MEMBANGUN BUDAYA HUKUM MENUNJANG

advertisement
SEMINAR NASIONAL
“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
MEMBANGUN BUDAYA HUKUM MENUNJANG REVOLUSI
MENTAL MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI
ASEAN(MEA)
Andi Kasmawati dan Andi Qashas Rahman
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Guru Besar
Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar
ABSTRAK
Pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) bertujuan meningkatkan daya
saing Asean yang memungkinkan setiap negara anggota menjual barang dan jasa
dengan mudah ke negara-negara anggota Asean lainnya. Revolusi mental sebagai
gerakan yang ditujukan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi
manusia yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa
api yang menyala-nyala untuk memperkokoh kedaulatan, meningkatkan daya saing
dan mempererat persatuan bangsa menjadi relevan dalam konteks MEA. Salah satu
faktor yang menjadi sasaran sekaligus menunjang gerakan revolusi mental adalah
membangun budaya hukum yang kondusif dan kontruktif bagi kehidupan bangsa
dan negara dalam pergaulan antara negara di dunia, termasuk dalam pergaulan
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Pembangunan budaya hukum yang kondusif
dan konstruktif ditandai konsistensi dan komitmen kepatuhan hukum atas dasar
kesadaran hukum yang kuat pada gilirannya menjadi budaya hukum yang
kondusif-konstruktif-produktif dalam pergaulan Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA) yang kompetitif. Gerakan revolusi mental dalam konteks membangun
budaya hukum diarahkan pada terwujudnya budaya hukum yang ditandai
tingginya tingkat kepatuhan hukum (legal obiedience) masyarakat yang lahir dari
kesadaran hukum (legal awareness) masyarakat.
Kata Kunci: Budaya Hukum, Revolusi Mental, MEA
PENDAHULUAN
Pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) berawal dari
kesepakatan para pemimpin Association of Southeast Asian Nations (Asean) dalam
Konferensi Tinggi (KTT) pada Desember 1997 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Kesepakatan ini bertujuan meningkatkan daya saing Asean serta bisa menyaingi
Tiongkok dan India untuk menarik investasi asing. Modal asing dibutuhkan untuk
meningkatkan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan. Pembentukan pasar tunggal
yang diistilahkan dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang memungkinkan
-255-
SEMINAR NASIONAL
“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
suatu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di
seluruh Asia Tenggara, sehingga kompetisi semakin ketat. Momen inilah dijadikan
pijakan untuk membuat komitmen memajukan negara-negara ASEAN.
Komitmen tersebut makin dikukuhkan lagi dalam KTT Asean di Bali,
Oktober 2003 oleh para pemimpin Asean dan menjadi pendeklarasian
pembentukan Masyarakat Ekonomi Asian (MEA) pada Tahun 2015.
Komitmen untuk membentuk kekuatan ekonomi di kawasan negara-negara
Asean, didasari oleh keinginan untuk menciptakan suatu kawasan yang stabil,
sejahtera, dan kompetitif, didukung oleh pembangunan ekonomi yang seimbang,
pengurangan angka kemiskinan dan kesejahteraan sosio-ekonomi di antara negaranegara anggotanya.
Dideklarasikannya MEA pada tahun 2015, tentunya menimbulkan berbagai
macam persepsi dari kalangan masyarakat, tidak sedikit meragukan kemampuan
pemerintah Indonesia menerima segala konsekuensi diterapkannya MEA tersebut,
termasuk kualitas produk barang dan jasa yang tersedia di Indonesia, tenaga kerja
terampil, kebijakan peraturan perundang-undangan, budaya masyarakat, dan
budaya hukum, yang sangat menunjang penerapannya.
Sejalan dengan kebijakan penerapan MEA tersebut, oleh pemerintah
Indonesia mengawali pemerintahan Joko Widodo dan Muhammad Yusuf Kalla,
mencanangkan suatu program yaitu gerakan revolusi mental, program ini memberi
motivasi atau spirit bagi bangsa Indonesia untuk membuka diri dan mau merubah
diri menjadi lebih maju dan giat bekerja.
Gerakan revolusi mental adalah suatu gerakan untuk menjadikan manusia
yang berhati putih, dan berkemauan keras untuk berubah, berhati putih menurut
Bung Karno dapat ditemukan pada figur-figur masa lalu, dimasa kejayaan
kemaharajaan Majapahit.
Istilah revolusi mental bukan hal baru dan bukan karya orisinil Bung Karno
maupun Joko Widodo, pada pemerintahan presiden Joko Widodo ini revolusi
mental kembali dihidupkan, revolusi mental merupakan bentuk lain dari revolusi
untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik.
Mencermati arah komitmen Masyarakat Ekonomi Asian (MEA),
memerlukan kesiapan pemerintah dan masyarakat Indonesia dari berbagai aspek
hukum sebagai landasan yuridis yang menjadi norma dalam menentukan arah
pelaksanaan dan pengimplementasiannya.
Ide untuk membentuk kekuatan ekonomi pada tingkat negara-negara Asean
tidak lain untuk meningkatakan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN serta
diharpkan mampu mengatasi masalah-masalah yang muncul di bidang ekonomi
antar-negara Asean.
MEMBANGUN BUDAYA HUKUM DAN REVOLUSI MENTAL
Sistem hukum adalah bagian yang integral dalam membangun budaya
masyarakat, karena salah satu unsur komponen dari sistem hukum adalah “the
legal culture”, sehingga dalam pembangunan sistem hukum nasional,
pembangunan budaya hukum adalah merupakan syarat mutlak (conditio sine
quanon).
-256-
SEMINAR NASIONAL
“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
Oleh sebab itu, dalam perspektif pembangunan hukum nasional, teori
hukum yang dikembangkan adalah merupakan perpaduan dari berbagai teori
hukum, baik yang berasal dari Teori Hukum Sociological Jurisprudence dari
Roscou Pound, teori kebudayaan dari Northrop maupun teori policy oriented dari
Laswell dan Mc Dougal yang kemudian dikembangkan oleh Mochtar
Kusumaatmadja menjadi teori hukum pembangunan, yang akan diwujudkan ke
dalam bentuk hukum tertulis (perundang-undangan) maupun hukum tidak tertulis.
Pemerintah dan Parlemen diharapkan memperhatikan peranan
pembangunan budaya masyarakat dalam pembangunann hukum nasional sebagai
conditio sine quanon, yang dilakukan melalui pembinaan struktur dan budaya
masyarakat yang diwujudkan melalui penanaman kesadaran hukum, serta
pembangunan materi hukum dalam rangka mewujudkan hukum sebagai alat
merekayasa masyarakat (law is a tool of social engineering) yang dikembangkan
oleh Mochtar Kusumaatmadjaja di Indonesia dengan Teori Hukum Pembangunan,
yang pada gilirannya melahirkan berbagai produk hukum dengan memperhatikan
nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (living law, volk geist),
sehingga hukum yang dilahirkan akan dapat berjalan secara efektif sesuai dengan
yang dicita-citakan.
Budaya Hukum
Hukum bukan sekedar rumusan hitam di atas putih saja sebagaimana yang
dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, tetapi juga
hukum dapat dilihat sebagai suatu gejala yang dapat diamati dalam kehidupan
masyarakat melalui pola tingkah laku. Hukum dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor
non-hukum seperti nilai, sikap, dan pandangan masyarakat yang biasa disebut
dengan budaya hukum. Budaya hukum inilah yang menyebabkan perbedaan
penegakan hukum di antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada 3 (tiga) persoalan mendasar tentang budaya
hukum yaitu: (1) Yang berkaitan dengan hukum sebagai suatu sistem, (2) fungsi
hukum kaitannya dengan pengaruh budaya hukum, dan (3) peranan kultur/budaya
hukum terhadap bekerjanya hukum.
Hukum sebagai Sistem
Hal yang terkait dengan hukum sebagai suatu sistem, hukum dinilai dari
dua sisi yang berbeda yaitu: (a) Hukum dilihat sebagai suatu sistem nilai, dimana
keseluruhan hukum dalam rangka penegakan hukum didasarkan pada groundnorm
yang kemudian menjadi sumber nilai sekaligus pedoman bagi penegakan hukum
itu sendiri; (b) Hukum dilihat sebagai bagian dari masyarakat (realitas sosial),
dimana hukum tidak dapat dipisahkan dari lingkungan masyarakat karena hukum
merupakan salah satu subsistem dari subsistem-subsistem sosial lainnya.
Lawrence M. Friedman menjelaskan bahwa hukum sebagai suatu sistem
memiliki komponen (1) Struktur; kelembagaan yang diciptakan oleh sistem
hukum untuk mendukung bekerjanya sistem hukum antara lain pengadilan negeri
dan pengadilan administrasi, (2) Substansi; norma-norma hukum yang digunakan
-257-
SEMINAR NASIONAL
“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
oleh penegak hukum maupun mereka yang diatur, dan (3) Budaya hukum; ide,
sikap, harapan, dan pendapat tentang hukum yang secara keseluruhan
memengaruhi seseorang untuk patuh atau tidak patuh terhadap hukum.
Hukum memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakatnya, dimana
hukum merupakan sarana/alat untuk mengatur masyarakat dan bekerja di dalam
masyarakat, sedangkan masyarakat dapat menjadi penghambat maupun menjadi
sarana/alat sosial yang memungkinkan hukum dapat diterapkan dengan sebaikbaiknya. Menurut Emile Durkheim, hubungan antara hukum dengan masyarakat
dapat dilihat dari dua tipe masyarakatnya yang berbeda antara lain (1) Masyarakat
dengan solidaritas mekanik yang didasarkan pada sifat kebersamaan diantara
anggotanya sehingga hukum bersifat represif yang berfungsi mempertahankan
kebersamaan tersebut; dan (2) Masyarakat dengan solidaritas organik yang
didasarkan pada sifat individualisme dan kebebasan anggotanya sehingga
menyebabkan hukum menjadi bersifat restitutif yang hanya berfungsi untuk
menjaga kelangsungan kehidupan masyarakat.
H.L.A. Hart mengemukakan dua tipe masyarakat yaitu: (1) Masyarakat
yang didasarkan pada primary rules of obligation, dimana masyarakat hanya terdiri
dari komunitas kecil sehingga kehidupannya hanya berdasar atas kekerabatan saja.
Tipe masyarakat ini tidak membutuhkan peraturan yang resmi dan terperinci
sehingga tidak ada pula diferensiasi maupun spesialisasi badan penegak hukum;
(2) Masyarakat yang didasarkan pada secondary rules of obligation, dimana
masyarakat sudah tegolong modern sehingga diperlukan adanya diferensiasi dan
institusional di bidang hukum yang menyebabkan pola penegakan hukumnya
diliputi dengan unsur birokrasi.
Fungsi Hukum Kaitannya dengan Pengaruh Budaya Hukum
Persoalan kedua adalah persoalan tentang fungsi hukum kaitannya dengan
pengaruh budaya hukum. Hukum dewasa ini tidak cukup hanya berfungsi sebagai
alat kontrol sosial saja, melainkan juga diharapkan mampu untuk menggerakkan
masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan cara/pola baru demi tercapainya
tujuan yang dicita-citakan. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan adanya
kesadaran hukum dari masyarakat sebagai jembatan yang menghubungkan antara
peraturan hukum dengan tingkah laku anggota masyarakat. Kondisi demikian bisa
berdampak apa yang telah diputuskan melalui hukum tidak dapat dilaksanakan
dengan baik dalam masyarakat karena tidak sejalan dengan nilai, pandangan, dan
sikap yang telah dihayati oleh masyarakat. Perkembangan yang terjadi di Indonesia
dapat dilihat bahwa struktur sosial bangsa ternyata tidak sesuai dengan hukum
modern yang dipilih oleh penguasa sehingga berakibat banyak terjadi kepincangan
pelaksanaan hukum modern itu sendiri.
Menurut Lon Fuller, ada delapan prinsip legalitas yang harus diikuti dalam
membuat hukum meliputi: (1) Harus ada peraturannya terlebih dahulu; (2)
Peraturan itu harus diumumkan; (3) Peraturan itu tidak boleh berlaku surut; (4)
Perumusan peraturan harus dapat dimengerti oleh rakyat; (5) Hukum tidak boleh
meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin; (6) Diantara sesama peraturan
tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain; (7) Peraturan harus tetap dan
-258-
SEMINAR NASIONAL
“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
tidak boleh sering diubah-ubah; dan (8) Harus terdapat kesesuaian antara tindakan
para pejabat hukum dengan peraturan yang telah dibuat.
Pedoman yang harus kita pegang dalam hal ini, sebaik apapun hukum yang
dibuat pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai,
pandangan serta sikap dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum
diabaikan, maka dapat dipastikan akan terjadi kegagalan dari sistem hukum
modern yang ditandai dengan munculnya berbagai gejala seperti kekeliruan
informasi mengenai isi peraturan hukum yang ingin disampaikan kepada
masyarakat, muncul perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh undang-undang
dengan praktik yang dijalankan oleh masyarakat, masyarakat lebih memilih untuk
tetap bertingkah laku sesuai dengan apa yang telah menjadi nilai-nilai dan
pandangan dalam kehidupan mereka.
Daniel S. Lev kemudian menjelaskan tentang sistem hukum dan budaya
hukum, dimana menurutnya sistem hukum itu menekankan pada prosedur,
sedangkan budaya hukum sendiri terdiri dari dua komponen yaitu: (1) Nilai-nilai
hukum prosedural yang berupa cara-cara pengaturan masyarakat dan manajemen
konflik; dan (2) Nilai-nilai hukum substansial yang berupa asumsi-asumsi
fundamental mengenai distribusi maupun penggunaan sumber-sumber di dalam
masyarakat, terutama mengenai apa yang adil dan tidak adil menurut masyarakat.
Suatu sistem hukum dapat dikatakan efektif apabila tingkah laku manusia
di dalam masyarakat sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam peraturan
hukum yang berlaku. Paul dan Dias dalam hal ini mengemukakan lima syarat yang
harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, antara lain: (1) Mudah
tidaknya makna aturan hukum itu untuk dipahami; (2) Luas tidaknya kalangan di
dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan hukum yang bersangkutan; (3)
Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan hukum; (4) Adanya mekanisme
penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau oleh masyarakat tetapi
juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa; dan (5) Adanya anggapan
dan pengakuan yang merata di kalangan masyarakat bahwa aturan dan pranata
hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.
Peranan Budaya Hukum Terhadap Bekerjanya Hukum
Persoalan ketiga adalah peranan budaya hukum terhadap bekerjanya
hukum, ini berarti menyangkut bagaimana cara pembinaan kesadaran hukum.
Masalah pembinaan kesadaran hukum erat kaitannya dengan berbagai faktor,
khususnya sikap para pelaksana hukum, para penegak hukum memiliki peranan
yang besar dalam membina pertumbuhan kesadaran masyarakat. Kesadaran hukum
dalam konteks ini berarti kesadaran untuk bertindak sesuai dengan ketentuan
hukum dan berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan
hukum dengan tingkah laku anggota masyarakat.
Lawrence M. Friedman menyebutnya sebagai bagian dari budaya hukum.
Fakta selanjutnya menunjukkan bahwa meskipun ada unsur-unsur baru dalam
peraturan hukum, tetap saja masyarakat kita yang sebenarnya adalah pemegang
peran (adressat) berpola tingkah laku sesuai dengan kesadaran hukumnya sendiri.
Hal ini berarti apa yang menjadi cita-cita pembuat undang-undang nyatanya belum
-259-
SEMINAR NASIONAL
“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
terwujud. Ada tiga variabel utama yang menurut Robert B Seidman (Satjipto
Rahardjo, 1991) dapat digunakan untuk mengetahui apakah seseorang akan
bertindak sesuai dengan peraturan hukum atau tidak, yaitu: (1) Apakah normanya
telah disampaikan (sosialisasi produk hukum); (2) Apakah normanya serasi dengan
tujuan yang diterapkan bagi posisi itu (sinkronisasi produk hukum); dan (3)
Apakah si pemegang peran digerakkan oleh motivasi yang menyimpang (faktor
motivasi).
Teori dari Seidman itu mengajarkan bahwa para pemegang peran dapat
memiliki motivasi, baik yang berkehendak maupun yang tidak berkehendak untuk
menyesuaikan diri dengan norma. Sementara itu, pemegang peran juga dapat
memiliki tingkah laku yang mungkin konform maupun yang mungkin tidak
konform. Teori ini kemudian dikenal sebagai teori penyimpangan. Terjadinya
ketidakcocokan antara peranan yang diharapkan oleh norma dengan tingkah laku
yang nyata dari masyarakat, dikarenakan fungsi hukum tidak lagi hanya sekedar
sebagai kontrol sosial saja melainkan sebagai sarana untuk membentuk pola
tingkah laku yang baru sehingga melahirkan masyarakat baru yang dicita-citakan.
Berdasarkan konsep yang modern, fungsi hukum seperti ini digunakan sebagai
sarana untuk melakukan social engineering. Namun sayangnya, fungsi hukum
sebagai social engineering ternyata tidak selalu didukung oleh kehidupan sosial
dimana hukum itu diterapkan sehingga harus ditunjang dengan tingkat kesadaran
hukum masyarakat yang tinggi. Kenyataan yang sering kita temui adalah masih
banyaknya faktor inkonsistensi dalam pelaksanaan hukum serta keengganan dalam
menerapkan ketentuan hukum yang telah ditetapkan dan kebiasaan-kebiasaan lain
yang kurang mendukung dalam mematuhi hukum.
Penegakan Hukum dan Revolusi Mental
Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan
mengejawantahkannya dalam sikap dan tindak sebagai serangkaian penjabaran
nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup (Soerjono
Soekanto, 2005). Karena itu tegaknya hukum dapat ditandai oleh beberapa faktor
yang saling terkait, yaitu: (1) Hukum dan aturannya sendiri, sehingga diperlukan
adanya keserasian antara peraturan perundang-undangan yang ada. (2) Fasilitas
pelaksanaan hukumnya yang memadai, kadang hukum sulit ditegakkan karena
fasilitas tidak memadai. (3) Kesadaran dan kepastian hukum serta perilaku
masyarakat. (4) Mental aparat penegak hukum, pelaku hukum secara langsung
yaitu polisi, jaksa, pengacara, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan dan
sebagainya karena pada dasarnya penegakan hukum sangat tergantung pada
mentalitas para aparatur penegak hukumnya.
Kasus hukum yang menjerat advokat kondang OC Kaligis menjadi
pelajaran penting untuk melakukan revolusi mental secara masif bagi para aparat
penegak hukum. Revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi benar-benar
dilaksanakan secara konsisten, bukan lagi wacana atau slogan semata.
(Beritasatu.com, 15/7/2015). Contoh kasus tersebut menjadi bukti perlunya segera
pembenahan mental aparat hukum yang dianggap merupakan persoalan serius
-260-
SEMINAR NASIONAL
“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
dalam penegakan hukum nasional. Gerakan revolusi mental hendaknya dilakukan
secara efektif terhadap pembinaan mental para penegak hukum. Lahirnya penegak
hukum yang bermental baja, berhati putih, dan bersemangat elang rajawali menjadi
dambaan gerakan revolusi mental, sehingga supremasi hukum benar-benar dapat
diwujudkan. Bahwa banyak banyak faktor lain yang berpengaruh terhadap
penegakan hukum, tetapi mental aparat yang baik dapat menjadi pintu masuk bagi
perbaikan faktor-faktor yang berpengatuh lainnya.
Penegakan hukum selain ditentukan oleh aturan-aturan hukum, fasilitas,
mentalitas aparat penegak hukum, juga sangat tergantung kepada faktor kesadaran
dan kepatuhan masyarakat, baik secara personal maupun secara kolektif. Unsur
manusia (human being) juga yang menentukan corak yang sebenarnya; in the last
analysis it is the human being that counts. Sehingga adanya hukum yang baik dan
benar tidak otomatis menjamin kehidupan masyarakat yang baik dan benar.
Adanya polisi, jaksa, hakim, pengacara sebagai penegak hukum langsung dan
formal belumlah menjamin tegaknya hukum dan berlakunya rule of law. Adanya
parlemen sekalipun dipilih lewat pemilu dengan ongkos besar belum otomatis
demokrasi tumbuh. Di samping itu, penting juga untuk dipikirkan sarana apa saja
yang dibutuhkan agar peraturan hukum itu dapat dijalankan dengan baik.
Kesadaran hukum dapat juga ditingkatkan dengan cara memberi contoh
untuk masyarakat melalui peranan para penegak hukum seperti polisi dan hakim,
mengingat masyarakat kita masih bersifat paternalistik. Jika semua faktor tersebut
di atas dapat dilaksanakan dengan baik, tentunya peraturan hukum akan dapat
ditegakkan karena kesadaran hukum masyarakat sudah dibina sedemikian rupa
sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya penyimpangan tingkah laku
yang tidak sesuai dengan hukum. Kesadaran hukum yang meningkat akan
berdampak positif terhadap terwujudnya kepatuhan hukum (legal obedience) di
tengah-tengah masyarakat dengan segala dinamikanya. Kepatuhan hukum
memegang peran penting dalam menghadapi kompetisi antar bangsa terutama di
bidang ekonomi dalam kancah Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), yang tidak
hanya ditujukan pada masyarakat kita tetapi juga pada semua warga masyarakat
dari negara-negara yang tergabung dalam MEA.
PENUTUP
Pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang dimaksudkan
memberi ruang yang lebih luas bagi anggotanya dapat memicu munculnya
persaingan antar bangsa dan negara terutama dalam bidang ekonomi yang bisa
berdampak multidimensi, sehingga perlu mempersiapkan diri baik sebagai warga,
masyarakat, bangsa dan negara. Kesiapan sumber daya manusia menjadi faktor
yang harus mendapat perhatian dari semua pihak, utamanya pemerintah dan
lembaga-lembaga terkait lainnya. Revolusi mental sebagai gerakan yang ditujukan
untuk mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh, berdaya saing dan mampu
menjaga kedaulatan bangsa dalam arti luas, menjadi relevan dalam konteks MEA.
Salah satu faktor yang menjadi sasaran sekaligus menunjang gerakan revolusi
mental adalah membangun budaya hukum yang kondusif dan kontruktif bagi
kehidupan bangsa dan negara dalam pergaulan antara negara di dunia, termasuk
-261-
SEMINAR NASIONAL
“Revolusi Mental dan Kemandirian Bangsa Melalui Pendidikan Ilmuilmu Sosial dalam Menghadapi MEA 2015”
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan Himpunan
Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia
Hotel Singgasana, Makassar, 28-29 Nopember 2015
dalam pergaulan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Pembangunan budaya
hukum yang kondusif dan konstruktif ditandai konsistensi dan komitmen
kepatuhan hukum atas dasar kesadaran hukum yang kuat pada gilirannya menjadi
budaya hukum yang kondusif-konstruktif-produktif dalam pergaulan Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) yang kompetitif. Gerakan revolusi mental dalam konteks
membangun budaya hukum diarahkan pada terwujudnya budaya hukum yang
ditandai tingginya tingkat kepatuhan hukum (legal obiedience) masyarakat yang
lahir dari kesadaran hukum (legal awareness) masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan. 2006. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media.
Ade Maman Suherman. 2012. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta:
Rajawali Pers.
Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1996. Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum
Nasional. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Bernard Arief Sidharta. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah
Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum
Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia.
Bandung: CV Mandar Maju.
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama,
Semarang, 2005.
Lili Rasyidi dan I.B. Wyasa Putra. 1993. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Mochtar Kusumaatmadja. 1986. Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan
Nasional. Bandung: Binacipta.
Solly Lubis. 2002. Sistem Nasional. Bandung: Mandar Maju.
Otje Salman S., H.R. dan Anthon F. Susanto. 2004. Teori Hukum, Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Bandung: PT Refika Aditama.
Peter de Cruz (Penerj. Narulita Yusron). 2010. Perbandingan Sistem Hukum.
Bandung: Nusa Media & Diadit Media.
Philippe Nonet dan Philip Selznick. 2003. Hukum Responsif Pilihan di Masa
Transisi. Jakarta: HuMa.
Satjipto Rahardjo. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Sjachran Basah. 1986. Tiga Tulisan Tentang Hukum. Bandung: CV Armico.
Soerjono Soekanto. 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Sunaryati Hartono, CFG, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Alumni, Bandung, 1991
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
-262-
Download