Hubungan kemandirian dan dukungan sosial

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kelurahan Cilendek Barat termasuk wilayah Kecamatan Bogor Barat Kota
Bogor, dibentuk pertama kali pada tahun 1979 dan merupakan pecahan dari
Kelurahan Cilendek (terbagi atas Kelurahan Cilendek Barat dan Cilendek Timur).
Pemilihan kepala desa pertama dilaksanakan pada tahun 1980. Sementara itu
Kelurahan Cilendek Barat pertama kali masuk menjadi wilayah Kota Bogor pada
tahun 1996.
Wilayah Kelurahan Cilendek Barat memiliki luas 174,8 Hektoare dan
berada pada ketinggian 14 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan 26
mm/tahun, merupakan dataran rendah dengan suhu rata-rata 25 derajat Celcius.
Jarak Kelurahan dari pusat pemerintahan kecamatan sekitar 2,5 Kilometer, jarak
dari pemerintahan Kota Bogor sekitar 4 Kilometer, jarak dari ibukota propinsi
sekitar 120 Kilometer dan jarak dengan Ibukota Negara sekitar 60 Kilometer.
Batas administratif Kelurahan Cilendek Barat yaitu, sebelah Utara berbatasan
dengan Kelurahan Semplak/Kelurahan Curug, sebelah Selatan berbatasan
dengan
Kelurahan
Menteng,
sebelah
Barat
berbatasan
dengan
kali
Cisadane/Kelurahan Sindang Barang, dan sebelah Timur berbatasan dengan kali
Ciangke/Kelurahan Cilendek Timur.
Secara administratif, Kelurahan Cilendek Barat terbagi dalam enam puluh
tujuh Rukun Tetangga dan delapan belas Rukun Warga dengan total penduduk
sebesar 16.452 jiwa dan 3.221 Kepala Keluarga. Selain itu berdasarkan pada
agama yang dianut sebanyak 13.375 orang beragama Islam, 473 orang
beragama Kristen, 689 orang beragama Katholik, 18 orang beragama Hindu, 23
orang beragama Budha dan 17 beragama Konghuchu. Dari delapan belas rukun
warga yang berada di Kelurahan Cilendek Barat, dua RW dengan jumlah
penduduk lansia terbanyak adalah RW 05 dan RW 12.
Tingkat pendidikan penduduk Cilendek Barat paling banyak berstatus
lulus SMP/SLTP/MTS (5.022 orang). Sementara itu keadaan penduduk
Kelurahan Cilendek Barat berdasarkan mata pencaharian terbanyak berturutturut
yaitu
pada
sektor
swasta/BUMN/BUMD
(430
orang),
pengusaha/
wiraswasta/pedagang (298 orang), pegawai negeri sipil (286 orang) dan buruh
tani (217 orang). Sarana dan prasarana yang ada di Kelurahan Cilendek Barat
40
terdiri dari sekolah, tempat ibadah, organisasi sosial dan kemasyarakatan,
sarana kesehatan, olah raga, jalan dan jembatan.
Karakteristik Responden
Jenis kelamin responden
Rata-rata pria meninggal lebih cepat dari wanita, sehingga menjanda
dihari tua lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Hingga saat ini belum
ada statistik mengenai jumlah dan usia pria yang menjadi duda, hal ini terkait
karena lebih banyak duda di setiap tahap usia yang menikah lagi daripada janda,
disamping itu persentase duda juga jauh lebih sedikit. Dengan demikian masa
menjanda merupakan masalah yang lebih besar bagi wanita dibanding pria,
selama masa usia lanjut (Hurlock 1980).
Berdasarkan jenis kelaminnya (Tabel 4), responden berstatus menikah
lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan (60,6%). Sementara itu
sebaliknya pada responden berstatus janda/duda. Jenis kelamin perempuan atau
berstatus janda lebih banyak dibandingkan responden laki-laki atau berstatus
duda (87,9%). Hasil uji Mann-Whitney juga memperlihatkan bahwa terdapat
perbedaan nyata dari segi jenis kelamin antara responden berstatus menikah
dengan berstatus janda/duda (p<0,01).
Tabel 4 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin dan status perkawinan
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
Nilai p-value
n
20
13
33
Status perkawinan
Menikah
Janda/Duda
%
n
%
60,6
4
12,1
39,4
29
87,9
100,0
33
100,0
0,0
Usia responden
Usia responden pada penelitian ini berkisar antara 60 sampai 80 tahun.
Burnside (1979) diacu dalam Anitasari (1993) membagi lansia didasarkan pada
usia kronologisnya yaitu: young-old (60-69 tahun), middle-age-old (70-79 tahun),
old-old (80-89 tahun) dan very-old-old (lebih dari 90 tahun). Tabel 5
memperlihatkan sebaran responden berdasarkan usia dan status responden.
41
Tabel 5 Sebaran responden berdasarkan usia dan status perkawinan
Usia
Lansia awal (60-69 tahun)
Lansia tengah (70-79 tahun)
Lansia tua (80-89 tahun)
Lansia sangat tua (≥90 tahun)
Total
Rata-rata (tahun)
Sd
Nilai p-value
n
22
11
0
0
33
Status perkawinan
Menikah
Janda/Duda
%
n
%
66,7
20
60,6
33,3
11
33,3
0,0
2
6,1
0,0
0
0,0
100,0
33
100,0
67,2
68,4
5,9
5,6
0,405
Pada Tabel 5 diketahui bahwa proporsi terbesar usia responden baik
berstatus menikah (66,7%) maupun berstatus janda/duda (60,6%) termasuk
kategori lansia awal (60-69 tahun). Selain itu 33,3 persen responden berstatus
menikah termasuk kategori lansia tengah (70-79 tahun) dan terdapat 6,1 persen
kategori lansia tua (80-89 tahun) pada responden berstatus janda/duda. Ratarata usia responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda tidak jauh
berbeda. Hal ini juga terlihat dari hasil T-test yang memperlihatkan bahwa tidak
terdapat perbedaan nyata pada usia responden berstatus menikah dengan
berstatus janda/duda (p>0,1).
Tingkat pendidikan responden
Wongkaren (1993) diacu dalam Suhartini (2009c) dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa semakin tinggi usia, semakin kecil persentase mereka
pernah sekolah dan atau menamatkan pendidikan tertentu untuk jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu data yang dikumpulkan Departemen
Sosial Republik Indonesia (1996) diacu dalam Hardywinoto dan Setiabudhi
(2005), juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan lanjut usia di Indonesia
masih belum cukup baik. Sejalan dengan itu proporsi terbesar tingkat pendidikan
responden pada penelitian ini yaitu tidak lulus SD baik pada responden berstatus
menikah (33,3%) maupun berstatus janda/duda (33,3) (Tabel 6). Hal ini diduga
karena responden saat masa usia sekolah berada pada zaman perang dan
sangat sulit untuk bersekolah. Disisi lain dunia pendidikan pada zaman itu masih
belum terlalu dianggap penting sehingga tidak banyak responden yang
melanjutkan pendidikannya hingga jenjang lebih tinggi.
42
Tabel 6 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan dan status
perkawinan
Tingkat pendidikan
Tidak sekolah
Tidak lulus SD
Lulus SD
Tidak lulus SMP
Lulus SMP
Tidak lulus SMA
Lulus SMA
Lulus Perguruan Tinggi
Total
Nilai p-value
n
3
11
7
5
2
1
2
2
33
Status perkawinan
Menikah
Janda/Duda
%
n
%
9,1
4
12,1
33,3
11
33,3
21,2
5
15,2
15,2
5
15,2
6,1
5
15,2
3,0
0
0,0
6,1
2
6,1
6,1
1
3,0
100,0
33
100,0
0,864
Namun demikian terdapat tiga orang responden yang melanjutkan
sekolah hingga jenjang perguruan tinggi dan dua diantaranya (lulusan D2)
bekerja sebagai guru sehingga dimungkinkan hal tersebut dikarenakan tuntutan
pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Suhartini (2009c)
bahwa
responden dengan pendidikan tertinggi yaitu dengan profesi
sebelumnya berstatus seorang guru dan pada periode tertentu di masa
jabatannya diadakan penyesuaian jenjang pendidikan. Satu orang lagi yaitu
lulusan sekolah tinggi tehnik memiliki status tidak bekerja, dikarenakan harus
berhenti kerja untuk mengurus anaknya yang sakit keras dan kemudian setelah
itu hanya membantu istrinya berjualan. Sementara itu persentase terkecil pada
responden berstatus menikah yaitu tidak lulus SMA (3%) dan pada status
janda/duda yaitu perguruan tinggi (3%). Berdasarkan uji Mann-Whitney yang
dilakukan tidak terdapat perbedaan nyata dari segi tingkat pendidikan antara
responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1).
Status pekerjaan responden
Sebaran berdasarkan status pekerjaan (Tabel 7) diketahui bahwa
persentase terbesar responden berstatus menikah (51,5%) dan berstatus
janda/duda (72,7%) yaitu tidak bekerja. Status tidak bekerja lebih banyak pada
responden berstatus janda/duda. Hal ini diduga karena berdasarkan dari jenis
kelamin responden yang berstatus janda/duda lebih banyak perempuan sehingga
kemungkinan untuk bergantung pada anak jauh lebih besar dibandingkan
responden laki-laki yang berstatus duda. Sejalan dengan itu, Hurlock (1980)
43
mengatakan bahwa perempuan usia lanjut tidak terlalu mempersoalkan
permasalahan ketergantungan ekonomi kepada anak dibandingkan laki-laki yang
berusia lanjut. Hasil uji Mann-Whitney juga memperlihatkan terdapat perbedaan
nyata pada status pekerjaan responden antara berstatus menikah dengan
berstatus janda/duda (p<0,1).
Tabel 7 Sebaran responden berdasarkan status pekerjaan dan status
perkawinan
Status pekerjaan
Bekerja
Tidak bekerja
Total
Nilai p-value
n
16
17
33
Status perkawinan
Menikah
Janda/Duda
%
n
%
48,5
9
27,3
51,5
24
72,7
100,0
33
100,0
0,078
Jenis pekerjaan responden
Orang berusia lanjut memerlukan waktu relatif lama untuk memulihkan
tenaganya dari keletihan fisik dan mental, disebabkan oleh ketegangan syaraf
dan beban mental yang terus terjadi dalam tempo relatif lama. Akibatnya orang
berusia lanjut pada umumnya belajar untuk mengurangi berbagai jenis pekerjaan
yang memerlukan kecepatan atau kekuatan fisik (Hurlock 1980).
Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan jenis pekerjaan dan status perkawinan
Jenis pekerjaan
Tukang becak
Dagang/wiraswasta
Swasta
Sawah/buruh tani
Buruh/kuli
Tukang urut
Pengurus makam
Pembantu
Tidak bekerja
Total
n
1
6
1
3
1
2
2
0
17
33
Status perkawinan
Menikah
Janda/Duda
%
n
%
3,0
0
0,0
18,2
4
12,1
3,0
0
0,0
9,1
0
0,0
3,0
1
3,0
6,1
0
0,0
6,1
0
0,0
0,0
4
12,1
51,5
24
72,7
100,0
33
100,0
Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa baik responden berstatus menikah
(18,2%) maupun janda/duda (12,1%) persentase terbesar mempunyai pekerjaan
berdagang/berwiraswasta. Hal ini dimungkinkan karena usia responden yang
sudah memasuki masa pensiun dan tidak produktif sehingga akan sulit
44
melakukan pekerjaan lain dan memilih berdagang. Selain itu dengan tingkat
pendidikan tidak lulus SD akan sulit jika bekerja pada orang lain. Pada
responden berstatus janda/duda, pembantu juga merupakan jenis pekerjaan
yang paling banyak (12,1%) dikerjakan lansia di Kelurahan Cilendek Barat.
Suhartini (2009c) mengatakan bahwa pada sektor perdagangan lansia
tetap dapat bekerja, karena pekerjaan di sektor perdagangan tidak memerlukan
fisik yang kuat dan keterampilan tinggi. Pekerjaan di sektor perdagangan dapat
menghasilkan uang atau jasa yang bisa semakin meningkat jika pengalaman,
relasi dan kematangan pribadi dimiliki oleh pedagang. Disisi lain rendahnya
pendidikan lansia berpengaruh pada jenis pekerjaan yang dapat dipilih. Selain itu
jenis pekerjaan yang masih dapat dikerjakan oleh lansia di Kelurahan Cilendek
Barat yaitu swasta, buruh/kuli, tukang becak, pengurus makam, sawah/buruh
tani, dan tukang urut.
Tingkat pendapatan responden
Pendapatan seseorang tergantung pada mutu sumber daya manusia
(SDM),
sehingga
orang
yang
berpendidikan
tinggi
umumnya
memiliki
pendapatan yang relatif tinggi pula (Guhardja et al. 1992, diacu dalam Astuti
2007). Sementara itu diketahui pula pada penelitian ini bahwa sebagian besar
lansia memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan pendapatan/bulan dan status
perkawinan
Status perkawinan
Pendapatan
(Rp/Bulan)
< 500.000
500.000- 999.999
1.000.000-1.499.999
1.500.000-1.999.999
≥ 2.000.000
Total
Nilai p-value
n
17
5
3
5
3
33
Menikah
%
51,5
15,2
9,1
15,2
9,1
100,0
n
17
9
4
2
1
33
Janda/Duda
%
51,5
27,3
12,1
6,1
3,0
100,0
0,541
Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa proporsi terbesar tingkat
pendapatan responden berstatus menikah dan janda/duda (masing-masing 51,5
%) yaitu sebesar kurang dari lima ratus ribu rupiah perbulan. Sementara itu
persentase terkecil tingkat pendapatan responden berstatus menikah pada
kategori satu juta sampai satu juta lima ratus ribu rupiah dan lebih dari sama
45
dengan dua juta rupiah (masing-masing 9,1%), sedangkan untuk status
janda/duda pada kategori lebih dari sama dengan dua juta rupiah (3%). Hasil uji
Mann-Whitney memperlihatkan tidak terdapat perbedaan nyata pada tingkat
pendapatan antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda
(p>0,1).
Sumber pendapatan responden
Sumber pendapatan lansia dapat berupa uang pensiun, tabungan,
asuransi hari tua, bantuan dari keluarga atau bagi lansia yang masih produktif
diperoleh dari penghasilannya bekerja (Hurlock 1980). Berdasarkan Tabel 10
diketahui bahwa sebagian besar responden berstatus menikah (84,8%) dan lebih
dari separuh (63,6%) responden berstatus janda/duda memiliki sumber
pendapatan sendiri baik dari bekerja maupun dari pensiunan ataupun dari suami
selain diberi juga oleh anak. Namun pendapatan dari anak bukanlah sebagai
sumber utama sehingga orang tua tidak bergantung sepenuhnya kepada anak
dan khusus untuk para lansia pria hal ini dapat mengurangi perasaan tidak
berguna dan tergantung pada orang lain. Berdasarkan uji Mann-Whitney yang
dilakukan diketahui pula tidak terdapat perbedaan nyata pada sumber
pendapatan antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda
(p>0,1).
Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan sumber pendapatan dan status
perkawinan
Sumber pendapatan
Anak
Kerja/pensiunan
Total
Nilai p-value
n
5
28
33
Status perkawinan
Menikah
Janda/Duda
%
n
%
15,2
12
36,4
84,8
21
63,6
100,0
33
100,0
0,288
Besar keluarga responden
Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa proporsi terbesar untuk besar
keluarga responden berstatus menikah pada kategori kecil dan sedang (masingmasing 36,4%), sedangkan untuk status janda/duda lebih dari separuhnya
(57,6%) termasuk kategori sedang. Sementara itu hanya sebagian kecil saja
responden berstatus menikah (27,2%) dan berstatus janda/duda (15,1%) yang
termasuk keluarga besar. Hasil T-test memperlihatkan bahwa tidak terdapat
46
perbedaan nyata pada besar keluarga antara responden berstatus menikah
dengan berstatus janda/duda (p>0,1).
Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan besar keluarga dan status perkawinan
Status perkawinan
Besar keluarga
Kecil (≤ 4)
Sedang (5-7)
Besar (≥ 8)
Total
Rata-rata (orang)
Nilai p-value
n
12
12
9
33
Menikah
%
36,4
36,4
27,2
100,0
6,1
n
9
19
5
33
Janda/Duda
%
27,2
57,6
15,2
100,0
5,5
0,387
Jumlah anak responden
Jumlah anak menggambarkan banyaknya orang yang dapat diandalkan
lansia dan juga membantu secara ekonomi. Berdasarkan jumlah anak yang
dimiliki (Tabel 12) diketahui bahwa proporsi terbesar responden berstatus
menikah pada kategori sedang dan banyak (masing-masing 39,4%), sedangkan
status janda/duda proporsi terbesar pada kategori jumlah anak banyak (39,4%).
Sementara itu hanya sebagian kecil responden berstatus menikah tergolong
jumlah anak sedikit (21,2%) dan pada status janda/duda memilki persentase
yang sama untuk kategori sedikit dan sedang yaitu sebesar 30,3 persen. Hasil Ttest memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada jumlah anak
antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1).
Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan jumlah anak dan status perkawinan
Status perkawinan
Jumlah anak
Sedikit (0-3)
Sedang (4-6)
Banyak (.>6)
Total
Rata-rata (orang)
Nilai p-value
n
7
13
13
33
Menikah
%
21,2
39,4
39,4
100,0
5,7
n
10
10
13
33
Janda/Duda
%
30,3
30,3
39,4
100,0
5,4
0,649
Pola tempat tinggal responden
Pola tempat tinggal menggambarkan dengan siapa lansia tinggal.
Berdasarkan Tabel 13 diketahui bahwa sebagian besar responden berstatus
47
menikah (90,9%) dan berstatus janda/duda (87,9%) tinggal bersama pasangan
dan anak atau anak saja. Hal ini dikarenakan faktor budaya di Indonesia yaitu
lansia umumnya tinggal dalam keluarga besar baik itu anak yang menemani
orangtua untuk tinggal dirumahnya sehingga setelah menikah anak tidak pergi
keluar dari rumah maupun orangtua tinggal atau menumpang dirumah anak.
Sejalan dengan itu Yulmardi (1995) diacu dalam Suhartini (2009b) mengatakan
bahwa masyarakat lanjut usia di Sumatera, khususnya di pinggiran kota Jambi
sebagian besar tinggal dalam keluarga luas.
Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan pola tempat tinggal dan status
perkawinan
Pola tempat tinggal
Sendiri/pasangan
Anak&pasangan atau anak saja
Orangtua dan saudara
Total
Nilai p-value
n
3
30
0
33
Status perkawinan
Menikah
Janda/Duda
%
n
%
9,1
1
3,0
90,9
29
87,9
0,0
3
9,1
100,0
33
100,0
0,061
Sementara itu terdapat sebesar 9,1 persen responden berstatus menikah
yang hanya tinggal bersama pasangan, sedangkan terdapat pula 9,1 persen
responden tinggal bersama orangtua dan saudara pada status janda/duda.
Berdasarkan uji Mann-Whitney yang dilakukan diketahui bahwa terdapat
perbedaan nyata pada pola tempat tinggal antara responden berstatus menikah
dengan berstatus janda/duda (p<0,1). Hal ini terlihat dari pola tempat tinggal
pada status menikah lebih banyak yang tinggal bersama pasangan saja jika tidak
tinggal bersama anak, sedangkan responden berstatus janda/duda lebih banyak
memilih tinggal dengan saudara/orangtua. Connidis (2010) mengatakan bahwa
lansia yang single atau berstatus janda/duda lebih menyukai tinggal bersama
saudara mereka dibanding lansia berstatus menikah.
Status Kesehatan Responden
Status kesehatan lansia bermacam-macam, meskipun masih terdapat
lansia dalam keadaan kesehatan baik, namun golongan ini tetap merupakan
kelompok yang rentan terhadap penyakit, karena terjadinya perubahan struktur
dan fungsi tubuh akibat proses degeneratif alamiah. Perubahan pada sistem
pencernaan dapat mengurangi efektifitas utilisasi zat-zat gizi, sehingga semakin
48
bertambahnya usia maka akan lebih mudah untuk terserang penyakit degeneratif
seperti hipertensi, diabetes melitus, jantung, kanker dan osteoporosis. Penyakit
pada lansia mempunyai ciri yang khas yaitu datang dan seringkali bersifat multi
kausal/lebih dari satu penyakit timbul bersama-sama (Jauhari 2003).
Berdasarkan Tabel 14 terlihat jelas bahwa baik responden berstatus
menikah (39,4%) maupun berstatus janda/duda (33,3%) terbanyak pada kategori
memiliki dua jenis penyakit. Hal ini sesuai dengan Oswari (1985) bahwa penyakit
usia lanjut berbeda dengan penyakit orang dewasa muda. Pada dewasa muda
penyakit yang diderita merupakan penyakit tunggal sedangkan usia lanjut
terdapat
berbagai
penyakit
sekaligus,
yang
menyulitkan
lansia
untuk
mengabaikan penderitaannya. Sementara itu pada responden berstatus menikah
terdapat tiga persen termasuk kategori memiliki empat jenis penyakit, sedangkan
untuk status janda/duda terdapat tiga persen yang berstatus tidak sakit. Hasil Ttest menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada jumlah penyakit
antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1).
Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan jumlah keluhan penyakit dan status
perkawinan
Jumlah keluhan
penyakit
Tidak sakit
Sakit 1
Sakit 2
Sakit 3
Sakit 4
Sakit 5
Sakit 6
Total
Nilai p-value
Menikah
n
3
10
13
4
1
0
2
33
Ket : sakit 1 (mengidap 1 jenis penyakit)
sakit 3 (mengidap 3 jenis penyakit)
sakit 5 (mengidap 5 jenis penyakit)
Status perkawinan
Janda/Duda
%
n
%
9,1
1
3,0
30,3
8
24,2
39,4
11
33,3
12,1
8
24,2
3,0
3
9,1
0,0
2
6,1
6,1
0
0,0
100,0
33
100,0
0,262
sakit 2 (mengidap 2 jenis penyakit)
sakit 4 (mengidap 4 jenis penyakit)
sakit 6 (mengidap 6 jenis penyakit)
Jenis penyakit responden
Perubahan-perubahan pada segi fisik dan kesehatan, sering dianggap
sebagai tanda yang paling awal dirasakan seseorang ketika ia sadar bahwa telah
sampai pada usia lanjut. Berbagai deretan jenis penyakit seperti jantung, darah
tinggi, kanker, gangguan pernafasan, stroke maupun parkinson merupakan yang
banyak diderita oleh kaum lansia (Troll 1982, diacu dalam Anitasari 1993).
49
Dari Tabel 15 diketahui bahwa jenis penyakit yang banyak diderita oleh
responden berstatus menikah adalah darah tinggi (48,5%), sedangkan pada
status janda/duda darah tinggi dan asam urat memiliki proporsi yang sama besar
(masing-masing 45,5%). Sementara itu jenis penyakit lainnya yang juga diderita
responden berstatus menikah yaitu rematik, mag, asma, pusing, jantung,
kolesterol, diabetes, gejala paru, prostat, darah rendah, gatal dan sesak. Untuk
responden berstatus janda/duda tidak berbeda jauh hanya saja terdapat
responden mengidap pembengkakkan hati, stroke, usus buntu dan gejala ginjal,
namun tidak terdapat yang mengidap prostate dan gejala paru.
Tabel 15 Sebaran responden berdasarkan jenis penyakit dan status perkawinan
Status perkawinan
Menikah
Jenis penyakit
Darah tinggi
Asam urat
Rematik
Mag
Asma
Pusing
Jantung
Kolesterol
Diabetes
Vertigo
Gejala ginjal
Gejala paru
Prostat
Stroke
Usus buntu
Darah rendah
Gatal
Pembengkakkan hati
Sesak napas
n
16
9
9
12
4
2
2
3
2
0
0
1
1
0
0
1
1
0
1
Janda/Duda
%
48,5
27,3
27,3
36,4
12,1
6,1
6,1
9,1
6,1
0,0
0,0
3,0
3,0
0,0
0,0
3,0
3,0
0,0
3,0
n
15
15
11
13
1
3
2
2
5
1
1
0
0
1
1
1
2
1
1
%
45,5
45,5
33,3
39,4
3,0
9,1
6,1
6,1
15,2
3,0
3,0
0,0
0,0
3,0
3,0
3,0
6,1
3,0
3,0
Kondisi Fisik
Kemunduran progresif yang disebabkan bertambahnya usia seseorang,
terutama lansia erat kaitannya dengan permasalahan fisik, antara lain terjadinya
kemunduran/penurunan metabolisme fungsi-fungsi sel, elastisitas, degeneratif
dan lain sebagainya (Suciati 2005). Alat-alat tubuh kita mencapai puncak
perkembangannya ketika mencapai dewasa, namun setelah itu berangsurangsur mengalami kemunduran. Susunan tubuh, daya kerja otot, daya tahan
tubuh makin lesu bila orang mulai menjadi tua (Oswari 1985).
50
Kondisi fisik pada penelitian ini maksudnya ingin melihat keluhan-keluhan
atau ketidakmampuan fisik yang dialami lansia mengikuti semakin bertambahnya
usia. Berdasarkan jumlah keluhan yang diderita diketahui (Tabel 16) bahwa
persentase terbesar baik responden berstatus menikah (51,5%) maupun
berstatus janda/duda (54,6%) pada kategori tidak memiliki keluhan fisik apapun.
Sementara itu terdapat 9,1 persen responden berstatus menikah dan sebesar
tiga persen pada status janda/duda terkategori memiliki dua jenis keluhan fisik.
Hasil T-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada jumlah
keluhan fisik yang dirasakan antara responden berstatus menikah dan berstatus
janda/duda (p>0,1).
Tabel 16 Sebaran responden berdasarkan jumlah keluhan fisik dan status
perkawinan
Status perkawinan
Menikah
Janda/Duda
Jumlah keluhan fisik
n
%
n
%
Tidak ada keluhan
17
51,5
18
54,6
Keluhan 1
13
39,4
14
42,4
Keluhan 2
3
9,1
1
3,0
Total
33
100,0
33
100,0
Nilai p-value
0,551
Ket : keluhan 1 (memiliki 1 jenis keluhan)
keluhan 2 (memiliki 2 jenis keluhan)
Jenis keluhan fisik responden
Gallo (1998) diacu dalam Suhartini (2009b) mengatakan untuk mengkaji
fisik pada orang lanjut usia harus dipertimbangkan keberadaannya seperti
menurunnya pendengaran, penglihatan, gerakan yang terbatas dan waktu
respon yang lamban. Mata dan telinga merupakan dua organ tubuh yang paling
banyak digunakan setiap saat dibanding indera lainnya. Oleh karena itu
keduanya merupakan organ paling banyak dipengaruhi oleh pertambahan usia,
walaupun perubahan fungsi seluruh organ tubuh juga terjadi (Hurlock 1980).
Pada Tabel 17 diketahui bahwa jenis keluhan fisik yang banyak
dikeluhkan oleh responden baik berstatus menikah (18,2%) maupun berstatus
janda/duda (21,2%) adalah kaki agak susah jalan terutama untuk jalan jauh.
Keluhan fisik tersebut karena faktor usia seperti terjadinya pengapuran tulang
dan adanya sakit rematik atau asam urat yang juga banyak diderita oleh
responden. Keluhan fisik lain yang juga diderita oleh responden yaitu mata agak
51
buram, pegal-pegal, kaki kesemutan, sakit punggung, sakit pinggang, tidak bisa
jalan, kurang pendengaran dan sakit tangan.
Tabel 17 Sebaran responden berdasarkan jenis keluhan fisik dan status
perkawinan
Menikah
Jenis keluhan
Tidak bisa jalan
Agak susah jalan
Mata agak buram
Kurang pendengaran
Pegel
Kaki kesemutan
Sakit punggung
Sakit pingang
Sakit tangan
n
0
6
3
0
5
1
1
1
2
Status perkawinan
Janda/Duda
%
n
%
0,0
2
6,1
18,2
7
21,2
9,1
2
6,1
0,0
1
3,0
15,2
3
9,1
3,0
0
0,0
3,0
0
0,0
3,0
1
3,0
6,1
0
0,0
Tingkat Kemandirian
Budi (2008) mendefinisikan kemandirian sebagai kemampuan untuk
melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit
bimbingan, sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya. Mandiri
menurut Mu’tadin (2002) merupakan kemampuan seseorang untuk tidak
tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang
dilakukannya. Tingkat kemandirian responden dalam penelitian ini dinilai dari
empat aspek yaitu aspek kemandirian aktivitas sehari-hari, aspek ekonomi,
aspek emosi dan aspek interaksi sosial.
Kemandirian aktivitas sehari-hari
Setiati (2000) diacu dalam Suhartini (2009b) mengatakan bahwa kualitas
hidup orang lanjut usia dapat dinilai dari kemampuan melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari. Tabel 18 menunjukkan bahwa persentase terbesar untuk
kemandirian aktivitas sehari-hari baik responden berstatus menikah (54,6%)
maupun berstatus janda/duda (39,4%) pada kategori mandiri. Sementara itu
terdapat 21,2 persen responden berstatus menikah termasuk kategori sangat
mandiri dan tiga persen responden berstatus janda/duda terkategori kurang
mandiri. Hal ini sesuai dengan status keluhan fisik dan jenis sakit fisik responden
bahwa persentase terbesarnya pada kategori tidak ada keluhan/tidak sakit. Untuk
jenis keluhan fisik yang dirasakan, terdapat dua responden tidak bisa jalan dan
satu diantaranya dikarenakan terkena stroke sehingga kesulitan dalam
52
melakukan aktivitas sehari-harinya. Berdasarkan pada rata-rata dan hasil T-test
diketahui tidak terdapat perbedaan nyata pada kemandirian aktivitas sehari-hari
antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p>0,1).
Tabel 18 Sebaran responden berdasarkan kemandirian aktivitas sehari-hari dan
status perkawinan
Tingkat kemandirian
Kurang mandiri
Cukup mandiri
Mandiri
Sangat mandiri
Total
Rata-rata (skor)
Sd
Nilai p-value
Status perkawinan
Janda/Duda
%
n
%
0,0
1
3,0
24,2
10
30,3
54,6
13
39,4
21,2
9
27,3
100,0
33
100,0
25,6
25,3
6,3
8,0
0,865
Menikah
n
0
8
18
7
33
Kemandirian ekonomi
Masalah ekonomi yang dialami orang lanjut usia adalah tentang
pemenuhan
kebutuhan
hidup
sehari-hari
seperti
sandang,
pangan
perumahan, kesehatan, rekreasi dan sosial (Suhartini 2009). Kemandirian
dari aspek ekonomi ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak
tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain (Havighurst 1972, diacu
dalam Mu’tadin 2002).
Tabel 19 Sebaran responden berdasarkan kemandirian ekonomi dan status
perkawinan
Tingkat kemandirian
Kurang mandiri
Cukup mandiri
Mandiri
Sangat mandiri
Total
Rata-rata (skor)
Sd
Nilai p-value
n
2
8
13
10
33
Status perkawinan
Menikah
Janda/Duda
%
n
%
6,1
3
9,1
24,2
9
27,3
39,4
9
27,3
30,3
12
36,3
100,0
33
100,0
15,5
15,2
5,0
6,1
0,859
Kemandirian ekonomi responden berstatus menikah (Tabel 19) diketahui
lebih dari sepertiganya (39,4%) termasuk kategori mandiri, dan pada status
53
janda/duda lebih dari sepertiganya (36,3%) termasuk kategori sangat mandiri.
Sementara itu terdapat 6,1 persen respoden berstatus menikah dan 9,1 persen
pada status janda/duda termasuk dalam kategori kurang mandiri. Berdasarkan
rata-ratanya terlihat tidak jauh berbeda antara dua kelompok responden. Hasil Ttest juga memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada
kemandirian ekonomi antara responden berstatus menikah dan berstatus
janda/duda (p>0,1).
Kemandirian emosi
Kemandirian aspek emosi ditunjukan dengan kemampuan mengontrol
emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang lain (Havighurst
1972, diacu dalam Mu’tadin 2002). Pada Tabel 20 diketahui bahwa hampir
separuh (48,5%) responden berstatus menikah terkategori sangat mandiri secara
emosi, sedangkan lebih dari sepertiga (39,4%) responden berstatus janda/duda
hanya terkategori mandiri secara emosi. Sementara itu persentase terkecil baik
responden berstatus menikah (12,1%) maupun berstatus janda/duda (27,3%)
termasuk kategori cukup mandiri.
Tabel 20 Sebaran responden berdasarkan kemandirian emosi dan status
perkawinan
Tingkat kemandirian
Kurang mandiri
Cukup mandiri
Mandiri
Sangat mandiri
Total
Rata-rata (skor)
Sd
Nilai p-value
n
0
4
13
16
33
Status perkawinan
Menikah
Janda/Duda
%
n
%
0,0
0
0,0
12,1
9
27,3
39,4
13
39,4
48,5
11
33,3
100,0
33
100,0
17,5
15,5
4,2
4,5
0,057
Berdasarkan dari rata-rata terlihat bahwa terdapat kecenderungan
kemandirian emosi responden berstatus menikah lebih baik dibanding pada
status janda/duda. Hal ini diduga karena responden berstatus menikah memiliki
sebaran laki-laki lebih banyak dibanding perempuan sehinga dimungkinkan
secara emosi lebih tegas dari wanita. Hal ini juga terlihat dari hasil uji hubungan
bahwa responden laki-laki memiliki tingkat kemandirian emosi yang lebih baik.
Hasil T-test juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata pada
54
kemandirian emosi antara responden berstatus menikah dan berstatus
janda/duda (p<0,1).
Kemandirian interaksi sosial
Kemandirian
aspek
sosial
ditunjukan
dengan
kemampuan
untuk
mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu
aksi dari orang lain (Havighurst 1972, diacu dalam Mu’tadin 2002). Pada Tabel
21 diketahui bahwa pada kedua kelompok responden lebih dari separuhnya
(masing-masing 57,6%) terkategori mandiri secara sosial. Sementara itu tidak
terdapat responden berstatus menikah terkategori kurang mandiri. Namun masih
terdapat satu orang (3%) responden terkategori kurang mandiri pada status
janda/duda. Hal ini sama halnya seperti pada kemandirian aktivitas sehari-hari
yaitu terkait dengan terdapatnya seorang responden yang pernah menderita
stroke dan saat wawancara dilakukan sedang dalam proses penyembuhan
sehingga untuk bersosialisasi agak mengalami kesulitan. Dilihat dari rata-ratanya
kedua kelompok responden memiliki rata-rata yang tidak jauh berbeda. Hasil Ttest juga memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada
kemandirian interaksi sosial untuk kedua kelompok responden (p>0,1).
Tabel 21 Sebaran responden berdasarkan kemandirian interaksi sosial dan
status perkawinan
Tingkat kemandirian
Kurang mandiri
Cukup mandiri
Mandiri
Sangat mandiri
Total
Rata-rata (skor)
Sd
Nilai p-value
Status perkawinan
Janda/Duda
%
n
%
0,0
1
3,0
18,2
6
18,2
57,6
19
57,6
24,2
7
21,2
100,0
33
100,0
7,9
7,7
1,8
2,0
0,750
Menikah
n
0
6
19
8
33
Kemandirian total
Pada Tabel 22 diketahui bahwa lebih dari separuh responden (69,7%)
berstatus menikah termasuk kategori mandiri secara total, sedangkan pada
status janda/duda hampir separuhnya saja (48,5%) yang termasuk kategori
mandiri secara total. Namun demikian untuk kategori sangat mandiri lebih banyak
pada responden berstatus janda/duda yaitu sebesar 30,3 persen. Sementara itu
55
tidak terdapat responden baik berstatus menikah maupun berstatus janda/duda
yang termasuk kategori kurang mandiri. Hasil T-test menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan nyata pada tingkat kemandirian total antara responden
berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p>0,1).
Tabel 22 Sebaran responden berdasarkan tingkat kemandirian dan status
perkawinan
Tingkat kemandirian
Kurang mandiri
Cukup mandiri
Mandiri
Sangat mandiri
Total
Rata-rata (skor)
Sd
Nilai p-value
Status perkawinan
Janda/Duda
%
n
%
0,0
0
0,0
12,1
7
21,2
69,7
16
48,5
18,2
10
30,3
100,0
33
100,0
66,5
63,8
10,6
15,1
0,393
Menikah
n
0
4
23
6
33
Dukungan Sosial
Kaplan et al. (1977) diacu dalam Cutrona (1996) mengatakan bahwa
dukungan sosial menunjukan kepuasan seseorang terhadap persetujuan,
penghargaan dan pertolongan oleh seseorang yang berarti. Lebih lanjut Cobb
(1979) diacu dalam Cutrona (1996) menjelaskan mengenai konsep dukungan
sosial sebagai petunjuk seseorang untuk percaya bahwa dirinya diperhatikan dan
dicintai, dihargai dan memiliki jaringan yang saling memenuhi kewajibannya.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian tanpa
bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang, papan, pangan) dan kebutuhan
psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan religiusitas, tidak mungkin
terpenuhi tanpa bantuan orang lain, terlebih saat sedang menghadapi masalah,
ringan maupun berat (Kuntjoro 2002). Dalam penelitian ini dukungan sosial
responden dilihat dari empat aspek, yaitu emosi, instrumental, penghargaan diri
(self-esteem) dan informasi.
Dukungan emosi
Turner (1993) diacu dalam Jauhari (2003) mengemukakan bahwa
dukungan emosi itu sangat penting dan memberi perhatian mendalam terhadap
individu sehingga individu dapat mencurahkan perasaannya, yang sangat
membantu kesehatan mental serta kesejahteraan individu. Dukungan ini
56
biasanya diperoleh dari orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan
individu, seperti keluarga atau teman dekat.
Pada Tabel 23 terlihat bahwa lebih dari separuh (51,5%) responden
berstatus menikah memiliki dukungan emosi kategori sedang dan pada status
janda/duda lebih dari separuhnya (63,6%) memiliki dukungan emosi kategori
baik. Sementara itu hanya tiga persen responden berstatus menikah dan 6,1
persen pada status janda/duda yang memiliki dukungan emosi kategori kurang.
Berdasarkan rata-rata dari kedua kelompok responden terlihat bahwa sebaran
responden tidak jauh berbeda antara responden berstatus menikah dan
berstatus janda/duda. Hasil T-test juga memperlihatkan bahwa tidak terdapat
perbedaan nyata pada dukungan emosi untuk kedua kelompok responden
(p>0,1).
Tabel 23 Sebaran responden berdasarkan dukungan emosi dan status
perkawinan
Status perkawinan
Janda/Duda
%
n
%
0,0
0
0,0
3,0
2
6,1
51,5
10
30,3
45,5
21
63,6
100,0
33
100,0
18,0
18,9
3,0
3,6
0,283
Menikah
Dukungan emosi
Sangat kurang
Kurang
Sedang
Baik
Total
Rata-rata (skor)
Sd
Nilai p-value
n
0
1
17
15
33
Dukungan instrumental
Hubungan yang terjalin baik akan menghasilkan dukungan berbentuk
materi atau jasa dari orang lain kepada individu sebagai penerima. Bantuan yang
diberikan dapat berupa uang, barang kebutuhan sehari-hari atau bantuan praktis
seperti memberikan fasilitas transportasi, membantu membersihkan rumah atau
juga menyediakan waktu ketika seseorang sakit atau terluka. Bantuan ini penting
bagi lansia yang mempunyai kondisi fisik lemah dan membutuhkan bantuan
tenaga dari orang di sekitarnya (Felton & Bery 1992, diacu dalam Jauhari 2003).
Pada Tabel 24 diketahui bahwa responden berstatus menikah (87,9%)
dan berstatus janda/duda (84,9%) sebagian besarnya memiliki dukungan
instrumental kategori baik. Sementara itu pada responden berstatus menikah
12,1 persen sisanya memiliki dukungan instrumental kategori sedang, sedangkan
57
pada status janda/duda masih terdapat tiga persen responden yang memiliki
dukungan instrumental kategori kurang. Rata-rata untuk kedua kelompok
responden memperlihatkan sebaran nilai yang tidak jauh berbeda. Hal tersebut
diperkuat oleh hasil T-test bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada dukungan
instrumental antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda
(p>0,1).
Tabel 24 Sebaran responden berdasarkan dukungan instrumental dan status
perkawinan
Dukungan instrumental
Sangat kurang
Kurang
Sedang
Baik
Total
Rata-rata (skor)
Sd
Nilai p-value
n
0
0
4
29
33
Status perkawinan
Menikah
Janda/Duda
%
n
%
0,0
0
0,0
0,0
1
3,0
12,1
4
12,1
87,9
28
84,9
100,0
33
100,0
27,5
27,1
3,3
4,5
0,706
Dukungan informasi
Dukungan
informasi
memungkinkan
individu
untuk
memperoleh
pengetahuan dari orang lain (Felton dan Berry 1992, diacu dalam Hertamina
1996). Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa bimbingan/arahan, diskusi
masalah, maupun pengajaran suatu keterampilan. Dengan adanya informasi
tersebut, maka individu dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi atau
memperoleh pengetahuan baru (Weiss tanpa tahun, diacu dalam Cutrona 1996).
Tabel 25 Sebaran responden berdasarkan dukungan informasi dan status
perkawinan
Status perkawinan
Menikah
Dukungan informasi
Sangat kurang
Kurang
Sedang
Baik
Total
Rata-rata (skor)
Sd
Nilai p-value
n
0
11
16
6
33
%
0,0
33,3
48,5
18,2
100
n
0
8
15
10
33
17,3
4,4
0,424
Janda/Duda
%
0,0
24,2
45,5
30,3
100
18,2
4,5
58
Berdasarkan Tabel 25 terlihat bahwa baik responden berstatus menikah
(48,5%) maupun berstatus janda/duda (45,5%) hampir separuhnya memiliki
dukungan informasi kategori sedang. Sementara hanya 18,2 persen responden
berstatus menikah yang termasuk kategori baik, sebaliknya pada status
janda/duda, persentase terkecil (24,2%) dukungan informasi pada kategori
kurang. Sebaran responden berdasarkan rata-ratanya tidak berbeda jauh. Begitu
juga dari hasil T-test yaitu tidak terdapat perbedaan nyata pada dukungan
informasi antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda
(p>0,1).
Dukungan penghargaan diri (self-esteem)
Pikunas (1976) diacu dalam Anitasari (1993) mengatakan bahwa pada
lansia terdapat kebutuhan akan penghargaan, yaitu perasaan bahwa dirinya
tetap berguna dan diperlukan. Dukungan penghargaan terbentuk melalui
pengakuan terhadap kualitas seseorang, kepercayaan terhadap kemampuan
seseorang, pengakuan terhadap gagasan seseorang berupa perasaan atau
tindakan (Cutrona 1996).
Tabel 26 Sebaran responden berdasarkan dukungan penghargaan diri dan
status perkawinan
Dukungan penghargaan diri
Sangat kurang
Kurang
Sedang
Baik
Total
Rata-rata (skor)
Sd
Nilai p-value
n
0
9
16
8
33
Status perkawinan
Menikah
Janda/Duda
%
n
%
0,0
1
3,0
27,3
4
12,0
48,5
14
42,5
24,2
14
42,5
100,0
33
100,0
10,6
11,7
2,7
2,9
0,129
Pada dukungan penghargaan diri hampir separuh (48,5%) responden
berstatus menikah memiliki dukungan kategori sedang (Tabel 26), sedangkan
pada status janda/duda untuk kategori sedang dan baik memiliki persentase
yang sama yaitu sebesar 42,5 persen. Sementara itu hanya terdapat 24,2 persen
responden berstatus menikah memiliki dukungan penghargaan kategori baik.
Untuk responden berstatus janda/duda masih terdapat tiga persen responden
terkategori sangat kurang. Dari hasil T-test yang dilakukan diketahui bahwa tidak
59
terdapat perbedaan yang nyata pada dukungan penghargaan antara responden
berstatus menikah dengan responden berstatus janda/duda (p>0,1).
Dukungan sosial total
Pada Tabel 27 diketahui bahwa lebih dari separuh (54,6%) responden
berstatus menikah memiliki dukungan sosial total kategori sedang, sedangkan
pada status janda/duda lebih dari separuhnya (54,5%) memiliki dukungan sosial
total kategori baik. Sementara itu tidak ada responden yang memiliki dukungan
sosial kategori kurang dan sangat kurang pada lansia berstatus menikah, namun
terdapat 6,1 persen responden berstatus janda/duda memiliki dukungan sosial
kategori kurang.
Berdasarkan dari rata-rata terlihat bahwa dukungan sosial responden
berstatus janda/duda memiliki kecenderungan lebih baik dibandingkan pada
status menikah. Hal ini dimungkinkan karena berdasarkan jenis kelaminnya,
pada responden berstatus menikah lebih banyak laki-laki yang menurut Cutrona
(1996) agak kurang memiliki variasi sumber dukungan dihari tuanya. Pria juga
cenderung menutupi masalah mereka dibanding wanita (Cutrona 1996),
sehingga kurang mendapat dukungan sosial dari lingkungan sekitar. Lebih lanjut
Sheely (1998) diacu dalam Galvin et al. (2003) mengatakan bahwa pria lebih
kesulitan pada masa transisi dari usia paruh baya menuju usia tua dan pria
jarang mencari teman baru di masa paruh baya tersebut.
Tabel 27 Sebaran responden berdasarkan dukungan sosial dan status
perkawinan
Dukungan sosial total
Sangat kurang
Kurang
Sedang
Baik
Total
Rata-rata (skor)
Sd
Nilai p-value
n
0
0
18
15
33
Status perkawinan
Menikah
Janda/Duda
%
n
%
0,0
0
0,0
0,0
2
6,1
54,6
13
39,4
45,4
18
54,5
100,0
33
100,0
73,4
75,9
11,3
13,7
0,430
Berbeda pada responden berstatus janda/duda yang lebih banyak
merupakan perempuan. Cutrona (1996) mengatakan bahwa wanita cenderung
lebih memiliki banyak variasi sumber dukungan sosial, wanita juga menggunakan
60
komunikasi untuk menggandakan persahabatan mereka (Sheely 1998, diacu
dalam Galvin et al. 2003) sehingga kepemilikan dukungan sosial pada wanita
cenderung lebih banyak. Selain itu berbeda dengan kaum pria yang lebih
terbatas dalam mempercayakan untuk membagi masalahnya bersama orang
lain, wanita terutama memasuki usia tua senang membagi masalahnya kepada
keluarga dan anak ataupun orang tua jika masih ada. Namun demikian dari hasil
T-test tidak terdapat perbedaan nyata pada kepemilikan dukungan sosial total
antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p>0,1).
Sumber Dukungan Sosial
Keluarga yang terdiri dari pasangan, anak-anak, cucu-cucu, saudara yang
memiliki hubungan darah, memegang peranan besar dalam pemberian
dukungan bagi individu. Hal ini juga didukung oleh Smolak (1993) diacu dalam
Jauhari (2003) yang mengatakan bahwa jaringan sosial lansia memiliki porsi
yang besar pada anggota keluarga dan lebih lanjut dikemukakan Antonucci
(1985) diacu dalam Hertamina (1996) bahwa sumber dukungan utama bagi
lansia adalah anak-anak mereka, terutama anak perempuan.
Tabel 28 Sebaran responden berdasarkan sumber dukungan dan status
perkawinan
ES
Sumber dukungan
Keluarga
Teman
Keluarga dan teman
Tidak ada
Total
M
%
42,4
15,8
34,5
7,3
100,0
Ket : ES (dukungan emosi)
IFS (dukungan informasi)
TS
J/D
%
46,1
13,3
32,1
8,5
100,0
M
%
81,1
3,0
8,3
7,6
100,0
J/D
%
76,5
1,5
12,1
9,9
100,0
IFS
M
%
46,0
14,7
15,1
24,2
100,0
J/D
%
42,4
10,6
20,7
26,3
100,0
SES
M
%
6,1
36,4
42,4
15,1
100,0
J/D
%
3,0
48,5
45,5
3,0
100,0
TS (dukungan instrumental)
SES (dukungan penghargaan diri)
Tabel 28 menunjukkan bahwa baik responden berstatus menikah maupun
responden berstatus janda/duda memilih keluarga sebagai sumber dukungan
untuk dukungan emosi (ES), instrumental (TS) dan informasi (IFS) yang dimiliki.
Hal ini sejalan dengan Antonucci (2001) yang mengatakan bahwa pasangan
merupakan penyedia dukungan yang istimewa. Selain itu Connidis (2010) juga
mengatakan bahwa untuk dukungan instrumental dan emosi lansia lebih nyaman
untuk mencarinya pada saudara mereka terutama saudara perempuan.
61
Sementara itu untuk sumber dukungan penghargaan (SES) diketahui
hampir separuh (42,4%) responden berstatus menikah memilih keluarga dan
teman sebagai sumber dukungan yang dimiliki, sedangkan pada status
janda/duda hampir separuhnya (48,5%) memilih teman sebagai sumber
dukungan yang dimiliki. Namun demikian pada responden berstatus janda/duda
untuk sumber dukungan dari keluarga dan teman memiliki perbedaan persentase
yang tidak terlalu jauh dengan sumber dukungan dari teman. Oleh karena itu baik
pada responden berstatus menikah maupun berstatus janda/duda memiliki
sumber dukungan penghargaan dari berbagai pihak.
Teman secara umum menunjukkan peran unik dan penting dalam
kehidupan lansia (Adams & Blieszner 1994, diacu dalam Antonucci 2001).
Hubungan
dengan
teman
sebaya
bersifat
tidak
mengikat
dan
teman
menyediakan dukungan pada semua usia, tetapi terutama sekali lansia dalam
bentuk umpan balik positif dan saling menghargai ((O’Connor 1995; Lansford
2000), diacu dalam Antonucci 2001).
Tingkat Stres
Stres merupakan respon atau keadaan tegang yang dihasilkan oleh
stressors atau oleh tuntutan (nyata ataupun persepsi) dan tidak dapat
dikendalikan ((Antonovsky 1979; Burr 1973), diacu dalam Friedman et al. 2003).
Burgess (1978) diacu dalam Friedman et al. (2003) mengartikan stres sebagai
ketegangan pada diri seseorang atau sistem sosial (seperti keluarga) dan
merupakan reaksi terhadap situasi yang menghasilkan tekanan.
Tingkat stres seseorang dapat diketahui dengan memperhatikan gejalagejala stres yang ditujukan, baik gejala fisik maupun gejala emosional (Wilkinson
1989, diacu dalam Furi 2006). Berdasarkan rata-rata skor jawaban untuk gejala
stres diketahui (Tabel 29) bahwa gejala-gejala stres yang banyak dialami oleh
responden berstatus menikah antara lain, merasa pusing atau sakit kepala tanpa
alasan yang jelas (2,33), merasa letih dan lesu yang luar biasa (1,94), merasa
tidak tenang, tegang dan cemas (1,91), serta merasa tidak sabaran dan ingin
cepat marah (1,76). Sementara itu pada status janda/duda gejala stres yang
banyak dialami tidak jauh berbeda antara lain, merasa pusing atau sakit kepala
tanpa alasan yang jelas (2,06), mudah menangis atau merasa sedih tanpa sebab
(1,97), merasa tidak sabaran dan ingin cepat marah (1,88), serta merasa letih
dan lesu yang luar biasa (1,73).
62
Tabel 29 Sebaran responden berdasarkan gejala stres dan status perkawinan
No.
1
2
3
4
5
6
Gejala Stres
Merasa pusing atau sakit kepala tanpa alasan yang jelas
Merasa tidak tenang, tegang, dan cemas
Membayangkan hal-hal buruk
Mengalami perubahan buang air kecil
Merasa letih dan lesu yang luar biasa
Minum kopi lebih dari tiga gelas sehari/melebihi kebiasaan
sehari-hari
7
Sering melamun
Khawatir yang berlebihan pada diri sendiri
8
Tidak
suka berinteraksi dengan orang lain/menutup diri
9
10
Tubuh berguncang hebat
Mudah menangis atau Merasa sedih tanpa sebab
11
12
Merasa tidak sabaran dan ingin cepat marah
13
Merasa tidak pernah istirahat
Mudah menyesali diri
14
Berteriak dan melempar-lempar barang
15
Merasa putus asa/tidak punya harapan hidup
16
Mudah tersinggung
17
Mudah
menyalahkan orang lain
18
Mudah
membatalkan
janji atau tidak memenuhinya
19
20
Mendiamkan atau memusuhi orang lain
21
Mudah melakukan kecelakaan atau kesalahan dalam bekerja
seperti memecahkan piring, gelas, tertusuk jarum dll)
Ket: skor 1-4, pertanyaan no 10, 15 &16 skor dikalikan 3
Rata-rata
skor
M
J/D
2,33
2,06
1,67
1,91
1,30
1,24
1,15
1,00
1,94
1,73
1,06
1,00
1,52
1,45
1,06
3,45
1,67
1,76
1,42
1,39
3,00
3,00
1,33
1,21
1,03
1,24
1,42
1,61
1,00
3,73
1,97
1,88
1,30
1,36
3,09
3,09
1,42
1,24
1,18
1,12
1,39
1,55
Sementara itu tingkat stres seseorang terhadap suatu kondisi dipengaruhi
oleh sumber stres, sumber daya yang dimiliki untuk menghadapi stres, dan
persepsi terhadap stres (Ifada 2004). Dalam penelitian ini tingkat stres dibagi
menjadi empat kategori yaitu tidak stres, ringan, sedang dan tinggi. Berdasarkan
pada Tabel 30 diketahui bahwa seluruh responden baik berstatus menikah
(100%) maupun berstatus janda/duda (100%) memiliki tingkat stres kategori
ringan yang artinya gejala-gejala yang dirasakan masih normal dan jarang-jarang
dirasakannya. Rata-rata skor dari kedua kelompok responden tidak jauh
berbeda. Hasil T-test juga memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan
nyata pada tingkat stres antara responden berstatus menikah dan berstatus
janda/duda (p>0,1).
63
Tabel 30 Sebaran responden berdasarkan tingkat stres dan status perkawinan
Status Perkawinan
Tingkat stres
Menikah
n
0
33
0
0
33
Tidak stres
Ringan
Sedang
Berat
Total
Rata-rata (skor)
SD
Nilai p-value
%
0,0
100
0,0
0,0
100,0
n
0
33
0
0
33
35,6
6,0
Janda/Duda
%
0,0
100
0,0
0,0
100,0
35,7
4,7
0,982
Hubungan Antar Variabel
Karakteristik, kondisi kesehatan dan kondisi fisik dengan kemandirian
responden
Untuk
hubungan
antara
karakteristik
responden
dengan
tingkat
kemandirian dari hasil uji korelasi Spearman’s diketahui bahwa terdapat
hubungan sangat nyata dan negatif pada jenis kelamin (r; -0,389; p<0,01)
dengan kemandirian emosi, artinya responden laki-laki memiliki tingkat
kemandirian emosi yang lebih baik. Hal ini diduga karena laki-laki jauh lebih
tegas secara emosi dibandingkan perempuan. Terdapat hubungan sangat nyata
dan negatif pada tingkat kemandirian total (r; -0,315; p<0,01), kemandirian
aktivitas sehari-hari (r; -0,316; p<0,01), dan hubungan nyata dan negatif pada
kemandirian emosi (r; -0,258; p<0,05) dengan usia responden, artinya semakin
tua usia maka akan mengurangi tingkat kemandirian total, aktivitas sehari-hari
dan emosi responden. Sesuai dengan yang dikatakan Departemen Sosial (1997)
diacu dalam Rahmi (1998) bahwa semakin lanjut usia seseorang maka semakin
banyak kemundurannya, terutama kemampuan fisik yang dapat berakibat
berkurangnya kemampuan sosial, selain itu dapat mengganggu kemampuannya
memenuhi kebutuhannya, sehingga cenderung tergantung pada pihak lain.
Sementara itu terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara
kemandirian total (r; 0,404; p<0,01) dan ekonomi (r; 0,656; p<0,01) dengan
status pekerjaan, artinya pada responden yang bekerja memiliki tingkat
kemandirian total dan ekonomi semakin baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Cici (2001) diacu dalam Suhartini (2009c) tentang faktor penentu
lansia bekerja. Dikatakan bahwa lansia yang masih aktif bekerja karena berbagai
alasan, diantaranya karena desakan ekonomi, dengan masih bekerja berarti
lansia masih dapat menghidupi dirinya sendiri. Kondisi seperti ini membuat lansia
64
memusatkan perhatian pada usaha untuk menghasilkan uang sehingga minat
untuk mencari uang tidak lagi berorientasi pada apa yang ingin dibeli akan tetapi
untuk sekedar menjaga agar lansia tetap mandiri.
Tabel 31 Hasil uji korelasi Spearman’s karakteristik responden, kondisi
kesehatan dan fisik dengan tingkat kemandirian responden
Variabel
Status responden
Jenis kelamin
Usia
Lama pendidikan
Status pekerjaan
Tingkat pendapatan
Sumber pendapatan
Besar keluarga
Jumlah anak
Jumlah keluhan penyakit
Jumlah keluhan fisik
Tingkat
kemandirian
,088
-,178
-,315**
,216
,404**
,216
-,508**
-,179
-,331**
-,113
-,046
Ket : KAS (kemandirian aktivitas sehari-hari)
KE (kemandirian emosi)
KAS
,014
-,026
-,316**
,171
,172
,047
-,238
-,189
-,218
-,220
-,099
KEK
,013
-,043
-,042
-,098
,656**
,136
-,779**
-,084
-,370**
,105
,085
KE
,233
-,389**
-,258*
,339**
,113
,215
-,031
-,077
-,210
-,092
-,006
K SOS
,003
-,163
-,212
,128
,047
,168
-,196
-,017
-,095
,028
-,078
KEK (kemandirian ekonomi)
K SOS (kemandirian sosial)
Terdapat juga hubungan sangat nyata dan positif pada lama pendidikan
(r; 0,339 ; p<0,01), dengan kemandirian emosi, artinya semakin lama jenjang
pendidikan yang ditempuh maka semakin tinggi tingkat kemandirian emosi
responden. Lama pendidikan diduga terkait dengan tingkat pengetahuan
sehingga berpengaruh pada cara responden bersikap dan mengambil keputusan,
jadi dimungkinkan lansia sesedikit mungkin akan bergantung secara emosi
kepada orang lain ataupun keluarga dan anak.
Sumber pendapatan berhubungan sangat nyata dan negatif dengan
kemandirian total (r; -0,508; p<0,01) dan kemandirian ekonomi (r; -0,779;
p<0,01), artinya pada responden yang memiliki sumber pendapatan dari anak
maka akan mengurangi tingkat kemandirian total dan kemandirian ekonominya.
Jumlah anak juga berhubungan sangat nyata dan negatif dengan kemandirian
total (r; -0,331; p<0,01) dan kemandirian ekonomi (r; -0,370; p<0,01), artinya
semakin banyak jumlah anak responden maka akan semakin rendah tingkat
kemandirian total dan kemandirian ekonomi responden. Hal ini diduga karena
dengan semakin banyak anak maka semakin banyak pula orang-orang yang
dapat diandalkan yang artinya semakin memperbesar derajat ketergantungan
lansia. Selain itu kebudayaan di Indonesia yang umumnya anak akan membalas
budi orang tua dengan merawat ataupun sekedar membantu sebisanya orangtua
65
dimasa tuanya, maka dengan semakin banyaknya anak akan semakin banyak
pula bantuan yang diberikan kepada lansia. Hasil uji korelasi juga menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara kondisi kesehatan dan fisik dengan
tingkat kemandirian responden.
Karakteristik, kondisi kesehatan dan kondisi fisik dengan tingkat stres
responden
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman diketahui bahwa tidak terdapat
hubungan nyata antara tingkat stres dengan karakteristik responden seperti jenis
kelamin, sumber pendapatan, status pendidikan, status pekerjaan, status
perkawinan, besar keluarga dan jumlah anak. Hasil uji korelasi memperlihatkan
bahwa terdapat hubungan nyata dan positif pada usia (r; 0,259; p<0,05), dan
hubungan sangat nyata dan positif kondisi kesehatan/jumlah keluhan penyakit (r;
0,329; p<0,01) dengan tingkat stres, artinya semakin tua usia responden dan
semakin banyak keluhan penyakit yang dirasakan maka akan semakin tinggi
tingkat stresnya. Hawari (1996) diacu dalam Jauhari (2003) menyatakan penyakit
kronis seperti jantung, kanker dan lain-lain serta kehidupan sosial yang tidak baik
dapat mengguncangkan keseimbangan suasana hati yang pada akhirnya dapat
mengakibatkan ketegangan jiwa atau stres. Sementara itu tidak terdapat
hubungan nyata pada karakteristik responden lainnya dan kondisi fisik dengan
tingkat stres responden.
Tabel 32 Hasil uji korelasi Spearman’s karakteristik, kondisi kesehatan, dan fisik
dengan tingkat stres responden
Variabel
Status responden
Jenis kelamin
Usia
Lama pendidikan
Status pekerjaan
Tingkat pendapatan
Sumber pendapatan
Besar keluarga
Jumlah anak
Jumlah keluhan penyakit
Jumlah keluhan fisik
Tk stres
-,061
-,011
,259*
-,210
,212
-,108
,095
-,085
-,180
,329**
,021
66
Kemandirian dan dukungan sosial dengan tingkat stres responden
Hurlock (1980) berpendapat bahwa pada usia lanjut perubahan fisik dan
psikologis
yang
cenderung
negatif
akan
terjadi.
Perubahan
tersebut
menyebabkan gaya hidup penduduk lanjut usia terpaksa berubah, sehingga
mereka mempunyai ketergantungan yang besar pada keluarga, orang lain
termasuk negara (Hardywinoto & Setiabudhi 2005). Jika lansia tidak dapat
menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi maka akan menyebabkan
ketergantungan kepada orang lain. Ketergantungan
pada orang lain ini jika
dibiarkan lambat laun dapat menyebabkan stres pada lansia (Hurlock 1980).
Tabel 33 Hasil uji korelasi Spearman’s tingkat kemandirian dan dukungan sosial
dengan tingkat stres responden
Variabel
Tingkat kemandirian
Kemandirian Aktivitas Sehari-hari
Kemandirian ekonomi
Kemandirian emosi
Kemandirian sosial
Dukungan sosial
Dukungan emosi
Dukungan intrumental
Dukungan informasi
Dukungan self-esteem
Tingkat stres
-,248*
-,130
-,074
-,310*
-,192
-,174
-,168
-,134
-,102
-,154
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
nyata dan negatif antara tingkat stres dengan kemandirian total (r; -0,248;
p<0,05) dan kemandirian emosi responden (r; -0,310; p<0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat kemandirian total dan emosi
responden maka akan semakin tinggi tingkat stresnya. Selain itu tidak terdapat
hubungan nyata antara tingkat stres dengan dukungan sosial yang dimiliki
responden. Namun terdapat kecenderungan negatif antara dukungan sosial
dengan tingkat stres, yang berarti semakin baik dukungan sosial responden
maka terdapat kecenderungan mengurangi tingkat stres responden dan tidak
tedapatnya hubungan nyata pada kedua variabel ini juga menunjukkan bahwa
dukungan sosial tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat stres serta bukan
faktor penentu tingkat stres seseorang pada penelitian ini. Artinya dengan
baiknya dukungan sosial yang dimiliki seseorang tidak serta merta akan
menurunkan tingkat stres orang tersebut. Namun dengan adanya dukungan
67
sosial dari orang-orang disekitar diharapkan akan dapat mengurangi beban dan
efek negatif yang ditimbulkan oleh stres.
Bee (1996) diacu dalam Chandra (2003) mengatakan bahwa dukungan
sosial dapat mengurangi pengaruh negatif dari pengalaman yang menyebabkan
stres diantara para lansia. Disamping itu diduga pula karena responden yang
diteliti dalam penelitian ini homogen dan tingkat stres dipengaruhi oleh faktor lain
yaitu status kesehatan responden. Hal ini juga sesuai dengan hasil uji regresi
dan uji korelasi bahwa terdapat hubungan antara tingkat stres dengan status
kesehatan dan status kesehatan berpengaruh nyata terhadap tingkat stres
responden.
Pengaruh Kemandirian dan Dukungan Sosial terhadap Tingkat Stres
Berdasarkan uji regresi linear berganda yang dilakukan diketahui bahwa
terdapat pengaruh nyata dan negatif antara kemandirian emosi dengan tingkat
stres responden. Hal ini menunjukkan bahwa semakin mandiri responden secara
emosi maka semakin rendah tingkat stresnya. Hurlock (1980) mengungkapkan
bahwa ketergantungan lanjut usia terhadap orang lain akan membuat gerak
lansia menjadi terbatas baik secara fisik maupun ekonomi. Keterbatasanketerbatasan ini membuat lansia kurang dapat menentukan sendiri kehidupannya
di hari tua. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap kondisi mental lansia yang
mana dapat menimbulkan stres.
Hasil uji regresi juga menunjukkan pengaruh nyata dan negatif antara
jumlah anak dengan tingkat stres, artinya semakin banyak anak maka semakin
rendah tingkat stres responden. Hal ini diduga karena dengan semakin banyak
anak maka memungkinkan lansia untuk memperoleh dukungan sosial yang lebih
besar dan memungkinkan lansia tidak menjadi kesepian.
Sementara itu hasil uji regresi juga menunjukkan status kesehatan dan
status pekerjaan responden berpengaruh nyata dan positif terhadap tingkat stres.
Hal ini berarti semakin banyak penyakit yang diderita maka akan semakin tinggi
tingkat stres responden. Hawari (1996) diacu dalam Jauhari (2003) menyatakan
penyakit kronis seperti jantung, kanker, dan lain-lain serta kehidupan sosial yang
tidak baik dapat menggoncangkan keseimbangan suasana hati yang pada
akhirnya dapat mengakibatkan ketegangan jiwa atau stres. Untuk status
pekerjaan hasil uji regresi menjelaskan bahwa pada responden yang tidak
bekerja memiliki tingkat stres yang lebih rendah. Hal ini diduga karena responden
68
stres dengan pekerjaannya yang dimungkinkan responden merasa lelah dan
ingin istirahat dihari tuanya. Selain itu tingkat pendapatan responden yang
umumnya kecil juga menjadi beban pikiran tersendiri.
Tabel 34 Hasil uji regresi pengaruh kemandirian dan dukungan sosial terhadap
tingkat stres
Model
(Constant)
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
31,387
13,302
Standardized
Coefficients
Beta
t
Sig.
2,360
,023
-,480
,320
-,295
-1,503
,140
Dukungan intrumental
,177
,245
,127
,721
,475
Dukungan informasi
,146
,243
,120
,601
,551
Dukungan selfesteem
,247
,370
,130
,667
,508
Dukungan emosi
KAS
,125
,100
,165
1,240
,221
Kemandirian ekonomi
-,307
,252
-,312
-1,217
,230
Kemandirian emosi
-,394
,176
-,322
-2,232
,031
Kemandirian sosial
-,096
,349
-,034
-,275
,784
,051
1,524
,005
,033
,974
-2,003
1,678
-,180
-1,193
,239
,189
,129
,200
1,467
,149
Status responden
Jenis kelamin
Usia
Lama pendidikan
-,158
,215
-,112
-,737
,465
Status pekerjaan
5,311
1,837
,482
2,892
,006
Tingkat pendapatan
,604
1,751
,049
,345
,732
Sumber pendapatan
-1,866
2,726
-,160
-,685
,497
-,163
,238
-,086
-,686
,496
Jumlah anak
-,530
,237
-,290
-2,240
,030
Jumlah keluhan penyakit
1,833
,490
,445
3,742
,001
,436
1,032
,050
,422
,675
Besar keluarga
Jumlah keluhan fisik
Adjusted R square
F (P)
df
29,9%
2,459
19
a Dependent Variable: Tingkat stress
Hasil uji regresi juga menunjukkan nilai R² sebesar 29,9 persen. Hal ini
berarti bahwa variabel-variabel yang diuji menggambarkan 29,9 persen faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat stres responden. Sementara sisanya 70,1
persen dipengaruhi oleh variabel lain diluar model ini. Berdasarkan nilai beta
terbesar yaitu pada status pekerjaan yang berarti status pekerjaan mempunyai
pengaruh terbesar terhadap tingkat stres lansia. Sementara itu nilai B pada
status pekerjaan sebesar 5,311 artinya setiap kenaikan kesempatan bekerja satu
persen akan meningkatkan tingkat stres sebanyak 5,311 persen. Nilai B untuk
kemandirian emosi yaitu -0,394 yang artinya setiap kenaikkan kemandirian emosi
satu tingkat maka akan mengurangi stres pada lansia sebanyak 0,394 tingkat.
Demikian juga dengan nilai B status kesehatan responden sebesar 1,833 artinya
69
pada kenaikan status kesehatan satu tingkat yang berarti bertambah satu jenis
penyakit yang diderita maka akan meningkatkan stres sebanyak 1,833 tingkat.
Jumlah anak memiliki nilai B sebesar -0,530, artinya pada lansia dengan jumlah
anak semakin banyak dengan selisih sebesar satu persen akan dapat
mengurangi stres responden sebanyak 0,530 persen.
Download