BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Surfaktan
Penelitian ini bertujuan untuk membuat surfaktan MES yang dapat digunakan pada
proses EOR (Enhanced Oil Recovery). Pada bagian ini akan dibahas hal yang berkaitan
dengan surfaktan, misalnya pengertian surfaktan dan jenis-jenis dari surfaktan
2.1.1. Surfaktan secara umum
Beberapa senyawa seperti asam lemak berantai pendek adalah tergolong ampifilik atau
ampifatik. Mereka mempunyai satu bagian yang memiliki afinitas tinggi untuk media
yang nonpolar dan bagian yang lain yang memiliki afinitas tinggi untuk media yang
polar. Molekul-molekul ini membentuk suatu lapisan pada batas interface dan
menunjukkan aktivitas pada permukaan (surface activity), seperti menurunkan tegangan
interface atau permukaan. Pada umumnya, senyawa-senyawa ini disebut dengan
surfaktan, atau istilah lainnya adalah ampifilik, surface active agents, tensides, dan
paraffin-chain salts. Bahan-bahan seperti sabun dan deterjen termasuk ke dalam
surfaktan, atau sering juga merupakan campuran dari surfaktan, dan mempunyai
kemampuan untuk membersihkan. Ini dikarenakan deterjen mempunyai kemampuan
untuk mengubah properti dari interface yang menyebabkan kotoran lepas dari
permukaan benda.
Surfaktan mempunyai bentuk senyawa yang unik. Bagian kepalanya (head) adalah grup
yang hidrofilik, sedangkan bagian rantainya (tail) adalah grup yang hidrofob. Bagian
hidrofilik atau bagian yang polar biasanya berinteraksi kuat dengan air, seperti interaksi
dipol-dipol, atau interaksi ion-dipol. Bagian hidrofilik head ini menentukan jenis-jenis
surfaktan yang mana akan dibahas di subbab berikutnya..
B.56.3.21
5
Dalam larutan, surfaktan akan berlaku seperti senyawa elektrolit pada umumnya. Akan
tetapi pada konsentrasi yang lebih tinggi, surfaktan akan menunjukkan perilaku yang
berbeda. Perilaku ini ditunjukkan dengan terbentuknya suatu formasi dari sekumpulan
banyak (agregat) molekul secara teratur yang disebut micelle. Bila solvennya adalah air,
bagian hidrofilik akan meninggalkan bagian interior agregat dan menghadapi air.
Sedangkan bagian hidrofob dengan sendirinya akan menjauhi air dan berkumpul di
interior agregat. Bila solvennya adalah hidrokarbon, maka yang akan terjadi adalah
sebaliknya. Bentuk dari micelle pada solven air dipandang sebagai kompromi dari
kecenderungan bagi rantai alkil untuk menghindari kontak yang tak diinginkan dengan
air dan bagian polar dari senyawa yang ingin mempertahankan kontak dengan
lingkungan air. Strukter umum dari suatu micelle terlihat pada gambar 2.1. Konsentrasi
pada saat sekumpulan banyak molekul surfaktan membentuk micelle dinamakan
Critical Micelle Concentration (CMC). Surfaktan akan mempunyai sifat-sifat aktif
permukaan (surface activity) bila konsentrasinya sudah mencapai CMC.
Gambar 2.1. Struktur micelle pada lingkungan air terdapat dalam beberapa
kemungkinan: (a) Ekor yang overlapping pada bagian tengah, (b) Air menembus ke
bagian tengah, (c) Rantai-rantai yang saling membengkok dan menonjol
Sumber: (Schramm, 2000)
B.56.3.21
6
2.1.2. Jenis-jenis Surfaktan
Surfaktan memiliki beberapa jenis yang dibagi berdasarkan jenis dari headnya, yaitu
surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik, dan surfaktan amfoterik.
Penelitian ini mengkhususkan pada pembuatan MES yang termasuk ke dalam surfaktan
anionik. Kelompok surfaktan pertama, anionik, adalah surfaktan yang bagian headnya
bermuatan negatif. Mengikuti namanya masing-masing, surfaktan kationik adalah
surfaktan dengan head bermuatan positif, surfaktan nonionik mempunyai head yang
tidak bermuatan, dan surfaktan amfoterik bagian headnya bermuatan positif dan negatif.
Tabel 2.1 menunjukkan klasifikasi dari surfaktan beserta contohnya.
Tabel 2.1. Klasifikasi Surfaktan
Jenis Surfaktan
Anionik
Klasifikasi
- alkil sulfat
dan
sulfonat
- petroleum
dan
lignin sulfonat
- fosfat ester
- sulfosuksinat ester
karboksilat
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Kationik
B.56.3.21
•
•
•
•
•
- garam amonium •
kuarterner
•
•
•
•
Contoh
Linier Alkilbenzen Sulfonat (LAS)
Alkohol Sulfat (AS)
Alkohol Eter Sulfat (AES)
Methyl Ester Sulfonat (MES)
Sulfated alcohol ethoxylate
Petroleum sulfonat (aril sulfonat dan
alkaril sulfonat)
Alkil sulfonat
Alkilaril sulfonat : alkilxylene
sulfonat (ket : xylene dapat diganti
dengan benzene, naftelene atau
toluene)
(Di)alkilbenzen sulfonat
Alkoxylated alkyl substituted phenol
sulfonate
Alkoxylated sulfonated
Dodesilbenzenhexaetoksietil sulfonat
Na Stearat
Na dodesil
Na dodesil benzene sulfonat
Fatty amine oksida
Ethoxylated tertiary amine
Dimetil alkil amina
Fatty amine
Amidoamina
7
Nonionik
-
alkohol
ethoxylated acid
alkanolamida
ethoxylated amine
amina oksida
Amfoterik
- karboksibetain
- sulfobetain
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Diamina
Amina oksida
Amina kuartener
Amina etoksilat
Laurilamina hidroklorida
Trimetil dodesilammonium klorida
Cecyl trimethylammonium bromide
Sorbitan monostearat
Fatty alcohol polyglycol ether
Gliserol monostearat
Propilen glikol monostearat
Dietanolamida (DEA)
Sukrosa ester
Sorbitol dan sorbitan ester
Ethoxylated alcohol
Ethoxylated alkanol
Polyethoxylated alkylphenol
Polyoxyethylene alcohol
Alkilfenol etoksilat
Polisorbat 80
Propylene oxide-modified
(polymethylsiloxane)
Phosphatidylcholine
Phosphatidylethanol-amine
Lecithin
Aminocarboxylic acid
Alkil betain
Dodecyl betaine
Lauramidopropil betain
Cocoamido-2-hydroxy-propyl
sulfobetaine
Sumber: (Schramm, 2000)
2.1.2.1. Surfaktan Anionik
Grup hidrofilik pada surfaktan anionik adalah gugus polar yang terdispersi menjadi ion
negatif di dalam larutan. Dalam produk-produk komersial, grup hidrofilik tersebut dapat
berupa gugus karboksilat, sulfonat, sulfat atau fosfat. Pada larutan alkali dalam air,
keempat gugus hidrofil tersebut akan membentuk garam yang kelarutannya setara
dengan hidrokarbon dengan 12 atom karbon. Produksi dari surfaktan anionik di
Amerika Serikat mencapai 2.050.915.000 lb (sekitar 930279.4 ton) pada tahun 1966,
B.56.3.21
8
yang merupakan 70 % dari total produksi kesemua jenis surfaktan (Othmer, 1965).
2.1.2.2. Surfaktan Kationik
Surfaktan kationik digunakan secara luas sebagai dispersant, emulsifier, wetting agents,
sanitizer, dye fixing agents, pelumas tekstil, pelembut tekstil, foam stabilizer, dan
inhibitor korosi. Surfaktan kationik teradsorbsi lebih kuat dibanding surfaktan anionik
dan surfaktan nonionik pada berbagai substrat, seperti logam, gelas, serat tekstil, plastik,
dan mineral. Hal ini menyebabkan surfaktan kationik justru efektif pada beberapa
aplikasi. Sebagai contoh, surfaktan kationik digunakan untuk mendeposit minyak
emulsi ke atas padatan dan menahannya di sana. Beberapa surfaktan kationik kuartener
bila digabung bersama surfaktan nonionik akan membentuk membentuk pembersih
deterjen. Produksi surfaktan kationik di Amerika Serikat hanya 5 % dari total produksi
semua surfaktan (Othmer, 1965).
2.1.2.3. Surfaktan Nonionik
Surfaktan nonionik, sesuai dengan namanya, tidak memiliki sifat penghantar ketika
terdispersi dalam larutan. Kecenderungan sifat hidrofilik pada surfaktan nonionik
terutama dikarenakan adanya molekul oksigen yang terhidrasi dari ikatan hidrogen
dalam molekul air. Hampir semua surfaktan nonionik yang tidak dimodifikasi bersifat
lipofilik (fat liking) dan senyawa tersebut sering digunakan sebagai coemulsifiers bila
digabung dengan surfaktan hidrofilik lainnya. Salah satu keuntungan dari surfaktan
nonionik adalah cocok jika digabung dengan surfaktan ionik maupun surfaktan
amfoterik dalam kebanyakan aplikasinya.
2.1.2.4. Surfaktan Amfoterik
Surfaktan amfoter merupakan gabungan dari anionik dan kationik dalam strukturnya.
Beberapa surfaktan amfoter juga mengandung gugus eter atau gugus hidroksil yang
dapat memperkuat kecenderungan hidrofiliknya. Beberapa contoh surfaktan amfoterik
yang digunakan luas adalah N-coco-3-aminopropionic acid dan mixed alicyclic amine
B.56.3.21
9
sodium salts. Penggunaan surfaktan amfoterik tidaklah sebanyak surfaktan jenis lainnya
(Othmer, 1965).
2.2. Bahan Baku
2.2.1. Crude Palm Oil (CPO)
Minyak kelapa sawit merupakan salah satu minyak-lemak nabati yang dapat digunakan
sebagai bahan baku pengembangan surfaktan. Minyak kelapa sawit adalah komoditas
politik dan ekonomik yang penting di Indonesia, karena terdapat sekitar 3.4 juta
keluarga yang bekerja dalam penanaman kelapa sawit (KMSI, 2005). Selain itu, kelapa
sawit sebagai sumber minyak-lemak nabati mempunyai kapasitas produksi yang
terbesar jika dibanding sumber minyak-lemak nabati lainnya yang terdapat di Indonesia.
Oleh sebab itu, ketersediaan kelapa sawit sebagai bahan baku minyak-lemak nabati
sangat berlimpah. Berikut data produktivitas berbagai sumber minyak-lemak nabati :
Tabel 2.2. Produktivitas berbagai sumber minyak-lemak nabati
Nama Indonesia
Nama Inggris
Nama Latin
kg-/ha/thn
Sawit
Oil palm
Elaeis guineensis
5000
Kelapa
Coconut
Cocos nucifera
2260
Alpokat
Avocado
Persea americana
2217
K. Brazil
Brazil nut
Bertholletia excelsa
2010
K. macadam
Macadamia nut
Macadamia ternif.
1887
Jarak pagar
Physic nut
Jatropha curcas
1590
Jojoba
Jojoba
Simmondsia califor.
1528
K. pecan
Pecan nut
Carya pecan
1505
Jarak kaliki
Castor
Ricinus communis
1188
Zaitun
Olive
Olea europea
1019
Kanola
Rapeseed
Brassica napus
1000
Opium
Poppy
Papaver somniferum
978
Sumber : (Soerawidjadja, 2006)
B.56.3.21
10
Buah kelapa sawit mengandung dua jenis minyak-lemak, yaitu minyak-lemak palmitatoleat yang terdapat dalam sabut dan biasa disebut minyak sawit (palm oil) serta minyaklemak laurat yang terdapat di dalam daging buah (berwarna putih) dan biasa disebut
minyak inti-sawit (palm-kernel oil). Minyak sawit merupakan minyak utama dari buah
sawit karena jumlahnya kurang lebih 10 kali lebih banyak dari minyak inti sawit.
Minyak kelapa sawit mengandung beberapa jenis asam lemak. Kandungan asam lemak
yang paling dominan dikandung oleh minyak kelapa sawit adalah asam palmitat (42 %b) dan asam oleat (41 %-b). Data beberapa kandungan asam lemak yang terdapat pada
berbagai sumber minyak-lemak terdapat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3. Komposisi asam-asam lemak (%-b) beberapa minyak-lemak nabati.
Asam lemak
Kaproat
Kaprilat
Kaprat
Laurat
Miristat
Palmitat
Stearat
Arakhidat
Behenat
Oleat
Linoleat
Linolenat
Malva-/Sterkulat
Gadoleat
A.I., g-I2/100g
A.P., mg KOH/g
*)
Kelapa
0–1
5 – 10
5 – 10
43 – 53
15 – 21
7 – 11
2–4
tapak
6–8
1–3
8 – 12
250-264
D. sawit
tapak
3–6
3–5
40 – 52
14 – 18
6 – 10
1–4
0 – 0,3
tapak
9 – 16
1–3
14 – 23
245-255
Sawit
tapak
0–2
30 – 48
3–6
0–1
38 – 44
9 – 12
44 – 54
194-206
Malapari
Jarak Pagar
0–2
3–8
2–9
2–5
4–5
44 – 72
9 – 18
0–5
0 – 0,5
12 – 17
5–7
0 – 0,3
0 – 12
75 – 96
177-193
37 – 63
19 – 40
93 – 107
188-197
A.I. ≡ angka iodium; A.P. ≡ angka penyabunan.
Sumber: (Soerawidjadja, 2006)
2.2.2. Ester metil Berbasis CPO
Bahan-bahan mentah pembuatan ester metil adalah (Mittelbach dan Remschmidt
(2004), Knothe dkk. (2005)) :
a. trigliserida-trigliserida, yaitu komponen utama aneka lemak dan minyak-lemak, dan
B.56.3.21
11
b. asam-asam lemak, yaitu produk samping industri pemulusan (refining) lemak dan
minyak-lemak.
Ester metil dibuat dari trigliserida-trigliserida dan asam-asam lemak dengan proses
reaksi kimia yang masing-masing, disebut esterifikasi dan transesterifikasi. Sumber
alam utama dari trigliserida maupun asam lemak adalah lemak atau minyak lemak
(mentah) yang diperoleh dari tumbuhan.
Persamaan stoikhiometri generik reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol
seperti terdapat pada gambar 2.2. Variabel-variabel yang mempengaruhi proses
transesterifikasi adalah nisbah alkohol terhadap jumlah asam lemak, jenis konsentrasi
katalis, suhu, dan kecepatan pengadukan.
Lemak
Gambar 2.2. Reaksi transesterifikasi antara minyak atau lemak dengan metanol
Sumber: (Soerawidjaja, 1996)
Transesterifikasi dengan alkohol juga dikenal dengan nama alkoholisis. Oleh karena itu,
reaksi pada gambar 2.2 disebut juga dengan reaksi metanolisis. Menurut Sonntag
(1982), proses metanolisis terhadap minyak atau lemak akan menghasilkan ester metil
dan gliserol melalui pemecahan molekul trigliserida. Tanpa adanya katalis reaksi akan
berlangsung amat lambat. Katalis bisa berupa zat yang bersifat basa, asam, atau enzim
[Schuchardt dkk. (1998), Lotero dkk. (2005), Fukuda dkk. (2001)]. Reaksi akan berjalan
dengan sangat lancar bila digunakan katalis basa, sehingga katalis ini sekarang lazim
B.56.3.21
12
diterapkan dalam praktek. Reaksi metanolisis dari trigliserida berlangsung dalam tiga
tahap seperti ditunjukkan pada gambar 2.3.
Gambar 2.3. Reaksi metanolisis dalam tiga tahap
Sumber: (Soerawidjaja, 2006)
Katalis basa yang paling populer untuk reaksi transesterifikasi adalah natrium
hidroksida (NaOH), kalium hidroksida (KOH), natrium metilat (metoksida), dan kalium
metilat. Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida) yang, jika
pun katalis yang ditambahkan adalah hidroksida, akan terbentuk melalui reaksi
kesetimbangan (Soerawidjaja, 2006) seperti pada gambar 2.4. Mekanisme reaksi
pembentukan produk ester metil asam lemak pada tiap siklus katalitiknya ditunjukkan
pada gambar 2.5, di mana mekanisme serupa berlangsung pada konversi digliserida
menjadi monogliserida dan monogliserida menjadi gliserol.
OH⎯ + CH3OH
H2O + CH3O⎯
Gambar 2.4. Pembentukan ion metilat
Sumber: (Soerawidjaja, 2006)
Dengan katalis basa, reaksi metanolisis sudah berlangsung cepat pada temperaturtemperatur relatif rendah (temperatur kamar sampai titik didih normal metanol, yaitu 65
o
C) (Formo, 1954). Karena ini, kebanyakan proses industrial/komersial beroperasi pada
rentang temperatur ini dan tekanan atmosferik. Katalis yang ditambahkan biasanya
sebanyak 0.5 – 1.5 % dari berat minyak yang diolah.
B.56.3.21
13
Gambar 2.5. Mekanisme reaksi pembentukan produk ester metil asam lemak pada tiap
siklus katalitiknya
Sumber: (Soerawidjadja, 2006)
Crude Palm Oil (CPO) biasanya mengandung sekitar 5 % asam lemak bebas (Free
Fatty Acid). Adanya asam lemak bebas dalam reaktan akan mengurangi kinerja katalis
dan juga akan banyak menyerap trigliserida. Hal ini menyebabkan produksi ester metil
menjadi tidak ekonomis. Oleh karena itu asam lemak bebas tersebut harus dipisahkan
terlebih dahulu sebelum transesterifikasi. Asam lemak dapat dipisahkan melalui reaksi
esterifikasi dengan menggunakan katalis asam menghasilkan ester metil. Dengan
adanya dua tahap reaksi ini perolehan ester metil akan meningkat. Reaksi esterifikasi
berlangsung seperti ditunjukkan pada gambar 2.6. Beberapa sifat penting dari ester
metil asam adalah angka setan, angka iodium, titik leleh, viskositas kinematik, dan
massa jenis. Lengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.4.
Secara umum reaksi pembuatan ester metil akan menghasilkan senyawa samping, yaitu
gliserin. Antara ester metil dan gliserin mempunyai densitas yang berbeda sehingga
B.56.3.21
14
kedua produk tersebut dapat dipisahkan. Setelah dipisahkan, ester metil dimurnikan agar
diperoleh ester metil yang sesuai dengan standar yang ada.
H+
O
R-C-OH
+
Asam lemak
O
R’-OH
R-C-O-R’
alkohol
Ester
+
H2O
Air
Gambar 2.6. Reaksi esterifikasi
Sumber: (Fabian, 2004)
Tabel 2.4. Sifat-sifat penting ester metil asam-asam lemak yang relatif umum.
Ester metil asam
Kaprilat, Me-C8:0
Kaprat, Me-C10:0
Laurat, Me-C12:0
Miristat, Me-C14:0
Palmitat, Me-C16:0
Stearat, Me-C18:0
Arakhidat, Me-C20:0
Behenat, Me-C22:0
Lignoserat, Me-C24:0
Palmitoleat, Me-C16:1
Oleat, Me-C18:1
Linoleat, Me-C18:1
Linolenat, Me-C18:3
Gadoleat, Me-C20:1
Erusat, Me-C22:1
†
Angka
setan
≈ 33,6
47,9
60,8
73,5
85,9
101
51,0
59,3
38,0
20,0
76,0
o
Angka
iodium
(g-I2/100g)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
94,55
85,60
172,4
260,3
78,20
71,98
Viskositas kinematik pada 40 C (centiStoke).
Massa jenis
(g/cc), 40
o
C
0,859
0,856
0,853
0,867
0,851
0,850
0,849
Titik leleh
(oC)
Visk. kin.†
(cSt), 40 oC
-34
-12
5
18,5
30,5
39,1
48
54
1,16
1,69
2,38
3,23
4,32
5,61
-20
-35
-52
4,45
3,64
3,27
0,860
0,872
0,883
7,21
0,856
‡
33
‡
‡
‡
o
pada ≥40 C berwujud padat (bukan
cairan).
Sel yang kosong menunjukkan tidak/belum ada data.
Sumber: (Soerawidjadja,2006)
B.56.3.21
15
2.3. Oil Recovery Process
Pada subbab ini akan dijelaskan mengenai Enhanced Oil Recovery (EOR) dan salah satu
metode dalam EOR, yaitu surfactant flooding.
2.3.1. Enhanced Oil Recovery (EOR)
Operasi pengambilan minyak (recovery process) pada awalnya terbagi menjadi tiga
tingkatan: primer, sekunder, dan tersier, berdasarkan urutan kronologis penggunaannya
(Green dan Willhite, 1998). Produksi primer, tingkatan paling awal dari operasi ini,
terjadi akibat pemindahan energi yang secara alami ada pada reservoir minyak. Produksi
sekunder, tahap kedua dari recovery minyak, biasanya dilaksanakan setelah produksi
dari tingkatan primer berkurang. Produksi sekunder terdiri dari waterflooding, pressure
maintenance, dan gas/steam injection, meskipun sekarang istilah produksi sekunder
mengacu kepada waterflooding. Produksi tersier dilakukan setelah waterflooding (atau
produksi sekunder lainnya). Proses tersier menggunakan gas-gas yang saling melarut,
bahan kimia, dan/atau energi termal untuk memindahkan sisa minyak setelah proses
sekunder menjadi tidak ekonomis lagi.
Pada kenyataannya, tidak semua reservoir minyak menggunakan ketiga proses di atas
secara berturut-turut. Misalnya saja, pengambilan minyak berat yang dilakukan pada
banyak tempat. Bila minyak mentah yang hendak diambil amat viscous, minyak
tersebut tidak akan mengalir dengan pemindahan energi alami, sehingga produksi
primer menjadi sia-sia. Untuk beberapa reservoir, waterflooding tidak mungkin
dijalankan. Dengan demikian, penggunaan energi termal menjadi satu-satunya cara
untuk mengambil sejumlah minyak. Pada kasus ini, metode yang seharusnya produksi
tersier, bisa menjadi produksi primer, atau bahkan produksi final dari recovery. Pada
kondisi yang berbeda, produksi tersier diaplikasikan langsung sebelum waterflooding.
Hal ini mungkin tercetus karena beberapa faktor, seperti sifat dasar produksi tersier,
ketersediaan injectant, dan faktor ekonomi. Sebagai contoh, bila penggunaan
waterflooding sebelum proses tersier akan menurunkan efektivitas keseluruhan, maka
tahapan waterflooding dapat dilewati. Karena kondisi tesebut, istilah produksi tersier
B.56.3.21
16
menjadi tidak cocok lagi dan pengembangan istilah “enhanced oil recovery” (EOR)
menjadi lebih diterima.
Karena sulitnya mengklasifikasikan operasi pengambilan minyak berdasarkan urutan
kronologisnya, klasifikasi berdasarkan deskripsi proses menjadi lebih digunakan dan
diterima. Operasi pengambilan minyak sekarang terbagi menjadi: produksi primer,
produksi sekunder, dan EOR. Produksi primer tetap seperti semula, yaitu menggunakan
energi alami yang terdapat pada reservoir sebagai energi utama dalam pemindahan
minyak. Produksi sekunder menggunakan tambahan energi melalui injeksi dari air atau
gas untuk memindahkan minyak. EOR sendiri pada dasarnya menggunakan injeksi dari
campuran gas atau cairan kimia dan/atau energi termal. Gas hidrokarbon, CO2, N2, dan
flue gas adalah gas-gas yang termasuk digunakan dalam EOR. Cairan kimia yang
digunakan pada EOR adalah polimer, surfaktan, dan larutan hidrokarbon. Sedangkan
proses termal terdiri dari penggunaan kukus atau air panas dan penggunaan energi
termal yang dihasilkan dari pembakaran minyak pada reservoir batu.
Proses EOR melibatkan injeksi dari satu atau banyak fluida ke dalam reservoir. Fluida
yang diinjeksikan menambah energi yang pada awalnya sudah ada dalam reservoir
untuk memindahkan minyak ke tempat produksi. Sebagai tambahan, fluida yang
diinjeksikan juga berinteraksi dengan sistem reservoir batu-minyak untuk menciptakan
kondisi yang menguntungkan bagi proses recovery. Interaksi ini, sebagai contoh, dapat
menurunkan tegangan interfacial, menurunkan viskositas minyak, memodifikasi
wettability (pembasahan), atau menghasilkan perilaku fasa yang diinginkan. Interaksi
ini terjadi akibat mekanisme fisik/kimia dan injeksi atau produksi dari energi termal.
2.3.2. Surfactant Flooding
Metode surfactant flooding telah diuji dan memiliki potensi terbesar dalam perolehan
oil terbanyak di antara proses EOR lainnya (Green dan Willhite, 1998). Pada metode
ini, surfaktan diinjeksikan dalam suatu sistem kimia kompleks yang disebut larutan
micellar. Larutan ini mengandung surfaktan, kosurfaktan, elektrolit, minyak dan air.
Saat penginjeksian, larutan surfaktan ini diikuti dengan suatu larutan penggerak
B.56.3.21
17
(mobility buffer) yang mengandung polimer pada konsentrasi beberapa ratus ppm.
Larutan micellar mempunyai kelarutan terbatas dengan minyak dan didesain supaya
memiliki interfacial tension (IFT) yang sangat rendah dengan fasa minyak. Saat larutan
ini berkontak dengan tetesan minyak, tetesan tersebut akan terdeformasi karena nilai
IFT antara fasa minyak dan air akan menurun dan mengakibatkan minyak terbebas dari
core (batuan). Tetesan minyak ini kemudian akan bergabung dengan tetesan lainnya dan
terbawa ke depan aliran larutan yang memindahkannya.
Larutan polimer diinjeksikan untuk memindahkan (menggerakkan) larutan micellar
secara efisien. Nilai IFT antara larutan polimer dan micellar pun cukup rendah sehingga
tidak banyak bagian dari larutan micellar yang terperangkap di dalamnya. Rasio antara
larutan polimer dan micellar berkontribusi ke efisiensi pemindahan minyak.
Pada proses surfactant flooding ini, pemindahannya tidak saling bercampur
(immiscible). Kelarutan sempurna tidak ada di antara larutan micellar dan minyak atau
di antara larutan micellar dan polimer. Nilai IFT yang rendah di antara fluida yang
memindahkan dan terpindahkan adalah suatu keharusan karena dibutuhkan untuk
memobilisasi tetesan-tetesan atau film minyak yang saling terpisah. Nilai IFT yang
rendah juga berguna untuk meminimalisasikan adanya micellar yang teralihkan arah
alirannya atau tertahan pada batuan. Bila larutan micellar tidak dipindahkan oleh larutan
polimer secara efisien, larutan micellar akan memburuk dengan cepat. Dengan
demikian, suatu surfaktan yang akan digunakan dalam surfactant flooding haruslah
memiliki nilai IFT yang rendah.
2.4. Pembuatan Methyl Ester Sulfonat (MES)
Berikut ini akan dijelaskan mengenai proses tahapan pembuatan MES dari ester metil
CPO dengan reaktan NaHSO3 dan H2SO4. Pada dasarnya, kemunculan ide untuk
membuat MES adalah untuk menggantikan LAS (Linear Alkylbenzene Sulfonate) yang
juga merupakan surfaktan anionik dan banyak digunakan untuk berbagai aplikasi.
Alasan penggantian LAS dengan MES didasari oleh pemikiran adanya kedekatan sifat
B.56.3.21
18
keduanya. Namun kinerja dari MES labih baik jika dibandingkan dengan LAS. Selain
sifatnya yang biodegradable dan renewable, MES mempunyai persen deterjensi yang
lebih tinggi dibanding LAS. Sehingga pembuatan MES ini akan memperbaiki kinerja
dari LAS.
2.4.1. Proses Sulfonasi
Salah satu proses untuk menghasilkan surfaktan MES adalah melalui proses sulfonasi
ester metil minyak nabati. Sulfonasi adalah proses kimia utama yang digunakan untuk
membuat banyak macam produk di industri, seperti bahan celup dan pewarna, pigmen,
obat-obatan, pestisida dan produk-produk organik. Sebagai gambaran, hampir 1.600.000
ton3/tahun surfaktan diproduksi di Amerika Serikat sebagai surfaktan dalam produk
pembersih dan produk lainnya (Sheats dkk., 2005). Contoh lainnya adalah petroleum
sulfonat yang digunakan luas sebagai aditif dalam minyak pelumas dan sebagai agen
pendorong pelepasan minyak dalam surfactant flooding (Green dan Willhite, 1998).
Gambar 2.7 menunjukkan reaksi untuk membentuk gugus sulfonat. Sulfur trioksida
(SO3) bereaksi dengan molekul organik (pada gambar 2.7 adalah alkil benzen) untuk
membentuk ikatan karbon-sulfur. Salah satu karakteristik proses ini adalah produk
reaksinya (asam alkil benzen sulfonat) adalah molekul yang stabil.
Sulfur
trioksida
Alkil benzen
Asam alkil benzen sulfonat
Gambar 2.7. Sebuah contoh reaksi sulfonasi
Sumber: (Foster, 1997)
Reaksi sulfonasi dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa macam reaktan SO3
yang telah disederhanakan/dikomplekskan seperti terlihat pada gambar 2.8. Dalam
pembuatan MES pada penelitian ini, reaktan yang dipilih sebagai agen pensulfonasi
adalah NaHSO3 dan H2SO4. Kedua reaktan ini dipilih karena beberapa alasan. Pertama,
B.56.3.21
19
produk yang diinginkan adalah ester metil bergugus sulfonat, di mana atom karbon
berikatan langsung dengan atom sulfur. Bila digunakan reaktan sulfamic acid dan
chlorosulfonic acid, produk yang dihasilkan akan memiliki ikatan karbon-oksigensulfur (proses sulfatisasi). Kedua, harganya tidak terlalu mahal dan mudah didapat.
Sulfamic acid dan chlorosulfonic acid adalah dua reaktan yang paling mahal di antara
reaktan-reaktan lainnya. Terakhir, kemudahan penanganan. Gas SO3 merupakan sumber
gugus SO3 yang paling baik untuk reaksi sulfonasi tetapi penggunaannya lebih untuk
skala industri.
Gambar 2.8. Reaktan pensulfonasi
Sumber: (Foster, 1997)
Proses sulfonasi oleh reaktan NaHSO3 dan H2SO4 pada dasarnya sama. Reaksi
pembentukan MES oleh NaHSO3 ditunjukkan pada gambar 2.10. Reaksi sulfonasi
molekul ester metil dapat terjadi pada dua sisi, yaitu (1) bagian atom karbon sekunder;
(2) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap). Senyawa organik yang disulfonasi mengandung
ikatan rangkap pada molekulnya. Pada saat reaksi, ikatan rangkap dari senyawa organik
tersebut mungkin akan lepas dan salah satu atom karbon dari ikatan rangkap tersebut
akan mengikat gugus sulfonat. Namun tidak tertutup kemungkinan gugus sulfonat dapat
B.56.3.21
20
terikat pada atom karbon sekunder seperti ditunjukkan pada gambar 2.11.
Gambar 2.9. Contoh reaksi sulfonasi menggunakan reaktan H2SO4/oleum
Sumber: (Foster, 1997)
R – CH = CH – COOCH3 + NaHSO3
R—CH – CH2---COOCH3
SO3Na
Ester metil
Na-bisulfit
methyl ester sulfonat (MES)
Gambar 2.10. Reaksi sulfonasi oleh Na-bisulfit
Sumber: (Hidayati, 2006)
-- CH3
2
1
Gambar 2.11. Kemungkinan masuknya gugus sulfonat dalam suatu ester metil
Sumber: (Groggins, 1956)
B.56.3.21
21
Menurut Sheats dkk. (2002), umpan yang akan disulfonasi dimasukkan terlebih dahulu
ke dalam reaktor dengan temperatur masuk berkisar pada 40-56oC, sedangkan
temperatur gas SO3 adalah 42oC. Namun karena reaktan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Na-bisulfit dan H2SO4 yang sifatnya tidak sereaktif gas SO3, maka
diperlukan suhu yang lebih tinggi untuk meningkatkan kandungan sulfonat (Hidayati,
2006). Penelitian ini menvariasikan temperatur reaksi pada 70, 90, dan 110oC. Reaksi
sulfonasi amat eksotermik, maka panas yang terbentuk oleh reaksi harus dilepaskan ke
lingkungan. Dalam skala pabrik, pembuangan panas dilakukan dengan memompa
campuran reaksi menuju alat penukar panas eksternal (Foster, 1997). Pada penelitian
ini, pembuangan panas disiasati dengan pemasangan alat pendingin balik selama
sulfonasi berlangsung. Foster (1997) juga mengatakan bahwa lama reaksi sulfonasi
dengan reaktan oleum dan H2SO4 pada skala pabrik secara batch berkisar antara 15-20
jam, dengan sekitar 10 jam untuk pemisahan by-product dan 5 jam untuk
penetralisasian.
Berdasarkan
data
tersebut,
dapat
dikatakan
waktu
untuk
pengsulfonasian adalah sekitar 0-5 jam.
2.4.2. Pemurnian dengan Metanol
Sumber utama penyebab ketidakmurnian MES adalah produk sampingan reaksi
sulfonasi, yang biasa disebut di-salt, terbentuk terutama karena hidrolisis dari MES.
Menurut Hovda (1996), meskipun produk samping ini sebenarnya merupakan surfaktan
juga, sifat fisik yang dimilikinya berbeda dengan MES. Titik Kraft dari di-salt beratom
karbon 16 adalah 65oC, sementara titik Kraft MES beratom karbon 16 adalah 17oC.
MES yang diharapkan mempunyai titik Kraft yang rendah sehingga proses pemurnian
dengan metanol sebaiknya dilakukan untuk mencegah terjadinya di-salt. Sensitivitas
kepada kesadahan air juga lebih tinggi untuk di-salt dibandingkan dengan MES.
Kelarutan di-salt yang sangat rendah dalam air biasa maupun air sadah amat merugikan
dalam banyak aplikasi. Deterjensi dari MES 50 % lebih tinggi dibandingkan dengan disalt. Makin tinggi persen deterjensi maka makin baik kinerja suatu surfaktan.
Di-salt dapat terbentuk melalui dua kemungkinan, seperti terlihat pada reaksi (1) dan
reaksi (2) dalam gambar 2.12. (Hovda, 1996). Untuk menghilangkan di-salt yang
B.56.3.21
22
mungkin terbentuk, maka dilakukan pemurnian campuran reaksi dengan metanol. Dari
Sheats dkk. (2002), proses pemurnian dengan metanol dilakukan pada temperatur 75oC
dengan konsentrasi metanol sebesar 31 sampai 40%- wt (basis MES). Sedangkan
Hidayati (2006) menyatakan bahwa kondisi pemurnian terbaik untuk menghasilkan
MES dengan IFT terendah adalah 26.6% dengan temperatur pemurnian 45.5oC. Kondisi
tersebut diperoleh dengan temperatur reaksi sebesar 96,5oC dan lama reaksi 4,3 jam.
Untuk kemudahan perbandingan hasil, konsentrasi metanol dalam penelitian ini
ditetapkan konstan sebesar 35 %.
Gambar 2.12. Sumber terbentuknya di-salt dalam sintesis MES
Sumber: (Hovda, 1996)
2.4.3. Penetralan dengan NaOH
MES yang sudah dimurnikan masih bersifat korosif sehingga perlu dilakukan penetralan
dengan NaOH. Penetralan juga berperan penting dalam pengurangan perolehan di-salt.
Hovda (1996) dan Sheats dkk. (2002) menyatakan bahwa untuk mengurangi perolehan
di-salt, maka pengaturan kondisi yang tepat dibutuhkan saat netralisasi agar tidak terjadi
konversi MES menjadi di-salt dan metanol. Pengaturan kondisi yang dimaksud adalah
penetralan dilakukan sampai pH tidak lebih dari 7 pada temperatur 55oC (dijaga
konstan). Pada kondisi ini tidak terjadi peningkatan di-salt lagi.
B.56.3.21
23
2.5. Analisis Bahan Baku ME dan MES
Minyak-lemak nabati sebagai bahan baku maupun MES sebagai produk harus
dianalisis. Adapun uji yang dilakukan dijelaskan dalam subbab-subbab berikut.
2.5.1. Uji Viskositas
Viskositas merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk melihat
kemudahan MES mengalir. Viskositas MES yang tinggi akan menyulitkan MES untuk
melepaskan minyak dari core karena viskositas yang tinggi berakibat MES mempunyai
IFT yang tinggi pula.
2.5.1. Uji FTIR
Pengujian dengan FTIR ini bertujuan untuk mengetahui secara kualitatif kemungkinan
berhasil atau tidaknya proses sulfonasi yang berlangsung. Hal ini dapat diketahui
dengan cara mengidentifikasi harga-harga bilangan gelombang di daerah infra merah
yang karakteristik untuk gugus-gugus fungsi tertentu, khususnya SO3.
Pada dasarnya spektrometer infra merah (IR) terdiri atas 3 macam, yaitu filter
photometer, dispersive instrument, dan fourier-transform spektometer (FTIR). FTIR
jauh lebih efektif, sensitif, mempunyai resolusi tinggi, dan kecepatan pengolahan data
yang tinggi. Alat ini tidak memiliki unsur terdispersi dan panjang gelombangnya
dideteksi dan diukur secara bersamaan. Untuk memisahkan panjang gelombang, harus
dilakukan modulasi sumber sinyal yang dapat dinyatakan dalam transformasi Fourier
dan beberapa operasi matematik.
Spektrometer IR dapat digunakan untuk menentukan gugus fungsi suatu senyawa,
khususnya senyawa organik. Jika dilengkapi dengan spektra dari UV-Vis, NMR dan
MS, maka spektrometer infra merah dapat digunakan untuk menentukan struktur
senyawa yang belum diketahui. Pada industri kimia, spektrometer IR biasa digunakan
untuk mengontrol kualitas produk dari bahan baku. Selain itu, dapat juga digunakan
B.56.3.21
24
untuk penentuan kadar gas yang terdapat di udara, biasanya alat ini diletakkan di pinggir
jalan untuk mengetahui tingkat polusi (pencemaran).
Tingkat energi cahaya di daerah infra merah sesuai dengan tingkat energi vibrasi dan
energi rotasi dari ikatan. Jika sinar infra merah mengenai ikatan di dalam molekul yang
tingkat energinya sesuai maka sinar tersebut akan diserap. Karena tingkat energi tiap
ikatan dan rotasi dalam molekul berbeda-beda, hal ini akan mengakibatkan masingmasing ikatan menyerap pada harga bilangan gelombang yang berbeda-beda pula,
dengan demikian pola spektra suatu senyawa akan berbeda satu sama lainnya.
Frekuensi vibrasi molekul dipengaruhi oleh jumlah dan jenis atom, susunan geometri
dan tetapan ikatan antar atom di dalam molekul. Pola spektra infra merah yang
dihasilkan ditentukan oleh perubahan faktor-faktor tersebut. Ikatan yang dapat
menyerap sinar infra merah adalah ikatan yang karena perubahan vibrasi atau rotasinya
dapat menyebabkan perubahan momen dipol.
Secara singkat, prinsip kerja spektrometer infra merah dapat dijelaskan sebagai berikut :
Cahaya infra merah dengan berbagai panjang gelombang yang dipancarkan oleh sebuah
sumber cahaya akan dipecah oleh sistem cermin menjadi dua berkas cahaya, yaitu
berkas rujukan (referensi) dan berkas contoh. Setelah masing-masing melewati sel
rujukan (pelarut murni, jika pelarut itu digunakan dalam contoh, atau kosong jika
contoh tak menggunakan pelarut) dan sel contoh, kedua berkas ini digabung kembali
dalam pemenggal (chopper, suatu sistem cermin lain), menjadi satu berkas yang berasal
dari kedua berkas itu, yang selang-seling bergantian. Berkas selang-seling ini didifraksi
oleh suatu kisi sehingga berkas itu terpecah menurut panjang gelombang. Detektor akan
mengukur beda intensitas antara kedua macam berkas tersebut pada tiap-tiap panjang
gelombang dan meneruskan informasi ini ke perekam, yang kemudian akan
menghasilkan suatu bentuk spektrum.
B.56.3.21
25
Download