III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Tingkat kelangsungan hidup selama pengangkutan Tingkat kelangsungan hidup ikan selama pengangkutan menunjukkan pola yang sama pada tiap perlakuan (Gambar 1, Lampiran 1). Kematian ikan mulai terjadi pada jam ke 60 dan terus menurun sampai jam ke 72. Tingkat kelangsungan hidup ikan tertinggi selama pengangkutan ikan yaitu perlakuan 20 ekor/ℓ sebesar 91,67% sedangkan tingkat kelangsungan hidup ikan terendah yaitu pada perlakuan 50 ekor/ℓ sebesar 68,67%. Gambar 1.Tingkat kelangsungan hidup selama pengangkutan. Berdasarkan analisis statistik, tingkat kelangsungan hidup benih ikan gurame tidak berbeda antar perlakuan pada jam ke 0, 24, dan 48. Tingkat kelangsungan hidup pada jam ke 72 mengalami penurunan dimana tingkat kelangsungan hidup perlakuan 50 ekor/ℓ berbeda dengan perlakuan 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, dan 40 ekor/ℓ (p ≤ 0,05). 3.1.2 Kualitas air media pengangkutan 3.1.2 .1 Total amoniak nitrogen media pengangkutan Total amoniak nitrogen (TAN) yang diukur pada tiap perlakuan menunjukkan terjadi kecenderungan kenaikan jumlah TAN di setiap jam pengamatan (Gambar 2, Lampiran 2). Pola kenaikan ini terjadi pada tiap perlakuan, namun konsentrasi TAN tertinggi di akhir pengamatan yaitu perlakuan 50 ekor/ℓ sebesar 2,1203 mg/ℓ dan konsentrasi terendah pada perlakuan 20 ekor/ℓ yaitu 1,6839 mg/ℓ. Gambar 2. Total amoniak nitrogen media pengangkutan Berdasarkan analisa statistik, jumlah total amoniak nitrogen pada perlakuan 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, 40 ekor/ℓ, dan 50 ekor/ℓ tidak berbeda di setiap jam pengamatan (p ≥ 0,05 ; Lampiran 10). Jumlah total amoniak nitrogen pada jam ke 72 perlakuan 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, 40 ekor/ℓ, dan 50 ekor/ℓ adalah 1,8566 mg/ℓ, 1,6839 mg/ℓ, 1,9298 mg/ℓ, dan 2,1203 mg/ℓ. 3.1.2.2 Amoniak tak terionisasi media pengangkutan Berdasarkan analisis statistik menunjukkan hasil pengukuran amoniak tak terionisasi (NH3) antar perlakuan (kepadatan 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, 40 ekor/ℓ dan 50 ekor/ℓ) tidak berbeda pada akhir pengangkutan (p ≥ 0,05 ; Lampiran 11). Hasil pengukuran NH3 pada jam ke 0 sampai jam 24 menunjukan pola yang sama antar perlakuan yaitu kenaikan jumlah NH3. Penurunan jumlah NH3 terjadi pada perlakuan kepadatan 50 ekor/ℓ pada jam ke 48 namun ketiga perlakuan lainnya mengalami kenaikan jumlah NH3. Jumlah NH3 tertinggi terdapat pada perlakuan kepadatan 50 ekor/ℓ sebesar 0,0996 mg/ℓ sedangkan jumlah NH3 terendah terdapat pada perlakuan kepadatan 30 ekor/ℓ (Gambar 3). Gambar 3. Amoniak tak terionisasi media pengangkutan 3.1.2.3 Oksigen terlarut media pengangkutan Hasil pengukuran oksigen terlarut pada media pengangkutan benih ikan gurame terjadi kenaikan pada jam ke 24 namun pada jam ke 48 sampai jam ke 72 terjadi penurunan jumlah oksigen terlarut (Gambar 4, Lampiran 2). Pola ini terdapat pada seluruh perlakuan namun jumlah oksigen terlarut di akhir pengamatan berkisar antara 4,67-5,21 mg/ℓ. Gambar 4.Oksigen terlarut media pengangkutan Berdasarkan analisis statistik, jumlah oksigen terlarut pada perlakuan 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, 40 ekor/ℓ, dan 50 ekor/ℓ tidak berbeda di setiap jam pengamatan (p ≥ 0,05, Lampiran 12). Jumlah oksigen terlarut pada jam ke 72 perlakuan 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, 40 ekor/ℓ, dan 50 ekor/ℓ adalah 5,13 mg/ℓ, 5,21 mg/ℓ, 4,89 mg/ℓ, dan 4,67 mg/ℓ. 3.1.2.4 Suhu media pengangkutan Berdasarkan analisis statistik, tidak terdapat perbedaan suhu antar perlakuan (p ≥ 0,05, Lampiran 13). Penurunan suhu terjadi pada jam ke 0 ke jam 24, namun pada jam 24 sampai jam ke 72 relatif stabil (Gambar 5, Lampiran 2). Kisaran suhu selama packing berkisar antara 21-23 0C. Gambar 5. Suhu media pengangkutan 3.1.2.5 Nilai pH media pengangkutan Berdasarkan analisis statistik, pengamatan jam ke 24 terdapat perbedaan nilai pH pada perlakuan kepadatan 20 ekor/ℓ namun perlakuan 30 ekor/ℓ, 40 ekor/ℓ, dan 50 ekor/ℓ tidak berbeda. Pengamatan jam ke 48 dan 72, antar perlakuan tidak berbeda (Gambar 6, Lampiran 2). Kisaran nilai pH pada akhir pengangkutan pada perlakuan 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, 40 ekor/ℓ dan 50 ekor/ℓ adalah 7.37-7,56. Gambar 6. Nilai pH media pengangkutan 3.1.3 Gambaran darah 3.1.3.1 Sel darah merah Jumlah sel darah merah pascapengangkutan pada ikan normal menunjukkan perbedaan dengan perlakuan kepadatan 40 ekor/ℓ dan 50 ekor/ℓ, namun tidak berbeda dengan perlakuan kepadatan 20 ekor/ℓ dan 30 ekor/ℓ. Jumlah sel darah merah pascapengangkutan umumnya dibawah jumlah kisaran ikan normal (Gambar 7a, Lampiran 3). (a) (b) Gambar 7. Jumlah sel darah merah pascapengangkutan (a), jumlah sel darah merah pemeliharaan (b). Jumlah sel darah merah setelah pemeliharaan tujuh hari mendekati jumlah sel darah merah ikan normal. Berdasarkan analisis statistik, jumlah sel darah merah ikan normal berbeda dengan perlakuan kepadatan 20 ekor/ℓ namun tidak berbeda nyata pada perlakuan kepadatan 30 ekor/ℓ dan 40 ekor/ℓ (Gambar 7b, Lampiran 3). 3.1.3.2 Hematokrit Berdasarkan analisis statistik, nilai hematokrit pascapengangkutan antara ikan normal dengan ikan perlakuan tidak berbeda (p ≥ 0,05). Nilai hematokrit ikan perlakuan umumnya dibawah nilai hematokrit ikan normal (gambar 8a, Lampiran 4). Nilai hematokrit ikan normal sebesar 23,3% dan nilai hematokrit terendah pada perlakuan kepadatan 40 ekor/ℓ. Nilai hematokrit ikan yang telah dipelihara antara perlakuan dan ikan normal tidak berbeda dan rata-rata antar perlakuan nilai hematokrit dalam darah mendekati nilai hematokrit ikan normal (Gambar 8b). (a) (b) Gambar 8. Nilai hematokrit pascapengangkutan (a), nilai hematokrit pemeliharaan (b). 3.1.3.3 Hemoglobin Berdasarkan analisis statistik, nilai hemoglobin pascapengangkutan perlakuan kepadatan 40 ekor/ℓ dan 50 ekor/ℓ tidak berbeda namun kedua perlakuan tersebut berbeda dengan perlakuan 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ dan ikan normal. Nilai hemoglobin ikan normal yaitu sebesar 5,1 g/100 mℓ. Nilai hemoglobin di setiap perlakuan dibawah nilai hemoglobin ikan normal (Gambar 9a, Lampiran 5). Nilai hemoglobin ikan pemeliharaan tujuh hari tidak berbeda antar perlakuan (p ≥ 0,05, Lampiran 5). Nilai hemoglobin antar perlakuan mendekati nilai hemoglobin ikan normal. Nilai hemoglobin perlakuan kepadatan 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, 40 ekor/ℓ dan 50 ekor/ℓ adalah 5,00 g/100 mℓ, 4,93 g/100 mℓ, 5,03 g/100 mℓ, dan 5,13 g/100 mℓ. (a) (b) Gambar 9. Nilai hemoglobin ikan pascapengangkutan (a), nilai hemoglobin pemeliharaan (b) 3.1.3.4 Sel darah putih Jumlah sel darah putih pada ikan normal sebesar 5,59x104 sel/mm3. Berdasarkan analisis statistik, jumlah sel darah putih pada ikan normal tidak berbeda dengan perlakuan 20 ekor/ℓ dan 30 ekor/ℓ. Perlakuan 40 ekor/ℓ berbeda dengan ikan normal dan ikan perlakuan 50 ekor/ℓ. Jumlah sel darah putih ikan perlakuan umumnya diatas ikan normal, namun jumlah sel darah putih tertinggi terdapat pada perlakuan 50 ekor/ℓ sedangkan jumlah sel darah putih terendah terdapat pada perlakuan 20 ekor/ℓ (Gambar 10a, Lampiran 6). Jumlah sel darah putih setelah pemeliharaan pada perlakuan 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, 40 ekor/ℓ dan 50 ekor/ℓ tidak berbeda dengan kontrol. Jumlah sel darah putih pascapemeliharaan pada masing-masing perlakuan mendekati jumlah sel darah putih ikan normal (Gambar 10b). Berdasarkan analisis statistik, tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (p ≥ 0,05). (a) (b) Gambar 10. Sel darah putih pascapengangkutan (a), sel darah putih pemeliharaan (b). 3.1.3.5 N:L rasio N:L rasio pascapengangkutan menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan N:L rasio ikan normal (Gambar 11a, Lampiran 7). Berdasarkan analisis statistik, N:L rasio pada ikan normal berbeda dengan perlakuan 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, 40 ekor/ℓ, 50 ekor/ℓ, sedangkan perlakuan 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, dan 40 ekor/ℓ tidak berbeda. Nilai N:L rasio ikan normal sebesar 0,51. Nilai N:L rasio terendah terdapat pada perlakuan 20 ekor/ℓ sedangkan nilai N:L rasio tertinggi terdapat pada perlakuan 50 ekor/ℓ. Nilai N:L rasio pada pemeliharaan ikan perlakuan 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, 40 ekor/ℓ, dan 50 ekor/ℓ tidak berbeda dengan ikan normal (p ≥ 0,05). (a) (b) Gambar 11. N:L rasio pascapengangkutan (a), N:L rasio pemeliharaan (b) 3.1.4 Tingkat kelangsungan hidup pemeliharaan Berikut ini merupakan tingkat kelangsungan hidup benih ikan gurame yang dipelihara selama 21 hari (Gambar 12, Lampiran 8). Tingkat kelangsungan hidup ikan menunjukkan pola yang sama pada tiap perlakuan. Berdasarkan analisa statistik, terdapat perbedaan yang nyata pada perlakuan 50 ekor/ℓ dengan perlakuan lainnya (p ≤ 0,05). Tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan kontrol, 20 ekor/ℓ. 30 ekor/ℓ, 40 ekor/ℓ, dan 50 ekor/ℓ adalah 77,78 %, 80 %, 77,78%, 66,68% dan 53,33 %. Gambar 12. Tingkat kelangsungan hidup pemeliharaan 3.1.5 Laju pertumbuhan harian Berikut ini merupakan laju pertumbuhan ikan gurame yang diamati selama 21 hari (Gambar 13, Lampiran 9). Laju pertumbuhan harian gurame dengan perlakuan kontrol, 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, 40 ekor/ℓ, dan 50 ekor/ℓ adalah 2,53%, 2,46%, 2,06%, 2,12% dan 3,18%. Laju pertumbuhan harian ikan gurame pada perlakuan kepadatan 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, 40 ekor/ℓ dan 50 ekor/ℓ tidak berbeda (p ≥ 0,05) namun laju pertumbuhan harian tertinggi terjadi pada perlakuan kepadatan 50 ekor/ℓ. Gambar 13. Laju pertumbuhan harian 3.1.6 Analisa biaya pengangkutan Berikut ini merupakan analisa biaya pengangkutan benih ikan gurame yang diangkut dengan kepadatan berbeda. Tabel 2. Biaya pengangkutan benih ikan gurame dengan kepadatan berbeda Kepadatan (ekor/liter) 20 30 40 50 Oksigen murni 450 450 450 450 Plastik packing 1500 1500 1500 1500 Karet Es batu Karbon aktif Zeolit 10 10 10 10 2250 2250 2250 2250 140 140 140 140 50 50 50 50 6000 9000 12000 15000 Total biaya 10400 13400 16400 19400 SR pascapengangkutan 91,67 86,67 84,17 68,67 18 26 34 34 577,78 515,38 482,35 570,58 Harga beli ikan Sisa ikan pascapengangkutan (per liter) Rata-rata biaya dikeluarkan/ekor pascapengangkutan Berdasarkan perhitungan biaya yang dikeluarkan pada pengangkutan benih ikan gurame, biaya yang harus dikeluarkan setiap ekor benih gurame berbeda di setiap perlakuan kepadatan. Biaya terendah yang harus dikeluarkan pada pengangkutan benih ikan gurame adalah perlakuan kepadatan 40 ekor/ℓ, sedangkan biaya pengangkutan tertinggi terdapat pada perlakuan kepadatan 20 ekor/ℓ. 3.2 Pembahasan Tingkat kelangsungan hidup terendah pengangkutan benih ikan gurame yaitu pada perlakuan kepadatan 50 ekor/ℓ sebesar 68,67% dan tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan 20 ekor/ℓ sebesar 91,67%. Kelangsungan hidup ikan selama pengangkutan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis ikan yang diangkut, ketersediaan oksigen terlarut dalam media, zat-zat buangan yang diekskresikan ikan yang bersifat toksik (amoniak dan karbon dioksida), suhu, dan kepadatan ikan selama pengangkutan (Sendjaja dan Riski, 2002). Ikan mengekskresikan berbagai zat-zat yang bersifat toksik seperti total amoniak nitrogen (TAN). Nilai TAN terendah terdapat pada perlakuan 30 ekor/ℓ sebesar 1,6839 mg/ℓ sedangkan nilai TAN tertinggi terdapat pada perlakuan 50 ekor/ℓ sebesar 2,1203 mg/ℓ. Hal ini disebabkan jumlah TAN yang diekskresikan antar perlakuan berbeda-beda tergantung kepadatan ikan selama pengangkutan. Tiap ekor ikan gurame ukuran 4-5 cm mengekskresikan TAN sebesar 0,007 mg/ℓ/jam (Lampiran 17). Amoniak tak terionisasi (NH3) merupakan salah satu parameter yang berperan penting terhadap kelangsungan hidup ikan selama pengangkutan. NH3 di media dipengaruhi oleh nilai TAN, suhu dan nilai pH. Jumlah NH3 terendah terdapat pada perlakuan 30 ekor/ℓ sebesar 0,0761 mg/ℓ sedangkan nilai NH3 tertinggi terdapat pada perlakuan 50 ekor/ℓ sebesar 0,0996 mg/ℓ. Menurut Sawyer dan McCarty (1978) dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar amoniak bebas yang tidak terionisasi pada air tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,02 mg/ℓ. Jika kadar amoniak lebih dari 0,02 mg/ℓ maka air tersebut bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan. Kematian ikan pada perlakuan 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, 40 ekor/ℓ dan 50 ekor/ℓ saat pengangkutan terjadi pada jam ke 60 (Lampiran 1). Hal ini disebabkan benih ikan gurame tidak mampu mentolerir jumlah NH3 dalam media pengangkutan. Jumlah NH3 untuk masing-masing perlakuan pada jam ke 72 berkisar antara 0,0761-0,0996 mg/ℓ. Jumlah amoniak yang tinggi pada media pengangkutan dapat meningkatkan konsumsi oksigen oleh jaringan, merusak insang, dan mengurangi kemampuan darah untuk mengangkut oksigen (Effendi, 2003). Zeolit dan karbon aktif merupakan bahan-bahan yang dapat berperan sebagai adsorbsi. Sifat zeolit dan karbon aktif yang mampu menyerap NH4 dan CO2 diharapkan mampu mengurangi NH3 dan CO2 dalam media pengangkutan. Secara umum 1 gr zeolit dapat menyerap 1 mg amoniak (Setyawan 2003). Zeolit bersifat selektif dan memiliki efektivitas yang tinggi sebagai adsorban dan penukar ion terutama ion NH4+, Fe+, Mn+ dalam perairan. Satu gram karbon aktif pada umumnya memiliki luas permukaan seluas 500-1500 m2, sehingga sangat efektif dalam menangkap partikel-partikel yang sangat halus berukuran 0.010.0000001 mm. Karbon aktif bersifat sangat aktif dan akan menyerap apa saja yang bersinggungan dengan karbon tersebut. Dalam waktu 60 jam biasanya karbon aktif tersebut manjadi jenuh dan tidak aktif lagi (Aryafatta, 2008). Berdasarkan ekskresi TAN ikan gurame (Lampiram 17) maka dapat diprediksikan bahwa ekskresi TAN yang dikeluarkan oleh tiap ikan gurame puasa selama 72 jam adalah 0,504 mg/ℓ/ekor, sehingga ekskresi TAN ikan gurame dengan kepadatan berbeda selama 72 jam berkisar 10,08–25,2 mg/ℓ. Pada akhir pengamatan, jumlah TAN pada media pengangkutan antara 1,6839 mg/ℓ sampai 2,1203 mg/ℓ TAN, hal ini menunjukkan bahwa zeolit dan karbon aktif bersifat efektif dalam penyerapan TAN. Jumlah oksigen terlarut pada media pengangkutan terjadi peningkatan pada jam ke 24 di semua perlakuan. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor tekanan pada wadah packing yang berasal dari oksigen murni. Penurunan jumlah oksigen pada media pengangkutan terjadi penurunan pada jam pengamatan ke 48 dan 72. Kondisi tersebut disebabkan oleh oksigen terlarut pada media digunakan ikan untuk respirasi selama pengangkutan. Oksigen terlarut pada akhir media pengangkutan berkisar antara 4,67-5,21 mg/ℓ. Nilai oksigen terlarut pada pengangkutan ini masih dalam kisaran optimal ikan karena menurut Pescod (1973), nilai oksigen terlarut yang baik untuk transportasi ikan adalah 2 mg/ℓ, sehingga kandungan oksigen terlarut dalam media pengangkutan menunjang dalam kelangsungan hidup ikan selama pengangkutan. Suhu pengangkutan benih ikan gurame pada penelitian ini yaitu 21-24 0C. Peningkatan suhu berperan dalam peningkatan laju metabolisme dan respirasi ikan sehingga mengakibatkan peningkatan laju konsumsi oksigen oleh ikan (Effendi, 2003). Selain berperan dalam laju metabolisme dan laju respirasi ikan, nilai suhu dalam media juga berperan persentase NH3 dalam air. Nilai pH pengangkutan ikan gurame pada penelitian ini yaitu berkisar antara 7,01-8,03. Faktor yang mempengaruhi pH suatu perairan adalah konsentrasi karbondioksida dan senyawa yang bersifat asam. Kisaran pH yang dapat ditoleransi untuk kehidupan ikan gurame adalah 5–9 (Khairuman dan Amri, 2003). Jadi selama pengangkutan, pH pada media masih dalam kisaran optimal untuk kelangsungan hidup ikan gurame. Gambaran darah merupakan salah satu parameter yang dapat melihat kondisi fisiologis ikan sebagai dampak dari perlakuan. N:L rasio merupakan salah satu indikator stres pada ikan. Nilai N:L rasio pada perlakuan pengangkutan pada tiap perlakuan semakin meningkat seiring dengan peningkatan kepadatan (Lampiran 7). Hal ini diduga karena ikan mengalami stres sehingga di dalam tubuh ikan memproduksi netrofil lebih tinggi dibandingkan dengan limposit. Menurut Kannan et al. (2000) bahwa indeks stres dapat ditentukan dari perbandingan antara prosentase nitrofil dan prosentase limfosit (N:L) rasio dan pada hewan yang mengalami stres akibat pengangkutan selalu memiliki nilai N:L rasio lebih tinggi dibandingkan dengan ikan normal. Nilai N:L rasio tertinggi pascapengangkutan terdapat pada perlakuan 50 ekor/ℓ, kemudian diikuti dengan perlakuan 40 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, dan 20 ekor/ℓ. Pada saat pemeliharaan pascapengangkutan selama tujuh hari, kadar N:L rasio menurun di semua perlakuan. Nilai N:L rasio tidak berbeda antar perlakuan. Hal ini diduga bahwa ikan mulai beradaptasi ke lingkungan pemeliharaan dan stres pada ikan berkurang. Jumlah sel darah merah benih ikan gurame pascapengangkutan di setiap perlakuan menunjukkan dibawah jumlah sel darah merah ikan normal yaitu 1,26x106 sel/mm3 (Lampiran 3). Rendahnya sel darah merah pada semua perlakuan diduga disebabkan ikan mengalami anemia karena ikan dipuasakan sebelum ditransportasikan dan lamanya waktu pengangkutan dilakukan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wedemeyer dan Yasutake (1977) yang menyatakan bahwa rendahnya jumlah eritrosit menandakan ikan dalam keadaan anemia. Pada pemeliharaan jumlah sel darah merah setiap perlakuan kembali ke kisaran jumlah sel darah merah ikan normal. Menurut Lagler et al. (1977), jumlah sel darah merah pada ikan secara umum dalam keadaan normal berkisar antara 1,05-3,00 x 106 sel/mm3. Penurunan eritrosit juga disebabkan penurunan hemoglobin dan hematokrit. Menurut Bastiawan (2001) dalam Alamanda (2006) menyatakan bahwa apabila ikan terkena penyakit atau nafsu makan menurun maka nilai hematokrit dan hemoglobin menjadi tidak normal. Jika nilai hematokrit dan hemoglobin rendah maka nilai eritrosit pun menjadi rendah. Kadar hematokrit dan hemoglobin pascapengangkutan menunjukkan kadarnya dibawah kadar hematokrit ikan normal. Setelah pengangkutan, jumlah sel darah putih dalam darah meningkat di setiap perlakuan (Lampiran 6). Hal ini diduga ikan mengalami stres akibat pengangkutan dilakukan dalam waktu yang lama (72 jam). Menurut Lagler et al. (1977) sel darah putih akan meningkat jumlahnya seiring dengan meningkatnya infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, fungi maupun akibat memburuknya kualitas air. Pada pemeliharaan, jumlah sel darah putih semua perlakuan menurun mendekati jumlah sel darah putih ikan normal. Hal ini diduga bahwa pada pemeliharaan, tingkat stres ikan mulai menurun dan kembali pada kondisi normal (7 hari pemeliharaan). Kepadatan ikan pada pengangkutan berperan dalam tingkat stres ikan. Umumnya kepadatan ikan optimal dalam pengangkutan benih ikan gurame ukuran 4 cm adalah 10 ekor/ℓ (Sendjaja dan Riski, 2002). Peningkatan kepadatan ikan pada pengangkutan berakibat dalam peningkatan ekskresi amoniak, konsumsi oksigen terlarut, dan tingkat stres ikan. Padat penebaran 40 ekor/ℓ merupakan kepadatan optimal karena memiliki tingkat kelangsungan hidup pengangkutan sebesar 86,67 % dan kualitas air selama pengangkutan yang masih dalam toleransi kehidupan ikan (Lampiran 2) serta biaya yang relatif lebih murah. Tingkat kelangsungan hidup pada pemeliharaan benih gurame selama 21 hari mengalami penurunan tiap perlakuan (Lampiran 8). Tingkat kelangsungan hidup pada akhir pengamatan yaitu 80% (20 ekor/ℓ), 77,78% (30 ekor/ℓ), 66,67% (40 ekor/ℓ) dan 53,33% (50 ekor/ℓ). Rendahnya tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan 40 ekor/ℓ dan 50 ekor/ℓ diduga karena kerusakan insang pada ikan uji. Tingkat kerusakan insang setelah pemeliharaan masih tinggi (perlakuan 50 ekor/ℓ) sehingga menyebabkan ikan mengalami gangguan khususnya gangguan pernafasan. Menurut Fujaya (2004), insang memiliki peranan penting bagi kehidupan ikan yaitu sebagai alat pernafasan utama dari ikan. Selain sebagai alat pernafasan, insang juga berperan sebagai alat pengukur tekanan antara air dan dalam tubuh ikan (osmoregulasi). Laju pertumbuhan harian ikan gurame pada perlakuan kepadatan 20 ekor/ℓ, 30 ekor/ℓ, 40 ekor/ℓ dan 50 ekor/ℓ tidak berbeda namun laju pertumbuhan harian tertinggi terjadi pada perlakuan kepadatan 50 ekor/ℓ. Tingginya laju pertumbuhan harian pada perlakuan 50 ekor/ℓ dapat disebabkan karena pada perlakuan ini, tingkat kelangsungan hidup ikan lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan ikan lainnya sehingga persaingan ikan terhadap ruang dan makanan menjadi berkurang. Selain itu, kerusakan insang pada perlakuan 50 ekor/ℓ yang cukup tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya menyebabkan laju pertumbuhan harian antar ikan menjadi tidak seragam.