Australia sebagai negara yang lepas tangan dalam menyelesaikan masalah imigran gelap.4 Tony Abbott sendiri menyatakan turn back boat policy sebagai upaya Australia dalam memerangi penyelundupan manusia.5 Sehingga menjadi justifikasi Australia ketika memulangkan perahu tersebut ke perairan internasional. 4 UNHCR, September 2014, Indonesia Factsheet September 2014, <http://www.unhcr.or.id/images/pdf/publications/indonesiafactsheetsept14.pdf>, hlm. 2, diakses pada 9 November 2015. 5 The Australian Financial Review, 9 Januari 2014, ‘Coalition Quiet on Asylum to Stop “Mischief”: Abbott’ (online), <http://www.afr.com/p/national/coalition_quiet_on_asylum_to_stop_ vLy0btXpFOa8xoIDklIXyN%3E>; ABC, 10 Januari 2014, ‘Abbott likens campaign against people 3 Negara lain seperti Itali dan Swiss yang juga menjadi tujuan para pengungsi melihat turn back boat policy sebagai tindakan berlebihan Australia. Hal ini dikarenakan puncak kedatangan imigran gelap melalui jalur laut terjadi di 2013 pada 20000 jiwa. Sedangakan Itali menerima kurang lebih 70000 jiwa dalam satu tahun dan Swiss menerima kurang lebih 6000 jiwa dalam satu bulan.6 Pada dasarnya kecaman dunia internasioal terhadap turn back boat policy Australia terjadi karena tidak ada jaminan keselamatan bagi para imigran melalui prosedur dan tindakan pengembalian perahu ke perairan internasional. B. Rumusan Masalah Pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana dampak turn back boat policy Australia terhadap negara tetangga seperti Indonesia, Papua Nugini, dan Nauru serta tanggapan dari pemerintah masing-masing? 2. Bagaimana tanggapan dunia internasional, khususnya PBB dan negara Eropa penerima pengungsi seperti Italia dan Yunani, terhadap turn back boat policy Australia? C. Landasan Konseptual Bagi setiap negara keamanan menjadi hal yang penting karena ingin menjaga kondisi sosial dan kesejahteraan masyarakat. Secara traditional, keamanan negara dicapai melalui penjagaan perbatasan negara, mencegah invasi negara lain, serta menjaga keamanan dalam negeri. Oleh karena itu militer menjadi penting dalam menjaga keamanan tersebut. Militer merupakan bentuk upaya negara dalam melisensi kekerasan agar dapat digunakan sebagai instrumen penjaga keamanan. Sehingga banyak peningkatan fasilitas militer yang digunakan sebagai deterrence dari serangan asing, hal ini secara tidak langsung menjadi bagian dari upaya negara smugglers to war’ (online), <http://www.abc.net.au/news/2014-01-10/abbott-likens-campaignagainst-people-smugglers-to-war/5193546%3E.%C2%A0>, diakses pada 15 Agustus 2015. 6 J. Robertson, 12 Maret 2015, ‘Turning Back the Boats is a Moral and Legal Failure, Say Academics’ (online), <www.theguardian.com/australia-news/2015/mar/12/turning-back-the-boats-is-amoral-and-legal-failure-say-academics>, diakses pada 15 Agustus 2015. 4 dalam menjaga keamanan. Perang pun menjadi jalan lain negara dalam mempertahankan teritori dan kedaulatan wilayah. Meski demikian, keamanan semakin berkembang tidak hanya mencakup masalah teritori, namun juga ideologi, agama, etnis, hingga teknologi. Perbedaanperbedaan yang muncul menimbulkan ketegangan yang mengancam keamanan negara. Munculnya upaya preemptive strike ikut pula meningkatkan ketegangan antara negara. Sehingga militer tetap menjadi alat yang diandalkan untuk mengatasi ancaman keamanan tersebut. 7 Dewasa ini keamanan semakin luas cakupan bidangnya. Keamanan teritori tidak lagi menjadi fokus utama karena perubahan zaman yang memasuki era globalisasi. Era ini semakin mengaburkan batas-batas negara melalui perkembangan teknologi dan transportasi yang mempersingkat waktu dan mempermudah aktivitas manusia. Oleh karena itu ancaman yang muncul semakin kompleks. Bentuk keamanan yang berbeda, yakni keamanan nasional, keamanan internasional, keamanan manusia, keamanan energi, keamanan maritim, hingga paradigma keamanan dalam konflik. Keamanan maritim dan keamanan nasional menjadi dua bentuk keamanan yang akan digunakan dalam menjelaskan upaya Australia dalam menangani masalah imigran gelap dengan menggunakan kebijakan turn back boats. 1. Keamanan maritim Keamanan maritim tidak memiliki definisi baku universal dalam hubungan internasional karena melingkupi berbagai topik dalam politik. Elemen-elemen yang terkandung dalam keamanan maritim antara lain adalah perdamaian dan keamanan internasional; kedaulatan/integritas teritori/kebebasan berpolitik; keamanan dari kejahatan di laut; keamanan sumber daya; keamanan lingkungan; dan 7 W. H. Taft IV, 18 November 2002, The Legal Basis for Preemption (online), Council on Foreign Relations, <http://www.cfr.org/international-law/legal-basis-preemption/p5250>, diakses pada 16 September 2014. 5 keamanan bagi pelaut dan nelayan.8 Berbagai ancaman muncul bagi keamanan maritim seperti ancaman terhadap kedaulatan teritori negara, pembajakan yang terjadi di laut, penangkapan ikan ilegal, penyelundupan ilegal manusia maupun narkotika, hingga pembuangan limbah ilegal. Untuk menjaga keamanan maritim dari ancaman tersebut, telah dibentuk berbagai legal framework sebagai upaya mencegah dan menahan ancaman bagi keamanan maritim. Beberapa dilakukan melalui Piagam PBB, UNCLOS, serta berbagai konvensi dan aturan yang telah dibentuk dan disepakati di tingkat regional, bilateral, dan nasional.9 Melalui turn back boats policy, keamanan maritim hanya dirasakan oleh Australia. Padahal keamanan maritim dapat lebih tercapai melalui kerjasama bilateral maupun regional. Hasil dari kerjasama internasional tersebut pun dapat lebih stabil dipertahankan bersama dalam mencapai keamanan maritim. Turn back boats policy mengancam keamanan maritim negara tetangga seperti Indonesia yang terpaksa menampung imigran gelap sebagai negara transit. Masalah imigran gelap adalah masalah global yang seharusnya diselesaikan bersama tanpa merugikan pihak lain. Turn back boats policy dilihat oleh dunia internasional sebagai aksi lepas tangan dari burden sharing masalah global. 2. Keamanan non tradisional Konsep keamanan non tradisional merupakan perkembangan dari keamanan tradisional. Sebelumnya keamanan terfokus pada militer dan negara sehingga masalah keamanan selalu berkaitan dengan masalah antar negara (interstate). Menurut Timothy D. Hoyt (2003), keamanan non tradisional fokusnya lebih luas yakni keamanan intra negara (intrastate) dan keamanan lintas nasional (transnational).10 Apabila 8 M. Ameri dan M. Shewchuk, 2007, UNITAR/DOALOS Briefing, ‘Maritime Security and Safety’ (online),<http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/convention_25years/07unitar_ doalos_2007.pdf>, hlm. 2, diakses pada 28 Agustus 2015. 9 M. Ameri dan M. Shewchuk, Maritime Security and Safety, hlm. 4. 10 M. Keliat, Keamanan Maritim dan Implikasi Kebijakannya bagi Indonesia, ‘Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik’, vol. 13, no. 1, Juli 2009, hlm. 113. 6 dijabarkan lebih rinci keamanan non tradisional dapat diidentifikasi dari lima dimensi: (a) asal ancaman (the origin of the threats) yakni negara dan non negara: domestik dan lintas nasional (b) sifat ancaman (the nature of threats) yaitu non militer: ekonomi domestik, lingkungan hidup, terorisme, wabah penyakit, dan narkotika (c) respon (repsonses) juga non militer: liberalisasi ekonomi, demokratisasi, dan HAM (d) perubahan tanggung jawab terhadap keamanan (changing responsibility of security) menjadi negara, organisasi internasional, dan individu (e) dan nilai inti dari keamanan (cores values of security) menjadi kesejahteraan ekonomi, hak asasi manusia, perlindungan terhadap lingkungan hidup.11 Masalah imigran yang masuk ke Australia melalui perahu dalam konsep keamanan non tradisional merupakan masalah keamanan intra nasional. Sehingga kebijakan nasional yang lingkup hukumnya hanya pada batas negara tidak dapat menyelesaikan masalah pengungsi secara efektif. Turn back boats policy menjadi sebuah kebijakan yang dampaknya pendek dan hanya dinikmati oleh Australia sendiri. Masalah baru muncul setelah kebijakan ini diimplementasikan dan mencakup regional Asia Tenggara dan Pasifik. 3. Keamanan wilayah (regional security) Konsep keamanan wilayah adalah kepentingan kolektif atas keamanan negara anggota regional karena keamanan salah satu negara berdampak pada keamanan negara tetangganya dan keamanan kawasan. Terdapat interdependensi dari negara anggota untuk mencapai keamanan 11 B. Perwita, 2007, Redifinisi Konsep KEamanan: Pandangan Realisme dan Neo Realisme dalam HI Kontemporer dalam Y.P. Hermawan (ed) Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi, Bandung, Graha Ilmu, hlm. 43. 7 regional.12 ASEAN Regional Forum (ARF) menjadi salah satu contoh bentuk realisasi proses pencapaian keamanan wilayah. Meskipun perubahan diperlukan karena sistem keamanan ARF masih belum kohesif dalam mengatasi masalah regional.13 Terdapat pula Council for Security cooperation in the Asia Pasific (CSCAP) yang terus berupaya dan mendorong agar kerjasama regional dapat tercapai dengan lebih efektif sehingga keamanan wilayah dapat terwujud.14 Turn back boats policy sebagai kebijakan nasional Australia berupaya dalam mengatasi masalah yang dibawa imigran khususnya yang masuk melalui jalur laut. Masalah ini seharusnya diwacanakan di level regional Asia Pasifik agar dapat dicari solusi efektif dari masalah tersebut. Kebijakan Australia tersebut menunjukkan bahwa keamanan wilayah masih belum dapat dicapai ketika Australia secara sepihak membuat kebijakan yang ikut berpengaruh kepada negara tetangganya seperti Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Selandia Baru, dan Nauru. 4. HAM Turn back boats policy merupakan kebijakan sebagai upaya Australia menjaga keamanan nasional, terutama keamanan teritori laut dari imigran gelap, akses masuk penyelundupan manusia, narkotika, dan senjata, serta aksi terorisme lainnya. Kebijakan turn back boats ini secara normatif berpotensi melanggar hak asasi manusia karena memaksa pendatang tanpa identitas untuk berbalik arah perahu. Hal ini dilakukan tanpa diskriminasi dan prosedur yang kurang manusiawi. Sedangkan pengungsi memiliki hak yang telah dijamin dunia 12 P. Kameri-Mbote, 2004, Gender conflict and Regional Security, <http://www.ielrc.org/content/a0502.pdf>, hlm. 2, diakses pada 5 November 2015. 13 L.K. Ponappa dan N.T.Y. Huong, 2014, CSCAP’s Third Decade: Anticipating the Evolving Regional Security Architecture dalam CSCAP Regional Security Outlook 2014, <http://www.cscap.org/uploads/docs/CRSO/CRSO2014.pdf>, hlm. 49, diakses pada 5 November 2015. 14 R. Huisken, 2014, Introduction : CSCAP Regional Security Outlook 2014 dalam CSCAP Regional Security Outlook 2014, <http://www.cscap.org/uploads/docs/CRSO/CRSO2014.pdf>, hlm. 7, diakses pada 5 November 2015. 8 internasional melalui UN 1951 Convention.15 Hak pengungsi dan pencari suaka untuk pindah dan menetap di wilayah yang lebih aman terus diperjuangkan melalui organisasi UNHCR (The United Nations High Commissioner for Refugees).16 Oleh karena itu, Australia mendapat berbagai tentangan dari dunia internasional seperti PBB dan negara tetangga atas implementasi kebijakan tersebut. Di satu sisi Australia memiliki hak untuk bertindak dalam menjaga kedaulatan teritori sesuai dengan hukum internasional yang berlaku. Akan tetapi di sisi lain cara Australia menjaga keamanan nasionalnya, melalui turn back boat policy, tidak sesuai prosedur yang manusiawi, hanya bersifat jangka pendek, dan memunculkan permasalahan baru seperti detentions yang tidak layak ditinggali dan kekerasan yang dialami para imigran gelap di detentions tersebut selama menunggu proses pemberian suaka. D. Hipotesis Turn Back Boat Policy merupakan kebijakan domestik yang menjadi bagian dari imigrasi Australia. Dampak dari kebijakan tersebut ikut berpengaruh terhadap dinamika maritim regional antara Australia, ASEAN, dan Asia Pasifik sehingga berbagai tanggapan dari PBB dan negara tetangga – seperti Indonesia, Papua Nugini, Selandia Baru, dan Nauru – muncul dan cenderung menentang kebijakan Australia tersebut. 1. Dampak kebijakan turn back boats Autralia terhadap negara tetangga tidak hanya terfokus kepada masalah baru yang muncul atas keamanan nasional negara masing-masing. Indonesia menjadi negara yang paling terkena dampak kebijakan Australia tersebut. Selain terdapat penumpukan pengungsi di Indonesia yang menunggu suaka dari Australia dan peningkatan kriminalitas terutama penyelundupan manusia, ekonomi dan politik Indonesia ikut terkena dampaknya. 15 R.K.M. Smith, 2005, International Human Rights, 2nd edn, Oxford University Press, New York, hlm. 356. 16 R.K.M. Smith, International Human Rights, hlm. 358. 9 Situasi ekonomi Indonesia yang sedang tidak baik dapat diperburuk dengan keberadaan pengungsi. Politik dalam dan luar negeri Indonesia pun terpengaruh oleh faktor keberadaan pengungsi yang berpotensi menjadi alat politik. Hubungan kedua negara pun menjadi lebih tegang karena Australia berkeras untuk terus menjalankan kebijakan turn back boats. Indonesia menanggapi tindakan Australia untuk tidak menerima relokasi pengungsi sebagai aksi melempar tanggung jawabnya dalam mengatasi masalah global. Papua Nugini dan Nauru, yang menjadi lokasi penahanan pengungsi, kewalahan dalam mengatur detentions sehingga menuntut Australia agar memperbaiki prosedur dalam mengimplementasikan turn back boats policy. Kedua negara tersebut juga berharap terhadap peningkatkan dana bantuan untuk mengelola offshore processing. Detentions tersebut membawa masalah seperti kekerasan, pelanggaran HAM, dan kesulitan negara dalam mensejahterakan masyarakat lokal. 2. Dunia internasional menanggapi turn back boats policy Australia sebagai kebijakan yang sangat potensial melangar hak asasi manusia, terutama hak pengungsi. PBB sebagai organisasi internasional melihat dampak keberlangsungan turn back boats policy sebagai legitimasi dan normalisasi bagi negara lain untuk ikut menolak masuknya pencari suaka dari laut. Selain itu PBB melaporkan terhadap pelanggaran hak para pencari suaka yang berada di dalam detentions. Selama turn back boats policy berhasil diimplementasikan, PBB melihat adanya penurunan kepedulian dunia internasional terhadap refugees dan hak asasi manusia yang semakin sulit ditegakkan. PBB melalui organisasi humanitariannya berusaha untuk membantu proses relokasi dan lebih giat meningkatkan kesadaran dunia internasional terhadap masalah pengungsi. Masalah pengungsi dari laut tidak hanya dialami oleh Australia saja. Eropa juga menjadi tujuan pengungsi dengan Italia dan Yunani sebagai pintu masuk pengungsi yang datang dari laut. Sebagai negara yang telah meratifikasi UNHCR 1951 Convention relating to the 10 status of refugees, negara-negara Eropa memiliki kewajiban untuk menerima dan menetapkan status pengungsi. Upaya Australia adalah menolak seluruh perahu pengungsi masuk dan tidak ada kemungkinan bagi pencari suaka tersebut untuk dapat direlokasi di Australia. Hal ini membuat banyak negara di Eropa terutama Italia dan Yunani yang mengecam kebijakan Australia tersebut. Tanpa adanya kebijakan tersebut, pengungsi yang berusaha datang ke Australia jumlahnya lebih sedikit dibandingkan mereka yang berupaya masuk ke Eropa. Turn back boats policy ditanggapi sebagai upaya lepas tangan Australia dalam menangani masalah pengungsi sebagai masalah global. Prosedur dan aturan yang dibentuk Australia untuk menangani masalah pengungsi dari laut masih belum sesuai dengan hukum internasional dan hak asasi manusia. Sehingga negara-negara Eropa masih tidak yakin atas keberhasilan turn back boats policy. Berbagai tanggapan yang ada menunjukkan kecenderungan negatif dunia internasional terhadap turn back boats policy. Citra Australia terhadap masalah pengungsi menurun di mata internasional. Keberhasilan dari kebijakan tersebut hanya dinikmati oleh Australia sehingga akan terus dipertahankan – terutama di masa pemerintahan Tony Abbott. Kekhawatiran muncul ketika aksi Australia melalui turn back boats policy kemudian dilihat sebagai suatu keberhasilan dalam mengatasi masalah imigran yang masuk dari jalur laut. Hal ini menimbulkan legitimasi atas kebijakan turn back boats apabila aksi serupa dilakukan negara lain. Hak asasi manusia menjadi semakin sulit ditegakkan di dunia internasional. E. Metode Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode kualitatif. Metode penelitian ini ditunjang library research yang dilakukan dengan cara pengumpulan data dari berbagai sumber sekunder, yakni data yang telah dikumpulkan dan diolah oleh orang lain sebelumnya. Berbagai sumber data akan diperoleh dari literatur seperti buku, jurnal, artikel majalah, dokumen berita dan sumber elektronik, melalui situs di internet. Dari sumber-sumber tersebut lah 11 kemudian akan diolah untuk dapat menjawab rumusan masalah dan membuktikan hipotesis serta menghasilkan kesimpulan. F. Sistematika Penulisan Pada penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi empat bab. Bab pertama berupa pendahuluan yang berisi mengenai alasan pemilihan judul, latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan teori, hipotesis, metode penelititan, dan sistematika penulisan. Bab kedua skripsi ini akan menjelaskan dengan lebih rinci mengenai isu imigran gelap yang muncul di Australia. Mulai dari pembedaan secara jelas dalam generalisasi imigran gelap seperti illegal workers, asylum seekers, hingga people smuggling. Disini akan dijelaskan pula mengenai bagaimana turn back boats policy terbentuk dan implementasi dari kebijakan tersebut. Bab ketiga dari skripsi ini akan menjabarkan tanggapan (respons) dari masyarakat internasional – PBB dan negara tetangga seperti Indonesia, Timur Leste, Papua Nugini, Selandia Baru dan negara Kepulauan Pasifik lainnya dalam upaya Australia menjawab masalah imigran gelap melalui kebijakan Turn Back Boats. Bab keempat menjadi bagian terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Pada bagian ini pula akan diuraikan kembali dengan lebih padat jawaban-jawaban dari rumusan masalah. 12