BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian Gagal jantung masih merupakan beban besar bagi masyarakat di seluruh dunia karena biaya perawatannya yang besar, kualitas hidup yang buruk dan kematian dini bagi penderitanya. Hal ini diperkirakan akan terus meningkat selama beberapa dekade mendatang. Insidensi gagal jantung mendekati 10 per 1000 populasi usia diatas 65 tahun. Pada usia 80 tahun risiko untuk terjadinya gagal jantung baru berkisar 20% baik pada pria maupun wanita (Lloyd-Jones et al., 2010). Insidensi gagal jantung di negara berkembang meningkat dari 1,5-4% menjadi 6,7-9% (Mendez and Cowie, 2001). Sedangkan jumlah orang yang berusia > 60 tahun diperkirakan menjadi dua kali lipat pada tahun 2025 dan tiga kali lipat pada tahun 2050 secara global (Asia Pacific Cohort Studies Collaboration, 2006). Di Indonesia terdapat peningkatan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit akibat gagal jantung. Di Rumah Sakit Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita di Jakarta, pada tahun 2007 terdapat 1409 pasien dan meningkat menjadi 1476 pada tahun 2008 dan terjadi peningkatan mortalitas di rumah sakit sekitar 12% (Siswanto et al., 2010). Penelitian modern telah menghasilkan berbagai perkembangan dalam strategi manajemen gagal jantung dengan target terapi pada penyebab yang mendasari, patofisiologi serta gejala yang terkait dengan gagal jantung. Intervensi non-farmakologis merupakan bagian penting dari pengobatan, meliputi pemantauan pasien, pendidikan terhadap pasien dan keluarga tentang penyebab dan gejala gagal jantung, perubahan gaya hidup, pengaturan cairan dan pola makan (Hunt et al., 2009). Pembatasan natrium sebesar 2-3 g/hari dan restriksi cairan hingga 2 L/hari dianjurkan pada pasien dengan hiponatremia (Na<130 mEq/dL) dan bagi mereka dengan status cairan yang sulit dikendalikan meskipun telah dilakukan pembatasan natrium dan penggunaan diuretik dosis tinggi (Lindenfeld et al., 2010). 2 Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa penelitian membuktikan bahwa konsentrasi plasma natrium saat masuk rumah sakit merupakan prediktor independen terhadap peningkatan rehospitalisasi dan mortalitas pada pasien rawat inap karena gagal jantung. Pada penelitian eksperimental randomisasi yang menilai efek intervensi multidisiplin oleh perawat terhadap readmisi pada 282 pasien rawat inap karena perburukan gagal jantung menunjukkan bahwa penurunan kadar natrium plasma merupakan prediktor independen untuk readmisi (Rich et al., 1995). Penurunan 3mEq/L kadar natrium plasma saat masuk dikaitkan dengan peningkatan relatif 20% readmisi dalam waktu 90 hari dari saat keluar rumah sakit (De Luca et al., 2005). Hiponatremia pada pasien gagal jantung terutama disebabkan oleh meningkatnya aktivitas arginin vasopressin (AVP). Arginin vasopressin meningkatkan reabsorpsi air bebas pada duktus kolektivus ginjal, meningkatkan volume darah dan mengencerkan konsentrasi natrium plasma. Hiponatremia juga dapat dipicu oleh terapi diuretik yang digunakan dalam terapi gagal jantung (Oren, 2005). Cardiac output dan tekanan darah yang rendah pada gagal jantung kongestif memicu respon kompensasi tubuh, mengaktifkan sistem neurohormonal yang dirancang untuk mempertahankan volume darah dan tekanan arteri. Aktivasi neurohormonal pada pasien gagal jantung (kadar norepinefrin, renin dan arginin vasopressin plasma) berhubungan dengan beratnya penurunan fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi) dan hubungan tersebut independen terhadap kelas fungsional maupun obat-obatan yang sedang digunakan (Benedict et al., 1994). 3 Haus merupakan simptom yang umum dan mengganggu bagi pasien dengan gagal jantung. Terapi farmakologi dan non farmakologi serta perjalanan alamiah gagal jantung dapat meningkatkan haus. Haus dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang berhubungan dengan gagal jantung. Patofisiologi dari gagal jantung, dengan cardiac output yang rendah dan peningkatan aktivasi sistem neurohormonal seperti sistem renin-angiotensin-aldosteron akan merangsang pusat haus di hipotalamus. Pengalaman menyatakan bahwa banyak pasien gagal jantung mengeluh rasa haus berlebihan (Holst et al., 2008). Gejala ini juga mungkin tampak paradoks mengingat bahwa kemampuan sensasi haus berkurang pada usia lanjut (Farrell et al., 2008). Pada penelitian yang membandingkan rasa haus pada usia lanjut dengan dan tanpa gagal jantung, diperoleh hasil bahwa pada pasien usia lanjut dengan gagal jantung secara signifikan melaporkan rasa haus yang lebih intensif bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (Waldreus et al., 2011). Hubungan antara keseimbangan cairan dengan rasa haus telah banyak dipelajari pada orang muda dan sehat (Sewards and Sewards, 2000), tetapi jarang dilakukan pada usia lanjut. Hubungan antara rasa haus dengan fraksi ejeksi dan kadar natrium plasma pasien gagal jantung kronis usia lanjut belum diketahui. B. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat korelasi antara derajat rasa haus dengan fraksi ejeksi dan kadar natrium plasma pada gagal jantung kronis usia lanjut? 4 C. Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara derajat rasa haus dengan fraksi ejeksi dan kadar natrium plasma pada gagal jantung kronis usia lanjut. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: • Bagi penderita: haus merupakan salah satu gejala pada pasien gagal jantung usia lanjut, keluhan rasa haus harus disampaikan kepada dokter agar dapat dikelola dengan baik. • Bagi klinisi: rasa haus merupakan salah satu keluhan yang harus ditanyakan pada pasien pasien gagal jantung usia lanjut, perlu dilakukan pengelolaan secara menyeluruh. • Bagi peneliti: menambah pengetahuan terutama mengenai rasa haus pada pasien gagal jantung usia lanjut dan membuat penelitian yang baik. • Bagi institusi: mendapatkan data tentang rasa haus pada pasien gagal jantung untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut. 5 E. Keaslian penelitian Penelitian yang dilakukan oleh Benedict et al (1994), menghubungkan antara fraksi ejeksi dengan aktifasi neurohormonal pada pasien gagal jantung dengan mengukur kadar norepinefrin, renin, arginin vasopressin dan atrial natriuretic peptide. Pada penelitian ini fraksi ejeksi dihubungkan dengan derajat rasa haus dan kadar natrium plasma. Wirth and Folstein (1982) melakukan penelitian rasa haus pada pasien hemodialisis rutin. Rasa haus dihubungkan dengan peningkatan berat badan diantara dialysis dan antara rasa haus dengan sejumlah pemeriksaan fungsi tubuh rutin. Penelitian ini dilakukan pada pasien dengan gagal jantung kronis, rasa haus dihubungkan dengan fraksi ejeksi dan kadar natrium plasma. Holst et al (2008), membandingkan efek restriksi cairan (1,5 L/hr) dengan liberal (30-35 ml/kgBB/hr) terhadap kualitas hidup, kapasitas fisik, rasa haus dan perawatan rumah sakit pada pasien yang telah membaik dari kelas fungsional NYHA III-IV menjadi stabil tanpa tanda klinis kelebihan cairan. Waldreus et al. (2011), membandingkan rasa haus pada pasien usia lanjut dengan gagal jantung yang mengalami perburukan dengan pasien usia lanjut tanpa gagal jantung. Keaslian penelitian dirangkum dalam tabel 1. Sepengetahuan peneliti saat ini belum ada penelitian yang dilakukan di Indonesia khususnya di DIY yang melihat hubungan antara derajat rasa haus dengan fraksi ejeksi dan kadar natrium plasma pada pasien gagal jantung kronik usia lanjut. 6 Tabel 1. Keaslian penelitian Peneliti Desain Hasil Benedict et al, 1994 Cross sectional study Terdapat hubungan yang signifikan antara fraksi ejeksi dan peningkatan kadar norepinefrin plasma (r=-0,18, p<0,0001), rennin plasma (r=0,24, p<0,0001), arginin vasopressin (r=-0,12, p<0,0001), atrial natriuretic peptide (r=-0,37, p<0,0001). Penurunan fraksi ejeksi berhubungan signifikan dengan peningkatan kadar norepinefrin, renin dan atrial natriuretic peptide. Wirth and Folstein, 1982 Observational study Terdapat hubungan yang signifikan antara rasa haus pada pasien hemodialisis rutin yang tidak memiliki ginjal dengan peningkatan berat badan (r= 0,78, p< 0,002), sedangkan pada pasien hemodialisis rutin dengan ginjal, korelasinya lemah (r= 0,46, p< 0,064). Holst et al, 2008 Randomised cross-over study Tidak ada perbedaan signifikan antara restriksi cairan (1,5 L/hr) dengan liberal (30-35 ml/kgBB/hr) terhadap kualitas hidup, kapasitas fisik, atau perawatan rumah sakit. Terdapat perbedaan signifikan dalam rasa haus. Waldreus et al. 2011 Case control study Pasien usia lanjut dengan gagal jantung merasakan lebih haus (median=75 mm) dibandingkan dengan usia lanjut tanpa gagal jantung (median= 25 mm, p<0,0001).