BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit yang ditandai dengan kadar
glukosa darah yang melebihi normal (hiperglikemia) sebagai akibat dari tubuh
yang kekurangan insulin (Geurin and Reveillere, 2011). Diabetes mellitus disebut
juga the silent killer karena dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan
berbagai macam keluhan, antara lain gangguan penglihatan mata, katarak,
penyakit jantung, sakit ginjal, gangguan pembuluh darah, stroke, dan lain-lain
(Fatimah, 2015).
Menurut International Diabetes Federation (IDF) bahwa diabetes mellitus
merupakan penyebab kematian urutan ke-7 didunia. Pada tahun 2012 Badan
Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa angka kejadian diabetes mellitus
didunia yaitu sebanyak 371 juta jiwa. Proporsi kejadian dari semua populasi
penderita DM, yaitu hanya 5% penderita DM tipe 1 dan 95% merupakan penderita
DM tipe 2 yang kebanyakan telah mengalami resisten insulin (Departemen
Kesehatan RI, 2007).
Pendekatan farmakologis untuk mengobati diabetes mellitus tipe 2 telah
banyak dilakukan, salah satunya dengan menggunakan Obat Hipoglikemik Oral
(OHO), yaitu metformin (Departemen Kesehatan RI, 2009). Akan tetapi,
pengobatan dengan obat oral hipoglikemik masih belum memuaskan dalam
mengontrol kadar glukosa jangka panjang pada kebanyakan pasien dan terkadang
terdapat efek samping (Heater et al., 2001).
Akhir-akhir ini, kecenderungan manusia untuk kembali ke alam semakin
meningkat, termasuk penggunaan obat-obatan herbal antidiabetes yang berasal
dari tumbuhan (Rifaii et al., 2012). Pencegahan DM dengan obat herbal dipercaya
sebagai sebuah alternatif untuk manajemen penyakit ini. Tanaman herbal yang
dapat digunakan sebagai antidiabetes adalah daun salam (Eugenia polyantha
Wight). Selain sebagai antidiabetes, daun salam
1
1
juga digunakan sebagai
pelengkap bumbu masak, menyembuhkan diare, sakit maag, dan mabuk akibat
alkohol (Hembing, 1996). Pada penelitian Studiawan dan Mulja (2005), bahwa
ekstrak etanol daun salam dengan dosis 2,62 mg/20 gram BB dan 5,24 mg/20
gram BB dapat menurunkan secara bermakna kadar glukosa darah mencit jantan
yang diinduksi dengan aloksan karena terdapat tannin, saponin, alkaloid,
flavonoid, sertaminyak atsiri (0,05%) yang mengandung sitral dan eugenol.
Pemberian dalam bentuk ekstrak maupun fraksi aktif tanaman secara
konvensional masih dianggap memiliki kekurangan karena kelarutannya yang
rendah dan berakibat pada bioavailabilitas oral yang kurang maksimal, serta
memerlukan dosis yang cukup besar dalam penggunaannya untuk mencapai
efektivitas terapi (Bansal et al., 2010). Oleh karena itu, salah satu terobosan agar
biovaibilitas obat herbal dapat maksimal dengan membuat ukuran partikelnya
menjadi nano (nanoemulsi).
Pembuatan nanoemulsi dapat diformulasikan dengan metode SNEDDS
(Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System), SNEDDS adalah campuran
isotropik minyak, surfaktan, kosurfaktan, dan obat yang memiliki kemampuan
membentuk nanoemulsi dalam media berair (Patel et al., 2011a; Date and
Nagarsenker, 2007). Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System telah terbukti
dapat meningkatkan bioavailabilitas obat lipofilik melalui pemberian oral
(Makadia et al., 2013). Minyak merupakan salah satu komponen penting dalam
formulasi SNEDDS, dalam penelitian ini digunakan Virgin Coconut Oil (VCO)
sebagai komponen minyak. Virgin Coconut Oil (VCO) merupakan minyak yang
dihasilkan dari buah kelapa yang pada umumnya merupakan sumber triasil
gliserol rantai sedang (Medium Chain Triglycerides, MCTs), jumlahnya mencapai
60% dari total kandungan minyak (Norulaini et al., 2009). Penggunaan VCO
rantai sedang dalam SNEDDS diharapkan dapat menghasilkan emulsi berukuran
nanometer.
Pada penelitian ini akan dilakukan uji mengenai pemberian sediaan
SNEDDS yang didapatkan dari fraksi etil asetat daun salam (Eugenia polyantha
Wight) dengan menggunakan VCO sebagai antidiabetes tipe 2 resisten insulin
kemudian dilakukan pengamatan struktur histologi organ pankreas, hepar, dan ren
hewan uji tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkanlatarbelakangtersebutmakadapatdirumuskanpermasalahansebagaiberi
kut:
1. BagaimanaefektivitassediaanSNEDDSdari fraksi etil asetat daunsalam
sebagaiantidiabetes mellitus tipe 2 resisten insulin?
2. BagaimanaefektivitassediaanSNEDDS
darifraksi
etil
asetat
daunsalamdibandingkan metformin, fraksi etil asetat daun salam, dan
kombinasi (SNEDDS daun salam dan metformin) sebagaiantidiabetes
mellitus tipe 2 resisten insulin?
3. Bagaimanapengaruh metformin, fraksi etil asetat daun salam, SNEDDS
daun salam, dan kombinasi (SNEDDS daun salam dan metformin)
terhadap histologi pankreas, hepar, dan ren tikus putih (Rattus norvegicus)
galur Wistar?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu:
1. MengetahuiefektivitassediaanSNEDDSdari fraksi etil asetat daun salam
sebagaiantidiabetes mellitus tipe 2 resisten insulin.
2. Mengetahui efektivitassediaanSNEDDS darifraksi etil asetat daun salam
dibandingkan metformin, fraksi etil asetat daun salam, dan kombinasi
(SNEDDS daun salam dan metformin) sebagaiantidiabetes mellitus tipe 2
resisten insulin.
3. Mengetahui pengaruh metformin, fraksi etil asetat daun salam, SNEDDS
daun salam, dan kombinasi (SNEDDS daun salam dan metformin)
terhadap histologi pankreas, hepar, dan ren tikus putih (Rattus norvegicus)
galur Wistar.
D. ManfaatPenelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada
kalangan civitas akademik dan masyarakat mengenai efektivitas sediaanSNEDDS
dari fraksi etil asetat daun salam (Eugenia polyantha Wight) sebagai antidiabetes
mellitus tipe 2 resisten insulin dan melihat pengaruh metformin, fraksi etil asetat
daun salam, SNEDDS daun salam, dan kombinasi (SNEDDS + metformin)
terhadap histologi pankreas, hepar, dan ren tikus putih (Rattus norvegicus) galur
Wistar.Selain itu diharapkan mampu membantu industri obat sebagai dasar
pengembangan produk baru berupa sediaan SNEDDS (Self- Nanoemulsifying
Drug Delivery System) sehingga dapat memberikan efek bermakna dalam
penyembuhan diabetes mellitus tipe 2 resisten insulin dan dapat mengurangi
konsumsi obat-obatan kimia.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. TinjauanPustaka
1. Tanaman Salam (Eugenia polyantha Wight)
a.
Deskripsi dan Klasifikasi Salam
Gambar 1. Daun Salam (Sabandar, 2010)
Menurut Dalimartha (2000), salam merupakan pohon bertajuk
rimbun dengan tinggi mencapai 25 m, batang bulat dengan permukaan
licin, dan akar tunggang. Daun salam berbentuk lonjong dan elips serta
mempunyai sistem pertulangan yang menyirip, letaknya berhadapan, dan
tunggal. Bunga salam majemuk bersusun, berwarna putih, dan baunya
harum. Buahnya merupakan buah buni dengan bentuk bulat, rasanya sepat,
berwarna hijau (saat muda), dan merah gelap (saat masak). Biji salam
berwarna cokelat dan bentuknya bulat.
Mempunyai tangkai sari yang berwarna cerah, yang kadangkadang menjadi bagian bunga. Bakal buah tenggelam, mempunyai 1
tangkai putik, beruang 1 sampai banyak, dengan 1-8 bakal biji dalam tiap
ruang. Biji dengan sedikit atau tanpa endosperm, lembaga lurus, bengkok
atau melingkar (Van Steenis, 2003).
5
Klasifikasi salam adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Filum
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliate
Ordo
: Myrtales
Family
: Myrtaceae
Genus
: Eugenia
Spesies
: Eugenia polyantha Wight
(Tjitrosoepomo, 1998; Van Steenis, 2003).
b. Manfaatdaunsalam
Daunsalammemilikimanfaatfarmakologisuntukmengobatibeberapam
acampenyakit.
Ekstrakakardanbuahnyamemilikikemampuanuntukmenetralisirkonsumsialk
ohol.
Sedangkanekstrakdaunsalambiasanyadigunakanuntukmenghentikandiare,
gastritis, diabetes mellitus, dan gatal (Wijayakusuma dkk., 1992).
Penelitian mengenai pemanfaatan daun salam sebagai antidiabetes
telah
banyak
dilakukan.
Menurut
penelitian
Limawan
(1998),
bahwainfusdaunsalamdengandosis 175 mg/kgBByang diberikan ke hewan
uji
kelincidapatmenurunkankadarglukosadarahkelinci.
Serta
menurut
penelitian Aryanti (2015), bahwa infus daun salam dengan kadar 35%
dilaporkan mempunyai efek penurunan kadar glukosa darah setelah
pembebanan dengan glukosa pada kelinci setara dengan glibenklamid dosis
0,33 gram/kg BB kelinci.
c. Kandungan Kimia Daun Salam
Dalambeberapastudi,
daun
salammemilikibanyaksifatkimia.
Sifatkimiaterdiridaritanin, alkaloid, flavonoid,saponin, danminyakesensial
(0,05%) termasukasamsitratdan eugenol (Winarto dan Tim, 2004).
Tanindigunakansebagaiobatsaluranpencernaanataukulit (Rahardjo, 1996).
Tanin
juga
Efekfarmakologisdanfisiologis
dapatdigunakansebagai
antidiare.
tannin
adalahberasaldaripembentukansenyawakompleksberuparantaihidrogendani
nteraksihidrofobikantaratannindan protein (Mahtuti, 2008).
Daunsalam
juga
mengandung
alkaloid.
Beberapa
alkaloid
dilaporkanmemilikiaktivitasantidiabetes, diantaranyakriptolepin, sejenis
alkaloid indolkuinolin yang menurunkankadar glukosadarahpadamencit
diabetes (Bnouhamet al., 2006). Selain itu, alkaloidberberine juga dapat
menurunkan
kadar
glukosa
dengancaramenurunkanaktivitas
darah
transaminase
mencit
diabetes
danproduksikreatinin
(Punithaand Shirwaikar, 2006).
Flavonoid
termasuksenyawafenolik,
kumarin,
danasamferulat
(termasuksenyawafenolik)
memilikiaktivitasantidiabetesdengancarameningkatkanproliferasidansekres
i
insulin
padasel
β
pankreas
(Tankoet
al.,
2007).
Saponinadalahglikosidatriterpenadan
sterol,
beberapasaponindilaporkanmemilikiaktivitasantidiabetes
di
antaranyasaponin yang diisolasidariakarAralia elataSeem (elastosida E)
dansaponin
yang
menurunkankadar
diisolasidaridaunAcanthopanaxsenticocusdapat
glukosadarahpascamakanpadamencit
diabetes
tanpamenurunkankadar glukosadarahpadamencit normal (Bnouhamet al.,
2006).
2. Diabetes Mellitus (DM)
Diabetes
Mellitus
(DM)
didefinisikansebagaisuatupenyakitataugangguanmetabolisme
multietiologi
yang
ditandaidengantingginyakadar
glukosadarah,disertaidengangangguan
protein
kronisdengan
metabolisme
sebagaiakibatinsufisiensifungsi
insulin.
karbohidrat,lipid,
Insufisiensi
dan
insulin
dapatdisebabkanolehgangguanataudefesiensiproduksi insulin olehsel-sel β
Langerhans
kelenjar
pankreas,
ataudisebabkanolehkurangresponsifnyasel-
seltubuhterhadap insulin (WHO, 1999).
Diabetes mellitus terjadi karena tubuh kekurangan hormon insulin yang
berfungsi memanfaatkan glukosa sebagai sumber energi dan mensintesa lemak
(Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005; Syamsudin et al., 2010). Akibatnya,
glukosa di dalam darah akan terakumulasi atau menumpuk (hiperglikemia) dan
akhirnya dieksresikan lewat kemih (glikosuria) tanpa digunakan, karena itu
produksi kemih sangat meningkat dan mengakibatkan penderita sering
mengeluarkan air seni, merasa amat haus, berat badan menurun, dan terasa
lelah (Tjay dan Rahardja, 2007; Pasaribu,dkk., 2012).
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi dua kategori etiopatogenetik,
yaitu
a. DM Tipe 1 (Insulin-Dependent Diabetes Mellitus/IDDM)
Diabetes mellitus tipe 1, disebabkan oleh kerusakan autoimun yang
dimediasi oleh sel pankreas (American Diabetes Association, 2008).
Diabetes mellitus tipe 1 terjadi karena kerusakan sel β pankreas (reaksi
autoimun). Sel β pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang
menghasilkan insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam
tubuh. Bila kerusakan sel β pankreas telah mencapai 80-90% maka gejala
DM mulai muncul. Perusakan sel ini lebih cepat terjadi pada anak-anak
daripada dewasa. Sebagian besar penderita DM tipe 1 dikarenakan proses
autoimun dan sebagian kecil non autoimun.
Diabetes mellitus tipe 1 yang tidak diketahui penyebabnya disebut
sebagai type 1 idiopathic, pada penderita ditemukan insulinopenia tanpa
adanya petanda imun dan mudah sekali mengalami ketoasidosis. DM tipe 1
sebagian besar (75% kasus) terjadi sebelum usia 30 tahun (John, 2006).
Defisiensi insulin menyebabkan penurunan efisiensi penggunaan
glukosa oleh berbagai jaringan perifer dan peningkatan pembebasan glukosa
ke dalam sirkulasi dari hati (Ganong, 1998). Kondisi ini menyebabkan
meningkatnya kadar glukosa plasma hingga mencapai 300-1200 mg/100
mL. Tingginya kadar glukosa plasma menimbulkan dampak yang beragam
didalam tubuh (Guyton dan Hall, 2006).
b. DM Tipe 2 (Non Insulin-Dependent Diabetes Mellitus/NIDDM)
Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit kronik dan dapat
menimbulkan komplikasi, baik berupa komplikasi makrovaskular maupun
mikrovaskular. Penyakit DM tipe 2 disebabkan oleh obesitas, diet tinggi
lemak, rendah serat, kurang gerak badan, dan faktor herediter. Peningkatan
gula darah pasca makan (postprandial hyperglycemia) merupakan awal
terganggunya metabolisme yang terjadi pada DM tipe 2 (Suyono, 2002).
Pada penderita DM tipe 2 terjadi hiperinsulinemia, tetapi insulin
tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi
resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan menghambat
produksi glukosa oleh hati. Terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin
sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah), akan
mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan
berkurangnya sekresi insulin sehingga selβ pankreas akan mengalami
desensitisasi terhadap adanya glukosa (Ndraha, 2014).
Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan
sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. Diabetes mellitus tipe ini
sering
terdiagnosis
setelah
terjadi
komplikasi
(Ndraha,
2014).MenurutUnited Kingdom Prospective Diabetes Study tampak bahwa
dalam 9 tahun, 9% pasien DM mengalami komplikasi mikrovaskular dan
20% mengalami komplikasi makrovaskular. Komplikasi makrovaskular
berupa atherosklerotik yang merupakan 75% penyebab kematian pada DM
tipe 2 (Wallace, 1999).
c.
DM Tipe 2 Resisten Insulin
Resistensi insulin adalah suatu keadaan terjadinya gangguan
respon metabolik terhadap kerja insulin, akibatnya untuk kadar glukosa
plasma tertentu dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak daripada
‘normal’ untuk mempertahankan keadaan normoglikemi (euglikemi)
(Merentek,
2006).
Menurut
Ginsberg
(2000),
resistensi
insulin
didefinisikan sebagai melemahnya kekuatan transduksi sinyal insulin yang
melibatkan beberapa aspek metabolik dan mitogenik dari fungsi sel.
Mekanisme terjadinya resistensi insulin diperantarai oleh tingginya kadar
asam lemak bebas atau metabolitnya seperti siasilgliserol, asil KoA, dan
ceramide di dalam sel (Saini, 2010; Kraegen et al., 2010).
Pada sel-sel adiposit, resisten insulin akan menyebabkan
peningkatan hidrolisis trigliserida intraseluler dan pelepasan asam lemak
ke dalam sirkulasi (Ginsberg, 2000). Pada hepatositakan menyebabkan
gangguan penekanan sintesis glikogen (Meshkani and Adeli, 2009). Pada
sel-sel otot menyebabkan penurunan sintesis glikogen otot karena
penurunan stimulasi translokasi GLUT4 dari intraseluler menuju membran
plasma (Erion and Shulman, 2010).
3. Pengaruh Asam Lemak dan Fruktosa pada Transduksi Sinyal Insulin
Fruktosa mempunyai rumus kimia yang sama dengan glukosa
(C6H12O6) namun, metabolismenya berbeda dengan metabolisme glukosa.
Fruktosa yang masuk kedalam tubuh hampir seluruhnya diambil oleh hati dan
dikonversi secara cepat menjadi glukosa, glikogen, laktat, dan lemak. Fruktosa
dapat dikonversi menjadi asam lemak didalam hepatosit (Tappy and Le, 2010).
Pada hati, fruktosa akan difosforilasi secara cepat menjadi fruktosa-1fosfat oleh enzim fruktokinase lalu diuraikan menjadi dihidroksi aseton fosfat
dan gliserildehida oleh aldolase B. Gliserildehida kemudian difosforilasi oleh
triokinase
membentuk
gliseraldehid-3-fosfat.
Gliseraldehid-3-fosfat
dan
dihidroksi aseton fosfat lebih lanjut diuraikan melalui glikolisis menjadi
piruvat (Botham et al., 2009).
Fruktosa mempengaruhi metabolisme lemak pada level dihidroksi
aseton fosfat dan piruvat di hati. Dihidroksi aseton fosfat digunakan untuk
membentuk gliserol-3-fosfat, lebih lanjut gliserol-3-fosfat digunakan untuk
sintesis trigliserida (TG). Peningkatan sintesis TG menyebabkan peningkatan
sekresi VLDL (very low density lipoprotein atau lipoprotein berdensitas sangat
rendah) dari hati. Piruvat membentuk asetil-KoA dengan bantuan piruvat
dihidrogenase.
Asetil-KoA
merupakan
sumber
karbon
utama
untuk
pembentukkan asam lemak (lipogenesis). Pada metabolisme fruktosa tidak
tergantung insulin dan tidak dibatasi oleh ATP (Adenosin Triphospate) serta
sitrat yang berbeda dengan metabolisme glukosa (Mayes, 1993).
Pada tikus normal yang diinduksi diet fruktosa tinggi (60% dari
diet)selama 10 minggu setiap harinya dapat memicu peningkatan tekanan
darah, hiperinsulinemia, hipertrigliseridemia, dan penurun sensitivitas insulin
(Song et al., 2005). Insulin memiliki efek yang bersifat luas dan kompleks, di
antaranya mengatur metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein (Ganong,
1998).
Untuk dapat menimbulkan efek, insulin harus berikatan dan
mengaktivasi reseptor membran. Reseptor insulin terdiri dari dua subunit yaitu
α dan β yang dihubungkan dengan jembatan sulfida (Guyton dan Hall, 2006).
Reseptor insulin termasuk kedalam subfamili reseptor tirosin kinase (Ogawa et
al., 1998).
Tirosin kinase yang telah aktif dapat memfosforilasi berbagai substrat
adaptor, salah satunya adalah IRS (Insulin Reseptor Substrate). Insulin
Reseptor Substrateyang terfosforilasi akan menampilkan sisi aktif untuk
berbagai molekul sinyal. Molekul utamanya adalah PI3K (Phosphatidylinositol
3-Kinase) yang memiliki peranan penting dalam fungsi insulin, terutama
melalui aktivasi jalur Akt/PKB (Protein Kinase B) dan PKC (Protein Kinase
C) (Kido et al., 2001; Siddle, 2011).
Resistensi insulin dikaitkan dengan tingginya kadar asam lemak bebas
atau metabolitnya didalam cairan intraseluler. Keberadaan metabolit dari asam
lemak seperti diasilgliserol, asetil KoA, dan ceramide didalam sel dapat
menyebabkan fosforilasi serin/treonin pada IRS. Insulin Reseptor Substrate
(IRS) yang terfosforilasi serin/treonin tidak dapat mengaktivasi PI3K, sehingga
menghambat transduksi sinyal insulin. Transduksi sinyal insulin yang
terhambat diantaranya akan menyebabkan GLUT-4 tidak dapat bertranslokasi
menuju membran plasma, terjadi penurunan uptake glukosa oleh jaringan,
sehingga kadar glukosa darah tetap tinggi (Shulman, 2000; Saini, 2010).
4.
Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS)
Nanoemulsi adalah campuran isotropik dari minyak, air, surfaktan,
dan kosurfaktan yang stabil dan jernih yang telah bercampur dengan media
berair (Thakur et al., 2013). Nanoemulsi memilikiukuranberkisarantara 1-100
nm danmemilikipermukaan yang lebihluasdibandingkandenganpartikel yang
memilikiukuranlebihdari 100 nm padajumlahberat yang sama (Hosokawa et
al., 2007).
Keunggulanpartikelberukurannanoyaknikemudahanpenetrasimelaluik
apilersehinggaketersediaanobatpadasel
target
lebihmaksimal.
Nanopartikeldapatmenghantarkanobatdenganlebihbaikke
lebihkecildalamtubuh,
unit
mengatasiresistensiakibatbarrierfisiologitubuh
yang
dan
dapatditargetkansehinggamengurangitoksisitassertameningkatkanefisiensidist
ribusiobat,
mengurangirisikoefeksampingakibatpenggunaanobat
mengiritasisalurancerna,
percepatan,
yang
waktudisolusiobat,
danmeningkatkandispersiobat (Pintoet al., 2006; Rawatet al., 2006).
Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) adalah
campuran isotropik minyak, surfaktan, kosurfaktan, dan obat yang memiliki
kemampuan membentuk nanoemulsi minyak dalam air di bawah pengadukan
ringan diikuti pengenceran dalam media berair (Patel et al., 2011a; Date dan
Nagarsenker, 2007). Memiliki ukuran sekitar 200 nm atau kurang setelah
pengenceran dengan air dan pengadukan (Constantinides, 1995; Pouton,
2000),sehingga luas antarmuka minyak/air bertambah, diikuti dengan
peningkatan kelarutan, selanjutnya akan meningkatkan bioavailabilitas
(Hugger et al., 2002 dalam Wahyuningsih dan Putranti, 2015).
Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System dapat dengan mudah
menyebar dalam saluran pencernaan, motilitas pada pencernaan lambung dan
usus, serta memberikan agitasi yang diperlukan untuk self emulsification.
Keuntungan SNEDDS adalah proteksi zat obat yang sensitif, penargetan
selektif obat dalam penyerapan spesifik di gastrointestinal, dan peningkatan
bioavailabilitas oral sehingga memungkinkan pengurangan dosis. Tetesan
minyak untuk meminimalkan iritasi yang sering ditemui selama kontak
diperpanjang antara zat obat massal dan dinding usus. Selain itu, partisi obat
antara minyak dan air memiliki luas permukaan yang lebih besar (Hiral et al.,
2013).
SNEDDS (Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System) terdiri dari
beberapa komponen, yaitu:
1. Minyak
Pada formula SNEDDS, fase minyak sangat penting karena fase
minyak mempunyai kemampuanuntuk membentuk nanoemulsi secara
spontan, ukuran tetesan nanoemulsi, dan kelarutan obat dalam sistem
(Makadia dkk., 2013). Dalam mendapatkan emulsifikasi dan drug loading
yang bagus maka digunakan campuran minyak dan trigliserida rantai
sedang (6-12 karbon). Trigliserida rantai sedang ini mempunyai
solventcapacity yang tinggi dan resisten terhadap oksidasi (Debnath et al.,
2011).Sehinggacampuran minyak dan trigliserida akan menghasilkan
karakteristik fase minyak yang dibutuhkan dalam sistem SNEDDS
(Makadia dkk., 2013).
2. Surfaktan
Surfaktan adalah suatu senyawa yang mengandung rantai
hidrokarbon panjang dengan ujung hidrofiliknya netral atau ionik. Ujung
hidrokarbon dari surfaktan bersifat hidrofobik dan larut dalam zat non
polar, sedangkan ujung ion bersifat hidrofilik dan larut dalam air (Othmer,
1993).
3. Kosurfaktan
Molekul rantai pendek atau kosurfaktan dapat membantu
menurunkan tegangan antar muka sehingga dapat mengecilkan ukuran
partikel nanoemulsi (Debnath et al., 2011). Alkohol rantai pendek yang
biasa digunakan sebagai kosurfaktan tidak hanya mampu menurunkan
tegangan muka antara air dan minyak saja, namun juga dapat
meningkatkan mobilitas ekor hidrokarbon surfaktan sehingga lebih mudah
terlarut dalam minyak (Debnath et al., 2011; Thakur et al., 2013).
5. Metformin
Metformin adalahobatantidiabetes oral golongandimetilbiguanide yang
digunakanuntukmenurunkankadarglukosadarahpadapasien
diabetes
mellitustipe 2terutama yang resisten insulin. Mekanismekerja metformin
adalah
menambahuptake
glukosadijaringanperiferdenganmeningkatkansensitifitasjaringanterhadap
insulin, menekanproduksiglukosaolehhati, menurunkanoksidasifatty acid,
danmeningkatkanpemakaianglukosadalamususmelalui proses non oksidatif.
Ekstralaktat
yang
terbentukakandiekstraksiolehhatidandigunakansebagaibahanbaku
gluconeogenesis (Baileyand Turner, 1996).
Rata-rata penurunan glukosa darah setelah pemberian meformin, yaitu
sebesar 25-30%. Selain memberikan efek penurunan glukosa darah,
metformin juga dapat memperbaiki profil lipoprotein darah, dan menurunkan
berat badan penderita diabetes (Hardjosaputra,2008).
Gambar 2. Struktur Metformin (Anisa, 2013).
6. Histopatologi
Suatu sel akan menunjukkan gejala kerusakan ketika mendapatkan
paparan atau perlakuan dari luar terhadap sel tersebut. Terdapat dua macam
kerusakan sel yang dikenali, yaitu:
a. Degenerasi
Dalam
bidang
patologi,
degenerasi
didefinisikan
sebagai
kehilangan struktur dan fungsi normal sel sebelum kematian (Spector et
al., 1993). Menurut Atmodjo (1990), degenerasi reversibel sel sebagai
akibat pengaruh agen penyebab yang ditandai oleh gangguan metabolisme
sel berupa peningkatan katabolisme dan gangguan transportasi bahanbahan yang berakibat penimbunan bahan-bahan abnormal intra maupun
eksternal.
b. Nekrosis
Nekrosis adalah degradasi atau disorganisasi seluler yang
irreversibel atau kematian jaringan tubuh sebagai akibat agen yang masuk.
Nekrosis ditandai dengan perubahan morfologi yang nyata pada inti sel,
sebagai piknosis (penggumpalan kromatin dengan selaput inti berkerut),
karyoreksis (selaput inti pecah dengan fragmentasi intinya), dan karyolisis
atau kromatolisis (seluruh inti melarut) (Atmodjo, 1990).
B. KerangkaPemikiran
Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit yang disebut the silent killer yang
merupakan penyebab kematian urutan ke-7 di dunia. Angka kejadian menurut
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2012 sebanyak 371 juta jiwa. Dari
semua penderita diabetes mellitus, sebanyak 95% diantaranyamengalami diabetes
tipe 2 yang kebanyakan telah mengalami resisten insulin. Pendekatan
farmakologis dengan pengobatan berbahankimiamemberikandampaknegatif yang
cukupbesarsedangkanpemberianekstrakmaupunfraksiaktiftanamansecarakonvensi
onalumumnyamemilikikelarutan
oral
yang
yang
kurangmaksimal,
rendahdanberakibatpadabioavailabilitas
sertamemerlukandosis
cukupbesardalampenggunaannyauntukmencapaiefektivitasterapi.
formulasiSNEDDS
menjadipilihan
diharapkandapatmeningkatkankelarutandanbioavailabilitas
yang
Olehkarenaitu,
yang
oral
darifraksiaktif
(dalampenelitianiniadalahfraksietilasetat) daunsalam dan dilihat pengaruhnya
terhadap histologi organ pankreas, hepar, dan ren.
Jumlah penderita diabetes
mellitus tipe 2 semakin
bertambah
Penggunaan obat
kimia berdampak
negatif
Pemberian ekstrak atau
fraksi tanaman
mengurangi bioavaibilitas
oral
Daun salam (Eugenia
polyantha Wight) tumbuh
subur dan banyak dijumpai di
Indonesia dan mengandung
alkaloid, flavoniod, dan
saponin untuk antidiabetes
Pembuatan formulasi
SNEDDS fraksi etil asetat
daun salam
Tikus normal
Diberi diet
lemak tinggi
dan fruktosa
Tikus diabetes
mellitus tipe 2
resisten insulin
Pengukuran kadar
glukosa darah tikus
Uji aktivitas
SNEDDS daun
salam terhadap DM
tipe 2 resisten
insulin
Gambaran histologi
pankreas, hepar,
dan ren
Gambar 3. Bagan Alir KerangkaPemikiran
C. Hipotesis
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah :
1. Sediaan SNEDDS yang didapatkan dari fraksi etil asetat daun salam
efektif menurunkan kadar glukosa darah pada diabetes mellitus tipe 2
resisten insulin.
2. Sediaan SNEDDS fraksi etil asetat daun salam lebih efektif menurunkan
kadar
glukosa darah pada diabetes mellitus tipe 2 resisten insulin
dibandingkan metformin, fraksi etil asetat, dan kombinasi (SNEDDS daun
salam dan metformin).
3. Metformin, fraksi etil asetat, SNEDDS dari fraksi etil asetat, dan
kombinasi (SNEDDS daun salam dan metformin)dapat mempengaruhi
histologi pankreas, hepar, dan ren tikus putih (Rattus norvegicus) galur
Wistar.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Desember 2015.
Pembuatan nanoemulsi dilaksanakan di Laboratorium Prodi Farmasi,Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pengukuran kadar glukosa dilaksanakan di Laboratorium Prodi Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pemeliharaan dan pengambilan sampel darah dilaksanakan di Laboratorium Pusat,
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pembuatan dan pengamatan histologi
pankreas, hepar, dan ren tikus di Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Uji transmitansi, waktu emulsifikasi, dan ukuran partikel di
Laboratorium Pengujian Obat, Makanan, dan Kosmetik Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan diantaranya adalah spektrofotometer UV-Vis, kuvet,
toples kaca maserasi, oven, batang pengaduk, penyaring/kain flanel, rotary
evaporator, waterbath, gelas ukur, gelas beker, vortex, microtube1,5 mL, neraca
analitik, hematokrit, centrifuge, tabung eppendorf, sonikator,hotplate, magnetic
stirrer, mikropipet 1000 µL, mikropipet 10 µL, tip, mortar, sonde oral, kandang
tikus, timbangan pakan, tempat pemeliharaan, tempat minum dan makan, sarung
tangan, dan masker, pisau scalpel, gunting, pinset, cetakan parafin, blok,
mikrotom, dan mikroskop digital perbesaran 1000x.
Bahan yang digunakan yaitu daun salam 6,5 kg, aquades, etil asetat,
komponen pembawa fraksi (minyak VCO), surfaktan dan kosurfaktan (tween 80;
PEG 400), heparin, pakan biasa merk comfeed (80%), lemak babi (15%), kuning
telur
bebek
(5%),
larutan
Na-CMC
0,5%,
reagen
GlucoseGOD
FS,
metformin,glibenklamid, fruktosa, organ pankreas, hepar, ren, BNF 10% (buffer
neutral formalin), alkohol 30%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 95%, 96%, alkohol
absolut I dan II, toluol, xilol, parafin,
18 Mayer’s albumin, air, parafin, dan
Hemaktosilin-Eosin (HE). Hewan uji pada penelitian ini menggunakan tikus putih
jantan (Rattus norvegicus) galur Wistar, berumur + 3 bulan dengan berat 150-200
gram yang diperoleh dari Boyolali.
C. Cara Kerja
1. Pemisahan komponen daun salam (Eugenia polyantha Wight)
a. Pembuatan Bubuk Simplisia Daun Salam
Daun salam sebanyak
6,5 kgdidapat dengan membeli di pasar
Klepu, Ceper, Klaten kemudian disortir segar dengan memisahkan antara
daun dengan tangkai dan pengotor lainnya. Daun yang telah dipisahkan
kemudian dikeringkan menggunakan oven sehingga dihasilkan simplisia
kering. Simplisia kering tadi dihaluskan menggunakan blender sehingga
diperoleh serbuk simplisia (Unpublish Data, 2016).
b. Ekstraksi dan Fraksinasi Serbuk Simplisia Daun Salam
Serbuk simplia selanjutnya diekstraksi menggunakan metode
maserasi dengan pelarut etil asetat. Maserasi dilakukan dengan merendam
500 gram serbuk simplisia dengan pelarut 4 Lselama 9 hari, disaring
sehingga didapatkan maserat. Maserat yang diperoleh dipisahkan dari
serbuk simplisia dengan cara menuangkan maserat melalui corong yang
sudah dilengkapi dengan kain flanel, kemudian maserat daun salam yang
diperoleh dievaporasi menggunakan rotary evaporator dengan suhu 55o C
dan kecepatan 6 rpm hingga volume maserat yang dievaporasi berkurang
sekitar setengahnya. Setelah itu maserat yang telah dievaporasi dipanaskan
diatas waterbath hingga menjadi ekstrak kental (Unpublish Data, 2016).
2. Pembuatan SNEDDS Fraksi Etil Asetat Daun Salam
Tahapan optimasi formula SNEDDS sebagai berikut:
a.
Optimasi formulasi komposisi minyak dengan surfaktan dan kosurfaktan,
Setiap formula dibuat sebanyak 5 mL dalam botol vial. Hasil
campuran surfaktan dan kosurfaktan yang optimal ditambahkan minyak
VCO sebanyak 1 mL lalu dihomogenkan dengan stirer cimarec selama 30
menit, sonikator selama 15 menit, dan dikondisikan dalam waterbath pada
suhu 45°C selama 10 menit. Hasil pencampuran didiamkan selama 24 jam
pada suhu ruangan untuk dilihat homogenitasnya. Formula yang tetap
homogen (tidak memisah) merupakan formula yang dipilih untuk
formulasi nanoemulsi selanjutnya(Unpublish Data, 2016).
Tabel 1. Rasio Surfaktan dan Kosurfaktan
b.
Pemilihan formula SNEDDS
Sebanyak 100 μL calon formula SNEDDS ditambah aquades
hingga volume akhir 50 mL (Patel et al., 2011a, 2011b). Homogenisasi
campuran dilakukan dengan bantuan vortex selama 30 detik. Hasil
pencampuran berupa emulsi yang homogen dan memberikan tampilan
visual jernih menjadi tanda awal keberhasilan pembuatan nanoemulsi.
c.
Pengamatan emulsi SNEDDS
SNEDDS yang telah diemulsikan kemudian diukur transmitansinya
menggunakan spektrofotometri pada panjang gelombang 650 nm dengan
blanko aquades untuk mengetahui tingkat kejernihannya (Patel et al.,
2011a, 2011b). Semakin jernih atau transmitansi semakin mendekati
transmitansi aquades maka diperkirakan tetesan emulsi telah mencapai
ukuran nanometer (Mason et al., 2006), kemudian dilanjutkan dengan
pengamatan waktu emulsifikasi untuk memperoleh gambaran kemudahan
SNEDDS membentuk emulsi saat berada didalam tubuh (saluran
pencernaan) (Wahyuningsih dan Putranti, 2015).
3. Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Tipe 2Resisten Insulin
Pembuatan tikus diabetes mellitus tipe 2 resisten insulin dengan cara
tikus diberi diet lemak-fruktosa. Diet lemak dilakukan dengan memberikan
pakan kaya lemak dengan komposisi pakan biasa yaitu pakan biasa merk
comfeed(80%), lemak babi (15%), dan kuning telur bebek (5%). Berdasarkan
hasil orientasi, jumlah konsumsi makanan maksimum sebanyak 20 gram/tikus.
Diet fruktosa yaitu fruktosa diberikan sebesar 3,3 gram/kgBB tikus peroral.
Untuk minum, tikus diberikan air ledeng secara ad libitum.Berdasarkan
penelitian Sholihah (2013), yang menggunakan metode yang sama dengan
induksi selama 65 hari didapatkan hasil bahwa tikus mengalami resisten
insulin, pada penelitian ini perlakuan diet lemak tinggi dan fruktosa ini
dilakukan selama 80 hari untuk menyakinkan bahwa tikus memang telah
resisten insulin.
Untuk mengetahui tikus yang resisten insulin, dengan cara menghitung
kadar glukosa darah yang berasal dari aktivitas hipoglikemik glibenklamid.
Sebelumnya tikus dibagi menjadi kelompok normal dan kelompok diet lemakfruktosa. Tikus dipuasakan selama 8-12 jam kemudian diambil darahnya. Tikus
lalu diberikan suspensi glibenklamid dalam Na-CMC 0,5% dengan dosis 10
mg/kgBB peroral. Setelah 2 jam diambil darahnya lagi, kemudian dihitung
daya hipoglikemiknya dalam persen dan dibandingkan dengan tikus normal.
Tikus diasumsikan resisten insulin apabila persen daya hipoglikemiknya lebih
rendah secara bermakna dibandingkan tikus normal setelah pemberian
glibenklamid tadi (Sholihah, 2013).
4. Pengujian Aktivitas Farmakologi Senyawa Uji
Pengujian
aktivitas
antidiabetes
senyawa
uji
penelitian
ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah dengan hewan uji
berjumlah tiga puluh ekor yang dibagi menjadi enam kelompok, yaitu satu
kelompok normal dan lima kelompok tikus diabetes mellitus resisten insulin
(tikus DM RI) sebagaimana disajikan berikut:
kelompok I
: kontrol normal, tikus normal diberi aquades, sehari sekali
peroral;
kelompok II
: kontrol negatif, tikus DM RI diberi aquades, sehari sekali
peroral;
kelompok III
: kontrol positif, tikus DM RI, diberi metformin 45 mg/kg
BB, sehari sekali peroral;
kelompok IV
: tikus DM RI, diberi fraksi etil asetat daun salam dosis
183,5 mg/kg BB, sehari sekali peroral;
kelompok V
: tikus DM RI, diberi SNEDDS fraksi etil asetat daun salam
dosis 183,5 mg/kg BB, sehari sekali peroral;
kelompok VI
: tikus DM RI, diberi kombinasi ½ dosis metformin (22,5
gram/kgBB) + ½ dosis SNEDDS fraksi etil asetat daun
salam 91,75 mg/kg BB, sehari sekali peroral.
5. Pengukuran Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar Jantan
Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan pada hari ke-0, hari ke-80,
dan hari ke-95 (hari ke- 15 setelah pemberian perlakuan). Pengukuran kadar
glukosa darah dilakukan pada hari ke-0 dimaksudkan untuk mengetahui kadar
glukosa awal darah tikus, kemudian dilakukan pemberian diet kaya lemakfruktosa selama 80 hari agar tikus Wistar jantan hingga mengalami resistensi
insulin. Setelah mengalami resistensi insulin, tikus diberi perlakuan sesuai
kelompoknya selama 15 hari.
Pengambilan darah melalui vena orbitalis menggunakan hematokrit
sebanyak 1 mL, darah ditampung dalam microtube berukuran 1,5 mL yang
sebelumnya telah dioleskan heparin. Selanjutnya darah diinkubasi selama 15
menit kemudian disentrifugasi selama 20 menit dengan kecepatan 4000 rpm.
Setelah disentrifugasi, sebanyak 10 µL serum darah diambil dan direaksikan
dengan 1000 µLreagen GlucoseGOD FS, kemudian divortex dan diinkubasi
dalam suhu ruang selama 20 menit. Pengukuran gukosa darah diukur dengan
menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 500 nm,
sebelumnya telah dibuat larutan blanko yang merupakan campuran dari 10
µLaquades dan 1000 µLreagen GlucoseGOD FS. Sedangkan untuk standarnya
dibuat dengan mencampurkan 10 µL standar reagenGlucoseGOD FSdan 1000
µLreagen GlucoseGOD FS.
Penetapan kadar glukosa menggunakan metode GOD-PAP dengan
reagen kit Glucose GOD FS dari Diasys. Reagen tersebut terdiri buffer fosfat,
fenol, 4- aminoantipirin, GOD (glucose oxidase), POD (peroxidase).
Perhitungan kadar glukosa dengan rumus :
Terjadi interaksi antara glukosa dan O₂ kemudian dioksidasi oleh enzim
glukosa oksidase (GOD) membentuk asam glukonat dan H2O2. Hidrogen
Peroksida yang terbentuk (H2O2) akan bereaksi dengan 4-aminoantipirin dan
fenol kemudian membentuk kuinoimin yang berwarna merah violet. Intensitas
warna merah yang dihasilkan kuinoimin menunjukkan kadar glukosa dalam
darah (Dias, 1999).
6. Pembuatan Preparat Histologi
Organ pankreas, hepar, dan ren setelah hari ke-95 diambil dengan
membedah perut tikus putih yang dibunuh dengan cara dislokasi serviks.
Pembuatan preparat histologi organ pankreas dilakukan dengan prosedur
(Suntoro, 1983) sebagai berikut:
a. Fiksasi
Sediaan organ pankreas direndam dalam larutan buffer neutral
formalin (BNF) 10%.
b. Dehidrasi
Proses
dehidrasi
dilakukan
menggunakan
alkohol
dengan
konsentrasi bertingkat yang terdiri dari alkohol 70% untuk washing,
kemudian alkohol 70% lagi, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut II dan
alkohol absolut III. Selanjutnya clearing dengan memasukkan sediaan ke
dalam toluol over night.
c. Infiltrasi
Organ dimasukkan ke dalam xilol parafin 1 : 1 selama 60 menit,
parafin I 60 menit, parafin II 60 menit.
d. Penyelubungan (Embedding) dan Pencetakan (Blocking)
Sediaan yang telah diinfiltrasi ditanam dalam cetakan yang telah di
isi parafin cair. Hasil cetakan yang sudah mengeras dikeluarkan dari
cetakan dan blok yang diperoleh dapat disimpan setelah over night.
e. Pemotongan
Sediaan dalam blok parafin dipotong menggunakan mikrotom
dengan ketebalan 6 µm hingga terbentuk coupes.
f. Penempelan (Affixing)
Coupes diletakkan di atas gelas benda yang sebelumya dioles
dengan Mayers albumin kemudian ditetesi air untuk mencegah terjadinya
lipatan pada pita dan diletakkan di atas hot plate. Sediaan selanjutnya
dikeringkan over night.
g. Pewarnaan (Staining)
Sediaan kemudian diwarnai dengan Hemaktosilin-Eosin (HE)
melalui tahapan xilol I 15 menit, xilol II 5 menit, kemudian dicelupkan
beberapa celupan ke dalam alkohol absolut, 96%, 90%, 80%, 60%, 50%,
30%, dan hemaktosilin selama beberapa detik. Gelas benda yang berisi
sediaan dialiri air yang mengalir selama 10 menit, celup di aquades,
alkohol 30%, 50%, 60%, 70%, direndam di eosin Y selama 2 menit.
Masuk ke alkohol 80%, 90%, 96%, xilol 15 menit.
h. Penutupan
Sediaan ditetesi dengan enthelan, kemudian ditutup dengan gelas
penutup.
7. Pengamatan Histologi
Preparat histologi organ pankreas, hepar, dan ren di amati dengan
menggunakan mikroskop digital perbesaran 1000x. Perhitungan sel dilakukan
secara acak pada preparat organ. Perhitungan dilakukan dengan cara
menghitung sel yang mengalami kerusakan (piknosis, karyoreksis, dan
karyolisis) perseratus jumlah sel seluruhnya dalam 1 bidang pengamatan,
kemudian dihitung persentase kerusakan.
D. Analisis Data
Kadar glukosa darah diperoleh dar pengukuran kadar glukosa pada hari ke-0,
80, dan 95. Nilai kadar glukosa hari ke-0 dan hari ke-80 diuji statistik dengan
paired t-test untuk melihat apakah terdapat perbedaan yang signifikan.
Berdasarkan hasil statistik tadi, dapat diketahui apakah pemberian diet lemakfruktosa mempengaruhi kadar glukosa darah tikus secara signifikan dibandingkan
tikus normal.
Nilai kadar glukosa preprandial dan setelah pemberian glibenklamid
dapatdihitung dengan rumus:
Daya hipoglikemik (%)=
glukosa preprandia l−setelah glibenklamid
glukosa preprandial
𝑋 100%
Nilai kadar glukosa hari ke-80 dan hari ke-95 diuji menggunakan statistik
paired t-test untuk melihat terdapat perbedaan yang bermakna atau tidak. Dari
hasilnya akan diketahui apakah pemberian sediaan uji dapat menurunkan kadar
glukosa darah tikus secara signifikan.
Nilai kadar glukosa darah hari ke-80 dan hari ke-95 dihitung persen daya
hipoglikemiknya dengan rumus:
Daya hipoglikemik (%)=
glukosa hari 80−glukosa hari 95
glukosa hari 80
𝑋 100%
Nilai persen daya hipoglikemik pada tiap kelompok dihitung rata-rata dan
disajikan dalam bentuk grafik. Hasilnya kemudian diuji LSD dan uji statistik oneway ANOVA dengan tingkat kepercayaan 95% (Sholihah, 2013).
Analisis gambaran histologi organ pankreas, hepar, dan ren tikus jantan
galur Wistar dengan cara menghitung kerusakan sel (piknosis, karyoreksis, dan
karyolisis) per seratus sel dalam 1 bidang pandang untuk mendapatkan persentase
total kerusakan sel dengan pengulangan 1 kali. Data yang diperoleh dianalisis
secara deskriptif.
Download