FENOMENA PENGEMIS DI KOTA TANJUNGPINANG NASKAH PUBLIKASI Skripsi Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoeh Gelar Serjana Bidang Sosiologi Oleh: RAJA NILA KURNIA SURYANINGSIH MARISA ELSERA PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2016 FENOMENA PENGEMIS DI KOTA TANJUNGPINANG Raja Nila Kurnia Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji 2016 ABSTRAK Skripsi ini membahas fenomena pengemis di kota Tanjungpinang, yang mana rumusan masalahnya adalah keberadaan pengemis kota Tanjungpinang dilihat dari dimensi kultural, structural, dan jaringan sosial. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana keberadaan pengemis di kota Tanjungpinang dilihat dari dimensi kutural, sturuktural, dan jaringan sosial. Dimana, masalah gelandangan dan pengemis merupakan suatu permasalahan yang dihadapi oleh kota Tanjungpinang. Penelitian ini dilakukan berdasarkan Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan Lingkungan yang mana menyatakan bahwa dilarang mengemis di muka umum. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui keberadaan pengemis kota Tanjungpinang dilihat dari dimensi kultural, structural, dan jaringan sosial, dengan menggunakan tekhnik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan studi documenter yang selanjutnya dianalisa secara kualitatif. Adapun hasil penelitian di lapangan ditemukan bahwa tidak semua pengemis di kota tanjungpinang yang mengalami kondisi fisik yang cacat. Banyak dijumpai pengemis yang kondisi fisiknya masih kuat untuk mencari pekerjaan yang lain. Selain itu ditemukan juga bahwa ada beberapa pengemis yang sudah mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa modal usaha (UEP) Kata Kunci : Fenomena Pengemis Di Kota Tanjungpinang FENOMENA PENGEMIS DI KOTA TANJUNGPINANG Raja Nila Kurnia Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji 2016 ABSTRACT This thesis discusses the phenomenon of beggars in the city of Tanjungpinang, with the formulation of the problem is the presence of beggars Tanjungpinang city views from the cultural dimension, structural, and social networks. This study was conducted to determine how the presence of beggars in the city of Tanjungpinang seen from the dimensions kutural, sturuktural, and social networks. Where, bums and beggars problem is a problem faced by the city of Tanjungpinang. This research was conducted by law No. 8 of 2005 concerning Orderliness, Cleanliness and Beauty Environment stating that it is forbidden to beg in public. The type of research used in this research is descriptive research is to determine the presence of beggars Tanjungpinang city views from the cultural dimension, structural, and social networks, using techniques of collecting data through observation, interviews, and documentary studies were then analyzed qualitatively. Based on the results of research in the field found that not all beggars in the city of Tanjungpinang experiencing physical condition defects. Found many beggars are still strong physical condition for finding another job. In addition it also found that there are some beggars who have received assistance from the government in the form of venture capital (UEP). Keywords: Beggars phenomenon in Tanjungpinang A. Pendahuluan Latar Belakang Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah yang penting saat ini di Indonesia, sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia. Masalah kemiskinan ini sangatlah kompleks dan bersifat multidimensional, dimana berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya. Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal di belahan dunia, khususnya Indonesia yang merupakan negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, dimana negara berkembang 'identik dengan 'kemiskinan'. Menurut Parsudi Suparlan kemiskinan adalah sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah; yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral dan harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin. (Hartomo, 2008:315). Semakin sempitnya lapangan pekerjaan maka semakin sulit seseorang mendapatkan pekerjaan sehingga membuat semakin mundurnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Sulitnya mendapatkan pekerjaan merupakan salah satu alasan seseorang menjadi pengemis. Pendapat Soerdjono Soekanto tentang pengemis adalah seseorang yang meminta uang atau barang lain kepada orang lain yang tidak mempunyai kewajiban sosial untuk menanggung hidupnya (1985: 51). Fenomena munculnya pengemis diindikasikan karena himpitan ekonomi yang disebabkan sempitnya lapangan kerja, sumber daya alam yang kurang menguntungkan dan lemahnya sumber daya manusia (SDM). Berdasarkan Permensos No.08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial yang dimaksud denganpengemisadalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. (http://www.academia.edu/8020154/Makalah_tentang_Pengemis) Penyebaran pengemis di Indonesia sudah sangat luas jangkauannya.Saat ini pengemis tidak hanya terdapat di kota-kota besar tetapi juga banyak terdapat di kotakota kecil. Daya tarik yang terdapat di kota-kota besar tidak menyurutkan niat pengemis untuk merantau ke kota-kota kecil demi mencari peruntungan sebagai pengemis. Jarak yang jauh dari kota asal mereka rela ditempuh demi mendapatkan pekerjaan yang mudah dengan pendapatan yang lebih baik sebagai pengemis seperti yang terjadi di kota Tanjungpinang. Pengemis di kota Tanjungpinang yang kebanyakan pengemis merupakan pengemis pendatang dari pulau Sumatra dan Jawa serta pengemis yang sudah dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing akan terus kembali ke kota Tanjungpinang dan sudah ada perda yang mendukung pelarangan mengemis di tempat umum tetapi masih dijumpai pengemis yang mengemis di tempat umum adalah hal yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengemis di kota Tanjungpinang. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, yang jadi permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah bagaimana keberadaan pengemis di kota Tanjungpinang di lihat dari aspek kultural, struktural dan jaringan sosial. C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana keberadaan pengemis di kota Tanjungpinang di lihat dari aspek kultural, struktural dan jaringan sosial. 2. Kegunaan penelitian Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat menjadi acuan informasi dalam penelitian mendatang, untuk menambah wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa, dan dapat memberikan sumbangsih serta kontribusi bagi pengembangan sosiologi sebagai bidang ilmu kemasyarakatan D. Konsep Operasional Menindaklanjuti bagaimana keberadaan pengemis di kota Tanjungpinang di lihat dari aspek kultural, struktural dan jaringan sosial, maka konsep-konsep yang dioperasionalkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pengemis Pengemis adalah seorang yang tidak mempunyai penghasilan tetap, dan pada umumnya hidup dengan cara mengandalkan belas kasian dari orang lain. Pengemis yang berada di kota Tanjungpinang biasanya beroperasi di sekitar pasar, lampu-lampu merah, dan dirumah-rumah makan, Pengemis yang ketidakberdayaan mengubah nasib karena struktur sosial yang tidak mendukung sehingga mereka tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Keberadaan pengemis dilihat dari: a. Dimensi kultural Dimensi kultural yaitu kemiskinan yang muncul karna tututan tradisi/adat yang membebani ekonomi masyarakat sehinga untuk mempunyai pendapatan yang praktis demi menutup beban ekonominya mereka memilih jalan pintas untuk mendapatkan uang. b. Dimensi struktural Dimensi struktural yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karna struktur sosial sehinga mereka tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya, sehingga masyarakat yang tidak mempunya skil dalam bekerja ataupun pengetahun mereka lebih memilih jalan pintas untuk mendapatkan uang dengan cara mengimis dan minta belas kasihan dari orang lain ditambah lagi mereka mengandalkan ketidak kesempurnaan fisik yang ada pada mereka. c. Jaringan sosial Jaringan sosial merupakan hubungan – hubungan yang tercipta antar banyak individu dalam suatu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok lainya. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini bersifat kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif , yang bertujuan membuat gambaran dan lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta dan sifat serta hubungan antara fenomena objek yang diselidiki. Sebagaimana dikemukakan oleh Moleong (2000:3) mengatakan “metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati secara holistic (menyeluruh). 2. Lokasi Penelitian Adapun lokasi yang akan menjadi lokasi penelitian ditetapkan di Kota Tanjungpinang Kepulauan Riau. Alasan memilih lokasi ini adalah bahwa Tanjungpinang merupakan salah satu tujuan wisata yang ada di Kepulauan Riau yang seharusnya terbebas dari pengemis. Seperti yang telah disebutkan pada latar belakang diatas, pengemis yang ada di Tanjungpinang kebanyakan merupakan pendatang dari pulau Sumatra dan pulau Jawa dan sudah ada perda yang mendukung tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan Lingkungan yang menyatakan bahwa dilarang menggelandang/mengemis dimuka umum tetapi masih banyak dijumpai pengemis yang mengemis di tempat umum di kota Tanjungpinang. 3. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah: a. Data Primer, yaitu data yang di dapatkan langsung dari informan melalui wawancara bebas dan wawancara secara mendalam dari informan. b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari obyek penelitianseperti studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari bahan-bahan tertulis, mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen, foto, majalah, jurnal, artikel, dan internet serta literatur-literatur yang dianggap relevan dengan penelitian ini. 4. Populasi dan Sampel Sesuai dengan jenis penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa penelitian deskriptif kualitatif tidak menggunakan populasi dan sampel, tetapi digunakan dengan pendekatan secara intensif kepada responden yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian ( Sugiyono 2006 ) Adapun informan dalam penelitian ini adalah pengemis.Penentuan informan dilakukan secara purposive sampling yaitu informan dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Informan yang dipilih sebagai sumber data dalam penelitian ini merupakan orang-orang yang dianggap telah mampu memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti yaitu pengemis dengan kriteria pengemis yang cacat dan tidak cacat, pengemis yang ada pada usia 30-65 tahun, pengemis yang asli orang Tanjungpinang dan pengemis pendatang, pengemis yang bersekolah dan tidak bersekolah dan pengemis yang menerima bantuan modal usaha dan tidak menerima bantuan modal usaha dari pemerintah. 5. Teknik Dan Alat Pengumpulan Data hal ini beberapa sumber data atau teknik pengumpulan data yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara yang mendalam, observasi, dan dokumentasi. 1. Observasi Pengamatan dalam istilah sederhana adalah proses peneliti dalam melihat situasi penelitian. Dalam penelitian ini yang diamati tentunya adalah pengemis dan kesehariannya, seperti bagaimana mereka berinteraksi, bekerja, bagaimana lingkungan tempat tinggalnya, bagaimana penampilan mereka sehari-hari. 2. Wawancara Wawancara merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan, dengan maksud mendapatkan gambaran lengkap tentang topik yang diteliti. Wawancara mendalam dilakukan secara langsung dan berulang-ulang. Wawancara langsung dan mendalam menggunakan instrument penelitian berupa interview guide. Interview guide berisikan daftar pertanyaan yang sifatnya terbuka yang digunakan untuk menjadikan wawancara yang dilakukan agar lebih terarah bertujuan menggali informasi yang akurat dari informan. Yang akan diwawancarai adalah mengapa banyak dijumpai pengemis di Tanjungpinang. 3. Dokumentasi Dokumentasi digunakan sebagai penunjang penelitian penulis, dimana dalam dokumentasi ini dapat melihat, mengabadikan gambar dilokasi penelitian. Selain itu dokumentasi juga digunakan untuk mengumpulkan data-data yang berbentuk catatan berupa hasil-hasil wawancara, serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian, seperti dokumen profil kota Tanjungpinang, jumlah pengemis di kota Tanjungpinang F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dalam penyusunan skripsi, maka penulis menyusun sistemtika penulisan terdiri dari 5 bab sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Pada BAB pertama ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, kerangka teori, konsep operasional, metode penelitian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada BAB kedua ini berisikan tinjauan pustaka yang mana literatur berkaitan dengan judul yang akan diteliti, dan kerangka teori yang akan digunakan penulis. BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Pada BAB ketiga ini berisikan tentang gambaran umum tentang lokasi penelitian serta fenomena pengemis di Kota Tanjungpinang. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada BAB keempat ini berisikan hasil penelitian dan pembahasan berupa hasil dari penelitian dan analisis dengan kesesuaian terhadap teori. Bab ini berisikan tentang uraian hasil penelitian dan pembahasan mengenai fenomena pengemis di Kota Tanjungpinang. BAB V PENUTUP Pada BAB lima berisi kesimpulan dari keseluruhan objek peneitian yang diteliti serta saran dari hasil penelitian. Peneliti menguraikan mengenai kesimpulan dan saran yang diperoleh dari keseluruhan hasil penelitian yang telah dilakukan. G. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengemis Masalah sosial gelandangan dan pengemis merupakan fenomena sosial yang tidak bisa dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat. Terutama yang berada di daerah kota Tanjungpinang. Akhir-akhir ini, publik kembali dibuat gelisah akibat kehadiran anak jalanan (anjal), gelandangan dan pengemis (gepeng), pengamen dan pedagang asongan di sejumlah tempat di kota Tanjungpinang. Terutama, di Lampu Merah, Pasar, Rumah Makan, dan bahkan di Tempat Ibadah (Masjid). Kehadiran anak jalanan dan pengamen serta gelandangan pengemis seringkali membuat pengunjung tidak nyaman, dan mereka kerap menggunakan katakata kasar bahkan memaksa masyarakat untuk memberi sedekah atau membayar mereka mengamen. Kehadiran mereka, baik di jalanan maupun di tempat-tempat vital lainnya membuat publik terusik dengan beragam aksi yang dilakukannya. Hal inilah yang membuat pemerintah melalui Satpol PP harus seseringkali mengadakan penertiban di sejumlah tempat/lampu merah. Meskipun Pemko Tanjungpinang sudah mengeluarkan dan menerapkan Peraturan Daerah Tanjungpinang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan Lingkungan, namun anak jalanan dan gelandangan pengemis masih saja berkeliaran di kota Tanjungpinang. Dalam hal ini, Pemerintah Dinas Sosial kota Tanjungpinang selalu mengimbau kepada masyarakat untuk tidak memberi uang kepada anak jalanan. Imbauan tersebut sangat beralasan karena dengan memberikan uang kepada anjal atau gepeng (gelandangan dan pengemis), akan mematikan kreativitas mereka sebagai generasi muda. Di kemudian hari, mereka akan mewarisi predikat kemiskinan serta menjadi sumber keresahan dan penyakit sosial di masyarakat. Pengemis adalah orang-orang yang diberikan uang melalui minta-minta terhadap orang lain. Pekerjaan ini bersifat rutin dan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau keluarga. Pendapat Soerdjono Soekanto tentang pengemis adalah seseorang yang meminta uang atau barang lain kepada orang lain yang tidak mempunyai kewajiban sosial untuk menanggung hidupnya (https://sudarianto.wordpress.com/2008/02/08/apa-itu-pengemis/ ) B. Kemiskinan Kemiskinan menjadi momok dalam masyarakat. Berbagai upaya dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi angka kemiskinan tidak turun secara signifikan. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2015 diprediksi mencapai 30,25 juta orang atau sekitar 12,25 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Kenaikan jumlah penduduk miskin ini disebabkan beberapa faktor, termasuk kenaikan harga BBM, inflasi, dan pelemahan dolar. Jika berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin pada tahun 2014, presentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 11,25 persen atau 28,28 juta jiwa, maka pada 2015 ada tambahan penduduk miskin sekitar 1,9 juta jiwa.(http://www.republika.co.id/berita/koran/pareto/15/01/02/nhjny6-tantangankemiskinan-pada-2015) Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kehidupan yang pokok. Dikatakan berada dibawah kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh, dan lain-lain. Pendekatan kemiskinan dikelompokkan menjadi tiga macam pendekatan yaitu: 1. Kemiskinan Kultural. Kemiskinan kultural yaitu kemiskinan yang muncul karena tuntutan tradisi/adat yang membebani ekonomi masyarakat, seperti sikap mentalitas penduduk yang lamban, malas, konsumtif serta kurang orientasi ke depan. 2. Kemiskinan Struktural Kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial sehingga mereka tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural ini terjadi karena kelembagaan yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. 3. Kemiskinan Alamiah kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber daya yang langka jumlahnya, atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Termasuk didalamnya adalah kemiskinan akibat jumlah penduduk yang melaju dengan pesat ditengah-tengah sumber daya alam yang tetap. ( Pheni Chalid, 2006: 6.3 ) C. Jaringan Sosial Di dunia ini bisa dikatakan bahwa tidak ada manusia yang tidak menjadi bagian dalam jaringan-jaringan hubungan sosial dengan manusia lainnya didalam masyarakatnya. Dengan kata lain, manusia di bumi ini selalu membina hubungan sosial dengan siapa pun, manusia lain dimana dia tinggal dan hidup sebab manusia pada dasarnya tidak dapat/sanggup hidup sendiri. Berdasarkan hal ini maka sebuah masyarakat bisa dipandang sebagai jaringan hubungan sosial antar individu yang sangat kompleks. Bila ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jaringanjaringan sosial yang ada dalam masyarakat , dapat dibedakan menjadi tiga jenis jaringan sosial, yaitu: 1. Jaringan Interest (jaringan kepentingan), dimana hubungan-hubungan sosial yang membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kepentingan. Jaringan kepentingan terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial yang bermakna pada „tujuan-tujuan‟ tertentu atau khusus yang ingin dicapai oleh pelaku. Bila tujuan-tujuan tersebut sifatnya spesifik dan konkret seperti memperoleh barang, pelayanan, pekerjaan dan sejenisnya setelah tujuan-tujuan tersebut tercapai biasanya hubungan-hubungan tersebut tidak berkelanjutan. 2. Jaringan Sentiment (jaringan emosi) yang terbentuk atas dasar hubunganhubungan sosial yang bermuatan emosi, jaringan emosi terbentuk atas hubungan-hubungan sosial, dimana hubungan social itu sendiri menjadi tujuan tindakan sosial misalnya dalam pertemanan percintaan, atau hubungan kerabat, dan sejenisnya. Struktur sosial yang dibentuk oleh hubunganhubungan emosi ini cenderung lebih mantap atau permanen. 3. Jaringan Power, dimana hubungan-hubungan sosial yang membentuknya adalah hubungan-hubungan social yang bermuatan power. Pada jaringan power, konfigurasi-konfigurasi saling keterhubungan antarpelaku di dalamnya disengaja atau di atur. Tipe jaringan sosial ini muncul bila pencapaian tujuan-tujuan yang telah di targetkan membutuhkan tindakan kolektif, dan konfigurasi saling keterhubungan antarpelaku biasanya dibuat permanen. Hubungan-hubungan power ini biasanya ditujukan pada penciptaan kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. H. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Kota Tanjungpinang Kota Tanjungpinang awal mulanya merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Bintan, yang dahulunya bernama Kabupaten Kepulauan Riau. Laju pertumbuhan diberbagai sektor kehidupan masyarakat dan laju gerak pembangunan serta yang berdekatan dengan negara Singapura dan Malaysia menjadikan kota Tanjungpinang tidak lagi mencerminkan sebagai Ibukota Kecamatan. Hal tersebut mendorong pemerintah Kabupaten Riau untuk meningkatkan status Tanjungpinang sebagai sebuah Kota Administratif. Pada tanggal 18 Oktober 1983, kota administratif Tanjungpinang diresmikan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1983 Tentang Pembentukan Kota Administratif Tanjungpinang. Kemudian berdasarkan Undangundang Nomor 5 Tahun 2001 Tanjungpinang dinaikkan statusnya menjadi Daerah Otonom kota Tanjungpinang. Perubahan status diikuti dengan pemekaran kecamatan yang semula terdiri dari 2 kecamatan berubah menjadi 4 kecamatan, dengan 18 kelurahan. 1. Keadaan Geografis Secara geografis wilayah kota Tanjungpinang terletak di Pulau Bintan dengan posisi berada 2. Keadaan Demografi Kota Tanjungpinang berada di salah satu tanjung dan teluk pulau Bintan yang merupakan bagian dari Kepulauan Riau, yang berdekatan dengan pulau batam sebagai pusat petumbuhan baru Indonesia bagian barat dan Kepulauan Riau serta berdekatan dengan negara tetangga Singapura. Penduduk kota Tanjungpinang cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari setiap tahunnya. Salah satu dari penyebab terjadinya peningkatan penduduk tersebut adalah adanya urbanisasi yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota. I. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Informan Informan dalam penelitian kualitatif sengaja dipilih oleh peneliti, karena dianggap mampu memberikan informasi seputar masalah yang sedang diteliti. Dalam penelitian ini, informan yang dipilih adalah pengemis yang memang beroprasi di kota Tanjungpinang, Informan mengetahui secara jelas bagaimana kondisi pekerjaan mengemis, karakteristik informan juga ditentukan berdasarkan umur, jenis kelamin, daerah asal dan status perkawinan. 1. Berdasarkan Umur kebanyakan informan adalah berumur dengan rentang usia antara 30 sampai 40 tahun yaitu sebanyak 6 orang. Penentuan informan terbanyak dalam rentang usia ini, sengaja dilakukan peneliti, mengingat bahwa pengemis dalam usia ini karena banyak dijumpai di kota Tanjungpinang dan pada umumnya masih kuat untuk bekerja. Sedangkan informan dengan rentang usia 41 sampai 48 berjumlah 3 orang sementara informan dengan rentang usia 48 sampai 65 berjumlah 1 orang. 2. Berdasarkan Jenis Kelamin jumlah informan laki-laki sebanyak 3 orang dan jumlah informan perempuan sebanyak 7 orang jika di totalkan jumlah informan seluruhnya 10 orang. Selama peneliti dilapangan lebih banyak peneliti temukan pengemis perempuan yang berada di kotaTanjungpinang dan informan hanya sebagai sample penelitian. 3. Berdasarkan Daerah Asal yang berasal dari daerah jawa yaitu berjumlah 4 orang, dan yang berasal dari kota padang yaitu berjumlah 4 orang, dan pengemis yang peneliti temukan yang berasal dari kota Tanjungpinang berjumlah 2 orang jadi total keseluruhannya berjumlah 10 orang. Dengan melihat tabel diatas dapat dikemukakan bahwa daerah asal informan dapat dikatakan dominan berasal dari daerah Pulau Jawa dan Padang. 4. Pengemis Berdasarkan Status Perkawinan informan yang sudah menikah berjumlah 5 orang, informan yang belum menikah yaitu berjumlah 2 orang, dan informan yang duda berjumlah 2 orang, sedangkan informan yang sudah janda berjumlah 1 orang. Dengan melihat table di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan informan yang sudah menikah sangat dominan dibandingkan dengan yang lainnya, hal ini sangat berpengaruh untuk mereka tetap beraktivitas mengemis supaya bisa memenuhi kehidupan sehari- hari dikeluarganya dengan cara meminta-minta tanpa harus bekerja keras, seperti masyarakat lainnya yang bekerja mengunakan tenaga dan pikiran agar bisa memenuhi kehidupan sehari-hari mereka. B. Fenomena Pengemis di Kota Tanjungpinang Pada kehidupan gepeng mereka sebagian besar merupakan prang-orang yang masih mempunyai tenaga kerja yang cukup kuat untuk bekerja dan memperoleh uang dengan hasil keringat sendiri tanpa harus mengulurkan tangan kepada orang lain untuk meminta-minta. Didalam kehidupannya gepeng adalah orang-orang yang berasal dari luar daerah yang melakukan kegiatan / aktivitas meminta-minta dengan tujuan bisa memperoleh penghasilan. Setelah diamati tempat tinggal gepeng sangat tidak layak untuk dihuni dikarenakan tempat tinggal mereka sangat kumuh dan tidak layak untuk ditempati. Mereka tinggal di kota Tanjungpinang dengan menempati kos-kosan yang seharga Rp. 150.000 perbulan. Tempat tinggal mereka terdapat di Jalan Yusudarso di Gang Tantib Kelurahan Tanjungpinang Kota yang terdiri dari 9 kamar yang dihuni oleh gepeng. Dapat dilihat bahwa gepeng merupakan orang-orang yang berasal dari luar daerah seperti dari Padang, Medan dan Jawa. Mereka melakukan kegiatan mengemis atau meminta-minta pada pagi hari sampai sore hari jam 5, dan mereka berkumpul ditempat kos-kosannya tapi setelah menjelang magrib mereka kembali lagi melakukan aktifitas meminta-minta. Dari masing-masing gepeng yang melakukan aktifitasnya tidak melakukan pada tempat yang sama setiap harinya, karena seorang pengemis yang melakukan kegiatan tersebut dalam 1 hari bisa melakkan aktifitasnya diberbagai tempat seperti pada pagi hari berada berada dipasar dan disinag harinya berada di Jalan Raya atau di Persimpangan Lampu Merah. Mereka biasanya menyebar didaerah Pamedan, Pasar Sayur KUD, di Simpang Lampu Merah di depan Museum dan di Pinang Lestari batu 9 Kota Tanjugpinang. Pada setiap hari jumat jam 11.00 mereka biasanya berkumpul di depan Mesjid Raya Kota Tanjungpinang untuk meminta-minta. Penghasilan yang didapat dari seorang pengemis bisa mencapai Rp 10.000.000 / bulan. Ini juga turut meningkatkan jumlah pengemis di kota tanjungpinang. Tentu anda bertanya-tanya bagaimana bisa seorang pengemis memiliki pendapatan mencapai Rp 10.000.000 / bulan, hal ini dapat diperjelas oleh Kasi Pelayanan dan Rehabilitas Sosial Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang menjelaskan cara menghitung pendapatan seorang pengemis / bulan. Menurut perhtungan rata-rata yang ditentukan dari pusat, dalam satu jam ada 60 menit dimana setiap lampu merah berhenti selama dua menit. Dalam waktu dua menit tersebut, seorang pengemis bisa meminta-minta ketiga hingga lima mobil dan didapat hasil rata-rata Rp 3.000 dan didapat hasil Rp 90.000. sementara itu jam kerja pengemis dimulai dari jam 08.00-16.00, itu berarti setiap harinya mereka mengemis selama enam jam. Untuk menghitung pendapatan perhari mereka, angka Rp 90.000 tersebut dikalikan selama enam jam didapat hasil Rp 540.000. Pendapatan yang cukup besar bagi mereka tentunya. Kemudian untuk menghitung pendapatan mereka per bulan dengan cara satu bulan ada 30 hari, dipotong dengan hari tidak produktif mereka selama 10 hari. Jadi hari produktif selama 20 hari tersebut dikalikan Rp 540.000 menghasilkan angka nominal mencapai Rp 10.800.000. Inilah hasil pendapatan pengemis setiap bulannya. Dengan demikian dari pihak Instansi yang terkait seperti Dinsosnaker Kota Tanjungpinang menghimbau kepada seluruh masyarakat Tanjungpinang agar tidak memberikan uang kepada para pengemis yang meminta-minta. Bukan berarti menghilangkan rasa sosial antar sesama, namun dengan cara memberikan uang justru menjadikan mereka untuk malas bekerja dan meningkatkan angka pengemis dijalanan. Setelah diadakan Tanya jawab kepada gepeng ada sebagian dari mereka mendapatkan uang bantuan dari pemerintah ada juga yang belum pernah merasakannya.Hal ini dapat dikatakan bahwa penertiban yang dilakukan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang terhadap gepeng belum cukup baik. a. Dimensi Kultural Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang diakibatkan oleh gaya hidup, perilaku, atau budaya individu/kelompok yang mendorong terjadinya kemiskinan. Kemiskinan kultural terindikasi dalam perilaku hidup boros, ketidakcakapan bekerja, dan tingkat tabungan rendah, serta adanya sikap pasrah terhadap lingkungan kemiskinan. Kemiskinan model ini memiliki korelasi dengan budaya masyarakat yang “menerima” kemiskinan yang terjadi pada dirinya apa adanya, bahkan tidak merespons usaha-usaha pihak lain yang membantunya keluar dari kemiskinan tersebut. Pengemis di Tanjungpinang sebetulnya masih mempunyai kemampuan secara fisik untuk melakukan pekerjaan lain selain menjadi pengemis. Tetapi mereka lebih memilih menjadi pengemis dengan alasan tidak ada pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan. Selain itu alasan menjadi pengemis adalah karena pekerjaan yang mudah dan penghasilan yang lumayan besar membuat mereka malas untuk bekerja keras. Didalam penelitian dilapangan berkaitan dengan keberadaan pengemis dilihat dari dimensi kultural, terdapat alasan menjadi pengemis yang terindikasi termasuk dalam dimensi kultural yaitu sebagai berikut: 1. Malas Rasa malas sejatinya merupakan sejenis penyakit mental. Siapa pun yang dihinggapi rasa malas akan kacau kinerjanya dan ini jelas-jelas sangat merugikan. Sukses dalam karir, bisnis, dan kehidupan umumnya tidak pernah datang pada orang yang malas. Rasa malas juga menggambarkan hilangnya motivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan atau apa yang sesungguhnya dia inginkan. Rasa malas didalam penelitian ini adalah rasa malas mencari pekerjaan lain selain mengemis karena mengemis adalah pekerjaan yang paling mudah dan menghasilkan uang yang lumayan banyak. Kebiasaan mengemis membuat pengemis betah menjadi pengemis karena dianggap mudah dan banyak orang yang memberikan uang karena rasa kasihan mereka tehadap pengemis. Dari hasil wawancara dari salah satu key informan mengatakan bahwasanya masyarakat dan Pemerintah Kota Tanjungpinang juga ikut terlibat dalam meningkatnya jumlah pengemis karena masyarakat dan pejabat daerah juga ikut memberikan uang kepada pengemis sehingga pengemis masih tetap bekerja menjadi pengemis karena uang yang didapat lumayan banyak. Sikap mental masyarakat kota Tanjungpinang yang sudah diajarkan dari kecil untuk memberikan sedekah kepada pengemis menjadi salah satu faktor penyeab pengemis masih ada di kota tanjungpinang karena semakin banyak yang memberi maka semakin banyak uang yang diperoleh dari hasil mengemis. Dari hasil observasi di lapangan ditemukan bahwa banyak pengemis yang kondisi fisiknya tidak cacat atau masih muda dan masih mampu bekerja lebih keras selain menjadi pengemis. 2. Tidak Merespon Bantuan Modal Usaha Dari Pemerintah Sehubungan dengan Bantuan Modal Usaha ini dapat diketahui bahwa bantuan usaha ini disebut dengan Usaha Ekonomi Produktif ( UEP ) yang mana merupakan bantuan yang diperuntukkan untuk Penambahan Modal Usaha yang telah dimiliki klien. Berdasarkan SK nomor: 572/DS/PRS/2011 tentang bantuan UEP (Usaha Ekonomi Produktif) maka akan dilaksanakan kegiatan bantuan Usaha Ekonomi Produktif ( UEP ) untuk Para Bekas Binaan Permasyarakatan (BPWP) dan Gelandangan Dan Pengemis dari dana Dekonsentrasi (APBN) Tahun anggaran 2011, untuk bantuan UEP BWPN sebanyak 10 orang, besar bantuannya adalah Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) dan bantuan untuk Gelandangan dan Pengemis sebanyak 11 orang, besar bantuannya Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) perorang, lokasi di Kota Tanjungpinang. Para BWBP dan Gepeng yang akan mendapat bantuan terlebih dahulu diseleksi sesuai dengan kereteria yang sudah ditetapkan yaitu: a. Memiliki minat untuk mengembangkan usaha dan meninggalkan profesi yang lama sebagai pengemis b. Tempat tinggal tidak berpindah-pindah c. Memiliki latar kehidupan/keluarga yang jelas alamatnya. d. Berjanji setelah menerima bantuan tidak kembali lagi menjadi gepeng 3. Pasrah Terhadap Kondisi Fisik Setiap manusia dilahirkan dengan berbagai kelebihan dan kekurangan. Tidak sedikit manusia terlahir dengan kurangnya anggota badan atau cacat. Hal ini membuat kesempatan bersekolah dan kerja menjadi terbatas karena lapangan pekerjaan yang mempekerjakan orang-orang yang kekurangan fisik sangatlah langka. Sehingga akhirnya orang-orang penyandang cacat banyak yang tidak tau harus bekerja apa untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka memilih menjadi pengemis. Selain cacat fisik faktor umur dan kesehatan juga mendorong seseorang untuk menjadi pengemis karena beralasan bahwa tidak ada orang yang akan mempekerjakan orang yang sudah tua dan sakit-sakitan sementara untuk berobat tidak ada biaya jadi akhirnya menjadi pengemis untuk menutupi biaya hidup dan untuk berobat. 4. Pasrah Terhadap Kondisi Ekonomi Kemiskinan merupakan salah satu factor seseorang menjadi pengemis. Pada umumnya seseorang menjadi pengemis karena kebanyakan alasannya adalah faktor ekonomi. Mereka mengemis demi untuk bertahan hidup dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Ada beberapa pengemis yang mengatakan bahwa mereka di kampung halamannya berkerja sebagai pengemen dan datang ke Tanjungpinang karena dijanjikan akan bekerja sebagai pelayan restoran tetapi sesampai di Tanjungpinang mereka malah ditipu dan dijual ke batu 15 kemudian mereka berhasil kabur dari batu 15 dan terpaksa menjadi pengemis untuk menyambung hidup di Tanjungpinang b. Dimensi Strutural Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang timbul karena adanya hegemoni dan kebijakan negara serta pemerintah atau orang-orang yang berkuasa, dan pembangunan yang tidak merata. Bantuan dari pemerintah sangat penting dalam mengentaskan kemiskinan. Kebijakan pemerintah yang tidak merata akanmelahirkan kesenjangan sosial sehingga masyarakat miskin yang tidak merasakan dampak dari bantuan pemerintah atau sulit mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, serta mendapatkan pekerjaan yang layak. Masyarakat miskin yang sulit mendapatkan akses tersebut harus melakukan apa saja demi mempertahankan hidupnya dan untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Salah satu yang dilakukan oleh masyarakat miskin yang menjadi dampak dari tidak merasakan kebijakan pemerintah adalah dengan menjadi pengemis. Salah satu alasan pengemis di Tanjungpinang mengemis ialah dengan sedikitnya bantuan dari pemerintah yang mereka rasakan. Karena kemiskinan yang terlalu lama membuat mereka harus melakukan seseuatu demi kelangsungan hidup mereka. 1. Akses Pendidikan Yang Sulit Pendidikan sangat penting dimiliki oleh seseorang apalagi di era globalisasi ini. Dengan pendidikan seseorang dapat bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Tetapi untuk mendapatkan pendidikan diperlukan biaya yang tidak sedikit. Bagi masyarakat miskin sangat sulit mendapatkan akses pendidikan karena tidak memiliki biaya dan dulu belum ada kebijakan pemerintah berupa beasiswa atau keringanan biaya sekolah bagi siswa yang tidak mampu. 2. Akses pekerjaan yang sulit Saat ini persaingan didalam dunia kerja sanggat ketat. Semua orang berlomba-lomba untuk mendapatkan ekerjaan yang terbaik untuk masa depan kehidupannya. Jika seseorang memiliki pendidikan yang tinggi, mempunyai keterampilan yang bagus dan mempunyai relasi maka orang tersebut akan dengan mudah mendaptkan pekerjaan yang diinginkannya. Tetapi tidak semua orang bisa memiliki kriteria yang memungkinkan ia untuk mendapatkan pekerjaan seseaui keinginannya contohnya maysrakat miskin yang tidak memiliki pendidikan, keterampilan, dan relasi kerja. Mereka akan terasingan atau tersingkirkan dari persaingan dunia kerja. Apalagi seseorang yang memiliki keterbatasan fisik atau cacat. Saat ini sangat jarang lapangan ekerjaan yang membuka kesempatan untuk menerima seseorang yang kekurangan fisik atau cacat sehingga mereka yang tersingkirkan didalam dunia kerja ni memilih kerja apa saja demi mempertahankan hidupnya salah satunya menjadi pengemis. 3. Tidak punya akses untuk terlibat dengan kegiatan pelatihan keterampilan Mempunyai keterampilan akan sangat membantu seseorang untuk mendapatkan pekerjaan. Keterampilan bisa didapat apabila seseorang beperndidikan tinggi atau berlatih di tempat pelatihan keterampilan contohnya berlatih ditempat kursus menjahit, kursus membuat makanan, kursus komputer dan sebagainya. Tetapi hal ini tidak bisa dilakukan oleh pengemis karena keterbatasan ekonomi dan fisik. Dalam hal ini pemeintah berperan penting dalam menyediakan pelatihan keterampilan khusus untuk pengemis dan gelandangan tetapi pada kenyataannya di Tanjungpinang belum ada sekolah pelatihan keterampilan khusus untuk pengemis dan gelandangan. c. Jaringan Sosial Tidak ada manusia yang tidak menjadi bagian dalam jaringan-jaringan hubungan sosial dengan manusia lainnya didalam masyarakatnya. Dengan kata lain, manusia di bumi ini selalu membina hubungan sosial dengan siapa pun, manusia lain dimana dia tinggal dan hidup sebab manusia pada dasarnya tidak dapat/sanggup hidup sendiri. Berdasarkan hal ini maka sebuah masyarakat bisa dipandang sebagai jaringan hubungan sosial antar individu yang sangat kompleks. Jaringan sosial yang tecermin dari pengemis di kota Tanjungpinang adalah mereka saling berbagi tempat untuk mengemis dan saling memberi hasil mengemis kepada teman sesame pengemis yang hasil mengemisnya terbilang sedikit. Mereka juga saling memberikan informasi disaat ada razia dari dinsos atau satpol PP. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ruddy Agusyanto yaitu suatu jaringan tipe khusus, dimana ikatan yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah hubungan sosial. Berpijak pada jenis ikatan ini, maka secara langsung atau tidak langsung yang menjadi anggota suatu jaringan sosial adalah manusia.( Jaringan Sosial Dalam Organisasi, Ruddy Agusyanto, 2007:13 ) J. PENUTUP 1. Kesimpulan Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kehidupan yang pokok. Dikatakan berada dibawah kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh, dan lain-lain. Saat ini sudah banyak kebijakankebijakan pemerintah yang dibuat untuk mengentaskan kemiskinan, akan tetapi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak dilaksanakan secara merata sehingga sebagian masyarakat ada yang belum merasakan dampak positif dari kebijakan pemerintah tersebut. Masyarakat yang belum bisa merasakan dampak dari kebijakan pemerintah akhirnya melakukan segala cara demi mempertahankan hidupnya contohnya pengemis. Pengemis di kelompokan menjadi dua yaitu pengemis kultral dan pengemis sturktural. Pengemis kultural ialah pengemis yang mempunyai sifat malas, pasrah terhadap kemiskinan, tidak respon tehadap bantuan dari pihak-pihak yang berusaha mengeluarkannya dari kemiskinan, pola pikir seperti inilah yang membuat pengemis tidak bisa keluar dari kemiskinan. Sebetulnya banyak pengemis di kota Tanjungpinang yang masih memiliki kondisi fisik yang segar dan mampu untuk memiliki pekerjaan lain selain menjadi pengemis, tetapi karena pola fikir mereka yang kultural maka terlalu sulit untuk mereka berenti dari pekerjaan mereka mengemis. Pola ikir seperti ini didukung pula oleh masyarakat Tanjungpinang dengan cara memberi pengemis uang atas dasar rasa kasihan dan untuk bersedekah karena akan mendapat pahala. Tentu saja pengemis kultural tidak akan ada jika kemiskinan struktural tidak ada. Peran pemerintah juga sangat penting guna meminimalisir munculnya pengemis di kota Tanjungpinang ini. Kemudahan akses pendidikan dan pekerjaan sangat diharapkan oleh masyarakat miskin.Bantuan dari pemerintah untuk pengemis juga dinilai terlalu sedikit dengan hanya memberikan modal usaha senilai 2 juta rupiah dan bantuan itu tidak diberikan secara terus menerus melainkan hanya sekali.Tidak adanya program pelatihan keterampilan juga perlu diperhatikan mengingat persaingan didalam dunia pekerjaan yang mengandalkan keterampilan sudah sangat banyak. Pengemis di kota Tanjungpinang harus diberi pelatihan keterampilan agar bisa bekerja atau membuat usaha lain. Berdasarkan penelitian di lapangan juga ditemukan terdapat jaringan sosial antar pengemis. Jaringan sosial ini berjenis jaringan sentiment (jaringan emosi) dimana jaringan ini terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial, dimana hubungan sosial itu sendiri menjadi tujuan tindakan sosial misalnya dalam pertemanan, kekerabatan, saling membantu dan memberi informasi apabila ada razia. 2. Saran 1. Diharapkan kepada masyarakat tanjungpinang, agar lebih memberikan peran untuk dapat membantu dalam pelaksanaan program-program yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. Karena setiap program pemerintah adalah program untuk mensejahterakan rakyatnya. 2. Diharapkan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau untuk lebih memperhatikan pengemis yang ada di kota Tanjungpinang agar dapat kiranya memberikan pengetahuan berupa pembelajaran untuk mengolah dana bantuan yang telah diberikan dengan membuka usaha kecil seperti adanya pembelajaran membuat kue, anyaman, menjahit, dan lain-lain, maka dengan demikian bantuan yang diberikan kepada pengemis dapat berjalan sesuai yang diharapkan. 3. Diharapkan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau untuk memberikan motivasi kepada gepeng untuk menggunakan bantuan modal tersebut sehingga tidak menimbulkan kejenuhan pada mereka untuk mengelola modal yang diberikan, supaya mereka meninggalkan pekerjaan yang pernah mereka lakukan dahulunya yaitu meminta-minta ditempat keramaian. 4. Diharapkan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau untuk membuat peraturan larangan kepada msyarakat kota tanjungpinang untuk tidak memberikan uang kepada pengemis. 5. Diharapkan kepada masyarakat Tanjungpinang, agar lebih memberikan peran untuk dapat membantu dalam pelaksanaan program-program yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. Karena setiap program pemerintah adalah program untuk mensejahterakan rakyatnya DAFTAR PUSTAKA Abdulsyani, sosiologi skematika, teori, dan terapan : Jakarta jl. Sawo raya no 8, PT Bumi Aksara, 2000 Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif : Jakarta, 2007, Kencana Chalid pheni, Teori dan Isu Pembangunan. Jakarta: 2006, Penerbit Universitas Terbuka Dieter evers, hans, Sosiologi Perkotaan. Jakarta: 1982, PT. Pustaka LP3ES Indonesia Dr. M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar, bandung: 1986, Refika Aditama James M. Henslin, Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi, Jakarta: 2007, Erlangga Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, bandung : 2000, Remaja Rosdakarya Narwoko j. dwi, Suyanto Bagong, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta : kencana 2010, Prenada Media Group Paul, L. Hunt Chester, sosiologi, Jakarta : 1984, Erlangga Prof. Dr. R. Nasrullah Nazsir, Drs., M.S, Sosiologi Kajian Lengkap Konsep dan Teori Sosiologi Sebagai Ilmu Sosial, Bandung: 2008, Widya Padjadjaran Rustiadi, Ernan dkk, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta :2009, Crestpent Press Soekanto soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: 2007, PT RajaGrafindo Persada Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, bandung: 2010, alfabeta Sunarto kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta : 2004, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Syahrial syarbaini rusdiyanta, Dasar-Dasar Sosiologi, Yogyakarta : 2009, Graha Ilmu SUMBER INTERNET https://sudarianto.wordpress.com/2008/02/08/apa-itu-pengemis/ http://fokedki.blogspot.com/2012/08/kriteria-kemiskinan-di-indonesia.html http://ahok.org/berita/news/larangan-memberi-pengemis-ada-di-perda-no-82007/ xa.yimg.com/.../Gepeng+dan+Wajah+Pekanbaru.doc JURNAL Skripsi Suryaningsing Pengemis Suku Minangkabau di Tanjungpinang 1994