HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Cilendek Barat termasuk wilayah Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor, dibentuk pertama kali pada tahun 1979 dan merupakan pecahan dari Kelurahan Cilendek (terbagi atas Kelurahan Cilendek Barat dan Cilendek Timur). Pemilihan kepala desa pertama dilaksanakan pada tahun 1980. Sementara itu Kelurahan Cilendek Barat pertama kali masuk menjadi wilayah Kota Bogor pada tahun 1996. Wilayah Kelurahan Cilendek Barat memiliki luas 174,8 Hektoare dan berada pada ketinggian 14 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan 26 mm/tahun, merupakan dataran rendah dengan suhu rata-rata 25 derajat Celcius. Jarak Kelurahan dari pusat pemerintahan kecamatan sekitar 2,5 Kilometer, jarak dari pemerintahan Kota Bogor sekitar 4 Kilometer, jarak dari ibukota propinsi sekitar 120 Kilometer dan jarak dengan Ibukota Negara sekitar 60 Kilometer. Batas administratif Kelurahan Cilendek Barat yaitu, sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Semplak/Kelurahan Curug, sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Menteng, sebelah Barat berbatasan dengan kali Cisadane/Kelurahan Sindang Barang, dan sebelah Timur berbatasan dengan kali Ciangke/Kelurahan Cilendek Timur. Secara administratif, Kelurahan Cilendek Barat terbagi dalam enam puluh tujuh Rukun Tetangga dan delapan belas Rukun Warga dengan total penduduk sebesar 16.452 jiwa dan 3.221 Kepala Keluarga. Selain itu berdasarkan pada agama yang dianut sebanyak 13.375 orang beragama Islam, 473 orang beragama Kristen, 689 orang beragama Katholik, 18 orang beragama Hindu, 23 orang beragama Budha dan 17 beragama Konghuchu. Dari delapan belas rukun warga yang berada di Kelurahan Cilendek Barat, dua RW dengan jumlah penduduk lansia terbanyak adalah RW 05 dan RW 12. Tingkat pendidikan penduduk Cilendek Barat paling banyak berstatus lulus SMP/SLTP/MTS (5.022 orang). Sementara itu keadaan penduduk Kelurahan Cilendek Barat berdasarkan mata pencaharian terbanyak berturutturut yaitu pada sektor swasta/BUMN/BUMD (430 orang), pengusaha/ wiraswasta/pedagang (298 orang), pegawai negeri sipil (286 orang) dan buruh tani (217 orang). Sarana dan prasarana yang ada di Kelurahan Cilendek Barat 40 terdiri dari sekolah, tempat ibadah, organisasi sosial dan kemasyarakatan, sarana kesehatan, olah raga, jalan dan jembatan. Karakteristik Responden Jenis kelamin responden Rata-rata pria meninggal lebih cepat dari wanita, sehingga menjanda dihari tua lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Hingga saat ini belum ada statistik mengenai jumlah dan usia pria yang menjadi duda, hal ini terkait karena lebih banyak duda di setiap tahap usia yang menikah lagi daripada janda, disamping itu persentase duda juga jauh lebih sedikit. Dengan demikian masa menjanda merupakan masalah yang lebih besar bagi wanita dibanding pria, selama masa usia lanjut (Hurlock 1980). Berdasarkan jenis kelaminnya (Tabel 4), responden berstatus menikah lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan (60,6%). Sementara itu sebaliknya pada responden berstatus janda/duda. Jenis kelamin perempuan atau berstatus janda lebih banyak dibandingkan responden laki-laki atau berstatus duda (87,9%). Hasil uji Mann-Whitney juga memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan nyata dari segi jenis kelamin antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p<0,01). Tabel 4 Sebaran responden berdasarkan jenis kelamin dan status perkawinan Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total Nilai p-value n 20 13 33 Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 60,6 4 12,1 39,4 29 87,9 100,0 33 100,0 0,0 Usia responden Usia responden pada penelitian ini berkisar antara 60 sampai 80 tahun. Burnside (1979) diacu dalam Anitasari (1993) membagi lansia didasarkan pada usia kronologisnya yaitu: young-old (60-69 tahun), middle-age-old (70-79 tahun), old-old (80-89 tahun) dan very-old-old (lebih dari 90 tahun). Tabel 5 memperlihatkan sebaran responden berdasarkan usia dan status responden. 41 Tabel 5 Sebaran responden berdasarkan usia dan status perkawinan Usia Lansia awal (60-69 tahun) Lansia tengah (70-79 tahun) Lansia tua (80-89 tahun) Lansia sangat tua (≥90 tahun) Total Rata-rata (tahun) Sd Nilai p-value n 22 11 0 0 33 Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 66,7 20 60,6 33,3 11 33,3 0,0 2 6,1 0,0 0 0,0 100,0 33 100,0 67,2 68,4 5,9 5,6 0,405 Pada Tabel 5 diketahui bahwa proporsi terbesar usia responden baik berstatus menikah (66,7%) maupun berstatus janda/duda (60,6%) termasuk kategori lansia awal (60-69 tahun). Selain itu 33,3 persen responden berstatus menikah termasuk kategori lansia tengah (70-79 tahun) dan terdapat 6,1 persen kategori lansia tua (80-89 tahun) pada responden berstatus janda/duda. Ratarata usia responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda tidak jauh berbeda. Hal ini juga terlihat dari hasil T-test yang memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada usia responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1). Tingkat pendidikan responden Wongkaren (1993) diacu dalam Suhartini (2009c) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa semakin tinggi usia, semakin kecil persentase mereka pernah sekolah dan atau menamatkan pendidikan tertentu untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu data yang dikumpulkan Departemen Sosial Republik Indonesia (1996) diacu dalam Hardywinoto dan Setiabudhi (2005), juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan lanjut usia di Indonesia masih belum cukup baik. Sejalan dengan itu proporsi terbesar tingkat pendidikan responden pada penelitian ini yaitu tidak lulus SD baik pada responden berstatus menikah (33,3%) maupun berstatus janda/duda (33,3) (Tabel 6). Hal ini diduga karena responden saat masa usia sekolah berada pada zaman perang dan sangat sulit untuk bersekolah. Disisi lain dunia pendidikan pada zaman itu masih belum terlalu dianggap penting sehingga tidak banyak responden yang melanjutkan pendidikannya hingga jenjang lebih tinggi. 42 Tabel 6 Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan dan status perkawinan Tingkat pendidikan Tidak sekolah Tidak lulus SD Lulus SD Tidak lulus SMP Lulus SMP Tidak lulus SMA Lulus SMA Lulus Perguruan Tinggi Total Nilai p-value n 3 11 7 5 2 1 2 2 33 Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 9,1 4 12,1 33,3 11 33,3 21,2 5 15,2 15,2 5 15,2 6,1 5 15,2 3,0 0 0,0 6,1 2 6,1 6,1 1 3,0 100,0 33 100,0 0,864 Namun demikian terdapat tiga orang responden yang melanjutkan sekolah hingga jenjang perguruan tinggi dan dua diantaranya (lulusan D2) bekerja sebagai guru sehingga dimungkinkan hal tersebut dikarenakan tuntutan pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Suhartini (2009c) bahwa responden dengan pendidikan tertinggi yaitu dengan profesi sebelumnya berstatus seorang guru dan pada periode tertentu di masa jabatannya diadakan penyesuaian jenjang pendidikan. Satu orang lagi yaitu lulusan sekolah tinggi tehnik memiliki status tidak bekerja, dikarenakan harus berhenti kerja untuk mengurus anaknya yang sakit keras dan kemudian setelah itu hanya membantu istrinya berjualan. Sementara itu persentase terkecil pada responden berstatus menikah yaitu tidak lulus SMA (3%) dan pada status janda/duda yaitu perguruan tinggi (3%). Berdasarkan uji Mann-Whitney yang dilakukan tidak terdapat perbedaan nyata dari segi tingkat pendidikan antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1). Status pekerjaan responden Sebaran berdasarkan status pekerjaan (Tabel 7) diketahui bahwa persentase terbesar responden berstatus menikah (51,5%) dan berstatus janda/duda (72,7%) yaitu tidak bekerja. Status tidak bekerja lebih banyak pada responden berstatus janda/duda. Hal ini diduga karena berdasarkan dari jenis kelamin responden yang berstatus janda/duda lebih banyak perempuan sehingga kemungkinan untuk bergantung pada anak jauh lebih besar dibandingkan responden laki-laki yang berstatus duda. Sejalan dengan itu, Hurlock (1980) 43 mengatakan bahwa perempuan usia lanjut tidak terlalu mempersoalkan permasalahan ketergantungan ekonomi kepada anak dibandingkan laki-laki yang berusia lanjut. Hasil uji Mann-Whitney juga memperlihatkan terdapat perbedaan nyata pada status pekerjaan responden antara berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p<0,1). Tabel 7 Sebaran responden berdasarkan status pekerjaan dan status perkawinan Status pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Total Nilai p-value n 16 17 33 Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 48,5 9 27,3 51,5 24 72,7 100,0 33 100,0 0,078 Jenis pekerjaan responden Orang berusia lanjut memerlukan waktu relatif lama untuk memulihkan tenaganya dari keletihan fisik dan mental, disebabkan oleh ketegangan syaraf dan beban mental yang terus terjadi dalam tempo relatif lama. Akibatnya orang berusia lanjut pada umumnya belajar untuk mengurangi berbagai jenis pekerjaan yang memerlukan kecepatan atau kekuatan fisik (Hurlock 1980). Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan jenis pekerjaan dan status perkawinan Jenis pekerjaan Tukang becak Dagang/wiraswasta Swasta Sawah/buruh tani Buruh/kuli Tukang urut Pengurus makam Pembantu Tidak bekerja Total n 1 6 1 3 1 2 2 0 17 33 Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 3,0 0 0,0 18,2 4 12,1 3,0 0 0,0 9,1 0 0,0 3,0 1 3,0 6,1 0 0,0 6,1 0 0,0 0,0 4 12,1 51,5 24 72,7 100,0 33 100,0 Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa baik responden berstatus menikah (18,2%) maupun janda/duda (12,1%) persentase terbesar mempunyai pekerjaan berdagang/berwiraswasta. Hal ini dimungkinkan karena usia responden yang sudah memasuki masa pensiun dan tidak produktif sehingga akan sulit 44 melakukan pekerjaan lain dan memilih berdagang. Selain itu dengan tingkat pendidikan tidak lulus SD akan sulit jika bekerja pada orang lain. Pada responden berstatus janda/duda, pembantu juga merupakan jenis pekerjaan yang paling banyak (12,1%) dikerjakan lansia di Kelurahan Cilendek Barat. Suhartini (2009c) mengatakan bahwa pada sektor perdagangan lansia tetap dapat bekerja, karena pekerjaan di sektor perdagangan tidak memerlukan fisik yang kuat dan keterampilan tinggi. Pekerjaan di sektor perdagangan dapat menghasilkan uang atau jasa yang bisa semakin meningkat jika pengalaman, relasi dan kematangan pribadi dimiliki oleh pedagang. Disisi lain rendahnya pendidikan lansia berpengaruh pada jenis pekerjaan yang dapat dipilih. Selain itu jenis pekerjaan yang masih dapat dikerjakan oleh lansia di Kelurahan Cilendek Barat yaitu swasta, buruh/kuli, tukang becak, pengurus makam, sawah/buruh tani, dan tukang urut. Tingkat pendapatan responden Pendapatan seseorang tergantung pada mutu sumber daya manusia (SDM), sehingga orang yang berpendidikan tinggi umumnya memiliki pendapatan yang relatif tinggi pula (Guhardja et al. 1992, diacu dalam Astuti 2007). Sementara itu diketahui pula pada penelitian ini bahwa sebagian besar lansia memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan pendapatan/bulan dan status perkawinan Status perkawinan Pendapatan (Rp/Bulan) < 500.000 500.000- 999.999 1.000.000-1.499.999 1.500.000-1.999.999 ≥ 2.000.000 Total Nilai p-value n 17 5 3 5 3 33 Menikah % 51,5 15,2 9,1 15,2 9,1 100,0 n 17 9 4 2 1 33 Janda/Duda % 51,5 27,3 12,1 6,1 3,0 100,0 0,541 Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa proporsi terbesar tingkat pendapatan responden berstatus menikah dan janda/duda (masing-masing 51,5 %) yaitu sebesar kurang dari lima ratus ribu rupiah perbulan. Sementara itu persentase terkecil tingkat pendapatan responden berstatus menikah pada kategori satu juta sampai satu juta lima ratus ribu rupiah dan lebih dari sama 45 dengan dua juta rupiah (masing-masing 9,1%), sedangkan untuk status janda/duda pada kategori lebih dari sama dengan dua juta rupiah (3%). Hasil uji Mann-Whitney memperlihatkan tidak terdapat perbedaan nyata pada tingkat pendapatan antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1). Sumber pendapatan responden Sumber pendapatan lansia dapat berupa uang pensiun, tabungan, asuransi hari tua, bantuan dari keluarga atau bagi lansia yang masih produktif diperoleh dari penghasilannya bekerja (Hurlock 1980). Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa sebagian besar responden berstatus menikah (84,8%) dan lebih dari separuh (63,6%) responden berstatus janda/duda memiliki sumber pendapatan sendiri baik dari bekerja maupun dari pensiunan ataupun dari suami selain diberi juga oleh anak. Namun pendapatan dari anak bukanlah sebagai sumber utama sehingga orang tua tidak bergantung sepenuhnya kepada anak dan khusus untuk para lansia pria hal ini dapat mengurangi perasaan tidak berguna dan tergantung pada orang lain. Berdasarkan uji Mann-Whitney yang dilakukan diketahui pula tidak terdapat perbedaan nyata pada sumber pendapatan antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1). Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan sumber pendapatan dan status perkawinan Sumber pendapatan Anak Kerja/pensiunan Total Nilai p-value n 5 28 33 Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 15,2 12 36,4 84,8 21 63,6 100,0 33 100,0 0,288 Besar keluarga responden Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa proporsi terbesar untuk besar keluarga responden berstatus menikah pada kategori kecil dan sedang (masingmasing 36,4%), sedangkan untuk status janda/duda lebih dari separuhnya (57,6%) termasuk kategori sedang. Sementara itu hanya sebagian kecil saja responden berstatus menikah (27,2%) dan berstatus janda/duda (15,1%) yang termasuk keluarga besar. Hasil T-test memperlihatkan bahwa tidak terdapat 46 perbedaan nyata pada besar keluarga antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1). Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan besar keluarga dan status perkawinan Status perkawinan Besar keluarga Kecil (≤ 4) Sedang (5-7) Besar (≥ 8) Total Rata-rata (orang) Nilai p-value n 12 12 9 33 Menikah % 36,4 36,4 27,2 100,0 6,1 n 9 19 5 33 Janda/Duda % 27,2 57,6 15,2 100,0 5,5 0,387 Jumlah anak responden Jumlah anak menggambarkan banyaknya orang yang dapat diandalkan lansia dan juga membantu secara ekonomi. Berdasarkan jumlah anak yang dimiliki (Tabel 12) diketahui bahwa proporsi terbesar responden berstatus menikah pada kategori sedang dan banyak (masing-masing 39,4%), sedangkan status janda/duda proporsi terbesar pada kategori jumlah anak banyak (39,4%). Sementara itu hanya sebagian kecil responden berstatus menikah tergolong jumlah anak sedikit (21,2%) dan pada status janda/duda memilki persentase yang sama untuk kategori sedikit dan sedang yaitu sebesar 30,3 persen. Hasil Ttest memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada jumlah anak antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1). Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan jumlah anak dan status perkawinan Status perkawinan Jumlah anak Sedikit (0-3) Sedang (4-6) Banyak (.>6) Total Rata-rata (orang) Nilai p-value n 7 13 13 33 Menikah % 21,2 39,4 39,4 100,0 5,7 n 10 10 13 33 Janda/Duda % 30,3 30,3 39,4 100,0 5,4 0,649 Pola tempat tinggal responden Pola tempat tinggal menggambarkan dengan siapa lansia tinggal. Berdasarkan Tabel 13 diketahui bahwa sebagian besar responden berstatus 47 menikah (90,9%) dan berstatus janda/duda (87,9%) tinggal bersama pasangan dan anak atau anak saja. Hal ini dikarenakan faktor budaya di Indonesia yaitu lansia umumnya tinggal dalam keluarga besar baik itu anak yang menemani orangtua untuk tinggal dirumahnya sehingga setelah menikah anak tidak pergi keluar dari rumah maupun orangtua tinggal atau menumpang dirumah anak. Sejalan dengan itu Yulmardi (1995) diacu dalam Suhartini (2009b) mengatakan bahwa masyarakat lanjut usia di Sumatera, khususnya di pinggiran kota Jambi sebagian besar tinggal dalam keluarga luas. Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan pola tempat tinggal dan status perkawinan Pola tempat tinggal Sendiri/pasangan Anak&pasangan atau anak saja Orangtua dan saudara Total Nilai p-value n 3 30 0 33 Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 9,1 1 3,0 90,9 29 87,9 0,0 3 9,1 100,0 33 100,0 0,061 Sementara itu terdapat sebesar 9,1 persen responden berstatus menikah yang hanya tinggal bersama pasangan, sedangkan terdapat pula 9,1 persen responden tinggal bersama orangtua dan saudara pada status janda/duda. Berdasarkan uji Mann-Whitney yang dilakukan diketahui bahwa terdapat perbedaan nyata pada pola tempat tinggal antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p<0,1). Hal ini terlihat dari pola tempat tinggal pada status menikah lebih banyak yang tinggal bersama pasangan saja jika tidak tinggal bersama anak, sedangkan responden berstatus janda/duda lebih banyak memilih tinggal dengan saudara/orangtua. Connidis (2010) mengatakan bahwa lansia yang single atau berstatus janda/duda lebih menyukai tinggal bersama saudara mereka dibanding lansia berstatus menikah. Status Kesehatan Responden Status kesehatan lansia bermacam-macam, meskipun masih terdapat lansia dalam keadaan kesehatan baik, namun golongan ini tetap merupakan kelompok yang rentan terhadap penyakit, karena terjadinya perubahan struktur dan fungsi tubuh akibat proses degeneratif alamiah. Perubahan pada sistem pencernaan dapat mengurangi efektifitas utilisasi zat-zat gizi, sehingga semakin 48 bertambahnya usia maka akan lebih mudah untuk terserang penyakit degeneratif seperti hipertensi, diabetes melitus, jantung, kanker dan osteoporosis. Penyakit pada lansia mempunyai ciri yang khas yaitu datang dan seringkali bersifat multi kausal/lebih dari satu penyakit timbul bersama-sama (Jauhari 2003). Berdasarkan Tabel 14 terlihat jelas bahwa baik responden berstatus menikah (39,4%) maupun berstatus janda/duda (33,3%) terbanyak pada kategori memiliki dua jenis penyakit. Hal ini sesuai dengan Oswari (1985) bahwa penyakit usia lanjut berbeda dengan penyakit orang dewasa muda. Pada dewasa muda penyakit yang diderita merupakan penyakit tunggal sedangkan usia lanjut terdapat berbagai penyakit sekaligus, yang menyulitkan lansia untuk mengabaikan penderitaannya. Sementara itu pada responden berstatus menikah terdapat tiga persen termasuk kategori memiliki empat jenis penyakit, sedangkan untuk status janda/duda terdapat tiga persen yang berstatus tidak sakit. Hasil Ttest menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada jumlah penyakit antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1). Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan jumlah keluhan penyakit dan status perkawinan Jumlah keluhan penyakit Tidak sakit Sakit 1 Sakit 2 Sakit 3 Sakit 4 Sakit 5 Sakit 6 Total Nilai p-value Menikah n 3 10 13 4 1 0 2 33 Ket : sakit 1 (mengidap 1 jenis penyakit) sakit 3 (mengidap 3 jenis penyakit) sakit 5 (mengidap 5 jenis penyakit) Status perkawinan Janda/Duda % n % 9,1 1 3,0 30,3 8 24,2 39,4 11 33,3 12,1 8 24,2 3,0 3 9,1 0,0 2 6,1 6,1 0 0,0 100,0 33 100,0 0,262 sakit 2 (mengidap 2 jenis penyakit) sakit 4 (mengidap 4 jenis penyakit) sakit 6 (mengidap 6 jenis penyakit) Jenis penyakit responden Perubahan-perubahan pada segi fisik dan kesehatan, sering dianggap sebagai tanda yang paling awal dirasakan seseorang ketika ia sadar bahwa telah sampai pada usia lanjut. Berbagai deretan jenis penyakit seperti jantung, darah tinggi, kanker, gangguan pernafasan, stroke maupun parkinson merupakan yang banyak diderita oleh kaum lansia (Troll 1982, diacu dalam Anitasari 1993). 49 Dari Tabel 15 diketahui bahwa jenis penyakit yang banyak diderita oleh responden berstatus menikah adalah darah tinggi (48,5%), sedangkan pada status janda/duda darah tinggi dan asam urat memiliki proporsi yang sama besar (masing-masing 45,5%). Sementara itu jenis penyakit lainnya yang juga diderita responden berstatus menikah yaitu rematik, mag, asma, pusing, jantung, kolesterol, diabetes, gejala paru, prostat, darah rendah, gatal dan sesak. Untuk responden berstatus janda/duda tidak berbeda jauh hanya saja terdapat responden mengidap pembengkakkan hati, stroke, usus buntu dan gejala ginjal, namun tidak terdapat yang mengidap prostate dan gejala paru. Tabel 15 Sebaran responden berdasarkan jenis penyakit dan status perkawinan Status perkawinan Menikah Jenis penyakit Darah tinggi Asam urat Rematik Mag Asma Pusing Jantung Kolesterol Diabetes Vertigo Gejala ginjal Gejala paru Prostat Stroke Usus buntu Darah rendah Gatal Pembengkakkan hati Sesak napas n 16 9 9 12 4 2 2 3 2 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 Janda/Duda % 48,5 27,3 27,3 36,4 12,1 6,1 6,1 9,1 6,1 0,0 0,0 3,0 3,0 0,0 0,0 3,0 3,0 0,0 3,0 n 15 15 11 13 1 3 2 2 5 1 1 0 0 1 1 1 2 1 1 % 45,5 45,5 33,3 39,4 3,0 9,1 6,1 6,1 15,2 3,0 3,0 0,0 0,0 3,0 3,0 3,0 6,1 3,0 3,0 Kondisi Fisik Kemunduran progresif yang disebabkan bertambahnya usia seseorang, terutama lansia erat kaitannya dengan permasalahan fisik, antara lain terjadinya kemunduran/penurunan metabolisme fungsi-fungsi sel, elastisitas, degeneratif dan lain sebagainya (Suciati 2005). Alat-alat tubuh kita mencapai puncak perkembangannya ketika mencapai dewasa, namun setelah itu berangsurangsur mengalami kemunduran. Susunan tubuh, daya kerja otot, daya tahan tubuh makin lesu bila orang mulai menjadi tua (Oswari 1985). 50 Kondisi fisik pada penelitian ini maksudnya ingin melihat keluhan-keluhan atau ketidakmampuan fisik yang dialami lansia mengikuti semakin bertambahnya usia. Berdasarkan jumlah keluhan yang diderita diketahui (Tabel 16) bahwa persentase terbesar baik responden berstatus menikah (51,5%) maupun berstatus janda/duda (54,6%) pada kategori tidak memiliki keluhan fisik apapun. Sementara itu terdapat 9,1 persen responden berstatus menikah dan sebesar tiga persen pada status janda/duda terkategori memiliki dua jenis keluhan fisik. Hasil T-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada jumlah keluhan fisik yang dirasakan antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p>0,1). Tabel 16 Sebaran responden berdasarkan jumlah keluhan fisik dan status perkawinan Status perkawinan Menikah Janda/Duda Jumlah keluhan fisik n % n % Tidak ada keluhan 17 51,5 18 54,6 Keluhan 1 13 39,4 14 42,4 Keluhan 2 3 9,1 1 3,0 Total 33 100,0 33 100,0 Nilai p-value 0,551 Ket : keluhan 1 (memiliki 1 jenis keluhan) keluhan 2 (memiliki 2 jenis keluhan) Jenis keluhan fisik responden Gallo (1998) diacu dalam Suhartini (2009b) mengatakan untuk mengkaji fisik pada orang lanjut usia harus dipertimbangkan keberadaannya seperti menurunnya pendengaran, penglihatan, gerakan yang terbatas dan waktu respon yang lamban. Mata dan telinga merupakan dua organ tubuh yang paling banyak digunakan setiap saat dibanding indera lainnya. Oleh karena itu keduanya merupakan organ paling banyak dipengaruhi oleh pertambahan usia, walaupun perubahan fungsi seluruh organ tubuh juga terjadi (Hurlock 1980). Pada Tabel 17 diketahui bahwa jenis keluhan fisik yang banyak dikeluhkan oleh responden baik berstatus menikah (18,2%) maupun berstatus janda/duda (21,2%) adalah kaki agak susah jalan terutama untuk jalan jauh. Keluhan fisik tersebut karena faktor usia seperti terjadinya pengapuran tulang dan adanya sakit rematik atau asam urat yang juga banyak diderita oleh responden. Keluhan fisik lain yang juga diderita oleh responden yaitu mata agak 51 buram, pegal-pegal, kaki kesemutan, sakit punggung, sakit pinggang, tidak bisa jalan, kurang pendengaran dan sakit tangan. Tabel 17 Sebaran responden berdasarkan jenis keluhan fisik dan status perkawinan Menikah Jenis keluhan Tidak bisa jalan Agak susah jalan Mata agak buram Kurang pendengaran Pegel Kaki kesemutan Sakit punggung Sakit pingang Sakit tangan n 0 6 3 0 5 1 1 1 2 Status perkawinan Janda/Duda % n % 0,0 2 6,1 18,2 7 21,2 9,1 2 6,1 0,0 1 3,0 15,2 3 9,1 3,0 0 0,0 3,0 0 0,0 3,0 1 3,0 6,1 0 0,0 Tingkat Kemandirian Budi (2008) mendefinisikan kemandirian sebagai kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya. Mandiri menurut Mu’tadin (2002) merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Tingkat kemandirian responden dalam penelitian ini dinilai dari empat aspek yaitu aspek kemandirian aktivitas sehari-hari, aspek ekonomi, aspek emosi dan aspek interaksi sosial. Kemandirian aktivitas sehari-hari Setiati (2000) diacu dalam Suhartini (2009b) mengatakan bahwa kualitas hidup orang lanjut usia dapat dinilai dari kemampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Tabel 18 menunjukkan bahwa persentase terbesar untuk kemandirian aktivitas sehari-hari baik responden berstatus menikah (54,6%) maupun berstatus janda/duda (39,4%) pada kategori mandiri. Sementara itu terdapat 21,2 persen responden berstatus menikah termasuk kategori sangat mandiri dan tiga persen responden berstatus janda/duda terkategori kurang mandiri. Hal ini sesuai dengan status keluhan fisik dan jenis sakit fisik responden bahwa persentase terbesarnya pada kategori tidak ada keluhan/tidak sakit. Untuk jenis keluhan fisik yang dirasakan, terdapat dua responden tidak bisa jalan dan satu diantaranya dikarenakan terkena stroke sehingga kesulitan dalam 52 melakukan aktivitas sehari-harinya. Berdasarkan pada rata-rata dan hasil T-test diketahui tidak terdapat perbedaan nyata pada kemandirian aktivitas sehari-hari antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p>0,1). Tabel 18 Sebaran responden berdasarkan kemandirian aktivitas sehari-hari dan status perkawinan Tingkat kemandirian Kurang mandiri Cukup mandiri Mandiri Sangat mandiri Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value Status perkawinan Janda/Duda % n % 0,0 1 3,0 24,2 10 30,3 54,6 13 39,4 21,2 9 27,3 100,0 33 100,0 25,6 25,3 6,3 8,0 0,865 Menikah n 0 8 18 7 33 Kemandirian ekonomi Masalah ekonomi yang dialami orang lanjut usia adalah tentang pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari seperti sandang, pangan perumahan, kesehatan, rekreasi dan sosial (Suhartini 2009). Kemandirian dari aspek ekonomi ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain (Havighurst 1972, diacu dalam Mu’tadin 2002). Tabel 19 Sebaran responden berdasarkan kemandirian ekonomi dan status perkawinan Tingkat kemandirian Kurang mandiri Cukup mandiri Mandiri Sangat mandiri Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value n 2 8 13 10 33 Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 6,1 3 9,1 24,2 9 27,3 39,4 9 27,3 30,3 12 36,3 100,0 33 100,0 15,5 15,2 5,0 6,1 0,859 Kemandirian ekonomi responden berstatus menikah (Tabel 19) diketahui lebih dari sepertiganya (39,4%) termasuk kategori mandiri, dan pada status 53 janda/duda lebih dari sepertiganya (36,3%) termasuk kategori sangat mandiri. Sementara itu terdapat 6,1 persen respoden berstatus menikah dan 9,1 persen pada status janda/duda termasuk dalam kategori kurang mandiri. Berdasarkan rata-ratanya terlihat tidak jauh berbeda antara dua kelompok responden. Hasil Ttest juga memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada kemandirian ekonomi antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p>0,1). Kemandirian emosi Kemandirian aspek emosi ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang lain (Havighurst 1972, diacu dalam Mu’tadin 2002). Pada Tabel 20 diketahui bahwa hampir separuh (48,5%) responden berstatus menikah terkategori sangat mandiri secara emosi, sedangkan lebih dari sepertiga (39,4%) responden berstatus janda/duda hanya terkategori mandiri secara emosi. Sementara itu persentase terkecil baik responden berstatus menikah (12,1%) maupun berstatus janda/duda (27,3%) termasuk kategori cukup mandiri. Tabel 20 Sebaran responden berdasarkan kemandirian emosi dan status perkawinan Tingkat kemandirian Kurang mandiri Cukup mandiri Mandiri Sangat mandiri Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value n 0 4 13 16 33 Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 0,0 0 0,0 12,1 9 27,3 39,4 13 39,4 48,5 11 33,3 100,0 33 100,0 17,5 15,5 4,2 4,5 0,057 Berdasarkan dari rata-rata terlihat bahwa terdapat kecenderungan kemandirian emosi responden berstatus menikah lebih baik dibanding pada status janda/duda. Hal ini diduga karena responden berstatus menikah memiliki sebaran laki-laki lebih banyak dibanding perempuan sehinga dimungkinkan secara emosi lebih tegas dari wanita. Hal ini juga terlihat dari hasil uji hubungan bahwa responden laki-laki memiliki tingkat kemandirian emosi yang lebih baik. Hasil T-test juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata pada 54 kemandirian emosi antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p<0,1). Kemandirian interaksi sosial Kemandirian aspek sosial ditunjukan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain (Havighurst 1972, diacu dalam Mu’tadin 2002). Pada Tabel 21 diketahui bahwa pada kedua kelompok responden lebih dari separuhnya (masing-masing 57,6%) terkategori mandiri secara sosial. Sementara itu tidak terdapat responden berstatus menikah terkategori kurang mandiri. Namun masih terdapat satu orang (3%) responden terkategori kurang mandiri pada status janda/duda. Hal ini sama halnya seperti pada kemandirian aktivitas sehari-hari yaitu terkait dengan terdapatnya seorang responden yang pernah menderita stroke dan saat wawancara dilakukan sedang dalam proses penyembuhan sehingga untuk bersosialisasi agak mengalami kesulitan. Dilihat dari rata-ratanya kedua kelompok responden memiliki rata-rata yang tidak jauh berbeda. Hasil Ttest juga memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada kemandirian interaksi sosial untuk kedua kelompok responden (p>0,1). Tabel 21 Sebaran responden berdasarkan kemandirian interaksi sosial dan status perkawinan Tingkat kemandirian Kurang mandiri Cukup mandiri Mandiri Sangat mandiri Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value Status perkawinan Janda/Duda % n % 0,0 1 3,0 18,2 6 18,2 57,6 19 57,6 24,2 7 21,2 100,0 33 100,0 7,9 7,7 1,8 2,0 0,750 Menikah n 0 6 19 8 33 Kemandirian total Pada Tabel 22 diketahui bahwa lebih dari separuh responden (69,7%) berstatus menikah termasuk kategori mandiri secara total, sedangkan pada status janda/duda hampir separuhnya saja (48,5%) yang termasuk kategori mandiri secara total. Namun demikian untuk kategori sangat mandiri lebih banyak pada responden berstatus janda/duda yaitu sebesar 30,3 persen. Sementara itu 55 tidak terdapat responden baik berstatus menikah maupun berstatus janda/duda yang termasuk kategori kurang mandiri. Hasil T-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada tingkat kemandirian total antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p>0,1). Tabel 22 Sebaran responden berdasarkan tingkat kemandirian dan status perkawinan Tingkat kemandirian Kurang mandiri Cukup mandiri Mandiri Sangat mandiri Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value Status perkawinan Janda/Duda % n % 0,0 0 0,0 12,1 7 21,2 69,7 16 48,5 18,2 10 30,3 100,0 33 100,0 66,5 63,8 10,6 15,1 0,393 Menikah n 0 4 23 6 33 Dukungan Sosial Kaplan et al. (1977) diacu dalam Cutrona (1996) mengatakan bahwa dukungan sosial menunjukan kepuasan seseorang terhadap persetujuan, penghargaan dan pertolongan oleh seseorang yang berarti. Lebih lanjut Cobb (1979) diacu dalam Cutrona (1996) menjelaskan mengenai konsep dukungan sosial sebagai petunjuk seseorang untuk percaya bahwa dirinya diperhatikan dan dicintai, dihargai dan memiliki jaringan yang saling memenuhi kewajibannya. Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang, papan, pangan) dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan religiusitas, tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang lain, terlebih saat sedang menghadapi masalah, ringan maupun berat (Kuntjoro 2002). Dalam penelitian ini dukungan sosial responden dilihat dari empat aspek, yaitu emosi, instrumental, penghargaan diri (self-esteem) dan informasi. Dukungan emosi Turner (1993) diacu dalam Jauhari (2003) mengemukakan bahwa dukungan emosi itu sangat penting dan memberi perhatian mendalam terhadap individu sehingga individu dapat mencurahkan perasaannya, yang sangat membantu kesehatan mental serta kesejahteraan individu. Dukungan ini 56 biasanya diperoleh dari orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan individu, seperti keluarga atau teman dekat. Pada Tabel 23 terlihat bahwa lebih dari separuh (51,5%) responden berstatus menikah memiliki dukungan emosi kategori sedang dan pada status janda/duda lebih dari separuhnya (63,6%) memiliki dukungan emosi kategori baik. Sementara itu hanya tiga persen responden berstatus menikah dan 6,1 persen pada status janda/duda yang memiliki dukungan emosi kategori kurang. Berdasarkan rata-rata dari kedua kelompok responden terlihat bahwa sebaran responden tidak jauh berbeda antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda. Hasil T-test juga memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada dukungan emosi untuk kedua kelompok responden (p>0,1). Tabel 23 Sebaran responden berdasarkan dukungan emosi dan status perkawinan Status perkawinan Janda/Duda % n % 0,0 0 0,0 3,0 2 6,1 51,5 10 30,3 45,5 21 63,6 100,0 33 100,0 18,0 18,9 3,0 3,6 0,283 Menikah Dukungan emosi Sangat kurang Kurang Sedang Baik Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value n 0 1 17 15 33 Dukungan instrumental Hubungan yang terjalin baik akan menghasilkan dukungan berbentuk materi atau jasa dari orang lain kepada individu sebagai penerima. Bantuan yang diberikan dapat berupa uang, barang kebutuhan sehari-hari atau bantuan praktis seperti memberikan fasilitas transportasi, membantu membersihkan rumah atau juga menyediakan waktu ketika seseorang sakit atau terluka. Bantuan ini penting bagi lansia yang mempunyai kondisi fisik lemah dan membutuhkan bantuan tenaga dari orang di sekitarnya (Felton & Bery 1992, diacu dalam Jauhari 2003). Pada Tabel 24 diketahui bahwa responden berstatus menikah (87,9%) dan berstatus janda/duda (84,9%) sebagian besarnya memiliki dukungan instrumental kategori baik. Sementara itu pada responden berstatus menikah 12,1 persen sisanya memiliki dukungan instrumental kategori sedang, sedangkan 57 pada status janda/duda masih terdapat tiga persen responden yang memiliki dukungan instrumental kategori kurang. Rata-rata untuk kedua kelompok responden memperlihatkan sebaran nilai yang tidak jauh berbeda. Hal tersebut diperkuat oleh hasil T-test bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada dukungan instrumental antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1). Tabel 24 Sebaran responden berdasarkan dukungan instrumental dan status perkawinan Dukungan instrumental Sangat kurang Kurang Sedang Baik Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value n 0 0 4 29 33 Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 0,0 0 0,0 0,0 1 3,0 12,1 4 12,1 87,9 28 84,9 100,0 33 100,0 27,5 27,1 3,3 4,5 0,706 Dukungan informasi Dukungan informasi memungkinkan individu untuk memperoleh pengetahuan dari orang lain (Felton dan Berry 1992, diacu dalam Hertamina 1996). Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa bimbingan/arahan, diskusi masalah, maupun pengajaran suatu keterampilan. Dengan adanya informasi tersebut, maka individu dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi atau memperoleh pengetahuan baru (Weiss tanpa tahun, diacu dalam Cutrona 1996). Tabel 25 Sebaran responden berdasarkan dukungan informasi dan status perkawinan Status perkawinan Menikah Dukungan informasi Sangat kurang Kurang Sedang Baik Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value n 0 11 16 6 33 % 0,0 33,3 48,5 18,2 100 n 0 8 15 10 33 17,3 4,4 0,424 Janda/Duda % 0,0 24,2 45,5 30,3 100 18,2 4,5 58 Berdasarkan Tabel 25 terlihat bahwa baik responden berstatus menikah (48,5%) maupun berstatus janda/duda (45,5%) hampir separuhnya memiliki dukungan informasi kategori sedang. Sementara hanya 18,2 persen responden berstatus menikah yang termasuk kategori baik, sebaliknya pada status janda/duda, persentase terkecil (24,2%) dukungan informasi pada kategori kurang. Sebaran responden berdasarkan rata-ratanya tidak berbeda jauh. Begitu juga dari hasil T-test yaitu tidak terdapat perbedaan nyata pada dukungan informasi antara responden berstatus menikah dengan berstatus janda/duda (p>0,1). Dukungan penghargaan diri (self-esteem) Pikunas (1976) diacu dalam Anitasari (1993) mengatakan bahwa pada lansia terdapat kebutuhan akan penghargaan, yaitu perasaan bahwa dirinya tetap berguna dan diperlukan. Dukungan penghargaan terbentuk melalui pengakuan terhadap kualitas seseorang, kepercayaan terhadap kemampuan seseorang, pengakuan terhadap gagasan seseorang berupa perasaan atau tindakan (Cutrona 1996). Tabel 26 Sebaran responden berdasarkan dukungan penghargaan diri dan status perkawinan Dukungan penghargaan diri Sangat kurang Kurang Sedang Baik Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value n 0 9 16 8 33 Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 0,0 1 3,0 27,3 4 12,0 48,5 14 42,5 24,2 14 42,5 100,0 33 100,0 10,6 11,7 2,7 2,9 0,129 Pada dukungan penghargaan diri hampir separuh (48,5%) responden berstatus menikah memiliki dukungan kategori sedang (Tabel 26), sedangkan pada status janda/duda untuk kategori sedang dan baik memiliki persentase yang sama yaitu sebesar 42,5 persen. Sementara itu hanya terdapat 24,2 persen responden berstatus menikah memiliki dukungan penghargaan kategori baik. Untuk responden berstatus janda/duda masih terdapat tiga persen responden terkategori sangat kurang. Dari hasil T-test yang dilakukan diketahui bahwa tidak 59 terdapat perbedaan yang nyata pada dukungan penghargaan antara responden berstatus menikah dengan responden berstatus janda/duda (p>0,1). Dukungan sosial total Pada Tabel 27 diketahui bahwa lebih dari separuh (54,6%) responden berstatus menikah memiliki dukungan sosial total kategori sedang, sedangkan pada status janda/duda lebih dari separuhnya (54,5%) memiliki dukungan sosial total kategori baik. Sementara itu tidak ada responden yang memiliki dukungan sosial kategori kurang dan sangat kurang pada lansia berstatus menikah, namun terdapat 6,1 persen responden berstatus janda/duda memiliki dukungan sosial kategori kurang. Berdasarkan dari rata-rata terlihat bahwa dukungan sosial responden berstatus janda/duda memiliki kecenderungan lebih baik dibandingkan pada status menikah. Hal ini dimungkinkan karena berdasarkan jenis kelaminnya, pada responden berstatus menikah lebih banyak laki-laki yang menurut Cutrona (1996) agak kurang memiliki variasi sumber dukungan dihari tuanya. Pria juga cenderung menutupi masalah mereka dibanding wanita (Cutrona 1996), sehingga kurang mendapat dukungan sosial dari lingkungan sekitar. Lebih lanjut Sheely (1998) diacu dalam Galvin et al. (2003) mengatakan bahwa pria lebih kesulitan pada masa transisi dari usia paruh baya menuju usia tua dan pria jarang mencari teman baru di masa paruh baya tersebut. Tabel 27 Sebaran responden berdasarkan dukungan sosial dan status perkawinan Dukungan sosial total Sangat kurang Kurang Sedang Baik Total Rata-rata (skor) Sd Nilai p-value n 0 0 18 15 33 Status perkawinan Menikah Janda/Duda % n % 0,0 0 0,0 0,0 2 6,1 54,6 13 39,4 45,4 18 54,5 100,0 33 100,0 73,4 75,9 11,3 13,7 0,430 Berbeda pada responden berstatus janda/duda yang lebih banyak merupakan perempuan. Cutrona (1996) mengatakan bahwa wanita cenderung lebih memiliki banyak variasi sumber dukungan sosial, wanita juga menggunakan 60 komunikasi untuk menggandakan persahabatan mereka (Sheely 1998, diacu dalam Galvin et al. 2003) sehingga kepemilikan dukungan sosial pada wanita cenderung lebih banyak. Selain itu berbeda dengan kaum pria yang lebih terbatas dalam mempercayakan untuk membagi masalahnya bersama orang lain, wanita terutama memasuki usia tua senang membagi masalahnya kepada keluarga dan anak ataupun orang tua jika masih ada. Namun demikian dari hasil T-test tidak terdapat perbedaan nyata pada kepemilikan dukungan sosial total antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p>0,1). Sumber Dukungan Sosial Keluarga yang terdiri dari pasangan, anak-anak, cucu-cucu, saudara yang memiliki hubungan darah, memegang peranan besar dalam pemberian dukungan bagi individu. Hal ini juga didukung oleh Smolak (1993) diacu dalam Jauhari (2003) yang mengatakan bahwa jaringan sosial lansia memiliki porsi yang besar pada anggota keluarga dan lebih lanjut dikemukakan Antonucci (1985) diacu dalam Hertamina (1996) bahwa sumber dukungan utama bagi lansia adalah anak-anak mereka, terutama anak perempuan. Tabel 28 Sebaran responden berdasarkan sumber dukungan dan status perkawinan ES Sumber dukungan Keluarga Teman Keluarga dan teman Tidak ada Total M % 42,4 15,8 34,5 7,3 100,0 Ket : ES (dukungan emosi) IFS (dukungan informasi) TS J/D % 46,1 13,3 32,1 8,5 100,0 M % 81,1 3,0 8,3 7,6 100,0 J/D % 76,5 1,5 12,1 9,9 100,0 IFS M % 46,0 14,7 15,1 24,2 100,0 J/D % 42,4 10,6 20,7 26,3 100,0 SES M % 6,1 36,4 42,4 15,1 100,0 J/D % 3,0 48,5 45,5 3,0 100,0 TS (dukungan instrumental) SES (dukungan penghargaan diri) Tabel 28 menunjukkan bahwa baik responden berstatus menikah maupun responden berstatus janda/duda memilih keluarga sebagai sumber dukungan untuk dukungan emosi (ES), instrumental (TS) dan informasi (IFS) yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan Antonucci (2001) yang mengatakan bahwa pasangan merupakan penyedia dukungan yang istimewa. Selain itu Connidis (2010) juga mengatakan bahwa untuk dukungan instrumental dan emosi lansia lebih nyaman untuk mencarinya pada saudara mereka terutama saudara perempuan. 61 Sementara itu untuk sumber dukungan penghargaan (SES) diketahui hampir separuh (42,4%) responden berstatus menikah memilih keluarga dan teman sebagai sumber dukungan yang dimiliki, sedangkan pada status janda/duda hampir separuhnya (48,5%) memilih teman sebagai sumber dukungan yang dimiliki. Namun demikian pada responden berstatus janda/duda untuk sumber dukungan dari keluarga dan teman memiliki perbedaan persentase yang tidak terlalu jauh dengan sumber dukungan dari teman. Oleh karena itu baik pada responden berstatus menikah maupun berstatus janda/duda memiliki sumber dukungan penghargaan dari berbagai pihak. Teman secara umum menunjukkan peran unik dan penting dalam kehidupan lansia (Adams & Blieszner 1994, diacu dalam Antonucci 2001). Hubungan dengan teman sebaya bersifat tidak mengikat dan teman menyediakan dukungan pada semua usia, tetapi terutama sekali lansia dalam bentuk umpan balik positif dan saling menghargai ((O’Connor 1995; Lansford 2000), diacu dalam Antonucci 2001). Tingkat Stres Stres merupakan respon atau keadaan tegang yang dihasilkan oleh stressors atau oleh tuntutan (nyata ataupun persepsi) dan tidak dapat dikendalikan ((Antonovsky 1979; Burr 1973), diacu dalam Friedman et al. 2003). Burgess (1978) diacu dalam Friedman et al. (2003) mengartikan stres sebagai ketegangan pada diri seseorang atau sistem sosial (seperti keluarga) dan merupakan reaksi terhadap situasi yang menghasilkan tekanan. Tingkat stres seseorang dapat diketahui dengan memperhatikan gejalagejala stres yang ditujukan, baik gejala fisik maupun gejala emosional (Wilkinson 1989, diacu dalam Furi 2006). Berdasarkan rata-rata skor jawaban untuk gejala stres diketahui (Tabel 29) bahwa gejala-gejala stres yang banyak dialami oleh responden berstatus menikah antara lain, merasa pusing atau sakit kepala tanpa alasan yang jelas (2,33), merasa letih dan lesu yang luar biasa (1,94), merasa tidak tenang, tegang dan cemas (1,91), serta merasa tidak sabaran dan ingin cepat marah (1,76). Sementara itu pada status janda/duda gejala stres yang banyak dialami tidak jauh berbeda antara lain, merasa pusing atau sakit kepala tanpa alasan yang jelas (2,06), mudah menangis atau merasa sedih tanpa sebab (1,97), merasa tidak sabaran dan ingin cepat marah (1,88), serta merasa letih dan lesu yang luar biasa (1,73). 62 Tabel 29 Sebaran responden berdasarkan gejala stres dan status perkawinan No. 1 2 3 4 5 6 Gejala Stres Merasa pusing atau sakit kepala tanpa alasan yang jelas Merasa tidak tenang, tegang, dan cemas Membayangkan hal-hal buruk Mengalami perubahan buang air kecil Merasa letih dan lesu yang luar biasa Minum kopi lebih dari tiga gelas sehari/melebihi kebiasaan sehari-hari 7 Sering melamun Khawatir yang berlebihan pada diri sendiri 8 Tidak suka berinteraksi dengan orang lain/menutup diri 9 10 Tubuh berguncang hebat Mudah menangis atau Merasa sedih tanpa sebab 11 12 Merasa tidak sabaran dan ingin cepat marah 13 Merasa tidak pernah istirahat Mudah menyesali diri 14 Berteriak dan melempar-lempar barang 15 Merasa putus asa/tidak punya harapan hidup 16 Mudah tersinggung 17 Mudah menyalahkan orang lain 18 Mudah membatalkan janji atau tidak memenuhinya 19 20 Mendiamkan atau memusuhi orang lain 21 Mudah melakukan kecelakaan atau kesalahan dalam bekerja seperti memecahkan piring, gelas, tertusuk jarum dll) Ket: skor 1-4, pertanyaan no 10, 15 &16 skor dikalikan 3 Rata-rata skor M J/D 2,33 2,06 1,67 1,91 1,30 1,24 1,15 1,00 1,94 1,73 1,06 1,00 1,52 1,45 1,06 3,45 1,67 1,76 1,42 1,39 3,00 3,00 1,33 1,21 1,03 1,24 1,42 1,61 1,00 3,73 1,97 1,88 1,30 1,36 3,09 3,09 1,42 1,24 1,18 1,12 1,39 1,55 Sementara itu tingkat stres seseorang terhadap suatu kondisi dipengaruhi oleh sumber stres, sumber daya yang dimiliki untuk menghadapi stres, dan persepsi terhadap stres (Ifada 2004). Dalam penelitian ini tingkat stres dibagi menjadi empat kategori yaitu tidak stres, ringan, sedang dan tinggi. Berdasarkan pada Tabel 30 diketahui bahwa seluruh responden baik berstatus menikah (100%) maupun berstatus janda/duda (100%) memiliki tingkat stres kategori ringan yang artinya gejala-gejala yang dirasakan masih normal dan jarang-jarang dirasakannya. Rata-rata skor dari kedua kelompok responden tidak jauh berbeda. Hasil T-test juga memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada tingkat stres antara responden berstatus menikah dan berstatus janda/duda (p>0,1). 63 Tabel 30 Sebaran responden berdasarkan tingkat stres dan status perkawinan Status Perkawinan Tingkat stres Menikah n 0 33 0 0 33 Tidak stres Ringan Sedang Berat Total Rata-rata (skor) SD Nilai p-value % 0,0 100 0,0 0,0 100,0 n 0 33 0 0 33 35,6 6,0 Janda/Duda % 0,0 100 0,0 0,0 100,0 35,7 4,7 0,982 Hubungan Antar Variabel Karakteristik, kondisi kesehatan dan kondisi fisik dengan kemandirian responden Untuk hubungan antara karakteristik responden dengan tingkat kemandirian dari hasil uji korelasi Spearman’s diketahui bahwa terdapat hubungan sangat nyata dan negatif pada jenis kelamin (r; -0,389; p<0,01) dengan kemandirian emosi, artinya responden laki-laki memiliki tingkat kemandirian emosi yang lebih baik. Hal ini diduga karena laki-laki jauh lebih tegas secara emosi dibandingkan perempuan. Terdapat hubungan sangat nyata dan negatif pada tingkat kemandirian total (r; -0,315; p<0,01), kemandirian aktivitas sehari-hari (r; -0,316; p<0,01), dan hubungan nyata dan negatif pada kemandirian emosi (r; -0,258; p<0,05) dengan usia responden, artinya semakin tua usia maka akan mengurangi tingkat kemandirian total, aktivitas sehari-hari dan emosi responden. Sesuai dengan yang dikatakan Departemen Sosial (1997) diacu dalam Rahmi (1998) bahwa semakin lanjut usia seseorang maka semakin banyak kemundurannya, terutama kemampuan fisik yang dapat berakibat berkurangnya kemampuan sosial, selain itu dapat mengganggu kemampuannya memenuhi kebutuhannya, sehingga cenderung tergantung pada pihak lain. Sementara itu terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara kemandirian total (r; 0,404; p<0,01) dan ekonomi (r; 0,656; p<0,01) dengan status pekerjaan, artinya pada responden yang bekerja memiliki tingkat kemandirian total dan ekonomi semakin baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Cici (2001) diacu dalam Suhartini (2009c) tentang faktor penentu lansia bekerja. Dikatakan bahwa lansia yang masih aktif bekerja karena berbagai alasan, diantaranya karena desakan ekonomi, dengan masih bekerja berarti lansia masih dapat menghidupi dirinya sendiri. Kondisi seperti ini membuat lansia 64 memusatkan perhatian pada usaha untuk menghasilkan uang sehingga minat untuk mencari uang tidak lagi berorientasi pada apa yang ingin dibeli akan tetapi untuk sekedar menjaga agar lansia tetap mandiri. Tabel 31 Hasil uji korelasi Spearman’s karakteristik responden, kondisi kesehatan dan fisik dengan tingkat kemandirian responden Variabel Status responden Jenis kelamin Usia Lama pendidikan Status pekerjaan Tingkat pendapatan Sumber pendapatan Besar keluarga Jumlah anak Jumlah keluhan penyakit Jumlah keluhan fisik Tingkat kemandirian ,088 -,178 -,315** ,216 ,404** ,216 -,508** -,179 -,331** -,113 -,046 Ket : KAS (kemandirian aktivitas sehari-hari) KE (kemandirian emosi) KAS ,014 -,026 -,316** ,171 ,172 ,047 -,238 -,189 -,218 -,220 -,099 KEK ,013 -,043 -,042 -,098 ,656** ,136 -,779** -,084 -,370** ,105 ,085 KE ,233 -,389** -,258* ,339** ,113 ,215 -,031 -,077 -,210 -,092 -,006 K SOS ,003 -,163 -,212 ,128 ,047 ,168 -,196 -,017 -,095 ,028 -,078 KEK (kemandirian ekonomi) K SOS (kemandirian sosial) Terdapat juga hubungan sangat nyata dan positif pada lama pendidikan (r; 0,339 ; p<0,01), dengan kemandirian emosi, artinya semakin lama jenjang pendidikan yang ditempuh maka semakin tinggi tingkat kemandirian emosi responden. Lama pendidikan diduga terkait dengan tingkat pengetahuan sehingga berpengaruh pada cara responden bersikap dan mengambil keputusan, jadi dimungkinkan lansia sesedikit mungkin akan bergantung secara emosi kepada orang lain ataupun keluarga dan anak. Sumber pendapatan berhubungan sangat nyata dan negatif dengan kemandirian total (r; -0,508; p<0,01) dan kemandirian ekonomi (r; -0,779; p<0,01), artinya pada responden yang memiliki sumber pendapatan dari anak maka akan mengurangi tingkat kemandirian total dan kemandirian ekonominya. Jumlah anak juga berhubungan sangat nyata dan negatif dengan kemandirian total (r; -0,331; p<0,01) dan kemandirian ekonomi (r; -0,370; p<0,01), artinya semakin banyak jumlah anak responden maka akan semakin rendah tingkat kemandirian total dan kemandirian ekonomi responden. Hal ini diduga karena dengan semakin banyak anak maka semakin banyak pula orang-orang yang dapat diandalkan yang artinya semakin memperbesar derajat ketergantungan lansia. Selain itu kebudayaan di Indonesia yang umumnya anak akan membalas budi orang tua dengan merawat ataupun sekedar membantu sebisanya orangtua 65 dimasa tuanya, maka dengan semakin banyaknya anak akan semakin banyak pula bantuan yang diberikan kepada lansia. Hasil uji korelasi juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara kondisi kesehatan dan fisik dengan tingkat kemandirian responden. Karakteristik, kondisi kesehatan dan kondisi fisik dengan tingkat stres responden Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman diketahui bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara tingkat stres dengan karakteristik responden seperti jenis kelamin, sumber pendapatan, status pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan, besar keluarga dan jumlah anak. Hasil uji korelasi memperlihatkan bahwa terdapat hubungan nyata dan positif pada usia (r; 0,259; p<0,05), dan hubungan sangat nyata dan positif kondisi kesehatan/jumlah keluhan penyakit (r; 0,329; p<0,01) dengan tingkat stres, artinya semakin tua usia responden dan semakin banyak keluhan penyakit yang dirasakan maka akan semakin tinggi tingkat stresnya. Hawari (1996) diacu dalam Jauhari (2003) menyatakan penyakit kronis seperti jantung, kanker dan lain-lain serta kehidupan sosial yang tidak baik dapat mengguncangkan keseimbangan suasana hati yang pada akhirnya dapat mengakibatkan ketegangan jiwa atau stres. Sementara itu tidak terdapat hubungan nyata pada karakteristik responden lainnya dan kondisi fisik dengan tingkat stres responden. Tabel 32 Hasil uji korelasi Spearman’s karakteristik, kondisi kesehatan, dan fisik dengan tingkat stres responden Variabel Status responden Jenis kelamin Usia Lama pendidikan Status pekerjaan Tingkat pendapatan Sumber pendapatan Besar keluarga Jumlah anak Jumlah keluhan penyakit Jumlah keluhan fisik Tk stres -,061 -,011 ,259* -,210 ,212 -,108 ,095 -,085 -,180 ,329** ,021 66 Kemandirian dan dukungan sosial dengan tingkat stres responden Hurlock (1980) berpendapat bahwa pada usia lanjut perubahan fisik dan psikologis yang cenderung negatif akan terjadi. Perubahan tersebut menyebabkan gaya hidup penduduk lanjut usia terpaksa berubah, sehingga mereka mempunyai ketergantungan yang besar pada keluarga, orang lain termasuk negara (Hardywinoto & Setiabudhi 2005). Jika lansia tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi maka akan menyebabkan ketergantungan kepada orang lain. Ketergantungan pada orang lain ini jika dibiarkan lambat laun dapat menyebabkan stres pada lansia (Hurlock 1980). Tabel 33 Hasil uji korelasi Spearman’s tingkat kemandirian dan dukungan sosial dengan tingkat stres responden Variabel Tingkat kemandirian Kemandirian Aktivitas Sehari-hari Kemandirian ekonomi Kemandirian emosi Kemandirian sosial Dukungan sosial Dukungan emosi Dukungan intrumental Dukungan informasi Dukungan self-esteem Tingkat stres -,248* -,130 -,074 -,310* -,192 -,174 -,168 -,134 -,102 -,154 Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata dan negatif antara tingkat stres dengan kemandirian total (r; -0,248; p<0,05) dan kemandirian emosi responden (r; -0,310; p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat kemandirian total dan emosi responden maka akan semakin tinggi tingkat stresnya. Selain itu tidak terdapat hubungan nyata antara tingkat stres dengan dukungan sosial yang dimiliki responden. Namun terdapat kecenderungan negatif antara dukungan sosial dengan tingkat stres, yang berarti semakin baik dukungan sosial responden maka terdapat kecenderungan mengurangi tingkat stres responden dan tidak tedapatnya hubungan nyata pada kedua variabel ini juga menunjukkan bahwa dukungan sosial tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat stres serta bukan faktor penentu tingkat stres seseorang pada penelitian ini. Artinya dengan baiknya dukungan sosial yang dimiliki seseorang tidak serta merta akan menurunkan tingkat stres orang tersebut. Namun dengan adanya dukungan 67 sosial dari orang-orang disekitar diharapkan akan dapat mengurangi beban dan efek negatif yang ditimbulkan oleh stres. Bee (1996) diacu dalam Chandra (2003) mengatakan bahwa dukungan sosial dapat mengurangi pengaruh negatif dari pengalaman yang menyebabkan stres diantara para lansia. Disamping itu diduga pula karena responden yang diteliti dalam penelitian ini homogen dan tingkat stres dipengaruhi oleh faktor lain yaitu status kesehatan responden. Hal ini juga sesuai dengan hasil uji regresi dan uji korelasi bahwa terdapat hubungan antara tingkat stres dengan status kesehatan dan status kesehatan berpengaruh nyata terhadap tingkat stres responden. Pengaruh Kemandirian dan Dukungan Sosial terhadap Tingkat Stres Berdasarkan uji regresi linear berganda yang dilakukan diketahui bahwa terdapat pengaruh nyata dan negatif antara kemandirian emosi dengan tingkat stres responden. Hal ini menunjukkan bahwa semakin mandiri responden secara emosi maka semakin rendah tingkat stresnya. Hurlock (1980) mengungkapkan bahwa ketergantungan lanjut usia terhadap orang lain akan membuat gerak lansia menjadi terbatas baik secara fisik maupun ekonomi. Keterbatasanketerbatasan ini membuat lansia kurang dapat menentukan sendiri kehidupannya di hari tua. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap kondisi mental lansia yang mana dapat menimbulkan stres. Hasil uji regresi juga menunjukkan pengaruh nyata dan negatif antara jumlah anak dengan tingkat stres, artinya semakin banyak anak maka semakin rendah tingkat stres responden. Hal ini diduga karena dengan semakin banyak anak maka memungkinkan lansia untuk memperoleh dukungan sosial yang lebih besar dan memungkinkan lansia tidak menjadi kesepian. Sementara itu hasil uji regresi juga menunjukkan status kesehatan dan status pekerjaan responden berpengaruh nyata dan positif terhadap tingkat stres. Hal ini berarti semakin banyak penyakit yang diderita maka akan semakin tinggi tingkat stres responden. Hawari (1996) diacu dalam Jauhari (2003) menyatakan penyakit kronis seperti jantung, kanker, dan lain-lain serta kehidupan sosial yang tidak baik dapat menggoncangkan keseimbangan suasana hati yang pada akhirnya dapat mengakibatkan ketegangan jiwa atau stres. Untuk status pekerjaan hasil uji regresi menjelaskan bahwa pada responden yang tidak bekerja memiliki tingkat stres yang lebih rendah. Hal ini diduga karena responden 68 stres dengan pekerjaannya yang dimungkinkan responden merasa lelah dan ingin istirahat dihari tuanya. Selain itu tingkat pendapatan responden yang umumnya kecil juga menjadi beban pikiran tersendiri. Tabel 34 Hasil uji regresi pengaruh kemandirian dan dukungan sosial terhadap tingkat stres Model (Constant) Unstandardized Coefficients B Std. Error 31,387 13,302 Standardized Coefficients Beta t Sig. 2,360 ,023 -,480 ,320 -,295 -1,503 ,140 Dukungan intrumental ,177 ,245 ,127 ,721 ,475 Dukungan informasi ,146 ,243 ,120 ,601 ,551 Dukungan selfesteem ,247 ,370 ,130 ,667 ,508 Dukungan emosi KAS ,125 ,100 ,165 1,240 ,221 Kemandirian ekonomi -,307 ,252 -,312 -1,217 ,230 Kemandirian emosi -,394 ,176 -,322 -2,232 ,031 Kemandirian sosial -,096 ,349 -,034 -,275 ,784 ,051 1,524 ,005 ,033 ,974 -2,003 1,678 -,180 -1,193 ,239 ,189 ,129 ,200 1,467 ,149 Status responden Jenis kelamin Usia Lama pendidikan -,158 ,215 -,112 -,737 ,465 Status pekerjaan 5,311 1,837 ,482 2,892 ,006 Tingkat pendapatan ,604 1,751 ,049 ,345 ,732 Sumber pendapatan -1,866 2,726 -,160 -,685 ,497 -,163 ,238 -,086 -,686 ,496 Jumlah anak -,530 ,237 -,290 -2,240 ,030 Jumlah keluhan penyakit 1,833 ,490 ,445 3,742 ,001 ,436 1,032 ,050 ,422 ,675 Besar keluarga Jumlah keluhan fisik Adjusted R square F (P) df 29,9% 2,459 19 a Dependent Variable: Tingkat stress Hasil uji regresi juga menunjukkan nilai R² sebesar 29,9 persen. Hal ini berarti bahwa variabel-variabel yang diuji menggambarkan 29,9 persen faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat stres responden. Sementara sisanya 70,1 persen dipengaruhi oleh variabel lain diluar model ini. Berdasarkan nilai beta terbesar yaitu pada status pekerjaan yang berarti status pekerjaan mempunyai pengaruh terbesar terhadap tingkat stres lansia. Sementara itu nilai B pada status pekerjaan sebesar 5,311 artinya setiap kenaikan kesempatan bekerja satu persen akan meningkatkan tingkat stres sebanyak 5,311 persen. Nilai B untuk kemandirian emosi yaitu -0,394 yang artinya setiap kenaikkan kemandirian emosi satu tingkat maka akan mengurangi stres pada lansia sebanyak 0,394 tingkat. Demikian juga dengan nilai B status kesehatan responden sebesar 1,833 artinya 69 pada kenaikan status kesehatan satu tingkat yang berarti bertambah satu jenis penyakit yang diderita maka akan meningkatkan stres sebanyak 1,833 tingkat. Jumlah anak memiliki nilai B sebesar -0,530, artinya pada lansia dengan jumlah anak semakin banyak dengan selisih sebesar satu persen akan dapat mengurangi stres responden sebanyak 0,530 persen.