FENOMENA PENGEMIS DI KOTA TANJUNGPINANG NASKAH

advertisement
FENOMENA PENGEMIS DI KOTA TANJUNGPINANG
NASKAH PUBLIKASI
Skripsi Diajukan Sebagai Syarat Untuk
Memperoeh Gelar Serjana Bidang Sosiologi
Oleh:
RAJA NILA KURNIA
SURYANINGSIH
MARISA ELSERA
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2016
FENOMENA PENGEMIS DI KOTA TANJUNGPINANG
Raja Nila Kurnia
Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Maritim Raja Ali Haji
2016
ABSTRAK
Skripsi ini membahas fenomena pengemis di kota Tanjungpinang, yang mana rumusan
masalahnya adalah keberadaan pengemis kota Tanjungpinang dilihat dari dimensi kultural, structural,
dan jaringan sosial.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana keberadaan pengemis di kota
Tanjungpinang dilihat dari dimensi kutural, sturuktural, dan jaringan sosial. Dimana, masalah
gelandangan dan pengemis merupakan suatu permasalahan yang dihadapi oleh kota Tanjungpinang.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Ketertiban,
Kebersihan dan Keindahan Lingkungan yang mana menyatakan bahwa dilarang mengemis di muka
umum. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui
keberadaan pengemis kota Tanjungpinang dilihat dari dimensi kultural, structural, dan jaringan sosial,
dengan menggunakan tekhnik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan studi documenter
yang selanjutnya dianalisa secara kualitatif.
Adapun hasil penelitian di lapangan ditemukan bahwa tidak semua pengemis di kota
tanjungpinang yang mengalami kondisi fisik yang cacat. Banyak dijumpai pengemis yang kondisi
fisiknya masih kuat untuk mencari pekerjaan yang lain. Selain itu ditemukan juga bahwa ada beberapa
pengemis yang sudah mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa modal usaha (UEP)
Kata Kunci : Fenomena Pengemis Di Kota Tanjungpinang
FENOMENA PENGEMIS DI KOTA TANJUNGPINANG
Raja Nila Kurnia
Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Maritim Raja Ali Haji
2016
ABSTRACT
This thesis discusses the phenomenon of beggars in the city of Tanjungpinang, with the
formulation of the problem is the presence of beggars Tanjungpinang city views from the cultural
dimension, structural, and social networks.
This study was conducted to determine how the presence of beggars in the city of
Tanjungpinang seen from the dimensions kutural, sturuktural, and social networks. Where, bums and
beggars problem is a problem faced by the city of Tanjungpinang.
This research was conducted by law No. 8 of 2005 concerning Orderliness, Cleanliness
and Beauty Environment stating that it is forbidden to beg in public. The type of research used in this
research is descriptive research is to determine the presence of beggars Tanjungpinang city views
from the cultural dimension, structural, and social networks, using techniques of collecting data
through observation, interviews, and documentary studies were then analyzed qualitatively.
Based on the results of research in the field found that not all beggars in the city of
Tanjungpinang experiencing physical condition defects. Found many beggars are still strong physical
condition for finding another job. In addition it also found that there are some beggars who have
received assistance from the government in the form of venture capital (UEP).
Keywords: Beggars phenomenon in Tanjungpinang
A. Pendahuluan
Latar Belakang
Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah yang penting saat ini di
Indonesia, sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia.
Masalah kemiskinan ini sangatlah kompleks dan bersifat multidimensional, dimana
berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya. Kemiskinan
terus menjadi masalah fenomenal di belahan dunia, khususnya Indonesia yang
merupakan negara berkembang.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, dimana negara
berkembang
'identik dengan 'kemiskinan'. Menurut Parsudi Suparlan kemiskinan
adalah sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah; yaitu adanya suatu tingkat
kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan
standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap
tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral dan harga diri dari mereka yang
tergolong sebagai orang miskin. (Hartomo, 2008:315).
Semakin sempitnya lapangan pekerjaan maka semakin sulit seseorang
mendapatkan pekerjaan sehingga membuat semakin mundurnya kualitas sumber daya
manusia di Indonesia. Sulitnya mendapatkan pekerjaan merupakan salah satu alasan
seseorang menjadi pengemis. Pendapat Soerdjono Soekanto tentang pengemis adalah
seseorang yang meminta uang atau barang lain kepada orang lain yang tidak
mempunyai kewajiban sosial untuk menanggung hidupnya (1985: 51). Fenomena
munculnya pengemis diindikasikan karena himpitan ekonomi yang disebabkan
sempitnya lapangan kerja, sumber daya alam yang kurang menguntungkan dan
lemahnya sumber daya manusia (SDM).
Berdasarkan Permensos No.08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan
Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial yang dimaksud denganpengemisadalah orang-orang
yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan
berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.
(http://www.academia.edu/8020154/Makalah_tentang_Pengemis)
Penyebaran pengemis di Indonesia sudah sangat luas jangkauannya.Saat ini
pengemis tidak hanya terdapat di kota-kota besar tetapi juga banyak terdapat di kotakota kecil. Daya tarik yang terdapat di kota-kota besar tidak menyurutkan niat
pengemis untuk merantau ke kota-kota kecil demi mencari peruntungan sebagai
pengemis. Jarak yang jauh dari kota asal mereka rela ditempuh demi mendapatkan
pekerjaan yang mudah dengan pendapatan yang lebih baik sebagai pengemis seperti
yang terjadi di kota Tanjungpinang.
Pengemis di kota Tanjungpinang yang kebanyakan pengemis merupakan
pengemis pendatang dari pulau Sumatra dan Jawa serta pengemis yang sudah
dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing akan terus kembali ke kota
Tanjungpinang dan sudah ada perda yang mendukung pelarangan mengemis di
tempat umum tetapi masih dijumpai pengemis yang mengemis di tempat umum
adalah hal yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengemis di kota
Tanjungpinang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, yang jadi permasalahan
yang ada dalam penelitian ini adalah bagaimana keberadaan pengemis di kota
Tanjungpinang di lihat dari aspek kultural, struktural dan jaringan sosial.
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana keberadaan pengemis di kota Tanjungpinang di lihat dari
aspek kultural, struktural dan jaringan sosial.
2. Kegunaan penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat menjadi acuan informasi dalam
penelitian mendatang, untuk menambah wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa,
dan dapat memberikan sumbangsih serta kontribusi bagi pengembangan
sosiologi sebagai bidang ilmu kemasyarakatan
D. Konsep Operasional
Menindaklanjuti bagaimana keberadaan pengemis di kota Tanjungpinang di
lihat dari aspek kultural, struktural dan jaringan sosial, maka konsep-konsep yang
dioperasionalkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pengemis
Pengemis adalah seorang yang tidak mempunyai penghasilan tetap, dan
pada umumnya hidup dengan cara mengandalkan belas kasian dari orang lain.
Pengemis yang berada di kota Tanjungpinang biasanya beroperasi di sekitar
pasar, lampu-lampu merah, dan dirumah-rumah makan, Pengemis yang
ketidakberdayaan mengubah nasib karena struktur sosial yang tidak mendukung
sehingga mereka tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang
sebenarnya tersedia bagi mereka. Keberadaan pengemis dilihat dari:
a. Dimensi kultural
Dimensi kultural yaitu kemiskinan yang muncul karna tututan tradisi/adat
yang membebani ekonomi masyarakat sehinga untuk mempunyai pendapatan
yang praktis demi menutup beban ekonominya mereka memilih jalan pintas
untuk mendapatkan uang.
b. Dimensi struktural
Dimensi struktural yaitu kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan
masyarakat karna struktur sosial sehinga mereka tidak dapat menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya, sehingga masyarakat yang tidak
mempunya skil dalam bekerja ataupun pengetahun mereka lebih memilih jalan
pintas untuk mendapatkan uang dengan cara mengimis dan minta belas kasihan
dari orang lain ditambah lagi mereka mengandalkan ketidak kesempurnaan fisik
yang ada pada mereka.
c. Jaringan sosial
Jaringan sosial merupakan hubungan – hubungan yang tercipta antar banyak
individu dalam suatu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok
lainya.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif , yang
bertujuan membuat gambaran dan lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta dan sifat serta hubungan antara fenomena objek yang diselidiki.
Sebagaimana dikemukakan oleh Moleong (2000:3) mengatakan “metode
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati
secara holistic (menyeluruh).
2. Lokasi Penelitian
Adapun lokasi yang akan menjadi lokasi penelitian ditetapkan di Kota
Tanjungpinang Kepulauan Riau. Alasan memilih lokasi ini adalah bahwa
Tanjungpinang merupakan salah satu tujuan wisata yang ada di Kepulauan Riau
yang seharusnya terbebas dari pengemis. Seperti yang telah disebutkan pada latar
belakang diatas, pengemis yang ada di Tanjungpinang kebanyakan merupakan
pendatang dari pulau Sumatra dan pulau Jawa dan sudah ada perda yang
mendukung tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan Lingkungan yang
menyatakan bahwa dilarang menggelandang/mengemis dimuka umum tetapi
masih banyak dijumpai pengemis yang mengemis di tempat umum di kota
Tanjungpinang.
3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah:
a. Data Primer, yaitu data yang di dapatkan langsung dari informan melalui
wawancara bebas dan wawancara secara mendalam dari informan.
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari obyek
penelitianseperti studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari bahan-bahan tertulis,
mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen,
foto, majalah, jurnal, artikel, dan internet serta literatur-literatur yang dianggap
relevan dengan penelitian ini.
4. Populasi dan Sampel
Sesuai dengan jenis penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa
penelitian deskriptif kualitatif tidak menggunakan populasi dan sampel, tetapi
digunakan dengan pendekatan secara intensif kepada responden yang dijadikan
sebagai informan dalam penelitian ( Sugiyono 2006 )
Adapun informan dalam penelitian ini adalah pengemis.Penentuan informan
dilakukan
secara
purposive
sampling
yaitu
informan
dipilih
dengan
pertimbangan dan tujuan tertentu. Informan yang dipilih sebagai sumber data
dalam penelitian ini merupakan orang-orang yang dianggap telah mampu
memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti yaitu pengemis dengan kriteria
pengemis yang cacat dan tidak cacat, pengemis yang ada pada usia 30-65 tahun,
pengemis yang asli orang Tanjungpinang dan pengemis pendatang, pengemis
yang bersekolah dan tidak bersekolah dan pengemis yang menerima bantuan
modal usaha dan tidak menerima bantuan modal usaha dari pemerintah.
5. Teknik Dan Alat Pengumpulan Data
hal ini beberapa sumber data atau teknik pengumpulan data yang biasa
digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara yang mendalam, observasi,
dan dokumentasi.
1. Observasi
Pengamatan dalam istilah sederhana adalah proses peneliti dalam melihat
situasi penelitian. Dalam penelitian ini yang diamati tentunya adalah pengemis dan
kesehariannya, seperti bagaimana mereka berinteraksi, bekerja, bagaimana
lingkungan tempat tinggalnya, bagaimana penampilan mereka sehari-hari.
2. Wawancara
Wawancara merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi
dengan cara langsung bertatap muka dengan informan, dengan maksud mendapatkan
gambaran lengkap tentang topik yang diteliti. Wawancara mendalam dilakukan
secara langsung dan berulang-ulang. Wawancara langsung dan mendalam
menggunakan instrument penelitian berupa interview guide. Interview guide
berisikan daftar pertanyaan yang sifatnya terbuka yang digunakan untuk menjadikan
wawancara yang dilakukan agar lebih terarah bertujuan menggali informasi yang
akurat dari informan. Yang akan diwawancarai adalah mengapa banyak dijumpai
pengemis di Tanjungpinang.
3. Dokumentasi
Dokumentasi digunakan sebagai penunjang penelitian penulis, dimana dalam
dokumentasi ini dapat melihat, mengabadikan gambar dilokasi penelitian. Selain itu
dokumentasi juga digunakan untuk mengumpulkan data-data yang berbentuk
catatan berupa hasil-hasil wawancara, serta dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan penelitian, seperti dokumen profil kota Tanjungpinang, jumlah pengemis di
kota Tanjungpinang
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam penyusunan skripsi, maka penulis menyusun sistemtika
penulisan terdiri dari 5 bab sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada BAB pertama ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, kerangka teori, konsep operasional, metode penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada BAB kedua ini berisikan tinjauan pustaka yang mana literatur berkaitan dengan
judul yang akan diteliti, dan kerangka teori yang akan digunakan penulis.
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Pada BAB ketiga ini berisikan tentang gambaran umum tentang lokasi penelitian
serta fenomena pengemis di Kota Tanjungpinang.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada BAB keempat ini berisikan hasil penelitian dan pembahasan berupa hasil dari
penelitian dan analisis dengan kesesuaian terhadap teori. Bab ini berisikan tentang
uraian hasil penelitian dan pembahasan mengenai fenomena pengemis di Kota
Tanjungpinang.
BAB V PENUTUP
Pada BAB lima berisi kesimpulan dari keseluruhan objek peneitian yang diteliti serta
saran dari hasil penelitian. Peneliti menguraikan mengenai kesimpulan dan saran
yang diperoleh dari keseluruhan hasil penelitian yang telah dilakukan.
G. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengemis
Masalah sosial gelandangan dan pengemis merupakan fenomena sosial yang
tidak bisa dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat. Terutama yang
berada di daerah kota Tanjungpinang. Akhir-akhir ini, publik kembali dibuat gelisah
akibat kehadiran anak jalanan (anjal), gelandangan dan pengemis (gepeng),
pengamen dan pedagang asongan di sejumlah tempat di kota Tanjungpinang.
Terutama, di Lampu Merah, Pasar, Rumah Makan, dan bahkan di Tempat
Ibadah (Masjid). Kehadiran anak jalanan dan pengamen serta gelandangan pengemis
seringkali membuat pengunjung tidak nyaman, dan mereka kerap menggunakan katakata kasar bahkan memaksa masyarakat untuk memberi sedekah atau membayar
mereka mengamen. Kehadiran mereka, baik di jalanan maupun di tempat-tempat
vital lainnya membuat publik terusik dengan beragam aksi yang dilakukannya.
Hal inilah yang membuat pemerintah melalui Satpol PP harus seseringkali
mengadakan penertiban di sejumlah tempat/lampu merah. Meskipun Pemko
Tanjungpinang
sudah
mengeluarkan
dan
menerapkan
Peraturan
Daerah
Tanjungpinang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan
Lingkungan, namun anak jalanan dan gelandangan pengemis masih saja berkeliaran
di kota Tanjungpinang. Dalam hal ini, Pemerintah Dinas Sosial kota Tanjungpinang
selalu mengimbau kepada masyarakat untuk tidak memberi uang kepada anak
jalanan. Imbauan tersebut sangat beralasan karena dengan memberikan uang kepada
anjal atau gepeng (gelandangan dan pengemis), akan mematikan kreativitas mereka
sebagai generasi muda. Di kemudian hari, mereka akan mewarisi predikat
kemiskinan serta menjadi sumber keresahan dan penyakit sosial di masyarakat.
Pengemis adalah orang-orang yang diberikan uang melalui minta-minta
terhadap orang lain. Pekerjaan ini bersifat rutin dan dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan sendiri atau keluarga.
Pendapat Soerdjono Soekanto tentang pengemis adalah seseorang yang
meminta uang atau barang lain kepada orang lain yang tidak mempunyai kewajiban
sosial
untuk
menanggung
hidupnya
(https://sudarianto.wordpress.com/2008/02/08/apa-itu-pengemis/ )
B. Kemiskinan
Kemiskinan menjadi momok dalam masyarakat. Berbagai upaya dilakukan
untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi angka kemiskinan tidak turun secara
signifikan. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2015 diprediksi mencapai 30,25 juta
orang atau sekitar 12,25 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Kenaikan jumlah
penduduk miskin ini disebabkan beberapa faktor, termasuk kenaikan harga BBM,
inflasi, dan pelemahan dolar. Jika berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin
pada tahun 2014, presentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 11,25 persen
atau 28,28 juta jiwa, maka pada 2015 ada tambahan penduduk miskin sekitar 1,9 juta
jiwa.(http://www.republika.co.id/berita/koran/pareto/15/01/02/nhjny6-tantangankemiskinan-pada-2015)
Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk
memenuhi kehidupan yang pokok. Dikatakan berada dibawah kemiskinan apabila
pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti
pangan, pakaian, tempat berteduh, dan lain-lain.
Pendekatan kemiskinan dikelompokkan menjadi tiga macam pendekatan
yaitu:
1. Kemiskinan Kultural.
Kemiskinan kultural yaitu kemiskinan yang muncul karena tuntutan
tradisi/adat yang membebani ekonomi masyarakat, seperti sikap mentalitas
penduduk yang lamban, malas, konsumtif serta kurang orientasi ke depan.
2. Kemiskinan Struktural
Kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur
sosial
sehingga
mereka
tidak
dapat
menggunakan
sumber-sumber
pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan struktural ini
terjadi karena kelembagaan yang ada membuat anggota atau kelompok
masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara
merata.
3. Kemiskinan Alamiah
kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber daya yang langka jumlahnya,
atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Termasuk
didalamnya adalah kemiskinan akibat jumlah penduduk yang melaju dengan
pesat ditengah-tengah sumber daya alam yang tetap. ( Pheni Chalid, 2006:
6.3 )
C. Jaringan Sosial
Di dunia ini bisa dikatakan bahwa tidak ada manusia yang tidak
menjadi bagian dalam jaringan-jaringan hubungan sosial dengan manusia lainnya
didalam masyarakatnya. Dengan kata lain, manusia di bumi ini selalu membina
hubungan sosial dengan siapa pun, manusia lain dimana dia tinggal dan hidup
sebab manusia pada dasarnya tidak dapat/sanggup hidup sendiri. Berdasarkan hal
ini maka sebuah masyarakat bisa dipandang sebagai jaringan hubungan sosial
antar individu yang sangat kompleks.
Bila ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jaringanjaringan sosial yang ada dalam masyarakat , dapat dibedakan menjadi tiga jenis
jaringan sosial, yaitu:
1. Jaringan Interest (jaringan kepentingan), dimana hubungan-hubungan sosial
yang membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang bermuatan
kepentingan. Jaringan kepentingan terbentuk atas dasar hubungan-hubungan
sosial yang bermakna pada „tujuan-tujuan‟ tertentu atau khusus yang ingin
dicapai oleh pelaku. Bila tujuan-tujuan tersebut sifatnya spesifik dan konkret
seperti memperoleh barang, pelayanan, pekerjaan dan sejenisnya setelah
tujuan-tujuan tersebut tercapai biasanya hubungan-hubungan tersebut tidak
berkelanjutan.
2. Jaringan Sentiment (jaringan emosi) yang terbentuk atas dasar hubunganhubungan sosial yang bermuatan emosi, jaringan emosi terbentuk atas
hubungan-hubungan sosial, dimana hubungan social itu sendiri menjadi
tujuan tindakan sosial misalnya dalam pertemanan percintaan, atau hubungan
kerabat, dan sejenisnya. Struktur sosial yang dibentuk oleh hubunganhubungan emosi ini cenderung lebih mantap atau permanen.
3. Jaringan Power, dimana hubungan-hubungan sosial yang membentuknya
adalah hubungan-hubungan social yang bermuatan power. Pada jaringan
power,
konfigurasi-konfigurasi
saling
keterhubungan
antarpelaku
di
dalamnya disengaja atau di atur. Tipe jaringan sosial ini muncul bila
pencapaian tujuan-tujuan yang telah di targetkan membutuhkan tindakan
kolektif, dan konfigurasi saling keterhubungan antarpelaku biasanya dibuat
permanen. Hubungan-hubungan power ini biasanya ditujukan pada
penciptaan kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan
yang telah ditetapkan.
H. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kota Tanjungpinang
Kota Tanjungpinang awal mulanya merupakan pusat pemerintahan
Kabupaten Bintan, yang dahulunya bernama Kabupaten Kepulauan Riau. Laju
pertumbuhan diberbagai sektor kehidupan masyarakat dan laju gerak pembangunan
serta yang berdekatan dengan negara Singapura dan Malaysia menjadikan kota
Tanjungpinang tidak lagi mencerminkan sebagai Ibukota Kecamatan. Hal tersebut
mendorong pemerintah Kabupaten Riau untuk meningkatkan status Tanjungpinang
sebagai sebuah Kota Administratif.
Pada tanggal 18 Oktober 1983, kota administratif Tanjungpinang diresmikan
dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1983 Tentang
Pembentukan Kota Administratif Tanjungpinang. Kemudian berdasarkan Undangundang Nomor 5 Tahun 2001 Tanjungpinang dinaikkan statusnya menjadi Daerah
Otonom kota Tanjungpinang. Perubahan status diikuti dengan pemekaran kecamatan
yang semula terdiri dari 2 kecamatan berubah menjadi 4 kecamatan, dengan 18
kelurahan.
1. Keadaan Geografis
Secara geografis wilayah kota Tanjungpinang terletak di Pulau Bintan
dengan posisi berada
2. Keadaan Demografi
Kota Tanjungpinang berada di salah satu tanjung dan teluk pulau Bintan
yang merupakan bagian dari Kepulauan Riau, yang berdekatan dengan pulau
batam sebagai pusat petumbuhan baru Indonesia bagian barat dan Kepulauan
Riau serta berdekatan dengan negara tetangga Singapura.
Penduduk kota Tanjungpinang cenderung mengalami peningkatan yang
cukup signifikan dari setiap tahunnya. Salah satu dari penyebab terjadinya
peningkatan penduduk tersebut adalah adanya urbanisasi yaitu perpindahan
penduduk dari desa ke kota.
I.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Informan
Informan dalam penelitian kualitatif sengaja dipilih oleh peneliti, karena
dianggap mampu memberikan informasi seputar masalah yang sedang diteliti. Dalam
penelitian ini, informan yang dipilih adalah pengemis yang memang beroprasi di kota
Tanjungpinang, Informan mengetahui secara jelas bagaimana kondisi pekerjaan
mengemis, karakteristik informan juga ditentukan berdasarkan umur, jenis kelamin,
daerah asal dan status perkawinan.
1. Berdasarkan Umur
kebanyakan informan adalah berumur dengan rentang usia antara 30 sampai
40 tahun yaitu sebanyak 6 orang. Penentuan informan terbanyak dalam rentang usia
ini, sengaja dilakukan peneliti, mengingat bahwa pengemis dalam usia ini karena
banyak dijumpai di kota Tanjungpinang dan pada umumnya masih kuat untuk
bekerja. Sedangkan informan dengan rentang usia 41 sampai 48 berjumlah 3 orang
sementara informan dengan rentang usia 48 sampai 65 berjumlah 1 orang.
2. Berdasarkan Jenis Kelamin
jumlah informan laki-laki sebanyak 3 orang dan jumlah informan perempuan
sebanyak 7 orang jika di totalkan jumlah informan seluruhnya 10 orang. Selama
peneliti dilapangan lebih banyak peneliti temukan pengemis perempuan yang
berada di kotaTanjungpinang dan informan hanya sebagai sample penelitian.
3. Berdasarkan Daerah Asal
yang berasal dari daerah jawa yaitu berjumlah 4 orang, dan yang berasal dari
kota padang yaitu berjumlah 4 orang, dan pengemis yang peneliti temukan yang
berasal dari kota Tanjungpinang berjumlah 2 orang jadi total keseluruhannya
berjumlah 10 orang. Dengan melihat tabel diatas dapat dikemukakan bahwa
daerah asal informan dapat dikatakan dominan berasal dari daerah Pulau Jawa
dan Padang.
4. Pengemis Berdasarkan Status Perkawinan
informan yang sudah menikah berjumlah 5 orang, informan yang belum menikah
yaitu berjumlah 2 orang, dan informan yang duda berjumlah 2 orang, sedangkan
informan yang sudah janda berjumlah 1 orang. Dengan melihat table di atas
dapat disimpulkan bahwa berdasarkan informan yang sudah menikah sangat
dominan dibandingkan dengan yang lainnya, hal ini sangat berpengaruh untuk
mereka tetap beraktivitas mengemis supaya bisa memenuhi kehidupan sehari-
hari dikeluarganya dengan cara meminta-minta tanpa harus bekerja keras, seperti
masyarakat lainnya yang bekerja mengunakan tenaga dan pikiran agar bisa
memenuhi kehidupan sehari-hari mereka.
B. Fenomena Pengemis di Kota Tanjungpinang
Pada kehidupan gepeng mereka sebagian besar merupakan prang-orang yang
masih mempunyai tenaga kerja yang cukup kuat untuk bekerja dan memperoleh
uang dengan hasil keringat sendiri tanpa harus mengulurkan tangan kepada orang
lain untuk meminta-minta. Didalam kehidupannya gepeng adalah orang-orang
yang berasal dari luar daerah yang melakukan kegiatan / aktivitas meminta-minta
dengan tujuan bisa memperoleh penghasilan. Setelah diamati tempat tinggal
gepeng sangat tidak layak untuk dihuni dikarenakan tempat tinggal mereka
sangat kumuh dan tidak layak untuk ditempati. Mereka tinggal di kota
Tanjungpinang dengan menempati kos-kosan yang seharga Rp. 150.000
perbulan. Tempat tinggal mereka terdapat di Jalan Yusudarso di Gang Tantib
Kelurahan Tanjungpinang Kota yang terdiri dari 9 kamar yang dihuni oleh
gepeng.
Dapat dilihat bahwa gepeng merupakan orang-orang yang berasal dari luar
daerah seperti dari Padang, Medan dan Jawa. Mereka melakukan kegiatan
mengemis atau meminta-minta pada pagi hari sampai sore hari jam 5, dan
mereka berkumpul ditempat kos-kosannya tapi setelah menjelang magrib mereka
kembali lagi melakukan aktifitas meminta-minta. Dari masing-masing gepeng
yang melakukan aktifitasnya tidak melakukan pada tempat yang sama setiap
harinya, karena seorang pengemis yang melakukan kegiatan tersebut dalam 1
hari bisa melakkan aktifitasnya diberbagai tempat seperti pada pagi hari berada
berada dipasar dan disinag harinya berada di Jalan Raya atau di Persimpangan
Lampu Merah. Mereka biasanya menyebar didaerah Pamedan, Pasar Sayur
KUD, di Simpang Lampu Merah di depan Museum dan di Pinang Lestari batu 9
Kota Tanjugpinang. Pada setiap hari jumat jam 11.00 mereka biasanya
berkumpul di depan Mesjid Raya Kota Tanjungpinang untuk meminta-minta.
Penghasilan yang didapat dari seorang pengemis bisa mencapai Rp
10.000.000 / bulan. Ini juga turut meningkatkan jumlah pengemis di kota
tanjungpinang. Tentu anda bertanya-tanya bagaimana bisa seorang pengemis
memiliki pendapatan mencapai Rp 10.000.000 / bulan, hal ini dapat diperjelas
oleh Kasi Pelayanan dan Rehabilitas Sosial Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tanjungpinang menjelaskan cara menghitung pendapatan seorang pengemis /
bulan.
Menurut perhtungan rata-rata yang ditentukan dari pusat, dalam satu jam ada
60 menit dimana setiap lampu merah berhenti selama dua menit. Dalam waktu
dua menit tersebut, seorang pengemis bisa meminta-minta ketiga hingga lima
mobil dan didapat hasil rata-rata Rp 3.000 dan didapat hasil Rp 90.000.
sementara itu jam kerja pengemis dimulai dari jam 08.00-16.00, itu berarti setiap
harinya mereka mengemis selama enam jam.
Untuk menghitung pendapatan perhari mereka, angka Rp 90.000 tersebut
dikalikan selama enam jam didapat hasil Rp 540.000. Pendapatan yang cukup
besar bagi mereka tentunya. Kemudian untuk menghitung pendapatan mereka
per bulan dengan cara satu bulan ada 30 hari, dipotong dengan hari tidak
produktif mereka selama 10 hari. Jadi hari produktif selama 20 hari tersebut
dikalikan Rp 540.000 menghasilkan angka nominal mencapai Rp 10.800.000.
Inilah hasil pendapatan pengemis setiap bulannya.
Dengan demikian dari pihak Instansi yang terkait seperti Dinsosnaker Kota
Tanjungpinang menghimbau kepada seluruh masyarakat Tanjungpinang agar
tidak memberikan uang kepada para pengemis yang meminta-minta. Bukan
berarti menghilangkan rasa sosial antar sesama, namun dengan cara memberikan
uang justru menjadikan mereka untuk malas bekerja dan meningkatkan angka
pengemis dijalanan.
Setelah diadakan Tanya jawab kepada gepeng ada sebagian dari mereka
mendapatkan uang bantuan dari pemerintah ada juga yang belum pernah
merasakannya.Hal ini dapat dikatakan bahwa penertiban yang dilakukan Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjungpinang terhadap gepeng belum cukup
baik.
a. Dimensi Kultural
Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang diakibatkan oleh gaya
hidup, perilaku, atau budaya individu/kelompok yang mendorong terjadinya
kemiskinan. Kemiskinan kultural terindikasi dalam perilaku hidup boros,
ketidakcakapan bekerja, dan tingkat tabungan rendah, serta adanya sikap pasrah
terhadap lingkungan kemiskinan. Kemiskinan model ini memiliki korelasi
dengan budaya masyarakat yang “menerima” kemiskinan yang terjadi pada
dirinya apa adanya, bahkan tidak merespons usaha-usaha pihak lain yang
membantunya keluar dari kemiskinan tersebut.
Pengemis di Tanjungpinang sebetulnya masih mempunyai kemampuan
secara fisik untuk melakukan pekerjaan lain selain menjadi pengemis. Tetapi
mereka lebih memilih menjadi pengemis dengan alasan tidak ada pekerjaan lain
yang bisa mereka lakukan. Selain itu alasan menjadi pengemis adalah karena
pekerjaan yang mudah dan penghasilan yang lumayan besar membuat mereka
malas untuk bekerja keras.
Didalam penelitian dilapangan berkaitan dengan keberadaan pengemis
dilihat dari dimensi kultural, terdapat alasan menjadi pengemis yang terindikasi
termasuk dalam dimensi kultural yaitu sebagai berikut:
1. Malas
Rasa malas sejatinya merupakan sejenis penyakit mental. Siapa pun yang
dihinggapi rasa malas akan kacau kinerjanya dan ini jelas-jelas sangat
merugikan. Sukses dalam karir, bisnis, dan kehidupan umumnya tidak pernah
datang pada orang yang malas. Rasa malas juga menggambarkan hilangnya
motivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan atau apa yang sesungguhnya dia
inginkan.
Rasa malas didalam penelitian ini adalah rasa malas mencari pekerjaan lain
selain mengemis karena mengemis adalah pekerjaan yang paling mudah dan
menghasilkan uang yang lumayan banyak. Kebiasaan mengemis membuat
pengemis betah menjadi pengemis karena dianggap mudah dan banyak orang
yang memberikan uang karena rasa kasihan mereka tehadap pengemis.
Dari hasil wawancara dari salah satu key informan mengatakan bahwasanya
masyarakat dan Pemerintah Kota Tanjungpinang juga ikut terlibat dalam
meningkatnya jumlah pengemis karena masyarakat dan pejabat daerah juga ikut
memberikan uang kepada pengemis sehingga pengemis masih tetap bekerja
menjadi pengemis karena uang yang didapat lumayan banyak. Sikap mental
masyarakat kota Tanjungpinang yang sudah diajarkan dari kecil untuk
memberikan sedekah kepada pengemis menjadi salah satu faktor penyeab
pengemis masih ada di kota tanjungpinang karena semakin banyak yang
memberi maka semakin banyak uang yang diperoleh dari hasil mengemis.
Dari hasil observasi di lapangan ditemukan bahwa banyak pengemis yang
kondisi fisiknya tidak cacat atau masih muda dan masih mampu bekerja lebih
keras selain menjadi pengemis.
2. Tidak Merespon Bantuan Modal Usaha Dari Pemerintah
Sehubungan dengan Bantuan Modal Usaha ini dapat diketahui bahwa
bantuan usaha ini disebut dengan Usaha Ekonomi Produktif ( UEP ) yang mana
merupakan bantuan yang diperuntukkan untuk Penambahan Modal Usaha yang
telah dimiliki klien.
Berdasarkan SK nomor: 572/DS/PRS/2011 tentang bantuan UEP (Usaha
Ekonomi Produktif) maka akan dilaksanakan kegiatan bantuan Usaha Ekonomi
Produktif ( UEP ) untuk Para Bekas Binaan Permasyarakatan (BPWP) dan
Gelandangan Dan Pengemis dari dana Dekonsentrasi (APBN) Tahun anggaran
2011, untuk bantuan UEP BWPN sebanyak 10 orang, besar bantuannya adalah
Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) dan bantuan untuk Gelandangan dan Pengemis
sebanyak 11 orang, besar bantuannya Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) perorang,
lokasi di Kota Tanjungpinang.
Para BWBP dan Gepeng yang akan mendapat bantuan terlebih dahulu
diseleksi sesuai dengan kereteria yang sudah ditetapkan yaitu:
a. Memiliki minat untuk mengembangkan usaha dan meninggalkan profesi yang
lama sebagai pengemis
b. Tempat tinggal tidak berpindah-pindah
c. Memiliki latar kehidupan/keluarga yang jelas alamatnya.
d. Berjanji setelah menerima bantuan tidak kembali lagi menjadi gepeng
3. Pasrah Terhadap Kondisi Fisik
Setiap manusia dilahirkan dengan berbagai kelebihan dan kekurangan. Tidak
sedikit manusia terlahir dengan kurangnya anggota badan atau cacat. Hal ini
membuat kesempatan bersekolah dan kerja menjadi terbatas karena lapangan
pekerjaan yang mempekerjakan orang-orang yang kekurangan fisik sangatlah langka.
Sehingga akhirnya orang-orang penyandang cacat banyak yang tidak tau harus
bekerja apa untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka memilih menjadi
pengemis.
Selain cacat fisik faktor umur dan kesehatan juga mendorong seseorang
untuk menjadi pengemis karena beralasan bahwa tidak ada orang yang akan
mempekerjakan orang yang sudah tua dan sakit-sakitan sementara untuk berobat
tidak ada biaya jadi akhirnya menjadi pengemis untuk menutupi biaya hidup dan
untuk berobat.
4. Pasrah Terhadap Kondisi Ekonomi
Kemiskinan merupakan salah satu factor seseorang menjadi pengemis. Pada
umumnya seseorang menjadi pengemis karena kebanyakan alasannya adalah faktor
ekonomi. Mereka mengemis demi untuk bertahan hidup dan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari mereka. Ada beberapa pengemis yang mengatakan bahwa
mereka di kampung halamannya berkerja sebagai pengemen dan datang ke
Tanjungpinang karena dijanjikan akan bekerja sebagai pelayan restoran tetapi
sesampai di Tanjungpinang mereka malah ditipu dan dijual ke batu 15 kemudian
mereka berhasil kabur dari batu 15 dan terpaksa menjadi pengemis untuk
menyambung hidup di Tanjungpinang
b. Dimensi Strutural
Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang timbul karena adanya
hegemoni dan kebijakan negara serta pemerintah atau orang-orang yang berkuasa,
dan pembangunan yang tidak merata. Bantuan dari pemerintah sangat penting dalam
mengentaskan kemiskinan. Kebijakan pemerintah yang tidak merata akanmelahirkan
kesenjangan sosial sehingga masyarakat miskin yang tidak merasakan dampak dari
bantuan pemerintah atau sulit mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, serta
mendapatkan pekerjaan yang layak.
Masyarakat miskin yang sulit mendapatkan akses tersebut harus melakukan
apa saja demi mempertahankan hidupnya dan untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Salah satu yang dilakukan oleh masyarakat miskin yang menjadi dampak dari
tidak merasakan kebijakan pemerintah adalah dengan menjadi pengemis. Salah satu
alasan pengemis di Tanjungpinang mengemis ialah dengan sedikitnya bantuan dari
pemerintah yang mereka rasakan. Karena kemiskinan yang terlalu lama membuat
mereka harus melakukan seseuatu demi kelangsungan hidup mereka.
1. Akses Pendidikan Yang Sulit
Pendidikan sangat penting dimiliki oleh seseorang apalagi di era globalisasi
ini. Dengan pendidikan seseorang dapat bersaing untuk mendapatkan pekerjaan
yang diinginkan. Tetapi untuk mendapatkan pendidikan diperlukan biaya yang tidak
sedikit. Bagi masyarakat miskin sangat sulit mendapatkan akses pendidikan karena
tidak memiliki biaya dan dulu belum ada kebijakan pemerintah berupa beasiswa
atau keringanan biaya sekolah bagi siswa yang tidak mampu.
2. Akses pekerjaan yang sulit
Saat ini persaingan didalam dunia kerja sanggat ketat. Semua orang
berlomba-lomba untuk mendapatkan ekerjaan yang terbaik untuk masa depan
kehidupannya. Jika seseorang memiliki pendidikan yang tinggi, mempunyai
keterampilan yang bagus dan mempunyai relasi maka orang tersebut akan dengan
mudah mendaptkan pekerjaan yang diinginkannya.
Tetapi tidak semua orang bisa memiliki kriteria yang memungkinkan ia
untuk mendapatkan pekerjaan seseaui keinginannya contohnya maysrakat miskin
yang tidak memiliki pendidikan, keterampilan, dan relasi kerja. Mereka akan
terasingan atau tersingkirkan dari persaingan dunia kerja. Apalagi seseorang yang
memiliki keterbatasan fisik atau cacat. Saat ini sangat jarang lapangan ekerjaan yang
membuka kesempatan untuk menerima seseorang yang kekurangan fisik atau cacat
sehingga mereka yang tersingkirkan didalam dunia kerja ni memilih kerja apa saja
demi mempertahankan hidupnya salah satunya menjadi pengemis.
3. Tidak punya akses untuk terlibat dengan kegiatan pelatihan keterampilan
Mempunyai
keterampilan
akan
sangat
membantu
seseorang
untuk
mendapatkan pekerjaan. Keterampilan bisa didapat apabila seseorang beperndidikan
tinggi atau berlatih di tempat pelatihan keterampilan contohnya berlatih ditempat
kursus menjahit, kursus membuat makanan, kursus komputer dan sebagainya.
Tetapi hal ini tidak bisa dilakukan oleh pengemis karena keterbatasan ekonomi dan
fisik. Dalam hal ini pemeintah berperan penting dalam menyediakan pelatihan
keterampilan khusus untuk pengemis dan gelandangan tetapi pada kenyataannya di
Tanjungpinang belum ada sekolah pelatihan keterampilan khusus untuk pengemis
dan gelandangan.
c. Jaringan Sosial
Tidak ada manusia yang tidak menjadi bagian dalam jaringan-jaringan
hubungan sosial dengan manusia lainnya didalam masyarakatnya. Dengan kata lain,
manusia di bumi ini selalu membina hubungan sosial dengan siapa pun, manusia
lain dimana dia tinggal dan hidup sebab manusia pada dasarnya tidak dapat/sanggup
hidup sendiri. Berdasarkan hal ini maka sebuah masyarakat bisa dipandang sebagai
jaringan hubungan sosial antar individu yang sangat kompleks. Jaringan sosial yang
tecermin dari pengemis di kota Tanjungpinang adalah mereka saling berbagi tempat
untuk mengemis dan saling memberi hasil mengemis kepada teman sesame
pengemis yang hasil mengemisnya terbilang sedikit. Mereka juga saling
memberikan informasi disaat ada razia dari dinsos atau satpol PP. Hal ini seperti
yang diungkapkan oleh Ruddy Agusyanto yaitu suatu jaringan tipe khusus, dimana
ikatan yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah hubungan
sosial. Berpijak pada jenis ikatan ini, maka secara langsung atau tidak langsung
yang menjadi anggota suatu jaringan sosial adalah manusia.( Jaringan Sosial Dalam
Organisasi, Ruddy Agusyanto, 2007:13 )
J. PENUTUP
1. Kesimpulan
Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk
memenuhi kehidupan yang pokok. Dikatakan berada dibawah kemiskinan apabila
pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti
pangan, pakaian, tempat berteduh, dan lain-lain. Saat ini sudah banyak kebijakankebijakan pemerintah yang dibuat untuk mengentaskan kemiskinan, akan tetapi
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak dilaksanakan secara merata sehingga
sebagian masyarakat ada yang belum merasakan dampak positif dari kebijakan
pemerintah tersebut. Masyarakat yang belum bisa merasakan dampak dari kebijakan
pemerintah akhirnya melakukan segala cara demi mempertahankan hidupnya
contohnya pengemis. Pengemis di kelompokan menjadi dua yaitu pengemis kultral
dan pengemis sturktural.
Pengemis kultural ialah pengemis yang mempunyai sifat malas, pasrah
terhadap kemiskinan, tidak respon tehadap bantuan dari pihak-pihak yang berusaha
mengeluarkannya dari kemiskinan, pola pikir seperti inilah yang membuat pengemis
tidak bisa keluar dari kemiskinan. Sebetulnya banyak pengemis di kota
Tanjungpinang yang masih memiliki kondisi fisik yang segar dan mampu untuk
memiliki pekerjaan lain selain menjadi pengemis, tetapi karena pola fikir mereka
yang kultural maka terlalu sulit untuk mereka berenti dari pekerjaan mereka
mengemis. Pola ikir seperti ini didukung pula oleh masyarakat Tanjungpinang
dengan cara memberi pengemis uang atas dasar rasa kasihan dan untuk bersedekah
karena akan mendapat pahala.
Tentu saja pengemis kultural tidak akan ada jika kemiskinan struktural tidak
ada. Peran pemerintah juga sangat penting guna meminimalisir munculnya pengemis
di kota Tanjungpinang ini. Kemudahan akses pendidikan dan pekerjaan sangat
diharapkan oleh masyarakat miskin.Bantuan dari pemerintah untuk pengemis juga
dinilai terlalu sedikit dengan hanya memberikan modal usaha senilai 2 juta rupiah
dan bantuan itu tidak diberikan secara terus menerus melainkan hanya sekali.Tidak
adanya program pelatihan keterampilan juga perlu diperhatikan mengingat
persaingan didalam dunia pekerjaan yang mengandalkan keterampilan sudah sangat
banyak. Pengemis di kota Tanjungpinang harus diberi pelatihan keterampilan agar
bisa bekerja atau membuat usaha lain.
Berdasarkan penelitian di lapangan juga ditemukan terdapat jaringan sosial
antar pengemis. Jaringan sosial ini berjenis jaringan sentiment (jaringan emosi)
dimana jaringan ini terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial, dimana
hubungan sosial itu sendiri menjadi tujuan tindakan sosial misalnya dalam
pertemanan, kekerabatan, saling membantu dan memberi informasi apabila ada razia.
2. Saran
1. Diharapkan kepada masyarakat tanjungpinang, agar lebih memberikan peran
untuk dapat membantu dalam pelaksanaan program-program yang telah
dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. Karena setiap program
pemerintah adalah program untuk mensejahterakan rakyatnya.
2. Diharapkan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau untuk lebih
memperhatikan pengemis yang ada di kota Tanjungpinang agar dapat kiranya
memberikan pengetahuan berupa pembelajaran untuk mengolah dana bantuan
yang telah diberikan dengan membuka usaha kecil seperti adanya pembelajaran
membuat kue, anyaman, menjahit, dan lain-lain, maka dengan demikian bantuan
yang diberikan kepada pengemis dapat berjalan sesuai yang diharapkan.
3. Diharapkan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau untuk memberikan
motivasi kepada gepeng untuk menggunakan bantuan modal tersebut sehingga
tidak menimbulkan kejenuhan pada mereka untuk mengelola modal yang
diberikan, supaya mereka meninggalkan pekerjaan yang pernah mereka lakukan
dahulunya yaitu meminta-minta ditempat keramaian.
4. Diharapkan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau untuk membuat
peraturan larangan kepada msyarakat kota tanjungpinang untuk tidak
memberikan uang kepada pengemis.
5. Diharapkan kepada masyarakat Tanjungpinang, agar lebih memberikan peran
untuk dapat membantu dalam pelaksanaan program-program yang telah
dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. Karena setiap program
pemerintah adalah program untuk mensejahterakan rakyatnya
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani, sosiologi skematika, teori, dan terapan : Jakarta jl. Sawo raya no 8, PT
Bumi Aksara, 2000
Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif : Jakarta, 2007, Kencana
Chalid pheni, Teori dan Isu Pembangunan. Jakarta: 2006, Penerbit Universitas
Terbuka
Dieter evers, hans, Sosiologi Perkotaan. Jakarta: 1982, PT. Pustaka LP3ES Indonesia
Dr. M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar, bandung: 1986, Refika Aditama
James M. Henslin, Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi, Jakarta: 2007, Erlangga
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, bandung : 2000, Remaja
Rosdakarya
Narwoko j. dwi, Suyanto Bagong, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta :
kencana 2010, Prenada Media Group
Paul, L. Hunt Chester, sosiologi, Jakarta : 1984, Erlangga
Prof. Dr. R. Nasrullah Nazsir, Drs., M.S, Sosiologi Kajian Lengkap Konsep dan Teori
Sosiologi Sebagai Ilmu Sosial, Bandung: 2008, Widya Padjadjaran
Rustiadi, Ernan dkk, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta :2009,
Crestpent Press
Soekanto soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: 2007, PT RajaGrafindo
Persada
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, bandung: 2010, alfabeta
Sunarto kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta : 2004, Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia
Syahrial syarbaini rusdiyanta, Dasar-Dasar Sosiologi, Yogyakarta : 2009, Graha Ilmu
SUMBER INTERNET
https://sudarianto.wordpress.com/2008/02/08/apa-itu-pengemis/
http://fokedki.blogspot.com/2012/08/kriteria-kemiskinan-di-indonesia.html
http://ahok.org/berita/news/larangan-memberi-pengemis-ada-di-perda-no-82007/
xa.yimg.com/.../Gepeng+dan+Wajah+Pekanbaru.doc
JURNAL
Skripsi Suryaningsing Pengemis Suku Minangkabau di Tanjungpinang 1994
Download