1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit tuberkulosis (TB) telah ada sejak sebelum Masehi. Hal ini dibuktikan dengan adanya mumi yang teridentifikasi menderita tuberkulosis (Kanai, 1990; Hershkovitz dkk., 2008). Pada abad ke sepuluh Avicenna atau yang dikenal sebagai Ibnu Sina telah menggambarkan penularan TB paru dalam bukunya Qanun fi’l-Tib (The Canon of Medicine). Sembilan ratus tahun kemudian Robert Koch mengkonfirmasi gambaran Ibnu Sina dengan mengidentifikasi basil pada tuberkel. Robert Koch berhasil menemukan kuman penyebab tuberkulosis yaitu Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) pada tahun 1882 (Maher, 2009). Walaupun telah sekian lama kuman tersebut ditemukan, namun hingga kini penyakit tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan utama baik di dunia maupun di Indonesia. Mycobacterium tuberculosis sebagai kuman penyebab telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, sehingga WHO (World Health Organization) mencanangkan keadaan darurat global untuk penyakit TB pada tahun 1993 (Preston, 1993). Pada tahun 2006 terdapat sekitar 9,2 juta kasus baru dan 1,7 juta kematian karena TB. Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat dilakukan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang. Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB semakin meningkat (Anonim, 2008). Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007 menyatakan jumlah penderita TB di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi ke 2 tiga di dunia setelah India dan Cina. Kemudian laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia membaik ke posisi lima dengan jumlah penderita TB sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (WHO, 2010). Prevalensi TB di Indonesia tahun 2011 baik TB dengan HIV maupun tidak secara nasional 281 per 100.000 penduduk (Abeyewickreme, dkk., 2012), sedangkan pada tahun 2012 menjadi 297 per 100.000 penduduk (Anonim, 2013), berada di posisi ke empat setelah India, Cina dan Afrika Selatan. Peringkat Indonesia membaik walaupun belum stabil, namun demikian perlu diwaspadai bahwa perbaikan tersebut lebih dikarenakan terjadi peningkatan kasus TB di negara lain setelah terjangkitnya HIV/AIDS. Fakta mengenai tuberkulosis saat ini adalah sebagai berikut. Tuberkulosis (TB) merupakan pembunuh ke dua setelah HIV/AIDS. Pada tahun 2012, 8,6 juta orang menderita TB dan 1,3 juta meninggal karena TB. Kematian akibat TB lebih dari 95% terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah, dan termasuk dalam 3 penyebab utama kematian pada wanita usia 15 sampai 44. Pada tahun 2012, diperkirakan 530.000 anak menderita TB dan 74.000 anak dengan HIV-negatif meninggal karena TB. Tuberkulosis adalah pembunuh utama pada penderita HIV, 25% dari seluruh kematian. Tuberkulosis yang resisten terhadap berbagai jenis obat (Multiple Drug Resistance) terdapat hampir di semua negara yang disurvei (Anonim, 2013). Pengobatan TB masih membutuhkan waktu yang lama, sehingga menyulitkan dalam pembasmiannya, karena penderita merasa bosan minum obat. Selain itu cara 3 terapi yang berlaku dengan multi drug (lebih dari 1 jenis obat) serta efek samping yang terjadi sangat tidak menyenangkan bagi penderita. Di antaranya hepatotoksik, mual, muntah, anoreksia, kejang, sakit kepala, gangguan buang air kecil, buta warna, peradangan saraf tepi dan lain-lain. Masalah menjadi semakin pelik dengan adanya kasus resistensi kuman terhadap obat-obat antituberkulosis standar yang disebut dengan Multiple Drug Resistance (MDR). Kasus MDR semakin bertambah yaitu adanya resistensi M. tuberculosis terhadap 2 atau lebih obat lini pertama khususnya rifampisin dan INH. MDR merupakan penyulit tersendiri pada pengobatan tuberkulosis yang sampai saat ini belum dapat teratasi dengan baik. Pada survei WHO dilaporkan lebih dari 90.000 pasien TB di 81 negara, ternyata angka MDR-TB lebih tinggi dari yang diperkirakan. Enam negara dengan kekerapan MDR-TB tinggi di dunia adalah Estonia, Kazakhstan, Latvia, Lithunia, bagian dari federasi Rusia dan Uzbekistan. WHO memperkirakan ada 300.000 kasus MDR-TB baru per tahun (Soepandi, 2009). Pengobatan MDR sangat sulit, sangat mahal dan banyak efek sampingnya. Masalah MDR belum teratasi, saat ini bahkan muncul masalah baru dengan adanya Extensively Drug Resistance (XDR). XDR-TB merupakan terminologi terbaru di bidang tuberkulosis. XDR adalah Mycobacterium tuberculosis MDR yang juga resisten terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari aminoglikosida. XDR-TB sudah dikonfirmasi keberadaannya di Indonesia (Sjahrurachman, 2008). Perlu peran semua pihak agar laju XDR-TB dapat dihambat. XDR-TB sangat berbahaya, kematian penderita terinfeksi XDR-TB sangat cepat. 4 Kebutuhan obat baru diperlukan untuk meningkatkan kontrol terhadap penyakit TB terutama di negara-negara berkembang. Besarnya beban akibat penyakit TB yang membutuhkan terapi dalam waktu lama dan menyerang usia produktif serta bertambahnya kasus HIV/AIDS meningkatkan jumlah penderita tuberkulosis baik yang sensitif maupun resisten terhadap obat standar sehingga perlu dilakukan eksplorasi terhadap obat-obat baru (Spigelmen, 2013). Obat antituberkulosis (OAT) yang pertama kali dapat dipergunakan adalah streptomisin (1943). Penemuan OAT selanjutnya adalah isoniazid (1953), pirazinamid (1955), sikloserin (1955), ethambutol (1962) dan rifampisin (1965). Setelah penemuan rifampisin belum ada penemuan antituberkulosis yang lebih baik dengan efek samping yang minimal. Padahal hingga saat ini Indonesia masih mengimpor lebih dari 95% bahan baku obat, termasuk obat antituberkulosis (Anonim, 2012). Dengan kondisi tersebut perlu adanya penelitian yang lebih intensif agar diperoleh terapi pilihan baru yang diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan dalam pengobatan TB. Adanya kecenderungan sebagian masyarakat menggunakan terapi herbal (back to nature) dan adanya sumber alam hayati Indonesia yang berlimpah mendorong untuk meneliti salah satu tanaman yang dipercaya memiliki banyak khasiat. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 381/Menkes/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional yang mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan tradisional secara berkelanjutan serta tersedianya obat tradisional yang terjamin mutu, khasiat dan keamanannya, teruji secara ilmiah (Supari, 2007). Penelitian ini meneliti salah satu tanaman obat yaitu sirih merah (Piper crocatum) yang merupakan tanaman yang memiliki banyak khasiat. 5 Secara empiris sirih merah (P. crocatum) diyakini masyarakat dapat menyembuhkan penyakit infeksi dan noninfeksi. Penyakit infeksi yang diyakini dapat sembuh dengan sirih merah di antaranya adalah hepatitis dan tuberkulosis, sedangkan untuk penyakit noninfeksi seperti diabetes melitus, hipertensi, tumor dan lain-lain (Manoi, 2007). Rachmawaty dkk. (2009) melaporkan bahwa ekstrak etanol sirih merah memiliki kemampuan antibakteri terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 35218 secara in vitro. Peneliti lain yaitu Safithri dan Fahma (2005) melaporkan bahwa ekstrak air sirih merah dapat menurunkan kadar gula tikus yang diinduksi menjadi diabetes, sedangkan Agusta (2009) melaporkan ekstrak metanol sirih merah juga dapat menurunkan kadar gula tikus yang diinduksi menjadi diabetes. Beberapa khasiat sirih merah baik sebagai antibakteri maupun yang lain telah dilaporkan secara ilmiah. Obat tradisional (jamu) agar dapat lebih dipertanggungjawabkan secara ilmiah perlu melalui proses menjadi obat herbal terstandar hingga menjadi fitofarmaka. Berdasar uji pendahuluan yang dilakukan peneliti, ekstrak etanol sirih merah (Piper crocatum) memiliki aktivitas antimikobakterium terhadap M. tuberculosis secara in vitro. Sirih merah sudah diakui secara empiris sebagai obat tradisional. Pada penelitian ini sirih merah diuji kemampuannya sebagai herbal terstandar dalam bentuk ekstrak etanol dan minyak atsiri, meliputi aktivitas antimikobakteriumnya dalam membunuh M. tuberculosis secara in vitro maupun in vivo, dan keamanannya melalui uji toksisitas akut. Penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari telah menguji ekstrak etanol sirih merah secara kromatografi, diketahui sirih merah mengandung alkaloid, flavonoid, 6 tanin, dan minyak atsiri (Safithri & Fahma, 2008). Daun sirih merah yang berlendir diduga juga mengandung saponin. Flavonoid merupakan golongan terbesar yang terkandung pada sirih merah, adapun sebagai senyawa identitasnya adalah Trimetoksiallilbenzen (Sundari, 2010). Umumnya flavonoid dan tanin merupakan senyawa polar, sedangkan alkaloid merupakan senyawa semipolar. Pada penelitian ini, sirih merah diuji sebagai ekstrak etanol dan minyak atsiri. Penggunaan ekstrak etanol 70% karena bersifat polar dan universal juga memiliki sifat lebih tahan lama jika dibandingkan dengan air. Di samping itu pada pengujian perbandingan kemampuan antibakteri antara ekstrak petroleum ether (non polar), ethil asetat (semi polar) dan ekstrak etanol daun sirih merah menunjukkan hasil ekstrak etanol lebih baik dibanding ekstrak yang lain. Penelitian ini tidak menggunakan metanol karena jika dibandingkan dengan etanol, metanol lebih toksik. Golongan alkaloid, flavonoid, tanin, dan minyak atsiri diketahui memiliki aktivitas antibakteri dengan cara mengganggu dinding sel atau membran sel bakteri (Robinson, 1995; Masduki, 1996; Cowan, 1999; Oussalah, 2006). Dinding sel bakteri dapat divisualisasi dengan menggunakan Transmission Electron Microscope (TEM). Hal ini pernah dilaporkan oleh Rachel dkk. (2001). B. Rumusan Masalah Tuberkulosis saat ini masih menjadi masalah di Indonesia maupun dunia. Masalah tersebut di antaranya adalah lamanya pengobatan sehingga penderita bosan, efek samping yang tidak menyenangkan, juga timbulnya kasus resistensi terhadap obat antituberkulosis (OAT) yang sudah ada. Penemuan obat antituberkulosis sangat 7 lambat, terakhir OAT yang dapat diaplikasikan adalah penemuan rifampisin (1965). Dengan demikian penemuan obat baru saat ini sangat dibutuhkan. Adanya kecenderungan masyarakat menggunakan obat-obat herbal (back to natuure), salah satunya sirih merah (P. crocatum) sebagai antituberkulosis membutuhkan penelitian lebih lanjut mengingat bukti empiris yang ada belum diimbangi dengan bukti ilmiah (Evidence Based Medicine). Dari latar belakang tersebut maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut. 1. Apakah ekstrak etanol dan minyak atsiri daun sirih merah (P. crocatum) memiliki aktivitas antimikobakterium terhadap M. tuberculosis secara in vitro ? 2. Apakah ekstrak etanol dan minyak atsiri daun sirih merah (P. crocatum) memiliki aktivitas antimikobakterium terhadap M. tuberculosis secara in vivo? 3. Bagaimana tingkat keamanan ekstrak etanol dan minyak atsiri daun sirih merah? C. Tujuan Penelitian Tujuan Umum : Mengembangkan sirih merah sebagai obat herbal terstandar untuk penyakit tuberkulosis. Tujuan khusus : 1. Untuk menguji aktivitas antimikobakterium ekstrak etanol dan minyak atsiri daun sirih merah (P. crocatum) terhadap M. tuberculosis secara in vitro 2. Untuk menguji aktivitas antimikobakterium ekstrak etanol dan minyak atsiri daun sirih merah (P. crocatum) terhadap M. tuberculosis secara in vivo. 8 3. Untuk menguji toksisitas akut ekstrak etanol dan minyak atsiri daun sirih merah. D. Keaslian Penelitian Penelitian secara in vivo yang menggunakan mencit sebagai subyek penelitian yang diinfeksi dengan M. tuberculosis, di Indonesia belum banyak dilakukan. Sepengetahuan penulis berdasar pencarian literatur dan penelitian hingga saat ini belum ada penelitian secara ilmiah mengenai “Aktivitas Antimikobakterium Ekstrak Etanol dan Minyak Atsiri Daun Sirih Merah (Piper crocatum) terhadap Mycobacterium tuberculosis secara In Vitro dan In Vivo” Adapun penelitian mengenai sirih merah yang berkaitan dengan penelitian ini di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Rachmawaty dkk. (2009) yaitu meneliti kemampuan antibakterial ekstrak etanol sirih merah terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 35218, penelitian dilakukan secara in vitro. Arishandy (2010) melakukan isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid dari daun sirih merah. Flavonoid merupakan salah satu senyawa yang terdapat dalam sirih merah dan diketahui memiliki aktivitas antibakteri. Suratmo (2007) meneliti potensi ekstrak etanol sirih merah (P. crocatum) sebagai antioksidan secara in vitro. Pada penelitian tersebut diketahui sirih merah memiliki aktivitas antioksidan kuat. Pada penelitian aktivitas antimikobakterium ini dilakukan beberapa tahapan. Tahap I penelitian in vitro, tahap II penelitan in vivo dan tahap III penelitian uji toksisitas akut. 9 E. Manfaat Penelitian Dengan penelitian ini diharapkan memiliki manfaat utama sebagai berikut. 1. Aspek teoritis : Menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai antimikobakterium/antituberkulosis. Penemuan obat maupun herbal sebagai antimikobakterium terhadap M. tuberculosis hingga saat ini relatif masih sedikit. 2. Aspek praktis/klinis : Diperoleh herbal terstandar untuk terapi penyakit tuberkulosis.